menyelamatkan kehancuran an timah bangka belitung

21
Menyelamatkan Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung (1) Kamis, 07/01/2010 11:29 WIB | email | print Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'. Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri. Latar Belakang Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia. Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852. Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia.

Upload: baso-amir

Post on 02-Jul-2015

246 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Menyelamatkan Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung (1)Kamis, 07/01/2010 11:29 WIB | email | print

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

Latar Belakang

Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia.

Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852.

Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia.

Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha.

Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut Babel.

Permasalahan

Page 2: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menipis pula. Tak heran, jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak sosial berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Hal krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah yang berlimpah itu belum diatur secara optimal. Sehingga pendapatan berlimpah dari aktivitas penambangan pada akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya kemakmuran rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya penyelundupan timah yang dilakukan melalui aktivitas penambangan illegal.

Pemberian ijin tambang inkonvesional (TI) di Bangka Belitung telah mengurangi pendapatan negara dan daerah akibat terjadinya penyeludupan, serta mengancam terkurasnya ketersediaan cadangan timah di Bangka Belitung. Pemberian izin TI mungkin mendukung usaha pertambangan PT Timah sebagai BUMN dan PT Kobatin, sebab kedua perusahaan tersebut tidak perlu membuka area penambangan baru. Namun, keberadaan TI ini pada akhirnya justru memperburuk ketersediaan logam timah di Bangka Belitung dan membuat rusak lingkungan wilayah Bangka Belitung karena penambangan dilakukan di semua tempat.

Mestinya, pemerintah pusat dan daerah serta BUMN di bidang pertambangan timah berperan lebih besar agar hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara. Bila kondisi seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan melampaui Cina yang mencapai 130.000 ton per tahun. Berdasarkan data tahun 2007, melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per tahun. Dari penambangan ilegal, sebanyak 60.000 ton per tahun.

Kerugian Negara Akibat Penyelundupan Timah

Pihak intelijen Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, pada tahun 2006 melaporkan, nilai penyelundupan timah di Bangka Belitung mencapai sekitar Rp 10 miliar per bulan. Penyelundupan timah terjadi berkali-kali dan seolah menjadi suatu kelaziman. Pada akhir 2005, pernah terjadi penyelundupan timah sebanyak 714 karung pasir timah, atau senilai Rp 1 miliar.

Timah yang diselundupkan ke luar wilayah Indonesia, umumnya berasal dari tambang-tambang rakyat (TI). Awalnya, penambang mitra PT Timah masih menjual seluruh hasil tambang timahnya ke PT Timah. Namun, godaan harga yang lebih tinggi dari pembeli lain membuat penjualan timah ke PT Timah menurun. Penambang TI menjadi marak setelah UU Otonomi Daerah disahkan dan Keputusan Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tertanggal 22 April 1999 menyatakan timah dikategorikan sebagai barang bebas.

Pemda Bangka Belitung kemudian menerbitkan Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Perda No. 20/2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan barang Strategis, Perda No. 21/2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya. Semua peraturan ini untuk melegitimasi pembukaan

Page 3: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

tambang inkonvensional dengan tujuan mengatrol pendapatan daerah yang mandiri. Terkait hal ini, Juru Bicara PT Timah, Dwi Agus, menyatakan kebijakan otonomi daerah membawa dampak buruk bagi PT Timah.

Sebab, ujar Dwi, muncul saingan usaha. Di sisi lain, pengawasan penuh konsesi terutama di darat tak bisa dilakukan karena juga meliputi daerah-daerah hutan. Dengan demikian, banyak kebocoran di lapangan yang dilakukan mitra. Jika timah diselundupkan ke luar negeri, tentu negara tidak mendapatkan royalti dan pajak, dan pemegang KP ditunggangi penambang. Kerugian lain pemerintah meliputi dana reklamasi dan pungutan lain yang diatur dalam Perda, yang tidak dibayar oleh penambang liar.

Sejak penertiban timah ilegal dilakukan besar-besaran pada bulan Oktober 2006, harga logam timah di pasar dunia terus meningkat. Tercatat harga logam timah di London Metal Exchange (LME) dan Kualalumpur Tin Market berkisar pada level 13.000 dolar/ton, meningkat dari harga sebelumnya sekitar 8.000 dolar/ton. Hal ini karena pasar dunia logam timah terjadi kekurangan pasokan, karena Indonesia (PT Timah Tbk) hanya memasok 5.500 ton/bulan. Sementara negara-negara pemasok logam timah lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tidak mempunyai kemampuan produksi yang besar. Menurut Dirut PT Timah pada tahun 2007, Thobrani Alwi, sebelumnya PT Timah mengekspor hanya 5.500 ton/bulan. Pada Januari 2007, PT Timah hanya mengirim 3.500 ton, sehingga harga meningkat. Namun, stok timah dunia masih banyak sekitar 9.000 hingga 10.000 ton.

Selanjutnya, Indonesia sudah mulai mampu mempengaruhi harga logam timah dunia pasca penertiban timah ilegal. Pembeli-pembeli yang sebelumnya membeli komoditi ini dari Singapura, Malaysia dan Thailand mulai minta pasokan dari PT Timah Tbk. Akan tetapi, saat ini PT Timah mendahulukan customer-customer yang sudah lama bermitra dengan PT Timah. Andai sebelumnya pemain-pemain pertimahan di Indonesia mengikuti aturan, pasti Indonesia sejak dulu bisa menjadi price maker. Diharapkan ke depan, Indonesia dapat memegang harga timah dunia, bila perlu Kualalumpur Tin Market yang menentukan patokan harga timah saat ini, pindah ke Jakarta atau Bangka menjadi Jakarta Tin Market atau Bangka Tin Market.

Sebelumnya, jika kebutuhan timah dunia mencapai 120.000 ton maka 60.000 ton dikeluarkan Malaysia, Indonesia hanya 60.000 ton secara legal. Padahal, 60.000 ton yang dijual oleh Malaysia sebagian besar adalah timah dari Indonesia. Oleh karena itu, ke depan pelaku-pelaku bisnis timah harus dapat mengekspor sesuai peraturan. Dengan harga timah tinggi, pemerintah akan mendapat royalti dan pajak lebih besar. Selain pasokan berkurang di pasar dunia, kenaikan harga juga dipicu oleh konsumsi timah pada industri yang menggunakan bahan dasar timah saat ini semakin meningkat. Kemudian, kalangan industri mulai memerhatikan unsur kesehatan dan lingkungan.

Pendapatan PT Timah

Pendapatan PT Timah pada tahun 2008 adalah Rp. 9,053 Triliyun, pendapatan ini meningkat jika dibandingkan pendapatan tahun 2007, yakni Rp 8, 542 Triliyun atau

Page 4: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

sekitar 906.932 Juta USD. Sedangkan di tahun 2006, pendapatan PT Timah sekitar Rp. 4, 076 Triliyun. Dari tahun 2006 hingga tahun 2008, tren pendapatan PT Timah memang terus mengalami peningkatan. Artinya royalti dan pajak serta deviden yang diterima negara pun meningkat.

Tabel 1. Produksi Timah Indonesia

Sumber: PT Timah Tbk.

Tabel 1 di atas memperlihatkan produksi timah Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Melalui PT Timah, Indonesia pun memperoleh pendapatan yang terus meningkat. Khusus 2006, 2007, dan 2008 keuntungan bersih PT Timah masing-masing adalah Rp 208 miliar, Rp 1,7 triliun, dan Rp 2 triliun. Dengan peningkatan keuntungan yang begitu besar, ditambah lagi dengan dampak ekonomi dan efek multiplier dari aktivitas pertambangan timah, seharusnya negara mendapat manfaat yang besar dan kesejahteraan rakyat Babel juga meningkat.

Namun di sisi lain, aktivitas penambangan timah ilegal dan penyelundupan timah pun marak terjadi. Transaksi penyelundupan timah tersebut nilainya mencapai Rp 10 miliar per bulan (Kejati Babel, 2006). Dari nilai tersebut, tidak satu rupiah pun masuk menjadi kas negara. Artinya, negara dirugikan Rp 10 Miliar per bulan, ditambah lagi cadangan timah terus menipis akibat aktivitas penambangan ilegal merajalela.

Sementara itu, faktor harga akan selalu mempengaruhi pendapatan PT Timah serta besarnya royalti dan pajak yang masuk sebagai kas negara. Harga tertinggi logam timah dunia selama tahun 2008 adalah US$ 25.500/ton dan terendah adalah US 10.000/ton. Harga rata-rata timah tahun 2008 adalah sebesar US$ 18,512/ton atau meningkat 27 % dari harga rata-rata logam timah dunia tahun 2007 yang sebesar US$ 14,529/ton Menurunnya harga logam timah pada triwulan keempat 2008 terpengaruh oleh arus krisis ekonomi global yang menyebabkan berkurangnya permintaan logam timah. Perkiraan banyak analis, harga timah tahun 2009 akan berada pada kisaran US$ 13.000 per ton, menurun dibandingkan tahun 2008 (Majalah Kontan, 2009). Diharapkan dengan harga yang terus membaik seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dunia, pendapatan PT Timah juga akan terus meningkat.

Cadangan dan Potensi Ekonomi Timah Nasional

Berdasarkan informasi dari US Geological Survey 2006, disebutkan bahwa cadangan terukur timah di Indonesia adalah sekitar 800.000 sampai 900.000 ton. Dengan tingkat

Page 5: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

produksi rata-rata sekitar 60.000 ton/tahun, atau setara dengan 90.000 ton/tahun pasir timah, cadangan tersebut akan mampu bertahan sekitar 10 - 12 tahun lagi, atau hingga tahun 2017 – 2019. Pada harga rata-rata US$ 20.000/ton (diasumsikan sebagai harga rata-rata timah selama 8 tahun ke depan), sumber daya timah ini menyimpan potensi ekonomi dengan nilai sekitar US$ 18 miliar atau sekitar Rp 190 triliun. Belum lagi jika multiplier effect dari industri timah ini diperhitungkan maka potensi ekonomi tambang timah Babel menjadi semakin besar untuk dapat berperan meningkatkan PDB, pendapatan negara dan daerah, serta kesejahteraan rakyat, khususnya di Babel.

Ketersediaan timah yang semakin menipis seharusnya diperhitungkan pemerintah pusat, khususnya Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), serta pemerintah daerah setempat. Sebab, industri timah dengan tingkat produksi yang berlangsung 4–5 tahun belakangan ini, berkontribusi sangat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Babel. Di masa mendatang, tingkat produksi timah lambat laun pasti menurun. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhitungkan keberlanjutan ekonomi masyarakat Bangka Belitung sejak produksi menurun hingga cadangan timah habis. Jika industri timah berakhir, sedang sumber penggerak ekonomi alternatif tidak tersedia maka kesejahteraan masyarakat akan berkurang atau bahkan angka kemiskinan pasti bertambah. Berikut ini adalah data cadangan timah yang dikelola PT Timah.

Tabel 2. Luas KP dan Cadangan Timah

Sumber: PT Timah Tbk.

Pada Tabel 2 kita melihat bahwa cadangan timah Indonesia memang semakin menipis. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengamankan produksi, menyediakan cadangan nasional masa depan, sekaligus menggunakannya untuk mengendalikan harga. Salah satu yang penting adalah membatasi dan menetapkan batas maksimum atau kuota produksi timah nasional setiap tahun, misalnya 75.000 ton per tahun. Ini perlu dilakukan terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka panjang dalam negeri.

Pemerintah harus berupaya mengantisipasi habisnya sumber daya timah dengan pengaturan regulasi. Misalnya, jalur ekspor harus dari satu pintu, yakni PT Timah yang telah ditunjuk sebagai BUMN yang menggarap sektor ini, termasuk mengembalikan eksplorasi hanya kepada PT Timah. Kemudian, PT Timah lebih fokus mengatur kuota produksi dan menghadapi persaingan produsen timah dari negara lain di pasar internasional. Penegakan hukum dan penerapan sanksi juga sangat penting untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam industri timah nasional.

Page 6: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Indonesia kini merupakan negara produsen timah terbesar ke-2 di dunia, setelah Cina sebagai produsen terbesar pertama. Indonesia merupakan negara eksportir timah nomor satu di dunia, lebih dari 90% produksinya diekpor ke manca negara. Sedangkan Cina mengonsumsi hampir seluruh produksinya untuk kebutuhan domestik. Perbandingan produksi timah Indonesia dengan negara lain dapat dilihat di Grafik 1.

Grafik 1. Produksi Timah Indonesia, China dan Negara-negara lain.

Sumber: www.bhaktisecurities.com

Cadangan timah di seluruh dunia diperkirakan sebesar 11 juta ton (US Geological Survey, 2009). Jika dikomparasikan dengan empat negara-negara penghasil timah terbesar di dunia, cadangan timah Indonesia paling sedikit. Negara dengan cadangan terbesar adalah Cina sebanyak 3 juta ton, Brasil 2,5 juta ton, Peru 1 juta ton, dan Indonesia 0,9 juta ton Dalam konteks ini, pemerintah belum menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara dan reservasi atau pengamanan cadangan. Penambangan produksi timah dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan. (bersambung)

foto ilustrasi: metro bangka belitung

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Page 7: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Menyelamatkan Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung (2)

Jumat, 08/01/2010 12:39 WIB | email | print

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

**

*

Pemerintah Belum Optimal Kelola Pertambangan Timah

Mekanisme pertambangan timah di Indonesia bisa dikatakan masih jauh dari prinsip demokrasi ekonomi. Sebab, endapan timah yang merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan sesuai amanat UUD 1945 pasal 33. Kekayaan itu harus digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, negara harus mampu menguasai secara efektif dan memanfaatkan sumber daya itu demi kemakmuran rakyatnya.

Sudah menjadi kewajiban semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat memanfaatkan potensi tambang bagi kemakmuran rakyat. Namun, hal itu belum mewujud dalam pengelolaan pertambangan timah yang ada di sepanjang Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Padahal, Indonesia diakui sebagai penghasil timah

Page 8: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

terbesar kedua di dunia setelah Cina. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa disebut sebagai negara yang masih memiliki kandungan timah berlimpah.

Sayang, potensi timah yang bisa membawa Indonesia menuai pendapatan berlimpah untuk kemakmuran rakyatnya belum diatur secara optimal. Masih sering terjadi penyelundupan timah melalui penambangan ilegal. Bayangkan saja, penambangan ilegal mampu menghasilkan 60 ribu ton per tahun, tak begitu beda jauh dengan jumlah produksi penambangan legal sebesar 71.610 per tahun. Hasil penambangan ilegal tentu tak masuk ke dalam kas negara, terutama dalam bentuk royalti dan pajak.

Biasanya, timah dari aktivitas penambangan ilegal itu dipasarkan ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Cina. Menurut Batubara (2008), ada sejumlah masalah yang mestinya segara mendapatkan solusi. Permasalahan tersebut antara lain adalah belum optimalnya kebijakan nasional, peraturan yang bermasalah, penegakan hukum yang tidak konsisten, KKN berbagai oknum, pencurian, penyeludupan, perusakan lingkungan, dominasi asing dan pemilik modal, serta kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat.

Banyak dampak negatif yang timbul akibat kesalahan dan penyelewengan pengelolaan tambang timah. Sekitar 40% produksi timah nasional setiap tahun diseludupkan. Negara kehilangan pendapatan, hanya dari royalty (besarnya 2% harga jual timah), sekitar US$ 9,5 juta per tahun. Belum lagi kerugian akibat penggelapan pajak, yang jumlahnya pasti jauh lebih besar! Sudah bertahun-tahun sejak larangan ekspor biji timah dikeluarkan pada 31 Januari 2002 yang lalu, smelter Singapura – negara yang tidak punya tambang timah – terus memroduksi timah lebih dari 25.000 ton/tahun.

Smelter di Malaysia dan Thailand juga menadah timah seludupan dari Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, hasil tambang timah Malaysia dan Thailand hanya sekitar 3000-5000 ton/tahun. Namun, smelter mereka bisa memproduksi batangan timah 25.000-35.000 ton/tahun. Hal ini terjadi tentu karena adanya penyeludupan dari Babel! Berdasarkan rilis Commodity Research Unit (CRU), sejak tahun 2000-2008 timah Indonesia yang masuk pasar internasional tanpa dilaporkan secara resmi, ilegal/diseludupkan, mencapai 266.000 ton. Jika diasumsikan harga rata-rata timah US 14,000/ton dan kurs US$/Rp = 12.000 maka kehilangan negara dari royalty yang besarnya hanya 2% dari harga jual, sudah mencapai Rp 1 triliun. Apalagi jika kerugian negara dari pajak (minimal 25% harga jual) diperhitungkan, kerugian negara bisa lebih dari Rp 13 triliun! Kerugian ini belum memperhitungkan berbagai kehilangan kesempatan dalam seluruh lingkup kegiatan bisnis industri timah akibat penyeludupan.

Seluruh masalah ini saling terkait dan telah berkontribusi terhadap tidak optimalnya hasil tambang timah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah belum dapat menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara, reservasi atau pengamanan cadangan timah, dan pemberdayaan ekonomi atau kehidupan rakyat. Penambangan dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan.

Page 9: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Dengan total cadangan yang terbatas sekitar 900.000 ton, timah Indonesia diperkirakan hanya akan bertahan 12 tahun kedepan, atau paling lama 15 tahun jika cadangan baru ditemukan. Undang-undang dan peraturan seputar tambang timah sebagian tidak relevan dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional. Demikan pula dengan penegakan hukum di lapangan, yang sering tidak konsisten dan bermasalah. Pemerintah terlihat belum optimal mengatur mekanisme penambangan timah.

Hingga 2009, penyelundupan timah masih marak terjadi. Pemerintah tidak tegas memberikan sanksi terhadap para pelaku penyelundupan timah. Sejauh ini, pertambangan dilakukan untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan tanpa penghematan. Hal ini kemudian memberikan peluang bisnis terhadap para investor asing dan domestik. Bahkan, tercatat sejumlah cukong dari Jakarta menguasai tambang timah ilegal melalui konsorsium yang beranggotakan banyak perusahaan.

Menurut Ketua Komisi VII DPR Airlangga Hartanto, terdapat 6.507 usaha pengelolaan timah di Bangka dan Belitung. Tercatat 199 pertambangan dilengkapi izin, sedangkan 6.308 usaha lainnya ilegal. Merebaknya penambangan dan pemasaran timah ilegal karena pimpinan daerah, seperti bupati memiliki otoritas memberi izin usaha pertambangan. Lokasi pertambangan PT Timah yang dianggap tidak ekonomis kemudian dialihkan ke kontraktor lokal, yaitu PT Tambang Karya. Hal ini menyebabkan kerusakan lahan dan hutan. Penambangan ilegal terjadi pada 30 persen luas hutan di provinsi Bangka Belitung. Hal ini mengakibatkan pencemaran air, lahan tandus, abrasi pantai, dan kerusakan cagar alam. Di sisi lain, kini PT Timah, sahamnya tak lagi sepenuhnya dimiliki pemerintah. Sebanyak 35 persen milik swasta dan 65 persen lainnya masih dikuasai pemerintah.

Pihak swasta memiliki kewenangan untuk usaha-usaha pertambangan yang juga memiliki izin smelter, mempunyai kewenangan untuk peleburan dan pemurnian, memiliki izin ekspor dan juga tentu mendapatkan keuntungan. Keuntungan swasta, seratus persen tentu menjadi milik swasta seluruhnya. Dan kepemilikan PT Timah seperti di atas membuat seolah-olah sudah tidak ada bedanya lagi status antara BUMN dengan swasta. Jadi sudah tidak ada sama sekali perlindungan terhadap aset negara.

Negara tidak lagi sepenuhnya melindungi badan usaha yang mewakilinya, pun tidak lagi melindungi aset negara yang dikandung di dalam wilayahnya itu. Sehingga, timah yang naik dari dalam ke atas tanah di Bangka Belitung seolah sudah tidak dimiliki lagi oleh negara. Penguasaan negara dan pengelolaan negara terhadap timah dipertanyakan. Jika negara memang ingin kembali melindungi asetnya, mestinya ekspor balok timah murni tidak dilakukan oleh pengusaha swasta. Balok timah murni merupakan logam dasar, belum merupakan produksi yang dihasilkan melalui industri. Oleh karena itu, ekspor logam dasar itu harus dikendalikan negara melalui BUMN yaitu PT Timah. Selain logam dasar itu, seperti solder dan tin chemical, pemerintah mungkin bisa saja memberikan izin kepada pihak swasta untuk mengekspornya.

Selain itu, PT Timah sebagai wakil negara harus membuka kesempatan seluas-luasnya di sektor hulu kepada masyarakat dan pengusaha-pengusaha, khususnya di daerah Bangka

Page 10: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Belitung untuk memperoleh kesempatan secara terkendali dan berkeadilan. Seperti diketahui, politik penguasaan sumber daya timah di daerah tersebut semakin meluas tanpa mempertimbangkan luas pulau yang hanya sepertiga luas Jawa Barat itu. Padahal, karakter industri timah mempunyai daya rusak tinggi namun pemerintah daerah cenderung mengeluarkan izin baru. Sepanjang tahun 2000 setidaknya 50 ribu hektar kebun lada di provinsi Bangka Belitung berubah menjadi lahan tambang. Akibatnya, sekitar 32 ribu petani di provinsi itu kini beralih profesi menjadi penambang.

Mencermati kondisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa begitu borosnya lahan industri tambang timah. Kegiatan penambangan timah dilakukan oleh masyarakat biasa dengan modal seadanya sampai pengusaha ataupun investor besar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Padahal, sebelum masa reformasi, penambangan timah hanya dapat dilakukan perusahaan besar, yaitu PT Timah Tbk. Mereka memiliki kuasa penambangan (KP) hampir dua pertiga Kepulauan Bangka Belitung.

Ada pula PT Kobatin, perusahaan gabungan Indonesia dan Malaysia, yang memiliki KP seluas 42 ribu hektar di Bangka, sekarang Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan. Namun sejak reformasi, penambangan tidak hanya dilakukan dua perusahaan besar itu. Kini banyak investor lain, banyak smelter baru yang beroperasi, dan banyak izin KP baru dari pemerintah daerah di luar KP kedua perusahaan besar tadi. Ditambah lagi dengan aktivitas penambangan masyarakat yang tersebar di seluruh Pulau Bangka dan Belitung.

Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Erwiza Erman, terjadi penyalahgunaan kepentingan antara pejabat daerah dan pejabat pusat yang menyebabkan praktik monopoli tambang timah di Bangka Belitung sangat kuat. Penyelewengan ini bisa dilihat dari peraturan daerah yang memberikan kesempatan untuk menambang timah secara terbuka dan Surat Izin Perdagangan Antar Daerah (SIPAD). Pebisnis menggunakan SIPAD ini untuk memuluskan illegal economy. Salah satu bentuk illegal economy adalah penyelundupan timah hasil produksi Bangka ke negara-negara jiran.

Dampaknya, lingkungan rusak sementara pendapatan daerah tak meningkat. Masyarakat lokal tidak mempunyai akses turut menikmati keuntungan dari penjualan timah, bahkan 46 persen penduduk Bangka belum mendapatkan pelayanan listrik. Akibatnya, banyak terjadi konflik pertambangan.

Kebijakan Tambang Inkonvensional Tak Membawa Kemakmuran

Pengelolaan timah di Bangka Belitung yang selama ini dilakukan PT Timah dan PT Kobatin, telah memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian daerah. Namun pada kurun waktu 1991-1995, harga timah turun drastis yang mengakibatkan bangkrutnya Tin Council dan berdampak pada kebijakan restrukturisasi perusahaan, diantaranya pengurangan karyawan sebanyak 17.000 orang. Kebijakan perusahaan tersebut telah memberikan dampak ekonomi dan sosial masyarakat di Bangka Belitung.

Page 11: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Untuk memenuhi kebutuhan kuota produksi, PT Timah selain melakukan penambangan sendiri, sebagian lagi melalui mitra kerja Tambang Karya (TK) yang masih aktif lebih kurang 40 %. Sedangkan sisanya sudah menghentikan kegiatannya. Hal ini mengakibatkan pasokan bijih timah, termasuk yang ditambang sendiri oleh PT Timah, tidak lagi dapat memenuhi target produksi yang telah ditentukan. PT Timah terancam tidak dapat memenuhi kontrak penjualan dengan para buyers di pasar internasional.

Untuk mengatasi hal tersebut PT Timah mengeluarkan beberapa kebijakan:

1. Mengeluarkan Surat Ijin Produksi (SIP) kepada mitra kerjanya untuk menerima bijih timah serta mengkoordinir kegiatan pendulangan oleh masyarakat.

2. PT Timah mengeluarkan lagi Surat Ijin mengumpulkan pembeli kepada beberapa sub mitra kerjanya untuk bertindak sebagai koordinator pengumpul/pembeli bijih timah hasil pendulangan masyarakat.

3. Setiap mitra kerja PT Tambang Timah diberikan terget minimal bijih timah yang harus dipasok ke PT Tambang Timah per bulan.

Kebijakan ini mengakibatkan munculnya Tambang Inkonvensional (TI). Para mitra PT Timah lebih banyak menampung hasil produksi TI daripada dengan produksi sendiri. Karena banyak mitra kerja yang menampung hasil produksi TI dengan harga yang relatif tinggi, akibatnya memicu makin maraknya usaha penambangan yang dikelola oleh masyarakat (TI).

Pemerintah Daerah Bangka Belitung, dengan kewenangan otonomi yang dimiliki mengeluarkan Perda No. 6 Tahun 2001 tentang pertambangan umum, membuka kesempatan bagi masyarakat Bangka mengeksploitasi timah ini secara bebas. Dampak kebijakan tersebut menyebabkan tambang inkonvensional semakin marak kemudian memicu penyelundupan. Selain itu, hasil tambang inkonvensional milik rakyat dibeli dengan harga lebih murah sehingga rakyat tetap berada dalam kemiskinan.

Sejumlah smelter atau perusahaan pengolahan bijih timah di Bangka Belitung, menadah timah ilegal dari penambang tanpa izin. Jika penambang tanpa izin marak, tentunya hasil bijih timah yang dihasilkan ada yang menampung yaitu smelter. Logikanya, tidak mungkin pedagang pengumpul lada di pasar yang membeli timah. Bisnis timah ilegal di Babel bagaikan mata rantai saling menguatkan dan menguntungkan. Sehingga sulit memutus mata rantai itu, sepanjang tidak ada komitmen pemerintah pusat dan daerah, termasuk aparat kepolisian dan TNI.

Sebagian smelter tentu untung bisa menadah timah ilegal dari hasil tambang inkonvensional (TI) milik rakyat. Sebab mereka membeli dengan harga murah kemudian dijual dengan harga tinggi. Sementara, masyarakat juga tergiur oleh penghasilan timah yang cukup tinggi ketimbang penghasilan lain dari bertani lada, karet, dan sawit. Mereka juga mudah menjual hasil bijih timahnya kepada kolektor lalu dilepas ke smelter. Praktik ini, telah lama terjadi namun penambang ilegal mulai marak sejak 1998 hingga sekarang.

Page 12: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Dampak Kerusakan Lingkungan Pertambangan Timah

Pertambangan timah Bangka Belitung yang dikelola PT Timah telah berkontribusi bagi perekonomian negara, baik menyumbang devisa negara serta menjadi penggerak perekonomian di wilayah Bangka Belitung. Pendapatan PT Timah pada 2007, seperti disebutkan sebelumnya, mencapai Rp. 8, 626 triliun dan pada 2008 mencapai Rp. 9, 053 triliun. Namun, pertambangan timah Bangka Belitung juga telah mengabaikan pengelolaan lingkungan hingga menimbulkan dampak kerusakan ekosistem.

Dampak kerusakan ekosistem akibat pertambangan timah Bangka Belitung merupakan dampak lingkungan jangka panjang, berupa kolam-kolam bekas tambang, hilangnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya vegetasi. Pemulihan dampak kerusakan lingkungan itu bisa jadi membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding keuntungan produkti timah yang telah diperoleh. Dan selama ini, PT Timah, PT Kobatin, atau pun penambang inkonvensional hanya mengambil manfaat ekonomi dari sumberdaya timah.

Perlahan kondisi lingkungan provinsi pemasok 40 persen timah dunia ini mengalami kehancuran. Tambang timah ilegal pun telah membuat bumi Bangka Belitung tercabik-cabik. Setidaknya 15 sungai besar di wilayah ini telah rusak yang menyebabkan flora dan fauna berada di ambang kepunahan. Ini disebabkan banyaknya pelanggaran aturan, dalam bentuk penambangan di luar wilayah KP yang telah ditetapkan atau menjual hasil penambangan kepada pihak lain selain kepada pemilik kuasa penambangan (KP).

Akibatnya, tambang timah bisa muncul di daerah aliran sungai atau pun di pantai. Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang, setidaknya 100 kilogram batuan digali hanya untuk menghasilkan 0,35 kilogram bahan tambang. Sedangkan 99 persen bahan sisa tambang itu dibuang sebagai limbah. Asosiasi Tambang Timah Rakyat (Astira) Bangka Belitung bersama pemerintah daerah dan kepolisian bekerja sama menertibkan tambang timah ilegal. Saat ini jumlah tambang timah tinggal 6.000-an unit karena ketatnya penertiban. Tahun 2004-2006 tambang timah pernah mencapai 17.000 unit.

Mereka, tak memperhitungkan jasa ekologi yang mampu diberikan ekosistem hutan dan lahan yang tereksploitasi. Keberadaan ekosistem hutan dan ekosistem hutan mangrove misalnya, yang memiliki jasa ekologi seperti pertukaran energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai makanan mahkluk hidup (food chains), mempertahankan keanekaragaman hayati (diversity patterns), daur nutrien (nutrien cycles), dan pengendali ketika terjadi pencemaran (control/ cybernetics).

Kelestarian fungsi ekosistem hutan seharusnya dipertahankan. Jika tidak, maka keberlanjutan kehidupan mahkluk hidup dan bahkan manusia akan terancam. Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak panjang pada efek rumah kaca yang mengakibatkan bumi semakin panas dan berdampak pada kesehatan manusia. Jika manusia menyadari pentingnya menjaga kelestarian fungsi ekosistem hutan, sesungguhnya hal ini adalah untuk keberlanjutan manusia itu sendiri.

Page 13: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Beberapa pakar mengungkapkan bahwa ekosistem hutan memiliki kemampuan suksesi sehingga tidak menjadi masalah mengeksploitasi hutan. Hal ini sebenarnya keliru, sebab ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka hutan kehilangan fungsi ekologinya sebagai pengatur/ ecological regulatory (siklus hidrologi, siklus nutrien, rantai makanan); fungsi pemelihara/ ecological maintaning (mencegah erosi, abrasi) dan fungsi pemulihan/ecological recovery (menyerap emisi karbon). Ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka seketika hutan tidak memilliki fungsi ekologi dan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam sistem alam dan berpotensi menimbulkan bencana alam. Selain itu, proses suksesi hutan dan pertumbuhan sebuah pohon membutuhkan waktu puluhan tahun.

Aktivitas tambang inkonvensional di Bangka Belitung semakin marak berdampak pada kerusakan ekosistem. Sebab, obyek penambangan hampir mencakup ke segala aspek ekosistem alam, yaitu wilayah darat dan laut Bangka. Objek penambangan terutama di dalam ruang lingkup kerja wilayah hutan konservasi yang menjadi sasaran pertambangan warga Bangka, membuat area hutan di pulau Bangka semakin terancam keberadaannya. Ini menambah permasalahan global pembalakan liar hutan Bangka.

Beberapa penambang inkonvensional bahkan telah menggunduli area hutan, diantaranya hutan fungsi khusus, hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi atau reklamasi eks tambang timah hingga hutan magrove. Langkah tersebut dilakukan dengan tujuan membuka lahan pertambangan timah. Para penambang inkonvensional membuka lahan pertambangan dengan cara membabat, membakar, kemudian menggunduli area hutan, guna kepentingan eksploitasi.

Hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi area pertambangan telah menghilangkan fungsi ekosistem hutan sebagai pertukaran energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai makanan mahkluk hidup (food chains), mempertahankan keanekaragaman hayati (diversity patterns), daur nutrien (nutrien cycles) dan pengendali ketika terjadi pencemaran (control/ cybernetics). Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak pada ketidakseimbangan sistem alam.

Akibatnya, Bangka Belitung mengalami kekeringan ketika musim kemarau, hasil pertanian mereka pun menurun. Apalagi banyak petani yang beralih profesi menjadi penambang sehingga lahan pertanian pun terbengkalai. Hilangnya ekosistem hutan mengakibatkan beberapa kawasan tererosi dan sungai-sungai pun mengalami abrasi. Karena terjadi sedimentasi yang tinggi, terkadang sungai meluap ketika musim hujan. Terlebih lagi, tailing yang dibuang ke sungai mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai dan kematian beberapa biota perairan.

Masyarakat pun tidak dapat memanfaatkan sumberdaya sungai seperti sebelumnya, misalnya untuk memancing, rekreasi, atau pun sebagai sumber air permukaan. Pada musim hujan, kolong-kolong bekas galian tambang akan terisi air namun menjadi kering dan gersang pada musim kemarau. Hal ini karena tidak ada lagi hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air (catchment area). Hilangnya ekosistem hutan juga membawa dampak pada degradasi lahan, termasuk lahan pertanian.

Page 14: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Dampaknya, hasil pertanian, hasil kebun petani pun menurun. Jika hasil pertanian yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Bangka Belitung, mereka terpaksa harus membelinya di luar. Hal ini tentu menambah biaya, dan mereka mendapatkan harga hasil pertanian yang relatif lebih mahal. Lahan pertanian dan tanah-tanah lapang di Bangka Belitung saat ini juga menjadi sangat tandus dan gersang. Membutuhkan biaya besar untuk mereklamasi atau pun merevegetasi untuk menjadikan lahan tersebut kembali berproduksi. Kekeringan, banjir, serta penurunan hasil pertanian adalah bagian dari dampak karena penambang tidak melestarikan fungsi hutan lindung.

Akhiri Kerakusan

Kita sebagai bangsa hendaknya merasa prihatin, malu dan sekaligus terhina harga dirinya menyaksikan negara-negara tetangga menadah barang seludupan, mengendalikan harga timah dan melecehkan hukum negara, serta menikmati keuntungan sangat besar dari pencurian kekayaan alam kita. Di sisi lain, kita mengerti bahwa semua ironi ini sebagian besar berpangkal dari kesalahan kita sendiri, terutama para oknum investor, cukong-cukong dan oknum penguasa serta oknum aparat pertahanan dan keamanan. Umumnya mereka bermental KKN, manipulatif, konspiratif, dan rakus akan kekayaan dan kekuasaan.

Keserakahan para eksekutif keuangan dan bank serta pemilik modal merupakan penyebab utama terjadinya krisis keuangan global saat ini. Akibat kerakusan mereka, ratusan juta orang menjadi miskin atau bertambah miskin, puluhan juta orang kehilangan pekerjaan, ribuan perusahaan bangkrut, dunia kehilangan dana sekitar US$ 10 triliun, atau uang yang lenyap di bursa saham mencapai US$ 50 triliun! Daya rusak orang-orang serakah begitu besar sehingga merusak tatanan ekonomi dunia, merugikan keuangan negara dan menyengsarakan demikian banyak orang.

Demikian pula yang terjadi di Babel. Prilaku serakah oknum-oknum investor dan pejabat telah merugikan negara puluhan trilun rupiah, menyengsarakan rakyat, merusak lingkungan, dan bahkan menjadikan negara terhina, tidak berdaulat, tidak punya harga diri di hadapan negara-negara lain. Apakah pemerintah memang sudah tidak berdaya dan akan terus membiarkan semua ini terus berlangsung? Apakah memang kita masih pantas berharap kepada pemerintah? Belajar dari krisis keuangan global yang masih berlangsung saat ini, kita menginginkan pembenahan industri timah secara seksama segera diwujudkan, terutama melalui operasionalisasi UU Minerba No.4/2009 – dalam bentuk sejumlah PP – yang sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. (bersambung)

foto: jsofian.wordpress

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan

Page 15: Menyelamatkan Kehancuran an Timah Bangka Belitung

Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.