material energitika_molten carbonate fuel cell
DESCRIPTION
Molten Carbonate Fuel CellTRANSCRIPT
MAKALAH MATERIAL ENERGITIKA
MOLTEN CARBONATE FUEL CELL (MCFC)
Nama Kelompok 3:
Lilis Triyowati Andriani (115061101111009)
Renanto Pandu Wirawan (115061107111009)
Wahyu Dwi Chrismanto (115061105111008)
Siti Fatimah (125061100111006)
Belda Amelia Junisu (125061100111030)
Indah Khaeronnisa P. S. (125061107111010)
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih penulis ucapkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan karya tulis ilmiah dengan judul “MOLTE CARBONATE FUEL
CELL (MCFC)”. Makalah ini disusun untuk memperdalam ilmu mengenai fuel
cell khususnya molten carbonate fuel cell. Pembuatan makalah ini didasarkan
pada olah pikir penulis yang didukung dengan beberapa studi literatur yang
terkait.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah
berperan selama proses penyusunan karya tulis ini, yaitu :
1. Dosen Pembimbing mata kuliah Mikrobiologi Industri,
2. Teman-teman tim penulis, dan
3. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis mengharapkan dengan adanya makalah ini, aplikasi dan
penambahan wawasan mengenai ilmu yang terkait dapat terlaksana. Kami
menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini,
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
demi kesempurnaan karya tulis ini.
Malang, 30 Desember 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini, seiring dengan semakin mahal dan terbatasnya cadangan
minyak bumi, serta dampak dari efek rumah kaca yang semakin parah
menyebabkan pemakaian energi alternatif yang ramah lingkungan dan sederhana
sangatlah diperlukan. Salah satunya adalah energi hidrogen. Hidrogen merupakan
salah satu senyawa kimia yang paling sederhana dan paling banyak di alam .
Energi yang dimiliki oleh hidrogen dapat diubah menjadi energi listrik dengan
bantuan sebuah alat yang dinamakan fuel cell. Bagian terpenting dalam fuel cell
adalah dua lapis elektroda dan elektrolit.
Sejak dipergunakan untuk pengembangan eksplorasi luar angkasa oleh
NASA, fuel cell mulai mendapat perhatian khusus dari para peneliti dan hingga
saat ini, telah muncul berbagai macam jenis fuel cell. Berdasarkan atas perbedaan
elektrolit yang digunakan, fuel cell dapat dibagi menjadi lima tipe, yaitu polymer
electrolyte fuel cell (PEFC), alkaline fuel cell (AFC), phosphoric acid fuel cell
(PAFC), molten carbonate fuel cell (MCFC), dan solid oxide fuel cell (SOFC).
Kelima tipe tersebut, mempunyai suhu dan skala energi yang berbeda. Lima tipe
tersebut kemudian dipisah menjadi dua, yaitu fuel cell yang bekerja pada suhu
tinggi dan fuel cell yang bekerja pada suhu rendah.
Salah satu tipe elektrolit yang dapat bekerja pada suhu tinggi adalah
MCFC (Molten Carbonate Fuel cell). Elektrolit yang digunakan adalah garam
karbonat (Li2CO3, K2CO3, Na2CO,dll) dalam bentuk lelehan. Selain elektrolit,
komponen-komponen yang menyusun MCFC akan dijelaskan lebih lanjut dalam
makalah ini beserta keuntungan dan kelemahan dari tipe fuel cell jenis ini serta
hal-hal lain yang menyangkut MCFC.
1.2 Tujuan
1.Dapat menjelaskan bagian-bagian , performance, dan prinsip kerja fuel
cell yang menggunakan elektrolit lelehan garam karbonat (Molten
Carbonate Fuel cell).
2.Dapat menjelaskan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh fuel
cell yang menggunakan elektrolit lelehan garam karbonat (Molten
Carbonate Fuel cell).
3.Dapat menjelaskan aplikasi dari fuel cell yang menggunakan elektrolit
lelehan garam karbonat (Molten Carbonate Fuel cell).
1.3 Manfaat
Dapat menambah pengetahuan pembaca dan penulis tentang molten
carbonate fuel cell (MCFC) baik komponen-komponen penyusun sel ini,
performance, prinsip kerja, aplikasinya dalam industri-industri skala besar atau
lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
2.1.1 Fuel Cell
Fuel cell adalah sebuah alat elektrokimia yang mirip dengan baterai,
tetapi berbeda karena pada fuel cell reakstan yang terpakai dapat diisi secara
kontinyu. Fuel cell memproduksi listrik dari penyediaan bahan bakar hidrogen
dan oksigen. Selain itu, elektrode dalam baterai bereaksi dan diganti pada saat
baterai diisi, sedangkan elektrode fuel cell adalah katalitik dan relatif stabil.
Reaktan yang biasanya digunakan dalam fuel cell adalah hidrogen di sisi
anode dan oksigen di sisi katode. Pada umumnya, aliran reaktan mengalir masuk
dan produk yang dihasilkan mengalir keluar. Sehingga operasi jangka panjang
dapat terus menerus dilakukan selama aliran tersebut dapat dijaga
kelangsungannya.
Keuntungan menggunakan fuel cell , yaitu dengan menggunakan gas
murni, fuel cell hanya akan menghasilkan air. Selain itu, fuel cell mampu
mengkonversi energi kimia langsung menjadi energi listrik dengan efisiensi yang
tinggi, bahkan pada kapasitas yang kecil sekalipun; tidak melalui proses
pembakaran; tidak terdapat komponen bergerak dalam fuel cell, sehingga
keandalan teknisnya dapat disejajarkan dengan baterai; efisiensi naik dengan
penurunan suhu operasi. Fuel cell beroperasi tanpa menghasilkan suara bising dan
hampir tanpa limbah; strukturnya compact; lebih ringan dan kecil dibanding
dengan perangkat sistem pembangkit listrik lain, kecuali baterai; waktu yang
diperlukan untuk konstruksi dan instalasi pembangkit listrik lebih pendek
dibanding sistem pembangkit batu bara dan nuklir; biaya transmisi lebih rendah
karena fuel cell dapat ditempatkan di berbagai lokasi sesuai kebutuhan.
Namun ada juga beberapa kekurangan fuel cell secara umum, yaitu harga
pasaran yang relatif lebih tinggi dari listrik yang ada saat ini; belum tersedianya
infrastruktur yang memadai, atau biaya pengadaannya tinggi; hidrogen tidak
tersedia dengan mudah untuk digunakan sebagai bahan bakar; kecepatan
reaksinya lambat dan tingkat keamanannya rendah.
Fuel cell memiliki jenis yang beragam dengan tingkat pengembangan
dan aplikasi yang berbeda pula. Jenis fuel cell dapat dibedakan berdasarkan
beberapa karateristik, diantaranya adalah jenis elektrolit dan bahan bakar yang
digunakan. Klasifikasi fuel cell yang umum berdasarkan tipe elektrolit dan bahan
bakar diantaranya:
1. Alkaline Fuel Cell (AFC) / sel bahan bakar alkali
2. Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC) / sel bahan bakar asam fosfat
3. Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) / sel bahan bakar oksida padat
4. Direct Methanol Fuel Cell (DMFC) / sel bahan bakar methanol
5. Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC) / sel bahan bakar
membrane pertukaran ion
6. Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) / sel bahan bakar karbonate
2.1.2 Sel Bahan Bakar Karbonat / Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)
Sel bahan bakar lelehan karbonat atau MCFC (Molten Carbonate Fuel
cell) adalah sel bahan bakar yang beroperasi pada suhu tinggi (suhu 650°C atau
lebih). Komponen-komponen dari sel bahan bakar ini adalah elektroda (katoda
dan anoda), elektrolit (lelehan garam alkali karbonat, seperti Li2CO3, K2CO3,
Na2CO3), dan pendukung elektrolit atau matriks keramik inert berpori (LiAlO2)
yang merupakan tempat elektrolit disuspensikan.
Reaksi MCFC berlangsung pada suhu 6500C. Dengan suhu yang tinggi
ini, bermacam-macam bahan bakar dapat digunakan. Bahan bakarnya adalah
bahan bakar yang dapat dikonversi untuk menghasilkan hidrogen. Hal ini sangat
menguntungkan sebab ketahanan katalis terhadap racun karbon dioksida lebih
tinggi. MCFC ini menggunakan katalis nikel yang lebih murah dari pada platina.
Pada suhu operasi yang digunakan (6500C), batu bara lebih sesuai untuk
bahan bakar sel. MCFC tahan terhadap keracunan akibat karbon monoksida atau
karbon dioksida, bahkan MCFC dapat menggunakan CO dan CO2 sebagai bahan
bakar untuk bahan bakar dari gas yang berasal dari batubara. Hal inilah yang
membuat MCFC dapat digunakan untuk mengkonversi batubara, dengan asumsi
bahwa MCFC dapat tahan terhadap sulfur dan partikulat hasil konversi batubara
menjadi hidrogen.
2.2 Sejarah
Sel bahan bakar karbonat leleh (molten carbonate fuel cells) dan oksida
padat(Solid Oxide Fuel Cells) adalah perangkat / alat yang beroperasi pada suhu
tinggi. Sejarah kedua sel ini tampaknya berakar pada garis penelitian yang sama,
dengan munculnya perbedaan yang signifikan di akhir tahun 1950-an.
Pada 1930, Emil Baur dan Preis H. di Swiss bereksperimen dengan suhu
tinggi, dengan elektrolit oksida padat. Mereka mengalami masalah dengan
konduktivitas listrik dan reaksi kimia yang tidak diinginkan antara elektrolit dan
berbagai gas (termasuk karbon monoksida). Dekade berikutnya, OK Davtyan dari
Rusia menjelajahi area penelitian ini lebih lanjut, tetapi OK Davtyan sedikit
sukses dalam hal ini. Pada akhir 1950-an, ilmuwan Belanda GHJ Broers dan JAA
Ketelaar mulai memgembangkan penelitian–penelitian sebelumnya tentang ini
dan memutuskan bahwa pembatasan oksida padat pada waktu itu mungkin
membuat kemajuan jangka pendek. Mereka berfokus hanya pada elektrolit
leburan (cair) garam karbonat (molten carbonate). Pada tahun 1960, mereka
melaporkan bahwa pembuatan sel yang berlangsung selama enam bulan
menggunakan elektrolit "(campuran lithium - natrium dan kalium karbonat). Pada
pertengahan 1960-an , Pusat Penelitian dan Pengembangan Angkatan Darat AS
Mobility Equipment ( MERDC ) di Ft . Belvoir menguji beberapa sel karbonat
cair yang dibuat oleh Texas Instruments. Output ini berkisar dalam ukuran dari
100 watt sampai 1.000 watt
2.3 Komponen sel
2.3.1 Perkembangan Anoda dan Katoda Pada MCFC
Data pada tabel 6.1 menunjukkan rentetan dari perkembangan teknologi
komponen MCFC. Dalam pertengahan tahun 1960 bahan elektrode masih
menggunakan logam, tetapi seiring perkembangan teknologi, bahan elektrode
menjadi berbasis campuran Ni pada anode dan oksida pada katode. Sejak
pertengahan tahun 1970, bahan elektrode dan elektrolit (molten carbonate/LiAlO2)
tidak berubah. Sebuah perkembangan besar pada tahun 1980 merupakan evolusi
dalam pembuatan struktur elektrolit. Selama 28 tahun terakhir, kinerja dari sel
tunggal meningkat dari 10mW/cm2 menjadi >150mW/cm2.
Selama tahun 1980, kinerja dan daya tahan dari susunan MCFC
meningkat. Pada gambar 6.3 menunjukkan perkembangan kinerja sel tunggal dan
tegangan sel dari susunan kecil pada suhu 650 oC. Beberapa susunan MCFC telah
dikembangkan dengan susunan sel yang luas selnya hingga 1m2.
Proses konvensional untuk membuat struktur elektrolit hingga pada
tahun 1980 masih menggunakan proses hot pressing ( sekitar 5.000 psi) campuran
antara LiAlO2 dan karbonat alkali ( biasanya > 50 vol % dalam cairan ) pada suhu
sedikit di bawah titik leleh garam karbonat ( misalnya, 490 ° C untuk elektrolit
yang mengandung 62 mol Li2CO3 - 38 mol K2CO3 ). Struktur elektrolit ini
(disebut juga “electrolyte tiles”) relatif tipis (1-2 mm) dan mengalami kesulitan
dalam produksi skala besarnya karena membutuhkan peralatan dan presser yang
berukuran besar. Struktur elektrolit yanng diproduksi dengan proses hot pressing
memilliki karakteristik :
1. Ruang kosong ( porositas >5)
2. Keseragaman mikrostruktur rendah
3. Biasanya kekuatan meknik rendah
4. iR drop tinggi
Untuk mengatasi kekurangan dari struktur elektrolit yang diproses dengan
hot pressing, dapat digunakan alternatif proses lainnya, seperti tape casting dan
deposisi elektroforesis dalam pengembangan pembuatan struktur elektrolit yang
tipis. Alternatif proses yang berhasil dikembangkan, yaitu tape casting, proses ini
digunakan pada industri keramik. Proses ini melibatkan dispersi bubuk keramik
dalam pelarut yang mengandung binders yang terlarut, pelarut yang digunakan
biasanya merupakan senyawa organik karena LiAlO2 akan bereaksi dengan H2O.
Selain itu proses ini juga melibatkan plasticizers dan penambahan adiktif untuk
menambah yield proper slip rheology.
Proses tape casting dan deposisi elektroforesis merupakan proses yang
disetujui untuk scale-up dan struktur elektrolit tipisnya sekitar 0,25-0,5 mm dapat
dihasilkan. Hambatan ohmic dari struktur elektrolit dan polarisasi ohmic memiliki
pengaruh yang besar terhadap tegangan operasi MCFC. Hal ini dipengaruhi oleh
komposisi elektrolit itu sendiri yang dapat berdampak pada kinerja dan ketahanan
MCFC. Konduktivitas ion yang tinggi dan polarisasi ohmic rendah dapat dicapai
oleh elektrolit yang kaya Li karena Li2CO3 memiliki konduktivitas ion yang relatif
tinggi dibandingkan dengan Na2CO3 dan K2CO3. Namun, kelarutan gas dan
difusivitasnya rendah dan korosi dalam Li2CO3 sangat cepat.
Pertimbangan utama anode yang berbasis Ni dan katode NiO adalah
stabilitas struktural dan penguraian NiO. Sintering dan deformasi mekanik dari
pori anoda yang berbasis Ni di bawah beban tekan menyebabkan gangguan
kinerja dengan redistribusi elektrolit dalam susunan MCFC. Penguraian NiO
dalam elektrolit karbonat cair (molten carbonate) terlihat jelas ketika digunakan
elektrolit yang tipis. Meskipun kelarutan NiO dalam elektrolit karbonat kecil
(sekitar 10 ppm), ion Ni berdifusi dalam elektrolit menuju anode dan logam Ni
dapat mengendap di daerah dimana H2 jarang ditemui. Pengendapan Ni
memberikan tempat untuk ion Ni dan memicu difusi Ni terlarut dari katode. Hal
ini menyebabkan tekanan parsial dari CO2 tinggi karena penguraiannya
melibatkan mekanisme seperti berikut ini :
Penguraian NiO dapat berhubungan dengan sifat asam/basa dari karbonat cair
(molten carbonate).
Berikut ini penguraian NiO dalam molten carbonat yang bersifat asam :
Berikut ini penguraian NiO dalam molten carbonat yang bersifat basa :
2.3.2 Pengembangan Komponen
a. Anoda
Anoda terbuat dari campuran Ni-Cr atau Ni-Al. Cr ditambahkan untuk
mengatasi masalah sintering pada anoda. Anoda Ni-Cr rentan jika ditempatkan
dibawah beban torsi yang diperlukan di dalam susunan untuk meminimalisir
kontak hambatan antar komponen. Pengembang telah mencoba bahwa jumlah Cr
yang lebih sedikit (8%) dapat mengurangi elektrolit yang hilang, tetapi beberapa
pengembang juga telah menemukan bahwa pengurangan Cr sebanyak 2 % dapat
meningkatkan pergerakan difusi.
Meskipun campuran antara Cr-Al dan diperkuat dengan adanya Ni dapat
memberikan kestabilan, non-sintering, creep-resistant anode tetapi biaya elektrode
yang terbuat dari Ni relatif tinggi. Campuran, misalnya Cu-Al dan LiFeO2, tidak
dapat digunakan sebagai alternatif karena belum menunjukkan kekuatan atau
kinerja creep yang cukup. Karena alasan inilah, pengembang fokus pada cara
untuk mengurangi biaya produksi dari anode yang terbuat dari campuran Ni.
Ada kebutuhan untuk toleransi sulfur yang lebih baik di MCFC,
terutama ketika mempertimbangkan operasi dengan batubara. Manfaat potensi
untuk sel toleran terhadap sulfur adalah untuk menghilangkan peralatan
kebersihan yang berdampak pada efisiensi sistem. Hal ini terutama berlaku jika
diperlukan suhu pembersihan yang rendah, karena efisiensi sistem dan biaya
modal akan terkuras ketika suhu bahan bakar gas pertama berkurang, kemudian
meningkat pada tingkat suhu sel tertentu. Pengujian dilakukan pada anoda
keramik untuk mengatasi masalah ini, termasuk keracunan sulfur. Anoda akan
diuji dengan LiFeO2 undoped, LiFeO2 doped, Mn dan Nb. Pada saat ini, tidak ada
alternatif anoda telah diidentifikasi . Sebaliknya , pekerjaan di masa depan akan
fokus pada uji untuk lebih memahami perilaku materi dan mengembangkan
bahan alternatif dengan penekanan pada toleransi sulfur.
b. Katoda
Syarat bahan yang digunakan sebagai katoda :
1. Memiliki konduktivitas elektrik yang memadai
2. Memiliki kekuatan struktural
3. Laju penguraian yang rendah dalam molten carbonate untuk
menghindari pengendapan logam dalam struktur elektrolit.
Katode yang terbuat dari NiO memiliki konduktivitas dan kekuatan
struktural yang baik. Namun, dalam pengujian awal , pengembang dari fuel cell
menemukan bahwa nikel dilarutkan, kemudian diendapkan dan direformasi
sebagai dendrit di matriks elektrolit akan menurunkan kinerja dan akhirnya
menyebabkan short-circuting pada sel. Penguraian katoda ternyata menjadi
kendala yang membatasi massa hidup dari MCFC, terutama dalam operasi yang
bertekanan. Pengembang menyelidiki pendekatan untuk menyelesaikan
penguraian NiO. Pendekatan lain adalah menurunkan tekanan parsial CO2. Untuk
operasi pada tekanan yang lebih tinggi (tekanan parsial CO2 lebih tinggi),
pengembang menyelidiki bahan alternatif untuk katoda dan menggunakan adiktif
dalam elektrolit untuk meningkatkan sifat basa dari elektrolit tersebut.
Katode LiFeO2 menunjukkan bahwa elektrode yang terbuat dari bahan
ini lebih stabil secara kimia , tidak ada penguraian. Namun, kinerja dari katoda ini
terbilang buruk dibandingkan katode NiO pada tekanan atmosfer karena
kinetikanya lambat. Elektrode ini cocok digunakan pada operasi yang bertekanan,
peningkatan kinerja yang lebih tinggi diharapkan dapat tercapai dengan adanya
Co-doped LiFeO2.
Ide lain untuk menyelesaikan masalahpenguraian katoda adalah untuk
merumuskan kondisi milder cell. Ini mengarah pada pendekatan menggunakan
aditif dalam elektrolit untuk meningkatkan sifat basa dari elektrolit tersebut .
Sejumlah kecil aditif memberikan tegangan sama dengan yang tanpa aditif , tetapi
jumlah yang lebih besar mempengaruhi kinerja. Tabel 6-2 menunjukkan batasan
jumlah aditif yang ditambahkan.
c. Matriks Elektrolit
Adanya bahan struktur elektrolit yang padat baik α- atau γ - LiAlO2 dengan serat
atau partikel penguat. Pengujian jangka panjang menunjukkan pertumbuhan
partikel secara signifikan dan γ untuk transformasi fasa α, menyebabkan
perubahan yang merugikan dalam struktur pori. Partikel-partikel tumbuh lebih
cepat pada suhu yang lebih tinggi , dalam atmosfer gas CO2 yang rendah. Tahap γ
stabil pada suuhu > 700 ° C , sedangkan fase α stabil pada suhu 600-650 ° C.
Pertumbuhan partikel tersebut dan transformasi fasa dapat dijelaskan oleh
mekanisme penguraian-presipitasi. Matriks juga harus cukup kuat untuk menahan
operasi mekanis dan tegangan termal, dan mempertahankan gas tetap tertutup.
Siklus termal di bawah suhu titik beku karbonat dapat menyebabkan retak akibat
stres termo-mekanis. Penguat serat keramik yang paling efektif untuk retak
defleksi yang diikuti oleh bentuk-bentuk platelet dan bola. Namun, serat keramik
yang kuat, biaya yang efektif, serta stabil belum tersedia secara komersial. Jika
ukuran partikel yang nyata berbeda , transformasi fasa lebih terkontrol oleh
ukuran partikel. Distribusi ukuran partikel lebih seragam diperlukan untuk
menjaga struktur pori yang diinginkan.
d. Elektrolit
Elektrolit yang digunakan yaitu Li2CO3/K2CO3 (62:38 mol %) untuk
pengoperasian pada tekanan atmosfer dan LiCO3/NaCO3 (52:48 atau 60:40 mol
%) untuk pengoperasian dibawah tekanan atmosfer. Komposisi elektrolit
berdampak pada aktivitas elektrokimia, korosi, dan laju penghabisan elektrolit.
Evaporasi dari elektrolit merupakan pembatasan bagi massa hidup dari MCFC.
Elektrolit Li/Na lebih baik digunakan untuk operasi pada tekanan yang lebih
tinggi dibandingkan Li/K karena memberikan kinerja yang lebih baik. Hal ini
memungkinkan elektrolit matriks harus dibuat lebih tebal untuk kinerja yang
relatif sama dengan elektrolit Li / K. Li/Na memberikan ketahanan terhadap
korosi yang lebih baik untuk mengurangi penguraian pada katoda yang bersifat
asam. Akan tetapi, Li/Na memiliki sensivitas suhu yang lebih besar sehingga
perlu ditambahkan adiktif untuk memilimalisirnya dan hal ini masih dalam tahap
pengujian.
e. Struktur Elektrolit
Ohmic losses berkontribusi sekitar 65 mV losses pada awalnya, dan bisa
meningkat sebanyak 145 mV selama 40.000 jam. Sebagian besar voltage losses
terdapat di elektrolit dan komponen katoda. Elektrolit memberikan potensi
tertinggi untuk losses karena 70% dari total sel ohmik losses terjadi pada
elektrolit. Pada saat ini, elektrolit kehilangan 25% dari persediaan awal dapat
diproyeksikan dengan luas permukaan katoda yang rendah dan dengan pilihan
material yang tepat. Daerah lain untuk perbaikan elektrolit adalah kemampuan
untuk mencegah Crossover gas dari satu elektroda ke elektroda yang lain.
f. Migrasi Elektrolit
Ada kecenderungan untuk elektrolit untuk bermigrasi dari susunan ujung
positif ke ujung negatif dari susunan . Hal ini dapat menyebabkan sel kehilangan
kinerja dibandingkan dengan sel-sel pusat. Hilangnya elektrolit adalah melalui
gasket. Bahan gasket standar berpori menyediakan saluran untuk transfer
elektrolit.
g. Plat Bipolar
Plat bipolar terdiri atas pemisah, kolektor, dan segel basah. Pemisah dan
kolektor adalah Ni berlapis 310S/316L, dan segel basah dibentuk dari aluminasi
logam. Plate mengarahkan anode dari satu sisi dan katode di sisi yang lain.
Tekanan parsial oksigen yang rendah pada sisi anoda dari adanya plat bipolar
mencegah pembentukan pelindung lapisan oksida. Termodinamika pelapisan Ni
yang stabil diperlukan untuk melindungi sisi anoda. FCE dan lainnya telah
menemukan bahwa pelapisan nikel memberikan perlindungan korosi yang sangat
baik dengan ketebalan 50 µm yang diproyeksikan untuk massa hidup >40.000
jam.
h. Jejak Spesies dari Gas Batubara
MCFC sampai saat ini telah dioperasikan pada reformed atau simulasi
gas alam dan simulasi gas batubara. Pengujian simulasi gas batubara melibatkan
konstituen dari masing-masing dan multi-trace untuk memahami operasi batubara.
Tabel 6-3 menunjukkan kontaminan dan dampaknya terhadap operasi
MCFC . Tabel menunjukkan spesies perhatian dan pembersihan bahan bakar gas
yang diperlukan untuk operasi pada gas batubara . Operasi dengan batu bara akan
memerlukan penggunaan produk gasifier.
2.4 Prinsip Operasi
Salah satu aspek yang paling menjanjikan dari karbonat cair adalah
kemungkinan menggunakan feed selain hidrogen. Bahan bakar murah, seperti
metanol, karbon gas. CO + H2 (syngas) yang dihasilkan dari konversi metana oleh
retak termal atau reaksi rereformasi dapat digunakan . Oksidator disusun oleh
campuran udara dan karbon dioksida dalam proporsi 70% dan 30% masing-
masing.
Reaksi elektrokimia yang terjadi pada elektroda adalah sebagai berikut:
o Pada katoda:
½ O2+ CO2+2e- CO32-
Reaksi global ini selalu berproses, tetapi analisis rinci menunjukkan bahwa
spesies oksigen yang teruduksi, O22-dan O2
- terlibat dalam proses reduksi.
o Pada anoda:
a) Jika hidrogen adalah bahan bakar
H2+ CO32- H2O + CO2+ 2e-
Reaksi kinetika dalam reaksi ini dianggap cepat. CO2 yang terbentuk
pada anoda didaur ulang dan dikonsumsi(digunakan) di katoda.
b) Jika metana adalah bahan bakar,itu di konversi dahulu dalam syngas
dengan vaporforming.
CH4 + H2O CO+ 3H2
Reaksi oksidasi menjadi :
H2+ CO +2CO32- 3CO2 +H2O +2e-
2.5 Kinerja
Molten Carbonates Fuel cell ini menggunakan lelehan garam karbonat
sebagai elektrolit. Lelehan garam karbonat tersebut dibuat dengan memanaskan
garam karbonat pada suhu 6500C hingga garam tersebut meleleh. Lelehan garam
tersebut dapat menghantarkan ion karbonat melalui elektrolit dari katoda ke
anoda. Di sisi anoda, ion karbonat bereaksi dengan hidrogen menghasilkan air,
karbon dioksida dan elektron. Elektron ini digunakna sebagai tenaga listrik dan
kembali lagi ke katoda. Oksigen dari udara dan karbon dioksida bereaksi dengan
elektron membentuk ion karbonium yang dihantar oleh elektrolit menuju ke sisi
anoda kembali. Reaksinya adalah sebagai berikut:
Reaksi yang terjadi adalah :
Reaksi di anoda : H2 + CO32- H2O + CO2 + 2 e-
Reaksi di katoda : ½ O2 + CO2 + 2 e- CO32-
Keseluruhan : H2 + ½ O2 + CO2 H2O + CO2
2.6 Performance
Faktor yang mempengaruhi pemilihan kondisi operasi adalah stack size,
voltage level, load requirement, laju perpindahan panas, dan harga. Kurva
performa ditentukan oleh tekanan sel, temperatur, komposisi gas, dan utilitas.
Molten Carbonates Fuel Cells (MCFC) umumnya beroperasi pada 100-200
mA/cm2 dan 750-900 mV/ sel.
Kurva performa katoda yang diperoleh pada temperatur 650 0C dengan
komposisi oksidan (12.6 persen O2 / 18.4 persen CO2/ 69 persen N2) yang
digunakan untuk MCFC dan komposisi dasar pada umumnya (33 persen O2/ 67
persen CO2) ditunjukan pada gambar 6.4. Komposisi dasar memiliki kandungan
O2 dan CO2 yang sesuai dengan perbandingan stoikiometri yang dibutuhkan
dalam reaksi yang terjadi di katoda (Persamaan 6-2). Dengan komposisi gas
tersebut, sedikit atau tidak terjadi pembatasan difusi yang terjadi di katoda karena
reaktan disediakan oleh bulk flow. Komposisi gas lainnya, yang mengandung
sebagian besar N2, menghasilkan performa katoda yang penencerannya dibatasi
oleh gas inert.
Gambar 6-4. Pengaruh Komposisi Oksidan pada Performa Katoda MCFC
pada temperatur 6500C (Kurva 1, 12.6 persen O2/ 18.4 persen CO2/ 69.0
persen N2; Kurva 2, 33 persen O2/ 67 persen CO2)
Pada tahun 1980-an, performa dari MCFC stack mengalami peningkatan
secara drastis. Selama tahun 1990, sel sebesar 1 m2 mulai diuji di dalam stack.
Saat ini, pencapaian performa stack yang setara dengan performa sel tunggal lebih
difokuskan. Sel dengan luas elektroda 0.3 m2 secara rutin diuji pada tekanan
ambient dan diatas tekanan ambient dengan perbaikan struktur elektrolit yang
dibuat pada proses tape-casting. Kemudian, dilakukan tes ketahanan pada
beberapa stack dalam kisaran 7,000 hingga 10,000 jam. Tegangan dan daya
ditunjukan pada gambar 6-5 sebagai fungsi densitas arus setelah 960 jam untuk 1
m2 stack yang terdiri dari 19 sel. Data yang didapatkan diperoleh pada temperatur
650 0C dan tekanan 1 atmosfer.
Gambar 6-5 Output Daya dan Voltase dari 1/m2 Stack MCFC dengan 19
sel Setelah 96 jam Pada 965 0C dan 1 atm, Pemanfaatan Bahan Bakar 75
Persen
2.6.1 Pengaruh Tekanan
Ketergantungan dari potensial sel reversible pada tekanan dapat dilihat
dari persamaan Nernst. Untuk perubahan tekanan dari P1 ke P2, perubahan
potensial reversible dapat ditentukan melalui persamaan ,yaitu:
Dimana a dan c melambangkan anoda dan katoda. Di dalam MCFC
dengan tekanan anoda dan katoda yang sama (P1=P1,a=P1,c dan P2=P2,a=P2,c)
didapatkan persamaan, yaitu :
Dengan demikian, peningkatan tekanan sel sebanyak sepuluh kali lipat
setara dengan peningkatan 46 mV dalam potensial sel reversibel pada 650 ° C.
Peningkatan tekanan operasi pada MCFC dapat mempertinggi tegangan
sel karena peningkatan tekanan parsial reaktan, peningkatkan kelarutan gas, dan
peningkatan laju perpindahan massa. Namun berdampak pula pada terjadinya
reaksi samping yang tidak diinginkan seperti endapan karbon (reaksi Boudouard):
Reaksi dekomposisi metana menjadi karbon dan gas hidrogen
kemungkinan dapat terjadi , tetapi reaksi ini terjadi pada tekanan yang lebih
tinggi. Menurut prinsip Le Chatelier, suatu peningkatan tekanan akan mendorong
deposisi karbon dan pembentukan metana. Water-gas shift reaction tidak
dipengaruhi oleh kenaikan tekanan karena jumlah mol gas reaktan dan produk
sama. Deposisi karbon dalam MCFC harus dihindari karena dapat menyumbat
aliran gas di katoda. Pembentukan metana dapat menurunkan performa sel karena
pembentukan setiap mol tersebut membutuuhkan tiga mol hidrogen, dimana dapat
menyebabkan banyak kehilangan reaktan dan akan mengurangi efisiensi
pembangkit listrik.
Penambahan H2O dan CO2 ke bahan bakar gas memodifikasi komposisi
gas keseimbangan sehingga mengurangi pembentukan CH4. Peningkatan tekanan
parsial H2O dalam aliran gas dapat mengurangi deposisi karbon.
Gambar 6-6 menunjukan pengaruh tekanan (3,5, dan 10 atmosfer) dan
komposisi oksida (3.2 persen CO2/23.2 persen O2/ 66.3 persen N2/ 7.3 persen
H20 dan 18.2 persen CO2/9.2 persen O2/65.3 persen N2/7.3 persen H2O)
terhadap performa 70,5 cm2 MCFCs pada 650 ° C (53). Perbedaan utama sebagai
perubahan tekanan CO2 adalah perubahan potensial sirkuit terbuka, yang
meningkat dengan tekanan sel dan kandungan CO2 (lihat Persamaan (6-11)). Pada
160 mA/cm2, ΔVp adalah -44 MV untuk perubahan tekanan 3 sampai 10 atmosfer
untuk kedua komposisi oksidan.
Gambar 6-6. Pengaruh Tekanan Cell pada Performa dari 70,5 cm2 MCFC
pada temperatur 650 ° C (Gas anoda, tidak dispesifikasi, gas katoda, 23,2
persen O2/ 3.2 persen CO2/ 66.3 N2/ 7.3 persen H2O dan 9,2 persen O2/
18.2 persen CO2/ 65.3 persen N2/ 7.3 persen H2O ; 50 persen CO2,
pemanfaatan pada 215 mA/cm2)
Karena ΔVp merupakan fungsi dari tekanan gas total, komposisi gas di Gambar 6-
6 memiliki sedikit pengaruh terhadap ΔVp. Berdasarkan hasil tersebut, pengaruh
tegangan sel dari perubahan tekanan dapat dinyatakan dengan persamaan, yaitu:
2.6.2 Pengaruh Temperatur
Pengaruh temperatur pada potensi reversibel MCFCs tergantung pada
beberapa faktor, salah satunya melibatkan komposisi kesetimbangan dari bahan
bakar gas. Water-gas shift mencapai kesetimbangan dengan cepat pada anoda di
MCFC, dan akibatnya CO berfungsi sebagai sumber tidak langsung dari H2.
Konstanta kesetimbangan (K) meningkat dengan temperatur. Selain itu,
perubahan kesetimbangan komposisi juga dipengaruhi dengan temperatur dan
utilitas yang berpengaruh pada voltase sel.
Tabel 6-4. Kesetimbangan Komposisi Fuel Gas dan Potensial Sel
Reversible Sebagai Fungsi Temperatur
Tabel 6-4 menunjukkan bahwa perubahan dalam komposisi gas
kesetimbangan dipengaruhi oleh temperatur. Tekanan parsial CO dan H2O
meningkat pada temperatur tinggi karena K bergantungan pada T. Hasil dari
perubahan komposisi gas adalah E menurun seiring dengan peningkatan T. Dalam
sel, polarisasi lebih rendah pada temperatur tinggi, dan hasil akhirnya adalah
bahwa tegangan sel yang lebih tinggi diperoleh pada temperatur yang tinggi.
Pengukuran potensial elektroda dalam 3 cm2 menunjukkan bahwa polarisasi pada
katoda lebih besar daripada anoda, dan bahwa polarisasi berkurang lebih
signifikan pada katoda seiring dengan peningkatan temperatur. Pada kerapatan
arus dari 160 mA/cm2, polarisasi katoda berkurang sekitar 160 mV ketika
temperatur meningkat dari 550-650 ° C, sedangkan penurunan yang sesuai pada
polarisasi anoda hanya sekitar 9 mV (antara 600 dan 650 ° C).
Dua kontributor utama yang bertanggung jawab atas perubahan tegangan
sel yang dipengaruhi oleh temperatur, yaitu polarisasi ohmik dan polarisasi
elektroda. Pada rentang temperatur 575 - 650 ° C, sekitar 1/3 dari total perubahan
tegangan sel dengan penurunan temperatur disebabkan oleh peningkatan
polarisasi ohmik, dan sisanya disebabkan dari polarisasi elektroda pada anoda dan
katoda. Kebanyakan stack MCFC saat ini beroperasi pada temperatur rata-rata 650
°C. Umumnya, karbonat tidak tetap cair di bawah 520 °C, dan meningkatnya
temperature dapat meningkatkan performa sel. Di atas 650 °C akan mengurangi
keuntungan seiring dengan peningkatan temperatur. Selain itu, pengoperasian di
atas 650 °C dapat menyebabkan peningkatan electrolyte loss dari penguapan dan
peningkatan korosi material. Jadi, temperatur operasi 650 °C dipilih dengan
menawarkan kompromi antara kinerja tinggi dan kehidupan stack.
2.6.3 Pengaruh Komposisi Gas Reaktan dan Utilitas
Tegangan MCFC bervariasi sesuai dengan komposisi gas reaktan.
Pengaruh tekanan parsial gas reaktan terhadap tegangan MCFC agak sulit untuk
dianalisa. Salah satu alasannya melibatkan reaksi water-gas shift pada anoda
karena adanya CO. Alasan lainnya adalah terkait dengan konsumsi CO2 dan O2
pada katoda. Data menunjukkan bahwa peningkatan pemanfaatan gas reaktan
umumnya menurun kinerja sel.
Selama gas reaktan dikonsumsi dalam sel, tegangan sel menurun kaena
polarisasi (yaitu, aktivasi, konsentrasi) dan perubahan komposisi gas. Efek ini
terkait dengan tekanan parsial gas reaktan.
Oksidan: Reaksi elektrokimia pada katoda melibatkan pemakaian dua
mol CO2 per mol O2, dan rasio ini memberikan kinerja yang optimal katoda.
Pengaruh [CO2] / [O2] rasio kinerja katoda diilustrasikan pada Gambar 6-8 (22).
Selama rasio ini menurun, kinerja katoda menurun, dan dapat terlihat adanya
limiting current. Dengan adanya limiting current tersebut, di mana tidak ada CO2
yang tersedia dalam feed oksidan, menyebabkan kesetimbangan disosiasi ion
karbonat menjadi penting. Kesetimbangan disosiasi ion karonat tersebut dapat
dituliskan dengan persamaan reaksi, yaitu:
Gambar 6-8. Pengaruh Rasio CO2/O2 Terhadap Kinerja Katoda dalam
MCFC dengan Tekanan Oksigen Sebesar 0,15 atm
Dengan kondisi tersebut, kinerja katoda menunjukkan polarisasi terbesar
karena perubahan komposisi yang terjadi pada elektrolit. Perubahan tegangan sel
rata-rata dari tumpukan sepuluh-sel sebagai fungsi pemanfaatan oksidan dapat
diilustrasikan pada Gambar 6-9. Dalam tumpukan ini, tegangan sel rata-rata 172
mA/cm2 berkurang sekitar 30 mV untuk peningkatan 30 persen di oxidant
utilization (20 sampai 50 persen). Berdasarkan data tambahan ini, voltage loss
disebabkan oleh perubahan oxidant utilization yang dapat dijelaskan oleh
persamaan berikut:
Dimana P adalah tekanan parsial rata-rata dari komponen gas.
Gambar 6-9. Pengaruh Utilitas Gas Reaktan Terhadap Tegangan Sel
Rata-rata dari MCFC Stack
Bahan Bakar: Data dalam Tabel 6-5 menggambarkan ketergantungan
dari anoda potensial terhadap komposisi lima bahan bakar gas dan dua
kesetimbangan kimia yang terjadi dalam anoda compartment. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa komposisi gas dan open circuit anode potensial diperoleh
setelah kesetimbangan oleh water-gas shift dan reaksi pembentukan uap CH4.
Open circuit anode potensial dihitung berdasarkan data pecobaan untuk
mengetahui komposisi gas setelah setimbang dan kemudian ditunjukkan pada
Tabel 6-5. Komposisi gas pada kesetimbangan diperoleh dari shift and steam
reforming reaction menunjukkan bahwa kandungan H2 dan CO2 dalam gas kering
mengalami penuunan dan CH4 dan CO dihasilkan pada saat gas mencapai keadaan
setimbang.
Tabel 6-5 Pengaruh Komposisi Bahan Bakar Terhadap Potensial
Anoda Pada 6500C
Analisis menunjukkan bahwa potensi sel maksimum untuk komposisi
bahan bakar gas yang diberikan diperoleh ketika [CO2] / [O2] = 2. Selain itu,
penambahan gas inert ke katoda menyebabkan penurunan potensi reversibel. Pada
sisi lain, penambahan gas inert ke anoda meningkatkan potensi reversible.
MCFC harus dioperasikan pada reactant gas utilization yang rendah
untuk menstabilkan tegangan, tetapi melakukan hal ini menyebabkan penggunaan
bahan bakar menjadi tidak efisien. Seperti jenis sel bahan bakar lain, pemilihan
komposisi harus dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja secara keseluruhan.
2.6.4 Efek Pengotor (Impurities)
Sumber bahan bakar yang sering digunakan pada Molten Carbonate Fuel
cell (MCFC) adalah batu bara yang telah mengalami proses gasifikasi.
Penggunaan batu bara tersebut mengakibatkan banyaknya kontaminan yang
terdapat dalam sel.
Tabel 6-6. Kontaminan dari Batu Bara dan Efek pada MCFC
Tabel 6-6 menunjukkan jenis-jenis kontaminan yang dapat memberikan efek pada
MCFC. Kontaminan-kontaminan tersebut yaitu :
1. Sulfur (S)
Senyawa sulfur sangat merugikan performa kerja MCFC walaupun
dalam jumlah yang sangat kecil. Ketahanan MCFC pada senyawa sulfur sangat
dipengaruhi oleh temperatur, tekanan, komposisi gas, dan operasi pada sistem
(recycle, venting, dan gas clean up). Senyawa sulfur yang memiliki efek
merugikan untuk performa sel salah satunya adalah H2S. Pada tekanan atmosfer,
<10 ppm H2S pada fuel cell masih dapat ditoleransi pada kompartemen anodanya,
dan <1 ppm SO2 juga masih dapat ditoleransi. Batas tersebut dapat meningkat
seiring dengan meningkatnya temperatur, tetapi dapat menurun seiring dengan
meningkatnya tekanan. Efek merugikan yang ditimbulkan oleh senyawa H2S
terjadi karena :
1. Terjadinya chemisoprsi pada permukaan katalis Ni yang akan
menutup sisi aktif elektrokimianya
2. Oksidasi senyawa SO2 pada reaksi pembakaran, dan reaksi
selanjutnya dengan ion karbonat pada elektrolit
Efek merugikan yang diakibatkan oleh senyawa H2S dapat diilustrasikan
pada Gambar 6-10.
Gambar 6-10. Pengaruh 5 ppm H2S pada performa MCFC suhu 650oC (Remick,
1984)
Sel yang terdapat pada MCFC berukuran 10 cm x 10 cm. Pada suhu
650oC, voltase dari sel tersebut menurun saat 5 ppm H2S dimasukkan ke dalam
gas bahan bakarnya. Pengukuran tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi yang
rendah dari H2S tidak mempengaruhi potensial pada rangkaian terbuka, tetapi
sangat berpengaruh pada voltase sel. Penurunan voltase tersebut tidak bersifat
permanen; ketika bahan bakar gas tanpa H2S dimasukkan ke dalam sel, voltase sel
akan kembali ke level yang seharusnya. Anoda Nikel pada potensial anoda akan
bereaksi dengan H2S untuk membentuk Nikel sulfida. Reaksinya adalah sebagai
berikut
Ketika anoda sulfida kembali ke rangkaian terbuka, NiSx akan direduksi
oleh H2 dengan reaksi
2. Halida
Senyawa yang mengandung halida (senyawa halogen) merupakan
senyawa yang bersifat merusak pada MCFC karena akan mengakibatkan korosi
pada katodanya. Senyawa halida seperti HCl dan HF akan bereaksi dengan
karbonat cair (Li2CO3 dan K2CO3) dan membentuk CO2 dan H2O, serta senyawa
alkali halida lainnya. Level HCl harus tetap dibawah 1 ppm pada bahan bakar gas,
dan bisa juga dibawah 0,5 ppm.
3. Senyawa Nitrogen (N)
Senyawa seperti NH3 dan HCN dalam jumlah yang kecil tidak begitu
membahayakan komponen-komponen MCFC. Akan tetapi, jika NOx dihasilkan
dari pembakaran pada kompartemen anoda, NOx tersebut akan bereaksi dengan
elektrolit pada kompartemen katoda secara irreversibel untuk membentuk garam
nitrat.
4. Partikel Padat
Kontaminan ini dapat berasal dari berbagai sumber, dan adanya
kontaminan ini merupakan masalah yang serius karena dapat menutup saluran gas
pada permukaan anoda. Partikel padat seperti ZnO, dapat digunakan sebagai
penghilang kandungan Sulfur dan dikeluarkan dari desulfurizer.
5. Senyawa lain
Senyawa lain yang mungkin menjadi kontaminan adalah As yang berasal
dari 1 ppm AsH3. Kontaminan pada jumlah tersebut tidak akan berpengaruh
terhadap kinerja sel, tetapi jika levelnya meningkat menjadi 9 ppm, voltase sel
akan turun drastis sebesar 120 mV. Trace metals seperti Pb, Cd, Hg, dan Sn pada
bahan bakar gas juga harus duhilangkan karena akan menyebabkan penggumpalan
pada permukaan elektroda dan bereaksi dengan elektrolitnya.
2.6.5 Efek pada daya Hidup Sel
Performa sel yang baik harus tetap dijaga pada batas yang wajar, yaitu
tidak lebih dari 2mV/1,000 jam pada daya hidup 40,000 jam.
2.6.6. Internal Reforming(IR)
Pada fuel cell yang konvensional, bahan bakar berkarbon dimasukkan ke
dalam prosesor dimana uap akan bereaksi dan menghasilkan H2 yang akan
dialirkan ke dalam fuel cell dan mengalami oksidasi kimia. Internal Reforming
Molten Carbonate Fuel cell tidak memerlukan prosesor yang terpisah untuk
memecah karbon pada bahan bakar tersebut. Pemecahan karbon pada MCFC ini
dilakukan oleh katalis. Penggunaan IR ini memilikikeuntungan, yaitu lebih
efisien, mudah dan lebih efisien dibandingkan dengan sistem MCFC yang
konvensional
Terdapat dua bagian dalam sistem IR ini, yaitu Indirect Internal
Reforming (IIR) dan Direct Internal Reforming (DIR). Pada bagian yang pertama,
bagian reformernya terpisah, tetapi berdekatan dengan anoda dari fuel cell itu
sendiri. Sel ini akan menggunakan panas yang dihasilkan oleh reaksi eksotermis
pada sel untuk sumber panas pada reaksi endotermisnya. Keuntungan dari sistem
IIR ini adalah daerah reformer dan daerah sel tidak memiliki efek fisik secara
langsung. Kerugiannya adalah konversi metana menjadi hidrogen pada sistem IIR
tidak sebagus konversi pada sistem DIR. Pada sel dengan sistem DIR, konsumsi
hidrogen akan mengurangi tekanan parsialnya, sehingga metana akan dengan
cepat terkonversi menjadi hidrogen.
Gambar 6.11. Konsep Sistem IIR/DIR pada MCFC (Farooque, 1990)
Reaksi pemecahan metana pada IR untuk pembentukan hidrogen adalah
sebagai berikut
Reaksi tersebut terjadi secara terus-menerus karena adanya oksidasi
Hidrogen pada kompartemen anoda. Reaksi pemecahan uap ini berlangsung
secara endotermis, sedangkan reaksi keseluruhannya bersifat eksotermis. Pada
proses IR di MCFC, panas yang dibutuhkan untuk reaksi didapatkan dari reaksi
keseluruhan dari fuel cell. Steam yang dihasilkan dari reaksi dapat digunakan pada
reaksi di reformer dan water gas shift untuk menghasilkan H2. Katalis Nikel (Ni)
yang digunakan (MgO, LiAlO2), bekerja pada reaksi steam reforming untuk
menghasilkan H2. Pada rangkaian terbuka, 83% CH4 akan dikonversi menjadi H2.
Ketika arus mengalir di dalam sel, H2 akan dikonsumsi dan H2O akan terbentuk,
dan konversi CH4 akan meningkat sampai mendekati 100%. Internal Reforming
telah melalui percobaan dan dapat bertahan selama lebih dari 15,000 jam pada
5kW stack dan lebih dari 10,000 jam pada 250 kW stack. Performa 2kW stack
dapat ditunjukkan oleh Gambar 6.12.
Gambar 6.12. Data Performa 0,37m2 2kW IR MCFC pada 650oC dan 1
atm (Farooque, 1992)
Pada sistem Direct Internal Reforming, katalis yang digunakan
dideaktivasi oleh daerah yang mengandung elektrolit berupa alkali karbonat.
Mekanisme deaktivasi adalah termasuk pengisian atau penyumbatak pori, dan
pelapisan permukaan sehingga logam seperti Nikel akan mengurangi pergerakan
elektrolit pada permukaan katalis. Senyawa yang resisten terhadap alkali seperti
magnesium dioksida, kalsium aluminat, dan alpha-aluminat telah terbukti untuk
mengurangi uap alkali yang terbentuk. Katalis berbasis Ruthenium dan Rhodium
adalah katalis yang lebih stabil, tetapi harganya relatif mahal. Membran Ni atau
SiC diletakkan diantara katalis internal pada sel dan komponen yang mengandung
elektrolit.
2.7 Aplikasi
Molten Carbonate Fuel cell dioperasikan pada suhu operasi yang tinggi,
bahkan sebagian besar aplikasi untuk jenis sel terbatas pada hal-hal yang
besar,seperti pembangkit listrik stasioner misalnya. Suhu operasi yang tinggi
menyebabkan penggunaan panas yang terbuang menjadi uap untuk pemanas
ruangan, industri pengolahan, atau dalam turbin uap untuk menghasilkan listrik
lebih banyak. Banyak pembangkit listrik berbahan bakar gas modern yang
memanfaatkan sistem semacam ini, yang disebut kogenerasi. Aplikasi dari MCFC
terus dikembangkan hingga saat ini, yaitu untuk pembangkit listrik berbasis
batubara, penggunaan listrik, industri, dan aplikasi militer. Dan akhir-akhir ini,
pengembangan tentang penelitian molten carbonate fuel cell yang digunakan
untuk memisahkan CO2 dalam aliran gas mulai dilakukan.
Tabel dibawah ini menunjukan perbandingan aplikasi dan daya fuel cell.
Jenis Sel Aplikasi Range Power
DMFC Pengganti Baterai, Pembangkit listrik
portable
Dibawah 100 Watt sampai
1 kW
AFC Transportasi, pembangkit listrik cadangan 500 Watt sampai 10 kW
PAFC Pembangkit listrik stasioner, transportasi 50 kW sampai 2 MW
SOFC Pembangkit listrik stasioner, transportasi,
CHP (combined heat power)
5 kW sampai lebih dari 10
MW
MCFC Pembangkit listrik stasioner, CHP
(combined heat power)
200 kW sampai lebih dari
10 MW
PEMFC Transportasi, pembangkit listrik portable,
pembangkit listrik cadangan
Dibawah 100 Watt sampai
diatas 1 MW
2.8 Kelebihan dan Kekurangan
Setiap jenis fuel cell mempunyai karateristik yang unik jika dibandingkan
satu dengan yang lain. Termasuk jenis MCFC, fuel cell jenis ini mempunyai
beberapa keunggulan dan kelemahan dibandingkan jenis yang lain. Tabel berikut
menunjukkan karateristik keunggulan dan kelemahan MCFC.
Keunggulan MCFC Kelemahan MCFC
- Tidak menghasilkan polutan,
- Menggunakan Reformer Internal,
- Tidak menggunakan katalis yang mahal
(tidak memerlukan katalis logam mulia)
- Cepat mengalami kerusakan
komponen
- Cepat terjadi korosi
- Penurunan lifetime / waktu hidup sel
- Lebih tahan terhadap gas CO dan CO2,
- Cocok digunakan pada pembangkit listrik
berbasis batubara.
- Memiliki efisiensi tinggi dibanding fuel
cell lain yang menggunakan CO2.
- memiliki kinetika reaksi yang cepat
(bereaksi dengan cepat)
- Memiliki ketidaktoleranan dengan
sulfur tinggi. Anoda khususnya tidak
bisa mentolerir lebih dari 1-5 ppm
senyawa sulfur(terutama H2S dan
COS) dalam bahan bakar gas tanpa
mengalami kehilangan kinerja yang
signifikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu tipe fuel cell yang bekerja pada suhu tinggi adalah MCFC
(Molten Carbonate Fuel cell) yang menggunakan garam karbonat (Li2CO3,
K2CO3, dll) dalam bentuk lelehan sebagai elektrolit. MCFC berkerja pada
suhu 500-1000oC, sehingga kecepatan reaksi bisa berlangsung cepat dan tidak
diperlukan adanya katalis Pt. Hal-hal yang mempengaruhi prinsip kerja MCFC
antara lain tekanan, temperatur, komposisi gas reaktan, pengotor, kerapatan
arus, dan waktu hidup dari sel (lifetime of fuel cell). MCFC memiliki
kelebihan yaitu lebih tahan tehadap gas CO dan CO3 dibanding dengan fuel
cell yang bekerja pada suhu rendah serta biaya lebih rendah karena dapat
mempergunakan katoda nikel yang lebih murah dibanding platina. Namun,
MCFC juga memiliki kekurangan yaitu pada suhu yang sangat tinggi dapat
mempercepat kerusakan komponen dan korosi, serta penurunan waktu hidup
sel (penurunan lifetime dari fuel cell). Aplikasi dari MCFC dikembangkan
untuk pembangkit listrik berbasis batubara untuk penggunaan listrik, industri,
dan aplikasi militer.
DAFTAR PUSTAKA
Cassir, M., C. Belhomme. 1999. Technological Aplication of Molten Salts: The
Case of The Molten Carbonates Fuel Cels. Plasma & Ions 1. 3-15
EG&G Technical Services.2004. Fuel Cell Handbook. West Virginia: U.S.
Department of Energy, Office of Fossil Energy, National Energy
Technology Laboratory.
Handayani, Sri. 2008. Membran Elektrolit Berbasis Polieter-Eter Keton
Tersulfonasi Untuk Direct Methanol Fuel Cell Suhu Tinggi. Jakarta :
Universitas Indonesia
Leibhafsky, H.A., and Cairns, E.J.. 1968.Fuel Cells and Fuel Batteries. New
York: John Wiley and Sons, Inc.
Milewski, Jaroslaw, Janusz Lewandowski. 2012. Separating CO2 from Flue gas
Using Molten Carbonate Fuel cell. IERI Procedia 1(2012) 232-237.
Othmer, kirk. Encyclopedia of chemical technology fifth edition. USA: Mc-Graw
Hills
Shores, D.A., and Singh, P., 1984, Proceedings of the Symposium on Molten
Carbonate Fuel Cell Technology, The Electrochemical Society, Inc.,
Pennington, NJ.
Viswanathan, B. 2006. An Introduction to Energy Sources. Madras: department of
chemistry Indian institute of technology.
Vogel, W.M., L.J. Bregoli , Kunz H.R., Smith S.W., 1984, Proceedings of
the Symposium on Molten Carbonate Fuel Cell Technology, The
Electrochemical Society, Inc., Pennington, NJ.