metode penelitian lokasi dan waktu penelitian … · adalah data sekunder, yang terdiri dari data...
TRANSCRIPT
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, mencakup semua kecamatan dan
desa yang ada yaitu 35 kecamatan dan 425 desa. Penelitian dilakukan mulai bulan
Juni 2005 hingga Desember 2005.
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data dikumpulkan dari berbagai sumber antara lain BPS
Kabupaten Bogor, Bakosurtanal dan instansi lain yang terkait. Data yang digunakan
adalah data sekunder, yang terdiri dari data sosial ekonomi yang berasal dari
pengolahan data Potensi Desa (Podes) tahun 2003 serta Kecamatan Dalam Angka
tahun 2003 serta data yang berkaitan dengan kondisi fisik wilayah seperti data
topografi, ketinggian, atau jenis tanah.. Data lain yang juga digunakan adalah peta-
peta, seperti peta administratif, peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta kawasan
hutan, peta landuse, peta kelas kemampuan lahan dan lain-lain. Unit contoh yang
digunakan dalam penelitian ini adalah desa.
Parameter Yang Digunakan
Untuk mengetahui ketertinggalan suatu wilayah, terlebih dahulu harus
ditentukan indikator-indikator pembangunan yang menjadi ukuran dari keberhasilan
pembangunan atau ketertinggalan suatu wilayah. Indikator yang paling umum
digunakan adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Akan tetapi karena
data PDRB untuk tingkat kecamatan di Kabupaten Bogor belum tersedia, maka
dilakukan pendekatan dengan berbagai indikator lain, antara lain:
Jumlah penduduk per km2
Jumlah tempat pelayanan kesehatan per 1000 penduduk
Jumlah sarana pendidikan (SD, SMP, SMA) per 1000 penduduk
24
Proporsi penduduk usia sekolah
Proporsi penduduk usia produktif (15 – 55 tahun)
Jumlah lembaga keuangan per 1000 penduduk
Rasio jalan aspal per luas wilayah
Jumlah kendaraan bermotor (roda dua dan empat) per 1000 penduduk
Pendapatan asli daerah (PAD) per kapita
Jumlah sarana perbelanjaan per 1000 penduduk
Jumlah sarana komunikasi per 1000 penduduk
Jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi
Jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi
Untuk selengkapnya, parameter-parameter yang diukur adalah seperti yang
tertera pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1 Parameter-parameter yang diukur
No Bidang Variabel Parameter Sumber 1 Pola
Penganggaran Pembangunan
PAD PAD per kapita PODES 2003
2 Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba
Jumlah Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba per 1.000 penduduk
3 Jumlah Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan & Minuman
Jumlah Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan & Minuman per 1.000 penduduk
4
Sarana Perekonomian
(Pasar dan Perbelanjaan)
Jumlah Toko/Warung/Kios
Jumlah Toko/Warung/ Kios per 1.000 penduduk
PODES 2003
5 Bank Umum Jumlah Bank umum per 1.000 penduduk
6 Bank Perkreditan Rakyat
Jumlah Bank Perkreditan Rakyat per 1.000 penduduk
7 Koperasi Unit Desa (KUD)
Jumlah Koperasi Unit Desa (KUD) per 1.000 penduduk
8
Sarana Perekonomian
(Lembaga Keuangan)
Koperasi Non-KUD Jumlah Koperasi Non-KUD per 1.000 penduduk
PODES 2003
25
Tabel 1 Lanjutan
No Bidang Variabel Parameter Sumber 9 Wisata Alam Bahari Wisata Alam Bahari per
1.000 penduduk 10 Wisata Alam Non
Bahari Wisata Alam Non Bahari per 1.000 penduduk
11 Wisata Budaya Wisata Budaya per 1.000 penduduk
12 Wisata Lainnya Wisata Lainnya per 1.000 penduduk
13 Gedung Bioskop Gedung Bioskop per 1.000 penduduk
14
Sarana Pariwisata
Hotel/Penginapan Hotel/Penginapan per 1.000 penduduk
PODES 2003
15 Wartel/kiospon/warpostel/warparpostel
Wartel/kiospon/warpostel/warparpostel per 1 000 penduduk
16 Warung internet Warung internet per 1 000 penduduk
17 Telepon umum Telepon umum per 1 000 penduduk
18 Rumah Tangga yang Memiliki TV
Rumah Tangga yang Memiliki TV per 1.000 penduduk
19 Rumah Tangga yang Berlangganan telepon
Rumah Tangga yang Berlangganan telepon per 1.000 penduduk
20
Sarana Komunikasi
dan Informasi
Jumlah Keluarga yang Menggunakan Listrik PLN (KK)
Jumlah Keluarga yang Menggunakan Listrik PLN (KK) per 1.000 penduduk
PODES 2003
21 Jumlah Dokter Jumlah Dokter per 1.000 penduduk
22 Jumlah Bidan Jumlah Bidan per 1.000 penduduk
23 Jumlah Dukun Bayi Jumlah Dukun Bayi per 1.000 penduduk
24 Jumlah Unit Rumah Sakit Pemerintah
Jumlah Unit Rumah Sakit Pemerintah per 1.000 penduduk
25 Jumlah Unit Puskesmas
Jumlah Unit Puskesmas per 1.000 penduduk
26 Jumlah Unit Puskesmas Pembantu
Jumlah Unit Puskesmas Pembantu per 1.000 penduduk
27 Jumlah Unit Posyandu
Jumlah Unit Posyandu per 1.000 penduduk
28
Sarana dan Tenaga
Kesehatan
Jumlah Praktek Dokter
Jumlah Praktek Dokter per 1.000 penduduk
PODES 2003
26
Tabel 1 Lanjutan
No Bidang Variabel Parameter Sumber 29 Jumlah Unit
Poliknik Jumlah Unit Poliknik per 1.000 penduduk
30 Sarana dan
Tenaga Kesehatan
Jumlah Unit Apotik dan Toko obat
Jumlah Unit Apotik dan Toko Obat per 1.000 penduduk
PODES 2003
31 Jumlah SD/Madrasah
Jumlah SD/Madrasah per 1.000 penduduk
32 Jumlah SMP/Madrasah
Jumlah SMP/Madrasah per 1.000 penduduk
33 Jumlah SMA/Madrasah
Jumlah SMA/Madrasah per 1.000 penduduk
34 Rasio siswa SD terhadap sekolah
Rasio siswa SD terhadap sekolah
35 Rasio siswa SMP terhadap sekolah
Rasio siswa SMP terhadap sekolah
36 Rasio siswa SMA terhadap sekolah
Rasio siswa SMA terhadap sekolah
37 Rasio guru SD terhadap murid
Rasio guru SD terhadap murid
38 Rasio guru SMP terhadap murid
Rasio guru SMP terhadap murid
39
Pendidikan
Rasio guru SMA terhadap murid
Rasio guru SMA terhadap murid
Kecamatan Dalam Angka 2003
40 Masjid Masjid per 1.000 penduduk 41 Surau/langgar Surau/langgar per 1.000 penduduk 42 Gereja kristen Gereja kristen per 1.000 penduduk 43 Gereja katolik Gereja katolik per 1.000 penduduk 44 Pura Pura per 1.000 penduduk 45 Vihara Vihara per 1.000 penduduk 46
Sarana Peribadatan
Klenteng Klenteng per 1.000 penduduk
PODES 2003
47 Kepadatan Penduduk
Kepadatan Penduduk per km2
48 Rasio Angkatan kerja
Jumlah Angkatan kerja per jumlah penduduk
49 Rasio keluarga pertanian
Rasio keluarga pertanian per jumlah penduduk
50 Rasio keluarga pra sejahtera
Rasio keluarga pra sejahtera per jumlah penduduk
51
Tata Ruang dan
Lingkungan
Rasio rumah permanen
Rasio rumah permanen per jumlah rumah
PODES 2003
52 Roda 2 Jumlah Roda 2 per 1.000 penduduk 53 Roda 4 Roda 4 per 1.000 penduduk 54 Panjang jalan
aspal Panjang jalan aspal per luas wilayah
55
Transportasi
Panjang jalan aspal
Panjang jalan aspal per luas wilayah
PODES 2003
27
Tabel 1 Lanjutan
No Bidang Variabel Parameter Sumber 56 Jarak terhadap
ibukota kecamatan Jarak terhadap ibukota kecamatan
57 Jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi
Jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi
58 Jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat
Jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat
Podes 2003
59 Jarak sentroid desa Jarak sentroid desa terhadap sentroid Kota Bogor
60 Jarak sentroid desa Jarak sentroid desa terhadap sentroid Ibukota Jakarta
61
Aksesibilitas
Densitas Jalan Densitas jalan per luas wilayah
Peta Topografi
1999
62 Persen lereng rendah Persen luas lahan dengan lereng 0 – 8% terhadap luas wilayah
63 Persen lereng sedang
Persen luas lahan dengan lereng 8 – 25% terhadap luas wilayah
64
Faktor Fisik (Kelerengan)
Persen lereng tinggi Persen luas lahan dengan lereng > 25% terhadap luas wilayah
Peta Topografi
1999
65 Kawasan hutan lindung
Luas kawasan hutan lindung per luas wilayah
66 Kawasan hutan lain Luas kawasan hutan lain per luas wilayah
67
Faktor Fisik (Status
kawasan hutan) Bukan kawasan
hutan Luas bukan kawasan hutan per luas wilayah
68 Faktor Fisik (Sungai)
Densitas sungai Densitas sungai per luas wilayah
Pemda Kab. Bogor
2003
70 Angkatan kerja Proporsi angkatan kerja per jumlah penduduk
71 Kependudukan Keluarga pertanian Proporsi keluarga pertanian per jumlah keluarga (KK)
PODES 2003
Analisa Data
Analisa Hirarki Wilayah
Analisa dilakukan dengan metode skalogram untuk membuktikan adanya
hirarki di wilayah Kabupaten Bogor, khususnya dalam hal sarana infrastruktur.
Data yang digunakan adalah data dari Potensi Desa Tahun 2003 dan data dari
28
Kecamatan Dalam Angka (KCDA) Tahun 2003. Parameter yang diukur meliputi
bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, perekonomian dan aksesibilitas.
Urutan kegiatan pada analisis data dengan metode skalogram antara lain
(Saefulhakim 2004):
1. Melakukan pemilihan terhadap data PODES 2003 dan KCDA 2003 sehingga
hanya tinggal data yang bersifat kuantitatif
2. Melakukan seleksi terhadap data-data kuantitatif tersebut sehingga hanya
yang relevan saja yang digunakan.
3. Melakukan rasionalisasi data
4. Melakukan seleksi terhadap data-data hasil rasionalisasi hingga diperoleh 38
variabel untuk analisa skalogram yang mencirikan tingkat perkembangan desa
di Kabupaten Bogor.
5. Melakukan standardisasi data terhadap 38 variabel tersebut dengan
menggunakan rumus (Statsoft 2004) yang dimodifikasi:
Zij =
dimana:
Zij = nilai baku untuk desa ke-i dan jenis sarana ke-j
Yij = jumlah sarana untuk desa ke-i dan jenis sarana ke-j
minimum Yj = nilai minimum untuk jenis sarana ke-j
St.Dev = nilai standar deviasi
6. Menentukan indeks perkembangan desa (IPD) dan kelas hirarkinya untuk
kemudian diplotkan pada peta.
Dari data yang diukur dibagi ke dalam dua kelompok yaitu yang bisa langsung
dibuat indeks (data jenis dan jumlah sarana) dan yang harus diinverskan terlebih
dahulu (data aksesibilitas atau jarak dari ibukota kecamatan dan ibukota
kabupaten yang membawahi dan jarak dari ibukota kabupaten lain yang terdekat).
Yij – minimum Yj St. Dev
29
Setelah proses pembakuan kemudian dilakukan penjumlahan nilai baku
tersebut untuk setiap desa. Untuk melihat struktur wilayah dilakukan sortasi data
dimana wilayah yang mempunyai nilai yang paling besar diletakkan di barisan
atas dan fasilitas yang paling banyak berada di kolom paling kiri.
Pada penelitian ini, IPD dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu
hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), dan hirarki III (rendah). Penentuannya
didasarkan pada nilai standar deviasi (St Dev) IPD dan nilai median. Nilai yang
didapat untuk selang hirarki dan digunakan untuk menentukan kelas hirarki dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai Selang Hirarki
No Hirarki Nilai Selang (X) Tingkat Hirarki 1 I X > [median + (2*St Dev IPD)] Tinggi 2 II median < X < (2* St Dev) Sedang 3 III X < median Rendah
∗ Analisa Spasial
Adanya pewilayahan pembangunan di Kabupaten Bogor dimaksudkan
untuk memfokuskan proses pembangunan di masing-masing wilayah. Akan
tetapi hal ini menjadi kendala tersendiri mengingat lokasi dan medannya yang
relatif berbeda antara satu dengan yang lainnya sehingga diperlukan kebijakan
pembangunan yang bersifat spesifik untuk setiap wilayah tersebut. Agar
kebijakan tersebut lebih terarah, maka perlu informasi yang mudah diperoleh dan
tepat. Untuk itu maka salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan
sistem informasi geografis untuk wilayah bersangkutan.
Analisa spasial berguna untuk memperoleh data dan informasi yang akurat
mengenai suatu wilayah. Selain itu juga dapat memetakan permasalahan-
permasalahan yang ada untuk dianalisa secara spasial sehingga keterkaitan antar
wilayah dapat dianalisa dengan lebih mudah dan akurat. Sebagai dasar pemetaan,
maka peta dasar yang digunakan adalah peta administratif (skala 1: 25.000) yang
30
diperoleh dari pemerintah daerah Kabupaten Bogor yang juga akan digunakan
sebagai peta master.
Analisa spasial yang digunakan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada
analisa melalui sisitem informasi geografis berdasarkan data-data peta yang ada
seperti peta jaringan jalan, peta sungai, peta status kawasan hutan, peta
kelerengan dan peta administrasi dan yang berkaitan dengan hiraki wilayah dan
selain itu juga digunakan untuk mengetahui jarak dari masing-masing unit contoh
terhadap pusat (pusat kegiatan ekonomi yaitu Jakarta sebagai pusat pemerintahan
dan ekonomi dan Bogor sebagai kota yang berada di tengah-tengah kebupaten
Bogor).
Untuk melakukan tipologi wilayah di Kabupaten Bogor, dilakukan analisa
gerombol (clutering) dari data-data atribut yang diekstrak dari peta yaitu meliputi
kepadatan penduduk, densitas jalan, densitas sungai, kelerengan, jarak lurus setiap
pusat (centroid) desa terhadap Jakarta dan Kota Bogor dan hutan (status hutan).
Sebelum dilakukan clustering, data-data tersebut lebih dahulu distandardisasi
(standardized) selanjutnya dilakukan analisa gerombol. Hasil dari analisa ini
adalah berupa tipologi wilayah berdasarkan data spasial yang ada dan akan
ditampilkan sebagai data-data spasial berupa peta-peta. Software yang digunakan
untuk melakukan analisa ini adalah ArcView GIS ver. 3.2.
Analisis Komponen Utama
Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah data dari PODES 2003
kuantitatif yang melalui proses rasionalisasi dan terdiri dari 71 variabel seperti
yang tercantum pada Tabel 1. Variabel-variabel tersebut adalah variabel yang
dapat mencirikan tipologi wilayah desa-desa di Kabupaten Bogor.
Analisis komponen utama ini dilakukan beberapa kali hingga diperoleh nilai
PC Score terbaik, yaitu: PC Score g\dengan nilai akar ciri (eigenvalues) diatas
70%; jumlah faktor-faktor baru yang diperoleh pada tabel factor loading dibawah
31
sepuluh; dan korelasi antar variabel-variabel asal dengan faktor-faktor baru pada
factor loading dapat diinterpretasikan secara logis.
Adapun maksud dari analisis komponen utama ini adalah untuk
mengelompokkan variabel-variabel menjadi beberapa kelompok. Ada dua tujuan
dasar dari PCA dan FA, yakni:
(1) Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan
variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan
variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor)
yang tidak saling berkorelasi.
(2) Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh
lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya
(total ragamnya) relatif tidak berubah. (Saefulhakim, 2004).
Cluster Analysis (Analisis Gerombol)
Teknik pewilayahan merupakan salah satu teknik untuk membatasi
wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik tertentu dari suatu hamparan
wilayah. Teknik ini dapat mengadopsi konsep wilayah yang telah
berkembang, seperti konsep wilayah nodal atau konsep wilayah homogen.
Secara umum, teknik pewilayahan ini mengadopsi konsep klasifikasi
sebagaimana diadopsi oleh ilmu taksonomi. Sebagaimana telah disampaikan
sebelumnya konsep klasifikasi ini adalah mengelompokkan berbagai unit
pengamatan (spesies hewan, tanaman, tanah, atau wilayah) berdasarkan
kemiripan/ kedekatan karakteristiknya.
Teknik klasifikasi wilayah yang akan digunakan menggunakan bantuan
teknik analisis multivariabel dengan Analisis Gerombol. Secara umum
terdapat dua metode penggerombolan dalam analisis gerombol ini yaitu: (1)
metode berhirarki (hierarchical clustering method) dan (2) metode tak
berhirarki (non hierarchical clustering method).
32
∑=
p
iYX
1
22/1
( )⎭⎬⎫
⎩⎨⎧ − ji = D
Metode berhirarki dilakukan jika jumlah gerombol yang akan ditentukan
sudah diketahui. Misalnya orde pembangunan wilayah yang secara umum
diketahui berjumlah lima, yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan
sangat rendah, atau tiga yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengklasifikasian
selanjutnya akan dilakukan berdasarkan jumlah yang kita inginkan tersebut.
Unit-unit analisis yang dikelompokkan akan bergerombol sesuai dengan
kedekatan/ kemiripan karakteristiknya masing-masing.
Sedangkan metode tidak berhirarki dilakukan jika jumlah gerombol
belum diketahui. Penggerombolan selanjutnya dilakukan terhadap seluruh
unit berdasarkan seluruh karakteristik yang diamati. Selanjutnya berdasarkan
kenampakan hasil penggerombolan ditentukan pemotongan seberapa banyak
gerombol yang akan digunakan.
Sebelum melakukan penggabungan data perlu dihitung terlebih dahulu
jarak antara dua data atau jarak antara dua gerombol data dengan ciri yang
serupa. Untuk dapat dilakukan penggerombolan diperlukan suatu skala
pengukuran yang sama. Jika skala data tidak sama maka data perlu
ditransformasikan dalam suatu bentuk skor tertentu yang disebut jarak baku.
Dalam analisis gerombol dikenal terdapat beberapa ukuran jarak antara lain :
jarak mahalanobis, jarak eucledian, jarak kuadrat eucledian, jarak manhattan
(city-block), jarak chebycev, power distance, dan percent disagreement.
Ukuran jarak yang sering digunakan adalah jarak eucledian (Eucledian
distance). Persamaan penghitungan jarak eucledian antara dua titik atau dua
gerombol adalah:
dimana:
Xi = pusat data dari gerombol X
Yi = pusat data dari gerombol Y
33
Nilai D merupakan jarak antara titik data/gerombol X dan Y. Makin
kecil nilai D makin besar kemiripan data X dan Y. Dalam analisis gerombol
ini tidak dilakukan ortogonalisasi variabel akan tetapi dilakukan standardisasi
data mentah yang ada sebelum dilakukan penggerombolan. Hal ini pengaruh
multikolinearitas sangat kecil sehingga dapat diabaikan apabila data sudah
distandardisasi (Johnson & Wichern 1998).
3. Discriminant Analysis
Analisis diskrimanan merupakan salah satu analisis multivariabel untuk
menentukan variabel mana yang membedakan secara nyata kelompok-
kelompok yang telah ada secara alami. Dengan kata lain analisis diskriminan
digunakan untuk menentukan variabel yang mana yang merupakan penduga
terbaik dari pembagian kelompok-kelompok yang ada.
Penentuan dalam analisis diskriminan ini dapat dinyatakan berbalikan
dengan metode penentuan dalam analisis gerombol (cluster analysis). Jika
analisis gerombol (khususnya gerombol unit) menentukan gerombol dari ciri-
ciri yang diduga mirip, maka analisis diskriminan ini menentukan dengan
kelompok yang sudah tentu yang terbentuk secara alamiah ingin ditentukan
variabel yang mana yang sebenarnya secara nyata membedakan kelompok-
kelompok tersebut.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis diskriminan ini antara
lain:
1. Data contoh merupakan data multivariabel yang menyebar normal.
Walaupun demikian, jika syarat penyebaran normal ini tidak dipenuhi,
perbedaan hasil pengujian tidak ‘fatal’. Artinya hasil pengujian masih
layak untuk dipercaya.
2. Matriks ragam (variances) atau peragam (covariances) variabel antar
kelompok bersifat homogen. Jika terdapat deviasi kecil masih bisa
diterima. Oleh karena itu, akan lebih baik jika sebelum menggunakan
34
hasil pengujian terlebih dahulu dilihat lagi nilai korelasi dan ragam
variabel dalam setiap kelompoknya.
3. Tidak terdapat korelasi antara nilai tengah variabel antar kelompok
dengan nilai ragam atau standar deviasinya.
4. Variabel yang digunakan tidak bersifat ”redundant”. Jika kondisi ini tidak
terpenuhi maka matrik tersebut disebut singular, yaitu matrik yang tidak
mempunyai determinan. Matriks yang singular tersebut tidak dapat
diinverskan.
5. Nilai toleransi seharusnya tidak mendekati 0. Di dalam analisis
diskriminan akan dilakukan pengujian terhadap kondisi redundant yang
diharapkan tidak terjadi yang disebut dengan pengujian nilai toleransi.
Nilai toleransi ini dihitung dengan persaman 1 - R2 . Jika kondisi
redundat terjadi, maka nilai toleransi akan mendekati 0.
Fungsi yang terbentuk sebenarnya mirip dengan fungsi regresi. Dalam
hal ini variabel bebas (Y) adalah resultan skor klasifikasi. Sedangkan variabel
tak bebasnya (X) adalah variabel-variabel yang digunakan sebagai penduga.
Skor = a + b1X1 + b2X2 + bmXm
Variabel dengan nilai koefisien regresi terbesar merupakan variabel yang
mempunyai peranan terbesar dalam membedakan kelompok-kelompok yang
ada.
Hasil pengolahan statistik ini akan menghasilkan tipologi wilayah yang
kemudian dibuat peta tipologi wilayah yang akan dioverlay dengan data-data
fisik wilayah untuk kemudian dilakukan analisis deskripsi.
4. Analisis Regrasi Berganda (Multiple Regression)
Analisis ini merupakan analisis regresi dimana beberapa variabel
dependent (y1, y2,...,yp) diukur dan diregresikan terhadap variabel
35
independent (x1,...,xk) Model umum untuk analisis regresi berganda ini
adalah (Srivastava, 2002):
y = ε1x1 + . . . + εkxk + e
dimana y adalah respon atau variabel dependen yang nilainya tergantung dari
k variabel independen x1,...,xk. Diasumsikan bahwa nilai variabel bebas
diketahui dan nilai ε1,..., εk belum diketahui yang dinamakan parameter
regresi. Untuk menghasilkan model yang dapat digunakan sebagai penduga
yang baik maka beberapa asumsi yang harus dipenuhi adalah :
a. E(e) = 0
b. E(e2) = σ2
c. Tidak ada korelasi antar variabel sehingga Kov (yi,yj) = kov(ei,ej) = 0, i ≠ j
Analisis regresi berganda dilakukan untuk merumuskan model
pendugaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan
desa. Data yang diperlukan dalam analisis ini adalah data IPD sebagai
variabel tujuan dan PC Score sebagai variabel penjelas dengan metode
Forward Stepwise..
5. Canonical correlation
Suatu korelasi kanonikal adalah korelasi dari dua set variabel, satu
merupakan variabel bebas dan yang lain adalah variabel dependent. Dalam
analisa korelasi kanonik ini ada beberapa asumsi yang harus diperhatikan.
Pertama adalah distribusi sampel. Tes signifikansi dari korelasi kanonik
didasarkan pada asumsi bahwa distribusi dari variabel pada populasi
menyebar normal. Kedua, ukuran sampel, dimana semakin besar ukuran
sampel maka hasil dari analisa korelasi kanonik akan semakin sempurna.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa untuk interpretasi yang baik, jumlah
sampel hendaknya 20 kali jumlah variabelnya. Ketiga adalah pencilan.
Pencilan ini mempunyai pengaruh terhadap besarnya koefisien korelasi
kanonik. Untuk itu hendaknya pencilan ini dapat diketahui sebelumnya.
36
Keempat adalah matriks harus mempunyai invers atau bukan matriks singular
(Statsoft 2005). Selain itu, pengukuran dilakukan pada unit sampling yang
sama (Rencher 1996).
Tabel 2 Jenis data, analisa dan output berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh No Tujuan Jenis Data Analisa Output
1 Melakukan tipologi wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan data-data spasial wilayah
Peta kelas lereng, peta landuse, peta jaringan jalan, peta status hutan, peta sungai. Data diambil dari Peta Topografi Tahun 1999 dan Pemda Kabupaten Bogor Tahun 2003.
Clustering terhadap data atribut
Tipologi Wilayah berdasarkan data-data spasial (data atribut)
2 Mengetahui keterkaitan dan perbedaan antar variabel-variabel/ indikator-indikator pembangunan
Data Potensi Desa Kab. Bogor Tahun 2003 dan Kecamatan Dalam Angka 2003
- Factor Analysis - Regrasi Berganda
Hubungan antar variabel/indikator pembangunan
3 Mencari variabel-variabel penentu utama yang menyebabkan terjadinya disparitas wilayah di Kabupaten Bogor
Data Potensi Desa Kab. Bogor Tahun 2003 dan Kecamatan Dalam Angka 2003
Discriminant Analysis Canonical Correlation
Variabel penentu utama yang menyebabkan disparitas wilayah
4 Kontribusi variabel-variabel tersebut terhadap ketertinggalan wilayah tersebut
Data Potensi Desa Kab. Bogor Tahun 2003 dan Kecamatan Dalam Angka 2003
Discriminant Analysis Canonical Correlation
Besarnya kontribusi variabel penentu utama terhadap disparitas wilayah
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Umum Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor merupakan wilayah dari Propinsi Jawa Barat yang berbatasan
langsung dengan Propinsi Banten dan bagian dari wilayah Jabotabek. Secara
geografis, Kabupaten Bogor terletak pada 6º18’10” – 6º47’10” lintang selatan dan
106º23’45” – 107º13’30” bujur timur. Ibukota kabupaten terletak di Cibinong. Luas
wilayah berdasarkan data terakhir adalah 298.027 hektar. Adapun batas-batas
wilayah ini adalah DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota
Bekasi dan Kota Depok di sebelah utara, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur
dan Kabupaten Purwakarta di sebelah timur, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Cianjur di sebelah selatan, Kabupaten Lebak di sebelah barat serta Kota Bogor yang
berada di tengahnya.
Kabupaten Bogor terdiri dari 35 kecamatan dengan 425 desa dan kelurahan,
3.286 RW, 12.535 RT dan 804.455 rumah tangga. Dari jumlah desa tersebut, dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu desa kota dan desa perdesaan yang
masing-masing berjumlah 200 dan 225 desa. Desa kota mempunyai dua pola
kawasan, yaitu yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang sekitar dan yang tidak
berkaitan dengan pemanfaatan ruang sekitar (cenderung bersifat penduduk komuter)
sedang desa perdesaan mempunyai empat pola kawasan yaitu pemukiman sekitar
sawah beririgasi teknis, pemukiman sekitar hutan, pemukiman sekitar perkebunan
besar dan pemukiman sekitar kebun campuran, tegalan atau sawah tidak beririgasi
teknis.
Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor hingga akhir tahun 2003 tercatat
sebanyak 3.340.151 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.695.001 jiwa dan
perempuan sebanyak 1.645.150 jiwa dan kepadatan penduduk rata-rata sebanyak
1.427 jiwa per km2. Tingkat kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor
sangat bervariasi dari yang relatif rendah yaitu Kecamatan Cariu (329 jiwa per km2)
hingga yang sangat relatif tinggi yaitu Kecamatan Ciomas (6.515 jiwa per km2).
39
Tabel 4 Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2003
Kode Kecamatan Jumlah
Penduduk (Jiwa)
Luas wilayah (km2)
Kepadatan (Jiwa/km2)
010 Nanggung 72.859 180.25 404020 Leuwiliang 144.727 110.01 1 316030 Pamijahan 113 008 83.74 1 349040 Cibungbulang 106 520 45.77 2 327050 Ciampea 154 593 70.38 2 197060 Dramaga 75 185 28.24 2 662070 Ciomas 99 660 15.30 6 515071 Tamansari 66 743 44.55 1 498080 Cijeruk 127 280 53.14 2 395090 Caringin 95 438 53.40 1 787100 Ciawi 66 677 64.33 1 037110 Cisarua 93 661 85.91 1 090120 Megamendung 78 211 59.88 1 306130 Sukaraja 124 185 42.63 2 913140 Babakan Madang 124 197 87.85 1 414150 Sukamakmur 65 384 164.39 398160 Cariu 91 673 278.25 329170 Jonggol 91 140 154.11 591180 Cileungsi 139 607 81.81 1 707181 Klapanunggal 61 093 67.38 907190 Gunung Putri 126 665 75.90 1 669200 Citeureup 119 730 61.60 1 944210 Cibinong 162 195 42.74 3 795220 Bojonggede 195 828 56.71 3 453230 Kemang 69 713 29.40 2 371231 Rancabungur 41 820 16.09 2 600240 Parung 69 713 25.91 2 691241 Ciseeng 80 492 43.95 1 831250 Gunung Sindur 66 266 48.88 1 356260 Rumpin 97 973 126.75 773270 Cigudeg 103 911 187.92 553271 Sukajaya 50 505 132.71 381280 Jasinga 93 318 187.69 497290 Tenjo 55 467 93.87 591300 Parungpanjang 83 527 78.84 1 059 Kabupaten Bogor 3 408 810 2 980.27 1 144Sumber : BPS 2004 dan hasil olahan
40
Berdasarkan data jumlah penduduk di atas, jika dikelompokkan ke dalam tiga
wilayah, yaitu barat, tengah dan timur maka kepadatan penduduk rata-ratanya secara
berturut-turut adalah sebagai berikut 1.041 jiw/km2, 2.370 jiw/km2, 934 jiw/km2.
Terlihat bahwa konsentrasi penduduk berada di wilayah tengah sebesar 2.28 kali dari
kepadatan di wilayah barat dan 2.54 kali di wilayah timur.
Tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah tengah ini selain karena
adanya pusat pemerintahan yang berlokasi di Kecamatan Cibinong juga karena faktor
spasial yang cenderung lebih dekat dengan Kota Bogor dengan aksesibilitas yang
lebih baik dan keadaan dimana Kota Bogor ini juga merupakan titik awal dari pintu
masuk menuju Jakarta melalui Terminal Bis di Baranang Siang ataupun Stasiun
Kereta Api Bogor.
Pengembangan Wilayah
Dalam rangka menurunkan tingkat disparitas antar wilayah, maka
pengembangan wilayah Kabupaten Bogor dibagi dalam tiga wilayah pembangunan
yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategis setiap
bidang dan program pembangunan. Maksud dan tujuan perwilayahan pembangunan
adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan
dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan.
Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi
wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan
infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional serta kebijakan pengembangan
dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan,
maka wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga Wilayah Pembangunan, yaitu:
1. Wilayah Pembangunan Barat yang meliputi sebelas kecamatan, yaitu
Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung,
Leuwiliang, Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan, dan Kecamatan Rumpin,
dengan luas wilayah sekitar 128.750 Ha.
2. Wilayah Pembangunan Tengah yang meliputi delapan belas kecamatan, yaitu
Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur,
41
Bojonggede, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Caringin, Ciawi,
Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas, dan kecamatan
Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha.
• Pusat pertumbuhan utama adalah Kota Cibinong, Parung dan Babakan
Madang.
• Pusat pertumbuhan sekunder adalah Kota Ciawi dan Citeureup.
• Pusat pertumbuhan tersier adalah Kota Kemang, Cijeruk, Caringin, Cisarua,
Bojonggede, Gunung Sindur, Megamendung, Dramaga, dan Kecamatan
Ciomas.
• Pusat pertumbuhan lainnya adalah Ciseeng, Sukaraja, Rancabungur, dan
Kota Tamansari. Pusat-pusat pertumbuhan ini merupakan simpul-simpul
jasa distribusi barang dan jasa serta pendorong pengembangan wilayah.
3. Wilayah Pembangunan Timur yang meliputi enam kecamatan, yaitu Kecamatan
Gunung Putri, Cileungsi, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, dan Kecamatan
Cariu.
• Pusat pertumbuhan utama adalah Kota Cileungsi dan Jonggol.
• Pusat pertumbuhan sekunder adalah Kota Gunung Putri, sedangkan pusat
pengembangan tersier adalah Kota Cariu, Sukamakmur, dan Kota
Klapanunggal.
Wilayah Pembangunan Timur diharapkan dapat berfungsi sebagai daerah
pengembangan industri, permukiman, pariwisata, pertanian, dan pelestarian
sumberdaya air.
• Pusat-pusat pertumbuhan ini merupakan simpul-simpul kegiatan pertanian,
industri, pertambangan, dan pariwisata (agro wisata).
Dalam arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat, arahan yang diberikan
terhadap Kabupaten Bogor berkenaan dengan hal-hal pokok sebagai berikut :
a. Kawasan Lindung
Untuk Kabupaten Bogor dikemukakan arahan berupa terdapatnya bentuk-bentuk
kawasan lindung, yaitu:
42
Kawasan hutan lindung
Kawasan Cagar Alam
Kawasan Taman Wisata Alam
Kawasan Taman Nasional
Kawasan Cagar Budaya
Kawasan Rawan Bencana
b. Kawasan Budidaya
Untuk Kabupaten Bogor dikemukakan arahan untuk kawasan budidaya adalah
berupa kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu. Arahan
untuk kawasan perdesaan itu sendiri meliputi:
Kawasan pertanian lahan basah
Kawasan pertanian lahan kering
Kawasan tanaman tahunan/perkebunan
Kawasan hutan produksi
Kawasan Pertambangan dan galian
Kawasan pariwisata
Kawasan permukiman pedesaan
Sedangkan arahan untuk Kawasan perkotaan adalah berupa :
Kawasan industri
Kawasan pengembangan perkotaan
Kawasan permukiman perkotaan
c. Pengembangan sistem Prasarana Wilayah
Pengembangan ini mencakup pengembangan fungsi jalan raya baik jalan arteri
primer, jalan kolektor primer I – III, peningkatan fungsi jalan tol dan
43
pengembangan terminal serta pengembangan energi listrik yaitu PLTP Gunung
Salak.
Dalam hubungannya dengan pengembangan kawasan Jabotabek, ada tiga fungsi
utama dari wilayah Kabupaten Bogor, yaitu :
1. Penyangga bagi DKI Jakarta, berupa pengembangan pemukiman perkotaan
sebagai bagian dalam sistem metropolitan Jabotabek.
2. Konservasi, berkenaan dengan posisi geografisnya di bagian hulu dalam tata
air untuk wilayah metropolitan Jabotabek
3. Pengembangan pertanian khususnya hortikultura, sehubungan dengan
perkembangan dan keunggulan yang telah ada, yang selanjutnya makin
dipacu.
Tabel 5 Ikhtisar Keterkaitan Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Dengan Wilayah Sekitarnya
Wilayah Sekitar
Keter-kaitan Ruang
Fisik Dasar Pemanfaatan Ruang Aksesibilitas
Fungsi Pengem-bangan
Utara :
• Kab. Tangerang
• DKI Jakarta • Kab. Bekasi • Kota Depok
• Bagian hilir wilayah Bogor
• Hamparan Datar • Batas fisik
sebagian kecil anak-anak sungai
• Pemukiman perkotaan
• Pertanian lahan basah/ sawah
• Pertanian lahan kering
• Jalan raya: − Jalan tol − Arteri − Kolektor − Lokal
• Jalan kereta api
• Perkotaan • Industri/
jasa • Core
metropoli-tan Jabotabek
Timur :
• Kab. Karawang • Kab.
Purwakarta • Kab. Cianjur
• Punggung kompleks Gunung Sanggabuana
• Sungai Ciomas (anak-anak sungai Cibeet) dan Sungai Cibeet)
• Kawasan lindung
• Pertanian lahan kering
• Pertanaian lahan basah
• Jalan lokal dari Cariu ke pangkalan
• Industri • Perkotaan
(Non Contiguo-us) di Kab. Karawang
44
Tabel 5 Lanjutan
Wilayah Sekitar
Keter-kaitan Ruang
Fisik Dasar Pemanfaatan Ruang Aksesibilitas
Fungsi Pengem-bangan
• Kompleks Gunung Gede/ Pangrango, Salak, Halimun
Selatan :
• Kab. Cianjur • Kab. Sukabumi
Sungai Cibeet
• Kawasan lindung
• Pertanian lembah sungai (tepian Sungai Cibeet)
• Jalan arteri dan KA ke Sukabumi
• Jalan kolektor ke Cianjur (kawasan Puncak)
• Jalan kolektor Cileungsi – Cianjur
• Nanggung – Malasari – Taman Nasional Gunung Halimun (Wilayah Bogor) – Kebun Nirmala (wilayah Taman Nasional) – Cipentung – Parung Kuda
• Pariwisata • Kawasan
lindung • Pertanian
Barat :
• Kab. Lebak
• Kompleks Gunung Halimun
• Sungai Cidurian
• Kawasan lindung
• Hutan produksi • Perkebunan/
pertanian lahan kering
• Pertanian lahan basah (di hilir)
• Jalan kolektor Bogor – Rangkas bitung
• Kawasan lindung
• Pertanian (perkebu-nan lahan basah)
• Hutan Produksi
• Perkotaan baru (Maja)
45
Tabel 5 Lanjutan
Wilayah Sekitar
Keter-kaitan Ruang
Fisik Dasar Pemanfaatan Ruang Aksesibilitas
Fungsi Pengem-bangan
Tengah
• Kota Bogor
• Hamparan datar • Jalan tol Jagorawi
• Permukiman perkotaan
• Segala arah dan intensif
• Permuki-man perkotaan dan pelayanan
• Fungsi dominan sebagai pusat pelayanan
Sumber : RTRW Kabupaten Bogor, 2001
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, tujuan pengembangan
wilayah Kabupaten Bogor akan meliputi hal-hal sebagai berikut:
• Memantapkan fungsi lindung yang terletak di dalam wilayah Kabupaten Bogor,
terutama berkenaan dengan hutan lindung dan sempadan sungai maupun kawasan
resapan (recharge area).
• Mengoptimalkan pemanfaatan ruang wilayah, sesuai dengan potensi atau daya
dukung sehingga bentuk-bentuk kegiatan yang memanfaatkan ruang akan
sesuai/seimbang dengan daya dukung ruang tersebut.
• Mengembangkan bagian-bagian wilayah baru dengan pola pemanfaatan ruang
terutama berupa perkebunan dan pertanian lahan basah serta kemungkinan
kegiatan lainnya yang sesuai dengan daya dukung ruang tersebut.
• Mengembangkan prasarana wilayah, terutama jaringan jalan guna merangsang
pengembangan kawasan-kawasan baru, terutama di bagian hilir dan sekaligus
menghubungkannya dengan bagian-bagian wilayah yang relatif lebih
berkembang. Bentuk prasarana wilayah lainnya adalah jaringan irigasi atau
46
saluran yang akan mendukung upaya intensifikai pertanian sawah dan membuka
kawasan baru di bagian hilir, baik untuk sawah maupun perikanan.
• Mengembangkan serta meningkatkan peranan dan fungsi kota-kota atau pusat-
pusat yang ada guna dapat memberikan pelayanan seoptimal mungkin terhadap
wilayah pelayanannya. Untuk mendukung hal tersebut, dikembangkan fasilitas-
fasilitas pelayanan (sosial, ekonomi, pemerintahan) dan prasarana permukiman
yang dibutuhkan (air minum, drainase, pembuangan air limbah, persampahan,
telekomunikasi dan lain-lainnya).
• Mengembangkan kawasan-kawasan prioritas yang memerlukan penanganan
segera yang dimulai dengan penataan ruang secara lebih rinci, terutama untuk
kawasan-kawasan yang tumbuh cepat (seperti kawasan perkotaan dan kawasan
kegiatan perekonomian/produksi, kawasan penunjang sektor ekonomi, kawasan
tertinggal dan kawasan kritis).
Arahan pengembangan struktur tata ruang Kabupaten Bogor dengan demikian
adalah:
• Merangsang perkembangan ke arah bagian timur dan barat dengan pengembangan
jaringan prasarana transportasi (dalam hal ini jalan raya) yang akan
menghubungkan simpul-simpul atau pusat-pusat di bagian wilayah tengah (dalam
hal ini sumbu wilayah/koridor perkembangan yang ada sekarang dengan sumbu-
sumbu wilayah di bagian Timur dan Barat).
• Memanfaatkan perkembangan di bagian wilayah tengah dengan pemantapan
fungsi kota-kota yang menjadi pusat pelayanan dan pengintensifan produksi.
• Membatasi perkembangan di bagian wilayah hulu karena itu tidak dikembangkan
simpul atau pusat pelayanan. Bagian wilayah ini dilayani oleh simpul-simpul
atau pusat di bagian wilayah Tengah.
Atas dasar arahan tersebut dan penyebarannya secara spasial, maka kota-kota
yang akan menjadi simpul atau pusat berkaitan dengan pengembangan jaringan
transportasi (jalan raya) secara internal adalah:
47
o Cibinong
o Citeureup
o Cileungsi
o Jonggol
o Cariu
o Dramaga
o Leuwiliang
o Jasinga
o Tenjo
Strategi Pemanfaatan Ruang
Dengan dasar pola pemanfaatan ruang yang ada, karakteristik fisik geografis
serta tujuan dan kebijaksanaan pengembangan wilayah, maka konsep arahan fungsi
dan pemanfaatan ruang dibagi menjadi empat klasifikasi.
Bagian wilayah sebelah selatan, dengan dominasi fungsi lindung, secara
konseptual merupakan kompleks ekologi hulu yang berbatasan dengan Kabupaten
Sukabumi dan Kabupaten Cianjur. Dalam bagian wilayah ini masih dimungkinkan
adanya fungsi budidaya namun dibatasi agar dominasi fungsi lindung dapat
dipertahankan dan dimantapkan. Pengembangan prasarana wilayah, yaitu jalan raya
relatif lebih terbatas dan diharapkan dapat langsung berfungsi ganda baik secara
internal maupun eksternal. Hal ini dimaksudkan agar tidak merangsang
perkembangan (fungsi budidaya) ke bagian wilayah ini.
Bagian wilayah dengan peningkatan pengembangan atau intensifikasi relatif
merupakan sumbu wilayah utama dan cabang yang terletak terutama pada kompleks
ekologi hulu sampai hilir di bagian tengah. Bagian wilayah ini merupakan yang
paling maju dewasa ini dengan berbagai variasi kegiatan dan fungsi. Oleh karena itu
pengembangan di masa yang akan datang sifatnya adalah peningkatan secara umum
48
bersifat intensifikasi. Pada bagian wilayah ini terletak sebagin besar pusat-pusat atau
kota-kota yang akan memberikan pelayanan kepada wilayah secara keseluruhan serta
mendukung langsung kegiatan produksi utama wilayah, yaitu perkebunan dan
pertanian tanaman pangan. Dengan demikian, peningkatan pengembangan atau
intensifikasi tersebut terutama ditujukan kepada kegiatan perkotaan, produksi
perkebunan dan pertanian tanaman pangan. Pengembangan prasarana diarahkan pada
pengembangan prasarana perkotaan dan prasarana wilayah, berupa jaringan jalan,
lebih banyak bersifat peningkatan dan untuk pelayanan lokal, yaitu dari pusat-pusat
produksi ke simpul-simpul atau kota terdekat. Dengan kata lain, pengembangan
prasarana wilayah lebih bersifat mendukung dalam upaya peningkatan.
Bagian wilayah dengan pengembangan baru atau ekstensifikasi, relatif terletak
pada kompleks ekologi tengah dan hilir di luar sumbu wilayah utama.
Pengembangan pola bagian wilayah ini sifatnya adalah ekstensifikasi dari kegiatan
pada sumbu wilayah, terutama kegiatan perkebunan (karet, teh dan kelapa) dan
pertanian tanaman pangan (sawah) dan palawija serta hortikultura. Ada dua
prasarana utama yang harus dikembangkan, yaitu jaringan jalan dan irigasi (saluran).
Pengembangan jaringan jalan, yang melintasi bagian wilayah ini dan menghubungkan
sumbu wilayah utama dengan bagian wilayah timur dan Barat yang diharapkan
berfungsi merangsang perkembangan kegiatan di bagian wilayah ini. Sementara
pengembangan jaringan irigasi (saluran) dimaksudkan untuk mendukung
pengembangan kegiatan produksi perkebunan dan pertanian tanaman pangan. Pada
masa datang, dalam jangka panjang pada bagian wilayah ini diharapkan muncul
simpul pelayanan baru yang akan mengarah menjadi kota-kota.
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan secara keseluruhan di Kabupaten Bogor dapat dibagi menjadi
9 kelas yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
49
Tabel 6 Pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor
Luas (Ha) Berdasarkan Wilayah Pembangunan No Penggunaan Lahan Barat Tengah Timur 1 Sungai/Danau 4 017 508 8472 Belukar/semak 25 018 4 723 13 4303 Hutan 23 465 9 785 7 8374 Kebun/perkebunan 27 234 17 214 16 5885 Pemukiman 8 623 18 564 7 1006 Rumput/tanah kosong 1 365 2 282 3 5947 Sawah Irigasi 8 375 7 196 14 5278 Sawah tadah hujan 21 937 4 840 10 9769 Tegalan/ladang 9 756 20 939 7 284
Total Luas 129 790 86 051 82 183Sumber : Peta Landuse, Hasil Olahan.
Dari sembilan pola penggunaan lahan tersebut, terlihat bahwa penggunaan lahan
terbesar adalah lahan kering, yaitu kebun/perkebunan seluas 61 036 hektar (20.48%),
belukar/semak seluas 43 171 hektar (19.28%), tegalan/ladang seluas 37 979 hektar
(12.74%) dan sawah tadah hujan seluas 37 753 hektar (12.67%) yang tersebar dari
barat hingga ke timur. Untuk pemukiman, dari luas 34 281 hektar, lebih banyak
terkonsentrasi di wilayah pembangunan tengah (54% dari total luas pemukiman).
Dalam hal kemampuan lahannya, wilayah pertanian di Kabupaten Bogor dapat
dikelompokkan dalam beberapa kelompok berikut:
Lahan kelas I, yaitu lahan-lahan yang mempunyai potensi pengembangan
pertanian secara sangat intensif seluas 10,9%.
Lahan kelas II, yaitu lahan-lahan yang mempunyai potensi untuk pengembangan
pertanian secara intensif seluas 19,6%.
Lahan kelas III, yaitu lahan-lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian
dengan intensitas terbatas, seluas 20,1%.
Lahan kelas IV dan V, yaitu lahan-lahan yang tidak layak untuk pengembangan
pertanian dan lebih diarahkan untuk tujuan konservasi atau dihutankan seluas
21,31%.
50
Kondisi Fisik Wilayah
Kabupaten Bogor mempunyai bentuk wilayah yang sangat beragam, mulai
dari daerah pegunungan di bagian selatan yang menjadi sumber mata air bagi daerah
di bawahnya hingga daerah yang relatif datar di bagian utara. Sebagian besar wilayah
di Kabupaten Bogor termasuk pada kelerengan antara 0-8% (meliputi 421 desa),
sedangkan yang termasuk pada kelerengan antara 8-25% meliputi 167 desa dan
kelerengan lebih dari 25% meliputi 69 desa. Luasan masing-masing kelas lereng ini
tersaji pada tabel berikut:
Tabel 7 Luas wilayah pada setiap tingkat kelerengan
Luas (Ha) Berdasarkan Wilayah Pembangunan No Kelas Lereng Barat Tengah Timur 1 0 - 8% 91 504 59 062 53 068 2 8 - 25% 28 003 18 629 24 251 3 > 25% 10 283 8 360 4 864
Jumlah 129 790 86 051 82 183 Sumber : Peta Topografi, Hasil Olahan
Selain kelas lereng, pengaruh topografi juga berdampak pada adanya perbedaan
ketinggian. Bagian selatan relatif lebih tinggi dibanding bagian utara, dengan kisaran
ketinggian antara 0 meter hingga lebih dari 2.000 m di atas permukaan laut. Bagian
yang lebih rendah umumnya berada di sebelah utara dan berangsur-angsur meninggi
ke bagian selatan. Adapun jumlah desa yang tercakup pada masing-masing kelas
ketinggian adalah sebagai berikut:
Tabel 8 Ketinggian dan jumlah desa
No Kelas Ketinggian Jumlah Desa 1 0-50 182 51-75 883 76-100 1684 101-500 2995 501-1000 1806 1001-2000 267 2001-lebih 3Sumber : Hasil olahan, 2005.
51
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar desa di Kabupaten
Bogor terletak pada ketinggian antara 100 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut.
Desa-desa yang berada di ketinggian lebih dari 1.000 meter terletak di sebelah selatan
yang berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur.
Untuk jenis tanah, berdasarkan data yang diperoleh, di Kabupaten Bogor
terdapat 14 jenis tanah (berdasarkan klasifikasi dari Pusat Penelitian Tanah). Untuk
selengkapnya dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 9 Jenis tanah yang ada di Kabupaten Bogor
No Jenis Tanah Luasan (ha) Persentase 1 Alluvial 8 994 3.022 Andosol 3 253 1.093 Assosiasi andosol dan regosol 3 031 1.024 Assosiasi latosol coklat dan latosol
coklat kekuningan 9 491 3.185 Assosiasi latosol coklat dan latosol
coklat kemerahan 28 903 9.706 Assosiasi latosol coklat dan
regosol 15 581 5.237 Assosiasi latosol merah dan latosol
coklat kemerahan 62 829 21.088 Assosiasi podsolik kuning dan
hidromorf kelabu 3 562 1.209 Grumosol 15 774 5.29
10 Kompleks latosol merah kekuningan dan latosol coklat kemerahan dan litosol 44 848 15.05
11 Kompleks podsolik merah kekuningan dan podsolik merah kekuningan 12 501 4.19
12 Latosol 12 528 4.2013 Latosol coklat 26 720 8.9714 Podzolik kuning 11 929 4.0015 Podzolik merah 9 564 3.2116 Podzolik merah kekuningan 21 301 7.1517 Regosol 7 218 2.42
Sumber : Pemda Kabupaten Bogor, 2004 dan Hasil Olahan, 2005.
52
Jenis tanah yang dominan berdasarkan tabel di atas adalah jenis asosiasi latosol
merah dan latosol coklat kemerahan yang meliputi areal seluas 62.829 hektar
(21.08%), sedangkan jenis tanah asosiasi andosol dan regosol adalah yang paling
sempit luas cakupannya, hanya meliputi areal seluas 3 031.35 hektar (1.02%).