modul field lab semester vi edisi revisi iii kie...
TRANSCRIPT
i
MODUL FIELD LAB SEMESTER VI
EDISI REVISI III
KIE: PEMBINAAN POSYANDU LANSIA
GUNA PELAYANAN KESEHATAN LANSIA
Disusun oleh :
TIM FIELD LAB FK UNS
FIELD LAB
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2015
ii
TIM REVISI:
Ketua : Dhani Redhono H., dr., Sp.PD
Ucapan Terima Kasih Kepada:
1. Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si
2. Vitri Widyaningsih, dr.
3. Anik Lestari, dr., M.Kes
4. Bagus Wicaksono, Drs., M.Si
5. Sri Indratni, dr.
6. Sutrisno, dr., M. Si
7. Fitri Nur Rachmawati, dr.
8. Budi Santoso, S. Kep
9. Handayani Tri Wardani, dr.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Tim Penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya
modul Field Lab dengan topik KIE: Pembinaan Posyandu Lansia Guna Pelayanan Kesehatan
Lansia. Topik Field Lab ini dikembangkan sebagai tuntutan kebutuhan materi pendidikan
kedokteran komunitas yang akhir-akhir muncul fenomena meningkatnya jumlah kelompok
Lansia baik yang potensial maupun yang sudah menderita berbagai penyakit. Berdasarkan hal
tersebut maka perlu bentuk modul pembelajaran yang mendukung tercapainya kompetensi
mahasiswa kedokteran dalam hal penyuluhan kesehatan komunitas khususnya pada penyakit
degeneratif pada Lansia.
Akhir kata tim revisi modul Field Lab ini menghaturkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah berkenan membantu dalam penyusunan,
penyempurnaan dan penerbitan modul ini.
Surakarta, Januari 2015
Tim Penyusun
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN..................................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II. KAJIAN TEORI......................................................................................... 4
BAB III. PENCEGAHAN PENYAKIT DEGENERATIF PADA LANSIA.......... 13
BAB IV. KAJIAN ILMIAH KESEHATAN LANSIA............................................. 14
BAB V. STRATEGI PEMBELAJARAN................................................................. 34
BAB VI. PROSEDUR KERJA................................................................................... 37
BAB VII. SKALA PENILAIAN................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 40
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penduduk usia lanjut (yang kemudian disingkat lansia) merupakan bagian
masyarakat yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kita. Siapapun pasti akan
mengalami masa fase lansia tersebut. Menurut data Pusat Statistik, jumlah lansia di
Indonesia pada tahun 1980 adalah sebanyak 7,7 juta jiwa atau hanya 5,2 persen dari
seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat
menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Dan data terbaru menunjukkan bahwa jumlah
lansia di Indonesia diperkirakan akan mencapai 9,77 % atau sejumlah 23,9 juta jiwa pada
tahun 2010 dan meningkat lagi secara signifikan sebesar 11,4 % atau sebanyak 28,8 juta
jiwa pada tahun 2020. Hal ini berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan yang
dialami oleh masyarakat Indonesia khususnya di bidang kesehatan yang ditunjukkan
dengan semakin tingginya angka harapan hidup masyarakat Indonesia. Pada tahun 1980,
angka harapan hidup masyarakat Indonesia hanya sebesar 52,2 tahun. Sepuluh tahun
kemudian meningkat menjadi 59,8 tahun pada tahun 1990 dan satu dasa warsa berikutnya
naik lagi menjadi 64,5 tahun. Diperkirakan pada tahun 2010 usia harapan hidup penduduk
Indonesia akan mencapai 67,4 tahun. Bahkan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai
71,1 tahun. Dengan data – data tersebut, maka diperkirakan 10 tahun ke depan struktur
penduduk Indonesia akan berada pada struktur usia tua.
Isu sentral masalah kependudukan yaitu masih rendahnya kualitas sumberdaya
manusia usia lanjut (LANSIA) yang dipengaruhi langsung oleh beberapa faktor, antara lain
konsumsi makanan dan gizi, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan serta pengakuan
masyarakat bahwa mereka masih mempunyai kemampuan kerja dan pendapatan dari
pensiunan yang masih rendah. Konsumsi makanan dan gizi kurang (malnutrisi) masih
dialami oleh beberapa Lansia di Indonesia yang tersebar pada beberapa desa dan daerah
pinggiran kota. Kondisi yang demikian mengakibatkan masih rendahnya derajat
kesehatan masyarakat Lansia.
Pertambahan penduduk di Jawa Tengah telah berhasil diturunkan dari 1,47 % pada
tahun 1990 menjadi 0,91 % tahun 1995. Namun secara absolut pertumbuhan penduduk
tersebut masih relatif tinggi yaitu sebesar 196.758 jiwa per tahun. Dampak lebih jauh dari
permasalahan kependudukan adalah bertambahnya penduduk berusia lanjut dengan kriteria
:
2
rendahnya kualitas kesehatan Lansia yang disebabkan oleh rendahnya pendapatan,
disamping pendapatan itu sendiri belum merata diterima setiap Lansia.
adanya tuntutan persediaan pangan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan kalori yang
makin berkualitas bagi Lansia.
Permasalahan penduduk Lansia perlu ditangani dengan strategi antara lain melalui
pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi bersama-sama dengan peningkatan prasarana dan
pelayanan kesehatan yang di pusatkan pada Posyandu. Strategi peningkatan kesehatan
Lansia ini ditempuh melalui penurunan angka kesakitan dan jumlah jenis keluhan Lansia.
Penurunan Angka Kesakitan Lansia (AKL) tidak hanya merupakan tanggung jawab sektor
kesehatan tetapi merupakan tanggung jawab semua sektor terkait.
Agar program penurunan AKL dapat dicapai secara efektif dan efisien perlu
didukung adanya data. POSYANDU LANSIA merupakan sarana pelayanan kesehatan
dasar untuk meningkatkan kesehatan para Lansia. Gerakan Sadar Pangan dan Gizi
(GSPG) juga merupakan wadah lintas sektoral untuk melaksanakan keterpaduan unsur
terkait dalam rangka mendukung kesehatan para Lansia.
Berbagai kemitraan antara Pemda Kabupaten sebagai pelaksana pembangunan
daerah dengan pihak swasta maupun universitas telah ikut berpartisipasi secara aktif dan
bekerja sama dalam gerakan sadar pangan dan gizi yang di khususkan bagi Lansia. Cita-
cita pembangunan untuk Lansia supaya tetap sehat, aktif dan produktif dapat terwujud di
setiap wilayah baik desa maupun kota. Untuk itu perlu keterlibatan mahasiswa FK dalam
upaya menyusun strategi pemberdayaan kaum Lansia khususnya pada tingkat pelayanan
kesehatan dasar berbasis masyarakat. Oleh karena itu modul ini dimaksudkan untuk
mengantarkan mahasiswa di lapangan khususnya di Posyandu Lansia agar gambaran
pemberdayaan kaum Lansia yang tepat guna menjamin kelangsungan hidup sehat, aktif
dan produktif di masyarakat dapat terpenuhi.
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan diharapkan mahasiswa dapat
memiliki kemampuan:
a. Mampu memahami peran dan fungsi posyandu lansia.
b. Mampu menjelaskan cara pengisian dan penggunaan KMS lansia.
c. Mampu menjelaskan kelainan-kelainan yang sering terjadi pada lansia beserta
pencegahan dan pengobatannya.
d. Memahami tatalaksana Diet Lansia dan pola hidup sehat Lansia.
3
e. Melakukan penyuluhan kesehatan komunitas tentang manfaat Posyandu Lansia
dalam meningkatkan kesehatan Lansia.
f. Melakukan pengumpulan dan analisis data tentang program posyandu, prevalensi
penyakit yang diderita lansia, serta upaya kuratif dan rehabilitatif.
g. Melakukan penilaian status depresi lansia dengan menggunakan GDS (Geriatric
Depression Scale) dan MMSE (Mini Mental State Examination).
h. Mampu melakukan pengamatan dan penilaian pada posyandu lansia setempat
dengan standar program posyandu lansia.
4
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Etiologi
Proses menua (aging) adalah suatu keadaan alami selalu berjalan dengan disertai
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi. Hal
tersebut berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa
secara khusus pada lansia.
Masalah kesehatan jiwa lansia adalah salah satu problem kesehatan yang sangat
penting pada penatalaksanaan seorang geriatri dan psikogeriatri, yang merupakan bagian
dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi
aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6).
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah kesehatan pada
lansia yang menyangkut aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta
psikososial yang menyertai kehidupan lansia. Sementara Psikogeriatri adalah cabang ilmu
kedokteran jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut
aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai
kehidupan lansia.
Istilah Golongan usia lanjut (Lansia) diperuntukkan bagi mereka yang telah berusia
60 tahun atau lebih. Sedangkan geriatri adalah orang usia lanjut yang disertai dengan
pelbagai penyakit kronik. Biasanya pada golongan ini disertai dengan pelbagai masalah
psikososial. Dengan demikian tidak semua orang usia lanjut bisa digolongkan sebagai
pasien geriatri. Ciri Pasien geriatri adalah :
Memiliki tiga atau lebih penyakit kronis
Gejala penyakit yang tidak khas
Menurunnya beberapa fungsi organ tubuh.
Tingkat kemandiriannya berkurang.
Sering disertai adanya masalah nutrisi.
Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu:
Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia.
Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif.
Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : a) Ketergantungan pada
orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain), b) Mengisolasi diri atau
5
menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya
setelah menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah
kematian pasangan hidup dan lain-lain.
Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga
membawa lansia kearah kerusakan/kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif
terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif,
apatis dsb. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang
paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat
terpaksa berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis.
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia, yang
hendaknya disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka
dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat
mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut :
Penurunan Kondisi Fisik
Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Perubahan Aspek Psikososial
Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Penurunan Kondisi Fisik
Pada saat seseorang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya
kondisi fisik yang bersifat patologis ganda (multiple pathology), misalnya tenaga
berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh,
dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia banyak
mengalami penurunan fungsi organ. Hal ini dapat menimbulkan gangguan atau kelainan
fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
selalu bergantung kepada orang lain. Agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat,
maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun
sosial. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya
keseimbangan makan, tidur, istirahat dan bekerja.
Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan
berbagai gangguan fisik seperti :
6
Gangguan jantung
Gangguan metabolisme, misal diabetes millitus
Vaginitis
Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat
kurang
Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya
misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya
Pasangan hidup telah meninggal
Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku
lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal
yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang
berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi
tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan
keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5
tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak
banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power syndrome, apalagi jika pada masa lansia
tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya
sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu
harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
7
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika
tidak segera bangkit dari kedukaannya.
Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah
memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan
yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan
kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya
terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung
membuat susah dirinya.
Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun
dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi
setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari tipe kepribadiannya seperti
yang telah diuraikan.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia?
Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa
pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa
senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun
(pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya mempunyai dampak bagi masing-
masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri
lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun
lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiunyang benar-benar diisi
dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk
masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara
berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika
perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan
yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa
lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-
masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak
jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat
hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang
8
selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam
menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka
menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.
Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia.
Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur
dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah
dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih
sanggupagar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan
semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul
perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang
tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga
perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang
memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung
karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya
ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi
mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau
punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi
hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya
Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia disamping
sebagai long stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi
lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam
lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam
masyarakat sebagai seorang lain.
Studi epidemiologi kondisi dan keluhan rematik di pedesaan dan kota menunjukkan
bahwa di desa Kematren (Ambarawa) terdapat 27 % menderita rematik dan di kota
Semarang sebanyak 24.8 %. Organ yang nyeri umumnya pada pinggang dan lutut. Semua
keluhan rematik meningkat dengan bertambahnya umur. Penyakit degeneratif sendi
(osteoartritis) merupakan jenis rematik yang paling sering diderita Lansia di RSU Cipto
Mangunkusumo (Jakarta), Karyadi (Semarang), Sutomo (Surabaya) dan Moewardi
9
(Surakarta). Hubungan rematik dengan gizi lain terlihat pada korelasi positif dengan
obesitas, konsumsi lemak dan garam yang berlebihan (Darmojo, 1994).
Karakteristik Lansia merupakan data yang diperoleh melalui wawancara, yang
meliputi keterangan sosio-ekonomi dan pendidikan Lansia pada saat mahasiswa
melakukan Field Lab. Tingkat pendapatan Lansia merupakan pendapatan keluarga dimana
Lansia/responden bertempat tinggal. Jika mempunyai pendapatan dari pensiunan, maka
siapa saja yang memanfaatkan uang pensiunan tersebut kemudian dikurangi untuk hal
tersebut, baru dihitung sebagai pendapatan Lansia.
Status gizi Lansia merupakan hasil pengukuran antropometri:
berat badan (kg)
tinggi badan kuadrat (m)
Ada lima kategori status gizi lansia, yaitu:
- Buruk
- Kurang
- Cukup
- Baik
- lebih
Status kesehatan lansia merupakan hasil pemantauan medical record lansia yang
ada pada buku kesehatan lansia di Posyandu.
Susunan menu makanan Lansia merupakan susunan hidangan yang terdiri dari
olahan berbagai macam resep masakan yang dipadukan dan disajikan dalam waktu
tertentu. Menu dapat terdiri dari dua macam hidangan atau lebih misalnya makanan
selingan beserta minumannya, makanan lengkap (pagi, siang, malam), ataupun sebagai
hidangan makanan sehari-hari secara keseluruhan (Depkes, 1992). Pola konsumsi pangan
Lansia merupakan kebiasaan tentang makan dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh ibu
Lansia sebagai refleksi dari keadaan lingkungan sosial dan budaya setempat.
Materi penyuluhan Pembinaan Posyandu Lansia sampai saat ini masih sedikit
apalagi sekarang pembinaan harus bervariasi dan dapat menjawab masalah yang dihadapi
khalayak sasaran, serta masyarakat mampu menerapkan informasi yang diterima. Hal ini
ada kaitannya dengan yang diungkapkan oleh Burger tentang mitos pemusatan. Mitos
pemusatan adalah kecenderungan untuk merencanakan segala sesuatu dari atas karena
menganggap orang atas adalah orang terdidik, dan karena pendidikannya dapat lebih tepat
menilai kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi. Akibatnya paket penyuluhan
Pembinaan Posyandu Lansia menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat. Masyarakat
10
lalu enggan menerapkan inovasi-inovasi penyuluhan karena tidak sesuai dengan kebutuhan
mereka (Hanim, 2004).
Penanganan lansia bisa dibedakan menjadi institusional dan non institusional yang
terdiri atas home care dan community care. Pada tataran institusional peran pemerintah
daerah sangat penting khususnya pada pembuatan peraturan daerah dan kebijakan lain
yang mendukung peningkatan kesejahteraan lansia.
Salah satu propinsi yang sangat tanggap terhadap kesejahteraan lansia adalah
propinsi Jawa Timur yang sudah membuat Perda No. 5 Tahun 2007 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia. Perda ini kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan sosialisasi ke berbagai
kabupaten/ kota di Jawa Timur. Selain itu, dilakukan pendukungan anggaran dengan
beberapa kegiatan antara lain dengan pertama melakukan uji petik home care yakni
pelayanan lansia dalam keluarga sendiri. Kedua, jaminan sosial Lansia berupa bantuan
tunai bagi Lansia yang tidak produktif dan terlantar. Ketiga, pendampingan Lansia.
Keempat, sosialisasi Perda. Kelima, membentuk puskesmas santun Lansia yakni dengan
memberikan kemudahan bagi pasien Lansia. Salah satu peran pentiung lain adalah
penyediaan fasilitasi umum yang ramah lansia, misalnya dengan tangga yang lump sum
sehingga memudahkan lansia yang dengan bantuan tongkat atau kursi roda untuk berjalan,
pegangan pada setiap sisi atau sudut tembok, trotoar khusus dan sebagainya. Dukungan
pemerintah daerah semacam ini akan memberikan angin segar bagi penanganan lansia
khususnya yang terlantar.
Peran masyarakat dalam penanganan lansia saat ini sangat penting, terlebih karena
struktur usia yang menua, menyebabkan jumlah lansia yang tinggal dalam suatu komunitas
meningkat dengan cepat, mencapai hampir 11%. Peran masyarakat yang terpenting adalah
dalam pelayanan dan pendampingan terhadap lansia baik yang produktif maupun non
produktif khususnya yang tinggal di luar panti.
Namun saat ini, dengan semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat akan perlunya
memberikan perhatian bagi lansia yang terlantar, banyak kelompok–kelompok atau
yayasan–yayasan tertentu yang mengkhususkan diri untuk bergerak memberikan
penyantunan bagi lansia yang terlantar. Salah satunya adalah dengan mendirikan panti –
panti penyantun lansia. Banyak panti yang memang bersifat sosial dan nir laba, hanya
dengan mengandalkan harapan pada donatur, namun tidak sedikit pula panti yang lebih
mirip dengan penitipan lansia dengan fasilitas yang sangat ideal.
11
Kebutuhan Hidup Minimal Penduduk Lanjut Usia
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap sosial
ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat maupun dalam pemerintah. Implikasi ekonomis
yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam ratio
ketergantungan usia lanjut (old age ratio dependency). Setiap penduduk usia produktif
akan menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut. Lansia dibedakan menjadi
menjadi Pra Lansia (usia 45 – 59 th) , Lansia/eldery (60 – 69 tahun) , Lansia/Old (70 - 79
tahun), Lansia/very old (80 – 90 tahun). Pada masa Pra lansia, secara fisik mereka masih
aktif melakukan pekerjaan, namun dari waktu ke waktu kondisi fisik dan psikisnya mulai
menurun. Sedangkan pada masa eldery mereka sudah mulai memasuki masa pensiun dan
secara psikis mulai merasakan kesepian karena semakin berkurangnya kegiatan – kegiatan
yang bisa dia lakukan. Masa ini sangat berpengaruh terhadap harapan hidup yang dimiliki
LANSIA
LANSIA TDK
POTENSIAL
LANSIA
POTENSIAL
Penguatan
Usaha
Ekonomi
Produktif
Pelayanan
Kesehatan
P
E M
E
R I
N
T A
H
Pelibatan
dalam
masyarakat
Posyandu
Lansia
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
Di
dala
m
Panti
Di
luar
Panti
Jaminan
Kebutuh
an dasar
Jamina
n
Kesehat
an
P
E
M
E
R
I
N
T
A
H
Jami
nan
sosial
Jaminan
Kesehata
n
Pelayan
an &
pendam
pingan
Masyarak
at
Keluarga
12
oleh seorang lansia. Namun pada masa eldery ini seorang lansia masih bisa secara mandiri
melakukan kegiatan – kegiatan sehari – harinya. Sedangkan pada masa old dan very old,
seorang lansia akan menjadi sangat tergantung pada orang lain khususnya keluarga intinya.
Secara lebih detail, kebutuhan lansia terbagi atas :
1. Kebutuhan fisik meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan.
2. Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati dan mendapatkan
perhatian lebih dari sekelilingnya.
3. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
4. Kebutuhan ekonomi, secara ekonomi, meskipun tidak potensial lansia juga
mempunyai kebutuhan secara ekonomi sehingga harus terdapat beberapa sumber
pendanaan dati luar, sementara untuk lansia yang potensial membutuhkan adanya
tambahan ketrampilan, UEP (Usaha Ekonomi Produktif), bantuan modal dan
penguatan kelembagaan.
5. Kebutuhan spiritual
Selain itu, lansia mempunyai sifat psikis yang sangat khas yang memberikan
pengaruh terhadap perlakuan atau pelayanan seperti apa yang seharusnya diberikan kepada
lansia. Sifat psikis tersebut adalah :
a. Tipe kepribadian Konstruktif, pada tipe ini tidak banyak mengalami gejolak,
tenang dan mantap sampai sangat tua.
b. Tipe Kepribadian Mandiri , pada tipe ini ada kecenderungan mengalami
postpower syndrome, apabila pada masa lanjut usia tidak diisi dengan kegiatan
yang memberikan otonomi pada dirinya.
c. Tipe Kepribadian Tergantung , pada tipe ini sangat dipengaruhi kehidupan
keluarga . Apabila kehidupan keluarga harmonis maka pada masa lanjut usia
tidak akan timbul gejolak. Akan tetapi jika pasangan hidup meninggal maka
pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana apalagi jika terus terbawa
arus kedukaan.
d. Tipe Kepribadian Bermusuhan, pada tipe ini setelah memasuki masa lanjut usia
tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya. Banyak keinginan yang kadang-
kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi
ekonomi rusak.
e. Tipe Kepribadian Kritik Diri, tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena
perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah
dirinya.
13
BAB III
PENCEGAHAN PENYAKIT DEGENERATIF PADA LANSIA
Pemahaman terhadap jenis kondisi psikis Lansia akan membantu menentukan
bagaimana pelayanan yang dilakukan baik oleh keluarga, masyarakat, maupun panti.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dengan semakin lanjutnya usia maka
mengalami berbagai penurunan baik secara fisik maupun psikis, mulai dari semakin
lemahnya badan, semakin berkurangnya fungsi – fungsi panca indera. Secara psikis dengan
semkin lanjutnya usia maka sifat kekanakan dan ingin diperhatikan juga mulai muncul
sehingga apabila tidak dilayani dengan sabar dan telaten, maka akan sering menimbulkan
konflik antara lansia dengan sekelilingnya, baik dari masyarakat dan keluarga. Sehingga
menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui bagaimana keinginan dan harapan yang
ingin diperoleh lansia.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Gati Setiti ( 2006 ) terhadap lansia di
lima wilayah di Indonesia, menunjukkan beberapa harapan yang ingin diperoleh lansia
antara lain :
1. Harapan Lansia terhadap Kerabat/keluarganya, pelayanan terhadap lansia harus
dilakukan dengan ikhlas dan wajar. Kerabat mau mendengarkan dan menerima
keinginan lansia dan menyikapinya dengan baik, bila terdapat perbedaan maka
harus menyikapinya dengan cara yang tidak menyinggung perasaan.
2. Harapan Lansia terhadap masyarakat, lansia tetap menjadi bagian dari masyarakat
dan dilibatkan dalam setiap kegiatan termasuk memberikan pengalaman serta ilmu
yang dimilikinya. Perasaan dihargai menjadi hal yang sangat penting untuk
menjaga kondisi psikis seorang lansia
3. Harapan Lansia terhadap pemerintah, agar mengembangkan program ekonomi bagi
lanjut usia potensial, memberi jaminan hidup bagi lansia tidak potensial yang
berasal dari keluarga tidak mampu, jaminan kesehatan bagi lansia yang murah /
gratis. Menyediakan fasilitasi umum bagi lansia, membentuk wadah untuk
bersosialisasi bagi lansia misalnya dengan Posyandu Lansia, menyediakan panti –
panti yang layak bagi lansia yang terlantar.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lansia masih mempunyai harapan yang
sangat besar untuk aktualisasi diri.
14
MASALAH KESEHATAN
LANSIA (Diagnosis Penyakit
Degeneratif)
DATA (Internet)
DATA (Buku)
DATA Hasil Lab
Bukti
KEPUTUSAN MEDIS
DOKT
ER
BAB IV
KAJIAN ILMIAH ’KESEHATAN LANSIA’
Konsep Map
A. Permasalahan Kesehatan Lansia
Permasalahan yang sering timbul pada usia lanjut. Salah satunya adalah depresi yang
merupakan perasaan terasing (ter-isolasi atau kesepian) adalah perasaan tersisihkan,
terpencil dari orang lain, karena merasa berbeda dengan orang lain. Yang dapat disebabkan
karena:
1. Tersisih dari kelompoknya,
2. Tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya,
3. Terisolasi dari lingkungan,
4.Tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman,
5. Seseorang harus sendiri tanpa ada pilihan.
Hal-hal tersebut menimbulkan perasaan tidak berdayaan, kurang percaya diri,
ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lansia miskin, post power syndrome, perasaan
tersiksa, perasaan kehilangan, mati rasa dan sebagainya. Seseorang yang menyatakan
dirinya kesepian cenderung menilai dirinya sebagai orang yang tidak berharga, tidak
diperhatikan dan tidak dicintai (Rasa kesepian akan semakin dirasakan oleh lansia yang
sebelumnya adalah seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan yang menghadirkan atau
berhubungan dengan orang banyak. Hilangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan
sosial yang terkait dengan hilangnya kedudukan atau perannya dapat menimbulkan konflik
atau keguncangan. Masalah ini terkait dengan sikap masyarakat sebagai orang Timur yang
menghormati lansia sebagai sesepuh sehingga kurang bisa menerima bila seorang lansia
15
masih aktif dalam berbagai kegiatan produktif), lebih jauh dinyatakan bahwa penyebab
menurunnya kontak sosial pada lanjut usia:
1. Ditinggalkan oleh semua anaknya karena masing-masing sudah membentuk
keluarga dan tinggal di rumah atau kota yang terpisah.
2. Berhenti dari pekerjaan (pensiun sehingga kontak dengan teman sekerja terputus
atau berkurang).
3. Mundurnya dari berbagai kegiatan (akibatnya jarang bertemu dengan banyak
orang).
4. Kurang dilibatkannya lanjut usia dalam berbagai kegiatan.
5. Ditinggalkan oleh orang yang dicintai: pasangan hidup, anak, saudara, sahabat, dll.
Kesepian akan sangat dirasakan oleh lanjut usia yang hidup sendirian, tanpa anak,
kondisi kesehatannya rendah, tingkat pendidikannya rendah, introvert, rasa percaya diri
rendah, kondisi sosial ekonomi sebagai akibat pensiun menimbulkan perasaan kehilangan
prestise, hubungan sosial, kewibawaan dsb. Jika lebih parah dapat berlanjut menjadi
depresi.
Penelitian sosiologis pada tahun 2002 yang mengungkapkan bahwa sebagian besar
lansia mengaku merasa minder dan tidak pantas lagi untuk aktif di masyarakat. Dalam hal
ini, sebagai anggota masyarakat lansia telah bertingkah laku sesuai dengan tuntutan dan
opini masyarakat yang mengalinasi mereka, walaupun konsekuensinya merasa kesepian
dan depresi.
Depresi adalah suatu bentuk gangguan emosi yang menunjukkan perasaan tertekan,
sedih, tidak bahagia, tidak berharga, tidak berarti, serta tidak mempunyai semangat dan
pesimis menghadapi masa depan. Depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan
pada alam perasaan (afektif, mood) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan
gairah hidup, perasaan tidak berguna dan putus asa. Untuk menduga seseorang depresi
adalah menanyakan “adakah perubahan perasaan, perubahan tingkahlaku dan keluhan yang
bersifat fisik ? Misalnya adakah: perasaan sedih atau putus harapan; pesimis; tingkat
aktivitas rendah; kesulitan yang bersifat motivasi; kesulitan dalam berhubungan dengan
orang lain; tidak puas dalam berhubungan dengan orang lain; kecemasan sosial; tidak
terlibat dalam keluarga atau teman ; seperti biasanya; kesepian; merasa berdosa;
kehilangan kontrol – kemampuan kontrol rendah; kelelahan fisik; gangguan tidur;
gangguan nafsu makan; gangguan konsentrasi, gangguan membuat keputusan; keluhan
fisik lainnya seperti: insomnia, kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, dan sakit
kepala.
16
Depresi merupakan kondisi yang mudah membuat lanjut usia putus asa, kenyataan
yang menyedihkan karena kehidupan kelihatan suram dan diliputi banyak tantangan.
Lansia dengan depresi biasanya lebih menunjukkan keluhan fisik daripada keluhan emosi.
Keluhan fisik sebagai akibat depresi kurang mudah untuk dikenali, yang sering
menyebabkan keterlambatan dalam penanganannya. Sepertiga (33%) dari para janda/duda
akan mengalami depresi pada bulan pertama sepeninggal pasangannya, dan separo dari
mereka tetap depresi sesudah satu tahun. Janda/duda memiliki tingkat depresi yang lebih
tinggi daripada mereka yang masih berpasangan.
Banyak ahli dan peneliti yang menyatakan bahwa orang yang menderita kesepian
lebih sering mendatangi layanan gawat darurat 60% lebih banyak bila dibandingkan
dengan mereka yang tidak menderitanya, dua kali lebih banyak membutuhkan perawatan
di rumah, resiko terserang influensa sebanyak dua kali, berisiko empat kali mengalami
serangan jantung dan mengalami kematian akibat serangan jantung tersebut, juga
berisiko meningkatkan mortalitas dan kejadian stroke dibanding yang tidak kesepian.
Kriteria penilaian yang digunakan dalam menilai status depresi lansia adalah GDS
(Geriatric Depression Scale) dan MMSE (Mini Mental State Examination). Bila hasil skor
lebih dari 5 dinyatakan depresi.
Tabel 1 Depression Scale dalam menilai depresi
17
Tabel 2. Penilaian MMSE (Mini Mental State Examination)
DAFTAR PERTANYAAN PENILAIAN
1. Tanggal berapakah hari ini?
(bulan, tahun)
0 – 2 kesalahan = baik
3 – 4 kesalahan = gangguan
intelek ringan
5 – 7 kesalahan = gangguan
intelek sedang
8 – 10 kesalahan = gangguan
intelek berat
Bila penderita tak pernah
sekolah , nilai kesalahan
diperbolehkan + 1 dari nilai di
atas
Bila penderita sekolah lebih
dari SMA, kesalahan yang
diperbolehkan – 1 dari atas
2. Hari apakah hari ini?
3. Apakah nama tempat ini?
4. Berapa nomor telepon
Bapak/Ibu? (bila tidak ada
telepon, dijalan apakah rumah
Bapak/Ibu?)
5. Berapa umur Bapak/Ibu?
6. Kapan Bapak/Ibu lahir? (tanggal,
bulan, tahun)
7. Siapakah nama Gubernur kita?
(Walikota/lurah/camat)
8. Siapakah nama gubernur sebelum
ini? (Walikota/lurah/camat)
9. Siapakah nama gadis Ibu anda?
10. Hitung mundur 3-3, mulai dari
20!
Dari: Folstein and Folstein, 1990
Post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana ‘penderita’ hidup dalam
bayang-bayang kebesaran masa lalunya (entah jabatannya atau karirnya, kecerdasannya,
kepemimpinannya atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang
ada saat ini. Dalam mailing list konseling, sebetulnya, secara umum syndrome ini bisa
sebagai masa krisis perkembangan. Gejala post power syndrome khususnya adalah krisis
yang menyangkut satu jabatan atau kekuasaan, terutama akan terjadi pada orang yang
mendasarkan harga dirinya pada kekuasaan.
Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut usia
dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang yang berhasil melalui fase ini
dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Tetapi pada kasus-
kasus tertentu, dimana seseorang tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah
dengan tuntutan hidup yang terus mendesak, dan dirinya adalah satu-satunya penopang
hidup keluarga, resiko terjadinya post-power syndrome yang berat semakin besar.
Permasalahan lain adalah ada beberapa penyakit yang sering muncul pada usia
lanjut, yang disebut Geriatric Giant, yang terdiri dari:
1. Imobilisasi
2. Instabilitas dan jatuh
3. Inkontinensia urin dan alvi
18
4. Gangguan Intelektual (demensia)
5. Infeksi
6. Gangguan penglihatan & pendengaran
7. Impaksi (konstipasi)
8. Isolasi (depresi)
9. Inanisi (malnutrisi)
10. Impecunity (kemiskinan)
11. Latrogenesis (sering karena terlalu banyak obat)
12. Insomnia
13. Defisiensi imunitas
14. Impotensi
B. Perkembangan Penduduk Lansia dan Penyakit Degeneratif
Jumlah penduduk lanjut usia (usia 60 tahun keatas) di Indonesia terus menerus
meningkat. Pada tahun 1970 jumlah penduduk yang mencapai umur 60 tahun ke atas
(lansia) berjumlah sekitar 5,31 juta orang atau 4,48% dari total penduduk Indonesia. Pada
tahun 1990 jumlah tersebut meningkat hampir dua kali lipat yaitu menjadi 9,9 juta jiwa.
Pada tahun 2020 jumlah lansia diperkirakan meningkat sekitar tiga kali lipat dari jumlah
lansia pada tahun 1990. Kantor Menteri Kependudukan/BKKBN, 1999 menyatakan bahwa
pada tahun 1995 beberapa propinsi di Indonesia proporsi lansianya jauh berada diatas
patokan penduduk berstruktur tua (yakni 7 %), yaitu antara lain : Daerah Istimewa
Yogyakarta (12,5%), Jawa Timur (9,46%), Bali (8,93%), Jawa Tengah (8,8%) dan
Sumatera Barat (7,98%). Data statistik menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia
Indonesia pada awal abad ke 21 ini diperkirakan adalah sekitar 15 juta orang dan pada
tahun 2020 jumlah lanjut usia tersebut akan meningkat sekitar 30 - 40 juta orang.
Lansia rentan memiliki penyakit-penyakit degeneratif karena penurunan fungsi
tubuh. Penyakit-penyakit tersebut antara lain:
1. Diabetes Mellitus
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit degeneratif yang tidak asing lagi di
dunia. DM adalah penyakit metabolik dengan karakteristik terjadinya hiperglikemia akibat
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Prince and Wilson, 2006).
Secara umum, ada dua tipe DM, yaitu DM tipe 1, merupakan penyakit autoimun yang
dipengaruhi oleh faktor genetik yang seringkali terjadi pada anak-anak, dan DM tipe 2,
biasanya timbul pada penderita dengan usia di atas 40 tahun akibat resistensi insulin
19
(Prince and Wilson, 2006; Guyton and Hall, 2008). Dari kedua tipe DM tersebut, DM tipe
2 adalah jenis DM yang paling banyak diderita oleh masyarakat saat ini (Barret et al.,
2010; Barbora et al., 2012).
Populasi penderita DM tipe 2 di dunia semakin hari semakin bertambah, terutama
di negara maju (Mohan et al., 2007). Bahkan, prevalensi penderita DM tipe 2 di tahun
2010 mencapai 285.000.000 jiwa di seluruh dunia (Anderson et al., 2011; Power et al.,
2012). Menurut World HealthOrganization (2008), penderita DM tipe 2 di Indonesia
diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000, menjadi
21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Peningkatan ini seiring dengan peningkatan faktor risiko
yaitu obesitas, kurang aktivitas fisik, merokok, dan hiperkolesterol (Barret et al., 2010).
Perkembangan DM tipe 2 diawali dengan gangguan sekresi insulin pada sel β
pankreas fase pertama akibat kegagalan dalam mengkompensasi resistensi insulin. Apabila
kondisi tersebut tidak segera ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya (DM
tipe 2 kronis) akan terjadi kerusakan sel-sel β pankreas secara progresif yang akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Padahal, kebanyakan penderita DM tipe 2 baru terdiagnosis setelah munculnya manifestasi
klinis yang mengindikasikan bahwa DM tipe 2 yang diderita sudah kronis (Masharani and
German, 2011).
Oleh karena DM tipe 2 bersifat kronis dan progresif, maka seringkali menimbulkan
komplikasi pada berbagai organ sehingga penatalaksanaannya pun tidaklah mudah.
Penatalaksanaan DM tipe 2 yang ada saat ini adalah berupa perubahan gaya hidup dan
intervensi farmakologis yang memerlukan tingkat kepatuhan tinggi (Anderson et al., 2011;
Power et al., 2012).
2. Hipertensi
Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya morbiditas dan mortalitas
berbagai penyakit kardiovaskular. TDS (tekanan darah sistolik) meningkat sesuai dengan
peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah diastolik) meningkat seiring dengan
TDS sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena terjadinya proses
kekakuan arteri akibat aterosklerosis. Sekitar usia 60 tahun dua pertiga pasien dengan
hipertensi mempunyai hipertensi sistolik terisolasi (HST), sedangkan di atas 75 tahun tiga
perempat dari seluruh pasien mempunyai hipertensi sistolik (Suhardjono, 2009).
Definisi hipertensi tidak berubah sesuai dengan umur yaitu tekanan darah sistolik
(TDS) > 140 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik (TDD) > 90 mmHg. The Joint
20
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Bloodpressure (JNCVI) dan WHO / lnternational Society of Hypertension Guidelines
Subcommittees setuju bahwa TDS & keduanya digunakan untuk klasifikasi hipertensi
(Kuswardani, 2006).
Hipertensi sistolodiastolik didiagnosis bila TDS 140 mmHg dan TDD 90 mmHg.
Hipertensi sistolik terisolasi (HST) adalah bila TDS 140 mmHg dengan TDD < 90 mmHg.
Definisi hipertensi menurutWHO dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Definisi dan klasifikasi tingkat tekanan darah (mmHg).
Kategori Sistolik Diastolik
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal-tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat 1
(ringan)
140-159 90-99
Subkelompok :
borderline
140-149 90-94
Hipertensi derajat 2
(sedang)
160-179 100-109
Hipertensi derajat 3
(berat)
180 110
Hipertensi sistolik
terisolasi
140 <90
Subkelompok :
borderline
140-149 <90
Jika tekanan darah sistolik dan diastolik berbeda
kategori, dipakai kategori yang lebih tinggi.
Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya umur. TDS
meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD meningkat sampai
umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun. Kombinasi
perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya kekakuan pembuluh darah`dan
penurunan kelenturan (compliance) arteri dan ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi
sesuai dengan umur. Seperti diketahui, tekanan nadi merupakan predictor terbaik dari
21
adanya perubahan struktural di dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia
belum sepenuhnya jelas. Efek utama dari penuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler
meliputi perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan
pembuluh darah besar meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai umur.
Perubahan ini menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh darah besar dan
mengakibatkan peningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah menyebabkan
peningkatan resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan
umur.
Perubahan mekanisme refleks baroreseptor mungkin dapat menerangkan adanya
variabilitas tekanan darah yang terlihat pada pemantauan terus menerus. Penurunan
sensitivitas baroreseptor juga menyebabkan kegagalan refleks postural, yang
mengakibatkan hipertensi pada lanjut usia sering terjadi hipotensi ortostatik. Perubahan
keseimbangan antara vasodilatasi adrenergik dan vasokonstriksi adrenergik-a akan
menyebabkan kecenderungan vasokonstriksi dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan
resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Resistensi Na akibat peningkatan
asupan dan penurunan sekresi juga berperan dalam terjadinya hipertensi. Walaupun
ditemukan penurunan renin plasma dan respons renin terhadap asupan garam, sistem renin-
angiotensin tidak mempunyai peranan utama pada hipertensi pada lanjut usia. Perubahan-
perubahan di atas bertanggung jawab terhadap penurunan curah jantung (cardiac output),
penurunan denyut jantung, penurunan kontraktilitas miokard, hipertrofi ventrikel kiri, dan
disfungsi diastolik. Ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi
ginjal dan laju filtrasi glomerulus (Kuswardani, 2006).
Pada semua umur, diagnosis hipertensi memerlukan pengukuran berulang dalam
keadaan istirahat, tanpa ansietas, kopi, alkohol, atau merokok. Namun demikian, salah
diagnosis lebih sering terjadi pada lanjut usia, terutama perempuan, akibat beberapa faktor
seperti berikut. Panjang cuff mungkin tidak cukup untuk orang gemuk atau berlebihan atau
orang terlalu kurus. Penurunan sensitivitas refleks baroreseptor sering menyebabkan
fluktuasi tekanan darah dan hipotensi postural. Fluktuasi akibat ketegangan (hipertensi jas
putih = white coathypertension) & latihan fisik juga lebih sering pada lanjut usia. Arteri
yang kaku akibat arterosklerosis menyebabkan tekanan darah terukur lebih tinggi.
Kesulitan pengukuran tekanan darah dapat diatasi dengan cara pengukuran
ambulatory. Sebelum menegakkan diagnosis hipertensi pada lanjut usia, hendaknya
palingsedikit dilakukan pemeriksaan di klinik sebanyak tiga kali dalam waktu yang
berbeda dalam beberapa minggu. Gejala yang sering adalah nyeri sendi tangan (35% pada
22
perempuan, 22% pada laki-laki), berdebar (33% pada perempuan, 17% pada laki-laki),
mata kering (16% pada perempuan, 6% pada laki-laki), penglihatan kabur (35% pada
perempuan, 23% pada laki-laki), kram pada tungkai (43% pada perempuan, 31% pada laki-
laki), nyeri tenggorok (15% pada perempuan, 7% pada laki-laki), Nokturia merupakan
gejala tersering pada kedua jenis kelamin yaitu sebanyak 68% (Kuswardani, 2006).
3. Osteoarthritis
Osteoartritis merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang berkaitan dengan
kerusakan kartilago tulang. Lokasi yang sering terkena adalah vertebra, pinggul, lutus dan
pergelangan kaki. Di Indonesia, prevalensi OA cukup tinggi, pada pria mencapai 15,5%
dan pada wanita 12,7% (Soeroso et al., 2006).
OA dibagi menjadi dua macam, yakni OA primer dan sekunder. OA primer masih
belum diketahui kausanya dan tidak ada hubungannya dengan perubahan lokal pada sendi.
Sedangkan OA sekunder adalah OA yang didasari oleh kelainan endokrin, inflamasi,
metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro juga akibat imobilisasi yang
terlalu lama(Soeroso et al., 2006; Lozada, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pakar, diketahui bahwa OA merupakan
penyakit yang diakibatkan oleh terganggunya sistem homeostasis pada metabolisme
kartilago dengan kerusakan proteoglikan kartilago. Kerusakan pada sinovia sendi ini
terjadi dengan multifaktor yakni usia, stres, penggunaan sendi berlebihan, defek anatomik,
obesitas, genetik, humoral dan faktor kebudayaan.Osteoatritis ditandai dengan fase
hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan peningkatan terbatas dari sintesis matriks
makromolekul oleh kondrosis. Osteoatritis terjadi sebagai hasil kombinasi degradasi
rawan sendi, remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi(Soeroso et al., 2006).
Faktor resiko yang dapat memperbesar resiko terjadinya penyakit osteoarttitis
adalah :
1. Usia,
2. Jenis Kelamin,
3. Suku Bangsa,
4. Genetik,
5. Kegemukan dan penyakit metabolik,
6. Cedera sendi, pekerjaan dan olah raga,
7. Kelainan pertumbuhan(Soeroso et al., 2006; Lozada, 2013).
23
Terdapat predileksi OA pada sendi – sendi tertentu, diketahui pada carpometacarpal
I, metatarsophalangeal I, sendi apofiseal tulang belakang, lutut dan paha(Soeroso et al.,
2006).
Pasien OA umumnya mengeluhkan gejala yang berlangsung lama dan berkembang
secara perlahan – lahan. Keluhan pasien OA berupa nyeri sendi, hambatan gerak sendi,
kaku pada pagi hari, krepitasi, deformitas sendi, perubahan gaya berjalan(Soeroso et al.,
2006).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain:
1. Hambatan gerak
Pada OA yang masih dini sudah dapat ditemukan hambatan gerak. Tanda ini semakin
memberat seiring bertambah beratnya penyakit.
2. Krepitasi
Pada awalnya pasien akan mengeluhkan ada sesuatu yang patah pada tulang. Gejala ini
semakin terdengar sampai jarak tertentu setelah bertambah beratnya penyakit. Krepitasi
ditemukan pada OA lutut.
3. Pembengkakan sendi asimetris
Pembengkakan sendi terjadi karena efusi pada sendi yang tidak banyak (<100 cc)
4. Tanda – tanda peradangan
Berupa nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat merata dan warna kemerahan. Tanda ini
diakibatkan oleh adanya sinovitis.
5. Deformitas sendi permanen
Kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi menyebabkan tanda tersebut.
6. Perubahan gaya berjalan
Hal ini diakibatkan nyeri akibat penumpuan berat badan. Perubahan gaya berjalan
ditemukan pada pasien dengan OA lutut, sendi paha, dan tulang belakang(Soeroso et al.,
2006; Lozada, 2013).
Diagnosis OA ditegakkan dengan gambaran klinis dan radiografis. Pada
pemeriksaan radiografis, gambaran yang ditemukan berupa penyempitan celah sendi yang
asimetris, peningkatan densitas tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi,
dan perubahan struktur anatomi sendi(Soeroso et al., 2006).
Penatalaksanaan OA didasarkan pada distribusi dan berat ringannya sendi yang
terkena. Pengelolaannya berupa :
1. Terapi non farmakologis (Edukasi, terapi fisik, rehabilitasi dan penurunan berat
badan)
24
2. Terapi farmakologis (Analgesik oral, topikal, OAINS, Kondroprotektif, steroid
intra artikuler)
3. Terapi bedah (Arthroscopic debridement, Osteotomi, artroplasti sendi total)
(Soeroso et al., 2006).
Pembangunan telah meningkatkan usia harapan hidup penduduk Indonesia, yang
diiringi dengan meningkatnya jumlah dan persentase penduduk Lanjut Usia. Hal ini
sebagai prestasi sekaligus tantangan/beban. Berbagai kebijakan dan pelayanan dilakukan
oleh pemerintah maupun masyarakat. Baik melalui sistem panti. maupun sistem non panti
atau berbasis masyarakat. Seperti PUSAKA (Pusat Santunan Keluarga), Day Care Service
maupun Day Care Centre. Sebagian pelayanan cukup memadai, mulai kebutuhan dasar
sampai penguburan. Walau demikian masih banyak yang hanya memberi pelayanan
permakanan dan kerochanian. disampaing kendala dana dan petugas (Sri Gati Setiti , 2006)
Kondisi lanjut usia mengalami berbagai penurunan atau kemunduran baik fungsi
biologis maupun psikis, yang anantinya dapat mempengaruhi mobilitas dan juga kontak
sosial, salah satunya adalah ISOLATION atau rasa kesepian (loneliness), atau terkucil atau
merasa tidak diperhatikan lagi atau yang lebih serius adalah depresi. Bersamaan dengan
peningkatan jumlah penduduk lanjut usia terjadi peningkatan hampir mencapai 50% dari
penduduk lanjut usia yang mengalami kesepian/ loneliness. Syukurlah kini perhatian
masyarakat dan pemerintah sudah lebih baik untuk mengusahakan bagaimana agar lansia
tetap mandiri dan berguna (Probosuseno. 2007).
C. Bentuk Strategi Pembinaan Posyandu Lansia
Dewasa ini Lanjut Usia yang tertangani melaui sistem panti hanya 15.000, sistem
non panti 20.000. Secara keseluruhan yang tertangani hanya 2 % dari 2,3 juta Lanjut Usia.
Gambaran diatas menegaskan bahwa pelayanan belum maksimal. Mereka mengalami
keterlantaran, ada yang menjadi mengemis. Diantaranya terkena tindak kekerasan, oleh
orang lain maupun oleh kerabat sendiri.
Tuntunan agama dan nilai luhur menempatkan Lanjut Usia dihormati, dihargai dan
dibahagiakan dalam kehidupan keluarga. Dalam berbagai budaya yang kita miliki,
penanganan lanjut usia juga masalah lainnya, diatur dalam tradisi masyarakat. Penanganan
masalah sosial merupakan bagian dari dan berakar pada nilai tolong menolong yang
dikenal hampir semua suku bangsa di Indonesia. Peran kerabat dalam masyarakat di
seluruh Indonesia mempunyai keterikatan yang sangat kuat, sekaligus merupakan potensi
masyarakat yang luar biasa, sebagai sumber kesetiakawanan sosial yang mampu
25
memecahkan permasalahan sosial yang ada didaerahnya. Hal inilah yang perlu diangkat
dan dikembangkan.
Pada tataran home care, peran keluarga sangat penting. Home care pada dasarnya
adalah bagaimana peranan keluarga dalam melakukan perawatan dan pendampingan
terhadap lansia. Indonesia sebagai Negara dengan budaya timur yang kental memberikan
perhatian dan penghargaan lebih kepada orag tua yang sudah lanjut usia, dengan tetap
mengajak mereka tinggal di rumah keluarga sehingga dalam pemikiran timur bangsa kita,
sebenarnya anak merupakan bentuk asuransi non formal dari orang tua. Dengan
melakukan ‘investasi’ berupa pengasuhan dan pendidikan, orang tua berharap akan bisa
mendapat imbal balik ‘pengasuhan’ ketika sudah memasuki usia tua. Bahkan sekarang ini
masyarakat Eropa justru ingin mencontoh Indonesia yang sangat memperhatikan para
orangtuanya, sehingga pola panti sudah mulai ditinggalkan dan membiarkan orangtuanya
tinggal di rumah sang anak. Home care ini mempunyai kelebihan dari sisi psikis di mana
orang tua akan merasa lebih nyaman dan enak tinggal dalam rumah yang ditunggui oleh
anak cucunya. Perasaan dihargai dan masih dibutuhkan ini membuat usia harapan hidup
meningkat secara signifikan. Pola pelayanan home care ini juga mulai diterapkan oleh
berbagai rumah sakit, khususnya bagi pasien lansia yang sudah pada stadium lanjut
sehingga sulit untuk disembuhkan. Model pelayanan home care ini akan meringankan
pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh keluarga namun kondisi kesehatan lansia tetap
bisa dikontrol dengan baik.
Menurut Sri Gati Setiti (2006) dalam penelitiannya mengenai peran kerabat dalam
pelayanan lansia, diperoleh salat satu kesimpulan bahwa Pelayanan Lanjut Usia oleh
kekerabatan memiliki nilai budaya sebagai berikut:
a) Lanjut usia sebaiknya dirawat oleh anaknya/keluarga/kerabat, hal ini pula yang ada
dalam berbagai agama yaitu Birrul Walidain (Berbakti pada orang tua), karena pada
dasarnya apa yang kita lakukan pada orang tua kita, maka itulah yang akan kita terima
dari anak – anak kita.
b) Lanjut Usia yang tidak punya anak, sebaiknya dirawat oleh kerabat: adik
kandung/sepupu, keponakan, cucu, dan lain lain;
c) Bilamana tidak memiliki kerabat, sebaiknya dirawat tetangga.
d) Bilamana tetangga tidak ada yang merawatnya, alternatif terakhir dirawat di Panti
Sosial Lanjut Usia
Hasil penelitian tersebut menunjukkan memang pelayanan terbaik yang diberikan
kepada lansia adalah pada keluarga dan kerabatnya. Namun yang menjadi masalah/
26
kendala utama di sini adalah apabila anak / keluarga lansia tersebut termasuk dalam
keluarga kurang mampu, yang bahkan untuk menghidupi dirinya sendiri saja tidak
sanggup. Pada tataran ini yang lah maka diperlukan adanya jaminan sosial bagi lansia.
Dalam kegiatan Posyandu lansia dibagi menjadi 10 tahap pelayanan, yaitu:
1. Pemeriksaan aktifitas kegiatan sehari-hari / activity of daily living, meliputi
kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti makan / minum, berjalan, mandi,
berpakaian, naik turun tempat tidur dan buang air.
2. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental
emosional, dengan menggunakan pedoman metode 2 menit.
3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
badan dan dicatat pada grafik indek massa tubuh.
4. Pengukuran tekanan darah dengan menggunakan tensimeter dan stetoskop serta
penghitungan denyut nadi selama satu menit.
5. Pemeriksaan hemoglobin.
6. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adannya penyakit
gula.
7. Pemeriksaan adanya zat putih telur / protein dalam air seni sebagai deteksi awal
adanya penyakit ginjal.
8. Pelaksaan rujukan ke puskemas bila mana ada keluhan dan atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan pada nomor 1 hingga 7.
9. Penyuluhan bisa dilakukan didalam atau diluar kelompok dalam rangka kunjungan
rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah kesehatan yang
dihadapi oleh individu dan atau kelompok usia lanjut.
10. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok usia lanjut yang tidak
datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat.
Pada saat pelaksanaan kegiatan Posyandu Lansia sering dilakukan kegiatan
senam lansia. Senam lansia terdiri dari beberapa tahapan yaitu:
A. Persiapan Sebelum Senam
1. Pastikan keadaan tubuh sehat dengan berjalan secepat-cepatnya 5 menit dan
istirahat 10 menit.
2. Periksa denyut nadi (jika lebih dari 100 jangan lanjutkan aktivitas fisik).
3. Intensitas senam diukur dengan denyut nadi, lamanya senam ± 20-30 menit, dan
frekuensi senam ± 3-4 kali dalam seminggu.
B. Tahapan Senam
27
1. Tahap Pemanasan:
- Pengaturan napas 2 x 8 (bermanfaat untuk memperbaiki sistem kerja jantung)
2. Tahap Inti:
- Jalan di tempat (angkat kaki secara aktif) 2 x 8
- Lebarkan kaki sejajar (diam di tempat)
- Bertepuk tangan (lengan sejajar bahu) 2 x 8
- Tepuk jari tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2 x 8
- Silangkan antar jari tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2 x 8
- Silangkan jempol tangan kanan (rentangkan tangan sejajar bahu) 1 x 8
- Silangkan jempol tangan kiri (rentangkan tangan sejajar bahu) 1 x 8
- Tepuk antar jari kelingking tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2 x 8
- Tepuk antar jari telunjuk tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2 x 8
- Ketok pergelangan tangan kanan (lengan tangan sejajar bahu) 1 x 8
- Ketok pergelangan tangan kiri (lengan tangan sejajar bahu) 1 x 8
- Ketok nadi tangan kanan (lengan tangan sejajar bahu) 1 x 8
- Ketok nadi tangan kiri (lengan tangan sejajar bahu) 1 x 8
- Tekan antar telapak tangan (tangan sejajar dada atas) 1 x 8
- Tekan putar telapak tangan (atas ke bawah sejajar dada) 1 x 8
- Buka dan remas jari tangan 2 x 8
- Tepuk punggung tangan kanan (tangan sejajar dada atas) 1 x 8
- Tepuk punggung tangan kiri (tangan sejajar dada atas) 1 x 8
- Tepuk punggung lengan kanan (tangan sejajar dada atas) 1 x 8
- Tepuk punggung bahu kanan (tangan sejajar dada atas) 1 x 8
- Tepuk punggung lengan kiri (tangan sejajar dada atas) 1 x 8
- Tepuk punggung bahu kiri (tangan sejajar dada atas) 1 x 8
- Tepuk pinggang (bungkuk badan 45 derajat) 2 x 8
- Tepuk paha samping (gerakan menggenjot lutut naik turun) 2 x 8
- Tepuk betis kaki (bungkuk badan sejajar 90 derajat) 2 x 8
- Peregangan otot lengan, bahu, punggung, lutut, betis 2 x 8
- Tepuk perut bagian bawah (samping kanan-kiri) 2 x 8
- Sikap tegak tangan simpul ke perut (tutup kaki, diam di tempat)
- Jinjit kaki (kaki lurus, diam di tempat)
28
3. Tahap Pendinginan:
- Tarik dan tahan napas (kedua tangan naik ke atas kepala) 1 x 8
- Hembuskan napas (kedua tangan turun ke depan dada) 1 x 8
- Tarik dan tahan napas (kedua tangan naik ke atas kepala) 1 x 8
- Hembuskan napas (kedua tangan turun ke samping) 1 x 8
- Tarik dan tahan napas (tangan kanan naik ke atas kepala) 1 x 8
- Hembuskan napas (tangan kanan turun ke samping) 1 x 8
- Tarik dan tahan napas (tangan kiri naik ke atas kepala) 1 x 8
- Hembuskan napas (tangan kiri turun ke samping) 1 x 8
Tarik, tahan, dan hembuskan napas (angkat kedua tangan dan turunkan perlahan) 2
x 4
Pada saat pelaksanaan kegiatan Posyandu lansia, sering digunakan sistem 5 meja, yaitu :
Meja 1: Pendaftaran
Mendaftarkan lansia, kader mencatat lansia tersebut, kemudianpeserta yang sudah
terdaftar di buku register langsung menuju meja selanjutnya.
Meja 2 : Pengukuran tinggi, berat dan tekanan darah
Kader melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan tekanan darah.
Meja 3 : Pencatatan (Pengisian Kartu Menuju Sehat)
Kader melakukan pencatatan di KMS lansia meliputi: Indeks Massa
Tubuh, tekanan darah, berat badan, tinggi badan.
Meja 4 : Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan perorangan berdasarkan KMS dan pemberian
makanan tambahan.
Meja 5: Pelayanan medis
Pelayanan oleh tenaga professional yaitu petugas dari Puskesmas/kesehatan
meliputi kegiatan: pemeriksaan dan pengobatan ringan.
29
Ini adalah skema sistem 5 meja di Posyandu lansia:
Bentuk KMS Lansia
30
31
32
33
34
BAB V
STRATEGI PEMBELAJARAN
Strategi pembelajaran yang harus dilakukan mahasiswa:
1. Tahap persiapan:
• Kegiatan laboratorium lapangan dilakukan dalam kelompok yang terdiri dari 10-13
mahasiswa.
• Tiap Kelompok dipandu oleh satu instruktur lapangan (dokter Puskesmas).
• Lokasi: 6 DKK yang mempunyai kerjasama dengan FK UNS (Sragen, Wonogiri,
Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Boyolali).
• Pembagian kelompok dilakukan oleh pengelola Field Lab, konfirmasi dengan DKK
dan Puskesmas terkait.
• Pembekalan materi dan teknis pelaksanaan diberikan pada kuliah pengantar Field
Lab, jadwal menyesuaikan dari pengelola KBK dan Pengelola Field Lab FK UNS.
• Pada saat kuliah pengantar dilakukan pretest untuk mahasiswa.
• Sebelum pelaksanaan, diharap mahasiswa melakukan konfirmasi terlebih dulu
dengan instruktur lapangan (nomor telepon instruktur lapangan tersedia di Field
Lab).
• Tiap mahasiswa membuat cara kerja, ditulis di buku tulis, singkat dan jelas,
sebelum pelaksanaan diserahkan pada instruktur lapangan untuk diperiksa. Adapun
isi lembar kerja:
I. Tujuan Pembelajaran
II. Alat/Bahan yang diperlukan
III. Cara Kerja (singkat)
2. Tahap Pelaksanaan:
• Pelaksanaan di lapangan 2-3 hari, sesuai jadwal dari tim pengelola Field Lab FK
UNS dan kesepakatan dengan Puskesmas.
Pertemuan I : Perencanaan dan persiapan bersama instruktur mengenai kegiatan
Field lab yang akan dilaksanakan.
Pertemuan II : Pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan kegiatan
Pertemuan III : Pengumpulan laporan dan evaluasi
• Peraturan yang harus dipenuhi mahasiswa:
- Mahasiswa harus memakai jas laboratorium di lapangan, jas lab
dikancingkan dengan rapi.
35
- Mahasiswa datang sesuai jam kerja Puskesmas kemudian menemui
instruktur dan mengikuti kegiatan sesuai arahan instruktur.
- Mengikuti kegiatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas yang
bersangkutan (Perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pencatatan,
Pelaporan).
- Mahasiswa tidak diperkenankan melakukan konseling langsung pada
pasien/sasaran (baru diperbolehkan ketika semester 5 atau lebih).
- Apabila pada hari tersebut tidak ada jadwal kegiatan KIE Posyandu Lansia
di Puskesmas yang bersangkutan, mahasiswa mengikuti demonstrasi
pelayanan kesehatan Lansia di Puskesmas.
- Kelompok diperbolehkan mengganti hari untuk mengikuti hari Posyandu
Lansia dengan catatan tidak mengganggu kegiatan pembelajaran lain di FK
dan LAPOR pada pengelola Field Lab/ Dosen pengampu/pembimbing
topik.
3. Tahap Pembuatan Laporan
a. Laporan kelompok, dibuat secara berkelompok sebanyak dua eksemplar:
- satu eksemplar untuk Puskesmas
- satu eksemplar untuk bagian Field lab
(menyesuaikan kebijakan Puskesmas)
b. Format Laporan
1) Halaman Cover
2) Lembar Pengesahan
3) Daftar Isi
4) Bab I : Pendahuluan dan Tujuan Pembelajaran
Uraikan secara singkat tentang topik Field lab dan tujuan pembelajaran dari
topik tersebut.
5) Bab II : Kegiatan yang Dilakukan
6) Bab III : Pembahasan
Berikan penjelasan lebih lanjut mengenai pokok-pokok dari kegiatan yang
dilaksanakan serta uraikan pula kendala serta solusi dari kegiatan yang telah
dilaksanakan.
7) Bab IV : Penutup
Beri simpulan dan saran dari kegiatan yang telah dilaksanakan.
8) Daftar Pustaka
36
c. Laporan diketik komputer, ±10 halaman, hari ketiga pelaksanaan harus diserahkan
instruktur lapangan untuk disetujui/disahkan. Ditunjukkan dengan lembar tanda
tangan persetujuan instruktur lapangan.
d. Satu eksemplar laporan diserahkan pada instruktur lapangan, satu laporan
diserahkan pada pengelola Field lab setelah disahkan instruktur lapangan (paling
lambat 1 minggu sesudah pelaksanaan).
e. Apabila mahasiswa membuat laporan persis dengan laporan milik temannya, maka
akan dikembalikan.
Setiap kelompok mengumpulkan CD yang berisi soft file laporan kelompok dan
soft file laporan individu serta dokumentasi kegiatan lapangan.
Tata Cara Penilaian :
• Instruktur memberi penilaian kepada mahasiswa sesuai dengan cek list yang
ditetapkan dalam buku panduan.
• Postest dilaksanakan di Fakultas Kedokteran sesuai jadwal pengelola Field Lab.
• Apabila mahasiswa tidak mengikuti salah satu dari 3 kegiatan Field Lab (pretest,
lapangan, postest) maka dinyatakan tidak memenuhi syarat dan nilai akhir tidak bisa
diolah.
• Pretest dan postest susulan dapat diberikan pada mahasiswa yang tidak dapat
mengikuti karena sakit, ditunjukkan dengan bukti surat keterangan sakit dari dokter
atau rumah sakit. Mahasiswa ybs dapat menghubungi pengelola Field Lab per topik
secepatnya.
• NILAI AKHIR MAHASISWA :
: 1x Pretest + 3 x Lapangan + 1 x Postes
5
• Batas nilai yang dinyatakan lulus adalah 70.
• Bila ada mahasiswa mendapat nilai kurang dari 70 %, akan dilakukan remidi yang
akan dijadwalkan oleh Field Lab. Bila remidi tidak lulus maka mengulang semester
depan.
• Nilai remidiasi maksimal 70.
37
BAB VI
PROSEDUR KERJA
• Menghubungi pihak Puskesmas masing-masing untuk melakukan kesepakatan
pelaksanaan tugas Field Lab per topik dengan dokter Puskesmas / Instruktur yang
ditunjuk.
• Menghitung jumlah sasaran Posyandu Lansia dan menentukan target cakupan
pelaksanaan KIE Posyandu Lansia. Target cakupan pelaksanaan dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Target Cakupan = jumlah sasaran yang ikut posyandu x 100%
Jumlah sasaran lansia
Jumlah sasaran lansia adalah jumlah lansia yang berada pada wilayah kerja
posyandu lansia tersebut. Target cakupan 80 - 100 % menunjukkan targetcakupan
yang baik.
• Menyiapkan kebutuhan peralatan peraga KIE Posyandu Lansia untuk menyusun
model pemberdayaan Lansia setempat.
• Model Pemberdayaan Lansia yang dimaksud adalah meningkatkan kemampuan
deteksi dini penyakit pada Lansia di setiap Posyandu Lansia.
SELAMAT MELAKSANAKAN KIE: POSYANDU
LANSIA
NAMA PUSKESMAS: .................................................
NAMA DESA : .................................................
NAMA POSYANDU LANSIA: ...................................
JUMLAH TARGET : .....................................Orang
Lansia/Posyandu
Jumlah Lansia sehat : ..................................... Orang
Jumlah Lansia sakit : ..................................... Orang
Alternatif Model Pemberdayaan Lansia :
................................................
............................................................................................
......................
38
BAB VII
SKALA PENILAIAN KIE POSYANDU LANSIA
No. Keterangan 0 1 2 3 4
1. Persiapan
Membuat rencana kerja KIE
Mengikuti kegiatan bimbingan dari instruktur di
Puskesmas
2. Sikap dan tingkah laku
Menunjukkan kedisplinan (datang tepat waktu)
Menunjukkan kesiapan dan sikap bersungguh-sungguh
dalam mengikuti setiap kegiatan
Menunjukkan penampilan rapi dan sikap sopan kepada
staf Puskesmas dan masyarakat
3. Pelaksanaan
Menghitung jumlah sasaran dan target cakupan posyandu
lansia sesuai rumus pada prosedur kerja
Menyiapkan materi penyuluhan dan kegiatan posyandu
Presentasi KIE Lansia
Memberi penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan
peserta posyandu
Mengikuti kegiatan pemeriksaan tekanan darah dan berat
badan
Melengkapi pengisian Geriatric Depression Scale dan
MMSE
Mengikuti kegiatan: senam lansia
Mengikuti konsultasi dan pemberian obat pada lansia
4. Laporan
Hasil laporan kegiatan
Menganalisis kesesuaian program posyandu lansia di
puskesma setempat
JUMLAH NILAI
Keterangan
Tatacara penilaian dengan grading 0-4
0 : tidak melakukan
1 : melakukan kurang dari 40%
2 : melakukan 40-60 %
3 : melakukan 60-80 %
4 : melakukan dengan sempurna 80-100%
NILAI : Jumlah Nilai X 100 % = ........................%
60
39
DAFTAR PUSTAKA
Depsos RI. 2009. DukunganKelembagaan Dalam Kerangka Peningkatan Kesejahteraan
Lansia.Kantor Urusan Pemberdayaan Lansia, Depsos. RI.
Jakarta.www.depsos.go.id.
Folstein, M.F., Folstein, S.E., and McHugh, P.R. 1975. “Mini Mental State”: A practical
method for grading the cognitive state of patient for the clinician. J. Of Psychiatris
Research, 12: 189-198.
Hanim, D. 2004. Pemberdayaan Perempuan Lansia Untuk Peningkatan Status Gizi.
Laporan Penelitian. Surakarta: LPPM UNS.
Probosuseno.2007. Mengatasi ”Isolation” pada Lanjut Usia.
www.Geriatric&InternalMedicineConsultation.Medicalzone .
Sri Gati Setiti. 2006. Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan( Studi Kasus Pada
Lima Wilayah Di Indonesia). www.depsos.go.id.
40
Foto Kegiatan
Pengarahan dari instruktur Memberi penyuluhan kepada
warga
Peserta penyuluhan Instruktur dari Puskesmas