modul 7 pengujian aktifitas antiinflamasi kelompok 7 shift e

16
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN Pengujian Aktivitas Antiinflamasi Selasa, 28 April 2015 Kelompok 5 Selasa Pukul 10.00 13.00 WIB Nama NPM Tugas Raissa Dwi Astuti 260110130155 Data pengamatan, Perhitungan Willybrordus Yoga 260110130156 Alat, Bahan, Prosedur Shasti Widhia S 260110130158 Pembahasan, Kesimpulan Wilda S 260110130159 Tujuan, Prinsip, Editor Inayah Noviandari 260110130160 Teori Dasar Dinda Arditta 260110130161 Pembahasan LABORATORIUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2015 Nilai TTD (Raisa Muthiarani) (Nadiya Nurul)

Upload: wilda-sholihaturrabiah

Post on 27-Sep-2015

18 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

antiinflamasi

TRANSCRIPT

  • LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN

    Pengujian Aktivitas Antiinflamasi

    Selasa, 28 April 2015

    Kelompok 5

    Selasa Pukul 10.00 13.00 WIB

    Nama NPM Tugas

    Raissa Dwi Astuti 260110130155 Data pengamatan, Perhitungan

    Willybrordus Yoga 260110130156 Alat, Bahan, Prosedur

    Shasti Widhia S 260110130158 Pembahasan, Kesimpulan

    Wilda S 260110130159 Tujuan, Prinsip, Editor

    Inayah Noviandari 260110130160 Teori Dasar

    Dinda Arditta 260110130161 Pembahasan

    LABORATORIUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN

    FAKULTAS FARMASI

    UNIVERSITAS PADJADJARAN

    2015

    Nilai TTD

    (Raisa Muthiarani) (Nadiya Nurul)

  • PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIINFLAMASI

    I. Tujuan

    1.1 Mampu memahami prinsip dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan

    memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis.

    1.2 Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan percobaan.

    II. Prinsip

    2.1 Mediator Nyeri

    Adanya rangsangan-rangsangan mekanis/kimiawi (kalor/listrik) yang dapat

    menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-

    zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri. Mediator nyeri antara

    lain : histamin, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, prostaglandin-

    prostaglandin, ion-ion kalium. Zat-zat ini merangsang reseptor- reseptor

    nyeri pada ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir,dan jaringan,

    lalu dialirkan melalui saraf sensoris ke susunan syaraf pusat ( SSP )

    melalui sumsum tulang belakang ke talamus dan ke pusat nyeri di otak

    besar ( rangsangan sebagai nyeri ).

    2.2 Hukum Archimedes

    Pada saat kita berjalan atau berlari di dalam air, kita tentunya akan

    merasakan bahwa langkah kita lebih berat dibandingkan jika kitamelangkah

    di tempat biasa. Gejala ini disebabkan adanya tekanan dari zat cair.

    Pengamatan ini memunculkan sebuah hukum yang dikenal Hukum , yaitu :

    Jika sebuah benda dicelupkan ke dalam zat cair, maka benda tersebut

    akan mendapat gaya yang disebut gaya apung (gaya ke atas) sebesar

    berat zat cair yang dipindahkannya

    2.3 Inflamasi

  • Peradangan dapat didefinisikan sebagai reaksi jaringan terhadap cedera,

    yang secara khas terdiri atas respon vascular dan selular, yang bersama-

    sama berusaha menghancurkan substansi yang dikenali sebagai asing untuk

    tubuh. Jaringan itu kemudian dipulihkan sediakala atau diperbaiki

    sedemikian rupa agar jaringan atau organ itu dapat tetap bertahan.

    III. Teori Dasar

    Inflamasi merupakan suatu respons protektif normal terhadap luka jaringan

    yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau bahkan zat-

    zat mikrobiologik. Inflamasi adalah proses tubuh untuk menginaktivasi atau

    merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur

    derajat perbaikan jaringan. (Mycek, 2001)

    Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau terinfeksi

    kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang

    memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen

    menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan

    yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini

    disebut dengan radang. Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan,

    yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda

    (peluru, pisau, dsb), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau

    sinar UV), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan

    oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok

    yang sama, yang terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau

    nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera

    dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel

    jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan

    makrofag dan fibrolas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-

    perubahan imunologik. (Rukmono,2000).

    Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh

    darah lokal yang mengakibatkan terjadinya alirand darah setempat yang

  • berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan

    dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang

    interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor

    dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan

    monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk

    jaringan yang menimbulkan reaksi ini ialah histamine, bradikinin, serotonin,

    prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk

    reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut

    limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi. (Guyton, 1997).

    Proses inflamasi juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang

    berperan, diantaranya adalah sebagai berikut:

    - Amina vasoaktif: histamine & 5-hidroksi triptofan (5-HT/serotonin).

    Keduanya terjadi melalui inaktivasi epineprin dan norepineprin secara

    bersama-sama.

    - Plasma protease: kinin, sistem komplemen, dan sistem koagulasi fibrinolitik,

    plasmin, lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen.

    - Metabolik asam arahidonat: prostaglandin, leukotriene (LTB4, LTC4, LTD4,

    LTE4, dan 5-HETE)

    - Produk leukosit-enzim lisosomal dan limfokin

    - Activating factor dan radikal bebas. (Abrams, 2005).

    Banyak obat-obat antiinflamasi yang bekerja dengan jalan menghambat

    sintesis salah satu mediator kimiawi yaitu prostaglandin. Sintesis prostaglandin

    yaitu asam arahidonat, suatu asam lemak 20 karbon adalah precursor utama

    prostaglandin dan senyawa yang berkaitan. Asam arahidonat terdapat dalam

    komponen fosfolipid membrane sel, terutama fosfotidil inositol dan kompleks

    lipid lainnya. Asam arahidonat bebas dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh

    kerjaa fosfolipase A2 dan asil hydrolase lainnya. Ada 2 jalan utama sitesis

    eukosanoid dari asam arahidonat:

    - Jalan siklooksigenase

  • Semua eukosanoid berstruktur cincin sehingga prostaglandin, tromboksan, dan

    prostasiklin disintesis melalui jalan siklooksigenase. Telah diketahui dua

    siklooksignease: Cox-1 dan Cox-2. Cox-1 bersifat ada dimana-mana dan

    pembentuk, sementara Cox-2 diinduksi dalam respons terhadap rangsangan

    inflamasi.

    - Jalan lipoksigenase

    Beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arahidonat untuk membentuk

    HPETE, 12-HPETE, dan 15-HPETE yang merupakan turunan peroksidasi

    tidak stabil yang dikonversi menjadi turunan hidroksilasi yang seusai (HETES)

    atau menjadi leukotriene atau lipoksin, tergantung pada jaringan. (Mycek,

    2001).

    Gambaran mikroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lalu.

    Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini. tanda-tanda radang

    mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor

    (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir

    yaitu functio laesa (perubahan fungsi). (Mitchell, 2003).

    Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat

    didaerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi

    pelebaran arteriola yang menyuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga

    lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang

    dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut dengan hyperemia

    atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut.

    (Abrams, 2005).

    Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut.

    Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang

    memiliki suhu 37C disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang

    lebih banyak daripada ke daerah normal. Perubahan pH lokal atau konsentrasi

    lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat

    seperti histamine atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit

  • disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan

    yang meradang. Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian

    besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke

    jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di

    daerah peradangan disebut eksudat meradang. (Rukmono, 2000)

    Berdasarkan asal katanya, functio laesa ialah fungsi yang hilang. (Dorland,

    2002). Functio laesa merupakAn reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan

    tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi

    jaringan yang meradang, (Abrams, 2005).

    Obat-obat yang digunakan untuk anti inflamasi sebagai NSAID antara lain

    aspirin dan salisilat lain, derivate asam propionate, asam indolasetat, derivate

    oksikam, fenamat, fenilbutazon, diklofenak, ketorolak, tolmetin, dan

    nabumeton. (Mycek, 2001).

    IV. Alat dan Bahan

    a. Alat

    1. Jarum suntik

    2. Plethysmometer air raksa

    3. Sonde oral

    b. Bahan

    1. Aspirin

    2. Larutan gom arab 3%

    3. Larutan karagenan 1%

    4. Natrium diklofenak

    c. Hewan Percobaan

    1. 3 tikus putih

    d. Gambar Alat

  • Jarum suntik

    Plethysmometer

    Sonde oral

    VI. Prosedur

  • Diambil tiga tikus , dikelompokkan dan ditimbang bobot badannya ,

    kemudian diberi tanda pengenal.Tanda pengenal diberikan dengan diberi tanda

    batas pada sendi kaki belakang kiri atau kanan untuk setiap tikus dengan spidol

    agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama. Pada tahap

    pendahuluan volume kaki tikus diukur dan dinyatakan sebagai volume dasar

    (Vo) untuk setiap tikus. Pada setiap kali pengukuran volume , tinggi cairan air

    raksa diperiksa dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran. Usahakan jangan

    sampai ada air raksa yang tumpah.Setelah itu , tikus diberi obat atau larutan

    gom secara oral. Satu jam kemudian diberikan 0.05 ml larutan karagenan

    disuntikkan pada telapak kaki tikus secara subkutan.Volume kaki yang diberi

    karagenan diukur setiap 15 menit hingga 30 menit. Catat volume kaki untuk

    pengukuran (Vt).Hasil hasil pengamatan dicantumkan dalam table untuk

    setiap kelompok. Tabel harus berisi persentasi kenaikan volume kaki untuk

    masing masing tikus.Perhitungan persentase kenaikan volume kaki dilakukan

    dengan membandingkan terhadap volume dasar sebelum penyuntikkan

    karagenan.Selanjutnya setiap kelompok dihitung persentase rata rata dan

    bandingkan persentase yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap

    kelompok control pada menit yang sama.Kemudian digambarkan grafik

    persentase inhibisi radang terhadap waktu.

    VII. Data Pengamatan dan Perhitungan

    7.1. Perhitungan

    1) Dosis Obat

    Tikus 1 (PGA) = 119,9

    200 1 = 0,599 mL

    Tikus 2 (Na-Diklofenak) = 232,4

    200 1 = 1,162 mL

    Tikus 3 (Aspirin) = 121,4

    200 1 = 0,607 mL

    2) Dosis Karagenan

    Tikus 1(PGA) = 119,9

    200 0,05 = 0,029mL

  • Tikus 2 (Na-Diklofenak) = 232,4

    200 0,05 = 0,058 mL

    Tikus 3 (Aspirin) = 121,4

    200 0,05 = 0,030 mL

    3) Persentase Radang

    Vt V0

    V0 100%

    PGA

    T=45 0,0170,014

    0,014 X 100% = 21,43%

    T=60 0,0180,014

    0,014 X 100% = 28,57%

    T=75 0,0160,014

    0,014 X 100% = 12,5%

    T=90 0,0200,014

    0,014 X 100% = 42,8%

    Na-Diklofenat

    T=45 0,0210,019

    0,019 X 100% = 10,52%

    T=60 0,0200,019

    0,019 X 100% = 35,84%

    T=75 0,0300,019

    0,019 X 100% = 57,80%

    T=90 0,0240,019

    0,019 X 100% = 26,31%

    T=45 0,0110,010

    0,010 X 100% = 10%

    T=60 0,0110,010

    0,010 X 100% = 10%

    T=75 0,0130,010

    0,010 X 100% = 30%

    T=90 0,0180,010

    0,010 X 100% = 80%

    4) persentase inhibisi radang

    rata rata % radang kontrol rata rata % radang uji

    rata rata % radang kontrol 100%

    Na-Diklofenak = 374,39445,47

    374,39 100%= -18,98%

  • Aspirin = 374,39361,53

    374,39 100%= 3,43%

    7.2.Data Pengamatan

    kelompok

    T=0 T=30

    Vo

    T=45 T=60 T=75 T=90

    peroral subkutan Vt %

    radang Vt

    %

    radang Vt

    %

    radang Vt % radang

    1

    PGA Karagenan

    0,005 0,023 360% 0,005 0% 0,02 300% 0,006 20%

    2 0,006 0,014 133% 0,009 50% 0,009 50% 0,014 133,33%

    3 0,001 0,002 100% 0,003 200% 0,003 200% 0,001 0%

    4 0,02 0,026 30% 0,035 75% 0,039 95% 0,024 20%

    5 0,014 0,017 21% 0,018 28,57% 0,016 12,50% 0,02 42,80%

    128,95% 70,71% 131,5% 43,23% 374,39%

    kelompok

    T=0 T=30

    Vo

    T=45 T=60 T=75 T=90

    peroral subkutan Vt

    %

    radang Vt

    %

    radang Vt

    %

    radang Vt

    %

    radang

    1

    Na-

    Diklofenak Karagenan

    0,008 0,022 175% 0,009 12,50% 0,029 262,50% 0,011 37,50%

    2 0,004 0,005 25% 0,029 625% 0,014 250% 0,018 350%

    3 0,003 0,003 33% 0,004 33% 0,003 0% 0,003 0%

    4 0,015 0,015 193,30% 0,023 53,30% 0,02 33,30% 0,017 13,30%

    5 0,019 0,019 10,52% 0,026 35,84% 0,03 57,80% 0,024 26,31%

    87,36% 151,93% 120,72% 85,42% 445,47%

    kelompok

    T=0 T=30

    Vo

    T=45 T=60 T=75 T=90

    peroral subkutan Vt % radang Vt % radang Vt

    %

    radang Vt

    %

    radang

    1

    Aspirin Karagenan

    0,01 0,001 0% 0,016 75% 0,016 75% 0,023 130%

    2 0,004 0,015 275% 0,009 125% 0,01 150% 0,012 200%

    3 0,001 0,002 100% 0,002 100% 0,002 100% 0,002 100%

    4 0,021 0,037 76,20% 0,032 52,38% 0,037 76,19% 0,03 42,86%

    5 0,01 0,011 10% 0,011 10% 0,013 30% 0,018 80%

    92,24% 72,48% 86,24%

    110,57

    %

    361,53

    %

  • -25

    -20

    -15

    -10

    -5

    0

    5

    Na-Diklofenak Aspirin

    PE

    RS

    EN

    TA

    SE

    IN

    HIB

    ISI

    RA

    DA

    NG

    (%

    )

    KELOMPOK UJI

    HUBUNGAN KELOMPOK UJI TERHADAP

    PERSENTASE INHIBISI RADANG

    Na-Diklofenak

    Aspirin

    7.3. Grafik

  • VIII. Pembahasan

    Pada kali ini praktikum yang berjudul tentang Pengujian Aktivitas

    Antiinflamasi. Dimana tujuan dari praktikum ini agar praktikan dapat memahami

    prinsip dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan memperoleh petunjuk petunjuk

    praktis, selain itu praktikan dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dari

    percobaan percobaan dan batasan yang dilakukan dalam percobaan. Prinsip secara

    umum adalah praktikan akan menghitung volume udem dengan plathysmometer

    setelah pemerian karagenan secara subkitan, yang nantinya akan dibandingkan

    dengan hewan uji yang tidak diberikan obat anti inflamasi. Prinsip khususnya ada

    tiga yaitu hukum archimedes, mediator nyeri, dan inflamasi. Hukum archimedes

    sendiri berbunyi bahwa setiap benda yang terendam seluruhnya atau sebagian di

    dalam fluida mendapat gaya apung berarah ke atas, yang besarnya adalah sama

    dengan berat fluida yang dipindahkan oleh benda ini. Hukum ini berlaku pada saat

    memasukkan kaki tikus ke dalam alat plethysmometer. Selanjutnya prinsip

    berikutnya yaitu Mediator rasa nyeri, mediator rasa nyeri merupakan penginduksi

    rasa nyeri, dimana dengan adanya rasa nyeri maka dapat menyebabkan udema.

    Prinsip selanjutnya, Inflamasi atau nyeri merupakan respon fisiologis tubuh

    terhadap suatu injuri dan gangguan oleh faktor eksternal. Dengan adanya mediator

    nyeri inilah ia akan membangkitkan rasa radang nyeri, yang menyebabkan

    inflamasi terjadi. Hewan percobaan yang digunakan pada praktikum ini adalah

    tikus. Tikus digunakan karena lebih memudahkan dalam perhitungan volume

    udema dan saat menyuntikkan karagenan penginduksi rasa nyeri pada telapak kaki

    belakang tikus. Penggunaan karagenan sendiri memiliki beberapa kelebihan

    dimana ia walaupun menyebabkan udema atau proses ekstravasasi akibat keluarnya

    plasma dari pembuluh darah, namun tidak akan menyebabkan terjadinya suppurasi

    dan nekrosis. Suppurasi sendiri merupakan pembentukan nanah dan nekrosis

    merupakan kematian jaringan akibat adanya penumpukan dari leukosit melawan

    patogen. Karena pada dasarnya penyuntikan karagenan tidak menyuntikkan

    patogen, maka dalam waktu 24 jam pun udema yang terjadi akan menurun. Pada

    alat ini cairan yang digunakan adalah air raksa. Air raksa digunakan karena ia tidak

  • akan menempel di kaki tikus. Kalau menggunakan air biasa maka ia akan menempel

    di kaki tikus. Sehingga nanti pada saat perhitungan volume udema yang nantinya

    akan dikurangkan dengan volume kaki awal akan lebih akurat. Lalu mengapa

    diberikan suntik pada telapak kaki tikus, hal itu dikarenakan luas permukaan pada

    telapak kaki tikus jauh lebih besar dibandingkan dengan telapak tangan tikus, selain

    itu lebih mudah dilihat udema yang akan terbentuk karena ketika dimasukkan ke

    alatnya jauh lebih mudah memasukkan kaki dibandingkan tangan atau organ

    lainnya.

    Obat yang digunakan merupakan obat penghilang rasa nyeri atau anti

    inflamasi. Dimana terbagi menjadi dua jenis yaitu obat anti inflamasi non steroid

    dan obat anti inflamasi steroid. Prinsip dari obat ini adalah memutuskan tahap

    terbentuknya prostaglandin yang menyebabkan adanya rasa nyeri. Perbedaannya

    pada non steroid dia akan menginhibisi enzim siklooksigenasi untuk berikatan

    dengan asam arakidonat. Adanya selektif terhadap cox-2 ada yang tidak. Cox-2 lah

    yang perlu dihambat karena cox-2 ini yang akan menyebabkan pembentukan

    prostaglandin penyebab rasa nyeri. Selain itu ada obat golongan steroid yang

    menghambat pembentukan prekursor dari prostaglandin yaitu asam arakidonat.

    Praktikum kali ini mencoba menguji daya inhibisi radang dari natrium diklofenat

    dan aspirin. Kedua obat ini merupakan obat non selektif terhadap enzim

    siklooksigenasi 1 dan enzim siklooksigenase 2.

    Langkah pertama dalam praktikum kali ini adalah menimbang berat dari

    ketiga tikus hewan uji. Hasilnya adalah dari tikus pertama bobot nya adalah 119,9

    gram, lalu pada tikus kedua bobotnya 232,4 gram. Terakhir pada tikus ketiga bobot

    yang didapat adalah 121,4 gram. Kemudian menandai tikus mana yang merupakan

    tikus satu, dua, dan tiga. Lalu mencelupkan kaki tikus ke dalam alat plathysmometer

    sehingga didapatkan Vo. Tidak lupa untuk menandai seberapa dalam kaki

    dicelupkan. Sebab apabila tidak ditanda, kemungkinan kesalahan perhitungan dapat

    terjadi akibat tidak adanya batas berapa dalam kaki dicelupkan kedalam raksa. Lalu

    pemberian oral obat natrium diklofenat kepada tikus no.2 . Lalu diberikan obat

    aspirin secara oral pada tikus no. 3, dan pemberian gom pada tikus no.1 sebagai

  • kontrol negatif. Dimana didiamkan selama 30 menit, agar obat dapat berkerja dan

    nantinya dapat bereaksi dalam menginhibisi inflamasi dan rasa nyeri. Kemudian

    setelah 30 menit disuntikkan secara sub kutan ke telapak kaki belakang tikus, dan

    setiap 15 menit dihitung volume udema dan setiap 15 menit pula dihitung

    persentase radangnya.

    Pada tikus 1 sebelum penambahan gom arab volume kaki yang tercatat pada

    plathystometer adalah sebesar 0.014 ml pada tikus 2 sebelum penambahan natrium

    diklofenat adalah sebesar 0.019 ml, pada tikus no 3 volume kaki yang tercatat

    adalah sebesar 0.010 ml.Setelah pemberian suntikan karagenan dan diamati 15

    menit pertama diukur kembali volume kaki tikus dan persen inhibisnya.Persen

    radang ini menunjukkan perubahan volume pada kaki tikus.Persen radang

    dirumuskan dengan persamaan:

    100%

    Vt menunjukkan volume akhir saat mencit diukur kembali dan Vo merupakan

    volume awal mencit sebelum dilakukan pemberian obat dan diinduksi

    karagenan.Pada tikus 1 volume mencit setelah 15 menit pertama adalah sebesar

    0.017 ml,perubahan ini menunjukkan persen radang sebesar 21.43%, setelah 15

    menit yang kedua volume pada kaki tikus berubah menjadi 0.018 ml, dan

    menunjukkan persen radang sebesar 28.57%, 15 menit yang ketiga perubahan

    volume menjadi 0.016 ml, dan persen radangnya sebesar 12.5%, setelah 15 menit

    yang ke 4 (1 jam dr pemberian karagenan) volume kaki tikus berubah menjadi

    0.020, dan persen radang sebesar 42.80%. Pada tikus 2 dan 3 pun diperlakukan

    perlakuan yang sama dengan mengamati perubahan volume kaki hingga kurun

    waktu 1 jam dan didapatkah seperti hasil pada Tabel. Pada tikus 1 persen radang

    terbesar tekecil pada menit ke 75 setelah pemberian gom arab.Pada tikus 2 terlihat

    persen radang terkecil ada di menit ke 90 setelah pemberian obat natrium diklofenat

    yaitu sebesar 26.31%.Pada tikus 3 data yang didapatkan kurang begitu akurat

    karena persen radang terkecil berada di menit ke 45 dan 60 setelah pemberian obat

    yaitu 10%. Pada tikus 1 yang mempunyai data persen radang yang meningkat

  • adalah disebabkan karena tidak adanya inhibitor untuk udema, karena pada tikus 1

    hanya diberikan cairan pembawa berupa gom arab, maka karagenan akan terus

    menyebabkan induksi.Pada tikus ke-2 persen radang terkecil yang dihasilkan

    adalah pada menit ke 90 setelah pemberian obat,ini menunjukkan bahwa natrium

    diklofenat bekerja menginhibisi udema yang disebabkan karagenan setelah menit

    ke 60 pemberian.Pada tikus ke-3 persen radang terkecil ada pada menit ke 45

    sampai menit ke 60, tetapi setelah menit ke 60 persen radang tidak menurun dan

    malah meningkat. Persen radang tidak menurun ini bisa disebabkan oleh pemberian

    obat secara oral yang tidak masuk keseluruhannya ataukah memang waktu absorbsi

    untuk aspirin adalah lama.Pada menit ke 90 persen radang semakin

    meningkat.Setelah didapatkan persen radang dari masing masing hewan uji

    percobaan, ditentukanlah persen inhibisi pada masing masing obat.Persen inhibisi

    menunjukkan kekuatan suatu obat untuk menginhibisi induksi yang terjadi.Persen

    inhibisi ditunjukkan oleh persamaan berikut :

    % %

    % 100%

    Persen inhibisi untuk natrium diklofenat adalah sebesar -18.98% dan untuk

    aspirin adalah sebesar 3.43%.Persen inhibisi pada natrium diklofenat minus,

    disebabkan oleh pemberian obat yang tidak sempurna atau adanya kesalaha

    praktikan saat mengukur volume kaki yang terkena udema.

    IX. Kesimpulan

    9.1. Prinsip dasar dari pengujian aktivitas antiinflamasi adalah mediator nyeri,

    hukum archimedes dan inflamasi.

    9.2. Kemungkinan dan batasan pada percobaan ditunjukkan oleh data hubungan

    antara kelompok uji dengan persentase radang, waktu dengan persentase

    radang dan kelompok uji dengan persentase inhibisi radang.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Abrams. 2003. Respons Tubuh Terhadap Cedera. Jakarta : EGC.

    Guyton, A. C. & Hall, J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

    Mitchell, R. N. & Cotran, R. S. 2003. Inflamasi Akut dan Kronik. Philadelphia :

    Elsevier Saunders.

    Mycek, J Mary. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta : Widya Medika.

    Rukmono.2000. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta : Bagian Patologi Akademik

    FK UI.