media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal
TRANSCRIPT
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 89
MEDIA KOMUNITAS DAN JURNALISME
LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (Studi pada Situs www.suarakomunitas.net
dalam Pemberitaan Isu-isu Perubahan Iklim)
Oleh: ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.1
Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Bakrie - Jakarta
Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan, Jakarta Selatan - 12920.
HP: 0818467664, E-mail: [email protected]
Abstrak:
Mempertahankan sekaligus menyebarluaskan nilai-nilai kearifan lokal yang kontekstual bukanlah perkara mudah. Ada banyak tantangan yang akan dihadapi. Salah satunya adalah kealpaan media massa untuk menyebarluaskan nilai-nilai budaya lokal agar langgeng di tengah masyarakat guna menyelesaikan beragam persoalan. Peran media massa sebagai media penyebarluasan nilai-nilai kearifan lokal memang harus ditingkatkan, terutama soal pencegahan kerusakan lingkungan yang amat terkait dengan perubahan iklim. Untuk ini, jangan berharap besar pada media massa arus utama yang sangat berpihak pada modal. Media komunitas siber berbasis jurnalisme warga menjadi jalan keluarnya. Pada media ini, dimana modal bukan menjadi tujuan utama, apa saja bisa diberitakan dari, oleh, dan untuk siapapun. Situs www.suarakomunitas.net (dalam penelitian ini akan disebut Suara Komunitas) adalah salah satu media komunitas siber yang memiliki ciri tersebut.
Kata Kunci: Jurnalisme Lingkungan, Media Siber, Media Komunitas, Kearifan Lokal, Jurnalisme Warga, Suara Komunitas, Perubahan Iklim
Pendahuluan
Menurut Murdiyarso (2003: 11), perubahan iklim adalah
perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka panjang (50 – 100 tahun)
yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
90 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
gas rumah kaca (GRK). Dalam penelitian United Nations Development
Programme (UNDP) soal sisi lain perubahan iklim yang ditulis oleh
Mudiarta & Stalker (2007:3), Perubahan iklim bukanlah hal baru.
Iklim global sudah selalu berubah-ubah. Jutaan tahun yang lalu,
sebagian wilayah dunia yang kini lebih hangat, dahulunya
merupakan wilayah yang tertutupi oleh es. Dan beberapa abad
terakhir ini, suhu rata-rata telah naik-turun secara musiman, sebagai
akibat fluktuasi radiasi matahari, misalnya, atau akibat letusan
gunung berapi secara berkala. Namun, perubahan iklim yang ada saat
ini dan yang akan datang lebih diutamakan karena disebabkan bukan
hanya oleh peristiwa alam melainkan lebih karena berbagai aktivitas
manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi memberikan
dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat
pembakaran secara besar-besaran batu bara, minyak, dan kayu,
misalnya, serta pembabatan hutan. Pembakaran ini mengeluarkan
karbondioksida yang merupakan GRK utama. Masalahnya,
pepohonan yang mampu menyerap GRK tersebut sudah di tebang di
berbagai penjuru dunia. Brazil, dan termasuk Indonesia, serta banyak
negara lainnya sudah menggunduli jutaan hektar hutan dan merusak
lahan rawa (Mudiarta & Stalker, 2008:4).2 Dengan berkurangnya
penyerapan dan terus bertambahnya emisi, menurut
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) – masih dalam
Mudiarta & Stalker, GRK di atmosfer kini menjadi lebih tinggi
ketimbang yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah, yakni
meningkat sebanyak 379 ppm (parts per million) di tahun 2005 dari
280 ppm di tahun 1750 dan terus meningkat dengan kecepatan 1,9
2 Kehancuran hutan Indonesia berlangsung cepat – yaitu dari 600.000 hektar per tahun pada tahun 1980an menjadi sekitar 1.6 juta hektar per tahun di penghujung tahun 1990an. Akibatnya, tutupan hutan menurun secara tajam – dari 129 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 82 juta di tahun 2000, dan diproyeksikan menjadi 68 juta hektar di tahun 2008, sehingga kini setiap tahun Indonesia semakin mengalami penurunan daya serap karbon dioksida. Di tingkat dunia, menurut laporan FAO 2010 (dalam Jatmiko, 2012), penggundulan hutan terjadi rata-rata 5,6 juta hektar per tahun.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 91
ppm perhari. Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat
naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat.
Dampak perubahan iklim ini dapat dilihat pada naiknya
permukaan air laut yang bahkan sulit dicegah. Sejumlah pakar iklim
dunia, di London, mengatakan kenaikan permukaan laut beberapa
tahun ke depan tak bisa bisa dihentikan (Kompas, 4 Juli 2012, hal. 9).
Hal itu terjadi karena suhu panas telah menerobos jauh ke laut,
menghangatkan air laut, dan menghasilkan suatu kumpulan suhu
panas gabungan dari berbagai wilayah laut berbeda. Bahkan, jika
suhu rata-rata global turun dan lapisan permukaan laut mendingin,
panas masih akan menerobos ke lapisan lautan lebih dalam dan
menyebabkan naiknya permukaan air laut. Diprediksi, meskipun
mitigasi yang paling agresif dilakukan, seperti mengurangi
pemanasan global hingga 2 persen di atas nilai praindustri tahun
2100 dan dengan penurunan suhu global di abad ke-22 dan ke-23,
permukaan laut akan terus meningkat setelah tahun 2100. Masih
menurut artikel tersebut, naiknya permukaan laut telah mengancam
sekitar sepersepuluh penduduk dunia. Terutama mereka yang
tinggal di dataran rendah, di pesisir dan pulau-pulau yang berisiko
banjir, termasuk Karibia, Maladewa, dan gugusan pulau di Asia
Pasifik.3 4
3 Sementara berdasarkan Laporan ke-4 Working Group II – International Panel on Climate Change (IPCC), yang diterbitkan pada Bulan April 2007 lalu, kenaikan temperatur rata-rata sejak 1850-1899 hingga 2001-2005 adalah 0.760C dan muka air laut global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm/tahun dalam rentang waktu 40 tahun terakhir (1961-2003). Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada awal abad 20 diperkirakan sebesar 17 cm (Buletin Tata Ruang, Mei - Juni 2011, hal. 28). 4 Di Provinsi Kepulauan Riau, sekitar 120 pulaunya terancam tenggelam akibat
abrasi dan perubahan iklim (Kompas, 11 Juni 2012, hal. 3). Dalam artikel itu
pula, disebutkan bahwa, saat ini, permukaan laut Indonesia naik paling rendah 3
milimeter pertahun. Kenaikan tersebut dapat merusak pesisir dengan
ketinggian hingga 0,6 meter. Sehingga dalam 10 tahun, 120 pulau tersebut
diprediksi akan tenggelam. Perubahan iklim telah mampu mencairkan es dan
gletser di kutub sehingga debit air laut terus bertambah.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
92 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
Secara khusus, UNDP menjelaskan dampak perubahan iklim
terhadap Indonesia. Selain telah dan masih akan naiknya permukan
laut, temperatur yang tinggi berdampak pada El Niño-Southern
Oscillation yang setiap beberapa tahun memicu berbagai peristiwa
cuaca ekstrem kita (Mudiarta & Stalker, 2008:5). El Niño berkaitan
dengan berbagai perubahan arus laut di Samudera Pasifik yang
menyebabkan air laut menjadi luar biasa hangat. Kejadian
sebaliknya, arus menjadi amat dingin, yang disebut La Niña. Yang
terkait dengan peristiwa ini adalah ‘Osilasi Selatan’ (Southern
Oscillation) yaitu perubahan tekanan atmosfer di belahan dunia
sebelah selatan. Perpaduan seluruh fenomena inilah yang dinamakan
El Niño-Southern Oscillation atau disingkat ENSO. Pada saat terjadi El
Niño, kita biasanya lebih sering mengalami kemarau. Ketika terjadi
La Niña kita lebih sering dilanda banjir.5
Studi kearifan lokal dalam menghadapi perubahan iklim telah
banyak dilakukan. Beberapa diantaranya adalah studi kearifan lokal
pemanfaatan lahan gambut untuk usaha tani dalam mengantisipasi
dampak perubahan iklim di Kalimantan Tengah (Firmansyah &
Mokhtar, 2011). Studi ini menunjukkan bahwa petani gambut
pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah menggunakan
sistem pembakaran terbatas dan terkendali dan pemberian tanah
mineral subur, sedangkan petani gambut lebak di Tanjung Pinang,
5 Di jelaskan dalam penelitian UNDP ini, dalam kurun waktu 1844-2006, dari 43
kemarau panjang, sebanyak 37 kali berkaitan dengan El Niño. ENSO ini adalah
juga salah satu faktor utama meningkatnya kekerapan kebakaran besar hutan
dan terbentuknya kabut asap di atmosfer yang menyesakkan napas. Bahaya lain
yang berkaitan dengan iklim di Indonesia adalah lokasi dan pergerakan siklon
tropis di wilayah selatan timur Samudera India (Januari sampai April) dan
sebelah timur samudera Pasifik (Mei sampai Desember). Di beberapa wilayah
Indonesia hal ini dapat menyebabkan angin kencang dan curah hujan tinggi
yang dapat berlangsung hingga berjam-jam atau berhari-hari. Angin kencang
juga sering terjadi selama peralihan angin munson (angin musim hujan) dari
arah timur laut ke barat daya.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 93
yang juga berada di Kalimantan Tengah, menggunakan sistem
pemanfaatan vegetasi alami sebagai mulsa lungpar (gulung-hampar)
dan menghindari pembakaran. Hal ini mampu mengurangi degradasi
pada lahan gambut dan pemanfaatannya pada usahatani. Studi
lainnya adalah mengenai kearifan lokal petani Dayak Bakumpai
dalam pengelolaan padi di lahan pasang surut Kabupaten Barito
Kuala (Wahyu & Nasrullah, tahun tidak diketahui). Studi ini
menemukan bahwa masyarakat Bakumpai membuat siklus tertentu
untuk bercocok tanam, yakni dengan mensiasati menunggu masa
panen yang dilakukan setiap setahun sekali. Sehingga sambil
menunggu panen, masyarakatnya bisa melakukan aktivitas lain
sambil mengontrol pertumbuhan tanaman. Selain itu, mereka juga
melakukan teknik mengolah lahan yang dilakukan turun-temurun,
yakni memanfaatkan rumput yang ditebas untuk dijadikan pupuk
alami. Alat yang digunakan petani Bakumpai untuk memotong
rumput, tidak sampai membalikan permukaan tanah yang
mempengaruhi kadar keasaman.
Menurut penulis, media, dalam konteks jurnalisme, memiliki
peran dalam memproduksi dan menyebarluaskan berita yang berisi
informasi, sekaligus membantu penyadaran masyarakat, tentang
pentingnya menjaga alam dan mempersiapkan diri untuk
menghadapi kondisi akibat perubahan iklim, terutama berdasarkan
kearifan lokal. Jurnalisme, atau yang bisa pula disebut pers, memiliki
fungsi menyiarkan informasi, mendidik, menghibur, dan
mempengaruhi (Effendy, 2003:93-94). Media massa dianggap
sebagai wahana yang vital dalam mengembangkan kesadaran
masyarakat yang bermuara pada peningkatan peran serta
masyarakat. Misinya sebagai wahana pendidikan dan wahana kontrol
sosial merupakan penunjang yang amat penting bagi pembangunan
berkelanjutan berwaasan lingkungan (Hardjasoemantri dalam
Atmakusumah, 1996:71-72). Tapi apakah sebegitu gampangnya
media arus utama memberikan porsi pemberitaanya untuk hal-hal
semacam ini? Ketika media telah berorientasi pada modal, maka pola
pemberitaannya akan selalu disiapkan untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya. Berita yang dihadirkan adalah berita-berita yang
propasar (Chesney, 1998). Dengan asumsi itu, maka jangan terlalu
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
94 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
berharap banyak pada media jenis ini untuk memberitakan masalah
yang sifatnya lokal. Solusinya adalah melirik jurnalisme warga pada
media-media alternatif, salah satunya adalah Suara Komunitas,
sebuah portal berita siber berbasis jurnalisme warga yang dapat
diakses melalui: www.suarakomunitas.net. Suara Komunitas dikelola
oleh media-media komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Suara Komunitas adalah kantor berita terbuka untuk semua pihak,
khususnya masyarakat akar rumput, untuk bersuara dan membentuk
opini publik. Melalui media semacam ini, informasi lokalitas
terutama menyangkut kearifan lokal tak perlu takut untuk tidak
ditayangkan/diberitakan. Harapannya, sekaligus peluang, budaya
kearifan lokal bisa terus tumbuh dan dipraktekkan oleh masyarakat
setempat dan mendapat dukungan yang positif oleh negara dengan
tujuan utama: pemberdayaan masyarakat dalam menekan emisi GRK.
Tinjauan Pustaka
Jurnalisme Warga, Media Komunitas , dan Konsep Jurnalisme
Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal
Jurnalisme warga, disebut pula citizen journalism atau pula
jurnalisme publik, adalah jenis jurnalisme yang menitikberatkan
pada pubik atau warga sebagai sorotan utamanya. Selama ini, media
sering menyingkirkan warga dalam pemberitaannya (Santana,
2005:27). Suara warga tersingkirkan karena media arus utama lebih
memilih berita-berita yang menjual untuk ditayangkan. Warga jarang
mendapatkan kesempatan memperoleh informasi yang menurutnya
penting dan menarik. Bahkan, warga pun tak dilibatkan dalam proses
pembuatan berita. Warga ditempatkan sebagai objek semata tanpa
bisa berpartisipasi lebih jauh. Contoh praktek jurnalisme warga
berbasis media siber bisa dilihat di
http://www.jurnalismewarga.com/,
http://www.kabarindonesia.com/, atau http://kayuhbaimbai.org/.
dalam ketiga situs jurnalisme warga tersebut warga diposisikan
sebagai peliput. Warga bekerja persis sebagai jurnalis pada media
arus utama. Editor yang berhak melakukan penyuntingan dipilih
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 95
karena memiliki kapasitas yang baik dalam jurnalistik. Prinsipnya
adalah dari, oleh, dan untuk warga. Dengan pola semacam ini,
informasi tak melulu dkuasai oleh media arus utama.
Tempat dimana berita hasil liputan para jurnalis warga ini
ditayangkan/diterbitkan pada sebuah media yang tentu saja bukan
merupakan media arus utama, melainkan media alternatif. Disebut
alternatif karena media ini pada dasarnya merupakan perwujudan
resistensi khalayak terhadap media arus utama (Downing dalam
Maryani, 2011:65-67). Dari sisi isi, menurut Downing lebih lanjut,
media alternatif mencakup berita-berita yang tidak dilaporkan atau
dimuat media arus utama. Dengan cara itu maka media alternatif
dapat meligitimasi kehidupan orang-orang biasa sebagai sebuah
berita. Selain itu, media alternatif umumnya berskala kecil dan
bentuknya beragam serta mengeksprsikan visi alternatif dari
kebijakan, prioritas dan presfektif yang bersifat hegemonik.
Media alternatif ini bisa berupa media komunitas yang hadir
di sebuah komunitas tertentu, seperti: radio komunitas, majalah
komunitas, ataupun media siber komunitas. Komunitas sendiri
merujuk pada istilah community yang berarti semua orang yang
hidup di suatu tempat, atau sekelompok orang dengan kepentingan
atau ketertarikan yang sama. Dengan kata lain, komunitas bisa
terbentuk berdasarkan batasan wilayah geografis, kesamaan
identitas, dan kesamaan minat (Sudibyo, 2004:234-235). Salah satu
contohnya adalah situs Suara Komunitas (www.suarakomunitas.net)
yang menjadi sorotan dalam penelitian ini. Suara Komunitas dikelola
oleh media-media komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Bentuknya berupa kantor berita yang terbuka untuk semua pihak,
khususnya masyarakat akar rumput, untuk bersuara dan membentuk
opini publik. Pengelola dan jurnalisnya berasal dari beragam radio
komunitas dan media komunitas lokal lainnya yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Mereka memberitakan beragam isu yang
terjadi di sekitar mereka yang mungkin tak pernah diangkat dalam
media arus utama. Media seperti inilah, yang menurut penulis, amat
berpeluang memberitakan isu-isu lingkungan yang terkait dengan
perubahan iklim dan kearifan lokal. Dengan kata lain, jurnalisme
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
96 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
lingkungan yang berfokus pada kearifan lokal bisa diterapkan di
media jenis ini tanpa diganggu-gugat oleh kemauan pasar.
Apa itu jurnalisme lingkungan? Di bagian inilah penulis akan
memaparkannya sekaligus mengaitkannya dengan kearifan lokal.
Jurnalisme lingkungan (hidup) adalah jurnalisme yang berfokus pada
hal ihwal yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Hardjasoemantri
dalam Atmakusumah, 1996:72). Perwujudannya dapat berupa
pemberitaan, uraian, komentar serta lontaran pendapat para pakar,
peminat, dan pengamat tentang lingkungan hidup dengan berbagai
masalahnya. Mereka yang berkecimpung dalam jurnalisme
lingkungan, mulai dari jurnalis di lapangan sampai redaktur/editor
diharapkan senantiasa mengikuti perkembangan isu lingkungan
hidup. Hal ini karena isu lingkungan hidup bukanlah isu yang
sederhana, melainkan isu yang holistic menyangkut berbagai sudut
kehidupan manusia dan sangat mempengaruhi kehidupan. Oleh Adi
(2007), jurnalisme lingkungan adalah kegiatan pemberitaan
(meliputi: mengumpulkan, memproses, dan menerbitkan informasi
yang bernilai berita) atas masalah-masalah lingkungan hidup. Luaran
dari jurnalisme ini adalah berita lingkungan yang memilki ciri:
menunjukkan interaksi saling mempengaruhi antarkomponen
lingkungan, berorientasi dampak lingkungan, dan pemberitaan
menyeluruh mulai dari level gen hingga level biosfer. Dengan kata
lain berita lingkungan adalah berita yang tak jauh-jauh mengangkat
persoalan lingkungan dengan ciri di atas.
Jurnalis yang mencoba mengusung jurnalisme lingkungan,
maka ia harus memihak pada proses-proses yang meminimalkan
dampak negatif kerusakan lingkungan hidup. Adi, menyebutkan
jurnalis lingkungan harus menumbuhkan sikap mendukung atas
keberlanjutan lingkungan hidup agar bisa dinikmati generasi
sekarang tanpa mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk
ikut menikmatinya juga; biosentris atau mengakui bahwa setiap
spesies memilki hak terhadap ruang hidup sehingga perubahan
lingkungan hidup harus memperhatikan dan mempertimbangkan
keunikan setiap spesies dan ekosistemnya; mendukung keadilan
lingkungan dan berpihak kepada kaum lemah agar mendapatkan
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 97
mendapatkan akses setara terhadap lingkungan yang bersih dan
terhindar dari dampak negative kerusakan lingkungan; dan
memahami materi ataupun isu-isu lingkungan hidup serta
menjalankan kaidah jurnalistik, kode etik, dan menaati hukum.
Jurnalis lingkungan dituntut untuk mencerdaskan
masyarakat mengenai lingkungan hidup dan keterpautannya dengan
kehidupan sehari-hari (Atmakusumah, 1996:63). Syarat yang harus
dipenuhi untuk ini adalah jurnalis yang bersangkutan harus memiliki
dasar pengetahuan mengenai lingkungan hidup yang memadai.
Dengan kemampuan ini si jurnalis mampu memetakan persoalan
lingkungan dengan jelas dan focus dalam ruang lingkup liputannya
apakah soal pencemaran, perubahan iklim, dsb. Selain itu, jurnalis
harus menyadari dan memahami keterkaitan lingkungan hidup
dengan bidang dan kegiatan lainnya, terutama dengan proses
pembangunan. Semua ini akan membantu jurnalis memahami
keterkaitan lingkungan hidup dan penyebabnya.
Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang
menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis (Keraf dalam Suhartini, 2009). Semua bentuk kearifan lokal
tersebut dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari
generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia
terhadap sesame manusia, alam maupun gaib. Selanjutnya Francis
Wahono (masih dalam Suhartini, 2009) menjelaskan bahwa kearifan
lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam
semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-
abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran
manusia.
Apa saja prinsip-prinsip kearifan lokal tersebut? Nababan
(dalam Suhartini, 2009) mengemukakan prinsip-prinsip konservasi
dalam pengelolaan sumber daya alam secara tradisional (baca:
karifan lokal) sebagai berikut:
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
98 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
1. Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan
manusia dengan alam sekitarnya. Masyarakat tradisional
memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri
2. Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan
atau jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan
bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini
mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan
sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge
system) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat
untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi
dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas.
4. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang
tepat guna dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam
setempat
5. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa
mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan
berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh
masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat
tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang
mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu
kesatuan sosial tertentu.
6. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber
daya milik bersama yang dapat mencegah munculnya
kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak
adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah
pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat
yang berlaku.
Contoh dari bentuk kearifan lokal adalah, seperti yang telah
disebutkan di awal tulisan, menanam padi merah (slegereng) yang
tahan di tanah dengan kadar air rendah, tahan hama penyakit, dan
tumbuh di sawah maupun tegalan. Masyarakat di Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah pun menyukai makan beras dari padi merah
itu. Padi merah amat cocok dengan kondisi tanah di Wonogiri yang
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 99
memiliki kadar air rendah. Masyarakat diajak berdamai dengan alam
sekaligus merawatnya. contoh lain adalah sistem pengelolaan hutan
adat di sejumlah wilayah, tata cara pertanian tanpa merusak alam,
dan pengairan yang merata tanpa harus mengeksploitasinya.
Teramat banyak contoh kearifan lokal yang telah ada pada
masyarakat lokal kita.6
Bagi penulis, untuk menjaga kelanggengan kearifan lokal,
media komunitas melalui prinsip jurnalisme lingkungan harus punya
andil. Yang bisa dilakukan oleh media komunitas untuk menjaga
kelestarian kearifan lokal dan mengembangkannya adalah kerap
memberitakan isu-isu lingkungan secara holistik kepada
komunitasnya tanpa lupa menginformasikan dan mengkampanyekan
kearifan lokal itu sendiri. Tentu saja yang berada di garis depan
pemberitaan ini adalah jurnalis, baik di lapangan maupun di ruang
redaksi. Jurnalis lingkungan memiliki tiga misi penting
(Atmakusumah, 1996:22), yakni: pertama, menumbuhkan kesadaran
masyarakat terhadap masalah-masalah lingkungan. Kedua, dalam
kaitannya dengan media tempat si jurnalis bekerja, media massa
merupakan wahana pendidikan untuk masyarakat dalam menyadari
perannya dalam mengelola lingkungan. Dan ketiga, pers memiliki hak
mengoreksi dan mengontrol masalah lingkungan hidup dalam
tataran pemberitaan dan harapannya mampu memberikan
perubahan berarti dalam pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Pendek kata, ketika jurnalis lingkungan mengangkat isu-isu kearifan
lokal, maka pengetahuan soal kearifan lokal harus pula dikuasai
selain persoalan-persoalan lingkungan pada umumnya. Tanpa
memahami kearifan lokal dengan mendalam, akan sia-sia mengemas
liputan lingkungan yang berbasis pada kearifan lokal.
Temuan dan Pembahasan
Suara Komunitas (www.suarakomunitas.net), menurut
profilnya (http://suarakomunitas.net/web/siapa_kami, dilihat pada
27 Juli 2012, pukul 13.51 WIB), adalah media siber berbasis
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
100 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
jurnalisme warga yang dikelola oleh media-media komunitas yang
tersebar di seluruh Indonesia. Media komunitas yang tergabung
dalam Suara Komunitas adalah radio komunitas, media cetak
komunitas, telecenter, dan kontributor individual. Suara Komunitas
ibarat kantor berita yang terbuka untuk semua pihak, khususnya
masyarakat akar rumput, untuk bersuara dan membentuk opini
publik. Pengkasesnya adalah para pihak di atas pula. Merekalah yang
nantinya akan menyebarluaskan berita-berita yang ditampilkan di
Suara Komunitas jika komunitas mereka tidak memiliki akses
internet untuk mengakses Suara Komunitas.7
Media siber komunitas ini didirikan pada 2008 sebagai
wahana menyuarakan suara-suara masyarakat, khsususnya akar
rumput. Semangat pendiriannya adalah semangat perlawanan, yakni
mereka (pendiri Suara Komunitas) melihat terjadi pengacuhan
terhadap kondisi nyata di masyarakat. Para elit politik dan ekonomi
sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak melihat secara mendalam
tentang kondisi nyata di masyarakat. Di sisi lain, masyarakat
sebenarnya memiliki potensi kekuatan yang besar untuk
menentukan arah perubahan yang terjadi. Maka diperlukan
komunikasi dua arah antara pihak-pihak yang berwenang dengan
masyarakat di akar rumput. Untuk itulah media komunitas
dibutuhkan. Suara Komunitas hadir mengusung Jurnalisme Warga.
Masih menurut profil Suara Komunitas, topik pemberitaan
yang biasanya diangkat adalah topik dan karya apa saja yang dari
komunitas atau masyarakat luas, sepanjang tidak menimbulkan
7 Suara komunitas menerapkan “konvergensi” untuk menjawab tantangan jika
berita di situs Suara Komunitas tidak bisa diakses oleh komunitas yang tidak
memiliki infrastruktur internet. Prinsip konvergensi ini adalah memadukan
beragam media untuk menyampaikan informasi. Jadi, Suara Komunitas
menyiapkan bulletin yang bisa diunduh secara berkala oleh media-media
komunitas jaringannya untuk dicetak dan dibagikan secara cuma-cuma. Paket
berita audio juga disiapkan agar bisa disiarkan bersama-sama secara serentak di
radio komunitas jaringan mereka. Isi beritanya adalah kumpulan berita yang
diambil dari Suara Komunitas.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 101
konflik --terlebih yang berkaitan dengan SARA. Suara Komunitas
lebih mengharapkan informasi-informasi lokal yang selama ini jarang
terliput oleh media-media arus utama. Komunitas dianggap bukan
lagi sebagai pembaca atau penonton saja, namun sudah saatnya juga
ikut memroduksi berita yang penting dan terjadi di sekitar
komunitas. Karena basis media yang ditonjolkan adalah siber, maka
dimungkinkan untuk memberitakan berita-berita yang tak hanya
berbentuk teks, melainkan bisa berupa foto, video, dan audio. Agar
berita yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan secara
jurnalistik, maka sebanyak 26 editor yang tersebar di seluruh
Indonesia dipilih untuk memilkul tanggung jawab mengedit naskah
para jurnalis. Jadi, berita dari mana saja dapat diedit kapan saja dan
diterbitkan/ditayangkan tanpa harus menunggu lama.
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil temuan
produk jurnalistik Suara Komunitas yang terkait dengan perubahan
iklim dan kearifan lokal apakah sudah memenuhi standar atau
kriteria ideal seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Pada berita
Tanpa Kebudayaan, Manusia Kehilangan Karakter yang dipublikasi
pada tanggal 4 Januari 2012 belum mencerminkan produk
jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal. Lihatlah tabel berikut:
Tabel 2
Analisis pada Berita: Tanpa Kebudayaan, Manusia Kehilangan
Karakter (4 Januari 2012)
Kriteria Penjelasan 1. Mengandung
unsur perubahan iklim dan kearifan lokal
Tulisan ini memuat unsur perubahan iklim dan kearifan lokal, seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah ini: Acara ini merupakan suatu yang sangat unik karena mensosialisasikan perubahan iklim melalui pagelaran wayang kulit. Wabup Sergai Ir. H. Soekirman menghimbau masyarakat untuk terus melestarikan dan melaksanakan budaya bangsa Indonesia sendiri karena melalui nilai-nilai yang terkandung dalam budaya, masyarakat akan dapat mencintai pekerjaan yang dia tekuni dan dapat mensyukuri nikmat rejeki yang diterima serta menghargai budaya hormat kepada leluhur.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
102 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
Kriteria Penjelasan Tapi sayang, penjelasan soal budaya lokal yang dimaksud tidaklah jelas alias terlalu umum. Bahkan tidak dijelaskan dalam paragraf yang lain.
2. Istilah populer
Tak banyak mengangkat istilah-istilah rumit. Hanya saja istilah “Gareng Kepanasan” yang tidak umum. Meski begitu istilah “Gareng Kepanasan” tidak dijelaskan dengan baik. Lihat kutipan di bawah ini: Demikian halnya Ki Dalang Noto dalam lakonnya yang berjudul “Gareng Kepanasan” mengatakan perubahan iklim di bumi semakin menghawatirkan. Dengan adanya pagelaran wayang kulit yang mensosialisasikan perubahan iklim membuat kita lebih menyadari betapa besarnya dampak perubahan iklim mulai dari hal yang terkecil hingga yang besar. Padahal, pembaca harus tahu apa sebenarnya cerita atau synopsis “Gareng Kepanasan”. Menurut penulis, disinilah poin menarik dari beritanya.
3. Pembahasan menyeluruh
5W+1H terjawab, tapi tidak mendalam. Hanya menghadirkan fakta apa adanya. Secara etika jurnalistik, sudah layak. Meskipun demikian,iIstilah perubahan iklim tidak dijelaskan dengan baik. Hanya membicarakan soal dampak (itupun secara umum), bukan penyebab dan bagaimana cara nyata menghadapinya.
4. Menampilkan konflik/drama
Tidak ada konflik/drama. Tulisan ini datar
5. Penampilan /kemasan berita
Tampilan tidak kaya. Hanya mengandalkan teks semata. Batas paragraf juga tidak jelas.
6. Verifikasi berlapis
Tak perlu verifikasi karena tidak menimbulkan pro dan kontra.
Sumber: diolah dari hasil temuan
Kendala yang muncul pada tulisan tersebut tidak bisa
menjelaskan secara menyeluruh apa itu “perubahan iklim” dan cerita
“Gareng Kepanasan”. Tampilannya juga standar, meski 550 orang
pembaca telah mengakses tulisan ini (per 30 Juli 2012, pukul 10.49
WIB). Sementara pada berita Wisata Berbasis Kearifan Lokal
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 103
Dikembangkan di SembalunTiga yang dipublikasi 14 Januari 2012,
lagi-lagi, tidak menjelaskan secara mendalam soal poin kearifan lokal
yang dimaksud dalam pemberitaan. Tulisan tersebut melihat
kearifan lokal yang “dilekatkan” pada sebuah bangunan yang akan
dibangun oleh pemerintahan setempat yang berfungsi untuk menarik
peminat wisata sekaligus tempat transaksi hasil bumi penduduk
lokal di Gunung Rinjani. Pesan terputus sampai disitu tanpa
menjelaskan apa poin kearifan lokal yang dimaksud dan gagal
menghubungkannya dengan perubahan iklim. Andai jurnalisnya
mau bekerja lebih peka, tulisan tersebut berpotensi menjadi tulisan
yang lebih menarik dengan berupaya melihat sisi lain, tidak sekedar
mengutip pernyataan langsung dari pejabat Dinas Budaya dan
Pariwisata setempat terkait proses pembangunan. Berita tersebut
telah dibaca sebanyak 422 kali (per 30 Juli 2012, pukul 11.22 WIB).
Lihat tabel berikut:
Tabel 3.
Analisis pada Berita: Wisata Berbasis Kearifan Lokal
Dikembangkan di SembalunTiga (14 Januari 2012)
Kriteria Penjelasan 1. Mengandung
unsur perubahan iklim dan kearifan lokal
Beberapa kali menyebut kearifan lokal, lihat kutipan berikut: Sembalun yang semula bernama Sembahulun Kabupaten Lombok Timur, selain dikenal dengan sajian wisata alam Gunung Rinjani yang indah, juga dikembangkan wisata berbasis kearifan lokal… …Dana pembangunan bale adat ini bersumber dari APBN senilai 1 miliar rupiah lebih, yang tujuannya untuk meningkatkan pemukiman yang mengandung nilai budaya dan kearifan lokal…
2. Istilah populer Tidak ada istilah rumit yang dipakai 3. Pembahasan
menyeluruh 5W+1H terpenuhi, tapi jurnalis tidak masuk lebih mendalam mengupas isu kearifan lokal dan mengaitkannya ke perubahan iklim. Beritanya lugas, tapi dangkal.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
104 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
Kriteria Penjelasan 4. Menampilkan
konflik/drama Tidak ada konflik/drama. Penokohan tidak dipakai untuk mengalirkan cerita.
5. Penampilan /kemasan berita
Sudah ada foto, tapi tidak ada keterangannya
6. Verifikasi berlapis
Ada baiknya jurnalis juga mewawancarai penduduk setempat untuk melengkapi temuan.
Sumber: diolah dari hasil temuan
Bagaimana dengan berita yang lain? Pada berita Adaptasi
dengan Pijakan Kearifan Tradisional: Masyarakat Adat & Perubahan
Iklim yang dipublikasi 21 April 2012, sudah mampu menjelaskan
kearifan lokal dengan baik. Dalam berita tersebut, dipaparkan
dengan jelas bentuk-bentuk kearifan lokal dari masyarakat Haruku,
Timor Tengah Selatan, dan Kepulauan Mentawai. Tapi sayangnya,
penjelasan soal penyebab perubahan iklim tidak dibahas mendalam.
Hanya dampaknya saja yang dikemukakan. Berita ini juga
menampilkan dua foto mengenai diskusi yang membahas kearifan
lokal. Tapi, foto tersebut tidak memiliki penjelasan. Meskipun berita
ini sudah lumayan komprehensif, sayangnya, hanya dibaca sebanyak
195 kali (per 30 Juli 2012, pukul 11.58 WIB). Di sisi lain, meski sudah
ada konflik atau drama sebagai daya tariknya tapi masih terasa
lemah. Konflik dapat dilihat ketika para tokoh yang menjadi
narasumber berkisah mengenai kearifan lokal di wilayahnya masing-
masing. Lihat tabel di bawah ini:
Tabel 4.
Analisis pada Berita Adaptasi dengan Pijakan Kearifan
Tradisional: Masyarakat Adat & Perubahan Iklim
(21 April 2012)
Kriteria Penjelasan 1. Mengandung
unsur perubahan iklim dan kearifan lokal
Tulisan memuat cerita/istilah perubahan iklim dan kearifan lokal, berikut kutipan dari berita: Eliza Kiyas, Kepala Kewang Negeri Haruku mengisahkan bahwa secara turun temurun masyarakat Haruku telah mengenal sasi, yaitu larangan untuk tidak merusak lingkungan. “Hal ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan adaptasi atau mitigasi. Sasi sudah kita kenal
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 105
Kriteria Penjelasan selama ratusan tahun. Sekarang ada lagi upaya membangun talud, padahal hal itu mengakibatkan masyarakat tidak tanggap bahaya. Selama ini tanpa talud, orang kampung sudah tahu kalau air naik sekian meter berarti mereka harus bersiap-siap,” ungkap Eliza Kiyas. Di paragraf lain: Kearifan juga terasa di bidang arsitektur tradisional yang menggunakan kayu. Terbukti saat gempa, semua rumah beton hancur, dan yang bertahan adalah rumah kayu. “Kita dulu dibohongi pengusaha. Dikatakan bahwa lebih kuat seng dan semen. Bahkan dibilang kalau atap seng akan membuat rumah lebih mewah karena berkilat-kilat.” Papar Kortanius. Kini setelah masyarakat tahu bahwa ternyata kayu lebih kuat, mereka ingin kembali membangun rumah kayu. Masalahnya, sekarang kayu susah dicari. Sebagai solusinya, warga kini banyak yang kembali menanami kayu. “Tapi kami tidak tahu lagi kalau hutan sudah diganti dengan kelapa sawit, semakin habislah kami,” lanjut Kortanius dengan lirih.
2. Istilah populer Relatif tidak ada kata-kata asing yang butuh diterjemahkan ke dalam bentuk yang lebih populer.
3. Pembahasan menyeluruh
Berita ini sudah mendalam. Pesan-pesan kearifan lokal dipaparkan. Tapi kurangnya adalah pembahasan “perubahan iklim” yang terlalu sederhana, terutama soal penyebabnya untuk disikapi bersama. Dalam berita, pembaca dianggap sudah mengetahui apa itu perubahan iklim dan penyebabnya.
4. Menampilkan konflik/drama
Sedikit terasa ketika para tokoh adat dihadirkan dalam berkisah. Namun, akan sangat menarik, jika penokohan disampaikan di depan tulisan untuk membawa pembaca menikmati tulisan.
5. Penampilan /kemasan berita
Foto ada, tapi hanya sekedar foto saat saresehan berlangsung, itupun tidak dilengkapi dengan keterangan/penjelasan gambar.
6. Verifikasi berlapis
Narasumber sangat kuat. Sejumlah tokoh adat menjadi narasumber.
Sumber: diolah dari hasil temuan
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
106 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
Kesimpulan dari analisis yang sederhana ini adalah berita
ketigalah yang mulai ideal, terlepas dari panjang-pendeknya isi
tulisan dan masalah redaksional, yakni soal penulisan kata dan tata
kalimat. Berita ketiga menunjukkan kemampuan jurnalis dalam
memaparkan persoalan dalam hal ini perubahan iklim dan kearifan
lokal. Sementara berita pertama dan kedua, masih teramat dangkal
mengupas atau memasukkan isu perubahan iklim dan kearifan
meskipun dua istilah tersebut telah diperlihatkan. Dari sisi kuantitas,
berita-berita lingkungan terkait perubahan iklim dan kearifan lokal
jumlah sangat minim dalam kurun waktu 6 bulan terakhir. Angka ini
jauh banyak dari jumlah berita keseluruhan yang ditampilkan dalam
waktu 6 bulan terakhir tesebut yakni 1369 berita.8 Sementara itu,
pemanfaatan keunggulan media siber secara optimal juga belum
dilakukan. Hal ini bisa dilihat pada tidak adanya link terkait dengan
berita untuk memudahkan pembaca melihat berita sejenis. Yang ada
hanyalah konten berita dan komentar terbaru yang ditempatkan di
sisi kanan berita. Begitu pula penggunaan file-file audio dan visual,
tidak ada sama sekali dalam ketiga berita di atas. Hanya fotolah yang
terlihat, itupun tidak dilengkapi penjelasan foto. Berita ditampilkan
seadanya. Padahal jika ada, setidaknya, akan mendongkrak daya tarik
berita. Apa sebab?
Rifky Indrawan, editor Suara Komunitas untuk wilayah
Lampung, menjelaskan Isu lingkungan dan pengelolaannya ternyata
bukanlah isu yang paling diprioritaskan dalam pemberitaan.
Kebijakan ini diperoleh dari Pertemuan Nasional Radio Suara
Komunitas di Cirebon pada bulan April 2010. Pertemuan ini dihadiri
editor dari seluruh wilayah Indonesia. Rifky menuturkan:
“…isu lingkungan menjadi nomor sekian. Fokus utama kita
adalah pelayan publik. Warga sudah direpotkan dengan
pelayan publik yang kacau, jalan rusak, kesehatan. Ini jadinya
yang diprioritaskan..” (wawancara 31 Juli 2012)
8 Angka ini belum mengalami pengurangan. Karena dalam mesin pencari tidak
dibedakan mana berita, mana tulisan opini, ataupun cerita pengalaman.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 107
Tantangan lainnya adalah jurnalis warga, atau yang disebut
Suara Komunitas pewarta warga, banyak yang tidak mengerti model
pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal. Ada juga persepsi
bahwa berita-berita “kasus”, yakni berita-berita peristiwa yang
menyoal isu-isu hangat, adalah berita yang lebih pantas diangkat. Isu-
isu perubahan iklim dan kearifan lokal menjadi kurang diangkat
secara serius. Masyarakat, dari hasil pantauan editor, lebih suka
terhadap berita-berita kasus semacam ini. Rifky menjelaskan:
“Ada masyarakat terjepit kerena tertimpa sesuatu dan
mintanya diselesaikan, oleh kita (pewarta warga) berita itu
diangkat dan dipublikasi. Dan akhirnya masyarakatpun
menemukan solusinya..” (wawancara 31 Juli 2012)
Lebih lanjut, soal adanya jurnalis warga yang tidak mengerti
model pengelolaan lingkungan, apalagi soal perubahan iklim dan
kearifan lokal, Rifky menyimpulkan karena tidak ada pelatihan
khusus soal isu-isu tertentu untuk para jurnalis Suara Komunitas.9
Yang ada adalah pelatihan-pelatihan dasar jurnalistik. Itupun,
menurut Akhmad Fadli, editor Suara Komunitas untuk wilayah
Cilacap dan sekitarnya, pelatihan jurnalistik yang dimaksud bukanlah
pelatihan jurnalistik kelas, melainkan pelatihan jurnalistik ynag
dilakukan melalui milis. Fadli bertutur:
“Pelatihannya tidak khusus. Ada artikel-artikel yang selalu
muncul di milis antar pewarta warga soal bagaimana meliput
yang baik. Ada Tanya jawab yang difasilitasi oleh seorang
fasilitator…” (wawancara 31 Juli 2012)
9 Khusus di Lampung, Rifky yang juga pengurus Jaringan Radio Komunitas (JRK)
wilayah Lampung mengklaim pengetahuan ini sudah didapat sejak dari radio
komunitas dan organisasi yang menaungi radio. Maklum, wilayahnya
merupakan wilayah yang kerap bersinggungan dengan permasalahan
lingkungan. Karena tuntutan Suara Komunitas agar berita yang diangkat lebih
memprioritaskan kebijakan public, maka isu-isu lingkungan yang terkait dengan
perubahan iklim dan kearifan lokal ia tempatkan/tayangkan di radio komunitas.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
108 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
Jurnalis warga dituntut belajar secara mandiri untuk
mengetahui isu-isu yang tengah berkembang di ranah jurnalistik,
salah satunya adalah perubahan iklim dan kearifan lokal. Tuntutan
ini semakin bertambah tatkala pola kerja Suara Komunitas disepakati
bersifat sukarela. Maksudnya, jurnalis yang mengirimkan berita
dengan tidak dibayar.10 Sehingga jika jurnalis warga mau menulis
berita dan mengirimkannya ke Suara Komunitas maka haruslah
dianggap sebuah prestasi dan harus disyukuri. Akibatnya redaksi tak
bisa menuntut lebih. Pada perjalanannya, jurnalis warga harus
membagi energi sebaik mungkin, yakni tetap mencari nafkah untuk
keluarga, mengelola radio/media komunitas tempat ia bernaung, dan
mengirimkan berita ke Suara Komunitas. Ini belumlah selesai. Jika
jurnalis warga berasal dari media radio, maka ia harus bekerja dua
kali, yakni menulis berita untuk disiarkan di radio komunitasnya lalu
menulis berita untuk ditampilkan di Suara Komunitas. Harus
dipahami karakter berita radio berbeda dengan berita teks. Berita
radio berprinsip kalimat bertutur, sementara berita teks harus lebih
detil. Dengan kondisi semacam ini, tentu saja agak berat melakukan
pekerjaan yang idealis.
Penentuan topik pemberitaan di Suara Komunitas adalah
berdasarkan potensi di wilayah jurnalis warga masing-masing.
Kebebasan terbatas diberlakukan. Maksudnya jurnalis warga harus
terus memegang teguh kebijakan redaksi terutama soal prioritas
topik pemberitaan, yakni fasilitas publik. Tapi semakin kemari,
kontrol semakin longgar sehingga berita yang masuk terkadang tidak
10
Salah satu alasan Suara Komunitas berdiri adalah, adanya aset berupa sumber
daya manusia yang bernaung di sejumlah radio komunitas dan media komunitas
lainnya. Aset ini sangat berpotensi untuk diberdayakan melakukan peliputan.
Sehingga berita-berita yang dipasok ke Suara Komunitas pada dasarnya adalah
berita-berita yang diliput jurnalis warga yang memang juga diperuntukkan
untuk media komunitasnya sendiri. Prinsip sekali merengkuh dayung, dua – tiga
pulau terlampaui benar-benar diterapkan. Belum lagi ada sejumlah radio
komunitas yang mati, sementara awaknya masih mau berperan. Suara
Komunitas memberikan ruang untuk awak-awak semacam ini memberikan
kontribusinya sebagai jurnalis warga.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 109
sesuai karakter, seperti: berita kriminal yang bernuansa kekerasan
atau berita penokohan aparat pemerintahan yang terkesan sebagai
bentuk pencitraan.11 Kondisi juga mendukung lemahnya liputan-
liputan isu-isu tertentu. Sehingga dari semua masalah di atas
mengapa berita-berita perubahan iklim minim dan jikapun ada tidak
konsisten cara memberitakannya terjawab sudah. Penulis menilai,
fokus liputan yang merupakan hasil kebijakan redaksi yang tidak
menempatkan isu perubahan iklim dan kearifan lokal sebagai isu
prioritas, belum meratanya pengetahuan dan kemampuan jurnalis
untuk menulis berita-berita lingkungan yang terkait perubahan iklim
dan kearifan lokal termasuk menyiasati konten agar menarik dilihat
pembaca, serta terbatasnya jumlah jurnalis warga yang bisa meng-
cover liputan semacam ini dan tak bisa dituntut lebih karena sifat
pekerjaannya sukarela adalah penyebabnya.
Kesimpulan
Suara Komunitas meskipun berpotensi menjadi tandingan
media arus utama dalam hal penayangan informasi, khususnya
terkait perubahan iklim dan kearifan lokal, ternyata masih harus
berbenah. Bukan tidak mampu, tapi masih belum konsisten dan
belum memanfaatkan secara optimal memanfaatkan media siber
sebagai wilayah “bermainnya”. Bukan tanpa bukti, tiga berita yang
telah dianalisis oleh penulis menunjukkan bahwa berita soal
perubahan iklim dan kearifan memang ada. Tapi, sekali lagi, tidak
konsisten. Penyebarluasan isu-isu lingkungan hidup dan perubahan
iklim berbasis kearifan lokal tidak akan berjalan ideal jika media
penyampai informasinya tidak bisa menghasilkan berita yang
memuat nilai-nilai tersebut.
11
Fadli menjelaskan di wilayahnya, Cilacap, pembicaraan soal isu-isu khusus
(misalnya : lingkungan) pernah dilakukan dan menemukan kesepakan bersama.
Tapi pada kenyataannya tidak berjalan semestinya. Ia beralasan hal ini karena
kekurangan jurnalis warga untuk meng-cover liputan-liputan tersebut
(wawancara 31 Juli 2012).
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
110 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
Kunci dari semua ini adalah pada diri jurnalis dan redaksi.
Memang, isu lingkungan hidup dan perubahan iklim dalam kaitannya
dengan kearifan lokal adalah satu dari sekian banyak isu penting
yang terjadi di komunitas, meskipun demikian jurnalis warga tak
boleh luput memberitakannya secara komprehensif. Dampak
lingkungan hidup sangat besar bagi kehidupan manusia, kearifan
lokal adalah salah satu jalan keluarnya. Jurnalis warga yang berniat
meliput isu ini punya tanggung jawab agar pembaca bisa memahami
secara keseluruhan apa yang hendak disampaikan, tidak setengah-
setengah. Harapannya, dengan informasi yang komprehensif, tidak
ada multitafsir atas satu informasi dan terjadi gerakan bersama
untuk mengatasi perubahan iklim. Jurnalis warga juga bertanggung
jawab agar berita yang dibuatnya dibaca dengan sebaik-baiknya.
Dengan kata lain, jurnalis warga dengan segala keterbatasan yang
ada harus mampu mengemas beritanya dengan indah dan menawan.
Pada akhirnya, selain harus selalu berpihak pada masyarakat dan
mematuhi kode etik, mengutip Covach & Rosentiel, Jurnalis harus
berusaha membuat yang penting menjadi menarik dan relevan
sekaligus menjaga agar berita itu proporsional dan komprehensif.
Daftar Pustaka
Adi, IGG Maha. 2007. Jurnalistik Lingkungan, dalam situs berita lingkungan http://www.greenpressreport.com, yang diakses pada 24 Juli 2012, pkl 13.39 WIB
Charity, Arthur. 1995. Doing Public Journalism, New York: The Guilford Press
Chesney, Robert Mc. 1998. Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, Jakarta: AJI Jakarta.
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Eriyanto. 2011. Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana.
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 111
Firmansyah, M. A & Mokhtar, M. S. 2011. Kearifan Lokal Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Usahatani dalam Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim di Kalimantan Tengah, sebuah Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Adaptasi Perubahan Iklim di Sektor Pertanian, di Bandung 8 Nopember 2011.
Ishwara, Luwi. 2011. Jurnalisme Dasar, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Jatmiko, Tejo Wahyu. 2012. Rio+20: Indonesia Mau ke Mana?, dalam Kompas, 5 Juni 2012, hal. 6
Kovach, Bill & Rosentiel, Tom. 2001. Elemen-elemen Jurnalisme, Jakarta: ISAI.
Kusumaningrat, Hikmat & Kusumaningrat, Purnama. 2006. Jurnalistik: Teori & Praktek. Bandung: Rosda
Laksono, Dandhy Dwi. 2009. Menyingkap Fakta, Jakarta: AJI Indonesia
Maryani, Eni. 2011. Media dan Perubahan Sosial, Bandung: Rosda
Mudiarta, Rani & Stalker, Peter. 2007. Sisi Lain Perubahan Iklim: Mengapa Indonesia harus Berpartisipasi untuk Melindungi Rakyat Miskinnya, Jakarta: UNDP Indonesia .
Murdiyarso, Daniel. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Santana, Septiawan. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: YOI
Hardjasoemantri, Koesnadi. 1996. Pendekatan Holistik dalam Jurnalisme Lingkungan, dalam Atmakusumah, Iskandar, dkk (ed.). Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa, Jakarta: YOI – LPDS
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, sebuah makalah yang disajikan dalam prosiding seminar nasional Peneltian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009.
Stovall, James Glen. 2005. Journalism: Who, What, When, Where, Why, and How, USA: Pearson
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
112 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran, Jakarta: ISAI - LKIS
Wahyu & Nasrullah. Tahun tidak diketahui. Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai dalam Pengelolaan Padi di Lahan Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala, diunduh dari http://sosiologi.upi.edu/artikelpdf/dayakbakumpai.pdf pada 19 Juli 2012, pukul 15.34 WIB.
Media Cetak
Abrasi, 120 Pulau Bisa Tenggelam Bisa Jadi Ancaman terhadap Titik Batas Negara, Kompas, 11 Juni 2012. Hal. 3
PERUBAHAN IKLIM Kenaikan Permukaan Laut Sulit Dikendalikan, Kompas, 4 Juli 2012. Hal. 9
Perubahan Iklim dapat Dikendalikan, Buletin Tata Ruang, Mei-Juni 2011, hal. 28
Konferensi Rio+20 : Indonesia dan Ekonomi Hijau, Kompas, 27 Juni 21012, hal. 14
Sumber Online
http://www.antaranews.com/berita/319027/klimatolog--perubahan-iklim-buat-petani-bingung, dilihat pada 18 Juli 2012, pukul 14.57 WIB.
http://www.redd-indonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=223&Itemid=83, dilihat pada 19 Juli 2012, pukul 09.04 WIB
http://unfccc.int/files/meetings/cop_13/press/application/pdf/sekilas_tentang_perubahan_iklim.pdf, diunduh 19 Juli 2012
http://rumahiklim.org/wp-content/uploads/2011/08/Kearifan-Lokal-Pengelolaan-Hutan-Adat-di-Kp-Hulu.pdf, diunduh pada 19 Juli 2012, pukul 15.44 WIB
www.suarakomunitas.net), menurut profilnya (http://suarakomunitas.net/web/siapa_kami, dilihat pada 27 Juli 2012, pukul 13.51 WIB
http://regional.kompas.com/read/2011/03/24/19410238/Kearifan.Lokal.Hadapi.Perubahan.Iklim, dilihat pada 19 Juli 2012, pukul 15.51 WIB
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 113
Oleh: ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.12
Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Bakrie - Jakarta
Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan, Jakarta Selatan - 12920.
HP: 0818467664, E-mail: [email protected]
12 Aryo adalah lulusan Strata-1 sosiologi Universitas Gadjah Mada tahun 2005 dengan fokus sosiologi media. Di tahun 2010, ia melanjutkan kuliah pada jenjang Strata-2 sebagai fellow pada program beasiswa untuk jurnalis kerjasama Medco Foundation – Universitas Paramadina dengan mengambil konsentrasi komunikasi politik. Di pertengahan tahun 2011, dalam masa studi 3 semester, ia akhirnya menyelesaikan studinya berpredikat cum laude. Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ini memulai karir jurnalistik penyiaran semasa kuliah di tahun 2000. Sejumlah media tempatnya menimba ilmu, diantaranya: Radio Swaragama FM Jogjakarta, Radio Eltira Jogjakarta (grup Kompas), Radio Elshinta Jakarta, ANTV, TPI (sekarang MNC TV), dan tvONE. Pada Juli 2011, ia memilih berhenti dari media arus utama dan fokus pada pendidikan tinggi yang telah ia jalani sejak tahun 2007 sembari bekerja di media. Pada Februari 2012, ia akhirnya memilih sebagai dosen tetap di Universitas Bakrie. Topik media komunitas dan demokratisasi adalah salah satu topik yang ia minati.