masgiz 2 gizi buruk final
DESCRIPTION
#giziburukTRANSCRIPT
TUGAS MASALAH GIZI 2
KASUS 3
Dosen Pengampu:
Nuryanto S.Gz., M.Gizi
disusun oleh:
Kelompok 10
Ikhfina Oktokenia R 22030112130048
Normasari Yustitie 22030112140049
Anissa Asprilia 22030112140050
Vina Puji R 22030112130052
Ocka Ferian M 22030112140053
Nila Wardani 22030112130055
Ika Amalina Bonita 22030112130056
Affini Nurratri 22030112140061
PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malnutrisi adalah suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara asupan
makan (pengambilan makanan) dengan kebutuhan gizi yang diperlukan untuk
mempertahankan kesehatan tubuh.1
Apabila asupan melebihi kebutuhan zat gizi tubuh maka yang terjadi adalah
kelebihan gizi, yang mengacu pada overweight maupun obesitas. Sedangkan apabila
asupan tidak mencukupi kebutuhan gizi yang seharusnya dan diikuti oleh penyakit infeksi
berulang, maka yang terjadi adalah gizi kurang. Kekurangan gizi dapat diartikan sebagai
ketidakseimbangan antara kebutuhan gizi dan asupan, yakni terjadi kekurangan energi dan
protein (KEP), atau zat gizi mikro yang dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan
dan perkembangan.2 Keadaan gizi kurang yang berlangsung dalam waktu yang lama dan
tidak segera ditangani, maka dapat menimbulkan terjadinya gizi buruk yang mengacu pada
marasmus dan kwarshiorkor, serta dapat juga terjadi kondisi stunted (sangat pendek).3
World Food Programme (WFP) memperkirakan 13 juta anak di Indonesia menderita
malnutrisi. Ada beberapa wilayah di Indonesia, yang sekitar 50% bayi dan anak-anak
mempunyai berat badan rendah. Survei yang dipublikasi oleh Church World Service
(CWS), pada suatu studi kasus di 4 daerah wilayah Timor Barat (Kupang, Timur Tengah
Selatan (TTS), Timur Tengah Utara (TTU), dan Belu) menunjukkan sekitar 50% bayi dan
anak-anak adalah underweight sedang atau underweight berat, dengan data 13,1% dari
seluruh anak di bawah usia 5 tahun menderita malnutrisi akut, sedangkan 61,1% dari bayi
baru lahir sampai umur 59 bulan menderita malnutrisi kronik (Church World Service
(CWS), 2008).
Tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia, kasus gizi kurang dapat
dikatakan suatu masalah yang serius. Berdasarkan data WHO, menunjukkan bahwa pada
tahun 1995 prevalensi anak KEP di dunia masih berada di angka 34,6 %, dimana terjadi
penurunan dari data sebelumnya yang menunjukkan angka 42,6 % pada tahun 1975.
Malnutrisi sedang dan ringan di negara Afrika dan Asia Selatan bertambah hingga 30-70%.
Menurut hasil penelitian di negara-negara miskin pada kebanyakan populasi menunjukkan
tingkat prevalensi untuk kwashiorkor dan marasmus adalah 1-5%, sedangkan 30-70% pada
anak-anak dari usia 5 tahun menderita KEP ringan hingga sedang.4
Grafik 1.1 Prevalensi gizi kurang dan buruk Susenas tahun 1995-2004
Di Indonesia sendiri, gizi buruk merupakan masalah yang menjadi perhatian.
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia terbilang cukup tinggi. Hasil
Susenas menunjukkan adanya penurunan prevalensi balita gizi buruk yaitu dengan range 0-
35 % terjadi penurunan prevalensi gizi buruk dari 10,1% pada tahun 1998 menjadi 8,1%
pada tahun 1999 dan menjadi 6,3% pada tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi
peningkatan kembali prevalensi gizi buruk dari 8,0% menjadi 8,3% pada tahun 2003 dan
kembali menurun menjadi 7,2% pada tahun 2004.
1.2 Gambaran Kasus
Hasil survey di lapangan oleh petugas gizi Puskesmas ditemukan :
- Nama y, laki-laki
- Usia 3,5 tahun
- Z-score (BB/TB): -3,45
Pendidikan bapak dan ibu lulusan SD, dalam tiga bulan terakhir anak beberapa
kali menderita diare, Asupan Energi, protein dan lemak masuk kategori
kurang/rendah. lantai rumah masih tanah dan sangat lembab.
1.3 Rumusan Masalah
1.3.1 Apakah yang dimaksud dengan gizi buruk ?
1.3.2 Apa saja faktor determinan yang mempengaruhi gizi buruk ?
1.3.3 Bagaimana tatalaksana untuk penderita gizi buruk?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Gizi Buruk
Gizi buruk adalah keadaan dimana terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan
gizi dan asupan, akibat dari defisiensi energi, defisiensi protein, dan defisiensi zat gizi lain,
serta akibat adanya penyakit infeksi, aktivitas inflamasi pada komposisi tubuh dan fungsi
biologis yang menurun dalam jangka panjang. Gizi buruk dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak.2
UNICEF menyatakan bahwa malnutrisi merupakan penyebab lebih dari 3 juta
kematian pada anak-anak di bawah usia 5 tahun di dunia. Pada tahun 2007, terdapatnya
kemunduran signifikan dalam kematian anak secara global, namun tetap terdapat rentang
yang sangat jauh antara negara-negara kaya dan miskin, khususnya di Afrika dan Asia
Tenggara.5
Untuk mengetahui gangguan tumbuh dan kembang digunakan suatu pengukuran
yakni pengukuran Antropometri, yang meliputi penimbangan berat badan (BB), tinggi
badan (TB), lingkar lengan atas (LILA), lingkaran kepala dan lapisan lemak bawah kulit
yang menggunakan ukuran dan standar tertentu. Indeks antropometri yang paling sering
digunakan ialah BB/U, TB/U dan BB/TB.6
Klasifikasi KEP dapat diukur dengan menggunakan indikator antropometri BB/U
(berat badan berdasarkan umur) dan TB/U (tinggi badan berdasarkan umur) yang
digunakan sebagai petunjuk tentang keadaan gizi di masa lalu, serta BB/TB (berat badan
berdasarkan tinggi badan) yang digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan status gizi
sekarang. Kategori status gizi anak dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Kategori dan ambang batas status gizi anak7
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Berat Badan menurut Umur
(BB/U)
Anak Umur 0-60 Bulan
Gizi buruk < -3 SD
Gizi kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih > 2 SD
Panjang Badan menurut Umur Sangat pendek < -3 SD
Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD
(PB/U) atau Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U)
Anak Umur 0-60 Bulan
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi > 2 SD
Berat Badan menurut Panjang
Badan (BB/PB) atau Berat
Badan menurut Tinggi Badan
(BB/TB) Anak Umur 0-60 Bulan
Sangat kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk > 2 SD
Indeks Massa Tubuh menurut
Umur (IMT/U)
Anak Umur 0-60 Bulan
Sangat kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk > 2 SD
Berdasarkan data yang ada pada kasus, disimpulkan bahwa anak Y masuk dalam
kategori status gizi yang buruk karena pengukuran BB/TB anak Y berada pada ambang
batas < -3 SD, tepatnya berada pada angka -3,45 SD. Keadaan anak Y disebut KEP atau
kekurangan energi dan protein.
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi
dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya kondisi anak yang
tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan
menjadi 3 tipe, yakni marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor.8
A. Kwashiorkor
Kwashiorkor terjadi akibat kurangnya asupan protein bagi tubuh sehingga tubuh
mengalami kekurangan protein. Umumnya, pada penerita kwashiorkor akan mengalami
gangguan pertumbuhan dan gangguan mental. Beberapa tanda khas yang ada pada anak
kwashiorkor adalah sebagai berikut8:
a. Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki
b. Wajah membulat dan sembab
c. Pandangan mata sayu
d. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit, rontok
e. Perubahan status mental, apatis, dan cengeng
f. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk
g. Pembesaran hati
h. Sering disertai dengan penyakit infeksi, anemia dan diare.
Gambar 2.1.1 Anak kwashiorkor
Penderita kwashiorkor stadium lanjut biasanya memiliki rambut kusam, kering,
halus, jarang dan berwarna putih. Kulit menjadi kering dengan menunjukkan garis-garis
yang lebih mendalam dan lebar. terjadi perubahan kulit yang khas yaitu bercak-bercak
putih atau merah muda dengan tepi hitam dan ditemukan pada bagian tubuh yang sering
mendapat tekanan dan disertai kelembapan.9
B. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena asupan energi yang tidak mencukupi kebutuhan
tubuh. Penderita marasmus mengalami pertumbuhan yang semakin lambat atau bahkan
berhenti, sering berjaga pada waktu malam, mengalami konstipasi atau diare. Diare pada
penderita marasmus akan terlihat berupa bercak hijau tua yang terdiri dari sedikit lendir dan
sedikit tinja. Gangguan pada kulit adalah tugor kulit akan menghilang dan penderita terlihat
keriput. Apabila gejala bertambah berat lemak pada bagian pipi akan menghilang dan wajah
penderita terlihat seperti orangtua.9 Gejala khas yang timbul pada marasmus sebagai berikut8 :
a. Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, karena sebagian besar lemak
dan otot-ototnya hilang.
b. Wajah seperti orang tua
c. Cengeng, rewel
d. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy
pants)
e. Perut cekung
f. Iga gambang
g. Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) dan diare kronik atau
konstipasi/susah buang air
Gambar 2.1.2 Anak marasmus
C. Marasmus-Kwashiorkor
Marasmus-Kwashiorkor adalah keadaan dimana seseorang kekurangan energi
(marasmus) dan kekurangan protein (kwashiorkor). Gejala dan tanda seseorang yang
mengalami Marasmus-Kwashiorkor adalah gabungan dari beberapa ciri marasmus dan
kwashiorkor.7 Berikut ini adalah perbedaan antara marasmus dan kwashiorkor :
Tabel 2. Perbedaan antara Marasmus dan Kwashiorkor10
Indikator Kwashiorkor Marasmus
Gangguan pertumbuhan
Wasting
Oedema
Nafsu makan
Anemia
Penurunan lemak subkutan
Muka
Ya
Ya
Ya (terkadang parah)
Buruk
Parah (kadang-kadang)
Ya
Mungkin oedema
Ya
Ya
Tidak
Baik
Ya, tidak terlalu parah
Tidak
Terlihat seperti monyet
2.1 Penyebab Terjadinya Masalah Gizi Buruk
2.1.1 Kerangka Teori
Gizi buruk muncul dari beberapa penyebab yang kompleks baik langsung
maupun tidak langsung. Berikut ini kerangka yang merepresentasikan secara
sederhana jenis dan tingkat penyebab yang mengarah ke gizi buruk. Terdapat tiga
tingkatan penyebab, yaitu penyebab langsung, tidak langsung dan penyebab dasar.
Ada dua penyebab langsung yaitu intake makanan yang kurang dan infeksi
penyakit. Anak-anak penderita gizi buruk tidak mendapatkan makanan yang
cukup baik dari kualitas dan kuantitas atau karena mereka sakit. Penyakit dapat
menurunkan nafsu makan dan menghambat penyerpan zat gizi. Hal tersebut dapat
menghambat penggunaan zat gizi untuk pertumbuhan anak dan digunakan untuk
melawan penyakit tersebut.11
Penyebab tidak langsung terjadi pada tingkat rumah tangga dan masyarakat.
Terdapat 3 kategori: ketersediaan pangan rumah tangga, asuhan ibu terhadap
anak, dan pelayanan kesehatan lingkungan. Berikut ini merupakan penjelasan dari
masing-masing aspek;
A. Penyebab Langsung
1. Asupan makan
Konsumsi pangan keluarga biasanya dinyatakan dalam angka
konsumsi pangan dengan kebutuhan gizinya. Tingkat konsumsi secara
tidak langsung dapat sebagai indikator keadaan gizi seseorang. Tingkat
konsumsi merupakan salah satu hal yang menentukan status gizi secara
langsung. Dalam menentukan distribusi konsumsi maka hal yang perlu
diperhatikan adalah siapa yang mengkonsumsi dan berapa yang
dikonsumsi.
Jika seorang anak tidak mendapatkan makanan yang memadai,
mereka akan kekurangan gizi. Asupan yang buruk mungkin disebabkan
karena tidak cukup makanan, atau kurangnya variasi makanan dalam
makanan; konsentrasi rendah energi dan nutrisi dalam makanan, frekuensi
makan kurang, cukup ASI, dan penyapihan dini. 12
Keadaan gizi yang baik dapat dicapai dengan memperhatikan pola
konsumsi makanan terutama energy, protein dan zat gizi mikro. Pola
konsumsi makanan harus memperhatikan nilai gizi makanan dan
kecukupan zat gisi yang dianjurkan. Hal tersebut dapat ditempuh dengan
penyajian hidangan bervariasi dan kombinasi.13
2. Penyakit infeksi
Hubungan antara gizi dan penyakit infeksi merupakan hubungan yang
sinergis: infeksi mengakibatkan penurunan asupan makanan dan
malabsorpsi nutrisi, menyebabkan kekurangan gizi, yang dengan
sendirinya mengurangi resistensi anak terhadap infeksi, sehingga
meningkatkan kemungkinan infeksi berulang.11
Beberapa ahli menilai bahwa 50% dari konsekuensi dari kekurangan
gizi bisa disebabkan faktor lingkungan, termasuk kurangnya akses
terhadap air bersih dan sanitasi dan / atau kebersihan yang buruk yang
mengarah ke paparan infeksi usus berulang (dengan diare, parasit usus)
atau malaria. Dimana infeksi tersebut tidak mematikan, bukti
menunjukkan bahwa paparan penyakit yang berhubungan dengan air,
khususnya cacing, pada awal masa bayi masih mengarah ke gagal tumbuh
yang bersifat irreversibel, menurunkan kekebalan dan meningkatkan
morbiditas. enterik infeksi meningkatkan risiko dan tingkat keparahan
kekurangan gizi melalui sejumlah mekanisme yang berbeda.
Ada semakin banyak bukti untuk infeksi enterik yang menyebabkan
kerusakan pada usus-lapisan mengarah ke malabsorpsi, bahkan tanpa
adanya indikator patogen disease.
B. Penyebab Tidak Langsung
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang secara tidak langsung
mempengaruhi tingkat kejadian gizi buruk;
1. Ketersediaan/ketahanan pangan rumah tangga
Ketahanan gizi/pangan dan kemandirian pangan tidak sama. Banyak
negara telah mencapai "kemandirian pangan", yang berarti mereka tidak
mengimpor makanan, namun belum mencapai ketahanan gizi. Ghana,
Uganda, dan Nigeria memenuhi kebutuhan pasokan pangan nasional
mereka, namun sebagian besar anak-anak di negara tersebut underweight.
India dikategorikan mampu melakukan kemandirian pangan tetapi
merupakan salah satu negara dengan tingkat prevalensi underweight
tertinggi di dunia. Sementara Afrika membawa beban terbesar dari impor
pangan nasional dan keadaan darurat yang berhubungan dengan makanan,
Asia Selatan memiliki tingkat underweight tertinggi di dunia.11
Ketersediaan pangan rumah tangga bergantung pada kemampuan
rumah tangga untuk memproduksi atau mendapatkan cukup makanan
untuk memastikan makanan yang memadai bagi semua anggotanya setiap
saat. Kerawanan pangan diakui sebagai penyebab gizi kurang, walaupun
hubungan yang tepat antara keduanya tidak dimengerti dengan jelas. Hal
ini disebabkan karena kesulitan berhubungan dengan pengukuran makanan
yang berkaitan dengan penyebab gizi kurang.
Selanjutnya, kemajuan dalam mengukur kerawanan pangan banyak
melibatkan pengukuran energi makanan dari aspek kualitas makanan.
Bahkan jika seseorang mengkonsumsi kalori yang cukup, tidak menjamin
asupan mikronutrien esensial, vitamin, mineral dan trace element
tercukupi.
2. Pola asuh ibu terhadap anak
Pola asuh didefinisikan sebagai "ketentuan dalam rumah tangga dan
masyarakat dari waktu, perhatian, dan dukungan untuk memenuhi
kebutuhan fisik, mental, dan sosial dari anak yang sedang tumbuh dan
anggota rumah tangga lainnya." Meskipun jumlah makanan yang dicerna
oleh anak berkaitan erat dengan ketahanan pangan, hal ini juga sangat
tergantung pada perilaku makan pengasuh anak, seperti menyusui,
makanan pendamping ASI anak dan persiapan makanan.11,14
Menyusui, misalnya, sangat penting untuk bayi, menyediakan sumber
gizi seimbang dan antibodi yang berharga terhadap penyakit. WHO
memperkirakan bahwa "kurangnya pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan pertama kehidupan memberikan kontribusi untuk lebih dari satu juta
kematian anak dihindari setiap tahun". Misalnya, mendanai penelitian
DFID di Ghana menunjukkan bahwa 22% kematian bayi dapat dicegah
dengan memulai untuk menyusui dalam satu jam pertama setelah
melahirkan.
Empat juta bayi di negara berkembang meninggal setiap tahun di
bulan pertama kehidupan. Kemampuan pengasuh, biasanya ibu, untuk
memberikan perawatan kepada anak-anak pada akhirnya terletak pada
kualitas perawatan yang mereka sendiri menerima dan waktu yang tersedia
bagi mereka.
3. Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak lebih mudah
terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi.
Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air bersih,
keterdesiaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan perlatan makan
pada setiap keluraga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan sehari-
hari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi.15
C. Masalah Utama
1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian
semua negara. Kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab terjadinya
masalah gizi buruk. Sebagai contoh, kemiskinan yang sering ditemukan
pada negara berkembang biasanya ditandai dengan penduduk yang tinggal
diperkampungan kumuh dam lingkungan yang tidak sehat. Hal tersebut
dapat mempengaruhi tingkat asupan pangan yang rendah baik kualitas
maupun kuantitasnya.16
Apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat
maka peluang terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu,
kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa.
2. Pendidikan dan pengetahuan
Tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin apakah dia mampu atau
tidak dalam menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi,
sedangkan tingkat pengetahuan gizi seseorang terutama pengetahuan gizi
ibu sangat berpengaruh dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
serta gizi anak.17
Pengetahuan orang tua, terutama ibu adalah tingkat pemahaman ibu
tentang pertumbuhan anak, perawatan dan pemberian makan anak.
pemilihan dan pengolahan makanan dalam sebuah penelitian mengatakan
bahwa pengetahuan ibu tentang kesehatan dan cara pengasuhan anak
mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap status gizi dan
balita.
Ibu yang pengetahuannya baik mempunyai kemungkinan 17 kali lebih
besar untuk mempunyai anak dengan status gizi baik bila dibandingkan
dengan ibu yang mempunyai pengetahuan buruk.17
Akibatnya, kebutuhan anak tersebut tidak terpenuhi sehingga
pertumbuhan dan perkembangannya menjadi terganggu dapat
menyebabkan stunting pada anak seperti pada kasus ini.
3. Pendapatan rendah
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka kebutuhan pangan dan
non-pangannya harus dipenuhi, dengan pendapatan orang tua anak yang
terbatas menyebabkan pembagian pendapatan untuk kebutuhan pangan
menjadi semakin mengecil, akibatnya untuk membelanjakan kebutuhan
pangan yang sehat dan bergizi akan terasa mahal bagi keluarganya selain
itu pemilihan makanan sehari-hari pun menjadi terbatas. Hal tersebut akan
menyebabkan frekuensi makan anak menjadi terbatas dan variasi makanan
anak menjadi tidak beragam.18
D. Masalah Dasar
Akar masalah adalah adanya krisis ekonomi, politik dan social yang
menimpa Indonesia sejak tahun 1997 yang akhirnya dapat meningkatkan
angka pengangguran,inflasi dan kemiskinan dan menimbulkan keresahan
social. Keadaan tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk
akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai.19
1. Krisis Ekonomi
Perekonomian yang rendah akan mempengaruhi daya beli bahan
makanan yang berkualitas, serta keragaman pangan yang dikonsumsi.
Konsumsi makanan yang berkualitas dan beragam akan bermanfaat pada
kesehatan tubuh. Selain itu, tingkat ekonomi juga mempengaruhi
pendidikan yang akan didapat (pendidikan formal dan informal).
Walaupun dengan tingkat perekonomian yang tinggi namun tidak
diimbangi dengan pengetahuan yang cukup tetap akan berdampak pada
terjadinya gizi buruk.20
2. Krisis Sosial Budaya
Kenyakinan akan kesehatan berkontribusi terhadap masalah gizi di
masyarakat. Sangat sulit untuk masyarakat dapat menyadari bahwa
keyakinan tersebut memiliki dampak negatif pada kesehatan mereka dan
anak-anak mereka.
Misalnya, penyapihan mendadak karena hamil, keyakinan bahwa
makanan tidak harus diberikan kepada seseorang anak yang menderita
campak atau diare, dan berbagi makanan dari mangkuk yang sama antara
anak yang berbeda, dapat mengakibatkan anak mendapatkan asupan
kurang dari kebutuhan mereka, adalah contoh dari beberapa faktor budaya
yang dapat mempengaruhi status gizi.12
Kemiskinan adalah alasan bahwa beberapa keluarga tidak mampu
memproduksi atau membeli lebih banyak makanan. Laki-laki sering
meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan, meninggalkan perempuan
Pendidikan
Pendapatan rendah
Asupan anak kurang
Pengetahuan tentang gizi Gizi buruk
untuk membesarkan anak-anak sendirian. Kemiskinan dapat menyebabkan
pertengkaran keluarga dan pelecehan anak. Seringkali wanita kurang
memiliki akses terhadap uang, tanah dan sumber daya lainnya, dan kontrol
yang kurang terhadap keputusan keluarga daripada laki-laki.
3. Krisis Politik
Faktor-faktor politik tertentu, seperti keputusan kebijakan dan situasi
ekonomi yang disebabkan oleh inflasi atau perang, dapat menyebabkan
kekurangan gizi. Sebuah contoh yang baik adalah tingginya tingkat
malnutrisi di antara banyak warga Ethiopia selama perang Ethio-Eritrea.12
2.1.2 Kerangka Konsep
1. Pendidikan
Sesuai dengan teori kesehatan, pendidikan mempengaruhi kualitas gizi
anak. Ketika pendidikan kepala rumah tangga rendah, maka pengetahuan
mereka terhadap kesehatan dan gizi menjadi rendah sehingga pola konsumsi
gizi untuk anak menjadi tidak baik. Kondisi ini ditemukan dalam kasus gizi di
Sumatera Barat.
Orang tua dengan tingkat pendidikan rendah (SD/tidak tamat SD)
memiliki risiko yang besar terhadap kualitas gizi anak dimana probabilitas
risiko gizi buruk 5,699 kali lebih besar dibandingkan dengan orang tua
dengan pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP, SMA, dan Perguruan
Tinggi. Selanjutnya semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua semakin
kecil risiko anak balita terkena gizi buruk.21
Hasil penelitian Aeda Ernawati menunjukkan adanya hubungan tingkat
pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi dan tingkatt konsumsi protein
yang selanjutnya akan berpengaruh pada status gizi anak.22 Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin tinggi tingkat
konsumsi energi dan protein anaknya.
Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi termasuk
informasi tentang gizi. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan
lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan
sehingga sulit menerima informasi baru di bidang gizi. Selain itu tingkat
pendidikan juga ikut menentukan mudah tidaknya sesorang menerima suatu
pengetahuan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin mudah
seseorang menyerap informasi yang diterima termasuk pendidikan dan
informasi gizi terkait dengan pentingnya mengkonsumsi energi dan protein
secara adekuat. Dengan pendidikan gizi tersebut diharap akan tercipta pola
kebiasaan yang baik dan sehat.
Ada 5 upaya yang merupakan imbas dari pendidikan ibu dan ayah yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertama,
pendidikan akan meningkatkan sumberdaya keluarga. Kedua, pendidikan
akan meningkatkan pendapatan keluarga. Ketiga, pendidikan akan
meningkatkan alokasi waktu untuk pemeliharaan kesehatan anak. Keempat,
pendidikan akan meningkatkan produktivitas dan efektifitas pemeliharaan
kesehatan. Kelima, pendidikan akan meningkatkan referensu kehidupan
keluarga.
2. Pengetahuan ibu yang kurang mengenai gizi
Dalam penelitian tentang hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan ibu
tentang gizi dengan status gizi anak anak balita (1-5 tahun) di jorong surau
laut wilayah kerja pukesmas biaro kecamatan IV Angkek kabupaten Agam
tahun 2008 menunjukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara
pengetahuan ibu tentang gizi dan tindakan ibu mnegenai gizi dengan status
gizi anak. 23
Kurangnya pengetahun ibu mengenai gizi akan berdampak pada perilaku
ibu dalam menerapkan gizi seimbang dalam kehidupan sehari-harinya
menjadi rendah, misalnya perilaku ibu dalam memilih dan memberikan
makanan. Perilaku gizi sangat berpengaruh dengan status gizi anak balita
karena menyangkut bagaimana penduduk mampu mencukupi persediaan
pangan individu keluarganya, mampu mengolah dan mengkonsumsi sesuai
kaidah gizi yang benar, mampu memilih jenis makanan dan memprioritaskan
makanan ditengah keluarganya.23
3. Pendapatan rendah
Pendidikan seseorang berpengaruh terhadap jenis pekerjaan yang
didapatkannya, karena banyak pekerjaan yang mensyaratkan tingkat
pendidikan yang tinggi. Jenis pekerjaan atau mata pencaharian berpengaruh
langsung terhadap pendapatan seseorang. Pendapatan yang rendah
mempengaruhi daya beli bahan pangan keluarga yang secara langsung
berpengaruh pada jumlah makanan yang dikonsumsi.24
Masalah kemiskinan akan berdampak pada kurangnya akses masyarakat
terhadap pemenuhan kebutuhan pangan maupun pelayanan kesehatan. Jumlah
orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak mempunyai akses pangan.
Kemiskinan merupakan indikator ketidakmampuan untuk mendapatkan
cukup pangan, karena rendahnya kemampuan daya beli atau hal ini
mencerminkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti,
makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan lain-lain.24 Pendapatan orang
tua anak Y yang tidak pasti menyebabkan munculnya masalah kemiskinan
yang dihadapi keluarga anak Y seperti kurangnya akses pangan karena
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan keluarganya.
Pada pendapatan keluarga yang rendah biasanya semua pendapatan
dikeluarkan untuk makanan dan makanan yang dibeli semata-mata hanya
untuk mengatasi rasa lapar. Jadi makanan dikonsumsi hanya sebagai sumber
kalori dan biasanya hanya berupa bahan – bahan sumber karbohidrat saja.
Dalam hal ini kualitas pangan hampir tidak terpikirkan.17 Hal tersebut akan
menyebabkan frekuensi makan anak menjadi terbatas dan variasi makanan
anak menjadi tidak beragam. Akibatnya, kebutuhan anak tersebut tidak
terpenuhi sehingga pertumbuhan dan perkembangannya menjadi terganggu
dapat menyebabkan wasting pada anak seperti pada kasus ini.11
Berikut bagan prevalensi balita kurus dan sangat kurus menurut kuantil
keluarga tahun 2007 dan 2007 yang dikeluarkan oleh Riset Kesehatan Dasar
2010. Kuintil pendapatan keluraga terdiri dari kuintil 1 sampai 5. Kuintil 1
adalah kelompok pendapatan terendah dan kuintil 5 kelompok pendapatan
tertinggi. Dari bagan tersebut tidak terjadi penurunan prevalensi balita gizi
buruk pada kelompok kuintil 1. Dengan demikian keluarga yang masuk
kelompok pendapatan rendah atau keluarga yang tergolong miskin belum
menunjukkan adanya peningkatan status gizi pada balitanya.1
Dalam kasus ini bapak anak Y bekerja sebagai tukang becak dan sangat
rentan berpengaruh terhadap ketersediaan pangan tingkat rumah tangga,
sehingga mereka mungkin dapat mengalami kekurangan pangan kronis,
musiman atau sementara.
4. Asupan Energi, Protein
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status
gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi
yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
pekembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umu pada tingkat
setinggi mungkin.25
Konsumsi makanan terutama energi dan protein merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap status gizi. Fungsi makanan sebagai
sumber energi banyak diperoleh dari bahan-bahan makanan yang
mengandung karbohidrat. Sebanyak 60-60% kebutuhan energi tubuh manusia
diperoleh dari karbohidrat sisanya berasal dari protein dan lemak.
Pada penelitian mengenai hubungan asupan energi dan protein dengan
status gizi balita di kelurahan tammamaung menunjukan bahwa terdapat
hubungan antara status gizi dengan asupan energi.
Energi diartikan sebagai suatu kapasitas untuk melakukan suatu
pekerjaan. Energi dalam tubuh manusia timbul diakrenakan adanya
pemabakaran akrbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian agar dapat
tercukupi kebutuhan energinya diperlukan intake zat-zat makanan yang cukup
pula ke dalam tubuhnya. Pada penelitian Handon, juga menemukan bahwa
adanya hubungan positif yang signifikan antara asupan anergi dengan status
gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Selogiri, diperoleh implikasi semakin
baik tingkat asupan energi maka status gizi balita semakin baik.26
Protein adalah bagian dari sel hidup dan merupakan bagian terbesar
sesudah air. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan
darah, dan sebagainya merupakan protein. Fungsi utama protein adalah
membangun serta memelihara jaringan tubuh. Fungsi lain ialah sebagai
pembentuk ikatan-ikatan esensial tubuh, seperti hormon, enzim dan antibodi,
mengatur keseimbangan air dan mengangkut zat-zat gizi. Protein juga
merupakan sumber energi yaitu ekivalen dengan karbohidrat. Jika tubuh
dalam kondisi kekurangan zat sumber energi yaitu karbohidrat dan lemak,
maka tubuh akan menggunakan protein untuk membentuk energi dan
mengalahkan fungsi utamanya sebagai zat pembanggun. Pada balita kondisi
ini berdampak pada gangguan pertumbuhan.26
Balita yang memiliki asupan protein kurang, berisiko 14,4 kali lebih
besar untuk memiliki status gizi kurang dibandingkan dengan balita yang
asupan proteinnya cukup. Pada penelitian di desa Pulutan kecamatan Sidorejo
Salatiga menunjukan bahwa adanya hubungan asupan protein dengan gizi
kurang. Kekurangan protein yang kronis akan menyebabkan pertumbuhan
terlambat dan tampak tidak sebanding dengan umurnya.25 Fungsi protein
dalam tubuh berguna sebagai sumber pembangun atau pertumbuhan,
pemeliharaan jaringan yang rusak, pengatu serta untuk mempertahankan daya
tahan tubuh terhadap serangan penyakit tertentu.
Asupan lemak adalah jumlah total lemak yang bersumber dari makanan
dan minuman yang dikonsumsi anak tersebut. Fungsi lemak antara lain
sebagai sumber utama energi atau cadangan dalam jaringan tubuh dan
bantalah bagi organ tertentu dari tubuh, sebagai sumber asam lemak, sebagai
sumber pelarut vitamin larut lemak. Kurangnya asupan kalori dan gizi makro
khususnya konsumsi karbohidrat dan lemak, bisa saja dipengaruhi kondisi
sosial ekonomi anak tersebut.
2.3 Tatalaksana untuk Penderita Gizi Buruk
Menurut Depkes RI, penanganan pada pasien dengan gizi buruk dibagi atas 4
fase yang harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8-14), fase
rehabilitasi (Minggu ke 3-6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7-26). Perawatan balita
gizi buruk dilaksanakan di Puskesmas Perawatan atau Rumah Sakit setempat dengan
Tim Asuhan Gizi yang terdiri dari dokter, nutrisionis/dietisien dan perawat,
melakukan perawatan balita gizi buruk dengan menerapkan 10 langkah tatalaksana
anak gizi buruk meliputi 4 yang telah disebutkan di atas dengan masing-masing
tujuannya, yakni fase stabilisasi untuk mencegah/mengatasi hipoglikemia, hipotermi
dan dehidrasi, fase transisi, fase rehabilitasi untuk tumbuh kejar dan tindak lanjut.
Dimana tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sebagai berikut:
Tabel 2.3.1 Sepuluh Langkah Tatalaksana Gizi Buruk27
Berikut ini fase-fase yang dapat dilakukan dalam pengaturan diet penderita gizi
buruk;
A. Fase Stabilisasi
Pada fase ini, pemberian jumlah formula diberikan secara bertahap dengan
tujuan memberikan makanan awal supaya anak dalam kondisi stabil. Formula
hendaknya hipo osmolar rendah laktosa, porsi kecil dan sering. Setiap 100 ml
mengandung 75 kal dan protein 0,9 gram. Diberikan makanan formula 75 (F75).
Resomal dapat diberikan apabila anak diare/muntah/dehidrasi, 2 jam pertama
setiap ½ jam, selanjutnya 10 jam berikutnya diselang-seling dengan F75.28
Bila anak mendapat ASI maka tetap diteruskan, dianjurkan memberi
formula 75 (F75) dengan menggunakan cangkir/gelas, Bila anak terlalu lemah
berikan dengan sendok/pipet. Pemberian formula 75 (F75) dan jadwal makanan
harus disusun sesuai dengan kebutuhan anak.29
Tabel 2. Kebutuhan Zat Gizi Fase Stabilisasi28
Zat Gizi Stabilisasi (Hari ke 1-7)
Energi 80-100 kkal/kgBB/hari
Protein 1-1,5 gram/kgBB/hari
Cairan Cairan 130 ml/kgBB/hari
Fe Sulfas ferosus 200 mg + 0,25 mg asam folat, sirup besi
150 ml
Vitamin A
- Bayi< 6 bulan ½ kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (warna biru)
- Bayi 6 - 11 bulan 1 kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (warna biru)
- Balita 12-60
bulan
1 kapsul vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah)
Vitamin lain
- Vitamin C
- Vitamin B
kompleks
- Asamfolat
Mineral lain Pemberiannya dicampur dengan F75, F100 dan F135
- Zinc
- Kalium
- Natrium
- Magnesium
Berikut adalah contoh formula dari F-75 starter30:
1. Tepung susu full cream 35 g, 100 g gula, 20 g (atau ml) minyak, 20 ml
elektrolit/ larutan mineral, tambahkan air hingga 1000 ml.
2. Susu sapi full cream (segar atau telah diawetkan) 300 ml, 100 g gula, 20 g
(atau ml) minyak, 20 ml elektrolit / larutan mineral, tambahkan air hingga
1000 ml.
Pemantauan pada fase stabilisasi3:
1. Jumlah yang diberikan dan sisanya
Usahakan pemberian F-75 secara oral. Bila anak tidak menghabiskan,
sisanya diberikan lewat NGT, atau kalau tidak bisa lewat oral berikan
semuanya lewat NGT.
2. Banyaknya muntah
3. Frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja
4. Berat badan (harian)
5. Perhatikan masa tumbuh kejar balita (catch-up growth)
B. Fase Transisi
Pada fase ini anak mulai stabil dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak
(catch-up). Diberikan F100, pada setiap 100 ml F100 mengandung 100 Kal dan
protein 2,9 gram.31
Pemberian makan diberikan secara perlahan-lahan untuk menghindari risiko
gagal jantung yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam
jumlah banyak secara mendadak. Pemberian ASI tetap dilakukan dan ditambah
pemberian formula 100 (F100) karena energi dan protein ASI tidak akan
mencukupi untuk tumbuh-kejar anak.29
Tabel 3. Kebutuhan Zat Gizi Fase Transisi28
Zat Gizi Stabilisasi (hari ke 8-14)
Energi 100-150 kkal/kgBB/hari
Protein 2-3 gram/kgBB/hari
Cairan 150 ml/kgBB/hari
Fe Sulfas ferosus 200 mg + 0,25 mg asamfolat, sirup
besi 150 ml
Vitamin A
- Bayi < 6 bulan ½ kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (warna biru)
- Bayi 6 - 11 bulan 1 kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (warna biru)
- Balita 12-60
bulan
1 kapsul vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah)
Vitamin lain Diberikan sebagai multivitamin. Diawali 5 mg,
selanjutnya 1 mg/hari
- Vitamin C
- Vitamin B
kompleks
- Asam folat
Mineral lain Pemberiannya dicampur dengan F75, F100 dan
F135
- Zinc
- Kalium
- Natrium
- Magnesium
Berikut adalah contoh Formula F-100 catch-up29 :
1. Tepung susu full cream 110 g, 50 g gula, 30 g (atau ml) minyak, 20 ml
elektrolit/ larutan mineral, tambahkan air hingga 1000 ml.
2. Susu sapi full cream (segar atau telah diawetkan) 880 ml, 75 g gula, 20 g
(atau ml) minyak, 20 ml elektrolit / larutan mineral, tambahkan air hingga
1000 ml.
Pemantauan pada fase transisi28:
1. Frekuensi nafas dan denyut nadi
Bila terjadi peningkatan frekuensi nafas > 5 kali/menit dan denyut nadi > 25
kali/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume
pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume
seperti diatas.
2. Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
C. Fase Rehabilitasi
Tujuan Terapi gizi pada fase ini adalah untuk mengejar pertumbuhan anak.
Diberikan setelah anak sudah bisa makan dengan normal. Makanan padat
diberikan pada fase rehabilitasi berdasarkan berat badan, BB <7 kg diberi MP-
ASI dan BB≥ 7 kg diberi makanan balita.
Pada tahap rehabilitasi ini, secara perlahan anak diperkenalkan pada
makanan keluarga.28 Apabila berat badan anak masih kurang dari 7 kg, maka
tindakan yang dilakukan adalah memberikan F-100 ditambah dengan makanan
bayi lumat dan sari buah. Apabila berat badan anak sudah lebih atau sama
dengan 7 kg, maka tindakan yang dilakukan adalah memberikan F-100 ditambah
dengan makanan anak lumat dan buah-buahan.
Dapat diberikan juga makanan formula 135 (F 135) dengan nilai gizi setiap
100 ml F135 mengandung energi 135 Kal dan protein 3,3 gram.32
Tabel 4. Kebutuhan Zat Gizi Fase Rehabilitasi28
Zat Gizi Stabilisasi (minggu ke 3-6)
Energi 150-200 kkal/kgBB/hari
Protein 3-4 gram/kgBB/hari
Cairan Cairan 150-200 ml/kgBB/hari
Fe Berikan awal selama 4 minggu
Vitamin A
- Bayi< 6 bulan ½ kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (warna biru)
- Bayi 6 - 11
bulan
1 kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (warna biru)
- Balita 12-60
bulan
1 kapsul vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah)
Vitamin lain Diberikan sebagai multivitamin
- Vitamin C
- Vitamin B
kompleks
- Asamfolat
Mineral lain Pemberiannya dicampur dengan F75, F100 dan F135
- Zinc
- Kalium
- Natrium
- Magnesium
Berikut adalah contoh Formula F-135 catch-up :29
1. Tepung susu full cream 130 g, 70 g gula, 40 g (atau ml) minyak, 20 ml
elektrolit/ larutan mineral, tambahkan air hingga 1000 ml.
2. Susu sapi full cream (segar atau telah diawetkan) 880 ml, 50 g gula, 60 g
(atau ml) minyak, 20 ml elektrolit / larutan mineral, tambahkan air hingga
1000 ml.
Selain mengatur pola asupan anak, perlu diberikan stimulasi- stimulasi
untuk merangsang tumbuh kembang anak. Pada KEP berat / gizi buruk terjadi
keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, karenanya orangtua wajib
untuk memberikan :
1. Kasih sayang.
2. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan.
3. Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari.
4. Rencanakan aktivitas fisik segera setelah sembuh.
5. Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain, dsb).
Pemantauan fase rehabilitasi3:
1. Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
2. Setiap minggu kenaikan berat badan dihitung jika:
a. Baik bila kenaikan bb ≥ 50 g/Kg bb/minggu.
b. Kurang bila kenaikan bb < 50 g/Kg bb/minggu
D. Fase Tindak Lanjut
Fase tindak lanjut dilakukan di rumah setelah anak dinyatakan sembuh, bila
BB/TB atau BB/PB ≥ -2 SD, tidak ada gejala klinis dan memenuhi criteria selera
makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan, ada perbaikan
kondisi mental, anak sudah dapat tersenyum, duduk, merangkak, berdiri atau
berjalan sesuai umurnya, suhu tubuh berkisar antara 36,5-37,7 oC, tidak muntah
atau diare, tidak ada edema, dan terdapat kenaikan BB sekitar 50g/kg
BB/minggu selama 2 minggu berturut-turut.
Mineral mix digunakan sebagai bahan pembuat larutan yang dapat diberikan
sebagai asupan pada anak gizi buruk. Mineral mix ini dikembangkan oleh WHO
yang digunakan sebagai bahan tambahan untuk membuat Rehydration Solution
for Malnutrition (ReSoMal) dan formula WHO.28
Tabel 5. Nilai Gizi Formula28
Bahan MakananPer 1000
mlF75 F100 F135
Formula WHO
Susu skim bubuk Mg 25 85 90
Gula pasir Mg 100 50 65
Minyaksayur Mg 30 60 75
Larutan elektrolit Ml 20 20 27
Tambahkan air Ml 1000 1000 1000
Nilai Gizi
Energi Kkal 750 1000 1350
Protein G 9 29 33
Laktosa G 13 42 48
Kalium Mmol 36 59 63
Natrium Mmol 6 19 22
Magnesium Mmol 4,3 7,3 8
Seng Mg 20 23 30
Tembaga Mg 2,5 2,5 3,4
% Energi protein - 5 12 10
% Energilemak - 36 63 67
Osmolaritas mosml 413 419 508
Selain melakukan pola pemberian makan yang baik, stimulasi harus tetap
dilanjutkan dirumah setelah pasien dipulangkan dan ikuti pemberian makanan
sesuai ketentuan, dan aktivitas bermain. Nasehatkan kepada orang tua untuk :
1. Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di
Puskesmas.
2. Pelayanan di PPG untuk memperoleh PMT-Pemulihan selama 90 hari. Ikuti
nasehat pemberian makanan dan berat badan anak selalu ditimbang setiap
bulan secara teratur di Posyandu/Puskesmas.
3. Pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang
padat.
4. Penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu.
5. Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal.
6. Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000
SI) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus.2
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gizi buruk merupakan keadaan dimana terjadinya ketidakseimbangan antara
kebutuhan gizi dan asupan, akibat dari defisiensi energi, defisiensi protein, dan defisiensi
zat gizi lain, serta akibat adanya penyakit infeksi, aktivitas inflamasi pada komposisi tubuh
dan fungsi biologis yang menurun dalam jangka panjang. Salah satu contoh gizi buruk
yaitu kekurangan energi protein (KEP). Gejala klinis KEP dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Penyebab terjadinya masalah gizi buruk ini dibagi menjadi 4 aspek, yaitu penyebab
langsung, penyebab tidak langsung, masalah utama, dan masalah dasar. Penyebab langsung
terjadi karena asupan makanan yang kurang, dan terjadi penyakit infeksi. Penyebab tidak
langsung terjadi pada ketersediaan pangan rumah tangga, asuhan ibu terhadap anak, dan
pelayanan kesehatan lingkungan. Masalah utama terjadi gizi buruk karena kemiskinan,
pendidikan dan pengetahuan orang tua yang kurang, serta pendapatan rendah. Masalah
dasar terjadi gizi buruk karena krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis politik.
Penanganan pasien dengan gizi buruk dibagi atas 4 fase, yaitu fase stabilisasi (Hari
1-7), fase transisi (Hari 8-14), fase rehabilitasi (Minggu ke 3-6), dan fase tindak lanjut
(Minggu ke 7-26). Fase-fase tersebut merupakan penerapan dalam 10 langkah tatalaksana
gizi buruk. Adanya 10 langkah ini dapat membantu mengurangi masalah gizi buruk dengan
diberikan makanan F75 dan F100.
DAFTAR PUSTAKA
1. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010
2. Nilesh M. Mehta, Mark R. Corkins, Beth Lyman, Ainsley Malone, Praveen S.
Goday, Liesje (Nieman) Carney, Jessica L. Monczka, Steven W. Plogsted, W.
Frederick Schwenk. Defining Pediatric Malnutrition: A Paradigm Shift Toward
Etiology-Related Definitions. Journal of Parenteral and Enteral
Nutrition.2013;20(10):1-22
3. The United Nations Children's Fund (UNICEF) [Internet] 2006 May 4 [cited 2013
Nov 13].
Available from:
http://www.unicef.org/progressforchildren/2006n4/index_undernutrition.html
4. Available at www.fao.org/docrep/w0073e/w0073e05.htm
5. Babatunde, A.O., Y.Q. Zhao., M. O’Neill., dan B. O’Sullivan., 2008. “Constructed
wetlands for environmental pollution control : A review of developments, research
and prectice in Ireland”. Environmental International, 34 : 116-126.
6. Cogill, B., 2003. Anthropometric Indicators Measurement Guide. Available from:
http://www.fantaproject.org/downloads/pdfs/anthro_1.pdf.
7. Kementrian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang
Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. 2010
8. Luis S. Undernutrition. The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Globalization, First
edition. 2012
9. Hassan, R., Alatas, H., Latief, A., Napitupulu, P.M., Pudjiadi, A., Ghazali, M.V., et
al, 2005. Gizi: In Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak, 11th ed. Jakarta: Infomedika
Jakarta, 313 – 369
10. Food Agriculture Organization. Human Nutrition in the Developing World [Internet].
[cited 20103 Dec 8].
Available from: http://www.fao.org/docrep/w0073e/w0073e05.htm#P2919_330117
11. The neglected crisis of undernutrition: Evidence for action. Department for
International Development. United Kingdom. 2009
12. Causes of malnutrition.[internet].[cited 2013 Des 04]
http://labspace.open.ac.uk/mod/oucontent/view.php?id=452585§ion=1.6
13. A. Chusnul Chulug Ar, Eriza Fadhilah, Markus Bahabol. Hubungan asupan makanan
dengan status gizi anak Sekolah dasar (studi kasus siswa SD kelas V Kecamatan
Dekai Suku Momuna Kabupaten Yahukimu) Propinsi Papua. Malang: Universitas
Brawijaya; 2013
14. MAZIKO-Nutrition Foundarions for mother and children.
www.care.ca/our-work/what-we-do/maternal-and-child-health/maziko
15. Soekirman. Ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat. Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional; 2000
16. Rodriguez L, et al malnutrition and gastrointestinal and respiratory infections in
Children: A Public Health Problem. int J environ. res. Public Health 2011,8,1174-
1205
17. Nugraheni Restu Kusumaningrum. Pengaruh tingkat pendidikan ibu, aktivitas
ekonomi ibu, dan pendapatan keluarga terhadap status gizi balita di Kecamatan Simo
Kabupaten Boyolali [Skripsi].Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2003
18. Tabor S, Soekiman, Martianto D. Keterkaitan antara krisis ekonomi, kemiskinan,
ketahanan pangan, dan keadaan gizi, Widyakarya Nasional Pangan dan gizi VII.
Jakarta: CV. Golden kaki dragon; 2000. 41-80
19. Endang Lastianawati. Diversifikasi pangan dalam mencapai ketahanan pangan.
AgronobiS. September 2010; 2(4): 11-19
20. Rettha A. 2010. Pola Konsumsi Makanan Hewani Dan Status Gizi Remaja SMA
Dengan Status Sosial Ekonomi Berbeda di Bogor. Institut Pertanian Bogor
21. Wiko saputra, Rahmah Hida nurrizka. Faktor demografi dan risiko gizi buruk dan
gizi kurang. Makara, kesehatan. Desember 2012; 16(2): 95-101
22. Aeda Ernawati. Hubungan faktor social ekonomi, hygiene sanitasi lingkungan,
tingkat konsumsi dan infeksi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun di Kabupaten
Semarang tahun 2003 [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2006.
23. Agus, Rosari (2008) HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN IBU
TENTANG GIZI DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA (1-5 TAHUN) DI
JORONG SURAU LAUT WILAYAH KERJA PUSKESMAS BIARO KECAMATAN IV
ANGKEK KABUPATEN AGAM TAHUN 2008. Other thesis, Fakultas Kedokteran
24. Dian Hani Ulfani, Drajat Martianto, Yayuk Farida Baliwati. Faktor-Faktor Sosial
Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat Kaitannya dengan Masalah gizi Underweight,
Stunted, dan Wasted di Indonesia : Pendekatan Ekologi Gizi. Jurnal Pangan dan Gizi.
2011;6(1):29-65
25. Hapsari Sulistya K, Sunarto. Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Protein Dengan
Kejadian Gizi Kurang Anak Usia 2-5 tahun. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah
Semarang. April 2013; 2(1):25-30
26. Muchlis N, Hadju V, Jafar N. Hubungan Asupan Energy dan Protein Dengan Status
Gizi Balita di kelurahan Tamamaung. Program Studi Ilmu Gizi FKM Universitas
Hasanuddin Makassar. 2012:1-8
27. Yayang Akhyar, Christoper A. P, Riri Julianti, Ruth Tambunan, Ayu Hasriani. 2009.
Gizi Buruk (Severe Malnutrition). Fakultas Kedokteran Riau. Pekanbaru
28. Diah K. Nutrisi dan GiziBuruk. Mandala of Health Volume 4 No. 1, Januari 2010.
FK UNSOED. Purwokerto
29. Cintia A. Gambaran Tatalaksana Asuhan Gizi bagi Pasien Gizi Buruk di Ruang
Perawatan Instalasi Gizi RSUD Depati Hamzah Pangkal Pinang tahun 2010. FK UIN
Syarif Hidayatullah. Jakarta
30. Ashworth A, Khanum S, Jackson A, Schofield C. Guidelines for the Inpatient
Treatment of Severely Malnourished Children. Geneva: WHO Library Cataloguing-
in-Publication Data; 2003.
31. Burton, J.L., et al., 2007. Oxford Concise Medical Dictionary. 7th ed. New York:
Oxford University Press:524.
32. Bain LE, et al. Malnutrition in sub-saharan Africa: burden, causes, and prospects.
Pan African Medical Journal. 2013; 15:120. doi:10.11604/pamj.2013.15.120.2535