mnh47.files. web viewdalam jangka waktu 12 tahun telah terjadi penurunan luas hutan di indonesia ......
TRANSCRIPT
MK. Biometrika Hutan
MODEL SIMULASI PENENTUAN LUAS MINIMAL
REBOISASI DI INDONESIA
Kelompok 1
1. Sri Wahyuni E14100003
2. Titin Martina M E14100022
3. Wahyu Nazri Y E14100030
4. MawardahNurHanifiyani E14100039
5. Ika Lestari Hutasuhut E14100063
6. Erfanda Irawan E14100054
7. Resi Roisah H E14100058
8. Luvia Arlenlilia E14100068
9. M. Faiz Zaini E14100095
10. Arif Budi Santoso E14100136
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Budi Kuncahyo
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kerusakan hutan dan lahan mendorong munculnya lahan kritis yang
semakin luas setiap tahun di seluruh Indonesia. Kekritisan lahan ditunjukan
oleh meningkatnya bencana alam seperti banjir, kekeringan, erosi,
sedimentasi, dan tanah longsor. Kerugian yang timbul akibat bencana
tersebut mencakup kerugian jiwa dan harta dalam jumlah yang sangat besar.
Dalam jangka waktu 12 tahun telah terjadi penurunan luas hutan di
Indonesia sebesar ± 20 juta hektar atau rata-rata sebesar 1,7 juta hektar per
tahun. Saat ini diperkirakan luas hutan alam yang tersisa hanya 28%. Jika
tidak segera dihentikan, maka hutan yang tersisa akan segera musnah.
Kerusakan hutan di Indonesia terutama disebabkan oleh penebangan liar
(illegal logging), kebakaran hutan dan lahan, kegiatan penambangan,
peralihan fungsi hutan (konversi) menjadi perkebunan skala besar dan hutan
tanaman industry dan penebangan yang tidak lestari (unsustainable
logging).
Deforestasi merupakan penurunan luas hutan baik secara kualitas
dan kuantitas. Deforestasi secara kualitas berupa penurunan ekosistem flora
dan fauna yang terdapat pada hutan tersebut sedangkan, deforestasi secara
kuantitas (sangat jelas) berupa penurunan luas hutan. Secara umum
deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi
tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Departemen
Kehutanan (Pemerintah) mendefinisikan deforestasi sebagai perubahan dari
suatu kawasan hutan, dimana kawasan yang berhutan pada awalnya diubah
sebagai suatu kawasan tak berhutan. Ada dua macam faktor pendorong yang
menyebabkan deforestasi, yaitu faktor pendorong secara langsung dan
faktor pendorong tidak langsung. Penyebab langsung adalah kegiatan
penebangan hutan, penebangan liar, dan kebakaran hutan yang tidak dapat
dikendalikan dan sering terjadi, terutama pada musim kemarau yang
panjang. Penyebab tidak langsung, antara lain adalah kegagalan pasar
(misalnya penetapan harga kayu yang terlalu rendah), kegagalan kebijakan
(misalnya pemberian ijin HPH selama 20 tahun yang tidak menjadi insentif
untuk melakukan penanaman pengkayaan), serta persoalan sosial-ekonomi
dan politik lainnya secara umum. Sejak pertengahan tahun 1990-an hingga
sekarang, selain dari kebakaran hutan yang terus terjadi, dan kesalahan
dalam pengelolaan areal konsesi hutan, masalah yang kompleks lainnya
termasuk periode transisi dari sistem pemerintahan yang sentralistik ke
sistem desentralistik, konversi hutan untuk penggunaan lain (misalnya
perkebunan kelapa sawit), penebangan liar, dan perambahan hutan secara
besar-besaran, biasanya dengan tujuan konversi hutan, terutama untuk
pengembangan pertanian (CIFOR 2003).
Reboisasi adalah upaya menghutankan kembali lahan kritis yang
tidak produktif di dalam kawasan hutan. Reboisasi ini merupakan salah satu
program pemerintah untuk menekan perluasan laju deforestasi hutan di
Indonesia. Menurut PP RI No. 35 tahun 2002 tentang dana reboisasi
pemerintah mendefinisikan reboisasi merupakan upaya penanaman jenis
pohon hutanpada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-
alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan. Tujuan
program reboisasi adalah memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam
kegiatan rehabilitasi dengan menyediakan bantuan untuk merancang
kegiatan, mengembangkan kelembagaan masyarakat dan menyediakan
bantuan teknis dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan dana dan menyusun
program-program untuk kegiatan reboisasi tetap saja tidak mampu
menurunkan laju deforestasi hutan di Indonesia. Banyak kendala dan
permasalahan yang menyebabkan program Reboisasi tidak berjalan sesuai
dengan aturan pemerintah. Salah satu masalah dan isu yang dianalisis oleh
mahasiswa akan penyebab ketidakberhasilan program reboisasi adalah
mengenai data realisasi luas wilayah yang telah direboisasi ini tidak tercatat
dengan baik. Data diberikan oleh tiap provinsi mengenai luas kawasan
hutan, luas berhutan dan luas deforestasi tidak sesuai dengan fakta
dilapangan. Meskipun setiap tahunnya pemerintah terus melakukan
reboisasi, namun jika laju reboisasi lebih kecil dari laju deforestasi maka
akan sulit bagi pemerintah untuk menurunkan laju deforestasi hutan di
Indonesia. Simulasi model luas reboisasi untuk menurunkan laju deforestasi
adalah sebuah model yang dirancang mahasiswa yang dapat menerangkan
dengan jelas mengenai tingkat deforestasi yang terjadi di Indonesia. Model
ini dibuat berdasarkan perolehan data Statistik Kehutanan Indonesia pada
tahun 2011. Model ini menggambarkan sistem dengan variable penunjang
dan dibuat dengan program stella.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui luasan hutan
setelah terjadi deforestasi dan luasan yang perlu direboisasi untuk menutupi
luasan yang terdeforestasi. Pemodelan ini juga ditujukan untuk mengetahui
dan melihat jangka waktu penanaman guna mengimbangi luasan hutan yang
terdeforestasi.
1.3 Batasan sistem
Dari data dan penyajian informasi tentang deforestasi hutan di
Indonesia, maka dapat disajikan dalam sebuah model dengan batasan
modelnya antara lain kurun waktu dalam pengambilan data tentang
deforestasi 14 tahun, antara tahun 2007 sampai dengan tahun 2020.
Dalam makalah ini berdasarkan data statistik kehutanan tahun 2011
didapatkan kondisi Sumber Daya Hutan Indonesia dengan luasan sebagai
berikut:
1. Hutan Produksi
Hutan Produksi Tetap 36.736,4 ha
Hutan Produksi Dapat Dikonversi 22.744,9 ha
Hutan Produksi Terbatas 22.343,8 ha
Total 81.825,1ha
2. Hutan Lindung 31.595,1 ha
3. KSA dan KPA 20.093,6 ha
Pada luasan hutan ini kemudian terjadi deforestasi. Berdasarkan data
statistik 2011 luas deforestasi digambarkan berdasarkan fungsi hutannya
yaitu hutan produksi tetap, hutan produksi dapat dikonversi, hutan produksi
terbatas, hutan lindung, KSA dan KPA. Dalam batasan ini data deforestasi
dibatasi pada luasan deforestasi. Faktor deforestasi seperti kebakaran hutan,
illegal logging diasumsikan telah termasuk ke dalam luas deforestasi pada
tiap luasan kawasan terdeforestasi. Data deforestasi yang digunakan adalah
data luas kawasan hutan yang terdeforestasi pada hutan primer pada setiap
fungsi hutan berdasarkan data statistik 2011. Adapun luasan deforestasinya
adalah sebagai berikut:
1. Hutan Produksi
Hutan Produksi Tetap 8.414,9 ha
Hutan Produksi Dapat Dikonversi 1.526,0 ha
Hutan Produksi Terbatas 1.213,0 ha
Total 11.153,9 ha
2. Hutan Lindung 4.500,1 ha
3. KSA dan KPA 2.253,5 ha
Pada suatu model terdapat berbagai macam komponen yang dapat
menggambarkan laju aliran transfer dari model itu sendiri. Komponen –
komponen inilah yang kemudian mempengaruhi dinamika dalam suatu
model. Komponen – komponen ini ialah State variable/ stock, driving
variable, auxiliary variable, dan material transfer. Dengan menambahkan
atau membatasi peubah atau komponen – komponen ini maka suatu
kejadian dapat diamati perubahannya. Adapun penjelasan dari komponen –
komponen ini adalah sebagai berikut:
1. State variable/ Stock
State variable merupakan peubah yang bias memberikan
informasi ke variabel-variabel lainnya. Tidak bisa sebaliknya, hanya
bias menerima informasi dari inflow dan outflow, serta tidak boleh ada
material variabel yang bermacam-macam. Pada model ini, state
variable merupakan luas tiap fungsi kawasan hutan Indonesia
berdasarkan data statistik kehutanan 2011.
2. Driving variable
Driving variable adalah peubah yang mentransfer informasi,
biasanya merupakan variabel-variabel fungsi yang nantinya akan
disimulasi. Variabel ini mempengaruhi variabel-variabel lain tapi
tidak dipengaruhi oleh model itu sendiri. Pada model ini, driving
variable adalah pinjam pakai transmigrasi dan pemukiman, eksploitasi
tambang dan non tambang, serta pertanian.
3. Auxiliary variable
Auxiliary variable adalah peubah pendukung atau peubah
pembantu. Peubah ini merupakan konstanta pembantu dalam suatu
model yang berperan dalam laju aliran transfer materi. Dalam model
ini yang berperan sebagai Auxiliary Variable adalah luas deforestasi
hutan produksi, luas deforestasi hutan lindung, dan luas deforestasi
KSA dan KPA.
4. Material Transfer
Transfer materi merupakan transfer pada periode waktu tertentu.
Transfer materi dapat terjadi pada antara dua stok atau peubah state,
antara sumber dan stok, dan antara stok dan buangan (Purnomo 2012).
Dalam model ini yang menjadi material transfer adalah luasan hutan
dengan satuan hektar (Ha).
1.4 Skenario Pemodelan
Kerusakan Hutan di Indonesia ditandai dengan adanya
peningkatan laju Deforestasi .
Penyebab Deforestasi :
1. Kebakaran Hutan
2. Perambahan kawasan hutan
3. Ilegal logging
4. Pinjam pakai kawasan hutan
5. Konversi lahan hutan, dll
Upaya Pemerintah untuk menurunkan
laju deforestasi
1. Gerakan Reboisasi Nasional 2004
2. Reboisasi untuk DAS3. Program-program
Penanaman pohon4. Adanya dana Reboisasi
dari pemerintah sebagai faktor pendukung PP RI No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi
Fakta nyata, berdasarkan Data Statistik Kehutanan Indonesia laju Deforesasi
Indonesia pada tahun 2009/2010 adalah 832.126,9 hektar per tahun. Laju
Deforestasi tetap meningkat dari tahun ke tahun. Apa masalah sebenarnya??
Mari Berpikir Sistem
(Diskusi)
Hasil Diskusi :
Laju Deforestasi Indonesia tidak seimbang dengan upaya pemerintah
berupa program Reboisasi (Luas Deforestasi > Luas Reboisasi).
Berapa luas minimal Reboisasi di Indonesia untuk menurunkan laju
Deforestasi??
PEMODELAN
II. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaaan
lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor
intitusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian sifat fisik
seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan
kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi mencakup keuntungan, keadaan
pasar dan transportasi. Faktor intitusi mencakup hokum pertanhan, keadaan
politik, keadaan sosial dan kelayakan administrasi.
Perubahan penggunaan lahan merupakan bertambahnya suatu penggunan
lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan
berkurangnya tipe penggunaan lahan lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya,
atau berubahnya suatu fungsi lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto
2001). Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapet
dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan
untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan
kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntunan akan mutu kehidupan yang lebih
baik.
Dalam beberapa dekade terakhir ini laju deforestasi telah menjadi
permasalahan serius. Perubahan lahan berhutan menjadi lahan non hutan
merupakan penyebab utama terjadinya degradasi lahan dan kerusakan lingkungan.
Harrison (1992) menyatakan bahwa sebesar 75% perubahan hutan disebabkan
oleh praktek penebangan hutan. Sedangkan Allen dan Barnes (1985) menyatakan
bahwa populasi penduduk merupakan faktor utama yang mendorong terjadinya
praktek penebangan di tahun 80-an. Disamping itu, Brown dan Pearce (1994)
menyebutkan bahwa ada hubungan yang kuat dan positif antara pertumbuhan
populasi penduduk dengan pengurangan luas hutan.
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan
hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan
kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat,
karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi
pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan
fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung, dan produksi (Tunggal, 2008).
Menurut Pahan (2008), penanaman kembali merupakan kegiatan
melakukan peremajaan yang bukan hanya didasarkan pada umur, melainkan :
-Rata-rata produksi/ha tanaman yang rendah
-Biaya perawatan yang tinggi
-Lokasi blok yang sulit diakses
-Ketersediaan modal
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1 Hasil
Gambar 1. Submodel laju deforestasi pada Hutan Produksi
LuasHP
DefHPterbatasDefHPTetap
DefHPDikonversi
DefHP
LuasDEfHP
Hutan Produksi
Gambar 2. Submodel laju deforestasi pada KSA dan KPA
LuasKSAKPA
DefKSAKPA
LuasDefKSAdanKPA
KSA dan KPA
Gambar 3. Submodel laju deforestasi pada Hutan Lindung
LuasHL
DefHL
LuasDefHL
Hutan Lindung
Gambar 4. Submodel total hutan
LuasHP
LuasHLLuasKSAKPA
TotalHutan
Total Hutan
Gambar 5. Submodel luas lahan yang harus direboisasi
LHL
LHP
LKSAKPA TotalHutanAwal
TotalHutan
gap
LuasReboisasi
Penanaman
Luas Lahan yang harus diReboisasi
Gambar 6. Grafik total luas hutan dan reboisasi
15:57 23 Des 2013Page 12007.00 2010.25 2013.50 2016.75 2020.00
tahun
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
70000
140000
1: TotalHutanAwal 2: TotalHutan 3: LuasReboisasi
1 1 1 1
2
2
22
3
33 3
Gambar 7. Grafik total luas hutan dan reboisasi
15:57 23 Des 2013Page 12007.00 2010.25 2013.50 2016.75 2020.00
tahun
1:
1:
1:
0
100000
200000
LuasReboisasi: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 -
1
1
11
2
2
2 2
3
3
3 3
44
4 4
55 5 5
Tabel 1. Luas yang direboisasi
Tabel 2. Luas yang direboisasi dengan skenario frekuensi penanaman tiap tahun
Tabel 3. Hasil uji korelasi dan uji regresi pada data reboisasi aktual dan reboisasi model
Tahun Reboisasi Aktual (RA) Reboisasi Model (RM)2007 76.218 02008 267.066 3581,52009 113.042 71632010 145.102 10744,52011 151.498 14326
Regression Analysis: RA versus RM
The regression equation isRA = 144866 + 0,80 RM
Predictor Coef SE Coef T PConstant 144866 63964 2,26 0,108RM 0,798 7,291 0,11 0,920
S = 82577,0 R-Sq = 0,4% R-Sq(adj) = 0,0%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 1 81773122 81773122 0,01 0,920Residual Error 3 20456874635 6818958212Total 4 20538647757
Correlations: RA; RM
Pearson correlation of RA and RM = 0,063P-Value = 0,920
III.2 Pembahasan
Deforestasi adalah perusakan lapisan atas hutan dengan cara merubah
penggunaan lahan secara permanen. Deforestasi terhadap hutan hujan tropis
utama menyebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca di atmosfir bumi,
kehancuran habitat hutan, dan kerusakan terhadap sumber kehidupan masyarakat
yang bergantung pada hutan untuk kelanjutan hidup mereka. Definisi secara
umum, deforestasi merupakan penurunan luas hutan baik secara kualitas dan
kuantitas. Deforestasi secara kualitas berupa penurunan ekosistem flora dan fauna
yang terdapat pada hutan tersebut. Deforestasi secara kuantitas (sangat jelas)
berupa penurunan luas hutan. Dapat disebutkan bahwa Deforestasi adalah
perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia. Sehingga perlu diupayakan untuk mencegah
kerusakan yang diakibatkan oleh deforestasi. Untuk itu, laju deforestasi perlu
diturunkan.
Dari data yang diperoleh, Departemen Kehutanan (Pemerintah)
menyatakan laju deforestasi untuk periode 2009/2010 adalah 832.126,9 hektar per
tahun. Laju deforestasi yang ini berbeda jauh dengan apa yang dikemukakan
Greenpeace bahwa angka kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,8 juta hektar/
tahun selama kurun waktu 2000-2005. Hal ini sama dengan setiap jamnya,
kawasan hutan di Indonesia seluas 300 lapangan sepak bola lenyap. Berikut
merupakan estimasi laju deforestasi menurut beberapa ahli :
Tabel 4. Estimasi deforestasi di indonesia setiap tahun (rb/ha)
Untuk menggambarkan sebuah laju deforestasi pertahun data yang
diinginkan, diperlukan sebuah model yang dapat menerangkan dengan jelas
mengenai tingkat deforestasi yang terjadi di Indonesia. Model ini dibuat
berdasarkan perolehan data Dephut pada tahun 2009-2011 mengenai jumlah hutan
dan laju kerusakan hutan di Indonesia. Model ini digambarkan dalam sebuah
system dengan variable penunjang, data-data ditampilkan dengan nilai per
variable yang ada dari perolehan penilaian hutan oleh Dephut.
Model ini dibuat dengan program stella dengan jangka waktu analisis 14
tahun pada tahun 2007-2020. Sebelum bisa terbentuknya sebuah model harus
diketahui komponen-komponen yang membentuk model itu sendiri. Pada suatu
model terdapat berbagai macam komponen yang dapat menggambarkan laju aliran
transfer dari model itu sendiri. Komponen – komponen inilah yang kemudian
mempengaruhi dinamika dalam suatu model. Komponen – komponen ini ialah
State variable/ stock, driving variable, auxiliary variable, dan material transfer.
Dengan menambahkan atau membatasi peubah atau komponen – komponen ini
maka suatu kejadian dapat diamati perubahannya. Komponen pertama dalam
model adalah stock/state varable yang bisa menerima informasi inflow dan
outflow, pada model ini stock berupa tiap luas fungsi kawasan hutan di seluruh
Indonesia (HP,HL,HK) yaitu state variable total luas kawasan hutan per tiap
fungsi Indonesia tahun 2009/2011 yaitu hutan produksi dengan luas 81.825,1 ha;
hutan lindung 31.595,1 ha; KSA dan KPA 20.093,6 ha. Komponen selanjutnya
adalah Auxiliary variable dimana merupakan peubah yang mempengaruhi laju
transfer materi terhadap stok atau dalam model ini Luas Hutan Total, dalam model
ini luas deforestasi khususya pada hutan primer yang dibagi ke dalam fingsi
hutan, yaitu hutan produksi, lindung dan KPA-KSA serta luas lahan yang harus
direboisasi. Material transfer dalam model ini adalah luasan hutan dengan satuan
hektar (ha).
Model dapat menjelaskan bagaimana data laju deforestasi hutan Indonesia
berdasarkan variabel (faktor-faktor) yang dapat mempengaruhi serta
menyebabkan tingginya laju deforestasi hutan. Apabila laju deforestasi yang saat
ini terjadi melebihi target yang ada, dalam keseimbangan kelestarian hutan akan
menimbulkan dampak yang begitu banyak terutama bencana alam yang terjadi di
Indonesia. Selain itu deforestasi yang tidak seimbang akan berdampak pada
ekonomi, ekologi, sosial dan budaya, serta politik dan keamanan. Tabel 1. yang
menyajikan luas yang perlu direboisasi. Tabel tersebut menunjukkan bahwa luas
yang perlu direboisasi cukup besar, hal ini disebabkan laju deforestasi yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diperlukan untuk mereboisasi sampai
dengan 26.702,76 ha setiap tahun selama 5 tahun dari tahun 2016 sampai 2020
untuk menurunkan laju deforestasi. Pada tahun 2007 luas lahan yang harus
direboisasi adalah 0 hektar dengan asumsi bahwa pada tahun 2007 belum ada
kejadian deforestasi. Namun luas lahan yang harus direboisasi dari tahun ke tahun
semakin meningkat karena laju deforestasinya juga semakin besar. Data statistik
kehutanan tahun 2011 yang menunjukkan bahwa tingginya angka deforestasi ini,
karena perbedaan data yang terjadi, yaitu dalam pengumpulan data faktor
penyebab peningkatan deforestasi yang simpang siur.
Tabel 2 menunjukkan bahwa reboisasi yang dilakukan dalam kurun waktu
14 tahun belum dapat menekan laju deforestasi yang terjadi di Indonesia. Bahkan
dibuat skenario pun dengan menambahkan frekuensi penanaman setiap 5 tahun
sekali dalam kurun waktu 14 tahun, reboisasi tidak dapat mengatasi deforestasi
yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari uji korelasi dan uji regresi yang kami
lakukan pada model. Korelasi antara luas areal yang direboisasi dalam model
dengan luas areal yang direboisasi aktual memiliki nilai 0,063. Sedangkan untuk
nilai R square yang diperoleh pada uji regresi sebesar 0,4%. Hal ini disebabkan
oleh data yang kami ambil dalam model belum cukup mempresentasekan data
aktual yang terjadi di lapangan. Data reboisasi model hanya memperhitungkan
luas hutan tiap jenis kawasan hutan (hutan lindung, hutan produksi dan hutan
konservasi) dan luas deforestasi pada tiap jenis kawasan hutan tersebut tetapi
batasannya hanya pada hutan primer. Sedangkan data reboisasi aktual diperoleh
dari data statistik kehutanan tahun 2011 telah memperhitungkan seluruh luas
deforestasi tiap jenis kawasan hutan, termasuk luas hutan dan luas deforestasi
areal penggunaan lain serta tidak hanya terbatas pada hutan primer saja. Selain itu,
data reboisasi aktual dan model yang digunakan untuk melakukan uji korelasi dan
uji regresi hanya pada rentang waktu antara tahun 2007 sampai 2011.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1 Kesimpulan
Luas hutan mula-mula yang diperkirakan sebesar hektar merupakan
state variable. Luasan tersebut mengalami penurunan yang dipengaruhi oleh
deforestrasi. Deforestrasi tersebut dipengaruhi oleh driving variable dan
auxiliary variable. Berdasarkan hasil pengolahan data, luas hutan tersebut
diperkirakan akan berkurang hingga 423.814.608,76 hektar pada tahun 2020.
Untuk menanggulangi luasan hutan yang berkurang tersebut, maka
harus dilakukan upaya reboisasi sebesar 26.702,76 ha/tahun. Namun, waktu
yang menjadi batasan pemodelan ini (14 tahun) belum dapat menanggulangi
deforestrasi yang terjadi.
IV.2 Saran
1. Driving variable dan auxiliary variable yang akan menjadi batasan
pemodelan hendaknya dikonsultasikan kepada ahlinya, agar mengurangi
kesalahan-kesalahan dalam penentuannya.
2. Kurun waktu yang menjadi batasan pemodelan hendaknya diperpanjang,
agar dapat diketahui waktu yang dibutuhkan untuk menanggulangi
deforestrasi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Allen JC dan Barnes DF. 1985. The causes of deforestation in tropical countries. Ann. Ass. Am. Geogr. 75: 163-84.
Barlowe R. 1986. Land Resource Economics and The Economic of Real Estate. New York : Prentice-Hall Inc.
Brown K dan Pearce DW. 1994. The Causes Tropical Deforestation. London : UCL Press.
CIFOR, 2003. Dana Reboisasi dan Pengertian Reboisasi (Tim Pengelolaan Hutan Bersama). Bogor : CIFOR
Harrison P. 1992. The Third Revolution : Population, Environmental and a Sustainable World. Harmondsworth : Penguin.
Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 17-23, 107-110, 120-121.
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 Tentang Dana Reboisasi
Purnomo H. 2012. Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Adaptif Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Bogor : IPB Press.
Tunggal HS. 2008. Undang-undang Kehutanan beserta Peraturan Pelaksanaannya. Harvarindo. Jakarta.
Wahyunto MZ et al. 2001. Studi Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarik, Jawa Barat Dan DAS Garang, Jawa Timur. Makalah Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Asean Secretariate Maff Japan & Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.