membantu siswa untuk berhubungan dengan individu … · keinginan mereka untuk melakukan kontrol...
TRANSCRIPT
MEMBANTU SISWA UNTUK BERHUBUNGAN DENGAN INDIVIDU
DAN MASYARAKAT
(terjemahan dari buku social studies)
TINJAUAN BAB
Dalam penelitian sosial, aspek psikologis berfokus pada pemahaman dan
penerimaan individualitas kita, sedangkan aspek sosiologi membantu kita
memahami sifat sosial kita dan membentuk kelompok-kelompok dalam
masyarakat kita, bangsa, dan dunia. Penelitian psikologi membantu guru dan
siswa dalam mengembangkan citra diri dan kepercayaan diri yang positif, lebih
baik menerima dan memahami diri mereka, dan belajar untuk menerima dan
berhubungan dengan orang lain. Pemahaman ini memungkinkan kita untuk hidup
dengan orang lain sebagai makhluk sosial (Pagano, 1978). Untuk
mengembangkan nilai-nilai integral dan sikap kepribadian, maka setiap orang
harus mendukung tujuan untuk pengembangan individu dan sosialnya. Dewan
Nasional untuk Standar Studi Sosial IV, Pembangunan dan Identitas Individu,
Standar V, Individu, Kelompok, dan Lembaga, dan Standard X, Cita-cita
Masyarakat dan Prakteknya, menekankan pentingnya setiap orang secara
individual dan sosial mengembangkan diri sebagai anggota kelompok yang
berkontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan dunia (1994b).
Ilmu sosial adalah untuk mengembangkan program kerja yang berpikiran
sebagai warga negara sipil. Dengan demikian, guru dan kurikulumnya akan
menghadapi perilaku egois individu, kurangnya pengalaman, dan mis-informasi
yang memberikan kontribusi secara salah dan stereotip lainnya. Mengembangkan
sikap dan nilai-nilai yang mendukung kewarganegaraan yang bertanggungjawab
memerlukan pendidikan yang mempromosikan pengembangan dari karakter dan
perilaku etis. Pendidikan karakter mengacu pada membantu siswa membangun
satu set nilai-nilai dan sikap yang memungkinkan mereka untuk bisa
bertanggungjawab, sebagai warga negara yang aktif. Perilaku etis mengacu pada
membantu siswa membuat keputusan untuk berperilaku dengan cara yang
mencerminkan sistem etika yang berfokus pada apa yang terbaik bagi semua
orang.
Berbagai aspek psikologi, sosiologi, dan pendidikan nilai-nilai adalah
kontroversial. Perbedaan pendapat berputar di sekitar masalah apa yang akan
diajarkan dan bagaimana mengajarkannya. Kontroversi dapat diharapkan dalam
suatu masyarakat demokratis karena masyarakat seperti itu mendorong berbagai
pendapat. Bab ini menjelaskan penelitian dan praktek mengajar yang berkaitan
dengan psikologi, sosiologi, dan pendidikan nilai-nilai. Dimana ada kontroversi,
dan penyajian berbagai sudut pandang. Pertimbangkan mereka semua dan tetap
terbuka untuk informasi dan sudut pandang baru di masa depan.
TUJUAN BAB
1. Menjelaskan bagaimana lingkungan kelas, kurikulum, dan kegiatan
instruksional menunjukkan tingkat saling menghormati yang guru dan siswa
miliki satu sama lain.
2. Menganalisis peristiwa kelas dalam hal kehadiran atau pengembangan nilai-
nilai.
3. Menjelaskan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan konsep-
diri dan kemampuan guru untuk bekerja secara positif dengan siswa dalam
lingkungan sosialnya.
4. Mengidentifikasi tiga aspek moralitas.
5. Menjelaskan teori-teori perkembangan moral.
6. Mengidentifikasi dua cara dengan mana guru dapat memfasilitasi perilaku
moral siswa.
7. Membandingkan tujuan dan prosedur klarifikasi analisis nilai-nilai, dan
pengajaran nilai tertentu.
8. Menjelaskan karakter tujuan pendidikan dan hubungannya dengan kurikulum
studi sosial.
9. Menjelaskan mengapa nilai-nilai dan karakter strategi pendidikan kadang-
kadang kontroversial.
10. Menjelaskan bagaimana nilai-nilai yang hadir di sekolah dan kurikulumnya.
MENGHORMATI SESEORANG SEBAGAI SEORANG SISWA DAN
SEBAGAI SEORANG GURU
Ketika kita menjelajahi pemahaman konsepsi siswa dalam gagasan
seorang pahlawan, Steven White dan Joseph O'Brien (1999) menemukan bahwa
siswa mengidentifikasinya dengan orang-orang yang menunjukkan keunggulan
moral, bukan dengan mereka yang mencapai keunggulan melalui penampilan
kemewahan dan glamor yang menarik, namun secara dangkal, terutama kepada
masyarakat. Sebagai siswa dewasa, mereka bergerak dari keunggulan moral dalam
peristiwa tunggal kepada tindakan yang berkelanjutan selama periode waktu.
Gurulah yang membuat lingkungan penghormatan dan dorongan untuk membantu
mempromosikan perilaku moral itu.
Lingkungan Kelas
Bagi perasaan seorang siswa, saat pertama mereka melangkah ke ruang
kelas, berapa banyak guru menghormati mereka. pengaturan ruang dan prosedur
instruksional menunjukkan apakah guru akan mendorong aspek informal ini,
sering suatu komunikasi dan kerjasama antara siswa dibuat dengan mengatur
kelas ke daerah dimana kelompok-kelompok kecil bekerja sama. Seperti sebuah
pengaturan yang mendorong siswa untuk menunjukkan kemampuan dan
keinginan mereka untuk melakukan kontrol atas perilaku dan belajar mereka.
Dalam lingkungan ini, guru memandang diri mereka sebagai peserta didik yang
antusias mengeksplorasi ide-ide dan informasi baru bersama dengan siswa.
Hormat seorang guru kepada siswa tidak berarti bahwa mereka harus
selalu diharapkan untuk mengetahui apa yang telah diajarkan atau bahwa mereka
harus dihukum karena melakukan kesalahan. Ketika membaca melalui siklus
pembelajaran dalam Tabel 7.1, diketahui bahwa perilaku guru mendorong siswa
untuk tumbuh dalam kepercayaan diri dan menghormati satu sama lain ketika
mereka bekerja dengan konsep dilema dimana siswa harus bekerja melalui hal itu.
Juga perhatikan bagaimana diskusi digunakan untuk mendorong refleksi dan
untuk menarik implikasi untuk bagaimana agar bekerja lebih baik bersama-sama
sambil menghargai perbedaan dan keinginan individu.
Kurikulum
Dalam sikap penerimaan dan menghormati, siswa dikomunikasikan melalui
kurikulum dan strategi yang digunakan untuk mengajarkannya. Komunikasi ini
dibuktikan melalui tindakan positif:
• Siswa memiliki beberapa tanggungjawab untuk berkontribusi secara aktif.
• Diskusi menunjukkan rasa hormat dan opini yang beragam bagi siswa.
• Siswa memiliki tanggungjawab untuk membuat keputusan yang berkaitan
dengan pelajaran.
• Anggota keluarga yang teratur terlibat dalam kurikulum dan dalam pelajaran
memberikan informasi atau artefak, dalam mendiskusikan ide-ide sebagai
bagian dari tugas pekerjaan rumah, dan mengunjungi kelas untuk memeriksa
presentasi siswa atau membuat presentasi tamu.
• Anggota masyarakat dan karyawan publik diminta untuk memberikan
informasi dan untuk membantu membuat hubungan antara ruang kelas studi
dan pengalaman masyarakat.
• Anggota keluarga dan relawan, termasuk siswa yang lebih tua, atau guru
memberikan bantuan untuk kegiatan khusus, selama berhari-hari atau
perjalanan lapangan, dan untuk memfoto atau merekam kegiatan kelas
(Alleman & Brophy, 1998; Sunal, 1986).
Perhatikan contoh berikut: Ayah Courtney datang ke kelas dengan foto digital dari
rumah masa kecilnya di Tennessee. Dia menunjukkan sebuah foto dari sebuah
panel di dapur yang bisa dibuka untuk mengungkapkan dinding log yang awalnya
adalah sebuah kabin. Kemudian, dinding-dindingnya telah ditutupi dengan papan
kayu, dan kabin diperluas menjadi rumah pertanian yang besar. Dia juga
mengatakan kepada mereka beberapa cerita hantu tradisional Gunung
Appalachian.
Libatkan anggota keluarga dalam kurikulum yang menggabungkan budaya
siswa, dan letakkan dasar untuk program studi sosial yang kuat bagi semua siswa.
Ketika siswa mengalami berbagai budaya yang lebih luas, maka mereka
cenderung untuk mengatasi beberapa prasangka mereka. Sebuah kurikulum yang
menyediakan siswa dengan kesempatan untuk meneliti masalah interpersonal
yang timbul di kelas dan masyarakat (seperti yang ditunjukkan dalam pelajaran di
Tabel 7.1) mempromosikan pengembangan individu dan kemasyarakatan.
WILAYAH YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN KONSEP-DIRI
Konsep-diri seorang individu adalah produk yang kompleks dari
pengalaman semua kehidupan (Christensen & Dahle, 1998). Hal ini dipengaruhi
oleh budaya rumah dan sekolah. Selama tahun-tahun sekolah dasar dan
menengah, siswa mengembangkan rasa kemerdekaan, mereka belajar untuk
mengatasi perasaan cemburu, ketakutan dan agresi, dan mereka membentuk
persahabatan (Kostelnik, Stein, Whiren, & Soderman, 1998). Masing-masing
bidang sosial tampaknya bersifat universal lintas budaya, meskipun mereka dapat
dinyatakan berbeda dalam berbagai lingkungan masyarakat (Ekman & Davidson,
1994).
Kemerdekaan dan Tanggungjawab
Siswa sekolah dasar dan menengah bertindak secara independen tetapi
pada waktu tertentu, mereka bisa tergantung pada orang dewasa (Sears, 1963).
Ketika mereka mengembangkan aspek kognitif dan sosialnya, siswa menjadi lebih
dapat merencanakan solusi untuk masalah dan memahami lingkungan sosial
mereka. Akibatnya, mereka akan menjadi lebih mampu untuk bertindak
independen. Menjadi semakin mandiri dan bertanggungjawab merupakan bagian
dari pematangan dan harapan dalam masyarakat manusia. Siswa biasanya
mencoba untuk menjadi independen ketika mereka menemukan kesempatan untuk
melakukannya. Guru biasanya akanmemberikan imbalan sebagai upaya positif
untuk menjadi mandiri. Ketika waktunya singkat, banyak guru yang tidak cukup
menghargai kemerdekaan siswa dengan menyediakan waktu tambahan yang
diperlukan untuk perencanaan dan pengambilan keputusan yang independen.
Kadang-kadang upaya siswa mengakibatkan perilaku yang tidak aman atau justru
mengganggu. Ketika usaha mandiri siswa tidak bekerja, guru biasanya diharapkan
untuk membantu mereka dan membimbing mereka dalam belajar dari kesalahan
mereka (Macoby & Masters, 1970). Tapi ketika bantuan yang diberikan terlalu
cepat, maka hal ini justru akan memperkuat ketergantungan, frustrasi, dan
kadang-kadang agresi atau penarikan diri.
Siswa menjadi independen ketika mereka diharapkan untuk
bertanggungjawab (Quilty, 1975). Misalnya, buanglah bahan ketika salah satu
selesai mereka gunakan dan menjaga hal-hal tertentu di loker mereka sendiri,
keduanya menunjukkan tanggungjawab. Harapan tanggungjawab yang terbaik
akan bertemu ketika disertai dengan alasan-asalan. Seorang guru mungkin
menunjukkan manfaat dari sikap bertanggungjawab dengan mengatakan, “Semua
gunting dan stapler harus diletakkan kembali di rak itu. Adalah sangat
menyenangkan bila orang terakhir yang menggunakannya mengembalikan
peralatan itu dimana mereka itu berasal, karena sekarang semua orang dapat
dengan mudah menemukan mereka ketika mereka membutuhkannya”. Siswa
dapat bekerja secara bertanggungjawab pada tugas mereka. Tetapi mereka sering
memulainya, kemudian berhenti dan melakukan ke sesuatu yang lain, alalu
kembali ke apa yang mereka kerjakan sebeumnya, dan sebagainya. Maka guru
harus mengakui dan menghargai upaya tanggungjawab mereka itu.
Kemerdekaan dan tanggungjawab saling tergantung satu sama lain.
Seorang siswa yang tidak diharapkan bertanggungjawab adalah tidak mungkin
dianggap sebagai perilaku yang mampu mandiri. Siswa dari berbagai latar
belakang budaya dapat diharapkan untuk menampilkan kemandirian dan
tanggungjawab yang berbeda. Sebagai contoh, siswa dari latar belakang Asia
sering bertanggungjawab untuk tugas-tugas dan melaksanakannya dengan baik,
tapi barangkali hal itu tidak mungkin untuk mengatur yang lain untuk melakukan
suatu tugas kecuali guru menunjukkan izin untuk melakukannya (Scarcella,
1980). Ini menunjukkan bahwa siswa menghormati guru dengan cara yang telah
mereka pelajari melalui pengalaman pribadi dengan budaya mereka. Guru
membantu siswa mengembangkan kemandirian dan tanggungjawab dengan: (1)
perencanaan yang hati-hati, (2) mengantisipasi kesulitan, (3) memberikan
petunjuk yang jelas, dan (4) menyediakan uraian prosedur yang disarankan.
Mengharapkan dan mendorong tanggungjawab dan perilaku yang independen
menunjukkan rasa hormat bagi siswa sebagai individu yang sedang dalam proses
tumbuh dewasa.
Kecemburuan
Kecemburuan adalah perasaan alami yang merupakan sebagian hasil dari
egosentrisme, terutama pada siswa yang lebih muda, yang terkadang sulit
menerima siswa lain menjadi pusat perhatian bahkan walau untuk sementara
waktu (Seifert & Hofnung, 2000). Direfleksikan pada siklus pembelajaran dalam
Tabel 7.1, berapa banyak potensi kecemburuan muncul dalam menggunakan
pengembangan pelajaran ini pada-siswa kelas pertama? Pada siswa kelas empat?
Ketika siswa beranjak dewasa, egosentrisme dan kecemburuan mereka sesekali
dihasilkan melemah. Meskipun cemburu pada siswa adalah normal, hal itu
mengancam harga diri mereka karena sering berarti bahwa seseorang merasa tidak
pasti akan mendapatkan kasih sayang dari orang lain di hadapan pihak ketiga.
Siswa mengungkapkan kecemburuan dalam beberapa cara, termasuk
agresi, perilaku dewasa, dan membual. Ketika seorang siswa menampilkan salah
satu perilaku yang jauh lebih sering daripada yang umum di antara rekannya,
maka banyak guru justru bersikap memprihatinkan. Guru yang menggunakan
perilaku teman sebaya sebagai dasar mereka untuk membandingkan perilaku
mengenali siswa, bahwa itu merupakan beberapa perilaku yang lebih umum di
antara kelompok orang tertentu dari kalangan lain. Pengajaran yang mendorong
siswa untuk mendiskusikan masalah dan menganalisis perilaku mereka, seperti
yang disarankan dalam siklus sampel pembelajaran (Tabel 7.1), siswa membantu
dalam belajar untuk mengatasi perasaan cemburu.
Suatu kontes menghasilkan pemenang dan pecundang yang dapat
menumbuhkan kecemburuan dan mengurangi harga diri (French, Brownell,
Graziano, & Hartup, 1977). Sebaliknya, penekanan harus ditempatkan pada
masing-masing siswa untuk berperforma sebaik mungkin. Upaya kerjasama
kelompok dalam menyelesaikan suatu proyek merupakan pengganti yang efektif
untuk suatu kontes. Setiap siswa berkontribusi dengan kekuatan pribadinya,
keuntungan dalam dirinya, dan mungkin menjadi kurang cemburu pada orang
lain. Masalah lebih dekat yang terkait terjadi ketika seorang guru mengidentifikasi
satu siswa sebagai model dan memberitahu orang lain bahwa mereka harus
meniru model ini. Meskipun seorang guru tidak dapat menghindari semua situasi
yang menghasilkan perasaan cemburu, seorang guru dapat mengenali situasi yang
berpotensi negatif sehingga upaya dapat dilakukan untuk mengurangi efek mereka
pada siswa.
Siswa harus memiliki kesempatan untuk memeriksa situasi dan hasil
pembangunan yang mungkin telah dipengaruhi oleh rasa cemburu. Situasi historis
dan peristiwa-peristiwa saat ini dapat memberikan kesempatan yang cukup bagi
siswa untuk memeriksa kecemburuan dan untuk mengevaluasi bagaimana orang
menanggapi perasaan cemburu. Guru dapat mengajukan pertanyaan untuk
membantu siswa melakukannya: Berapa banyak sikap kecemburuan rasis
memengaruhi Jackie Robinson? Berapa besar kontrol Eropa-Amerika dalam liga
utama bisbol yang dijaga ketat? Apakah perasaan cemburu menghalangi kita dari
secara logis melihat kesuksesan seseorang? Guru menemukan banyak kesempatan
untuk mendiskusikan penggambaran dari kecemburuan dalam cara pandang anak-
anak. Apakah saudara dari Cinderella cemburu melihat kecantikannya? Apakah
karena hal ini, maka mereka berbuat jahat padanya? Mengingat bahwa emosi
seperti kecemburuan harus menjadi bagian dari program studi sosial di semua
tingkatan kelas. Perasaan siswa itu sendiri, perkembangan situasi di kelas,
literatur, dan peristiwa sejarah saat ini, semua dapat berfungsi sebagai titik awal
untuk diskusi tentang emosi.
Rasa Takut
Ketakutan adalah bagian dari kehidupan. Ketakutan dapat menghasilkan
kekhawatiran, kecemasan, kecurigaan, cemas, kesedihan, dan kepanikan
(Kostelnik et ali, 1998). Siswa sering memiliki rasa atkut yang tidak wajar. Anak
yang sangat muda sering mengembangkan ketakutan antara usia 2 dan 5 tahun.
Ketika mereka beranjak dewasa, kemampuan mereka untuk menafsirkan
pengamatan peristiwa akan berkembang; ketakutan akan melemah dan siswa
menjadi lebih realistis. Guru harus ingat bahwa karena proses berpikir siswa yang
matang dan pengalaman pribadi mereka yang terbatas, maka siswa berpikir bahwa
ketakutan mereka adalah wajar. Siswa biasanya tumbuh dari ketakutan mereka
saat mereka dewasa. Orang dewasa yang menggunakan ancaman untuk
menegakkan disiplin, seperti memberitahu seorang anak untuk makan
makanannya atau petugas polisi akan membuatnya mau makan, dapat
menyebabkan anak-anak untuk mengembangkan ketakutannya.
Ketakutan ini sering diungkapkan begitu kuat dan orang dewasa tidak
dapat membantu tetapi menyadari hal itu. Pendekatan terbaik adalah dengan
mendengarkan siswa, mendiskusikan rasa takutnya, dan menunjukkan simpati
terhadap perasaan siswa (Kostelnik, Whiren, Soderman, Stein, & Gregory, 2002).
Meskipun takut tidak bisa berbicara jauh, siswa akan tahu bahwa rasa takut telah
diakui sebagai hal yang nyata dan menjengkelkan. Kegiatan dimana siswa
menggambarkan situasi ketika mereka merasa takut dan bagaimana mereka
mencoba untuk mengatasi dengan itu dapat membantu. Fokuslah dengan
menciptakan strategi dari siswa yang sukses dalam membantu mereka mengenali
dan mengatasi ketakutan mereka sendiri.
Siswa sekolah menengah sering mengembangkan ketakutan yang
berkaitan dengan situasi sosial mereka. Siswa yang memasuki masa remaja sering
takut ditertawakan. Mereka khawatir bila ditempatkan dalam situasi saat mereka
merasa memiliki potensi untuk ejekan, seperti membuat presentasi lisan. Remaja
muda mungkin akan menjadi gugup, atau justru membekukan seluruhnya, tidak
dapat mengingat kata-kata apa yang ingin mereka katakan. Para remaja muda
merasa ada tekanan dalam situasi sosial dan takut menyebabkan hambatan ejekan
dan kecemasan.
Guru perlu membantu siswa mengembangkan kepercayaan dirinya.
Karena remaja muda sering membandingkan dirinya dengan presentasi yang
dipoles oleh aktor seperti untuk video dan iklan, penting untuk mendiskusikan
dari aktor profesional yang membuat bloopers, dan untuk mendorong siswa agar
menonton program fitur yang melakukan bloopers tersebut. Begitu mereka
menyadari bahwa presentasi profesional adalah hasil dari karya dan yang banyaj
diedit, serta tahunan pelatihan profesional, maka mereka mungkin akan dapat
menetapkan harapan yang lebih realistis bagi diri mereka sendiri dan rekan-rekan
mereka. Hal itu akan memungkinkan siswa untuk merekam presentasi mereka
terlebih dahulu, atau menggunakan powerpoint untuk merevisi dan
menyempurnakan tampilan mereka sebelum presentasi mereka untuk membantu
mengatasi ketakutan mereka.
Guru memiliki kemampuan terbatas untuk membantu mengurangi
ketakutan yang dihasilkan oleh situasi pribadi. Oleh karena itu, penting untuk
mengurangi rasa takut saat bekerja bila mungkin, tetapi penting pula untuk
menyadari siapa yang harus dan bisa dihubungi untuk meminta bantuan ketika
seorang siswa terlibat dalam situasi dimana guru hanya dapat memberikan
bantuan terbatas atau tidak sama sekali. Ketakutan yang mungkin digunakan
bersama oleh beberapa siswa harus diperiksa. Refleksikan bagaimana rasa takut
siswa itu tercermin selama menyaksikan acara cuaca saat peringatan tornado
diperdengarkan, menyaksikan sebuah badai yang parah dengan banyak guntur dan
petir, atau badai salju. Bagaimana siswa lain bereaksi? Apakah siswa takut
terperangkap di tengah-tengah remaja yang lebih tua yang terlibat baku tembak
satu sama lain karena sebuah ejekn saja? Bagaimana mereka takut terjangkit
AIDS?
Perasaan Agresif dan Resolusi Konflik
Apakah Anda melihat diri Anda merasa lebih atau kurang, atau rata-rata
sama agresifnya dengan orang lain? Apa saja situasi-situasi yang dapat
menyebabkan Anda merasa agresif? Istilah-istilah desk rage dan road rage
(kemarahan saat kerja dan kemarahan saat dijalanan raya) telah muncul dalam
berita dalam beberapa tahun terakhir. Keluhan tentang agresi pun meningkat
dalam bidang olahraga, bahkan di antara atlet muda dan penonton. Negara-negara
lain berpikir bahwa budaya AS begitu agresif dan keras, dan tidak ada tempay
yang aman di jalan-jalan kita.
Beberapa siswa secara konsisten lebih atau kurang agresif daripada rata-
rata siswa. Agresi mereka adalah bagian dari kepribadian mereka, karena mereka
cenderung bersifat temperamental, berisik, aktif, dan mudah merasa terganggu,
dengan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dalam rutinitasnya
(Berk, 2000). Situasi inipun bisa membuat banyak perasaan agresif. Beberapa
pengamat sosial yang buruk, sulit untuk secara akurat menginterpretasikan
ekspresi wajah dan kata-kata orang lain. Jadi mereka tidak mengerti bahwa tidak
ada permusuhan yang dimaksudkan disana dan mengembangkan sejarah yang
tidak didapatkan saat bersama dengan rekan-rekan mereka (Dodge & Crick,
1990). Beberapa siswa menjadi agresif ketika merasa frustrasi. Namun seringkali
pula justru muncul reaksi positif terhadap frustrasi, seperti berbagi, bekerjasama,
berbicara, dan perilaku prososial lainnya, walaupun hal itu belum diperkuat bagi
mereka (Herrenkohl, Egolf, & Herrenkohl, 1997). Siswa seperti itu sering bergaul
dengan siswa yang agresif lainnya (Seifert & Hoffnung, 2000). Keluarga yang
menggunakan hukuman fisik yang tidak menentu sering memiliki anak agresif.
Siswa-siswa ini percaya bahwa satu-satunya alasan untuk tidak agresif adalah
untuk menghindari tertangkap dan dihukum. Hukuman sering mendorong mereka
ke dalam agresi lebih lanjut. Model agresif dalam kehidupan nyata dan di media
mengajarkan perilaku agresif. Beberapa siswa berasal dari latar belakang budaya
yang mendorong tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah dari agresi dari yang
khas di kalangan sebagian besar siswa. Sebagian besar siswa juga belajar untuk
merasa bersalah ketika mereka bertindak agresif dalam situasi masyarakat mereka
yang tidak memberikan sanksi atas suatu perilaku agresif. Akibatnya, mereka
lebih mungkin untuk menghindari agresi karena mereka akan beranjak menjadi
lebih tua (Seifert & Hoffnung, 2000).
Salah satu cara untuk mengurangi agresi adalah dengan menghilangkan
kondisi yang mendorong/merangsang hal itu. Ini termasuk situasi program media
yang membuat frustasi dan agresi. Cara lain untuk mengurangi agresi adalah
dengan mengajar siswa bahwa perilaku agresi mereka tidak akan dihargai,
misalnya, dengan menggunakan prosedur time-out. Mengajar siswa bagaimana
untuk menyelesaikan konflik dan berinteraksi positif dengan membantu orang
lain. Menggunakan pembelajaran kooperatif yang mencontohkan jenis belajar
siswa yang perlu berlatih jika ingin mengurangi kecenderungan perilaku agresi
mereka. Akhirnya, adalah penting untuk membantu siswa memantau dan
mengontrol perilaku mereka sendiri. Siswa-siswa ini membantu mewujudkan
strategi yang menghasilkan perilaku kurang agresif dalam perhatian yang lebih
positif, kasih sayang, dan persetujuan (Seifert & Hoffnung, 2000).
Siswa harus memeriksa agresi yang terjadi pada peristiwa saat ini.
Perkelahian suatu negara dengan negara yang lain: Siapa yang menjadi
agresornya? Seorang wisatawan diserang di kereta bawah tanah: Siapa yang
menjadi agresornya? Peristiwa sejarah dapat diperiksa aspek agresinya secara
jelas. Bagaimana gurauan Choctaw bereaksi terhadap sifat agresif pemukim
pendatang karena tanah asli mereka terkena penyesuaian penguasa wilayah? Salah
satu sumber utama dari agresi adalah tidak mampu untuk mengidentifikasi solusi
alternatif untuk situasi konflik.
Ketika anak-anak hanya bisa memikirkan beberapa cara untuk
mendapatkan titik di seberang, maka mereka cenderung menggunakan beberapa
jenis serangan sebagai pilihan, karena itu mereka anggap adalah yang tercepat dan
pasti (Smith, 1982). Anak-anak yang datang dengan beberapa pilihan kurang
sering menggunakan kekerasan (Spivack, Platt, & Shure, 1976). Jadi guru dapat
memiliki diskusi kelompok tentang solusi yang mungkin, mengajarkan ketegasan
dan keterampilan bernegosiasi, dan mengajar resolusi konflik.
Kemampuan resolusi konflik adalah penting untuk mengelola perasaan
pribadi dan interpersonal siswa yang agresif. Resolusi konflik mengacu pada
program yang mendorong siswa untuk menyelesaikan sengketa secara damai di
luar prosedur disiplin sekolah tradisional (Conflict Resolution Education Network,
2000, hal 27). Ini adalah sekolah yang memiliki program yang mengajarkan
model resolusi konflik, yang menggabungkan proses pemecahan masalah dengan
keterampilan mediasi, negosiasi, dan kolaborasi. Dasar untuk program-program
tersebut adalah gagasan bahwa pihak yang bersengketa akan memecahkan
masalah itu sendiri. Mediasi rekan adalah jenis yang paling umum dari proses
resolusi konflik, meminta siswa bertindak sebagai pihak ketiga yang netral untuk
menyelesaikan perselisihan. Hal ini paling afektif di sekolah menengah dan
sampai batas tertentu di kelas dasar atas. Komponen resolusi konflik dapat
digunakan secara efektif pada anak-anak muda. Fakta Pendidikan Resolusi
Konflik adalah bagian dari website Jaringan Pendidikan Resolusi Konflik yang
merupakan sumber informasi yang berguna tentang resolusi konflik.
Resolusi konflik membutuhkan keterampilan khusus: mengetahui
bagaimana cara mendengarkan, berempati, penalaran analitis, berpikir kreatif, dan
pemahaman terhadap titik pandang orang lain. Umumnya, terdapat enam langkah
yang dapat diikuti:
1. Setuju untuk bertemu dan menetapkan aturan-aturan dasar.
2. Mengumpulkan informasi tentang konflik.
3. Mengidentifikasi benar-benar apa sengketa yang sedang terjadi.
4. Menyarankan pilihan yang mungkin untuk penyelesaian sengketa.
5. Memilih salah satu opsi yang bisa diterapkan lagi.
6. Mencapai kesepakatan (Conflict Resolution Education Network, 2000, hal
27).
Program resolusi konflik akan mendukung kebijakan sekolah untuk
mencegah kekerasan melalui kemampuan mengajar dan proses untuk
memecahkan masalah sebelum mereka berkembang menjadi kekerasan. Program-
program tersebut dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan perilaku
manajemen pribadi, bertindak secara bertanggungjawab dalam komunitas sekolah,
dan menerima konsekuensi dari perilaku mereka sendiri. Siswa akan
mengembangkan kompetensi yang mendasar yang diperlukan sepanjang hidup,
seperti pengendalian diri, empati diri, dan kerja secara tim. Keterampilan kognitif
dan lainnya yang diperlukan untuk prestasi akademik juga diajarkan. Siswa
belajar untuk menghormati orang lain sebagai individu dan sebagai anggota
kelompok. Akhirnya, siswa belajar bagaimana untuk membangun dan memelihara
hubungan antara tanggungjawab dan produktifitasnya (Resolusi Konflik Jaringan
Pendidikan, 2000, hal 27).
Catatan Khusus: Intimidasi. Pelaku intimidasi adalah anak-anak bahagia yang
mungkin akan membuat kemajuan akademis dengan kehidupan sosial yang buruk.
Strategi proaktif harus digunakan terhadap pengganggu dan korban-korban
mereka. Guru harus membantu korban dengan mendukung ketegasan lisan
sehingga mereka dapat membangun keinginan mereka dan melindungi hak-hak
mereka. Pelatihan ketegasan dapat mengurangi perilaku intimidasi ini. Hal ini
membantu untuk mengajarkan anak bagaimana untuk tampil lebih percaya diri
dan bagaimana menginterpretasikan isyarat-isyarat sosial. Pada akhirnya, itu aka
membantu anak-anak membangun persahabatan dan mengurangi korban mereka.
Pengganggu harus diberitahu bahwa perilaku mereka tidak akan ditoleransi dan
harus diajarkan cara untuk mengendalikan impuls marah mereka (misalnya,
berbicara pada diri sendiri dan segera keluar dengan reaksi cepat, mengartikan
isyarat perilaku yang menceritakan apa dan bagaimana yang orang lain rasakan,
dan ikut mengalami konsekuensi logis dari perilaku intimidasi itu).
Persahabatan
Sepanjang masa kanak-kanak, siswa akan menambah jumlah kenalan yang
mereka miliki dan mengembangkan pertemanan yang lebih erat. Pada usia yang
berbeda, siswa memiliki harapan yang berbeda terhadap teman-temannya,
sehingga akan terus terjadi perubahan karakter persahabatan selama bertahun-
tahun. Siswa biasanya dekat dengan orang lain yang serupa dalam usia, ras, jenis
kelamin, minat, tingkat sosialisasi, dan nilai-nilai (Hartup & Stevens, 1997).
Melalui tahun-tahun awal sekolah dasar, siswa lebih suka seorang teman yang
mudah ia akses, memiliki mainan yang bagus, dan bermain dengan mudah. Siswa,
juga lebih suka seseorang yang mudah memberikan imbalan sebagai upaya
keramahannya (Seifert & Hoffnung, 2000). Selama tengah tahun sekolah dasar,
nilai-nilai kebersamaan menjadi penting. Dimulai di sekolah menengah, siswa
benar-benar mulai peduli tentang apa yang terjadi pada temannya. Mereka
menekankan saling pengertian dan kedekatan tapi masih berharap teman-teman
untuk menjadi berguna bagi mereka (Reisman & Shorr, 1978).
Siswa terus membuat dan menjaga teman-teman mereka yang terampil dan
memulai interaksi dengan teman sebaya mereka, dan terus mempertahankan
interaksi yang sedang berlangsung, dan mampu menyelesaikan konflik
interpersonal. Keterampilan ini dikembangkan melalui empat strategi utama,
dimana guru dapat membantu siswa mengembangkannya:
1. Memberi salam pada siswa lain secara langsung ("Hai siapa namamu?!")
2. Mengajukan pertanyaan yang tepat ("Apa acara TV kesukaanmu?")
3. Memberikan informasi ("Saya suka bermain catur")
4. Mencoba untuk menyertakan teman baru dalam kegiatan mereka ("Apakah
kamu ingin bermain bersama kami saat istirahat?")
Siswa perlu tahu bahwa penting untuk terus mencoba bahkan ketika ditolak. Guru
harus mengakui bahwa kemauan untuk terus mencoba tergantung pada
kepercayaan diri.
Media, khususnya program komputer interaktif, dapat membantu siswa
dalam mengembangkan keterampilan dan menjaga pertemanan dengan teman-
teman mereka. Salah satu contoh program komputer tingkat dasar adalah On
Playground, yang diproduksi oleh Tom Snyder Productions. Program ini
dirancang untuk digunakan pada satu komputer dengan melibatkan seluruh kelas,
program ini membuat sebuah situasi dimana seorang siswa baru telah tiba dan
siswa lainnya harus memutuskan apakah akan menghabiskan waktu istirahat
mereka untuk mengenal siswa baru itu, dan melibatkan dia dalam permainan
mereka. Program ini ada cabangnya, sehingga terdapat berbagai pilihan yang bisa
dibuat, dan dapat dipilih berbagai peristiwa berbeda yang terjadi, berdasarkan
pada pilihan siswa. Diskusi antara anggota kelas akan didorong sebagai
konsekuensi atas apa yang diproyeksikan bagi mereka, dan hasil analisisnya
adalah berbagai strategi untuk menangani situasi yang dihadapi. Siswa dapat
melihat bagaimana berbagai keputusan mengarah pada hasil yang berbeda.
Melalui kegiatan kelas sehari-hari, guru secara efektif dapat melatih siswa dalam
keterampilan sosial yang membantu mereka memulai dan meneruskan pertemanan
secara memuaskan. Pelatihan melibatkan perilaku mengatakan atau menunjukkan
siswa bagaimana menggunakan keterampilan sosial tertentu. Ini termasuk
memberikan kesempatan bagi siswa untuk melatih keterampilan dan memberi
umpan balik dengan saran untuk meningkatkan penggunaan keterampilan mereka.
Di antara keterampilan yang efektif yang diajarkan adalah keterampilan
mengajukan pertanyaan, belajar untuk memberikan penguatan positif untuk yang
lain (seperti tersenyum), membuat kontak mata yang baik, dan belajar bergiliran
(Kostelnik et al., 2002). Setelah persahabatan dimulai, maka banyak kecakapan
yang dapat berkontribusi untuk kelanjutannya:
• Menghargai teman dengan tersenyum padanya
• Meniru tindakan teman
• Memberikan perhatian pada teman
• Menyetujui dari apa yang teman tidak sukai
• Mematuhi keinginan teman
• Berbagi hal dengan teman
• Berkomunikasi dengan baik
• Menjadi pendengar yang baik
• Memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pendengar
• Menilai apakah tindakan Anda sendiri telah menunjukkan penghormatan atau
tidak menunjukkan penghormatan atas hak dan kesejahteraan orang lain
(Hartup, Glazer, & Charlesworth, 1987)
Persahabatan dapat diperiksa dengan mendiskusikan peristiwa saat ini atau
mengenai situasi historisnya. Pertimbangkan pertanyaan-pertanyaan berikut
sebagai ide untuk konten yang dapat didiskusikan dalam unit-unit penelitian
sosial:
- Pada suatu waktu Amerika Serikat telah berteman dengan baik dengan musuh
mereka dari Jerman.
- Karakteristik apa yang mungkin menjadi dari terjalinnya persahabatan antara
pemimpin negara-negara?
- Apa yang dimaksud oleh laporan media bahwa seseorang mendapat kontrak
pembangunan kota karena dia adalah teman dari walikota?
- Apakah persahabatan sejati berarti kamu dapat melakukan hal-hal yang
dilarang untuk teman-temanmu?
- Henry Ford dan Thomas Edison adalah teman dekat. Apa dasar bagi
persahabatan mereka?
Harga-diri
Harga-diri dan konsep-diri adalah berhubungan erat. Jika seseorang
senang dengan konsep-diri, maka ia akan memiliki harga diri yang tinggi.
Penelitian longitudinal menunjukkan bahwa kebanyakan siswa telah membentuk
rasa harga diri yang stabil dalam tahun-tahun sekolah menengahnya. Harga diri
tampaknya terkait dengan perilaku sosial. Siswa dengan harga diri yang tinggi
sering berpartisipasi dalam suati kegiatan diskusi atau kegiatan lain daripada
hanya mendengarkan secara pasif saja (Coopersmith, 1967). Mengekspresikan
opini, mengerjakan tugas-tugas baru dengan kepercayaan diri, menolak tekanan
teman sebaya, dan dapat melakukan pertemanan dengan mudah dianggap sebagai
hasil dari harga diri yang tinggi berdasarkan konsep-diri positif. Namun, harga-
diri yang tinggipun merupakan hasil dari karakteristik positif ketimbang penyebab
dari diri mereka sendiri. Guru perlu bekerja untuk menumbuhkan konsep-diri
positif bagi setiap siswa dan untuk menunjukkan rasa hormat dan penghargaan
atas kemampuan dan latar belakang budaya masing-masing siswa. Karena harga
diri mempengaruhi motivasi dan keinginan untuk belajar, dan guru harus
menggunakan strategi dan prosedur manajemen instruksional untuk mendukung
pembentukannya.
MEMBUAT KONEKSI LITERATUR
Mendukung Pengembangan Penghormatan-Diri
Literatur dapat digunakan untuk memfokuskan diskusi pada pembangunan
sosial terhadap seorang siswa, antara kelompok-kelompok kecil siswa, atau
terhadap seluruh kelas.
Siswa harus memiliki kesempatan untuk mendiskusikan cerita atau
peristiwa-peristiwa dimana terdapat suatu kesepakatan individu terhadap masalah
rasa takut. Misalnya, bukuc cerita Island of the Blue Dolphins (O'Dell, 1960) yang
menawarkan peluang untuk mendiskusikan masalah rasa takut seorang gadis
muda yang bertahan hidup di tengah suku Amerika aslinya sendiri selama
bertahun-tahun di sebuah pulau Pasifik. Untuk siswa yang sangat muda, sebuah
buku seperti Will I Have a Friend (Cohen, 1967) dapat melibatkan mereka dalam
mempertimbangkan bagaimana orang lain mengatasi ketakutan mereka. Membaca
biografi, buku perdagangan, dan fiksi sejarah juga dapat memberikan siswa
kesempatan yang aman untuk kondisi kritis yang mereka hadapi dan membahas
beragam masalah rasa takut dan perasaan orang-orang sepanjang waktu.
Literatur anak-anak juga dapat digunakan untuk mengeksplorasi masalah agresi.
Buku The Runner (Voight, 1985) menawarkan kesempatan untuk berbicara
tentang agresi dan konflik dalam keluarga. Buku A Desember Tale (Sachs, 1976)
berfokus pada penganiayaan anak. Buku Cider Days (Stolz, 1978) menjelaskan
konflik dan agresi di sekolah yang disebabkan oleh bias rasial.
Literatur juga berfungsi sebagai titik awal yang mungkin untuk
mendiskusikan tentang makna persahabatan. Banyak buku yang membahas
persahabatan antara anak-anak dan anak-anak muda remaja. Jennifer, Hecate,
Macbeth, William McKinley, dan Me, Elizabeth dalam EL Konigsburg (1976)
menjelaskan, untuk anak-anak muda, bagaimana seorang anak pemalu menjalin
pertemanan. Tindakan teman-teman dalam cerita-cerita tersebut dapat diperiksa
dan dibandingkan oleh siswa.
PENDIDIKAN NILAI DAN MORAL
Nilai-nilai kita adalah bagian penting dari konsep-diri kita. Nilai adalah
keputusan tentang nilai sesuatu yang didasarkan pada standar yang kita tetapkan
(Sunal, 1990). Ketika seseorang memutuskan bahwa sesuatu itu memiliki nilai,
maka ia akan memutuskan bahwa itu adalah berharga dan layak dibandingkan
dengan pentingnya nilai atau hal-hal lain. Sesuatu yang dinilai "benar" akan
dihargai. Tidak semua hal nilai merupakan "moral", karena nilai mereka tidak
dapat diukur terhadap suatu standar perilaku yang "benar".
Tiga Aspek Moralitas
Moralitas memiliki tiga aspek: (1) penalaran moral, (2) evaluasi diri, dan
(3) resistensi kesadaran untuk berpikir dan untuk perilaku yang tidak dapat
diterima. Pertumbuhan penalaran moral dibantu dengan menyadari bahwa orang
lain memiliki perspektif moral yang berbeda, yang mungkin bertentangan dengan
perspektif kita sendiri (Seifert & Hoffnung, 2000). Beberapa bukti menunjukkan
bahwa penilaian moral merupakan keputusan sosial multidimensi (Bandura,
1977). Penilaian moral yang tergantung pada sintesis dari beberapa jenis
informasi sosial adalah untuk disampaikan pada konsepsi perilaku yang pantas
dan yang tidak pantas (Bandura, 1977).
Evaluasi diri melihat rasa bersalah sebagai empati tertekan yang disertai
dengan keyakinan bahwa Anda bertanggungjawab atas tekanan orang lain
(Hoffman, 1977). Ketika anak-anak tergoda untuk melakukan sesuatu yang tidak
seharusnya mereka lakukan, maka kemungkinan mengalah pada godaan itu
tergantung pada bagaimana anak itu tumbuh besar dan pengalaman sekolahnya,
serta pemahamannya tentang kesalahan, dan faktor situatioal lainnya. Ketika
anak-anak memiliki keluarga dan guru yang tegas dan konsisten bersikeras bahwa
mereka harus belajar dan mempraktekkan kebiasaan mengatur diri sendiri, yang
membenarkan tindakan disipliner mereka dengan penalaran induktif, yang hangat
dan komunikatif, yang menghindari penggunaan disiplin yang tidak perlu keras,
dan yang merupakan model perilaku pengendalian diri, mereka yang paling
mungkin untuk menampilkan perilaku yang diinginkan jauh dari orang dewasa.
Orangtua dan guru menggunakan penjelasan dan penalaran induktif untuk
membantu anak-anak belajar untuk menerima tanggungjawab atas perilaku
mereka. Dalam penalaran induktif, seorang individu menjadi akrab dengan
sesuatu contoh dan sesuatu yang tidak dicontohkan dan kemudian
menggunakannya untuk mengembangkan konsep atau generalisasi. Bandura
(1977) menunjukkan bahwa anak-anak mengembangkan standar perilaku pribadi
yang tepat dan bahwa mereka belajar untuk membimbing perilaku mereka dengan
bermanfaat dan menghukum diri mereka sendiri untuk mencapai tujuan yang telah
mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri.
Anak-anak yang menganggap diri mereka termotivasi secara internal
untuk berperilaku secara moral, yang membanggakan diri pada perilaku yang
baik, yang mengantisipasi kesalahan diri atas kenakalannya dan tahu bagaimana
berbicara tentang dirinya yang nakal, dan yang tahu bagaimana untuk
menghindari berpikir tentang kegiatan yang dilarang dan lebih mampu melawan
godaan dari anak-anak yang kurang memiliki kualitas ini. Pada saat tidak ada
orang lain di dekatnya, seorang siswa mungkin saja, misalnya, ingin memberitahu
pada temannya dengan coretan di meja siswa lain, bahwa ia memiliki pensil
warna yang bagus, baru yang ingin ia pamerkan. Siswa ini tergoda karena ibunya
tidak akan membelikannya sesuatu padanya hanya karena iseng-iseng, dia hanya
membeli pensil kuning biasa untuknya. Lalu siswa ini bisa saja mengambil pensil
itu, menyembunyikannya, dan menggunakannya di luar kelas sehingga tidak
seorang pun akan tahu dia mengambilnya. Namun, siswa ini tahu dia akan merasa
bersalah dan tidak ingin melihat wajah pemiliknya. Jadi, dia memahami bahwa ia
akan merasa bersalah dari perbuatan yang tidak layak itu, jadi dia cepat bergerak
menjauh dari daerah itu dan coba menempatkannya jauh dari pemiliknya.
Faktor-faktor situasional yang dapat mempengaruhi kemungkinan untuk menahan
godaan itu meliputi aspek-aspek dari situasi serta individu tertentu (Kostelnik et
al., 1998). Sebuah situasi tertentu sering mempengaruhi reaksi moralitas
seseorang untuk setiap aspek. Misalnya, siswa mungkin akan merasa bersalah
dalam suatu pengaturan tetapi tidak di tempat lain. Selain itu, tergantung pada
suasana hati individu, kekhawatiran, atau bahkan kesehatannya, dimana perasaan
bersalah mungkin akan hadir dalam satu contoh tapi tidak ada di lain situasi,
bahkan ketika keadaannya tetap sama. Aspek-aspek individu juga mempengaruhi
bagaimana seseorang menghadapi godaan.
Pengembangan Teori Moral
Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg menggambarkan perkembangan
moral. Beberapa ketidaksepakatan muncul tentang seberapa akurat teori mereka
dapat memprediksi perkembangan moral, tetapi beberapa implikasi dari teori-teori
mereka harus dipertimbangkan dalam pendidikan ilmu sosial. Piaget menemukan
bahwa konsepsi aturan pada anak-anak tampaknya terjadi dalam tiga tahap
(Ginsburg & Opper, 1979):
1. Tahap egosentris. Anak-anak (sekitar 4 sampai 7 tahun) tidak dengan
kesadaran mengikuti suatu aturan, mereka memutuskan apa yang benar dan
salah berdasarkan apa yang orang dewasa izinkan atau yang mereka larang
untuk dilakukan.
2. Tahap kerjasama yang baru. Anak-anak (sekitar 7 sampai 10 atau 11 tahun)
akan lebih bersifat sosial dan kooperatif karena mereka menunjukkan suatu
pemahaman bahwa peraturan dibuat untuk membantu memecahkan konflik
interpersonal.
3. Tahap kerjasama real. Anak-anak (sekitar 11 atau 12 tahun) mulai
mengembangkan aturan-aturan yang tepat dan memahami mengapa aturan-
aturan itu diperlukan.
Kohlberg (1969) menguji individu dari berbagai aspek budaya dan tingkat
ekonomi, dan ia menemukan kesamaan dalam pembangunannya. Pada bangunan
pekerjaan Piaget, ia menggarisbawahi gagasannya sebagai berikut:
1. Perkembangan kognitif adalah faktor besar dalam perilaku sosial. Ketika
perkembangan kognitif terjadi, maka pemahaman tentang perilaku moral
yang tepat dan alasan-alasan untuk perilaku itupun akan terjadi.
2. Kognitif dan pembangunan sosial terjadi secara bertahap. Setiap tahap baru
secara kualitatif berbeda dari yang mendahuluinya.
3. Faktor kematangan dan restrukturisasi berkelanjutan dari perilaku adalah
melalui pengalaman dan hasil pematangan dalam persyaratan yang ada pada
tahap baru yang mungkin tercapai kecuali semua yang sebelumnya telah
dicapai.
Kohlberg mengembangkan skala penilaian moral seseorang dalam enam
tahap untuk menentukannya (Tabel 7.2). pada tingkat 1, orang akan taat karena ia
tidak ingin dihukum karena tidak mematuhinya. Pada tingkat ke-1 ini pun orang
mungkin akan mengingatkan, misalnya, bahwa Anda tidak boleh mencuri sesuatu
karena Anda mungkin akan tertangkap dan masuk penjara. Pada tingkat ke-4
orang percaya dalam menjaga kewenangan dan sesuai dengan hukum dan
ketertiban yang dapat diterima. Dia mungkin mengatakan bahwa tidak peduli
seberapa baik hasilnya dan tidak peduli apa alasannya, mencuri itu melanggar
hukum yang melindungi harta orang lain. Pada tingkat ke- 6 orang memiliki
prinsip-prinsip nurani individu dimana dia selalu bertindak terlepas dari norma
perilaku yang populer. Orang ini percaya bahwa mencuri biasanya adalah salah.
Jika hidup tergantung pada sesuatu yang dapat diperoleh hanya dengan mencuri,
maka kemudian mencuri akan dianggap benar, dan orang yang tidak menghargai
kehidupan akan merasa sangat cukup dengan mencuri apa yang dibutuhkan dan
akan mempertahankan perbuatan salah itu.
Kohlberg mengkombinasikan tahap ini dari tiga tingkat perkembangan
moral, yang masing-masing berisi dua tahap. Tingkat 1 adalah perilaku
preconventional, yang mengandung tahapan 1 dan 2. Penalaran pada tingkat 1 itu
adalah sifat egois, dan individu yang hanya mementingkan keinginannya sendiri,
bukan pada apa yang baik bagi masyarakat. Tingkat 2 adalah perilaku
konvensional dan mengandung Tahap 3 dan 4. Penalaran pada tingkat 2 berfokus
pada apa yang diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan harapan sosial.
Tingkat 3 adalah perilaku postconventional dan berisi harapan-harapan sosial.
Tingkatan ini berisikan tahap 5 dan 6. Penalaran tingkat 3 melampaui apa yang
dianggap konvensional oleh masyarakat dan berfokus pada apa yang terbaik pada
prinsipnya untuk semua orang, bukan hanya untuk teman-teman Anda sendiri dan
warga masyarakat atau bangsanya saja.
Teori Kohlberg memiliki implikasi untuk proses mengajar. Siswa tidak
dapat diharapkan untuk memahami penjelasan orang dewasa mengenai benar dan
salah karena mereka tidak memiliki kemampuan kognitif untuk melakukannya.
Siswa mungkin harus dimotivasi terlebih dahulu oleh suatu penghargaan atau
hukuman atas suatu tindakannya daripada dengan mennilai apakah suatu
tindakannya itu benar atau salah. Siswa dapat menjadi matang dan mulai
memahami mengapa suatu penjelasan itu yang diberikan. Akhirnya, mereka akan
mengembangkan pengaturan mereka sendiri mengenai standar moral dan nilai-
nilai. Mereka pun perlu tahu dan menilai nilai dan tindakan dari orang lain. Siswa
perlu mendapatkan refleksi atas suatu pengalaman yang ia butuhkan dan
penalaran logis untuk membuat keputusan moralnya. Ada lima pedoman yang
telah digunakan untuk mengembangkan bahan ajar yang merangsang
pertimbangan siswa tentang dilema moral:
1. Siswa mempertimbangkan isu-isu moral yang tulus yang mereka hadapi
dalam kehidupan, atau tentang mereka yang bersangkutan secara pribadi, dan
ketika tidak ada pilihan perilaku yang benar, cepat dan mudah.
2. Siswa berfokus pada konflik-konflik moral dan sosial yang dialami selama
diskusi tentang suatu dilema.
3. Siswa melakukan praktik menerapkan penalaran moral mereka untuk
masalah-masalah baru.
4. Siswa terikat dengan alasan rekan-rekan mereka pada tahap pembangunan
selanjutnya yang lebih tinggi.
5. Siswa dihadapkan dengan inkonsistensi mereka sendiri dalam penalaran dan
tindakan dari waktu ke waktu yang terus akan diminta untuk menjelaskan
mengapa mereka membuat suatu keputusan moral tertentu (Beyer, 1974).
Guru menyediakan data dasar yang dibutuhkan dalam suatu dilema, tetapi
tetap netral, dan memfasilitasi diskusi dari berbagai sudut pandang dalam suasana
terbuka, tidak mengancam. Dilema, sering hadir dalam peristiwa yang terjadi di
dalam kelas, dalam berita saat ini, atau dalam studi sejarah, yang dapat
memberikan banyak kesempatan bagi diskusi moral. Pengajaran dilema moral
menggunakan format siklus pembelajaran yang sama dengan yang digunakan
untuk pengembangan generalisasi. Siswa dihadapkan dengan dilema selama
pengenalan eksplorasi. Dalam perkembangan pelajaran, mereka akan
mengidentifikasi masalah moral yang disajikan dengan solusi dilema dan
pernyataan tentatif. Dalam suatu diskusi, mereka akan mengeksplorasi alasan-
alasan untuk posisi mereka dan membuat penilaian mengenai efektivitas dari
berbagai posisi. Akhirnya, setiap siswa akan memilih apa yang dia percaya untuk
menjadi solusi terbaik dengan resep apa yang harus dilakukan oleh orang-orang
dalam dilema itu. Selama ekspansinya, siswa dapat mengembangkan skenario
yang menggambarkan apa yang terjadi sebagai akibat dari keputusan yang mereka
buat, atau mereka dapat mempertimbangkan masalah yang sama.
Suatu keputusan akan menjadi semakin abstrak sampai sekitar usia 16,
Kohlberg menunjukkan bahwa suatu kognisi tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan moral yang tengah didirikan (1969). Kurtines dan Greif (1974)
menemukan dalam penelitian mereka, dengan menggunakan skala penilaian moral
Kohlberg bahwa subjek mereka cenderung berfungsi pada dua tahap atau lebih,
dan tidak pada satu tahap sebagaimana yang diusulkan Kohlberg dalam teorinya.
Karena perkembangan moral membutuhkan latihan dalam membuat dan
memeriksa pertanyaan-pertanyaan moral, guru harus menyibukkan diri dengan
menyediakan siswa pengalaman pelajaran dimana mereka secara aktif
menghadapi isu-isu moral.
Carol Gilligan (1982) menantang pandangan Kohlberg bahwa keadilan
adalah sama bagi semua kriteria moral tertinggi. Dia menyatakan bahwa
perempuan memiliki kepedulian atas kepedulian dan tanggungjawab ketika
kriteria moral tertinggi hilang dari penelitian Kohlberg. Dia mengklaim bahwa
pria dan wanita memiliki rasa dan identitas diri yang berbeda yang mengarah ke
dua pandangan yang berbeda dari nilai-nilai moral tertinggi itu. Wanita berusaha
untuk menjadi terhubung dan berhubungan dengan orang lain, sedangkan pria
berusaha untuk menjadi individu yang terpisah. Snarey (1985) menunjukkan
bahwa orang akan mengintegrasikan keadilan dan kepedulian, dan bahwa
fokusnya mungkin lebih merupakan hasil dari kelas sosial dari gender, dimana
orang dari kelas menengah mungkin akan berusaha untuk lebih bersikap
individualitas dan berkeadilan, sementara orang dari kelas bawah justru mungkin
berusaha untuk lebih peduli.
Orientasi keadilan akan mengakibatkan kesetaraan cita-cita, timbal balik,
dan keadilan antara individu. Hasil orientasi ini akan peduli terhadap keterikatan
dari cita-cita orang lain, mencintai dan dicintai, mendengarkan dan didengarkan,
serta menanggapi dan ditanggapi. Brown, Tappan, dan Gilligan (1995),
menunjukkan bahwa anak memiliki perspektif dan belajar pelajaran tentang
keadilan dan keperdulian terhadap suatu hubungan sejak usia dini yang
menghasilkan harapan yang dikonfirmasi atau perubahan di masa kanak-kanak
yang kemudian terus terbawa ke masa remajanya. Hal ini menghasilkan pelajaran
dalam dua perintah moral yang tidak memperlakukan orang lain secara tidak adil
dan tidak berpaling dari orang lain yang membutuhkannya, yang mendefinisikan
dua garis perkembangan moral, yaitu: menyediakan standar yang berbeda untuk
menilai pemikiran moral, perasaan, dan tindakannya, dan menunjuk perubahan
dalam memahami apa arti keadilan dan apa yang merupakan kepeduliannya
(Brown et al., 1995, hlm 315). Kedua kriteria moral yang tinggi ini harus terus
dipupuk di rumah dan di sekolah.
Tiga cara yang disarankan untuk mengembangkan kepedulian (Brown et
al., 1995). Pertama, siswa harus dibantu untuk mempertimbangkan kekhasan
situasi dan memahami orang lain dalam rangka untuk mengembangkan
kepedulian mereka. Kegiatan pembinaan pengembangan pelayanan meliputi:
menulis; membaca laporan fiksi dan sejarah kehidupan manusia, masyarakat, dan
budaya; mendemonstrasikan melalui seni bagaimana suatu makna tergantung pada
konteksnya; sering melakukan diskusi kelas; membangun dan mendiskusikan
suatu makna ketika kita berinteraksi dengan teks (Brown et al , 1995, p 316.).
Kedua, siswa membutuhkan kesempatan untuk menceritakan kisah mereka sendiri
tentang pengalaman moral dari kehidupan nyata mereka (Brown et al, 1995., H.
217). Wawancara dengan guru atau siswa lain memungkinkan siswa untuk
menceritakan kisah mereka kepada pendengar yang tertarik. Jurnal dan tugas esai
siswa harus berfokus pada keputusan moral yang telah mereka buat dalam
kehidupan mereka sendiri. Guru harus peka dan simpatik, memberikan siswa
dengan jenis tanggapan terhadap cerita-cerita mereka yang menunjukkan bahwa
mereka telah mendengar dan mengerti mereka. Guru harus mengakui perspektif
moral penulis dan mendorong otorisasi untuk terus pada perspektif itu (Brown et
al, 1995., hal. 327). Ketiga, siswa mendramatisir cerita moral mereka sendiri
melalui sandiwara, drama, atau memproduksi video rekaman. Hal ini
membutuhkan kegiatan berbagi cerita dengan audiens dengan rekan lainnya,
denngan nyaman untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar
pelajaran penting dari cerita rekan-rekan mereka (Brown et al, 1995., H. 328).
Pendekatan Pengajaran dalam Pendidikan Nilai
Tiga pendekatan telah memainkan peran yang penting dan sering
kontroversial dalam pendidikan nilai-nilai dalam beberapa tahun terakhir:
klarifikasi nilai, analisis nilai, dan pendidikan karakter. Masing-masing
membutuhkan persiapan dan diduga digunakan secara tepat dan efektif. Website
pendamping buku ini berisi link ke situs-situs internet terkait dengan masing-
masing pendekatan yang akan dibahas berikutnya.
Klarifikasi Nilai. Klarifikasi nilai adalah pendekatan pengajaran yang
berfokus pada penalaran moral, pendekatan ini menekankan proses berpikir
tentang apa yang lebih dihargai daripada nilai itu sendiri. Pendekatan klarifikasi
nilai digunakan untuk membantu siswa menentukan apa nilai mereka secara
pribadi. Guru membantu siswa mengeksplorasi nilai seperti yang mereka percaya
dengan mengajukan pemikiran melalui pertanyaan: Apakah mereka akan
menyimpan rahasia temannya ketika teman lain penasaran? Apakah mereka akan
diam ketika guru mengancam untuk menghukum orang lain karena mereka tahu
bahwa teman mereka lah yang merusak disk komputer, tetapi telah berjanji untuk
tidak memberitahunya?
Guru sering mengambil keuntungan dari peristiwa ini untuk melibatkan
siswa dalam klarifikasi nilai-nilai. Misalnya, seorang siswa mengatakan, "Siapa
yang membakar bendera atau melakukan sesuatu seperti itu harus meninggalkan
negeri ini. Suka atau tidak suka!". Guru harus menjawab dengan serangkaian
pertanyaan yang mendorong siswa untuk mengeksplorasi perasaan yang
menyebabkan pernyataan ini. Guru mencoba untuk tetap netral dan melayani
mereka sebagai fasilitator untuk mengeksplorasi perasaann pelajar itu sendiri.
Dengan demikian, guru membantu siswa menyadari bahwa mereka hidup dalam
suatu masyarakat yang kompleks dimana nilai-nilai yang berbeda akan hadir dan
akan sering muncul konflik. Guru harus mencoba untuk membantu siswa
memutuskan apa yang mereka anggap layak untuk dihargai dan betapa besar suatu
nilai itu layak mereka tempatkan di atasnya (Raths, Harmin, & Simon, 1978).
Ketika strategi pertanyaan klarifikasi nilai-nilai digunakan dalam siklus
belajar-mengajar, maka pengenalan eksplorasi harus menyajikan situasi
pengambilan keputusan atau skenario dimana siswa membuat keputusan itu.
Dalam tahap pengembangan pelajaran, terdapat enam langkah pertama dari tujuh
langkah proses untuk klarifikasi nilai-nilai yang berkembang menurut Raths et al.
(1978) yang dapat kita ikuti. Tabel 7.3 menyajikan tujuh langkah itu dengan
sampel pertanyaan-pertanyaan guru yang tepat untuk setiap langkahnya. Selama
fase ekspansi, guru melibatkan siswa dalam 7 langkah dengan mempertimbangkan
situasi dimana nilai yang sama seperti yang diperiksa dalam masalah asli tepat
diterapkan atau tidak diterapkan. Pertanyaan dalam klarifikasi nilai dapat
digunakan dengan kelompok kecil pada seluruh kelas, atau dengan strategi siswa
perorangan.
Latihan klarifikasi nilai adalah dengan menggunakan respon paper-and-
pencil, termasuk alternatif urutan rankingnya, susunan pernyataan pilihan penguat
(forced-choice sets of statements), dan daftar periksa (checklist). Untuk urutan
peringkat, siswa diberi daftar pernyataan, atau item untuk peringkat dari yang
sedikit penting, berguna, hingga peringkat yang diinginkan, atau dari berbagai
kategori lainnya. Tabel 7.4 adalah sampel untuk latihan peringkat kualitas berpikir
seorang siswa yang penting dalam berteman baik. Menyusul keputusan individu,
siswa membahas peringkat dan alasan mereka untuk menentukan suatu peringkat.
Kegiatan pilihan peringkat ini setelah siswa memilih antara dua atau lebih pilihan
dalam menanggapi sebuah pernyataan. Tabel 7.5 menggambarkan latihan pilihan
peringkat. Nonreaders (peserta) mungkin diminta untuk memilih di antara gambar
situasi, atau mereka dapat mengangkat tangan mereka untuk mendaftarkan pilihan
mereka ketika guru membaca keras-keras item yang mereka pilih. Ketika pilihan
siswa dibahas, lalu guru menggunakan klarifikasi pertanyaan seperti yang terdapat
padaTabel 7.3 untuk membantu siswa menyelidiki alasan atas tanggapan mereka.
Tabel 7.6 menunjukkan sebuah checklist tentang pendekatannya. Pertama, siswa
disajikan dengan pernyataan, situasi, atau cerita yang melibatkan perilaku
menghargai. Kemudian mereka memeriksa kata sifat dari daftar kata sifat positif
dan negatif yang menggambarkan bagaimana perasaan mereka tentang diskusi
berikut:
Pendekatan klarifikasi nilai telah dikritik karena tiga alasan: (1) fokus, (2)
interpretasi yang luas dari apa nilai itu, dan (3) kurangnya perhatian terhadap apa
struktur kognitif yang diperlukan untuk jenis pertanyaan guna membantu siswa
berhasil mengklarifikasi nilai-nilai mereka (Fraenkel, 1977). Pendekatan
klarifikasi nilai ini direkomendasikan sebagai salah satu komponen dari program
pendidikan moral namun bukan sebagai satu-satunya bagian.
Analisis Nilai. Strategi analisis nilai membantu siswa berpikir dengan cara
yang terorganisir dan logis tentang isu-isu berikut:
• Nilai-nilai mereka
• Alasan mereka untuk membuat pilihan khusus
• Konsekuensi karena memiliki nilai tertentu
• Konflik antara nilai-nilai mereka dengan nilai-nilai orang lain (Bank & Clegg,
1979)
Karena analisis nilai melibatkan pengajuan pertanyaan, maka tepat untuk
digunakan dalam semua dari tiga fase siklus belajar. Kadang-kadang suatu
kejadian dari kehidupan atau cerita seseorang mungkin mengakibatkan perlunya
menggunakan analisis nilai. Dalam buku Goldilocks and the Three Bears,
Goldilocks pergi ke rumah orang lain, makan makanan mereka, istirahat di atas
perabotan mereka, dan tidur di tempat tidur mereka. Apa nilai-nilai Goldilocks
yang ditampilkan itu? Mengapa ia melakukan apa yang dia lakukan itu? Apa
hasilnya? Apa konflik nilai-nilainya dengan nilai-nilai keluarga beruang itu?
Keterampilan siswa dalam menganalisis nilai dapat dibangun denagn
menggunakan urutan yang disarankan oleh Bank dan Clegg (1979). Lihat Tabel
7.7 untuk contohnya.
Pendekatan analisis nilai-nilai telah dikritik sebagai pendekatan yang
terlalu logis untuk mencoba menganalisis aspek afektif. Nilai-nilai tertentu, nilai-
nilai agama khususnya, harus diambil dengan melibatkan keimanan dan tidak
dapat dianalisis secara logis. Situasi dimana analisis nilai sangat membantu terjadi
dalam budaya popupler (Yusuf, 2000), kasus hukum (Naylor & Diem, 1987),
insiden kelas, insiden pribadi, peristiwa terkini, dan peristiwa sejarah. Beberapa
perangkat lunak komputer, seperti Taking Responsibility (Tom Snyder
Productions), menawarkan kesempatan untuk menganalisis nilai-nilai dalam
situasi hipotetis, dalam hal ini terdapat situasi dimana dua siswa yang menyelinap
kembali ke kelas mereka selama waktu istirahat dan secara tidak sengaja merusak
barang milik guru mereka. Analisis nilai tidak selalu tepat, tetapi memberikan
siswa sarana dimana mereka dapat menganalisa isu-isu dan masalah sosial.
Pendidikan Karakter. Pendidikan karakter adalah gerakan yang menonjol
dalam beberapa tahun terakhir (Benniga, 1991). Pendekatan ini difokuskan pada
pengajaran dan pemodelan sifat karakter tertentu, misalnya, kejujuran, keberanian,
ketekunan, loyalitas, kepedulian, kebajikan sipil, keadilan, rasa hormat dan
tanggungjawab, serta kepercayaan. Klarifikasi nilai dan fokus penalaran moral
pada proses penalaran nilai-nilai adalah perilaku memilih. Pendidikan karakter
berfokus pada perilaku yang menunjukkan nilai (Lopach & Luckowski, 1989).
Orang dengan karakter yang baik akan memperlihatkan perilaku kebiasaan yang
baik pula, dan kebiasaan tersebut tertanam pada orang lain (California
Department of Education, 2000). Daftar karakter yang diinginkan tidak mungkin
menghasilkan konsensus apapun, tetapi nilai-nilai moral yang diinginkan yang
mendasari sifat-sifat ini akan menghasilkan banyak kesepakatan. Pembelajaran
bermakna adalah penting: Anak-anak harus belajar untuk bersikap dan
menampilkan perilaku yang baik dengan pemahaman tentang kepentingan atas
perilaku tersebut.
Gugus tugas tentang pendidikan karakter dalam ilmu sosial, dibentuk oleh
National Council for the Social Studies (1996), yang mengakui peran pendidikan
karakter dalam kewarganegaraan mereka. Laporan gugus tugas, akan
mengembangkan kebajikan-sipil. Pendidikan karakter dalam studi sosial,
menyatakan bahwa warga negara harus berkomitmen pada nilai inti atau nilai
fundamentalnya, seperti nilai-nilai kehidupan, kebebasan, kesetaraan, kebenaran,
kebahagiaan, dan mendorong kebaikan bersama. Untuk mencapai komitmen
seperti itu, guru ilmu sosial harus terus mendorong pemahaman bermakna bagi
siswa tentang nilai-nilai inti itu. Guru harus melibatkan siswa dalam diskusi dan
proyek-proyek yang terkait dengan isu-isu dimana para siswa memiliki
kepedulian. Melibatkan siswa dalam mempelajari, meneliti, membahas, dan
memperdebatkan isu-isu bisa menjadi kontroversial. Namun menurut laporan
tersebut, justru pengajaran sifat pemalu tidak akan mendukung kesediaan siswa
untuk berperilaku dengan cara yang konsisten terhadap nilai-nilai inti.
Berbagai aspek kurikulum pendidikan karakter memasukkan perspektif,
konten, dan pendekatan instruksional yang berbeda. Guru dan sistem sekolah
harus kritis meneliti untuk memutuskan yang sesuai dan terbaik untuk kebutuhan
siswa agar dapat membantu pembelajaran dan pemahaman bermakna tentang
perilaku dengan nilai-nilai inti yang konsisten yang mendasari masyarakat
manusia. Contoh kurikulum pendidikan karakter berikut:
American Promise (Farmers Group, Inc.) yang menyediakan panduan bagi guru
dengan sebuah film dokumenter yang berdurasi 3-jam yang ditujukan
untuk dan kelas 5 ke atas.
Discover Skills for Life (American Guidance Service) keterampilam karakter
untuk siswa tingkat grades K ke atas.
Lessons in Character (Young People’s Press) untuk siswa tingkat grades K ke
atas.
Life Skills (Globe Fearon Press) bekerja dengan hubungan interpersonal dan
bertopik terkait dengan pendidikan karakter bagi siswa kelas 4 ke atas.
Peace and Nonviolence Curriculum (Violence Prevention Education,
Minneapolis, MN) menyediakan kurikulum untuk kelas 1 ke atas.
Second Step: A Violence Prevention Curriculum (Committee for Children, Seattle,
WA) menggunakan kit dengan suplemen bahasa Spanyol yang tersedia
untuk siswa prasekolah hingga kelas 8.
Wise Skills (WiseSkills Resoures) menyediakan kurikulum, kartu keterampilan,
penghargaan, dan poster untuk siswa tingkat K-8.
We the People (Center for Civic Education) menyediakan workbook dan latihan
partisipatif bagi siswa di kelas 4 ke atas.
Kurikulum di atas dan yang lain-lain biasanya memiliki situs internet atau
dapat diidentifikasi dalam konten situs yang berfokus pada pendidikan karakter.
Banyak situs yang menyediakan akses ke rencana pelajaran, link ke berbagai situs
pendidikan karakter lainnya, bibliografi, dan/atau kelompok diskusi online.
Seperti topik lain, guru perlu mengidentifikasi siapa yang mendukung website dan
mengevaluasi perspektif yang diwakilinya. Guru perlu memutuskan apakah
perspektifnya mendukung pendidikan karakter atau indoktrinasi. Perspektif harus
fokus pada pemahaman bermakna dari nilai inti bagi siswa yang diwakili oleh
suatu sifat karakter dan bagaimana nilai yang membantu kita memutuskan apa
perilaku konsisten dengan nilainya. Di antara situs-situs tersebut ada Character
Education Partnership and Character Education Resources (Kemitraan
Pendidikan Karakter dan Sumber Daya Pendidikan Karakter).
Dalam pelajaran pendidikan karakter, eksplorasi pengenalan biasanya
melibatkan kegiatan mempersiapkan situasi dimana nilai sifat itu ditunjukkan.
Sebagai contoh, siswa dapat bermain situasi peran, seperti mengembalikan uang
yang telah mereka temukan pada pemiliknya. Selama pengembangan pelajaran,
sifat atau nilai dimodelkan, dijelaskan, dan dibahas. Siswa membaca dan
menganalisis cerita-cerita dimana kejujuran itu ditunjukkan. Kejujuran ini
kemudian ditunjukkan oleh siswa selama ekspansi. Para siswa menyusun
permainan peran mereka sendiri untuk menunjukkan kejujuran sebagai cara untuk
memperluas sifat ke konteks baru. Kekhawatiran yang diangkat oleh pendekatan
ini termasuk pemilihan sifat-sifat dan nilai-nilai untuk isi pendidikan karakter dan
siapa yang memilih mereka.
Advokat percaya bahwa adalah mustahil untuk memiliki nilai pendidikan
yang netral, tetapi bahwa adalah mungkin untuk menyepakati seperangkat sifat
atau nilai-nilai inti yang harus diajarkan. Mereka menekankan mempromosikan
maslah perdamaian di semua kelompok dalam masyarakat kita dengan
mempromosikan seperangkat nilai-nilai inti. Muncul kekhawatiran tentang apakah
ada guru yang mengindoktrinasi siswa dengan seperangkat nilai-nilai yang dipilih
oleh kelompok elit. Kekhawatiran juga ada tentang apakah anak-anak muda dapat
memahami karakter bermakna. Literatur penelitian tentang perkembangan moral
menunjukkan bahwa perkembangan kognitif adalah penting dalam memahami
ide-ide abstrak yang diwakili oleh suatu karakter dan untuk mengetahui kapan dan
bagaimana suatu berperilaku dengan nilai-nilai yang tergabung dalam sifat-
sifatnya bisa konsisten. Beberapa ciri, seperti menghormati orang lain dan
mengambil tanggungjawab untuk diri sendiri, tampaknya memiliki konsensus.
Namun, penting untuk mempertimbangkan apakah beberapa ciri itu dapat
mewakili perspektif dari satu atau lebih kelompok budaya tetapi tidak pada nilai-
nilai inti untuk masyarakat di seluruh dunia.
Kita telah membahas beberapa pendekatan yang menggambarkan berbagai
keperluan untuk pendidikan nilai. Nilai adalah dasar untuk kurikulum studi sosial
dan semua pendidikan. Namun daerah ini tidak memiliki spesifikasi yang jelas.
Peneliti dan pengembang kurikulum telah menempatkan upaya besar dalam
mengembangkan dan menguji pendekatan yang telah dijelaskan. Masing-masing
memiliki sesuatu untuk ditawarkan, tetapi masing-masing harus dipertimbangkan
dengan memperhatikan bagaimana itu dilakukan dan mengapa itu digunakan.
Situs pendamping berisi contoh-contoh literatur anak-anak yang berhadapan
dengan karakter, nilai, dan moral. Literatur ini juga berisi buku mengenai
pendidikan karakter untuk guru.
SIKAP
Sikap adalah suatu arah yang membentuk pola pikir yang mengambil suatu
tindakan berdasarkan pada bagaimana kita berpikir tentang konsekuensi yang
diinginkan yang akan kita antisipasi. Konsekuensi yang diinginkan menciptakan
sikap positif terhadap suatu tindakan, sedangkan konsekuensi yang tidak
diinginkan menghasilkan sikap negatif terhadap suatu tindakan itu. Penelitian
sosial adalah terkait dengan sikap sosial dan juga dengan sikap terhadap ilmu
sosial dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Suatu sikap diwujudkan jika perilaku
ditampilkan sebagai pola yang teratur dalam berbagai situasi yang sama. Mereka
membatasi atau memfasilitasi penerapan keterampilan dan ide. Misalnya,
kemampuan untuk memahami sebuah argumen atau penjelasan akan menjadi
tidak bermasalah jika siswa tidak bersedia untuk mencobanya. Meskipun siswa
mampu memahami, sikap mereka mungkin mencegah mereka dari melakukannya.
Sikap dipelajari dari pengalaman, dikembangkan secara bertahap sebagai akibat
dari dorongan dan contoh. Sikap prososial didorong dengan mengambil perspektif
orang lain, melalui empati dan mengambil peran. Belajar untuk mengambil
perspektif orang lain akan meningkatkan kemampuan siswa untuk menetapkan
standar moral dan menggunakannya untuk membuat nilai keputusan yang matang
(Honig & Wittmer, 1996). Mengambil perspektif orang lain melibatkan
pengetahuan tentang apa yang orang lain inginkan, rasakan, dan percaya. Guru
juga harus memperhatikan dan menjelaskan, perspektif orang lain sehingga siswa
menjadi sensitif terhadap mereka.
Empati melibatkan aktivitas bereaksi terhadap situasi orang lain atau
memamerkan emosi dengan emosi yang sama yang orang lain alami. Seorang
siswa yang ikut merasa senang ketika siswa lain merasa senang adalah merespon
secara empatik. Aktivitas mengambil peran melibatkan kegiatan memahami apa
yang orang lain rasakan, pikirkan, atau pahami secara akurat, tetapi tidak selalu
melibatkan perasaan dengan cara yang sama sebagai orang lain. Seorang siswa
yang menyadari siswa lain merasa bahagia, tapi dirinya tidak merasa senang
terlibat dalam pengambilan peran itu. Empati dan mengambil peran adalah suatu
kemampuan untuk "berorientasi pada orang lain" yang berkontribusi terhadap
perilaku prososial. Pada siswa sekolah dasar dan menengah, empati adalah
dikaitkan dengan kesediaan untuk membantu orang lain yang mengalami masalah,
misal ketika melihat ada orang yang tampaknya kesepian, atau orang-orang yang
mengalami kecelakaan dan mungkin terluka (Williams & Bybee, 1994).
Empati terjadi ketika siswa terlibat dalam pengalaman berulang kali dimana
mereka berdua memiliki emosi yang sama, seperti kebahagiaan. Guru
menggunakan kegiatan dalam kelompok kecil untuk meningkatkan kemungkinan
bahwa siswa mengalami emosi yang sama sebagai hasil dari aktivitas mereka
yang bersama-sama terlibat di dalamnya. Seorang siswa dapat menanggapi secara
empatik dan dapat diperkuat, jika ketika kita dapat mendisiplinkan siswa dari
penyebab kesulitan orang lain, guru perlu menarik perhatian siswa untuk mau
memperhatikan hal-hal yang mengganggu bagi orang lain, sementara pada saat
yang sama memarahi siswa (Macoby, 1980). Guru juga dapat melakukan ini
dengan mendorong kelas untuk mengakui kebahagiaan atau kebanggaan sesama
siswa dalam berbagai prestasi. Mengambil peran dapat diperkuat dengan
memberikan siswa kesempatan untuk mempraktekkan perilaku yang diinginkan.
Siswa yang terlibat dalam drama dimana mereka bertindak keluar dari setiap
karakter cerita yang mereka rasakan yang kemudian lebih mungkin untuk berbagi
dengan yang lain (Iannotti, 1978).
Fakta bahwa suatu sikap itu tidak diajarkan dalam cara dan keterampilan
yang spesifik. Guru perlu menyadari pengaruh potensial dari model sikap mereka.
Guru perlu fakta untuk mengatasi sikap siswa, mendiskusikannya secara terbuka
sambil menghindari mengindoktrinasi siswa dengan sikap guru. Bukti
menunjukkan bahwa sikap dipelajari saat guru memperlihatkan pada mereka
sebuah kesediaan baru untuk melakukan (atau menahan diri dari) tindakan yang
didasarkan pada: (1) konsep belajar tentang apa tindakan itu, dan (2) prediksi
mengenai tindakan mengambil (atau tidak mengambil) dan efek apa yang
diinginkan atau yang tidak diinginkan (Seiger-Ehrenberg, 2002, hal 278).
Perkembangan sikap-sikap yang mempromosikan pembelajaran bermakna adalah
peran yang mendasar dari kurikulum studi sosial (lihat Tabel 7.8).
Keingintahuan
Keingintahuan adalah rasa ingin tahu, mencoba pengalaman baru,
menjelajahi, dan mencari tahu tentang hal-hal baru. Ini adalah sikap yang
mempromosikan segala jenis belajar. Keingintahuan sering muncul dalam bentuk
pertanyaan. Mengundang siswa untuk mengajukan pertanyaan adalah salah satu
cara untuk menunjukkan rasa ingin tahu yang dihargai. Meminta siswa dengan
kata-kata pertanyaan mereka sendiri yang terlalu dini dapat membuat masalah.
Namun siswa perlu waktu untuk memproses data dan menghubungkannya dalam
pikiran mereka untuk apa yang sudah diketahui. Kemudian mereka akan siap
untuk mengajukan pertanyaan untuk membantu memahami hal itu. Setelah
beberapa waktu untuk memeriksa dan berpikir tentang gambar orang yang
melawan banteng, misalnya, mungkin siswa akan bertanya, "Mengapa orang-
orang itu merasa senang dengan membunuh banteng?" anak-anak muda yang
memiliki rentang perhatian yang terbatas mungkin akan ada mengajukan
pertanyaan lebih jauh daripada pertanyaan dangkal yang mengungkapkan minat
sebelum mereka beralih ke topik yang lain.
Tindakan mempertanyakan dapat membawa suatu kepuasan jika bisa
membantu siswa berbagi kesenangan dan kegembiraan mereka dengan orang lain.
Rasa ingin tahu merangsang upaya untuk mengetahui, mungkin dengan meneliti,
menggunakan perpustakaan, atau melakukan kunjungan khusus. Kepuasan yang
dihasilkan dari mengekspresikan rasa ingin tahu siswa secara bertahap membantu
mempertahankan minat untuk waktu yang lebih lama dan mengajukan lebih
banyak pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang siswa ingin tahu untuk
pengalaman baru mereka.
Sifat Berpandangan Terbuka
Untuk menguji dunia sosial dan untuk membuat keputusan tentang hal itu,
maka suatu bukti harus dikumpulkan dan digunakan untuk mengembangkan dan
menguji ide-ide. Siswa dan guru harus terbuka untuk mencari berbagai pandangan
dan untuk memeriksa masalah sebelum mereka membuat generalisasi bermakna.
Orang dewasa sering mengharapkan siswa untuk menerima pernyataan karena
otoritas prosisi mereka. Hal ini dapat mengurangi keinginan siswa untuk meminta
bukti. Jika seorang guru muncul untuk menerima pernyataan tanpa bukti atau
tidak menawarkan bukti atas suatu pernyataan, maka bukti sikap tersebut tidak
perlu ditransmisikan.
Ketekunan
Untuk mendapatkan bukti-bukti yang meyakinkan sering membutuhkan
ketekunan. Ketekunan tidak berarti sekedar menjaga dan terus berusaha jika
sesuatu tidak bekerja. Tapi inipun berarti harus bersedia untuk mau mencoba lagi,
belajar dari kesulitan sebelumnya, dan mengubah ide-ide Anda sebagai hasil dari
apa yang telah dipelajari. Guru memberikan siswa dengan tugas studi sosial yang
membutuhkan aktivitas mencari informasi daripada hanya menerima informasi
yang sudah tersedia dengan mudah.
Kesediaan untuk Mempertimbangkan Bukti yang Bertentangan
Memperluas untuk menghargai bukti untuk situasi dimana bukti-bukti lain
atau ide-ide lain mungkin bertentangan dengan apa yang Anda pikir sudah Anda
tahu itu tidaklah mudah. Sikap menghormati bukti melibatkan kesediaan untuk
melakukan hal ini. Siswa lebih cenderung bersedia untuk mempertimbangkan
upaya penghargaan mereka.
Menghormati suatu Keputusan
Menghormati suatu keputusan membutuhkan bukti/fakta. Seorang individu
tidak akan membuat suatu penilaian sampai ada upaya yang dilakukan untuk
mengetahui apakah informasi itu yang saling bertentangan dan kemudian rela
menghadapi konfliknya. Perspektif yang beragam diwakili oleh informasi yang
bertentangan yang masuk ke dalam keputusan akhir yang dibuat. Siswa akan
menemukan proses yang sulit yang melibatkan periode ketidakpastian dan
tantangan mental sebelum keputusan itu diambil.
Fleksibilitas
Fleksibilitas mental berkaitan dengan produk-produk kegiatan penelitian
sosial dalam cara yang sama untuk menghormati bukti yang berhubungan dengan
proses-proses yang terjadi dalam kegiatan penelitian sosial. Konsep dan
generalisasi yang kita bentuk ketika mencoba untuk memahami perubahan dunia
sosial sebagai pengalaman akan menambahkan bukti yang akan mengembangkan
atau yang bertentangan dengan mereka. Setiap siswa memiliki fleksibilitas
mental, setiap pengalaman yang bertentangan dengan ide-ide yang ada akan
menyebabkan kebingungan dan menciptakan ide saingan bukan memodifikasi dan
mengembangkan yang sudah ada. Fleksibilitas dan pengakuan merupakan
kesimpulan tentatif yang selalu penting dalam studi sosial. Kita tidak pernah dapat
memiliki semua bukti yang diperlukan untuk memastikan bahwa ide-ide kita
adalah benar. Siswa sekolah dasar dan menengah mungkin tidak mampu
memahami kesementaraan ide, tetapi guru perlu terus mendorong sikap yang
memungkinkan mereka akhirnya mampu mengembangkan pemahaman ini. Salah
satu cara untuk melakukan ini adalah dengan memberikan pengantar kesimpulan
dengan pernyataan seperti: "Sejauh yang saya dapat lihat....". Hal ini juga
membantu untuk berbicara dengan siswa dari waktu ke waktu tentang bagaimana
ide-ide mereka telah berubah dan tentang bagaimana mereka digunakan untuk
berpikir .
Berpikir Kritis
Baik sebelum dan setelah tiba pada suatu kesimpulan, siswa harus bersedia
untuk mempertimbangkan proses yang mereka diikuti dalam mencapai
kesimpulan. Apakah metode mereka logis? Apakah mereka membuat asumsi yang
tidak beralasan? Apakah mereka melewatkan langkah yang diperlukan?
Kesediaan untuk mempertimbangkan metode yang digunakan membantu siswa
mengevaluasi metode, menemukan area masalah, dan merefleksikan bagaimana
mereka bisa melakukan sesuatu yang berbeda. Ingin memperbaiki ide-ide yang
mereka miliki dan pada proses yang mereka gunakan untuk datang ke kesimpulan
adalah sikap yang penting pada siswa. Seperti keinginan untuk meningkatkan
kesediaan yang mengarah ke tindakan mempertimbangkan proses yang diikuti
dalam mencapai kesimpulan. Hal ini membuat siswa lebih bersedia untuk
mengidentifikasi masalah dan mencari alternatifnya.
Robert Ennis (1991, hal 68) memberikan definisi: "Berpikir kritis adalah
suatu kewajaran, berpikir reflektif adalah yang difokuskan pada memutuskan apa
yang harus percaya atau tidak". Ini mengharuskan kita untuk memperhatikan ke
arah mencari pernyataan yang jelas dari suatu pertanyaan, mencari alasan,
mencoba untuk mendapat informasi, menggunakan sumber yang kredibel, dengan
mempertimbangkan seluruh situasi, berusaha menjaga untuk tetap pada titik
utama pada pertanyaan aslinya, berpikiran terbuka, menghormati keputusan,
tekun, bersedia untuk mempertimbangkan bukti yang bertentangan, fleksibel, dan
memiliki rasa ingin tahu. Ini adalah disposisi yang disertai dengan kemampuan
yang dibangun dari waktu ke waktu. Guru memiliki peran yang penting dalam
membantu siswa mereka membangun kemampuan ini. Ennis (1991, hlm 68-71)
meringkas kemampuan berpikir kritis dalam lima kategori:
1. Klarifikasi (berfokus pada pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya/
menjawab klarifikasi pertanyaan)
2. Dukungan (menilai kredibilitas sumber, melakukan observasi)
3. Kesimpulan
4. Klarifikasi lanjutan (mendefinisikan istilah dan definisi keputusan, maka
harus pula mengidentifikasi asumsi)
5. Strategi dan taktik (memutuskan tindakan dan membawanya keluar)
Tanggungjawab terhadap Orang Lain dan Budaya Mereka
Dalam penelitian sosial, siswa menyelidiki dan mengeksplorasi
lingkungan sosial mereka untuk memahami dan mengembangkan keterampilan
untuk memahami masa depan, yang dapat mendorong partisipasi masyarakat
secara aktif. Penyidikan dan eksplorasi tersebut melibatkan sikap menghormati
orang lain dan lingkungannya. Pertumbuhan keterampilan penyelidikan harus
disertai dengan pengembangan kepekaan dan tanggungjawab terhadap lingkungan
sosial dan fisik. Rasa tanggungjawab terhadap seseorang atau sesuatu, lebih
mungkin terjadi ketika seseorang telah memiliki pengalaman dengan orang atau
hal atau tahu sesuatu tentang hal itu.
Banyak konsep-konsep yang berkaitan dengan tanggungjawab dan
kepekaan terhadap orang dan lingkungan mereka yang kompleks
(interdependence, misalnya) dan kadang-kadang kontroversial (misal tentang
penggunaan batubara untuk pembangkit listrik), tetapi masih mungkin untuk
mulai mengembangkan sikap terhadap orang dengan suatu contoh dan aturan
perilaku. Aturan tentang kesepakatan guru dan siswa akan membantu membentuk
pola respon, hanya ketika siswa mulai bertindak secara bertanggungjawab
(misalnya, tidak mengambil masukan lain). Cara untuk mencapai hal ini secara
bertahap menyerahkan kepada siswa tanggungjawab untuk membuat keputusan
tentang bagaimana mereka harus berperilaku. Pengembangan sikap ini penting
tidak hanya dalam belajar ilmu sosial, tetapi juga saat menjadi warga negara yang
bertanggungjawab dalan suatu kehidupan demokarasi. Dalam mengembangkan
suatu sikap, siswa dapat mulai melihat studi sosial sebagai pencarian pengetahuan
dan pemahaman.
KERAGAMAN PEMBANGUNAN
Belajar dari Keluarga dan Masyarakat Kita
Guru harus menawarkan pada anggota keluarga dan masyarakat
kesempatan untuk berbicara tentang pengalaman hidup mereka dan memberikan
pengetahuan ini sebagai hal yang penting di dalam kelas (McCaleb, 1994). Salah
satu cara untuk mencapai tujuan membangun siswa dan masyarakat ini adalah
melalui buku-buku yang bertema keluarga seperti buku Our Family History,
Teachings from My Childhood Community, the Wise Person I Remember, My
Family’s Dictionary: Words That Are Special to People in My Family, My mother
(or Father, Grandma, Big Sister, etc) Is Special, Words of Advice from My
Family, Friendship across Generations, the Most Frightening Time in My Life, or
a Book for Peace (McCaleb, 1994).
Untuk memulainy, guru mungkin bisa berbagi pilihan literatur tentang
topik atau memiliki sesi brainstorming. Selanjutnya, keputusan harus dibuat
tentang apakah keluarga atau anggota masyarakat akan diwawancarai untuk
mendapatkan informasi. Jika wawancara yang akan digunakan, identifikasi lebih
dahulu pertanyaan untuk wawancaranya. Informasi dari wawancara dapat dibahas
dan diletakkan pada peta tematik dan grafik. Banyak buku yang harus harus
melibatkan siswa bersama dengan keluarga/masyarakat dalam proyeknya. Siswa
akan menemukan bahwa mereka memiliki waktu untuk menjalin bersama-sama
beberapa cerita dan kadang-kadang beberapa perspektif. Mereka mungkin
membutuhkan bantuan dari guru dan/atau anggota keluarga. Sebuah draft pertama
dapat diedit dengan bantuan dari guru atau siswa lain. Beberapa buku, mungkin
akan diproduksi bersama oleh siswa dan keluarga dan dapat dibawa ke sekolah
sebagai proyek akhirnya.
Bahkan siswa termuda dapat menciptakan sebuah buku. Buku-buku
mereka mungkin sebagian besar merupakan karya seni dari seseorang atau suatu
peristiwa. Sebuah deskripsi karya seni mungkin pendek dan ditulis oleh siswa atau
dapat didikte oleh orang dewasa yang dituliskan kembali untuk siswanya. Jika ada
sebuah buku dengan topik khusus yang berhasil diselesaikan siswa, maka itu
harus dirayakan. Siswa dari kelas-kelas lain bisa datang untuk mendengarkan
buku itu ketika mereka membacanya, atau buku dapat diperbanyak dan dibagikan
pada anggota keluarga pada malam keluarga.
RINGKASAN
Pengembangan pribadi dan sosial terjadi melalui pematangan dan
pengalaman. Guru harus memberikan pengalaman untuk mendorong
pengembangan siswa, membantu mereka mengatasi kesulitan yang mereka
hadapi, mengembangkan moral dan nilai-nilai, dan mengembangkan sikap
prososial kondusif untuk kehidupan berkewarganegaraan. Orang dewasa maupun
rekan-rekan sebaya siswa memiliki beberapa efek pada pembangunan siswa. Guru
adalah orang yang kuat dalam kehidupan siswa dan bekerja untuk memastikan
bahwa efeknya adalah positif bagi siswa sebagai individu dan sebagai warga
negara yang berpartisipasi dalam demokrasi. Bidang psikologi dan pendidikan
nilai-nilai adalah salah satu yang umumnya diakui menjadi bagian dari kurikulum
sekolah. Namun, daerah ini membutuhkan kepekaan terhadap kebutuhan dan latar
belakang budaya masing-masing siswa.
Setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda, dan masing-masing
kebutuhan ini memiliki dampak yang kuat pada siswa. Karena kebutuhan setiap
siswa, dan karena perbedaan antara siswa, maka akan ada kontroversi yang bakal
muncul atas bagaimana nilai-nilai psikologi dan pendidikan itu harus ditanggapi.
Penalaran moral dan klarifikasi nilai-nilai adalah dua daerah yang telah
menghasilkan banyak kontroversi. Banyaknya kontroversi adalah karena, pertama,
adalah sebagai pengakuan bahwa nilai-nilai psikologi dan pendidikan yang baik
merupakan isu-isu penting dan sensitif, dan, kedua, untuk ide-ide yang saling
bertentangan pada bagaimana mengajarnya dengan baik. Kontroversi ini sering
melibatkan keyakinan dasar masyarakat tentang moralitas dan hubungan siswa
dengan satu sama lain. Karena ini adalah area dimana hingga sat inipun masalah-
masalah tersebut belum diselesaikan, kita kemungkinan besar akan terus melihat
perdebatan.
Expanding O N T H I S C H A P T E R
Activity
Create a graphic describing how values and morals differ. You might use a
concept web, a chart with columns, or, perhaps you think a Venn diagram
will best fit your description because you think they overlap in some ways.
Recommended Websites to Visit
CIVNET
www.civnet.org
This is an international gateway to information on civic education
providing a vast library of civics teaching resources, discourse on civil
society, information on organization s and programs, book-length
documents, lesson plans K-12, an online global discussion group on civic
education, and research findings on democracy.
Giraffe Project
www.giraffe.org/projectinfo.html
This is a literature project devoted to informing others about people who
“stick out their necks for the common good”. It has a cirriculum called
Standing Tall whose goal is to teach children how to sticck out their
necks through a three-part instructional plan: “Hear the Story” in which
children read and are told stories about over 800 real people; “Tell the
Story” in which children find out about and speak or write about the real-
life heroes in their local communities; and “Be the Story” in which
children put into practice their own plans for being helpful.
Utah Department of Education: Character Education Partnership
www.usoe.k12.ut.us/curr/char_ed
This website provides lesson plans, a discussion of the theory and history
of character education, and links to other related sites.
Conflict Resolution Sources and Websites
www.crenet.org/cren/facts.html
The Conflict Resolution Education Facts section of the Conflict
Resolution Education Network website is a useful source of information
on conflict resolution.
The U.S. Department of Education’s Safe and Drug-Free Schools Program
www.ed.gov/offices/OESE/SDFS
The U.S. Department of Justice’s Office of Juvenile Justice and Delinquency
Prevention http://ojjdp.ncjrs.org/
VITA 087822524884