modul 7 pengujian aktifitas antiinflamasi kelompok 7 shift e
DESCRIPTION
antiinflamasiTRANSCRIPT
-
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN
Pengujian Aktivitas Antiinflamasi
Selasa, 28 April 2015
Kelompok 5
Selasa Pukul 10.00 13.00 WIB
Nama NPM Tugas
Raissa Dwi Astuti 260110130155 Data pengamatan, Perhitungan
Willybrordus Yoga 260110130156 Alat, Bahan, Prosedur
Shasti Widhia S 260110130158 Pembahasan, Kesimpulan
Wilda S 260110130159 Tujuan, Prinsip, Editor
Inayah Noviandari 260110130160 Teori Dasar
Dinda Arditta 260110130161 Pembahasan
LABORATORIUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
Nilai TTD
(Raisa Muthiarani) (Nadiya Nurul)
-
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIINFLAMASI
I. Tujuan
1.1 Mampu memahami prinsip dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan
memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis.
1.2 Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan percobaan.
II. Prinsip
2.1 Mediator Nyeri
Adanya rangsangan-rangsangan mekanis/kimiawi (kalor/listrik) yang dapat
menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-
zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri. Mediator nyeri antara
lain : histamin, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, prostaglandin-
prostaglandin, ion-ion kalium. Zat-zat ini merangsang reseptor- reseptor
nyeri pada ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir,dan jaringan,
lalu dialirkan melalui saraf sensoris ke susunan syaraf pusat ( SSP )
melalui sumsum tulang belakang ke talamus dan ke pusat nyeri di otak
besar ( rangsangan sebagai nyeri ).
2.2 Hukum Archimedes
Pada saat kita berjalan atau berlari di dalam air, kita tentunya akan
merasakan bahwa langkah kita lebih berat dibandingkan jika kitamelangkah
di tempat biasa. Gejala ini disebabkan adanya tekanan dari zat cair.
Pengamatan ini memunculkan sebuah hukum yang dikenal Hukum , yaitu :
Jika sebuah benda dicelupkan ke dalam zat cair, maka benda tersebut
akan mendapat gaya yang disebut gaya apung (gaya ke atas) sebesar
berat zat cair yang dipindahkannya
2.3 Inflamasi
-
Peradangan dapat didefinisikan sebagai reaksi jaringan terhadap cedera,
yang secara khas terdiri atas respon vascular dan selular, yang bersama-
sama berusaha menghancurkan substansi yang dikenali sebagai asing untuk
tubuh. Jaringan itu kemudian dipulihkan sediakala atau diperbaiki
sedemikian rupa agar jaringan atau organ itu dapat tetap bertahan.
III. Teori Dasar
Inflamasi merupakan suatu respons protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau bahkan zat-
zat mikrobiologik. Inflamasi adalah proses tubuh untuk menginaktivasi atau
merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur
derajat perbaikan jaringan. (Mycek, 2001)
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau terinfeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang
memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen
menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan
yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini
disebut dengan radang. Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan,
yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda
(peluru, pisau, dsb), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau
sinar UV), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan
oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok
yang sama, yang terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau
nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera
dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel
jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan
makrofag dan fibrolas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-
perubahan imunologik. (Rukmono,2000).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah lokal yang mengakibatkan terjadinya alirand darah setempat yang
-
berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan
dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang
interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor
dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan
monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk
jaringan yang menimbulkan reaksi ini ialah histamine, bradikinin, serotonin,
prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk
reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut
limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi. (Guyton, 1997).
Proses inflamasi juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang
berperan, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Amina vasoaktif: histamine & 5-hidroksi triptofan (5-HT/serotonin).
Keduanya terjadi melalui inaktivasi epineprin dan norepineprin secara
bersama-sama.
- Plasma protease: kinin, sistem komplemen, dan sistem koagulasi fibrinolitik,
plasmin, lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen.
- Metabolik asam arahidonat: prostaglandin, leukotriene (LTB4, LTC4, LTD4,
LTE4, dan 5-HETE)
- Produk leukosit-enzim lisosomal dan limfokin
- Activating factor dan radikal bebas. (Abrams, 2005).
Banyak obat-obat antiinflamasi yang bekerja dengan jalan menghambat
sintesis salah satu mediator kimiawi yaitu prostaglandin. Sintesis prostaglandin
yaitu asam arahidonat, suatu asam lemak 20 karbon adalah precursor utama
prostaglandin dan senyawa yang berkaitan. Asam arahidonat terdapat dalam
komponen fosfolipid membrane sel, terutama fosfotidil inositol dan kompleks
lipid lainnya. Asam arahidonat bebas dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh
kerjaa fosfolipase A2 dan asil hydrolase lainnya. Ada 2 jalan utama sitesis
eukosanoid dari asam arahidonat:
- Jalan siklooksigenase
-
Semua eukosanoid berstruktur cincin sehingga prostaglandin, tromboksan, dan
prostasiklin disintesis melalui jalan siklooksigenase. Telah diketahui dua
siklooksignease: Cox-1 dan Cox-2. Cox-1 bersifat ada dimana-mana dan
pembentuk, sementara Cox-2 diinduksi dalam respons terhadap rangsangan
inflamasi.
- Jalan lipoksigenase
Beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arahidonat untuk membentuk
HPETE, 12-HPETE, dan 15-HPETE yang merupakan turunan peroksidasi
tidak stabil yang dikonversi menjadi turunan hidroksilasi yang seusai (HETES)
atau menjadi leukotriene atau lipoksin, tergantung pada jaringan. (Mycek,
2001).
Gambaran mikroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lalu.
Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini. tanda-tanda radang
mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor
(pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir
yaitu functio laesa (perubahan fungsi). (Mitchell, 2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat
didaerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi
pelebaran arteriola yang menyuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga
lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang
dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut dengan hyperemia
atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut.
(Abrams, 2005).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut.
Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang
memiliki suhu 37C disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang
lebih banyak daripada ke daerah normal. Perubahan pH lokal atau konsentrasi
lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat
seperti histamine atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit
-
disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan
yang meradang. Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian
besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke
jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di
daerah peradangan disebut eksudat meradang. (Rukmono, 2000)
Berdasarkan asal katanya, functio laesa ialah fungsi yang hilang. (Dorland,
2002). Functio laesa merupakAn reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan
tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi
jaringan yang meradang, (Abrams, 2005).
Obat-obat yang digunakan untuk anti inflamasi sebagai NSAID antara lain
aspirin dan salisilat lain, derivate asam propionate, asam indolasetat, derivate
oksikam, fenamat, fenilbutazon, diklofenak, ketorolak, tolmetin, dan
nabumeton. (Mycek, 2001).
IV. Alat dan Bahan
a. Alat
1. Jarum suntik
2. Plethysmometer air raksa
3. Sonde oral
b. Bahan
1. Aspirin
2. Larutan gom arab 3%
3. Larutan karagenan 1%
4. Natrium diklofenak
c. Hewan Percobaan
1. 3 tikus putih
d. Gambar Alat
-
Jarum suntik
Plethysmometer
Sonde oral
VI. Prosedur
-
Diambil tiga tikus , dikelompokkan dan ditimbang bobot badannya ,
kemudian diberi tanda pengenal.Tanda pengenal diberikan dengan diberi tanda
batas pada sendi kaki belakang kiri atau kanan untuk setiap tikus dengan spidol
agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama. Pada tahap
pendahuluan volume kaki tikus diukur dan dinyatakan sebagai volume dasar
(Vo) untuk setiap tikus. Pada setiap kali pengukuran volume , tinggi cairan air
raksa diperiksa dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran. Usahakan jangan
sampai ada air raksa yang tumpah.Setelah itu , tikus diberi obat atau larutan
gom secara oral. Satu jam kemudian diberikan 0.05 ml larutan karagenan
disuntikkan pada telapak kaki tikus secara subkutan.Volume kaki yang diberi
karagenan diukur setiap 15 menit hingga 30 menit. Catat volume kaki untuk
pengukuran (Vt).Hasil hasil pengamatan dicantumkan dalam table untuk
setiap kelompok. Tabel harus berisi persentasi kenaikan volume kaki untuk
masing masing tikus.Perhitungan persentase kenaikan volume kaki dilakukan
dengan membandingkan terhadap volume dasar sebelum penyuntikkan
karagenan.Selanjutnya setiap kelompok dihitung persentase rata rata dan
bandingkan persentase yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap
kelompok control pada menit yang sama.Kemudian digambarkan grafik
persentase inhibisi radang terhadap waktu.
VII. Data Pengamatan dan Perhitungan
7.1. Perhitungan
1) Dosis Obat
Tikus 1 (PGA) = 119,9
200 1 = 0,599 mL
Tikus 2 (Na-Diklofenak) = 232,4
200 1 = 1,162 mL
Tikus 3 (Aspirin) = 121,4
200 1 = 0,607 mL
2) Dosis Karagenan
Tikus 1(PGA) = 119,9
200 0,05 = 0,029mL
-
Tikus 2 (Na-Diklofenak) = 232,4
200 0,05 = 0,058 mL
Tikus 3 (Aspirin) = 121,4
200 0,05 = 0,030 mL
3) Persentase Radang
Vt V0
V0 100%
PGA
T=45 0,0170,014
0,014 X 100% = 21,43%
T=60 0,0180,014
0,014 X 100% = 28,57%
T=75 0,0160,014
0,014 X 100% = 12,5%
T=90 0,0200,014
0,014 X 100% = 42,8%
Na-Diklofenat
T=45 0,0210,019
0,019 X 100% = 10,52%
T=60 0,0200,019
0,019 X 100% = 35,84%
T=75 0,0300,019
0,019 X 100% = 57,80%
T=90 0,0240,019
0,019 X 100% = 26,31%
T=45 0,0110,010
0,010 X 100% = 10%
T=60 0,0110,010
0,010 X 100% = 10%
T=75 0,0130,010
0,010 X 100% = 30%
T=90 0,0180,010
0,010 X 100% = 80%
4) persentase inhibisi radang
rata rata % radang kontrol rata rata % radang uji
rata rata % radang kontrol 100%
Na-Diklofenak = 374,39445,47
374,39 100%= -18,98%
-
Aspirin = 374,39361,53
374,39 100%= 3,43%
7.2.Data Pengamatan
kelompok
T=0 T=30
Vo
T=45 T=60 T=75 T=90
peroral subkutan Vt %
radang Vt
%
radang Vt
%
radang Vt % radang
1
PGA Karagenan
0,005 0,023 360% 0,005 0% 0,02 300% 0,006 20%
2 0,006 0,014 133% 0,009 50% 0,009 50% 0,014 133,33%
3 0,001 0,002 100% 0,003 200% 0,003 200% 0,001 0%
4 0,02 0,026 30% 0,035 75% 0,039 95% 0,024 20%
5 0,014 0,017 21% 0,018 28,57% 0,016 12,50% 0,02 42,80%
128,95% 70,71% 131,5% 43,23% 374,39%
kelompok
T=0 T=30
Vo
T=45 T=60 T=75 T=90
peroral subkutan Vt
%
radang Vt
%
radang Vt
%
radang Vt
%
radang
1
Na-
Diklofenak Karagenan
0,008 0,022 175% 0,009 12,50% 0,029 262,50% 0,011 37,50%
2 0,004 0,005 25% 0,029 625% 0,014 250% 0,018 350%
3 0,003 0,003 33% 0,004 33% 0,003 0% 0,003 0%
4 0,015 0,015 193,30% 0,023 53,30% 0,02 33,30% 0,017 13,30%
5 0,019 0,019 10,52% 0,026 35,84% 0,03 57,80% 0,024 26,31%
87,36% 151,93% 120,72% 85,42% 445,47%
kelompok
T=0 T=30
Vo
T=45 T=60 T=75 T=90
peroral subkutan Vt % radang Vt % radang Vt
%
radang Vt
%
radang
1
Aspirin Karagenan
0,01 0,001 0% 0,016 75% 0,016 75% 0,023 130%
2 0,004 0,015 275% 0,009 125% 0,01 150% 0,012 200%
3 0,001 0,002 100% 0,002 100% 0,002 100% 0,002 100%
4 0,021 0,037 76,20% 0,032 52,38% 0,037 76,19% 0,03 42,86%
5 0,01 0,011 10% 0,011 10% 0,013 30% 0,018 80%
92,24% 72,48% 86,24%
110,57
%
361,53
%
-
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
Na-Diklofenak Aspirin
PE
RS
EN
TA
SE
IN
HIB
ISI
RA
DA
NG
(%
)
KELOMPOK UJI
HUBUNGAN KELOMPOK UJI TERHADAP
PERSENTASE INHIBISI RADANG
Na-Diklofenak
Aspirin
7.3. Grafik
-
VIII. Pembahasan
Pada kali ini praktikum yang berjudul tentang Pengujian Aktivitas
Antiinflamasi. Dimana tujuan dari praktikum ini agar praktikan dapat memahami
prinsip dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan memperoleh petunjuk petunjuk
praktis, selain itu praktikan dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dari
percobaan percobaan dan batasan yang dilakukan dalam percobaan. Prinsip secara
umum adalah praktikan akan menghitung volume udem dengan plathysmometer
setelah pemerian karagenan secara subkitan, yang nantinya akan dibandingkan
dengan hewan uji yang tidak diberikan obat anti inflamasi. Prinsip khususnya ada
tiga yaitu hukum archimedes, mediator nyeri, dan inflamasi. Hukum archimedes
sendiri berbunyi bahwa setiap benda yang terendam seluruhnya atau sebagian di
dalam fluida mendapat gaya apung berarah ke atas, yang besarnya adalah sama
dengan berat fluida yang dipindahkan oleh benda ini. Hukum ini berlaku pada saat
memasukkan kaki tikus ke dalam alat plethysmometer. Selanjutnya prinsip
berikutnya yaitu Mediator rasa nyeri, mediator rasa nyeri merupakan penginduksi
rasa nyeri, dimana dengan adanya rasa nyeri maka dapat menyebabkan udema.
Prinsip selanjutnya, Inflamasi atau nyeri merupakan respon fisiologis tubuh
terhadap suatu injuri dan gangguan oleh faktor eksternal. Dengan adanya mediator
nyeri inilah ia akan membangkitkan rasa radang nyeri, yang menyebabkan
inflamasi terjadi. Hewan percobaan yang digunakan pada praktikum ini adalah
tikus. Tikus digunakan karena lebih memudahkan dalam perhitungan volume
udema dan saat menyuntikkan karagenan penginduksi rasa nyeri pada telapak kaki
belakang tikus. Penggunaan karagenan sendiri memiliki beberapa kelebihan
dimana ia walaupun menyebabkan udema atau proses ekstravasasi akibat keluarnya
plasma dari pembuluh darah, namun tidak akan menyebabkan terjadinya suppurasi
dan nekrosis. Suppurasi sendiri merupakan pembentukan nanah dan nekrosis
merupakan kematian jaringan akibat adanya penumpukan dari leukosit melawan
patogen. Karena pada dasarnya penyuntikan karagenan tidak menyuntikkan
patogen, maka dalam waktu 24 jam pun udema yang terjadi akan menurun. Pada
alat ini cairan yang digunakan adalah air raksa. Air raksa digunakan karena ia tidak
-
akan menempel di kaki tikus. Kalau menggunakan air biasa maka ia akan menempel
di kaki tikus. Sehingga nanti pada saat perhitungan volume udema yang nantinya
akan dikurangkan dengan volume kaki awal akan lebih akurat. Lalu mengapa
diberikan suntik pada telapak kaki tikus, hal itu dikarenakan luas permukaan pada
telapak kaki tikus jauh lebih besar dibandingkan dengan telapak tangan tikus, selain
itu lebih mudah dilihat udema yang akan terbentuk karena ketika dimasukkan ke
alatnya jauh lebih mudah memasukkan kaki dibandingkan tangan atau organ
lainnya.
Obat yang digunakan merupakan obat penghilang rasa nyeri atau anti
inflamasi. Dimana terbagi menjadi dua jenis yaitu obat anti inflamasi non steroid
dan obat anti inflamasi steroid. Prinsip dari obat ini adalah memutuskan tahap
terbentuknya prostaglandin yang menyebabkan adanya rasa nyeri. Perbedaannya
pada non steroid dia akan menginhibisi enzim siklooksigenasi untuk berikatan
dengan asam arakidonat. Adanya selektif terhadap cox-2 ada yang tidak. Cox-2 lah
yang perlu dihambat karena cox-2 ini yang akan menyebabkan pembentukan
prostaglandin penyebab rasa nyeri. Selain itu ada obat golongan steroid yang
menghambat pembentukan prekursor dari prostaglandin yaitu asam arakidonat.
Praktikum kali ini mencoba menguji daya inhibisi radang dari natrium diklofenat
dan aspirin. Kedua obat ini merupakan obat non selektif terhadap enzim
siklooksigenasi 1 dan enzim siklooksigenase 2.
Langkah pertama dalam praktikum kali ini adalah menimbang berat dari
ketiga tikus hewan uji. Hasilnya adalah dari tikus pertama bobot nya adalah 119,9
gram, lalu pada tikus kedua bobotnya 232,4 gram. Terakhir pada tikus ketiga bobot
yang didapat adalah 121,4 gram. Kemudian menandai tikus mana yang merupakan
tikus satu, dua, dan tiga. Lalu mencelupkan kaki tikus ke dalam alat plathysmometer
sehingga didapatkan Vo. Tidak lupa untuk menandai seberapa dalam kaki
dicelupkan. Sebab apabila tidak ditanda, kemungkinan kesalahan perhitungan dapat
terjadi akibat tidak adanya batas berapa dalam kaki dicelupkan kedalam raksa. Lalu
pemberian oral obat natrium diklofenat kepada tikus no.2 . Lalu diberikan obat
aspirin secara oral pada tikus no. 3, dan pemberian gom pada tikus no.1 sebagai
-
kontrol negatif. Dimana didiamkan selama 30 menit, agar obat dapat berkerja dan
nantinya dapat bereaksi dalam menginhibisi inflamasi dan rasa nyeri. Kemudian
setelah 30 menit disuntikkan secara sub kutan ke telapak kaki belakang tikus, dan
setiap 15 menit dihitung volume udema dan setiap 15 menit pula dihitung
persentase radangnya.
Pada tikus 1 sebelum penambahan gom arab volume kaki yang tercatat pada
plathystometer adalah sebesar 0.014 ml pada tikus 2 sebelum penambahan natrium
diklofenat adalah sebesar 0.019 ml, pada tikus no 3 volume kaki yang tercatat
adalah sebesar 0.010 ml.Setelah pemberian suntikan karagenan dan diamati 15
menit pertama diukur kembali volume kaki tikus dan persen inhibisnya.Persen
radang ini menunjukkan perubahan volume pada kaki tikus.Persen radang
dirumuskan dengan persamaan:
100%
Vt menunjukkan volume akhir saat mencit diukur kembali dan Vo merupakan
volume awal mencit sebelum dilakukan pemberian obat dan diinduksi
karagenan.Pada tikus 1 volume mencit setelah 15 menit pertama adalah sebesar
0.017 ml,perubahan ini menunjukkan persen radang sebesar 21.43%, setelah 15
menit yang kedua volume pada kaki tikus berubah menjadi 0.018 ml, dan
menunjukkan persen radang sebesar 28.57%, 15 menit yang ketiga perubahan
volume menjadi 0.016 ml, dan persen radangnya sebesar 12.5%, setelah 15 menit
yang ke 4 (1 jam dr pemberian karagenan) volume kaki tikus berubah menjadi
0.020, dan persen radang sebesar 42.80%. Pada tikus 2 dan 3 pun diperlakukan
perlakuan yang sama dengan mengamati perubahan volume kaki hingga kurun
waktu 1 jam dan didapatkah seperti hasil pada Tabel. Pada tikus 1 persen radang
terbesar tekecil pada menit ke 75 setelah pemberian gom arab.Pada tikus 2 terlihat
persen radang terkecil ada di menit ke 90 setelah pemberian obat natrium diklofenat
yaitu sebesar 26.31%.Pada tikus 3 data yang didapatkan kurang begitu akurat
karena persen radang terkecil berada di menit ke 45 dan 60 setelah pemberian obat
yaitu 10%. Pada tikus 1 yang mempunyai data persen radang yang meningkat
-
adalah disebabkan karena tidak adanya inhibitor untuk udema, karena pada tikus 1
hanya diberikan cairan pembawa berupa gom arab, maka karagenan akan terus
menyebabkan induksi.Pada tikus ke-2 persen radang terkecil yang dihasilkan
adalah pada menit ke 90 setelah pemberian obat,ini menunjukkan bahwa natrium
diklofenat bekerja menginhibisi udema yang disebabkan karagenan setelah menit
ke 60 pemberian.Pada tikus ke-3 persen radang terkecil ada pada menit ke 45
sampai menit ke 60, tetapi setelah menit ke 60 persen radang tidak menurun dan
malah meningkat. Persen radang tidak menurun ini bisa disebabkan oleh pemberian
obat secara oral yang tidak masuk keseluruhannya ataukah memang waktu absorbsi
untuk aspirin adalah lama.Pada menit ke 90 persen radang semakin
meningkat.Setelah didapatkan persen radang dari masing masing hewan uji
percobaan, ditentukanlah persen inhibisi pada masing masing obat.Persen inhibisi
menunjukkan kekuatan suatu obat untuk menginhibisi induksi yang terjadi.Persen
inhibisi ditunjukkan oleh persamaan berikut :
% %
% 100%
Persen inhibisi untuk natrium diklofenat adalah sebesar -18.98% dan untuk
aspirin adalah sebesar 3.43%.Persen inhibisi pada natrium diklofenat minus,
disebabkan oleh pemberian obat yang tidak sempurna atau adanya kesalaha
praktikan saat mengukur volume kaki yang terkena udema.
IX. Kesimpulan
9.1. Prinsip dasar dari pengujian aktivitas antiinflamasi adalah mediator nyeri,
hukum archimedes dan inflamasi.
9.2. Kemungkinan dan batasan pada percobaan ditunjukkan oleh data hubungan
antara kelompok uji dengan persentase radang, waktu dengan persentase
radang dan kelompok uji dengan persentase inhibisi radang.
-
DAFTAR PUSTAKA
Abrams. 2003. Respons Tubuh Terhadap Cedera. Jakarta : EGC.
Guyton, A. C. & Hall, J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Mitchell, R. N. & Cotran, R. S. 2003. Inflamasi Akut dan Kronik. Philadelphia :
Elsevier Saunders.
Mycek, J Mary. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta : Widya Medika.
Rukmono.2000. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta : Bagian Patologi Akademik
FK UI.