mitigasi bencana longsor

8
STRATEGI MITIGASI STRUKTURAL BENCANA LONGSOR DI SUMATERA BARAT DAN MANILA A. PENDAHULUAN Perubahan iklim global yang telah terjadi sejak beberapa dasawarsa terakhir menyebabkan peningkatan jumlah bencana yang terjadi di Indonesia, perubahan intensitas hujan, tinggi hujan, pola sebaran, baik tempat maupun waktu, sehingga memicu terjadinya bencana alam. Salah satunya adalah bencana longsor lahan. Longsor lahan adalah gerakan tanah, batuan dan air yang menyerupai lumpur dan mengandung bahan-bahan atau pepohonan yang terseret menggelincir kebawah pada lahan miring. Gerakan tanah tersebut merupakan suatu hasil dari proses gangguan keseimbangan pada lereng lahan yang berdampak pada bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat atau daerah yang lebih rendah. Gerak masssa tanah terjadi pada lereng yang hambat tanah lebih kecil dari berat massa tanah (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 1981). Peningkatan kejadian bencana alam yang terjadi juga diikuti oleh peningkatan jumlah korban, baik jiwa manusia maupun harta benda. Degradasi lingkungan, khususnya lingkungan fisik, akan memicu terjadinya bencana alam. Terjadinya degradasi ini karena pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya dukungnya akibat dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan pembangunan yang pesat. Fenomena bencana alam menjadi ancaman bagi keberlangsungan lingkungan karena frekuensi kejadiannya yang meluas di banyak negara dan telah menimbulkan dampak yang luar biasa baik bagi manusia maupun lingkungannya. Bahkan Indonesia telah menyusun undang-undang khusus tentang penanggulangan bencana. Ini dilakukan karena frekuensi kejadian bencana dan dampaknya yang perlu ditangani secara serius. Undang- Undang Penanggulangan Bencana tahun 2007 menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan merupakan salah satu akibat yang harus dialami saat bencana alam terjadi. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dapat berupa rusaknya kawasan budi daya seperti persawahan, perkebunan, peternakan dan pertambangan, terjadinya erosi, tanah longsor, kebakaran hutan, perubahan bentang alam, pendangkalan sungai, hilangnya sejumlah spesies, rusaknya berbagai habitat flora dan fauna hingga kerusakan ekosistem. Gagalnya fungsi ekosistem tidak dapat lagi mendukung kehidupan masyarakat. Kualitas kesejahteraan menurun drastis berikut dengan kesehatan dan pendidikan, bahkan manusia sebagai pengelola lingkungan hidup juga terancam jiwa dan keselamatannya saat bencana terjadi.

Upload: dinil-qaiyimah

Post on 31-Jan-2016

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Mitigasi Bencana

TRANSCRIPT

Page 1: Mitigasi Bencana Longsor

STRATEGI MITIGASI STRUKTURAL BENCANA LONGSOR DI SUMATERA

BARAT DAN MANILA

A. PENDAHULUAN

Perubahan iklim global yang telah terjadi sejak beberapa dasawarsa terakhir

menyebabkan peningkatan jumlah bencana yang terjadi di Indonesia, perubahan intensitas

hujan, tinggi hujan, pola sebaran, baik tempat maupun waktu, sehingga memicu terjadinya

bencana alam. Salah satunya adalah bencana longsor lahan. Longsor lahan adalah gerakan

tanah, batuan dan air yang menyerupai lumpur dan mengandung bahan-bahan atau

pepohonan yang terseret menggelincir kebawah pada lahan miring. Gerakan tanah tersebut

merupakan suatu hasil dari proses gangguan keseimbangan pada lereng lahan yang

berdampak pada bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat atau daerah yang lebih

rendah. Gerak masssa tanah terjadi pada lereng yang hambat tanah lebih kecil dari berat

massa tanah (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 1981). Peningkatan kejadian bencana

alam yang terjadi juga diikuti oleh peningkatan jumlah korban, baik jiwa manusia maupun

harta benda.

Degradasi lingkungan, khususnya lingkungan fisik, akan memicu terjadinya bencana

alam. Terjadinya degradasi ini karena pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya

dukungnya akibat dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan pembangunan yang pesat.

Fenomena bencana alam menjadi ancaman bagi keberlangsungan lingkungan karena

frekuensi kejadiannya yang meluas di banyak negara dan telah menimbulkan dampak

yang luar biasa baik bagi manusia maupun lingkungannya. Bahkan Indonesia telah

menyusun undang-undang khusus tentang penanggulangan bencana. Ini dilakukan karena

frekuensi kejadian bencana dan dampaknya yang perlu ditangani secara serius. Undang-

Undang Penanggulangan Bencana tahun 2007 menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan

merupakan salah satu akibat yang harus dialami saat bencana alam terjadi. Kerusakan

lingkungan yang ditimbulkan dapat berupa rusaknya kawasan budi daya seperti

persawahan, perkebunan, peternakan dan pertambangan, terjadinya erosi, tanah longsor,

kebakaran hutan, perubahan bentang alam, pendangkalan sungai, hilangnya sejumlah

spesies, rusaknya berbagai habitat flora dan fauna hingga kerusakan ekosistem. Gagalnya

fungsi ekosistem tidak dapat lagi mendukung kehidupan masyarakat. Kualitas

kesejahteraan menurun drastis berikut dengan kesehatan dan pendidikan, bahkan manusia

sebagai pengelola lingkungan hidup juga terancam jiwa dan keselamatannya saat bencana

terjadi.

Page 2: Mitigasi Bencana Longsor

Sebagian besar bencana alam merupakan fenomena yang tidak dapat dicegah oleh

manusia, namun resiko akibat bencana tersebut dapat diminimalisasi atau dikurangi. Salah

satu caranya adalah dengan melakukan mitigasi bencana. Secara historis, Indonesia

merupakan negara dengan tingkat frekuensi pengalaman yang cukup tinggi terhadap

bencana alam, baik itu gempa bumi, tanah longsor, tsunami, gunung berapi, dan angin

puting beliung. Tentu kita tidak dapat melupakan serangkaian bencana alam yang

menimpa bangsa ini mulai dari bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh pada

tahun 2004, gempa bumi dan tsunami di Pulau Nias tahun 2005, gempa bumi di

Yogyakarta tahun 2006. Hamparan bumi Indonesia kembali mendapatkan giliran bencana

hampir sepanjang tahun 2010 antara lain gempa bumi di Padang, Sumatera Barat, gempa

bumi dan tsunami di Mentawai, banjir bandang di Wasior, Papua, dan bencana meletusnya

Gunung Merapi di Yogyakarta pada akhir tahun 2010.

Secara geografis, Indonesia dikepung oleh tiga lempeng dunia, yaitu Lempeng

Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Sewaktu – waktu lempeng ini

akan bergeser patah dan menimbulkan gempa bumi. Akibatnya, tumbukan antarlempeng

tektonik dapat menghasilkan tsunami seperti yang terjadi di Aceh. Selain dikepung oleh

tiga lempeng dunia, Indonesia juga merupakan jalur The Pasific Ring of Fire (Cincin Api

Pasifik) yang merupakan rangkaian jalur gunung api aktif.

Dengan berbagai ancaman bencana alam yang datang tanpa dapat direncanakan

tersebut, masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah rawan bencana seharusnya

mempersiapkan diri menghadapi musibah dan bencana alam sebagai upaya

meminimalisasi jumlah korban. Salah satu bentuk persiapan adalah mitigasi. Mitigasi

adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan

fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Salah satu bentuk penerapan mitigasi pada keadaan bencana sebagai upaya

meminimalisasi dampak musibah dapat dilihat dan diperhatikan pada penanganan bencana

Gunung Merapi pada tahun 2010. Upaya mitigasi pemerintah adalah dengan membangun

bungker – bungker di sekitar daerah kaki gunung di wilayah Gunung Merapi, Yogyakarta.

Selain itu, pemerintah juga membangun instalasi sirine yang aktif pada saat darurat untuk

peringatan status awas atau siaga Gunung Merapi sebagai Early Warning System (EWS).

Sirine ini akan berdering sebagai tanda bahwa masyarakat di sekitar kaki Gunung Merapi

harus segera mengungsi di tempat yang lebih aman pada jarak radius yang ditetapkan oleh

lembaga pemerintah, dalam hal ini BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika), Pusat

Vulkanologi dan Mitigasi Geologi, dan Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Page 3: Mitigasi Bencana Longsor

Kegunungapian (BPPTK). Di samping itu, penyadaran dan peningkatan kemampuan

menghadapi bencana Gunung Merapi juga perlu disiapkan antara lain sosialisasi kepada

masyarakat yang tinggal di sekitar rawan bencana Gunung Merapi. Latihan evakuasi,

persiapan dapur umum, manajemen tandu dan tenda, manajemen pengungsi, dan

koordinasi pemerintah desa adalah beberapa contoh pelatihan bagi masyarakat sebagai

upaya menghadapi bencana meletusnya Gunung Merapi.

B. MITIGASI STRUKTURAL DAN MITIGASI NONSTRUKTURAL.

Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik

melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi

ancaman bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai

tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk

megurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Sedangkan

risiko terhadap bencana adalah kemungkinan terjadi bencana dan kemungkinan kehilangan

yang mungkin terjadi pada kehidupan dan atau sarana prasarana fisik yang diakibatkan

oleh suatu jenis bencana pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Risiko bencana dapat

ditunjukkan oleh hasil kombinasi antara tingkat bahaya dengan derajat kehilangan yang

mungkin terjadi.

Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan

untuk mengurangi resiko yang terkait dengan bahaya karena ulah manusia dan bahaya

alam yang sudah diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap

bencana yang terjadi.

Upaya mitigasi tentu menjadi bagian penting dari suatu proses mengenali ancaman

bencana yang ada di sekitar tempat tinggal manusia. Ancaman yang tentu saja dapat

merenggut harta benda (properti, ladang, dan hewan ternak), keluarga, lingkungan sosial,

dan nyawa manusia. Upaya mitigasi bertujuan untuk mengantisipasi dan mempersiapkan

diri dalam setiap ancaman bencana yang mungkin akan datang. Upaya mitigasi dapat

dibagi menjadi dua bagian penting yaitu mitigasi struktural/fisik dan mitigasi

nonstruktural/nonfisik.

Mitigasi struktural adalah upaya atau tindakan yang dilakukan untuk mengurangi

resiko bencana dengan membuat struktur atau entitas fisik yang dapat mengurangi atau

mereduksi ancaman untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana alam. Mitigasi

struktural atau fisik dapat berupa pembangunan bungker dan instalasi perangkat Early

Warning System.

Page 4: Mitigasi Bencana Longsor

C. STRATEGI MITIGASI STRUKTURAL BENCANA LONGSOR DI SUMATERA

BARAT DAN MANILA

Mengambil contoh mitigasi bencana di Indonesia yaitu Sumatera Barat, mitigasi

dilakukan dengan melakukan pemetaan zona kerentanan gerakan tanah serta pemantauan

gerakan tanah. Mitigasi bencana berupa pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah

(ZKGT) terdiri dari 4 tingkatan, yakni zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah, zona

kerentanan gerakan tanah rendah, zona kerentanan gerakan tanah menengah dan zona

kerentanan gerakan tanah tinggi. Pemetaan ini memerlukan data spasial tingkat bahaya

longsor suatu wilayah dan disajikan dalam bentuk peta resiko bahaya longsor.

Langkah lainnya adalah pemantauan gerakan tanah. Ini dilakukan di daerah yang

tanah dan batuannya aktif bergerak, mempunyai nilai ekonomi tinggi serta mengancam

jiwa manusia. Langkah mitigasi lainnya adalah meningkatkan kewaspadaan menghadapi

gerakan tanah dengan cara meningkatkan koordinasi dengan BPBD, memasyarakatkan

informasi bencana berupa hasil kajian, peta pemantauan. Penelitian melalui penyuluhan,

pelaporan, media massa, poster untuk acuan dasar analisa risiko dan pengembangan tata

ruang wilayah, memberdayakan masyarakat dalam memahami informasi gerakan tanah.

Selain itu, juga memasyarakatkan kelembagaan penanggulangan bencana agar

masyarakat tahu ke mana harus melapor bila mana terjadi bencana. Merancang bangunan

tahan tehadap bencana gerakan tanah, membuat dan memperbanyak buku panduan tentang

gerakan tanah dan memasukan persyaratan teknis untuk perizinan bangunan atau perizinan

lokasi pengembangan wilayah.

Gambar 1. Dampak Bencana Longsor di Sumatera Barat

Page 5: Mitigasi Bencana Longsor

Untuk langkah mitigasi sesudah kejadian, berupa tanggap darurat meliputi

pembentukan tim reaksi cepat setelah menerima informasi awal tanah longsor dan

memeriksa kondisi bencana serta memberikan rekomendasi teknis penanggulangan kepada

pemerintah daerah setempat dan rehabilitasi ekonomi, sosial dan sarana prasarana

berdasarkan aspek geologi. Sedangkan tahap rekonstruksi, perlu membangun kembali

daerah yang terkena tanah longsor dengan bangunan penahan terhadap tanah longsor

dengan memasukan rekomendasi teknis aspek geologi.

Seharusnya di negara yang sering terkena bencana tanah longsor, diperlukan upaya

mitigasi yang lebih baik untuk menangani bencana yang mungkin akan terjadi. Secara

umum keadaan alam di negara Filipina tidak jauh berbeda dengan Indonesia, begitu pula

dengan corak penghidupan rakyatnya. Melihat kota-kota di Filipina memang terasa ada

perbedaan suasana karena lebih kebarat-baratan, tetapi wilayah pedesaannya hampir tak

berbeda dengan pedesaan kita. Wilayah Kepulauan Filipina memiliki kedalaman parit laut

sekitar 10.539 meter, atau yang terdalam di dunia, yang berlokasi di lepas pantai timur

Pulau Mindanao. Kepulauan Filipina juga kaya dengan wilayah hutan lindung yang masih

asli di Luzon Utara dan Mindanao, daerah perbukitan, gunung-gunung, jurang-jurang

curam, dan lembah-lembah yang subur. Danau-danau terbesar di Filipina terdapat Pulau

Luzon, Danau Laguna de Bay, dan Danau Sultan Alonton di Pulau Mindanao.

Karena keadaan alamnya termasuk subur, penduduk negeri ini sebagaian besar

memperoleh penghasilan dari bertani dan berkebun. Sawah-sawah dijumpai hampir di

semua kepulauan negeri itu.

Page 6: Mitigasi Bencana Longsor

Gambar 2. Dampak Bencana Longsor di Manila, Filipina

Mitigasi yang dilakukan di Manila, Filipina salah satunya adalah mengembangkan

sensor pendeteksi gerakan tanah yang bertujuan untuk mengetahui kemungkinan

terjadinya longsor di suatu wilayah sehingga dapat mengurangi jumlah korban, khususnya

korban jiwa. Pada tahun 2012 sensor ini mulai di uji coba di wilayah yang rawan terkena

longsor.

Prototipe sensor yang berbentuk simpul silinder di tanam sedalam 2 meter di bawah

kaki gunung, untuk mencatat gerakan tanah dan mengirim datanya ke terminal. Hanya

gerakan besar yang dapat dilihat dengan menggunakan sensor ini, meski seringkali

gerakan kecil akhirnya menjadi besar. Sensor ini terdiri dari beberapa simpul, satu

simpulnya memiliki sensor untuk kemiringan dan gerakan tanah, yang dihubungkan ke

sistem grafik komputer sehingga setiap gerakan dapat terlihat. Ini sangat membantu untuk

perlindungan masyarakat yang tinggal di dekat pegunungan khususnya wilayah yang tidak

memiliki solusi teknik untuk tanah longsor, sehingga mereka dapat siap menyelamatkan

diri sebelum tanah longsor terjadi.

Strategi mitigasi bencana longsor di Sumatera Barat dan Manila memiliki

perbedaan, di mana di Sumamatera Barat yang melakukan pengawasan dan pemantuan

dengan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak menurut saya berada satu langkah di

belakang strategi mitigasi yang dilakukan di Manila karena telah menggunakan alat yang

Page 7: Mitigasi Bencana Longsor

berupa sensor untuk menantau kemungkinan longsor yang akan terjadi di suatu wilayah.

Dari segi perencanaan tata wilayah di Sumatera Barat tidak begitu berhasil karena ketika

terjadi bencana longsor masih banyak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan bangunan

seperti rumah-rumah warga. Hal tersebut juga kemungkinan terjadi karena adanya

penolakan evakuasi oleh masyarakat sekitar daerah rawan longsor ketika dikeluarkan

peringatan mengungsi sehingga pada saat terjadi bencana longsor banyak memakan

korban jiwa.

Page 8: Mitigasi Bencana Longsor

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. http://www.adipedia.com/2011/04/wow-ilmuwan-filipina-merancang-alat.html. Wow Ilmuan Filipina Merancang Alat Sensor Longsor. Diakses pada tanggal4 Januari 2014.

Bola, Matt. 2012. http://www.asmmag.com/id/2012-12-30-14-40-18/feature/4158-the-philippines-begin-3d-mapping of-the-entire-country.html. Filipina Mulailah Pemetaan3D dari Seluruh Negara. Diakses pada tanggal 4 Januari 2014

Danhas, Mardayeli. 2011. Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Penanggulangan Bencana diProvinsi Sumatera Barat. Tesis

NTDIndonesia. 2011. http://www.youtube.com/watch?v=gY39fFJ1sIQ. Ilmuwan FilipinaMerancang Alat Sensor Longsor. Diakses pada tanggal 4 Januari 2014

Paimin., dkk. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Tropenbos InternationalIndonesia Programme