memaksa” dalam pembentukan perppu a....
TRANSCRIPT
59
BAB III
TOLOK UKUR “HAL IKHWAL KEGENTINGAN YANG
MEMAKSA” DALAM PEMBENTUKAN PERPPU
A. Penerbitan PERPPU Di Indonesia
Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang (1945-2015),
pemerintah telah menerbitkan sekitar 209 peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perppu). Memang benar, Perppu
merupakan salah satu jenis hukum positif yang memiliki landasan
konstitusional. Namun dalam hukum tata negara, kadang-kadang
penerbitan Perppu juga mengundang kontroversi. Padahal penerbitan
Perppu mestinya memperhatikan—salah satunya tolok ukur
kegentingan yang memaksa.
Dalam catatan Daniel Yusmic, Perppu paling banyak
dihasilkan saat era Sukarno dengan terbitnya 143 Perppu.64
Tetapi
tidak seluruh Perppu diterbitkan oleh Presiden Sukarno. Mr. Assaad
sebagai pejabat Presiden RI mengeluarkan 8 Perppu. Saat Djuanda
menjadi Perdana Menteri mengeluarkan 24 Perppu. Penulis dapat
memaklumi jika situasi pada periode 1945-1965, Perppu banyak
64
Berita Satu, Dibanding Soeharto, SBY Lebih Banyak Keluarkan Perppu,
http://sp.beritasatu.com/home/dibanding-soeharto-sby-lebih-banyak-keluarkan-
perppu/44244, Rabu, 30 Oktober 2013, diakses pada tanggal 25 November 2015.
60
dihasilkan. Saat itu situasi politik dalam negeri tidak stabil. Sejak 14
November 1945 sampai 9 Juli 1959, pemerintahan dijalankan oleh 11
orang Perdana Menteri yang silih berganti. Parlemen yang sedianya
sebagai lembaga pembentuk undang-undang, terus berganti sistem—
dari KNIP, DPR, Badan Kontituante sampai DPR-GR. Infasi militer
atau upaya pendudukan Malaysia dan Papua Barat menyebabkan
situasi politik nasional tak menentu. Selain itu ada juga ancaman
pemberontakan dari peristiwa Madiun, PRRI/Permesta, DII/TII
sampai G30S/PKI. Oleh sebab itu hal ikhwal kegentingan yang
memaksa dapat diterima menurut akal sehat.
Perppu yang dikeluarkan pertama kali pada tahun 1946 yaitu
Perppu No 1 Tahun 1946 Tentang Susunan Dewan Pertahanan
Daerah Dalam Daerah Istimewa. Selebihnya banyak menyangkut
penataan ekonomi seperti pembentukan bank dan pergudangan.
Beberapa Perppu juga berkaitan dengan tindak pidana ekonomi dan
korupsi. Bahkan Perppu No 23 Tahun 1959 menyangkut tentang
Keadaan Bahaya sesaat setelah Presiden Sukarno mengumumkan
Dekrit Presiden. Dalam situasi kegentingan yang memaksa, pernah
juga diterbitkan Perppu No 10 Tahun 1960 Tentang Pejabat Yang
Menjalankan Jabatan Presiden Jika Presiden Mangkat, Berhenti Atau
Berhalangan, Sedang Wakil Presiden Tidak Ada/berhalangan..
61
Saat Presiden Suharto berkuasa hanya menerbitkan 8 Perppu.
Perppu pertama yang dihasilkan merupakan Perppu No 1 Tahun 1968
Tentang Tanda Kehormatan Bintang Kartika Eka Pakci. Kemudian
pada tahun 1969 muncul Perppu Nomor 1 Tahun 1969 Tentang
Bentuk-Bentuk Usaha Negara. Perppu ini diterbitkan untuk
mengatasi dan menata kondisi perekonomian yang kolaps saat itu.
Selebihnya Suharto menerbitkan 5 Perppu pada tahun 1971, 1984,
1992 dan 1997. Terakhir di penghujung jabatannya Suharto
menerbitkan Perppu No 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Tentang Kepailitan di tengah suasana krisis
moneter, dan banyaknya perusahaan-perusahaan yang gulung tikar
terkena badai krisis moneter.
Tabel 3.1
Perppu Pada Era Presiden Suharto
Nomor Tentang
1 Tahun 1968 Tanda Kehormatan Bintang Kartika Eka Pakci
1 Tahun 1969 Bentuk-bentuk Usaha Negara
1 Tahun 1971 Pencabutan Undang-undang No. 17 Tahun 1964
Tentang Larangan Penarikan Cek Kosong
2 Tahun 1971 Tanda Kehormatan Bintang Yudha Dharma
1 Tahun 1984 Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984
1 Tahun 1992 Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan
1 Tahun 1997 Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan
1 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan Sumber: Setneg.go.id, diolah penulis.
62
Pada era Presiden BJ Habibie terbit dua Perppu. Perrpu yang
diterbitkannya pertama adalah Perppu No 2 Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum di tengah
situasi gelombang unjuk rasa dan menghadapi sidang istimewa MPR.
Tapi, Perppu ini pun kemudian ditolak oleh DPR. BJ Habibie
kemudian menerbitkan Perppu No 3 Tahun 1998 Tentang Pencabutan
Perppu No 2 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat Di Muka Umum. Jadi praktis tidak ada Perppu yang
diterima dan berlaku pada saat pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Pada era Presiden Abdurahman Wahid selama penjabat
selama dua tahun, menghasilkan 4 Perppu. Perppu pertama terbit
tahun 1999 yaitu Perppu No 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan
HAM. Perppu tersebut terbit karena kegentingan memaksa terkait
tuntutan gerakan reformasi untuk mengadili pelaku pelanggaran
HAM masa lalu yang melibatkan aparatur militer.
Tabel 3.2
Perppu Pada Era Presiden Abdurahman Wahid
Nomor Tentang
1 Tahun 1999 Pengadilan Hak Asasi Manusia
1 Tahun 2000 Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas
2 Tahun 2000 Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas
Sabang
3 Tahun 2000 Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun
1998 Tentang Perubahan Berlakunya Undang Undang
Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan Sumber: Setneg.go.id, diolah penulis.
63
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri terbit 4 Perppu.
Dua Perppu yang diterbitkan pada tahun 2002 yakni Perppu No 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan
Perppu No 2 Tahnun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada
Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002. Kedua
Perppu ini berkaitan dengan peristiwa bom bali dan peledakan
Kedutaan Besar Australia, sehingga ada hal ikwal kegentingan yang
memaksa bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu tentang tindak
pidana terorisme.
Tabel 3.3
Perppu Pada Era Presiden Megawati Soekarnoputri
Nomor Tentang
1 Tahun 2002 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
2 Tahun 2002 Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali
Tanggal 12 Oktober 2002
1 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan
2 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumber: Setneg.go.id, diolah penulis.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun
2004-2014 telah terbit 19 Perppu. Presiden Susilo Bambang
64
Yudhoyono paling sering mengubah beberapa pasal UU tentang
Pemilu dan Pemerintahan Daerah. Tabel berikut ini merupakan
Perppu pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tabel 3.4
Perppu Pada Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Nomor Tentang
1 Tahun 2005 Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
2 Tahun 2005 Badan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah
Dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara
3 Tahun 2005 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah
1 Tahun 2006 Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12
Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
2 Tahun 2006 Penangguhan Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi
Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud
Dalam Pasal 71 Ayat (5) Undang-undang Nomor
31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
1 Tahun 2007
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 36 Tahun
2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000
Tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan
Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-undang
2 Tahun 2007 Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka
Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi
Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias
Provinsi Sumatera Utara
1 Tahun 2008 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua
2 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
65
3 Tahun 2008 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun
2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
4 Tahun 2008 Jaring Pengaman Sistem Keuangan
5 Tahun 2008 Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor
6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara Perpajakan
1 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
2 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun
2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
3 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 9 Tahun
1992 Tentang Keimigrasian
4 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
1 Tahun 2013 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah Sumber: Setneg.go.id, diolah penulis.
Pada era Presiden Joko Widodo, belum genap satu tahun
pemerintahannya, tanggal 18 Februari 2015 ia menerbitkan Perppu
No 1 Tahun 2015 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Terbitnya Perppu tersebut merupakan pertimbangan
terjadinya kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) telah mengganggu kinerja KPK.65
Hal itu terjadi
setelah 2 pimpinan KPK yaitu Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto diberhentikan karena berstatus tersangka.
65
Kompas, Ini Isi Perppu Nomor 1 tahun 2015 tentang KPK,
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/00235331/Ini.Isi.Perppu.Nomor.1.tahun.2015.t
entang.KPK, Senin, 23 Februari 2015, diakses pada tanggal 25 November 2015.
66
B. Frasa “Hal Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa” (Pasal 22 UUD
1945) Vs “Keadaan Bahaya” (Pasal 12 UUD 1945)
Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai “Hal Ikhwal
Kegentingan Yang Memaksa” Vs “Keadaan Bahaya” diatur dalam
Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Pasal 12 UUD 1945
menyatakan: ”Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat
dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Berdasarkan
ketentuan tersebut, dapat diketahui adanya dua kategori situasi
menurut UUD 1945 yaitu: keadaan bahaya dan hal ikhwal
kegentingan yang memaksa.
Banyak ahli hukum yang memahami “hal ikhwal kegentingan
memaksa” yaitu suatu keadaan dimana negara dalam keadaan darurat
untuk segera dilakukan penyelamatan. Pemahaman ini merujuk pada
Undang-undang (Prp) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan
Bahaya. Hal tersebut mengakibatkan pemakaian istilah “hal ikhwal
kegentingan memaksa” untuk Perppu seringkali dikacaukan dengan
yang dimaksud dengan Undang-undang tentang Keadaan
67
darurat/Bahaya.66
Perppu adalah dimaksudkan menyebut suatu
peraturan berderajad undang-undang sebagai gantinya undang-
undang yang dibuat dalam hal ikhwal yang perlu segera diatur,
sehingga tidak perlu menunggu persetujuan DPR dulu. Sedangkan
Undang-undang tentang keadaan darurat adalah suatu undang-undang
yang mengatur manakala ada keadaan bahaya, baik mengatur tentang
syarat-syaratnya kapan boleh dinyatakan ada keadaan bahaya maupun
akibat-akibat hukumnya setelah dinyatakan adanya keadaan bahaya
itu.67
Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 telah menyatakan
bahwa: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”, sehingga “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) UUD 1945, sebenarnya tidak sama dengan ”keadaan bahaya”
seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12 UUD 1945 dan
pengaturannya yang tertuang dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959
tentang Keadaan Bahaya, yang memang harus didasarkan atas
66
Lihat Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama, Gama Media dan
Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1999, hal 70. 67
Ibid, hal. 70- 71.
68
kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang.68
Sedangkan Perppu terbit karena keadaan yang ditafsirkan secara
subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah. Hal tersebut juga
dinyatakan Jimly Asshiddiqie:
“Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undang-
undang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang
menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan
”Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Istilah hal-
ihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu
tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian
”keadaan bahaya” menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara
subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak
karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-
undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang
sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak
(ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya
sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel
(wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung
di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi
peraturan pemerintah.”69
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menggunakan frasa “dalam hal
ikhwal kegentingan yang memaksa” yang dapat ditafsirkan bahwa
adanya suatu kegentingan yang memaksa pihak tertentu untuk
menanggulangi suatu kegentingan tersebut dengan cara-cara yang
dibuat melalui prosedur tidak biasanya. Kemudian frasa “Presiden
68
Muhammad Siddiq, Kegentingan Memaksa Atau Kepentingan Penguasa
(Analisis Terhadap Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPPU), Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 48, No. 1, Juni 2014. hal 265-266. 69
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Op.cit, hal 210.
69
berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang” menjelaskan bahwa pihak yang mempunyai kompetensi
untuk menafsirkan kegentingan memaksa tersebut adalah Presiden
dan hal yang dapat dilakukan oleh Presiden dalam upaya
menanggulangi kegentingan tersebut adalah dengan kekuasaan
legislatif sepenuhnya tanpa melibatkan DPR. Konstruksi pemikiran
tersebut bersifat subjektif, hal ini dikarenakan upaya yang
dilakukan untuk menanggulangi kegentingan tersebut hanya
sepihak oleh penilaian Presiden semata. Menurut Saldi Isra,
ketentuan tersebut disebut sebagai “hak konstitusional subjektif
Presiden”.70
Apakah frasa “hal ikhwal” sama dengan pengertian
“keadaan”? Keduanya tentu tidak sama. Keadaan adalah
strukturnya, sedangkan hal ikhwal adalah isinya.71
Oleh sebab itu
menurut pendapat Bagir Manan, materi muatan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) hanya mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan
(administrasi negara).72
Menurutnya tidak boleh Perppu
70
Saldi Isra dalam Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia, Eksistensi Perppu dalam Sistem Perundang-undangan,
http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=8556, Jumat 29 April 2011, diakses
pada tanggal 27 November 2015. 71
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal 206. 72
Sumali, Op.cit, hal 93.
70
dikeluarkan bersifat ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan
lembaga negara, kewarganegaraan, territorial, negara, dan hak
dasar rakyat.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa segala sesuatu yang
“membahayakan” tentu memiliki sifat yang menimbulkan
“kegentingan yang memaksa”, tetapi segala hal ikhwal kegentingan
yang memaksa Presiden untuk mengeluarkan Perppu tidak selalu
membahayakan atau bernilai dangerous threat.73
Adanya pembedaan
itu wajar apabila penetapan suatu peraturan pemerintah sebagai
undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945
tidak harus didahului oleh suatu deklarasi keadaan darurat.
Pelaksanaan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan
dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka
pemberlakuan keadaan bahaya itu.74
Frasa “keadaan bahaya” yang diatur di dalam Pasal 12 UUD
1945 tersebut mengandung unsur objektif sedangkan frasa “hal
ikhwal kegentingan yang memaksa” di dalam Pasal 22 ayat (1) UUD
1945 secara gramatikal mempunyai unsur subjektif. Berdasarkan hal
tersebut menurut pendapat penulis, frasa “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” merujuk pada kekuasaan diskresi terjadi pada aras
73
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal 208. 74
Ibid. hal 206.
71
Hukum Administrasi, sedangkan frasa “keadaan bahaya” merujuk
pada kekuasaan darurat terjadi pada aras Hukum Tata Negara. Dari
perspektif Hukum Tata Negara Indonesia, pembenaran bagi
pembedaan di atas adalah kekuasaan darurat merupakan ranah
kekuasaan Presiden sebagai kepala negara (Pasal 12 UUD 1945).75
Sedangkan pada perspektif Hukum Administrasi Pasal 22 ayat (1)
UUD 1945 merupakan kekuasaan diskresi Presiden sebagai kepala
pemerintahan. Mengenai pembedaan tersebut, Krishna Djaya
Darumurti berpendapat bahwa:
Penetapan situasi darurat memang adalah tindakan Presiden
sebagai kepala negara. Apakah dalam situasi darurat,
pemerintah menjadi tiada? Pembedaan tersebut lebih tepat
manakala ditujukan untuk membedakan bobot dari kekuasaan
diskresi itu sendiri, yang dapat digolongkan sebagai diskresi
kuat dan lemah. Dalam situasi darurat pun yang tetap
berlangsung di sana adalah kekuasaan pemerintahan, tetapi
tindak pemerintahan yang ditempuh tidak bisa dipersamakan
dengan tindakan pemerintah dalam situasi normal, tetapi
adalah, per definisi, tindakan diskresi. Dalam situasi darurat
jenis kekuasaan diskresinya adalah diskresi kuat dengan
pengertian rentang kendali/kontrol atas pelaksanaan kekuasaan
semakin lemah. Pembedaan mengenai diskresi kuat dan
diskresi lemah juga dapat mengacu pada pembedaan ratione
materiae atau subject matter dari tindakan diskresi yang
dilakukan. Misalnya, pada lapangan national security dan
foreign relations, manakala terjadi tindakan diskresi, maka hal
itu adalah jenis diskresi kuat.76
75
Ibid. 76
Krishna Djaya Darumurti, Konsep Dan Asas Hukum Kekuasaan Diskresi
Pemerintah, Disertasi (Tidak Diterbitkan), Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 2015, hal 48.
72
Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis, terkait
kekuasaan diskresi Presiden, maka frasa “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 adalah jenis
diskresi lemah, sedangkan frasa “keadaan bahaya” dalam Pasal 12
UUD 1945 adalah jenis diskresi kuat. Penggunaan kedua pasal
tersebut sangat berbeda yakni Pasal 12 UUD 1945 lebih berfokus
pada kewenangan Presiden untuk menyelamatkan bangsa dan negara
dari gangguan luar negara, sedangkan penggunaan Pasal 22 UUD
1945 berada pada ranah (domain) pengaturan yaitu berkenaan dengan
kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu yang lebih
menekankan dari aspek internal negara berupa kebutuhan hukum
yang bersifat mendesak.
Selain itu, menurut penulis, kewenangan Presiden untuk
menetapkan Perppu adalah jenis diskresi lemah, karena masih dapat
dikontrol melalui pengujian—baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai legislator dengan metode legislative review (untuk
ditetapkan menjadi UU) dan baru-baru ini oleh Mahkamah Konstitusi
dengan metode judicial review (setelah ataupun sebelum Perppu
tersebut menjadi UU). Hal tersebut mengindikasikan semua peraturan
yang dikeluarkan oleh Presiden haruslah mengacu kepada UUD 1945
dan Undang-Undang—dan tidak boleh lagi bersifat mandiri. Hal ini
73
mengingat bergesernya kekuasaan pembentukan undang-undang dari
Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu
konsekuensi dari perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari
DPR menjadi lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum
amandemen UUD 1945).
C. Makna Konsep Tolok Ukur “Hal Ikhwal Kegentingan Yang
Memaksa”
Tidak banyak ahli hukum yang mengemukakan mengenai
makna konsep tolok ukur “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Saldi Isra pun juga berpendapat bahwa sampai sejauh ini, tidak ada
tolok ukur yang jelas mengenai makna “kegentingan yang
memaksa”.77
Penulis hanya menemukan doktrin ahli hukum seperti
Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan. Mengenai “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa”, Bagir Manan menyatakan bahwa unsur
kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum,
yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii) ada kemendesakan (emergency).78
Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang
menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and
77
Saldi Isra dalam Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia, Op.cit. 78
Bagir Manan, Op.cit, hal 158-159.
74
sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi
berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan
menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan
terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan
menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan
menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap
jalannya pemerintahan.
Sedangkan menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, syarat
materiil yaitu keadaan memaksa untuk menetapkan Perppu dibagi
menjadi tiga meliputi:79
a) Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau “reasonable
necessity”.
Contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur yang mendesak
untuk bertindak (reasonable necessity) adalah Perppu Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian, dimana kebijakan Pemerintah
Arab Saudi yang menetapkan bahwa mulai tahun 1430 Hijriyah
jemaah haji dari seluruh negara (termasuk Indonesia) harus
menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku
secara internasional dijadikan sebagai ukuran “kegentingan yang
79
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal 282.
75
memaksa”, sehingga Pemerintah Indonesia perlu melakukan
upaya yang bersifat segera untuk menjamin tersedianya paspor
dimaksud agar penyelenggaraan ibadah haji tetap dapat
dilaksanakan.
b) Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat
kegentingan waktu.
Contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur keterbatasan
waktu (limited time) yang tersedia adalah Perppu Nomor 1 Tahun
2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengatur bahwa Anggota KPU
yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum dan yang telah disesuaikan dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetap
melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya
penyelenggara pemilihan umum yang baru. Hal ini mengingat
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sedang
76
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang
penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk menggantikan
ketentuan yang saat ini berlaku yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, Presiden berpendapat syarat hal ikhwal
kegentingan yang memaksa telah terpenuhi untuk menetapkan
Perppu tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
c) Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar
(beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan
dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan
satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.
Contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur beyond
reasonable doubt adalah Perppu No 1 Tahun 2015 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan
pertimbangan terjadinya kekosongan keanggotaan Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengganggu kinerja
77
KPK. Karena itu, untuk menjaga kelangsungan dan
kesinambungan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,
pemerintah tidak tersedia alternatif lain selain memandang perlu
pengaturan mengenai pengisian keanggotaan sementara
pimpinan KPK.
Menurut penulis, pendapat Jimly Asshiddiqie dan Bagir
Manan mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” terlalu
berputar-putar, dalam menjelaskan hakikat sesungguhnya pengertian
tersebut. Menurut penulis, makna konsep “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa" adalah penilaian subjektif Presiden, bahwa
dibutuhkan suatu undang-undang, tetapi dengan mekanisme normal
undang-undang tersebut tidak mungkin dihasilkan. Dalam pengertian
demikian kewenangan menerbitkan Perppu adalah jalan pintas
(shortcut) yang bersifat abnormal dalam pembentukan produk hukum
setara/sederajat undang-undang. Hal prinsip di sini adalah kebutuhan
untuk undang-undang dianggap sebagai tidak terhindarkan (misalnya,
tanpa adanya undang-undang tersebut tindakan pemerintah dapat
dipersalahkan melanggar asas legalitas). Hal inilah yang menjelaskan
“hal ikhwal kegentingan yang memaksa" sebagai kewenangan yang
sifatnya khusus atau luar biasa, pengertian “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa" adalah ranah kebijakan Presiden yang tidak perlu
78
didefinisikan karena sifatnya subyektif. Hal itu hanya dapat
diobyektifkan manakala dalam persidangan DPR selanjutnya hal itu
dapat disetujui.
Menelisik lebih dalam lagi, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12)
merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan
Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai
noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu
diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh
pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah
untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah
tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, sesuai
amanat konstitusi, sikap DPR terhadap noodverordeningsrecht
Presiden adalah menyetujui atau menolak untuk menjadi Undang-
undang dalam persidangan berikutnya, dan jika menolak untuk
menyetujui, maka Perppu tersebut harus dicabut.
Dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa", kelebihan
pemerintah dari legislatif dan yudisial nampak sangat eksplisit,
terutama dalam hal fleksibilitas. Hal tersebut juga diungkapkan oleh
Krishna Djaya Darumurti yang berpendapat bahwa:
Kekhasan atau keunikan fungsi pemerintahan telah diakui
secara teoretis sebagai kelebihan komparatif yang dimiliki
oleh pemerintah dibandingkan dengan badan-badan
pemerintahan yang lain. Keahlian, kecekatan dalam bertindak
79
serta fleksibilitas adalah modalitas yang senantiasa harus
dimiliki oleh pemerintah dan seringkali dianggap tidak
dimiliki oleh badan-badan pemerintahan lain yang bersifat
koordinat (legislatif dan yudisial) sehingga perlu ada
perlakuan berbeda terhadapnya.80
Kemudian semenjak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
No 138/ PUU-VII/2009 Tentang Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan tolok ukur
bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu berdasarkan putusan
peradilan bukan hanya melalui doktrin para ahli hukum. Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009, ada tiga
syarat sebagai tolok ukur adanya “hal ikhwal kegentingan yang
memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perppu yaitu:81
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak
memadai;
80
Krishna Djaya Darumurti, Op.cit, hal 152. 81
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, hal 19.
80
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Namun ditetapkannya tolok ukur bagi Presiden untuk
menerbitkan Perppu ini juga masih terus menimbulkan perdebatan
dikarenakan nilai subjektif dari sebuah Perppu berubah menjadi
objektif melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, maka jelas muncul norma baru yang
merubah konstruksi norma yang terdapat di dalam Pasal 22 ayat (1)
UUD 1945.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa terjadi
perubahan konstitusi tanpa melalui Pasal 37 UUD 1945 mengenai
prosedur perubahan UUD 1945 melalui MPR—namun melalui
praktek peradilan. Harusnya Mahkamah Konstitusi menjalani amanah
UUD 1945, bukan justru malah mengoreksi UUD 1945. Presiden
yang sebelumnya diberi kekuasaan mutlak untuk menafsirkan apa
makna “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yang bercorak
subjektif menjadi objektif dikarenakan terdapat syarat kumulatif
81
lainnya bagi Presiden yakni sebagaimana ditentukan oleh Mahkamah
Konstitusi.82
Selain itu, apabila Presiden melanggar penetapan Mahkamah
Konstitusi mengenai tolok ukur “hal ikhwal kegentingan yang
memaksa”, maka Presiden secara tidak langsung telah melanggar
konstitusi dan mengabaikan eksistensi Mahkamah Konstitusi itu
sendiri—karena konstitusi menyatakan bahwa sifat putusan
Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat. Penulis
berpendapat, meskipun dalam pertimbangan majelis Mahkamah
Konstitusi tersebut memiliki maksud baik yakni mencegah Presiden
berbuat sewenang-wenang terhadap pelaksanaan kewenangan
legislasi Presiden pada saat kegentingan memaksa—namun upaya
pengujian itu seharusnya dilakukan dalam koridor UUD 1945—
sehingga hal ini tidak akan mengaburkan posisi Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU/2009
perlu dicermati alasan berbeda (concurring opinion) oleh salah satu
hakim Mahkamah Konstitusi yakni Mahfud MD, yakni:
Kajian-kajian akademik yang pernah berkembang di kampus-
kampus pada tahun 2000-2001 menyebutkan, antara lain,
bahwa pengujian Perpu oleh lembaga yudisial (judicial review)
atau oleh lembaga lain (seperti yang pernah diberikan kepada
82
Ibnu Sina Chandranegara, Op.cit, hal 7.
82
MPR oleh Tap MPR No. III/MPR/2000) merupakan
“perampasan” atas hak dan kewenangan konstitusional DPR
yang diberikan oleh UUD 1945. Sebab sudah sangat jelas,
Pasal 22 UUD 1945 memberi hak kepada DPR untuk menilai
sebuah Perpu pada persidangan berikutnya, apakah Perpu itu
akan disetujui sebagai Undang-Undang ataukah tidak.
Kesamaan level isi antara Undang-Undang dan Perpu tetap
tidak dapat dijadikan alasan bagi lembaga selain DPR untuk
menguji konstitusionalitas Perpu terhadap UUD 1945; apalagi
kalau kesamaan isi itu hanya karena Perpu diartikan sebagai
“undang-undang dalam arti materiil,” sebab di dalam hukum
tata negara semua jenis peraturan perundang-undangan, mulai
dari UUD sampai Peraturan Desa, adalah undang-undang
dalam arti materiil.
Namun akhir-akhir ini ada perkembangan penting dalam
ketatanegaraan kita sehingga saya ikut menyetujui agar Perpu
dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi
terutama melalui titik tekan dalam penafsiran konstitusi.
Dalam kaitan antara perkembangan ketatanegaraan dan
pengujian Perpu ini saya melihat perlunya penafsiran atas isi
UUD 1945 tidak hanya bertumpu pada original intent, tafsir
historik, dan tafsir gramatik melainkan harus menekankan pada
penafsiran sosiologis dan teleologis. Perkembangan
ketatanegaraan di lapangan yang menjadi alasan bagi saya
untuk menyetujui dilakukannya judicial review terhadap Perpu
oleh Mahkamah Konstitusi adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Akhir-akhir ini timbul perdebatan, apakah penilaian untuk
memberi persetujuan atau tidak atas Perpu oleh DPR
dilakukan pada masa sidang berikutnya persis pada masa
sidang setelah Perpu itu dikeluarkan ataukah pada masa
sidang berikutnya dalam arti kapan saja DPR sempat
sehingga pembahasannya dapatdiulur-ulur. Dalam
kenyataannya Perpu yang dimohonkan pengujian dalam
perkara a quo baru dibahas oleh DPR setelah melampaui
masa sidang pertama sejak Perpu ini dikeluarkan. Seperti
diketahui Perpu a quo diundangkan pada tanggal 22
September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya
(DPR baru, hasil Pemilu 2009) adalah tanggal 1 Oktober
sampai dengan tanggal 4 Desember 2009, tetapi Perpu a
quo tidak dibahas pada masa sidang pertama tersebut. Kalau
Perpu tidak dapat diuji oleh Mahkamah maka sangat
mungkin suatu saat ada Perpu yang dikeluarkan tetapi DPR
83
tidak membahasnya dengan cepat dan mengulur-ulur waktu
dengan berbagai alasan, padahal Perpu tersebut
mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi.
Oleh sebab itu menjadi beralasan, demi konstitusi, Perpu
harus dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah
Konstitusi agar segera ada kepastian dapat atau tidak dapat
terus berlakunya sebuah Perpu.
2. Timbul juga polemik tentang adanya Perpu yang
dipersoalkan keabsahan hukumnya karena tidak nyata-nyata
disetujui dan tidak nyata-nyata ditolak oleh DPR. Dalam
kasus ini DPR hanya meminta agar Pemerintah segera
mengajukan RUU baru sebagai pengganti Perpu. Masalah
mendasar dalam kasus ini adalah bagaimana kedudukan
hukum sebuah Perpu yang tidak disetujui tetapi tidak
ditolak secara nyata tersebut. Secara gramatik, jika
memperhatikan bunyi Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perpu
yang tidak secara tegas mendapat persetujuan dari DPR
“mestinya” tidak dapat dijadikan Undang-Undang atau tidak
dapat diteruskan pemberlakuannya sebagai Perpu, tetapi
secara politis ada fakta yang berkembang sekarang ini
bahwa “kesemestian” tersebut masih dipersoalkan, sehingga
sebuah Perpu yang tidak disetujui oleh DPR (meski tidak
ditolak secara nyata) masih terus diberlakukan sampai
dipersoalkan keabsahan hukumnya karena dikaitkan dengan
satu kasus. Dalam keadaan ini menjadi wajar jika
Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian
terhadap Perpu.
3. Terkait dengan tidak disetujuinya sebuah Perpu oleh DPR
ada juga pertanyaan, sampai berapa lama atau kapan sebuah
Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR harus diganti
dengan Undang-Undang Pencabutan atau Undang-Undang
Pengganti. Karena tidak ada kejelasan batas atau titik waktu
maka dalam pengalaman sekarang ini ada Perpu yang tidak
mendapat persetujuan DPR tetapi RUU penggantinya atau
pencabutannya baru diajukan setelah timbul kasus yang
berkaitan dengannya. Oleh sebab itu menjadi wajar pula,
demi tegaknya konstitusi, Mahkamah Konstitusi diberi
kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perpu.
4. Dapat terjadi suatu saat Perpu dibuat secara sepihak oleh
Presiden tetapi secara politik DPR tidak dapat bersidang
untuk membahasnya karena situasi tertentu, baik karena
keadaan yang sedang tidak normal maupun karena sengaja
84
dihambat dengan kekuatan politik tertentu agar DPR tidak
dapat bersidang. Bahkan dapat juga dalam keadaan seperti
itu ada Perpu yang melumpuhkan lembaga-lembaga negara
tertentu secara sepihak dengan alasan kegentingan yang
memaksa sehingga ada Perpu yang terus dipaksakan
berlakunya sementara persidangan-persidangan DPR tidak
dapat diselenggarakan. Dengan memerhatikan kemungkinan
itu menjadi wajar apabila Mahkamah diberi kewenangan
untuk melakukan pengujian atas Perpu.83
Mengenai concurring opinion Mahfud MD, penulis
sependapat dengan pendapat Ibnu Sina Chandranegara yang
menyatakan bahwa:
Pendapat tersebut didasari oleh karena ketakutan konstitusional
apabila keadaan yang semacam itu terjadi. Sehingga MK
memutuskan tidak berdasarkan UUD yang sebenar-benarnya,
namun berdasarkan asumsi mengenai sesuatu hal yang ideal
bukan berdasarkan apa yang telah ditentukan secara rigid oleh
UUD. Pemikiran yang demikian, seharusnya berada di dalam
kepala seorang politisi yang sedang menyusun perubahan
UUD. Dengan keputusan yang demikian ini, maka dampak
yang dapat ditimbulkan adalah adanya potensi sengketa
kewenangan konstitusional lembaga yang justru akan
melibatkan MK sendiri, dan ini secara logika hukum dapat
terjadi dan tidak dapat dihindari.84
Selain itu, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tidak menyebutkan
Perppu, berarti hal itu diserahkan kepada DPR untuk menyetujui atau
tidak menyetujui suatu Perpu pada sidang berikutnya sesuai ketentuan
Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Setelah disetujui menjadi Undang-
83
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, hal 28-30. 84
Ibnu Sina Chandranegara, Op.cit, hal 10.
85
Undang barulah dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi. Seperti halnya
Perppu tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang
dikeluarkan menyusul peristiwa yang dikenal dengan sebutan
peristiwa „Bom Bali‟, diuji di Mahkamah Konstitusi setelah disetujui
DPR menjadi Undang-Undang (Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan
Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi Undang-Undang).
Penetapan Mahkamah Konstitusi mengenai tolok ukur “hal
ikhwal kegentingan yang memaksa” jelas memperketat kewenangan
Presiden dalam menentukan “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”
dan dapat menimbulkan kerancuan, yakni apakah apabila Presiden
membentuk Perppu namun tidak memenuhi tolok ukur yang
ditentukan Mahkamah Konstitusi, maka Perppu tersebut menjadi
tidak mengikat? Atau apakah Presiden dapat dijustifikasi telah
melanggar konstitusi dikarenakan melanggar pertimbangan
Mahkamah Konstitusi di dalam putusan a quo apabila Perppu
bentukan Presiden tidak mendasari pada putusan a quo? 85
85
Ibid. hal 7.
86
Titon Kurnia Slamet berpendapat bahwa UUD 1945 sebagai
konstitusi normatif dimana perlindungan terhadap HAM merupakan
salah satu tuntutan yang niscaya.86
Oleh sebab itu menurut penulis,
meskipun terdapat “hal ikhwal kegentingan memaksa” yang
mengharuskan Presiden menerbitkan Perppu, konstitusi sendiri
sejatinya telah memberikan batasan obyektif secara tegas melalui
UUD 1945 sebagai konstitusi normatif—sehingga terdapat unsur
obyektif yang menentukan pada pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945
yang mengatur mengenai HAM harus dipatuhi dan tidak bisa
dilanggar dalam “hal ikhwal kegentingan memaksa” penerbitan
Perppu yang bernuansa subyektifitas Presiden. Selain itu,
“kegentingan memaksa” menjadi pertimbangan dikeluarkannya
sebuah PERPPU alasannya bersifat subjektif, akan tetapi alasan-
alasan objektif yang menjadi pertimbangan Presiden untuk
mengeluarkan sebuah PERPPU dapat tercermin dan terlihat dalam
konsiderans “Menimbang” dari PERPPU yang bersangkutan.
Berdasarkan paparan sebelumnya, maka menurut penulis,
tolok ukur “hal ikhwal kegentingan memaksa” merujuk pada refleksi
kekuasaan diskresi Presiden sebagai kepala pemerintahan. Sehingga
86
Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM: Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 & Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2014, hal iv.
87
tolok ukur “hal ikhwal kegentingan memaksa” seyogyanya adalah
murni penilaian subjektif Presiden (sesuai amanat Pasal 22 ayat (1)
UUD 1945) untuk dapat dijadikan unsur alasan Perppu tersebut
dilahirkan oleh Presiden—bukan dari selain Presiden seperti yang
ditetapkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU/2009
atau pun doktrin ahli hukum. Seharusnya Mahkamah Konstitusi
sebagai pengawal konstitusi tidak dapat melampaui konstitusi itu
sendiri.
Menurut penulis, cakupan “hal ikhwal kegentingan memaksa”
sangat luas dan tidak terbatas (atau dapat dibatasi) pada tolok ukur
yang diamanatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No
138/PUU/2009 atau doktrin ahli hukum saja—karena senantiasa
fleksibel menyesuaikan substansi keadaan itu sendiri. Pandangan
subyektif lahir dikarenakan Presiden merupakan pemegang
kekuasaan pemerintahan negara, sehingga yang lebih mengetahui
keadaan suatu negara ialah si pemegang kekuasaan untuk
“memerintah” negara tersebut dalam hal ini Presiden. Selain itu,
bukankah setelah keluarnya Perppu, DPR diberikan amanah oleh
konstitusi untuk melakukan legislative review terhadap Perppu yang
dikeluarkan Presiden tersebut pada persidangan DPR yang
berikutnya. Pada tahapan inilah norma subyektif Perppu yang
88
diterbitkan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” diuji
konstitusionalitasnya.
Menurut penulis, menyoal Perppu tentu harus meletakkannya
dalam koridor sistem yang dibangun dalam UUD 1945. Dalam UUD
1945, Perpu diatur dalam Pasal 22 yang diletakkan pada Bab VII
tentang DPR. Konstruksi yang demikian harus dipahami betul
mengingat ketentuan Pasal 22 juga erat hubungannya dengan
kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Pasal 22
UUD 1945 berisikan hal mendasar, yaitu: 1) Pemberian kewenangan
kepada Presiden untuk membuat Perppu; 2) Kewenangan itu hanya
digunakan apabila terdapat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”;
3) Perppu harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan
berikutnya; dan 4) jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka
Perppu itu harus dicabut.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Dalam hal ini
kewenangan yang diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan
sesuai dengan konstitusi—sehingga tidak boleh menyimpang dari
UUD 1945. Jika menyimpang dari konstitusi, Pemerintah akan
memiliki resiko yaitu perbuatan melawan hukum (konstitusi)—
Perppu yang dibuat tanpa adanya “hal ikhwal kegentingan yang
89
memaksa” dapat melanggar asas legalitas karena dibuat tanpa
wewenang. Oleh karenanya, amanat konstitusi sesungguhnya tidak
memberikan hak subjektif kepada Presiden an sich untuk
mengeluarkan Perppu secara gampang dan serampangan, tetapi harus
dalam ranah “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi
latar belakang keluarnya Perppu yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa Pasal ini
mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Kriteria tentang apa yang
dimaksudkan dengan istilah “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”
adalah suatu keadaan yang sukar, penting, dan terkadang krusial
sifatnya, yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi
sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera dengan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-
undang.87
Pasal 22 UUD 1945 ini juga secara tersirat atau implisit
bahwa sesungguhnya kewenangan Presiden secara subjektif menilai
keadaan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” untuk
membentuk Perppu tidak diperlukan manakala pembentuk undang-
undang mampu menghasilkan undang-undang sebagai dasar tindakan
bagi pemerintah secara lengkap, sempurna serta antisipatif terhadap
semua kemungkinan yang ada. Tetapi tuntutan demikian mustahil
87
I Gde Pantja Astawa, Op.cit, hal 582.
90
mampu dipenuhi oleh pembentuk undang-undang. Selain itu,
pandangan penulis tersebut secara kontekstual menggarisbawahi
pentingnya fleksibilitas pemerintahan (kewenangan Presiden secara
subjektif) dalam menilai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”
untuk menerbitkan Perppu.