metode pembuktian unsur penyalahgunaan wewenang...
TRANSCRIPT
METODE PEMBUKTIAN UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG ATAU PENYIMPANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BERDASARKAN UU TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UU
PERBENDAHARAAN NEGARA
(STUDI KASUS BUPATI MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN)
SKRIPSI
AGUS MURSANDI SARWONO
0598230114
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG PRAKTISI HUKUM
DEPOK
JANUARI 2010
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
METODE PEMBUKTIAN UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG ATAU PENYIMPANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BERDASARKAN UU TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UU
PERBENDAHARAAN NEGARA
(STUDI KASUS BUPATI MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
AGUS MURSANDI SARWONO
0598230114
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG PRAKTISI HUKUM
DEPOK
JANUARI 2010
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Agus Mursandi Sarwono
NPM : 0598230114
Tanda Tangan :
Tanggal : 07 Januari 2010
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
Nama : Agus Mursandi Sarwono
NPM : 0598230114
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Skripsi : Metode Pembuktian Unsur Penyalahgunaan
Wewenang atau Penyimpangan Kebijakan
Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan
UU Tindak Pidana Korupsi dan UU
Perbendaharaan Negara (Studi Kasus Bupati
Musi Rawas Sumatera Selatan)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pembimbing I : Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H. _____________
Pembimbing II : Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H. _____________
DEWAN PENGUJI
Penguji : Chudry Sitompul, S.H., M.H. _____________
Penguji : Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H. _____________
Penguji : Ana Rismanawati, S.H., M.H. _____________
Penguji : Sri Laksmi, S.H , M.H. _____________
Penguji : Junaedi, S.H. , M.Si. , LLM _____________
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 07 Januari 2010
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Allah SWT Yang Mahakasih dan Mahatahu telah
melimpahkan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi berjudul, ”Metode
Pembuktian Unsur Penyalahgunaan Wewenang atau Penyimpangan Kebijakan
Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU
Perbendaharaan Negara (Studi Kasus Bupati Musi Rawas Sumatera Selatan).”
Penulisan skripsi ini dilakukan Penulis untuk mencapai gelar sarjana hukum di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Penulisan skripsi dengan topik ini mengacu pada maraknya kasus yang
membuktikan adanya unsur penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan kebijakan
dalam ketentuan tindak pidana korupsi oleh kepala daerah. Akan tetapi, kasus tersebut
belum memiliki metode yang komprehensif dan standar yang mampu mengantisipasi
terjadinya perluasan penafsiran, sehingga membutuhkan suatu metode pembuktian yang
mampu membahas pendekatan kebijakan (policy) dan wewenang (authority) dalam
kajian hukum pidana dan kajian hukum administrasi negara.
Pada kesempatan ini, izinkan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan pemikiran dan
dorongan semasa penulisan skripsi ini pada khususnya, dan pada masa studi pada
umumnya, yaitu kepada yang terhormat:
1. Bapak Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H., Pembimbing I skripsi yang selalu
mendukung memberikan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini dari segi
subtansi hukum keuangan publik hingga kemudian dapat diuji;
2. Ibu Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H., Pembimbing II yang telah berkenan
meluangkan waktu memeriksa skripsi ini dari segi hukum acara, sehingga
berkenan dapat diuji;
3. Bapak Chudry Sitompul, S.H., M.H., Ketua Bidang Studi Hukum Acara yang
berkenan menyetujui skripsi ini untuk diuji;
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
v
4. Bapak dan Ibu Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia atas segala
pengajaran dan pendidikan materi hukum yang telah diberikan;
5. Bapak dan Ibu Staf Sekretariat Program Ekstensi, Perpustakaan Soediman
Kartodiprodjo, dan Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas
Indonesia atas dukungan data kearsipan akademik, dan bahan penelusuran
skripsi ini;
Rasa terimakasih dengan tulus juga disampaikan kepada semua pihak yang
memberikan dukungan doa kepada penulis, yaitu kepada yang tercinta Isteri dan
orangtua tercinta yang selalu memberikan dukungan doa, semangat, harapan, dan kasih
sayang yang selalu disampaikan kepada penulis. Terimakasih juga disampaikan kepada
seluruh kerabat yang selalu memberikan dukungan untuk studi ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada seluruh teman-teman
Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 1998 yang selama
ini bersama-sama mempelajari ilmu dan pengetahuan hukum hingga selesai yang baru
dapat saya lakukan hari ini. Terimakasih untuk tetap mendorong penulis untuk segera
menyelesaikan studi ini secepatnya.
Akhirnya kepada seluruh pihak yang membantu dan mendorong penulis dalam
menyelesaikan studi ini, hingga penulisan skripsi dan pengujian. Semoga Allah SWT
memberikan balasannya sebagai amalan yang ikhlas.
Depok, Januari 2010
Agus Mursandi Sarwono.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA TULIS ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Agus Mursandi Sarwono NPM : 0598230114 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Program Kekhususan III (Praktisi Hukum) Departemen : - Fakultas : Hukum Jenis Karya : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exlusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya berjudul: ”Metode Pembuktian Unsur Penyalahgunaan Wewenang atau Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Perbendaharaan Negara (Studi Kasus Bupati Musi Rawas Sumatera Selatan),”beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalti nonekslusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peunulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Depok Pada tanggal: 07 Januari 2010
Yang menyatakan
(______________________)
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
vii
ABSTRAK
Nama : Agus Mursandi Sarwono Program Studi : Ilmu Hukum Judul Skripsi : Metode Pembuktian Unsur Penyalahgunaan Wewenang
atau Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Perbendaharaan Negara (Studi Kasus Bupati Musi Rawas Sumatera Selatan).”
Pendekatan hukum pidana sekaligus hukum administrasi negara dibutuhkan untuk mendorong jaksa penuntut umum guna merumuskan suatu metode pembuktian yang komprehensif, sehingga diperoleh kebenaran atas kasus tersebut melalui proses pembuktian yang memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) mengenai apakah suatu hal tertentu sungguh terjadi dan apa yang menjadi penyebabnya. Dalam konteks hukum acara, pembuktian memang merupakan keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur proses pembuktian di depan sidang pengadilan berdasarkan alat-alat bukti menurut undang-undang dan barang-barang bukti yang diperoleh dan ditemukan. Kekuatan hukum Alat Bukti dokumen surat atas Penyalahgunaan Wewenang dan Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan Daerah menurut Undang-undang Tindak Pidana Korupsi adalah sangat penting untuk merumuskan adanya unsur perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan dan perekonomian negara, dalam kasus korupsi di Pengadilan Negeri Mura, Jaksa Penuntut Umum mengambil alat bukti surat dan dokumen pengeluaran uang, tetapi menyatakan ada kesalaham prosedur pemberian uang, yaitu dengan perintah lisan.
Kata kunci: Metode Pembuktian, Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Korupsi.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
viii
ABSTRACT
Nama : Agus Mursandi Sarwono Study Program : Law Title : Judicial Method for abuse of power and incorrect policy
regarding Law of Corruption and Law of Treasury (Case Musi Rawas South Sumatera)
This thesis desribes about criminal law approach and administration law to need for prosecutor to making a comprehensive judicial method on corruption case, although could a right of the case. In contex of criminal law, method of corruption should be using a document to prove a criminal action on corruption as a abuse power and incorrect policy.
Key word: Judicial Method, Abuse of power, Corruption.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............................... vi
ABSTRAK .............................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 6
1.3 Tujuan ................................................................................................. 6
1.4 Kerangka Konsep ................................................................................ 7
1.5 Metode Penelitian ................................................................................ 9
1.6 Sistematika Penulisan .......................................................................... 10
2. TINJAUAN TEORETIS PEMBUKTIAN DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA
2.1 Teori Pembuktian ............................................................................... 12
2.2 Kekuatan Alat Pembuktian Alat Bukti Surat/Dokumen ................... 22
3. PEMBUKTIAN DOKUMEN SURAT DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI
3.1 Pembuktian Dokumen Surat menurut Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ............................... 26
3.2 Pembuktian menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara ....................................................... 29
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
x
3.3 Metode dalam Menentukan Kerugian Negara/Daerah dalam
Kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi Menurut
Hukum Keuangan Publik ................................................................. 33
4. PERKARA ANALISIS HUKUM PEMBUKTIAN
KASUS PENYALAHGUNAAN WEWENANG DAN
PENYIMPANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN MUSI RAWAS
4.1 Posisi Kasus …………………………………….………………… 38
Kekuatan Hukum Alat Bukti Surat atas Penyalahgunaan
4.2 Wewenang dan Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan
Daerah ............................................................................................. 45
4.3 Metode Pembuktian yang dapat menunjukkan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam
hal Terjadinya Penyalahgunaan Wewenang dan
Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah ........... 56
5 PENUTUP
5.1 Simpulan ......................................................................................... 58
5.2 Saran ................................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 60
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Adanya unsur penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan kebijakan dalam
ketentuan tindak pidana korupsi menuntut adanya metode yang komprehensif dan standar
yang mampu mengantisipasi terjadinya perluasan penafsiran. Kecenderungan pentingnya
metode pembuktian tersebut disebabkan kebijakan (policy) dan wewenang (authority)
memiliki makna yang berbeda dalam kajian hukum pidana dan kajian hukum
administrasi negara.
Untuk memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang ini, jaksa penuntut umum
tidak saja mendasarkan pada aspek hukum pidana, tetapi terkait erat dengan ketentuan
dan dasar teoretis dalam hukum administrasi negara, khususnya berkaitan dengan
administrasi keuangan negara/daerah. Di samping itu, pendekatan hukum pidana
sekaligus hukum administrasi negara mendorong jaksa penuntut umum untuk
merumuskan suatu metode pembuktian yang komprehensif, sehingga diperoleh
kebenaran atas kasus tersebut melalui proses pembuktian yang memberikan kepastian
yang layak menurut akal (redelijk) mengenai apakah suatu hal tertentu sungguh terjadi
dan apa yang menjadi penyebabnya.
Dalam kasus tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang termasuk ke
dalam tindak pidana korupsi jika memenuhi unsur lainnya, yaitu yang menimbulkan
akibat menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Di sisi lain, asal 34 ayat
(1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara juga merumuskan
penyimpangan kebijakan kredit (dis-policy) diancam pidana penjara. Di Indonesia,
wewenang atau kebijakan seharusnya dilandasi atas landasan hukum dan instrumen
prosedural yang termuat dalam peraturan perundang-undangan, sehingga wewenang dan
kebijakan tidak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk melakukan
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
2
penyalahgunaan atau penyimpangan.
Akan tetapi, dalam setiap kasus tindak pidana korupsi, sangat bias dalam
membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan kebijakan, sehingga
terpenuhi unsur tersebut dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwanya.”1 Dalam
beberapa kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
dari 7 (tujuh) kasus yang disandarkan pada Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. UU
Nomor 31 Tahun 1999, pembuktiannya sangat bergantung pada persepsi teoretis hukum
pidana, dan tidak didukung dengan persepsi teoretis hukum administrasi negara.2
Padahal, kajian wewenang dan kebijakan berada pada tataran hukum administrasi negara
yang hakikatnya termasuk ke dalam pokok sengketa (fundamentum pretendi) dalam
administrasi negara.
Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan suatu metode yang komprehensif dalam
memahami maksud penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan kebijakan yang
mendalami aspek teoretis hukum pidana dan hukum administrasi negara. Hal ini perlu
dilakukan kajian karena pembuktian adalah titik sentral dalam proses persidangan
pengadilan dan hukum acara peradilan, sehingga kemampuan dan keahlian untuk
membuktikannya harus disandarkan pada metode yang profesional. Berdasarkan segi
yuridis formal, hukum pembuktian merupakan bagian dari hukum acara pidana yang
mengatur jenis alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam
pembuktian, syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim
untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian terhadap hal tertentu.3
1Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, cet. 1, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 2003), hal. 11.
2Ketujuh kasus tersebut adalah kasus yang secara acak dipilih pada 2008-2009 yang melibatkan pejabat daerah berkaitan dengan adanya penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan kebijakan.
3Lihat S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971), hal. 27, dan lihat juga Saleh Basidin, “Aspek Prosedural Pembuktian Hukum Pidana dan Keterkaitannya dengan Hukum Administrasi Negara,” Jurnal Hukum Undip (2003: 11.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
3
Secara konseptual, hukum pembuktian merupakan bagian hukum acara pidana,
sehingga sumber hukum yang utama adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau lazim disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), serta ketentuan dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. UU Nomor 31
Tahun 1999. Akan tetapi, untuk pembuktian dalam hal adanya penyalahgunaan
wewenang dan penyimpangan kebijakan, dalam praktik, apabila menemui kesulitan
dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan, perlu
dipergunakan doktrin dan/atau yurisprudensi hukum administrasi negara untuk
mendukung atau melengkapinya.4
Berdasarkan hukum acara pidana, “pembuktian merupakan ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan
kebenaran.”5 Baik hakim, terdakwa, penuntut umum, maupun penasihat hukum, masing-
masing terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang. Hakim, penuntut umum, terdakwa, dan penasihat hukum tidak dapat
dengan leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam
menggunakan alat bukti, semua pihak tidak dapat bertentangan dengan undang-undang.
Terdakwa tidak dapat leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar
ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang. Hal ini juga terutama untuk majelis
hakim yang menangani perkara harus cermat dan teliti dalam menilai dan
mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukannya selama pemeriksaan
sidang pengadilan.
Salah satu hal yang paling penting dalam pembuktian adalah mengenai
pemeriksaan surat yang terkait dengan pemenuhan unsur penyalahgunaan wewenang dan
penyimpangan kebijakan. Pembuktian adanya unsur tersebut melalui alat bukti surat
4Ibid.,hal. 10. 5Ibid., hal. 23.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
4
seringkali diabaikan oleh jaksa penuntut umum dan majelis hakim untuk melihat ada
tidaknya kebenaran unsur tersebut, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti surat yang
harus disandarkan pada metode administrasi keuangan. Dengan demikian, cara dan
kekuatan pembuktian pada dasarnya melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan
sangat kuat menurut konsep hukum administrasi negara, khususnya administrasi
pengelolaan keuangan. Hal ini jika tidak dapat akan menyebabkan orang yang terbukti
bersalah lepas dan orang yang tidak bersalah mendapatkan ganjaran hukuman akibat
ketidaktelitian dan ketidaktepatan dalam metode pembuktian.6
Dalam konteks hukum acara, pembuktian memang merupakan keseluruhan
ketentuan hukum yang mengatur proses pembuktian di depan sidang pengadilan
berdasarkan alat-alat bukti menurut undang-undang dan barang-barang bukti yang
diperoleh dan ditemukan. Maksud sistem pembuktian adalah:
“suatu sistem untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hasil dan kekuatan yang bagaimana yang dapat dianggap cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan demikian sistem pembuktian adalah sebagai jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati.”7
Adanya metode yang menekankan pada hasil dan kekuatan pembuktian dalam
kasus tindak pidana korupsi pembuktian mengenai adanya penyalahgunaan wewenang
dan penyimpangan kebijakan membutuhkan alat bukti yang paling penting menurut
hukum administrasi keuangan, yaitu alat bukti surat yang menjadi dasar kebenaran
6M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1985), hal. 794. 7Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, cet.12 (Bandung: Sumur Bandung,
1985), hal. 110.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
5
materiil berkaitan dengan pengeluaran uang. Menurut Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 1
Tahun 2004, diatur ”pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang
berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD
bertanggung jawab atas kebenaran materiil dan akibat yang timbul dari penggunaan surat
bukti yang dimaksud.”
Adanya ketentuan tersebut sebenarnya menunjukkan UU Nomor 1 Tahun 2004
memberikan dasar pembuktian menurut undang-undang negatif yang menghendaki alasan
yang disebutkan hanya yang diatur dalam undang-undang sebagai alat bukti (wettelijke
bewijsmiddelen). Dalam sistem pembuktian ini hakim tidak diperkenankan menggunakan
alat bukti lain yang tidak disebut dalam undang-undang dan mengenai tata cara
mempergunakan alat bukti (bewijsvoering) hakim terikat kepada ketentuan undang-
undang. Hal ini berbeda dengan sistem keyakinan hakim atas alasan logis di mana hakim
dalam memakai dan menyebutkan alasan untuk mengambil putusan tidak terikat pada
penyebutan alat bukti dan cara mempergunakan alat bukti dalam undang-undang. Dalam
hal ini hakim leluasa untuk memakai alat-alat bukti lain asal semua dilandasi dengan
dasar alasan yang logis.
Sebagai suatu contoh penerapan ini terjadi pada kasus penyalahgunaan wewenang
dan penyimpangan keuangan yang ditujukan pada Bupati Musi Rawas Provinsi Sumatera
Selatan. Dalam kasus tersebut, jaksa penuntut umum tidak menemukan dokumen materiil
yang dibutuhkan untuk membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang dan
penyimpangan kebijakan dari Bupati atas terjadinya pengeluaran uang bagi anggota
DPRD. Akan tetapi, dalam pemeriksaan penyidikan, penyelidikan, dan dakwaaan,
Bupati dinyatakan didakwa dengan alasan telah melakukan penyalahgunaan dalam
bentuk perintah lisan. Namun, pemberian perintah lisan untuk mengeluarkan uang tidak
disaksikan banyak, hanya dilakukan sekretaris daerah yang kemudian menandatangan
dengan alasan atas perintah Bupati. Dari segi administrasi pengelolaan keuangan daerah,
adanya pengakuan perintah lisan jelas tidak sejalan dengan ketentuan UU Nomor 1
Tahun 2004 di mana perintah lisan tidak dapat menjadi dasar pengeluaran uang, tetapi
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
6
harus memenuhi syarat dan bukti materiil, sehingga uang tersebut dikeluarkan. Jaksa
menyatakan ketentuan administrasi negara, khususnya UU Nomor 1 Tahun 2004 tidak
diperlukan karena kasus ini termasuk dalam lingkup hukum pidana.
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dikaji secara mendalam mengenai
konsep pembuktian surat yang sejalan dengan konsep hukum pidana dan konsep hukum
administrasi negara, khususnya berkaitan dengan aspek hukum pengelolaan keuangan
daerah. Adanya metode pembuktian yang sejalan dengan kebenaran materiil untuk
mencari kebenaran formil dibutuhkan dalam kasus yang salah satu unsurnya mengandung
penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan kebijakan.
1.2 Perumusan Masalah
Dengan adanya metode dalam pembuktian ada tidaknya penyalahgunaan
wewenang dan penyimpangan kebijakan hakikatnya justru dilakukan untuk
menyempurnakan aspek pembuktian yang lebih baik untuk menemukan kebenaran
formil. Berdasarkan persoalan hukum yang disampaikan, penelitian ini akan difokuskan
pada dua permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana kekuatan hukum Alat Bukti dokumen surat atas Penyalahgunaan
Wewenang dan Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan Daerah menurut Undang-
undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Perbendaharaan Negara?
2. Metode pembuktian yang bagaimana untuk menunjukkan adanya penyalahgunaan
wewenang dan penyimpangan kebijakan yang dilakukan kepala Daerah dalam
pengelolaan keuangan daerah?
1. 3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, ada dua tujuan umum
yang melandasi penulisan topik ini yang dimaksudkan guna meningkatkan pemahaman
yang lebih mendalam mengenai aspek pembuktian dalam tindak pidana korupsi,
khusunya yang berkaitan dengan administrasi keuangan daerah. Tujuan pertama yang
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
7
ingin dicapai dalam penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan suatu keterangan atas
suatu fakta hukum mengenai adanya pembuktian atas penyalahgunaan wewenang dan
penyimpangan kebijakan (policy) yang dilakukan salah satu kepala daerah yang
memerlukan kajian analisis. Tujuan kedua adalah melihat dari segi dampak hukumnya
terhadap metode pembuktian yang lebih tepat dari dua ilmu hukum.
Dengan demikian, berdasarkan permasalahan yang telah disampaikan,
pembahasan skripsi ini bertujuan:
1. menjelaskan kekuatan hukum Alat Bukti dokumen surat atas Penyalahgunaan
Wewenang dan Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan Daerah menurut Undang-
undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Perbendaharaan Negara.
2. mengetahui metode pembuktian yang bagaimana untuk menunjukkan adanya
penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan kebijakan yang dilakukan kepala
Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
1. 4 Kerangka Konsep
Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, ada beberapa konsep istilah yang
dikemukakan dan akan dipergunakan guna memberikan keterangan dan mempermudah
pemahaman, yaitu:
1. Alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa.”8
2. Asas legalitas ialah (berarti pengertiannya): “tidak ada perbuatan yang dapat
dipidana tanpa perbuatan itu sebelumnya ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
undang-undang.”9
8Indonesia (1), Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 43, TLN No. 3209, ps. 184 ayat (1).
9J.M. van. Hukum Pidana 1: Hukum Pidana Material Bagian Umum (Jakarta: Binacipta, 1984), hal. 49.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
8
3. Kerugian negara/daerah adalah “kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai.”10
4. Kebijakan adalah ”dasar pedoman pengambilan keputusan berdasarkan prinsip
hukum yang patut.”11
5. Perbuatan (feit) adalah ”suatu perbuatan materiil.”12
6. Mengadili adalah ”serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di
sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.”13
7. Penyalahgunaan wewenang adalah ”perbuatan administrasi negara yang
bertentangan dengan hukum dan karena bertentangan dengan kepentingan umum
(in strijd met het algemeen belang).”14
8. Penyimpangan kebijakan adalah ”pejabat administrasi negara menggunakan
wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum untuk
kepentingan lain yang menjadi dasar wewenang itu.”15
9. keuangan daerah adalah ”semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
10Indonesia (2), Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 1 Tahun 2004, LN No. 14, TLN No. 2351, ps. 1 angka 22.
11Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 78.
12R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 58.
13Indonesia (1), op.cit. , ps. 1.
14E. Utrecht, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ichtiar, 1964), hal. 126.
15Ibid., hal. 125.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
9
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah tersebut.”16
10. Pengelolaan keuangan daerah adalah ”keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah.”17
1.5 Metode Penelitian
Untuk menganalisis dan membahas permasalahan hukum dalam skripsi ini titik
tolaknya diletakkan pada ilmu hukum, khususnya hukum acara pidana yang
bersinggungan pula dengan hukum administrasi negara, khususnya hukum administrasi
keuangan. Pada prinsipnya, keterkaitan topik ini dengan hukum administrasi negara
terletak pada pembahasan yang bersifat menelaah penyalahgunaan wewenang dan
penyimpangan kebijakan.
Apabila dikaitkan pendekatan hukum yang digunakan dalam penelitian ini,
metode penelitian yang digunakan pun mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan
kekhususan sebagai penelitian hukum normatif. Salah satu ciri khas yang muncul dalam
penelitian hukum normatif adalah ketersinggungannya dengan beberapa bahan hukum
primer yang penting, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik yang
dibahas.
Berdasarkan sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang berupaya
memberikan gambaran mengenai metode pembuktian dan aspek hukum kebijakan
(policy) pada administrasi pengelolaan keuangan. Dari segi tujuannya, penelitian ini
merupakan penelitian preskriptif, di mana akan disampaikan dalam penelitian ini saran
16Indonesia (3), Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, PP No. 58 Tahun 2005, LN No. 140, TLN No. 4578, ps. 1 angka 5.
17Indonesia, op. cit., ps. 1 angka 6.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
10
dan analisis hukum terhadap berbagai masalah hukum dalam pembuktian dokumen surat
dalam kasus tindak pidana korupsi.
Dengan mendasarkan diri pada tujuan tersebut, sumber data yang dipergunakan
adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier. Penggunaan data dan bahan hukum tersebut disebabkan penelitian
hukum senantiasa harus didahului dengan penggunaan studi dokumen atau bahan
pustaka. Penganalisisan, pengkonstruksian, dan pengolahan data akan dilakukan secara
kualitatif. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian akan disampaikan dalam bentuk
yang bersifat deskriptif-analitis.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab, yang masing-masing terdiri
atas beberapa sub-bab untuk mempermudah penganalisisan dan pengkonstruksian data.
Penyampaian tulisan akan dilakukan terpisah antara teori dan analisis hukumnya. Berikut
sistematika skripsi ini.
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini menyampaikan gambaran umum yang mengungkapkan latar
belakang permasalahan yang mendasari penulisan skripsi, pokok
permasalahan, tujuan penelitian, kerangka konsep, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab 2 Tinjauan Teoretis Pembuktian Dalam Perkara Tindak Pidana
Akan dibahas mengenai teori pembuktian dan kekuatan Pembuktian Alat
Bukti Surat/Dokumen.
Bab 3 Pembuktian Dokumen Surat Dalam Tindak Pidana Korupsi
Diuraikan pembuktian menurut Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Pembuktian menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
11
2004 Tentang Perbendaharaan Negara, serta metode penentuan kerugian
negara/daerah dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi.
Bab 4 Analisis Hukum Pembuktian Kasus Penyalahgunaan Wewenang Dan
Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah Di Kabupaten
Musi Rawas
Akan diuraikan posisi kasus, kemudian kekuatan hukum alat bukti surat
atas penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan kebijakan pengelolaan
daerah, serta metode pembuktian yang dapat menunjukkan
pertanggungjawaban kepala daerah dalam hal terjadinya penyalahgunaan
wewenang dan penyimpangan kebijakan pengelolaan keuangan daerah.
Bab 5 Penutup
Bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi yang berisi simpulan
dan disertai dengan beberapa saran.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN TEORETIS PEMBUKTIAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
2.1 Teori Pembuktian
Pembuktian merupakan bagian dari proses hukum guna menemukan kebenaran
formil, sehingga hakim dapat memutus perkara sesuatu berdasarkan kecermatan dalam
menilai alat bukti, baik dalam kasus perdata maupun pidana. Pembuktian hakikatnya
merupakan proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan
dengan khusus untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta
atau pernyataan yang disengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh
salah satu pihak dalam proses pengadilan telah benar atau tidak.
Oleh sebab itu, pembuktian menjadi penting dalam proses persidangan, sehingga
fokus utama hukum acara pidana adalah pembuktian guna menemukan kebenaran formil.
Di sisi lain, pembuktian akan mendeteksi dan membuktikan kebenaran dari isi dakwaan
yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum, yang tujuannya adalah untuk memperoleh
kebenaran terhadap:18
a. perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan;
b. apakah telah terbukti terdakwa bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya;
c. tindak pidana apakah yang dilakukan berkaitan dengan perbuatan itu;
d. hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.
Teori hukum pembuktian mengajarkan agar dalam proses pembuktian, alat bukti
yang dipergunakan memenuhi empat syarat, yaitu:19
18Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, cet. 1 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hal. 133.
19Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata) (Bandung: Citra Aditya Bhakti , 2006), hal. 4.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
13
(1) diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti;
(2) reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya;
(3) necessity, yaitu alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu
fakta;
(4) relevance, yaitu alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan
dibuktikan.
Keempat syarat tersebut hakikatnya akan sangat menentukan relevansi dan
obyektivitas kebenaran pembuktian yang dilaksanakan dalam persidangan. Adapun
maksud membuktikan itu sendiri dapat diartikan dengan memberikan kepastian yang
layak menurut akal (redelijk) mengenai:
a. apakah suatu hal tertentu sungguh terjadi;
b. apa yang menjadi penyebabnya.
Adapun yang dimaksud dengan relevansi dan obyektivitas alat bukti disebabkan
alat bukti menjadi sangat menentukan keyakinan hakim dalam mengambil putusan, di
mana jika diterima hakim karena relevan dengan yang akan dibuktikan. Jika alat bukti
tersebut tidak relevan, pengadilan harus menolak bukti semacam itu karena menerima
bukti yang tidak relevan akan membawa risiko tertentu bagi proses pencarian keadilan.20
Proses relevansi pembuktian diperlukan karena pembuktian adalah proses “menyatakan
kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran
peristiwa tersebut.”21
Berdasarkan teori hukum, sumber hukum pembuktian dapat dikatagorikan
menjadi tiga bagian, yaitu “undang-undang, doktrin atau ajaran, dan yurisprudensi.”22
Dalam pembuktian pada hukum acara pidana, sumber hukum yang utama adalah
20Fuady, op.cit., hal. 27.
21Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, cet. 1, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 2003), hal. 11.
22Ibid.., hal. 15.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
14
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazim disebut
sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sementara itu, dalam
praktik, apabila menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan
atau untuk memenuhi kebutuhan, dipergunakan doktrin dan/atau yurisprudensi.23
Berdasarkan hukum acara pidana, “pembuktian merupakan ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan
kebenaran.”24 Dalam menggunakan alat bukti, semua pihak dalam proses peradilan tidak
dapat bertentangan dengan undang-undang, sehingga majelis hakim yang menangani
perkara harus cermat dan teliti dalam menilai dan mempertimbangkan kekuatan
pembuktian yang ditemukannya selama pemeriksaan sidang pengadilan.
Pembuktian dalam hukum acara sebagai “suatu sistem untuk mengetahui
bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang
diperiksa untuk membuktikan kesalahan terdakwa hakikatnya merupakan jalan untuk
berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan
kebenaran sejati.”25 Secara umum teori sistem pembuktian dikenal empat sistem yang
pada dasarnya seperti diuraikan dalam sub-bab berikut ini.
(a) Teori Pembuktian Negatif (Negative Wettelijk Bewijs Theorie)
Teori ini merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif dan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim belaka. Teori
pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan suatu sistem
keseimbangan dalam sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Perumusan
hasil penggabungan tersebut akan mengarahkan, “salah tidaknya seorang terdakwa
23Ibid.,hal. 10. 24Amin, op.cit., hal. 23. 25Prodjodikoro, op.cit., hal. 110.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
15
ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang.”26
Hal ini berarti pembuktian terhadap benar atau salahnya terdakwa ditentukan
berdasarkan keyakinan hakim yang dilandasi pada cara dan alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Cara dan alat bukti yang sah tersebut harus saling mendukung, walaupun
mungkin keyakinan hakimlah yang paling dominan. Terdakwa dapat dinyatakan bersalah
jika kesalahan yang didakwakan kepadanya dibuktikan dengan cara dan alat bukti yang
sah menurut undang-undang sekaligus keterbuktian kesalahan tadi diikuti dengan
keyakinan hakim. Oleh sebab itu, untuk menyatakan salah atau tidaknya terdakwa
menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen,
yaitu:27
1. pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan cara dan dengan alat bukti yang sah
menurut undang-undang;
2. keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas ketentuan cara dan dengan alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
(b) Teori Pembuktian Positif (Positive Wettelijk Bewijs Theorie)
Dalam teori ini keyakinan hakim tidak berperan menentukan salah atau tidaknya
terdakwa karena yang menentukan adalah prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan dalam undang-undang, sehingga undang-undang menetapkan alat bukti
yang dapat dipergunakan oleh hakim, cara hakim menggunakan alat bukti, serta kekuatan
pembuktian alat bukti yang demikian rupa digunakan dalam persidangan.28 Jika alat bukti
tersebut dipergunakan secara sah menurut undang-undang, hakim menetapkan keadaan
26Ibid. 27Ibid., hal. 800.
28Hamzah, op.cit., hal. 56.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
16
sah terbukti, meskipun hakim berkeyakinan bukti itu tidak benar. Teori ini berarti
menuntut hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa
sesuai dengan tata cara berdasarkan undang-undang dan hakim harus mengesampingkan
faktor keyakinannya.Sistem ini menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan
mengikat hakim dengan ketat menurut peraturan perundang-undangan pembuktian yang
ketat.29
(c) Teori Pembuktian Bebas Berdasarkan Alasan yang Logis (Conviction
Rasonnee Bewijs Theorie)
Teori ini merupakan sistem keyakinan hakim berperanan penting, tetapi hakim
dapat menghukum terdakwa apabila telah dinyakini perbuatan yang dilakukan terdakwa
terbukti kebenarannya dan keyakinan tersebut harus disertai alasan dan berdasarkan
rangkaian pemikiran (logika) yang dapat diterima secara rasional. Dengan demikian,
sistem pembuktian ini hakim dituntut untuk dapat menggunakan logika rasionalnya.
Dalam sistem pembuktian ini hakim wajib mengurai dan menjelaskan alasan yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa dan harus benar-benar dapat diterima
akal.30
(d) Teori Pembuktian Subyektif Murni atau Keyakinan Semata-mata
(Conviction La In time)
Teori ini menekankan pembuktian guna menentukan bersalah atau tidaknya
terdakwa hanya dilandasi berdasarkan keyakinan hakim, tidak masalah keyakinan
tersebut diperoleh dari mana. Disadari alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri tidak
membuktikan kebenaran dan tidak menjamin terdakwa melakukan perbuatan yang
29Sebagaimana dikutip dalam Bemmelen, op.cit., hal. 67. 30Sasangka dan Rosita, op. cit., hal. 15.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
17
didakwakan. Teori ini memungkinkan pemidanaan tanpa didasarkan pada alat bukti
dalam undang-undang dan hakim mempunyai kebebasan penuh dengan tidak diawasi
sama sekali. Dengan demikian, sulit diawasi dan memungkinkan bagi hakim untuk
menyebutkan apa saja yang menjadi dasar keyakinannya. Hakim hanya mengikuti hati
nuraninya dan semua bergantung pada kebijaksanaan hakim dan terkesan hakim sangat
subjektif dalam menentukan terdakwa bersalah atau tidak.31
Dalam hukum pembuktian juga ditentukan siapa beban pembuktian (burden of
proof, burden of producing evidence) yang harus diletakkan. 32 Hukum sangat
menentukan secara langsung beban pembuktian tersebut untuk maksud mencapai
kebenaran formil dalam sidang. Dengan demikian, dalam menentukan beban pembuktian,
hukum haruslah hati-hati dan adil dalam penerapannya, sehingga akan secara optimal
mendekati kebenaran formil. Beban pembuktian sebagai ”suatu penentuan oleh hukum
tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan di pengadilan,
untuk membuktikan dan menyakinkan pihak mana pun mengenai fakta tertentu.”33
Beban pembuktian sebagai kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk
membuktikan suatu fakta di depan hakim yang sedang memeriksa perkara itu, yang
terdiri dari beban pembuktian biasa yang digunakan dalam kasus pidana biasa/umum,
yang berlaku asas hukum pidana umum, yaitu siapa yang mendalilkan atau menuduh,
diwajibkan membuktikannya. Oleh sebab itu, beban pembuktiannya berada di pihak
penyidik pada tahap penyidikan dan di pihak penuntut umum pada tahap persidangan
pengadilan, yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan tersangka atau
terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian dan Pasal 52 KUHAP yang menyatakan
“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa
berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.”
31Ibid., hal. 110.
32Fuady, op.cit., hal. 45.
33Ibid., hal. 45.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
18
Berdasarkan Penjelasan Pasal 52 KUHAP tersebut penerapan pembuktian
tujuannya agar pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang, sehingga
tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah
adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.34 Hal ini berarti dalam
tindak pidana umum, pihak yang mendalilkan atau menuduh dikenakan beban
pembuktian.
Sementara itu, dalam tindak pidana khusus lazim digunakan beban pembuktian
terbalik, di mana tersangka atau terdakwa yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah
atas perbuatan yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Seluruh beban pembuktian
merupakan kewajiban terdakwa. Hal ini berarti dalam hal ini penuntut umum mendakwa
seseorang terdakwa, menjadi kewajiban terdakwa untuk dapat membuktikan dirinya tidak
bersalah. Terdakwa akan dinyatakan bersalah apabila dakwaan yang dituduhkan
kepadanya dapat dibuktikan secara hukum. Beban pembuktian terbalik merupakan suatu
bentuk penyimpangan asas hukum pidana yang berlaku universal, yaitu siapa yang
menuduh, maka dia yang harus membuktikan. Mengingat penyimpangan terhadap asas
umum yang berlaku universal tersebut, beban pembuktian terbalik ini apabila digunakan
harus dengan sangat hati-hati karena konsekuensinya terdakwa juga diberikan hak untuk
membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan untuk
menciptakan keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tidak bersalah (presumtion of
innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination) dengan perlindungan
hukum yang wajib diberikan kepada setiap orang.
Juga terdapat beban pembuktian biasa dan beban pembuktian terbalik murni di
mana terdakwa maupun penuntut umum memiliki kewajiban untuk membuktikan atau
beban pembuktian dibebankan kedua pihak. Penjelasan Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun
34 Ketentuan Pasal 52 KUHAP ini berkaitan dengan prinsip universal tentang non-self incrimination tersangka atau terdakwa (hak tersangka atau terdakwa untuk tidak mempersalahkan dirinya sendiri) di mana hal ini ditunjang oleh Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menentukan keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
19
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hakikatnya menentukan
pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yaitu terdakwa mempunyai
hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan mengenai seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau
suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 diatur apabila
terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa, “terdakwa tidak melakukan tindak pidana
korupsi,” hal tersebut tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi. Hal ini
disebabkan penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya di
mana kebijakan tersebut merupakan konsekuensi logis berlakunya beban pembuktian
terbalik yang terbatas atau berimbang.
Terlepas pada beban pembuktian apapun, proses pembuktian dalam hukum acara
pidana sangat berat dan membutuhkan keyakinan yang besar, sebagaimana diatur dalam
Pasal 183 KUHAP yang menyatakan:
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Adanya ketentuan tersebut menjelaskan teori hukum pembuktian menyatakan tidak setiap
fakta dalam acara pidana harus dibuktikan dengan tingkat pembuktian yang tinggi. Untuk
fakta-fakta tertentu yang bersifat nyata dan terang, pembuktian tidak membutuhkan
proses pembuktian yang sangat berat. Dalam teori dinyatakan adanya tingkat
keterbuktian suatu proses pembuktian dalam sistem hukum Indonesia hanya dikenal dua
tingkatan, yaitu (a) tingkat keterbuktian secara keperdataan dan (b) tingkat keterbuktian
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
20
yang lebih kuat, yakni tingkat keterbuktian secara sah dan menyakinkan yang umumnya
diterapkan dalam hukum pidana.35
Relevansi dan pentingnya pembuktian mengidentifikasikan pembuktian sebagai
“ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang dzidakwakan kepada
terdakwa.”36 Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP, yaitu didasarkan pada
Pasal 183 KUHAP yang menganut asas pembuktian menurut undang-undang secara
negatif.37 Hal ini disebabkan bersalah atau tidaknya seseorang melakukan tindak pidana
harus didasarkan pada kesalahannya dan terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan tindak pidana tersebut benar-
benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Adapun alat-alat bukti yang dipergunakan dalam KUHAP ditentukan dalam Pasal
184 KUHAP, yaitu:
a. keterangan saksi, yaitu semua dapat menjadi saksi kecuali yang ditentukan pasal
186 KUHAP yang meliputi keluarga, saudara atau suami dan isteri terdakwa. Saksi
disumpah terlebih dahulu, kecuali ditentukan pasal 171 KUHAP, yaitu anak di
bawah umur 15 tahun dan belum pernah kawin serta orang yang sakit ingatan atau
sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Bila tidak disumpah, keterangan
saksi hanya merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Keterangan saksi bukanlah termasuk sebagai keterangan yang diperoleh dari orang
lain (testimonium de auditu).
b. keterangan ahli, yaitu yang didasarkan pasal 183 KUHAP yang merupakan
“pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah
35 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid 1 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hal. 47.
36Ibid., hal. 793.
37Ibid., hal. 801.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
21
dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.”38 Keterangan
ahli berbeda dengan keterangan saksi, mengingat keterangan ahli dapat berbentuk
tertulis sebagaimana visum et repertum.
c. Surat, yaitu yang diatur dalam Pasal 187 KUHAP di mana ditentukan secara
limitative yang dimaksud dengan surat meliputi:
1. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
2. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
3. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi
daripadanya;
4. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
d. Petunjuk, yaitu ditentukan dalam pasal 184 KUHAP yang merupakan alat bukti
sebagai inovasi dalam hukum acara pidana. Petunjuk dalam hal ini
adalah, ”perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”39
e. keterangan terdakwa, yaitu tidak hanya berupa pengakuan, tetapi juga penyangkalan,
ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan.
38Hamzah, op.cit., hal. 281.
39Ibid., hal. 286.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
22
2.2 Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat/Dokumen
KUHAP menyatakan alat bukti surat yang diatur dalam Pasal 187 adalah surat
sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, yang dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dan padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
KUHAP tidak menjelaskan hubungan alat bukti surat dalam hukum perdata dan
hukum pidana. Dalam HIR dan Ned. Sv. yang lama ditentukan ketentuan mengenai
kekuatan pembuktian dari surat-surat umum maupun surat-surat khusus di dalam hukum
acara perdata berlaku juga di dalam penilaian hukum acara pidana mengenai kekuatan
bukti surat. Akan tetapi, dalam Ned. Sv. yang baru tidak lagi mengatur hal demikian
karena hakim yang harus kecermatan dalam mempertimbangkan bukti berupa surat.
Dalam hal ini KUHAP juga tidak mengatur ketentuan tersebut, sehingga hakim yang
diserahkan pertimbangan dalam menilai alat bukti surat. Dalam hal ini hanya akta otentik
yang dapat dipertimbangkan, sedangkan surat di bawah tangan seperti dalam hukum
perdata tidak dipergunakan lagi dalam hukum acara pidana.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
23
Namun, sesuai dengan Pasal 187 butir d, surat di bawah tangan ini masih
mempunyai nilai jika ada kaitannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Misalnya,
keterangan saksi yang menerangkan saksi telah menyerahkan uang kepada terdakwa.
Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti di samping sehelai surat tanda terima
(kuitansi) yang ada kaitannya dengan keterangan saksi mengenai pemberian uang kepada
terdakwa, cukup sebagai bukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187
butir d KUHAP.
Kekuatan alat bukti surat dewasa ini juga berkembang ke arah pembuktian
elektronik, di mana surat tidak hanya berbentuk hardcopy, tetapi juga softcopy. Sesuai
dengan asas the best evidence rule yang menyatakan suatu pembuktian terhadap isi
subtansial dari suatu dokumen/fotografi harus dilakukan dengan membawa ke
pengadilan. 40 Adanya dokumen tersebut hakikatnya merupakan penatalaksanaan
berkaitan dengan fakta yuridis yang akan disampaikan. Menurut teori hukum, dokumen
termasuk sebagai alat bukti surat yang berkepentingan dengan pembuktian guna
mencapai kebenaran materiil yang akan dipenuhi, misalnya dokumen keuangan yang
sangat menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam pengeluaran uang dan/atau
penerimaan barang. Secara konseptual, alat bukti surat membutuhkan otentisitas atau
keaslian yang membuktian suatu dokumen atau surat memenuhi keberadaannya dan
keasliannya. Dalam hal ini, para pihak memberikan dasar keaslian atas alat bukti surat
dengan maksud menyakian hakim mengenai terpenuhi atau tidaknya mengenai unsur
yang melawan hukum.
Dalam dokumen atau surat yang bersifat ditandatangani, menjadi penting karena
tanda tangan akan sangat berarti menentukan keabsahan dan juga pihak yang
bertanggung jawab. Secara konseptual, tandatangan dibutuhkan sebagai identitas para
pihak, mengkaitkan dengan isi dan dokumen, memberikan kepastian mengenai telah
40Fuady, op.cit., hal. 152.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
24
terlibatnya atau tidak dalam suatu perbuatan yang dinyatakan dalam surat, serta
menunjukkan tempat keberadaan dokumen surat tersebut.41
Berkaitan dengan syarat hukum yang menghendaki tandatangan dalam suatu
dokumen atau surat, hal ini sangat penting pada dokumen penerimaan dan pengeluaran
keuangan yang membutukan validasi atau keabsahan dari pihak yang diberikan beban
untuk itu. Dalam pengeluaran keuangan negara/keuangan daerah misalnya jelas
dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (2), yaitu:
”Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran manteriil dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.”42
Adanya ketentuan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu surat bukti yang
ditandatangani merupakan alat bukti surat yang bersifat surat yang dibuat menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal
hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Kedua, surat
pengeluaran uang termasuk bukti formil yang menentukan pula siapa yang bertanggung
jawab dan memiliki akibat untuk itu. Dengan demikian, secara yuridis, ketentuan
peraturan perundang-undangan pengelolaan keuangan negara juga merumuskan
pertanggungjawaban berkaitan dengan pihak yang menandatangani dokumen atau alat
bukti tersebut. Pertanggungjawaban ini dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 dinyatakan, ”Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang
terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang
41Fuady, op.cit., hal. 158.
42Indonesia (2), op.cit., ps. 18 ayat (3).
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
25
tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD/APBN/Peraturan Daerah tentang APBD
diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Aturan tersebut menjelaskan maksud rumusan pertanggungjawaban pidana berkaitan
dengan pengeluaran uang atas beban APBN/APBD berdasarkan kebijakan akan menjadi
tanggung jawab pimpinan lembaga atau daerah. Namun, undang-undang juga
merumuskan penandatangan atas dokumen menjadi penting karena peraturan perundang-
undangan menghendaki adanya alat bukti surat atau dokumen yang bersifat materiil yang
akan menentukan siapa yang bertanggung jawab.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB 3
PEMBUKTIAN DOKUMEN SURAT DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
3.1 Pembuktian Dokumen Surat menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Dalam pembuktian perkara korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi
hakikatnya sama dengan proses pembuktian di pengadilan pada umumnya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 26 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20
Tahun 2001 jo. UU Nomor 31 Tahun 1999) yang menyatakan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana
yang berlaku.43 Akan tetapi, UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. UU Nomor 31 Tahun 1999
menentukan beberapa hal khusus yang berkaitan dengan pembuktian, misalnya Pasal 27
yang menyatakan jika tindak pidana korupsi mengalami kesulitan dalam pembuktiannya,
dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi jaksa agung. Menurut Penjelasan Pasal 27
UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. UU Nomor 31 Tahun 1999, maksud ”tindak pidana
korupsi yang sulit pembuktiannya,” merupakan tindak pidana korupsi di bidang
perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan, dan industri, komoditas berjangka,
atau di bidang moneter dan keuangan yang:
a. bersifat lintas sektoral;
b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih;
c. dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai penyelengga negara
sebagaimana ditentukan UU Nomor 28 Tahun 1999.
43 Tim YLBHI Surabaya, Hukum Acara Pidana dan Tindak Pidana Korupsi dalam Diskusi (Surabaya: LBH Surabaya dan PT Bina Ilmu Surabaya, 2002), hal. 3.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
27
Dalam hal pembuktian dokumen surat lazimnya dilakukan untuk membuktikan
unsur melawan hukum dan unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Misalnya dalam Pasal 29 dinyatakan dapatnya penyidik dan hakim meminta keterangan
kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Selain itu, Pasal 30 UU
Nomor 20 Tahun 2001 jo. UU Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan kemungkinan adanya
pembuktian adanya dugaan melawan hukum dengan cara ”membuka, memeriksa, dan
menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat yang dicurigai
mempunyai hbuungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.44
Secara teoretis, pembuktian terhadap dokumen surat pada delik korupsi memiliki
karateristik dalam membuktikan unsur melawan hukum dan merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Hal yang khusus dan melekat dalam delik korupsi inilah yang
mendorong pembuktian terhadap alat bukti dokumen bersifat khusus dalam penegakan
tindak pidana korupsi, yang berbeda dengan penegakan tindak pidana lain.45
Pembuktian dokumen surat pada tindak pidana korupsi lebih menekankan pada
pembuktian dalam hukum pidana formal korupsi yang berbeda dengan hukum pidana
formal umum, yaitu menekankan pada adanya bukti permulaan yang cukup dari auditor
mengenai adanya dugaan kerugian keuangan negara. Hal ini tentu berdasarkan sistem
pembuktian terbalik (Pasal 37 jo 12B ayat (1) huruf a), “terdakwa berhak untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan pada
ayat (2) pasal itu menyatakan bahwa “dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.” Dengan
demikian, terdakwa menunjukkan tiadanya kekurangan uang, surat, atau surat berharga
akibat perbuatan melawan hukum.
44A. Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Arikha Media, 2006), hal. 191.
45Ibid., hal. 229.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
28
Dalam kasus tindak pidana korupsi, beban pembuktian untuk menyampaikan
adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dibuktikan Jaksa Penuntut
Umum dengan menyampaikan dokumen surat adanya audit (pemeriksaan) terhadap kasus
tersebut yang diduga melibatkan tersangka atau terdakwa.46 Oleh sebab itu, terdakwa
perlu membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana dengan
menyampaikan surat yang berbeda dengan surat yang dinyatakan Jaksa Penuntut Umum.
Sistem pembuktian ini sesuai dengan prinsip umum pembuktian, yaitu siapa yang
mendakwakan sesuatu secara in casu Jaksa Penunut Umum yang dibebani kewajiban
untuk membuktikan kebenaran yang didakwakannya.
Sistem pada hukum pidana khusus menekankan pembebanan pembuktian terbalik
sesuai dengan Pasal 37 ini diterapkan dengan bukti surat. Sistem pembuktian terbalik
menurut Pasal 37 diterapkan pada tindak pidana selain yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3,
4, 14, dan 15, UU Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 UU Nomor
201 Tahun 2001. Hal ini karena bagi tindak pidana menurut pasal yang disebutkan tadi
pembuktiannya membutuhkan pembuktian atas dokumen surat.
Kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan mengenai harta kekayaanya
juga membutuhkan pembuktian dokumen surat, yaitu apabila terdakwa tidak dapat
membuktikan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya, ketidakdapatan
membuktikan ini digunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada, yaitu terdakwa
telah melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan
dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi atau perkara pokoknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 14, dan 16 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 5,
6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 UU Nomor 20 Tahun 2001, penuntut umum tetap wajib
membuktikan dakwaannya atau membuktikan terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi. Sistem pembuktian yang demikian ini, dapat disebut dengan sistem semi terbalik,
46Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 57.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
29
tetapi tidak tepat disebut dengan sistem terbalik murni. Hal ini disebabkan tindak pidana
korupsi tersebut terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan tidak melakukan
korupsi, yang apabila tidak berhasil, keadaan tidak berhasil itu dipergunakan untuk
memberatkannya. Namun, begitu jaksa juga tetap berkewajiban untuk membuktikan
terdakwa melakukan tindak pidana korupsi.
3.2 Pembuktian menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara
Pembuktian menurut UU Nomor 1 Tahun 2004 mendasarkan pada ketentuan
mengenai surat yang harus ditandatangani oleh pihak yang memiliki kewenangan.
Menurut beberapa peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kedudukan keuangan
daerah, kepala daerah mempunyai kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
juga pada Pasal 5 ayat (2) PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan keuangan
Daerah, yang menggantikan PP Nomor 105 Tahun 2000, kewenangan kepala daerah
sebatas pada pengambilan kebijakan yang bersifat makro atas anggaran dan barang dan
menetapkan pejabat yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah.47 Kewenangan
kepala daerah tersebut dibuktikan dengan beberapa dokumen formal keuangan daerah
berupa peraturan daerah yang mengatur anggaran pendapatan dan belanja daerah,
dokumen plafon anggaran daerah, dan dokumen persiapan anggaran berjalan. Semua
dokumen tersebut merupakan bukti surat bagi kepala daerah dalam pengeluaran keuangan
daerah.48
47 Dian Puji N. Simatupang (a), “Beberapa Kewenangan Kepala Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah,” (Makalah yang disampaikan dalam Rapat Kerja Kepala Daerah se-Sumatera di Palembang, 23 Oktober 2007), hal. 2.
48Hal ini diatur dalam peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan keuangan daerah, yang terakhir diatur dalam PP Nomor 58 Tahun 2005.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
30
Akan tetapi, dalam wewenang pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah tidak
memiliki kewenangan langsung dalam pengeluaran uang karena kekuasaan kepala daerah
dalam kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja
pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola keuangan daerah yang bertindak
sebagai bendahara umum daerah, yang menurut Pasal 5 ayat (4) PP Nomor 58 Tahun
2005 dijabat oleh Sekda.49 Aturan tersebut mengatur siapa yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan pengelolaan uang, termasuk di dalamnya pengeluaran uang daerah di mana
secara hukum ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, dan UU Nomor 1 Tahun 2004, dan
PP Nomor 58 tahun 2005 menegaskan adanya pelimpahan kekuasaan berupa delegasi
dari kepala daerah kepada sekda untuk melaksanakan pengelolaan keuangan. Hal ini
berarti dokumen yang ditandatangani oleh kepala daerah adalah sebatas pada kebijakan
makro keuangan daerah berdasarkan APBD, tetapi tidak mendasarkan pada teknis
pengeluaran uang.50
Dalam perspektif hukum administrasi negara, kepala daerah memang tidak
memiliki kewenangan tertulis dalam bentuk dokumen penandatanganan pengeluaran
uang, kecuali yang bersifat makro, yaitu kebijakan anggaran saja. Dengan demikian,
dokumennya hanya sebatas pada dokumen APBD sebagai bentuk pertanggungjawaban
anggaran yang dilakukan pemerintah daerah. Namun, untuk pengelolaan secara teknis,
kepala daerah melimpahkan wewenang secara delegasi tanggung jawab yang ada di
kepala daerah kepada sekda. Dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2004, garis pedoman
pengelolaan keuangan negara dan daerah di Indonesia menganut sifat delegasi di mana
kepala pemerintahan mendelegasikan kepada pejabat yang melaksanakan tanggung jawab
bidang pengelolaan anggaran tersebut yang bertindak sebagai bendahara umum
49Simatupang (a), op.cit., hal. 4.
50Ibid.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
31
negara/daerah. Misalnya Presiden kepada Menteri Keuangan sebagai bendahara umum
negara dan kepala daerah kepada sekda sebagai bendahara umum daerah.51
Dalam kedudukannya sebagai bendahara umum daerah, kewenangan yang
dimiliki sekda antara lain menyusun kebijakan dan pedoman APBD, mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran, pengendalian pelaksanaan APBD. Di sisi lain, Sekda
juga berkedudukan sebagai pejabat pengguna anggaran yang tugasnya harus menguji atas
adanya pengeluaran. Dengan demikian, bukti surat yang diperlukan dalam pengeluaran
uang berada di tangan Sekda dan bukan pada kepala daerah sebagai pelaksana kebijakan
secara makro. Hal ini menunjukkan bukti surat bagi pengeluaran uang secara materiil
diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 menganut sistem pembuktian materiil dengan
menetapkan beberapa bukti surat untuk pencairan uang, yaitu:52
a. kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam
perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan berdasarkan surat otorisasi atau
keberadaan uang;
Apabila melihat rangkaian proses pengeluaran uang, khususnya dalam
pengelolaan keuangan daerah, pengeluaran uang tidak dapat dilakukan pejabat pengelola
keuangan daerah dengan dasar petunjuk atau lisan pejabat tertentu, sehingga dibutuhkan
adanya surat dokumen terhadap pengeluaran uang. Petunjuk atau ucapan lisan tidak dapat
menjadi dasar pengeluaran uang, pejabat pengelola anggaran dalam lingkup manapun
harus menjadikan bukti surat berupa dokumen pelaksanaan anggaran sebagai dasar
pengeluaran uang. Adanya dokumen pun harus diuji atas beban uang tersebut dan
memerintahkan pembayaran. Dengan kata lain, pejabat pengelolaan keuangan daerah dan
51Ibid., hal. 7.
52Indonesia (2), op.cit., ps. 27
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
32
pengguna anggaran harus menguji kebenaran material surat-surat, dan tidak dapat atas
dasar petunjuk oleh siapapun.53
Perintah lisan kepala daerah kepada pejabat pengelola keuangan daerah atau
pejabat pengguna anggaran atau bendaharawan tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk
pengeluaran uang atau pembayaran uang. Pejabat pengelola keuangan daerah atau
pengguna anggaran tidak dapat menjadikan perintah lisan sebagai dasar pengeluaran uang
karena UU Nomor 1 Tahun 2004 menetapkan adanya bukti materiil berupa surat sebagai
pencairan dana. Setiap pengeluaran uang terkait dengan dokumen pelaksanaan anggaran
yang telah disahkan, dan pengguna anggaran harus menguji kebenaran materiil atas surat
bukti, meneliti kebenaran dokumen dan syarat kelengkapan lain, meneliti tersedianya
dana, sebelum membayarkan. Secara yuridis, pejabat pengelola keuangan daerah dan
pengguna anggaran bertanggung jawab jika proses pengujian tidak dilakukan, hingga
dilakukan pembayaran.54
Pejabat yang menandatangani dokumen yang berkaitan dengan tindakan
pengeluaran uang tanpa adanya bukti materiil yang cukup menurut Pasal 18 ayat (3) UU
Nomor 1 Tahun 2004 jelas menyatakan pejabat yang menandatangani dan atau
mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan bukti atau dasar pengeluaran uang atas
beban APBD bertanggung jawab atas kebenaran materiil dan akibat yang timbul atas
penggunaan dokumen tersebut. Dengan demikian, UU Nomor 1 Tahun 2004 tidak
mengenal perintah lisan sebagai dasar pengeluaran uang, kalau pun ada, bendahara umum
daerah harus meneliti, menguji kebenaran, dan menguji ketersediaan dana sebelum
dikeluarkan.
Jika tidak memenuhi syarat, Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004
mensyaratkan bendahara umum menolak pengeluaran dana, dengan alasan tidak
53Dian Puji N. Simatupang (b), “Beberapa Aspek Hukum Administrasi Negara berkaitan dengan Kewenangan Pengelolaan Keuangan Daerah,” (Paper dalam Diskusi dengan DPRD Jawa Timur, 22 Agustus 2008), hal. 2.
54Ibid.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
33
terpenuhinya bukti materiil yang cukup untuk pengeluaran uang. Selain itu, diatur dalam
Pasal 65 ayat (3) huruf e PP Nomor 58 Tahun 2005 yang menyatakan Bendahara Umum
Daerah, yaitu Sekda wajib menolak adanya permintaan uang tanpa bukti dokumen yang
mencukupi. Bendahara Umum Daerah bertanggung jawab secara pribadi atas
pembayaran yang dilaksanakannya jika mengabaikan persyaratan bukti materiil yang
cukup tersebut. Sementara itu, jika ada keputusan kepala daerah tentang otorisasi
anggaran belanja daerah hanyalah menunjukkan peran kepala daerah dalam pencairan
pengeluaran uang tidak termasuk dalam fungsi pembuktian uang, tetapi lebih pada
merupakan dokumen yang menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan suatu
kegiatan yang nanti akan menjadi dasar penerbitan surat permintaan pembayaran. Surat
keputusan kepala daerah bukan menjadi dasar pengeluaran uang, karena pengeluaran
uang harus diuji terlebih dahulu dengan bukti materiil, yang kemudian diuji oleh pejabat
pengguna anggaran. Sesuai dengan kewenangannya, Sekda selaku bendahara umum
daerah menguji dan melakukan penelitian atas kebenaran materiil dan menyampaikan
surat penolakan jika memang pengeluaran itu tidak sesuai dengan ketentuan, dan tidak
menandatangani dokumen tersebut demi kepentingan hukum.55
3.3 Metode dalam Menentukan Kerugian Negara/Daerah dalam Kaitannya
dengan Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum Keuangan Publik
Metode kerugian keuangan negara berdasarkan hukum keuangan publik adalah
didasarkan pada perhitungan yang jelas dan pasti dan dilakukan oleh suatu badan yang
berwenang untuk melakukan hal itu, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menurut
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa
Keuangan. Menurut Pasal 1 angka 10 UU Nomor 1 Tahun 2004, kerugian negara adalah
“kekurangan uang, barang, dan surat berharga yang jelas dan pasti sebagai akibat
55Lihat PP Nomor 58 Tahun 2005.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
34
perbuatan melawan hukum dan/atau kelalaian.”56 Dengan kata lain, perhitungan kerugian
keuangan negara harus bersandarkan pada metode yang jelas dan pasti, baik karena
adanya perbuatan melawan hukum atau karena kelalaian administrasi.
Menurut teori hukum keuangan publik, kerugian negara harus mendasarkan pada
dua pemeriksaan yang saling berkaitan dan komprehensif, yaitu pemeriksaan finansial
yang ditujukan pada dua hal, yaitu perhitungan secara akuntansi (standard of accounting)
dan penilaian ketaatan pada peraturan perundang-undangan (compliance with applied to
laws and regulation) dan pemeriksaan performance yang menilai dari segi terlaksananya
kemanfaatan, efisiensi, efektivitas, kondisi ekonomi, dan keadaan tertentu. Dengan
demikian, perhitungan kerugian negara tidak hanya ditujukan pada aspek pemeriksaan
finansial karena akan menyebabkan perhitungan kerugian negara secara parsial.57 Dalam
beberapa kasus pidana korupsi yang terjadi, perhitungan kerugian keuangan negara
dilakukan hanya dengan menghitung kerugian keuangan negara, tanpa melakukan
pemeriksaan terlebih dahulu, sebagai dianggap terpenuhinya unsur merugikan keuangan
negara. Padahal, perhitungan kerugian keuangan negara berbeda dengan pemeriksaan, di
mana pemeriksaan akan menghasilkan opini, sedangkan perhitungan kerugian keuangan
negara tidak memberikan dasar opini apapun.58 Dalam menentukan kerugian negara,
sejak berlakunya Indische Comptabliltet Wet 448 Tahun 1925 atau undang-undang
perbendaharaan negara, untuk menentukan adanya kerugian negara tidak hanya
berpatokan pada aspek yuridis akuntasi, tetapi mempertimbangkan semua aspek yang
terjadi pada saat itu.
Ada peristiwa hukum pada 1956, ketika seorang bendahara di rumah sakit di
Bandung yang juga seorang dokter dinyatakan melakukan penyimpangan keuangan
56Indonesia (2), op.cit., ps. 1 angka 22.
57 Dian Puji N. Simatupang (c), “Identifikasi Pemeriksaan dikaitkan dengan Ruang Lingkup Keuangan Negara di Indonesia,” (Bahan Perkuliahan Hukum Keuangan Publik pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Maret 2008), hal. 3.
58Ibid. hal. 7.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
35
rumah sakit, sehingga dinyatakan merugikan keuangan negara. Dalam konteks ini, yang
bersangkutan melakukan pembelaan karena situasi keadaan pasca-revolusi kemerdekaan
dan banyaknya tentara yang terluka sebagai akibat banyaknya pemberontakan, yang
bersangkutan tidak dapat memenuhi standar akuntasi yang semestinya atau
pertanggungjawaban keuangan secara semestinya. Dalam hal ini DPR sebagai otorisator
APBN menyatakan tindakan yang dilakukan dokter dalam pengelolaan keuangan tidak
dapat dikatagorikan merugikan keuangan negara karena kondisi dan situasi yang
demikian, juga karena penunjukan sebagai bendahara dilakukan secara tergesa-gesa. Oleh
sebab itu, dibebaskan dari adanya kerugian negara. Dengan demikian, DPR sebagai
pemilik kedaulatan anggaran dan otorisator anggaran negara membebaskan dari adanya
kerugian negara dengan pertimbangan yang kerugian yang terjadi akan lebih besar jika
bendahara dokter tersebut melakukan sesuai dengan standar akuntasi pada saat itu,
kerugiannya adalah pelayanan publik akan terganggu dan tidak akan terlayani dengan
baik.59
Menurut peraturan perundang-undangan, lembaga yang berwenang menentukan
perhitungan kerugian keuangan negara diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 17
Tahun 2003, Pasal 62 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004, dan Pasal 22 UU Nomor 15
Tahun 2004 menyatakan BPK merupakan lembaga negara yang berwenang memperoleh
informasi, pihak yang diberitahukan, dan yang menetapkan besaran ganti kerugian
melalui surat keputusan yang bersifat penetapan pertanggungjawaban mutlak. Jauh
sebelumnya Pasal 74 dan 77 ICW mengatur BPK yang menetapkan adanya kerugian
negara, dan juga Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1973 menyatakan mengharuskan BPK
melaporkan kepada pemerintah adanya sangkaan kerugian negara. Dengan demikian,
BPK berhak dan berwenang melakukan pemeriksaan keuangan jika diduga ada unsur
merugikan keuangan negara. Secara konstitusional, BPK juga yang berhak melakukan
59 Lihat kasus ini dalam buku Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban
Keuangan Negara: Tinjauan Yuridis (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 43.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
36
pemeriksaan terhadap keuangan negara secara keseluruhan, baik pengelolaan maupun
tanggung jawab. Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyatakan BPK melakukan
pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Tindakan yang sering dilakukan penyidik dalam upaya mengidentifikasi unsur
kerugian negara dengan melakukan kerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) sebenarnya tidak dapat dibenarkan dalam menghitung kerugian
keuangan negara. BPKP yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 31 Tahun 1983
merupakan lembaga pemeriksa internal pemerintah yang dimaksudkan membantu
presiden dalam menjalankan fungsi pengawasan di lingkungan pemerintahan dan
pengendalian manajemen pemerintahan. Sebagai bagian dari pemerintahan BPKP
mengawasi apakah setiap perencanaan kegiatan pemerintahan sejalan dengan
pelaksanaannya. Idealnya BPKP ditujukan melakukan pemeriksaan pengelolaan
keuangan negara yang terjadi pada lingkup instansi pemerintahan dan menjadi penguji
hasil pemeriksaan yang dilakukan itjen departemen/inspektur utama kementerian dan
hasil pemeriksaan yang dilakukan badan pengawasan daerah. Pengawasan yang
dilakukan BPKP terhadap pengelolaan keuangan negara lebih bersifat pre-audit, artinya
bagaimana perencanaan sesuai dengan pelaksanaannya.60
BPKP tidak berwenang melakukan perhitungan kerugian keuangan negara karena
dalam peraturan perundang-undangan, baik ICW maupun paket undang-undangan
keuangan negara yang sekarang berlaku dan UU Nomor 5 Tahun 1973, BPKP tidak
diarahkan untuk melakukan perhitungan kerugian negara. BPK merupakan lembaga yang
berwenang melakukan perhitungan kerugian keuangan negara yang ditujukan pada
APBN. Bahkan, Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga sangat tegas
memberikan kewenangan kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.
60Simatupang (c), op.cit., hal. 4.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
37
Kewenangan BPK dalam kondisi adanya tuntutan kerugian keuangan negara
diatur dalam Pasal 58 ICW telah mendudukkan BPK untuk melakukan perhitungan atas
adanya kerugian kepada negara kepada bendahara, Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1973
menentukan BPK memberitahukan kepada pemerintah adanya dugaan kerugian negara.
Pemerintah dalam hal terjadinya tindak pidana dilaporkan kepada kepolisian dan
kejaksaan. Dalam Pasal 60 UU Nomor 1 Tahun 2004 BPK dilaporkan adanya kerugian
negara, yang kemudian ditetapkan ganti kerugiannya menurut Pasal 62 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 2004 oleh BPK. Dengan demikian, penentuannya dilakukan BPK, jika
ada unsur pidana, Pasal 62 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 mengatur BPK
menindaklanjuti kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Akan tetapi, menurut Pasal 22 UU Nomor 1 Tahun 2004, BPK menerbitkan
surat penetapan surat adanya kekurangan tersebut, yang kemudian yang bersangkutan
mengajukan keberatan. Selain itu, menurut Pasal 13 UU Nomor 15 Tahun 2004 Tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK melakukan
pemeriksaan investigatif jika terdapat indikasi kerugian negara dan Pasal 14 UU Nomor
15 Tahun 2004 juga mengatur jika ada unsur pidana dilaporkan BPK kepada instansi
yang berwenang.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
BAB 4
ANALISIS HUKUM PEMBUKTIAN KASUS PENYALAHGUNAAN WEWENANG DAN PENYIMPANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN MUSI RAWAS
4.1 Posisi Kasus
Kasus ini merupakan kasus tindak pidana korupsi di mana terdapat dugaan
tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan dana Saldo kas
Daerah Pemda Kabupaten Musi Rawa (Mura), Sumatera Selatan pada Pos Belanja
Sekretaris Daerah Kabupaten Musi Rawas Tahun Anggaran 2004 senilai Rp
1.800.000.000,- (satu milyar delapan ratus juta rupiah) yang dibayarkan kepada
pimpinan dan anggota DPRD kabupaten Musi Rawas periode 1999-2004. Bupati pada
saat itu diduga sengaja secara bersama-sama atau turut melakukan atau menyuruh
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dan atau suatu korporasi
yang dilakukan tersangka Bupati dan kawan-kawan yang terjadi sekitar bulan Mei dan
bulan Juni 2004 di kantor Pemerintahan Kabupaten Musi Rawas jalan Yos Sudarso No.
2 Km. 7 Kemelak Lubuk linggau, atas perbuatan tersangka negara dirugikan setidak-
tidaknya sebesar Rp. 1.800.000.000,- (satu milyar delapan ratus juta Rupiah). Terhadap
Tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Posisi kasus bermula pada 2004 di Kabupaten Mura Provinsi Sumatera Selatan
antara bulan Mei dan Juni 2004 diduga telah terjadi tindak pidana korupsi di
Pemerintahan Kabupaten Musi Rawas oleh Bupati Ir. Ibnu Amin, M.Sc. Kasusnya
berawal dari pengangkatan Ir.H. Ibnu Amin, M.Sc sebagai Bupati Mura menggantikan
H. Suprijono Joesoep yang meninggal dunia. Pada 15 April 2004 dilaksanakan rapat
Paripurna anggota DPRD Kabupaten Mura Rawas yang membahas usulan penetapan
pengganti Bupati Mura atas nama H. Suprijono Joesoep yang meninggal dunia dan
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
39
mengangkat Wakil Bupati Mura Ir. Ibnu Amin, M.Sc sebagai Bupati Mura Rawas.
Dalam rapat tersebut Wakil Bupati Mura (Ir. Ibnu Amin, M.Sc) mengatakan bahwa,
”mengharapkan agar pimpinan dan aggota DPRD Kab. Mura Rawas untuk membantu
dan memperlancar proses pengangkatannya sebagai bupati Mura Rawas terhadap
uang purna bakti yang nantinya berdasarkan ketentuan tidak bisa dibayar akan dibantu
secara pribadi.”
Mekanisme pengangkatan Wakil Bupati Mura adalah dengan Rapat Paripurna
Panitia Musyawarah hasil Rapat Panitia Musyawarah tersebut untuk menentukan hari
dan tanggal pelantikan Wakil Bupati Musi Rawas menjadi Bupati Musi Rawas,
kemudian mengadakan rapat paripurna untuk pelantikan, berdasarkan keputusan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 131.26-429 Tahun 2004 tertanggal
10 Mei 2004 Tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan
Wakil Bupati Musi Rawas menjadi Bupati Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan.
Diangkatnya Ir. H. Ibnu Amin, M.Sc sebagai Bupati, ada desakan dari pimpinan
dan anggota DPRD Kabupaten Mura perihal bantuan dana purna bakti bagi pimpinan
dan anggota DPRD Kabupaten Mura yang dijanjikan oleh Bupati Mura yang baru
diangkat, yaitu Ir. H. Ibnu Amin, M.Sc. Jumlah dana APBD kabupaten Mura pada pos
administrasi umum tahun 2004 yang terealisasi sebesar Rp. 57.029.402.934,-
diantaranya digunakan operasional Setda Kab. Mura sebesar Rp. 4.426.971.015,- biaya
administrasi keuangan sebesar Rp. 3.199.360.600,- dari tersebut senilai Rp.
1.800.000.000,- diambil dari biaya operasional Setda Kab. Mura digunakan bantuan
modal usaha Pimpinan dan anggota DPRD Kab. Mura periode tahun 1999-2004 yang
dibagikan kepada 45 orang anggota DPRD Kab.Mura dalam dua Tahap, yaitu:
a. Bulan Mei 2004 sebesar Rp. 675.000.000,- untuk bantuan dalam rangka rapat-rapat
konsultasi dengan pimpinan dan anggota DPRD Kab. Mura masing-masing Rp.
15.000.000,- kali 45 orang anggota;
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
40
b. Bulan Juni 2004 sebesar 2004 sebesar Rp. 1.125.000.000,-untuk bantuan modal
usaha pimpinan dan anggota DPRD kab. Mura menjelang masa purna Tugas
masing-masing sebesar Rp. 25.000.000,- kali 45 orang anggota.
Pada 20 Mei 2004 pemegang kas Setda Kabupaten Mura membuat Nota Dinas
kepada Bupati Musi Rawas yang isinya terkait pencairan dana Rp. 1.800.000.000,-.
Pada 21 Mei 2004 dilakukan pembayaran yang tujuannya untuk dibagikan kepada
pimpinan dan anggota DPRD Kabupeten Musi Rawas. Dasar pembayaran untuk
anggota DPRD Kabupaten. Mura adalah berdasarkan Nota Dinas 20 Mei 2004 yang
dibuat dan ditandatangani oleh Heriansyah, S.Ip (pemegang kas Setda Kab. Mura), yang
ditujukan kepada Bupati Mura perihal biaya pembinaan pengelolaan keuangan daerah
dengan isi Nota Dinas. Dalam nota tersebut berisi permintaan uang sebesar Rp.
675.000.000,- guna biaya pembinaan Pengelolaan keuangan Daerah kebutuhan pada
sekertariat Daerah Kab. Mura untuk berpartisipasi dalam rangka rapat-rapat konsultasi
dan rapat dengan unsur pimpinan serta anggota DPRD kab. Mura.
Pada 8 Juni 2004 Pemegang Kas Setda Kabupaten Mura kembali membuat Nota
Dinas kepada Bupati Musi Rawas, tetapi dikembalikan kepada pemegang kas Setda
Kab. Mura. Pada 4 Juni memerintahkan kasir untuk melakukan pembayaran kepada
pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Musi Rawas. Nota Dinas tersebut tercantum
Disposisi Drs. HM. Syarif Hidayat, MM (Setda Kab. Mura) dengan isi Disposisi sesuai
petunjuk Bupati Kab. Mura (Ir. H. Ibnu Amin, MSc) untuk diselesaikan. Berdasarkan
Nota Dinas tanggal 8 Juni 2004 Heriansyah, S.Ip (pemegang Kas Setda Kab. Mura),
yang ditujukan kepada Bupati Musi Rawas. Dalam Nota Dinas tersebut berisi
memenuhi surat petunjuk Bupati Musi Rawas tanggal 7 Juni 2004, yang meminta Rp.
1.125.000.000,- guna biaya operasional kebutuhan pada Setda Kab. Mura kemudian
dalam Nota Dinas tersebut ada Disposisi Sekda Kab. Mura (Drs. HM. Syarif Hidayat,
MM) sesuai petunjuk Bupati untuk diselesaikan yang ditandatangani pada tanggal 8
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
41
Juni 2004, kemudian disposisi saksi kepada Kasubbag Anggaran Rutin Kab. Mura
dengan isi Disposisi teliti untuk tindak lanjutnya.
Perintah pengeluaran dana untuk baiya modal usaha anggota DPRD Kabupaten
Mura Periode 1999-2004 sebesar Rp. 1.800.000.000,- adalah atas perintah lisan Bupati
melalui Pemegang Kas Setda Kabupaten Mura. Pembayaran uang partisipasi dalam
rangka rapat-rapat konsultasi dan rapat dengan unsur pimpinan serta anggota DPRD
Kab. Mura sebesar Rp. 675.000.000,- dan uang Purna Bakti yang dibagikan kepada
Pimpinan dan anggota DPRD Kab. Mura sebesar Rp. 1.125.000.000,- yang tidak dalam
mata pasal/ kode rekening DPRD Kab. Mura adalah melanggar ketentuan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan Daerah
Pasal 10 ayat (3) menyatakan bahwa “setiap Pejabat dilarang melakukan
tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia
atau tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut”.
b. Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 tahun 2002.
1) Pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa “pengguna anggaran dilarang
melakukan tindakan yang mengakibatkan beban APBD, jika dana untuk
pengeluaran tersebut tidak tersedia atau dananya tidak cukup.”
2) Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa “pengguna anggaran dilarang
melakukan pengeluaran-pengeluaran atas beban Belanja Daerah untuk
tujuan lain dari pada yang ditetapkan.”
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
42
c. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Pembendaharaan Negara.
Pasal 3 ayat (3) menyatakan bahwa”Pejabat dilarang melakukan tindakan yang
berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD, jika anggaran untuk membiayai
pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia”.
Dana tersebut diambil dari Anggaran pos Sekertariat Daerah yang ada pada
saldo kas bendahara (Pemegang Kas) Setda Kabupaten Mura. Pengeluaran anggaran
sebesar Rp. 1.800.000.000,- tidak dicatat pada buku kas umum karena pengeluaran uang
tersebut belum jelas pembebanan mata anggarannnya. Laporan dilakukan secara lisan
kepada Kabag Keuangan. Pembayaran atau pengeluaran anggaran untuk pimpinan atau
anggota DPRD Kabupaten Mura sebasar Rp. 1.800.000.000,- tidak ada dalam mata
pasal anggaran pada Sekertariat Daerah kabupaten Mura Rawas.
Persetujuan DPRD Kabupaten Musi Rawas tentang APBD TA 2004 adalah
keputusan DPRD Kab. Mura Nomor 04 Tahun 2004, sedangkan Perda APBD
Kabupaten Mura TA 2004 diundangkan tanggal 17 Maret 2004 dengan Perda Nomor 02
Tahun 2004. Anggaran purna bakti untuk TA 2004 tersebut sebenarnya ada, tetapi
anggaran purna bakti tersebut tidak boleh direalisasikan atau dicairkan karena ada surat
edaran Mendagri Nomor 163.1/711/OTDA tertanggal 24 Mei 2004 yang ditujukan
kepada seluruh Kepala Daerah dan Ketua DPRD Seluruh Indonesia yang mengacu pada
PP Nomor 24 Tahun 2004 di mana anggaran purna bakti tersebut tidak boleh
direalisasikan. Untuk dana bantuan modal usaha Pimpinan dan anggota DPRD Kab.
Mura Rawas periode 1999-2004 tidak ada dalam APBD Kab. Mura TA 2004, karena
memang tidak ada ketentuan atau aturan yang mengaturnya.
DPRD dan Bupati pernah mengadakan yang membahas dana purna bakti atau
bantuan modal usaha untuk pimpinan dan anggota DPRD Kab. Mura TA 2004. Dalam
rapat tersebut yang berlangsung pada 12 April 2004 di DPRD Kabupaten Mura yang
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
43
dihadiri oleh Pimpinan DPRD dan Pimpinan Fraksi dan Ketua-ketua komisi, dalam
rapat disampaikan bahwa sesuai PP Nomor 110 Tahun 2000 tidak mengatur uang dan
dana purna bakti sebagaimana ketentuan terdahulu anggota DPRD yang akan Purna
bakti mendapat uang purna bakti, namun direspon/dijawab oleh Bupati Kabupaten Mura
Rawas tidak perlu membicarakan uang purna bakti tersebut karena memang untuk
DPRD periode 1999-2004 tidak ada ketentuan yang mengatur uang purna bakti
dimaksud. Akan tetapi, Bupati KabupatenMura selaku pribadi berjanji membantu
pimpinan dan anggota DPRD Kab. Mura dari uang pribadi Bupati dan mudah-mudahan
segera dilantik menjadi Bupati Kabupaten Mura.
Menurut peraturan yang berlaku, Tidak diperbolehkan pejabat atau pengguna
anggaran pencairan atau membayarkan anggaran untuk kepentingan lain tidak ada
dalam mata pasal atau pos anggarannya pada APBD, berdasarkan sebagai berikut:
a. Undang-undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 192 ayat
(2) menyatakan: Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja
daerah jika pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam
APBD”, dan ayat (3) menyatakan “kepala Daerah, wakil Kepala Daerah,
pimpinan daerah, dan pejabat daerah lainnya, dilakukan mengeluarkan
pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan lain dari yang
telah ditetapkan dalam APBD.”
b. PP No 105 Tahun 2000 Tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban
keuangan Daerah pasal 10 ayat (3) yang menyatakan bahwa “setiap pejabat
dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD
apabila tidak berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia atau
cukup tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut”
c. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa
pengguna anggaran dilarang melakukan tindakan yang mengakibatkan beban
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
44
APBD jika dana untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau dananya tidak
cukup, dan ayat (2) menyatakan bahwa pengguna anggaran dilarang melakukan
pengeluaran-pengeluaran atas beban belanja daerah untuk tujuan lain dari pada
yang tetapkan.
Pada 25 Agustus 2004 ada Surat Nomor : 170/1268/DPRD/2004 yang ditujukan
kepada Bupati Kab. Mura Rawas yang ditandatangani perihal mohon bantuan modal
usaha para anggota DPRD Kab. Mura Rawas masa bakti 1999-2004, dan atas
inisiatif/memerintahkan siapa pembuat surat tersebut tidak diketahui. Setiap
pengeluaran seharusnya tercantum dalam mata anggara APBD (PP 105 tahun 2000 Jo.
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002) dan dicatat dalam buku Kas Umum dan Buku
Pembantu Kas per mata anggaran, hal tersebut dilakukan agar realisasi APBD
mencerminkan keadaan yang sebenarnya dan pembukuan tersebut berfungsi sebagai
dasar pengecekan silang atas realisasi anggaran pada masing-masing satuan kerja.
Jika transaksi tersebut tidak dicatat dalam pembukuan maka laporan perhitungan
APBD tidak mencerminkan realisasi yang sebenarnya atas APBD tahun 2004 karena
masih ada pengeluaran kas tahun 2004 yang tidak dilaporkan dan seharusnya
dipertanggungjawabkan pada tahun yang bersangkutan sebagai saldo kas/bank.
Disamping itu jika suatu transaksi pengeluaran tidak dicatat maka tidak akan diketahui
apakah mata anggaran tertentu telah melebihi plafon anggaran atau yidak dan dapat
mengakibatkan penyimpanagn penggunaan anggaran
Seperti halnya pengeluaran sebelumnya, pengeluaran yang dibagikan kepada
pimpinan dan anggota DPRD sebesar Rp. 1.125.000.000,- pada dasarnya tidak
diperkenankan karena tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 yang menyebutkan:
a. Pasal 55 bahwa pengguna anggaran dilarang melakukan tindakan yang
mengakibatkan beban APBD jika dana untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
45
atau dananya tidak cukup serta pengguna anggaran dilarang melakukan
pengeluaran atas beban APBD untuk tujuan lain dari pada yang ditetapkan yaitu
pengeluaran tersebut tidak ada kaitannya dengan kegiatan pimpinan dan
Anggota Pimpinan dan Anggota DPRD. Pengeluaran biaya pada Sekretariat
Daerah seharusnya diperuntukan bagi kegiatan dilingkungan Sekretariat Daerah
dan kegiatan DPRD seharusnya dianggarkan pada Sekretariat DPRD
b. Pasal 57 bahwa pengguna anggaran wajib mempertanggungjawabkan uang yang
digunakan dengan cara membuat SPJ dilampiri dengan bukti yang sah paling
lambat tanggal sepuluh bulan berikutnya. Dengan demikian pengeluaran dalam
tahun 2004 seharusnya dipertanggungjawabkan (SPJ) dalam tahun 2004 dan
pengeluaran Rp. 1.125.000.000,- yang belum di SPJ-kan merupakan uang yang
masih harus dipertanggungjawabkan dan harus disetor ke Kas Daerah pada akhir
tahun 2004
Pengeluaran biaya pada 2004 sebesar Rp. 1.800.000.000,- dari saldo kas
Sekertariat Daerah untuk Pimpinan dan anggota DPRD adalah tidak sesuai dengan
ketentuan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 karena mata anggaran untuk
pengeluaran biaya tersebut tidak ada dalam Anggaran Sekertariat Daerah. Dalam Pasal
55 disebutkan pengguna anggaran dilarang melakukan tindakan yang mengakibatkan
beban APBD jika dana untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau dananya tidak
cukup.
4.2 Kekuatan Hukum Alat Bukti Surat atas Penyalahgunaan Wewenang dan
Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan Daerah
Jaksa Penuntut Umum mengajukan alat bukti surat guna membuktikan adanya
penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan kebijakann pengelolaan daerah dengan
mengaitkan dengan beberapa lingkup dokumen, yaitu:
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
46
(1) APBD tahun anggaran 2004 dan 2005
(2) Keputusan Bupati Musi No. 10 tahun 2004 tanggal 25 September 2004 tentang
penjabaran Perubahan APBD Tahun 2004
(3) DASK Anggaran Biaya Administrasi umum Setda Kab. Mura tahun 2005 serta
perubahannya
(4) Nota Dinas Pemegang Kas Setda Kab. Mura kepada Bupati tanggal 20 Mei 2004
hal biaya pengelolaan keuangan daerah sebesar Rp. 675.000.000,-
(5) Nota Dinas Pemegang Kas Setda Mura tanggal 8 Juni 2004 kepada Bupati hal
biaya Operasional kebutuhan pada Sekertariat Daerah sebesar Rp.
1.125.000.000,-
(6) Nota Dinas pemegang kas Setda Kab. Mura Nomor 03/PK/2005 tanggal 7 Maret
2005 kepada Bupati hal permintaan penerbitan SKO dan SPM atas tagihan-
tagihan dan permintaan dalam tahun 2004 sebesar Rp. 1.022.316.500,00
(diantaranya 675.000.000,-dibayarkan kepada pimpinan dan anggota DPRD)
(7) Nota dinas pemegang kas Setda Kab. Mura Nomor 05/PK/2005 kepada bupati
hal permintaan penerbitan SKO dan SPM atas tagihan-tagihan dan permintaan
dalam tahun 2004 sebesar Rp. 1.571.759.570,00 (diantaranya Rp.
1.125.000.000,00 dibayarkan untuk pimpinan dan anggota DPRD)
(8) Surat keputusan Bupati Musi Rawas No. 246/BT/Tahun 2005 tanggal 5
September 2005 tentang otoritas anggara belanja daerah tahun 2005 dengan nilai
sebesar Rp. 1.022.316.500,00
(9) Surat keputusan Bupati Musi Rawas No. 247/BT/Tahun 2005 tanggal 5
September 2005 tentang otoritas anggaran belanja daerah tahun 2005 dengan
nilai sebesar Rp. 1.571.759.570,00
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
47
(10) Surat permintaan pembayaran (SPP) No. 156/SPP-BT/Tahun 2005 tanggal 5
September dengan nilai sebesar Rp. 1.022.316.500,00
(11) Surat permintaan pembayaran (SPP) No. 155/SPP-BT/Tahun 2005 tanggal 5
September dengan nilai sebesar Rp. 1.571.759.570,00
(12) Surat perintah Membayar (SPM) No. 274/BT/300-0001 tanggal 5 September
2005 dengan nilai sebesar Rp. 1.022.316.500,00
(13) Surat perintah Membayar (SPM) No. 275/BT/300-0001 tanggal 5 September
2005 dengan nilai sebesar Rp. 1.571.759.570,00
(14) Buku Kas Umum Tahun 2004 dan 2005 pada pemegang kas di Setda Kab. Mura
(15) Buku Kas Pembantu biaya operasional dan biaya penyelenggaraan administrasi
keuangan tahun anggaran 2004 dan 2005
(16) Rekening Koran Bank No. 143-30-10022 dari Bank Sumsel tahun 2004 dan
2005
(17) SK Bupati Mura tentang penunjukan petugas pemegang kas dan pembantu
pemegang kas serta atasan langsung
(18) Berkas surat Pertanggungjawaban (SPJ) tahun 2005 atas total pembayaran
sebesar Rp. 1.800.000.000,-
Berdasarkan bukti surat tersebut, Jaksa Penuntut Umum meminta BPKP
melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dengan motede:
a. mengindentifikasi penyimpangan yang terjadi apaka termasuk dalam kategori
keuangan negara, dasar hukum kegiatan serta penyebab dan waktu terjadinya;
b. meneliti dan menganalisa bukti-bukti dihubungkan dengan ketentuan yang
berlaku khususnya proses pembayaran dalam Tahun 2004 serta ketentuan
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
48
pelaksanaan anggaran, dibandingkan dengan kegiatan yang sebenarnya
dilaksanakan serta bukti yang diperoleh dan dikumpulkan di lapangan;
c. mengidentifikasi, menganalisa serta memverifikasi keterkaitan dan keandalan
serta kecukupan bukti/data/dokumen tersebut dalam menghitung kerugian
keuangan negara atas dugaan penyimpangan dan APBD tahun Anggaran 2004
pada Sekertariat Daerah Kab. Musi Rawas yang dibagikan kepada pimpinan dan
anggota DPRD masa bakti 1999-2004;
d. menghitung jumlah kerugian keuangan negara berdasarkan bukti-bukti yang
telah diidentikasi, dikumpulkan, diverifikasi dan dianilisis.
Dalam permasalahan tersebut terdapat penggunaan uang yang berasal dari kas
daerah yang tidak ada kaitannya dengan ketua dan anggota DPRD Kabupaten Mura,
sehingga terdapat kerugian negara sebesar Rp. 1.800.000.000,- Berdasarkan ketentuan
tersebut data surat dikaitkan dengan Unsur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang
Tahun 1999 yang diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001, yang berbunyi
“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekomian negara.”
Dalam kaitannya dengan alat bukti surat, dikaitkan dengan ketentuan mengenai
pemenuhan unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan dengan:
a. Unsur “Melawan Hukum”
Pemenuhan unsur “melawan hukum” berdasarkan alat bukti sbb:
1) Saksi Gotri Suyanto, SE, M. Soc, Sc Bin Sudiatmojo menerangkan
bahwa biaya pembiayaan pembinaan keungan Daerah Setda Kab. Mura
sebesar Rp. 682. 480.000,- kode rekening 2.01.0312.1.02. 0216.1. yang
sebagian diperuntukan biaya partisipasi dalam rangka rapat-rapat
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
49
konsultasi dana rapat dengan unsur pimpinan dan anggota DPRD Kab.
Mura periode tahun 1999-2004 sebesar Rp. 675.000.000,- untuk 45
orang anggota Dewan , dan juga biaya operasional Setda Kab. Mura,
Sebesar Rp. 1.539.744.720,- antara lain sebesar Rp. 1.125.000.000,-
dibayarkan kepada dan anggota DPRD Kab. Mura periode tahun 1999-
2004 untuk 45 orang, yang tidak ada persetujuan DPRD Kab. Mura,
revisi maupun perubahan adalah melanggar ketentuan adalah sebagai
berikut:
2) Nota Dinas yang dibuat oleh Saksi Heriansyah, S.Ip Bin Ali Kusin
selaku pemegang kas Setda Kab. Mura tahun 2004, yang diajukan
kepada kepada Bupati Musi Rawas tanggal 20 Mei 2004 perihal biaya
pembinaan pengelolaan keuangan Daerah dengan permintaan uang
sebesar Rp. 682.480.000,- antara lain diambil uang sebesar Rp.
675.000.000,- untuk biaya partisipasi dan rapat dengan unsur Pimpinan
dan anggota DPRD Kab. Musi Rawas.
3) Nota dinas yang dibuat oleh saksi Heriansyah, S.Ip Bin Ali Kusin selaku
pemegang kas Setda Kab. Mura tahun 2004, yang diajukan kepada
Bupati Musi Rawas tanggal 8 Juni 2004 perihal biaya-biaya operasional
kebutuhan pada sekertariat Daerh Kab. Musi Rawas permintaan uang
sebesar Rp. 1.539.744.270, - antara lain diambil sebesar Rp.
1.125.000.000,- guna biaya operasional kebutuhan pada sekertariat
Daerah Kab. Musi Rawas, kemudian dibayarkan kepada pimpinan dan
anggota DPRD kab. Mura periode tahun 1999-2004 berjumlah 45
orang.
4) Pembayaran uang sebesar Rp. 675.000.000,- kepada pimpinan dan
anggota DPRD Kab. Mura periode tahun 1999-2004 yang realisasi
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
50
pembayaran pada tanggal 21 Mei 2004, kelengkapan administrasi
penerbit SKO dibuat pada tahun 2005. Berdasarkan surat Keputusan
Otoritas Bupati Nomor : 246/BT/Tahun 2005 tanggal 5 September 2005.
Dan surat perintah membayar Nomor : 274/BT/300-0001 tanggal 5
september 2005
5) Pembayaran uang sebesar Rp. 1.125.000.000,- kepada pimpinan dan
anggota DPRD kab. Mura Periode tahun 1999-2004 yang realisasi
pembayaran pada bulan Juni 2004, kelengkapan administrasi penerbitan
SKO dibuat pada tahun 2005. Berdasarkan surat keputusan otoritas
Bupati Mura Nomor : 247/BT/Tahun 2005 tanggal 2005 tanggal 5
September 2005. Dan Surat Perintah Membayar (SPM) Nomor:
275/BT/300-0001 tanggal 5 September 2005.
6) Saksi Drs. HM. Syarif Hidayat, MM bin H. Jahri menerangkan bahwa
undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal
192 ayat (2) menyatakan: Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada
anggaran belanja daerah jika pengeluaran tersebut tidak tersedia atau
tidak cukup tersedia dalam APBD”, dan ayat (3) menyatakan “kepala
Daerah, wakil Kepala Daerah, pimpinan daerah, dan pejabat daerah
lainnya, dilakukan mengeluarkan pengeluaran atas beban anggaran
belanja daerah untuk tujuna lain dari yang telah ditetapkan dalam
APBD.”
b. Unsur “Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.
Pemenuhan unsur “Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi”, berdasarkan alat bukti sebagai berikut
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
51
1) Saksi Mohamad Jas Karim, menerangkan bahwa telah menerima
uang sebesar Rp. 25.000.000,- yang diantarkan oleh saksi Syamsul
Bahri keruang kerja saksi
2) Saksi John Munthe, menerangkan bahwa telah menerima uang
sebesar Rp. 25.000.000,- yang dikirim melalui rekening saksi pada
Bank BCA Cabang Lubuk Lingau dengan nomor rekening
0570270354 yang disetorkan oleh saksi Syamsul Bahri
3) 12 (dua belas) bukti setoran pengiriman uang sebesar Rp.
25.000.000.- pada nomor rekening masing-masing anggota DPRD
Kab. Mura Periode tahun 1999-2004 sebagai berikut:
Bukti formulir setoran tabungan Bank Sumsel a.n saksi M
Rudi dengan No. Rek 143. 01.01437 sebesar Rp. 25.000.000,-
tanggal 9 Juni yang ditanda tangani oleh Saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran BCA a.n Saksi Hj. Amsjah Sohe dengan No.
Rek 057-0241257 sebesar Rp. 25.000.000,- yang ditanda
tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran Bank Sumsel a.n saksi Nurbati dengan No.
Rekening 165. 01.00748 sebesar Rp. 25.000.000,- yang
ditanda tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran Bank Sumsel a.n saksi Nuswantoro dengan No.
Rekening 143. 01.01422 sebesar Rp. 25.000.000,- yang
ditanda tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
52
Bukti setoran BCA a.n Saksi Johnson Munthe dengan No.
Rek 057-0270354 sebesar Rp. 25.000.000,- yang ditanda
tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran Bank Sumsel a.n saksi Masduki dengan No.
Rekening 165. 01.00541 sebesar Rp. 25.000.000,- yang
ditanda tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran Bank Sumsel a.n saksi Harsono dengan No.
Rekening 143. 01.01415 sebesar Rp. 25.000.000,- yang
ditanda tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran Bank Sumsel a.n saksi M. Jauhari dengan No.
Rekening 143. 01.01419 sebesar Rp. 25.000.000,- yang
ditanda tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran Bank Sumsel a.n saksi Hasan Basri dengan No.
Rekening 1710339904 sebesar Rp. 25.000.000,- yang ditanda
tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran Bank Sumsel a.n saksi Sukiran dengan No.
Rekening 143. 01.01425sebesar Rp. 25.000.000,- yang ditanda
tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran Bank Sumsel a.n saksi Sumardi dengan No.
Rekening 143. 01.01625 sebesar Rp. 25.000.000,- yang
ditanda tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Bukti setoran Bank Mandiri a.n saksi H.Faisol dengan No.
Rekening 112.00-02276546 sebesar Rp. 25.000.000,- yang
ditanda tangani oleh saksi Syamsul Bahri
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
53
Sesuai dengan bukti surat, jadi unsur “memperkaya atau diri sendiri atau
korporasi” telah terpenuhi oleh 2 alat bukti.
c. Unsur “merugikan Keuangan Negara”
Pemenuhan unsur “merugikan keuangan negara” berdasarkan alat bukti
surat sebagai berikut:
1) Keteranga ahli BPKP perwakilan Provinsi Sumatera Selatan (Adi
Wibowo), yang menerangkan bahwa berdasarkan perhitungan hasil
audit, telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp.
1.800.000.000,-
2) 4 (empat laporan hasil perhitungan kerugian keuangan negara atas
penyimpangan) penggunaan anggaran pada sekertariat Daerah
Kabupaten Musi Rawas tahun 2004, untuk anggota DPRD Kab. Masa
bakti 1999-2004 dengan kesimpulan bahwa kerugian keuangan negara
sebesar Rp. 1.800.000,00,-
Sesuai dengan dan alat bukti juga “dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian Ekonomi” telah terpenuhi oleh 2 alat bukti.
Selain itu, barang bukti surat juga meliputi dua lembar Keputusan Bupati Musi
Rawas Nomor: 246/BT/Tahun 2005 tentang Otoritas Anggaran Belanja Daerah TA
2005 sebesar Rp. 1.022.316.500,- untuk keperluan Biaya Pembinaan keuangan Daerah,
konsumsi harian, tamu, rapat, pemeliharaan, bangunan, tempat kerja, tempat tinggal,
tower, dan angkutan darat dan lampiran Surat Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor:
246/25/2005 tanggal 5 September 2005. Juga dua lembar keputusan Bupati Musi Rawas
Nomor: 247/BT Tahun 2005 Tentang Otoritas Anggaran Belanja Daerah TA 2005,
sebesar Rp. 1.571.759.570,-untuk keperlua biaya operasional, cetak/jilid dan Foto Copy
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
54
dan lampiran surat Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor : 247/35/2005 tanggal 5
September 2005. Serta Satu lembaran Surat Perintah Membayar (SPM) Nomor:
274/BT/300-0001 Tahun Anggaran 2005 tanggal 5 September 2005, satu lembar Surat
Permintaan Pembayaran (SPP) beban tetap anggaran Belanja TA 2005 No. 156/SPP-BT
daftar perincian penggunaan anggaran belanja tanggal 5 September 2005, yang
ditandatangani, oleh pemegang kas Setda Kab.Mura tersangka 2005 Heriansyah, S.Ip
dan diketahui dan ditandatangani oleh Atasan Langsung Pemegang Kas Saksi Mukti
Sulaiman, SH.M.Hum
Berdasarkan runtutan dakwaan yang diuraikan sebelumnya sebenarnya
pembuktian yang dilakukan dalam perkara ini menggunakan beban pembuktian terbalik
terbatas/berimbang. Di mana jaksa penuntut umum dan terdakwa membuktikan ada
atau tiadanya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Namun, dalam
membuktikan adanya tindak pidana korupsi ini, Jaksa Penuntut Umum lebih banyak
mengajukan alat bukti surat, tetapi dalam posisi kasus menyatakan adanya tindakan
lisan yang diuraikan terdakwa, sehingga membuktikan terjadinya unsur
penyalahgunaan wewenang dan unsur menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain.
Jaksa Penuntut Umum mengambil alat bukti surat dan dokumen pengeluaran
uang, tetapi menyatakan ada kesalaham prosedur pemberian uang, yaitu dengan
perintah lisan. Dalam hal ini jelas Jaksa Penuntut Umum menyamakan perintah lisan
sebagai bukti tertulis, padahal lisan diuraikan tanpa bukti tertulis. Dalam hal ini, Jaksa
Penuntut Umum mengutip pandangan Simmon yang menyatakan, “setiap perbuatan,
yang semata-mata karena memenuhi syarat uraian tindak pidana, tanpa adanya dasar
pembenaran pidana yang sah, juga merupakan perbuatan melawan hukum.”61
Dalam hal pembuktian pada saat pemeriksaan di Pengadilan Negeri Mura,
kekuatan pembuktian jelas bergantung pada alat bukti surat. Jaksa Penuntut Umum
tampaknya mengesampingkan fakta yang diuraikan olehnya bahwa terdakwa
61Lihat Dakwaan Jaksa.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
55
melakukan perintah lisan, sehingga keluarnya uang yang tidak memenuhi prosedur.
Pada dasarnya, Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mura pada Oktober 2009
menyatakan terdakwa meskipun melakukan perintah secara lisan, tetap bertanggung
jawab karena ketentuan asas kepatutan dalam pengelolaan keuangan daerah
sebagaimana diatur dalam PP Pengelolaan Keuangan Daerah.
Padahal, tujuan pembuktian dalam hukum pidana adalah memberikan kepastian
yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal tertentu tentang fakta dan surat atas mana
penilaian tersebut harus didasarkan. Dalam hal ini, hakim harus mengadakan suatu
penilaian dan memutuskan atas dasar fakta hukum yang sebenarnya terjadi dengan
mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang formal, yaitu UU Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan keluarnya uang hanya
dilakukan jika terpenuhinya alat bukti materiil.
Akan tetapi, adanya pertimbangan hakim yang menyatakan perintah lisan
sebagai bentuk formal pengeluaran uang secara nyata bertentangan dengan asas
legalitas dalam ilmu hukum pidana sebagai suatu prinsip yang harus dipatuhi.
Sepatutnya, hakim memperhatikan asas universal dalam pengelolaan keuangan di mana
uang hanya dapat dikeluarkan jika ada bukti materiil yang cukup dan bukan karena
perintah lisan. Padahal, hakim terikat pada ketentuan hukum pidana formal dalam
memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara pidana, khususnya berkaitan
dengan UU Nomor 1 Tahun 2004.
Dengan demikian, dalam kasus ini alat bukti surat tidak memenuhi
pemenuhannya disebabkan terdakwa menurut Jaksa Penuntut Umum melakukan
perintah lisan. Adanya perintah lisan tentu tidak memiliki korelasi dengan alat bukti
surat, tetapi justru dengan keterangan saksi yang ternyata dalam persidangan mencabut
semua pernyataan dalam berita acara pemeriksaan yang menyatakan mengetahui adanya
pernyataan dan ucapan tersebut. Dari segi UU Nomor 1 Tahun 2004, pernyataan lisan
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
56
tidak dapat menjadi dasar pengeluaran uang, sehingga jika tetap dikeluarkan pejabat
yang melakukan penandatangan itulah yang patut dikenakan tuntutan hukum.
4.3 Metode Pembuktian yang dapat menunjukkan Pertanggungjawaban Kepala
Daerah dalam hal Terjadinya Penyalahgunaan Wewenang dan Penyimpangan
Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah
Metode yang layak dalam menyatakan adanya penyalahgunaan wewenang dan
penyimpangan kebijakan pengelolaan keuangan daerah adalah dengan metode
pembuktian terbalik terbatas/berimbang sebagai perpaduan antara beban pembuktian
biasa dan beban pembuktian terbalik murni. Dalam kasus ini kedua belah pihak, pihak
terdakwa maupun jaksa penuntut umum, masing-masing memiliki kewajiban untuk
membuktikan atau beban pembuktian dibebankan kedua pihak. Penjelasan Pasal 37 UU
Nomor 31 Tahun 1999 ditentukan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan
berimbang, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak
melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan mengenai seluruh
harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan
dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Dalam kasus ini terdakwa mempertanyakan alat bukti surat yang membuktikan
dalil, “terdakwa melakukan tindak pidana korupsi,” dengan perintah lisan. Sementara,
penuntut umum tidak mampu membuktikan dakwaannya adanya perintah lisan, kecuali
dengan pernyataan adanya tulisan disposisi Sekda di mana kebijakan tersebut diambil
karena adanya “perintah lisan Bupati.” Sifat pembuktian yang terbatas dan berimbang
pada kasus ini justru cenderung tidak mampu membuat penuntut umum untuk
membuktikan dakwaannya mengenai adanya perintah lisan karena semua UU Nomor 1
Tahun 2004 tidak mengenal adanya perintah lisan untuk mengeluarkan uang. Selain itu,
keterangan saksi tidak ada yang mendengar dan menyaksikan terdakwa menyampaikan
perintah lisan.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
57
Ketiadaan alat bukti surat yang berisi tandatangan terdakwa sebagai Bupati
untuk mengeluarkan uang dinilai bertentangan secara formal dengan UU Nomor 1
Tahun 2004 yang menyatakan pengeluaran uang membutuhkan bukti materiil yang
cukup, dan tidak ada pengeluaran uang melalui perintah lisan. Selain itu, UU Nomor 1
Tahun 2004 juga menyatakan hanya pejabat yang menandatangani dokumen
pengeluaran uang yang harus bertanggung jawab atas keluarnya uang tersebut jika tidak
terpenuhi bukti materiil yang cukup.
Menurut ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2004, pembuktian yang bersifat materiil
dalam pengeluaran uang adalah prosedur terpenting dalam proses
perbendaharaannegara/daerah, sehingga dapat dikatakan sebagai titik sentral dari kasus
ini adanya bukti materiil, dan bukan perintah lisan untuk dapat mengeluarkan uang
sehingga terjadi penyimpangan. Pembuktian ada tidaknya bukti materiil tampaknya
tidak terpenuhi karena jaksa penuntut umum menekankan pada kebenaran isi dakwaan
yang menyatakan terdakwa melakukan perintah lisan, tetapi dengan dokumen yang
berbeda dari peristiwa hukum yang ditetapkan.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
a. Kekuatan hukum Alat Bukti dokumen surat atas Penyalahgunaan Wewenang dan
Penyimpangan Kebijakan Pengelolaan Daerah menurut Undang-undang Tindak
Pidana Korupsi adalah sangat penting untuk merumuskan adanya unsur perbuatan
melawan hukum dan merugikan keuangan dan perekonomian negara, dalam kasus
korupsi di Pengadilan Negeri Mura, Jaksa Penuntut Umum mengambil alat bukti
surat dan dokumen pengeluaran uang, tetapi menyatakan ada kesalaham prosedur
pemberian uang, yaitu dengan perintah lisan. Dalam hal ini jelas Jaksa Penuntut
Umum menyamakan perintah lisan sebagai bukti tertulis, padahal lisan diuraikan
tanpa bukti tertulis. Bahkan adanya bukti surat menjadi penting sebagai bukti
materiil yang cukup untuk mengeluarkan uang berdasarkan UU Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara. Akan tetapi, adanya pertimbangan hakim
yang menyatakan perintah lisan sebagai bentuk formal pengeluaran uang juga
secara nyata justru bertentangan dengan asas legalitas dalam ilmu hukum pidana
sebagai suatu prinsip yang harus dipatuhi karena UU Nomor 1 Tahun 2004
menyatakan kekuatan alat bukti surat atau dokumen sangat penting dan utama.
Sepatutnya, hakim memperhatikan asas universal dalam pengelolaan keuangan di
mana uang hanya dapat dikeluarkan jika ada bukti materiil yang cukup dan bukan
karena perintah lisan. Padahal, hakim terikat pada ketentuan hukum pidana formal
dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara pidana, khususnya
berkaitan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004.
b. Metode pembuktian untuk menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
penyimpangan kebijakan yang dilakukan kepala daerah dalam pengelolaan
keuangan daerah adalah dengan metode metode pembuktian terbalik
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
59
terbatas/berimbang sebagai perpaduan antara beban pembuktian biasa dan beban
pembuktian terbalik murni. Dalam kasus ini kedua belah pihak, pihak terdakwa
maupun jaksa penuntut umum, masing-masing memiliki kewajiban untuk
membuktikan atau beban pembuktian dibebankan kedua pihak. Dalam kasus Bupati
Mura yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan
kebijakan, terdakwa mempertanyakan alat bukti surat yang membuktikan dalil,
“terdakwa melakukan tindak pidana korupsi,” dengan perintah lisan. Sementara,
penuntut umum tidak mampu membuktikan dakwaannya adanya perintah lisan,
kecuali dengan pernyataan adanya tulisan disposisi Sekda di mana kebijakan
tersebut diambil karena adanya “perintah lisan Bupati.” Sifat pembuktian yang
terbatas dan berimbang pada kasus ini justru cenderung tidak mampu membuat
penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya mengenai adanya perintah lisan
karena semua UU Nomor 1 Tahun 2004 tidak mengenal adanya perintah lisan untuk
mengeluarkan uang. Selain itu, keterangan saksi tidak ada yang mendengar dan
menyaksikan terdakwa menyampaikan perintah lisan.
5.2 Saran
a. Hakim sebaiknya memiliki pengetahuan dalam merumuskan unsur merugikan
keuangan negara dengan memahami esensi dasar proses pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara secara komprehensif.
b. Dalam kasus tindak pidana korupsi, pemahaman jaksa penuntut umum dan hakim
mengenai paket Undang-undang keuangan negara menjadi penting, sehingga
terdapat fakta hukum keuangan yang dapat dijadikan landasan pertimbangan dan
penuntutan.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Karya Tulis Ilmiah Atmadja, Arifin P. Soeria. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara:
Tinjauan Yuridis. Jakarta: Gramedia, 1988. Atmosudirdjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003. Bemmelen, J.M. van. Hukum Pidana 1: Hukum Pidana Material Bagian Umum. Jakarta:
Binacipta, 1984. Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Cet. 1.
Malang: Bayumedia Publishing, 2003. Fuady, Munir. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Bandung: Citra Aditya
Bhakti , 2006. Gandi. “Pengawasan dalam Pelaksanaan.” Prisma 3 (Maret 1986): 48-54. Hamzah, A. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: Arikha Media, 2006. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II.
Jakarta: Pustaka Kartini, 1985. Mamudji, Sri dan Hang Rahardjo. “Teknis Penulisan Karya Ilmiah.” (Pra-cetak, 2000). Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana.
Yogyakarta: UGM, 1979. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet. 12. Bandung: Sumur
Bandung, 1985. Prodjohamidjojo, Martiman. Pembahasan Hukum Acara Pidana dalam Teori dan
Praktek. Cet. 1. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989. Salam, Moch. Faisal. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar
Maju, 2001.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
61
Sasangka, Hari dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Cet. 1. Jakarta: CV. Mandar Maju, 2003.
Simatupang, Dian Puji N. “Beberapa Kewenangan Kepala Daerah dalam Pengelolaan
Keuangan Daerah.” Makalah yang disampaikan dalam Rapat Kerja Kepala Daerah se-Sumatera di Palembang, 23 Oktober 2007.
_________. “Beberapa Aspek Hukum Administrasi Negara berkaitan dengan
Kewenangan Pengelolaan Keuangan Daerah.” Paper dalam Diskusi dengan DPRD Jawa Timur, 22 Agustus 2008.
_________. “Identifikasi Pemeriksaan dikaitkan dengan Ruang Lingkup Keuangan
Negara di Indonesia.” Bahan Perkuliahan Hukum Keuangan Publik pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Maret 2008.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1989. Soetrisno. Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada, 1982. Tim YLBHI Surabaya. Hukum Acara Pidana dan Tindak Pidana Korupsi dalam Diskusi.
Surabaya: LBH Surabaya dan PT Bina Ilmu Surabaya, 2002. B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 tahun 1981. LN No.
76 tahun 1981. ________. Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. ________. Undang-undang tentang Keuangan Negara. UU No. 17 tahun 2003. LN No.
42 Tahun 2003, TLN No. 2314. ________. Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara. UU No. 1 Tahun 2004. LN
No. 34 tahun 2004. LN No. 2 Tahun 2004, TLN No. 2431.
Metode pembuktian..., Agus Mursandi Sarwono, FH UI, 2010