mo yan
TRANSCRIPT
Thanks to
Mas M. Dyan Prianto di Serambi
atas discount special buku ini
Mbak Sanie B. Kuncoro
Atas tempat dan bakso yang lezat
peserta diskusi
Sanie B. Kuncoro, Bandung Mawardi, Puitri Hati Ningsih, Ngadiyo,Lukas Yono, dan Yudhi Herwibowo
Epos!Bandung Mawardi
Perempuan adalah ketangguhan. Lelaki adalah nasib tak
tertanggungkan. Mo Yan dalam novel Big Breasts and Wide Hips
adalah pengisah berpihak. Dunia perempuan sering tampil
sengsara meski menguak etos hidup dan gairah melimpah:
meladeni seribu nasib. Dunia lelaki justru sekarat, rapuh, luruh.
Sekian tokoh mengisahkan derita dan ejekan atas hidup. Air mata
dan kematian mirip gambar sekedipan mata saat senja hari.
Berahi dan bela rasa ibarat embusan nafas di ujung malam.
Shangguan Lu menjalani hidup dengan tabah. Episode
masa bocah sampai renta mencipta epos seks dan kekuasaan.
Perempuan tak mesti takluk oleh kecaman dan siksaan.
Perempuan berjalan bersama langit-langit keajaiban. Shangguan
Lu adalah perempuan “penagih” hidup. Imperatif tradisi dan
kekuasaan di China membuat Shangguan Lu menjalani repertoar
hidup menakjubkan. Urusan keluarga, seks, makanan, pekerjaan,
perselingkuhan, agama, kematian, politik, perang ditanggapi
dengan ketangguhan jiwa-raga.
Shangguan Lu sering memberi jawab atas nasib melalui
siasat-siasat mengejutkan. Tuntutan suami-impoten dan mertua-
sinis untuk memiliki anak lelaki tak lekas terkabulkan. Shangguan
Lu menjawab dengan membawa tubuh ke sekian lelaki demi
mendapati benih-benih. Jawaban itu turut dirancang oleh bibi
dan paman selaku pengasuh Shangguan Lu sejak kecil.
Shangguan Lu pun mengerti dan melakoni.
Epos keluarga telah tercipta. Anak-anak Shangguan Lu lahir
tanpa benih suami tapi mengandung kesejarahan harga diri
merujuk ke persanggamaan-persanggamaan ganjil. Agenda
memiliki anak-anak adalah jawaban untuk menampik kutukan
berpamrih tradisi dan “penghancuran” nasib di mata publik.
Shangguan Lu adalah tubuh melawan luka dan dusta. Tubuh itu
mengandung dilema-dilema dan doa-doa terkabulkan.
China adalah tubuh Shangguan Lu. Sejarah China mengalir
bersama darah dan keringat perempuan tangguh. Konflik
identitas dan imperatif kekuasaan ada di tatapan mata, kalimat,
sentuhan. Shangguan Lu menempatkan segala cerita memusat ke
titah agung: hidup. Keberserahan dan kelihaian mengatasi seribu
persoalan menjadikan Shanggun Lu sebagai “ibu” untuk
setumpuk derita dan segenggan pengharapan. Shangguan Lu
menjelma ibu berlimpahan berkah dan kutukan.
Mo Yan sengaja menampilkan ketokohan Shangguan Lu
sebagai referensi babon. Peristiwa-peristiwa di China seolah
menjadi ikhtisar di biografi Shangguan Lu. Kehadiran Jepang dan
perseteruan ideologis di China bisa dicuplik melalui Shangguan
Lu saat mengasuh dan kehilangan anak-anak. Shangguan Lun
mencipta keluarga dengan pertaruhan nasib di naungan
kekuasaan. Anak-anak menempuhi jalan nasib berdalih asmara,
seks, perang, ideologi, revolusi. Mereka “lari” dan
“meninggalkan” Shangguan Lu untuk melakoni hidup meski
“berpulang” atas nama letih dan kematian. Shangguan Lu
menjadi saksi atas kepunahan dan derita di puncak kegelapan
kata.
Usia bertambah angka dan cerita berlipatganda. Shangguan
Lu merawat cerita-cerita di tubuh merenta dan kutipan-kutipan
tentang China terus terwartakan. Shangguan Lu enggan takluk
meski rezim penguasa “mendustai” dan nasib tak selalu terang.
Shangguan Lu menghendaki hidup tanpa sesalan dan mati dalam
kehormatan. Shangguan Lu mirip antologi ambiguitas dan
paradoks China di abad XX. Begitu.
***
Setelah Tak AdaCinta, JanganPernah Mati diTempat Tidur
Puitri Hati Ningsih
Hidup seakan hanya menunda kematian. Demikian yang
dialami perempuan Shangguan Lu dalam novel Moyan, Big
Breast and Wide Hips. Betapa tidak, ketika bayi ia hampir mati
lalu disembunyikan di penggilingan tepung beberapa detik
sebelum kedua orangtuanya mati oleh serangan musuh.
Kematian itu kadang lebih baik, tapi kematian itu tak pernah
datang padanya. Karena ia dipilih untuk menjadi saksi sekaligus
pelaku pada sejarah yang mencabik-getir dari kisah panjang
neraka.
Tak pernah ada cinta pada hidupnya. Yang ada hanya
ambisi dan nafsu akan kepemilikan anak lelaki. Semua terlanjur
dimulai dan dibuka tanpa cinta. Maka karma itu dimulai dari
rumah. Ketika suaminya mandul, bibinya menyerahkannya pada
pamannya sendiri untuk bisa memberikan anak.
Selanjutnya ia mengikuti angin yang seolah mengirimkan
lelaki bersama benihnya ke tubuhnya. Ia bisa menerimanya
karena ia yang meminta karna telah “diperkosa” oleh kekuasaan
tradisi akan kepemilikan anak laki-laki oleh leluhurnya, oleh
mertua perempuannya, dan kemudian iapun memperkuda
dirinya sendiri untuk melahirkan anak lelaki. Iapun jadi berpikir
dan terobsesi sama dengan mereka. Bahwa anak lelaki lah yang
terbaik. Maka ia pun diprotes oleh anak-anak perempuannya,
bahwa ibunya terlalu memanjakan anak lelakinya.
Setelah lelah diperkosa oleh tradisi yang memaksa dirinya
menjadi mirip pelacur. Ia diperkosa empat prajurit di gereja. Lalu
pastor yang telah memberinya anak lelaki itu bunuh diri. Dalam
kisah itu, bunuh diri jadi tindakan yang dilakukan bukan karena
pengecut. Tapi jadi tindakan karena perlawanan tanpa senjata.
Yang membuat ingatan-ingatan keji di kepala musuhnya.
Misalnya upaya bunuh diri yang gagal dilakukan oleh Cakar Besar
karena ia telah menyetubuhi keponakannya sendiri. Dan
berbagai bunuh diri yang lainnya dalam novel ini. “Jangan pernah
mati di tempat tidur” kata yang pernah diucap Shangguan Lu itu
mengisyaratkan bahwa mati ditempat tidur adalah satu bentuk
kekalahan.
Too much Love will kill you, kata sebuah lagu pop.
Kecintaan yang begitu besar pada anak laki-laki itu membawa
petaka pada anak lelakinya. Cinta yang begitu besar sang ibu dan
juga harapan besar oleh tradisi dan juga neneknya justru
berakibat petaka untuk Shangguan Jintong anak lelaki satu-
satunya itu. Ia tumbuh tak normal. Ia tak pernah jadi lelaki
seperti Simaku misalnya. Atau Sima Liang. Anak laki-laki yang
lain. Karena terobsesi dengan payudara terutama payudaranya
ibunya. Maka sudah berumur 13 tahun ia masih menyusu ibunya.
Tak ada makanan lain yang sanggup ia makan selain susu ibunya.
Kemana-mana membawa kambing untuk disusu.
Lelaki yang datang padanya sebagai anak-anak mantunya.
Tak satupun yang disukainya. Seolah itu menunjukkan bahwa
anak-anak perempuannya itu hanya sekedar lahir tanpa cinta. Ia
lahir tanpa disetujui tradisi. Satu persatu anaknya mengisahkan
dan menyelesaikan biografi hidupnya yang tragis. (Puitri Hati)
***
Cina dalamBig Breasts and
Wide HipsNgadiyo
Novel setebal 750 halaman dengan latar China disertai
karakter kuat seorang anak laki-laki satu-satunya bernama
Jintong dari seorang ibu yang melahirkan sebanyak 13 anak
tanpa satu tetes sperma dari suami sahnya ini membalut nuansa
polemik sosial, politik, kebudayaan, cinta, seks, kelaparan, dan
kemiskinan. Bisa dikatakan bahwa Mo Yan meramu sejarah
panjang sebuah rezim yang dianggap revolusioner dengan sangat
lancar. Sangat jujur.
Sudut pandang yang digunakan narator bermula dari balita
yang sangat mengagumi payu dara. Air susu merupakan
pancaran istimewa yang memberikan kekuatan dahsyat baginya.
Jintong kecil memang sangat istimewa bagi keluarganya. Karena
neneknya, tentu saja bagi suaminya yang mandul itu, anak laki-
laki bagaikan mahkota keluarga. Anak perempuan dari ibu
Jintong ada yang buta, kembar, bahkan ada yang memiliki obsesi
menjadi burung. Ya Si Manusia Burung memang melambangkan
nuansa magis.
Tidak hanya itu saja, disiplin nasional yang menjadi
kebijakan publik begitu keras diimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Misalnya pada pengikatan kaki wanita supaya
jemari kaki tersebut tidak melebar. Sehingga pertumbuhan kaki-
kaki gadis China tidak alamiah. Tetapi pengikatan kaki wanita
memiliki hukum. Seperti ketika seorang hakim mendakwa “Aku
punya urusan penting yang harus kutangani hari ini, jadi aku
lepaskan kau kali ini. Tapi kaki wanita yang tidak diikat
merupakan kebijakan nasional, dan barang siapa pun yang
melanggar kebijakan itu pasti akan dihukum berat” (Mo Yan,
2011: 84).
Pada akhirnya kisah realisme bercampur magis dalam novel
ini menuntaskan bahwa ketegaran seorang ibu dalam
membesarkan anak-anaknya, membela harga dirinya yang
dihinakan, mempertahankan kehidupannya hingga tak berujung
jalan hingga ingin kembali pada Tuhan. Dibarengi dengan revolusi
politik dan kebudayaan hingga pembangunan China semakin
menonjol. Walaupun ia memiliki seorang anak yang tergila-gila
dengan payu dara wanita: mencuat, montok sehingga sampai
besar pun tetap seperti anak-anak yang masih menyusui. 7 tahun
saja masih ngempeng. bahkan ketika sudah semakin tua
umurnya, anak itu menjadi CEO pengusaha BEHA kelas dunia.
Obsesi Anak Laki-laki
Menjadi anak perempuan memang serba susah dalam
tokoh ibu yang melahirkan 13 anak dari hubungan haram. Hanya
karena selalu lahir dengan jenis kelamin perempuan selalu
memeroleh perlakukan kasar dari mertuanya. Ya, ibunda Jintong
sebagai karakter yang selalu mengiringi kehidupan anak-anaknya,
pergolakan politik dan gelombang kesengsaraan yang berjuta
rasanya itu. Kedudukan anak laki-laki bagi keluarga memang bisa
dianggap sebagai sebuah prestise.
“Setelah Xuan’er melahirkan dua anak perempuan,
ketidaksenangan Nenek terlihat jelas. Ibu tidak butuh waktu
lama untuk menyadari kenyataan bahwa bagi seorang wanita,
tidak menikah bukanlah pilihan, tidak punya anak tidak bisa
diterima, dan hanya memiliki anak perempuan tidak bisa
dibanggakan sama sekali. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan
status dalam keluarga adalah melahirkan anak laki-laki” (Mo Yan,
2011: 93).
Bahkan karena tidak melahirkan anak laki-laki, ibu
mertuanya memukulnya dengan kejam. Suaminya juga. Mungkin
cara menentukan jenis kelamin itu perlu teknik tertentu. Tetapi
jenis kelamin itu rahasia Tuhan kan? Dan Ibu berteriak keras
“Ayo, Ibu mertua, Suami, teruslah memukuli dan mengutuki aku
semau kalian. Tunggu saja, aku akan punya anak laki-laki tidak
lama lagi, tapi dia bukan keturunan Shangguan, dan persetan
dengan kalian” (Mo Yan, 2011: 95).
Dan jika benar-benar bisa melahirkan anak laki-laki maka
mertuanya akan membasuh kakinya dalam mangkuk emas.
Tapi jeritan Ibu belum didengar Tuhan. Delapan tahun
setelah kelahiran anaknya yang tentu saja masih berkelamin
perempuan, ia kembali melahirkan bayi berjenis kelamin
perempuan. Ia kecewa seraya berdo’a “Tuhan di Surga, kenapa
kau begitu pelit? Yang harus Kaulakukan hanya menambahkan
sepotong daging kecil saja pada anak ini sehingga dia menjadi
anak laki-laki” (Mo Yan, 2011: 111).
Setelah berhubungan dengan sekian lelaki yang selalu
berbeda terutama berbeda profesinya, Ibu bertemu dengan
seorang pastor yang berasal dari Swedia. Pastor merupakan
Jesuit, penginjil, bernama Malory. Kelelakiannya bangkit dan
berhubungan dengan Ibu.
Namun para prajurit yang kurang memerhatikan
peribadatan mengejek pastor Malory dengan menggunakan
gereja sebagai kandang keledai. Karena beralasan Yesus
dilahirkan di kandang domba. Mengapa keledai tidak boleh
dilahirkan di gereja? Tentu saja menyulut kemarahan pastor itu
yang meyakini bahwa gereja adalah tempat suci.
Hubungan gelap dengan Malory berhasil membuahkan
kenyataan terakhir atas sebuah harapan dari obsesi yang
terbangun dari Nenek, Suami dan masyarakat. Lahirlah Jintong, ia
berkelamin laki-laki. Jintong tidak mau disapih. Ibu juga
memahami anak itu. Setiap percobaan disapih, Jintong tampak
seperti akan mati mendadak, tergelepar. Dan ibu tidak tega.
Tentu akan menyusuinya lagi walau akan disedot sampai kering
dan berdarah. Jintong dipanggil Bangsat Kecil oleh neneknya.
Payudara adalah segalanya
Ketika usia Jintong sudah harus disapih, ia menolaknya.
Tidak hanya secara emosi, tetapi penolakan itu berakibat fatal.
Membuatnya tak berdaya. Kemiskinan membuat kelaparan. Air
susu mengering dari payu dara ibunya. Dan ia menyusu pada
kambing langsung membungkuk menyedot puting kambing.
Keanehan itu berlanjut ketika Jintong diminta ibunya
minum susu kambing menggunakan dot. Tetapi ia tidak bisa
menikmati minum dengan alat itu. Baginya “...payudara Ibu
adalah kehidupan yang hingar bingar, gairah yang mendesak-
desak. Sedangkan dot ini sebuah benda tak bernyawa, tidak licin,
meskipun lembab. Tetapi demi ibu, dan demi diriku sendiri, aku
menyingkirkan rasa jijik dan menggigitnya” (Mo Yan, 2011: 431).
Ketika Jintong dinobatkan sebagai Pangeran Salju karena
mata birunya, kepintarannya, dan juga dihormati, ia bertemu
seorang wanita. Lalu ia meremasnya. Ingin pancuran air susu
payudara wanita itu seperti embun pagi yang manis rasanya.
Lagi dan lagi ibunya terus memintanya minum susu dengan
botol dot. Karena ia tidak pernah makan dengan makanan yang
lengkap. Makana utamanya adalah susu dari payudara. Dan itu
dianggap sebagai kelemahan dirinya.
Dengan teori Pavlov yang dibantu selusin dokter dan
seorang spesialis dari Uni Soviet Jintong bisa bebas dari diet susu
yang menyimpang. Ia akhirnya bisa makan makanan biasa dan
menjadi sangat terpelajar di Sekolah Menengah Dalan. Walau
masih tetap berhalusinasi dengan keindahan payudara dan ingin
meremas serta menyedotnya dari wanita cantik yang
ditemuinya. Seorang gadis Rusia. Dan ia pun belajar bahasa itu
dan menjadi fasih bicara.
Kemiskinan dan Kelaparan
Di China banyak perdagangan manusia hanya untuk
mengurangi jatah makan keluarganya dan tentu saja, hasil
penjualan kerabat dijadikan sebagai penyambung hidup. Ini
akibat pergolakan politik revolusioner antara Nasionalis Kanan
dan Kiri. Salahsatu kakak Jintong, Xiangdi dijual dan menjadi
pelacur hingga terserang sipilis.
Realisme Magis dan Peri Burung
“Realisme magis lebih merupakan sebuah bentuk sastra
daripada suatu genre sastra yang dapat dibedakan. Ia
dikarakterisasi oleh 2 (dua) perspektif yang saling bertentangan,
yaitu: di satu sisi berbasis pada sebuah cara pandang rasional
atas realitas, dan di sisi lain berbasis pada penerimaan pada hal-
hal yang bersifat supranatural sebagai sebuah realitas yang
prosaik. Secara tipikal, karya-karya realisme magis, senantiasa
menghadirkan karakter-karakter yang hidup di dunia realitas
keseharian dan karakter mimpinya sendiri” (Indra Tjahyadi:
http://indra-tjahyadi.blogspot.com/2011/08/realisme-
magis.html)
Secara umum, karakterisasi realisme magis meliputi: (a)
Hibriditas, (b) Ironi Berkenaan dengan Perspektif Penulis, (c)
Sikap Bungkam Penulis, sesuai dengan nama Mo Yan yang artinya
bungkam, dan (d) Supranatural dan Natural.
Kakak Ketiga, Lingdi meminta dibuatkan altar. Ia
menisbahkan diri sebagai peri burung dan menjadi dukun yang
dipercayai masyarakat mampu menyembuhkan berbagai
penyakit dengan resep yang berasal dari makanan burung. Aneh
dan menggelikan. Tabiat, cara bertingkah laku, sampai dengan
makanan mirip burung.
Politik, Militer dan Penjara
Nuasan perang sipil yang penuh intrik menguasai negara
terhadap rakyat yang menentang persis mirip bagaimana
mendirikan ORBA. Bagi yang tidak menurut kehendak penguasa,
siksaan dan penjara bahkan pembunuhan massal adalah
jawabannya. Politik pada masanya adalah untuk menguasai,
menciptakan sistem untuk mempertahankan kekuasaan. Terlebih
apabila kekusaan fasis.
Nekrofilis dan CEO Beha
Memeroleh pendidikan yang layak, dikagumi wanita
berpayu dara montok dan indah membuat jintong ditunjuk
sebagai CEO Beha ternama. Walaupun dirinya terbukti
memerkosa seorang wanita tua yang telah mati diberi label
nekrofilis. Tapi menyecap kebahagiaan akhir bersama ibunya
yang akhirnya bertemu kembali dengan Pastor Malory. Dialah
ayah yang bersetubuh dengan ibunya. Darah mengalir dalam
tubuh Jintong. Pertemuan sakral di sebuah gereja itu
membuatnya haru.
***
Ketakutan dalamBig Breasts and
Wide HipsYudhi Herwibowo
Sungguh, bila saya membayangkan hidup dalam novel Mo
Yan, Big Breast and Wide Hips (BBWH), saya pastilah akan
merasa sangat ketakutan!
***
Novel yang meraih nobel sastra tahun 2012, adalah novel
tentang perjuangan seorang perempuan bernama Shangguan Lu.
Dari rahimnya lahir 9 anak. Harapannya dan keluarga untuk
mendapatkan anak laki-laki membuatnya mau melakukan apa
pun. Ya , apa pun. Suaminya, Shangguan Shouxi, terlahir mandul,
sehingga ia harus bercinta dengan beberapa laki-laki yang tak
sesuai dengan harapannya. Ia bahkan bercinta dengan
pamannya, atas keinginan bibinya. Dan hampir semua laki-laki
membenihkan rahimnya digambarkan begitu buruknya. Maka
anak-anaknya Shangguan Lu muncul dari benih keterpaksaan,
bukan cinta. Baru di hubungan yang terakhir, dengan Pastor
Malory, ia mendapatkan anak kembar bermata biru dengan
berambut merah. Seorang di antaranya adalah laki-laki.
Ialah Shangguan Jintong! Sang anak penuh harapan!
Namun apa daya Jintong tumbuh sebagai seorang
pecundang. Ia terobsesi dengan (air susu) payudara. Hingga di
umur 13 ia masih menyusu. Bahkan sampai umu 42 tahun
obsesinya pun masih saja menyusu. Mo Yan seakan-akan ingin
membalikkan asumsi bila laki-laki yang selalu diharapkan menjadi
penanggung jawab dan penerus keluarga, kadang terlahir di luar
harapan.
Pelajaran yang diambil dari kisah ini sampai bagian ini
adalah: jangan pernah berharap terlalu tinggi akan apa pun,
biasanya tuhan suka memberi surprais dengan membalik
harapan itu!
Anak-anak perempuan Shangguan Lu, yang lahir bukan
karena cinta dan tak terlalu diharapkan, bahkan memiliki
peranan melanggengkan keluarga Shangguan. Mereka tanpa
disadari terlibat pada era-era kelam politik di China sejak Jepang
masuk hingga Partai Komunis berkuasa. Pada puncaknya Xiangdi,
yang memilih melacur, akhirnya menunjukkan peran paling
menakjubkan di novel ini. Di ujung kisahnya, saat ia kembali pada
ibunya, ia menderita penyakit kelamin yang parah. Tubuhnya
begitu bau, hingga kutu-kutu pun digambarkan pergi dari
tubuhnya. Kisah kembalinya Xiangdi adalah bagian paling
emosional di novel ini.
***
BBWH adalah novel dengan kekuatan penuh. Novel dengan
tebal 750 halaman ini punya paragraf-paragraf yang gemuk, dan
bahasa-bahasanya lugas sepanjang lembar-lembarnya. Metafora
khas China juga diselipkan, walau sebagian metafora itu untuk
melukiskan payudara. Mo Yan seakan membuat novel tanpa
bernapas, dan menginginkan kita para pembaca, merasakan itu
juga. Alur bergerak dengan cepat. Jalinan cerita terjadi bagai
kilasan lampu jalan, saat kita mengendarai mobil malam hari di
jalan tol. Sungguh, saya akan merasa sangat berdosa bila
melewatkan 1 paragraf darinya, karena itu dapat membuat saya
tersesat!
Sekian hari, Mo Yan seakan telah menjadi penjuru bagi
saya, dan mengesampingkan beberapa buku yang telah saya
baca sebelumnya.
Walau jujur saja, kesan pertama membaca novel ini, saya
berpikir Mo Yan terlalu kejam. Ia punya kebiasaan buruk dengan
menanggapi kematian tanpa ekspresi. Kematian Shangguan Fulu,
Shangguan Shouxi, dan Shangguan Lu (ibu mertuanya), bahkan
kematian-kematian anak-anak Shangguan seperti Zhaodi,
Lingdi,Quidi, hanya dilukiskan dengan 1-2 kalimat. Kematian
seakan menjadi tak penting. Begitu dingin. Itulah kenapa begitu
menakutkan hidup di novel ini. Kita akan mudah hilang,
terlupakan tanpa bekas!
Mo Yan juga terlalu berlebihan melukiskan payudara,
bahkan imajinasi payudara di anak balita sekali pun. Mo Yan juga
seperti tak berlaku adil dengan menciptakan laki-laki yang
hampir seluruhnya brengsek. Sun Gagu yang hanya bisa bicara
‘Copot, copot, copot!’, Sima Ting, Sima Ku, Sha Yueliang, dan
lainnya. Saya sempat berharap tokoh Sima Liang, anak Sima Ku,
merupakan sosok yang berbeda. Sosok baik-baik. Namun di
akhirnya, ia pun tetap saja menjadi brengsek dengan
membiarkan Sha Zaohua mati.
Mo Yan juga seperti melupakan Yunu, kembaran Jintong,
yang terlahir buta. Karakter paling saya sukai ini, adalah karakter
tak banyak cakap dan pengalah, karena selalu memberikan jatah
air susu pada Jintong. Kisah terakhirnya saat ia pergi
meninggalkan rumah karena tak mau menjadi beban bagi ibunya.
Sungguh, sampai sekarang saya masih berharap mata saya telah
terlewatkan ending kisahnya. Dan itu membuat saya
membayangkan ia pastilah akan baik-baik saja, karena
ketidaksempurnaan yang diciptakan tuhan padanya, tentulah
layak dibalas dengan kebahagiaan.
Namun kecanggungan-kecanggungan kecil itu seperti tak
berbekas bila kita meruntuti semua kalimat-kalimat di novel ini.
Sungguh, Mo Yan terlalu piawai untuk dicap kejam, dicap
berlebihan, dicap pelupa, dan dicap terobsesi payudara! Karena
bagian-bagian terbaik, jauh lebih banyak bertebaran di seluruh
novel ini.
Maka ketika saya sampai di 100 halaman terakhir novel ini,
saya terus-terusan merasa sangat beruntung telah membaca
novel ini, dan merasa melakukan hal yang tepat ketika
mengusulkan novel ini dalam diskusi Pawon bulan Januari ini.
Saya bahkan yakin, kelak saya pasti akan ada di urutan pertama
membeli buku-bukunya selanjutnya…
***
http://yudhiherwibowo.wordpress.com/2013/01/28/keta
kutan-dalam-big-breast-and-wide-hips/
tertarik untukmengikuti
diskusi klubbuku pawon?
Buku-buku yang kami diskusikan adalah buku-buku luar biasa,
dengan tema yang beragam, dan memiliki kekuatan pada cerita
serta merupakan sesuatu yang jarang dibahas!
Info:
facebook >> bulletin sastra pawon
blog >> pawonsastra.blogspot.com
Atau hubungi
081 2264 0769