model pembangunan karakter anak dalam keluarga kristen€¦ · kemampuan yang berkesinambungan...
TRANSCRIPT
17
BAB II
MODEL - MODEL PENGASUHAN ORANGTUA
UNTUK PEMBANGUNAN KARAKTER ANAK
( Suatu Kerangka Teoritis)
Berbicara tentang model-model pengasuhan orangtua dalam rangka membangun karakter
anak, tidak terlepas dari gerakan pembangunan karakter yang menggema di berbagai belahan
dunia termasuk di Indonesia. Salah satu bentuk dampak gerakan pembangunan karakter adalah
terselenggaranyapendidikan karakter yang di lakukan pada berbagai aras, di antaranya sekolah.
Untuk membahas tentang tema di atas, dalam bab ini akan di bahas terlebih dahulu sepintas
tentang pembangunan karakter, apa itu karakter, muatan dan sisi karakter, Karakter kristiani,
dimensi (ruang lingkup) pendidikan karakter, tipe-tipe keluarga dan lima model pembangunan
karakter dalam keluarga.
A. Sepintas tentang pembangunan karakter.
Lahirnya gerakan pendidikan karakter merupakan sebuah upaya dalam rangka
menjawab persoalan kebutuhan karakter baik yang mendesak diperlukan. Kebutuhan
akan karakter baik, tidak hanya menjadi persoalan segelintir orang di suatu tempat saja
melainkan merupakan persoalan di hampir seluruh belahan dunia, hanya saja menyangkut
istilah yang dipakai, mengalami perubahan berdasarkan waktu dan tempat istilah
pendidikan karakter dibahasakan.
Secara historis, pendidikan karakter telah berlangsung sejak lama. Cikal bakal
pendidikan karakter telah dimulai sejak zaman Yunani kuno. Aristoteles adalah salah satu
18
filsuf yang menekankan tujuan praktis pendidikandiantaranya; pengetahuan, seni, kehati-
hatian, intuisi dan kebijaksanaan.1
Selanjutnya dalam Pendidikan karakter pada zaman Romawi lebih
banyakdilakukan melalui institusi keluarga yang menekankan nilai-nilai yang harus
dipegang oleh setiap orang dan di sosialisasikan melalui keluarga, serta nilai-nilai tradisi
yang diwariskan oleh leluhur.2Pendidikan karakter pada era ini identik dengan
pendidikan moral agama yang menawarkan konsep-konsep moral yang dipandang
sebagai jawaban atas masalah-masalah moral sebelumnya. Salah satunya adalah
bobroknya kekuasaan Roma baik secara moral maupun politik. Dalam kondisi inilah
ajaran agama (kristiani) mendapat pengaruh yang besar dalam kehidupan bangsa Romawi
saat itu. Namun dalam perkembangannya, pendidikan karakter kristiani dikelola
berdasarkan keinginan para aristokrat yang berlindung di belakang gereja saat itu
sehingga pada akhirnya memunculkan berbagai reaksi.3
Tampilnya Yesus dengan pengajaran-pengajaranNya secara langsung pada saat
itu menjadi nilai tambah tersendiri pada pendidikan karakter di zaman itu. Sosok Yesus
yang langsung dilihat menjadi model bagi para orangtua dalam mendidik dan
mengajarkan nilai-nilai karakter bagi anak di dalam keluarga.
Keinginan memberi penekanan karakter dalam pendidikan tidak hanya
berlangsung pada zaman Yunani dan Romawi tetapi terus berlanjut dalam sejarah
1Henry J. Schmandt, Filsafat politik. Kajian Historis dari Zaman Yunani kuno Sampai Zaman Modern, (
Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 53-54. 2Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta:
Grasindo,2010),31-32. 3Henry J. Schmandt,Op.Cit, 57.
19
kehidupan manusia di zaman modern. Pergerakan pendidikan karakter pada zaman
modern digagas oleh Thomas Lickona pada awal Tahun 1990-an di Amerika Serikat.
Munculnya gerakan pendidikan karakter di Amerika sebagai kritikan terhadap
praktik pendidikan saat itu dengan kurikulum yang mengutamakan aspek kognitif
sementara aspek afektif dan psikomotorik kurang diperhatikan.Hal ini dilihat sebagai
praktik pendidikan yang tidak memiliki tujuan pendidikan yang utuh. Kritikan terhadap
praktik pendidikan seperti demikian dikemukan oleh pakar pendidikan karakter, Thomas
Lickona dan Davidson bahwa dalam pendidikan yang benar selalu memiliki dua tujuan
yakni untuk membantu anak menjadi cerdas dan dan membantu anak menjadi baik.
Untuk mencapai dua tujuan pendidikan ini, dibutuhkan karakter.Karakter dengan
kekuatan-kekuatanya yakni etika kerja keras, disiplin diri, dan ketekunan.Selain kekuatan
karakter, dibutuhkan pula kualitas karakter seperti sikap hormat dan tanggung jawab agar
dapat mempunyai hubungan antar pribadi yang positif dan hidup dalam
komunitas.Namun dalam kenyataanya pendidikan yang berlangsung selama ini lebih
menekankan aspek pengetahuan (kognitif), sementara aspek-aspek lainnya seperti aspek
afektif dan psikomotorik terabaikan dalam praktik pendidikan.”4Dampak dari
penyelenggaraan pendidikan seperti ini menghasilkan anak didik yang cerdas secara
kognitif namun tidak memiliki perilaku yang baik.
Alasan penekanan karakter di Amerika Serikat juga dilatarbelakangi kegelisahan
yang besar dari masyarakat terhadap perilaku buruk dikalangan generasi muda. Lickona
memberikan fakta-fakta yang menunjukkan merosotnya karakter orang-orang di
Amerika. Dalam kurun waktu tahun 1960 dan awal 1990-an, aksi kejahatan meningkat
4Thomas Lickona, Op.Cit, xxvii.
20
lebih dari lima ratus persen; bunuh diri anak remaja meningkat tiga kali lipat; angka
perceraian meningkat dua kali lipat. Sekitar empat puluh persen anak hidup tanpa orang
tua (bercerai), yang mana sebagian besar ayah yang bercerai tidak membiayai anaknya;
kelahiran pada ibu yang tidak menikah meningkat lebih dari empat ratus persen; satu dari
tiga bayi lahir tanpa ikatan pernikahan; satu dari lima anak hidup dalam kemiskinan.
Dengan adanya pengesahan aborsi oleh mahkamah agung tahun 1973, ada lebih dari
empat puluh juta aborsi terjadi di Amerika- kira-kira satu aborsi setiap dua puluh detik.5
Kegelisahan terhadap realitas moral yang buruk juga menggerakan UNESCO
sebagai badan pendidikan dunia mendorong aspek karakter sebagai bagian penting dalam
pendidikan dengan empat pilar yakni; Learning to know, learning to do, learning to be,
dan learning to live together. Yang mana melalui empat pilar ini, diharapkan karakter
yang baik dapat dimenjadi sebuah isu bersama dalam dunia pendidikan yang menjadi
fokus perhatian seluruh institusi pendidikan di seluruh dunia.
Bermula dari keprihatinan Lickona terhadap kondisi pendidikan di Amerika
seperti yang dikemukakan di atas, perhatian terhadap praktik pendidikan karakter
kemudian menjadi sorotan negara-negara lain terhadap praktik pendidikan dengan istilah
yang berbeda-beda. Hal ini di tandai dengan dimasukannya mata pelajaran karakter
sebagai salah satu mata pelajaran dalam penyelenggaraan pendikan walaupun dalam
istilah yang berbeda-beda.
Kendati istilah pendidikan karakter dipahami secara beragam namun secara
sederhana pendidikan karakter mengajarkan tentang kebiasaan cara berpikir dan
5Ibid, 15.
21
berperilaku yang baik, yang mana dapat membantu individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik sebagai keluarga, sebagai anggota masyarakat maupun sebagai warga
negara. Pendidikan karakter juga membantu individu untuk membuat keputusan yang
dapat dipertanggungjawabkan.Pemahaman ini sejalan dengan pemikiran Lickona, yang
mana menurutnya, pendidikan karakter adalah suatu usaha yang di lakukan sengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-
nilai etika inti yakni kemanusiaan, keadilan, kebenaran dan kejujuran.6
Apapun istilah pendidikan karakter yang berlaku diberbagai konteks, nilai-nilai
yang terkandung dalam setiap konteks pendidikan karakter memiliki makna yang sama
yakni bahwa karakter yang baik berkaitan dengan mengetahui yang baik (knowing the
good), mencintai yang baik (loving the good), dan melakukan yang baik (acting the
good).7
Kepedulian terhadap praktik pendidikan yang berkarakter juga menjadi perhatian
lembag-lembaga pemerhati pendidikan, khususnya di Amerika saat itu. Asosiasi
Supervisi dan pengembangan kurikulum di Amerika Serikat, memaknai pendidikan
karakter sebagai sebuah proses pengajaran kepada anak-anak tentang nilai-nilai
kemanusiaan dasar, termasuk di dalamnya kejujuran, keramah-tamahan, kemurahan hati,
keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untuk
6Ibid, 07.
7Kevin Ryan & Karen E.Bohlin, Building Character In Schools. Practical Ways To Bring Moral
Instruction to Life, (San Fransisco:Jossey-Bass, 1999), 05.
22
menumbuhkan dalam diri siswa sebagai warga negara yang dapat bertanggungjawab
secara moral dan memiliki disiplin diri”.8
Pemahaman terhadap nilai-nilai karakter seperti di atas sejalan dengan lembaga
pendidikan National Commission on Character Education di Amerika (NCCE) yang
menggunakan istilah pendidikan karakter sebagai istilah payung yang meliputi berbagai
pendekatan, filosofi dan program pembentukan karakter moral yang mereka soroti.
NCCE menekankan aspek pemecahan masalah, pembuatan keputusan, dan penyelesaian
konflik sebagai aspek penting dari pengembangan karakter moral. NCCE menyoroti
praktik pendidikan di sekolah yang semestinya memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengalami sifat-sifat karakter moral tersebut di atas secara langsung. Supaya siswa
dapat mengalami sifat-sifat karakter secara langsung maka menurut NCCE, dibutuhkan
metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan seperti di uraikan di atas dapat tercapai.
Oleh karena itu metode pembelajaran yang sesuai adalah metode keteladanan, metode
pembiasaan, metode pujian dan hukuman.9
Masih dalam konteks Amerika, himpunan lembaga pendidikan yang memberi
perhatian pada pendidikan karakter, yakni Character Education Partnership(CEP),
memaknai pendidikan karakter sebagai sebuah gerakan nasional untuk mengembangkan
sekolah-sekolah agar dapat menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai etis, tanggung
jawab dan kemauan untuk merawat satu sama lain dalam diri anak-anak muda, melalui
keteladanan dan pengajaran tentang karakter yang baik, dengan cara memberikan
8 Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum, dalamPendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di
Zaman Global, (Jakarta: Grasindo,2010),57. 9Thomas Lickona,Op.Cit, 10.
23
penekanan pada nilai-nilai universal yang diterima oleh semua kalangan. Gerakan ini
merupakan usaha-usaha dari sekolah, distrik dan negara bagian yang sifatnya intensional
dan proaktif untuk menanamkan dalam diri para siswa nilai-nilai moral inti, yakni
perhatian dan perawatan (caring), kejujuran, keadilan (fairness), tanggung jawab dan rasa
hormat terhadap diri dan orang lain. Namun supaya efektif, pendidikan karakter harus
mencakup semua pemangku kepentingan dalam komunitas sekolah dan harus menembus
iklim sekolah dan kurikulum.10
Berdasarkan uraian di atas nampaknya gaung gerakan pendidikan karakter telah
mampu menggerakan sekolah-sekolah yang ada secara objektif dalam memahami
persoalan penyelenggaraan pendidikan saat itu yang tidak menyeluruh. Hal ini
merupakan langkah maju bagi gerakan pendidikan karakter itu sendiri sehingga dapat
menata kembali praktik pendidikan yang ada baik kognitif, afektif, psikomotorik dan
aspek pembangunan karakter sehingga praktik pendidikan lebih terarah dan menyeluruh.
Perhatian pada pelaksanaan pendidikan karakter juga menjadi perhatian pakar
pendidikan karakter di Indonesia. Doni Koesoema, pakar pendidikan karakter dari
Yogyakarta.Iamemaknai pendidikan karakter sebagai dinamika pengembangan
kemampuan yang berkesinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internalisasi
nilai-nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif dan stabil dalam diri individu. Dinamika
ini membuat pertumbuhan individu semakin utuh. Unsur-unsur ini menjadi dimensi yang
menjiwai proses transformasi setiap individu.11
10
Character Education Partnership(CEP), dalam buku Pendidikan karakter: Utuh dan Menyeluruh,
Yogyakarta: Kanisius, 2012), 57 11
Doni Koesoema, Op.Cit,104.
24
Dari berbagai definisi pendidikan karakter yang diuraikan di atas, nampaknya
masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. Yang mana masing-masing pemaknaan
pada pendidikan karakter dalam konteks Amerika, menyoroti berbagai persoalan
penyelenggaran pendidikan, di antaranya out put pendidikan formal, metode pendidikan
dan nilai-nilai karakter yang harus ajarkan pada siswa. Sementara dalam konteks yang
lain termasuk Indonesia,menekankan proses transformasi diri melalui pendidikan
karakter yang pada gilirannya berdampak pada transformasi sosial. Hal ini cukup
dipahami oleh karena gerakan pendidikan karakter merupakan gerakan yang yang
berkaitan dengan karakter baik manusia yang di butuhkan di berbagai tempat dan waktu.
Dalam konteks Indonesia, menyadari akan pentingnya pembangunan karakter
yang kokoh maka pada tahun 2010 pemerintah Indonesia mencanangkan gerakan
pendidikan karakter sebagai sebuah gerakan nasional dengan nama Gerakan Nasional
Pembangunan Karakter yang tertuang dalam Kebijakan Nasional Pembangunan
Karakter.12
Dalam kebijakan nasional tersebut terdapat beberapa alasan mendasar yang
melatari pentingnya pembangunan karakter bangsa, baik secara filosofis, ideologis,
normatif, historis, maupun sosio kultural. Secara filosofis, pembangunan karakter bangsa
merupakan sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang
memiliki karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis. Secara ideologis,
pembangunan karakter merupakan upaya mengejawantahkan ideologi Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara normatif, pembangunan karakter bangsa
merupakan wujud nyata langkah mencapai tujuan negara, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum;
12
Pemerintah Republik Indonesia, Op.cit, 05-06
25
mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Secara historis, pembangunan
karakter bangsa merupakan sebuah dinamika inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa
henti dalam kurun sejarah, baik pada zaman penjajahan maupun pada zaman
kemerdekaan. Secara sosiokultural, pembangunan karakter bangsa merupakan suatu
keharusan dari suatu bangsa yang multikultural. Namun hingga kini pembangunan
karakter bangsa yang sudah diupayakan dengan berbagai bentuk belum terlaksana dengan
optimal. Hal itu tecermin dari kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang masih besar,
kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai di seluruh pelosok negeri, masih terjadinya
ketidakadilan hukum, pergaulan bebas dan pornografi yang terjadi di kalangan remaja,
kekerasan dan kerusuhan, korupsi yang dan merambah pada semua sektor kehidupan
masyarakat.13
Dari uraian empat alasan gerakan pembangunan karakter di atas, menurut penulis,
nampak jelas bahwa gerakan pembangunan karakter mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu gerakan pembangunan
karakter merupakan gerakan yang layak di laksanakan oleh seluruh elemen bangsa
dengan kapasitasnya masing-masing sebagaimana sasaran atau ruang lingkup gerakan
pembangunan karakter.
Gerakan pembangunan karakter yang dicetuskan didukung oleh beberapa
kementerian negara, diantaranya; Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat,
Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
13
Ibid, 08.
26
Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian perhubungan dan
Pariwisata, Kementerian Pemu dan dan Olahraga serta Kementerian Peranan
Wanita.14
Dukungan beberapa kementerian yang ada menunjukan respon yang besar atas
gerakan pembangunan karakter.Sementara sasaran gerakan pembangunan karakter
meliputi lingkup keluarga, satuan pendidikan, lingkup Pemerintahan, masyarakat sipil,
masyarakat politik, dunia usaha dan industri, dan media masa.
Melihat luasnya sasaran atau ruang lingkup gerakan pembangunan karakter yang
di uraikan di atas, nampaknya harapan untuk terealisasinya pembangunan karakter sangat
besar oleh karena melibatkan seluruh elemen bangsa. Tentunya dengan harapan seluruh
elemen yang menjadi sasaran dapat berpartisipasi dengan baik dalam pembangunan
karakter sehingga cita-cita pembangunan karakter dapat terwujud.
Respon terhadap gerakan pembangunan karakter juga berlangsung dalam berbagai
lingkup namun dengan metode dan fokus yang bervariasi.Misalnya dalam lingkup agama,
berbagai pengajaran mulai mengarah kepada pembangunan karakter yang baik melalui
khotbah-khotbah yang disampaikan para pemimpin umat. Dalam lembaga pendidikan,
kementerian pendidikan nasional merespon gerakan pembangunan karakter dengan
mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam seluruh kurikulum pendidikan
sekolah pada semua jenjang pendidikan; mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga ke
jenjang Perguruan Tinggi.15
Nilai-nilai karakter dimaksud adalah religiositas, kejujuran,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, gemar
14
Muchlas Samani & Hariyanto M.S, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja
Rosdakarya,2012), 07. 15
Pemerintah Republik Indonesia,Op.cit ,02.
27
membaca, peduli lingkungan dan peduli sosial, serta tanggung jawab.16
Dengan
mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam setiap jenjang pendidikan yang ada diharapkan
dapat menghasilkan generasi bangsa yang berkarakter baik melalui institusi pendidikan
formal.
B. Karakter
Berangkat dari pengetahuan akan latar belakang munculnya gerakan
pembangunan karakter diberbagai waktu dan tempat, selanjutnya akan di bahas tentang
karakter oleh karena pengetahuan yang benar tentang karakter akan menolong dalam
memahami dan melakukan berbagai cara guna dapat membangun karakter yang baik
dalam diri anak.
Kata karakter dipahami secara beragam.Kevin Ryan dan Bohlin menulis bahwa
kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis,
menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal.Sifat utama
ukiran adalah melekat kuat diatas benda yang diukir. Berbeda halnya dengan gambar atau
tulisan yang hanya disapukan diatas permukaan benda sehingga mudah hilang atau
terhapus dan tidak meninggalkan bekas sama sekali. Sementara ukiran tidak mudah
terhapus. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir.
Berakar dari pengertian ini, character kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang
khusus dan karenanya melahirkan suatu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku
yang bersifat individual dan atau keadaan moral seseorang.Masih menurut Ryan dan
Bohlin, karakter adalah salah satu hal yang penting dalam kehidupan manusia.Karakter
adalah salah satu dari kata-kata yang familiar, tapi ternyata sulit untuk dijabarkan.Semua
16
Muchlas Samani & Hariyanto M.S,Op.cit., 08.
28
seperti abstrak.Kita tidak dapat melihat karakter, tidak bisa menyentuhnya, dan tidak bisa
merasakannya. Kita akan tahu itu ketika kita berada di sekitar orang-orang yang memiliki
hal-hal yang benar - yaitu yang memiliki karakter yang baik.17
Dapat dikatakan secara
sederhana, karakter adalah intelektual dan kebiasaan moral kita.Artinya karakter adalah
gabungan dari kebiasaan kita yang baik atau kebajikan, dan kebiasaan buruk kita, atau
sifat buruk, kebiasaan yang membuat jenis orang seperti apakah kita. Kebiasaan baik
akan terus mempengaruhi cara kita menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan.
Karakter juga berkaitan dengan identitas diri. Pemahaman ini dijelaskan dalam
kamus bahasa Indonesia yang memiliki pengertian karakter sebagai sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.18
Lebih lanjut
pemahaman karakter sebagai identitas juga diuraikan dalam Kebijakan Nasional
pemerintah Indonesia tentang karakter, yang mana karakter diartikan sebagai “…. Nilai-
nilai yang khas–baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik,
dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan
dalam perilaku.Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah
raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang.Karakter merupakan ciri
khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas
moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.”
Definisi di atas menurut penulis mengandung pemahaman bahwa karakter adalah
ciri khas seseorang atau sekelompok orang sehingga melalui ciri khas yang ada,
17
Kevin Ryan & Karen E.Bohlin, ..., 06. 18
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008).
29
seseorang dapat dikenal. Dengan demikian karakter berfungsi sebagai identitas dalam
kehidupan.
Bila karakter memiliki banyak fungsi seperti yang di uraikan sebelumnya maka
karakter adalah sesuatu yang mutlak dimiliki oleh setiap individu.Namun apakah karakter
dengan sendirinya dimiliki oleh setiap individu?Uraian dari Abdullah Munir, salah
seorang pakar pendidikan karakter Indonesia, menjelaskan bagaimana karakter dimiliki
oleh setiap orang.Munir menguraikan bahwa memiliki karakter seperti kegiatan mengukir
pada media kertas atau pun kanvas.Karena itu karakter merupakan tindakan
membangun.Pembangunan dimaksud dapat dimulai sejak kanak-kanak sehingga pada
akhirnya karakter menyatu dengan individu.Namun oleh karena sifat karakter yang dapat
di bangun maka karakter juga bisa bisa diubah, sebab pembangunan itu sendiri sejatinya
adalah perubahan. Namun mengubah karakter bukanlah sesuatu yang mudah, oleh karena
sifat karakter yang melekat dan menyatu dalam diri seseorang melalui proses
pembentukan sehingga jika mengubah karakter maka individu pemilik karakter juga
berubah. Ini membutuhkan proses yang lama dan mendalam sampai proses mengubah
karakter dapat terlaksana.19
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa karakter sebagai sesuatu yang tidak
diwariskan secara genetik melainkan merupakan hasil dari proses pembangunan. Proses
dimaksud membutuhkan waktu yang relatif lama dan terus menerus dalam diri seseorang.
Karena itu pembangunan karakter dapat dikatakan sebagai sebuah proses yang
didalamnya terdapat beragam aktifitas yang menunjang terbangunnya sebuah karakter
yang kokoh.
19
Abdulah Munir, Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah, (Yogyakarta:
Pedagogia,2010), 05.
30
Karakter di bangun melalui kebiasaan yang dilakukan, sikap dalam merespon
keadaan dan kata-kata yang diucapkan.Karakter itu mengacu pada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivation) dan keterampilan (skills). Ini
berarti karakter berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh setiap manusia
dalam berbagai lingkup kehidupan, baik dalam lingkup kecil yaitu keluarga dan juga
lingkup besar yakni masyarakat. Atau dengan kata lain karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, dan lingkungan. Nilai-nilai perilaku dimaksud terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, dan
budaya.
C. Muatan dan sisi karakter.
Karakter tidak pernah bersifat netral. Ia selalu berada dalam posisi yang kontras
satu dengan yang lain. Karena itu bila di salah satu bagian terlihat karakter baik maka
pada bagian lain akan nampak karakter buruk. Lickona menjelaskan bahwa karakter
memiliki dua muatan yakni karakter yang baik (virtues), sedangkan karakter yang tidak
baik disebut dengan vices lawan dari virtues. Dua muatan karakter masing-masing
memiliki muatan (isi) tersendiri. Muatan karakter yang baik adalah kebajikan, yakni
kualitas manusiawi yang baik secara objektif, baik bagi kita, entah kita mengetahuinya
atau tidak.20
Kebajikan menjadi substansi dari karakter yang baik oleh karena nilai
(virtue), yakni kecenderungan untuk melakukan tindakan yang baik menurut sudut
pandang moral universal. Misalnya memperlakukan semua orang secara adil, melakukan
20
Thomas Lickona, Op.cit.,08.
31
kebenaran dan kejujuran.21
Berbagai makna kebajikan tersebut di tegaskan oleh
masyarakat dan agama di seluruh dunia. Sementara itu karakter yang buruk (vices) erat
kaitannya dengan sifat-sifat buruk yang nampak dalam kehidupan sehari-hari seperti
melakukan ketidakadilan, melakukan penipuan dan berbagai sikap buruk lainnya.
Untuk dapat melakukan sesuatu yang baik dan benar maka dibutuhkan karakter
moral yang benar dalam diri orang tersebut. Karakter dapat menjadi benar ketika menurut
Lickona di dalamnya terkandung konten kebajikan yang memenuhi kriteria etis, yakni:
1. Kebajikan mendefinisikan apa artinya menjadi manusia. Maksudnya ialah kita
menjadi manusia seutuhnya bila kita bertindak secara baik, murah hati, adil,
jujur.
2. Kebajikan mendorong kebahagiaan dan kesejahteraan pribadi.
3. Kebajikan melayani kebaikan umum, memungkinkan kita hidup dan berkarya
di dalam komunitas.
4. Kebajikan memenuhi uji timbal-balik etis klasik dan universalitas.22
Lickona menguraikan beberapa kebajikan pokok yang dibutuhkan agar karakter
moral seseorang menjadi kuat dan benar yaitu:23
21
Thomas Lickona membedakan nilai-nilai moral dalam dua bentuk yakni nilai-nilai moral universal dan
non universal. Nilai moral universal membawa serta kewajiban moral universal yang bersifat mengikat semua orang
disemua tempat dan waktu, seperti menghargai martabat kemanusiaan. Sementara nilai moral non universal tidak
membawa serta kewajiban moral universal melainkan kewajiban moral individual, misalnya kewajiban moral yang
muncul dari ajaran-ajaran agama. Karena itu karakter lebih terkait dengan nilai-nilai moral universal yang membawa
serta kewajiban moral universal. 22
Ibid, 8. 23
Ibid, 9-13.
32
1. Kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah pertimbangan yang baik. Dengan
kebijaksanaan memungkinkan seseorang membuat keputusan-keputusan yang masuk
akal, yang baik bagi diri sendiri dan orang lain. Selain itu seseorang dimungkinkan
untuk membedakan hal-hal yang penting dalam hidup, seperti: benar dari salah,
kebenaran dari kebohongan, fakta dari opini, kekal dari tidak kekal. Dari hal itu
kemudian orang dapat menetapkan prioritasnya. Dengan kebajikan yang pertama ini,
seseorang dapat menempatkan kebajikan-kebajikan yang lainnya ke dalam praktek,
kapan bertindak, bagaimana bertindak, dan bagaimana menyeimbangkan kebajikan
yang berbeda jika yang satu bertentangan dengan yang lainnya.
2. Keadilan adalah tindakan yang menghargai hak semua orang.
3. Kesabaran adalah batin yang memampukan seseorang mengatasi atau menahan
kesukran, kekalahan, kesusdahan, dan derita (James Stenson). Aspek-aspek yang
terdapat di dalam kesabaran yaitu, ketekunan, keberanian, dan ketahanan. Kesabaran
memungkinkan seseorang melakukan apa yang benar walaupun itu susah,
memungkinkan seseorang berurusan dengan kemalangan, bertahan dari kesakitan,
menghadapi rintangan, dan mampu berkorban.
4. Pengendalian diri adalah kemampuan dalam mengatur diri sendiri, kekuatan untuk
mengatakan tidak, untuk menahan godaan, dan untuk menunda kepuasan. Di
dalamnya terkandung unsur penguasaan diri, di mana seseorang dimungkinkan untuk
mengontrol kemarahan, mengatur selera, nafsu, bahkan mengejar kesenangan secara
terbatas.
33
5. Kasih adalah kesediaan berkorban demi orang lain. Aspek-aspek di dalamnya yaitu
empati, belas kasih, kebaikan, kemurahan hati, pengabdian, kesetiaan, patriotisme,
dan bersedia memaafkan orang lain.
6. Sikap positif . Sikap positif adalah suatu sikap yang baik, yang dapat membangun
seseorang ke depannya dan menjadi modal dalam diri untuk bertindak yang benar.
Yang termasuk dalam sikap postitif yaitu harapan, semangat, keluwesan, dan rasa
humor.
7. Kerja keras. Kerja keras adalah sikap yang menunjukkan keseriusan dan kesungguhan
dalam melakukan suatu pekerjaan. Kerja keras meliputi kerajinan, penetapan tujuan,
dan memiliki akal yang panjang.
8. Ketulusan hati. Ketulusan hati adalah mengatakan kebenaran kepada diri sendiri.
Dengan memiliki ketulusan hati, maka adanya kesamaan antara apa yang dikatakan
seseorang dan yang dilakukannya (walaupun situasinya berbeda).
9. Berterima kasih. Berterimakasih merupakan suatu tindakan yang berasal dari
kehendak kita dalam mengingat dan bersyukur atas campur tangan dari subyek lain
dalam hidup. Berterima kasih termasuk di dalamnya yaitu bahagia, dan tidak
mengeluh.
10. Kerendahan hati. Kerendahan hati sangat diperlukan perolehan kebajikan lainnya
karena hal ini membuat kita sadar akan kekurangan dan membuat kita berusaha
menjadi orang yang lebih baik.
Sepuluh kebajikan tersebut di atas merupakan kesatuan yang terangkai dan berfokus
untuk memajukan seseorang dalam berperilaku.
34
Menyimak sepuluh kebajikan diatas, dapat dikatakan hidup dalam kebajikan
memiliki kesulitan tersendiri. Karena itu hampir setiap orang belum mampu
melaksanakan sepenuhnya sepuluh kebajikan ini karena setiap orang memiliki
kekuatannya masing-masing namun bukan pula sebuah keniscayaan apabila
dilakukan dalam proses kehidupan sehari-hari.
Sepuluh kebajikan pokok tersebut di atas merupakan pembentuk kehidupan
yang berkarakter yang memiliki dua sisi karakteryakni tingkah laku yang benar
dalam hubungan dengan orang lain dan tingkah laku yang benar dalam hubungan
dengan diri sendiri. Kebajikan-kebajikan yang berorientasi dengan orang lain seperti
keadilan, kejujuran, rasa terima kasih dan kasih. Sementara kebajikan-kebajikan yang
berorientasi pada diri sendiri seperti ketabahan, pengendalian diri, kerendahan hati,
dan kerja keras. Kedua jenis kebaikan ini saling berhubungan satu dengan yang lain
oleh karena berkaitan dengan dampak yang dihasilkan dari jenis kebaikan apa yang
dilakukan.
Karakter yang baik berkaitan dengan pengetahuan moral (moral knowing),
sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Dalam tiga konsep
inilah dorongan untuk berbuat baik menjadi kekuatan dalam melakukan kebaikan.
Dari tiga komponen ini dapat dikatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh
pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan
perbuatan kebaikan.24
Mengetahui yang baik berarti dapat memahami dan
membedakan antara yang baik dan yang buruk. Mengetahui yang baik berarti
24
Ibid, 04.
35
mengembangkan kemampuan untuk menyimpulkan atau meringkaskan suatu
keadaan, sengaja memilih sesuatu yang baik untuk dilakukan, dan kemudian
melakukannya. Aristoteles menyebutnya dengan practical wisdom (kebijakan
praktis). Memiliki kebijakan praktis berarti mengetahui keadaan apa yang
diperlukan.25
Tetapi kebijakan praktis tidaklah cukup oleh karena untuk
mempraktikan karakter yang baik diperlukan pula kemampuan menentukan prioritas
dan memilih sesuatu yang baik dalam semua suasana kehidupan. Pemahaman ini
sejalan dengan pemikiran Kevin Ryan bahwa karakter yang baik berkaitan erat
dengan kemampuan untuk membuat komitmen yang bijak dan menjaganya sehingga
pada gilirannya menjadi karakter yang melekat pada individu.26
Masih berkaitan dengan karakter yang baik, lebih lanjut di uraikan oleh
Aristoteles sebagai tingkah laku yang benar dalam hubungannya dengan orang lain
dan juga dengan diri sendiri. Jika demikian karakter nampak dalam perilaku sesorang
sehari-hari. Lickona menjelaskan bahwa cara mengetahui karakter yang baik adalah
dengan cara melihat secara langsung pada diri individu yang nampak dalam
kebiasaan (habitus). Karena itu seseorang dikatakan berkarakter baik apabila
memiliki tiga kebiasaan yaitu memikirkan hal yang baik (habits of mind),
menginginkan hal yang baik (habits of heart) dan melakukan hal yang baik (habits of
action).27
Menurut penulis, seseorang dapat disebut berkarakter baik bilamana hal
melakukan kebajikan itu sudah menjadi kebiasaannya oleh karena karakter adalah
tanda khas seseorang apakah ia telah menjadikan kebajikan sebagai kebiasaan atau
25
Ibid, 10. 26
Kevin Ryan & Karen E.Bohlin, Op.cit.10. 27
Thomas Lickona,Op.cit., 51.
36
menjadikan kejahatan sebagai kebiasaan oleh karena dari setiap kebiasaan yang
dilakukan, kita dapat menentukan dan membedakan karakter seseorang.
D. Karakter kristiani.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa karakter yang baik merupakan
hasil proses pembangunan yang melibatkan berbagai unsur, diantaranya keluarga sebagai
salah satu sasaran gerakan pembangunan karakter. Oleh karena itu keluarga dengan
segala keberadaanya menjadi salah satu unsur penting guna pembangunan karakter baik
dimaksud.
Bila di telusuri lebih jauh, banyak nilai moral yang menjadi acuan bagi keluarga
dalam membangun karakter anak. Nilai-nilai moral dimaksud antara lain norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat, adat-istiadat, dan hukum positif yang dianut oleh
masyarakat.Demikianlah agama Kristen sebagai salah satu institusi yang mengajarkan
nilai-nilai moral turut berperan dalam proses pembangunan karakter anak. Nilai-nilai
moral yang terdapat dalam ajaran agama Kristen di gunakan oleh keluarga-keluarga
dalam membangun karakter baik pada anak oleh karena mengandung berbagai hal baik
yang sejalan dengan ciri karakter baik yang diharapkan dimiliki oleh anak.
Penggunaan nilai-nilai moral dalam agama Kristen dalam membangun karakter
anak bermuara pada iman Kristen yang di wujudnyatakan dalam berbagai perilaku.
Dalam pada itu,iman kristen dapatdiartikan sebagai respons manusia yang menyeluruh
terhadap Allah yang menyatakan diri dan kehendaknya di dalam kristus dengan percaya
dan mempercayakan diri kepada-Nya serta berusaha mentaati kehendak-Nya. Hal mana
37
respons menyeluruh nampak dari pengakuan intelektual percaya kepadasikap
mempercayakan diri kepadaNya, serta perilaku atau tindakan mentaati kehendakNya.
Ini disebut iman kristen yang hidup, oleh karena pada dasarnya iman tanpa perbuatan
adalah mati (Yak. 2:26). Perbuatan-perbuatan yang menjadikan iman kita hidup adalah
perbuatan-perbuatan baik/kebajikan dan bisa juga disebut buah-buah roh yakni kasih,
sukacita, perdamaian, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan,
penguasaan diri (Galatia 5: 22-23).Sebab pada prinsipnya pengetahuan tentang iman
tanpa perilaku tidak memiliki makna, sebaliknya iman dan karakter menyatu dan nampak
dengan jelas dalam perilaku seseorang. Menurut Gill, nilai-nilai moral dalam agama
Kristen bersumber dari kehidupan Yesus Kristus yakni; hidup kudus, setia, bijaksana,
terbuka, bertanggungjawab, jujur, mengampuni, melayani, bersikap adil, bersikap benar,
mengasihi, rela berkorban, pendamai, rendah hati, penuh pengharapan, murah hati,
berani, sukacita dan berpengharapan.28
Nilai-nilai di maksud di ajarkan orangtua kepada
anak melalui perilaku dan sikap orangtua sehingga anak memahami dan mengenal Tuhan
serta belajar merespon kasih dengan jalan melakukan berbagai perbuatan baik (kasih)
kepada sesama dan alam semesta.
Dalam kenyataannya, untuk mengajarkan iman kepada anak, keluarga tidak dapat
melakukannya sendiri. Ada konteks lain yang turut membentuk karakter kristiani pada
anak. Ahli pendidikan Thomas H. Groome29
menunjukan betapa pentingnya konteks
sosial dalam membentuk kepribadian atau identitas pribadi manusia. Yang dimaksudkan
adalah konteks di mana terjadi pendidikan agama Kristen atau sering kita menyebut
28
David W. Gill, Becoming Good. Building Moral Character, (USA: Intervarsity Press, 2000), 103-187. 29
Thomas H.Groome, Pendidikan Agama Kristen: Berbagi Cerita dan Visi Kita,(Christian Religius
Education) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 160-185.
38
dengan setting PAK.Konsep yang dibahas oleh Groome berkaitan dengan pembentukan
identitas pribadi adalah konsep sosialisasi yang berkaitan erat dengan identitas pribadi
(self-identity).Self (diri) diartikan sebagai konsep yang mencangkup tiga aspek yang
saling berkaitan dari diri seseorang yakni gambar diri (self image), sistem nilai (value
system) dan pandangan dunia (word view). Sedangkan “identity” (identitas) diartikan
sebagai pengalaman kontinuitas dan kesamaan yang kita miliki tentang diri sendiri.
Kedua konsep ini sangat berkaitan sehingga Groome mengartikan self identity sebagai
kesadaran yang berkelanjutan dan stabil yang kita miliki mengenai gambaran diri sendiri,
pandangan dunia serta sistem nilai yang di anut.
Groome juga menjelaskan tentang dua istilah yang sangat berhubungan erat yakni
kebudayaan dan masyarakat. Budaya dipahami sebagai cara hidup yang terpola yang
dihasilkan oleh suatu umat dimana anggota-anggotanya mempunyai penuntun untuk
menilai, mempercayai, dan bertindak. Kebudayaan diwujudkan serta di ekspresikan
dalam suatu sistem simbol-simbol, dan salah satu bentuknya yang paling dasar dan
berpengaruh adalah bahasa.Dengan memahami simbol-simbol tersebut kita bisa
mengetahui dunia serta terlibat di dalamnya dengan tingkah laku terpola dari kebudayaan
mereka yang khusus. Sedangkan masyarakat adalah tatanan yang terlembaga dengan
pengaturan-pengaturan yang telah terorganisasi yang wujudkan melalui cara hidup
bersama mereka. Walapun kebudayaan dan masyarakat memiliki perbedaan namun yang
satu tidak akan ada tanpa yang lainnya. Artinya pola-pola budaya tidak mungkin ada
tanpa struktur-struktur sosial demikian pula sebaliknya.
Sosialisasi dapat dirumuskan sebagai proses dimana seseorang menjadi siapa
dirinya (identitas dirinya terbentuk) melalui interaksinya dengan orang-orang lain dalam
39
lingkungan sosio-kulturalnya. Sosialiasasi merupakan proses seumur hidup karena
bagaimanapun juga manusia akan selalu hidup dalam hubungannya dengan orang lain.
Groome membedakan sosialisasi menjadi dua, yakni sosialisasi primer dan sosialisasi
sekunder. Sosialisasi primer yang berpusat pada masa kanak-kanak yakni proses paling
awal dimana seorang anak membentuk konsep dirinya ke dalam sektor-sektor dunia
obyektif dari masyarakatnya. Dan biasanya sosialisasi primer lebih permanen dan kuat
dibandingkan dengan sosialisasi sekunder yang terjadi pada periode selanjutnya dari
kehidupan seseorang.
Proses sosialisasi terjadi melalui tiga tahap, antara lain: eksternalisasi,
obyektivikasi, dan internalisasi.
1. Eksternalisasi .
Manusia tidak dapat hidup sebagai unit-unit yang berdiri sendiri dalam ruang
lingkup tubuh kita. Kita memiliki keharusan batiniah untuk bergerak keluar dari diri
dan masuk ke dalam hubungan dengan orang lain. Manusia akan menjadi manusia
hanya dalam hubungan dengan manusia yan lain. Untuk mengeksternalisasikan diri
sendiri, kebutuhan-kebutuhan, keinginan dan kapasitas kita maka kita harus masuk
bersama-sama dengan orang lain ke dalam kolektivitas. Dari usaha eksternalisasi
bersama itu maka lahirlah masyarakat dan berkembanglah kebudayaan. Tanpa ada
eksternalisasi maka tidak akan ada kebudayaan dan masyarakat.
2. Obyektivikasi.
Struktur sosial dan pola-pola budaya hasil dari aktifitas eksternalisasi
merupakan realitas sosial yang menciptakan batasan-batasan tertentu dimana
diharapkan anggotanya bertingkah laku.Jika masyarakat hendak mengatur dan
40
mempertahankan dirinya maka beberapa individu dan kelompok harus mempunyai
otoritas untuk mengaturnya demi kebaikan bersama.Batas-batas dan aturan-aturan
harus nampak masuk akal dan benar. Karena itu dibutuhkan sistem-sistem legitimasi
dan struktur yang masuk akal yang membuat pengaturan nampak sah dan dapat
dibenarkan.
3. Internalisasi
Setelah mengeksternalisasikan diri ke dalam kebudayaan dan masyarakat atau
setelah nilai-nilai kebudayaan masyarakat itu hidup dari dirinya sendiri, maka
penguatan serta pembatasan-pembatasan dunia itu sekarang dibawa kepada kesadaran
dan menjadi milik seseorang secara pribadi. Jadi proses menjadikan pandangan
dunia, sistem nilai dan pola bertindak dari lingkungan sosial budaya menjadi milik
sendiri adalah proses internalisasi. Hal inilah yang menjadi dasar dari identitas
diri.Demikian pula dengan pembentukan identitas diri Kristen.Kemungkinan-
kemungkinan dan parameter-parameter yang diberikan masyarakat kepada kita dari
luar cenderung menjadi kemungkinan-kemungkinan dan parameter-parameter yang
kita berikan ke dalam diri kita. Groome menekankan pada kecenderungan menjadi
karena kita tidak ditentukan oleh proses sosialisasi semata melainkan kitalah yang
menjadi faktor penentu dalam perubahan dengan adanya pastisipasi dari diri sendiri
terhadap tiga gerakan sosialisasi yakni eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.
Dari pemahaman di atas nampak jelas bahwa identitas diri dapat di bangun
oleh lingkungan sosial melalui proses sosialisasi, termasuk identitas kristiani. Namun
tidak berarti kita tidak membutuhkan konteks pendidikan yang lain melainkan
konteks-konteks pendidikan dalam keluarga merupakan salah satu konteks
41
pendidikan yang amat strategis bagi berlangsungnya perubahan menuju karakter
kristiani.
Melalui keluarga nilai-nilai moral yang bersumber dari agama di
sosialisasikan kepada anak melalui proses pengasuhan orangtua kepada anak. Yang
mana pada akhirnya nilai-nilai moral di maksud tidak hanya menyatu dan menjadi
karakter anak namun juga menjadi identitas bagi anak dari berbagai identitas lain
yang ia miliki.
Berbagai nilai yang bersumber dari agama Kristen di pelajari anak melalui
perilaku dan teladan yang dilakukan oleh orangtua dan orang dewasa lainya yang ada
disekitarnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Hadinoto tentang terjadi proses pewarisan berbagai nilai moral dan juga
proses pewarisan iman. Bentuk pewarisan dimaksud melalui metode sosialiasi dan
edukasi yang berlangsung sebagai proses induksi alamiah iman kristen.30
Dalam
proses pewarisan dimaksud, orangtua menjadi contoh konkrit bagi anak untuk
mengenal dan memahami Tuhan. Pemahaman dan pengenalan dimaksud dengan cara
meniru suasana hati, tindakan-tindakan iman orang-orang lain yang dilihat terutama
orang tua.31
Dalam pemahaman seperti inilah dapat dipahami bahwa letak keluarga
sangat signifikan dalam pembangunan karakter anak, tetapi justru disinilah
kerawanan proses pembangunan karakter dalam keluarga, oleh karena apabila
30
N.K Atmadja Hadinoto.Dialog dan Edukasi Keluarga Kristen dalam masyarakat Indonesia, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2012), 185. 31
James Fowler, dalam A. Cremers, A. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James
W.Fowler: sebuah gagasan baru dalam Psikologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 1.
42
keluarga gagal dalam proses pembangunan maka dapat dipastikan akan terbangun
pula bentuk-bentuk karakter yang buruk pada anak.
E. Ruang Lingkup/Dimensi Pendidikan Karakter.
Pendidikan karakter memiliki dua dimensi yakni dimensi individual dan dimensi
sosio-struktural. Dimensi individual berkaitan erat dengan pendidikan nilai dan
pendidikan moral seseorang. Sedangkan dimensi sosio-kultural lebih berkaitan dengan
bagaimana menciptakan sebuah sistem sosial yang kondusif bagi pertumbuhan
individu.Dua dimensi pendidikan karakter saling berkaitan erat satu dengan lainnya dan
berporos pada terjadinya perubahan pada individu dan masyarakat. Hal ini
mengindikasikan bahwa baik individu dan masyarakat mengalami proses perubahan, baik
yang mengarah pada hal-hal yang bersifat positif atau sebaliknya mengarah pada
perubahan yang bersifat negatif. Demikian juga dengan karakter yang dimiliki manusia
yakni bergantung pada proses interaksi yang terjadi oleh individu dengan lingkungan
keluarga, sosial, budaya, pendidikan, alam dan berbagai hal lainnya.
F. Tipe-tipe Keluarga.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa karakter yang baik merupakan
hasil proses pembangunan yang melibatkan berbagai unsur, diantaranya keluarga sebagai
salah satu sasaran gerakan pembangunan karakter. Oleh karena itu, keluarga dengan
segala keberadaanya menjadi salah satu unsur penting guna pembangunan karakter baik
dimaksud.
Begitu strategisnya posisi keluarga sebagai unit sosial pertama dalam kehidupan
seorang anak, sangatlah tepat apabila pembangunan karakter anak pertama-tama dimulai
43
dari lingkup keluarga.Dikatakan demikian oleh karena dalam realita, sebagian besar
waktu anak lebih banyak bersama keluarga daripada lingkungan sekolah ataupun
lingkungan lainnya. Apalagi waktu pendidikan karakter yang efektif adalah berlangsung
sejak usia kanak-kanak (Teachable moment). Selain itu media pendidikan dalam keluarga
sangat kaya karena meliputi aspek keteladanan dan pembiasaan yang berkaitan dengan
perilaku keluarga. Disinilah peranan keluarga sangat signifikan bagi terjadinya proses
pembangunan karakter.
Dalam kaitannya dengan peranan keluarga dalam membangun karakter anak,
pertama-tama kita perlu memahami terdahulu tentang makna keluarga oleh karena
pemahaman tentang keluarga sangat beragam. Secara etimologis, dalam kamus besar
bahasa Indonesia, kata keluarga berasal daribahasa Sanskerta: "kulawarga"; "ras" dan
"warga" yang berarti anggota lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih
memiliki hubungan darah.Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah
individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab
di antara individu tersebut.32
Pengertian ini mengandung pemahaman bahwa keluarga
adalah suatu persatuan terkecil dari orang-orang yang berada pada satu tempat tinggal
yang sama, memiliki relasi, baik oleh karena adanya hubungan darah ataupun ikatan
tertentu, serta disatukan oleh berbagai hak dan kewajiban yang disepakati dan dilakukan
bersama. Keluarga karenanya dilihat sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat.
Dalam kaitannya dengan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat,
Sosiolog William J. Goode menjelaskan keluarga dalam struktur sosial
masyarakat.Menurutnya, keluarga sebagai suatu unsur penting dalam struktur social
32
KBBI, Situs KBBI Online, Di akses, tgl 05 September 2014.
44
masyarakat.Yang mana keluarga keluarga terdiri dari pribadi-pribadi tetapi merupakan
bagian dari jaringan sosial.Keluarga karenanya merjadi penopang terbentuknya
masyarakat, bahkan berfungsi sebagai pengantara pada masyarakat besar.33
Di lihat dari letak keluarga dalam masyarakat seperti yang di uaraikan oleh Goode
di atas maka menurut penulis, disinilah letak keterkaitan antara proses pembangunan
karakter yang dimiliki individu yang berdampak pada masyarakat luas. Dikatakan
demikian oleh karena pembangunan karakter yang berlangsung dalam keluarga tidak
terlepas letak keluarga sebagai bagian dari suatu jaringan sosial yang terjalin dalam
masyarakat. Dengan demikian bila terjadi pembangunan karakter pada satu individu
maka akan berdampak pada karakter masyarakat.
Dalam realitasnya keluarga memiliki banyak tipe.Tipe-tipe dimaksud seperti yang
di uraikan oleh sosiolog N.K Hadinata.Ia menjelaskan tipe-tipe keluarga terdiri beberapa
jenis, yakni tipe keluarga inti atau batih (Nuclear Family) yang terdiri dari ibu-bapak-
anak. Tipe keluarga lain adalah keluarga besar (Extended-Family), dimana bukan hanya
keluarga batih tetapi juga anggota-anggota keluarga dalam garis vertikal (kakek, nenek,
paman, bibi, cucu), maupun garis horizontal (kakak, adik, ipar dan sebagainya).34
Istilah keluarga inti atau batih dikembangkan oleh dunia barat untuk membedakan
kelompok keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak-anak, dari apakeluarga besar
(extended family) yang memiliki anggota keluarga yang banyak. Bentuk keluarga ini
seringkali disebut bentuk keluarga tradisional yang mana bentuk keluarga ini adalah
bagian dari lembaga sosial yang ada pada masyarakat dan keluarga merupakan lembaga
33
William J.Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 03. 34
N.K.Admaja Hadinata,Op.cit, 05.
45
sosial dasar dari mana semua lembaga lainnya berkembang karena kebudayaan yang
makin kompleks menjadikan lembaga-lembaga itu penting.35
Pada umumnya tipe keluarga nuclear family banyak terdapat pada keluarga-
keluarga di negara-negara barat. Sementara tipe keluarga extended family banyak terdapat
dalam masyarakat yang masih mempraktikan tradisi dan budaya yang sarat dengan nilai-
nilai persaudaraan yang besar. Hal mana nampak dalam tipe keluarga besar. Selain dua
tipe keluarga di atas, tipe keluarga lainya di uraikan oleh sosiolog Richard R Clayton.Ia
menguraikan keluarga konjugal. Tipe keluarga ini terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan
ayah) dan anak-anak, dimana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua
pihak orang tua.36
Tipe keluarga ini bersikap terbuka pada interaksi dengan kerabat dari
suami atau isteri.Keterbukaan sikap tipe keluarga ini memungkinkan adanya jalinan
hubungan yang kuat di antara kerabat dari suami isteri.
Dari uraian tipe-tipe keluarga diatas, nampak bahwa institusi keluarga memiliki
bentuk dan struktur yang sangat beragam berdasarkan konteks dimana keluarga berada.
Ini berarti setiap konteks mempengaruhi struktur keluarga yang terbentuk. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam tipe-tipe keluarga yang ada, baik tipe Nuclear
family, extended family, tipe keluarga besar, tipe keluarga konjugal, merupakan tipe-tipe
keluarga tempat berlangsungnya berbagai interaksi, termasuk pembangunan karakter
anak. Namun setiap tipe keluarga sangat mempengaruhi model pengasuhan orangtua
pada anak. Baik pola komunikasi, relasi diantara anggota keluarga, nilai-nilai moral yang
ditanamkan, perilaku keluarga secara langsung maupun tidak langsung dipelajari dan
35
Paul B. Horton, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1987), 266. 36
Richard R Clayton,The Family, Mariage and Social Change, (USA, 2003.), 58.
46
ditiru oleh anak melalui sikap, tutur kata, ekspresi harapan, tuntutan, kritikan satu sama
lain, menanggapi dan memecahkan masalah, serta mengungkapan perasaan dan emosinya
dan berbagai hal lainya yang berlangsung dalam keluarga turut mempengaruhi
pembangunan karakter yang berlangsung dalam keluarga. Hal ini disebabkan oleh karena
setiap tipe keluarga memiliki model dan metode tersendiri guna membangun karakter
baik.Dari uraian di atas tepatlah jika dikatakan keluarga sebagai unit terkecil dalam
sebuah komunitas justru memiliki peranan yang besar. Peran besar ini menyangkut
kegiatan mendidik, membina, mengarahkan, membesarkan dan membangun moral,
karakter dan kepribadian anak. Karena itu, menyadari akan peranan keluarga seperti
dimaksud di atas maka sudah selayaknya keluarga sebagai salah satu ruang lingkup
pembentukan karakter mendapat perhatian intens dari berbagai elemen masyarakat
dengan tujuan memaksimalkan peranan keluarga dalam pembangunan karakter.
G. Model-model pengasuhan Orangtua dan pembangunan karakter anak.
Berbicara tentang peranan keluarga sebagai institusi awal dan dasar pembangunan
karakter, keberhasilan keluarga (orangtua) dalam proses pembangunan karakter anak
dilakukan melalui model pengasuhan orangtua. Berbagai bentuk karakter dan nilai-nilai
moral, bahkan iman anak di bangun melalui model-model pengasuhan yang dilakukan
orangtua kepada anak. Model-model pengasuhan sangat berpengaruh terhadap bentuk
karakter yang karakter anak yang di bangun. Karenanya bila model pengasuhan yang
dilakukan berkualitas dan utuh maka akan menghasilkan karakter yang kokoh dan
membuat anak mampu bertahan (survive) dalam pelbagai situasi hidup. Sebaliknya,
proses pembangunan karakter yang tidak berkualitas dan utuh akan membuat anak mudah
47
berubah ke arah yang buruk. Jika sedemikian pentingnya pengasuhan orangtua pada anak
dalam membangun karakter anak maka dapat dikatakan bahwa model pengasuhan
orangtua menjadi kunci keberhasilan dalam proses pembentukan karakter baik pada anak.
Pemahaman ini sejalan dengan pemikiran Lickona tentang besarnya dampak
model-model pengasuhan orangtua terhadap terbentuknya karakter anak.Menurutnya,
pengasuhan yang dilakukan orangtua mempunyai dampak yang mendalam kepada
perkembangan moral dan perilaku anak.Namun pengasuhan juga harus disertai dengan
standar moral dan otoritas orangtua yang jelas sehingga menjadi batasan bagi anak dalam
berperilaku.37
Standard moral dan otoritas orangtua menjadi unsur penting dalam
pengasuhan sebab dengannya, orangtua dapat terus menjadi model perilaku dan sekaligus
mengkawal proses pembangunan karakter baik melalui pengasuhan yang di berikan
orangtua kepada anak. Dengannya, pendidikan yang diberikan orangtua dapat terus
berlangsung dengan baik.Hal ini secara sederhana dikatakan oleh Hadinato sebagai
metode sosialisasi dalam keluarga. Dalam metode ini, setiap proses pendidikan yang
diberikan berlaku wajar dan dengan sendirinya, dimana orangtua meneruskan
pengetahuan, kebiasaan, nilai-nilai kepada anak. Proses mentransfer nilai-nilai moral
berlangsung dengan sendirinya manakala anak mengamati perilaku orangtua.38
Terkait dengan model pengasuhan, banyak model pengasuhan yang di ajukan oleh
para ahli.Pendidik Thomas Lickona mengajukan model pengasuhan Modelling.Yang
mana penekanan utama model pengasuhan ini adalah figur atau tokoh yang dijadikan
contoh oleh anak dalam berperilaku. Figur atau tokoh yang dimaksud oleh model
pengasuhan ini adalah orangtua ataupun orang-orang dewasa disekitar kehidupan anak.
37
Thomas Lickona, Op.cit, 42. 38
N.K.Admaja Hadinoto, Op.cit, 184.
48
Model Pengasuhan ini terdiri atas 3 model yakni pemodelan penalaran moral, pemodelan
komitmen dan pemodelan iman.
Tiga bentuk pemodelan dimaksud di uraikan Lickona berturut-turut sebagai
berikut: Pertama, pemodelan penalaran moral. Dalam model pengasuhan ini, orangtua
membagikannilai-nilaidan keyakinan yang mendalam, mengajarkan apa yang orangtua
anggapbenar serta menjelaskan alasan yang dimiliki oleh orang tua terhadap hal-hal
tersebut sehingga anak memahami maksud perilaku yang dicontohkan.
Dalam model ini, dialog adalah metode yang tidak terelakan. Sebab melalui
dialog antara orangtua dan anak, dimungkinkan berbagai penjelasan tentang nilai-nilai
dan perilaku moral dapat tersampaikan dan dipahami dengan baik oleh anak. Dialog
menjadi penting oleh karena dalam model pengasuhan ini bersifat dua arah, yang mana
tidak hanya orangtua yang berperan dalam model ini namun juga peran serta anak dalam
menanggapi berbagai perilaku moral yang di amatinya. Semakin baik partisipasi yang di
tunjukan anak, semakin banyak penalaran yang dapat diberikan orangtua kepada anak
tentang nilai-nilai moral yang terkandung dalam perilaku orangtua ataupun orang dewasa
lainnya dalam keluarga. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran sosiolog Hadinoto
tentang metode dialog dalam keluarga. Baginya, metode dialog adalah pilihan yang
paling realistis bagi orangtua dalam memberikan penalaran atas berbagai perilaku moral
yang di amati anak dalam keluarga. Dikatakan demikian oleh karena dalam metode
dialog, selain nilai-nilai moral, banyak nilai-nilai hidup lainya yang dapat terungkap
49
manakala terjadi dialog antara orangtua dan anak, misalkan nilai-nilai sosal yang
memungkinkan anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya.39
Pemahaman tentang peranan orangtua dalam pembangunan moral anak juga
sejalan dengan penjelasan Lickona tentang peranan keluarga sebagai sumber pendidikan
moral.Menurutnya, keluarga merupakan sumber pendidikan moral yang paling utama
bagi anak.Orangtua adalah guru pertama anak-anak yang memberikan pengaruh paling
besar terhadap perkembangan moral anak-anak.40
Dalam tulisannya yang lain, Educating For Character, Lickona masih
menguraikan peranan keluarga sebagai sekolah kebajikan yang pertama, yang mana
dalam keluargalah kita belajar tentang kasih, tentang komitmen, tentang pengorbanan dan
iman pada sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri.41
Nilai-nilai tersebut
dipelajari anak secara langsung maupun tidak langsung dalam keluarga melalui berbagai
perilaku orangtua maupun orang-orang dewasa lainnya dalam keluarga.Ini berarti seluruh
interaksi yang berlangsung dalam keluarga menjadi media bagi anak untuk belajar dan
memahami berbagal hal dalam hidup, termasuk nilai-nilai moral.Hal ini terjadi oleh
karena kemampuan berpikir anak tentang berbagai nilai moral belumlah memadai
sebagaimana orang dewasa. Anak memahami berbagai perilaku moral yang dilihatnya
sesuai dengan tingkat berpikir anak.
Mengenai tingkatan berpikir anak, teoritikus kognitif anak, Jean Piaget,
menguraikan dua bentuk pemikiran moral yang dialami anak-anak yakni heteronomi
moral dan otonomi moral. Heteronomi moral adalah kepatuhan membuta pada aturan-
39
N.K.Hadinoto, Op.Cit,180. 40
Thomas Lickona, Op.Cit.,48. 41
Ibid, xxvii.
50
aturan yang dipaksakan orang dewasa. Bentuk moralitas ini di alami oleh anak dalam usia
pertumbuhan di bawah tujuh tahun. Dalam moralitas ini, anak berasumsi bahwa terdapat
sebuah hukum dahsyat yang mesti mereka ikuti.
Bentuk moralitas kedua adalah otonomi moral. Moralitas ini menganggap aturan-
aturan sebagai piranti manusia yang diproduksi demi kerja sama dan mendapatkan
kesetaraan. aturan bukan lagi hal yang baku atau absolut. Dan karenanya aturan dapat di
ubah selama aturan menjamin kesetaraan semua pihak. Bentuk moralitas ini di alami oleh
anak-anak dalam usia di atas tujuh tahun.42
Hal ini mengandung pengertian bahwa
berbagai perilaku moral yang dilihatnya dari orangtua ataupun dari orang dewasa lain
dalam keluarga dipahami anak berdasarkan bentuk-bentuk moralitas menurutnya.
Berdasarkan uraian Piaget tentang tahapan berpikir anak, khususnya dalam
pemikiran moral anak, dapat dikatakan bahwa anak memiliki cara berpikir dan cara
menilai tersendiri berdasarkan tahapan dan bentuk-bentuk pemikiran moral, baik yang ia
lihat pada orang lain dan juga yang ia lakukan pada diri sendiri. Oleh karena itu dalam
kaitanya dengan membangun moral anak, orangtua perlu memahami tingkat pemikiran
dan moral anak agar sehingga menolong orangtua dalam mengasuh anak.
Sejalan dengan pemikiran moral yang di uraikan oleh Piaget, Lowrence Kohlberg,
psikolog perkembangan moral, menyebut sikap moral anak dalam tahap ini sebagai
moralitas prakonvensional. Pada tahap ini anak berasumsi bahwa otoritas-otoritas yang
penuh kuasa telah telah menurunkan seperangkat aturan baku yang harus dipatuhi tanpa
protes. Bila melakukan yang benar berarti mematuhi otoritas dan terhindar dari
42
Jean Piaget, The Moral Judgement Of The Child, Terj: M.Gabain, ( New York: Free Press, 1965), 401-
406.
51
hukuman.43
Karenanya sejumlah aturan-yang di ungkapkan atau pun yang di lakukan oleh
orangtua dalam keluarga merupakan standard moral yang menjadi acuan anak dalam
berperilaku.
Bentuk pemodelan kedua; pemodelan komitmen. Dalam model pengasuhan ini,
orang tua memberi contoh dalam membuat komitmen dan menjaga komitmen, misalnya
komitmen pada pernikahan ataupun komitmen pada sesuatu yang memiliki nilai yang
berharga dalam kehidupan sehingga anak dapat belajar memiliki komitmen, saling
mengasihi dan dapat hidup bersama dengan orang lain. Dalam model pengasuhan ini
kualitas hubungan orangtua sebagai suami-isteri, semisal pola komunikasi, relasi yang
setara, sikap menghargai, saling menolong di antara suami-isteri menjadi contoh konkret
bagi anak sehingga anak belajar saling menghargai dan menjaga serta setia terhadap
sebuah komitmen.
Selanjutnya pemodelan ketiga adalah pemodelan iman. Pemodelan ini erat
kaitannya dengan nilai-nilai agama yang memberi artihidup yang tinggi danalasanutama
untukmenjalani hidupyang baik. Dalam pemodelan ini anak belajar tentang iman dan
bagaimana hidup beriman melalui perilaku rohani orangtua berupa berbagai aktifitas
rohani seperti mengajak berdoa, beribadah, dan aktifitas rohani lainnya.44
Selain itu,
intensitas pertemuan dan interaksi yang berlangsung dalam keluarga memungkinkan
terjadinya pengulangan-pengulangan sikap yang pada akhirnya menjadi kebiasaan anak
dan menyatu menjadi karakter anak.
43
William Crain, Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi, Penerjemah: Yudi Santoso, Edisi Bahasa
Indonesia, (Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2007), 231. 44
David Streight,Parenting For Education.Five Ekspert, Five Practices, (Oregon: CSEE, 2008), 38-43.
52
Sejalan dengan pemikiran ini, pakar parenting lainnya, Marvin Berkowitz melihat
hal ini sebagai tindakan investasi yang dilakukan orangtua kepada anak. Yang mana,
tindakan investasi dimaksud menjadi dasar bagi anak untuk bertumbuh dalam iman
kelak.45
Yang mana melalui kebersamaan dengan orang-orang terdekat dalam keluarga,
anak belajar tentang Allah. Pengalamannya akan kasih orangtuanya merupakan sarana
pertama anak mengalami dan mengenal kasih Allah. Bagi sang anak, secara alamiah
orangtua merupakan model dan citra tentang sosok dan kehadiran Allah dalam hidupnya.
Sedemikian besarnya dampak sikap rohani orangtua pada anak, pemerhati
keluarga, Dolores Leckey, mencirikan keluarga sebagai laboratorium kerja rohani yakni
keluarga adalah konteks tempat belajar dengan cara yang praktis dan konkret untuk
mengenal dan memahami Allah.46
Proses membangun iman anak juga perlu memperhatikan tahap-tahap
perkembangan kepercayaan anak. Dalam kaitannya dengan membangun iman pada anak,
dua dari tiga tahap perkembangan kepercayaan yang di sampaikan James Fowler dapat di
pahami orangtua dalam membangun iman anak.Dua tahap perkembangan kepercayaan di
maksud yakni, pertama; tahap kepercayaan intuitif-proyektif (Intuitive-Projective
Faith).Ciri pertumbuhan iman pada tahap ini adalah anak dapat mengetahui Tuhan
melalui intuisi dan iman yang di bentuk dengan cara meniru suasana hati, contoh dan
tindakan-tindakan iman orang-orang lain yang dapat dilihat terutama orang tua. Hal ini
disebabkan pada tahap ini anak belum dapat membedakan antara fakta dan fantasi
sehingga pemahamannya tentang Allah bergantung pada sejauhmana ia mengenal
45
Marvin Berkowitz,Parenting For Good: Real World Advice For Parents, (USA: Character Developmentt
Groups, 2006), 80-81. 46
Dolores Leckey, dalam bukuKeluarga sebagai Pusat Pembentukan: suatu visi tentang peranan keluarga
dalam pembentukan rohani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 15.
53
orangtua. Dengan demikian, seluruh interaksi timbal-balik antara anak dan orang-orang
di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan imannya. Ini berarti peran
orangtua sangat besar dalam tahap ini oleh karena melalui setiap perilaku orangtua, anak
mengenal dan memahami Allah.
Tahap perkembangan kepercayaan kedua adalah tahap mitis-harfiah (Mithic-
Literal Faith). Ciri tahap ini adalah iman afiliatif di mana dengan lebih sadar anak
bergabung dan menjadi anggota kelompok terdekatnya atau komunitas iman. Yang paling
berperan dalam perkembangan iman anak pada tahap ini adalah kelompok atau institusi
kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok pembinaan agama
atau sekolah yang berfungsi sebagai sumber pengajaran iman.Lingkungan akhir miliknya
dikonseptualisasikan dalam cerita dan mite yang diartikan secara harafiah.Penalarannya
berupa hal-hal konkret yang berhubungan dengan panca indera dengan sedikit abstraksi
serta tergantung pada kredibilitas orang yang menyampaikan pengajaran.
Berdasarkan tiga bentuk model pengasuhan Lickona yang di uraikan di atas,
nampaknya peranan orangtua sangat besar dalam pengasuhan modellingoleh karena
orangtua menjadi contoh atau model pertama bagi anak dalam mengenal dan
mengidentifikasi nilai-nilai moral dan implikasi-implikasinya melalui dialog bersama
anak. Demikian pula dengan pertumbuhan iman. Dalam cara berpikir, anak mengamati
dan memahami setiap perilaku rohani yang dilakukan orangtua sebagai media bagi anak
untuk mengenal dan mengartikan Tuhan dalam pemahamannya. Tahapan perkembangan
iman Fowler melengkapi kita memahami proses yang dijalani anak dalam pembangunan
karakter oleh orangtua.
54
Model pengasuhan berikutnya di sampaikan oleh psikolog Diana Baumrind yang
mengemukakan tiga model pengasuhan yaitu model pengasuhanpermisif, model
pengasuhan autoritarian dan model otoritative.47
Pertama; model pengasuhan
permisif.Dalam model pengasuhan ini, orangtua terlalu banyak memberikan kasih sayang
namun memiliki otoritas yang rendah.Akibatnya anak cenderung mengikuti keinginannya
semata bahkan cenderung tidak memiliki penghormatan kepada orangtua.Orangtua
memberikan pengawasan yang sangat longgar kepada anak untuk melakukan sesuatu
tanpa pengawasan yang cukup dari orangtua.Orangtua cenderung tidak menegur atau
memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan
yang diberikan oleh orangtua.Namun orangtua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga
seringkali disukai oleh anak. Dari uraian ini nampaknya karakter yang akan terbentuk
melalui model pengasuhan ini adalah anak yang berkarakter tidak mandiri, tidak dapat
mengendalikan diri dan mudah putus asa.
Model pengasuhan berikutnya adalah model pengasuhan authoritarian
(otoriter).Model ini ditandai oleh banyaknya aturan yang kaku dan di tegakkan dengan
ancaman dan hukuman.Dalam model pengasuhan ini, anak belajar rasa hormat melalui
berbagai aturan yang diterapkan dalam keluarga.Orangtua banyak menggunakan perintah
dan ancaman namun sedikit penalaran.Model pengasuhan ini bersifat membatasi dan
menghukum, mendesak anak untuk mengikuti perintah orangtua, menghormati orangtua,
memiliki tingkat kekakuan (strictness) yang tinggi memiliki intensitas komunikasi yang
sedikit. Anak yang dididik secara otoritarian memiliki sikap yang kurang kompeten
secara sosial, keterampilan komunikasi yang buruk dan takut akan perbandingan sosial.
47
David Streight,Op.Cit.,19-21.
55
Dengan gaya otoritarian anak dimungkinkan memberontak karena tidak dapat menerima
atau jenuh akan pengekangan.
Model pengasuhan ketiga dari Baumrind adalah model pengasuhan otoritative.
Dalam model pengasuhan ini, orangtua mengarahkan anak dengan sungguh-sungguh
secara konsisten dan rasional dengan cara menjelaskan alasan dibalik tuntutan dan
mendorong anak untuk memberi dan menerima. Orangtua menggunakan kekuasaan
(untuk menjalankan aturan dan perintah) bila diperlukan.Orangtua menetapkan standar-
standar moral dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh tetapi tidak memandangnya
sebagai hal yang mutlak. Orangtua mendengarkan anak tetapi tidak mendasarkan
keputusannya semata-mata pada keinginan sang anak.
Model pengasuhan ini memiliki karakteristik berupa intensitas yang tinggi akan
kasih sayang, keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orangtua terhadap anak, penalaran,
serta mendorong pada kemandirian. Orang tua yang menerapkan model pengasuhan ini
memiliki sifat yang sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap
memberi batasan untuk mengarahkan anak menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupnya.Anak yang di didik dengan pola asuh ini memiliki tingkat kompetensi sosial
yang tinggi, percaya diri, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, akrab dengan
teman sebaya dan mengetahui konsep harga diri yang tinggi.Karakteristik pola asuh ini
dapat mengimbangi rasa keingintahuan anak.Namun walaupun anak di beri kebebasan,
orang tua tetap terlibat dengan memberi batasan berupa peraturan yang tegas.
Dari tiga model pengasuhan yang dicetuskan Diana Baumrind, nampaknya model
pengasuhan yang lebih tepat digunakan dalam kaitanya dengan membangun karakter
yang baik pada anak adalah model pengasuhan otoritatif. Yang mana dalam model
56
pengasuhan otoritatif, tercipta hubungan yang setara dan komunikasi yang hangat antara
orangtua dan anak.Disamping itu orangtua tetap dapat mengontrol anak tanpa anak harus
menghilangkan kebebasan anak dalam berpendapat dan beraktifitas.Dampak lainnya dari
model pengasuhan otoritative adalah terciptanya kepercayaan diri dalam diri anak
sehingga anak dapat berkembang dan dapat bersosialisasi dengan lingkungan. Sementara
itu, dua model pengasuhan yang lain yakni model pengasuhan otoriter dan permisif
kurang menolong dalam upaya membangun karakter baik pada anak oleh karena berbagai
karakteristik model pengasuhan ini, di antaranya pada model pengasuhan otoriter; tidak
adanya hubungan yang hangat di antara orangtua dan anak, dapat menimbulkan
kekerasan mental dan fisik dalam jangka waktu yang lama pada diri anak. Sedangkan
pada model pengasuhan permisif, berdampak pada kehilangan otoritas atas anak oleh
orangtua.
Selanjutnya psikolog Marilyn Watson mengajukan model pengasuhan
disiplin.Ciri utama model pengasuhan ini yakni orang tua lebih banyak mengontrol anak-
anaknya berdasarkan aturan-aturan tertentu yang dimiliki oleh keluarga. Sementara pada
sisi yang lain orang tua memberikan penekanan padadayapernyataandan
hukuman.48
Kontrol yang dilakukan orangtua pada anak berupa pembiasaan-pembiasaan
perilaku yang dilakukan oleh anak, dengan tujuan tercapainya sebuah sikap yang
diharapkan.Pembiasaan dimaksud disepakati bersama oleh anggota keluarga, namun
orangtua bertindak sebagai penegak terhadap aturan bersama yang disepakati.
Model pengasuhan selanjutnya di cetuskan oleh pendidik Marvin W. Berkowitz
yakni model pengasuhan demokratis. Ciri khas model pengasuhan ini adalah adanya
48
Ibid, 51-52.
57
dialog antara orangtua dan anak. Dialog menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam
pengasuhan oleh karena melalui dialog dimungkinkan terciptanya relasi yang mendalam
antara orangtua dan anak.
Lebih lanjut di uraikan Berkowitz, ciri lain model pengasuhan ini adalah orangtua
bersikap tanggap, mendukung anak-anak dan kurang memberikan tuntutan bagi anak.
Dalam model pengasuhan ini dimungkinkan adanya pola komunikasi yang setara antara
orangtu dan anak.Pendapat anak di dengar dan bersama-sama mencari keputusan yang
tepat bagi orangtua dan anak.49
Dalam kaitannya dengan membangun karakter baik pada anak, model pengasuhan
demokratis sangat tepat digunakan oleh karena berdampak beberapa hal baik, di
antaranya hubungan orangtua dan anak yang semakin erat, menumbuhkan rasa keadilan
dan melatih anak berkembang dalam ketrampilan mengelola diri.
Model pengasuhan selanjutnya di sampaikan oleh Larry Nucci yakni pengasuhan
yang di lakukan orangtua berdasarkan pemikiran salah dan benar sesuai konteks
sosial.Dalam model pengasuhan ini, orangtua di hadapkan pada berbagai aturan dan
kebiasaan yang berlangsung dalam masyarakat, yang mana aturan atau kebiasaan di
maksud seringkali menjadi tolak ukur penilaian benar dan salah terhadap perilaku moral
seseorang.Setiap nilai moral yang di ajarkan secara langsung ataupun melalui perilaku
orangtua di sesuaikan dengan kebiasaan yang berlangsung dalam masyarakat.Sementara
dalam kenyataan, moral anak terbangun berdasarkan pengalamannya sendiri ketika
berada disekitar orang-orang terdekat dan juga manakala anak ada dalam
masyarakat.Pengalaman-pengalaman di maksud kemudian di olah sesuai dengan pola
49
Ibid , 17-65.
58
pikir setiap anak. Dengan demikian tidak ada ukuran atau aturan baku yang berlaku untuk
setiap anak oleh karena sikap orangtua yang dapat di ambil dalam model pengasuhan ini
adalah menjadi mediator yang memberikan informasi tentang berbagai nilai yang ada
dalam masyarakat kepada anak-anak dan membiarkan anak bertumbuh dalam moral
berdasarkan pemahaman anak dan pengalaman langsung yang di alami anak dalam
konteks sosial.
Selain itu orangtua juga bersikap cerdas dalam membimbing anak terutama dalam
menghadapi perilaku moral anak sehingga orangtua tahu dengan tepat kapan harus
mengatakan Ya untuk berbagai perilaku anak serta tetap memelihara komunikasi yang
setara dengan anak terutama dalam memberi penjelasan atas berbagai kebiasaan dalam
masyarakat yang menjadi aturan hidup masyarakat.
Berdasarkan beberapa teori yang di uraikan di atas, penulis melihat sejumlah
persamaan yang dimiliki dalam beberapa model pengasuhan yang saling berkaitan. Hal
mana nampak dalam model pengasuhan modeling, yang disampaikan Lickona, memiliki
persamaan dengan model pengasuhan otoritatif dari Diana Baumrind, model pengasuhan
demokratis dari Berkowitz dan model berpikir salah benar dari Nucci. Dikatakan
demikian oleh karena dilihat dari empat model pengasuhan tersebut, sama-sama
menggunakan penjelasan atau penalaran. Fokus penjelasan penalaran yang di gunakan
Lickona dan Nucci adalah penalaran moral, sementara penalaran dalam model
pengasuhan otoritatifBaumrind lebih kepada penjelasan-penjelasan atas berbagai
tuntutan atas ataran-aturan yang diberlakukan dalam keluarga. Dari penjelasan-penjelasan
yang disampaikan orangtua, anak di ajak untuk berpikir bersama-sama sambil orangtua
59
tetap memberi dorongan kepada anak untuk belajar bertanggung jawab atas setiap
perilakunya.
Sementara itu persamaan dua model pengasuhan pertama dengan model
pengasuhan demokratis terletak pada sikap terbuka yang dimiliki oleh orangtua dalam
berdialog dengan anak untuk memberikan berbagai bentuk penjelasan berkaitan dengan
perilaku atau pun nilai-nilai moral dan religious. Selain itu dukungan orangtua kepada
anak dalam berperilaku menjadi daya dorong yang baik bagi anak untuk berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai moral dan religius yang di ajarkan.
Dari sejumlah persamaan yang dimiliki empat model pengasuhan di atas,
nampaknya dalam rangka membangun karakter yang baik pada anak, empat model
pengasuhan di maksud sangat tepat di gunakan. Penggunaan model-model pengasuhan di
maksud dapat di lakukan satu persatu atau dapat juga di lakukan secara gabungan dari
empat model pengasuhan yakni model pengasuhan modelling dari Lickona, model
pengasuhan otoritatif dariDiana Baumrind, danmodel pengasuhan demokratis dari
Berkowitz
Persamaan berikut terdapat dalam model pengasuhan otoriter dan disiplin.Hal
mana nampak dalam sikap orangtua. Dalam dua model di maksud, sikap orangtua lebih
menekankan pelaksanaan sejumlah aturan yang dilakukan anak dalam pengawasan dan
control orangtua yang di ikuti dengan sejumlah hukuman bilamana anak lalai dalam
melakukan aturan-aturan yang berlaku dalam keluarga. Relasi yang cukup jauh antara
anak dengan orangtua tidak memungkinkan adanya dialog yang hangat dan setara. Dalam
kondisi model pengasuhan seperti ini kemungkinan terbangunnya karakter baik pada
anak sangat kecil.
60
Perbedaan lainnya datang dari model pengasuhan permisif.Bila penekanan utama
dari model pengasuhan otoriter dan disiplin adalah sikap orangtua yang kaku berdasarkan
aturan-aturan maka dalam model pengasuhan permisif, kondisi yang berlangsung justru
sebaliknya.Hal mana nampak dari sikap orangtua yang longgar bahkan cenderung
mengikuti setiap keinginan anak.Hal ini berdampak pada hilangnya otoritas orangtua
pada anak.Akibatnya karakter yang terbangun dalam diri anak dalam model pengasuhan
ini adalah karakter anak yang tidak mandiri dan tidak memiliki control atas diri sendiri.
Menjadi jelas bahwa banyak model pengasuhan orangtua yang telah diuraikan
diatas memiliki dampak besar bagi anak.Dengannya orangtua memiliki banyak pilihan
untuk melakukan model pengasuhan pada anak.Setiap model pengasuhan memiliki
kekuatan dan kelemahan tersendiri. Karena itu pemanfaatan model-model pengasuhan
oleh orangtua sangat menentukan proses pembangunan karakter. Disamping itu
penggunaan model-model pengasuhan di kolaborasikan antara satu dengan yang lainnya
berdasarkan waktu dan tempat setiap keluarga sangat menolong orangtua dalam
pengasuhan untuk membangun karakter baik pada anak.