mekanisme pengadaan dan konsinyasi ganti...
TRANSCRIPT
MEKANISME PENGADAAN DAN KONSINYASI GANTI RUGI TANAH
OLEH PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PEMBANGUNAN JALAN
UMUM
(Studi Kasus Pelebaran Jalan Ciater – Rawa Mekar Jaya)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh
MOH FAHMI BAHARUDIN
NIM.1111048000062
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
ii
iii
iv
ABSTRAK
Moh Fahmi Baharudin. NIM 1111048000062. MEKANISME PENGADAAN
DAN KONSINYASI GANTI RUGI TANAH OLEH PEMERINTAH TERKAIT
DENGAN PEMBANGUNAN JALAN UMUM (Studi Kasus Pelebaran Jalan
Ciater – Rawa Mekar Jaya) Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum
Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 93 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui tentang apakah pengadaan tanah dan konsinyasi terhadap
pembangunan untuk kepentingan umum dan faktor apa saja yang mempengaruhi
tindakan pemerintah dalam hal tata cara ganti kerugian dan konsinyasi tanah
menurut Undang-Undang yang berlaku. Latar belakang skripsi ini adalah
pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya dimana
pemerintah Tangerang Selatan mengadakan pembangunann yang dikarenakan
Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya sudah tidak dapat menampung volume
kendaraan yang pada saat jam pergi dan pulang kerja bisa menyebabkan macet
hingga berjam-jam. Untuk itu pemerintah Kota Tangerang selatan perlu untuk
membebaskan lahan untuk sebagai tempat pembangunan jalan tersebut. Dengan
adanya pembebasan lahan ini maka perlu diadakan musyawarah dengan
masyarakat yang bertujuan untuk mensosialisasikan harga penawaran tanah.
Kegiatan konsinyasi juga harus ditempuh untuk mempercepat kegiatan pengadaan
lahan ini mengingat bahwa anggaran belanja daerah harus cepat dikeluarkan guna
mengejar target anggaran pendapatan dan belanja daerah Kota Tangerang Selatan.
Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-
hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadaan tanah oleh Pemerintah
Kota Tangerang Selatan sudah memenuhi ketentuan – ketentuan yang diatur
dalam Undang – Undang No.2 Tahun 2014 dalam hal kegiatan sosialisai,
musyawarah dan kegiatan ganti rugi dengan pelepasan hak atas tanah oleh pemilik
hak tanah. Kegiatan konsinyasi ganti rugi tanah juga dilakukan dengan baik dan
sesuai aturan yang dimana konsinyasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Tangerang Selatan untuk beberapa bidang yang masih menjadi sengketa oleh
pemiliknya dan juga ada pemilik tanah yang sudah meninggal dan tidak diketahui
ahli wasirnya.
Kata Kunci : Pengadaan Tanah, Konsinyasi, Kepentingan Umum
Pembimbing : 1. H. M. Yasir, SH., MH.,
2. Dra. Hafni Muchtar, SH., MH., MM.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d. Tahun 2015.
v
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر الر بسم للاه
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum skripsi ini.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat
memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Syariah Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau
skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan yang diberikan oleh berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, dan Drs Abu Thamrin
SH, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
3. Bapak H. M. Yasir, SH., MH. Dan Ibu Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH, MH,
MM selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu ilmu
kepada Penulis serta dengan sabar dalam membimbing dan mangarahkan
penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan
vi
4. Bapak Ahmad Bahtiar M.Hum. selaku Pembimbing Akademik atas
bimbingan, cerita dan nasihatnya selama Penulis menuntut ilmu di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Utama dan
Fakultas Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Kedua orang tua yang tercinta Ayahanda Setiawan Budiman dan Ibunda
Ucu Samawiyah, yang senantiasa mendoakan penulis dan memberi
motivasi, baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi serta menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Nandha Almira Rizky sebagai teman hidup disaat suka dan duka yang telah
menemani hidup penulis, yang terus memberi semangat dan menghibur,
walaupun saat ini sedang berada di benua seberang sana. Terima kasih atas
perhatian, cinta, kasih sayang, dan waktunya yang diberikan kepada
penulis.
9. Teman – teman Ilmu Hukum angkatan 2011 terutama TIM HORE yakni
Ahmad Haidar Muiny, Ahmad Ulama, Rian Rizky Setiawan yang sering
membuat kekacauan, keisengan, kesenangan dan “gak jelas” yang mungkin
akan terus diingat.
10. Teman – Teman KKN DHA yang selama sebulan bersama.
11. Pedagang Kuliner di Koperasi Mahasiswa SC, Abang Somay, Abang Mie
Ayam, Ibu Ketoprak & Gado – Gado terima kasih sudah menghibur penulis
vii
disaat penulisan skripsi ini dan menyediakan makanan dikala lapar
melanda.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan,
untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun,
sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu
memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Tangerang Selatan: 01 Oktober 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………….........………......... i
LEMBAR PENGESAHAN……………………….........………..................... ii
LEMBAR PERNYATAA.…………………….........………........................ iii
ABSTRAK…...……………….........………................................................... iv
KATA PENGANT.……………………….........………................................. v
DAFTAR ISI……......………………….........………........................................viii
BAB I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah……………………….........……… 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah,……........... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ….…………..…...……….......... 10
D. Review (Kajian) Studi Terdahulu.........................………. .......... 12
E. Kerangka Konseptual..................................................................... 13
F. Metode Penelitian.............…………………........................... 14
G. Metode Analisis Data.................................................................... 18
H. Metode Penulisan.......................................................................... 19
I. Sistematika Penulisan. .......................…...………………....... 19
BAB II. Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Pengadaan Tanah.............................................................. 21
B. Pengertian dan Fungsi Pelepasan Hak Atas Tanah.......................... 29
C. Hak Atas Tanah.................................................................................... 29
D. Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum............. 41
E. Bentuk dan Jenis Ganti Kerugian...................................................... 45
BAB III. Kebijakan Pengadaan Tanah dan Konsinyasi Tanah Menurut
Hukum Positif Serta Kebijakan Pengadaan Tanah Ditinjau
dari Aspek Hukum Islam
ix
A. Kebijakan Pengadaan Tanah Menurut Hukum Positif
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang
Ketentuan Ketentuan Mengenai Tata Cara Pengadaaan Tanah.......46
2. Kepres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ....................47
3. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum... .......48
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012................................. .............50
B. Kebijakan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif
1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata....................................... 52
2. Kepres No. 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum... ..................53
3. Perpres No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.... ...............54
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012................................. .............55
C. Prinsip Pengadaan tanah ditinjau dari perspektif hukum Islam. .............56
1. Sistem Pertanahan dalam Islam........................................................... 56
2. Sejarah Hukum Pertanahan Islam....................................................... 57
3. Prinsip Pengadaan tanah dan ganti kerugian ditinjau dari perspektif
hukum Islam........................................................................................ 61
BAB IV. ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kebijakan Pelebaran Jalan Raya Ciater
Rawa Mekar Jaya.................................................................................... 69
B. Mekanisme pengadaan dan konsinyasi ganti rugi atas tanah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disertai dengan Peraturan Presiden
No 99 Tahun 2014..................................................................................... 72
C. Prosedur pengadaan tanah dalam Pembangunan pelebaran jalan Ciater-
Rawa Mekar Jaya sudah sesuai dengan Undang – Undang No.2 Tahun
2012 serta Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014.................................. 78
x
D. Pelaksanaan mekanisme pembayaran ganti kerugian melalui konsinyasi
bagi masyarakat yang pembayaran bidang tanahnya dikonsinyasikan ke
Pengadilan Negeri setempat...................................................................... 88
E. Analisa Penulis mengenai Pengadaan dan Konsinyasi Ganti Rugi Tanah
Oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam Pembangunan Pelebaran
Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya...................................................... 90
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 92
B. Saran....................................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 95
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap makhluk hidup. Manusia,
hewan, tumbuhan membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal dan berpijak. Bagi
manusia tanah juga berfungsi sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang
mencari nafkah melalui usaha pertanian dan perkebunan, berdagang serta sebagai
tempat pemakaman saat manusia meninggal dunia. Saat ini kompleksnya
kebutuhan manusia menyebabkan semakin kompleks pula aktivitas yang
berkembang di masyarakat. Tanah menjadi suatu objek penggerak ekonomi bagi
manusia maupun negara yang pengunaannya tidak dapat dipisahkan dari politik
dan hukum, sekaligus memiliki fungsi untuk mewujudkan kemanfaatan bersama.
Permasalahannya, jumlah tanah yang ada tidak seimbang dengan besarnya
kebutuhan masyarakat untuk melakukan pembangunan demi terlaksananya
berbagai aktivitas. Kondisi ini yang menjadi ironi, karena di satu sisi tanah
berharga sangat tinggi karena permintaannya tapi di lain pihak jumlah tanah tidak
sesuai dengan penawarannya.1 Kondisi ini diperparah karena tanah memiliki sifat
permanen, yang artinya tidak dapat bertambah bahkan cenderung berkurang
1 Bambang Tri Cahyo, Ekonomi Pertanahan, (Yogyakarta : Liberty, 1983), h. 16.
2
akibat kenaikan air laut yang disebabkan pemanasan global. Kondisi ini yang
menyebabkan stagnansi jika dihubungkan dengan pertumbuhan penduduk yang
terus meningkat dan masalah pembangunan.2
Dengan meningkatnya aktivitas manusia maka dipastikan kebutuhan akan
transportasi sebagai penghubung antara suatu tempat dengan tempat yang lain
akan terus meningkat. Dengan meningkatnya kebutuhan akan transportasi ini
maka kebutuhan akan tanah sebagai tempat pijakan alat transportasi akan terus
meningkat dan meningkat setiap waktunya.
Tanah yang menyangkut hak orang banyak adalah prioritas yang paling
dasar atau dipentingkan. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga
berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut
dikorbankan guna kepentingan umum.
Fungsi sosial ini menuntut adanya keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum. Adanya keseimbangan antara kedua
kepentingan tersebut diharapkan dapat tercapai keadilan dan kesejahteraan seluruh
rakyat.3
Hal tersebut yang kemudian menjadi justifikasi untuk melakukan
pengadaan tanah, dalam konteks memprioritaskan kepentingan umum di atas
2 Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, (Jakarta : Rajawali Press, 1991),
h. 55. 3 Sudargo Gautama,Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,(Bandung : Alumni, 1984), h.
21.
3
kepentingan perseorangan sehubungan dengan penggunaan tanah. Pada
prinsipnya, pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antar pihak yang
memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk
kegiatan pembangunan.4
Dalam mengatasi permasalahan ini, pemerintah membentuk suatu
mekanisme pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang selanjutnya diatur
dalam UU No. 2 Tahun 2012. Undang-undang tersebut mengatur bahwa demi
kepentingan umum,tanah perlu dibebaskan dari hak perseorangan yang
membebaninya melalui serangkaian prosedur dan berujung pada pemberian ganti-
rugi bagi pihak pengemban hak atas tanah sebelumnya.Hal ini bersesuaian dengan
semangat hukum pertanahan Indonesia yang menyatakan bahwa tanah harus
memiliki fungsi sosial.
Menurut Pasal 36 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 Pemberian Ganti
Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. permukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
4 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta :
Kompas, 2008), h. 280.
4
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa disebut Undang-Undang Pokok
Agraria yang disingkat (UUPA) di atur tentang hak-hak atas tanah yang dapat
diberikan kepada warga negaranya berupa yang paling utama Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah,
Hak untuk Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam
hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-
hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.
Dengan adanya perbedaan hak yang diberikan tentunya akan ganti rugi yang
diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar yang harus diterima
sebagai penggantian bagi pemilik hak tersebut.
Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di
dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Dilihat dari kebutuhan
pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa
tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas, oleh karena itu satu-satunya cara
yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat.5
Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum telah didasari oleh
Undang Undang No 5 tahun 1960 : ”untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
5 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Edisi Satu, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 45-46.
5
atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan Undang-Undang”
Tata cara pencabutan hak sebenarnya telah diatur dalam UU No 20 tahun
1961, tetapi hal tersebut jarang digunakan dan cara-cara yang digunakan saat ini
adalah Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan yang diatur dengan Perpres No 36
tahun 2005 , kemudian diperbarui dengan Perpres No 65 tahun 2006 dengan
Peraturan Kepala BPN No 3 tahun 2007. Yang kemudian diperbarui oleh
Undang-Undang No.2 Tahun 2012.
Pembangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum dewasa ini
menuntut adanya pemenuhan kebutuhan akan pengadaan tanah secara cepat.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Undang-Undang No.2
Tahun 2012 yang merupakan penyempumaan dari Perpres No.65 Tahun 2006
yang mengatur Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi
Kepentingan Umum menjadi salah satu payung hukum bagi pemerintah dalam hal
mempermudah penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut. Melalui kebijakan
tersebut, melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah, pemerintah mempunyai
kewenangan untuk mengambil tanah milik masyarakat yang secara kebetulan
diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.6
Menurut Pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 dikemukakan bahwa
6 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Edisi Kesatu Cetakan Kedua, h.225.
6
pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah diharuskan untuk melakukan
konsultasi publik. Mekanisme musyawarah (konsultasi publik) yang menjadi
sarana untuk mencari jalan tengah dalam menentukan besarnya ganti kerugian
seringkali tidak mencapai kata sepakat dan karenanya dengan alasan kepentingan
umum. para pihak yang keberatan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan
negeri yang kemudian diteruskan ke Mahkamah Agung apabila ada pihak yang
keberatan dengan putusan Pengadilan Negeri setempat.7
Setelah ada putusan dari Mahkamah Agung melalui panitia pengadaan
tanah dapat menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan negeri setempat melalui
prosedur konsinyasi apabila ada pihak yang tetap keberatan terhadap putusan
tersebut.
Penulis mengambil studi tentang konsinyasi tanah ini karena terdapat
banyak tempat tinggal ataupun toko yang menjadi tempat mencari nafkah dan
mata pencaharian utama masyarakat sekitar. Dengan adanya rencana pembebasan
tanah untuk kepentingan umum seperti pelebaran jalan, jalan tol, jalan layang,
jembatan maupun yang lainnya membuat resah para pemilik lahan. Sebagai warga
negara Indonesia yang baik harus mendahulukan kepentingan masyarakat
daripada kepentingan pribadi, hal ini dinyatakan dengan kerelaan untuk
mengorbankan tanah mereka untuk pembangunan tersebut. Tetapi di sisi lain
sebagai manusia biasa mereka juga membutuhkan tempat tinggal untuk
7 Pasal 38 Undang - Undang No.2 Tahun 2012.
7
berlindung dan mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,
maka dari itu seluruh warga yang memiliki hak atas tanah akan berusaha sekuat
tenaga untuk mempertahankan hak miliknya.
Terdapat beberapa kepentingan yang kelihatannya sangat bertentangan
antara satu dengan yang lain dalam hal pengadaan tanah tersebut. Di satu pihak
pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya dan di pihak
lain masyarakat juga membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal serta mata
pencaharian untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani maupun rohaniah. Ada
beberapa pihak yang beranggapan kalau ada sebidang tanah yang sangat
diperlukan untuk kepentingan pembangunan maka mau tidak mau masyrakat
harus menyerahkan tanah miliknya untuk menjadi milik negara dalam rangka
pembangunan untuk kepentingan umum.
Sedangkan di lain pihak para pemilik tanah juga mempunyai hak atas
tanah miliknya tersebut. Pemerintah tidak dapat begitu saja atau dengan
seenaknya membebaskan tanah tersebut tanpa ganti rugi. Meskipun diberikan
ganti rugi tetapi besarnya tidak dapat juga dilakukan dengan keputusan sepihak
dari pemerintah saja, kalau hal ini dilakukan maka pemerintah akan menginjak
hak asasi dari warga negaranya sendiri.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas maka penulis
tertarik untuk melakukan kajian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul :
8
”MEKANISME PENGADAAN DAN KONSINYASI GANTI RUGI
TANAH OLEH PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PEMBANGUNAN
UNTUK JALAN UMUM". (Studi Kasus Pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar
Jaya)
B. Identfikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Pembangunan Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya menjadi salah satu
prioritas di dalam Rencana Tata Ruang di Pemerintah Kota Tangerang
Selatan. Untuk itu terdapat beberapa aspek-aspek yang menjadi masalah
dalam hal pembangunan pelebaran jalan raya Ciater – Rawa Mekar Jaya ini,
beberapa aspek masalah tersebut adalah
a. Bagaimanakah rencana tata ruang yang ada di Kota Tangerang Selatan
sebagai kota yang sedang dalam pembangunan menuju Kota Mandiri
yang maju?
b. Berapakah jumlah anggaran yang dipersiapkan oleh pemerintah Kota
Tangerang Selatan untuk melakukan pembangunan khususnya pelebaran
Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya?
c. Bagaimana ketepatan prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan
Ciater – Rawa Mekar Jaya jika ditinjau dari Undang-Undang No.2 Tahun
9
2012?
d. Bagaimana pelaksanaan pembayaran ganti kerugian melalui konsinyasi
bagi masyarakat yang pembayaran ganti rugi bidang tanahnya
dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat?
2. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah dengan bertujuan untuk
memfokuskan pada masalah utama yang akan diangkat sehingga didapatkan
hasil yang maksimal dari tujuan awal perumusan.
Penelitian ini memfokuskan pada tindakan pengambilalihan tanah
yang dilakukan pemerintah Kota Tangerang Selatan yang berkaitan dengan
konsinyasi tanah kepada pengadilan negeri setempat untuk pembebasan lahan
guna pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa mekar Jaya.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah digambarkan pada latar belakang permasalahan,
maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Bagaimana mekanisme pengadaan dan konsinyasi ganti rugi atas tanah
yang digunakan untuk Pembangunan demi Kepentingan Umum
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku khususnya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 disertai dengan Peraturan Presiden No 99 Tahun
2014?
b. Bagaimanakah prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan Ciater –
10
Rawa Mekar Jaya, sesuaikah dengan Undang – Undang No.2 Tahun 2012
serta Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014?
c. Bagaimana pelaksanaan mekanisme pembayaran ganti kerugian melalui
konsinyasi bagi masyarakat yang pembayaran bidang tanahnya
dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Untuk mengetahui mekanisme ganti rugi atas tanah yang digunakan
untuk Pembangunan demi Kepentingan Umum
b. Untuk mengetahui apakah prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran
Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya sesuai dengan Peraturan Presiden
No 71 Tahun 2012 j.o Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2007
c. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan mekanisme ganti kerugian
melalui konsinyasi bagi masyarakat yang pembayaran bidang tanahnya
dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat
2. Manfaat Penelitian
Apabila tujuan penulisan ini tercapai, diharapkan hasil penulisan ini akan
11
membawa manfaat atau kontribusi :
a. Manfaat Teoritis
1) Sebagai bagian dari perkembangan kajian-kajian yang digunakan
dalam permasalahan hukum, khususnya hukum agraria dalam hal
pengadaan tanah untuk pembangunan atas nama kepentingan
umum.
2) Sebagai bahan pertimbangan dalam proses rencana pengadaan
tanah yang akan digunakan pemetintah untuk pembangunan atas
nama kepentingan umum.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi pembaca, memberi wawasan atau pengetahuan dari penulis
mengenai hal-hal yang terkait dengan pengadaan tanah untuk
pembangunan (kepentingan umum). Pada sisi lain, dengan adanya
penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan informasi di
bidang hukum agraria bagi mereka yang sedang dan akan
menempuh mata kuliah hukum agraria khususnya pengadaan tanah
guna pembangunan umum
2) Bagi Pemda atau Instansi terkait, memberikan referensi bagi
rencana pengadaan tanah untuk pembangunan. Selain itu juga
memberikan gambaran tentang apa yang diinginkan masyarakat dari
proses pengadaan tanah tersebut, agar nantinya tidak terjadi salah
12
pengertian dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
D. Riview (Kajian) Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, penulis akan menyertakan
penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan
dibahas yakni
Skripsi yang disusun oleh Dwi Erga Seprizal dari Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang, tahun 2007, dengan judul “Pelaksanaan
Pengadaan Tanah dan Ganti Ruginya Terkait Dengan Rencana Pembangunan
Jalan Lingkar Timur Kota Malang”. Penelitian ini difokuskan pada segala cara
pengambil-alihan lahan yang dilakukan pemerintah dalam rangka pembangunan
jalan lingkar timur kota malang serta bagaimana mekanisme penggantian uang
kepada masyarakat selaku pemilik lahan.
Serta jurnal ilmiah yang disusun oleh Alan Guna Kusuma dari Fakultas
Hukum Universitas Mataram, tahun 2013, dengan judul “Perlindungan Hukum
Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Terhadap Pencabutan Hak Atas Tanah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.” Jurnal Ilmiah ini
difokuskan pada perlindungan hukum atas pencabutan hak atas tanah yang
didasarkan pada Undang-Undang No 20 Tahun 1961.
Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda, penelitian yang akan diangkat
oleh penulis adalah cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus mengenai
tinjauan yuridis mengenai pengadaan tanah dan penulis juga mencari data dari
13
tinajuan hukum islam serta pelaksanaan konsinyasi penggantian tanah dilihat dari
Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk
kepentingan Umum. Penelitian yang diangkat oleh penulis bersifat normatif
berdasarkan undang-undang yang berlaku, serta empiris yaitu mencari data – data
di lapangan berdasarkan kenyataan yang ada di lapangan.
E. Kerangka Konseptual
Cita-cita sebuah negara yang berkembang adalah terus dan terus tumbuh
berkembang menjadi negara yang maju dan sejahtera. Pembangunan adalah salah
satu wujud nyata dari perkembangan sebuah negara apakah negara tersebut
berkembang maju atau justru sebaliknya menjadi negara yang semakin terpuruk.
Pembangunan sendiri adalah suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus
dalam rangka memperbaiki indikator sosial maupun ekonomi pada suatu wilayah
dari waktu ke waktu.
Dilihat dari hal-hal diatas negara Indonesia sebagai negara berkembang
dituntut untuk secara terus menerus melakukan pembangunan untuk mewujudkan
cita- cita menjadi sebuah negara maju, pembangunan ini terkadang memerlukan
wilayah yang luas yang dapat bertabrakan dengan lahan yang dimiliki oleh
masyarakat. Maka dari itu konsep konsinyasi walaupun terasa cukup kejam,
namun hingga saat ini konsep ini masih merupakan sebuah cara yang ampuh
untuk menghindari tertundanya pembangunan yang dapat menghambat seluruh
14
mobilitas pada suatu daerah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang terdapat pada skripsi yang diangkat oleh penulis ini
adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang orang dan perilaku yang dapat diamati.8
2. Pendekatan yang dipakai
Pendekatan yang dipakai oleh penulis yakni ada 3(tiga) jenis yakni :
a. Pendekatan undang-undang (statute approach)Pendekatan perundang-
undangan digunakan untuk meneliti segala macam aturan baik konstitusi
maupun undang-undang serta peraturan pemerintah lainnya yang
berkaitan dengan segala tindakan pengambilalihan tanah dan mekanisme
konsinyasi oleh pemerintah yang bertujuan untuk kepentingan umum.
b. Pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan konsep
digunakan untuk memahami konsep-konsep pembangunan serta
pengambilalihan tanah oleh pemerintah sehingga didapatkan konsep-
konsep yang jelas menghindari sifat ambiguitas dari sebuah peraturan
yang ada.
8 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,: Remaja Rosdakarya, 2002)
h. 9.
15
c. Pendekatan perbandingan (comparative approach).Pendekatan
perbandingan digunakan oleh penulis untuk membandingkan segala
proses pengambil alihan tanah baik dalam undang-undang maupun dalam
praktek dilapangan dengan bahan dan sumber penelitian
3. Bahan dan Sumber Penelitian
Berdasarkan sumbernya, penulisan ini berdasarkan :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam
penelitian hukum normatif, yang berupa peraturan Perundang-
Undangan, dalam penulisan bahan hukum primer yang digunakan
adalah sebagai berikut :
1) Undang-Udang Dasar 1945;
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak Atas Tanah Dan Benda-benda yang ada di atasnya.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi
Sehubungan Dengan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-
benda Yang Ada Di Atasnya.
16
5) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
6) Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pencabutan Hak-hak Atas tanah Dan Benda-benda Yang Ada
Di Atasnya.
7) Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
8) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
9) Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah;
11) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres
17
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
12) Peraturan menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008
13) Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Untuk kepentingan Umum
14) Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum
b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisa dan memahami bahan hukum primer, meliputi :
1). Buku-buku yang membahas tentang hukum agraria dan
masalah pengadaan tanah untuk pembangunan.
2). Hasil karya ilmiah para sarjana tentang pengadaan/pembebasan
tanah.
3). Hasil penelitian tentang pengadaan/pembebasan tanah.
4. Metode Pengumpulan Data
a. Library Research
18
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen yaitu dengan melakukan penelitian terhadap
berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan agraria
dan kegiatan pengadaan tanah oleh pemerintah, proses dan sebab akibat
dari kegiatan konsinyasi oleh pemerintah, peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan proses konsinyasi pengadaan tanah, pendapat para
ahli dan sarjana, jurnal, artikel dan berbagai berita dari sumber lainnya.
b. Field Research
Selain itu penulis juga menyajikan penelitian lapangan (field research),
dengan cara, penulis langsung terjun kelapangan untuk memperoleh data
yang berkaitan dengan pokok permasalahan seperti dengan wawancara
dan yang lainnya
G. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif
kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah metode analisa data yang
mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber dan
peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa dengan
interpretasi penulis menggunakan bahan hukum, baik bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis
untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan
19
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.9 Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap
bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam mengenai
hal – hal yang ada di dalam Peraturan yang berlaku dengan yang ada di lapangan.
H. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai
dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
I. Sistematika Penulisan :
Untuk dapat memberikan gambaran yang komprehensip, maka penyusunan hasil
penelitian perlu dilakukan secara runtut dan sistematis sebagai berikut :
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisikan antara lain latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
Bab kedua merupakan tinjauan pustaka umum mengenai teori-teori pembebasan
lahan dan pengadaan lahan oleh pemerintah untuk kepentingan umum, Macam –
9 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II, (Malang :
Bayumedia Publishing, 2006), h. 393.
20
macam hak atas tanah yang ada di negara Indonesia serta pengertian dan berbagai
bentuk dan jenis ganti kerugian yang diberikan oleh pemerintah kepada warga
pemilik hak tanah.
Bab ketiga merupakan tinjauan umum tentang kebijakan pengadaan tanah serta
pencabutan hak tanah oleh pemerintah menurut Undang – Undang yang ada di
Indonesia baik dari Peraturan Menteri Hingga Undang- Undang yang berlaku, serta
tentang pengadaan tanah yang ditinjau dari hukum Islam.
Bab keempat merupakan bab utama yang berisi tentang analisis tentang
pengadaan tanah Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya. Analisis ini berisikan tentang
jumlah warga yang terkena pengadaan tanah, harga pelepasan tanah yang diberikan
sebagai ganti kerugian oleh pemerintah.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari hasil
penelitian dan pembahasan terhadap permasalah yang telah diuraikan, serta saran dari
penulis berkaitan dengan mekanisme konsinyasi atas tanah yang dibebaskan untuk
Pembangunan atas nama Kepentingan Umum.
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pengadaan Tanah
Tanah dan Pembangunan adalah dua unsur yang satu dengan lainnya
berkaitan, dengan perkataan lain, tidak ada pembangunan tanpa tanah1. Secara
Istilah yang dimaksud Pengadaan tanah adalah mengadakan atau menyediakan
tanah oleh pihak tertentu baik dari pemerintah maupun pihak swasta.
Menurut Imam Koeswahyono pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan
hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi
kepentingan tertentu dengan cara memberikan ganti kerugian kepada si empunya
(baik perorangan atau adan hukum) tanah menurut tata cara dan besaran nominal
tertentu.2
Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres 55 tahun 1993 yang dimaksud dengan
pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain
pemberian ganti kerugian.
1 B.F. Sihombing, Evolusi kebijakan pertanahan dalam hukum tanah Indonesia (Jakarta :
Toko Gunung Agung, 2004), h. 46. 2 Imam Koeswahyono, Artikel, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Pembangunan Bagi Umum, 2008, h. 1.
22
Menurut Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan pembaharuan dari
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.3
Sedangkan menurut Undang – Undang No. 2 Tahun 2012 dengan peraturan
pelaksaan Perpress No.71 Tahun 2012 pengertian pengadaan tanah adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak.
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengadaan
tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak
atas tanah yang layak dan adil kepada para pihak yang berhak atau juga dengan
mekanisme pencabutan hak atas tanah.
Secara umum dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan
tanah untuk kepentingan pemerintah yang terdiri dari kepentingan umum,
sedangkan yang kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi
kepentingan komersial dan bukan komersial atau bukan sosial.
1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
Definisi mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara
jelas dan baku diketahui setelah dikeluarkannya Keppres Nomor 55 Tahun
1993, sebelumnya tidak ada definisi secara jelas dan baku mengenai
3 Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
23
pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut. Berdasarkan Pasal 1
ayat 3 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang dimaksud dengan kepentingan
umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat, selanjutnya dalam
Pasal 5 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang
dilakukan Pemerintah dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah. Dengan
demikian pembangunan untuk kepentingan umum tidak ditujukan untuk
mencari untung.4 Hal tersebut selaras dengan pendapat Maria SW
Soemardjono yaitu kepentingan umum mengandung tiga unsur esensial:
dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan non profit.5
Menurut Oloan Sitorus kepentingan umum itu sendiri adalah
kebutuhan, keperluan, dan kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas,
namun menurut Oloan Sitorus sendiri bahwa pengertian tersebut masih
terlalu umum dan tidak ada batasnya.6
John Selindeho mengungkapkan kepentingan umum sendiri adalah
termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat,
dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas
4 AA. Oka Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi, dan Pertanahan, (Jakarta :
Sinar Harapan, 1996), h. 291. 5 Maria SW Soemardjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (
Jakarta : Buku Kompas, 2005), h. 78. 6 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
(Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), h. 6.
24
atas dasar asas-asas pembangunan nasional ketahanan nasional serta
wawasan nusantara.7
Menurut Adrian Sutedi Ada tiga prinsip yang dapat dikatakan bahwa
suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu :8
a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah. Mengandung
batasan bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dimiliki oleh
perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan perorangan tidak
dapat memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang
membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun negara.
b. Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah, Memberikan
batasan bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk
kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh pemerintah.
c. Tidak mencari keuntungan
Membatasi fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga
benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan mencari
keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan
umum sama sekali tidak boleh mencari keuntungan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepentingan
umum adalah kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat umum dan
7 John Selindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar
Grafika, 1988), h. 40. 8 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta : Sinar Grafika, 2008) h. 45.
25
harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas secara langsung maupun
tidak langsung.
Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pemilik lahan
memang seharusnya harus merelakan tanahnya dijadikan untuk kepentingan
umum sebagaimana tertera di pasal 6 yang menyatakan bahwa “semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial”9 dari pasal tersebut tertera secara jelas
bahwa pemilik lahan juga harus sadar bahwa tanah yang dimiliki atau hak
yang dimilikinya mempunyai fungsi sosial yang diperuntukkan untuk orang
banyak.
Dalam pasal 10 disebutkan bahwa Pembangunan untuk kepentingan
umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah meliputi:10
a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api,
dan fasilitas operasi kereta api;
c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
9 Pasal 6 Undang – Undang No.5 Tahun 1960.
10 Pasal 10 Undang – Undang No 12 Tahun 2012
26
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. Fasilitas keselamatan umum;
k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. Cagar alam dan cagar budaya;
2. Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta
Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta sebenarnya dibagi menjadi 2
(dua) macam yakni pengadaan tanah untuk kepentingan swasta murni dan
kepentingan swasta yang terdapat kepentingan umum didalamnya.
Kepentingan swasta murni adalah kepentingan yang diperuntukan
memperoleh keuntungan semata, sehingga peruntukan dan kemanfaatannya
hanya dapat diperoleh oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja bukan
masyarakat luas. Sebagai contoh untuk perumahan, industri, pariwisata, dan
peruntukan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan pihak
tertentu. Jadi tidak semua orang bisa memperoleh manfaat dari
pembangunan tersebut, melainkan hanya orang-orang yang berkepentingan
saja.
Sedangkan kepentingan swasta yang terdapat kepentingan umum adalah
kepentingan yang diperuntukkan untuk memperoleh keuntungan untuk
pihak-pihak tertentu didalamnya serta terdapat pula kepentingan yang
diperuntukkan untuk orang banyak, seperti contohnya pembangunan jalan tol
27
atau jalan bebas hambatan, pembangunan bandar udara, pembangunan
pelabuhan dan lain sebagainya.
Didasarkan dari pengertian diatas maka Pengadaan tanah untuk
kepentingan swasta berbeda dengan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, baik secara peruntukan dan kemanfaatan maupun tata cara perolehan
tanahnya.
Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan swasta murni dalam
Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 terdapat 2 (dua) cara pembebasan tanah
untuk keperluan swasta yaitu secara langsung dan melalui Panitia
Pembebasan Tanah. Namun sejak berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun
1993, hanya ada satu cara yang dapat dilakukan oleh swasta, yaitu dilakukan
secara langsung atas dasar musyawarah dalam hal memberikan ganti
kerugian, dimana bantuan dari Pemerintah hanya berupa pengawasan dan
pengendalian, sebagaimana telah diberikan petunjuknya dalam Surat Edaran
Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 6 Desember 1990
No.580.2D.III11
Pengadaan tanah oleh pihak swasta murni harus berdasarkan
kesepakatan dan bersifat sukarela antara kedua belah pihak dan tidak ada
yang boleh merasa terpaksa dalam menjual lahan atau tanah miliknya. Pihak
swasta juga tidak bisa menentukan harga seperti yang dilakukan oleh tim
11
Arie S Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, (Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia, 2003), h. 31.
28
penilai tanah pemerintah, dan pemilik lahan bebas untuk tidak menjual
tanahnya dengan alasan apapun. Tentunya sangat berbeda dengan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum yang dimana pemilik lahan sedikit dipaksa
dan harus menjual lahannya dengan dalih untuk kepentingan umum.
B. Pengertian dan Fungsi Pelepasan Hak Atas Tanah
Pelepasan hak atas tanah adalah suatu penyerahan kembali hak itu kepada
Negara dengan sukarela.12
Perbuatan ini dapat bertujuan agar tanah tersebut
diberikan kembali kepada suatu pihak tertentu dengan suatu hak tanah baru
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku.
Sedangkan menurut Prof Boedi Harsono, SH, yang dimaksud dengan
pelepasan hak atas tanah adalah setiap perbuatan yang dimaksud langsung
maupun tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang
hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi yang berhak
atau penguasa tanah itu.13
Pelepasan hak atas tanah dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari
pemegang hak baik mengenai teknis pelaksanaannya maupun bentuk atau besar
ganti rugi kalau si pemegang hak tidak bersedia melepaskan atau menyerahkan
tanahnya maka pemerintah melalui musyawarah baik dengan instansi terkait serta
12
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar
Grafika, 1988), h. 40. 13
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1996), h. 89.
29
para pemilik tanah yang terkena proyek pembangunan pelebaran jalan umum
dengan diberikan ganti rugi agar tanahnya dapat digunakan untuk proyek
tersebut.
Oleh karena itu dalam acara pelepasan hak dilihat dari para pemegang hak
yaitu melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan umum atau
kepentingan bersama diberikan ganti rugi yang layak sesuai dengan harga dasar
yang ditentukan pada tempat proyek pembangunan tersebut dilaksanakan.
Namun untuk pembebasan hak atas tanah apabila dikaitkan dengan
kepentingan umum para pemegang hak atas tanah dituntut kesadaran lain tidak
hanya terdapat pertimbangan harga ganti rugi yang telah diberikan para pihak
yang memerlukan tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum
tersebut, karena maksud dan tujuan pelepasan hak atas tanah tersebut sekedar
melihat dari pandangan kepentingan individu saja melainkan dihubungkan
dengan kepentingan umum.
Maka dari itu didilihat dari sudut pandang pelepasan hak atas tanah adalah hak
dari pemilik kepada para pihak yang memerlukannya dengan dasar memberikan
ganti rugi hak atas tanah yang diperlukan oleh para pihak yang membutuhkan
tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum.
C. Hak Atas Tanah
30
Hak atas tanah adalah hak yang memberikan kewenangan kepada yang
empunya hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya.14
Dengan kata lain Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas
tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dimilikinya atau
pemilik hak atas tanah.
Dalam pasal UUD 1945 serta pasal 2 ayat (1) UUPA berisi yakni “Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”15
Berdasarkan
ketentuan tersebut, Negara adalah pemilik dari seluruh yang ada didalam wilayah
kekuasaannya dan berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat
dimiliki dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang
memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Dalam pasal 4 ayat (1) berisi : “Atas dasar Hak Menguasai dari negara
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang
orang lain serta badan-badan hukum”.
14 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum, (Jakarta : Rajawali, 1991), h. 229. 15
Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945
31
Sedangkan dalam ayat (2) dinyakatan bahwa : “Hak-hak atas tanah yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air
serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penatagunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi“.
Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan hak-hak
atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan
badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dan negara
menentukan hak atas tanah seperti diatur dalam pasal 16 ayat (1) UUPA , yaitu :
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, hak Pakai, Hak Sewa, Hak
Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan; Hak-hak lain yang tidak
termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-
undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal
53.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok,
diantaranya: Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak atas tanah yang
berasal dari tanah Negara. Hak-hak atas tanah primer (orginair) yaitu hak atas
32
tanah yang langsung diberikan oleh Negara kepada subyek hak yang terdiri dari
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai16
a. Hak Atas Tanah Bersifat Tetap. Hak atas tanah menurut UUPA diatur dalam
Pasal 16 yaitu :
1) Hak Milik (HM)
Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat
dari Hak Milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak Milik
merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah. Hak milik ini juga bersifat turun temurun yang artinya hak milik
tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal
dunia.17
Subjek dari Hak Milik adalah Warga Negara Indonesia, dalam hal ini
perorangan. Badan hukum tidak dapat menjadi subjek untuk hak milik.
(1) Ciri-Ciri Hak Milik
Hak Milik pada dasarnya mempunyai mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut;
(a) Hak Milik dapat dijadikan hutang
(b) Boleh digadaikan
16 Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri
Hukum Pertanahan I, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), h. 2. 17 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum, (Jakarta, Rajawali,1991), h. 229.
33
(c) Hak Milik dapat dialihkan kepada orang lain
(d) Hak Milik dapat dilepaskan dengan sukarela
(2) Hapusnya Hak Milik
Ketentuan Pasal 27 UUPA menyebutkan bahwa hak milik hapus apabila;
(a) Tanahnya jatuh kepada Negara;
(b) Pencabutan hak berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPA.
(c) Karena dengan penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
(d) Karena diterlantarakan
(e) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2)
(f) Tanahnya musnah.
Hak milik memang bersifat terkuat dan terpenuh, namun pemberian sifat
ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak mutlak, tidak terbatas
dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom seperti yang
dirumuskan dalam Pasal 571 KUHPerdata. Sifat demikian bertentangan
dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Walaupun
hak milik ini tersirat kata memiliki didalamnya namun tetap menurut
Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) hak milik ini tetap saja
memiliki fungsi sosial18
yang apabila sewaktu waktu diperlukan untuk
kepentingan umum maka pemilik lahan seharusnya rela memberikan
lahannya untuk kepentingan umum, namun tentu saja dengan nilai atau
harga yang sesuai.
18
Pasal 6 Undang – Undang Pokok Agraria.
34
2) Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna
perusahaan pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan PP No.40
Tahun 199619
Hak guna usaha dapat diberikan untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun, kecuali untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang
lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35
tahun seperti untuk perkebunan kelapa sawit yang merupakan tanaman
berumur panjang20
dan dapat diperpanjang 25 tahun atas permintaan
pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahaannya.
Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan atas tanah yang luasnya
minimal 5 hektar. Jika luas tanah yang dimohonkan Hak Guna Usaha
mencapai 25 hektar atau lebih, maka penggunaan Hak Guna Usahanya
harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan
yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.21
Hak Guna Usaha terbatas pada usaha pertanian, perikanan,peternakan.
Namun walaupun tanah yang dipunyai dengan hak guna usaha tetapi boleh
mendirikan bangunan diatasnya. Bangunan bangunan yang dihubungkan
19
Pasal 8 ayat (1)Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. 20
Legalakses.com “Hak Guna Usaha” artikel diakses pada 12 Agustus 2015 dari
www.legalakses.com/hak-guna-usaha-hgu. 21
Legalakses.com “Hak Guna Usaha” artikel diakses pada 12 Agustus 2015 dari
www.legalakses.com/hak-guna-usaha-hgu.
35
dengan usaha pertanian, perikanan, peternakan, tanpa memerlukan hak
lain. -
Hak Guna Usaha mempunyai ciri khusus yaitu;
a) Hak Guna Usaha tergolong hak atas tanah yang kuat artinya tidak
mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain.
Oleh karena itu hak guna usaha salah satu hak yang wajib didaftar.
b) Hak Guna Usaha dapat beralih yaitu diwaris oleh ahli waris yang
empunya hak.
c) Hak Guna Usaha jangka waktunya terbatas, pada suatu waktu pasti
berakhir.
d) Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.
e) Hak Guna Usaha dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual,
ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan atau diberikan dengan
wasiat.
f) Hak Guna Usaha dapat dilepaskan oleh pemiliknya, hingga tanahnya
menjadi tanah Negara.
h) Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan guna keperluan usaha
pertanian, perikanan, dan peternakan.
Subjek Hak Guna Usaha
36
a) Hak Guna Usaha terjadi karena adanya penetapan pemerintah, subyek
dari Hak Guna Usaha adalah siapa-siapa saja yang dapat diberikan Hak
Guna Usaha dari pemerintah yakni;22
b) Warga Negara Indonesia.
c) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
d) Hapusnya Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha dapat terhapus oleh beberapa faktor yaitu :
(1) Jangka waktu berakhir.
(2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi.
(3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir.
(4) Dicabut untuk kepentingan umum.
(5) Tanahnya diterlantarkan.
(6) Tanahnya musnah.
(7) Karena ketentuan Pasal 30 ayat 2 UUPA.
3) Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu
22
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum, (Jakarta : Rajawali, 1991), h. 229.
37
paling lama 30 tahun.23
Dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang haknya
dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan, jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
Hak Guna Bangunan hapus karena;
a) Jangka waktunya berakhir.
b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi.
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir.
d) Dicabut untuk kepentingan Umum.
e) Diterlantarkan.
f) Tanahnya musnah.
4) Hak Pakai (HP)
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
23
Pasal 35 ayat (1) Undang – Undang Pokok Agraria.
38
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang.24
Subyek dari hak pakai adalah;
a) Warga Negara Indonesia
b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c) Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia.
d) Badan-badan hukum yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hapusnya Hak Pakai
UUPA pada dasarnya tidak memuat ketentuan khusus mengenai
hapusnya hak pakai. Biarpun demikian dapat dikemukakan bahwa
hapusnya hak tersebut jika;25
a) Jangka waktu berakhir
b) Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
yang harus dipenuhi oleh pemegang haknya yang bersangkutan
dengan statusnya.
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir.
24
Pasal 41 ayat (1) Undang – Undang Pokok Agraria. 25
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum, h. 229.
39
d) Dicabut untuk kepentingan umum.
e) Tanahnya musnah.
Hak Pakai diatur dalam Pasal 39 s/d Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996.
5) Hak Sewa
Pasal 44 UUPA menyebutkan bahwa;26
a) Seorang atau suatu badan ahukum mempunyai hak sewa atas tanah,
apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa.
b) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan;
1) Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu.
2) Sebelum atau sesudah tanah dipergunakan.
3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak
boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasan.
Berdasarkan isi dari ketentuan Pasal tersebut dapat dikatakan bahwa hak
sewa adalah hak yang member kewenangan kepada orang lain untuk
26
Pasal 44 Undang – Undang Pokok Agraria.
40
menggunakan tanahnya. Perbedaannya dengan hak pakai adalah dalam hak
sewa penyewa harus membayar uang sewa.
b. Hak Atas Tanah Bersifat Sementara (Sekunder)
Hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak untuk menggunakan
tanah milik pihak lain, atau dengan kata lain penggunaan suatu jenis hak-hak
atas tanah yang bersumber dari hak milik, terdiri dari: Hak Pakai, Hak Sewa,
Hak Gadai, Hak Usaha Bagi hasil, Hak Menumpang.27
Hak atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 UUPA. Hak
tersebut dimaksudkan sebagai hak yang bersifat sementara karena pada suatu
ketika hak tersebut akan dihapus. Hal tersebut disebabkan karena hak tersebut
bertentangan dengan asas yang terdapat dalam Pasal 10 UUPA yaitu,
“seseorang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan
mengerjakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan,
namun sampai saat ini hak-hak tersebut masih belum dihapus”. Oleh karena
itu yang dimaksud dengan Hak atas tanah yang bersifat sementara adalah :
1) Hak gadai tanah/jual gadai/jual sende
Hak gadai/jual gadai/jual sende adalah menyerahkan tanah dengan
pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang
menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembalinya tanah
tersebut dengan memberikan uang yang besarnya sama.
27
Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri
Hukum Pertanahan I, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), h. 2.
41
2) Hak Usaha Bagi Hasil
Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk
menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa
hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut perjanjian yang
telah disetujui sebelumnya.
3) Hak Sewa Tanah Pertanian
Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada
orang lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan
perjanjian bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah
selama waktu tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya.
4) Hak menumpang
Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada
seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan
orang lain. Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu
kepada yang empunya tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut
bersifat sangat lemah artinya sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh yang
empunya tanah jika yang bersangkutan memerlukan sendiri tanah tersebut.
Hak menumpang dilakukan hanya terhadap tanah pekarangan dan tidak
terhadap tanah pertanian.
D. Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum
42
Pengertian ganti kerugian tanah tidak banyak dijelaskan dalam Undang-
Undang maupun Peraturan Pemerintah dalam hal mengatur undang-undang itu
sendiri. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 disebutkan bahwa
ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak
dalam proses pengadaan tanah. Dari pengertian tersebut sebenarnya dijelaskan
secara singkat bahwa memang seharusnya penggantian tanah yang dilakukan
pemerintah harus dinilai layak oleh semua pihak.
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menentukan dasar dan cara perhitungan ganti
kerugian/harga tanah yang didasarkan kepada nilai nyata atau sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak (selanjutnya disebut NJOP). Namun
Perpres ini tidak memperhitungkan pemberian kompensasi untuk faktor non-
fisik. Adapun perhitungan kompensasi faktor fisik sebagai berikut: 28
1. Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas harga tanah yang
didasarkan atas NJOP atau nilai nyata atau sebenarnya dengan
memperhatikan nilai jual obyek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan
lembaga/tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia dan dapat
berpedoman pada variabel – variabel seperti lokasi dan letak tanah, Status
tanah, Peruntukan tanah, Kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah
ada, Sarana dan prasarana yang tersedia.
28
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, h. 166.
43
Faktor lain yang mempengaruhi harga tanah, nilai jual bangunan yang
ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan,
nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab dibidang pertanian.29
2. Dasar perhitungan ganti rugi, lembaga/tim penilai harga tanah ditetapkan
oleh Bupati/Walikota atau Gubernur. Kesulitan yang dihadapi dalam
perhitungan ganti rugi oleh lembaga/tim penilai dan tim panitia pengadaan
tanah pemerintah kota dan kabupaten adalah adanya perbedaan harga
pasar dan harga yang telah ditetapkan dalam NJOP. Dalam berbagai
kasus, sering terjadi harga tanah merupakan hasil musyawarah antara tim
panitia pengadaan tanah yang meminta harga lebih tinggi dari NJOP.30
Masalah ganti kerugian merupakan hal yang rumit penanganannya
dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah. Penetapan ganti kerugian
untuk tanah dianggap rumit karena di samping nilai nyata tanah yang
didasarkan pada NJOP tahun terakhir, terdapat berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi harga tanah. Faktor-faktor tersebut adalah lokasi, jenis hak
atas tanah, status penguasaan atas tanah, peruntukan tanah, kesesuaian
dengan rencana tata ruang wilayah, prasarana, fasilitas dan utilitas,
lingkungan dan faktor-faktor lain. Sudah tentu pemegang hak harus sangat
29
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, h. 166. 30
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, h. 166.
44
berhati-hati dalam menyampaikan keinginan terhadap besarnya ganti
kerugian terhadap tanahnya.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH
yakni menurut beliau nilai tanah yang nyata/sebenarnya itu tidak mesti sama
dengan harga umum, karena harga umum bisa merupakan harga catut.
Sebaliknya pula harga tersebut tidak pula berarti harga yang murah.
Sesungguhnya sering sekali masalah nilai ganti rugi ini merupakan masalah
yang sangat kompleks sekali penyelesaiannya. Harga ganti rugi ini
seyogyanya adalah harga yang sekiranya seperti terjadi jual beli biasa atas
dasar komersil sehingga pencabutan hak tersebut bukan sebagai suatu
ancaman dan pemilik bersedia menerima harga tersebut.31
Dalam setiap pengadaan tanah untuk pembangunan hampir selalu
muncul rasa tidak puas dari masyarakat yang hak atas tanahnya terkena
proyek tersebut merasakan bahwa korban penggusuran pada umumnya
belum dapat menikmati makna keadilan sesuai dengan pengorbanannya.
Dalam kenyataan ini sudah seharusnya perlu perhatian lebih dalam
penerapan peraturan perundangan. Adrian Sutedi mengatakan bahwa begitu
vitalnya ganti rugi, maka ganti rugi itu minimal harus sama dan senilai
dengan hak-hak dan pancaran nilai atas tanah yang akan digusur. Bila tidak
senilai, namanya bukan ganti rugi, tetapi sekadar pemberian pengganti atas
31 A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung : Mandar
Maju, 2008), h. 52.
45
tanahnya yang tergusur. Prinsip dan tujuan UUPA harus dimaknai bahwa
ditempuhnya prosedur penggusuran tidak berarti akan merendahkan nilai
ganti rugi tanah, bangunan dan tanamannya serta benda-benda lain yang
melekat pada bangunan dan tanah.32
E. Bentuk dan jenis ganti rugi
Dalam Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diatur
mengenai bentuk ganti kerugian dapat diberikan berupa33
:
1. uang
2. tanah pengganti;
3. permukiman kembali;
4. kepemilikan saham; atau
5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud diatas baik terdiri dari satu
jenis maupun gabungan dari beberapa jenis ganti kerugian, diberikan sesuai
dengan nilai Ganti Kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang telah
disepakati bersama.
32
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar Grafika,
2007), h. 184 . 33
Pasal 74 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
46
BAB III
Kebijakan Pengadaan dan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif dan
Hukum Islam Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan
A. Kebijakan Pengadaan Tanah Menurut Hukum Positif
Menurut Peraturan yang ada di Indonesia, tata cara pengadaan tanah diatur
dalam beberapa peraturan yaitu :
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang
Ketentuan - Ketentuan Mengenai Tata Cara Pengadaaan Tanah
Dalam Permendagri Nomor 15 tahun 1975 pengadaan tanah
dikenal dengan pembebasan tanah. Menurut Pasal 1 ayat (1) “Pembebasan
tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara
pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti
rugi.”1 Permendagri tersebut juga mengatur tentang tata cara pembebasan
tanah untuk kepentingan pemerintah dan pembebasan tanah untuk
kepentingan swasta.
Dalam hal pembebasan tanah bagi kepentingan pemerintah
dibentuk Panitia Pembebasan Tanah (selanjutnya disebut PPT)
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Permendagri Nomor 15 Tahun 1975,
sedang untuk kepentingan swasta tidak dibentuk panitia khusus,
pemerintah hanya mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah tersebut
1 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.
47
antara para pihak yaitu pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang
memiliki tanah.
2. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 dinyatakan
bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu pertama pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual beli,tukar menukar dan
cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.2
Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara
sukarela. Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum
sebagaimana yang diatur dalam Keppres Nomor 55 tahun 1993,
sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah yang
dilaksanakan selain untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 6 ayat (1)
Keppres Nomor 55 tahun 1993, menyatakan bahwa: “Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan PPT yang dibentuk
oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sedangkan ayat (2) menyatakan
bahwa “Panitia Pengadaan Tanah” dibentuk disetiap Kabupaten atau
Kotamadya Tingkat II”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Keppres Nomor 55 Tahun 1993
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
2 Pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.
48
umum dilaksanakan dengan musyawarah yang bertujuan untuk mencapai
kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya
imbalan. Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan
para pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan
yang disepakati oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 15
Keppres Nomor 55 tahun 1993.
3. Perpres No 36 Tahun 2005 jo Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ada sedikit
perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993.
Menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menyatakan bahwa: “pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah”.3
Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa: “pengadaan tanah selain bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau
pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau
cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
3 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005.
49
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi
kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun
pemerintah daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah
selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah
ataupun pemerintah daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta
maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar-menukar atau dengan cara lain
yang disepakati secara sukarela dengan pihak-pihak yang bersangkutan.
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya yang tidak
membedakan secara tegas mengenai tata cara pengadaan tanah baik untuk
kepentingan umum, maupun bukan kepentingan umum yang dilaksanakan
oleh pemerintah ataupun pihak swasta sehingga dalam ketentuan ini
memperjelas aturan pelaksaan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan
umum maupun swasta.
Setelah kurang lebih setahun berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun
2005, Perpres tersebut digantikan dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006,
yang berupaya untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap
hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, sebagaimana
diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dinyatakan bahwa “pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
50
umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah.4 Prinsip penghormatan hak atas tanah diartikan bahwa pemilik hak
atas tanah yang diambil tanahnya, tingkat kehidupan ekonominya harus
lebih baik dibandingkan sebelum ia melepaskan hak atas tanahnya.Karena
pemilik hak atas tanah tersebut telah merelakan tanahnya untuk keperluan
pembangunan, sehingga harus diberikan suatu penghormatan atas jasa
pemilik hak atas tanah tersebut.
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012
Saat ini telah disahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
yang merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan
perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa
keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-undang ini
diharapakan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang
yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan.
Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-
undangan sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang untuk
memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana. Bunyi
Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 undang-undang ini:5“Pengadaan tanah
4 Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
5 Pasal 1 angka 2 Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2012.
51
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian
yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”.
Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi “Ganti Kerugian adalah
penggantian layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan
tanah”. Asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam
Undang Undang ini yang menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan,
kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan.6
Dari sekian banyak asas haruslah asas keadilan diutamakan karena
asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan
angka 10 undang-undang ini. Kalimat: “Ganti kerugian adalah
penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah
sebelumnya.
Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan
tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kata wajib
ditegaskan pada undang undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum
6 Pasal 2 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012.
52
yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan
layak oleh pihak yang berhak.
Sebagai lanjutan dari amanat Pasal 53 dan Pasal 59 UU No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum maka pemerintah mengeluarkan Perpres No. 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pada Perpres ini setiap instansi
yang memerlukan lahan untuk kepentingan umum diberi waktu untuk
menyelesaikannya maksimal 583 hari.
B. Kebijakan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif
Menurut Peraturan yang ada di Indonesia, konsinyasi diatur dalam beberapa
peraturan yaitu :
1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
Dalam garis besar Konsinyasi adalah penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1404-1412
KUHPerdata. Beberapa ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut:7
a) Pasal 1404 KUH Perdata menyatakan :
“jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangkan, dan
jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya
7 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
(Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), Hal. 57.
53
kepada penagdilan. Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan
penitipan, membebaskan si berhutang dan berlaku baginya sebagai
pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut
undang-undang sedangkan apa yang dititipkan secara itu tetap atas
tanggungan si berpiutang.”
Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, konsinyasi ini berbeda
dengan yang diatur dalam peraturan lain yang dimana dalam hal kegiatan
konsinyasi ini dapat dilakukan jika sebelumnya terdapat hubungan hukum
antara para pihak misalnya seperti hutang piutang.
2. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam Keppres No.55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa “Dalam hal tanah,
bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki
bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang
dari mereka tidak dapat ditemukan, maka ganti rugi yang menjadi hak
orang yang tidak dapat diketemukan tersebut dikonsinyasikan di
pengadilan negeri setempat oleh instansi pemerintah yang memerlukan
tanah”.8
Dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tidak disebutkan kegiatan
konsinyasi yang diakibatkan oleh penolakan pemilik lahan. Konsinyasi
8 Pasal 17 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.
54
yang dikenal di dalam Keppres No.55 Tahun 1993 hanyalah untuk
keperluan penyampaian ganti rugi yang telah disepakati, akan tetapi orang
yang bersangkutan tidak diketemukan9
3. Perpres No 36 Tahun 2005 jo Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ada sedikit perbedaan
dalam tata cara konsinyasi tanah untuk kepentingan umum, Menurut Pasal
10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 dinyatakan dalam hal
kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang telah diadakan
musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai
kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi
uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi
tanah yang bersangkutan.
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini terjadi perubahan yang sangat
besar dalam hal pengadaan tanah. Pemerintah dapat menitipkan uang
kepada pengadilan apabila jalan musyawarah tidak menemukan hasil
dalam artian pemilik lahan tetap menolak penawaran harga yang
ditentukan oleh pemerintah. Namun ada dampak negatif dari
9 Abdulrrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, (Bandung : Citra Aitya Bakti, 1994), h. 66.
55
ditetapkannya Peraturan Presiden tersebut yakni pemerintah menjadi
seperti sewenang-wenang dalam hal menentukan pengadaan tanah padahal
alternatif terakhir yang dapat ditempuh adalah dengan pengajuan
permohonan pencabutan hak atas tanah berdasarkan UU No. 20 Tahun
1961, dan bukannya dengan mengkonsinyasikan uang ganti rugi ke
pengadilan negeri dan menganggap kewajibannya dalam pengadaan lahan
sudah selesai, dan dengan serta merta melakukan pembangunan di lahan
tersebut.
4. Undang-Undang No 2 Tahun 2012
Dengan berlakunya Undang-Undang No.2 Tahun 2012 mekanisme
konsinyasi kembali diberi tambahan seperti dinyatakan dalam Undan
Undang ini yakni “Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan
di pengadilan negeri setempat”.10
Dalam Pasak 42 ayat (1) dinyatakan “Penitipan Ganti Kerugian selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan terhadap:
a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui
keberadaannya; atau
b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
10
Pasal 42 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
56
1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
2. masih dipersengketakan kepemilikannya;
3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
4. menjadi jaminan di bank.
Berdasarkan materi undang-undang tersebut dapat dilihat bahwa
konsinyasi akibat penolakan dari pemilik tanah hanya dapat dilakukan
apabila telah menempuh jalur hukum. Apabila pemilik tanah keberatan
maka pemilik dapat mengajukan gugatan hingga ke Mahkamah Agung.
Dan setelah mendapat pengesahan baik dari pengadilan ataupun dari
Mahkamah Agung maka konsinyasi tanah baru bisa dilaksanakan.
C. Kebijakan Pengadaan Tanah ditinjau dari Aspek Hukum Islam
1. Sistem Pertanahan dalam Islam
Hukum pertanahan dalam Islam dapat didefinisikan sebagai hukum-hukum
Islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak kepemilikan (milkiyah),
pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi‟) tanah.11
Dalam Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah
hakikatnya adalah milik Allah Swt. semata. Firman Allah Swt:
المصير ملك السهماوات والرض وإلى للاه ولله
11
Mahasari, Jamaluddin, Pertanahan dalam Hukuam Islam, (Yogyakarta : Gama Media ,
2008). h. 39.
57
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah
kembali (semua makhluk). (Q.S an-Nur ayat 42)
2. Sejarah Hukum Pertanahan Islam
Perkembangan Undang-undang pertanahan Islam tidak banyak
dijelaskan secara tersurat baik menurut dalil qur‟an serta hadist-hadist rasul
SAW. Syariah Islam tidak mempunyai satu teori yang lengkap yang
berhubungan dengan sistem pertanahan atau Undang-undang pertanahan,
tetapi melalui gabungan beberapa Undang-undang seperti kontrak, peraturan-
peraturan yang berhubungan dengan pengambilan balik harta, peraturan pajak
tanah dan hasil tanah, peraturan penaklukan, pembagian harta rampasan
perang dan lain-lain.12
Hukum pertanahan Islam secara ringkas dapat dilihat pada praktek-
praktek yang dilaksanakan pada zaman nabi baik oleh Rasulullah SAW
maupun para sahabatnya serta generasi penerus beliau dalam pemerintahan
mereka masing-masing. Pada zaman Rasulullah SAW tidak banyak timbul
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan harta dan tanah, kecuali yang
berkaitan dengan harta-harta rampasan perang yaitu tanah-tanah orang
12 Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendayagunaan Lahan Kosong, Tesis
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2002, h. 48-49.
58
Yahudi di sekitar Madinah. Hal ini disebabkan lahan-lahan pertanian di
Semenanjung Tanah Arab yang terlalu sedikit.13
Pada sejarahnya Dalam hukum Islam ada beberapa macam tanah yang
masuk ke dalam wilayah kekuasaan umat Islam. Dua macam tanah tersebut
yakni: (1) Tanah hak milik orang-orang Islam; (2) Tanah negara; (3) Tanah
bebas; (4) Tanah taklukan; (5) Tanah kontrak, dan (6) Tanah gundul.14
a. Tanah Hak Milik Orang-Orang Islam
Kebijakan Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin memperkenankan
pemilikan tanah secara pribadi bagi orang-orang Islam. Negara menjamin
hak milik mereka, sepanjang mereka memenuhi kewajibannya sebagai
seorang muslim. Tanah milik orang-orang muslim ini hanya dikenakan
„ushr, yaitu zakat atas hasil pertanian (jika tanah ini digunakan untuk
pertanian).
b. Tanah Negara
Jenis tanah yang dikuasai oleh negara pada saat itu dapat dikategorikan
menjadi:
13
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendayagunaan Lahan Kosong, h.49-50. 14
Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari
https://andarana.googlecode.com/files/HUKUM%2520PERTANAHAN%2520MENURUT%2520SY
ARIAH%2520ISLAM.pdf.
59
1) Tanah tandus, yaitu tanah tidak memiliki kesuburan sehingga tidak
menarik orang untuk memanfaatkannya.
2) Tanah yang tidak terpakai, yaitu tanah yang tidak dimanfaatkan oleh
masyarakat karena sesuatu hal, misalnya kesulitan pengairan.
3) Tanah yang berasal dari daerah taklukan, dapat berupa tanah yang
pemiliknya gugur di medan perang atau melarikan diri, tanah negara
tersebut yang tidak digunakan, tanah di sekitar danau, sungai, atau
hutan, dan lain-lain. Tanah-tanah negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karenanya banyak diberikan
kepada masyarakat.
c. Tanah Bebas
Yang dimaksud dengan tanah bebas adalah tanah dan segala sesuatu yang
ada bukan karena usaha seseorang dan digunakan secara bersama oleh
masyarakat. Jadi, tanah ini merupakan barang publik (public goods),
sehingga tidak seorangpun secara pribadi diperkenankan memiliki tanah-
tanah ini. 15
Contohnya adalah tanah himaa, yaitu tanah yang sengaja tidak
dihuni dan ditanami rerumputan sebagai ladang makanan ternak bagi
seluruh masyarakat. Contoh lainnya adalah hutan, tanah yang memiliki
15
Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari
https://andarana.googlecode.com/files/HUKUM%2520PERTANAHAN%2520MENURUT%2520SY
ARIAH%2520ISLAM.pdf.
60
tambang garam, air, barang barang tambang lainnya yang sangat melimpah
dan dibutuhkan oleh semua orang.
d. Tanah Taklukan
Seiring dengan meluasnya negara Islam maka semakin banyak pula tanah
yang dikuasainya, baik yang dikuasai melalui peperangan (ghanimah)
maupun tidak melalui peperangan (fa‟i). Pemerintahan Islam tetap
memperlakukan tanah yang berada di daerah taklukan ini secara adil dan
proporsional, sebab pada dasarnya tanah adalah milik Allah dan Rasul-
Nya.
Tanah taklukan biasanya akan dibagikan kepada :
1) Orang-orang yang ikut berperang menaklukan daerah tersebut. Jadi,
jika suatu daerah tidak ditaklukan dengan peperangan maka tidak ada
bagian tanah yang diberikan kepada tentara.
2) Penduduk asli daerah taklukan.
3) Orang-orang miskin yang tidak memiliki mata pencaharian.
e. Tanah Kontrak, Tanah kontrak yaitu tanah-tanah yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat dengan kewajiban mereka memberikan suatu besaran atau
nilai tertentu kepada pemerintah. Jadi, yang dimaksudkan kontrak di sini
61
adalah kontrak antara masyarakat dengan pemerintah.16
Kontrak harus
dilakukan dengan adil sebagaimana kesepakatan yang dibuat keduanya.
f. Tanah Gundul
Tanah gundul yaitu tanah yang karena ketandusannya (gundul) maka
menjadi tidak diminati masyarakat pada umumnya. Pada masa
kekhalifahan, terdapat beberapa cara pengoptimalan tanah tandus ini, yaitu:
1) Negara mengolah sendiri tanah tersebut dengan pembiayaan dari dana
negara. Negara membayar para tenaga kerja dan biaya pengolahan
lainnya, sehingga juga berhak atas hasil sepenuhnya.
2) Memberikan hak pengolahan sepenuhnya kepada masyarakat, tetapi
bukan hak kepemilikan.
3) Memberikan hak kepemilikan sepenuhnya kepada masyarakat.17
3. Prinsip Pengadaan tanah dan ganti kerugian ditinjau dari perspektif
hukum Islam
Islam sebagai agama yang sempurna selalu mengajarkan bahwa setiap
hal harus mengutamakan mashlahat dan menjauhi segala mudharat. Dalam hal
pengadaan tanah dalam Islam harus mengutamakan kemashlahatan kedua
16
Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari
https://andarana.googlecode.com/files/HUKUM%2520PERTANAHAN%2520MENURUT%2520SY
ARIAH%2520ISLAM.pdf. 17
Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari
https://andarana.googlecode.com/files/HUKUM%2520PERTANAHAN%2520MENURUT%2520SY
ARIAH%2520ISLAM.pdf.
62
belah pihak yang terlibat atas pengadaan tanah itu sendiri. Islam juga
melarang para pihak yang menzhalimi pihak yang lainnya. Penguasa dalam
hal ini pemerintah dilarang melakukan intimidasi maupun tekanan dan
paksaan dalam bentuk apapun kepada pemilik lahan (rakyat).
Dalam Islam Keberadaan penguasa/pemerintah tidak lain adalah untuk
memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya, betapapun kepentingan
dan kemaslahatan ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan pandangan
manusia terhadap suatu perbuatan atau sesuatu materi, yaitu apakah suatu
perbuatan atau materi itu termasuk kemaslahatan atau kemudharatan.
Islam telah menetapkan dalam banyak nash bahwa penguasa
berkewajiban memelihara kemaslahatan masyarakat. Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim yang berasal dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah saw
pernah bersabda yang artinya
“Ingatlah Setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan
ditanya (bertanggung jawab) atas kepemimpinannya.”(HR. Muslim).
Pemimpin dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab penuh atas
kondisi rakyat termasuk hal-hal yang menyangkut dengan hak-hak rakyat.
setiap tindakan atau kebijaksanaan para pemimpin yang menyangkut dan
mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan
ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. Sebab pemimpin adalah
pengemban amanat penderitaan rakyat (umat) dan untuk itulah ia sebagai
63
petunjuk dalam kehidupan mereka serta harus memperhatikan
kemaslahatannya.18
Dalam hal pengadaan tanah, untuk memenuhi kemashlahatan untuk
semua pihak, pemimpin dalam hal ini pemerintah harus mencari jalan terbaik
sehingga tidak menciderai perasaan pemilik hak tanah tersebut dan
menhindari tindakan sewenang-wenang yang merugikan pihak tertentu.
Dalam Islam tidak membenarkan mencabut hak milik orang lain tanpa
adanya kerelaan dari pemiliknya. Karena hak milik pribadidalam Islam benar-
benar dihargai dan dihormati. Sehingga cara memperoleh hak milik dalam
Islam diatur sedemikian rupa. Bila seseorang menginginkan hak milik
setidaknya sesuai dengan hukum syara'. Seperti contoh jual beli, atau
menawar harga yang sepadan. Ini sebagai bukti penghargaan dalam Islam
terhadap hak milik. Seperti dalam hadits :
Artinya : "Menceritakan kepadaku Ishaq menceritakan kepadaku Abdu
Somad dia berkata : Saya mendengar dari Bapak Saya Abu Tiyah dia berkata
: dari Anas ibn Malik r.a, "Ketika Rasulullah SAW tiba di Kota Madinah dan
menyuruh membina Masjid, maka beliau bersabda : "Wahai bani Najjar,
juallah kebun kalian ini padaku", kata mereka : "Demi Allah, kami tidak akan
18
Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 124.
64
mengharapkan suatu imbalan apapun terkecuali hanya berharap dari Allah."
(HR. Bukhori)19
Dalam hadits ini nabi memberi contoh, apabila kita menginginkan hak
milik orang lain, maka harus dengan penawaran harga, atau dengan cara jual
beli. Meskipun nabi membangun masjid itu dimaksudkan untuk kepentingan
umum.
Menurut Prof. Dr. TM. Hasby Ash-Shiddieqy mengenai masalah aqad,
sebab kepemilikan dapat dibagi menjadi dua :20
a). Uqud Jabariyah, yaitu aqad yang dilakukan berdasarkan pada putusan
hakim, seperti menjual harta orang yang berhutang secara paksa. Aqad ini
disebut Tammaluk Jabary.
b) Istimlak untuk maslahat umum, umpanya tanah - tanah yang ada
disamping masjid, kalau diperlukan untuk masjid, harus dapat dimiliki
oleh masjid dan harus menjualnya, ini dinamakan tamalluk bil jabary.
Dalam Islam sudah diatur masalah ganti rugi. Dengan tidak melupakan
prinsip bahwa apabila seseorang melakukan transaksi jual beli atau menawar
harga, harus ada kerelaan diantara kedua belah pihak. Seperti dalam konsep
hak milik itu sendiri bahwa seseorang tidak boleh memiliki hak orang lain
tanpa adanya kerelaan atau ijin dari pemiliknya.
19 Imam Abi Abdillah Muhammad ibnu Ismail, Shahih Bukhori, Beirut Lebanon, Dar Al-
Kutub Al-Ilmiah, Juz III, 1992, h. 267. 20
TM. Hasbi As-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h.
11.
65
Ganti rugi dalam Islam adalah harga rugi yang diberikan itu harus
setidaknya setara dengan harga yang di jual. Dan dalam konsep jual beli juga
terdapat hak suf'ah yaitu hak untuk membatalkan perjanjian itu. Dalam Islam
seseorang tidak boleh memaksa atau menganiaya, seperti dalam hadits sebagai
berikut :
Artinya : "Said bin Zaid ra menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
siapa yang mengambil agak sejengkal tanah orang lain secara aniaya, maka
tanah itu dipikul ke atasnya, oleh malaikat Allah pada hari kiamat dari tujuh
bumi."21
Dan siapa saja yang melakukan aniaya itu dianggap telah melakukan
perbuatan ghasab. Dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang
penghasab adalah :
a) Mengembalikan barang yang diambilnya dengan segera
b) Mengganti kerusakan dengan harga yang paling mahal sejak
menghasabnya dan harga dari rusaknya (yang termahal diantaranya) atau
menggantinya dengan barang yang seimbang/ sepadan.22
Dalam undang-undang diatur bahwa kegiatan pengadaan tanah dilakukan
dengan cara musyawarah. Dalam Islam kegiatan musyawarah ini juga sering
dilakukan terutama pada zaman Rasulullah SAW. Dalam suatu musyawarah
setiap peserta saling mengemukakan pikiran, pendapat atau pertimbangan
21
Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid VI, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Beirut, 677 H, h. 41. 22
A. Rahman I Doi, Mu'amalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1996), h. 18.
66
kemudian lahir kesimpulan bersama. Apabila suatu musyawarah
menghasilkan kesimpulan bersama maka masing-masing peserta terikat
dengan kesimpulan tersebut dan bertanggung jawab terhadap putusan tersebut
baik moril dan formil.23
Musyawarah tersebut juga dilakukan harus sejalan dengan tujuan syari'at
yaitu terpe1iharanya hak atau jaminan dasar manusia yang meliputi
kehormatan, keyakinan agama, jiwa, akal, keluarga, keturunan dan
keselamatan hak milik. Masalah yang diselesaikan harus sesuai dengan
ketentuan yang telah diatur dalam hukum Islam yaitu:
a) Penentuan ganti rugi tersebut tidak menyalahi hukum syari‟at Islam
b) Harus sama ridha dan ada pilihan antara kedua belah pihak tanpa ada
unsur paksaan dan tipuan dari pihak lain.
c) Harus jelas tujuannya agar tidak ada kesalah pahaman diantara para pihak
tentang apa yang telah dikerjakan dikemudian hari24
Selain dari pada hal diatas, dalam hal kegiatan pengadaan tanah dan ganti
rugi setidaknya Islam mengatur beberapa aspek dibawah ini yakni :
a) Menjaga kehormatan manusia
Nilai kehormatan manusia telah dijelaskan dalam al-Qur‟an surat AIsraa‟
ayat 70 yang artinya yakni
23
M. Yunan Nasution, Keadilan dan Musyawarah, (Semarang : Ramadhani, 1993), h. 26. 24
Chairuman P, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), h. 3.
67
“Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam”
Dalam menetapkan bentuk dan besar ganti rugi, manusia (pemilik
tanah) harus dihormati apalagi mereka sudah mengorbankan hak miliknya
demi kepentingan umum. Oleh karena itu pemilik tanah perlu diberi jasa
tersendiri yang dapat meningkatkan tarap hidupnya, bukan sebaliknya
rakyat akan semakin lebih sengsara.
b) Keadilan
Keadilan berarti memberikan kepada seseorang sesuatu haknya secara
seimbang (proporsional) antara jasa yang diberikan dengan imbalan yang
diterimanya. Dalam penetapan bentuk dan besarnya ganti rugi
pembebasan tanah ini pemerintah (investor) selayaknya memperhatikan
asas keadilan ini dikarenakan jasa yang telah dikorbankan pemilik tanah
sudah begitu besar, tidak hanya mengorbankan tanahnya saja, tapi juga
kehilangan mata pencaharian.
c) Menarik dan Mengutamakan Manfaat dan Menghindarkan Madarat
Pembangunan adalah untuk rakyat atau dengan kata lain untuk
kemaslahatan umum jangan sampai rakyat justru menjadi korban
pembangunan.
d) Kesukarelaan
Islam memandang bahwa pada dasarnya pembebasan tanah rakyat untuk
kepentingan apapun hanya bisa dilaksanakan atas dasar prinsip
kesukarelan dari pihak pemilik baik dalam bentuk jual beli atau hibah,
68
wakaf atau sedekah lainnya. Dalam bentuk jual beli prinsip sukarela
kedua belah pihak baik dalam penentuan harga, penyerahan barang
maupun hal-hal lain yang menjadi keperluan kedua pihak tetap berlaku.
68
BAB IV
ANALISI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kebijakan Pelebaran Jalan Raya
Ciater-Rawa Mekar Jaya
Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Raya Ciater-Rawa
Mekar Jaya Kecamatan Serpong yaitu di Desa Ciater dan Desa Rawa Mekar
Jaya sebagian besar terdiri dari tanah kosong, rumah tinggal, kios dan rumah
toko tempat usaha dan berdagang. Kota Tangerang Selatan berada 30 km di
sebelah barat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan berada 90 km sebelah
tenggara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten . Secara administratif, Kota
Tangerang Selatan dibagi menjadi 7 (Tujuh) kecamatan dan 37
desa/kelurahan.1
Kecamatan dengan desa/kelurahan terbanyak Di Kota Tangerang
Selatan adalah Kecamatan Pondok Aren yaitu, sebanyak 11 desa/kelurahan.
Sedangkan kecamatan dengan desa/kelurahan paling sedikit adalah
Kecamatan Setu dan Ciputat Timur yaitu dengan 6 desa/kelurahan.2
Luas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah 147,19 KM2. Tanah
seluas itu sebagian besar adalah berupa tanah datar yang secara umumnya
berupa tanah merah yang sangat cocok untuk pertanian, namun dalam
kenyataannya pemanfaatan lahan di Kota Tangerang Selatan ini sebagian
1 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan
(Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015). 2 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan
(Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
70
besar untuk pemukiman serta sentra perdagangan baik itu pasar, minimarket
maupun supermarket dan mall-mall yang sangat besar.3
Rencana pengembangan sistem transportasi yang berkaitan dengan
jaringan jalan di Kota Tangerang Selatan meliputi penyediaan dan
pengembangan jaringan jalan, dan sarana angkutan umum. Rencana
pengembangan aktivitas dan pola pergerakan di Kota Tangerang Selatan
diarahkan mampu mengakomodir seluruh aktivitas di tiap-tiap wilayah
kecamatan di Kota Tangerang Selatan.
Pengembangan jalan merupakan aspek penting dalam pengembangan
suatu wilayah, karena jalan berfungsi untuk merangsang perkembangan,
mengarahkan perkembangan, membuka isolasi suatu wilayah, mengatasi
permasalahan transportasi, dan meningkatkan aksesibilitas antar wilayah.
Pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya didasarkan
pada sempitnya kondisi jalan yang dimana hanya dapat dilalui oleh dua
kendaraan, sehingga menimbulkan kemacetan sangat parah terlebih lagi pada
jam– jam sibuk serta dalam rangka pengembangan perkotaan agar lebih
merata. Dengan adanya pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa
Mekar Jaya ini maka akses untuk menuju tempat tujuan tersebut menjadi
semakin cepat dan mudah. Mobilitas penduduk diharapkan akan meningkat
serta pertumbuhan ekonomi dapat membaik.4
3 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan
(Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015). 4 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan
(Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
71
Rencana pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar
Jaya didasarkan pada kondisi lingkungan setempat, termasuk diantaranya
menampung aspirasi rakyat, sehingga suatu proyek yang ditujukan untuk
kepentingan umum tersebut dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan
masalah karena masyarakat dapat merasakan adanya manfaat dari proyek itu.
Partisipasi masyarakat sejak tahap awal perencanaan, terutama untuk
proyek-proyek yang menyangkut kepentingan umum, akan membuat
masyarakat merasa ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Bila suatu
rencana pembangunan ditempuh melalui mekanisme yang tepat, maka sifat
keterbukaan pada setiap rencana dalam segala tahapan perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi akan merupakan hal yang wajar.
Luas lahan yang diperlukan untuk pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar
Jaya sesuai hasil pengukuran dan penentuan batas-batas jalan oleh Kantor
Pertanahan Kota Tangerang Selatan dan SKPD terkait yang tergabung dalam
Tim Teknis pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya adalah 33.607m2. luas
lahan yang telah dibebaskan sampai akhir bulan Desember 2014 adalah
33.607 m2 atau sudah 100 % rampung dari total luas lahan yang perlu
dibebaskan untuk pembangunan pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya.5
Dasar hukum dalam pengadaan tanah untuk Pembangunan pelebaran
jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya yaitu:
1. Undang Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
5 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan
(Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
72
2. Perpres No. 99 Tahun 2014 sebagai perubahan kedua atas Peraturan
Presiden No.71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
3. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
4. Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan;
6. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Norma dan Standart Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah
Kota/Kabupaten;
B. Mekanisme pengadaan dan konsinyasi ganti rugi atas tanah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disertai dengan Peraturan
Presiden No 99 Tahun 2014
1. Mekanisme Pengadaan Tanah Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun
73
2012
Undang-Undang No 2 Tahun 2012 merupakan undang-undang yang
ditunggu tunggu, peraturan perundang-undangan yang sebelumnya dianggap
belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-
undang ini diharapakan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap
orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan.
Pengertian Pengadaan Tanah menurut Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak.6 Dilihat dari isi pasal tersebut
diketahui bahwa dalam hal pengadaan tanah oleh pemerintah harus dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak.
Dalam pasal 11 disebutkan “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib diselenggarakan oleh
Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah
Daerah Dalam hal Instansi yang memerlukan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 adalah Badan
Usaha Milik Negara, tanahnya menjadi milik Badan Usaha Milik
Negara”.7 dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah
ini hanya boleh dilakukan oleh pemerintah dan tanahnya juga dimiliki oleh
pemerintah.
Mekanisme pengadaan tanah menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 dibagi atas beberapa tahapan yakni :
6 Pasal 1 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
7 Pasal 11 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
74
a. Perencanaan
Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disusun dalam bentuk
dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, yang paling sedikit memuat:8
1) Maksud dan tujuan rencana pembangunan;
2) Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana
Pembangunan Nasional dan Daerah;
3) Letak tanah;
4) Luas tanah yang dibutuhkan;
5) Gambaran umum status tanah;
6) Perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;
7) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
8) Perkiraan nilai tanah; dan
9) Rencana penganggaran.
b. Persiapan
Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi
berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 melaksanakan:9
1) Pemberitahuan rencana pembangunan;
2) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan
3) Konsultasi Publik rencana pembangunan Pemberitahuan rencana
4) pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a
disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi pembangunan
untuk Kepentingan Umum, baik langsung maupun tidak langsung.
c. Pelaksanaan
8 Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
9 Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
75
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan
Umum, Instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan
Pengadaan Tanah kepada Lembaga Pertanahan.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah yakni berisi tentang pengukuran dan
pemetaan bidang per bidang tanah serta pengumpulan data Pihak
yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.10
2) Penilaian Ganti Kerugian,
Dalam hal penilaian ganti kerugian, lembaga pertanahan
menetapkan penilai sesuai undang-undang yang berlaku. Penilai ini
bertugas untuk melakukan penilaian besaran ganti kerugian bidang
per bidang tanah yang meliputi :11
a) Tanah;
b) Ruang atas tanah dan bawah tanah;
c) Bangunan;
d) Tanaman;
e) Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f) Kerugian lain yang dapat dinilai.
3) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang
Berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga
10
Pasal 28 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. 11
Pasal 33 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
76
Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti
Kerugian. 12
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan
Ganti Kerugian.13
4) Pemberian Ganti Kerugian
Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima
Ganti Kerugian wajib:14
a) Melakukan pelepasan hak; dan
b) Menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek
Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah
melalui Lembaga Pertanahan.
5) Pelepasan tanah Instansi.
Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang
dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah tidak diberikan Ganti
Kerugian, kecuali:15
12
Pasal 37 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. 13
Pasal 38 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. 14
Pasal 41 ayat (2) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. 15
Pasal 46 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
77
a) Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri bangunan yang
dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan;
b) Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
c) Objek Pengadaan Tanah kas desa.
d. Penyerahan hasil.
Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil Pengadaan Tanah kepada
Instansi yang memerlukan tanah setelah:16
1) Pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan
Pelepasan Hak telah dilaksanakan; dan/atau
2) Pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri.
Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan
kegiatan pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil
Pengadaan Tanah.
2. Mekanisme Konsinyasi Ganti Rugi Tanah Menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012
Konsinyasi Tanah menurut Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 yakni
penitipan uang ke pengadilan negeri setempat. Penitipan uang dapat
dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah jika memenuhi beberapa
syarat yakni :
a. Adanya pihak pemilik hak tanah yang menolak bentuk dan/atau
16
Pasal 48 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
78
besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau
putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung.17
b. Pihak pemilik hak yang menerima Ganti Kerugian tidak diketahui
keberadaannya; 18
c. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian sedang
menjadi objek perkara di pengadilan dan masih dipersengketakan
kepemilikannya;
d. Objek Pengadaan Tanah diletakkan sita oleh pejabat yang
berwenang; atau
e. Objek Pengadaan Tanah menjadi jaminan di bank.
C. Prosedur pengadaan tanah dalam Pembangunan pelebaran jalan Ciater-
Rawa Mekar Jaya sudah sesuai dengan Undang – Undang No.2 Tahun
2012 serta Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014
Untuk menunjang pembangunan yang semakin kompleks, diperlukan
jaringan transportasi yang memadai, sehingga pembangunan dapat merata ke
semua daerah di seluruh Indonesia. Salah satu jaringan transportasi tersebut
adalah pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya. Pembangunan/ pelebaran
jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya dimaksudkan untuk meningkatkan mobilitas
kendaraan dalam perjalanan menuju ke pusat pemerintahan Kota Tangerang
Selatan yang sebelumnya hampir setiap saat menimbulkan kemacetan dan
sangat parah pada jam pergi dan pulang kerja. Selain meningkatkan akses ke
pusat pemerintahan, pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya ini
17
Pasal 42 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012. 18
Pasal 42 ayat (2) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
79
dimaksudkan untuk menjadikan Kota Tangerang Selatan menjadi salah satu
Kota mandiri dengan kegiatan ekonomi yang maju.
Prosedur pengadaan tanah adalah sebagai berikut:
1. Pemberitahuan/sosialisasi
Dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai
maksud dan tujuan dilaksanakannya Pembangunan pelebaran jalan
Ciater-Rawa Mekar Jaya, telah dilakukan kegiatan pemberitahuan /
sosialisasi di sepanjang jalan yang mengaitkan 2 desa yaitu Desa Ciater
dan Desa Rawa Mekar Jaya;
2. Pengukuran dan penentuan batas-batas jalan
Untuk menentukan luas lahan yang direncanakan akan dibangun sebagai
pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya, telah dilakukan pengukuran
dan penentuan batas-batas jalan oleh kantor Bina Pertanahan Kota
Tangerang Selatan;
3. Pendataan
Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci terkait dengan kepemilikan
tanah, bangunan dan tanaman yang terkena Pembangunan pelebaran jalan
Ciater-Rawa Mekar Jaya, dilakukan pendataan dengan melibatkan:
a. Petugas dari Kantor Bina Pertanahan Kota Tangerang Selatan yang
mendata tanah yang terkena pelebaran / pembangunan jalan;
b. Petugas dari Dinas Tata Kota Kota Tangerang Selatan yang mendata
bangunan- bangunan yang terkena pelebaran / pembangunan jalan.
80
c. Petugas dari Dinas Gabungan Instansi / Unit Verja yang mendata aset-
aset pemerintah dan lembaga lain yang terkena pelebaran /
pembangunan jalan;
d. Petugas dari Sekretariat Panitia yang bertugas memfasilitasi
kelancaran pelaksanaan petugas serta melakukan rekapitulasi terhadap
hasil pendataan;
4. Pengolahan data
Hasil pendataan oleh petugas dari Kantor Pertanahan, dan Dinas Tata
Kota tersebut di atas, ditandatangani oleh petugas yang bersangkutan,
pimpinan Instansi Petugas dan pemilik lahan, serta diketahui oleh Kepala
Desa / Kelurahan dan Camat setempat. Setelah itu data direkapitulasi
oleh Petugas Sekretariat Panitia yang kemudian dilanjutkan dengan
kegiatan cheking lokasi untuk mencocokkan kepemilikan tanah,
bangunan, dan tanaman;
5. Cross cek hasil pendataan
Untuk meminimalkan kesalahan dalam melakukan pendataan dan
pengolahannya, dilakukan cross cek data dengan pemilik dengan tujuan
apabila ada kekeliruan segera dapat dilakukan perbaikan;
6. Pengumuman hasil pendataan
Dalam rangka memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk
mengajukan keberatan atas hasil pendataan tanah dan bangunan yang
terkena Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya
Kota Tangerang Selatan, maka dibuat pengumuman hasil pendataan yang
81
ditempel di Kantor Desa / kelurahan dan Kecamatan setempat serta di
Kantor Pertanahan Kota Tangerang Selatan selama 30 (tiga puluh) hari;
7. Musyawarah harga
Sebagai dasar untuk menghitung besarnya ganti rugi yang akan diterima
oleh masing-masing warga / pemilik, maka dilakukan musyawarah harga
terkait dengan tanah, bangunan dan tanaman. Sebagai dasar
pertimbangan menentukan besarnya nilai tanah per meter perseginya
digunakan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dan harga pasaran sesuai nilai
kenyataan yang ada di masyarakat;
8. Penghitungan besar ganti rugi
Perhitungan besaran ganti rugi ini berdasarkan kesepakatan harga atau
nilai tanah, bangunan dan tanaman antara pemerintah dengan warga
masyarakat;
9. Cross cek hasil penghitungan ganti rugi
Untuk memberikan kesempatan kepada warga masyarakat dalam
pengajuan keberatan atas penghitungan besarnya ganti rugi / ganti
murwat maka dilakukan kegiatan cross cek hasil penghitungan;
10. Rekapitulasi penghitungan ganti rugi
Setelah dilakukan cross cek hasil penghitungan besarnya ganti rugi yang
akan diterima oleh masing-masing warga, dilakukan rekapitulasi yang
berisi perincian luas tanah, luas bangunan dan tanaman untuk masing-
masing warga;
82
11. Pengajuan pembayaran ganti rugi berdasarkan rekapitulasi penghitungan
besarnya ganti rugi, dilakukan permohonan pembayaran pelebaran Jalan
Ciater-Rawa Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan;
Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah
Panitia Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-
Rawa Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 (tujuh) orang
ditambah dengan Camat dan Kepala Desa/Lurah setempat. Susunan Panitia
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa
Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut :19
1. Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan sebagai Ketua
2. Asisten Tata Pemerintahan dan Kesatuan Rakyat Sekda Kota Tangerang
Selatan sebagai Wakil Ketua
3. Kepala Subseksi/Eselon Pengaturan Tanah Pemerintah pada Kantor
Pertanahan Kota Tangerang Selatan sebagai Sekretaris
4. Kepala Dinas Tata Kota Tangerang Selatan sebagai Anggota
5. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan
sebagai Anggota
6. Kepala DPPKAD Kota Tangerang Selatan sebagai Anggota
7. Kepala Bagian Bina Pertanahan Sekretaris Daerah Tangerang Selatan
Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan
adalah sebagai berikut :
19
Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan
(Tangerang Selatan, tanggal 1 Oktober 2015).
83
1) Melaksanakan penyuluhan pada masyarakat yang terkena pembebasan
tanah;
2) Melaksanakan inventarisasi untuk menetapkan batas lokasi tanah yang
terkena pembebasan;
3) Mengumumkan hasil inventarisasi kepada masyarakat pemilik tanah yang
terkena pembebasan tanah;
4) Melaksanakan musyawarah untuk memperoleh kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti kerugian pembebasan tanah;
5) Menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian pembebasan tanah;
6) Menaksir nilai tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada
pada lokasi pembebasan tanah;
7) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti kerugian kepada para
pemegang hak atas tanah;
8) Melaksanakan pelepasan hak dan penyerahan tanah dengan surat
pernyataan pelepasan hak tanah oleh pemegang hak atas tanah dan;
9) Mengajukan permohonan hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat hak
atas tanah
Obyek pengadaan tanah meliputi bidang-bidang tanah termasuk
bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang
bersangkutan. Untuk melakukan inventarisasi, Panitia Pengadaan Tanah
menugaskan petugas inventarisasi dari Instansi Pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang yang bersangkutan. Penilaian harga tanah dilakukan oleh
Pemerintah Kota Tangerang Selatan dengan menunjuk salah satu lembaga
84
jasa penilai publik yakni dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Firman Aziz
dan Rekan yang beralamat di Ruko Acropolis A2 No. 2, Bukit Serpong Mas,
Jalan Raya Serpong, Tangerang.20
Proses berlangsungnya musyawarah tentang bentuk dan besar ganti rugi
Penentuan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam
Pengadaan Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan Pelebaran Jalan Raya
Ciater-Rawa Mekar Jaya dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah
diawali dengan penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah, bangunan
dan/atau tanaman yang terkena Pembangunan Pembangunan Pelebaran Jalan
Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya. Musyawarah ini dilaksanakan untuk
menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian. Panitia mengundang
Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah (Pemerintah Kota Tangerang
Selatan) dan pemegang hak yang bersangkutan untuk mengadakan
musyawarah. Musyawarah dilangsungkan di tempat yang telah ditentukan
Panitia Pengadaan Tanah. Dalam hal ini dipilih lokasi yang mudah dijangkau
oleh warga masyarakat pemegang hak yang bersangkutan.
Dalam hal pembebasan Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya kegiatan
dilakukan dimasing-masing kantor kelurahan baik di kantor kelurahan Desa
Ciater maupun kantor kelurahan Desa Rawa Mekar Jaya. Musyawarah
berlangsung pada tanggal 14 dan 28 Desember 201221
. Setiap pihak
diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan usul/pendapat, sehingga
20 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan,
tanggal 1 Oktober 2015). 21 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan,
tanggal 1 Oktober 2015).
85
musyawarah dapat berlangsung secara kekeluargaan. Menurut keterangan
dari narasumber bahwa pemegang hak diberi kesempatan secara bebas untuk
mengemukakan pikiran dan pendapat berupa pertanyaan, usul dan saran
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Musyawarah dilakukan sampai tercapai kata sepakat mengenai bentuk
dan besarnya ganti kerugian. Jika musyawarah telah menghasilkan
kesepakatan maka panitia mengeluarkan keputusan tentang bentuk dan
besarnya ganti kerugian. Sebaliknya jika musyawarah telah diadakan berkali-
kali kesepakatan belum juga tercapai, maka terhadap pemegang hak atas
tanah tersebut akan dilakukan pendekatan secara persuasif melalui tokoh
masyarakat setempat.
Dalam penyuluhan telah dijelaskan mengenai hal-hal yang
diperhatikan dalam penilaian ganti kerugian, yang meliputi :
a. Untuk tanah nilainya didasarkan pada nilai nyata dengan memperhatikan
NJOP tahun terakhir;
b. Faktor yang mempengaruhi harga tanah, yaitu lokasi dan letak tanah,
status tanah, peruntukan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan
rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota
yang telah ada, sarana dan prasarana yang tersedia, dan faktor lainnya
yang mempengaruhi harga tanah.
c. Nilai taksiran bangunan/tanaman
Faktor-faktor tersebut di atas pada saat penulis melakukan penelitian
memiliki arti yaitu :
86
a. Lokasi tanah : Terletak di pinggir jalan raya atau di dalam pemukiman
namun karena pelebaran jalan ini terletak di lokasi yang sama yakni 1
(satu) jalan saja, maka faktor ini diabaikan
b. Jenis hak atas tanah : hak milik yang sudah bersertifikat atau belum
bersertifikat
c. Status penguasaan tanah : pemegang hak yang sah atau penggarap
d. Prasarana yang tersedia : berupa listrik, saluran air
Cara penilaian ganti kerugian terhadap tanah adalah didasarkan pada
nilai nyata sebenarnya dengan memperhatikan NJOP yang terakhir untuk
tanah yang bersangkutan. Menurut keterangan dari narasumber bahwa
besarnya NJOP untuk tanah yang bersangkutan ditetapkan oleh Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setiap setahun sekali. Penetapan nilai
nyata terhadap tanah yang akan terkena Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa
Mekar Jaya Kota Tangerang Selatan dilakukan oleh suatu lembaga penilai
harga tanah swasta bukan oleh Tim Penilai Harga Tanah Kota Tangerang
Selatan.
Selanjutnya penilaian yang telah disepakati sebagai ganti kerugian
per-meter persegi tanah untuk Kota Tangerang Selatan ini cukup unik yakni
atas permintaan warga pemilik tanah, maka harga yang diberikan oleh
Pemerintah Kota Tangerang Selatan yaitu seharga Rp.3.000.000.- dan
3.250.000,- atau senilai tiga juta rupiah atau tiga juta dua ratus lima puluh
ribu rupiah untuk setiap meternya.22
22 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan,
tanggal 1 Oktober 2015).
87
Sedangkan untuk ganti kerugian pada bangunan pada awalnya untuk
mengetahui nilai jual bangunan harus menetapkan klasifikasi bangunan
terlebih dahulu. Karena nilai jual bangunan dipengaruhi oleh kondisi
bangunan ( umur dan keadaan ) serta bahan bangunan yang dipergunakan.
Dari harga tersebut maka cara penghitungan ganti kerugian atas bangunan
adalah jumlah luas bangunan dikalikan dengan harga satuan permeter atau
permeter persegi untuk bangunan yang dimaksud. Ganti kerugian tersebut
diberikan dengan melihat kondisi fisik bangunan serta bahan yang
dipergunakan. Namun, untuk pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya ini
ganti kerugian yang diberikan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk
ganti kerugian untuk bangunan ini hampir tidak ada yang dikarenakan jarak
bangunan yang lumayan jauh dari jalan yang berkisar antara 3-4 meter dari
jalan yang dikarenakan ada Garis Sempadan Jalan (GSJ) dan Garis
Sempadan Bangunan (GSB). Bangunan yang terkena pelebaran jalan hanya
berupa tembok pembatas ruko (rumah toko) serta beberapa pagar rumah
warga. Harga yang diberikan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan yaitu
2.000.000 per meternya.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan ternyata cara
penghitungan ganti kerugian tersebut cukup baik dan tidak merugikan para
pemegang hak yang bersangkutan. Berdasarkan keterangan dari narasumber
diketahui bahwa hingga tahun 2015 jumlah keseluruhan ganti kerugian yang
telah dibayarkan adalah Rp. 103.947.000.000,- (Seratus tiga milyar sembilan
88
ratus empat puluh tujuh juta rupiah) dengan luas tanah yang telah dibebaskan
mencapai 33.607 m² untuk kedua Desa Ciater dan Rawa Mekar Jaya.23
Kesepakatan mengenai ganti rugi antara Pemerintah Kota Tangeran
Selatan dengan masyarakat pemilik tanah
Berdasarkan musyawarah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang
Selatan dengan masyarakat pemilik tanah maka diperoleh kesepakatan
mengenai harga tanah, tanaman, bangunan dan atau benda lain yang ada di
atasnya. Kesepakatan mengenai ganti rugi adalah sebagai berikut:
1. Kelurahan/Desa Ciater
Jumlah luas tanah yang dibebaskan adalah 21.103 m2 dan bangunan seluas
101,5 m2
dengan ganti rugi sebesar Rp. 63.713.000.000,- dengan rincian:
a. Ganti rugi tanah sebesar Rp.63.510.000.000,-
b. Ganti rugi bangunan sebesar Rp. 203.000.000,-24
2. Desa Rawa Mekar Jaya
Jumlah luas tanah yang dibebaskan adalah 12.504 m2 dan bangunan seluas
206m2 dengan ganti rugi sebesar Rp. 41.050.000.000 rincian:
a. Ganti rugi tanah sebesar Rp. 40.638.000.000-
b. Ganti rugi bangunan sebesar Rp.412.000.000,-
D. Pelaksanaan mekanisme pembayaran ganti kerugian melalui konsinyasi
bagi masyarakat yang pembayaran bidang tanahnya dikonsinyasikan ke
Pengadilan Negeri setempat
23 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan,
tanggal 1 Oktober 2015). 24 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan,
tanggal 1 Oktober 2015).
89
Dalam kegiatan pengadaan tanah pasti ada saja hambatan-hambatan
yang terjadi sehingga memperlambat rencana tata ruang pemerintah itu
sendiri. Hambatan-hambatan itu terjadi baik karena ada sengketa atau karena
gugatan oleh pemilik lahan untuk mempertahankan tanahnya yang membuat
kegiatan pembebasan lahan atas beberapa bidang tanah menjadi sulit
dilakukan. Padahal anggaran belanja untuk pembiayaan rencana
pembangunan tersebut harus segera keluar demi memenuhi target realisasi
APBD yang lancar .Untuk itu pemerintah menggunakan prosedur konsinyasi
untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Dalam hal pembangunan Pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya juga
terdapat beberapa hambatan yang akhirnya dilakukan prosedur konsinyasi.
Beberapa bidang tanah yang dikonsinyasikan oleh Pemerintah Kota
Tangerang Selatan kepada Pengadilan Negeri berdasarkan penetapan
Pengadilan Negeri setempat yaitu :25
1. Desa Ciater
- Sebidang tanah seluas 93 m2 yang dikonsinyasikan dikarenakan
pemiliknya tidak mempunyai ahli waris maupun saudara kandung. Dan
pada saat pembebasan lahan, pemilik lahan tersebut diketahui sudah
meninggal dunia.
- Sebidang tanah dengan luas 40 m2 yang dikonsinyasi dikarenakan
surat atas tanah tersebut hilang dan pemilik sah tanah tersebut enggan
untuk mengurus.
25 Nuril, Wawancara Pribadi, Staff Dinas Binas Pertanahan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Selatan,
tanggal 1 Oktober 2015).
90
2. Desa Rawa Mekar Jaya
- Sebidang tanah seluas 900 m2 yang dikonsinyasikan akibat adanya
sengketa kepemilikan surat atas tanah yang masih berlangsung di
Mahkamah Agung.
- Sebidang tanah seluas 200 m2
yang dikonsinyasikan akibat adanya
sengketa para ahli waris dari pemilik tanah tersebut
E. Analisa Penulis mengenai Pengadaan dan Konsinyasi Ganti Rugi Tanah
Oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam Pembangunan
Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya
Analisa penulis dari data diatas diketahui bahwa Pemerintah Kota
Tangerang Selatan sudah melaksanakan pengadaan tanah untuk pembangunan
Pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya dengan baik dan sesuai dengan
peraturan yang berlaku yakni Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012. Ini terlihat dari reaksi warga yang
setuju dengan harga penawaran yang diberikan oleh pemerintah yakni seharga
Rp.3.000.000,- untuk Desa Ciater dan Rp.3.250.000 untuk Desa Rawa Mekar
Jaya. Padahal pada saat proyek pengadaan tersebut nilai nyata harga tanah
tersebut adalah Rp.2.500.000,-. Penetapan harga yang ditetapkan oleh
lembaga penilai harga tanah didasarkan pada nilai nyata dan biaya lain seperti
dipergunakan untuk pembangunan kembali bangunan yang nyatanya harus
dimundurkan untuk mengikuti Garis Sempadan Bangunan (GSB) yang
berlaku.
91
Dalam hal proses konsinyasi juga pemerintah sudah bertindak sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan didalam Undang-Undang No.12 Tahun
2012 yaitu proses konsinyasi yang dititipkan kepada pengadilan negeri
setempat terhadap tanah-tanah yang sedang dalam sengketa maupun tanah
yang pemiliknya sudah tidak ada serta tidak terdapat ahli waris dari pemilik
tersebut.
Dalam penetapan ini memang terjadi beberapa konflik kepentingan
antara kepentingan umum dengan kepentingan individu/pribadi. Penolakan
warga akibat adanya pelebaran jalan ini memang cukup beralasan, karena
mereka sudah bertahun-tahun melakukan kegiatan usaha serta tinggal, lalu
pemerintah datang dan melakukan kegiatan pembangunan. Kegiatan
pembangunan ini pun cukup memakan waktu, tercatat kegiatan sosialisasi
dilakukan pada akhir 2011 dan hingga kini pelaksanaan pembangunan jalan
raya Ciater – Rawa Mekar Jaya ini masih belum rampung. Pembangunan
yang berlarut – larut ini menyebabkan hampir selama 3 (tiga) tahun kegiatan
usaha warga masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah maupun yang
mengontrak yang menjadi korban pengadaan tanah mengalami penurunan
pendapatan/omzet yang dikarenakan pelaksanaan pembangunan jalan raya
Ciater – Rawa Mekar Jaya.
92
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 99 Tahun 2014 sebagaimana pelaksaan Undang Undang No 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum adalah melalui pemberian ganti rugi atas
pelepasan hak atas tanah bagi pemilik hak atas tanah tersebut.
Apabila pemilik hak tanah tidak menyetujui dengan adanya kebijakan
pengadaan tanah atau besaran ganti rugi yang ditetapkan oleh pemerintah
maka dia dapat mengajukan gugatan kepengadilan negeri setempat dan
dapat naik hingga ke Mahkamah Agung. Setelah ada putusan dan
pengesahan dari Pengadilan Negeri setempat dan pemilik tetap bertahan
tidak mau melepaskan hak atas tanahnya, maka pemerintah dapat
menitipkan anggaran kepengadilan negeri setempat (Konsinyasi). Konsep
juga berlaku untuk tanah yang sedang sengketa, pemilik tanah tidak
diketahui keberadaannya dan tidak ada ahli waris atas tanah tersebut.
2. Prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan Ciater – Rawa Mekar
Jaya menurut penulis sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur
93
dalam Perpres No.99 Tahun 2014 j.o UU No. 2 Tahun 2012 baik dalam
proses musyawarah, ganti rugi dan mekanisme konsinyasi ganti rugi
penggantian tanah dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan
pelebaran jalan raya Ciater-Rawa Mekar Jaya.
3. Kegiatan Konsinyasi oleh pemerintah kota Tangerang Selatan dilakukan
atas dasar-dasar yang tertuang dalam pasal 42 Undang-Undang No.2
Tahun 2012 yakni berdasarkan pasal 42 Ayat (2) yang berisi tentang syarat
apa-apa saja yang diperbolehkan untuk pemerintah melakukan kegiatan
konsinyasi tanah.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan penelitian maka penulis dapat mengemukakan saran-
saran sebagai berikut:
1. Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam hal pembebasan lahan ini sudah
cukup baik namun dalam hal ganti rugi juga jangan hanya mengganti rugi
nilai tanah yang ada, perlu juga memperhatikan bangunan-bangunan yang
pasti harus mundur kebelakang untuk memenuhi Garis Sempadan Jalan
(GSJ) untuk itu pemilik lahan perlu dana yang lebih besar sekedar yang
diberikan oleh pemerintah, serta ada juga yang bangunannya tidak bisa
mundur sehingga pemilik lahan tersebut tidak bisa memanfaatkan tanah
tersebut sama seperti sebelum dilakukan pelebaran jalan. Dalam hal
pengadaan tanah dan pembangunan jalan, pemerintah Kota Tangerang
Selatan juga harus mengantisipasi penurunan omzet dari para pengusaha
yang menjadi korban pelebaran dan pembangunan jalan Ciater – Rawa
94
Mekar Jaya. Pengadaan dan pembangunan yang memakan waktu hingga 3
tahun (2012-2015) menyebabkan penurunan pendapatan yang luar biasa
bagi korban yang terkena pelebaran jalan.
2. Panitia Pengadaan Tanah dan aparat terkait agar melakukan tindakan yang
tegas terhadap kelompok lain yang berusaha menghasut ataupun mencari
keuntungan pada proses pengadaan tanah untuk pembangunan Pelebaran
Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya. Sehingga masyarakat pemilik hak atas tanah
tidak terpengaruh dengan memanfaatkan hasutan pihak ketiga untuk
menaikkan harga tanah yang dapat menghambat proses musyawarah
kesepakatan ganti kerugian.
95
Daftar Pustaka
Buku :
AA. Oka Mahendra, 1996. Menguak Masalah Hukum, Demokrasi, dan Pertanahan, Jakarta:
Sinar Harapan.
Ali Ahmad Chomzah, 2002. Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri
Hukum Pertanahan I, Jakarta: Prestasi Pustaka.
Abdulrrahman, 1994. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, Bandung : Citra Aitya Bakti.
Tri Cahyo, Bambang, 1983. Ekonomi Pertanahan, Yogyakarta: Liberty.
Perangin, Effendi, 1991. Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Jakarta:Rajawali Press.
Sutedi ,Adrian, 2008. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Ed. 1, Cet.II, Jakarta: Sinar Grafika.
Gautama ,Sudargo, 1991. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung: Alumni.
Sumardjono,Maria S.W, 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Jakarta:Kompas.
J.Moleong ,Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung,: Remaja Rosdakarya.
Ibrahim., Johnny, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II, Malang:
Bayumedia Publishing.
B. Sihombing, 2004. Evolusi kebijakan pertanahan dalam hukum tanah Indonesia, Jakarta: Toko
Gunung Agung.
Sitorus, Oloan, 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta: Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia.
Selindeho, John, 1988. Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika.
96
Parlindungan, A.P., 2008. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar
Maju.
Sutedi, Adrian, 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta : Sinar Grafika.
Musbikin, Imam, 2001. Qawaid al-Fiqhiyah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, M. Yunan, 1993. Keadilan dan Musyawarah, Semarang : Ramadhani.
P, Chairuman., 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika.
Arie S Hutagalung, 2003. Condominium dan Permasalahannya, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Harsono, Boedi, 1996. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Penerbit Djambatan.
Mahasari, Jamaluddin, 2008. Pertanahan dalam Hukuam Islam, Yogyakarta: Gama Media.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Udang Dasar 1945;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda
yang ada di atasnya.
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum
Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan
97
Untuk Kepentingan Umum.