model pendugaan banjir dan kekeringan (studi kasus di das ... · untuk waktu menuju debit puncak...
TRANSCRIPT
MODEL PENDUGAAN BANJIR DAN
KEKERINGAN (STUDI KASUS DI DAS SEPARI, KUTAI KARTANEGARA,
KALIMANTAN TIMUR)
M. LUTHFUL HAKIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ABSTRACT
M. LUTHFUL HAKIM. Modeling of Flood and Drought Prediction (Case Study in Separi Watershed, Kutai Kartanegara, East Kalimantan). Under the supervision of: OTENG HARIDJAJA, SUDARSONO, and GATOT IRIANTO.
A huge disaster might be happened as a result of land use change especially forest that has good cover then was barely opened to rain drop impact as a result of trees cutting. Two negatives impacts that usually happened are flood in the rainy season and drought in the dry season. The phenomena most likely happened in a complex situation within a watershed. A research of the modeling of flood and drought prediction must be implemented to have better understanding of this phenomena and further to have an example of a better watershed management in Indonesia. Separi watershed in East Kalimantan that ideally represented of a forest that had been cut within a watershed had been selected for the study. The objective of this study are: 1) to design models of flood (peak discharge and time to peak discharge) and drought prediction in Separi watershed, and 2) optimum land use composition for decreasing flood and drought, and furthermore for better watershed Separi management. The result of this study showed that discharge of overland flow for watershed with loamy soil texture are 30% and 37% higher compared than watershed with sandy and clay dominant soil, respectively. The watershed with clay dominant soil texture have time to peak discharge higher compared than watershed with loamy and sandy dominant soil texture, respectively. The characteristic of watershed geomorphology have an impact of overland flow discharge and time to peak discharge. A watershed has higher Gravelius Index, main of stream length, and ratio of mean length which is larger and longer area will have a lower overland flow discharge, and the watershed have a shorter drainage density will have a faster time to reach its peak discharge. The flood prediction model based on land and watershed geomorphology characteristics by using three production function methods (A, B, and C) able to have similar peak discharge of overland flow and time to peak discharge simulation which is not differ with field measurement result, and have model accuration level (Nash and Sutcliffe criteria) of 93% for method of A, 85% for method of B, and 62% for method of C. The optimum land use composition in order to decrease peak discharge of overland flow and time to peak discharge indicates the composition of land use in Separi watershed: 54% for forest area, 1.9% for farm/garden, 0.12% for urban, 0.5% for paddy field, 42% for coppice, and 1.99% for coal-mine is the optimum. The result analysis of land water balance showed that crop water deficit (drought) during five year (2001 – 2005) in Separi watershed happen in the year 2004 (months of October) and 2005 (months of August and September). The result of identification and analysis of drought compared with soil water balance (Thornthwaite and Mather, 1957) using of remote sensing technology in Separi watershed are similarly in pattern, but both methods are statistically differ (R2=0,26).
Keywords: flood prediction, drought, watershed
RINGKASAN M. LUTHFUL HAKIM. Model pendugaan Banjir dan Kekeringan (Studi Kasus di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur). Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA, SUDARSONO, dan GATOT IRIANTO.
Alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan berdampak negatif terhadap banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Penelitian pemodelan pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) dan kekeringan perlu dilakukan untuk pengelolaan DAS di Indonesia. Tujuan penelitian ini: 1) merakit model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi, dan 2) menentukan komposisi luas penggunaan lahan secara optimal dalam rangka penanggulangan banjir dan kekeringan, serta pengelolaan DAS Separi. DAS Separi, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur pada koordinat 00003’ – 00038’ LS dan 117008’ – 117031’ BT dipilih sebagai lokasi penelitian. Waktu penelitian lapang adalah bulan Januari 2005 – Juni 2006. Metode penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) pengumpulan data, 2) penyusunan model pendugaan banjir dan kekeringan, serta parameterisasi model, 3) uji akurasi model, dan 4) penerapan model. Model pendugaan banjir terdiri dari: 1) pemodelan fungsi produksi (metode A, B, dan C) dan 2) pemodelan fungsi transfer. Pemodelan fungsi produksi metode A merupakan curah hujan netto yang dihitung dari curah hujan bruto yang tercatat di penangkar hujan (Pb)dengan koefisien aliran permukaan (Kr). Untuk metode B merupakan curah hujan sisa yang dihitung dari selisih curah hujan bruto dengan jumlah air yang diintersepsi oleh tanaman (INTCP) dan air yang diinfiltrasikan ke dalam tanah f(t). Untuk metode C merupakan curah hujan sisa yang dihitung dari neraca air lahan. Model pendugaan kekeringan terdiri dari: 1) analisis neraca air lahan metode Thornthwaite dan Mather (1957) dan 2) teknologi penginderaan jauh. Pendugaan kekeringan dengan teknologi penginderaan jauh didasarkan dari analisis kombinasi tingkat kelembaban permukaan lahan (wetness index) dengan tingkat kehijauan tanaman (NDVI) dari data citra Landsat 7 perekaman tanggal 3 April 2002, 21 Mei 2002, 8 Juli 2002, dan 9 September 2002. Hasil penelitian menunjukkan total debit aliran permukaan pada DAS yang didominasi tanah bertekstur lempung lebih tinggi 30% dibandingkan DAS yang didominasi tanah bertekstur pasir dan 37% dibandingkan DAS yang didominasi tanah bertekstur liat. Untuk waktu menuju debit puncak DAS yang didominasi tekstur tanah liat memiliki waktu menuju debit puncak lebih cepat dibandingkan dengan DAS didominasi tekstur tanah lempung dan DAS yang didominasi tekstur tanah pasir. Total debit puncak aliran permukaan dan waktu menuju debit puncak sangat dipengaruhi oleh karakteristik geomorfologi DAS, yang mana DAS dengan Indek Gravelius, panjang sungai utama, dan rasio rata-rata panjang sungai makin besar akan memiliki total debit aliran permukaan lebih kecil, dan DAS dengan kerapatan jaringan sungai yang makin pendek akan memiliki waktu menuju debit puncak yang lebih cepat. Model pendugaan banjir berbasis karakteristik lahan dan geomorfologi DAS (metode A, B, dan C) dapat digunakan untuk memprediksi debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) dengan tingkat akurasi model menurut kriteria Nash dan Sutcliffe (F) berturut-turut adalah 93%, 85%, dan 62%, sehingga urutan model pendugaan banjir terbaik adalah metode A, B, dan C. Hasil analisis sensitivitas perubahan penggunaan lahan hutan 1% dan semak belukar 94% menjadi 54% untuk hutan dan 42% semak belukar berdampak terhadap penurunan debit puncak aliran permukaan (Qp) 23% dan memperlambat waktu menuju debit puncak (tp) 1,8 jam. Komposisi luas
penggunaan lahan optimal di DAS Separi untuk menurunkan debit puncak aliran permukaan dan memperlambat waktu menuju debit puncak adalah luas hutan 54%, kebun/ladang 1,9%, pemukiman 0,12%, persawahan 0,5%, semak belukar 42%, dan tambang batubara 1,99% dari total luas DAS Separi. Hasil analisis neraca air lahan di DAS Separi selama lima tahun (2001 – 2005) terhadap defisit air tanaman (kekeringan) diperoleh bahwa kekeringan terjadi pada tahun 2004 (bulan Oktober) dan 2005 (bulan Agustus dan September). Hasil identifikasi dan analisis kekeringan dengan menggunakan metode neraca air lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) memiliki pola yang hampir sama dengan hasil analisis teknologi penginderaan jauh di DAS Separi, tetapi secara statistik kedua metode tersebut berbeda (R2=0,26). Hal tersebut menunjukkan penggunaan teknologi penginderaan jauh (citra Landsat 7) dapat mempercepat dalam identifikasi potensi tingkat kekeringan, baik secara ruang (spasial) maupun waktu (temporal). Untuk meningkatan hasil akurasi prediksi kekeringan dengan teknologi penginderaan jauh, maka koreksi geometrik dan radiometrik harus dilakukan dengan benar dan akurat, serta data citra Landsat 7 yang digunakan memiliki tutupan awan kurang dari 10%.
Kata kunci: pendugaan banjir, kekeringan, daerah aliran sungai
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul :
“Model pendugaan Banjir dan Kekeringan (Studi Kasus di DAS Separi,
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur)“
adalah gagasan atau hasil penelitian saya sendiri di bawah bimbingan komisi
pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dari rujukan. Disertasi ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Jakarta, 2 Juni 2008
M. Luthful Hakim
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutup sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber: a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah, b) Pengutupan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
MODEL PENDUGAAN BANJIR DAN KEKERINGAN
(STUDI KASUS DI DAS SEPARI, KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR)
M. LUTHFUL HAKIM
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :
1. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka :
1. Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan, DEA
2. Dr. Ir. Abdurachman Adimihardja, MSc., APU
Judul Disertasi : Model pendugaan Banjir dan Kekeringan (Studi Kasus di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur)
Nama : M. Luthful Hakim
NRP : A226014011
Program Studi : Ilmu Tanah
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc Dr. Ir. Gatot Irianto, MS Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Atang Sutandi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 9 Nopember 1971 sebagai
anak pertama dari pasangan H. A. Choiri Zen, SH dan Hj. Maskanah Dz.
Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 1996. Pada tahun 1999,
penulis melanjutkan pendidikan program magister sains (S2) pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana,
IPB dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun 2002, penulis diberi kesempatan
untuk melanjutkan pendidikan program doktor (S3) di Program Studi Ilmu Tanah,
Sekolah Pascasarjana, IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana pada saat
melanjutkan program S2 dan S3 diperoleh dari Badan LITBANG Pertanian,
Departemen Pertanian melalui Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian
Partisipatif (PAATP).
Pada tahun 1996 sampai Agustus 1997, penulis terlibat aktif dalam
kegiatan penelitian BMSF (Biological Management and Soil Fertility) di Lampung
kerjasama antara Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas
Brawijaya dengan ICRAF, Bogor. Pada tahun 1997 sampai sekarang, penulis
bekerja sebagai staf peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Kalimantan Timur, Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan LITBANG
Pertanian, Departemen Pertanian. Selama bekerja di BPTP Kaltim, penulis
terlibat dalam kegiatan Pemetaan Zona Agroekologi (ZAE) di propinsi Kalimantan
Timur.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, hidayah, dan rizki-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan disertasi ini dengan sebaik-baiknya. Judul disertasi adalah “Model
Pendugaan Banjir Dan Kekeringan: Studi Kasus di DAS Separi, Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur”. Tujuan disertasi adalah untuk menyusun model
pendugaan banjir dan kekeringan, serta menentukan komposisi luas penggunaan
lahan yang optimal untuk penanggulangan banjir dan kekeringan. Disertasi ini
sangat penting sekali dalam upaya untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisik
tanah (tekstur tanah) dan geomorfologi DAS, distribusi curah hujan wilayah, dan
perubahan penggunaan lahan terhadap banjir (debit puncak dan waktu menuju
debit puncak) dan kekeringan. Selain itu, untuk mengotomatisasi proses
pembuatan peta-peta digital, seperti : peta bentuk lahan, kelerengan,
penggunaan lahan, dan rekonstruksi jaringan sungai, maka dalam disertasi ini
digunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Remote Sensing.
Keluaran dari disertasi ini adalah model pendugaan banjir dan kekeringan
sebagai alat bantu pengambil kebijakan (decision support system) dalam
pengelolaan DAS dan mitigasi bencana banjir dan kekeringan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Oteng
Haridjaja, MSc. (Ketua Komisi Pembimbing), Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, MSc.
(Anggota), dan Dr. Ir. H. Gatot Irianto, MS (Anggota) atas segala bimbingan,
pengarahan, dan nasehat-nasehatnya, hingga terselesaikannya penulisan
disertasi ini.
Penghargaan dan ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak
Kepala Badan dan Ketua Pembinaan Tenaga Badan LITBANG Pertanian,
Pengelola Proyek PAATP, Badan LITBANG Pertanian, Kepala BPTP Kalimantan
Timur, Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu
Tanah yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Selain itu, ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Kepala Deputi Penginderaan Jauh
dan Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh, LAPAN, Jakarta yang telah
berkenan untuk menyediakan fasilitas data citra Landsat 7 untuk analisis tutupan
lahan dan identifikasi kekeringan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
segenap rekan-rekan dan sahabat karib, di lingkup Program Pascasarjana Ilmu
vii
Tanah, maupun rekan-rekan dari BPTP KALTIM, BALITKLIMAT, dan
BALITTANAH, Bogor yang secara langsung maupun tidak langsung telah
membantu dan memotivasi dalam penyelesaian disertasi.
Akhirnya kepada Abah, Umi, Mama, Istriku tercinta Ira, dan anakku Rifa
dan Faris, serta keluarga yang senantiasa telah memberikan doa, dorongan,
harapan, dan biaya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini, penulis
menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Semoga semua amal kebajikan
tersebut mendapatkan ridhlo dari Allah SWT. Amiin ……!
Jakarta, 2 Juni 2008
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ……………………….…………………………………
x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
xiii
PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1Latar Belakang ……………………………………………………….. 1Tujuan …………………………………………………………………. 4Keluaran ………………………………………………………………. 4Kerangka Pemikiran …………………………………………………. 4
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 9Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Parameter Sistem DAS ………. 9Banjir dan Kekeringan ………………………… ……………………. 16Perkembangan Teknik Komputasi Unit Hidrograf ………………… 19
METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………….. 22Tempat dan Waktu …..………………………………………………. 22Metode Penelitian ……………………………………………………. 23
KARAKTERISTIK DAS SEPARI ……………………………………… 44Hidrometeorologi DAS Separi …………………………..…............ 44Iklim …………………………………………………………………… 45Topografi …………………………………………………………….. 48Tanah ………………………………………………………………… 50Karakteristik Geomorfologi DAS …………………........................ 53Jenis Penggunaan Lahan …………………………………………. 60
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………….. 62Distribusi Curah Hujan ……………………..................................... 62Dampak Alih Fungsi Penggunaan Lahan ..................................... 66Pengaruh Karakteristik Tanah Terhadap Laju Infiltrasi Tanah ..... 70Pengaruh Karakteristik Tanah dan Geomorfologi DAS Terhadap Unit Hidrograf ............................................................................... 76Model Pendugaan Banjir .............................................................. 80Penerapan Model Banjir ............................................................... 98Pendugaan Kekeringan ……………………………………………… 103
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 115
Kesimpulan …………………………………………………………… 115Saran ………………………………..………………………………… 116
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 118
LAMPIRAN ………………………………………………………………. 125 INDEKS …………………………………………………………………… 143
ix
DAFTAR TABEL
Teks
No. Halaman
1. Jenis dan metode pengumpulan data pada pengembangan
model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi …….. 25
2. Klasifikasi tingkat kelembaban permukaan Lahan (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007) ………………………………………….. 39
3. Klasifikasi tingkat kehijauan tanaman (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007) .......................................................................... 40
4. Matrik penentuan tingkat kekeringan tanaman (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007) ................................................................... 40
5. Nilai emisivitas benda (Snyder et al., 1998: dalam Yang dan Wang, 2007) .............................................................................. 42
6. Posisi geografis stasiun pengamat tinggi muka air otomatis (AWLR) dan stasiun iklim otomatis (AWS) DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ............................................... 45
7. Pewilayahan iklim berdasarkan analisis data iklim tahun 2001 - 2005 di DAS Separi ….............................................................. 47
8. Karakteristik geometrik DAS/Sub DAS di DAS Separi .............. 55
9. Karakteristik Morfometrik DAS/Sub DAS di DAS Separi .......... 56
10. Uji berganda curah hujan dari stasiun iklim (AWS) Separi, Lempake, dan Marang Kayu antara tahun 2001 – 2005 …….. 64
11. Uji berganda curah hujan dari stasiun iklim (AWS) Separi, Lempake, Marang Kayu, dan Seleko antara tanggal 22 Februari – 17 Mei 2006 ………………………………………….. 66
12. Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991 – 2005 di DAS Separi ............................................................................... 69
13. Kejadian-kejadian curah hujan mingguan (7 hari) yang menyebabkan terjadinya banjir di hilir dari DAS Separi ………. 70
14. Nilai laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan atau jenuh (fc), dan konstanta penjenuhan (k) untuk masing-masing jenis penggunaan lahan pada DAS Usup, DAS Soyi, dan DAS Badin ........................................................................ 71
x
15. Total debit aliran permukaan (Q ro) dan debit aliran tunda dan dasar (Q if+bf) antara ketiga Sub DAS pada beberapa episode hujan .......................................................................................... 78
16. Koefisien runoff (Kr) pada tiap episode hujan dan masing-masing Sub DAS ....................................................................... 81
17. Analisis LAI (Leaf Area Index) dengan menggunakan citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005 ........... 83
18. Debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) hasil pengukuran dengan simulasi dari 3 metode untuk ketiga Sub DAS ........................................................................................... 87
19. Waktu tempuh air dari masing-masing Sub DAS ke outlet DAS Separi ………………………………………………………………
97
20. Debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) pada beberapa episode hujan di DAS Separi .................................... 98
21. Skenario perubahan luas penggunaan lahan dan proses hidrologi (episode hujan 25 – 28 Maret 2006) di DAS Separi ....
100
22. Analisis neraca air Lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) pada masing-masing SPT di DAS Separi ……………………… 105
Lampiran
No. Halaman
1. Legenda Peta Tanah Skala 1:50.000 dan karakteristik fisik
tanah di DAS Separi (PUSLITTANAK, 1994) ............................
130
2. Karakteristik fisik tanah pada masing-masing profil tanah ........ 132
3. Analisis data curah hujan tahun 2001 – 2005 di DAS Separi … 133
4. Hasil perhitungan infiltrasi pada beberapa respon hidrologis di 3 Sub DAS Separi ..................................................................... 134
5. Analisis regresi antara laju infiltrasi konstan (mm/menit) dengan bobot isi tanah (g/cm3) .................................................. 137
6. Perbandingan debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) antara ketiga Sub DAS ........................................... 137
7. Skenario perubahan komposisi luas penggunaan lahan pada masing-masing Sub DAS Separi ............................................... 137
xi
8. Defisit dan surplus air dari hasil analisis neraca air metode Thornthwaite dan Mather (1957) pada masing-masing Satuan Peta Tanah (SPT) di DAS Separi .............................................. 138
9. Analisis neraca air Lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) pada kelompok kelas tekstur tanah di DAS Separi ……………. 140
10. Indeks vegetasi (NDVI), indeks kelembaban (wetness index), dan temperatur permukaan lahan pada masing-masing vegetasi dan tekstur tanah di DAS Separi ................................. 142
11. Identifikasi tingkat kekeringan tanaman di DAS Separi ............. 142
xii
DAFTAR GAMBAR
Teks
No. Halaman
1. Hubungan antara jumlah curah hujan 7 hari sebelum kejadian
dan debit puncak banjir di DAS Separi ...................................... 6
2. Diagram alir sistem aplikasi hubungan masukan – sistem – keluaran dalam model pendugaan banjir dan kekeringan ……..
8
3. Siklus Hidrologi (Chow, 1964) ……………………………………
10
4. Perbedaan laju infiltrasi pada jenis tanah dan penggunaan lahan yang berbeda ………………………………………………. 14
5. Perbedaan laju infiltrasi pada berbagai jenis tutupan/penggunaan lahan ………………………………………. 15
6. Lokasi penelitian …………………………………………………… 22
7. Diagram alir tahapan penelitian …………………………………. 24
8. Penentuan kurva pdf yang didasarkan pada selang isokron …. 31
9. Kurva fungsi kerapatan peluang (pdf) …………………………… 33
10. Grafik pemisahan antara aliran permukaan (direct runoff), aliran tunda (interflow), dan aliran dasar (base flow) ................
34
11. Diagram alir pemodelan fungsi produksi dan fungsi transfer … 36
12. Peta posisi geografis stasiun iklim (AWS) dan pengamat tinggi muka air (AWLR) di DAS Separi ………………………………... 46
13. Peta pewilayah iklim DAS Separi, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur ………………………. 47
14. Bentuk lahan DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ………………………………………………………………. 49
15. Peta kelerengan DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ………………………………………………………………. 50
16. Peta lokasi pengamatan profil dan infiltrasi tanah pada masing-masing Sub DAS di DAS Separi ……………………… 54
17. Bentuk lahan Sub DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS ............................................................................. 56
xiii
18. Peta jaringan sungai DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur …………………………………………………. 59
19. Peta jenis penggunaan lahan tahun 1991 di DAS Separi (BAKOSURTANAL, 1991) .........................................................
61
20. Curah hujan bulanan tahun 2001 – 2005 di DAS Separi …….. 63
21. Peta jenis penggunaan lahan tahun 1998 di DAS Separi ........ 67
22. Peta jenis penggunaan lahan tahun 2005 di DAS Separi ......... 68
23. Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) lahan pertanian (jagung) dan B) semak belukar (alang alang) di DAS Badin ............................. 73
24. Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) lahan pertanian (jagung) dan B) semak belukar (Pahitan atau Centrosoma) di DAS Soyi ......... 74
25. Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) kebun/ladang (lada) dan B) semak belukar (Pahitan atau Centrosoma) di DAS Usup .................... 76
26. Kurva unit hidrograf hasil pengukuran pada Sub DAS Separi-Usup, Sub DAS Separi-Badin, dan Sub DAS Separi-Soyi pada episode hujan a) 8 April 2006, b) 14 April 2006, dan c) 23 April 2006 .................................................................................. 79
27. Kurva fungsi kerapatan peluang (pdf) untuk a) DAS Separi, b) Sub DAS Separi-Usup, c) Sub DAS Separi-Soyi, dan d) Sub DAS Separi-Badin ..................................................................... 85
28. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Usup ..............................................................................
88
29. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Soyi ...............................................................................
90
30. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 14/04/2006 dan b) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Badin ........
91
31. Perbandingan debit aliran permukaan hasil simulasi dengan metode C sebelum dan setelah dilakukan penambahan kedalaman stok air tanah dari 20 cm menjadi 60 cm terhadap hasil pengukuran untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Usup …….
94
xiv
32. Perbandingan debit aliran permukaan hasil simulasi dengan metode C sebelum dan setelah dilakukan penambahan kedalaman stok air tanah dari 20 cm menjadi 6 cm terhadap hasil pengukuran untuk episode hujan a) 14/04/2006 dan b) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Badin …………………………..
96
33. Peta pembagian DAS Separi menjadi sepuluh Sub DAS …..... 97
34. Perbandingan debit puncak dan waktu respon pada beberapa skenario perubahan luas penggunaan lahan di DAS Separi .... 102
35. Hubungan antara curah hujan, ETA, ETo, KL, TLP, stok air tanah, ETA, dan defisit/surplus air pada A. kelas tekstur tanah liat, B. kelas tekstur tanah lempung, dan C. kelas tekstur tanah pasir di DAS Separi (Januari 2002 – Desember 2005) .............
107
36. Hubungan antara indeks vegetasi dengan curah hujan bulanan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002) .......................................................................................... 109
37. Hubungan antara temperatur permukaan lahan dengan curah hujan bulanan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002) ....................................................................... 110
38. Hubungan antara indeks vegetasi dengan temperatur permukaan lahan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002) ....................................................................... 111
39. Peta tingkat kekeringan di DAS Separi hasil analisis citra Landsat 7 perekaman tanggal : a) 03-04-2002, b) 21-05-2002, c) 08-07-2002, dan d) 10-09-2002 ............................................. 113
40. Uji berganda perbandingan antara analisis neraca air lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) dengan analisis citra Landsat 114
Lampiran
No. Halaman
1. Peta jenis tanah skala 1:50.000 DAS Separi (PUSLITTANAK,
1994) ........................................................................................ 125
2. Pembuatan bendung (weir) tipe V-Notch dengan sudut 60o di tiga Sub DAS Separi dan pemasangan alat penakar hujan di daerah Seleko .......................................................................... 126
3. Hubungan antara geomorfologi DAS dengan total debit aliran permukaan ............................................................................... 126
xv
4. Hubungan antara geomorfologi DAS dengan waktu menuju debit puncak ............................................................................. 127
5. Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk Sub DAS Separi-Usup pada episode hujan 14 April 2006 ................................................................................. 127
6. Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran
dasar untuk Sub DAS Separi-Soyi pada episode hujan 6 April 2006 ......................................................................................... 128
7. Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk Sub DAS Separi-Badin pada episode hujan 23 April 2006 ................................................................................. 128
8. Peta LAI (Leaf Area Index) DAS Separi hasil analisis citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005 ……… 129
9. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi di DAS Separi ............................................................. 129
xvi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin
lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan.
Salah satu permasalahan lingkungan yang sampai saat ini belum dapat teratasi
secara optimal di Indonesia adalah degradasi/kerusakan lahan di daerah aliran
sungai (DAS). Menurut Oldeman (1994) degradasi lahan merupakan proses
berkurangnya atau hilangnya kegunaan suatu lahan atau kemampuan lahan
dalam usaha meningkatkan kesejahteraan manusia. Kerusakan lahan menurut
Lal (1994) disebabkan oleh kemerosotan sifat fisik (akibat pemadatan dan erosi
tanah) dan sifat kimia tanah (penurunan tingkat kesuburan, keracunan dan
pemasaman tanah).
Dampak negatif alih fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan adalah
kerusakan lahan yang mana tanah menjadi lebih terbuka, sehingga pukulan air
hujan (energi kinetik hujan) yang jatuh di atas permukaan tanah menyebabkan
terbentuknya surface sealing (penutupan pori-pori tanah oleh partikel liat) dan
soil crusting (pemadatan tanah). Terbentuknya surface sealing dan soil crusting
berdampak terhadap menurunnya kapasitas infiltrasi dan meningkatnya volume
aliran permukaan (Thierfelder, et al., 2002; Mamedov, et al., 2000; Zhang dan
Miller, 1996). Menurut Black (1996) tanah sebagai salah satu faktor fisik DAS
yang sangat penting dalam siklus hidrologi, yang mana faktor tanah berperan
dalam menyerap, menyimpan, dan mendistribusikan air hujan yang jatuh di
atasnya. Menurut Oldeman (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan
lahan adalah pembukaan lahan dan penebangan kayu secara berlebihan,
penggunaan lahan untuk kawasan peternakan secara berlebihan (over grazing),
dan aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara
1
berlebihan. Barrow (1991) juga menyatakan bahwa kerusakan lahan disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu : 1) bahaya alami, 2) meningkatnya jumlah penduduk
menyebabkan meningkatnya kebutuhan dan intensitas penggunaan lahan, 3)
kemiskinan, 4) masalah kepemilikan lahan, 5) kestabilan politik dan kesalahan
administratif, 6) aspek sosial dan ekonomi, 7) penerapan teknologi yang tidak
tepat, dan 8) pertambangan.
Dampak lanjutan dari kerusakan lahan dan DAS adalah banjir di musim
penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Selama sepuluh tahun terakhir ini,
bencana banjir di wilayah Indonesia terjadi secara beruntun dengan intensitas,
frekuensi, dan distribusi atau wilayah yang terkena bencana semakin meningkat
dan meluas. Indikatornya adalah kejadian banjir di Jakarta (tahun 1996, 2002,
2004, 2005, dan 2007), Semarang (tahun 1990, 1994, 2000, 2002, 2005, dan
2006), Bondowoso, Jawa Timur (tahun 2002), Mojokerto, Jawa Timur (tahun
2002 dan 2003), Medan (tahun 2002 dan 2003), Samarinda (tahun 1998, 2003,
2004, 2005, dan 2006), dan lainnya. Demikian juga masalah kekeringan yang
sering muncul setiap tahun dari wilayah yang secara ruang dan waktu memiliki
curah hujan yang sangat tinggi, seperti : daerah Subang, Indramayu, Cirebon
dan sekitarnya (Irianto, 2003).
Menurut DITJEN Penataan Ruang (2005) dan DITJEN RRL (2001)
kerusakan lahan dan DAS di Indonesia makin lama makin meningkat. Tahun
1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas lahan terdegradasi 9,69
juta hektar dan kemudian meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis
dengan luas lahan terdegradasi 12,52 juta hektar, dan tahun 2000 meningkat lagi
menjadi 42 DAS kritis dengan luas lahan terdegradasi 23,71 juta hektar, dan
selanjutnya pada tahun 2004 kerusakan DAS di Indonesia semakin bertambah,
yakni menjadi 65 DAS dari total seluruh DAS (470) yang tersebar di pulau
Sumatra (13), Jawa (26), Kalimantan (10), Sulawesi (10) Bali dan Nusa Tenggara
2
(4), dan Maluku dan Papua (4) dengan luas lahan terdegradasi 45,43 juta hektar.
Salah satu dari 65 DAS yang rusak tersebut adalah DAS Mahakam di propinsi
Kalimantan Timur, sedangkan DAS Separi merupakan salah satu Sub DAS
Mahakam.
Dampak negatif alih fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan di DAS
Separi adalah terjadi peningkatan intensitas banjir di daerah hilir dari DAS Separi
yakni daerah Separi, kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai
Kartanegara pada pertengahan tahun 1998 (27 Juni 1998) dan kemudian
berulang kembali kejadian banjir tersebut pada tahun 2002 (9 Januari 2002),
tahun 2003 (15 Oktober 2003), tahun 2004 (14 Maret 2004), tahun 2005 (24
Oktober dan 20 Desember 2005), dan tahun 2006 (3 Mei 2006) dengan jumlah
curah hujan 7 hari di atas 100 mm. Hasil penelitian dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pengairan (1995) di Sub DAS Citarik, Jawa Barat bahwa
perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian (sawah) menjadi lahan
industri dan perumahan selama periode tahun 1983 – 1994 (± 11 tahun)
menyebabkan terjadinya lima kali banjir di daerah hilir. Hal ini juga didukung dari
hasil penelitian Kurnia et al. (2001) di DAS Kaligarang, Semarang, Jawa Tengah
bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan tegalan, dan
lahan sawah menjadi lahan industri, perumahan maupun tegalan dari tahun 1981
– 2000 menyebabkan kejadian banjir di musim hujan dan kekeringan di musim
kemarau, serta menurunnya luas areal produksi pertanian di bagian hilir dari DAS
tersebut. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir di daerah Separi tersebut
adalah menurunnya pasokan bahan pangan (beras dan sayuran) ke kota
Samarinda dan Balikpapan akibat kegagalan panen. Hal ini dikarenakan daerah
Separi tersebut merupakan salah satu sentra produksi pertanian di propinsi
Kalimantan Timur.
3
Untuk mengatasi bencana banjir dan kekeringan di DAS Separi secara
cepat dan tepat, maka perlu disusun dan dikembangkan suatu model pendugaan
banjir dan kekeringan berbasis karakteristik penggunaan lahan dan geomorfologi
DAS. Fokus penelitian ini adalah mengembangkan model pendugaan banjir dan
kekeringan, serta penentuan komposisi luas penggunaan lahan yang optimal di
DAS Separi, kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara,
propinsi Kalimantan Timur dalam rangka pengendalian bencana banjir dan
kekeringan, serta pengelolaan DAS Separi secara berkelanjutan.
1.2. Tujuan
1. Merakit model pendugaan banjir dan kekeringan berdasarkan karakteristik
tekstur tanah dan geomorfologi DAS di DAS Separi, kabupaten Kutai
Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur.
2. Menentukan komposisi luas penggunaan lahan secara optimal dalam
rangka penanggulangan banjir dan kekeringan, serta pengelolaan DAS
Separi,
1.3. Keluaran
1. Model pendugaan banjir dan kekeringan sebagai alat bantu pengambil
kebijakan (Decision Support System) dalam pengelolaan DAS dan mitigasi
bencana banjir dan kekeringan,
2. Rekomendasi komposisi luas penggunaan lahan, serta kebijakan lainnya
dalam pengelolaan DAS dengan mempertimbangkan kondisi iklim,
karakteristik tanah, dan penutupan lahan.
1.4. Kerangka Pemikiran
Pemanfaatan sumberdaya lahan yang melebihi dari daya dukungnya,
seperti : alih fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi semak belukar maupun
4
tegalan, serta perubahan dari lahan sawah menjadi pemukiman di DAS Separi
berdampak terhadap kerusakan tanah sehingga terjadi penurunan kapasitas
infiltrasi tanah dan terjadi peningkatan volume aliran permukaan. Dampak
lanjutan akibat kerusakan tanah dan lahan pada DAS Separi adalah terjadi
peningkatan intensitas banjir di daerah hilir dari DAS Separi yakni daerah Separi,
kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara (Gambar 1).
Dampak yang ditimbulkan dari bencana banjir di bagian hilir dari DAS Separi
sangat besar sekali yakni menurunnya pasokan bahan pangan (beras dan
sayuran) ke kota Samarinda dan Balikpapan akibat kegagalan panen. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan penelitian tentang pengaruh
karakteristik lahan (faktor tutupan lahan dan tanah) dan geomorfologi DAS
terhadap karakteristik unit hidrograf, dan penyusunan model pendugaan banjir
dan kekeringan di DAS Separi. Hal ini dikarenakan kajian maupun penelitian
yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air, serta pengelolaan DAS di DAS
Separi, Kutai Kartanegara relatif masih sedikit, sehingga penelitian ini sangat
diperlukan.
Sebenarnya perkembangan teknik komputasi untuk menduga besaran
debit puncak dan waktu menuju debit puncak (unit hidrograf) sudah banyak
dilakukan, seperti : model Nash (1957), TOPMODEL (Beven dan Kirkby, 1979),
AGNPS (Young, et al., 1990), ANSWERS (Beasley, 1991), HEC HMS (USACE,
2000), SWAT (Neitsch et al., 2001), dan lainnya. Dari beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa model-model tersebut dapat digunakan dengan baik atau
mempunyai tingkat akurasi yang cukup tinggi dalam menduga besaran debit
puncak dan waktu menuju debit puncak. Namun demikian model-model tersebut
membutuhkan kelengkapan seri data yang tinggi, baik data iklim, tanah, topografi
maupun jenis penggunaan lahan, dan masalah kelengkapan data inilah yang
sering menjadi kendala dalam penggunaan model-model tersebut untuk DAS di
5
Indonesia. Untuk itu diperlukan penyusunan model pendugaan banjir dan
kekeringan yang sederhana dengan tingkat akurasi yang tinggi.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
10027
-Jun
-98
9-Ja
n-02
17-J
un-0
2
22-N
ov-0
2
7-Ja
n-03
30-M
ar-0
3
15-M
ay-0
3
15-O
ct-0
3
23-J
an-0
4
14-M
ar-0
4
24-N
ov-0
4
26-D
ec-0
4
7-Ja
n-05
22-O
ct-0
5
20-D
ec-0
5
3-M
ay-0
6
Waktu
Debi
t Pun
cak
(m3 /d
etik
)
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
180,00
Cur
ah H
ujan
(mm
)
Debit Puncak Curah Hujan 7 Hari Sebelumnya
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
10027
-Jun
-98
9-Ja
n-02
17-J
un-0
2
22-N
ov-0
2
7-Ja
n-03
30-M
ar-0
3
15-M
ay-0
3
15-O
ct-0
3
23-J
an-0
4
14-M
ar-0
4
24-N
ov-0
4
26-D
ec-0
4
7-Ja
n-05
22-O
ct-0
5
20-D
ec-0
5
3-M
ay-0
6
Waktu
Debi
t Pun
cak
(m3 /d
etik
)
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
180,00
Cur
ah H
ujan
(mm
)
Debit Puncak Curah Hujan 7 Hari Sebelumnya
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
Ban
jir
Gambar 1. Hubungan antara jumlah curah hujan 7 hari sebelum kejadian dan debit puncak banjir di DAS Separi
Pengembangan model pendugaan banjir dan kekeringan berbasis
karakteristik lahan (jenis tutupan lahan dan tanah) dan geomorfologi DAS sangat
diperlukan dalam pengelolaan DAS Separi secara berkelanjutan. Penyusunan
dan pengembangan model pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju
debit puncak) didasarkan pada dua model, yaitu : 1) pemodelan fungsi produksi
yaitu perubahan dari curah hujan bruto menjadi curah hujan netto (curah hujan
sisa) dan 2) pemodelan fungsi transfer yaitu perubahan dari curah hujan netto
menjadi debit aliran permukaan langsung. Kedua model tersebut didasarkan
pada hubungan antara faktor masukan (curah hujan) dan faktor sistem DAS
(jenis tutupan lahan, karakteristik tanah, jaringan drainase, dan topografi)
menurut ruang dan waktu terhadap terjadinya perubahan keluaran (unit
hidrograf). Model ini bekerja dengan mengintegrasikan hubungan, yaitu : 1)
6
masukan (curah hujan) yang meliputi : intensitas hujan, lamanya waktu hujan,
dan distribusi hujan, 2) sistem DAS yang meliputi : parameter tutupan atau
penggunaan lahan (intersepsi), karakteristik tanah (struktur tanah, tekstur tanah,
pori drainase, kadar air tanah, kedalaman efektif tanah, kandungan bahan
organik, dan kapasitas infiltrasi tanah), dan karakteristik kerapatan jaringan
drainase atau daya tampung DAS, dan 3) keluaran yakni debit aliran permukaan
(debit puncak dan waktu menuju debit puncak). Dengan demikian setiap
terjadinya perubahan masukan (intensitas hujan, lamanya waktu hujan, dan
distribusi hujan) maupun sistem DAS seperti perubahan tutupan/penggunaan
lahan (jenis tanaman, pola tanam, dan pengolahan tanah), maka model dapat
mengintegrasikannya dalam simulasi unit hidrograf (debit puncak dan waktu
menuju debit puncak). Diagram alir model pendugaan banjir dan kekeringan
dapat dilihat pada Gambar 2.
Untuk pengembangan model pendugaan kekeringan (Gambar 2)
didasarkan pada dua metode, yaitu : 1) kebutuhan air tanaman (neraca air lahan)
metode Thornthwaite dan Mather (1957), dan 2) teknologi penginderaan jauh.
Pendugaan kekeringan menurut analisis neraca air lahan metode Thornthwaite
dan Mather (1957) didasarkan dari kekurangan atau defisit air tanaman yang
terjadi pada saat stok air tanah (water storage) dibawah kadar air tanah kondisi
titik layu permanen dan hal tersebut disebabkan curah hujan yang lebih rendah
dibandingkan evapotranspirasi potensial (ETP). Pendugaan kekeringan dilakukan
dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh berdasarkan kombinasi
antara tingkat kelembaban permukaan lahan (wetness index) dengan tingkat
kehijauan tanaman (NDVI). Menurut Shofiyati dan Dwi Kuncoro (2007), bahwa
kombinasi antara tingkat kelembaban permukaan lahan dengan tingkat kehijauan
tanaman dari citra Landsat dapat digunakan secara efektif untuk memetakan
tingkat kekeringan.
7
Pendugaan Banjir dan Kekeringan
MASUKAN
Iklim : Curah hujan, Suhu, Kelembaban, Kecepatan
Angin, dan Radiasi Matahari
KELUARAN Unit Hidrograf :
• Debit Puncak • Waktu Menuju Debit Puncak • Produksi Air
SISTEM DAS • Tutupan/Penggunaan Lahan • Karakteristik Tanah • Topografi (Panjang dan
Kemiringan Lereng) • Kerapatan Jaringan Drainase
LUAR SISTEM DAS (HILIR) • Tutupan/Penggunaan Lahan • Karakteristik Tanah • Topografi (Panjang dan
Kemiringan Lereng)
Potensi Sumberdaya Air • Kebutuhan Air Tanaman • Pola Tanam
Gambar 2. Diagram alir sistem aplikasi hubungan masukan – sistem – keluaran
dalam model pendugaan banjir dan kekeringan
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Parameter Sistem DAS
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi oleh
topografi secara alami, sehingga semua air hujan yang jatuh di atasnya akan
mengalir menuju ke suatu lokasi pembuangan (outlet). Menurut Dixon dan Easter
(1986) dan Brooks et al. (1991) DAS merupakan suatu daerah (area) yang
dibatasi secara topografi oleh punggung bukit dan air hujan yang jatuh di atasnya
akan dialirkan melalui suatu sistem jaringan sungai sampai menuju titik
pengukuran (outlet). Sebagai suatu sistem neraca air tertutup, DAS mempunyai
fungsi untuk menampung masukan dari curah hujan dan mengalirkan keluaran
sebagai debit aliran (Black, 1996). Menurut Chow (1964), siklus air merupakan
suatu rangkaian proses peristiwa yang terjadi pada air dari saat air hujan jatuh ke
permukaan bumi, dialirkan menjadi aliran permukaan ke badan-badan sungai
hingga menguap ke udara, dan kemudian jatuh kembali ke permukaan bumi
(Gambar 3). Selanjutnya sebagian air hujan yang jatuh akan menguap melalui
evaporasi sebelum jatuh di permukaan bumi, dan sebagian lainnya akan menjadi
aliran permukaan (runoff) setelah diintersepsi oleh tanaman dan terinfiltrasi ke
dalam tanah, serta mengalami perkolasi dan mengalir ke badan sungai/laut
sebagai aliran bawah tanah (base flow).
Siklus air dan distribusi air hujan yang sampai dipermukaan bumi menurut
Robinson dan Sivapalan (1996) merupakan proses perubahan air hujan menjadi
aliran permukaan dan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : 1) fungsi
produksi DAS yaitu perubahan dari curah hujan bruto menjadi curah hujan netto
(curah hujan sisa), dan 2) fungsi transfer DAS yaitu perubahan dari curah hujan
netto menjadi aliran permukaan langsung. Curah hujan bruto didefinisikan
sebagai total jumlah air hujan yang jatuh ke permukaan bumi sebelum terjadinya
9
intersepsi dan infiltrasi. Untuk curah hujan netto (curah hujan sisa) didefinisikan
sebagai jumlah air hujan yang mengalir melalui jaringan hidrologi, setelah
terjadinya proses intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah jenuh. Hasil penelitian
Heryani (2001) dan Sarjiman (2004) menyatakan bahwa pengujian model H2U
(Hydrogramme Hydrograph Universale) dalam memprediksi debit aliran di sub-
DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat akurasi yang tinggi
bila memasukkan parameter intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah.
Intersepsi
Infiltrasi langsung
Aliran permukaan
Aliran Bawah Permukaan
Perkolasi
Cadangan bawah tanah
Aliran Dasar
Aliran Sungai
Evaporasi/ Evapotranspirasi
Hujan
Langsung ke permukaan tanah
Simpanan permukaan tanah
Infiltrasi tertunda
Simpanan bawah permukaan tanah
Jatuh langsung
Gambar 3. Siklus hidrologi (Chow, 1964)
Intersepsi merupakan proses ketika air hujan jatuh pada permukaan
vegetasi, tertahan beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer
10
atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan dan atau jika melebihi kapasitas
simpan vegetasi air hujan tersebut akan mengalir ke permukaan tanah (Asdak,
1995). Harahap (1998) menyatakan bahwa intersepsi merupakan selisih antara
curah hujan yang sampai di puncak tajuk dengan curah hujan yang sampai di
permukaan tanah, baik yang melalui tajuk maupun aliran batang.
Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas intersepsi, yaitu : 1)
faktor vegetasi yang meliputi : total luas permukaan tanaman, sifat dan adsorpsi
permukaan daun, dan kerapatan susunan daun, dan 2) faktor iklim yang meliputi
: intensitas hujan, lamanya hujan, dan kecepatan angin. Menurut Asdak (1995),
besarnya air hujan yang tertampung di permukaan tajuk, batang dan cabang
vegetasi dinamakan kapasitas intersepsi dan sangat ditentukan oleh bentuk,
kerapatan, dan tekstur dari vegetasi. Hasil penelitian Nuriman (1999)
menunjukkan bahwa besarnya intersepsi tanaman berhubungan erat dengan
tinggi curah hujan dan indek luas daun, dimana semakin tinggi nilai indeks luas
daun maka akan semakin tinggi intersepsi tanaman. Dalam analisis fungsi
produksi DAS yaitu perubahan dari hujan bruto menjadi hujan efektif, perhitungan
kapasitas intersepsi tanaman didasarkan pada persamaan yang dikembangkan
oleh Aston (1979:dalam De Roo et al., 1999). Hasil penelitian Heryani (2001) dan
Sarjiman (2004) menunjukkan penggunaan persamaan intersepsi yang
dikembangkan oleh Aston (1979:dalam De Roo et al., 1999) dalam analisis debit
aliran permukaan di sub-DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki
tingkat akurasi yang tinggi (F>70%).
Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah, umumnya
(tetapi tidak mesti) melalui permukaan tanah dan terjadi secara vertikal, serta
merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari siklus air dalam
menyerap, menampung, dan mendistribusikan air hujan yang jatuh diatasnya.
Secara umum besarnya kapasitas infiltrasi tanah mempunyai peranan yang
11
sangat besar dalam menurunkan besarnya debit aliran permukaan tanah
dibandingkan parameter lainnya, seperti intersepsi tanaman. Menurut Arsyad
(2000) laju infiltrasi merupakan banyaknya air per satuan waktu yang masuk ke
dalam tanah melalui permukaan tanah, sedangkan laju maksimum air dapat
masuk ke dalam tanah pada suatu saat disebut kapasitas infiltrasi.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya laju infiltrasi
tanah, yaitu : karakteristik tanah (struktur, tekstur, kadar air tanah awal, ukuran
pori, kedalaman lapisan kedap, surface sealing dan soil crusting) dan
pengelolaan lahan (pola tanam, pemilihan jenis tanaman, pengmbalian bahan
organik, dan pengolahan tanah) (Thierfelder, et al., 2002; Herawatiningsih, 2001;
Mamedov, et al., 2000). Hasil penelitian Zhang dan Miller (1996) menyatakan
bahwa meningkatnya stabilitas agregat tanah dengan pemberian Poliakrilamid
(PAM) dan gipsum (CaSO4) pada tanah Ultisol lempung berpasir dapat
meningkatkan besarnya kapasitas infiltrasi sebesar 50 % dibandingkan dengan
kontrol.
Hasil penelitian Mamedov dan Levy (2001) juga menyatakan bahwa
tanah yang banyak didominasi oleh liat yang tinggi atau bertekstur liat
mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih rendah (3,38 mm/jam) dibandingkan
pada tanah bertekstur pasir berlempung (4,88 mm/jam) pada intensitas hujan
yang tinggi (64 mm/jam), sedangkan pada intensitas hujan yang rendah (2
mm/jam) pada tanah bertekstur liat memiliki kapasitas infiltrasi yang lebih besar
dibandingkan dengan tanah bertekstur pasir berlempung yakni masing-masing
sebesar 18,75 mm/jam dan 5,38 mm/jam. Selain itu, faktor terbentuknya
surface sealing (terbentuknya lapisan tipis yang kedap di permukaan tanah) dan
soil crusting (pemadatan tanah) menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas
infiltrasi dan peningkatan volume aliran permukaan (Thierfelder, et al., 2002;
Mamedov, et al., 2000; Zhang dan Miller, 1996). Menurut Zhang dan Miller
12
(1996) dan Le Bissonais (1996) terbentuknya surface sealing dan soil crusting
disebabkan oleh dua prosses yang saling komplementer, yaitu : 1) dispersi kimia
dan pergerakan partikel liat yang menyebabkan tertutupnya pori-pori tanah, serta
terbentuknya lapisan kedap di bawah permukaan tanah, dan 2) disintegrasi fisik
agregat tanah dan terjadinya pemadatan tanah yang disebabkan oleh energi
kinetik hujan.
Faktor pengelolaan lahan, seperti : pengolahan tanah, pengembalian
bahan organik kedalam tanah, pemilihan jenis tanaman, dan pola tanam juga
sangat berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah. Hasil penelitian
Thierfelder et al. (2002) menyatakan bahwa pengelolaan lahan pada tanah
Inceptisol (Oxic Dystropept) dengan rata-rata intensitas hujan sekitar 330
mm/jam pada perlakuan penanaman ubi kayu yang dirotasi dengan Brachiaria
decumbens selama 3 tahun (tahun 1999 – 2001) memiliki kapasitas infiltrasi yang
paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan penanaman ubi kayu dengan
pengolahan tanah minimum (minimum tillage), ubi kayu + Chamaecrista
rotundifolia, ubi kayu secara monokultur, ubi kayu + kotoran ayam 4 ton/ha, ubi
kayu ditanam secara intensif, ubi kayu + kotoran ayam 8 ton/ha, dan tanah dalam
kondisi bera. Hal tersebut juga didukung hasil penelitian Yusuf (1991) di daerah
berlereng (kemiringan 9 – 10%) yang mana pemberian bahan organik kotoran
ayam 10 ton/ha dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah sekitar 4,06 %
(1.030,40 mm/menit) dibandingkan kontrol/tanpa pemberian bahan organik
(988,60 mm/menit) dan dapat menurunkan besarnya volume aliran permukaan
(runoff) sebesar 18,71 % (181,60 liter) dibandingkan kontrol (223,40 liter). Selain
itu, hasil penelitian Napitupulu (1998) dan Rukaiyyah (2001) juga menunjukkan
bahwa pada tanah Entisol (Regosol Coklat Kekelabuan) yang bervegetasi (lahan
pertanian yang diberakan dan ditumbuhi rumput-rumputan) dengan kondisi kadar
air tanah awal sekitar 44% dan porositas total sekitar 58% mempunyai kapasitas
13
infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanah Mollisol (Rendzina)
yang bervegetasi dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 36% dan porositas
total sekitar 63% (Gambar 4). Demikian juga dengan kapasitas infiltrasi tanah
Entisol tidak bervegatasi (lahan pertanian yang diberakan dan tidak ditumbuhi
rumput-rumputan) dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 45% dan porositas
total sekitar 55% yang lebih besar dibandingkan dengan pada tanah Mollisol
tidak bervegetasi dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 30% dan porositas
total sekitar 51% (Gambar 4). .
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
0 100 200 300 400
Waktu (Menit)
Laju
Infil
tras
i (m
m/m
enit)
Regosol_VegetasiRegosol_NonVegetasiRendzina_VegetasiRendzina_Nonvegetasi
Gambar 4. Perbedaan laju infiltrasi pada jenis tanah dan penggunaan lahan
yang berbeda (Napitupulu, 1998; Rukaiyyah, 2001)
Menurut Hakim et al. (1986) besarnya laju infiltrasi tidak hanya meningkatkan
besarnya jumlah air yang tersimpan dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman,
tetapi juga dapat mengurangi besarnya bahaya banjir yang diakibatkan oleh
besarnya aliran permukaan. Hasil penelitian Yanrilla (2001) juga menunjukkan
bahwa jenis tutupan/penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap besarnya
laju infiltrasi tanah, yang mana jenis tutupan lahan hutan alam memiliki laju
infiltrasi yang lebih besar dibandingkan jenis tutupan lahan hutan Pinus, ladang
14
(jagung), dan lahan terbuka (Gambar 5). Hal ini juga didukung hasil penelitian
Arianti (1999) yang menunjukkan bahwa jenis tutupan lahan hutan alam
mempunyai laju infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan pada jenis tutupan lahan
tegalan (pertanaman jagung)
0
1
2
3
4
5
6
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)
Laju
Infil
tras
i (cm
/men
it)
Lahan TerbukaLadang (jagung)Hutan PinusHutan Alam
Gambar 5. Perbedaan laju infiltrasi pada berbagai jenis tutupan/penggunaan
lahan (Yanrilla, 2001)
Selanjutnya analisis fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari hujan
bruto menjadi hujan efektif, yang mana untuk perhitungan kapasitas infiltrasi
tanah didasarkan pada persamaan Horton (1940:dalam Bedient dan Huber,
1992). Persamaan infiltrasi menurut model Horton tersebut telah banyak
digunakan dalam analisis simulasi debit aliran permukaan (pemodelan hidrologi),
seperti : HYSIM (Manley, 2006), MARINE (Estupina-Borrell et al., 2006), dan
SWMM (Huber and Dickinson, 1988:dalam Rossman, 2004). Hal ini dikarenakan
penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir
(debit puncak aliran permukaan dan waktu respon) memiliki hasil yang lebih baik
dan lebih konsisten untuk beberapa kejadian banjir dibandingkan dengan
penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Philip (1957: dalam Bedient dan
15
Huber, 1992) dan SCS (1972: dalam Chahinian et al., 2004) dalam pendugaan
banjir (Chahinian et al., 2004). Selain itu, hasil penelitian Chahinian et al. (2004)
menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam
pendugaan banjir tidak lebih baik dibandingkan dengan penggunaan persamaan
infiltrasi menurut model Morel-Seytoux (1978: dalam Chahinian et al., 2004)
dalam pendugaan banjir. Persamaan infiltrasi tanah model Morel-Seytoux
tersebut merupakan modifikasi dari model Green dan Ampt (1911: dalam
Chahinian et al., 2004). Hal ini didukung dari hasil penelitian Heryani (2001) dan
Sarjiman (2004) menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi tanah menurut
model Horton (1940:dalam Bedient dan Huber, 1992) dalam analisis debit aliran
permukaan di sub-DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat
akurasi yang tinggi.
2.2. Banjir dan Kekeringan
Pemanfaatan sumberdaya alam yang semakin meningkat tanpa
memperhitungkan klas kemampuannya, telah menimbulkan berbagai
permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang sampai
saat ini belum dapat teratasi adalah degradasi/kerusakan lahan di daerah aliran
sungai (DAS). Degradasi lahan merupakan proses berkurangnya atau hilangnya
kegunaan suatu lahan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan manusia.
Degradasi lahan menurut Lal (1994) disebabkan oleh kemerosotan sifat fisik
(erosi dan pemadatan tanah) dan sifat kimia tanah (penurunan tingkat
kesuburan, keracunan dan pemasaman tanah). Faktor-faktor yang
mempengaruhi degradasi lahan menurut Oldeman (1994) adalah 1) pembukaan
lahan dan penebangan kayu secara berlebihan (deforestration), 2) penggunaan
lahan untuk kawasan peternakan/penggembalaan secara berlebihan (over
grazing), dan 3) aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida
16
secara berlebihan. Barrow (1991) juga menyatakan bahwa degradasi lahan
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1) bahaya alami, 2) meningkatnya
jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan dan intensitas
penggunaan lahan, 3) kemiskinan, 4) masalah kepemilikan lahan, 5) kestabilan
politik dan kesalahan administratif, 6) aspek sosial dan ekonomi, 7) penerapan
teknologi yang tidak tepat, dan 8) pertambangan. Degradasi lahan tersebut
berdampak terhadap kerusakan DAS dan kerusakan tersebut semakin lama
semakin meningkat setiap tahunnya. Indikatornya adalah pada tahun 1984
terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas sekitar 9,69 juta hektar dan
kemudian meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis dengan luas sekitar
12,52 juta hektar, dan tahun 2000 meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan
luas sekitar 23,71 juta hektar (DITJEN RRL, 2001).
DAS sebagai suatu sistem neraca air tertutup yang mempunyai fungsi
untuk menampung masukan (curah hujan) dan mengalirkan keluaran (debit),
maka setiap terjadinya suatu perubahan terhadap masukan (curah hujan) dan
sistem (penggunaan lahan dan jenis tanah) akan menyebabkan perubahan pada
keluaran (unit hidrograf). Berkaitan dengan degradasi lahan dalam suatu sistem
DAS, maka dampak langsung yang dapat dilihat adalah banjir dan kekeringan,
sedimentasi, tanah longsor, dan penurunan kualitas air.
Banjir dan kekeringan merupakan suatu fenomena alam dimana sistem
DAS tidak dapat menyerap, menyimpan dan mendistribusikan secara optimal
terjadinya perubahan masukan (curah hujan), sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan debit puncak dan memperpendek waktu menuju debit puncak
(banjir), dan dampak lanjutannya adalah tambahan cadangan air tanah
(recharging) pada musim hujan menjadi sangat terbatas, sehingga suplai
produksi air dimusim kemarau menjadi rendah (kekeringan). Banjir merupakan
suatu peristiwa manakala debit sungai melebihi kapasitas tampungan sungai.
17
Genangan adalah peristiwa manakala suatu daerah dipenuhi air karena tidak ada
drainase yang mengatuskan air keluar dari daerah tersebut. Kekeringan
merupakan suatu peristiwa manakala jumlah curah hujan dibawah kondisi normal
sehingga terjadi penurunan produksi air untuk keperluan tanaman dan domestik.
Irianto (2003) mengemukakan tentang sistem peringatan dini tentang
banjir dan pada prinsipnya sistem tersebut dapat menginformasikan lebih awal
tentang besaran (magnitude) banjir (debit puncak dan waktu menuju debit
puncak) yang mungkin terjadi dan waktu evakuasi korban memadai sehingga
resiko yang dapat ditimbulkan dapat diminimalkan. Sistem peringatan dini
tentang banjir di Indonesia sangat penting, karena 1) intensitas dan keragaman
hujan menurut ruang dan waktu sangat tinggi sehingga banjir bisa terjadi secara
tiba-tiba atau yang dikenal sebagai banjir bandang (flash flood) dan 2) hujan
besar umumnya terjadi pada sore sampai malam hari sebagai akibat proses
orografis sehingga terjadinya banjir umumnya terjadi malam hari (Irianto, 2003).
Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kekeringan, yaitu : 1)
perubahan iklim, yaitu kekeringan sebagai dampak dari perubahan iklim, dimana
kondisi musim kemarau (dry season) berhubungan dengan penurunan curah
hujan di bawah normal, 2) kerusakan DAS, yaitu kekeringan sebagai dampak
dari menurunnya produksi air pada musim kemarau akibat DAS tidak mampu
menyerap, menyimpan dan mendistribusikan air, sehingga kedua faktor tersebut
berdampak lanjutan terhadap ketersediaan air untuk tanaman. Menurut
Pasandaran dan Hermanto (1997:dalam Shofiyati et al., 2002) bahwa kekeringan
yang melanda sebagian wilayah Indonesia terjadi secara periodik. Berdasarkan
data curah hujan periode tahun 1975 – 1999, kejadian kekeringan yang melanda
sebagian Indonesia terjadi setiap 5 tahun (tahun 1975-1987), dan pada periode
tahun 1987-1999 kejadian kekeringan terjadi setia 3-4 tahun (Pramudia, 2002).
Penanggulangan dampak kekeringan dapat dilakukan melalui dua pendekatan,
18
yaitu : 1) memperbaiki dan mengelola DAS dalam rangka meningkatkan fungsi
DAS dalam menyerap dan menyimpan kelebihan air di musim hujan dan
mendistribusikannya di musim kemarau, dan 2) memilih komoditas yang sesuai
dengan tingkat ketersediaan air.
Untuk meningkatkan tingkat keakuratan dan kecepatan dalam pendugaan
kekeringan, maka banyak ahli yang menduga dan memantau wilayah rawan
kekeringan dengan menggunakan teknologi citra satelit. Thiruvengadachari et al.
(1991:dalam Shofiyati et al., 2002) memantau kekeringan di India menggunakan
citra NOAA AVHRR dua mingguan. Selain itu, hasil penelitian Liu dan Kogan
(1996), Bayarjarga, et al. (2000), dan Shofiyati et al. (2002), penggunaan
teknologi citra NOAA AVHRR dapat digunakan untuk memantau kekeringan di
Brazil, Gobi dan Gurun Steepe (Mongolia), dan DAS Brantas, Jawa Timur
(Indonesia). Selain itu, Anderson et al. (2007) menunjukkan bahwa kesehatan
vegetasi yang digambarkan oleh indeks vegetasi dan temperatur permukaan
lahan dari hasil analisis citra Landsat 7 dapat digunakan untuk memprediksi dan
memetakan kekeringan.
2.3. Perkembangan Teknik Komputasi Unit Hidrograf
Ada dua besaran (magnitude) penting yang harus dikomputasi secara
akurat dalam analisis unit hidrograf, yaitu : debit puncak dan waktu menuju debit
puncak. Debit puncak berkaitan erat dengan tingkat bahaya/resiko banjir yang
terjadi, dan waktu menuju debit puncak sangat menentukan lamanya waktu untuk
evakuasi korban. Berdasarkan ilustrasi tentang analisis banjir dan besaran
pencirinya, maka kemampuan analisis sistem hidrologi dalam pemodelan debit
puncak dan waktu menuju debit puncak menentukan akurasi dan presisi dalam
penanggulangan banjir. Kedua besaran tersebut secara faktual merupakan
respon hidrologis wadah (sistem) DAS untuk setiap perubahan masukan.
19
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghasilkan metode dan teknik
analisis yang representative, transferable dan operational dalam komputasi debit
puncak dan waktu menuju debit puncak. Perkembangan terakhir menunjukkan
bahwa ada dua aliran yang berkembang sangat pesat dalam pemodelan unit
hidrograf (debit puncak dan waktu menuju debit puncak), yaitu : 1) model
deterministik (deterministic model) yang dirancang berdasarkan kaidah dan
hukum-hukum fisika yang sifatnya permanen dan transferable, dan 2) model
stokastik (stochastic model) yang ditetapkan berdasarkan hubungan input dan
output secara local. Model stokastik ini berkembang mulai dari model memori
jangka pendek (short memory models), seperti : proses autoregresi
(autoregressive processes), ARMA (autoregressive moving average), dan ARIMA
(autoregressive integrated moving average) dan model memori jangka panjang
(long memory models), seperti : proses discrete fractional Gaussian noise (dfGn),
fast fractional Gaussian noise (ffGn), filtered fractional noise, dan broken-line
(Haan, et al., 1982). Untuk model deterministik berkembang dari model yang
sederhana, seperti model Nash (1957), model CREAMS (1972), TOPMODEL
(Beven dan Kirkby, 1979), AGNPS (Young et al., 1990), IHACRES (Jakeman et
al., 1990), model ANSWERS (Beasley, 1991), HEC HMS (USACE, 2000), SWAT
(Neitsch et al., 2000), HYSIM (Manley, 2006), MARINE (Estupina-Borrell et al.,
2006), dan SWMM (Huber and Dickinson, 1988:dalam Rossman, 2004), dan
model fraktal yang dikembangkan oleh Mandelbrot (1977:dalam Liu, 1992).
Untuk pemodelan hujan-limpasan dengan analisis fraktal jaringan
hidrologi, maka ada satu hal yang sangat menarik tentang hubungan antara
respon hidrologi DAS (fraction) dengan karakteristik fraktal. Hasil penelitian
Irianto et al. (2001) menunjukkan bahwa respon hidrologi DAS merupakan fungsi
kerapatan peluang (pdf) dari DAS berorder satu (fungsi fraktalnya). Kelebihan
penggunaan analisis fraktal jaringan hidrologi untuk pendugaan banjir (debit
20
puncak dan waktu menuju debit puncak) secara sistematis mampu
menggambarkan transfer air hujan menjadi aliran permukaan melalui jaringan
hidrologi sampai menuju outlet (Irianto, 2003). Hasil penelitian Irianto (2003)
menunjukkan bahwa analisis fraktal jaringan hidrologi dapat digunakan dengan
baik atau memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam mensimulasi debit puncak
dan waktu menuju debit puncak di DAS Kripik.
21
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di DAS Separi, Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur yang memiliki luas 23.366,26 Ha (233,66 km2) dan terletak
pada koordinat di antara 00o03’ – 00o38’ LS dan 117o08’ – 117o31’ BT (Gambar
6). Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2005 – Juni 2006,
yang mana pada bulan Januari – Juli 2005 pengumpulan data sekunder (iklim,
debit, dan lainnya), bulan Agustus – Desember 2005 pembuatan dan pengujian
alat AWLR, dan bulan Januari – Juni 2006 dilaksanakan pengamatan lapang.
Pembuatan dan pengujian alat AWLR dibantu tenaga teknisi dari Workshop
Instrumentasi GEOMET, IPB.
Gambar 6. Lokasi penelitian
22
3.2. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam pengembangan model pendugaan banjir dan
kekeringan di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur didasarkan
pada beberapa tahapan, yaitu : 1) pengumpulan data, 2) analisis data yang
meliputi : a) pengembangan model pendugaan banjir (penentuan parameter
model, pengembangan model pendugaan banjir, dan pengujian model), dan b)
pengujian model kekeringan, 3) uji akurasi model banjir, dan 4)
penerapan/simulasi model banjir (Gambar 7).
Untuk pengembangan model pendugaan banjir di DAS Separi dan untuk
mengetahui pengaruh karakteristik fisik tanah khususnya kelas tekstur tanah
terhadap karakteristik unit hidrograf (debit), maka dilakukan pengamatan pada
tiga Sub DAS yang dipengaruhi oleh kelas tekstur tanah, yaitu : tekstur tanah
pasir, lempung, dan liat. Selanjutnya dari hasil pengukuran curah hujan dan
debit air per 6 menit, serta laju infiltrasi pada tiga Sub DAS tersebut akan
digunakan untuk membuat model pendugaan banjir di DAS Separi.
3.2.1. Pengumpulan Data
Untuk mendukung pengembangan model pendugaan banjir dan
kekeringan berdasarkan Gambar 7, maka ada beberapa jenis dan metode
pengumpulan data. Jenis dan metode pengumpulan data primer maupun
sekunder pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Untuk mengetahui pengaruh karakteristik tanah terhadap respon
hidrologis (karakteristik unit hidrograf), maka dilakukan pemasangan alat AWLR
(Automatic Water Level Recorder) pada tiga Sub DAS Separi. Penentuan ketiga
Sub DAS Separi tersebut didasarkan pada kelas tekstur tanah, yakni : 1) Sub
DAS Separi 1 (DAS Usup) merupakan Sub DAS yang didominasi oleh tanah
bertekstur liat (pasir 21%, debu 39%, dan liat 40%), 2) Sub DAS Separi 2 (DAS
23
Soyi) merupakan Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur pasir (pasir
83%, debu 7%, dan liat 10%), dan 3) Sub DAS Separi 3 (DAS Badin) merupakan
Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur lempung (pasir 5%, debu 57%,
dan liat 38%). Selain itu untuk meningkatkan tingkat homogenitas data curah
hujan, maka dilakukan pemasangan alat penakar hujan semi-otomatis di tengah
DAS Separi.
Pengumpulan Data (Sekunder dan Primer)
Karakteristik Iklim : Hujan, Suhu, Kelembaban, Radiasi
Matahari, dan Kecepatan Angin
Karakteristik Tanah, Topografi, Tutupan Lahan, DEM, NDVI, dan
Kerapatan Jaringan Drainase
Model Banjir
Potensi Sumberdaya Air
Parameter Model Banjir dan Kekeringan : Episode hujan, Intersepsi tanaman, Infiltrasi tanah, ETP, ETA, Neraca Air
Lahan, Kerapatan jaringan hidrologi, Pemisahan hidrograf, dan LAI
Banjir Kekeringan
Fungsi Produksi Air
Neraca Air Lahan
Fungsi Transfer Air
Simulasi Model
Uji akurasi Model
Model Kekeringan
Citra Satelit
Gambar 7. Diagram alir tahapan penelitian
24
Tabel 1. Jenis dan metode pengumpulan data pada pengembangan model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi
No. Jenis Data Metode
Pengumpulan Data Sumber
A. Data Sekunder 1. Karakteristik tanah
(stabilitas agregat tanah, distribusi ukuran partikel tanah, ruang pori total, bobot isi tanah, kadar air tanah, kedalaman efektif tanah, dan kadar C organik)
Analisis Laboratorium
PUSLITTANAK, 1994
2. Peta Tanah Skala 1:50.000 Survey Tanah PUSLITTANAK, 1994
3. Peta Jenis Penggunaan Lahan
Digitasi Peta Rupa-bumi Skala 1:50.000
BAKOSURTANAL, 1991
4. Peta Kerapatan Jaringan Drai-nase/hidrologi
Analisis dengan DEM SRTM
LAPAN, 2005
5. Peta Tutupan/Penggunaan La-han
Analisis Citra Landsat 11-02-1998 dan 10-09-2005
LAPAN, 2005
6. NDVI, LAI, Wetness Index, dan Temperatur Permukaan Lahan
Analisis Citra Land-sat 03-04-2002, 21-05-2002, 08-07-2002, dan 10-09-2002
LAPAN, 2006
7. 8. Curah hujan harian dan
Lamanya hujan Stasiun Pengamat Iklim
BPTP Kaltim, 2006
9. Tinggi muka air (TMA) AWLR BPTP Kaltim, 2006 10. ETo (Evapotransipasi
acuan) Penman-Monteith BPTP Kaltim, 2006
11. Kurva debit lengkung Tidak langsung (Current Meter) dan Langsung (Metode V-Notch)
Pada masing-masing outlet
B. Data Primer 1. Infiltrasi Tanah Pengukuran Lapang Pada 3 Sub DAS
dan masing-masing respon hidrologis
2. Tinggi muka air (TMA) di 3 lokasi
AWLR Pada masing-masing Sub DAS sesuai kelas tekstur tanah (pasir, lempung, dan liat)
3. Curah hujan Penakar hujan semi-otomatis
Di tengah DAS Separi
Keterangan : NDVI = Normalized Difference Vegetation Index dan LAI = Leaf Area Index
25
Teknik pengambilan contoh untuk penentuan infiltrasi tanah dan kadar air
tanah awal pada penelitian ini dilakukan dengan sengaja (purposive sampling)
pada 3 Sub DAS Separi dan masing-masing respon hidrologis yang merupakan
hasil kombinasi atau tumpang tepat antara peta tanah (karakteristik fisik tanah)
dan peta tutupan lahan, serta distribusi hujan yang berbeda.
Untuk mengkonversi data tinggi muka air (TMA) menjadi debit aliran pada
DAS Separi dihitung berdasarkan persamaan kurva lengkung debit di AWLR
Separi (BPTP Kalimantan Timur, 2005) dan persamaannya adalah sebagai
berikut :
………………………………………………(1) ( ) 4874,1Maks HH*10,599Q −=
Q adalah debit aliran (m3 per detik), HMaks adalah tinggi maksimum antara dasar
sungai dengan sensor optik pada alat AWLR (m), dan H adalah tinggi muka air
hasil pembacaan dari alat AWLR (m).
Untuk mengkonversi data tinggi muka air (TMA) menjadi debit aliran pada
Sub DAS Soyi, Sub DAS Badin, dan Sub DAS Usup dihitung berdasarkan
metode bendung (weir) tipe V-Notch (Kraattz dan Mahajan, 1982) dan
persamaannya adalah sebagai berikut :
( ) 02832,0*)(*2tan**28,4 2/5khCQ += θ …………………………….(2)
Q adalah debit aliran (m3 per detik), C adalah koefisien debit, θ adalah sudut
bendung (digunakan θ = 600), h adalah tinggi muka air dari dasar sudut bendung
(m), dan k adalah faktor koreksi tinggi.
……(3) 26 *10*10393334,6*630008744669,0607165052,0 θθ −+−=C
...….(4) θθθ *10*062,1*10*298,3*0003395,001449,0 826 −− −+−=k
26
3.2.2. Analisis Data
3.2.2.1. Metode Penentuan Parameter Masukan dan Sistem DAS
A. Metode Penentuan Episode dan Distribusi Curah Hujan
Penentuan episode hujan didasarkan dari data curah hujan selama 5
tahun (tahun 2001 – 2005) dari stasiun iklim Separi (BPTP Kalimantan Timur).
Penentuan episode hujan ini digunakan sebagai pembanding dalam menentukan
besarnya curah hujan yang sering terjadi pada suatu periode tertentu dan atau
kejadian banjir dalam tahapan analisis dan simulasi model. Tahapan metode
penentuan episode hujan adalah sebagai berikut :
1. Data curah hujan (tahun 2001 – 2005) dari bulan-bulan basah (rata-rata
curah hujan > evapotraspirasi potensial) dan bulan-bulan kering rata-rata
curah hujan ≤ evapotraspirasi potensial) diurutkan menurut nilai dari yang
terbesar sampai terkecil.
2. Ranking data disusun menurut data yang telah diurutkan (r = 1,2,3,......, j),
dimana r = 1 untuk nilai terbesar dan r = j untuk nilai terkecil.
3. Penentuan periode ulang (return periode/T) dan peluangnya (P) dari curah
hujan yang menyebabkan terjadinya banjir pada tahun 2001 dan 2005, yakni
: T = (n + 1)/r, dan P = 1/T, dimana n : jumlah data pengamatan dan r : nomor
urut dari besaran yang ditentukan.
4. Penentuan peluang tercapainya kejadian (R) pada no. 3, yakni : R = 1 – (1 –
P)m, dimana m : prediksi waktu yang akan terjadi.
Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan simulasi model
pendugaan banjir dalam penelitian ini adalah curah hujan 6 menitan di AWLR
Separi. Penggunaan data curah hujan hanya pada AWLR Separi dikarenakan
tidak adanya stasiun iklim otomatis yang mampu menyediakan data curah hujan
6 menitan di sekitar DAS Separi, khususnya di daerah hulu dan tengah. Untuk
27
menentukan apakah data curah hujan di AWLR Separi menyebar/terdistribusi
secara menyeluruh pada DAS Separi, maka dilakukan uji berpasangan berganda
antara curah hujan di AWLR Separi (mingguan dan dasarian) dengan data curah
hujan di AWS Lempake pada taraf 5%. Hasil uji berpasangan berganda tersebut
dijadikan dasar bahwa data curah hujan di AWLR Separi dapat mewakili secara
menyeluruh terjadinya hujan yang menyebar/terdistribusi secara merata pada
seluruh DAS Separi. Untuk mendapatkan data curah hujan wilayah yang
terdistribusi secara merata di DAS Separi, maka dilakukan pemasangan alat
penakar hujan semi-otomatis di daerah Seleko, Desa Bukitpariaman (Separi L-
V), Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara pada
koordinat X=520.237 dan Y=9.970.080.
B. Metode Perhitungan Intersepsi Tanaman
Model perhitungan intersepsi didasarkan pada metode yang
dikembangkan oleh Aston (1979 : dalam de Roo, 1999). Langkah selanjutnya
adalah membuat persamaan regresi dari hubungan antara intersepsi (mm/6
menit) dengan curah hujan (mm/6 menit) untuk beberapa kejadian hujan.
Metode perhitungan Intersepsi kumulatif selama kejadian hujan diperoleh
dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Aston (1979 : dalam
De Roo et al., 1999) adalah sebagai berikut :
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−=
−−SMAXPCUMp)(1
e1SMAXINTCP ………………………………………….(5)
INTCP adalah intersepsi kumulatif (mm), PCUM adalah curah hujan kumulatif
(mm), SMAX adalah kapasitas simpanan maksimum (mm), p adalah faktor
koreksi (1 - 0,046.LAI). Perhitungan kapasitas intersepsi maksimum diduga
dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Von Hoyningen-
Huene (1981 : dalam De Roo et al., 1999) :
28
SMAX = 0,935 + 0,498.LAI – 0,00575.LAI2 ……………………………..(6)
SMAX adalah kapasitas simpanan maksimum (mm), LAI adalah indeks luas
daun. Berdasarkan data intersepsi kumulatif (mm) dan waktu mulainya hujan
sampai berhenti (jam) untuk beberapa seri data kejadian hujan, maka akan dapat
ditentukan laju intersepsi tanaman (mm/jam) untuk setiap waktu (t) terjadinya
hujan.
Untuk penentuan indek luas daun (LAI) didasarkan pada persamaan
sebagai berikut (Geomatica, 2004) :
⎟⎠⎞⎜
⎝⎛
−−= )65,0ln(.6,0)ln()75,0ln( SAVILAI ……………………….….…(7)
SAVI adalah indek vegetasi yang sangat ditentukan oleh jenis tanah dan menurut
Huete (1988), persamaannya adalah sebagai berikut :
L)red (nir red) -(nir *L)(1SAVI
+++
= ………………………………………….……(8)
nir adalah reflektansi pada saluran inframerah dekat (4), red adalah reflektansi
pada saluran merah (3), dan L merupakan konstanta yang bernilai 0,5.
C. Metode Perhitungan Laju Infiltrasi
Perhitungan infiltrasi didasarkan pada persamaan Horton dan ditentukan
berdasarkan pada masing-masing jenis tanah yang dikombinasikan dengan jenis
penggunaan lahan (respon hidrologis). Persamaan laju infiltrasi menurut Horton
adalah sebagai berikut :
f (t) = fc + (fo - fc)e-Kt …………………………………………..………….. (9)
f(t) adalah kapasitas infiltrasi pada waktu t (mm/menit), fo adalah kapasitas
infiltrasi awal (mm/menit), fc adalah kapasitas infiltrasi konstan (mm/menit), t
adalah waktu (menit), k adalah konstanta yang dipengaruhi oleh tanah dan
tanaman.
29
Dengan mengintegralkan persamaan (9) didapatkan persamaan infiltrasi
kumulatif (F) pada waktu t :
∫=t
dt0
f(t)F(t) ........................................................................................(10)
t
0
k.t-e fc)-fo(k1fc.t F(t) ⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧−+= .........................................................(11)
( ) ( )fc).1}-fo(k1{}fc).e-fo(k
1{0-fctF(t) k.t- −−−+= ........................(12)
( )fc)}-fo(k1{}fc).e-fo(k
1{-fc.tF(t) k.t- −= ........................................(13)
Pada persamaan (5), sehingga persamaan (13) menjadi: -k.tfc).e-(fofc-f(t) =
fc)}-(fok1{}fc)-f(t)(k
1{-fc.tF(t) += ..............................................(14)
.fok1f(t).k
1-fc.tF(t) += ...................................................................(15)
.........................................................................(16) k.fc.tk.F(t)-fof(t) +=
Perhitungan nilai konstanta yang tergantung pada jenis tanah (k), laju
infiltrasi awal (fo), dan laju infiltrasi konstan (fc) ditentukan berdasarkan
hubungan keterkaitan antara data waktu (menit) dan laju infiltrasi (cm/menit) hasil
pengukuran pada tahap pengumpulan data yang ditetapkan sebagai variabel
bebas X1 dan X2 dengan data infiltrasi kumulatif (cm) yang ditetapkan sebagai
variabel tak bebas (Y), sehingga persamaan (16) menjadi sebagai berikut :
Y = a.t + b.f(t) +c ..................................................................................(17)
a = fc; k1-b = ; dan fo.k
1c = . Setelah konstanta yang tergantung pada jenis
tanah (k), laju infiltrasi awal (fo), dan laju infiltrasi konstan (fc) ditentukan, maka
dengan menggunakan persamaan (5) model laju infiltrasi simulasi dapat
ditentukan. Langkah selanjutnya adalah penentuan besarnya rata-rata laju
30
infiltrasi (fr) (Viessman et al., 1989) yang didasarkan menurut persamaan sebagai
berikut:
{ f(t) i Jika f(t),f(t) i Jika ,ir
r
rrf ⊇
⊂= ..................................................................(14)
f(t) adalah laju infiltrasi pada waktu ke-t (mm/menit) dan ir adalah intensitas hujan
pada waktu ke-t (mm/menit). Besarnya nilai rata-rata laju infiltrasi (fr) ini
digunakan untuk menentukan besarnya curah hujan netto.
D. Metode Perhitungan Fungsi Kerapatan Peluang (pdf)
Penentuan peta jaringan drainase/hidrologi didasarkan dari data DEM
(Digital Elevation Model) resolusi 90 meter yang dianalisis dari data radar SRTM.
Selanjutnya ditetapkan isokron, yaitu : tempat kedudukan titik-titik di permukaan
DAS yang memiliki waktu tempuh yang sama menuju outlet (Gambar 8), dan
kemudian membuat kurva kerapatan jaringan drainase DAS orde-1 yang
didasarkan pada selang isokron. Penentuan selang isokron didasarkan pada
persamaan sebagai berikut :
Gambar 8. Penentuan kurva pdf yang didasarkan pada selang isokron
31
tV.I(L) ×=Δ …………………………………………………..………......(18)
ΔI(L) adalah interval isokron sebagai fungsi jarak tempuh (m), V adalah
kecepatan rata-rata aliran (m/detik), dan t adalah selang waktu pengamatan (360
detik).
Perhitungan kecepatan rata-rata aliran permukaan (V) diduga dengan
metode Llamas (1993:dalam Irianto, 1999) :
α53
.20 SinV = ………………………………………….…………………..(19)
V adalah kecepatan rata-rata aliran permukaan (m per detik), dan α adalah
kemiringan lahan (%). Selain itu, kecepatan rata-rata aliran permukaan (V) juga
dapat di hitung berdasarkan perbandingan antara panjang rata-rata jaringan
sungai dengan waktu respon, dan persamaan matematisnya sebagai berikut :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
rtLV .......................................................................……..……….....(20)
L adalah panjang rata-rata jaringan sungai (m) dan tr adalah waktu respon
(detik).
Metode penentuan kurva kerapatan jaringan drainase DAS berorde-1
atau disebut fungsi kerapatan peluang (probability density function/pdf) pada
setiap isokron didasarkan pada pdf teori (ρi) yang dikemukakan oleh Duchesne
dan Cudennec, 1998 : dalam Irianto et al., 2001). Fungsi kerapatan peluang
(pdf) merupakan fungsi dari panjang jaringan drainase/hidrologi DAS berorde-1
(L), dimana luas area di bawah kurva pdf menunjukkan peluang kejadian
(Gambar 9). Persamaan matematis dari fungsi kerapatan probabilitas (pdf) teori
adalah sebagai berikut :
( )( ) ⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛ −−
Γ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛= L2
nL12
n2n
expL2
n1
L2n)L(ρ ................……...........................(21)
32
ρ(L) adalah kerapatan DAS elementer/(DAS order 1 sebagai fungsi
panjang lintasan air (panjang jaringan sungai), n adalah order maksimum DAS
menurut kriteria Strahler, L adalah rata-rata panjang jaringan sungai pada order
1 (m), Γ adalah fungsi gamma, dan L adalah panjang jaringan sungai utama (m).
Gambar 9. Kurva fungsi kerapatan peluang (pdf)
E. Metode Pemisahan atau Separasi Hidrograf
Pemisahan atau separasi hidrograf antara aliran permukaan langsung
(direct runoff), aliran permukaan yang tertunda (delayed runoff), dan aliran dasar
(base flow) didasarkan pada pada beberapa tahapan (Gambar 10), yakni sebagai
berikut :
1. Memplot kurva curah hujan dan debit untuk satu episode hujan.
2. Menentukan titik naik waktu mulai terjadinya aliran permukaan langsung (tn)
dan debit (q tn), titik turun pertama yang ditandai oleh penurunan debit
secara tajam (td) dan debit (q td), dan titik turun kedua yang ditandai oleh
penurunan debit ke arah konstan (tb) dan debit (q tb).
3. Menentukan debit dari aliran tunda (interflow+baseflow) yakni dengan
menjumlahkan debit sebelumnya dengan pengurangan antara debit pada
saat turun pertama (q td) dan debit pada saat mulai naik (q tn).
33
4. Menentukan debit dari aliran dasar (baseflow) yakni dengan menjumlahkan
debit sebelumnya dengan pengurangan antara debit pada saat turun kedua
(q tb) dan debit pada saat mulai naik (q tn).
5. Menentukan debit dari aliran tunda (interflow) yakni selisih antara debit dari
aliran tunda dan aliran dasar (interflow+baseflow) dengan debit dari aliran
dasar (baseflow).
6. Selanjutnya penentuan debit aliran permukaan (direct runoff) didasarkan
atas selisih antara debit total dengan debit dari aliran tunda dan aliran dasar
(interflow+baseflow).
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
4:23
4:47
5:11
5:35
5:59
6:23
6:47
7:11
7:35
7:59
8:23
8:47
9:11
9:35
9:59
10:2
310
:47
11:1
111
:35
11:5
912
:23
12:4
713
:11
13:3
513
:59
14:2
314
:47
15:1
115
:35
15:5
916
:23
16:4
7
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
Q total
Q aliran permukaan
Q aliran tunda
Q aliran dasar
Gambar 10. Grafik pemisahan antara aliran permukaan (direct runoff), aliran tunda (interflow), dan aliran dasar (base flow)
F. Metode Perhitungan Evapotranspirasi Acuan (ETo)
Metode penghitungan evapotranspirasi acuan (ETo) didasarkan pada
pada persamaan Penman-Monteith (Allen et al, 1998). Adapun persamaan
evapotranspirasi acuan berdasarkan Penman-Monteith adalah sebagai berikut :
34
)0,34U(1
)e(eU273T
900G)(R0,408ETo
2
as2n
++Δ
−+
+−×Δ×=
γ
γ.............................(22)
ETo adalah evapotranspirasi acuan (mmhari-1), Rn adalah radiasi netto pada
permukaan tanaman (MJm-2hari-1), G adalah kerapatan fluks bahang tanah
(MJm-2hari-1), T adalah suhu udara (°C), U2 adalah kecepatan angin pada
ketinggian 2 m (ms-1), Es adalah tekanan uap air jenuh (kPa), Ea adalah tekanan
uap air aktual (kPa), es-ea adalah defisit tekanan uap air jenuh (kPa), Δ adalah
slope kurva tekanan uap (kPa°C-1), dan γ adalah konstanta psychrometric
(kPa°C-1).
3.2.2.2. Metode Pengembangan Model Pendugaan Banjir
Pengembangan model pendugaan banjir didasarkan pada pemodelan
fungsi produksi (perhitungan curah hujan netto/sisa dari perubahan curah hujan
bruto) dan pemodelan fungsi transfer (perhitungan debit aliran permukaan dari
perubahan curah hujan sisa melalui jaringan drainase) (Gambar 11).
Berdasarkan Gambar 11, perhitungan curah hujan sisa (curah hujan
netto) didasarkan pada tiga metode, yaitu : A) perhitungan curah hujan sisa
berdasarkan koefisien runoff (Kr), B) perhitungan curah hujan sisa berdasarkan
intersepsi dan infiltrasi, dan C) perhitungan curah hujan sisa berdasarkan sifat
fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) pada lapisan atas (20 cm). Klasifikasi
model pendugaan banjir adalah metode A adalah model kotak kelabu dan untuk
metode B dan C adalah model terdistribusi.
Perhitungan curah hujan efektif berdasarkan koefisien runoff (Kr) adalah
sebagai berikut :
Pn(t) = Pb(t) * Kr .................................................................................(23)
Pn(t) adalah curah hujan netto/sisa (mm), Pb(t) adalah curah hujan bruto (mm),
dan Kr adalah koefisien runoff.
35
Curah Hujan Bruto (Pb)
Metode A
Metode B
Metode C
Pemodelan Fungsi Produksi
Q runoff Koefisien Runoff (Kr)
Curah Hujan Netto (Pn) Pn = Pb * Kr
Separasi Hidrograf
Peta Jenis Tanah
Peta Penggunaan Lahan
Peta Respon Hidrologis
Intersepsi (INTCP) Infiltrasi (f)
Curah Hujan Netto (Pn) Pn = Pb – (INTCP + f)
Curah Hujan Netto (Pn) Pn = a + b1.Pb – b2.Ws
Pemodelan Fungsi Transfer
DEM (Elevation)
Rekonstruksi Jaringan Sungai
Tidak Ya
Konvolusi {Pn*pdf}*A
Luas DAS (A)
Debit Simulasi
Debit Pengukuran
Uji Akurasi Nash (F >70%)
Perbaikan Model Fungsi Produksi
Model Pendugaan
Banjir
Gambar 11. Diagram alir pemodelan fungsi produksi dan fungsi transfer
36
Perhitungan koefisien runoff (Kr) didasarkan pada persamaan sebagai berikut :
A.PbVro.1000Kr
T= ..........................................................................(24)
Vr adalah volume aliran permukaan (m3), PbT adalah total curah hujan
bruto (mm), dan A adalah luas DAS (m2).
Perhitungan curah hujan sisa berdasarkan selisih antara curah hujan
bruto yang tercatat di penangkar hujan (Pb) dengan jumlah air yang diintersepsi
oleh tanaman (INTCP) dan air yang diinfiltrasikan ke dalam tanah f(t) adalah
sebagai berikut :
Pn(t) = Pb – {INTCP(t) + f(t)}................................................................(25)
Perhitungan curah hujan sisa berdasarkan sifat fisik tanah (kapasitas
tanah menyimpan air) pada lapisan atas disusun berdasarkan analisis regresi
berganda antara curah hujan bruto dan sifat fisik tanah (kapasitas tanah
menyimpan air) sebagai variabel bebas dengan curah hujan sisa sebagai
variabel tak bebas dan persamaan matematisnya adalah sebagai berikut :
Pn(t) = a + b1.Pb + b2.Ws ...................................................................(26)
a adalah intersep, b1 adalah koefisien curah hujan bruto, Pb adalah curah hujan
bruto (mm), b2 adalah koefisien kapasitas tanah menyimpan air, dan Ws adalah
kapasitas tanah menyimpan air (mm).
Perhitungan fungsi transfer (debit simulasi) dihitung berdasarkan produk
konvolusi antara curah hujan netto/sisa (Pn) dengan fungsi kerapatan peluang
(pdf) dan luas DAS. Secara matematis persamaannya adalah sebagai berikut :
Q sim. = {Pn ⊗ ρ(L)}*A …………….…………………………….……….(27)
Q sim. adalah debit aliran permukaan simulasi (m3/detik), Pn adalah curah hujan
netto/sisa (mm/6 menit), ρ(L) adalah fungsi kerapatan peluang (pdf), dan A
adalah luas DAS (m2).
37
3.2.2.3. Metode Pendugaan Kekeringan
Untuk pengembangan model pendugaan kekeringan didasarkan pada
dua metode yaitu : 1) neraca air lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) dan 2)
teknologi penginderaan jauh. Pendugaan kekeringan menurut analisis neraca air
lahan metode Thornthwaite dan Mather (1957) didasarkan dari kekurangan atau
defisit air tanaman yang terjadi pada saat stok air tanah (water storage) dibawah
kadar air tanah kondisi titik layu permanen dan hal tersebut disebabkan curah
hujan yang lebih rendah dibandingkan evapotranspirasi potensial (ETP). Metode
penentuan neraca air berdasarkan metode Thornwaite dan Mather (1957 adalah
sebagai berikut :
1. Mengisi kolom curah hujan (P) dan evapotranspirasi potensial (ETP)
mingguan, dasarian, maupun bulanan.
2. Menghitung nilai P – ETP yang disesuaikan berdasarkan tahapan no. 1.
3. Hasil negatif pada tahap no. 2 diakumulasikan sebagai APWL (Accumulated
Potential Water Loss).
4. Menentukan stok air tanah (water storage). Untuk menentukan nilai water
storage didasarkan pada persamaan sebagai berikut :
APWLk . WHCKSA = ................................................................................(28)
WHC = KL – TLP .......................................................................................(29)
KAT = TLP + KSA ......................................................................................(30)
KSA (water storage) adalah ketersediaan air tanah aktual, WHC adalah
kapasitas simpan air tanah, dan k adalah tetapan nilai k = po +pi/WHC
(po=1,000412351 dan pi=-1,07380736).
5. Penentuan perubahan water storage (ΔWS), dimana ΔWSi = WSi – WS(i-1).
6. Penentuan evapotranspirasi aktual (ETA), dimana ETA = ETo jika P ≥ ETo,
dan ETA = P, jika P < ETo.
38
7. Penentuan defisit (D) dan surplus air (S), dimana D = ETo – ETA dan S = P –
ETo - ΔWS.
Untuk pendugaan kekeringan dengan penggunaan teknologi
penginderaan jauh didasarkan dari analisis kombinasi tingkat kelembaban
permukaan lahan (wetness index) dengan tingkat kehijauan tanaman (NDVI),
serta temperatur permukaan lahan (oC) dari data citra Landsat 7 perekaman
tanggal 3 April 2002, 21 Mei 2002, 8 Juli 2002, dan 9 September 2002. Klasifikasi
tingkat kelembaban permukaan lahan dan tingkat kehijauan tanaman masing-
masing disajikan pada Tabel 2 dan 3. Penentuan tingkat kekeringan didasarkan
dari hasil kombinasi antara tingkat kelembaban permukaan lahan pada Tabel 2
dengan tingkat kehijauan tanaman pada Tabel 3. Matrik penentuan tingkat
kekeringan aktual disajikan pada Tabel 4.
Perhitungan indeks kelembaban (wetness index) didasarkan pada
persamaan matematis sebagai berikut (ER Mapper, 2005) :
Wetness= (b1*0,1509)+(b2*0,19731)+(b3*0.3279)+(b4*0.3406)-
(b5*0.7112)-(b7*0.4572) ……………………………………..(31)
b1 adalah saluran 1, b2 adalah saluran 2, b3 adalah saluran 3, b4 adalah saluran
4, b5 adalah saluran 5, dan b7 adalah saluran 7.
Tabel 2. Klasifikasi tingkat kelembaban permukaan Lahan (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007)
Kelas Nilai Indeks Kelembaban (Wetness Index)
Kandungan Air (%)
Tingkat Kelembaban
1 -295 s/d -30 < 5 Sangat Rendah
2 -30 s/d -13 5 – 20 Rendah
3 -13 s/d 10 20 – 70 Sedang
4 10 s/d 35 70 – 100 Tinggi
5 35 s/d 168 > 100 Sangat Tinggi
39
Tabel 3. Klasifikasi tingkat kehijauan tanaman (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007)
Kelas Nilai Indeks Kehijauan (NDVI)
Tingkat Kehijauan/Kondisi Tutupan Lahan
1 < -0,03 Lahan Tidak Bervegetasi
2 -0,03 s/d 0,15 Kehijauan Sangat Rendah
3 0,16 s/d 0,25 Kehijauan Rendah
4 0,26 s/d 0,35 Kehijauan Sedang
5 0,36 s/d 0,61 Kehijauan Tinggi
Tabel 4. Matrik penentuan tingkat kekeringan tanaman (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007)
Tingkat TingkatKekeringan Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Kehijauan
(1) (2) (3) (4) (5) TutupanTidak Ber-
Sangat vegetasi (1)Kering Kehijauan Sa-
ngat Rendah (2)Kering Kehijauan Ren-
dah (3)Kurang Kehijauan Se-Kering dang (4)Tidak Kehijauan Ting-Kering gi (5)
4,5
5,1 5,2 5,3 5,4 5,5
4,1 4,2 4,3 4,4
2,4 2,5
3,1 3,2 3,3 3,4 3,5
Tingkat Kelembaban Permukaan Lahan
1,1 1,2 1,3 1,4 1,5
2,1 2,2 2,3
Perhitungan indeks vegetasi (NDVI) didasarkan pada persamaan
matematis sebagai berikut (ER Mapper, 2005) :
( )( )b3b4
b3-b4NDVI+
= ...............................................................................(32)
b3 adalah saluran 3 dan b4 adalah saluran 4. Nilai indeks vegetasi berkisar
antara -1 sampai dengan 1.
Perhitungan temperatur permukaan lahan didasarkan pada analisis citra
Landsat 7 pada saluran 6 (inframerah termal dengan panjang gelombang 10,40 –
12,50 μm). Tahapan-tahapan dalam penentuan temperatur permukaan lahan
adalah sebagai berikut :
40
1. Menentukan nilai radiansi spektral obyek yang terdapat pada citra Landsat 7
ETM+ saluran 6 dari nilai digital pikselnya dengan menggunakan persamaan
Markham dan Berker (1986 : dalam BIOTROP, 2001) :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −+= cal
calmaks
)min()maks()min( Q
QLL
LL xλλλλ .....................................................(33)
Lλ adalah radiansi spektral yang diterima sensor untuk piksel yang dianalisis,
Lmin(λ) adalah radiansi spektral minimum yang terdapat pada scene (0,1238 m
W cm-2 sr--1 ηm-1), Lmaks(λ) adalah radiansi spektral maksimum yang terdapat
pada scene (1,56 m W cm-2 sr--1 ηm-1), Qcal adalah nilai piksel yang dianalisis,
dan Qcalmaks adalah nilai piksel maksimum (nilainya = 255).
2. Menentukan temperatur radian berdasarkan nilai radiansi spektral dengan
menggunakan persamaan Prakash et al. (1995 : dalam BIOTROP, 2001) :
)1)L/((Kln KT
1
2R +=
λ
..............................................................................(34)
TR adalah temperatur radian (0K) untuk setiap piksel yang dianalisis, K1
adalah konstanta kalibrasi (60,776 m W cm-2 sr--1 ηm-1), K2 adalah konstanta
kalibrasi (1260,56 K), dan Lλ adalah radiansi spektral.
3. Menentukan temperatur kinetik berdasarkan temperatur radian dengan
menggunakan persamaan Stefen-Boltzman (BIOTROP, 2001) :
41R
KTTε
= ..................................................................................................(35)
TK adalah temperatur kinetik (0K), TR adalah temperatur radian dari obyek
(0K), dan ε adalah emisivitas spektral. Nilai emisivitas spektral didasarkan
dari nilai emisivitas rata-rata yang diperloleh dari penjumlahan dari masing-
masing luas jenis tutupan lahan dikalikan dengan nilai emisivitas masing-
masing obyek dibagi dengan jumlah luas total tutupan lahan (Snyder et al.,
41
1998: dalam Yang dan Wang, 2007). Nilai emisivitas masing-masing obyek
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai emisivitas benda (Snyder et al., 1998: dalam Yang dan Wang, 2007)
Benda Nilai Emisivitas
Benda Nilai Emisivitas
Vegetasi bertajuk rapat 0,99 Tanah basah 0,95 Vegetasi bertajuk tidak rapat
0,96 Tanah kering 0,92
Tanah bergeluh basah 0,95 Kayu 0,90 Tanah bergeluh kering 0,92 Plastik dan cat 0,96 Tanah organik 0,89 Jalan beraspal 0,96 Karbon 0,95 Jalan kerikil 0,97
Perhitungan indeks kelembaban, indeks vegetasi, dan temperatur
permukaan lahan dilakukan pada setiap kombinasi antara jenis penggunaan
lahan dengan tekstur tanah dan dilakukan dengan cara merata-rata nilai indeks
kelembaban, indeks vegetasi, dan temperatur permukaan lahan setiap pixel dari
contoh lokasi (berkisar 10 – 30 contoh lokasi). Selain itu, untuk mengoptimalkan
hasil analisis citra Landasat 7 dilakukan beberapa proses awal data, yakni : 1)
penggabungan seluruh band atau saluran dari citra Landsat 7, 2) koreksi
geometrik dengan menggunakan peta digital rupabumi skala 1:50.000
(BAKOSURTANAL, 1991), 3) koreksi/kalibrasi radiometrik menggunakan citra
dengan penutupan awan paling rendah, 4) pemotongan citra sesuai dengan
daerah penelitian (cropping area), dan 5) pembuatan komposisi warna untuk
kemudahan interpretasi visual. Kalibrasi radiometrik untuk citra lainnya
menggunakan citra dengan penutupan awan paling rendah didasarkan pada
persamaan sebagai berikut :
122 CCC255X
−=× ..............................................................................(36)
X adalah koefisien kalibrasi, C2 adalah rata-rata nilai dari masing-masing obyek
citra acuan, C1 adalah rata-rata nilai dari masing-masing obyek citra yang akan
42
dikoreksi, dan 255 adalah nilai obyek yang tertinggi. Untuk citra Landsat 7 yang
akan dikoreksi akan disesuaikan nilai masing-masing pixel dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :
Nilai Pixel Baru = (255 – X) .................................................................(37)
3.2.3. Uji Akurasi Model
Kriteria uji akurasi model perhitungan debit simulasi didasarkan dengan
membandingkan debit simulasi dan debit pengukuran menurut persamaan Nash
dan Sutcliffe (1970: dalam Irianto et al., 1999), seperti berikut :
∑
∑
−
−−= N
prs
N
ps
1
2
2
1
)(
)(1F ……………………………………….….…..…….(38)
Qpr adalah debit rata-rata pengukuran, Qs adalah debit simulasi dan Qp adalah
debit pengukuran. Besarnya nilai F berdasarkan metode Nash dan Sutcliffe
terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : 1) tingkat akurasi rendah jika F ≤ 0,50, 2)
tingkat akurasi sedang jika 0,50 < F < 0,70, dan 3) tingkat akurasi tinggi jika F ≥
0,70.
3.2.4. Penerapan Model
Penerapan model dilakukan apabila model telah di uji akurasinya dan bila
terbukti akurat, maka dilakukan simulasi (uji sensitivitas) berdasarkan beberapa
skenario perubahan penggunaan lahan. Rekomendasi optimalisasi jenis, luas,
dan lokasi penggunaan lahan di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS didasarkan pada beberapa
kriteri, yakni : meminimalkan biaya, waktu, dan tenaga, dan meningkatkan
peluang keberhasilan pengelolaan penggunaan lahan, serta penurunan debit
puncak dan memperlambat waktu menuju debit puncak banjir.
43
IV. KARAKTERISTIK DAS SEPARI
4.1. Hidrometeorologi DAS Separi
Untuk mengetahui fluktuasi debit air dan iklim (curah hujan, suhu,
kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin) di DAS Separi, kabupaten
Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur, maka Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur dan Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi, Bogor telah memasang stasiun pengamat tinggi muka air otomatis
(AWLR/Automatic Water Level Recorder) di sungai Separi sebagai titik keluaran
(outlet) DAS Separi pada koordinat X=514.115 dan Y=9.968.976 yang berlokasi
di desa Bukitpariaman (Separi L-V), kecamatan Tenggarong Seberang,
kabupaten Kutai Kartanegara. Selain itu, untuk mengetahui distribusi hujan
wilayah yang masuk ke DAS Separi, maka dilakukan pemasangan stasiun iklim
otomatis (AWS/Automatic Weather Station) di tiga lokasi, yakni : 1) AWS Separi,
2) AWS Lempake, dan 3) AWS Marang Kayu. Stasiun iklim (AWS) Separi
terletak pada koordinat X=513.007 dan Y=9.970.080 yang berada di desa
Bukitpariaman (Separi L-V), kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai
Kartanegara. Stasiun iklim (AWS) Lempake terletak pada koordinat X=520.338
dan Y=9.950.845 yang berada di desa Lempake, kecamatan Samarinda Utara,
kotamadya Samarinda. Stasiun iklim (AWS) Marang Kayu terletak pada koordinat
X=546.117 dan Y=9.985.262 yang berada di desa Marang Kayu, kecamatan
Muarabadak, kabupaten Kutai Kartanegara.
Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik tanah (kelas tekstur
tanah) dan geomorfologi DAS (geometrik dan morfometrik) terhadap karakteristik
unit hidrograf, maka dilakukan pemasangan stasiun pengamat tinggi muka air
semi-otomatis di tiga lokasi, yakni : 1) Sub DAS Separi-Badin, 2) Sub DAS
Separi-Soyi, dan 3) Sub DAS Separi-Usup. Selain itu juga dilakukan
44
pemasangan stasiun penakar hujan semi-otomatis didaerah Seleko – Separi
pada koordinat X=520.237 dan Y=9.970.080. Posisi geografis stasiun pengamat
tinggi muka air otomatis (AWLR) pada masing-masing outlet di 3 Sub DAS
Separi dan DAS Separi, serta stasiun iklim otomatis (AWS) disajikan pada Tabel
6 dan Gambar 12.
Tabel 6. Posisi geografis stasiun pengamat tinggi muka air otomatis (AWLR) dan stasiun iklim otomatis (AWS) DAS Separi
No. Stasiun Status Alamat KetinggianX Y (m)
1 Separi AWLR Separi (L-V) 514.115 9.968.976 102 Soyi AWLR Separi (L-V) 515.566 9.969.503 173 Badin AWLR Separi (L-V) 516.135 9.968.942 164 Usup AWLR Separi (L-V) 518.775 9.967.581 205 Separi AWS Separi (L-V) 513.007 9.970.113 126 Seleko Hujan Separi (L-V) 520.237 9.970.080 217 Lempake AWS Lempake 520.338 9.950.845 168 Marang Kayu AWS Marang Kayu 546.117 9.985.262 13
Posisi Geografis
Keterangan : AWLR = Automatic Water Level Recorder dan AWS = Automatic
Weather Station
4.2. Iklim
Karakteristik iklim (curah hujan, suhu, kelembaban, radiasi matahari, dan
kecepatan angin) DAS Separi digambarkan dari 3 stasiun iklim, yakni stasiun
iklim Separi, Lempake, dan Marang Kayu, dan secara spasial (ruang) terbagi
dalam tiga wilayah, yaitu : 1) wilayah 1 yang digambarkan dari stasiun iklim
(AWS) Separi, 2) wilayah 2 yang digambarkan dari stasiun iklim (AWS) Lempake,
dan 3) wilayah 3 yang digambarkan dari stasiun iklim (AWS) Marang Kayu.
Pewilayah iklim secara spasial di DAS Separi didasarkan pada metode Thiessen,
dan karena metode ini memiliki asumsi bahwa keragaman iklim antara stasiun
iklim di Separi dengan stasiun Lempake maupun stasiun Marang Kayu memiliki
hubungan yang linear dan tidak ada pengaruh orografis dari stasiun-stasiun iklim
tersebut. Hal ini dikarenakan pada daerah ini merupakan daerah dengan relief
45
datar sampai berbukit dan ketinggian <250 m dpl (di atas permukaan laut). Peta
pewilayah iklim DAS Separi dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 12. Peta posisi geografis stasiun iklim (AWS) dan pengamat tinggi
muka air (AWLR) di DAS Separi
Berdasarkan Gambar 13, pola curah hujan di DAS Separi didominasi pola
sekuen curah hujan A (Trojer, 1976) dan zona agroklimat D2 (Oldeman, 1975).
Berdasarkan analisis pola curah hujan metode Trojer (1976) dan Oldeman (1975)
dapat memberikan gambaran yang jelas antara puncak periode basah yakni
pada bulan Desember sampai dengan Maret dan puncak periode kering pada
bulan Juli sampai dengan Agustus (Gambar 13 dan Tabel 7). Selain itu, di DAS
Separi ini juga memiliki tipe hujan basah (B) sampai dengan sangat basah (A)
(Schmidt dan Ferguson, 1951). Hal ini membuktikan bahwa kejadian banjir yang
terjadi di bagian hilir DAS Separi (Gambar 1) akan terjadi pada bulan Desember
46
sampai dengan Maret dan kejadian kekeringan akan terjadi pada bulan Juli
sampai dengan Agustus. Hal ini didukung dari hasil penelitian Heriansyah (2004),
bahwa kekurangan air di daerah Separi terjadi pada bulan Juli sampai dengan
Agustus.
AWS Separi
0
50
100
150
200
250
300
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan
Huja
n &
ETP
(mm
)
28.40
28.60
28.80
29.00
29.20
29.40
29.60
29.80
30.00
30.20
30.40
Suhu
(oC)
Curah Hujan ETPSuhu
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 4 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat D2 Periode masa tanam 10 bulan3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 1 Q (%) 10 Tipe Hujan B (Basah)
AWS Lempake
0
50
100
150
200
250
300
350
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan
Huja
n &
ETP
(mm
)
28.80
29.00
29.20
29.40
29.60
29.80
30.00
30.20
30.40
30.60
Suhu
(oC)
Curah Hujan ETPSuhu
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 5 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat C2 Periode masa tanam 10 bulan3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 0 Q (%) 0 Tipe Hujan A (Sangat Basah)
AWS Marang Kayu
0
50
100
150
200
250
300
350
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan
Huj
an &
ETP
(mm
)
28.00
28.20
28.40
28.60
28.80
29.00
29.20
29.40
29.60
29.80
Suh
u (o
C)
Curah Hujan ETPSuhu
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 7 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat B2 Periode masa tanam 10 bulan
3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 0 Q (%) 0 Tipe Hujan A (Sangat Basah)
AWS Separi
0
50
100
150
200
250
300
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan
Huj
an &
ETP
(mm
)
28.40
28.60
28.80
29.00
29.20
29.40
29.60
29.80
30.00
30.20
30.40
Suh
u (o
C)
Curah Hujan ETPSuhu
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 4 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat D2 Periode masa tanam 10 bulan3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 1 Q (%) 10 Tipe Hujan B (Basah)
AWS Lempake
0
50
100
150
200
250
300
350
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan
Huj
an &
ETP
(mm
)
28.80
29.00
29.20
29.40
29.60
29.80
30.00
30.20
30.40
30.60
Suh
u (o
C)
Curah Hujan ETPSuhu
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 5 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat C2 Periode masa tanam 10 bulan3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 0 Q (%) 0 Tipe Hujan A (Sangat Basah)
AWS Marang Kayu
0
50
100
150
200
250
300
350
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan
Huj
an &
ETP
(mm
)
28.00
28.20
28.40
28.60
28.80
29.00
29.20
29.40
29.60
29.80
Suh
u (o
C)
Curah Hujan ETPSuhu
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 7 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat B2 Periode masa tanam 10 bulan
3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 0 Q (%) 0 Tipe Hujan A (Sangat Basah)
AWS Separi
0
50
100
150
200
250
300
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan
Huj
an &
ETP
(mm
)
28.40
28.60
28.80
29.00
29.20
29.40
29.60
29.80
30.00
30.20
30.40
Suh
u (o
C)
Curah Hujan ETPSuhu
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 4 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat D2 Periode masa tanam 10 bulan3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 1 Q (%) 10 Tipe Hujan B (Basah)
AWS Lempake
0
50
100
150
200
250
300
350
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan
Huj
an &
ETP
(mm
)
28.80
29.00
29.20
29.40
29.60
29.80
30.00
30.20
30.40
30.60
Suh
u (o
C)
Curah Hujan ETPSuhu
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 5 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat C2 Periode masa tanam 10 bulan3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 0 Q (%) 0 Tipe Hujan A (Sangat Basah)
AWS Marang Kayu
0
50
100
150
200
250
300
350
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulan
Huj
an &
ETP
(mm
)
28.00
28.20
28.40
28.60
28.80
29.00
29.20
29.40
29.60
29.80
Suh
u (o
C)
Curah Hujan ETPSuhu
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 7 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat B2 Periode masa tanam 10 bulan
3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 0 Q (%) 0 Tipe Hujan A (Sangat Basah)
Gambar 13. Peta pewilayah iklim DAS Separi, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur
Tabel 7. Pewilayahan iklim berdasarkan analisis data iklim tahun 2001 - 2005 di DAS Separi
Waktu Hujan ETo Musim Hujan ETo Musim Hujan ETo Musim(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
Januari 240 90 Basah 212 84 Basah 284 96 BasahFebruari 213 91 Basah 129 88 Basah 202 95 BasahMaret 221 101 Basah 324 93 Basah 245 105 BasahApril 183 91 Basah 245 88 Basah 221 97 BasahMei 153 90 Basah 206 83 Basah 207 90 BasahJuni 118 85 Basah 184 79 Basah 194 84 BasahJuli 99 91 Basah 99 83 Basah 96 90 BasahAgustus 40 100 Kering 89 87 Basah 75 103 KeringSeptember 122 91 Basah 188 81 Basah 122 99 BasahOktober 141 97 Basah 111 93 Basah 131 105 BasahNopember 185 84 Basah 217 81 Basah 212 92 BasahDesember 226 87 Basah 189 85 Basah 295 89 Basah
Wilayah 1 Wilayah 2 Wilayah 3
47
4.3. Topografi
Topografi merupakan perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah
yang termasuk di dalamnya adalah perbedaan kecuraman dan bentuk lereng.
Gambaran kondisi topografi suatu DAS sangat penting dalam kaitannya dengan
laju aliran permukaan dan erosi. Kondisi topografi DAS Separi dengan luas
233,66 km2 (23.366,36 Ha) dapat digambarkan secara detail berdasarkan empat
bagian daerah transek, yaitu : 1) bagian daerah transek 1 atau transek yang
dilakukan secara horisontal di bagian hulu dari DAS Separi, 2) bagian daerah
transek 2 atau transek yang dilakukan secara horisontal di bagian tengah dari
DAS Separi, 3) bagian daerah transek 3 atau transek yang dilakukan secara
horisontal di bagian hilir dari DAS Separi, dan 4) bagian daerah transek 4 atau
transek yang dilakukan secara vertikal dari hulu sampai hilir dari DAS Separi
(Gambar 14).
Berdasarkan Gambar 14, kondisi topografi di DAS Separi secara umum
pada bagian tengah DAS (mulai bagian hulu sampai hilir) adalah dataran sampai
bergelombang dengan bentuk lahan (landform) bukit-bukit kecil dan pola
perbukitan, serta dibatasi oleh punggung-punggung bukit yang curam.
Kelerengan pada daerah dataran adalah 0-3% dan daerah bergelombang 3-12%.
Peta kelerengan DAS Separi disajikan pada Gambar 15. Kondisi topografi DAS
yang banyak didominasi oleh dataran pada bagian tengah menunjukkan bahwa
sebenarnya kejadian banjir di bagian hilir dari DAS Separi tidak dipengaruhi oleh
faktor topografi, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor lainnya, seperti : alih fungsi
penggunaan lahan dan menurunnya kapasitas tampung badan sungai akibat
erosi dan sedimentasi. Dampak negatif alih fungsi penggunaan lahan adalah
menurunnya kapasitas tanah dalam memegang air, sehingga berdampak
lanjutan terhadap meningkatnya aliran permukaan tanah (banjir) pada musim
48
penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini didukung dari hasil
penelitian Mahe, et al. (2005), bahwa akibat alih fungsi penggunaan lahan hutan
menjadi non hutan dari 43% pada tahun 1965 menjadi 13% pada tahun 1995 di
DAS Nakambe, Burkina-Faso berdampak negatif terhadap menurunnya
kapasitas tanah memegang air 33-62%, sehingga berdampak lanjutan terhadap
meningkatnya volume aliran permukaan (runoff) sebesar 60%. Selain itu, hasil
penelitian Mahe, et al. (2005) juga menunjukkan bahwa dampak negatif akibat
alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan adalah penurunan jumlah
curah hujan tahunan sebesar 20%.
Transek 1 Transek 2
Transek 3 Transek 4
U
Transek 1 Transek 2
Transek 3 Transek 4
Transek 1 Transek 2
Transek 3 Transek 4
U
Outlet
Gambar 14. Bentuk lahan DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimanatan Timur
49
Gambar 15. Peta kelerengan DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur
4.4. Tanah
Berdasarkan peta tanah skala 1:50.000 (PUSLITTANAK, 1994), DAS
Separi dengan luas sekitar 233,66 km2 (23.366,36 Ha) memiliki 27 satuan peta
tanah (SPT). Berdasarkan dari 27 SPT tersebut, jenis tanah terbagi dalam 3
kelompok ordo tanah, yaitu : 1) Entisol, 2) Inceptisol, dan 3) Ultisol. Peta jenis
tanah skala 1:50.000 disajikan pada Gambar Lampiran 1 dan karakteristik fisik
tanah disajikan pada Tabel Lampiran 1.
Entisol di DAS Separi yang mendominasi pada SPT 12 adalah
Tropaquents dan terletak pada daerah dasar lembah atau jalur-jalur sungai
dengan relief datar. Luas tanah Entisol ini adalah 3.331 Ha atau 14% dari total
luas DAS. Menurut Ismangun, et al. (1997), Entisol merupakan tanah yang belum
mempunyai perkembangan penampang. Karakteristik tanah Entisol di daerah
penelitian adalah tekstur tanah liat, kadar C organik sedang, permeabilitas tanah
50
agak lambat, dan kedalaman efektif tanah sekitar 63 cm. Berdasarkan
karakteristik fisik tanah seperti tekstur tanah yang didominasi oleh liat tinggi dan
permeabilitas tanah yang agak lambat, maka tanah Entisol di DAS Separi di
klasifikasikan dalam kelompok tanah C menurut metode SCS (1996: dalam
Neitsch, et al., 2001). Hal ini menunjukkan bahwa tanah Entisol ini memiliki laju
infiltrasi yang lambat sehingga memiliki aliran permukaan (runoff) yang tinggi.
Selain itu, berdasarkan karakteristik tanah lainnya seperti kemampuan tanah
memegang air tanah yang cukup tinggi yakni 42% (Tabel Lampiran 1)
menunjukkan bahwa tanah Entisol ini juga memiliki kemampuan untuk
menyediakan air di musim kemarau. Secara umum, besarnya kemampuan tanah
memegang air dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan organik,
struktur tanah, dan kondisi permukaan tanah.
Inceptisol di DAS Separi yang mendominasi pada SPT 7, 8, 9, 10, 14, 18,
19, 22, dan 26 adalah Dystropepts dan Tropaquepts. Secara umumnya Inceptisol
di daerah penelitian terletak pada daerah bergelombang sampai berbukit (SPT 9,
10, 14, 18, 19, 22, dan 26) dan sebagian kecil terletak pada daerah datar (7 dan
8) (Gambar Lampiran 1 dan Tabel Lampiran 1). Luas tanah Inceptisol ini adalah
4.492 Ha atau 19% dari total luas DAS. Inceptisol merupakan tanah yang sedikit
mengalami perkembangan penampang dan dicirikan dengan sedikit adanya
pengumpulan liat di lapisan bawah (Soil Survey Staff, 1999). Karakteristik tanah
Inceptisol pada daerah bergelombang sampai berbukit adalah tekstur tanah
mulai dari pasir, lempung berpasir, lempung berdebu, dan lempung liat berpasir,
kadar C organik rendah sampai sedang, permeabilitas tanah sedang sampai
cepat, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 80 cm. Karakteristik tanah
Inceptisol pada daerah datar adalah tekstur tanah mulai dari liat berdebu, kadar
C organik sangat rendah sampai rendah, permeabilitas tanah sedang sampai
cepat, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 70 cm. Berdasarkan karakteristik
51
fisik tanah seperti tekstur tanah yang didominasi oleh Lempung berpasir dan
permeabilitas tanah sedang sampai cepat pada daerah bergelombang sampai
berbukit, maka tanah Inceptisol di DAS Separi di klasifikasikan dalam kelompok
tanah B menurut metode SCS (1996: dalam Neitsch, et al., 2001). Untuk daerah
datar di klasifikasikan dalam kelompok tanah C. Hal ini menunjukkan bahwa
tanah Inceptisol pada daerah bergelombang sampai berbukit memiliki laju
infiltrasi yang sedang sehingga memiliki aliran permukaan (runoff) agak rendah,
sedangkan pada daerah datar memiliki laju infiltrasi yang lambat dan memiliki
aliran permukaan (runoff) tinggi. Selain itu, berdasarkan karakteristik tanah
lainnya seperti kemampuan tanah memegang air tanah yang agak rendah
menunjukkan bahwa tanah Inceptisol ini memiliki kemampuan yang agak
terbatas dalam menyediakan air di musim kemarau.
Ultisol di DAS Separi yang mendominasi pada SPT 1, 2, 3, 4, 5, 6, 11, 13,
15, 16, 17, 20, 21, 23, 24, 25, dan 27 adalah Paleudults, Plinthudults, dan
Hapludults. Secara umumnya Ultisol di daerah penelitian terletak pada daerah
bergelombang sampai berbukit (SPT 1, 2, 3, 4, 5, 6, 13, 15, 16, 17, 20, 21, 23,
24, 25, dan 27) dan sebagian kecil terletak pada daerah datar (11) (Gambar
Lampiran 1 dan Tabel Lampiran 1). Luas tanah Ultisol ini adalah 15.543 Ha atau
67% dari total luas DAS. Ultisol merupakan tanah yang telah mempunyai
perkembangan penampang dan dicirikan oleh adanya peningkatan liat yang
cukup memenuhi syarat sebagai argilik dan memiliki kejenuhan basa kurang dari
35% pada lapisan bawah (Soil Survey Staff, 1999; Ismangun, et al., 1997).
Karakteristik tanah Ultisol pada daerah bergelombang sampai berbukit adalah
tekstur tanah mulai dari lempung berdebu, lempung berliat dan liat, kadar C
organik sangat rendah sampai sedang, permeabilitas tanah agak lambat sampai
sedang, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 60 cm. Karakteristik tanah Ultisol
pada daerah datar adalah tekstur tanah liat, kadar C organik rendah,
52
permeabilitas tanah agak lambat, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 80 cm.
Berdasarkan karakteristik fisik tanah seperti tekstur tanah yang didominasi oleh
lempung berdebu, lempung berliat dan liat, dan permeabilitas tanah agak lambat
sampai sedang pada daerah datar dan bergelombang sampai berbukit, maka
tanah Ultisol di DAS Separi di klasifikasikan dalam kelompok tanah C menurut
metode SCS (1996: dalam Neitsch, et al., 2001). Hal ini menunjukkan bahwa
tanah Ultisol pada daerah datar dan bergelombang sampai berbukit memiliki laju
infiltrasi yang lambat sehingga memiliki aliran permukaan (runoff) tinggi. Selain
itu, berdasarkan karakteristik tanah lainnya seperti kemampuan tanah
memegang air tanah yang sedang menunjukkan bahwa tanah Ultisol ini memiliki
kemampuan yang cukup dalam menyediakan air di musim kemarau.
Untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisik tanah terhadap laju infiltrasi
dan karakteristik unit hidrograf (respon hidrologis), maka dilakukan pengamatan
profil tanah pada tiap jenis penggunaan lahan di masing-masing Sub DAS (Sub
DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Usup). Peta
pengamatan profil tanah pada masing-masing jenis penggunaan lahan disajikan
pada Gambar 16 dan untuk karakteristik tanah pada masing-masing profil tanah
disajikan pada Tabel Lampiran 2.
4.5. Karakteristik Geomorfologi DAS
Untuk memprediksi banjir atau analisis unit hidrograf, maka diperlukan
gambaran atau informasi mengenai karakteristik geomorfologi DAS, baik itu
geometrik (luas DAS/Sub DAS, keliling, Indeks Gravelius, lebar dan panjang
persegi DAS/Sub DAS, ketinggian, dan kelerengan) maupun morfometrik
(panjang sungai utama, rata-rata panjang jaringan sungai, kerapatan jaringan
sungai/drainase, rasio percabangan sungai, dan rasio panjang sungai) sangat
diperlukan.
53
L1L2
L6
L3
L4
L5
L1L2
L6
L3
L4
L5
Gambar 16. Peta lokasi pengamatan profil dan infiltrasi tanah pada masing-masing Sub DAS di DAS Separi
Berdasarkan Gambar 14, karakteristik geometrik DAS Separi
merupakan DAS yang berukuran besar karena memiliki luas 233,66 km2 dan
keliling (perimeter) 88,89 km, serta mempunyai bentuk DAS memanjang. Bentuk
DAS Separi yang memanjang tersebut dicirikan oleh Indeks Gravelius (KG) 1,64.
Karakteristik geometrik DAS Separi yang berbentuk memanjang tersebut akan
menghasilkan unit hidrograf dengan debit puncak lebih rendah dan waktu menuju
debit puncak lebih lama dibanding dengan DAS yang berbentuk bulat dengan
ukuran luas yang sama dari suatu kejadian hujan. Hal ini terjadi akibat akumulasi
volume air pada titik keluaran (outlet) pada waktu yang tidak bersamaan dan
terbagi sepanjang jarak dari titik terjauh DAS sampai ke outlet. Dengan demikian,
resiko banjir dari DAS yang berbentuk memanjang lebih kecil dibandingkan
dengan DAS berbentuk bulat. Menurut Chow (1964) bahwa DAS yang
54
mempunyai bentuk memanjang akan memiliki rasio debit puncak dengan luas
DAS (Qp/A) dibandingkan dengan DAS yang mempunyai bentuk bulat. Indeks
Gravelius DAS sama dengan 1,00 merupakan DAS yang berbentuk bulat, dan
bila Indeks Graveliusnya berkisar antara 1,15 – 1,20 merupakan DAS berbentuk
persegi, serta bila DAS memiliki Indeks Gravelius > 1,20 merupakan DAS
berbentuk memanjang (Chow, 1964). Berdasarkan Tabel 8 dan Gambar 17, DAS
Badin, DAS Soyi, dan DAS Usup yang merupakan anak DAS Separi adalah DAS
yang berukuran kecil karena memiliki luas kurang dari 500 Ha dan mempunyai
bentuk DAS memanjang. Berdasarkan karakteristik geometrik, DAS Usup
mempunyai Indek Gravelius yang lebih besar dibandingkan dengan DAS Soyi
dan DAS Badin. Hal ini menunjukkan bahwa DAS Usup memiliki rasio debit
puncak dengan Luas DAS (Qp/A) yang lebih rendah dibandingkan dengan DAS
Soyi dan DAS Badin. Selain itu, berdasarkan bentuk lahan pada ketiga DAS
(Gambar 17) menunjukkan bahwa DAS Usup mempunyai banyak cekungan dan
kelerengan yang lebih rendah dibandingkan DAS Soyi dan DAS Badin sehingga
dengan banyaknya cekungan dan kelerengan yang lebih rendah tersebut akan
menghasilkan rasio debit puncak dengan Luas DAS (Qp/A) yang lebih rendah.
Tabel 8. Karakteristik geometrik DAS/Sub DAS di DAS Separi
Nama Luas Keliling Indek DAS Gravelius L I Hilir Hulu Hilir Hulu
(km2) (km) (KG) (km) (km) (m dpl.) (m dpl.) (%) (%)Separi 1) 233,66 88,98 1,64 38,80 6,02 10 - 25 >25 - 205 0 - 3 >3 - 35Badin 2) 0,49 3,26 1,32 1,25 0,39 18 - 25 >25 - 120 0 - 3 >3 - 15Soyi 2) 1,25 5,23 1,32 2,01 0,62 13 - 16 >16 - 135 0 - 3 >3 - 14Usup 2) 1,69 6,55 1,42 2,67 0,63 20 - 30 >30 - 80 0 - 3 >3 - 11
Persegi Ketinggian Kelerengan
Keterangan : 1) DAS, 2) Sub DAS, L = lebar persegi DAS, dan I = panjang persegi
Pola aliran sungai DAS Separi adalah dendritik atau menyerupai
percabangan pohon dengan panjang sungai utama, total panjang jaringan
sungai, dan kerapatan jaringan drainase masing-masing adalah 45,09 km,
55
1.235,37 km, dan 5,29 km/km2. Menurut Black (1996) pola aliran sungai
berpengaruh terhadap besarnya debit puncak dan lamanya waktu menuju debit
puncak. DAS dengan pola aliran sungai dendritik akan mempunyai debit puncak
yang lebih rendah dan waktu menuju debit puncak yang lebih lama dibandingkan
DAS dengan pola aliran sungai rectangular maupun radial. Selain itu, semakin
tinggi kerapatan jaringan drainase suatu DAS akan memmpunyai debit puncak
yang lebih rendah dan waktu menuju debit puncak lebih lama.
DAS Soyi
DAS Badin
DAS Usup
U
DAS Soyi
DAS Badin
DAS Usup
U
Gambar 17. Bentuk lahan Sub DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Usup
Tabel 9. Karakteristik Morfometrik DAS/Sub DAS di DAS Separi Nama Jenis Panjang Sungai Panjang Total Kerapatan DAS Jaringan Utama Jaringan Sungai Jaringan Sungai RB RL
Sungai (km) (km) (km/km2)Separi 1) Dendritik 45,09 1.235,37 5,29 4,63 2,23Badin 2) Dendritik 1,31 1,86 3,80 4,00 1,69Soyi 2) Dendritik 2,89 6,28 5,01 3,87 1,96Usup 2) Dendritik 2,93 7,76 4,59 3,87 2,01
Hukum Horton
Keterangan : Rb = rasio percabangan sungai, RL = rasio rata-rata panjang jaringansungai,
1) = DAS, dan 2) = Sub DAS
56
Rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio rata-rata panjang sungai (RL) di
DAS Separi menurut Hukum Horton masing-masing adalah 4,63 dan 2,23 (Tabel
9). Menurut Chow (1964) rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio rata-rata
panjang sungai (RL) memiliki peranan yang besar terhadap besarnya debit
puncak dan lamanya waktu menuju debit puncak. DAS yang memiliki rasio
percabangan sungai (Rb) dan rasio rata-rata panjang sungai (RL) yang lebih
tinggi akan memiliki debit puncak yang lebih rendah dan waktu menuju debit
puncak lebih lama. Menurut Schumm (1956:dalam Rodriguez-Itubo dan Valdes,
1979), rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio rata-rata panjang sungai (RL)
secara normal masing-masing berkisar antara 3 – 5 untuk Rb dan 1,5 – 3,5 untuk
RL.
Berdasarkan karakteristik morfometrik tersebut di atas menunjukkan
bahwa DAS Separi tidak akan menimbulkan banjir. Banjir yang terjadi di DAS
Separi disebabkan oleh faktor lain yakni peningkatan kecepatan aliran
permukaan. Rodriguez-Itubo dan Valdes (1979) dan Rodriguez-Itubo, et al.
(1992: dalam Rinaldo et al., 1992) menyatakan bahwa respon hidrologis atau
produksi aliran permukaan dari suatu DAS sangat dipengaruhi oleh parameter
geomorfologi DAS (geometrik dan morfometrik) yang cenderung statis (tetap)
dan kecepatan aliran permukaan (dinamis). Peningkatan kecepatan aliran
permukaan sangat dipengaruhi oleh menurunnya kekasaran permukaan lahan
akibat alih fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan. Hal ini
didukung dari hasil penelitian Mahe, et al. (2005) bahwa alih fungsi penggunaan
lahan hutan menjadi non hutan dari 43% pada tahun 1965 menjadi 13% pada
tahun 1995 di DAS Nakambe, Burkina-Faso berdampak negatif terhadap
menurunnya kapasitas tanah memegang air 33-62%, sehingga berdampak
lanjutan terhadap meningkatnya volume aliran permukaan (runoff) sebesar 60%.
Untuk karakteristik morfometrik Sub DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Soyi,
57
dan Sub DAS Separi-Usup disajikan pada Tabel 9.
Untuk rekonstruksi jaringan sungai/drainase dan penentuan order sungai
menurut Strahler pada DAS/Sub DAS Separi dilakukan analisis dengan
menggunakan data DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi 90 meter
yang dianalisis dari radar SRTM. Selain digunakan untuk merekonstruksi jaringan
drainase, data DEM tersebut digunakan untuk membatasi DAS secara akurat,
bila dibandingkan dengan menggunakan peta topografi/rupa bumi. Morisawa
(1959: dalam Helmlinger, et al., 1993) menyatakan bahwa secara umum hasil
rekonstruksi jaringan drainase dari peta topografi dengan skala 1:62.500 dan
1:24.000 yang dihasilkan oleh U.S. Geological Survey (USGS) tidak dapat
mendeteksi secara tepat jaringan sungai pada order ke-1, 2, dan 3. Hal ini juga
didukung dari hasil penelitian Coffman, et al. (1972: dalam Helmlinger, et al.,
1993) yang menunjukkan bahwa penggunaan peta topografi skala 1:24.000 dari
USGS dalam merekonstruksi jaringan sungai pada order ke-1 dan 2 adalah tidak
tepat atau meleset sejauh sekitar 1 km, bila dibandingkan dengan menggunakan
data DEM dengan resolusi 90 meter. Hasil rekonstruksi jaringan sungai dan
batas DAS/Sub DAS dari data DEM tersebut digunakan untuk menentukan
parameter geomorfologi DAS dan dimensi fraktal jaringan sungai DAS Separi
dan anak DAS Separi. Selanjutnya baru dilakukan perhitungan fungsi kerapatan
peluang (pdf) berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Duchesne dan
Cudennec (1998) pada persamaan 21. Irianto, et al. (2001) juga menggunakan
hasil rekonstruksi jaringan sungai dari peta rupabumi untuk menentukan
parameter Horton dan dimensi fraktal jaringan sungai, serta untuk menghitung
fungsi kerapatan peluang (pdf) di DAS Banyumanik, Jawa Tengah. Peta
rekonstruksi jaringan drainase DAS/Sub DAS Separi disajikan pada Gambar 18.
58
Gam
bar18. Peta
jaringansungaiD
AS
Separi, KutaiKartanegara, Kalimanatan
Timur
Gam
bar18. Peta
jaringansungaiD
AS
Separi, KutaiKartanegara, Kalimanatan
Timur
59
4.6. Jenis Penggunaan Lahan
Kondisi jenis penggunaan lahan di DAS Separi berdasarkan peta rupa
bumi skala 1:50.000 (BAKOSURTANAL, 1991), terdapat enam jenis penggunaan
lahan, yaitu : kawasan hutan, semak belukar, persawahan, pemukiman, kebun
atau ladang, dan tambang batu bara. Peta jenis penggunaan lahan pada tahun
1991 di DAS Separi disajikan pada Gambar 19. Berdasarkan Gambar 19,
komposisi luas penggunaan lahan pada tahun 1991 yang paling dominan adalah
kawasan hutan yang memiliki luas 93% (21.784,35 Ha), kemudian diikuti oleh
jenis penggunaan lahan semak belukar yang memiliki luas 4% (871,65 Ha),
tambang batubara memiliki luas 2% (465,34 Ha), persawahan memiliki luas 1%
(124,27 Ha), kebun/ladang memiliki luas 0,4% (100,46 Ha), dan kawasan
pemukiman yang memiliki luas 0,1% (20,28 Ha). Secara faktual antara tahun
1991 sampai dengan 1997 di DAS Separi tidak pernah terjadi banjir. Hal ini
menggambarkan bahwa selama 7 tahun (tahun 1991-1997) alih fungsi
penggunaan lahan hutan menjadi non hutan relatif rendah, sehingga kejadian
banjir pada tahun tersebut tidak pernah terjadi. Kemudian setelah tahun 1997
yakni antara tahun 1998-2006 (Gambar 1), kejadian banjir mengalami
peningkatan intensitas sebagai dampak negatif dari terjadinya alih fungsi lahan
yang tinggi.
60
Gambar 19. Peta jenis penggunaan lahan tahun 1991 di DAS Separi (BAKOSURTANAL, 1991)
61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Distribusi Curah Hujan
Untuk penyusunan suatu perencanaan pemanfaatan air, prediksi dan
perancangan pengendalian banjir dan kekeringan di suatu wilayah, maka perlu
dilakukan analisis distribusi curah hujan wilayah, dan bukan menggunakan curah
hujan pada suatu titik (stasiun iklim) tertentu saja. Analisis distribusi curah hujan
wilayah di DAS Separi yang mempunyai bentuk memanjang dilakukan dengan
menggunakan metode Thiessen seperti yang disajikan pada Gambar 13. Metode
Thiessen digunakan karena metode ini memiliki asumsi bahwa variasi curah
hujan antara stasiun iklim (AWS) di Separi dengan stasiun Lempake maupun
stasiun Marang Kayu memiliki hubungan yang linear dan tidak ada pengaruh
orografis dari stasiun-stasiun tersebut, serta pada daerah ini merupakan daerah
dengan relief datar sampai berbukit dan ketinggian <250 m dpl (di atas
permukaan laut).
Curah hujan tahunan wilayah DAS Separi adalah 1.990 mm dengan
curah hujan bulanan rata-rata terendah 47 mm yang terjadi pada bulan Agustus
dan curah hujan bulanan rata-rata tertinggi 246 mm yang terjadi pada bulan
Januari (Gambar 20). Curah hujan terendah pada bulan Agustus tersebut
ternyata memiliki peluang jumlah hari basah diikuti hari basah lebih tinggi
dibandingkan peluang jumlah hari kering diikuti hari kering yang masing-masing
adalah 67% dan 62%. Curah hujan tertinggi pada bulan Januari tersebut ternyata
memiliki peluang jumlah hari basah diikuti hari basah lebih tinggi dibandingkan
peluang jumlah hari kering diikuti hari kering yang masing-masing adalah 82%
dan 34%, sehingga pada bulan Januari ini memiliki jumlah curah hujan bulanan
yang tertinggi. Curah hujan wilayah di DAS Separi memiliki periode bulan basah
(bulan-bulan dengan curah hujan ≥ 100 mm per bulan) selama 10 bulan yang
62
terjadi pada bulan September sampai dengan Juni dengan peluang jumlah hari
basah diikuti hari kering berkisar antara 50 – 88%, peluang jumlah hari basah
diikuti hari basah berkisar antara 74 – 90%, peluang jumlah hari kering diikuti hari
kering berkisar antara 12 – 50%, dan peluang jumlah hari kering diikuti hari
basah berkisar antara 10 – 26%. Untuk periode bulan kering (bulan-bulan
dengan curah hujan < 60 mm per bulan) adalah selama 1 bulan yang terjadi
pada bulan Agustus dengan peluang jumlah hari basah diikuti hari kering 38%,
peluang jumlah hari basah diikuti hari basah 67%, peluang jumlah hari kering
diikuti hari kering 62%, dan peluang jumlah hari kering diikuti hari basah 33%
(Tabel Lampiran 3). Selain itu, untuk mengetahui seberapa besar kurva
frekuensi curah hujan terdistribusi secara simetris maupun tidak simetris
(menceng) dilakukan analisis kemencengan (skewness) (Soewarno, 1995).
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
Jan-
01Fe
b-01
Apr
-01
May
-01
Jul-0
1Se
p-01
Oct
-01
Dec
-01
Feb-
02M
ar-0
2M
ay-0
2Ju
l-02
Aug
-02
Oct
-02
Dec
-02
Jan-
03M
ar-0
3M
ay-0
3Ju
n-03
Aug
-03
Sep-
03N
ov-0
3Ja
n-04
Feb-
04A
pr-0
4Ju
n-04
Jul-0
4Se
p-04
Nov
-04
Dec
-04
Feb-
05M
ar-0
5M
ay-0
5Ju
l-05
Aug
-05
Oct
-05
Dec
-05
Cur
ah H
ujan
(mm
)
Hujan Separi Hujan Lempake Hujan Mr Kayu Hujan Rerata Wilayah
Gambar 20. Curah hujan bulanan tahun 2001 – 2005 di DAS Separi
Berdasarkan analisis data selama 5 tahun (tahun 2001 – 2005), curah hujan di
DAS Separi memiliki koefisien kemencengan (coefficient of skewness) yang
sama dengan nol (CS = 0,00), kecuali pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan
63
September yang masing-masing memiliki nilai koefisien kemencengan sekitar
0,01; 0,01; 0,07; dan 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi curah hujan di
DAS Separi adalah simetris, artinya rata-rata curah hujan tiap bulannya sama
dengan nilai mediannya (nilai tengah dari distribusi curah hujan).
Berdasarkan Gambar 20, distribusi curah hujan di DAS Separi yang
digambarkan oleh tiga stasiun iklim (AWS) tidak menyebar secara merata atau
memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. Hal ini didukung dari hasil analisis uji
berganda (uji berpasangan) di antara ketiga stasiun iklim yang menunjukkan
bahwa koefisien korelasi (r2) antara ketiga stasiun iklim memiliki nilai yang lebih
kecil dari 0,10 dan memiliki kemiringan (slope) garis (b) yang juga lebih kecil dari
0,43 (Tabel 10). Teixeira (2005) menyatakan bahwa data curah hujan antar
stasiun hujan memiliki tingkat homogenitas yang tinggi atau curah hujan tersebut
terdistribusi secara merata, jika hasil uji berganda di antara stasiun hujan
tersebut memiliki nilai koefisien korelasi (r2) lebih besar atau sama dengan 0,70
(r2 ≥ 0,70), dan memiliki nilai kemiringan garis (b) lebih besar atau sama dengan
0,70 dan atau lebih kecil sama dengan 1,30 (0,70 ≤ b ≤ 1,30).
Tabel 10. Uji berganda curah hujan dari stasiun iklim (AWS) Separi, Lempake, dan Marang Kayu antara tahun 2001 – 2005
Keterangan
SPI Vs LMP SPI Vs MKY LMP Vs MKY SPI Vs CHW LMP Vs CHW MKY Vs CHWr2 0,06 0,12 0,06 0,97 0,08 0,24b 0,23 0,29 0,22 1,07 0,33 0,62
r2 0,09 0,22 0,07 0,98 0,11 0,35b 0,29 0,42 0,24 1,05 0,36 0,71
r2 0,10 0,22 0,07 0,98 0,11 0,35b 0,29 0,42 0,24 1,05 0,36 0,71
Uji Berganda Curah Hujan Mingguan
Uji Berganda Curah Hujan Bulanan
Uji Berganda Curah Hujan Harian
Keterangan : SPI = AWS Separi, LMP = AWS Lempake, MKY = AWS Marang Kayu,
CHW = curah hujan wilayah, r2 = koefisien korelasi, dan b = kemiringan garis (slope)
64
Distribusi curah hujan wilayah yang menyebar secara tidak merata
(heterogen) dari ketiga stasiun iklim tersebut diatas berdampak negatif terhadap
tingkat akurasi dan presisi dalam pendugaan (prediksi) banjir (debit puncak dan
waktu menuju debit puncak) dan kekeringan di DAS Separi. Dalam pemodelan
hidrologi dengan menggunakan konsep unit hidrograf sesaat (IUH) sangat
dipengaruhi oleh kelengkapan seri data yang baik antara data curah hujan dan
debit (Chow, 1964). Menurut beberapa ahli hidrologi bahwa dalam pemodelan
banjir diperlukan kelengkapan seri data curah hujan yang baik dari beberapa
stasiun hujan di dalam DAS yang menggambarkan curah hujan wilayah dari DAS
tersebut, dan data pengamatan tinggi muka air, serta jenis penggunaan lahan
(Dutta et al., 2003; Francois et al., 2003).
Hasil analisis uji berganda menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
tingkat homogenitas atau keseragaman data curah hujan baik harian maupun
mingguan antara tiga stasiun Iklim Separi, Lempake, dan Marang Kayu dengan
stasiun Seleko. Berdasarkan Tabel 11, hubungan data curah hujan harian antara
stasiun Separi, Lempake, dan Marang Kayu dengan stasiun Seleko memiliki nilai
koefisien korelasi (r2) dan nilai kemiringan garis (b) yang masing-masing adalah
0,45 dan 0,72 (stasiun Separi dengan Seleko), 0,40 dan 0,34 (stasiun Lempake
dengan Seleko), dan 0,25 dan 0,42 (stasiun Marang Kayu dengan Seleko). Untuk
hubungan data curah hujan mingguan antara stasiun Separi, Lempake, dan
Marang Kayu dengan stasiun Seleko memiliki nilai koefisien korelasi (r2) dan nilai
kemiringan garis (b) yang masing-masing adalah 0,42 dan 0,87 (stasiun Separi
dengan Seleko), 0,59 dan 0,39 (stasiun Lempake dengan Seleko), dan 0,25 dan
0,55 (stasiun Marang Kayu dengan Seleko). Hal ini menunjukkan bahwa curah
hujan yang tercatat di stasiun curah hujan Seleko menggambarkan pola
penyebaran curah hujan yang merata di seluruh DAS Separi. Pola penyebaran
curah hujan yang merata di seluruh DAS Separi berdampak positif terhadap
65
peningkatan tingkat akurasi dan presisi dalam pendugaan banjir dan kekeringan.
Hal ini didukung dari hasil penelitian Dutta, et al. (2003) dan Francois, et al.
(2003) bahwa penempatan beberapa lokasi stasiun curah hujan secara benar di
DAS dapat meningkatkan tingkat akurasi pola penyebaran curah hujan wilayah,
sehingga berdampak positif terhadap meningkatnya tingkat akurasi model
pendugaan debit aliran permukaan (banjir).
Tabel 11. Uji berganda curah hujan dari stasiun iklim (AWS) Separi, Lempake, Marang Kayu, dan Seleko antara tanggal 22 Februari – 17 Mei 2006
KeteranganSPI Vs LMP SPI Vs MKY LMP Vs MKY SPI Vs SLK LMP Vs SLK MKY Vs SLK
r2 0,34 0,17 0,29 0,45 0,40 0,25b 1,14 0,53 0,35 0,72 0,34 0,42
r2 0,31 0,54 0,18 0,42 0,59 0,25b 1,50 0,90 0,19 0,87 0,39 0,55
Uji Berganda Curah Hujan Harian
Uji Berganda Curah Hujan Mingguan
Keterangan : Keterangan : SPI = AWS Separi, LMP = AWS Lempake, MKY = AWS
Marang Kayu, SLK = stasiun hujan Seleko, r2 = koefisien korelasi, dan b = kemiringan garis (slope)
5.2. Dampak Alih Fungsi Penggunaan Lahan Terhadap Banjir
Berdasarkan hasil analisis klasifikasi penggunaan/tutupan lahan dari citra
satelit landsat 7 TM tahun 1998 (perekaman tanggal 11 Februari 1998), bahwa
terdapat tujuh (7) jenis penggunaan lahan di DAS Separi, yaitu : hutan, semak
belukar, persawahan, pemukiman, kebun atau ladang, lahan terbuka, dan
tambang batu bara. Peta jenis penggunaan lahan DAS Separi tahun 1998
disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21, jenis penggunaan lahan
pada tahun 1998 yang paling dominan adalah kawasan hutan yang memiliki luas
40% (9.438,53 Ha), kemudian diikuti oleh jenis penggunaan lahan semak belukar
yakni 29% (6.685,89 Ha), lahan terbuka yang memiliki luas 27% (6.223,27 Ha),
tambang batubara yang memiliki luas 2% (465,34 Ha), kebun/ladang yang
memiliki luas 2% (408,76 Ha), persawahan yang memiliki luas 1% (118,84 Ha),
dan kawasan pemukiman yang memiliki luas 0,1% (25,73 Ha).
66
Berdasarkan hasil analisis klasifikasi penggunaan/tutupan lahan dari citra
satelit landsat 7 TM tahun 2005 (perekaman tanggal 10 September 2005),
terdapat tujuh jenis penggunaan lahan di DAS Separi, yaitu : hutan, semak
belukar, persawahan, pemukiman, kebun atau ladang, lahan terbuka, dan
tambang batu bara. Peta jenis penggunaan lahan DAS Separi tahun 2005
disajikan pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar 22, maka jenis penggunaan
lahan pada tahun 2005 yang paling dominan adalah kawasan semak belukar
yang memiliki luas 95% (22.089,67 Ha), kemudian diikuti oleh jenis penggunaan
lahan tambang batubara yang memiliki luas 2% (465,34 Ha), kebun/ladang yakni
2% (373,76 Ha), hutan yang memiliki luas 1% (261,59 Ha), persawahan yang
memiliki luas 1% (116,47 Ha), lahan terbuka yang memiliki luas 0,1% (31,16 Ha),
dan kawasan pemukiman yang memiliki luas 0,1% (28,38 Ha).
Gambar 21. Peta jenis penggunaan lahan tahun 1998 di DAS Separi
67
Berdasarkan peta jenis penggunaan lahan tahun 1991 (Gambar 18), peta
jenis penggunaan lahan tahun 1998 (Gambar 21), dan peta jenis penggunaan
lahan tahun 2005 (Gambar 22), secara spasial (ruang) dan temporal (waktu)
telah terjadi alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991 sampai tahun 1998
maupun tahun 2005. Selama 7 tahun yakni antara tahun 1991 sampai dengan
tahun 1998 telah terjadi alih fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan
terbuka, semak belukar, dan kebun/ladang yang masing-masing adalah sebesar
50%, 47%, dan 2% dari luas areal hutan 21.784,35 Ha pada tahun 1991 menjadi
9.438,53 Ha pada tahun 1998. Hal ini juga ditunjukkan dari penurunan luas hutan
sebesar 57% dan terjadi peningkatan luas semak belukar, lahan terbuka, dan
kebun/ladang yang masing-masing adalah 87%, 100%, dan 75% dibandingkan
tahun 1991 (Tabel 12).
Gambar 22. Peta jenis penggunaan lahan tahun 2005 di DAS Separi
68
Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2005 dari
hutan menjadi semak belukar adalah sebesar 100% dari luas areal hutan sekitar
9.438,53 Ha pada tahun 1998 menjadi 261,59 Ha pada tahun 2005. Hal ini juga
ditunjukkan dari penurunan luas hutan sebesar 97% dan terjadi peningkatan luas
semak belukar 70% (22.089,67 Ha) dibandingkan tahun 1998 yakni 6.685,89 Ha
(Tabel 12). Selama 15 tahun (tahun 1991 – 2005) telah terjadi alih fungsi
penggunaan lahan dari hutan menjadi semak belukar (98,58%), lahan terbuka
(0,15%) maupun kebun/lading (1,27%).
Tabel 12. Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991 – 2005 di DAS Separi
No. Jenis Penggunaan
Lahan 1991 1998 2005 1991 / 1998 1998 / 20051 Hutan 21.784,36 9.438,53 261,59 (56,67) (97,23) 2 Kebun/Ladang 100,46 408,76 373,76 75,42 (8,56) 3 Lahan Terbuka - 6.223,27 31,16 100,00 (99,50) 4 Pemukiman 20,28 25,73 28,38 21,17 9,34 5 Persawahan 124,27 118,84 116,47 (4,37) (1,99) 6 Semak Belukar 871,65 6.685,89 22.089,67 86,96 69,73 7 Tambang Batubara 465,34 465,34 465,34 - -
Luas (Ha) Pada Tahun Perubahan (%)
Keterangan : *) angka didalam kurung bernilai negatif (terjadi penurunan luas)
Dampak negatif terjadinya alih fungsi penggunaan lahan dari hutan
menjadi semak belukar (98,58%), lahan terbuka (0,15%) maupun kebun/lading
(1,27%) di DAS Separi adalah meningkatnya intensitas banjir di hilir DAS Separi.
Secara faktual telah terjadi peningkatan intensitas banjir pada tahun 2005 yang
terjadi sebanyak 2 kali yakni pada tanggal 22 Oktober dan 20 Desember 2005,
bila dibandingkan dengan sebelum tahun 2005 yang terjadi hanya sekali dalam
setahun yakni pada tanggal 27 Juni 1998, 9 Januari 2002, 15 Oktober 2003, 14
Maret 2004, dan 3 Mei 2006 (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa dampak
negatif alih fungsi penggunaan lahan adalah terjadinya peningkatan intensitas
banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Hasil penelitian
69
Mahe, et al. (2005) menyatakan bahwa akibat alih fungsi penggunaan lahan
hutan menjadi non hutan dari 43% pada tahun 1965 menjadi 13% pada tahun
1995 di DAS Nakambe, Burkina-Faso berdampak negatif terhadap menurunnya
kapasitas tanah memegang air 33-62%, sehingga berdampak lanjutan terhadap
meningkatnya volume aliran permukaan (runoff) sebesar 60%. Selain itu, hasil
penelitian Mahe, et al. (2005) juga menunjukkan bahwa dampak negatif akibat
alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan adalah penurunan jumlah
curah hujan tahunan sebesar 20%.
Tabel 13. Kejadian-kejadian banjir dengan curah hujan mingguan (7 hari) di DAS Separi selama tahun 1998 – 2005
No. Waktu Curah Hujan 7 Hari TMA Debit KeteranganSebelum Kejadian
(mm) (m) (m3/detik)1 27-Jun-98 128,00 tad tad Banjir2 9-Jan-02 119,65 3,73 75,07 Banjir3 17-Jun-02 84,06 2,97 53,40 -4 22-Nov-02 99,59 2,51 41,61 -5 7-Jan-03 76,58 2,93 52,34 -6 30-Mar-03 59,84 2,11 32,20 -7 15-May-03 84,98 3,51 68,46 -8 15-Oct-03 108,38 3,69 73,87 Banjir9 23-Jan-04 99,74 3,51 68,49 -
10 14-Mar-04 105,63 3,66 72,86 Banjir11 24-Nov-04 54,37 3,26 61,44 -12 26-Dec-04 64,06 3,33 63,41 -13 7-Jan-05 58,73 3,11 57,31 -14 25-Apr-05 11,81 3,55 69,83 -15 14-May-05 15,44 3,54 69,51 -16 22-Oct-05 160,56 3,74 75,52 Banjir17 20-Dec-05 104,06 3,66 73,01 Banjir18 3-May-06 107,58 3,76 75,94 Banjir
Keterangan : tad = tidak ada data (belum dipasang alat AWLR)
5.3. Pengaruh Karakteristik Tanah Terhadap Laju Infiltrasi Tanah
Untuk mengetahui pengaruh karakteristik tanah (tekstur, bobot isi, berat
jenis, kadar air, stabilitas agregat, dan C organik tanah) terhadap laju infiltrasi
tanah, maka dilakukan pengamatan laju infiltrasi tanah pada setiap Sub DAS
70
Separi (Sub DAS Separi-Usup, Sub DAS Separi-Soyi, Sub DAS Separi-Badin)
dan jenis penggunaan lahan dengan menggunakan ring ganda infiltrometer.
Pada kelas tekstur tanah lempung (L-3) dengan jenis penggunaan lahan adalah
palawija (jagung), yang mana persen pasir, debu, dan liat yang masing-masing
23%; 32%; dan 45%, bobot isi tanah 1,26 g/cm3, kadar air pada kondisi lapang
21%, dan kadar bahan organik 1,86% (Tabel Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi
awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta yang masing-masing
adalah 3,41 mm/menit; 0,75 mm/menit; dan 0,27 per menit (Tabel 14 dan
Gambar 23a). Pada kelas tekstur tanah lempung (L-6) dengan jenis penggunaan
lahan semak belukar (alang alang), yang mana persen pasir, debu, dan liat yang
masing-masing adalah 23%; 34%; dan 43%, bobot isi tanah 1,28 g/cm3, kadar air
pada kondisi lapang 27%, dan kadar bahan organik 1,69% (Tabel Lampiran 2)
memiliki laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta
yang masing-masing adalah 2,70 mm/menit; 0,36 mm/menit; dan 0,29 per menit
(Tabel 14 dan Gambar 23b).
Tabel 14. Nilai laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan atau jenuh (fc), dan konstanta penjenuhan (k) untuk masing-masing jenis penggunaan lahan pada masing-masing Sub DAS Separi
Jenis Penggunaan fo fc k LuasLahan (mm/menit) (mm/menit) (Ha)
Semak Belukar 3,86 0,50 0,11 154,23Kebun/Ladang 6,71 0,53 0,21 14,87
Semak Belukar 3,25 0,61 0,15 92,01Kebun/Ladang 5,29 0,61 0,24 33,42
Semak Belukar 2,70 0,36 0,29 28,86Kebun/Ladang 3,41 0,75 0,27 19,93
Sub DAS Separi-Badin
Sub DAS Separi-Soyi
Sub DAS Separi-Usup
Berdasarkan Gambar 23, laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan
(fc), dan konstanta pada jenis penggunaan lahan palawija (jagung) memiliki nilai
yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju infiltrasi pada jenis penggunaan lahan
71
semak belukar (alang alang). Pengaruh dari bobot isi tanah yang lebih rendah
dan tingginya bahan organik tanah pada jenis penggunaan lahan palawija
(jagung) dibandingkan pada jenis penggunaan lahan semak belukar (alang
alang) berpengaruh terhadap meningkatnya laju infiltrasi tanah. Hal ini didukung
dari hasil penelitian Yanrilla (2001), bahwa pengaruh karakteristik tanah (bobot
isi, struktur, dan bahan organik tanah) berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi
tanah, yang mana pada jenis penggunaan lahan pertanian (jagung) memeiliki
kapasitas infiltrasi tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
penggunaan lahan alang-alang, karena jenis penggunaan lahan pertanian
(jagung) memiliki kandungan bahan organik lebih tinggi dan bobot isi tanah lebih
rendah dibandingkan jenis penggunaan lahan alang-alang.
Pada kelas tekstur tanah pasir (L-1) dengan jenis penggunaan lahan
adalah palawija (jagung), dimana persen pasir, debu, dan liat yang masing-
masing adalah 56%; 28%; dan 16%, bobot isi tanah 1,20 g/cm3, kadar air pada
kondisi lapang 22%, dan kadar bahan organik 2,37% (Tabel Lampiran 2) memiliki
laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta yang
masing-masing adalah 5,29 mm/menit; 0,61 mm/menit; dan 0,24 per menit
(Tabel 14 dan Gambar 24a). Pada kelas tekstur tanah pasir (L-2) dengan jenis
penggunaan lahan semak belukar (Pahitan atau Centrosema), dimana persen
pasir, debu, dan liat yang masing-masing adalah 53%; 16%; dan 31%, bobot isi
tanah 1,28 g/cm3, kadar air pada kondisi lapang 23%, dan kadar bahan organik
2,55% (Tabel Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat
konstan, dan konstanta yang masing-masing adalah 3,25 mm/menit; 0,61
mm/menit; dan 0,15 per menit (Tabel 14 dan Gambar 24b). Berdasarkan Gambar
24, laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan (fc), dan konstanta
pada jenis penggunaan lahan palawija (jagung) memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan laju infiltrasi pada jenis penggunaan lahan semak belukar
72
(Pahitan atau Centrosema). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya bahan organik
tanah dan rendahnya bobot isi tanah pada jenis penggunaan lahan palawija
(jagung) dibandingkan pada jenis penggunaan lahan semak belukar (Pahitan
atau Centrosema) berpengaruh terhadap meningkatnya laju infiltrasi tanah.
B. Semak Belukar (Alang alang)Nash (%) = 26%
0
1
2
3
4
5
6
7
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320
WAKTU (menit)
INFI
LTR
ASI
(mm
/men
it)
Inf PengukuranInf Simulasi
A. Lahan Pertanian (Jagung)Nash (%) = 11
0
1
2
3
4
5
6
7
0 20 40 60 80 100 120
WAKTU (menit)
INFI
LTR
ASI
(mm
/men
it)
Inf PengukuranInf Simulasi
Gambar 23. Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) lahan pertanian (jagung) dan B) semak belukar (alang alang) di Sub DAS Separi-Badin
Pada kelas tekstur tanah liat (L-4) dengan jenis penggunaan lahan adalah
semak belukar (Pahitan atau Centrosema), dimana persen pasir, debu, dan liat
yang masing-masing adalah 39%; 22%; dan 39%, bobot isi tanah 1,37 g/cm3,
73
kadar air pada kondisi lapang 25%, dan kadar bahan organik 2,12% (Tabel
Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan
konstanta yang masing-masing adalah sekitar 3,86 mm/menit; 0,50 mm/menit;
dan 0,11 per menit (Tabel 14 dan Gambar 25a).
A. Lahan Pertanian (Jagung)
Nash (%) = 72
0
1
2
3
4
5
6
7
0 20 40 60 80 100 120 140 160
WAKTU (menit)
INFI
LTR
ASI
(mm
/men
it)
Inf PengukuranInf Simulasi
B. Semak Belukar (Pahitan)Nash (%) = 61
0
1
2
3
4
5
6
7
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220
WAKTU (menit)
INFI
LTR
ASI
(mm
/men
it)
Inf PengukuranInf Simulasi
Gambar 24. Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) lahan pertanian (jagung) dan B) semak belukar (Pahitan atau Centrosema) di Sub DAS Separi-Soyi
Pada kelas tekstur tanah liat (L-5) dengan jenis penggunaan lahan kebun/ladang
(lada), dimana persen pasir, debu, dan liat yang masing-masing adalah 35%; 9%;
dan 56%, bobot isi tanah 1,24 g/cm3, kadar air pada kondisi lapang 21%, dan
74
kadar bahan organik 3,02% (Tabel Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi awal (fo),
laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta yang masing-masing adalah 6,71
mm/menit; 0,53 mm/menit; dan 0,21 per menit (Tabel 14 dan Gambar 25b).
Berdasarkan Gambar 25, laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan
(fc), dan konstanta pada jenis penggunaan lahan kebun/ladang (lada) memiliki
nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju infiltrasi pada jenis penggunaan
lahan semak belukar (Pahitan atau Centrosema). Hal ini menunjukkan bahwa
tingginya bahan organik dan rendahnya bobot isi tanah pada jenis penggunaan
lahan kebun/ladang (lada) dibandingkan pada jenis penggunaan lahan semak
belukar (Pahitan atau Centrosema) berpengaruh terhadap meningkatnya laju
infiltrasi tanah.
Secara umum kapasitas infiltrasi tanah sangat dipengaruhi oleh faktor
tanah dan jenis penggunaan lahan, serta pengelolaan lahan (Napitupulu, 1998;
Rukaiyyah, 2001; Yanrilla, 2001; Thierfelder, et al., 2002). Karakteristik tanah
yang berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah adalah tekstur, struktur,
bobot isi, dan kandungai bahan organik tanah. Hal ini didukung dari hasil analisis
korelasi antara karakteristik tanah (kadar air, bobot isi, ruang pori total tanah,
kandungan bahan organik, fraksi tanah, dan indek stabilitas agregat tanah)
dengan laju infiltrasi tanah konstan yang menunjukkan bahwa bobot isi memiliki
korelasi yang lebih nyata (p=0,03) dibandingkan karakteristik tanah lainnya. Hasil
regresi hubungan antara karakteristik tanah sebagai variabel bebas terhadap
variabel tidak bebas (laju infiltrasi tanah konstan) didapatkan persamaan
matematis sebagai berikut :
fc = 3,64 – 2,38.BI (R2 = 73%) .…...................................................(39)
fc adalah laju infiltrasi tanah konstan (mm/menit) dan BI adalah bobot isi tanah
(g/cm3) (Tabel Lampiran 5). Berdasarkan hasil analisis regresi antara bobot isi
tanah terhadap laju infiltrasi tanah konstan (persamaan 39) dapatlah disimpulkan
75
bahwa menurunnya bobot isi tanah akan meningkatkan laju infiltrasi tanah
konstan.
A. Lahan Pertanian (Lada)
Nash (%) = 72
0
1
2
3
4
5
6
7
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
WAKTU (menit)
INFI
LTR
ASI
(mm
/men
it)
Inf PengukuranInf Simulasi
B. Semak Belukar (Pahitan)Nash (%) = 50
0
1
2
3
4
5
6
7
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
WAKTU (menit)
INFI
LTR
ASI
(mm
/men
it)
Inf PengukuranInf Simulasi
Gambar 25. Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis
penggunaan lahan A) kebun/ladang (lada) dan B) semak belukar (Pahitan atau Centrosema) di Sub DAS Separi-Usup
5.4. Pengaruh Karakteristik Tanah dan Geomorfologi DAS Terhadap Unit Hidrograf
Untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisik tanah (tekstur tanah) dan
geomorfologi DAS (geometrik dan morfometrik) terhadap karakteristik hidrologis
76
di DAS Separi, maka dilakukan pengamatan tinggi muka air pada masing-masing
Sub DAS Separi berdasarkan kelas tekstur tanah, yakni : 1) Sub DAS Separi-
Usup (tekstur tanah liat), 2) Sub DAS Separi-Soyi (tekstur tanah pasir), dan 3)
Sub DAS Separi-Badin (tekstur tanah lempung) (Gambar 12). Pengamatan tinggi
muka air pada ketiga Sub DAS Separi tersebut dilakukan dengan interval waktu 6
menitan dengan menggunakan metode V-Notch (Gambar Lampiran 2).
Berdasarkan hasil analisis statistik (ANOVA), terdapat perbedaan yang
nyata (α=5%) antara besarnya total debit aliran permukaan pada Sub DAS
Separi-Usup (tekstur tanah liat) dengan Sub DAS Separi-Badin (tekstur tanah
lempung), kecuali total debit aliran permukaan antara Sub DAS Separi-Usup
(tekstur tanah liat) dengan Sub DAS Separi-Soyi (tekstur tanah pasir) dan total
debit aliran permukaan antara Sub DAS Separi-Soyi (tekstur tanah pasir) dengan
Sub DAS Separi-Badin (tekstur tanah lempung). Hal ini menunjukkan Sub DAS
yang didominasi oleh tekstur tanah lempung memiliki total debit aliran permukaan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan debit puncak pada Sub DAS yang
didominasi oleh tekstur tanah pasir dan liat. Hasil analisis statistik (ANOVA)
untuk total debit aliran tunda dan dasar pada taraf nyata (α=5%) juga
menunjukkan bahwa total debit aliran tunda dan dasar antara ketiga Sub DAS
Separi tidak memiliki perbedaan yang nyata (Tabel 15). Namun demikian pada
Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah lempung mempunyai total debit
aliran tunda dan dasar yang lebih besar dibandingkan dengan Sub DAS yang
didominasi oleh tekstur tanah liat dan pasir. Hasil tersebut di atas secara teori
berlawanan, yang mana seharusnya Sub DAS yang yang didominasi oleh tanah
bertekstur liat memiliki total debit aliran permukaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur lempung
dan pasir. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor tanah lain seperti stabilitas,
77
struktur, dan dinamika pori tanah, serta karakteristik geomorfologi DAS. Selain
itu, berdasarkan karakteristik unit hidrograf dari ketiga Sub DAS menunjukkan
bahwa Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur liat mempunyai waktu
menuju debit puncak yang lebih cepat dibandingkan dengan Sub DAS yang
didominasi oleh tanah bertekstur lempung dan pasir (Gambar 26). Perbandingan
debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) antara ketiga Sub DAS
disajikan pada Tabel Lampiran 6. Berdasarkan Tabel Lampiran 6, waktu menuju
debit puncak antara Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur liat tidak
berbeda nyata (α=5%) dengan Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur
lempung, kecuali Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur pasir.
Tabel 15. Total debit aliran permukaan (Q ro) dan debit aliran tunda dan dasar (Q if+bf) antara ketiga Sub DAS pada beberapa episode hujan
No. WaktuUsup Soyi Badin Usup Soyi Badin(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 08/04/2006 7,87 9,63 tad 0,95 1,85 tad2 14/04/2006 5,52 10,28 17,65 7,81 1,69 6,083 23/04/2006 7,77 13,54 14,04 1,61 2,08 3,02
Rerata 7,05ab 11,15bc 15,85c 3,46a 1,88a 4,55a
Q ro Q if+bf
Keterangan : tad = tidak ada data dan hurup pada baris dan kolom parameter yang sama
menunjukkan kesamaan (α=5%)
Rodriguez-Itubo dan Valdes (1979) dan Rodriguez-Itubo, et al. (1992:
dalam Rinaldo et al., 1992) menyatakan bahwa produksi aliran permukaan dari
suatu DAS sangat dipengaruhi oleh parameter geomorfologi DAS yang
cenderung statis (tetap) dan kecepatan aliran permukaan (dinamis). Berdasarkan
karakteristik geomorfologi ketiga Sub DAS tersebut diatas, menunjukkan bahwa
Sub DAS Separi-Badin yang memiliki karakteristik geometrik (Indek Gravelius,
panjang sungai utama, dan rasio rata-rata panjang jaringan sungai) yang lebih
tinggi akan memiliki total debit aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan
78
dengan Sub DAS yang lainnya (Sub DAS Separi-Soyi dan Sub DAS Separi-
Usup) yang memiliki karakteristik geometrik lebih rendah (Gambar Lampiran 3).
0,00,10,20,30,40,50,60,70,80,91,0
08/0
4/20
06 4
:23
08/0
4/20
06 4
:53
08/0
4/20
06 5
:23
08/0
4/20
06 5
:53
08/0
4/20
06 6
:23
08/0
4/20
06 6
:53
08/0
4/20
06 7
:23
08/0
4/20
06 7
:53
08/0
4/20
06 8
:23
08/0
4/20
06 8
:53
08/0
4/20
06 9
:23
08/0
4/20
06 9
:53
08/0
4/20
06 1
0:23
08/0
4/20
06 1
0:53
08/0
4/20
06 1
1:23
08/0
4/20
06 1
1:53
08/0
4/20
06 1
2:23
08/0
4/20
06 1
2:53
08/0
4/20
06 1
3:23
08/0
4/20
06 1
3:53
08/0
4/20
06 1
4:23
08/0
4/20
06 1
4:53
08/0
4/20
06 1
5:23
08/0
4/20
06 1
5:53
08/0
4/20
06 1
6:23
Waktu
012345678910
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan DAS Usup (Tekstur Tanah Liat)DAS Soyi (Tekstur Tanah Pasir)
Gambar 26. Kurva unit hidrograf hasil pengukuran pada Sub DAS Separi-Usup,
Sub DAS Separi-Badin, dan Sub DAS Separi-Soyi pada episode hujan a) 8 April 2006, b) 14 April 2006, dan c) 23 April 2006
Deb
it (m
3 /det
ik)
0,00,10,20,30,40,50,60,70,80,91,0
14/0
4/20
06 1
6:59
14/0
4/20
06 1
7:35
14/0
4/20
06 1
8:11
14/0
4/20
06 1
8:47
14/0
4/20
06 1
9:23
14/0
4/20
06 1
9:59
14/0
4/20
06 2
0:35
14/0
4/20
06 2
1:11
14/0
4/20
06 2
1:47
14/0
4/20
06 2
2:23
14/0
4/20
06 2
2:59
14/0
4/20
06 2
3:35
15/0
4/20
06 0
:11
15/0
4/20
06 0
:47
15/0
4/20
06 1
:23
15/0
4/20
06 1
:59
15/0
4/20
06 2
:35
15/0
4/20
06 3
:11
15/0
4/20
06 3
:47
15/0
4/20
06 4
:23
15/0
4/20
06 4
:59
15/0
4/20
06 5
:35
15/0
4/20
06 6
:11
Waktu
012345678910
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan DAS Usup (Tekstur Tanah Liat)DAS Soyi (Tekstur Tanah Pasir)
Deb
it (m
3 /det
ik)
DAS Badin (Tekstur Tanah Lempung)
0,00,10,20,30,40,50,60,70,80,91,0
23/0
4/20
06 4
:41
23/0
4/20
06 5
:23
23/0
4/20
06 6
:05
23/0
4/20
06 6
:47
23/0
4/20
06 7
:29
23/0
4/20
06 8
:11
23/0
4/20
06 8
:53
23/0
4/20
06 9
:35
23/0
4/20
06 1
0:17
23/0
4/20
06 1
0:59
23/0
4/20
06 1
1:41
23/0
4/20
06 1
2:23
23/0
4/20
06 1
3:05
23/0
4/20
06 1
3:47
23/0
4/20
06 1
4:29
23/0
4/20
06 1
5:11
23/0
4/20
06 1
5:53
23/0
4/20
06 1
6:35
23/0
4/20
06 1
7:17
23/0
4/20
06 1
7:59
23/0
4/20
06 1
8:41
23/0
4/20
06 1
9:23
23/0
4/20
06 2
0:05
23/0
4/20
06 2
0:47
Waktu
012345678910
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan DAS Usup (Tekstur Tanah Liat)DAS Soyi (Tekstur Tanah Pasir)
Deb
it (m
3 /det
ik)
DAS Badin (Tekstur Tanah Lempung)
79
Selain itu, Sub DAS yang memiliki karakteristik morfometrik (Indek Gravelius dan
kerapatan jaringan sungai) lebih rendah (Gambar Lampiran 4) dan kecuraman
lereng DAS lebih tinggi (Gambar 17) akan memiliki waktu menuju debit puncak
yang lebih cepat dibandingkan Sub DAS yang memiliki karakteristik morfometrik
(Indek Gravelius dan kerapatan jaringan sungai) lebih tinggi dan kecuraman
lereng DAS lebih rendah.
5.5. Model Pendugaan Banjir
Untuk menduga banjir, maka ada dua besaran (magnitude) penting yang
harus dikomputasi secara akurat dalam analisis banjir, yaitu : debit puncak (peak
discharge) dan waktu menuju debit puncak (time to peak discharge). Pemodelan
banjir ini didasarkan pada 2 bagian, yaitu : 1) pemodelan fungsi produksi
(perhitungan curah hujan efektif dari curah hujan bruto) dan 2) pemodelan fungsi
transfer (simulasi debit aliran permukaan).
5.5.1. Fungsi Produksi Air DAS
Pada pemodelan fungsi produksi didasarkan pada 3 metode, yaitu : A)
perhitungan curah hujan efektif berdasarkan koefisien runoff (Kr), B) perhitungan
curah hujan efektif berdasarkan intersepsi dan infiltrasi, dan C) perhitungan curah
hujan efektif berdasarkan sifat fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) pada
lapisan atas.
Perhitungan curah hujan efektif berdasarkan koefisien runoff (Kr)
didasarkan pada persamaan 23 dan penentuan koefisien runoff (Kr) didasarkan
pada persamaan 24. Nilai koefisien runoff (Kr) pada tiap episode hujan dan
masing-masing Sub DAS disajikan pada Tabel 16. Pada penentuan volume
aliran permukaan yang digunakan dalam perhitungan koefisien runoff (Kr)
didasarkan dari separasi hidrograf. Separasi hidrograf pada masing-masing Sub
DAS disajikan pada Gambar Lampiran 5, 6, dan 7. Berdasarkan Tabel 16,
80
koefisien runoff (Kr) pada Sub DAS Separi-Usup (tekstur tanah liat) untuk ketiga
episode hujan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai
koefisien runoff pada Sub DAS Separi-Soyi (tekstur tanah pasir) dan Sub DAS
Separi-Badin (tekstur tanah lempung). Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik
geomorfologi DAS (panjang total jaringan sungai, kerapatan jaringan sungai,
indek gravelius, dan rasio rata-rata panjang jaringan sungai) lebih berpengaruh
terhadap besarnya debit puncak dan waktu menuju debit puncak dibandingkan
dengan karakteristik fisik tanah (tekstur tanah).
Tabel 16. Koefisien runoff (Kr) pada tiap episode hujan dan masing-masing Sub DAS
Episode PbT
Hujan Vro Kr Vro Kr Vro Kr(mm) (mm) (mm) (mm)
31-Mei-06 21,60 3,67 0,17 4,50 0,21 8,11 0,3806-Apr-06 11,22 2,14 0,19 4,30 0,38 6,28 0,5608-Apr-06 45,01 7,87 0,17 9,63 0,21 tad tad
14-Apr-06 30,88 5,52 0,18 10,28 0,33 17,65 0,5723-Apr-06 40,53 7,77 0,19 13,54 0,33 14,04 0,35
Sub DAS Separi-Usup Sub DAS Separi-Soyi Sub DAS Separi-Badin
Keterangan : PbT = total curah hujan bruto, Vro = total volume aliran permukaan, dan tad
= tidak ada data
Perhitungan curah hujan efektif berdasarkan selisih antara curah hujan
bruto yang tercatat di penangkar hujan (Pb) dengan jumlah air yang diintersepsi
oleh tanaman (INTCP) dan air yang diinfiltrasikan ke dalam tanah f(t) didasarkan
pada persamaan 25. Analisis intersepsi menggunakan metode Von Hoyningen-
Huene (1981: dalam de Roo, 1999) dan untuk analisis LAI (leaf area index)
digunakan data citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005. Hasil
analisis LAI dengan menggunakan data citra Landsat 7 TM, menunjukkan bahwa
pada Sub DAS Separi-Usup untuk jenis penggunaan lahan semak belukar
memiliki nilai LAI 5,39 m2/m2 dan untuk jenis penggunaan lahan kebun/ladang
(campuran antara tanaman lada dan jagung) memiliki nilai LAI 3,46 m2/m2 (Tabel
17). Untuk Sub DAS Separi-Soyi jenis penggunaan lahan semak belukar memiliki
81
nilai LAI 5,11 m2/m2 dan untuk jenis penggunaan lahan kebun/ladang (campuran
antara tanaman jagung dan kedelai) memiliki nilai LAI 3,46 m2/m2 (Tabel 17).
Untuk Sub DAS Separi-Badin jenis penggunaan lahan semak belukar memiliki
nilai LAI 5,30 m2/m2 dan untuk jenis penggunaan lahan kebun/ladang (jagung)
memiliki nilai LAI 3,38 m2/m2, serta untuk jenis penggunaan lahan persawahan
memiliki nilai LAI sekitar 3,26 m2/m2 (Tabel 17). Peta LAI (Leaf Area Index) DAS
Separi dari hasil analisis dengan menggunakan citra Landsat 7 TM perekaman
tanggal 10 September 2005 disajikan pada Gambar Lampiran 8. Hasil penentuan
nilai LAI tersebut di atas, didukung dari hasil penelitian dari PUSLITBANGTANAK
(2001), yang mana nilai LAI untuk jenis penggunaan padi sawah 3,08 m2/m2,
tegalan (kacang tanah) 3,40 m2/m2, tegalan (ubi kayu) 3,17 m2/m2, tegalan
(jagung) 3,31 m2/m2, dan hutan primer 9,37 m2/m2. Parameterisasi model
intersepsi tanaman menggunakan data pada Tabel 17. Analisis infiltrasi tanah di
lapangan untuk ketiga Sub DAS Separi (Sub DAS Separi-Usup, Sub DAS
Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Badin) dengan menggunakan ring ganda
infiltrometer dan parameterisasi model infiltrasi tanah dengan menggunakan
metode Horton (1940: dalam Bedient dan Huber, 1992) (Tabel 14). Persamaan
infiltrasi menurut model Horton tersebut telah banyak digunakan dalam analisis
simulasi debit aliran permukaan (pemodelan hidrologi), seperti : HYSIM (Manley,
2006), MARINE (Estupina-Borrell et al., 2006), dan SWMM (Huber and
Dickinson, 1988:dalam Rossman, 2004). Hal ini dikarenakan penggunaan
persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir (debit
puncak aliran permukaan dan waktu respon) memiliki hasil yang lebih baik dan
lebih konsisten untuk beberapa kejadian banjir dibandingkan dengan
penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Philip (1957: dalam Bedient dan
Huber, 1992) dan SCS (1972: dalam Chahinian et al., 2004) dalam pendugaan
banjir (Chahinian et al., 2004). Selain itu, hasil penelitian Chahinian et al. (2004)
82
menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam
pendugaan banjir tidak lebih baik dibandingkan dengan penggunaan persamaan
infiltrasi menurut model Morel-Seytoux (1978: dalam Chahinian et al., 2004)
dalam pendugaan banjir.
Perhitungan curah hujan efektif berdasarkan sifat fisik tanah disusun
berdasarkan analisis regresi berganda antara curah hujan bruto dan sifat fisik
tanah (kapasitas tanah menyimpan air) sebagai variabel bebas dengan curah
hujan efektif sebagai variabel tak bebas. Hasil analisis regresi berganda antara
curah hujan bruto dan kapasitas tanah menyimpan air sebagai variabel bebas
terhadap curah hujan efektif sebagai variabel tak bebas didapatkan persamaan
matematis sebagai berikut :
Pn(t) = 0,0437 + 0,287.Pb – 0,00234.Ws (R2=84%) ....................(40)
yang mana, Pn(t) adalah curah hujan efektif (mm), 0,0437 adalah konstanta,
0,287 adalah koefisien curah hujan bruto, Pb adalah curah hujan bruto (mm),
0,00234 adalah koefisien kapasitas tanah menyimpan air, dan Ws adalah
kapasitas tanah menyimpan air (mm).
Tabel 17. Analisis LAI (Leaf Area Index) dengan menggunakan citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005
No.
Semak Kebun / Semak Kebun / Semak Kebun / Persawa-Belukar Ladang Belukar Ladang Belukar Ladang han
1 5,35 3,32 5,35 3,32 5,39 3,64 3,162 5,39 3,87 4,22 3,87 5,39 3,46 3,323 5,20 3,46 4,58 3,46 5,10 3,32 3,364 5,57 3,74 4,47 3,74 5,10 3,37 3,325 5,48 3,46 5,48 3,46 5,48 3,24 3,326 5,38 3,32 5,38 3,32 5,57 3,32 3,167 5,29 3,32 5,29 3,32 5,57 3,32 3,208 5,48 3,46 5,48 3,46 5,10 3,46 -9 5,22 3,32 5,22 3,32 5,20 3,32 -
10 5,58 3,32 5,58 3,32 5,10 3,32 -Total 53,94 34,59 51,05 34,59 53,00 33,77 22,84
Rerata 5,39 3,46 5,11 3,46 5,30 3,38 3,26
LAI (m2/m2) LA 2/m2)Sub DAS Separi-BadinSub DAS Separi-Usup
LAI (m2/m2)Sub DAS Separi-Soyi
I (m
83
5.5.2. Fungsi Transfer Air DAS
Dalam fungsi transfer air DAS dianalisis berdasarkan pengukuran
panjang jaringan sungai/drainase. Rekonstruksi jaringan didasarkan dari hasil
analisis SIG dengan menggunakan data DEM SRTM resolusi 90 meter. Peta
rekonstruksi jaringan sungai/drainase DAS Separi (termasuk didalamnya Sub
DAS Separi-Usup, Sub DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Badin) dapat
dilihat pada Gambar 18. Berdasarkan data panjang jaringan sungai/drainase
pada Gambar 18, serta waktu respon, maka dapat dibuat kurva fungsi kerapatan
peluang (pdf).
Untuk DAS Separi yang memiliki rata-rata panjang sungai dari order 1
sampai ke outlet adalah 21,67 km dengan waktu respon 25 jam dan kecepatan
aliran air rata-rata 0,24 m per detik akan memiliki nilai fungsi kerapatan peluang
(pdf) tertinggi 0,0034 yang terletak pada sungai yang memiliki panjang sungai
antara 14.388 – 14.475 m (Gambar 27a). Untuk Sub DAS Separi-Usup yang
memiliki rata-rata panjang sungai dari order 1 sampai ke outlet adalah 1,84 km
(1.840 m) dengan rata-rata waktu respon antara 2,2 sampai 2,4 jam dan
kecepatan aliran air rata-rata 0,15 m per detik memiliki nilai fungsi kerapatan
peluang (pdf) tertinggi 0,026 yang terletak pada sungai yang memiliki panjang
sungai antara 498 – 543 m (Gambar 27b). Untuk Sub DAS Separi-Soyi yang
memiliki rata-rata panjang sungai dari order 1 sampai ke outlet adalah 1,54 km
(1.537 m) dengan waktu respon antara 4,8 sampai 6,6 jam dan kecepatan aliran
air rata-rata 0,10 m per detik memiliki nilai fungsi kerapatan peluang (pdf)
tertinggi 0,020 yang terletak pada sungai yang memiliki panjang sungai antara
440 – 474 m (Gambar 27c).
84
B. Sub DAS Separi-Usup
0,000
0,005
0,010
0,015
0,020
0,025
0,030
0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 2750 3000Panjang Lintasan (m)
A. DAS Separi
0,00000,00050,00100,00150,00200,00250,00300,00350,0040
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000Panjang Lintasan (m)
C. Sub DAS Separi-Soyi
0,000
0,005
0,010
0,015
0,020
0,025
0,030
0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 2750 3000Panjang Lintasan (m)
D. Sub DAS Separi-Badin
0,000
0,005
0,010
0,015
0,020
0,025
0,030
0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 2750 3000Panjang Lintasan (m)
Gambar 27. Kurva fungsi kerapatan peluang (pdf) untuk a) DAS Separi, b) Sub DAS Separi-Usup, c) Sub DAS Separi-Soyi, dan d) Sub DAS Separi-Badin
85
Untuk Sub DAS Separi-Badin yang memiliki rata-rata panjang sungai dari order 1
sampai ke outlet adalah 0,74 km (738,89 m) dengan waktu respon antara 2,1
sampai 2,8 jam dan kecepatan aliran air rata-rata 0,07 m per detik memiliki nilai
fungsi kerapatan peluang (pdf) tertinggi 0,020 yang terletak pada sungai yang
memiliki panjang sungai antara 343 – 369 m (Gambar 27d). Parameterisasi
model fungsi kerapatan peluang (pdf) pada Gambar 27 digunakan dalam
pemodelan fungsi transfer yakni simulasi debit aliran permukaan yang
merupakan hasil proses konvolusi antara curah hujan efektif dengan fungsi
kerapatan peluang (pdf) dan luas DAS.
Secara umum berdasarkan bentuk kurva hubungan fungsi kerapatan
peluang dengan panjang sungai yang relatif normal (Gambar 27a) akan
mempunyai potensi banjir relatif kecil di DAS Separi. Hal ini berbeda sekali
dengan bentuk kurva hubungan fungsi kerapatan peluang dengan panjang
sungai Sub DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Usup, dan Sub DAS Separi-Soyi
yang lebih condong ke kiri (Gambar 27b, 27c, dan 27d) akan menghasilkan
potensi banjir atau meningkatnya debit puncak dan mempercepat waktu menuju
debit puncak yang lebih tinggi.
Hasil analisis simulasi pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju
debit puncak) dengan menggunakan 3 metode perhitungan curah hujan efektif
(metode A, B, dan C) pada ketiga Sub DAS, yaitu : Sub DAS Separi-Usup, Sub
DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Badin menunjukkan bahwa hasil simulasi
memiliki kemiripan atau tingkat akurasi yang cukup tinggi (α=5%) antara debit
puncak dan waktu menuju debit puncak aliran permukaan antara hasil
pengukuran dengan hasil simulasi, kecuali debit puncak aliran permukaan hasil
simulasi pada Sub DAS Separi-Usup dan Sub DAS Separi-Badin (Tabel 18).
86
Berdasarkan Tabel 18, debit puncak dan waktu menuju debit puncak rata-
rata hasil simulasi dengan menggunakan metode A dan B untuk Sub DAS
Separi-Usup yang didominasi tekstur tanah liat memiliki hasil yang sama (α=5%),
kecuali penggunaan metode C yang memiliki nilai lebih tinggi (over estimate)
30% atau hasil yang berbeda dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hal ini
ditunjukkan dari hasil uji akurasi dengan menggunakan kriteria Nash dan
Sutcliffe, yang mana pendugaan banjir dengan menggunakan metode A secara
konsisten dapat digunakan untuk menduga debit puncak dan waktu menuju debit
puncak dengan tingkat akurasi yang tinggi (F rata-rata=96%) dibandingkan
dengan menggunakan metode B (F rata-rata=81%) dan metode C (F rata-
rata=45%) di Sub DAS Separi-Usup (Gambar 28). Hal ini menunjukkan bahwa
pendugaan banjir dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi metode C
(persamaan 40) kurang mampu menduga debit puncak aliran permukaan untuk
Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat.
Tabel 18. Debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) hasil pengukuran dengan simulasi dari 3 metode untuk ketiga Sub DAS
EpisodeHujan Q p tp Q p tp Q p tp Q p tp
(m3/detik) (jam) (m3/detik) (jam) (m3/detik) (jam) (m3/detik) (jam)
08-Apr-06 0,79 2,5 0,79 2,8 0,70 1,7 1,26 2,814-Apr-06 0,64 2,3 0,59 2,4 0,69 2,5 0,92 2,323-Apr-06 0,77 3,1 0,67 3,0 0,59 2,0 0,97 3,0Rerata 0,74a 2,6a 0,68a 2,7a 0,66a 2,1a 1,05b 2,7a
08-Apr-06 0,59 5,0 0,60 4,8 0,66 3,9 0,82 4,814-Apr-06 0,57 5,9 0,60 4,8 0,55 5,0 0,53 4,823-Apr-06 0,77 7,1 0,80 6,9 0,63 6,2 0,71 7,0Rerata 0,64a 6,0a 0,66a 5,5a 0,61a 5,0a 0,69a 5,5a
14-Apr-06 0,46 3,5 0,43 3,6 0,38 3,8 0,21 3,423-Apr-06 0,50 3,3 0,35 4,0 0,47 3,5 0,28 3,8Rerata 0,48a 3,4a 0,39a 3,8a 0,42a 3,7a 0,25b 3,6a
Sub DAS Separi-Soyi
Sub DAS Separi-Badin
Sub DAS Separi-Usup
Pengukuran Metode A Metode B Metode C
Keterangan : hurup pada baris dan kolom parameter yang sama menunjukkan kesamaan
dan sebaliknya (α=5%)
87
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
08/0
4/20
06 4
:23
08/0
4/20
06 4
:53
08/0
4/20
06 5
:23
08/0
4/20
06 5
:53
08/0
4/20
06 6
:23
08/0
4/20
06 6
:53
08/0
4/20
06 7
:23
08/0
4/20
06 7
:53
08/0
4/20
06 8
:23
08/0
4/20
06 8
:53
08/0
4/20
06 9
:23
08/0
4/20
06 9
:53
08/0
4/20
06 1
0:23
08/0
4/20
06 1
0:53
08/0
4/20
06 1
1:23
08/0
4/20
06 1
1:53
08/0
4/20
06 1
2:23
08/0
4/20
06 1
2:53
08/0
4/20
06 1
3:23
08/0
4/20
06 1
3:53
08/0
4/20
06 1
4:23
08/0
4/20
06 1
4:53
08/0
4/20
06 1
5:23
08/0
4/20
06 1
5:53
08/0
4/20
06 1
6:23
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode B) - Nash (%) = 78 Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 97Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 16
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
14/0
4/20
06 1
6:11
14/0
4/20
06 1
6:41
14/0
4/20
06 1
7:11
14/0
4/20
06 1
7:41
14/0
4/20
06 1
8:11
14/0
4/20
06 1
8:41
14/0
4/20
06 1
9:11
14/0
4/20
06 1
9:41
14/0
4/20
06 2
0:11
14/0
4/20
06 2
0:41
14/0
4/20
06 2
1:11
14/0
4/20
06 2
1:41
14/0
4/20
06 2
2:11
14/0
4/20
06 2
2:41
14/0
4/20
06 2
3:11
14/0
4/20
06 2
3:41
15/0
4/20
06 0
:11
15/0
4/20
06 0
:41
15/0
4/20
06 1
:11
15/0
4/20
06 1
:41
15/0
4/20
06 2
:11
15/0
4/20
06 2
:41
15/0
4/20
06 3
:11
15/0
4/20
06 3
:41
15/0
4/20
06 4
:11
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode B) - Nash (%) = 95Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 97)
Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 59
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
23/0
4/20
06 4
:41
23/0
4/20
06 5
:11
23/0
4/20
06 5
:41
23/0
4/20
06 6
:11
23/0
4/20
06 6
:41
23/0
4/20
06 7
:11
23/0
4/20
06 7
:41
23/0
4/20
06 8
:11
23/0
4/20
06 8
:41
23/0
4/20
06 9
:11
23/0
4/20
06 9
:41
23/0
4/20
06 1
0:11
23/0
4/20
06 1
0:41
23/0
4/20
06 1
1:11
23/0
4/20
06 1
1:41
23/0
4/20
06 1
2:11
23/0
4/20
06 1
2:41
23/0
4/20
06 1
3:11
23/0
4/20
06 1
3:41
23/0
4/20
06 1
4:11
23/0
4/20
06 1
4:41
23/0
4/20
06 1
5:11
23/0
4/20
06 1
5:41
23/0
4/20
06 1
6:11
23/0
4/20
06 1
6:41
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode B) - Nash (%) = 71Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 94)
Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 61
Gambar 28. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Usup
88
Hasil analisis debit puncak aliran permukaan dan waktu menuju debit
puncak rata-rata hasil simulasi untuk Sub DAS Separi-Soyi yang didominasi
tekstur tanah pasir dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi metode A,
B, dan C memiliki hasil yang sama (α=5%) dibandingkan dengan hasil
pengukuran (Tabel 18). Hal ini ditunjukkan dari hasil uji akurasi, yang mana
pendugaan banjir dengan menggunakan metode A secara konsisten lebih tinggi
tingkat akurasinya (F rata-rata=94%) dibandingkan dengan menggunakan
metode B (F rata-rata=86%) dan metode C (F rata-rata=78%) di Sub DAS
Separi-Soyi (Gambar 29). Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan banjir dengan
menggunakan metode A, B, dan C mampu menduga debit puncak aliran
permukaan untuk Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah pasir.
Hasil analisis debit puncak aliran permukaan dan waktu menuju debit
puncak rata-rata hasil simulasi untuk Sub DAS Separi-Badin yang didominasi
tekstur tanah lempung dengan menggunakan metode A dan B memiliki hasil
yang sama (α=5%) dibandingkan dengan hasil pengukuran, kecuali pendugaan
banjir dengan menggunakan metode C (Tabel 18). Debit puncak rata-rata hasil
simulasi dengan metode C pada Sub DAS ini memiliki nilai yang lebih rendah
(under estimate) 48% dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hal ini ditunjukkan
dari hasil uji akurasi dengan menggunakan kriteria Nash dan Sutcliffe, yang
mana pendugaan banjir dengan menggunakan metode B secara konsisten dapat
digunakan untuk menduga debit puncak dan waktu menuju debit puncak dengan
tingkat akurasi yang tinggi (F rata-rata=91%) dibandingkan dengan
menggunakan metode A (F rata-rata=87%) dan metode C (F rata-rata=62%) di
Sub DAS Separi-Badin (Gambar 30). Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan
banjir dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi metode C (persamaan
40) masih kurang mampu menduga debit puncak aliran permukaan untuk Sub
DAS Separi-Badin yang didominasi oleh tekstur tanah lempung.
89
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
08/0
4/20
06 4
:23
08/0
4/20
06 4
:59
08/0
4/20
06 5
:35
08/0
4/20
06 6
:11
08/0
4/20
06 6
:47
08/0
4/20
06 7
:23
08/0
4/20
06 7
:59
08/0
4/20
06 8
:35
08/0
4/20
06 9
:11
08/0
4/20
06 9
:47
08/0
4/20
06 1
0:23
08/0
4/20
06 1
0:59
08/0
4/20
06 1
1:35
08/0
4/20
06 1
2:11
08/0
4/20
06 1
2:47
08/0
4/20
06 1
3:23
08/0
4/20
06 1
3:59
08/0
4/20
06 1
4:35
08/0
4/20
06 1
5:11
08/0
4/20
06 1
5:47
08/0
4/20
06 1
6:23
08/0
4/20
06 1
6:59
08/0
4/20
06 1
7:35
08/0
4/20
06 1
8:11
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode B) - Nash (%) = 85Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 93Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 45
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
14/0
4/20
06 1
6:11
14/0
4/20
06 1
6:47
14/0
4/20
06 1
7:23
14/0
4/20
06 1
7:59
14/0
4/20
06 1
8:35
14/0
4/20
06 1
9:11
14/0
4/20
06 1
9:47
14/0
4/20
06 2
0:23
14/0
4/20
06 2
0:59
14/0
4/20
06 2
1:35
14/0
4/20
06 2
2:11
14/0
4/20
06 2
2:47
14/0
4/20
06 2
3:23
14/0
4/20
06 2
3:59
15/0
4/20
06 0
:35
15/0
4/20
06 1
:11
15/0
4/20
06 1
:47
15/0
4/20
06 2
:23
15/0
4/20
06 2
:59
15/0
4/20
06 3
:35
15/0
4/20
06 4
:11
15/0
4/20
06 4
:47
15/0
4/20
06 5
:23
15/0
4/20
06 5
:59
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode B) - Nash (%) = 90Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 98)
Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 98
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
23/0
4/20
06 4
:41
23/0
4/20
06 5
:29
23/0
4/20
06 6
:17
23/0
4/20
06 7
:05
23/0
4/20
06 7
:53
23/0
4/20
06 8
:41
23/0
4/20
06 9
:29
23/0
4/20
06 1
0:17
23/0
4/20
06 1
1:05
23/0
4/20
06 1
1:53
23/0
4/20
06 1
2:41
23/0
4/20
06 1
3:29
23/0
4/20
06 1
4:17
23/0
4/20
06 1
5:05
23/0
4/20
06 1
5:53
23/0
4/20
06 1
6:41
23/0
4/20
06 1
7:29
23/0
4/20
06 1
8:17
23/0
4/20
06 1
9:05
23/0
4/20
06 1
9:53
23/0
4/20
06 2
0:41
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode B) - Nash (%) = 82Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 90)
Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 92
Gambar 29. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Soyi
90
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
14/0
4/20
06 1
6:11
14/0
4/20
06 1
6:47
14/0
4/20
06 1
7:23
14/0
4/20
06 1
7:59
14/0
4/20
06 1
8:35
14/0
4/20
06 1
9:11
14/0
4/20
06 1
9:47
14/0
4/20
06 2
0:23
14/0
4/20
06 2
0:59
14/0
4/20
06 2
1:35
14/0
4/20
06 2
2:11
14/0
4/20
06 2
2:47
14/0
4/20
06 2
3:23
14/0
4/20
06 2
3:59
15/0
4/20
06 0
:35
15/0
4/20
06 1
:11
15/0
4/20
06 1
:47
15/0
4/20
06 2
:23
15/0
4/20
06 2
:59
15/0
4/20
06 3
:35
15/0
4/20
06 4
:11
15/0
4/20
06 4
:47
15/0
4/20
06 5
:23
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode B) - Nash (%) = 97Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 96)
Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 55
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
23/0
4/20
06 4
:35
23/0
4/20
06 5
:05
23/0
4/20
06 5
:35
23/0
4/20
06 6
:05
23/0
4/20
06 6
:35
23/0
4/20
06 7
:05
23/0
4/20
06 7
:35
23/0
4/20
06 8
:05
23/0
4/20
06 8
:35
23/0
4/20
06 9
:05
23/0
4/20
06 9
:35
23/0
4/20
06 1
0:05
23/0
4/20
06 1
0:35
23/0
4/20
06 1
1:05
23/0
4/20
06 1
1:35
23/0
4/20
06 1
2:05
23/0
4/20
06 1
2:35
23/0
4/20
06 1
3:05
23/0
4/20
06 1
3:35
23/0
4/20
06 1
4:05
23/0
4/20
06 1
4:35
23/0
4/20
06 1
5:05
23/0
4/20
06 1
5:35
23/0
4/20
06 1
6:05
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode B) - Nash (%) = 85Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 77)
Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 68
Gambar 30. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 14/04/2006 dan b) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Badin
Secara umum dari Gambar 28, 29, dan 30 menunjukkan bahwa
pemodelan fungsi produksi (curah hujan efektif) dengan menggunakan metode A
(koefisien runoff/Kr) secara konsisten dapat memprediksi banjir (debit puncak
dan waktu menuju debit puncak) dengan tingkat akurasi yang tinggi (F>92%) di
ketiga Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat (DAS Usup), tekstur
91
tanah pasir (DAS Soyi), dan tekstur tanah lempung (DAS Badin) untuk beberapa
episode hujan. Untuk pemodelan curah hujan efektif dengan menggunakan
metode B juga dapat memprediksi banjir dengan tingkat akurasi yang tinggi
(F>85%) di ketiga Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat (DAS Usup),
tekstur tanah pasir (DAS Soyi), dan tekstur tanah lempung (DAS Badin) pada
beberapa episode hujan. Hasil penelitian Kartiwa dan Irianto (2001) menunjukkan
bahwa pemodelan debit aliran permukaan dengan menggunakan pemodelan
fungsi produksi metode koefisien aliran permukaan (Kr) di Sub DAS Kripik, DAS
Kaligarang, Semarang memiliki tingkat akurasi sedang (F = 68%) menurut kriteria
Nash dan Sutcliffe. Untuk pemodelan debit aliran permukaan yang dilakukan di
Sub DAS Bunder, DAS Oyo, Gunungkidul, Yogyakarta dengan menggunakan
pemodelan fungsi produksi dengan memperhitungkan parameter intersepsi
tanaman dan infiltrasi tanah didapatkan hasil dengan tingkat akurasi yang tinggi
menurut kriteria Nash dan Sutcliffe yakni lebih dari 70% (Heryani, 2001;
Sarjiman, 2004). Tingkat akurasi yang lebih tinggi dari hasil penelitian ini yakni
lebih dari 92% untuk pemodelan fungsi produksi metode A dibandingkan dengan
hasil penelitian Kartiwa dan Irianto (2001) menunjukkan bahwa pemodelan debit
aliran permukaan juga sangat dipengaruhi oleh pemodelan fungsi transfer.
Demikian juga dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi dari hasil penelitian ini
yakni lebih dari 85% untuk pemodelan fungsi produksi metode B dibandingkan
dengan hasil penelitian Heryani (2001) dan Sarjiman (2004) menunjukkan bahwa
pemodelan debit aliran permukaan ini juga sangat dipengaruhi oleh pemodelan
fungsi transfer. Dalam pemodelan fungsi transfer sangat dipengaruhi oleh tingkat
akurasi dalam rekonstruksi jaringan sungai, karena dalam perhitungan fungsi
transfer diperlukan parameter fungsi kerapatan peluang (pdf) dan dalam
parametrisasi fungsi kerapatan peluang tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat
akurasi dalam rekonstruksi jaringan sungai. Rekonstruksi jaringan sungai dalam
92
penelitian ini menggunakan data DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi
90 meter dan penggunaan data DEM ini meningkatkan tingkat akurasi hasil
dibandingkan dengan peta topografi. Hal ini didukung dari hasil penelitian
Helmlinger et al. (1993) bahwa hasil rekonstruksi jaringan drainase dengan
menggunakan data DEM memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan menggunakan peta topografi.
Untuk pemodelan curah hujan efektif dengan menggunakan metode C
(persamaan 40) tidak cukup mampu dalam memprediksi banjir dan hal ini
ditunjukkan dari tingkat akurasi yang sedang (F<53%) di dua Sub DAS yang
didominasi oleh tekstur tanah liat (DAS Usup) dan tekstur tanah lempung (DAS
Badin), sedangkan pada Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah pasir (DAS
Soyi) pemodelan curah hujan efektif dengan menggunakan metode C
(persamaan 40) dapat memodelkan debit aliran permukaan dengan tingkat
akurasi yang tinggi (F>78%) pada beberapa episode hujan. Tingginya debit aliran
permukaan hasil simulasi pada metode C (persamaan 40) dibandingkan dengan
hasil pengukuran pada Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat (DAS
Usup) dikarenakan curah hujan bruto yang masuk ke dalam tanah lebih rendah,
sehingga menyebabkan debit aliran permukaan hasil simulasi lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil pengukuran. Apabila kapasitas menyimpan air tanah
ditingkatkan dari kedalaman 20 cm menjadi 60 cm atau terjadi peningkatan
kapasitas menyimpan air tanah 200%, maka akan menurunkan jumlah curah
hujan efektif masing-masing sebesar 27% (8/04/2006), 23% (14/04/2006), dan
28% (23/04/2006), sehingga akan menurunkan debit aliran permukaan yang
mendekati dengan hasil pengukuran dan hal ini akan meningkatkan tingkat
akurasi sebesar 87% (Gambar 31).
93
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
08/0
4/20
06 4
:23
Gambar 31. Perbandingan debit aliran permukaan hasil simulasi dengan metode C sebelum dan setelah dilakukan penambahan kedalaman stok air tanah dari 20 cm menjadi 60 cm terhadap hasil pengukuran untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Usup
08/0
4/20
06 4
:53
08/0
4/20
06 5
:23
08/0
4/20
06 5
:53
08/0
4/20
06 6
:23
08/0
4/20
06 6
:53
08/0
4/20
06 7
:23
08/0
4/20
06 7
:53
08/0
4/20
06 8
:23
08/0
4/20
06 8
:53
08/0
4/20
06 9
:23
08/0
4/20
06 9
:53
08/0
4/20
06 1
0:23
08/0
4/20
06 1
0:53
08/0
4/20
06 1
1:23
08/0
4/20
06 1
1:53
08/0
4/20
06 1
2:23
08/0
4/20
06 1
2:53
08/0
4/20
06 1
3:23
08/0
4/20
06 1
3:53
08/0
4/20
06 1
4:23
08/0
4/20
06 1
4:53
08/0
4/20
06 1
5:23
08/0
4/20
06 1
5:53
08/0
4/20
06 1
6:23
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi - Nash (%) = 16Q simulasi (+ Stok Air Tanah 200%) - Nash (%) = 80
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
14/0
4/20
06 1
6:11
14/0
4/20
06 1
7:11
14/0
4/20
06 1
7:41
14/0
4/20
06 1
8:11
14/0
4/20
06 1
8:41
14/0
4/20
06 1
9:11
14/0
4/20
06 1
9:41
14/0
4/20
06 2
0:11
14/0
4/20
06 2
0:41
14/0
4/20
06 2
1:11
14/0
4/20
06 2
1:41
14/0
4/20
06 2
2:11
14/0
4/20
06 2
2:41
14/0
4/20
06 2
3:11
14/0
4/20
06 2
3:41
15/0
4/20
06 0
:11
15/0
4/20
06 0
:41
15/0
4/20
06 1
:11
15/0
4/20
06 1
:41
15/0
4/20
06 2
:11
15/0
4/20
06 2
:41
15/0
4/20
06 3
:11
15/0
4/20
06 3
:41
15/0
4/20
06 4
:11
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode C) - Nash (%) = 59Q simulasi (+Stok Air Tanah 200%) - Nash (%) = 92
4104
/200
6 16
:14
/
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
23/0
4/20
06 4
:41
04
23/0
4/20
06 5
:41
23/0
4/20
06 6
:11
23/0
4/20
06 6
:41
23/0
4/20
06 7
:11
23/0
4/20
06 7
:41
23/0
4/20
06 8
:11
23/0
4/20
06 8
:41
23/0
4/20
06 9
:11
23/0
4/20
06 9
:41
23/0
4/20
06 1
0:11
23/0
4/20
06 1
0:41
23/0
4/20
06 1
1:11
23/0
4/20
06 1
1:41
23/0
4/20
06 1
2:11
23/0
4/20
06 1
2:41
23/0
4/20
06 1
3:11
23/0
4/20
06 1
3:41
23/0
4/20
06 1
4:11
23/0
4/20
06 1
4:41
23/0
4/20
06 1
5:11
23/0
4/20
06 1
5:41
23/0
4/20
06 1
6:11
23/0
4/20
06 1
6:41
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (Metode C) - Nash (%) = 61Q simulasi (+ Stok Air Tanah 200%) - Nash (%) = 89
/200
6 5:
1123
/
94
Rendahnya debit aliran permukaan hasil simulasi pada metode C (persamaan
40) dibandingkan dengan hasil pengukuran pada Sub DAS yang didominasi oleh
tekstur tanah lempung (DAS Badin) dikarenakan curah hujan bruto yang masuk
ke dalam tanah lebih tinggi, sehingga menyebabkan debit aliran permukaan hasil
simulasi jauh lebih rendah (under estimate) dibandingkan dengan hasil
pengukuran. Apabila kapasitas menyimpan air tanah diturunkan dari kedalaman
20 cm menjadi 6 cm atau penurunan kapasitas menyimpan air tanah 70%, maka
akan meningkatkan jumlah curah hujan efektif masing-masing sebesar 64%
(14/04/2006) dan 33% (23/04/2006), sehingga akan meningkatkan debit aliran
permukaan yang mendekati dengan hasil pengukuran dan hal ini akan
meningkatkan tingkat akurasi sebesar 68% (Gambar 32).
Untuk pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) di
DAS Separi, maka dilakukan ekstrapolasi dari ketiga model fungsi produksi ke
seluruh DAS dengan cara membagi DAS Separi dalam beberapa Sub DAS
menurut metode Strahler (1957:dalam Rodriguez-Iturbo dan Valdes, 1979)
seperti disajikan pada Gambar 33. Selanjutnya dilakukan penentuan waktu
tempuh dari masing-masing keluaran (outlet) Sub DAS sampai ke outlet DAS
Separi berdasarkan panjang lintasan sungai dan kecepatan aliran rata-rata
(Tabel 19). Waktu tempuh debit aliran air dari Sub DAS Separi-01 sampai
dengan outlet DAS Separi adalah 17,5 jam dengan panjang sungai (jarak) 30,2
km dan kecepatan rata-rata aliran air 0,48 m per detik. Waktu tempuh debit
aliran air dari masing-masing Sub DAS Separi sampai dengan outlet DAS Separi
disajikan pada Tabel 19. Perhitungan waktu tempuh dari masing-masing
keluaran (outlet) Sub DAS sampai ke outlet DAS Separi sangat penting sekali
dalam kaitannya dengan pendugaan waktu respon atau waktu menuju debit
puncak di outlet DAS Separi.
95
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
14/0
4/20
06 1
6:11
14/0
4/20
06 1
6:47
14/0
4/20
06 1
7:23
14/0
4/20
06 1
7:59
14/0
4/20
06 1
8:35
14/0
4/20
06 1
9:11
14/0
4/20
06 1
9:47
14/0
4/20
06 2
0:23
14/0
4/20
06 2
0:59
14/0
4/20
06 2
1:35
14/0
4/20
06 2
2:11
14/0
4/20
06 2
2:47
14/0
4/20
06 2
3:23
14/0
4/20
06 2
3:59
15/0
4/20
06 0
:35
15/0
4/20
06 1
:11
15/0
4/20
06 1
:47
15/0
4/20
06 2
:23
15/0
4/20
06 2
:59
15/0
4/20
06 3
:35
15/0
4/20
06 4
:11
15/0
4/20
06 4
:47
15/0
4/20
06 5
:23
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi - Nash (%) = 55Q simulasi (- Stok Air Tanah 70%) - Nash (%) = 72
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
23/0
4/20
06 4
:35
23
Gambar 32. Perbandingan debit aliran permukaan hasil simulasi dengan metode C sebelum dan setelah dilakukan penambahan kedalaman stok air tanah dari 20 cm menjadi 6 cm terhadap hasil pengukuran untuk episode hujan a) 14/04/2006 dan b) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Badin
Analisis pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak)
pada beberapa episode hujan dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi
metode A dan B di DAS Separi memiliki hasil yang mendekati dengan debit
puncak hasil pengukuran (α=5%), kecuali metode C dan untuk waktu menuju
debit puncak memiliki hasil yang mendekati dengan waktu menuju debit puncak
hasil pengukuran (Tabel 20).
/04/
2006
5:
23/0
4/20
06 5
:35
23/0
4/20
06 6
:05
23/0
4/20
06 6
:35
23/0
4/20
06 7
:05
23/0
4/20
06 7
:35
23/0
4/20
06 8
:05
23/0
4/20
06 8
:35
23/0
4/20
06 9
:05
23/0
4/20
06 9
:35
23/0
4/20
06 1
0:05
23/0
4/20
06 1
0:35
23/0
4/20
06 1
1:05
23/0
4/20
06 1
1:35
23/0
4/20
06 1
2:05
23/0
4/20
06 1
2:35
23/0
4/20
06 1
3:05
23/0
4/20
06 1
3:35
23/0
4/20
06 1
4:05
23/0
4/20
06 1
4:35
23/0
4/20
06 1
5:05
23/0
4/20
06 1
5:35
23/0
4/20
06 1
6:05
23/0
4/20
06 1
6:35
23/0
4/20
06 1
7:05
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi - Nash (%) = 68Q simulasi (- Stok Air Tanah 70%) - Nash (%) = 65
05
96
Gambar 33. Peta pembagian DAS Separi menjadi sepuluh Sub DAS
Tabel 19. Waktu tempuh debit aliran air dari masing-masing Sub DAS ke outlet DAS Separi
Sub DAS Jarak Tempuh Kecepatan Aliran(m) (m/detik) (jam) (6 menit)
1 30.200 0,48 17,5 1.050 2 30.200 0,49 17,0 1.022 3 26.930 0,46 16,2 972 4 23.530 0,43 15,3 918 5 12.340 0,32 10,6 636 6 11.150 0,31 9,9 594 7 7.300 0,29 6,9 414 8 6.100 0,30 5,7 344 9 4.910 0,32 4,3 258
Waktu Tempuh
Berdasarkan Tabel 20, rata-rata debit puncak hasil simulasi dengan
metode A memiliki debit puncak yang lebih tinggi (2%), dan untuk metode B dan
C memiliki debit puncak rata-rata yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil
pengukuran yang masing-masing adalah 9% (metode B) dan 33% (metode C).
Waktu menuju debit puncak hasil simulasi dengan menggunakan metode A
97
memiliki nilai rata-rata yang mendekati dengan hasil pengukuran (α=5%),
sedangkan untuk metode B dan C memiliki nilai rata-rata waktu menuju debit
puncak yang lebih lama dibandingkan dengan hasil pengukuran yakni masing-
masing adalah 2 jam (metode B) dan 4 jam (metode C). Namun demikian ada
beberapa kejadian banjir yang tidak dapat yang tidak dapat di simulasi (diduga)
secara akurat oleh ketiga metode tersebut. Hal ini dikarenakan oleh 2 faktor,
yaitu: 1) distribusi curah hujan yang tidak merata di DAS Separi dan 2) tinggi
muka air di sungai Mahakam. Distribusi curah hujan yang tidak merata di DAS
Separi ditunjukkan dari hasil analisis uji homogenitas di 3 stasiun iklim (Tabel
10), yang mana memiliki tingkat homogenitas yang rendah. Untuk pengaruh
tinggi muka air di sungai Mahakam ditunjukkan dari karakteristik unit hidrograf
pada Gambar Lampiran 9, kejadian banjir (9 Januari 2002 dan 15 Oktober 2003)
dengan lamanya waktu banjir 3 hari. Dua faktor ini mempunyai pengaruh yang
cukup besar dalam keakuratan pendugaan banjir di DAS Separi.
Tabel 20. Debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) pada beberapa episode hujan di DAS Separi
EpisodeHujan Q p tp Q p tp Q p tp Q p tp
(m3/detik) (jam) (m3/detik) (jam) (m3/detik) (jam) (m3/detik) (jam)09-Jan-02 65,61 18,0 67,94 20,0 33,50 23,2 32,49 30,315-Okt-03 71,62 18,0 71,34 19,1 93,72 22,3 69,28 17,514-Mar-04 56,41 16,0 85,14 17,1 76,83 15,8 37,19 16,229-Jan-05 52,09 11,7 26,09 9,4 21,12 10,9 21,28 13,226-Mar-06 40,04 24,9 40,05 22,2 34,45 28,3 32,54 29,4
Rerata 57,15 a 17,8 a 58,11 a 17,4 a 51,92 a 20,0 a 38,56 b 21,2 a
Pengukuran Metode A Metode B Metode C
Keterangan : hurup pada baris dan kolom parameter yang sama menunjukkan kesamaan
dan sebaliknya (α=5%)
5.6. Penerapan Model Banjir
Untuk pengelolaan DAS Separi dalam kaitannya dengan perencanaan
tata guna lahan, maka dilakukan berbagai skenario perubahan penggunaan
lahan dengan menggunakan model banjir (metode B). Penggunaan metode B
98
didasarkan bahwa metode tersebut memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan dapat
menjelaskan perubahan penggunaan lahan secara spasial (ruang), sehingga
dapat digunakan atau diterapkan untuk membuat simulasi model pengelolaan
DAS Separi.
Skenario 0 merupakan skenario penggunaan lahan tahun 2005, yang
mana jenis penggunaan lahan hutan, kebun/ladang, lahan terbuka, pemukiman,
persawahan, semak belukar, dan tambang batubara memiliki luas yang masing-
masing adalah 261,59 Ha; 373,76 Ha; 31,16 Ha; 28,38 Ha; 116,47 Ha; 22.089,67
Ha; dan 465,34 Ha. Skenario 1 merupakan skenario yang mana luas hutan
mengalami peningkatan 99%, dan luas kebun/ladang, lahan terbuka, dan semak
belukar mengalami penurunan masing-masing sebesar 10%, 100%, dan 96%
dibandingkan penggunaan lahan tahun 2005 (skenario 0). Reboisasi atau
menghutankan kembali kondisi lahan-lahan pada skenario 1 berarti
mengembalikan komposisi luas penggunaan lahan seperti pada tahun 1991
(Gambar 19). Skenario 2 merupakan skenario dengan luas penggunaan lahan
hutan mengalami peningkatan sebesar 98% pada bagian tengah dan hilir dari
DAS Separi, sehingga luas lahan terbuka dan semak belukar pada bagian
tengah dan hilir dari DAS Separi mengalami penurunan masing-masing sebesar
100% dan 50% dibandingkan penggunaan lahan tahun 2005 (skenario 0).
Skenario 3 merupakan skenario dengan luas penggunaan lahan hutan yang
mengalami peningkatan sebesar 98% pada bagian hulu dan tengah dari DAS
Separi, sehingga luas kebun/ladang, lahan terbuka, dan semak belukar di bagian
hulu dan tengah dari DAS Separi mengalami penurunan masing-masing sebesar
10%, 100% dan 56% dibandingkan penggunaan lahan skenario 0. Skenario 4
merupakan skenario dengan luas penggunaan lahan hutan yang mengalami
penurunan sebesar 59%, dan luas kebun/ladang dan pemukiman mengalami
peningkatan masing-masing sebesar 48% dan 50% dibandingkan penggunaan
99
lahan skenario 0. Skenario perubahan komposisi luas penggunaan lahan DAS
Separi disajikan pada Tabel 21 dan skenario perubahan komposisi luas
penggunaan lahan pada masing-masing Sub DAS Separi secara detail disajikan
pada Tabel Lampiran 7.
Tabel 21. Skenario perubahan luas penggunaan lahan dan proses hidrologi di DAS Separi
No. Jenis PenggunaanLahan Skenario 0 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
1. Hutan 261,49 21.313,95 11.280,01 12.574,77 107,88 2. Kebun/Ladang 490,21 443,64 490,21 443,64 943,39 3. Lahan Terbuka 31,16 - - 13,25 31,16 4. Pemukiman 28,38 28,38 28,38 28,38 56,76 5. Persawahan 116,47 116,47 116,47 116,47 116,47 6. Semak Belukar 21.974,74 1.000,00 10.987,37 9.725,93 21.646,79 7. Tambang Batubara 463,92 463,92 463,92 463,92 463,92
Curah Hujan bruto (mm) 110,00 110,00 110,00 110,00 110,00Intersepsi (mm) 3,96 5,44 4,71 4,84 3,95Infiltrasi (mm) 59,73 71,44 66,00 65,28 59,57Curah Hujan netto (mm) 46,31 33,11 39,28 39,88 46,48Debit Puncak (m3/detik) 92,95 61,81 76,56 74,61 96,14Waktu Puncak (jam) 23,8 25,6 24,4 25,5 22,0
Curah Hujan bruto (mm) 56,48 56,48 56,48 56,48 56,48 Intersepsi (mm) 1,98 2,71 2,35 2,41 1,97 Infiltrasi (mm) 35,18 38,91 37,14 37,41 35,13 Curah Hujan netto (mm) 19,32 14,85 16,99 16,66 19,37 Debit Puncak (m3/detik) 34,45 27,30 31,20 29,89 36,37 Waktu Puncak (jam) 28,3 29,3 28,5 28,7 25,3
Luas (Ha)
Episode Hujan 14 - 17 Oktober 2003
Episode Hujan 25 - 28 Maret 2006
Berdasarkan hasil analisis simulasi pada skenario 1, 2, dan 3 dengan
peningkatan luas hutan dan penurunan luas lahan terbuka dan semak belukar
berdampak terhadap meningkatnya kapasitas intersepsi dan infiltrasi tanah, dan
menurunkan aliran permukaan (curah hujan netto), sehingga berdampak lanjutan
terhadap menurunnya debit puncak aliran permukaan dan memperlambat waktu
menuju debit puncak dibandingkan pada skenario 0. Hasil analisis simulasi pada
skenario 4 dengan penurunan luas hutan dan meningkatnya areal pemukiman
dan kebun/ladang berdampak terhadap menurunnya kapasitas intersepsi dan
100
infiltrasi tanah, dan meningkatkan aliran permukaan, sehingga berdampak
lanjutan terhadap meningkatnya debit puncak aliran permukaan dan
mempercepat waktu menuju debit puncak dibandingkan pada skenario 0 (Tabel
21).
Pada skenario 1 terjadinya peningkatan luas hutan sebesar 99% dan
pengurangan luas lahan terbuka dan semak belukar yang masing-masing
sebesar 100% dan 96% pada seluruh DAS (seperti penggunaan lahan tahun
1991) berdampak terhadap meningkatnya kapasitas intersepsi dan infiltrasi tanah
yang masing-masing sebesar 27% dan 10 – 16%, dan menurunkan aliran
permukaan (curah hujan netto) sebesar 30 – 40%, sehingga berdampak lanjutan
terhadap menurunnya debit puncak aliran permukaan sebesar 26 – 50% dan
memperlambat waktu menuju debit puncak sebesar 1 – 1,8 jam dibandingkan
debit puncak pada skenario 0 (Gambar 34). Peningkatan luas hutan sebesar
98% dan penurunan luas semak belukar sebesar 50% pada bagian tengah dan
hilir dari DAS Separi (skenario 2) hanya dapat menurunkan debit puncak aliran
permukaan sebesar 10 – 21% dan memperlambat waktu menuju debit puncak
sebesar 0,2 – 0,6 jam. Pada skenario 3 terjadinya peningkatan luas hutan
sebesar 98% dan pengurangan luas lahan terbuka dan semak belukar yang
masing-masing sebesar 58% dan 56% pada bagian hulu dan tengah dari DAS
Separi berdampak terhadap meningkatnya kapasitas intersepsi dan infiltrasi
tanah yang masing-masing sebesar 18% dan 6 – 9%, dan menurunkan aliran
permukaan (curah hujan netto) sebesar 16%, sehingga berdampak lanjutan
terhadap menurunnya debit puncak aliran permukaan sebesar 15 – 25% dan
memperlambat waktu menuju debit puncak sebesar 0,4 – 1,7 jam dibandingkan
debit puncak pada skenario 0. Pada skenario 4, peningkatan luas kebun/ladang
dan pemukiman yang masing-masing adalah sebesar 48% dan 50%, dan
terjadinya pengurangan areal hutan sebesar 59% berdampak terhadap
101
peningkatan debit puncak aliran permukaan sebesar 3 – 5% dan mempercepat
waktu menuju debit puncak sebesar 1,8 – 3 jam dibandingkan debit puncak aliran
permukaan pada skenario 0. Hal ini dikarenakan curah hujan total sebesar 110
mm (episode hujan tanggal 14 – 17 Oktober 2003) hanya dapat diintersepsi oleh
tanaman dan terinfiltrasi ke dalam tanah masing-masing sebesar 3,95 mm dan
59,57 mm, serta dapat meningkatkan aliran permukaan (curah hujan netto)
sebesar 0,36% dibandingkan pada skenario 0 (Tabel 21 dan Gambar 34).
0
20
40
60
80
100
120
14/1
0/20
03 5
:59
14/1
0/20
03 8
:29
14/1
0/20
03 1
0:59
14/1
0/20
03 1
3:29
14/1
0/20
03 1
5:59
14/1
0/20
03 1
8:29
14/1
0/20
03 2
0:59
14/1
0/20
03 2
3:29
15/1
0/20
03 1
:59
15/1
0/20
03 4
:29
15/1
0/20
03 6
:59
15/1
0/20
03 9
:29
15/1
0/20
03 1
1:59
15/1
0/20
03 1
4:29
15/1
0/20
03 1
6:59
15/1
0/20
03 1
9:29
15/1
0/20
03 2
1:59
16/1
0/20
03 0
:29
16/1
0/20
03 2
:59
16/1
0/20
03 5
:29
16/1
0/20
03 7
:59
16/1
0/20
03 1
0:29
16/1
0/20
03 1
2:59
16/1
0/20
03 1
5:29
16/1
0/20
03 1
7:59
16/1
0/20
03 2
0:29
16/1
0/20
03 2
2:59
17/1
0/20
03 1
:29
17/1
0/20
03 3
:59
17/1
0/20
03 6
:29
17/1
0/20
03 8
:59
17/1
0/20
03 1
1:29
17/1
0/20
03 1
3:59
Waktu
Deb
it A
liran
Per
muk
aan
(m3 /d
etik
)
0
2
4
6
8
10
12
14
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q simulasi (Sken_0)Q simulasi (Sken_1)Q simulasi (Sken_2)Q simulasi (Sken_3)Q simulasi (Sken_4)
Gambar 34. Perbandingan debit puncak aliran permukaan dan waktu menuju
debit puncak pada beberapa skenario perubahan luas penggunaan lahan di DAS Separi
Hal ini didukung dari hasil penelitian Kartiwa et al. (1997), peningkatan luas
hutan sebesar 2 kali dan 4 kali dari keadaan semula berdampak terhadap
penurunan debit puncak aliran permukaan masing-masing sebesar 29% dan
54%, dan sedangkan pengurangan luas hutan 0,2 kali dan 0,5 kali dari keadaan
semula berdampak terhadap peningkatan debit puncak masing-masing sebesar
6% dan 10% dibandingkan dari kontrol.
102
Komposisi luas penggunaan lahan yang optimal di DAS Separi adalah
skenario 3 dengan luas penggunaan lahan hutan sebesar 54% (12.574,77 Ha),
kebun/ladang 1,9% (443,64 Ha), lahan terbuka 0,06% (13,25 Ha), pemukiman
0,12% (28,38 Ha), persawahan 0,5% (116,47 Ha), semak belukar 42% (9.725,93
Ha), dan tambang batubara 1,99% (463,92 Ha). Pemilihan skenario 3 ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa skenario 3 dapat menurunkan debit
puncak aliran permukaan (Qp) dan memperlambat waktu menuju debit puncak
(tp), biaya, waktu, dan tenaga yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan lebih
murah, dan peluang keberhasilan lebih tinggi dibandingkan dengan skenario 1
dan 2.
5.7. Pendugaan Kekeringan
5.7.1. Pendugaan Kekeringan dengan Neraca Air Lahan
Untuk pendugaan kekeringan di DAS Separi dengan menggunakan
neraca air lahan metode Thornthwaite dan Mather (1957) menunjukkan
kekeringan atau defisit air tanaman pada tahun 2002 terjadi selama tiga bulan
yakni pada bulan Agustus, September, dan Oktober pada SPT (Satuan Peta
Tanah) 3, 4, 6, 7, 8, 10, 26, dan 27, untuk SPT 1, 2, 9, dan 18 terjadi selama dua
bulan yakni bulan Agustus dan Oktober, dan untuk SPT 5 dan14 terjadi selama
satu bulan yakni pada bulan Oktober, serta untuk SPT 18 juga terjadi selama
satu bulan yakni pada bulan September, sedangkan pada SPT 11, 12, 13, 15,
16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, dan 24 tidak mengalami kekeringan selama tahun
2002. Untuk tahun 2003 tidak mengalami kekeringan/defisit air selama satu
tahun, kecuali pada SPT 27 yang terjadi selama satu bulan yakni pada bulan
Agustus. Kekeringan atau defisit air tanaman pada tahun 2004 terjadi selama
empat bulan yakni pada bulan Agustus, September, Oktober, dan Nopember
pada SPT 4, 7, dan 27, untuk SPT 10 terjadi selama tiga bulan yakni bulan
103
Agustus, Oktober, dan Nopember, dan untuk SPT 1, 2, 3, 6, 8, 9, 18, dan 26
terjadi selama dua bulan yakni bulan Agustus dan Oktober, serta untuk SPT 5,
14, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 23, dan 24 terjadi selama satu bulan yakni pada bulan
Oktober, sedangkan pada SPT 11, 12, 13, 21, dan 25 tidak mengalami
kekeringan selama tahun 2004. Kekeringan pada tahun 2005 terjadi selama tujuh
bulan yakni pada bulan Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September
pada SPT 27, untuk SPT 4, 7, 8, dan 10 terjadi kekeringan selama enam bulan
bulan yakni bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September, untuk SPT 6
terjadi kekeringan selama lima bulan yakni bulan April, Juni, Juli, Agustus, dan
September, untuk SPT 1, 2, 3, 9, dan 18 terjadi kekeringan selama empat bulan
yakni bulan April, Juli, Agustus, dan September, untuk SPT 5 mengalami
kekeringan selama tiga bulan yakni bulan Juli, Agustus dan September, untuk
SPT 14 mengalami kekeringan selama dua bulan yakni bulan Agustus dan
September, dan untuk SPT 11, 13, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 23, 24, dan 25
mengalami kekeringan yang terjadi selama satu bulan yakni bulan September,
sedangkan pada SPT 12 dan 21 tidak pernah mengalami kekeringan selama
tahun 2005. Analisis neraca air lahan (defisit dan surplus) tersebut di atas hanya
berlaku untuk tanaman semusim dengan kedalaman perakaran maksimum 60
cm, seperti : padi gunung, jagung, kedelai, dan cabai. Analisis neraca air pada
masing-masing SPT dengan menggunakan metode Thornthwaite dan Mather
(1957) disajikan pada Tabel 22 dan Tabel Lampiran 8.
Selanjutnya berdasarkan Tabel 22, analisis neraca air pada masing-
masing SPT di kelompokkan berdasarkan kelas tekstur tanah, yakni : 1) kelas
tekstur tanah liat (SPT 2, 3, 4, 7, 8, 11, 12, 13, 20, 21, dan 23), 2) kelas tekstur
tanah lempung (SPT 1, 5, 6, 9, 10, 14, 15, 16, 17, 22, 24, 25, dan 27), dan 3)
kelas tekstur tanah pasir (SPT 18, 19, dan 26) (Gambar 35 dan Tabel Lampiran
9).
104
Tabel 22. Analisis neraca air Lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) pada masing-masing SPT di DAS Separi (Januari 2002 – Desember 2005)
Waktu1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Jan-02 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SFeb-02 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SMar-02 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SApr-02 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SMei-02 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SJun-02 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SJul-02 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Agust-02 D D D D 0 D D D D D 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D DSep-02 0 0 D D 0 D D D 0 D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D D DOkt-02 D D D D D D D D D D 0 0 0 D 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D DNop-02 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SDes-02 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SJan-03 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SFeb-03 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SMar-03 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SApr-03 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SMei-03 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SJun-03 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SJul-03 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Agust-03 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 DSep-03 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 S S S 0 0 0 0 0 0 0 S 0 0 0 S 0 0Okt-03 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SNop-03 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SDes-03 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SJan-04 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SFeb-04 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SMar-04 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SApr-04 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SMei-04 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SJun-04 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Jul-04 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
Agust-04 D D D D 0 D D D D D 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D DSep-04 0 0 0 D 0 0 D 0 0 0 0 S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 DOkt-04 D D D D D D D D D D 0 0 0 D D D D D D D 0 D D D 0 D DNop-04 0 0 0 D 0 0 D 0 0 D 0 S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 DDes-04 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SJan-05 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SFeb-05 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SMar-05 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 DApr-05 D D D D 0 D D D D D 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D DMei-05 0 0 0 D 0 0 D D 0 D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D DJun-05 0 0 0 D 0 D D D 0 D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D DJul-05 D D D D D D D D D D 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D D
Agust-05 D D D D D D D D D D 0 0 0 D 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D DSep-05 D D D D D D D D D D D 0 D D D D D D D D 0 D D D D D DOkt-05 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Nop-05 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SDes-05 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
Keterangan : Liat, Lempung, Pasir, D = defisit air, S = surplus air, dan 0 = Stok air tanah masih mencukupikebutuhan air tanaman
Satuan Peta Tanah (SPT)
105
Hasil analisis kekeringan atau defisit air tanaman berdasarkan kelas tekstur
tanah pada tahun 2004 terjadi defisit air selama satu bulan yakni bulan Oktober
dan pada tahun 2005 selama satu bulan yakni bulan September (kelas tekstur
tanah liat dan lempung) dan untuk kelas tekstur tanah pasir terjadi kekeringan
selama dua bulan yakni bulan Agustus dan September, sedangkan selama tahun
2002 dan 2003 tidak mengalami kekeringan (Gambar 35). Kekeringan selama
tahun 2004 yang terjadi pada bulan Oktober adalah sebesar 0,03 mm untuk
kelompok kelas tekstur tanah liat, 30,58 mm untuk kelas tekstur tanah lempung,
dan 47,04 mm untuk kelas testur tanah pasir (Gambar 35). Kekeringan selama
tahun 2005 yang terjadi selama dua bulan yakni Agustus dan September yang
masing-masing sebesar 2,45 mm dan 60,01 mm untuk kelompok tekstur tanah
pasir, sedangkan untuk kelompok tekstur tanah liat dan lempung hanya terjadi
selama satu bulan yakni bulan September adalah sebesar 13 mm (tekstur tanah
liat) dan 43,54 mm (tekstur tanah lempung) (Gambar 35). Selain itu, berdasarkan
hasil analisis neraca air lahan berdasarkan ruang pori total tanah juga
menunjukkan bahwa selama tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005, tanaman tidak
mengalami kekeringan atau defisit air, karena kapasitas simpan air tanah masih
mencukupi kebutuhan air tanaman. Analisis neraca air lahan berdasarkan
kelompok tekstur tanah dan analisis neraca air lahan berdasarkan ruang pori
total masing-masing disajikan pada Tabel Lampiran 9.
Berdasarkan Gambar 35, kekurangan atau defisit air tanaman terjadi
pada saat stok air tanah di bawah kadar air tanah pada titik layu permanen dan
hal ini dikarenakan curah hujan yang lebih rendah dibandingkan evapotranspirasi
acuan (ETo), sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi kehilangan air
potensial (APWL).
106
A. Kelas tekstur tanah liat
-100-60-202060
100140180220260300340380
Jan-
02
Feb-
02
Apr
-02
Mei
-02
Jul-0
2
Sep
-02
Okt
-02
Des
-02
Feb-
03
Mar
-03
Mei
-03
Jul-0
3
Agu
st-0
3
Okt
-03
Des
-03
Jan-
04
Mar
-04
Apr
-04
Jun-
04
Agu
st-0
4
Sep
-04
Nop
-04
Jan-
05
Feb-
05
Apr
-05
Jun-
05
Jul-0
5
Sep
-05
Nop
-05
Waktu
Ting
gi K
olom
Air
(mm
)
Curah Hujan Stok Air TanahETA (Evapotranspirasi Aktual) KL (Kadar Air Kapasitas Lapang)TLP (Kadar Air Titik Layu Permanen) Defisit/SurplusETo (Evapotranspirasi Acuan)
B. Kelas tekstur tanah lempung
-100-60-202060
100140180220260300340380
Jan-
02
Feb-
02
Apr
-02
Mei
-02
Jul-0
2
Sep
-02
Okt
-02
Des
-02
Feb-
03
Mar
-03
Mei
-03
Jul-0
3
Agu
st-0
3
Okt
-03
Des
-03
Jan-
04
Mar
-04
Apr
-04
Jun-
04
Agu
st-0
4
Sep
-04
Nop
-04
Jan-
05
Feb-
05
Apr
-05
Jun-
05
Jul-0
5
Sep
-05
Nop
-05
Waktu
Ting
gi K
olom
Air
(mm
)
Curah Hujan Stok Air TanahETA (Evapotranspirasi Aktual) KL (Kadar Air Kapasitas Lapang)TLP (Kadar Air Titik Layu Permanen) Defisit/SurplusETo (Evapotranspirasi Acuan)
C. Kelas tekstur tanah pasir
-100-60-202060
100140180220260300340380
Jan-
02
Feb-
02
Apr
-02
Mei
-02
Jul-0
2
Sep
-02
Okt
-02
Des
-02
Feb-
03
Mar
-03
Mei
-03
Jul-0
3
Agu
st-0
3
Okt
-03
Des
-03
Jan-
04
Mar
-04
Apr
-04
Jun-
04
Agu
st-0
4
Sep
-04
Nop
-04
Jan-
05
Feb-
05
Apr
-05
Jun-
05
Jul-0
5
Sep
-05
Nop
-05
Waktu
Ting
gi K
olom
Air
(mm
)
Curah Hujan Stok Air TanahETA (Evapotranspirasi Aktual) KL (Kadar Air Kapasitas Lapang)TLP (Kadar Air Titik Layu Permanen) Defisit/SurplusETo (Evapotranspirasi Acuan)
Gambar 35. Hubungan antara curah hujan, ETA, ETo, KL, TLP, stok air tanah, ETA, dan defisit/surplus air pada A. kelas tekstur tanah liat, B. kelas tekstur tanah lempung, dan C. kelas tekstur tanah pasir di DAS Separi (Januari 2002 – Desember 2005)
107
Selain itu berdasarkan Gambar 35, kelebihan atau surplus air akan terjadi bila
curah hujan lebih besar dari evapotranspirasi acuan (ETo) dan saat kapasitas
simpan air tanah sama dengan kadar air tanah pada kapasitas lapang atau
kapasitas simpan air tanah sudah mencukupi.
Secara umum kekurangan atau defisit air tanaman di DAS Separi pada
bulan-bulan kering (Agustus dan September) Gambar 35 dapat ditanggulangi jika
luas hutan di bagian tengah dan hulu sebesar 12.574,77 Ha (54%). Hal ini
didukung dari Tabel 21, yang mana penghutanan pada bagian tengah dan hulu
dari DAS Separi sebesar 54% akan meningkatkan besarnya air hujan yang
masuk (terinfiltrasi) ke dalam tanah sebesar 65,28 mm (episode hujan 14-17
Oktober 2003), sehingga pada musim kemarau air hujan yang masuk ke dalam
tanah tersebut akan didistribusikan.
5.7.2. Pendugaan Kekeringan dengan Teknologi Penginderaan Jauh
5.7.2.1. Hubungan antara Indeks Vegetasi dan Temperatur Permukaan Lahan dengan Kekeringan
Hubungan antara indeks vegetasi dan temperatur permukaan lahan
dengan kekeringan didasarkan pada analisis temporal antara kesehatan vegetasi
yang digambarkan oleh indeks vegetasi (NDVI) dan temperatur permukaan lahan
dengan menurunnya curah hujan. Menurut Anderson et al. (2007), bahwa
kesehatan vegetasi yang digambarkan oleh indeks vegetasi dan temperatur
permukaan lahan hasil analisis citra Landsat 7 dapat digunakan untuk
memprediksi dan memetakan kekeringan.
Hasil analisis temporal antara indeks vegetasi dengan curah hujan
bulanan (1 bulan sebelum tanggal perekaman citra Landsat 7) menunjukkan
bulan April sampai dengan September 2002 terjadinya penurunan indeks
vegetasi sesuai dengan menurunnya curah hujan pada bulan Juli sampai dengan
108
Agustus (Gambar 36). Indeks vegetasi pada penggunaan lahan semak belukar
dan sawah menunjukkan respon yang cepat terhadap penurunan curah hujan.
Nilai indeks vegetasi pada bulan basah (Maret – Juni) untuk penggunaan lahan
hutan dan semak belukar masing-masing adalah 0,38 – 0,47 dan 0,33 – 0,43,
dan pada bulan kering (Agustus) masing-masing adalah -0,01 dan -0,06 - -0,04.
Indeks vegetasi memiliki nilai -1 sampai dengan 1, yang mana nilai negatif
menggambarkan kondisi vegetasi tidak sehat dan kehijauan rendah, sedangkan
semakin tinggi nilai positifnya maka kondisi vegetasi sehat dan kehijauan tinggi.
Untuk penggunaan lahan kebun/ladang dan sawah memiliki nilai indeks vegetasi
masing-masing adalah 0,25 – 0,43 dan 0,10 – 0,31 pada bulan basah dan pada
bulan kering masing-masing adalah -0,15 - -0,13 dan -0,18. Selain itu,
berdasarkan Gambar 36 juga menunjukkan rendahnya indeks vegetasi
disebabkan oleh kondisi vegetasi akibat kekeringan. Hal ini didukung Anderson
et al. (2007) dan Shofiyati et al. (2002), bahwa rendahnya indeks vegetasi
disebabkan oleh kondisi vegetasi yang tidak sehat akibat kekeringan.
-0,30
-0,20
-0,10
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
03/04/02 21/05/02 08/07/02 10/09/02
Inde
k Ve
geta
si
0
50
100
150
200
250
300
350C
urah
Huj
an (m
m/b
ulan
)
Hutan+Lempung Semak Belukar+LiatSemak Belukar+Lempung Kebun/Ladang+LiatKebun/Ladang+Lempung Sawah+LempungHujan
Gambar 36. Hubungan antara indeks vegetasi dengan curah hujan bulanan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002)
109
Hasil analisis temporal antara temperatur permukaan lahan dengan curah
hujan bulanan menunjukkan bulan April sampai dengan September 2002
terjadinya peningkatan temperatur permukaan lahan sesuai dengan menurunnya
curah hujan (Gambar 37). Untuk jenis penggunaan lahan hutan memiliki rata-rata
temperatur permukaan lahan yang paling rendah pada bulan kering (bulan
Agustus) yakni 30 oC dibandingkan dengan semak belukar 31 oC, kebun/ladang
33 oC, dan sawah 33 oC. Menurut Shofiyati et al. (2002), bahwa penggunaan
lahan hutan di DAS Brantas Hulu memiliki temperatur permukaan lahan yang
lebih rendah dibandingkan semak belukar, kebun/ladang, dan sawah.
Berdasarkan Gambar 36 dan 37, variasi temporal hubungan antara
indeks vegetasi dengan temperatur permukaan lahan memiliki hubungan terbalik,
yang mana penurunan indeks vegetasi akan di ikuti oleh peningkatan temperatur
permukaan lahan (Gambar 38). Hal ini berarti daerah dengan indeks vegatasi
tinggi menunjukkan kondisi vegetasi yang hijau dan akan memiliki temperatur
permukaan lahan lebih rendah dan demikian juga sebaliknya.
0
5
10
15
20
25
30
35
03/04/02 21/05/02 08/07/02 10/09/02
Tem
pera
tur P
erm
ukaa
n La
han
(o C)
0
50
100
150
200
250
300
350C
urah
Huj
an (m
m/b
ulan
)
Hutan+Lempung Semak Belukar+LiatSemak Belukar+Lempung Kebun/Ladang+LiatKebun/Ladang+Lempung Sawah+LempungHujan
Gambar 37. Hubungan antara temperatur permukaan lahan dengan curah hujan bulanan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002)
110
y = -6,3866x + 31,447R2 = 0,4582
0
5
10
15
20
25
30
35
-0,30 -0,10 0,10 0,30 0,50 0,70
Indeks Vegetasi
Tem
pera
tur P
erm
ukaa
n La
han
(o C)
Gambar 38. Hubungan antara indeks vegetasi dengan temperatur permukaan lahan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002)
5.7.2.2. Kombinasi Indeks Vegetasi (NDVI) dan Kelembaban (Wetness Index) untuk Identifikasi Kekeringan
Hasil analisis kombinasi antara indeks vegetasi dan kelembaban
permukaan lahan dengan menggunakan citra Landsat 7 mulai bulan April sampai
dengan September 2002, menunjukkan potensi tingkat kekeringan tanaman
mulai terjadi pada bulan Mei 2002 (jenis penggunaan lahan sawah) dan
September 2002 (jenis penggunaan lahan kebun/ladang dan sawah), sedangkan
untuk penggunaan lahan hutan dan semak belukar pada bulan September 2002
memiliki tingkat kekeringan tanaman kurang kering (sedang) (Gambar 39).
Terjadinya kekeringan pada bulan September 2002 untuk jenis penggunaan
lahan kebun/ladang dan sawah disebabkan oleh rendahnya indeks vegetasi dan
kelembaban. Hal ini juga sesuai dengan hasil analisis neraca air lahan (Gambar
35), yang mana pada Juli – Agustus 2002 terjadi penurunan stok air tanah,
sehingga menyebabkan indeks vegetasi dan kelembaban menjadi rendah. Pada
tanggal 10 September 2002, indeks kelembaban permukaan lahan penggunaan
lahan kebun/ladang pada tekstur tanah liat dan lempung masing-masing adalah -
111
5,31 dan -12,18, sedangkan untuk jenis penggunaan lahan sawah pada tekstur
tanah lempung adalah -21,67 (Tabel Lampiran 10). Indeks kelembaban
permukaan lahan bernilai negatif menunjukkan kelembaban semakin rendah dan
semakin tinggi nilai positifnya akan semakin lembab.
Berdasarkan hasil analisis statistik (uji berganda) menunjukkan bahwa
analisis kekeringan (kekurangan air tanaman) di DAS Separi dengan
menggunakan neraca air lahan menurut metode Thornthwaite dan Mather (1957)
berbeda dibandingkan dengan hasil analisis citra Landsat 7, karena hanya
memiliki nilai koefisien regresi (R2) 0,26 (Gambar 40). Perbedaan hasil antara
kedua metode tersebut disebabkan oleh perbedaan objek lingkungan yang
dianalisis. Untuk analisis kekeringan dengan citra Landsat 7, objek lingkungan
yang dianalisis terletak pada masing-masing objek (di atas permukaan objek)
yang dipantulkan secara faktual. Untuk analisis kekeringan dengan metode
Thornthwaite dan Mather (1957), objek lingkungan yang dianalisis terletak pada
permukaan tanah dan kedalaman perakaran tanaman. Namun demikian analisis
kekeringan dari kedua metode tersebut mempunyai hasil yang sama pada jenis
penggunaan lahan persawahan dan kebun/ladang pada bulan Agustus, karena
pada bulan Agustus kondisi lahan bera.
Berdasarkan Gambar 40, potensi tingkat kekeringan secara ruang dan
waktu dapat diidentifikasi secara konsisten dengan menggunakan analisis
kombinasi antara indeks vegetasi dan kelembaban permukaan lahan
dibandingkan penggunaan analisis tunggal dengan hanya menggunakan indeks
vegetasi atau kelembaban maupun temperatur permukaan lahan saja dan bila
dibandingkan dengan analisis neraca air lahan (Gambar 35) memiliki pola
temporal yang sama yakni terjadi kekeringan atau penurunan stok air tanah
untuk tanaman pada bulan Juli - Agustus.
112
ba
dc
bbaa
ddc
Gambar 39. Peta tingkat kekeringan di DAS Separi hasil analisis citra Landsat 7 perekaman tanggal : a) 03-04-2002, b) 21-05-2002, c) 08-07-2002, dan d) 10-09-2002
113
Menurut Shofiyati dan Dwi Kuncoro (2007) penggunaan analisis tunggal hanya
menggunakan indeks vegetasi atau kelembaban maupun temperatur permukaan
lahan saja tidak dapat digunakan untuk menentukan kondisi kekeringan tanaman
secara konsisten, sehingga perlu dilakukan kombinasi dalam identifikasi
kekeringan tanaman. Indeks vegetasi, kelembaban, dan temperatur permukaan
lahan pada jenis penggunaan lahan disajikan pada Tabel Lampiran 10,
sedangkan untuk identifikasi tingkat kekeringan tanaman disajikan pada Tabel
Lampiran 11.
y = -2,5694x + 150,98R2 = 0,2618
-200
204060
80100
120140
0 10 20 30 40 50 6
Analisis Citra (mm)
Ner
aca
Air
Laha
n (m
m
0
)
Gambar 40. Uji berganda perbandingan antara analisis neraca air lahan
(Thornthwaite dan Mather, 1957) dengan analisis citra Landsat
114
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang model pendugaan banjir dan kekeringan di
DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini dapat diambil beberapa
kesimpulan, yaitu :
1. Terjadinya alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi semak belukar, lahan
terbuka maupun kebun/ladang seluas 97% selama 8 tahun (tahun 1998 –
2005) berdampak terhadap peningkatan intensitas banjir di bagian hilir DAS
Separi dari satu kali menjadi dua kali.
2. Total debit aliran permukaan pada DAS yang didominasi tanah bertekstur
lempung lebih tinggi 30% dibandingkan DAS yang didominasi tanah
bertekstur pasir dan 37% dibandingkan DAS yang didominasi tanah
bertekstur liat. Untuk waktu menuju debit puncak DAS yang didominasi oleh
tanah bertekstur liat memiliki waktu menuju debit puncak yang lebih cepat 46
menit dibandingkan dengan DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur
lempung dan 202 menit dibandingkan dengan DAS yang didominasi tanah
bertekstur pasir.
3. Karakteristik geomorfologi DAS (Indek Gravelius, panjang sungai utama,
kerapatan jaringan sungai, dan rasio rata-rata panjang jaringan sungai)
berpengaruh terhadap besarnya debit aliran permukaan dan waktu menuju
debit puncak, yang mana DAS dengan Indek Gravelius, panjang sungai
utama, dan rasio rata-rata panjang jaringan sungai yang semakin tinggi akan
memiliki debit aliran permukaan lebih kecil, dan DAS dengan Indek Gravelius
dan kerapatan jaringan sungai yang makin rendah akan memiliki waktu
menuju debit puncak yang lebih cepat.
115
4. Model pendugaan banjir berbasis karakteristik lahan dan geomorfologi DAS
(metode A, B, dan C) dapat digunakan untuk memprediksi debit puncak (Qp)
dan waktu menuju debit puncak (tp) dengan tingkat akurasi model menurut
kriteria Nash dan Sutcliffe (F) berturut-turut adalah 93%, 85%, dan 62%,
sehingga urutan model pendugaan banjir terbaik adalah metode A, B, dan C.
5. Hasil analisis sensitivitas perubahan penggunaan lahan hutan 1% dan semak
belukar 94% menjadi 54% untuk hutan dan 42% semak belukar berdampak
terhadap penurunan debit puncak aliran permukaan (Qp) 23% dan
memperlambat waktu menuju debit puncak (tp) 1,8 jam.
6. Komposisi luas dan posisi penggunaan lahan hutan yang optimal untuk
mengendalikan banjir di bagian hilir dari DAS Separi adalah 54% dari total
luas dan terletak pada bagian tengah dan hulu dari DAS Separi.
7. Hasil analisis kekeringan dengan menggunakan metode neraca air lahan
(Thornthwaite dan Mather, 1957) berbeda dibandingkan dengan hasil analisis
teknologi penginderaan jauh (citra Landsat 7) di DAS Separi (R2=0,26).
8. Analisis kombinasi tingkat kehijauan tanaman (NDVI) dan tingkat kelembaban
permukaan lahan (wetness index) dapat digunakan secara konsisten untuk
identifikasi tingkat kekeringan secara ruang (spasial) dan waktu (temporal)
dibandingkan dengan penggunaan analisis tunggal dengan indeks vegetasi
(NDVI), indeks kelembaban permukaan lahan (wetness index) maupun
temperatur permukaan lahan saja.
6.2. Saran
1. Secara teori pengaruh tekstur tanah terhadap besarnya debit puncak aliran
permukaan masih berlawanan dan hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor
tanah lain yang belum dikaji keterkaitannya seperti struktur tanah dan
dinamika pori tanah, sehingga perlu penelitian lebih lanjut.
116
2. Penggunaan Model pendugaan banjir untuk lokasi DAS lainnya dengan
karakteristik lahan dan geomorfologi DAS yang berbeda perlu dilakukan
penyesuaian parameter fungsi produksi dan fungsi transfer, serta
mempertimbangkan adanya pengaruh pasang surut air laut atau tinggi muka
air di sungai utama dan distribusi curah hujan. Penyesuaian parameter fungsi
produksi untuk metode A adalah koefisien aliran permukaan (Kr) dan untuk
metode B adalah kapasitas intersepsi tanaman (indeks luas daun) dan
infiltrasi tanah. Parameter fungsi transfer yang perlu disesuaikan adalah
rekonstruksi jaringan drainase (sungai) dan kecepatan rata-rata aliran
permukaan untuk menghitung fungsi kerapatan peluang (pdf).
3. Untuk mengendalikan banjir di bagian hilir dan kekeringan di DAS Separi
perlu dilakukan penghutanan pada bagian tengah dan hulu dari DAS Separi
dengan luas 54% dari total luas DAS Separi (12.575 Ha). Model penghutanan
yang akan dilaksanakan dapat juga diganti dengan model pertanian hutan,
seperti : pertanaman lorong (alley cropping) dan tumpang sari (inter cropping)
asalkan fungsi hidrologis dari hutan tersebut terpenuhi.
4. Metode neraca air lahan untuk menduga terjadinya kekeringan (defisit air
tanaman) dan surplus air digunakan hanya untuk tanaman semusim atau
tanaman dengan kedalaman perakaran maksimum 60 cm. Untuk tanaman
tahunan atau berakar dalam, sebaiknya analisis neraca air lahan disesuaikan
dengan kedalaman perakaran maksimumnya.
5. Penggunaan teknologi penginderaan jauh (citra Landsat 7) dapat
mempercepat dalam identifikasi potensi tingkat kekeringan, baik secara ruang
(spasial) maupun waktu (temporal). Untuk meningkatan hasil akurasi prediksi
kekeringan dengan teknologi penginderaan jauh, maka koreksi geometrik dan
radiometrik harus dilakukan dengan benar dan akurat, serta data citra
Landsat 7 yang digunakan memiliki tutupan awan kurang dari 10%.
117
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Mulyani, N. Heryani, dan G. Irianto, 2004. Analisis perkembangan sumberdaya lahan dan air dalam rangka peningkatan ketahanan pangan. PUSLITBANGTANAK, Bogor. Tidak dipublikasikan.
Allen, R. G., L. S. Pereira, D. Raes, dan M. Smith, 1998. Crop
evapotranspiration : Guidelines for computing crop water requirements. FAO irrigation and drainage paper 56, FAO, Rome.
Anderson, M. C., W. P. Kustas, J. M. Norman, dan C. M. U. Neale, 2007.
Mapping drought and evapotranspiration at high resolution using Landsat 7/GOES thermal imagery. USDA-ARS, Hydrology and Remote Sensing Laboratory, USA. http://Idcm.usgs.gov/presentation/LST2007-2-Ander-son.pdf.
Arianti, G., 1999. Laju infiltrasi lahan hutan dan lahan pertanian (Studi kasus di
Sub DAS Cikabayan I Darmaga). Skripsi, Jur. Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Arsyad, S., 2000. Konservasi tanah dan air. IPB Press. Bogor. Asdak, C., 1995. Hidrologi dan pengelolaan DAS. Gadjah Mada Univ. Press.
Yogyakarta Bayarjaga, Y., T. Adyasuren, dan Munkhtuya, 2000. Drought and vegetation
monitoring in the arid and semi-arid regions og Mongolia using remote sensing and ground data. GIS Develpment. http://www.gis development.net/aars/acrs/2000/ts8/hami 0004.shtml. 6 Pebruari 2005.
Barrow, C. J., 1991. Land degradation. Cambridge University Press. England. Beasley, D. B. dan L. F. Huggins, 1991. ANSWERS (Areal Nonpoint Source
Watershed Environment Response Simulation) : User’s Manual. Second Edition. Agricultural Engineering Departement Publication No. 5. U. S. Environmental Protection Agency.
Bedient, P. B, dan W. C. Huber, 1992. Hydrology and floodplain analysis, 2nd.
Addison-Wesley Publishing Company. Reading, Massavhusetts. Beven, K. J. and M. J. Kirkby, 1979. A physically based variable contributing area
model of basin hydrology. Hydrological Sciences Bulletin 24(1):43-69. BIOTROP, 2001. Complete lecture ER Mapper, BIOTROP Trainning Course, 20-
24 August 2001. Bogor. Black, P. E., 1996. Watershed hydrology, 2nd Ed. Library of Congress
Cataloging-in-Publications Data. New York. Brooks, K. N., P. F. Folliot, H. M. Gregersen, dan J. L. Thames, 1991. Hydrology
and management of watershed. Iowa Stated University Press. Iowa.
118
Chahinian, N., R. Moussa, P. Andrieux, dan M. Voltz, 2004. Comparison of infiltration models to simulate flood events at the field scale. Journal of Hydrology 306:191-214.
Chow, V. T., 1964. Handbook of applied hydrology : a compendium of water
resources technology. McGraw-Hill Book Company, New York. De Roo, A. P. J., C. G. Wesseling, N. H. D. T. Cremers, R. J. E. Offermans, K.
Van Dostindic, 1999. LISEM : A new physically based hydrological and soil erosion model in a 615-environment. Theory and Implementation. IAHS Publication No. 224 (Proceeding of the Canberra Conference). 439-448p.
DITJEN RRL, 2001. Luas lahan kritis akhir pelita VI, serta rencana dan realisasi
rehabilitasi lahan tahun1999/2001. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/ STATISTIK/2001/RLPS.htm. (26 Agustus 2007) DITJEN Penataan Ruang, 2005. Perencanaan tata ruang wilayah dalam era
otonomi dan desentralisasi. DEPKIMPRASWIL. http://www.kimpraswil. Go.id/ditjen_ruang/Makalah.htm. (26 Agustus 2007) Dixon, J. A., dan K. W. Easter, 1986. Integrated watershed management: An
approach to resource management. Studies in Water Policy and Management No. 10. East-West Center, Hawai.
Doorenbos, J. Dan W. O. Pruitt, 1977. Guidelines for predicting crop water
requirements. FAO of United Nations, Rome. Dutta, D., S. Herath, dan K. Musiake, 2003. A mathematical model for flood loss
estimation. Journal of Hydrology, 277:24-49. ER Mapper, 2005. Use guide ER Mapper Version 7.0. Earth Resource Mapping,
West Leederville, Western Australia. Estupina-Borrell, V., D. Dartus, dan R. Ababou, 2006. Flash flood modeling with
the MARINE hydrological distributed model. Hydrology and Earth System Sciences Discussions.
FAO, 1983. Guidlines land evaluation for rainfed agriculture. Soil Resources
Management and Conservation Service Land and Water Development Division. FAO Soil Buletin, No. 52.
Francois, A., C. Perrin, dan V. Andreassian, 2003. Ann output updating of lumped
conceptual rainfall/runoff forecasting models. Journal of the American Water Resources Ass., 39(5):1269-1279. www.findarticles.com/p/articles/ mi_qa4038/is_200310/ai_n9328521 - 26k)
Geomatica, 2004. User guide: geomatica. Inversion Physical Models (SAVI). PCI
Geomatica. Haan, C. T., H. P. Johnson, dan D. L. Brakenslek, 1982. Hydrologic modeling of
small watersheds. American Society of Agricultural Engineers. Michigan, USA.
119
Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. P. Nugroho, M. A. Diha, G. B. Hong, dan H. H. Bayley, 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Harahap, I. Y., 1998. Model simulasi respon fisiologi pertumbuhan dan hasil
tandan buah kelapa sawit. Disertasi pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Herawatiningsih, R., 2001. Pengaruh tegakan Acacia mangium dan Eucalyptus
pellita terhadap beberapa sifat hidrologi areal hutan tanaman industri di Kecamatan Umbok, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Tesis, Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Heriansyah, 2004. Pemetaan surplus dan defisit air serta masa tanam optimum
tanaman pangan propinsi Kalimantan Timur. Tesis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Heryani, N., 2001. Fungsi produksi air daerah aliran sungai : studi kasus di Sub
DAS Bunder, DAS Oyo, Gunung Kidul, DIY. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hillel, D., 1980. Aplications of soil physics. Academic Press. New York. Huete, A. R., 1988. A soil adjusted vegetation index (SAVI). Remote Sensing
Environment, vol. 25:p. 295-309. Irianto, G., 2003. Banjir dan Kekeringan : Penyebab, Antisipasi, dan Solusinya.
CV. Universal Pustaka Media, Bogor. Irianto, G., P. Perez, dan J. Duchesne, 2001. Modelling the influence of irrigated
terraces on the hydrological response of a small basin. Environmental Modelling & Software, 16:31-36.
Irianto, G., I. Las, L. Bruno, dan M. Bertrand, 2000. Aplikasi agrometeorologi di
bidang pertanian. PUSLITTANAK, Badan LITBANG Pertanian, Jakarta. Irianto, G., J. Duchesne, dan P. Perez. 1999. Influence of irrigated terraces on
the hydrological response of small basin 1: Calibration of the hydraulic model. p.189-193 In Oxley, L. and F. Scrimgeour (Eds.). Part I, Proceeding of International Congress on Modelling and Simulation; Modelling the Dynamics of Natural Agriculture, Tourism and Socio-economic Systems. MODSIM 99 Proceedings. Hamilton New Zealand. 6th-9th Dec. 1999.
Irianto, G., 1999. Modifikasi fungsi produksi daerah aliran sungai dengan
terasering pada tanah sawah serta pengaruhnya terhadap karakteristik debit puncak dan waktu respon daerah aliran sungai. Jurnal Tanah Dan Iklim, No. 17:39-47.
Ismangun, M. Soekardi, Basuni Hw., Suprapto, dan A. Mulyani, 1997. Tanah dan
potensi lahan untuk pertanian di pulau Kalimantan. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Palangkaraya, 5-6 Oktober 1993.
120
Jakeman, A. J., I. G. Littlewood, and P. G. Whitehead, 1990. Computation of the Instantaneous Unit Hydrograph and Identifiable Component Flows With Application to Two Small Upland Catchments. Journal of Hydrology 117:275-300.
Kaimuddin, 1994. Kajian model pendugaan intersepsi hujan pada tegakan Pinus
merkusi, Agathis ioranthifolia, dan Schima wallichi di hutan pendidikan gunung walat Sukabumi. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kartiwa, B. dan G. Irianto, 2001. Metode alternatif perhitungan koefisien aliran
permukaan menurut model simulasi debit berdasarkan aplikasi konsep hidrograf satuan : Studi kasus Sub DAS Kali Kripik. Jurnal Tanah dan Iklim, 19:42-50.
Kartiwa, B., P. Redjekiningrum, dan Nasrullah, 1997. Pengkajian model simulasi
hidrologi SWM IV untuk melihat pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap debit sungai: Studi kasus di Sub DAS Cisadane Hulu. Jurnal Tanah dan Iklim No. 15:27-38.
Kraatz, D. B., dan I. K. Mahajan, 1982. Petits ouvrages hydrauliques. Volume
26/1, et 26/2. Bulletin FAO D’irrigation et de Drainage. 307+244 p. Kramer, P. J., 1980. Plant and soil water relationship. McGraw Hill book
company, New York. Kurnia, U., Sudirman, I. Juarsah, dan Y. Soelaeman, 2001. Pengaruh perubahan
penggunaan lahan terhadap debit dan banjir di bagian hilir DAS Kaligarang. Prosiding : Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah, Bogor, 1 Mei 2001. PUSLITBANGTANAK, Badan LITBANG Pertanian bekerjasama dengan MAAF Jepang dan Sekretariat ASEAN.
Lal R., 1994. Sustainable land use systems and soil resilience. In : Soil
Resilience and Sustainable land use. Proceeding of a Symposium held in Budapest, 28 September to 2 October 1992, including the Second Workshop on the Ecological Foundations of Sustainable Agriculture (WEFSA II). pp. 41- 68.
Le Bissonnais, Y., 1996. Aggregate stability and assessment of crustability and
erodibility : I. Theory and methodology. Europ. J. Soil Sci. 47:425-437. Lillesand, T. M. Dan R. W. Kiefer, 1990. Penginderaan jauh dan interpretasi
citra. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Liu, T., 1992. Fractal structure and properties of stream networks. Water
Resources Research, 28(11):2981-2988. Liu, W. T. dan F. N. Kogan, 1996. Monitoring regional drought using the
vegetation condition index. International Journal Remote Sensing, 17:2761-2782.
Lo, C. P., 1996. Penginderaan jauh terapan. Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
121
Mahe, G., J. E. Paturel, E. Servat, D. Conway, dan A. Dezetter, 2005. The impact of land use change on soil water holding capacity and river flow modeling in the Nakamba River, Burkina-Faso. Journal of Hydrology, 300:33-43.
Mamedov, A. I., I. Shainberg, dan G. J. Levy, 2000. Rainfall energy effects on
runoff and interrill erosion in effluent irrigation soils. Soil Science, 165(7):535-544.
Mamedov, A. I, dan G. J. Levy, 2001. Clay dispersivity and aggregate stability
effects on seal formation and erosion in effluent-irrigated soils. Soil Science, 166(9):631-639.
Manley, R. E., 2006. A guide to using: HYSIM. R. E. Manley and Water
Resources Associated Ltd. p:1-126. Napitupulu, J., 1998. Analisis empirik konstanta persamaan infiltrasi Kostiakov
dan Philip pada tanah Regosol Coklat Kekelabuan. Skripsi, Jur. Teknik Pertanian, Fak. Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nash, J. E., 1957. The form of the instantaneous unit hydrograph. C. R. And
Report, Assoc. Inter. Hydrol., IUGG, Toronto, Canada, pp.114-121. Neitsch, S. L., J. G. Arnold, J. R. Kiniry, dan J. R. Williams, 2001. Soil and water
assessment tool theoritical documentation: Version 2000. Grassland, Soil and Water Research Lab. ARS and Blackland Research Center, pp. 68-69.
Nuriman, I., 1999. Hubungan tingkat intersepsi hujan dengan indeks luas daun
pada tanaman kelapa sawit. Skripsi, PS Agrometeorologi, Jur. GFM, Fak. MIPA, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Oldeman L. R., 1994. The global extent of soil degradasion. In : Soil Resilience
and Sustainable land use. Proceeding of a Symposium held in Budapest, 28 September to 2 October 1992, including the Second Workshop on the Ecological Foundations of Sustainable Agriculture (WEFSA II). pp. 99-118.
Oldeman, L. R., 1975. An agro-climatic map of java. Contribution from the
Central Research Institute for Agriculture no. 17. CRIA, Bogor. Pramudia, A., 2002. Analisis sensitivitas tingkat kerawanan produksi padi di
pantai utara Jawa Barat terhadap kekeringan dan el-nino. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
PUSLITBANGTANAK, 2001. Pengembangan teknologi panen hujan dan aliran
permukaan. PUSLITBANGTANAK, Laporan Akhir Penelitian. Bogor (Tidak Dipublikasikan)
PUSLITTANAK, 1994. Laporan akhir: Survei dan pemetaan tanah semi-detail
daerah Samarinda, Kalimantan Timur. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah (LREP – II Part C).
122
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, 1995. Penelitian aliran banjir daerah genangan Bandung Selatan. Puslitbang Pengairan, Badan Litbang Pengairan.
Rinaldo, A., I. Rodriguez-Iturbo, R. Rigon, R. L. Bras, E. Ijjasz-Vasquez, dan A.
Marani, 1992. Minimum energy and fractal structures of drainage networks. Water Resources Research, 28(9):2183-2195.
Rodriguez-Iturbo, I. dan B. Valdes, 1979. The geomorphologic structure of
hydrologic response. Water Resources Research, 15(6):1409-1420. Robinson, J. S. Dan M. Sivapalan, 1996. Instantaneous response functions of
overland flow and subsurface stromflow for catchment models. Hydrological Processes, 10:845-862.
Rosenberg, N. J., B. L. Blad, dan S. H. Sarma, 1983. Microclimate : The
biological environment, 2nd ed. John Wiley and Sons. New York. Rossman, L. A., 2004. Storm water management model (SWMM): user’s manual
version 5. National Risk Management Res. Lab. And U. S. EPA. p:1-245. Rukaiyyah, 2001. Evaluasi konstanta persamaan infiltrasi kostiakov dan Philip
secara empirik pada tanah Rendzina. Skripsi, Jur. Teknik Pertanian, Fak. Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sarjiman, 2004. Analisis fungsi produksi air DAS dengan bendung saluran
menggunakan metode hidrograf satuan sesaat dan fungsi kepekatan fraktal : Kasus mikro DAS Bunder, Gunung Kidul, Yogyakarta. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Schmidt, F. H. Dan J. H. A. Ferguson, 1951. Rainfall type based on wet and dry
periods ratio for Indonesia and West New Guinea. Verh. 42. Kementrian Perhubungan RI. Jakarta.
Shofiyati, R. dan G. P. Dwi Kuncoro, 2007. Inderaja untuk mengkaji kekeringan
di lahan pertanian. Informatika Pertanian Vol. 16, No. 1:923-936. www.litbang.deptan.go.id/warta-ip/pdf-file/2.shofiyati ipvol16-1-2007.pdf.
Shofiyati, R., K. Honda, N. T. S. Wijesekera, dan Widagdo, 2002. Pemantauan
kekeringan lahan pertanian menggunakan teknologi remote sensing dan SIG di DAS Brantas Hulu. Jurnal Tanah Dan Iklim, No. 20:24-34.
Soewarno, 1995. Hidrologi: Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data.
Penerbit NOVA, Bandung. Soil Survey Staff, 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia,
1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Teixeira, J. L., 2005. Statistical analysis of weather data sets 1. Instituto Superior
de Agro., Lisbon, Portugal. www.fao.org/docrep/X0490E/x0490e0l.htm.
123
Thierfelder, C. E. Amezquita, R. J. Thomas, dan K. Stahr, 2002. Characterization of the phenomenon of soil cruting and sealing in the Andean Hillsides of Colombia : Physical and chemical cinstrains. Proceedings 12 th ISCO Conference, Beijing 2002. 2:80-85.
Thornthwaite, C. W. dan J. R. Mather, 1957. Instructions and tables for
computing potential evapotranspiration and the water balanced. Publ. Of Clim. Vol. X, No. 3 Centerton, New Jersey. pp :185-311.
Trojer, H., 1976. Weather classification and plant weather relationship. FAO
Working Paper no. 11. Soil Reasearch Institute, Bogor. Indonesia. USACE, 2000. Hydrologic Engineering Center : Hydrologic modeling system
HEC-HMS, Technical Reference Manual, march 2000. www.usace.army.mil.
Utami, Y., 2002. Kajian hidrologi sebagai pengaruh dari teknik rehabilitasi lahan
dan konservasi tanah menggunakan model ANSWERS di Sub DAS Padas. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Viessman, W., G. L. Lewis, dan J. W. Knapp, 1989. Introduction to hydrology, 3nd
ed. Harper Collins Publisher. New York. Yang, J. Dan Y. Q. Wang, 2007. Estimation of land surface temperature using
Landsat 7 ETM+ thermal infrared and weather station data. Dept. of Natural Res. Sci. Univ. Of Rhode Island, Kingston, USA. www.ltrs.uri.edu/research/LST page/paper4.doc.
Yanrilla, R., 2001. Laju infiltrasi pada berbagai jenis penutupan/penggunaan
lahan hutan di RPH Tejowaringin, BKPH Singaparna, KPH Tasikmalaya Perum PERHUTANI Unit III Jawa Barat. Skripsi, Jur. Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yoon, J. dan L. A. Disrud, 1998. Evaluation of Agricultural Non Point Source
Pollution Controls on Water Quality in Southwestern North Dakota. Journal of Soil and Water Conservation, 44(2), 124-131.
Young, R. A., C. A. Onstad, D. D. Bosch dan W. P. Anderson, 1990. Agricultural
Non Point Source Pollution Model, Version 3,51. AGNPS User’s Guide. North Central Soil Conservation Research Laboratory, Morris, Minnesota.
Yusuf, 1991. Pengaruh curah hujan terhadap infiltrasi pada tanah terbuka.
Skripsi, Fak. Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zhang, X. C dan W. P. Miller, 1996. Polyacrilamide effect on infiltration and
erosion infurrows. Soil Sci. Am. J. 60:866-872.
124
LAMPIRAN
Gam
bar1. Peta
jenistanah
skala1:50.000 D
AS S
epari(PU
SLITTAN
AK, 1994)
Gam
bar1. Peta
jenistanah
skala1:50.000 D
AS S
epari(PU
SLITTAN
AK, 1994)
125
Gambar 2. Pembuatan bendung (weir) tipe V-Notch dengan sudut 60o di tiga Sub DAS Separi dan pemasangan alat penakar hujan di daerah Seleko
Indek Gravelius Vs Total Q ro
y = -62,221x + 95,45R2 = 0,7207
0
5
10
15
20
1,30 1,32 1,34 1,36 1,38 1,40 1,42 1,44
Indek Gravelius
Tota
l Q ro
(mm
)
Panjang Sungai Utama Vs Total Q ro
y = -4,2658x + 21,497R2 = 0,7998
0
5
10
15
20
0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50
Panjang Sungai Utama (km)
Tota
l Q ro
(mm
)
Kerapatan Jaringan Sungai Vs Total Q ro
y = -4,8387x + 32,964R2 = 0,4523
0
5
10
15
20
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00
Kerapatan Jaringan Sungai (km/km2)
Tota
l Q ro
(mm
)
Rasio Panjang Sungai (RL) Vs Total Q ro
y = -23,609x + 55,886R2 = 0,897
0
5
10
15
20
1,60 1,70 1,80 1,90 2,00 2,10
Rasio Panjang Sungai (RL)
Tota
l Q ro
(mm
)
Gambar 3. Hubungan antara geomorfologi DAS dengan total debit aliran permukaan
126
Gambar 4. Hubungan antara geomorfologi DAS dengan waktu menuju debit puncak
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
14/0
4/20
06 1
6:11
14/0
4/20
06 1
6:47
14/0
4/20
06 1
7:23
14/0
4/20
06 1
7:59
14/0
4/20
06 1
8:35
14/0
4/20
06 1
9:11
14/0
4/20
06 1
9:47
14/0
4/20
06 2
0:23
14/0
4/20
06 2
0:59
14/0
4/20
06 2
1:35
14/0
4/20
06 2
2:11
14/0
4/20
06 2
2:47
14/0
4/20
06 2
3:23
14/0
4/20
06 2
3:59
15/0
4/20
06 0
:35
15/0
4/20
06 1
:11
15/0
4/20
06 1
:47
15/0
4/20
06 2
:23
15/0
4/20
06 2
:59
15/0
4/20
06 3
:35
15/0
4/20
06 4
:11
15/0
4/20
06 4
:47
15/0
4/20
06 5
:23
15/0
4/20
06 5
:59
15/0
4/20
06 6
:35
15/0
4/20
06 7
:11
15/0
4/20
06 7
:47
15/0
4/20
06 8
:23
15/0
4/20
06 8
:59
15/0
4/20
06 9
:35
15/0
4/20
06 1
0:11
15/0
4/20
06 1
0:47
Waktu
Debi
t (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q totalQ bf+ifQ baseflowQ runoff
Gambar 5. Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk
Sub DAS Separi-Usup pada episode hujan 14 April 2006
Indek Gravelius Vs Waktu Puncak (tp)
y = -20,058x + 31,11R2 = 0,4589
01234567
1,30 1,32 1,34 1,36 1,38 1,40 1,42 1,44
Indek Gravelius
Wak
tu P
unca
k (ja
m)
Panjang Sungai Utama Vs Waktu Puncak (tp)
y = 0,5259x + 2,7491R2 = 0,0745
01234567
0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50
Panjang Sungai Utama (km)
Wak
tu P
unca
k (ja
m)
Kerapatan Jaringan Sungai Vs Waktu Puncak (tp)
y = 1,749x - 3,8126R2 = 0,3621
01234567
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00
Kerapatan Jaringan Sungai (km/km2)
Wak
tu P
unca
k (ja
m)
Rasio Panjang Sungai (RL) Vs Waktu Puncak (tp)
y = 1,3972x + 1,3645R2 = 0,0193
01234567
1,60 1,70 1,80 1,90 2,00 2,10
Rasio Panjang Sungai (RL)
Wak
tu P
unca
k (ja
m)
127
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
06/0
4/20
06 1
5:59
06/0
4/20
06 1
6:53
06/0
4/20
06 1
7:47
06/0
4/20
06 1
8:41
06/0
4/20
06 1
9:35
06/0
4/20
06 2
0:29
06/0
4/20
06 2
1:23
06/0
4/20
06 2
2:17
06/0
4/20
06 2
3:11
07/0
4/20
06 0
:05
07/0
4/20
06 0
:59
07/0
4/20
06 1
:53
07/0
4/20
06 2
:47
07/0
4/20
06 3
:41
07/0
4/20
06 4
:35
07/0
4/20
06 5
:29
07/0
4/20
06 6
:23
07/0
4/20
06 7
:17
07/0
4/20
06 8
:11
07/0
4/20
06 9
:05
07/0
4/20
06 9
:59
07/0
4/20
06 1
0:53
07/0
4/20
06 1
1:47
07/0
4/20
06 1
2:41
07/0
4/20
06 1
3:35
07/0
4/20
06 1
4:29
07/0
4/20
06 1
5:23
07/0
4/20
06 1
6:17
07/0
4/20
06 1
7:11
07/0
4/20
06 1
8:05
07/0
4/20
06 1
8:59
07/0
4/20
06 1
9:53
Waktu
Debi
t (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q totalQ bf+ifQ baseflowQ runoff
Gambar 6. Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk
Sub DAS Separi-Soyi pada episode hujan 6 April 2006
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
23/0
4/20
06 4
:35
23/0
4/20
06 4
:59
23/0
4/20
06 5
:23
23/0
4/20
06 5
:47
23/0
4/20
06 6
:11
23/0
4/20
06 6
:35
23/0
4/20
06 6
:59
23/0
4/20
06 7
:23
23/0
4/20
06 7
:47
23/0
4/20
06 8
:11
23/0
4/20
06 8
:35
23/0
4/20
06 8
:59
23/0
4/20
06 9
:23
23/0
4/20
06 9
:47
23/0
4/20
06 1
0:11
23/0
4/20
06 1
0:35
23/0
4/20
06 1
0:59
23/0
4/20
06 1
1:23
23/0
4/20
06 1
1:47
23/0
4/20
06 1
2:11
23/0
4/20
06 1
2:35
23/0
4/20
06 1
2:59
23/0
4/20
06 1
3:23
23/0
4/20
06 1
3:47
23/0
4/20
06 1
4:11
23/0
4/20
06 1
4:35
23/0
4/20
06 1
4:59
23/0
4/20
06 1
5:23
23/0
4/20
06 1
5:47
23/0
4/20
06 1
6:11
23/0
4/20
06 1
6:35
23/0
4/20
06 1
6:59
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Curah Hujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q totalQ bf+ifQ baseflowQ runoff
Gambar 7. Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk
Sub DAS Separi-Badin pada episode hujan 23 April 2006
128
Gambar 8. Peta LAI (Leaf Area Index) DAS Separi hasil analisis citra Landsat 7 TM
perekaman tanggal 10 September 2005
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
14/1
0/20
03 5
:35
14/1
0/20
03 8
:11
14/1
0/20
03 1
0:47
14/1
0/20
03 1
3:23
14/1
0/20
03 1
5:59
14/1
0/20
03 1
8:35
14/1
0/20
03 2
1:11
14/1
0/20
03 2
3:47
15/1
0/20
03 2
:23
15/1
0/20
03 4
:59
15/1
0/20
03 7
:35
15/1
0/20
03 1
0:11
15/1
0/20
03 1
2:47
15/1
0/20
03 1
5:23
15/1
0/20
03 1
7:59
15/1
0/20
03 2
0:35
15/1
0/20
03 2
3:11
16/1
0/20
03 1
:47
16/1
0/20
03 4
:23
16/1
0/20
03 6
:59
16/1
0/20
03 9
:35
16/1
0/20
03 1
2:11
16/1
0/20
03 1
4:47
16/1
0/20
03 1
7:23
16/1
0/20
03 1
9:59
16/1
0/20
03 2
2:35
17/1
0/20
03 1
:11
17/1
0/20
03 3
:47
17/1
0/20
03 6
:23
17/1
0/20
03 8
:59
17/1
0/20
03 1
1:35
17/1
0/20
03 1
4:11
Waktu
Deb
it (m
3 /det
ik)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Curah H
ujan (mm
/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuranQ simulasi (metode B)Q simulasi (metode A)Q simulasi (metode C)
Gambar 9. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi di DAS
Separi
129
Tabel 1. Legenda Peta Tanah Skala 1:50.000 dan karakteristik fisik tanah di DAS Separi (PUSLITTANAK, 1994)
SPT Famili Lereng Relief Landform Bahan Luas
Induk(%) (Ha)
1 Typic Plinthudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 36-59 Berbukit Komplek pemiringan Batu liat dan batu pasir 73,82Typic Dystropepts, berlempung halus, campuran, isohipertermik hogback
2 Typic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 15-30 Berbukit Komplek pemiringan Batu liat dan batu pasir 2214,39Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik kecil cuestaTypic Eutropepts, berlempung halus, campuran, isohipertermik
3 Typic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 35-60 Berbukit Pola perbukitan Batu liat dan batu pasir 155,10Typic Dystropepts, berlempung halus, campuran, isohipertermikTypic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik
4 Typic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 35-60 Berbukit Pola perbukitan Batu liat dan batu pasir 336,13Typic Eutropepts, halus, campuran, isohipertermikTypic Plinthudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik
5 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 32-43 Berbukit Komplek gawir Batu liat dan batu pasir 13,73Typic Plinthudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik hogback
6 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 32-42 Berbukit Komplek gawir Batu liat dan batu pasir 666,18Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik cuestaTypic Eutropepts, berlempung halus, campuran, isohipertermik
7 Oxyaquic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik 0-1 Datar Dataran aluvial Aluvium liat, debu dan 224,64Typic Tropaquepts, sangat halus, campuran, masam, isohipertermik pasirAquic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik
8 Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik 0-1 Datar Dataran aluvial Aluvium liat, debu dan 11,90Typic Tropaquepts, halus, campuran, masam, isohipertermik pasirOxyaquic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik
9 Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik 37-56 Berbukit Komplek pemiringan Batu liat dan batu pasir 505,60Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik hogbackTypic Troporthens, berlempung halus, campuran, isohipertermik
10 Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik 37-56 Berbukit Pola perbukitan Batu liat dan batu pasir 610,94Typic Plinthudults, berlempung halus, kaolinitik, isohipertermik
11 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 0-3 Datar Dasar lembah Alluvium liat 812,8412 Tropaquents, berliat, kaolinitik, isohipertermik 0-3 Datar Dasar lembah Alluvium liat dan 3330,57
Plinthaquepts, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik sempit Alluvium pasirAerik Tropaquepts, berliat, kaolinitik, isohipertermik
13 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 0-3 Datar Depresi alluvial Alluvium liat 274,5314 Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik 8-15 Bergelom- Antiklin Alluvium liat dan 1685,32
Typic Paleudults, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik bang Alluvium pasir15 Typic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 8-15 Bergelom- Punggung antiklin Batu liat 2313,40
Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik bangPlinthic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik
16 Plinthudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 25-40 Berbukit Punggung antiklin Batu liat 2625,38Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik
17 Psammentic Hapludults, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik 25-40 Berbukit Punggung antiklin Batu liat dan batu pasir 852,57Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik
18 Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik 25-40 Berbukit Gawir Batu liat dan batu pasir 44,89Typic Tropaquepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermikTypic Hapludults, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik
19 Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik 25-40 Berbukit Lereng pemiringan Batu liat dan batu pasir 868,44Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik hogback
20 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 15-40 Berbukit Bukit-bukit kecil dan Batu liat 918,43Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik punggung membulat
21 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 15-40 Berbukit Bukit-bukit kecil dan Batu liat 714,93Plinthaquepts, berliat, kaolinitik, isohipertermik pola perbukitan dengan
22 Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik 8-15 Bergelom- Bukit-bukit kecil dan Batu liat dan batu pasir 125,85Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik bang pola perbukitan dengan
23 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 8-15 Bergelom- Bukit-bukit kecil dan Batu liat 655,89Plintic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik bang punggung membulat
24 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 8-15 Bergelombang Bukit-bukit kecil dan Batu liat 2323,5825 Typic Hapludults, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik 8-15 Bergelombang Antiklin Alluvium liat dan 516,2826 Typic Dystropepts, berpasir, silisius, masam, isohiperthermik 15-40 Bergumuk Bukit-bukit kecil dan Batu liat dan batu pasir 414,86
Vertic Dystropepts, berliat, kaolinitik, isohipertermik punggung tajam27 Typic Paleudults, berlempung halus, kaolinitik, isohipertermik 36-56 Berbukit Pola perbukitan Batu liat dan batu pasir 76,19
130
Lanjutan Tabel 1.
SPT Kelas Bobot Kedalaman Ruang BahanPasir Debu Liat Tekstur Tanah Isi pF 2,00 pF 2,54 pF 3,7 pF 4,00pF 4,20 Efektif Pori Total Organik
g/ml (cm) (%) (%)1 29,60 36,75 33,57 Lempung Berliat 1,23 31,50 27,10 18,52 14,92 14,45 61 44 0,86
51,82 21,12 25,06 Lempung Liat Berpasir 0,93 56,30 51,70 37,69 31,67 30,80 100 45 2,142 8,71 28,70 62,59 Liat 1,28 44,85 41,20 33,11 29,73 29,25 91 44 2,78
5,35 57,16 37,48 Lempung Berdebu 1,18 43,05 38,30 28,49 24,42 23,85 125 46 0,9848,62 24,21 27,41 Lempung Liat Berpasir 0,96 50,95 46,25 28,34 20,62 19,45 120 44 1,60
3 25,25 32,75 41,14 Liat 1,26 38,70 34,90 25,88 22,10 21,55 125 42 1,7151,82 21,12 25,06 Lempung Liat Berpasir 0,93 56,30 51,70 37,69 31,67 30,80 100 45 2,1426,86 35,38 37,64 Lempung Berliat 1,26 39,24 34,90 25,82 22,09 21,55 110 34 0,74
4 8,71 28,70 62,59 Liat 1,28 44,85 41,20 33,11 29,73 29,25 91 44 2,7843,43 28,62 26,41 Lempung Berliat 1,48 33,95 29,50 22,43 19,51 19,15 115 34 1,6329,60 36,75 33,57 Lempung Berliat 1,23 31,50 27,10 18,52 14,92 14,45 61 44 0,86
5 29,55 32,04 38,41 Lempung Berliat 1,09 45,90 41,20 26,78 20,61 19,70 148 39 1,2925,48 31,12 43,40 Liat 1,36 40,20 35,65 28,88 26,07 25,75 100 39 1,91
6 38,48 26,86 30,40 Lempung Berliat 1,44 30,65 25,20 16,35 11,95 11,65 81 36 0,9645,63 20,50 33,90 Lempung Berliat 1,36 36,95 26,85 21,68 18,29 19,05 74 39 1,2848,62 24,21 27,41 Lempung Liat Berpasir 0,96 50,95 46,25 28,34 20,62 19,45 120 44 1,60
7 3,63 47,89 48,47 Liat Berdebu 1,27 40,90 36,35 29,52 26,74 26,40 145 42 1,952,29 15,88 81,83 Liat 1,44 38,20 38,20 26,25 21,64 20,50 78 36 3,467,42 46,34 46,24 Liat Berdebu 1,29 42,85 39,15 30,99 27,58 27,10 120 42 0,47
8 16,95 42,21 40,83 Liat Berdebu 1,26 36,55 31,60 22,77 19,14 18,65 75 42 0,780,45 40,05 59,50 Liat Berdebu 0,90 52,40 47,75 35,01 29,59 28,80 70 46 1,293,63 47,89 48,47 Liat Berdebu 1,27 43,05 36,35 29,54 26,55 26,40 145 42 1,95
9 5,35 57,16 37,48 Lempung Berdebu 1,18 36,55 38,30 28,34 25,08 23,85 145 46 0,9851,70 19,82 27,53 Lempung Liat Berpasir 1,28 45,30 41,40 33,95 30,80 30,40 120 42 0,9052,32 29,32 18,35 Lempung Berpasir 0,90 53,10 47,50 29,37 21,61 20,45 79 46 0,69
10 5,35 57,16 37,48 Lempung Berdebu 1,18 43,05 38,30 28,49 24,42 23,85 135 46 0,9856,51 12,98 30,51 Lempung Liat Berpasir 1,58 29,65 25,80 18,83 16,07 15,65 134 31 1,10
11 28,85 28,92 42,62 Liat 1,46 40,75 37,30 18,73 10,98 9,60 80 37 1,9912 7,50 31,00 61,50 Liat 0,97 57,70 49,40 21,27 9,37 7,50 63 35 2,67
28,64 42,56 29,04 Lempung Berliat 1,50 40,60 37,30 18,76 10,98 9,60 125 31 1,4046,58 21,12 32,71 Lempung Liat Berpasir 1,40 49,60 44,40 21,32 11,07 9,60 106 33 1,53
13 20,59 29,39 51,02 Liat 1,31 38,70 32,10 14,70 6,95 6,00 100 32 1,6214 71,05 13,31 15,58 Lempung Berpasir 1,48 26,20 19,70 8,00 2,39 2,00 80 30 0,88
60,32 25,11 14,00 Lempung Berpasir 1,53 22,20 19,50 8,15 4,00 3,00 100 30 1,5715 36,74 23,03 39,81 Lempung Berliat 1,36 42,40 32,26 17,24 9,68 9,40 110 30 0,96
21,13 32,33 45,88 Liat 1,30 40,60 37,30 18,76 10,98 9,60 76 36 1,1518,89 36,46 44,39 Liat 1,65 39,55 32,26 17,07 10,05 9,40 75 35 2,18
16 21,42 39,47 39,00 Lempung Berliat 1,54 37,30 29,42 15,18 8,10 7,71 95 38 0,9820,59 29,39 51,02 Liat 1,31 43,75 39,00 20,38 12,17 11,00 110 30 1,62
17 64,60 14,60 20,60 Lempung Liat Berpasir 1,60 34,40 31,59 15,09 8,56 7,20 125 33 1,5587,94 7,20 6,96 Pasir 1,40 21,90 20,00 9,75 5,76 4,90 114 30 4,24
18 87,94 7,20 6,96 Pasir 1,40 21,00 20,00 9,67 5,89 4,90 114 40 4,2470,18 16,55 13,27 Lempung Berpasir 1,52 21,90 19,30 9,77 5,75 5,10 110 30 1,3450,05 21,86 28,62 Lempung Liat Berpasir 1,32 30,10 24,00 10,95 5,29 4,60 105 35 1,07
19 87,94 7,20 6,96 Pasir 1,40 21,90 20,00 9,75 5,76 4,90 114 40 4,2420,59 29,39 51,02 Liat 1,31 45,65 40,50 21,76 13,44 12,30 110 30 1,62
20 19,57 38,37 42,26 Liat 1,80 44,65 32,10 14,64 6,49 6,00 115 30 1,1087,94 7,20 6,96 Pasir 1,40 41,90 20,00 8,87 4,78 4,90 114 40 4,24
21 19,57 38,37 42,26 Liat 1,80 44,65 32,10 14,64 6,49 6,00 115 30 1,106,52 46,09 47,39 Liat Berdebu 1,31 50,25 45,15 23,79 14,65 13,20 115 45 1,14
22 75,19 8,62 15,74 Lempung Berpasir 1,65 26,70 22,20 11,05 6,69 5,90 127 31 1,6725,78 32,08 42,05 Liat 1,45 44,60 37,30 18,93 10,50 9,60 95 42 1,16
23 27,27 29,81 43,41 Liat 1,79 40,60 35,20 18,15 10,75 9,70 95 42 3,2332,94 28,32 38,95 Lempung Berliat 1,66 35,60 29,70 16,16 10,07 9,40 75 35 1,20
24 32,94 28,32 38,95 Lempung Berliat 1,66 30,60 29,70 16,18 10,48 9,40 100 35 1,2025 42,34 19,88 37,77 Lempung Berliat 1,46 41,50 37,10 19,11 11,27 10,10 80 44 1,6026 88,44 9,75 10,91 Pasir 1,54 24,70 18,50 7,74 2,97 2,50 110 46 3,04
8,00 34,67 57,67 Liat 1,29 40,20 36,35 29,56 26,78 26,40 120 37 3,7427 66,50 13,35 20,64 Lempung Liat Berpasir 1,56 24,65 19,05 12,19 9,24 9,00 100 40 0,90
Kadar Air
(%)
Fraksi tanah (%)
131
Tabel 2. Karakteristik fisik tanah pada masing-masing profil tanah
No. Kode Kedalaman KA Bobot Bahan Air Indek
Sampel Tanah Isi Organik Pasir Debu Liat pF 2,54 pF 4,2 Tersedia Stabilitas(cm) (%) (g/cm3) (%) (% vol.) (% vol.) Agregat
1 L1 0-14 21 1,15 2,44 57 30 13 25,40 20,16 5,24 252 L1 14-33 23 1,31 2,20 55 24 21 23,12 16,96 6,16 253 L1 33-77 25 1,34 0,75 41 35 24 28,92 18,03 10,89 334 L1 77-95 25 1,42 0,56 40 38 23 29,36 14,38 14,98 335 L1 95-116 25 1,45 1,17 32 15 53 28,13 17,65 10,48 336 L1 116-125 20 1,46 0,56 34 18 48 21,69 15,90 5,79 337 L1 125-150 26 1,31 0,40 40 35 25 21,40 14,47 6,93 338 L2 0-34 23 1,28 2,55 53 15 31 27,54 19,49 8,05 509 L2 34-113 27 1,35 0,96 32 26 42 27,76 13,15 14,61 100
10 L2 113-150 26 1,46 0,45 31 25 45 35,32 22,52 12,80 5011 L3 0-9 22 1,20 3,00 20 35 44 32,20 26,32 5,88 10012 L3 9-30 21 1,31 0,92 24 29 46 32,46 19,65 12,81 10013 L3 30-55 21 1,49 0,44 23 36 41 24,41 18,90 5,51 5014 L3 55-104 20 1,49 0,41 18 47 35 25,02 19,79 5,23 5015 L3 104-150 23 1,52 0,48 12 41 46 30,59 15,66 14,93 5016 L4 0-9 28 1,32 3,72 38 23 38 35,18 18,32 16,86 10017 L4 9-49 24 1,42 0,81 40 20 40 29,07 21,64 7,43 5018 L4 49-89 22 1,52 0,53 40 13 47 27,83 17,38 10,45 3319 L4 89-150 23 1,51 0,49 32 12 56 27,17 18,59 8,58 3320 L5 0-23 21 1,24 3,02 35 9 56 35,02 22,08 12,94 10021 L5 23-76 26 1,26 1,02 17 14 69 31,22 20,02 11,20 5022 L5 76-150 23 1,36 0,69 19 9 72 30,02 15,11 14,91 3323 L6 0-7 26 1,24 2,29 23 19 58 38,71 15,10 23,61 10024 L6 7-35 27 1,30 1,37 23 41 35 30,96 22,59 8,37 5025 L6 35-71 26 1,32 0,79 14 28 58 27,21 15,58 11,63 3326 L6 71-99 26 1,33 0,66 31 40 30 29,79 15,89 13,90 2527 L6 99-150 27 1,30 1,26 11 44 45 27,43 10,98 16,45 33
Tekstur Kadar Air
(%)
Keterangan : KA = kadar air pada kondisi lapang
132
Tabel 3. Analisis data curah hujan tahun 2001 – 2005 di DAS Separi
Waktu Rerata STD SKW P(W/D) P(W/W) P(D/D) P(D/W) HH CV CSJan 239,72 15,25 2,91 0,52 0,72 0,48 0,28 21,40 0,06 0,00Feb 213,44 16,89 2,82 0,46 0,62 0,54 0,38 16,40 0,08 0,00Mar 221,36 13,10 3,12 0,53 0,65 0,47 0,35 19,60 0,06 0,00Apr 183,32 12,71 2,79 0,64 0,62 0,36 0,38 19,60 0,07 0,00May 152,92 10,28 3,02 0,59 0,64 0,41 0,36 19,20 0,07 0,00Jun 117,68 8,91 3,40 0,48 0,72 0,52 0,28 20,00 0,08 0,00Jul 99,12 8,54 5,13 0,59 0,54 0,41 0,46 18,00 0,09 0,01Aug 39,60 3,89 4,46 0,28 0,45 0,72 0,55 10,60 0,10 0,08Sep 122,20 8,93 4,90 0,37 0,67 0,63 0,33 16,40 0,07 0,01Oct 141,16 14,58 4,76 0,44 0,58 0,56 0,42 16,60 0,10 0,00Nov 184,60 11,83 3,51 0,73 0,72 0,27 0,28 22,60 0,06 0,00Dec 226,48 11,77 2,07 0,71 0,71 0,29 0,29 22,80 0,05 0,00
Jan 212,00 15,39 5,85 0,49 0,66 0,51 0,34 19,60 0,07 0,00Feb 129,30 11,82 3,57 0,41 0,61 0,59 0,39 15,00 0,09 0,00Mar 324,45 18,92 2,75 0,57 0,74 0,43 0,26 22,20 0,06 0,00Apr 244,64 12,59 2,05 0,76 0,75 0,24 0,25 23,40 0,05 0,00May 206,36 12,49 4,21 0,75 0,75 0,25 0,25 23,80 0,06 0,00Jun 184,08 13,04 4,25 0,64 0,72 0,36 0,28 21,60 0,07 0,00Jul 99,28 9,48 6,04 0,48 0,59 0,52 0,41 17,60 0,10 0,01Aug 89,32 8,61 4,51 0,31 0,54 0,69 0,46 13,00 0,10 0,01Sep 188,36 12,94 3,01 0,44 0,67 0,56 0,33 17,60 0,07 0,00Oct 110,64 10,75 4,99 0,37 0,51 0,63 0,49 13,80 0,10 0,00Nov 216,68 13,66 3,49 0,50 0,72 0,50 0,28 20,40 0,06 0,00Dec 188,60 10,87 2,70 0,53 0,71 0,47 0,29 21,20 0,06 0,00
Jan 284,24 16,48 2,70 0,49 0,72 0,51 0,28 20,40 0,06 0,00Feb 202,08 15,44 3,35 0,35 0,63 0,65 0,37 14,40 0,08 0,00Mar 244,72 16,52 3,06 0,56 0,77 0,44 0,23 22,80 0,07 0,00Apr 220,64 15,14 3,45 0,68 0,73 0,32 0,27 22,00 0,07 0,00May 206,92 13,22 3,49 0,70 0,67 0,30 0,33 21,60 0,06 0,00Jun 194,12 14,29 4,95 0,46 0,68 0,54 0,32 19,00 0,07 0,00Jul 95,56 6,92 3,29 0,53 0,69 0,47 0,31 20,00 0,07 0,01Aug 75,44 8,14 4,84 0,22 0,56 0,78 0,44 10,80 0,11 0,01Sep 121,88 9,43 3,31 0,51 0,56 0,49 0,44 16,20 0,08 0,00Oct 131,32 10,13 3,64 0,45 0,54 0,55 0,46 16,00 0,08 0,00Nov 212,20 15,77 4,71 0,65 0,67 0,35 0,33 20,80 0,07 0,00Dec 295,44 18,18 2,73 0,56 0,65 0,44 0,35 20,00 0,06 0,00
Jan 245,68 14,58 2,82 0,67 0,82 0,33 0,18 25,60 0,06 0,00Feb 221,76 15,53 2,72 0,50 0,76 0,50 0,24 20,20 0,07 0,00Mar 217,24 12,34 2,88 0,75 0,89 0,25 0,11 27,80 0,06 0,00Apr 186,39 11,52 2,61 0,85 0,88 0,15 0,12 27,40 0,06 0,00May 161,31 9,88 3,02 0,88 0,87 0,12 0,13 27,80 0,06 0,00Jun 127,95 8,11 3,08 0,64 0,85 0,36 0,15 25,60 0,06 0,01Jul 98,67 7,41 4,88 0,69 0,81 0,31 0,19 25,20 0,08 0,01Aug 46,64 3,91 4,03 0,38 0,67 0,62 0,33 17,20 0,08 0,07Sep 122,36 8,13 2,84 0,77 0,75 0,23 0,25 23,20 0,07 0,01Oct 138,00 12,95 4,67 0,60 0,74 0,40 0,26 22,60 0,09 0,00Nov 190,34 10,41 3,29 0,69 0,90 0,31 0,10 27,40 0,05 0,00Dec 233,95 11,34 2,12 0,80 0,84 0,20 0,16 27,00 0,05 0,00
Curah Hujan Stasiun Separi (mm)
Curah Hujan Wilayah DAS Separi (mm)
Curah Hujan Stasiun Lempake (mm)
Curah Hujan Stasiun Marang Kayu (mm)
Keterangan : STD = standar deviasi, SKW = parameter skewness, (P(W/D) = peluang hari
basah diikuti hari kering, P(W/W)= peluang jumlah hari basah diikuti hari basah, P(D/D) = peluang jumlah hari kering diikuti hari kering, P(D/W) = peluang jumlah hari kering diikuti hari basah, HH = rerata jumlah hari hujan dalam satu bulan, CV = koefisien variasi, dan CS = koefisien skewness (koefisien kemencengan)
133
Tabel 4. Hasil perhitungan infiltrasi pada beberapa respon hidrologis di 3 Sub DAS Separi
Nama Lokasi SepariJenis Tutupan Lahan Lahan Pertanian (jagung) - L1Jenis TanahTanggal Pengamatan 25-Feb-06r ring (cm) 10,8Volume Air Yang Diberikan (ml) 250Rata-rata Infil. Pengukuran (cm/menit) 0,04
Y X1 X2Waktu
Pengamatan Inf Inf Rataan H H Waktu Inf Rataan H Simulasi Inf Rataan Simulasi H f=fo-
kH+kfct(menit) (cm/jam) (cm/jam) (cm) (cm) (menit) (cm/menit) (cm) (cm/menit)
0,92 44,49 26,17 0,68 0,68 0,92 0,44 0,45 0,44 0,44 0,445,21 7,85 6,01 1,36 1,36 5,21 0,10 2,14 0,20 1,72 0,209,81 4,17 3,36 2,05 2,05 9,81 0,06 2,61 0,11 2,39 0,11
16,13 2,54 2,18 2,73 2,73 16,13 0,04 3,08 0,07 2,93 0,0722,44 1,82 1,61 3,41 3,41 22,44 0,03 3,51 0,06 3,36 0,0629,48 1,39 1,24 4,09 4,09 29,48 0,02 3,97 0,06 3,80 0,0637,63 1,09 0,98 4,78 4,78 37,63 0,02 4,49 0,06 4,30 0,0646,84 0,87 0,80 5,46 5,46 46,84 0,01 5,07 0,06 4,86 0,0656,06 0,73 0,67 6,14 6,14 56,06 0,01 5,64 0,06 5,43 0,0668,22 0,60 0,55 6,82 6,82 68,22 0,01 6,40 0,06 6,17 0,0680,39 0,51 0,48 7,50 7,50 80,39 0,01 7,15 0,06 6,92 0,0692,80 0,44 0,41 8,19 8,19 92,80 0,01 7,92 0,06 7,68 0,06
105,90 0,39 0,37 8,87 8,87 105,90 0,01 8,72 0,06 8,49 0,06119,10 0,34 0,33 9,55 9,55 119,10 0,01 9,54 0,06 9,30 0,06132,57 0,31 0,29 10,23 10,23 132,57 0,00 10,36 0,06 10,12 0,06146,60 0,28 0,27 10,92 10,92 146,60 0,00 11,23 0,06 10,99 0,06160,67 0,25 0,13 11,60 11,60 160,67 0,00 12,10 0,06 11,85 0,06
Nama Lokasi Separi (AWLR Soyi)Jenis Tutupan Lahan Semak Belukar (pahitan) - L2Jenis TanahTanggal Pengamatan 27-Feb-06r ring (cm) 10,8Volume Air Yang Diberikan (ml) 250Rata-rata Infil. Pengukuran (cm/menit) 0,03
Y X1 X2Waktu
Pengamatan Inf Inf Rataan H H Waktu Inf Rataan H Simulasi Inf Rataan Simulasi H f=fo-
kH+kfct(menit) (cm/jam) (cm/jam) (cm) (cm) (menit) (cm/menit) (cm) (cm/menit)
0,90 45,48 26,81 0,68 0,68 0,90 0,45 -0,78 0,29 0,28 0,295,04 8,13 5,87 1,36 1,36 5,04 0,10 1,87 0,19 1,25 0,19
11,34 3,61 2,91 2,05 2,05 11,34 0,05 2,59 0,11 2,16 0,1118,60 2,20 1,86 2,73 2,73 18,60 0,03 3,15 0,08 2,83 0,0826,86 1,52 1,34 3,41 3,41 26,86 0,02 3,72 0,07 3,42 0,0735,15 1,16 1,05 4,09 4,09 35,15 0,02 4,26 0,06 3,95 0,0643,60 0,94 0,86 4,78 4,78 43,60 0,01 4,80 0,06 4,47 0,0652,60 0,78 0,72 5,46 5,46 52,60 0,01 5,36 0,06 5,03 0,0661,62 0,66 0,62 6,14 6,14 61,62 0,01 5,93 0,06 5,58 0,0670,74 0,58 0,54 6,82 6,82 70,74 0,01 6,50 0,06 6,14 0,0680,74 0,51 0,48 7,50 7,50 80,74 0,01 7,11 0,06 6,75 0,0690,80 0,45 0,43 8,19 8,19 90,80 0,01 7,74 0,06 7,37 0,06
101,92 0,40 0,38 8,87 8,87 101,92 0,01 8,42 0,06 8,05 0,06113,06 0,36 0,34 9,55 9,55 113,06 0,01 9,11 0,06 8,73 0,06126,09 0,32 0,31 10,23 10,23 126,09 0,01 9,91 0,06 9,53 0,06139,15 0,29 0,28 10,92 10,92 139,15 0,00 10,71 0,06 10,33 0,06152,15 0,27 0,26 11,60 11,60 152,15 0,00 11,51 0,06 11,12 0,06165,30 0,25 0,24 12,28 12,28 165,30 0,00 12,32 0,06 11,93 0,06178,42 0,23 0,22 12,96 12,96 178,42 0,00 13,12 0,06 12,73 0,06191,62 0,21 0,21 13,64 13,64 191,62 0,00 13,93 0,06 13,54 0,06204,72 0,20 0,19 14,33 14,33 204,72 0,00 14,74 0,06 14,34 0,06217,72 0,19 0,18 15,01 15,01 217,72 0,00 15,53 0,06 15,14 0,06230,72 0,18 0,18 15,69 15,69 230,72 0,00 16,33 0,06 15,93 0,06230,72 0,18 0,18 16,37 16,37 230,72 0,00 16,33 0,06 15,93 0,06230,72 0,18 0,09 17,06 17,06 230,72 0,00 16,34 0,06 15,93 0,06
134
Lanjutan Tabel 4. Nama Lokasi Separi (AWLR Badin)Jenis Tutupan Lahan Lahan Pertanian - L3 Jenis TanahTanggal Pengamatan 26-Feb-06r ring (cm) 10,8Volume Air Yang Diberikan (ml) 250
Y X1 X2Waktu
Pengamatan Inf Inf Rataan H H Waktu Inf Rataan H Simulasi Inf Rataan Simulasi H f=fo-
kH+kfct(menit) (cm/jam) (cm/jam) (mm) (cm) (menit) (cm/menit) (cm) (cm/menit)
1,45 28,23 19,79 0,68 0,68 1,45 0,33 0,20 0,30 0,46 0,303,61 11,34 8,61 1,36 1,36 3,61 0,14 1,97 0,25 1,05 0,256,96 5,88 4,80 2,05 2,05 6,96 0,08 2,77 0,19 1,79 0,19
11,03 3,71 3,18 2,73 2,73 11,03 0,05 3,31 0,15 2,48 0,1515,49 2,64 2,31 3,41 3,41 15,49 0,04 3,77 0,12 3,07 0,1220,64 1,98 1,78 4,09 4,09 20,64 0,03 4,23 0,10 3,63 0,1026,01 1,57 1,42 4,78 4,78 26,01 0,02 4,69 0,09 4,13 0,0932,18 1,27 1,16 5,46 5,46 32,18 0,02 5,19 0,08 4,65 0,0839,21 1,04 0,96 6,14 6,14 39,21 0,02 5,75 0,08 5,21 0,0846,72 0,88 0,81 6,82 6,82 46,72 0,01 6,33 0,08 5,79 0,0854,73 0,75 0,70 7,50 7,50 54,73 0,01 6,95 0,08 6,40 0,0862,96 0,65 0,60 8,19 8,19 62,96 0,01 7,58 0,08 7,02 0,0873,21 0,56 0,52 8,87 8,87 73,21 0,01 8,37 0,08 7,79 0,0884,57 0,48 0,45 9,55 9,55 84,57 0,01 9,23 0,08 8,65 0,0897,70 0,42 0,39 10,23 10,23 97,70 0,01 10,23 0,08 9,63 0,08
112,23 0,36 0,34 10,92 10,92 112,23 0,01 11,33 0,08 10,73 0,08127,52 0,32 0,16 11,60 11,60 127,52 0,00 12,50 0,08 11,88 0,08
Nama Lokasi Separi (AWLR Badin)Jenis Tutupan Lahan Semak Belukar (Alang alang) - L6Jenis TanahTanggal Pengamatan 01-Mar-06r ring (cm) 10,8Volume Air Yang Diberikan (ml) 250
Y X1 X2Waktu
Pengamatan Inf Inf Rataan H H Waktu Inf Rataan H Simulasi Inf Rataan Simulasi H f=fo-
kH+kfct(menit) (cm/jam) (cm/jam) (cm) (cm) (menit) (cm/menit) (cm) (cm/jam)
1,58 25,91 18,34 0,68 0,68 1,58 0,31 0,58 0,25 0,41 0,253,80 10,77 8,22 1,36 1,36 3,80 0,14 2,47 0,22 0,94 0,227,22 5,67 4,62 2,05 2,05 7,22 0,08 3,65 0,19 1,64 0,19
11,48 3,57 3,08 2,73 2,73 11,48 0,05 4,25 0,16 2,38 0,1615,76 2,60 2,28 3,41 3,41 15,76 0,04 4,64 0,13 3,00 0,1320,81 1,97 1,77 4,09 4,09 20,81 0,03 4,97 0,11 3,60 0,1125,96 1,58 1,42 4,78 4,78 25,96 0,02 5,26 0,09 4,11 0,0932,21 1,27 1,17 5,46 5,46 32,21 0,02 5,57 0,07 4,61 0,0738,49 1,06 0,98 6,14 6,14 38,49 0,02 5,85 0,06 5,04 0,0645,74 0,89 0,81 6,82 6,82 45,74 0,01 6,16 0,05 5,46 0,0556,19 0,73 0,65 7,50 7,50 56,19 0,01 6,59 0,05 5,97 0,0571,32 0,57 0,52 8,19 8,19 71,32 0,01 7,18 0,04 6,62 0,0487,68 0,47 0,43 8,87 8,87 87,68 0,01 7,80 0,04 7,26 0,04
105,20 0,39 0,36 9,55 9,55 105,20 0,01 8,45 0,04 7,91 0,04124,77 0,33 0,30 10,23 10,23 124,77 0,01 9,18 0,04 8,63 0,04145,36 0,28 0,26 10,92 10,92 145,36 0,00 9,94 0,04 9,38 0,04170,46 0,24 0,22 11,60 11,60 170,46 0,00 10,86 0,04 10,29 0,04197,61 0,21 0,19 12,28 12,28 197,61 0,00 11,86 0,04 11,28 0,04225,76 0,18 0,17 12,96 12,96 225,76 0,00 12,89 0,04 12,30 0,04255,92 0,16 0,15 13,64 13,64 255,92 0,00 13,99 0,04 13,40 0,04286,11 0,14 0,14 14,33 14,33 286,11 0,00 15,09 0,04 14,49 0,04316,31 0,13 0,13 15,01 15,01 316,31 0,00 16,19 0,04 15,59 0,04316,35 0,13 0,13 15,69 15,69 316,35 0,00 16,19 0,04 15,59 0,04316,45 0,13 0,06 16,37 16,37 316,45 0,00 16,21 0,04 15,59 0,04
135
Lanjutan Tabel 4. Nama Lokasi Separi (AWLR Usup)Jenis Tutupan Lahan Semak Belukar - L4 (di GPS L5)Jenis TanahTanggal Pengamatan 07-Mar-06r ring (cm) 10,8Volume Air Yang Diberikan (ml) 250
Y X1 X2Waktu
Pengamatan Inf Inf Rataan H H Waktu Inf Rataan H Simulasi Inf Rataan Simulasi H f=fo-
kH+kfct(menit) (cm/jam) (cm/jam) (mm) (cm) (menit) (cm/menit) (cm) (cm/menit)
1,40 29,24 22,53 0,68 0,68 1,40 0,38 0,16 0,34 0,51 0,342,59 15,83 12,25 1,36 1,36 2,59 0,20 1,79 0,30 0,89 0,304,72 8,67 6,82 2,05 2,05 4,72 0,11 2,72 0,25 1,47 0,258,24 4,97 4,00 2,73 2,73 8,24 0,07 3,33 0,19 2,24 0,19
13,45 3,04 2,62 3,41 3,41 13,45 0,04 3,80 0,13 3,04 0,1318,55 2,21 1,92 4,09 4,09 18,55 0,03 4,16 0,09 3,59 0,0925,10 1,63 1,41 4,78 4,78 25,10 0,02 4,57 0,07 4,13 0,0734,25 1,20 1,06 5,46 5,46 34,25 0,02 5,08 0,06 4,71 0,0644,74 0,91 0,81 6,14 6,14 44,74 0,01 5,65 0,05 5,29 0,0558,74 0,70 0,63 6,82 6,82 58,74 0,01 6,38 0,05 6,01 0,0573,04 0,56 0,51 7,50 7,50 73,04 0,01 7,11 0,05 6,73 0,0588,09 0,46 0,43 8,19 8,19 88,09 0,01 7,88 0,05 7,49 0,05
103,64 0,39 0,37 8,87 8,87 103,64 0,01 8,67 0,05 8,27 0,05119,79 0,34 0,32 9,55 9,55 119,79 0,01 9,49 0,05 9,08 0,05136,19 0,30 0,28 10,23 10,23 136,19 0,00 10,32 0,05 9,90 0,05153,34 0,27 0,25 10,92 10,92 153,34 0,00 11,19 0,05 10,77 0,05170,57 0,24 0,12 11,60 11,60 170,57 0,00 12,07 0,05 11,63 0,05
Nama Lokasi Separi (AWLR Usup)Jenis Tutupan Lahan Kebun Camp. (Lada) - L6 di GPSJenis TanahTanggal Pengamatan 10-Mar-06
Volume Air Yang Diberikan (ml) 250
Y X1 X2Waktu
Pengamatan Inf Inf Rataan H H Waktu Inf Rataan H Simulasi
Inf Rataan Simulasi H f=fo-
kH+kfct(menit) (cm/jam) (cm/jam) (mm) (cm) (menit) (cm/menit) (cm) (cm/menit)
0,68 60,49 38,47 0,35 0,35 0,68 0,64 0,10 0,52 0,40 0,522,49 16,44 12,54 0,71 0,71 2,49 0,21 1,21 0,26 1,08 0,264,73 8,65 6,80 1,06 1,06 4,73 0,11 1,51 0,12 1,49 0,128,26 4,96 4,00 1,41 1,41 8,26 0,07 1,72 0,05 1,76 0,05
13,46 3,04 2,62 1,77 1,77 13,46 0,04 1,92 0,03 1,95 0,0318,56 2,21 1,92 2,12 2,12 18,56 0,03 2,09 0,03 2,10 0,0325,10 1,63 1,41 2,48 2,48 25,10 0,02 2,29 0,03 2,28 0,0334,25 1,20 1,06 2,83 2,83 34,25 0,02 2,55 0,03 2,53 0,0344,74 0,91 0,81 3,18 3,18 44,74 0,01 2,85 0,03 2,82 0,0358,74 0,70 0,63 3,54 3,54 58,74 0,01 3,24 0,03 3,20 0,0373,04 0,56 0,51 3,89 3,89 73,04 0,01 3,64 0,03 3,59 0,0388,09 0,46 0,43 4,24 4,24 88,09 0,01 4,05 0,03 4,00 0,03
103,64 0,39 0,37 4,60 4,60 103,64 0,01 4,48 0,03 4,43 0,03119,79 0,34 0,32 4,95 4,95 119,79 0,01 4,92 0,03 4,87 0,03136,19 0,30 0,28 5,31 5,31 136,19 0,00 5,37 0,03 5,32 0,03153,34 0,27 0,25 5,66 5,66 153,34 0,00 5,84 0,03 5,79 0,03170,57 0,24 0,12 6,01 6,01 170,57 0,00 6,32 0,03 6,26 0,03
136
Tabel 5. Analisis regresi antara laju infiltrasi konstan (mm/menit) dengan bobot isi tanah (g/cm3)
The regression equation is fc = 3,64 - 2,38 BI Predictor Coef SE Coef T P Constant 3,6388 0,9389 3,88 0,018 BI -2,3802 0,7196 -3,31 0,030 S = 0,1080 R-Sq = 73,2% R-Sq(adj) = 66,5% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0,12766 0,12766 10,94 0,030 Residual Error 4 0,04668 0,01167 Total 5 0,17433 Tabel 6. Perbandingan debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) antara
ketiga Sub DAS No. Waktu
Qp Qp/Luas DAS t p Qp Qp/Luas DAS t p Qp Qp/Luas DAS t p(m3/detik) (mm/6 menit) (jam) (m3/detik) (mm/6 menit) (jam) (m3/detik) (mm/6 menit) (jam)
1 08/04/2006 0,79 0,0047 2,5 0,59 0,0047 5,0 tad tad tad2 14/04/2006 0,64 0,0038 2,3 0,57 0,0045 5,9 0,46 0,0094 3,53 23/04/2006 0,77 0,0046 3,1 0,77 0,0061 7,1 0,50 0,0102 3,3
Rerata 0,0043 a 2,6 a 0,0051 a 6,0 b 0,0098 b 3,4 a
Sub DAS Separi-Usup Sub DAS Separi-Soyi Sub DAS Separi-Badin
Keterangan : tad = tidak ada data dan hurup pada baris dan kolom parameter yang sama
menunjukkan kesamaan (α=5%) Tabel 7. Skenario perubahan komposisi luas penggunaan lahan pada masing-
masing Sub DAS Separi Sub DAS Tutupan
Lahan Skenario 0 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4Separi 01 Kebun/Ladang 46,57 0,00 46,57 0,00 93,14
Semak Belukar 3069,01 0,00 1534,51 0,00 3069,01Hutan 73,56 3189,14 1608,06 3189,14 26,99
Separi 02 Semak Belukar 1091,40 0,00 545,70 0,00 1091,40Hutan 0,00 1091,40 545,70 1091,40 0,00
Separi 03 Semak Belukar 1192,34 0,00 596,17 0,00 1192,34Hutan 0,00 1192,34 596,17 1192,34 0,00
Separi 04 Semak Belukar 1374,68 0,00 687,34 0,00 1374,68Hutan 0,00 1374,68 687,34 1374,68 0,00
Separi 05 Lahan Terbuka 17,90 0,00 0,00 0,00 17,90Semak Belukar 1963,55 0,00 981,77 0,00 1963,55Hutan 0,00 1981,45 999,68 1981,45 0,00
Separi 06 Semak Belukar 1587,57 0,00 793,79 0,00 1587,57Hutan 0,00 1587,57 793,79 1587,57 0,00
Separi 07 Semak Belukar 1970,26 0,00 985,13 0,00 1970,26Hutan 80,89 2051,15 1066,02 2051,15 80,89
Separi 08 Kebun/Ladang 37,04 37,04 37,04 37,04 37,04Semak Belukar 839,83 0,00 419,92 839,83 839,83Hutan 0,00 839,83 419,92 0,00 0,00
Separi 09 Kebun/Ladang 49,87 49,87 49,87 49,87 99,75Semak Belukar 1370,44 0,00 685,22 1370,44 1320,56Hutan 0,00 1370,44 685,22 0,00 0,00Tambang Batu Bara 463,92 463,92 463,92 463,92 463,92
Separi 10 Pemukiman 28,38 28,38 28,38 28,38 56,76Persawahan 116,47 116,47 116,47 116,47 116,47Lahan Terbuka 13,25 0,00 0,00 13,25 13,25Kebun/Ladang 356,73 356,73 356,73 356,73 713,46Semak Belukar 7515,66 1000,00 3757,83 7515,66 7237,59Hutan 107,04 6635,95 3878,12 107,04 0,00
Luas (Ha)
137
Tabel 8. Defisit dan surplus air dari hasil analisis neraca air metode Thornthwaite dan Mather (1957) pada masing-masing Satuan Peta Tanah (SPT) di DAS Separi
Waktu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14Jan-02 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77Feb-02 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78Mar-02 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48Apr-02 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97Mei-02 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18Jun-02 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69Jul-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Agust-02 -2,67 -4,35 -4,68 -28,71 0,00 -11,52 -22,20 -13,47 -2,76 -21,99 0,00 0,00 0,00 0,00Sep-02 0,00 0,00 -0,32 -24,35 0,00 -7,16 -17,84 -9,11 0,00 -17,63 0,00 0,00 0,00 0,00Okt-02 -11,84 -13,52 -13,85 -37,88 -6,38 -20,69 -31,37 -22,64 -11,93 -31,16 0,00 0,00 0,00 -4,22Nop-02 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34Des-02 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52Jan-03 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83Feb-03 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64Mar-03 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28Apr-03 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80Mei-03 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87Jun-03 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96Jul-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Agust-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00Sep-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00Okt-03 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30Nop-03 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80Des-03 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76Jan-04 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07Feb-04 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72Mar-04 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93Apr-04 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78Mei-04 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34Jun-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00Jul-04 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33
Agust-04 -4,45 -6,13 -6,46 -30,49 0,00 -13,30 -23,98 -15,25 -4,54 -23,77 0,00 0,00 0,00 0,00Sep-04 0,00 0,00 0,00 -6,66 0,00 0,00 -0,15 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00Okt-04 -59,77 -61,45 -61,78 -85,81 -54,31 -68,62 -79,30 -70,57 -59,86 -79,09 0,00 0,00 0,00 -52,15Nop-04 0,00 0,00 0,00 -11,25 0,00 0,00 -4,74 0,00 0,00 -4,53 0,00 0,00 0,00 0,00Des-04 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82Jan-05 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52Feb-05 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19Mar-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00Apr-05 -0,61 -2,29 -2,62 -26,65 0,00 -9,46 -20,14 -11,41 -0,70 -19,93 0,00 0,00 0,00 0,00Mei-05 0,00 0,00 0,00 -16,98 0,00 0,00 -10,47 -1,74 0,00 -10,26 0,00 0,00 0,00 0,00Jun-05 0,00 0,00 0,00 -23,10 0,00 -5,91 -16,59 -7,86 0,00 -16,38 0,00 0,00 0,00 0,00Jul-05 -5,62 -7,30 -7,63 -31,66 -0,16 -14,47 -25,15 -16,42 -5,71 -24,94 0,00 0,00 0,00 0,00
Agust-05 -15,18 -16,86 -17,19 -41,22 -9,72 -24,03 -34,71 -25,98 -15,27 -34,50 0,00 0,00 0,00 -7,56Sep-05 -72,73 -74,41 -74,74 -98,77 -67,27 -81,58 -92,26 -83,53 -72,82 -92,05 -2,23 0,00 -11,83 -65,11Okt-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00Nop-05 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96Des-05 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97
Satuan Peta Tanah (SPT)
138
Lanjutan Tabel 8.
Waktu15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Jan-02 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77Feb-02 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78Mar-02 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48Apr-02 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97Mei-02 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18Jun-02 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69Jul-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Agust-02 0,00 0,00 0,00 -4,23 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -16,89 -38,07Sep-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -12,53 -33,71Okt-02 0,00 0,00 0,00 -13,40 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -26,06 -47,24
Nop-02 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34Des-02 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52Jan-03 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83Feb-03 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64Mar-03 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28Apr-03 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80Mei-03 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87Jun-03 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96Jul-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Agust-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -1,56Sep-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00Okt-03 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30
Nop-03 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80Des-03 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76Jan-04 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07Feb-04 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72Mar-04 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93Apr-04 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78Mei-04 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34Jun-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00Jul-04 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33
Agust-04 0,00 0,00 0,00 -6,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -18,67 -39,85Sep-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -16,02Okt-04 -9,59 -10,11 -31,45 -61,33 -33,43 -25,27 0,00 -30,31 -14,95 -33,67 0,00 -73,99 -95,17
Nop-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -20,61Des-04 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82Jan-05 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52Feb-05 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19Mar-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,95Apr-05 0,00 0,00 0,00 -2,17 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -14,83 -36,01Mei-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -5,16 -26,34Jun-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -11,28 -32,46Jul-05 0,00 0,00 0,00 -7,18 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -19,84 -41,02
Agust-05 0,00 0,00 0,00 -16,74 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -29,40 -50,58Sep-05 -22,55 -23,08 -44,41 -74,29 -46,39 -38,23 0,00 -43,27 -27,91 -46,63 -6,43 -86,95 -108,13Okt-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Nop-05 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96Des-05 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97
Satuan Peta Tanah (SPT)
139
Tabel 9. Analisis neraca air Lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) pada kelompok kelas tekstur tanah di DAS Separi
Liat Lempung PasirKapasitas Lapang (mm) 236,24 183,52 185,78Titik Layu Permanen (mm) 80,80 58,62 59,20Stok Air Tanah (mm) 155,44 124,89 126,58Kedalaman perakaran (cm) 60 60 60
Waktu Hujan ETo (CH - ETo) APWL(mm) (mm) (mm) (mm) Liat Lempung Pasir Liat Lempung Pasir Liat Lempung Pasir
Nop-01 248,62 94,00 154,62 0,00 154,62 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 94,00 94,00 94,00Des-01 207,81 94,96 112,85 0,00 155,44 124,89 108,43 0,82 0,00 0,00 94,96 94,96 94,96Jan-02 231,25 98,48 132,77 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 98,48 98,48 98,48Feb-02 118,19 95,41 22,78 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 95,41 95,41 95,41Mar-02 299,17 96,69 202,48 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 96,69 96,69 96,69Apr-02 147,32 98,35 48,97 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 98,35 98,35 98,35Mei-02 137,28 98,09 39,18 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 98,09 98,09 98,09Jun-02 208,13 83,44 124,69 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 83,44 83,44 83,44Jul-02 65,90 103,73 -37,83 -37,83 117,61 87,06 70,59 -37,83 -37,83 -37,83 65,90 65,90 65,90
Agust-02 44,70 105,24 -60,54 -98,37 57,07 26,52 10,05 -60,54 -60,54 -60,54 44,70 44,70 44,70Sep-02 98,37 94,01 4,36 0,00 61,43 30,88 14,42 4,36 4,36 4,36 94,01 94,01 94,01Okt-02 93,38 106,90 -13,53 -13,53 47,90 17,35 0,89 -13,53 -13,53 -13,53 93,38 93,38 93,38Nop-02 243,56 83,68 159,88 0,00 155,44 124,89 108,43 107,54 107,54 107,54 83,68 83,68 83,68Des-02 136,83 101,31 35,52 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 101,31 101,31 101,31Jan-03 353,93 94,10 259,83 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 94,10 94,10 94,10Feb-03 168,84 98,19 70,64 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 98,19 98,19 98,19Mar-03 202,12 104,84 97,28 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 104,84 104,84 104,84Apr-03 319,23 93,42 225,80 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 93,42 93,42 93,42Mei-03 219,94 93,06 126,87 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 93,06 93,06 93,06Jun-03 105,07 89,10 15,96 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 89,10 89,10 89,10Jul-03 64,55 93,10 -28,55 -28,55 126,89 96,34 79,88 -28,55 -28,55 -28,55 64,55 64,55 64,55
Agust-03 66,46 99,77 -33,31 -61,86 93,58 63,03 46,57 -33,31 -33,31 -33,31 66,46 66,46 66,46Sep-03 133,07 90,48 42,59 0,00 136,17 105,62 89,16 42,59 42,59 42,59 90,48 90,48 90,48Okt-03 221,17 98,60 122,57 0,00 155,44 124,89 108,43 19,27 19,27 19,27 98,60 98,60 98,60Nop-03 132,03 88,23 43,80 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 88,23 88,23 88,23Des-03 231,41 83,65 147,76 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 83,65 83,65 83,65Jan-04 233,92 93,85 140,07 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 93,85 93,85 93,85Feb-04 288,02 86,29 201,72 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 86,29 86,29 86,29Mar-04 284,47 98,54 185,93 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 98,54 98,54 98,54Apr-04 236,06 91,28 144,78 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 91,28 91,28 91,28Mei-04 165,75 90,40 75,34 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 90,40 90,40 90,40Jun-04 80,54 87,19 -6,65 -6,65 148,79 118,24 101,78 -6,65 -6,65 -6,65 80,54 80,54 80,54Jul-04 135,40 80,41 54,98 0,00 155,44 124,89 108,43 6,65 6,65 6,65 80,41 80,41 80,41
Agust-04 1,63 101,78 -100,15 -100,15 55,29 24,75 8,28 -100,15 -100,15 -100,15 1,63 1,63 1,63Sep-04 114,80 90,97 23,83 0,00 79,12 48,58 32,11 23,83 23,83 23,83 90,97 90,97 90,97Okt-04 20,03 99,19 -79,15 -79,15 -0,03 -30,58 -47,04 -79,15 -79,15 -79,15 20,03 20,03 20,03Nop-04 160,83 86,27 74,56 0,00 74,53 43,98 27,52 74,56 74,56 74,56 86,27 86,27 86,27Des-04 268,57 82,85 185,73 0,00 155,44 124,89 108,43 80,91 80,91 80,91 82,85 82,85 82,85Jan-05 168,42 86,90 81,52 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 86,90 86,90 86,90Feb-05 99,01 97,82 1,19 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 97,82 97,82 97,82Mar-05 51,65 112,90 -61,25 -61,25 94,19 63,64 47,18 -61,25 -61,25 -61,25 51,65 51,65 51,65Apr-05 54,05 89,12 -35,06 -96,31 59,13 28,58 12,12 -35,06 -35,06 -35,06 54,05 54,05 54,05Mei-05 93,60 83,93 9,67 0,00 68,80 38,25 21,79 9,67 9,67 9,67 83,93 83,93 83,93Jun-05 72,36 78,48 -6,12 -6,12 62,68 32,13 15,67 -6,12 -6,12 -6,12 72,36 72,36 72,36Jul-05 74,39 82,95 -8,56 -14,68 54,12 23,58 7,11 -8,56 -8,56 -8,56 74,39 74,39 74,39
Agust-05 83,82 93,39 -9,57 -24,24 44,56 14,01 -2,45 -9,57 -9,57 -9,57 83,82 83,82 83,82Sep-05 34,19 91,74 -57,55 -81,80 -13,00 -43,54 -60,01 -57,55 -57,55 -57,55 34,19 34,19 34,19Okt-05 240,08 84,56 155,52 0,00 142,52 111,97 95,51 155,52 155,52 155,52 84,56 84,56 84,56Nop-05 157,91 75,03 82,87 0,00 155,44 124,89 108,43 12,92 12,92 12,92 75,03 75,03 75,03Des-05 334,11 74,14 259,97 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 0,00 74,14 74,14 74,14
Keterangan : S = Surplus air, D = Defisit air, dan 0 = Stok air tanah masih mencukupi kebutuhan tanaman
Stok Air Tanah (mm) Δ WS Evapotranspirasi Aktual (mm)
140
Lanjutan Tabel 9.
WaktuLiat Lempung Pasir Liat Lempung Pasir Liat Lempung Pasir Liat Lempung Pasir Liat Lempung Pasir
Nop-01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29,72 46,19 0,00 29,72 46,19Des-01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 112,03 112,85 112,85 112,03 112,85 112,85Jan-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 132,77 S S SFeb-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 22,78 S S SMar-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 202,48 S S SApr-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 48,97 S S SMei-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 39,18 S S SJun-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 124,69 S S SJul-02 37,83 37,83 37,83 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0
Agust-02 60,54 60,54 60,54 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Sep-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Okt-02 13,53 13,53 13,53 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0
Nop-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 52,34 S S SDes-02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 35,52 S S SJan-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 259,83 S S SFeb-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 70,64 S S SMar-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 97,28 S S SApr-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 225,80 S S SMei-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 126,87 S S SJun-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 15,96 S S SJul-03 28,55 28,55 28,55 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0
Agust-03 33,31 33,31 33,31 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Sep-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Okt-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 103,30 S S S
Nop-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 43,80 S S SDes-03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 147,76 S S SJan-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 140,07 S S SFeb-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 201,72 S S SMar-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 185,93 S S SApr-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 144,78 S S SMei-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 75,34 S S SJun-04 6,65 6,65 6,65 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Jul-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 48,33 S S S
Agust-04 100,15 100,15 100,15 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Sep-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Okt-04 79,15 79,15 79,15 -0,03 -30,58 -47,04 0,00 0,00 0,00 -0,03 -30,58 -47,04 D D D
Nop-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Des-04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 104,82 S S SJan-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 81,52 S S SFeb-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 S S SMar-05 61,25 61,25 61,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Apr-05 35,06 35,06 35,06 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Mei-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Jun-05 6,12 6,12 6,12 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0Jul-05 8,56 8,56 8,56 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0
Agust-05 9,57 9,57 9,57 0,00 0,00 -2,45 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -2,45 0 0 DSep-05 57,55 57,55 57,55 -13,00 -43,54 -60,01 0,00 0,00 0,00 -13,00 -43,54 -60,01 D D DOkt-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0
Nop-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 69,96 S S SDes-05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 259,97 S S S
Defisit Fitting (mm) Surplus (mm) Defisit/Surplus Fitt. (mm) Defisit/SurplusDefisit (mm)
141
Tabel 10. Indeks vegetasi (NDVI), indeks kelembaban (wetness index), dan temperatur permukaan lahan pada masing-masing vegetasi dan tekstur tanah di DAS Separi
Jenis PenggunaanLahan dan Tekstur Tanah 03/04/02 21/05/02 08/07/02 10/09/02 03/04/02 21/05/02 08/07/02 10/09/02 03/04/02 21/05/02 08/07/02 10/09/02
Hutan + Lempung 0,47 0,38 0,38 -0,01 -6,53 -3,16 -1,94 18,31 28 30 30 30Semak Belukar + Liat 0,43 0,36 0,33 -0,06 -6,96 -1,50 -5,97 19,05 28 30 31 31Semak Belukar + Lempung 0,40 0,37 0,36 -0,04 -8,63 -2,49 -1,66 17,77 28 30 31 31Kebun/Ladang + Liat 0,43 0,38 0,30 -0,13 -7,01 -5,69 -12,89 -5,31 26 30 32 33Kebun/Ladang + Lempung 0,25 0,37 0,30 -0,15 -10,42 -3,58 -5,32 -12,18 27 30 32 33Sawah + Lempung 0,31 0,12 0,10 -0,18 -17,16 -31,52 -5,32 -21,67 27 31 32 33
Indeks Vegetasi (NDVI) Indeks Kelembaban Temperatur (oC)
Tabel 11. Identifikasi tingkat kekeringan tanaman di DAS Separi
Jenis PenggunaanLahan dan Tekstur Tanah 03/04/02 21/05/02 08/07/02 10/09/02
Hutan + Lempung Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Kurang KeringSemak Belukar + Liat Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Kurang KeringSemak Belukar + Lempung Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Kurang KeringKebun/Ladang + Liat Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering KeringKebun/Ladang + Lempung Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering KeringSawah + Lempung Tidak Kering Kering Kurang Kering Sangat Kering
Tingkat Kekeringan Tanaman
142
INDEKS
AGNPS = Agricultural Non Point Source Pollution Model ANSWERS = Areal Nonpoint Source Watershed Environment Response
Simulation ARMA = Autoregressive Moving Average ARIMA = Autoregressive Integrated Moving Average AWS = Automatic Weather Station AWLR = Automatic Water Level Recorder BAKOSURTANAL = Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional BALITKLIMAT = Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi BALITTANAH = Balai Penelitian Tanah BIOTROP = Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology BMSF = Biological Management and Soil Fertility BPTP = Balai Pengkajian Teknologi Pertanian CREAMS = Chemical Runoff, and Erosion from Agricultural Management Systems DAS = Daerah Aliran Sungai DITJEN RRL = Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Reboisasi Lahan ETP = Evapotranspirasi Potensial ETA = Evapotranspirasi Aktual GEOMET = Geofisika dan Meteorologi HEC HMS = Hydrologic Engineering Center Hydrologic Modeling System HYSIM = Hydrologic Simulation Model ICRAF = International Center for Research in Agroforestry IPB = Institut Pertanian Bogor KL = Kapasitas Lapang LAI = Leaf Area Index LAPAN = Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional LITBANG = Penelitian dan Pengembangan MARINE = Model of Anticipation of Runoff and INondations for Extrem NDVI = Normalized Difference Vegetation Index NOAA AVHRR = National Oceanographic and Atmospheric Administration
Advanced Very High Resolution Radiometer PAATP = Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif pdf = probability density function PSL = Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan PUSLITTANAK = Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat SIG = Sistem Informasi Geografis SPT = Satuan Peta Tanah SWAT = Soil and Water Assessment Tool SWMM = The Storm Water Management Model TLP = Titik Layu Permanen TOPMODEL = Topographically and Phisically Based Variable Contributions Area
Model USACE = US Army Corps of Engineers ZAE = Zona Agro Ekolologi
143