merancang kaidah (ushul) fikih...

22
MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 1 Oleh Abd Moqsith Ghazali [Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta] Email; [email protected] A. Pendahuluan Banyak pemikir Muslim memandang ilmu tafsir al-Qur’an dan metodologi pembacaan (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qauli ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi pembacaan klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodologi klasik tersebut. [1] Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih bahkan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. [2] Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya 1 Artikel ini pernah dimuat dalam Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus (ed.), Islam, Negara & Civil Society, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 352-370.

Upload: vodung

Post on 06-Apr-2019

233 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1

Oleh Abd Moqsith Ghazali

[Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]

Email; [email protected]

A. Pendahuluan

Banyak pemikir Muslim memandang ilmu tafsir al-Qur’an dan metodologi

pembacaan (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan

sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qauli ke

manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah

dikerangkakan para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna.

Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya,

tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang

sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan

sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi

dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris.

Mestinya, metodologi pembacaan klasik diletakkan dalam konfigurasi

dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis

kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

metodologi klasik tersebut. [1] Metodologi lama terlalu memandang sebelah

mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih bahkan menganulir

ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan.

Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi

harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan

terhadap akal publik. [2] Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan

manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat

manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam

ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya

1 Artikel ini pernah dimuat dalam Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus (ed.), Islam, Negara

& Civil Society, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 352-370.

Page 2: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 353

(mukallaf) [3] Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri

umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal

teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks

merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem.

Dalam pandangan ilmu tafsir dan ushul fikih lama, teks telah dipandang

sebagai manifestasi dari keseluruhan kebenaran dan dengan demikian menjadi

“dasar” dalam mengukur segala persoalan menyangkut hal-ihwal perbuatan

manusia. Dengan ungkapan lain, teks ajaran adalah wujud tunggal dari

“kebenaran mutlak” yang mesti dipedomani, meminjam istilah para penatar P4

dulu, secara murni dan konsekuen. Tendensi untuk bergeser dari makna

harafiah teks, meskipun sedikit saja, terlebih melampirkan pertimbangan lain di

luar ketentuan bunyi teks ajaran dipandang sebagai sebuah skandal dan

kejahatan teologis yang tak terampuni. Selanjutnya, jika terjadi sengketa antara

teks verbal dalam kitab suci dengan realitas, maka solusi yang disuguhkan kaum

ortodoks adalah dengan menaklukkan realitas di bawah kontrol teks ajaran.

Teks bagi mereka merupakan sumber kebenaran par excellence. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis yang mesti

mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, bagian ini bermaksud

untuk mereformasi kaidah-kaidah tafsir dan ushul fikih yang problematis dari

sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah

penafsiran dan ushul fikih ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif

bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun

canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem,

maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi

terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ilmu tafsir dan ushul fikih ini

akan berkoresponden dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan

kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia.

Namun, sebelum masuk pada perumusan kaidah-kaidah penafsiran al-

Qur’an itu, perlu diingatkan kembali perihal tekstualitas dan kontekstualitas al-

Qur’an. Bahwa di balik teks al-Qur’an yang historis-kontekstual tersebut, kita

kemudian bisa merumuskan prinsip-prinsip pokok al-Qur’an yang kerap disebut

sebagai maqashid al-syari’ah.

Page 3: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 354

B. Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an Hassan Hanafi, pemikir progresif Muslim dari Mesir, dalam bukunya

yang bertitel Dirasat Islamiyah menyatakan, “al-wahyu laysa kharij al-zaman

tsabitan la yataghayyaru, bal dakhil al-zaman yatathawwaru bi tathawwurihi.

[wahyu bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang kokoh tak berubah,

melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan].2

Pernyataan Hassan Hanafi tersebut menegaskan sebuah tesis bahwa Islam

bukan wahyu yang jauh di langit yang terlepas dari kenyataan konkret

masyarakat. Islam tidak memulai ajarannya dari lembaran kosong. Islam bukan

suatu creatio ex nihilio: ciptaan yang meloncat begitu saja dari ruang kosong.

Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu adalah seseorang yang hidup dalam

konteks lokalitas Arab waktu itu. Ia tidak terisolasi dari konteks di sekitar.

Jelas, bahwa meskipun al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT,

kenyataan menunjukkan bahwa wahyu itu telah memasuki “pemukiman”

historis. Al-Qur’an adalah bagian dari fakta historis itu. Karena kitab suci yang

diyakini sebagai transkripsi firman Tuhan itu telah turun ke bumi, maka ia

adalah fakta atau teks historis yang bergerak dalam hukum kesejarahan.

Pandangan di atas sekurangnya dikukuhkan oleh empat argumen berikut.

Pertama, Allah telah memilih bahasa manusia (yakni, bahasa Arab) sebagai kode

komunikasi antara Tuhan, Jibril, dan Muhammad SAW. Di dalam proses

komunikasi itu pengujar menyatakan diri dengan cara pengungkapan yang khas.

Semua literatur mengenai kemukjizatan al-Qur’an--paling tidak sejauh

menyangkut persoalan linguistik--menegaskan peran menentukan dari cara

pengungkapan ini.3

2 Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Mesir: Maktabah al-Anjelu al-Mishriyah, 2000, hlm. 71 3 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan al-Qur`an, terjemahan Machasin, Jakarta:

INIS, 1997, hlm. 80. Ini penting dikemukakan oleh karena bahasa --tak terkecuali bahasa Arab al-Qur`an-adalah ciptaan manusia, karena ia direfleksikan dari konvensi sosial hubungan antara suara dan makna. Inilah sebabnya mengapa kaum Mu’tazilah bersikeras mengatakan tentang kemakhlukan al-Qur`an, tatkala al-Qur`an itu hadir dalam bungkus bahasa manusia. Dengan lantang kaum Mu’tazilah berujar bahwa bahasa adalah produk manusia. Oleh karena yang disasar oleh Tuhan adalah manusia, maka bahasa Tuhan harus “mematuhi” bahasa manusia, agar firman-firman-Nya mudah dipahami oleh manusia juga. Allah berfirman, wa ma arsalna min rasulin illa bi lisani qawmihi li yubayyina lahum [QS, Ibrahim: 4). Ibnu Khaldun mengatakan “inna al-Qur`an nazala bi lughat al-`Arab wa `ala asalibi balaghatihim”.

Page 4: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 355

Kedua, keterlibatan Nabi Muhammad sebagai penerima pesan di satu

sisi dan sebagai penafsir di sisi lain ikut menentukan proses pengungkapan dan

tekstualisasi al-Quran. Muhammad SAW bukan disket kosong, melainkan orang

cerdas dan berilmu. Tatkala menerima wahyu, Nabi Muhammad ikut aktif

memahami dan kemudian mengungkapkannya.4 Karena itu, menurut Nashr

Hamid Abu Zaid, tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Qur`an adalah

wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (muhammadan text). 5

Ketiga, prinsip gradualisme dan keberangsur-angsuran (al-tanjim) yang

ditempuh al-Qur’an di dalam mencicil ajaran-ajarannya. Kalau kita amati proses

penurunan al-Qur’an sampai dalam bentuknya sebagai ”korpus resmi yang

tertutup”, proses graduasi syari’at sangat terang benderang. Dalam kasus

pelarangan khamr, misalnya, al-Qur’an menurunkan ayat yang berbeda sampai

tiga kali dengan karakter evolutifnya yang khas. Demikian pula dalam formulasi

syari’ah. Cukup beralasan jika dikatakan bahwa formulasi syari’ah,6

sebagaimana sistem perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap

perkembangan umat. Prinsip al-tadrij merupakan indikasi kuat, betapa al-Qur’an

itu tidak hidup di ruang yang hampa sejarah. Al-Qur’an hidup dalam alir sejarah

kemanusiaan yang hawadits. Tuhan berkarya selalu mempertimbangkan

dimensi-dimensi rasional yang mengantarainya, bukan datang berfirman dari

atas bukit tanpa preseden. Bahkan, prinsip al-tadrij bukan hanya berlaku di

dalam agama Islam secara terbatas, melainkan hampir mengena pada seluruh

agama-agama semitik yang lain.

Keempat, sejak turunnya, al-Qur’an telah berdialog dengan realitas.

Banyak sekali peristiwa yang mengiringi turunnya ayat dan yang merupakan

4 Keterlibatan Muhammad SAW dalam hal ini berlangsung dalam dua level. Pertama,

proses pengkalimatannya dalam bahasa Arab. Kedua, penjelasan Nabi Muhammad atas al-Qur`an yang selanjutnya disebut hadits.

5 Lihat wawancara M Taufik Rahman dan Much Nur Ichwan dengan Nashr Hamid Abu Zaid, “Tafsir Tak pernah Berhenti”, dalam Panji Masyarakat No. 30 Tahun I, 10 Nopember 1997, hlm. 12-14.

6 Syari’ah di sini harus dipahami sebagai jalan dari kehendak untuk mengimplementaikan nilai-nilai pokok agama Islam. Sebagai sebuah jalan, syari’at yang dibawa para Nabi dan Rasul selalu berbeda-beda, mengikuti perbedaan ruang, waktu, dan tingkat peradaban umat pengikutnya. Dengan demikian, sebagian syari’at bersifat tentatif dan relatif, sehingga wajar kalau dikemudian hari dianulir kembali oleh syari’at-syari’at yang datang sesudahnya.

Page 5: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 356

jawaban atas pertanyaan umat waktu itu. Sangat sedikit ayat-ayat yang

diturunkan tanpa ada sebab eksternal. Al-Qur’an hadir mengikuti peristiwa-

peristiwa baru yang muncul di tengah masyarakat. Respons yang diberikan

kadang hanya satu potong ayat, atau beberapa ayat, bahkan dalam satu surat al-

Qur’an. Tidak jarang al-Qur’an juga menjelaskan peristiwa khusus yang menjadi

motif kehadirannya. Misalnya, permulaan surat al-Anfal yang menjawab

pertanyaan umat Islam perihal pembagian harta rampasan perang. Atau, seperti

penjelasan al-Qur’an tentang darah haid perempuan yang menyebabkan tidak

bolehnya hubungan seksual dilakukan. Juga respons al-Qur’an yang khusus

menyikapi keangkuhan Abu Lahab dan isterinya. Lengkapnya ayat-ayat itu

berbunyi demikian:

“Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya sekiranya kalian adalah orang-orang yang beriman”. (QS, al-Anfal [8]: 1). Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotor. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari perempuan (isteri) ketika haid. Janganlah kalian mendekatinya hingga perempuan itu suci kembali. Sekiranya mereka telah suci, maka gaulilah mereka seperti yang diperintahkan Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri” (QS, al-Baqarah [2]: 222).

“Binasalah dua tangan Abi Lahab dan sesungguhnya dia pasti binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan begitu pula isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS, al-Lahab [111]: 1-5).

Dengan itu jelas bahwa kehadiran al-Qur’an bersifat kontekstual dan

memiliki relevansi dalam kehidupan masyarakat saat itu. Bahkan al-Qur’an pun

menjadi cermin dari realitas kebudayaan dan hukum-hukum pra-Islam. Jika kita

mengikuti perkembangan al-Qur’an, maka itu berarti juga kita mengikuti

perkembangan hidup Nabi Muhammad dan perkembangan umatnya. Dengan

mempertimbangkan situasi sosio-historis yang menyertai firman Allah tersebut,

maka sungguh terdapat hubungan yang dialektis antara teks al-Quran dan

realitas budaya. Persis di dalam sistem budaya yang mendasarinya ini, al-Qur’an

“terkonstruk” secara kultural dan “terstruktur” secara historis. Meskipun al-

Qur’an diwahyukan oleh Tuhan, secara historis ia telah dibentuk dan secara

Page 6: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 357

kultural dibangun. Bahkan, bisa dikatakan bahwa al-Qur’an datang untuk

membangun dialog dengan masyarakat Arab.

Kalau kita jujur, banyak nomenklatur dan kosa kata al-Qur’an yang

menunjukkan latar lokalitas kehadirannya. Pengambilan contoh binatang unta

sebagai bahan perenungan eksistensial, begitu juga perumpaan surga sebagai

aliran-aliran mata air yang jernih merupakan bukti kuat bahwa lokalitas itu

benar-benar tidak bisa disembunyikan hatta dalam al-Qur’an sendiri. Unta

adalah binatang yang banyak berkeliaran di Arab dan bukan binatang yang

mudah berkembang biak secara sempurna di tempat lain, Indonesia misalnya.

Sementara penggambaran surga dengan mata air di sebuah jazirah yang tandus

dan kerontang jelas merupakan sesuatu yang menggiurkan. Namun, tidak

demikian halnya bagi orang-orang yang hidup di kawasan yang curah hujannya

tinggi. Sekiranya al-Qur’an turun di daerah-daerah beriklim dingin, mungkin al-

Qur’an akan mengambil perumpamaan surga yang berbeda.

Dalam studi Tafsir dan Ulmul Qur’an pun kita akan menemukan

sejumlah ketentuan ajaran dalam Islam yang diambil dari tradisi-tradisi

sebelumnya, baik pada era kenabian sebelumnya yang disebut syar`u man

qablana maupun pada zaman kevakuman kenabian (zaman fatrah). Terhadap

pokok soal ini ada banyak sekali contoh. Dalam kitab-kitab fikih diceritakan

bahwa jabat tangan bukanlah sesuatu yang orisinil dari Islam, melainkan

sesuatu yang dipungut dari sebuah tradisi masyarakat pra-Islam. Ini artinya,

bahwa Islam yang hadir di setiap jengkal bumi selalu merupakan hasil racikan-

dialektik antara wahyu dan tradisi. Tak terkecuali Islam yang ada di Mekah atau

Madinah. Islam Mekah adalah Islam hasil berjumpaan wahyu dengan tradisi

lokal Mekah. Begitu juga Islam yang ada di Madinah. Dengan nalar demikian,

bisa dimengerti jika karakter dan genre ayat al-Qur’an yang turun di Mekah

berbeda dengan ayat yang turun di Madinah.

C. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Rujukan Utama

Dalam paradigma Ilmu Tafsir dan Ushul Fikih klasik selalu dinyatakan

bahwa sumber hukum paling pokok (mashadir ashliyah asasiyah) dalam Islam

secara hirarkis hanya ada empat, yaitu al-Qur’an, hadits, ijma` (konsensus) dan

qiyas (analogi). Sementara mashalat mursalah, istihsan, syar`u man qablana

(syari`at umat atau nabi-nabi terdahulu), `urf (tradisi, kebiasaan), dan yang lain-

Page 7: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 358

lain merupakan deretan sumber pada level sekunder, atau disebut dengan

mashadir taba`iyah. Tentu saja ini sebuah kategori-kategori cerdas saat itu yang

mesti mendapatkan apreasiasi dari umat Islam yang datang kemudian.

Dengan ini, tampak dengan jelas bahwa al-Qur’an kemudian al-Hadits

menempati posisi sentral di dalam hirarki sumber-sumber hukum dalam Islam.

Segala jenis tindakan dan kegiatan harus selalu berada dalam kendali dan

kontrol al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan, sejarah masa kini dan yang akan

datang sekalipun harus juga berada dalam ruang penaklukan kitab al-Qur’an dan

al-Sunnah, kitab mana telah hadir ribuan tahun yang lalu itu. Ini, di samping

karena (terutama) al-Qur’an telah diimani sebagai kitab wahyu dari Allah SWT,

juga karena diyakini bahwa al-Qur’an memiliki daya jangkau yang meliputi masa

lalu (madli), sekarang (hal), dan yang akan datang (mustaqbal). Indikator yang

dengan utuh menggambarkan tesis lama ini adalah ungkapan al-Syafi’i “ falaisat

tanzilu bi ahadin min ahli dini Allah nazilatun illa wa fi kitab Allah al-dalil `ala

sabil al-huda fiha”.7 Bahwa setiap peristiwa yang ada di bumi ini sudah ada

ketentuan hukum (dalil)nya di dalam al-Qur’an.

Lepas dari itu, tidak bisa diingkari bahwa telah terjadi sejumlah paradoks

(ta`arudl bayna al-ayat) di dalam al-Qur’an, yang diklaim sebagai poros dari

seluruh dalil yang lain. Paradoks bahkan bukan hanya antara satu lafaz dan lafaz

yang lain, melainkan juga antara satu gagasan dengan gagasan yang lain dalam

al-Qur’an. Harus diakui, penyelesaian terhadap paradoks lafzhiyah sudah banyak

dilakukan oleh ushul fikih klasik. Bahwa, ketika terjadi ta`arudl antara satu lafaz

dan lafaz yang lain, maka yang mesti dilihat pertama kali oleh seorang mujtahid

adalah bentuk dan karakter dari lafaz yang membentuk ayat-ayat itu. Apakah

lafaz ayat itu dikemukakan dengan lafaz `am, mutlak, dan mujmal? Atau justru

dengan menggunakan lafaz khash, muqayyad, dan mubayyan. Dari sini maka

dilakukanlah takhshish, taqyid, tabyin, hingga naskh. Melalui penanganan

lafzhiyah inilah, menurut ushul fikih, maqashid al-syari’ah dapat ditemukan.8

Penyelesaian metodologis a la ushul fikih klasik itu luar biasa canggih dan detail.

7 Lihat al-Syafi`i, al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hlm. 49. 8 Per istilah, maqashid al-syari`ah yang berarti tujuan penetapan hukum ini

dipopulerkan seorang ahli ushul fikih dari madzhab Maliki, Abu Ishaq al-Syathibi, terutama semenjak beredarnya kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah. Akan tetapi, dari sudut gagasan, sebenarnya poin-poin maqasid al-syari`ah itu sudah pernah dikemukakan oleh ulama ushul fikih sebelumnya seperti al-Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.

Page 8: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 359

Akan tetapi, penanganan terhadap paradoks yang bersifat isu dan

gagasan belum banyak dilakukan. Misalnya, gagasan pluralisme agama dalam al-

Qur’an. Betapa, dalam satu spektrum, pluralisme qur`anik diungkapkan melalui

janji penyelamatan terhadap orang-orang yang beragama selain agama Islam

(QS, al-Baqarah [2]: 62). Sementara pada spektrum yang lain, absolutisme Islam

juga terpampang dengan tegas dalam al-Qur’an. Kontradiksi nyata antara

beberapa ayat al-Qur’an yang mengakui sumber-sumber penyelamatan otentik

lainnya di satu sisi dan ayat-ayat lain yang menyatakan Islam sebagai satu-

satunya sumber penyelamatan di sisi yang lain harus diatasi untuk

memungkinkan tegaknya sebuah tata kehidupan berdampingan secara damai

dengan umat agama lain.

Terus terang, tidak banyak para ulama dan cendekiawan Muslim yang

memiliki perhatian utama untuk coba menyelesaikan gagasan yang kontradiktif

tersebut, baik dengan cara memperbaharui penafsiran maupun dengan

menyusun sebuah metodologi pembacaan baru. Faktanya, hingga sekarang,

sekelompok pemikir Islam yang concern pada gagasan pluralisme agama

biasanya hanya mengutip sejumlah ayat yang mendukung pluralisme agama dan

seringkali melakukan pengabaian bahkan terkesan “lari” dari ayat-ayat yang

menghambat jalan pendaratan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya.

Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama,

para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang secara literal jelas-jelas

mendukung pluralisme agama. Bahkan, para ulama kedua ini kerap

meneriakkan slogan-slogan panas berkaitan dengan eksistensi umat agama-

agama lain. Bertolak dari itu, sebuah gagasan perihal hirarki sumber hukum dalam

Islam perlu ditawarkan. Bahwa maqashid al-syari’ah merupakan sumber hukum

pertama dalam Islam baru kemudian diikuti secara beriringian (ayat partikular)

al-Qur’an dan al-Sunnah. Maqashid al-syari’ah merupakan inti dari totalitas

ajaran Islam. Maqashid al-Syari’ah menempati posisi lebih tinggi dari ketentuan-

ketentuan spesifik-furu`iyah al-Qur’an. Maqashid ini merupakan sumber

inspirasi tatkala al-Qur’an hendak menjalankan ketentuan-ketentuan legal-

spesifik di masyarakat Arab. Maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala

sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur’an itu sendiri. Oleh

karena itu, sekiranya ada satu ketentuan baik di dalam al-Qur’an maupun al-

Page 9: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 360

hadits yang bertentangan secara substantif terhadap maqashid al-syari’ah, maka

ketentuan tersebut mesti ditakwilkan. Ketentuan tersebut bahkan boleh

dibatalkan (naskh) demi logika maqashid al-syari’ah.

Maqashid al-syariah itu bukan hanya digali melalui proses dialektik

antara umat Islam dengan teks al-Qur’an per se, melainkan juga sebagai hasil

dari dialog yang bersangkutan dengan hati nuraninya di satu pihak, dan

interaksi mereka dengan realitas kehidupan di pihak yang lain. Berinteraksi

dengan realitas, berdialektik dengan teks suci, dan dilanjutkan dengan dialog

personal dengan hati nurani secara terus-menerus oleh setiap anak manusia

sepanjang masa kiranya akan melahirkan suatu susunan dan konstruksi

maqashid al-syari’ah yang universal. Maqashid al-Syari’ah sejatinya telah

bertebaran di setiap nurani umat manusia. Bukankah dengan nuraninya,

manusia sudah bisa membedakan antara perkara yang buruk dan yang perkara

yang baik. Perihal ini, Nabi SAW pernah mengatakan istafti qalbak (mintalah

petunjuk pada hati nuranimu). Pandangan Nabi ini kemudian mendapatkan

pengukuhan dari firman Allah SWT. “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha”. Inilah

dalil bahwa maqashid al-syari’ah bukan hanya berada di dalam lipatan teks-teks

suci yang tak bersuara, melainkan justeru terhunjam di kedalaman hati nurani

manusia yang syahdu.

Khazanah ushul fikih klasik telah merumuskan, maqashid al-syari’ah itu

adalah keadilan (al-`adl), kemaslahatan (al-mashlahah), kesetaraan (al-

musawah), hikmah-kebijaksanaan (al-hikmah), dan cintah kasih (al-rahmah),

dan belakangan kemudian ditambahkan dengan pluralisme (al-ta’addudiyah),

hak asasi manusia (huquq al-insan), dan kesetaraan gender. Al-Ghazali

menyatakan bahwa maqashid al-syari’ah itu adalah hak hidup (hifzh al-nafs aw

al-hayah), hak beragama (hifzh al-din), hak untuk berfikir (hifzh al-‘aql), hak

untuk memiliki harta (hifzh al-mal), hak untuk mempertahankan nama baik

(hifzh al-`irdh), dan hak untuk memiliki garis keturunan (hifzh al-nasl). Menurut

al-Ghazali, pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah,

seluruh ketentuan hukum dalam al-Qur’an (Islam) diacukan.9

9 Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz I, hlm.

26

Page 10: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 361

D. Kaidah Tafsir Al-Qur’an Alternatif

Dalam kaitan merancang kaidah penafsiran al-Qur’an yang baru, maka

ada beberapa kaidah yang bisa diajukan, antara lain, adalah sebagai berikut:

1. al-‘Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh

Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid

di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah bukan huruf dan

aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi acuan

adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau

formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang

dituntut untuk memahami konteks--tentu saja bukan hanya konteks personal

yang juz’i-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal.

Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam

pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid

al-syari’ah.

Dalam ulumul Qur’an ditegaskan bahwa hal-hal yang menjadi petunjuk

suatu sabab al-nuzul, di antaranya, pertama, ketika al-Qur’an menjelaskan

sendiri. Misalnya, “mereka bertanya kepadamu” (yas’alunaka), “katakan kepada

mereka” (was’alhum). Kedua, sebagaimana dikatakan sebelumnya, al-Qur’an

langsung menyebut nama dari obyek yang disasarnya seperti penyebutan Abu

Lahab (seperti disebutkan sebelumnya), Zaid (ibn Haritsah). Tentang peristiwa

Zaid ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Dan ingatlah ketika engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid) yang Allah telah karuniakan kebahagiaan dan engkaupun telah pula memberinya kebahagiaan. "Pertahankanlah isterimu (Zainab) dan bertaqwalah kepada Allah, sementara engkau sendiri (Nabi) merahasiakan apa yang ada dalam dirimu yang Allah akan memperlihatkannya, dan engkau (Nabi) takut kepada sesama manusia padahal Allah lebih patut engkau takuti. Maka, setelah Zaid menceraikan dia (Zainab), Kami nikahkan engkau dengannya agar tidak lagi ada halangan bagi kaum beriman untuk (nikah dengan bekas) istri anak-anak angkat mereka, jika mereka (anak-anak angkat) itu telah menceraikan istri-istri mereka. Dan perintah Allah itu pasti terlaksana. Tidak sepatutnya bagi Nabi ada perasaan enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya, sesuai dengan sunnah (hukum) Allah pada mereka yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang sangat pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah orang-orang yang menyampaikan risalat (pesan-pesan suci) Allah; mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut kepada seorangpun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai penghitung. Muhamad bukanlah ayah seseorang (sekiranya tanpa ada keterkaitan biologis) di antara kamu, melainkan dia adalah rasul Allah dan Penutup para Nabi. Allah

Page 11: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 362

Maha Tahu akan segala sesuatu. (QS, al-Ahzab [33]:37-40).

Membaca teks di atas segera tampak bahwa ayat tersebut turun dalam

konteks spesifik, yaitu menyangkut hubungan tiga subyek; Nabi Muhammad,

Zaid (anak angkat Nabi) dan Zainab yang awalnya menjadi isteri Zaid. Tapi

setelah Zainab diceraikan, ia kemudian dinikahi Nabi. Sejak itu, Zaid tak lagi

dipanggil sebagai Zaid ibn Muhammad melainkan Zaid ibn Haritsah (Haritsah

memang ayah kandung Zaid). Belakangan, dari kasus partikular ini, sejumlah

ulama melakukan generalisasi.10 Dengan merujuk pada kaidah al-`ibrah bi

`umum al-lafzh la bi khushush al-sabab (yang menjadi perhatian adalah

keumuman teksnya dan bukan kekhususan sebabnya), para ulama fikih

berkesimpulan tentang; [1]. Anak angkat tak bernasab pada ayah angkatnya.

Seorang anak hanya bernasab pada ayah kandungnya sendiri [2]. Dengan

demikian, sekiranya berkenan, ayah angkat diperbolehkan menikahi mantan

isteri anak angkatnya.11

Penjelasan tersebut sebagai bukti bahwa mengetahui konteks yang

melatari kehadiran al-Qur’an amat diperlukan. Syathibi di dalam al-Muwafaqat

menjelaskan bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan

pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab

sebagai masyarakat Muslim yang menjadi sasaran pertama wahyu.12

Pengetahuan tentang konteks (kontekstuliasasi) tentu bukan untuk konteks itu

sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam

atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-

syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks

10 Tentang generalisasi ini, al-Zamakhsyari dalam penafsiran surat al-Humazah

mengatakan bahwa boleh jadi surat ini turun karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman yang termuat di dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan. Ibnu Abbas pun mengatakan bahwa ayat 5:38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian. Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Juz I, hlm. 450.

Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian; banyak ayat turun berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi untuk menghukumi secara adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraidlah dan Bani Nadhir. Namun, kata Ibnu Taimiyah tidak benar jika dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya berlaku terhadap dua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan fi `Ulum al-Qur’an, hlm. 112.

11 Al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur’an, Jilid VII, hlm. 488-495. 12 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Kairo: Mushthafa Muhammad, Tanpa

Tahun, Juz II, hlm. 12.

Page 12: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 363

kearabannya yang awal (disebut dengan dekontekstualisasi) untuk kemudian

dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu

di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi,

dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja

penafsiran sepanjang masa.

Kaidah al-`Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh yang diajukan di atas

merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-`ibrah bi `umum al-

lafadz la bi khushush al-sabab. Yang berarti bahwa yang harus menjadi

pertimbangan adalah keumuman lafaz, bukan khususnya sebab.13 Ini berarti,

jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada

pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk

merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafaz ( al-

taslim bi `umum al-lafzh) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada

dalam kerangka makna linguistik (fi ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas

Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-

Haqiqah.14

13 Menyangkut kaidah ini, al-Suyuthi memberikan alasan bahwa itulah yang telah

dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, kata al-Suyuthi, dari antara lain ketika turun ayat zhihar dalam kasus Salman ibn Shakhar, ayat li’an dalam perkara Hilal ibn Umayah dan ayat qadzf dalam kasus tuduhan terhadap A’isyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga dapat diterapkan terhadap peristiwa lain yang serupa. Lihat Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Kairo, 1974, hlm. 110.

Al-Zamakhsyari dalam penafsiran surat al-Humazah mengatakan bahwa boleh jadi surat ini turun karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman yang termuat di dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibnu Abbas pun mengatakan bahwa ayat 5:38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian. Lihat al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Kairo: 1970, Juz I, hlm. 450.

Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian, bahwa banyak ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraidlah dan Bani Nazhir. Namun, kata Ibnu Taimiyah tidak benar jika lalu dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya untuk berlaku adil terhadap kedua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan, hlm. 112.

Muhammad Abduh dalam hal ini juga memiliki sikap yang sama, yaitu menekankan universalitas al-Qur`an, karena menurutnya al-Qur`an adalah kitab kemanusiaan yang kekal, pelita hidayah dan petunjuk kepada kebenaran dan sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Lihat Abdullah Mahmud Syathahah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Kairo: 1963, hlm. 48.

14 Nahr Hamid Abu Zaid, al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-`Arabi, 1997, hlm. 155

Page 13: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 364

Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini.

Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan

bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul.

Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan.

Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur’an, maka semakin dekat ia

pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal

al-Qur’an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal

seseorang di dalam memperlakukan al-Qur’an, maka semakin dekat ia pada

ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur’an,

maka jauh ia dari ketakwaan.

Dengan itu, Abu Hamid al-Ghazali pernah mengemukakan beberapa

pokok yang menjadi sumber kegagalan seseorang dalam menemukan makna al-

Qur’an. [1]. Kecenderungan yang terlalu kuat pada huruf dan aksara. Seakan

dengan penyebutan huruf secara benar seperti dalam ilmu Tajwid, maka yang

bersangkutan akan begitu saja bisa menemukan kebenaran; [2]. Terbelengu oleh

pendapat para imam atau ulama yang panutannya; [3]. Pengambilan makna al-

Qur’an dari sudut lahirnya saja seperti yang dikatakan para sahabat dan ulama

berikutnya. Tegas al-Ghazali berkata bahwa barang siapa menafsirkan al-Qur’an

hanya dengan mengandalkan kemampuan berbahasa Arab diyakini akan banyak

mengalami kesalahan (man badara ila istinbath al-ma`ani bi mujarrad al-

arabiyah katsura ghalathuhu).15

Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan

ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan

konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks

didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh

karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak

berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa

makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara

tentang lafaz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan

kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfazh) seperti mengenai `amm-

khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’i-

15 Al-Ghazali, Ihya’ `Ulum al-Din, Juz I, Semarang: Thaha Putera, Tanpa Tahun, hlm. 285-

296.

Page 14: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 365

zhanni merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai

kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata

(`ubbad al-alfazh), semantara kata (lafaz) adalah shanam yu’bad (patung yang

disembah).

Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks

linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki

(maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada

penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut `anhu), yaitu makna yang tak

tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap

makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya

terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah

analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran

teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu

banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan

merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam

pencarian makna obyektif.

Dalam konteks sekarang, pengetahuan dan pemahaman tentang

maqashid al-syari’ah merupakan aspek paling krusial dan vital dalam melakukan

ijtihad. Orang yang mencadangkan diri hanya pada makna lahir ayat atau

penghampiran lafzhiyah serta terikat dengan sabab juz’i suatu ayat dan abai

pada maksud-maksud pensyari’atan hukum eo ipso akan dihadapkan pada

kekeliruan-kekeliruan cukup fatal dalam berijtihad.

Maqashid al-syari’ah menjadi kunci keberhasilan mujtahid dalam

ijtihadnya, karena kepada dasaran tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam

kehidupan umat manusia diacukan. Sedemikian penting konsep maqashid al-

syari’ah, sehingga al-Syathibi mengatakan bahwa mengetahui dan memahami

maqashid al-syari’ah secara utuh dan total merupakan satu syarat dari dua

prasyarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Salah satu dari dua syarat

mujtahid itu adalah memungkinkan untuk melakukan istinbath berdasarkan

pemahaman seseorang kepada maqashid al-syari’ah tadi.16

16 Lihat al-Syathibi, al-Muwafaqat, Juz III, hlm. 105-106. Para ulama berbeda-beda di

dalam memberikan persyaratan-persyaratan bagi seorang mujtahid. Menurut al-Ghazali, seorang mujtahid harus memenuhi dua persyaratan. [a] menguasai jalan-jalan syara’, [b] adil, dalam pengertian menjauhi kemaksiatan. [lihat al-Ghazali, al-Mushtashfa min `Ilm al-Ushul, juz II, hlm.

Page 15: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 366

[2] Jawaz Naskh al-Nushush (al-Juz’iyyah) bi al-Mashlahah

Sesungguhnya syariat (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali

untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan

menolak segala bentuk kemafsadatan (dar’u al-mafasid). Ibnu al-Qayyim al-

Jawziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa

syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan

kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan

kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan

substansi dari seluruh persoalan hukum. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran

para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap

prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.17

Persoalannya, jika acuan hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang

berhak mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk merumuskannya.

Untuk menjawabnya, perlu kiranya dibedakan antara kemaslahatan yang

bersifat individual-subyektif dengan kemashlahatan yang bersifat sosial-

102]. Menurut al-Amidi dan al-Baidlawi, seorang mujtahid harus dua persyaratan, yaitu [a] seorang mukallaf yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, [b] mengetahui jalan-jalan hukum syara’. [lihat al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H./1996 M., hlm. 139]; al-Isnawi, Nihayah al-Saul Syarh Minhaj al-Ushul ila al-Ushul, Bierut: Mathba’ah Shabih, Tanpa Tahun, Juz III, hlm. 244]. Namun, secara detail, sebagian besar ulama mempersyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui; al-Qur`an-al-Hadits, nasikh-mansukh, ijma’, qiyas, bahasa Arab, ushul al-fiqh, maqashid al-Syari’ah. [lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm. 1044-1051]. Adalah al-Syaukani, Jalaluddin al-Mahalli, yang kemudian diikuti Zaki al-Din Sya’ban, Wahbah al-Zuhaili, yang mempersyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui ushul al-Fiqh. [lihat al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 252; al-Mahalli, Syarh Jam’u al-Jawami’, dalam al-Bannani, Hasyiyah al-`Allamah al-Bannani, Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-`Arabiyah, Tanpa Tahun, juz II, hlm. 383; Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta`lif, 1965, hlm. 412-413; Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm, 1048]

17 Ibnu al-Qayyim, I`lam al-Muwaqqi`in `an Rabb al-`Alamin, Beirut: Dar al-Jil, Tanpa Tahun, juz III, hlm. 3. Pandangan ini juga dikemukakan para pemikir terkemuka al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.), Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H.) , Izz al-Din Ibn `Abd al-Salam (w. 660 H.), Najm al-Din al-Thufi (w. 716 H.), Ibnu Taimiyah (w. 728 H.), Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H.), hingga Muhammad bin al-Tahir bin `Asyur (w. 1393 H./1973 M.). Mereka sepakat bahwa sesungguhnya syari’at Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-mafasid). Sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa syari’at Islam dibangun demi kebahagiaan (sa`adah) manusia baik di dunia maupun di akhirat (ma`asy wa ma`ad), sepenuhnya mencerminkan kemaslahatan tadi.

Page 16: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 367

obyektif. Yang pertama adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan

orang per orang yang bersifat independen, terpisah dengan kepentingan orang

lain. Karena sifatnya yang subyektif, maka yang berhak menentukan maslahat

dan tidaknya adalah pribadi yang bersangkutan. Sedang kemaslahatan yang

bersifat sosial-obyektif adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan

orang banyak. Dalam hal ini, maka otoritas yang memberikan penilaian adalah

orang banyak juga melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan

(ijma`). Dan sesuatu yang telah menjadi konsensus dari proses pendefinisian

maslahat melalui musyawarah itulah hukum tertinggi yang mengikat kita. Di

sinilah pemecahan masalah bersama cukup menentukan. Al-Qur’an mengatakan,

urusan mereka dimusyawarahkan (dibicarakan dan diputuskan) bersama di

antara mereka sendiri. (QS: al-Syura, 38). Selanjutnya, terdapat satu pertanyaan ontologis dalam ranah ushul

fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti

dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih

klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi

menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan

mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu

sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia

adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan

Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif.

Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat

kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan

mengimaninya secara sepenuh hati.

Karena itu, sebuah pendirian perlu dikemukakan bahwa maslahat

memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan legal spesifik-

partikular teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush

al-juz’iyyah bi al-mashlahah”.18 Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur’an,

kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks

dengan menganulir beberapa teks yang kurang relevan. Dengan cara ini, cita

kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi teks

18 Dalam ushul fikih dimungkinkan bagi akal manusia untuk menasakh nash yang

disebut dengan nasakh bi al-‘aql. Sebagian ulama juga membolehkan pembatalan hukum dengan qiyas (analogi).

Page 17: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 368

keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks

keagamaan lama.

Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi

pembatalan terhadap sejumlah syariat Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-

mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa

syariat yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa

nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syariat nabi-nabi terdahulu (syar`u

man qablana) saja, melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syariat Nabi

Muhammad sendiri. Betapa syariat Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3

sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak

bermaslahat lagi.

Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu

tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu

ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan

konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui

mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian

karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan

kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fi

Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa

hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syariat-syariat

yang telah ditetapkan Allah Swt.19 Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat

manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya

menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah

fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan

karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik

dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan

itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar

pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji`atun ila

19 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir Ma Baina al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal

aw Wujub al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta’wil, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-`Arabiyah, 1999, hlm. 125.

Page 18: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 369

mashalih al-`ibad” [seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya

kemaslahatan umat manusia].20

Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama--

meminjam bahasa Ibnu al-Muqaffa’ sebagaimana dikutip Adonis21--yang ushul

dengan demikian tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud

pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang fushul

sehingga bisa berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan

peradaban). Sebagai yang ushul, teks-teks agama yang demikian tidak boleh

diubah dan dianulir.

Maka, yang perlu mendapatkan penegasan di sini adalah bahwa nasakh

tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip

ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi

pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini disebut sebagai ayat dengan

kedudukan paling tinggi (al-ayat al-‘ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau

ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan

bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa

dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum baina al-nas an tahkumu bi al-

`adl” [apabila kalin memberikan putusan hukum di antara umat manusia, maka

putuskan dengan penuh keadilan], “I`dilu huwa aqrabu li al-taqwa” [berbuat

adillah karena keadilan itu lebih dekat pada taqwa], dan sebagainya. Naskh

terhadap ayat yang demikian bukan saja bertentangan dengan semangat

kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh

sendiri.

Hassan Hanafi berkata bahwa termasuk ke dalam kategori ayat

fondasional adalah ayat-ayat yang terkait dengan pluralisme agama. Ia berkata,

”al-ta’addudiyah fi al-islam ashl. Wa ahl al-kitab ta’bir ’anha” (pluralisme dalam

Islam adalah pokok, dan istilah ahli kitab yang dikenakan kepada orang Yahudi

dan Nashrani dalam Islam sebagai manifestasi dari ajaran pluralisme itu).

20 Izz ibn Abd al-Salam, Qawa`id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirur: Dar al-Jil, Tanpa

Tahun, Juz II hlm. 72. 21 Sebagaimana dikutip Adonis, Ibnu al-Muqaffa’ berpendapat bahwa al-Qur`an dibagi

menjadi dua bagian, yang ushul (yang pokok) dan yang fushul (yang spesifik). Sayangnya, demikian Ibnu al-Muqaffa`, kebanyakan umat Islam lebih banyak mencari ayat-ayat yang fushul (partikular) dan mengabaikan yang ushul (universal). Lihat Adonis, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda’ wa al-Itba’ ‘inda al-‘Arab, Beirut: Dar al-Saqi, Juz II, hlm. 290

Page 19: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 370

Dengan demikian, menurutnya, ayat-ayat yang mendukung pluralisme yang

fondasional itu tak bisa dianulir oleh ayat-ayat anti pluralisme yang partikular

itu. Ia mencontohkan bahwa ayat yang mengatakan ”orang yang mencari agama

selain islam, maka tak diterima22” tak bisa membatalkan ayat23 ”sesungguhnya

orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang Shabi’ah, orang-orang

Nashrani”. Ia berani berkata bahwa jika Islam memang agama damai, maka ayat

yang menganjurkan perdamaian bisa membatalkan ayat yang menyuruh

peperangan. Jika damai adalah pokok, maka peperangan adalah pengecualian

(wa al-silmu qa’idah wa al-harb huwa al-istisna’). 24

Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur’an yang bersifat teknis-

operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-

ayat al-furu`iyyat atau fikih al-Qur’an, seperti ayat yang berbicara tentang

bentuk-bentuk hukuman (`uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud),

bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk

dinasakh, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk

mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk

terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi

merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam.

Terang-benderang, nasikh-mansukh dalam bidang mu`amalah-

ijtima`iyah tidak berhenti dengan cabutnya Nabi Muhammad dari panggung

sejarah kemanusiaan. Sebagai pelanjut Nabi Muhammad, dengan separangkat

ilmu pengetahuan yang dimiliki, para ulama telah diberi mandat untuk selalu

mengadakan pembaharuan-pembaharuan syari’at melalui aktivitas ijtihadnya.

Dalam mengistinbathkan hukum, di samping mengacu pada cita kemaslahatan di

atas, para ulama juga perlu memperhatikan secara khusus situasi dan kondisi

masyarakat sebagai obyek yang dituju oleh hukum tersebut.25

22Ayatnya berbunyi, “wa man yabtaghi ghair al-islam dinan fa lan yuqbala minhu”

(QS,....). 23 Ayatnya berbunyi, “inna alladzina amanu wa alladzina hadu wa al-shabi’una wa al-

nashara...”. (QS,...). 24Baca Hassan Hanafi, Min al-Naql ila al-Aql: Ulumul al-Qur’an, Beirut: Dar al-Amir, 2009,

hlm. 187-190. 25 Coba simak, beberapa kali khalifah Umar ibn Khathab tidak memberlakukan suatu

hukum, karena dinilai tidak tepat. Sayyidina Umar pernah tidak memotong tangan seorang pencuri yang melakukan tindak pencurian disaat paceklik.

Page 20: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 371

Bahwa pembentukan suatu ketentuan hukum atau ajaran harus selalu

dirujukkan atau mempertimbangkan kondisi-kondisi lokal dan tingkat

peradaban yang dicapai manusia, itu sebuah kebutuhan pokok yang tidak bisa

diingkari. Sebab itu, sebagian ulama mempersyaratkan bagi seorang mufasir

atau mujtahid untuk mengetahui sabab al-nuzul dari sebuah ayat. Memahami

kandungan suatu ayat yang hanya berjangkar pada argumen-argumen

gramatikal26 dengan menepikan peristiwa-peristiwa lokal yang menyertainya

telah terjebak pada logosentrisme bahasa secara penuh. Padahal, dalam

kehidupan ini pada mulanya bukanlah kata, melainkan realitas. Sebuah realitas

dilaporkan dengan menggunakan bahasa. Dengan demikian, bahasa seharusnya

hanya sarana dan bukan tujuan.

[3] Tanqih al-Nushush bi `Aql al-Mujtama’ Yajuzu

Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan

untuk mensortir sejumlah ketentuan “partikular” agama menyangkut perkara-

perkara publik, baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika

terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harafiah teks ajaran, maka

akal publik berotoritas untuk menyempurnakan, memodifikasikan, dan

menunda pelaksanaannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika

berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat `uqubat dan hudud (seperti

potong tangan, dan rajam), qishash, waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut

dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah

kemanusian, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian ayat yang perlu dimaknai

ulang melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-`aql, takhshish bi al-`aql,

dan tabyin bi al-`aql.

Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut

sebagai fikih al-Qur’an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya

26 Sekelompok pemikir yang cenderung memperhatikan makna leksikal pasti akan

mempersyaratkan agar seorang mufassir mengetahi gramatika bahasa Arab. Terhadap prasyarat ini, satu pertanyaan yang bisa diajukan adalah bukankah Nabi Muhammad sendiri seorang yang ummi. Dikisahkan, Nabi Muhammad adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis. Menarik memperhatikan pernyataan Abu Hamid al-Ghazali, “wa kullu syari’atin la tadlharu illa bi lughat, fa yashiru tilka al-lughat alatan li `ilm kitab Allah wa sunnah rasulih. Wa min al-alat `ilmu al-kitabah wa al-khathth, illa anna dzalika laisa dlaruriyyan idz kana al-rasul ummiyan. Baca Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ `Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz I, hlm. 17.

Page 21: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 372

merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung

dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-

ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan,

pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur’an

tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur’an

persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada

perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an.

Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang

berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam

untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada

kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai

kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan

akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau

otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik.

Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan

dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena

pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang

sama.

Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik

yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal

di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah

hakekatnya sama-sama memposisikan akal hanya sebatas alat untuk

membenarkan dan manakwil teks, karena teks adalah pangkal atau asal yang

absolut. Dengan demikian, tak ayal lagi jika akal tidak bisa bergerak terlalu jauh,

kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap ayat-ayat tertentu dalam

al-Qur’an dan al-Sunnah.27 Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan

teks-teks zhanniyat al-Qur’an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi

untuk menakwil ayat-ayat mutasyabih saja. Akal tidak cukup percaya diri untuk

melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang

tergolong qath`iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya.

27 Di lingkungan Mu’tazilah, ayat-ayat al-Qur’an yang banyak ditangani dengan

menggunakan mekanisme takwil adalah sejumlah ayat yang dikenal dengan mutasyabihat. Mu’tazilah tidak berani mempertanyakan ayat-ayat yang sudah dinyatakan sebagai ayat muhkamat atau qath’iyat.

Page 22: MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35819/1... · kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan

ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 373

Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai

sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal

manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara

massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina

beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan

sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan

merendahkan akal sebagai karya agung Allah SWT. Allah menciptakan akal

sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana

tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Dengan agak

sedikit Hegelian, manusia adalah subyek yang bisa menentukan sendiri landasan

nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya. Manusia adalah subyek yang

akan terus bergerak ke depan dan bukan surut ke belakang.

Sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Ia tidak cukup

hanya diperlakukan sebagai pengelola dan alat penafsir terhadap teks.

Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu

mendapatkan wewenang untuk mempertanyakan relevansi dan signifikansi

ketentuan-ketentuan spesifik-legal al-Qur’an. Bahkan, sekiranya dari data

empiris diketahui secara pasti ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam

mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan

ulang ketentuan tersebut. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral-

intelektual untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik pada implemetnasinya

di lapangan.

D. Penutup

Akhirnya, yang dipaparkan itu hanya sebagian kaidah tafsir dan ushul

fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan

metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu ada banyak lagi kaidah

penafsiran yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang

berkompeten. Bahkan, bukan hanya kaidah-kaidah itu yang perlu diperbaharui,

melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan mekanisme kerja

ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, ’urf dan lain-lain. Dengan cara ini,

niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi tafsir al-

Qur’an dan ushul fikih. [..]