mpk agama - topik 4, sistem implementasi syariah islam
DESCRIPTION
MPK Agama - Topik 4, Sistem Implementasi Syariah IslamTRANSCRIPT
A. Implementasi Syariah dalam Individu
Ketaqwaan individu adalah pilar dasar. Dari sinilah dorongan penerapan syariah Islam
berasal. Individu yang bertaqwa adalah muslim yang dengan dorongan imannya tunduk
kepada syariah. Melaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan baik di saat
sendiri maupun dan bersama orang lain. Ia menyadari bahwa dengan melaksanakan syariah
misi hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT dapat diujudkan secara nyata. Dan dengan
itu pula ia bisa mengharapkan keridhaan Allah, ampunan, pertolongan dan kebaikan hidup di
dunia dan akhirat. Bila ada yang paling ditakuti, maka itu adalah murka Allah. Dan bila ada
yang paling diingini, maka itu adalah ampunan dan keridhaan-Nya. Maka bagi orang yang
bertaqwa, melaksanakan syariah sama sekali tidak dirasakan sebagai beban. Justru
sebaliknya, ia akan merasa amat berat bila harus meninggalkan syariah. Dengan
melaksanakan syariah ia merasakan kelezatan dan kenikmatan. Orang seperti ini akan
menjemput syariah dengan penuh rasa gembira, sebagaimana tampak pada wanita al-
Ghamidiyah dan lelaki bernama Maiz bin Malik al-Aslami.
Dalam Shahih Muslim diceritakan bahwa dengan dorongan taqwanya, Maiz bin Malik al-
Aslami mendatangi Rasulullah sambil mengatakan “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.”
Rasulullah menjawab:
إليه وتب ه الل فاستغفر ارجع ويحك“Celaka kamu! Pulang dan mintalah ampun kepada Allah, dan bertaubatlah kepada-Nya.”
Namun tidak berapa lama Maiz datang dan mengatakan hal yang sama dan Rasulullah
menjawab dg jawaban yang sama, sampai pada kali yang keempat Rasulullah saw bertanya:
“Dari hal apakah kamu harus aku sucikan?” Ma’iz menjawab, “Dari dosa zina.” Rasulullah
saw bertanya kepada para sahabat yang ada di sekitar beliau: “Apakah Ma’iz ini mengidap
penyakit gila?” lalu beliau diberitahu bahwa dia tidaklah gila.” Beliau bertanya lagi: “Apakah
dia habis minum Khamr?” lantas seorang laki-laki langsung berdiri untuk mencium bau
mulutnya, namun dia tidak mendapati bau khamr darinya. Kemudian Rasulullah saw
bertanya: “Betulkah kamu telah berzina?” Dia menjawab, “Ya, benar.” Lantas beliau
memerintahkan untuk ditegakkan hukuman rajam atas dirinya, lalu dia pun dirajam.
Berkaitan dg Maiz Rasulullah bersabda:
لوسعتهم أمة بين قسمت لو توبة تاب لقد
”Sungguh ia telah bertaubat, yang jika dibagi diantara ummat maka akan mencukupi mereka”
(Shahih Muslim, Juz 9 hal. 68, Maktabah Syâmilah)
Begitu pula seorang wanita dari suku Ghâmid datang kepada Rasul menyatakan
penyesalannya atas perbuatan maksiyatnya di masa lalu dan karenanya ia meminta untuk
dirajam. “Ya Rasûlallah tahhirniy (sucikan aku)”, serunya kepada Nabi. Untuk meyakinkan,
wanita ini menunjukkan kehamilannya. Rasul yang semula kurang percaya, akhirnya
memintanya datang setelah melahirkan. Benar, setelah melahirkan ia datang membawa bayi.
Tapi hukuman tidak langsung dilakukan, Rasul memintanya menyelesaikan susuannya. Kira-
kira dua tahun kemudian, wanita tsb datang lagi kepada Rasul seraya menggandeng anak
kecil yang sudah bisa berjalan. Barulah Rasul benar-benar melaksanakan hukuman rajam.
Maiz dan dan wanita tsb ngotot menyongsong hukuman rajam, bukan menghindarinya karena
yakin hanya dengan cara seperti itu (melaksanakan syariah rajam) sajalah mereka terbebas
dari hukuman yang lebih berat di akhirat nanti.
Demikianlah ketaqwaan mendorong seseorang untuk tunduk pada syariah dengan penuh
kerelaan. Sementara itu, kontrol masyarakat hanya mungkin lahir dari individu-individu yang
bertaqwa, demikian juga lahirnya negara yang menerapkan syariah juga berawal dari
dorongan individu yang bertaqwa. Tapi taqwa individu saja tidak cukup karena tanpa kontrol
dari masyarakat bisa saja individu yang semula taat pada syariah, oleh karena berbagai faktor
dengan mudah melakukan maksiyat
B. Implementasi Syariah dalam Masyarakat
Kontrol masyarakat adalah salah satu hal penting dalam penegakan syariah. Kontrol
masyarakat timbul dari semangat amar ma’ruf nahi mungkar, yakni keinginan agar orang lain
juga bersedia tunduk pada syariah dan terhindar dari maksiyat. Salah satu ciri keimanan
seorang muslim memang adalah adanya keinginan pada orang itu agar orang lain merasakan
kebaikan sebagaimana yang ia rasakan. Tegasnya, kontrol masyarakat sesungguhnya
berpangkal pada cinta dan rasa solidaritas pada sesama. Dengan kontrol dari masyarakat
orang yang akan melanggar syariah tidak mungkin dapat melakukan secara leluasa. Apalagi
kontrol masyarakat tersebut bukan semata lahir dari keperluan melainkan mewujud dari
akidah. Allah SWT dalam banyak ayat menunjukkan bahwa salah satu ciri orang beriman
adalah senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Secara spesifik Allah SWT
menegaskan:
﴿ وأولئك المنكر عن وينهون بالمعروف ويأمرون الخير إلى يدعون أمة منكم ولتكن
المفلحون ﴾هم
“Dan hendaklah ada sekelompok umat diantara kalian yang mendakwahkan kebaikan (Islam),
beramar ma’ruf dan melakukan nahi munkar; dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung” (TQS. Ali Imrân [3]:104).
Selain itu, ada pula hal lain yaitu kewenangan negara. Sudah dimaklumi bahwa hukum-
hukum syara’ yang berkaitan dengan pidana, sebagian hukum ekonomi, perang, damai,
pengeloaan sumber daya alam, perjanjian internasional dsb pelaksanaannya tidak boleh
diserahkan kepada individu, karena Islam telah memberikan wewenang pelaksanaannya
kepada negara. Kedudukan negara dalam Islam adalah untuk mengatur dan melaksanakan
pemerintahan, berdasarkan hukum syara’.
الحق من جاءك عما أهواءهم بع تت وال ه الل أنزل بما بينهم فاحكمMaka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
(QS. Al Ma’idah : 48)
Dalam sistem Islam, negara mempunyai bangunan yang kokoh dan menyatu dengan tingkah
laku individu dan sikap masyarakat. Hal ini terjadi karena ummat secara keseluruhan
merupakan penyangga bagi negara; dimana negara diberi wewenang penuh untuk
menerapkan hukum-hukum syara’ tanpa melihat tinggi-rendah kedudukan seseorang.
Suatu ketika diajukan kepada Nabi Saw seorang wanita yang mencuri untuk diadili dan
dijatuhkan hukuman/had potong tangan terhadapnya. Beliau tidak menerima permohonan
grasi dari Usamah bin Zaid untuk wanita tersebut, bahkan menegur Usamah seraya berkata:
“Apakah kamu mengajukan keringanan/grasi terhadap salah satu hukuman dari Allah SWT?
Demi Allah kalau saja Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya”.
(HR. Bukhari, Muslim)
Abu Bakar As-Shiddiq ra, khalifah pertama, berkata dalam pidatonya selepas dibai’at kaum
muslimin:“Orang yang lemah di antara kalian adalah kuat menurut pandanganku sampai aku
berikan haknya kepadanya. Orang yang kuat menurut kalian adalah lemah menurut
pandanganku sampai aku ambil hak tersebut darinya”. ( Ibnu Katsir, Al-Bidâyah Wan-
Nihâyah, VI: 340).
Oleh karena itu ketika nampak adanya kemurtadan, sesaat setelah Rasulullah saw wafat, dan
kejahatan merajalela serta menunjukkan tanda-tanda membahayakan stabilitas negara
khilafah yang masih muda umurnya itu, dengan segera Abu Bakar mengambil tindakan
menumpasnya tanpa ragu-ragu. Sampai akhirnya para murtaddin itu kembali kepada
kebenaran (Islam) semula. Kemudian Allah SWT menghinakan para pemimpin kafir yang
mengibarkan bendera kemurtadan lalu kembalilah Islam menjadi kuat dan mulia.
Berdasarkan hal tersebut, agar dapat menerapkan syariat Islam secara kaffah haruslah
diwujudkan individu-individu yang taqwa. Bukan sekedar individu-individu yang sholih
secara pribadi melainkan juga berupaya untuk membuat sholih orang lain (mushlih) dan
bersama-sama mewujudkan kehidupan Islam dalam rangka membentuk individu-individu
sholih tadi. Tidak sekedar itu, wajib diwujudkan masyarakat yang terbiasa melakukan amar
ma’ruf nahi munkar. Tanpa itu kontrol sosial tidak akan terlaksana. Kemudian setiap
komponen umat Islam berjuang bersama mewujudkan kehidupan Islam melalui tegaknya
Daulah Khilafah.
C. Evaluasi dalam Pengimplementasian Syariah dalam Kehidupan
Pada kali ini, penulis akan memberikan gambaran mengenai implementasi syariah di suatu
kota yang sangat islami yaitu Aceh. Sejenak membuka memori lama. Dulu, pada 1998, saat
kaum Thaliban Aceh mewarnai tubuh pergerakan GAM, kesan penegakan syariat terasa
kentara, di mana-mana gerakan wajib jilbab bagi perempuan dan wajib Jumat bagi laki-laki
saling berkesinambungan. Thaliban yang umumnya adalah para santri dayah diberdayakan
sedemikian rupa untuk menegakkan syariat Islam di bumi Serambi Mekkah. GAM juga
mendapatkan keuntungan politisnya. Kesan yang muncul pada saat itu, GAM adalah sebuah
organisasi yang benar-benar berjuang demi tegaknya citra Aceh yang bermartabat dan Islami.
Seiring berjalannya waktu, perang yang berhenti sejak tsunami melanda (2004),
ditandatanganinya MOU Helsinki (2005), GAM yang dulu berjuang di hutan secara militer
dan di luar negeri secara politik, diakui sebagai bagian dari organisasi perjuangan rakyat
Aceh oleh Pemerintahan NKRI dan dibuktikan dengan dibentuknya partai lokal (parlok).
Mereka diperbolehkan secara sah mengikuti pemilu legislatif dan eksekutif dalam bingkai
NKRI.
Mestinya, dengan keberhasilan yang sudah dicapai itu, apa yang dulu pernah dipraktikkan
oleh gerakan Thaliban serta disokong secara penuh oleh GAM menjadi lebih berbobot lagi
dalam tindakan riil di lapangan. Syariat Islam jangan hanya sebatas pakaian lengkap wanita
muslimah.
Memang, menerapkan syariat Islam tidak semudah membalikkan telapak tangan. Walaupun
Aceh merupakan daerah yang secara historis tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai Islam,
namun tidak serta-merta penerapan syariat tersebut mendapat sambutan bagus dari
masyarakat. Hal itu bisa dibuktikan dengan munculnya pro-kontra atas kebijakan dilarang
ngangkang bagi wanita dan kebijakan-kebijakan lainnya.
Tebang pilih
Ada beberapa poin yang membuat sejumlah qanun syariat yang sudah dihasilkan, tidak
mendapat tempat yang semestinya dalam masyarakat, disebabkan: Pertama, penerapan syariat
Islam terkesan tebang pilih. Setiap muslim mengetahui bahwa Islam itu kaffah, syariatnya
pun kaffah. Islam mengatur syariat dalam segala hal, mulai yang berkaitan dengan ubudiyah
sampai yang berkaitan dengan muamalah. Jadi, tidak hanya terkesan mengatur masalah
pakaian wanita saja, sebagaimana razia-razia yang kerap digelar polisi syariah (WH) selama
ini.
Kedua, qanun tentang khamar (miras), maisir (judi), dan khalwat (mesum) tidak menjawab
sepenuhnya akan esensi sebuah syariat Islam. Apalagi kalau penerapan qanun tersebut hanya
tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Mungkin kasus oknum WH di Aceh Timur dan
Banda Aceh bisa menjadi sebuah bahan renungan, bahwa qanun syariat Islam pada
penerapannya malah tidak islami.
Ketiga, tidak meratanya penerapan syareat Islam pada sendi-sendi yang lain, khususnya
dalam bidang politik, membuat hukum berlandaskan agama tersebut jalan di tempat. Sudah
menjadi rahasia umum, pertarungan kepentingan politik pascadamai di Aceh banyak
menimbulkan korban. Sedang syariat itu juga mengatur masalah pidana yang berkaitan
dengan nyawa manusia.
Keempat, kasus korupsi yang terjadi di lingkungan aparatur pemerintahan Nanggroe Aceh
tidak mendapatkan efek hukum yang membuat jera pelakunya. Bukankah koruptor itu sama
seperti perampok? Dalam hukum Islam hendaknya pelaku korupsi itu mesti potong tangan.
Sudah adakah tindakan seperti itu di Aceh?
Dan, kelima, WH sebagai ujung tombak pelaksanaan syariat Islam di Aceh, menurut penulis
perekrutannya hendaklah yang berasal dari lingkungan orang-orang yang kesehariannya
berkecimpung dengan pendidikan Islam. Dan lembaga Dayah merupakan sebuah lembaga
yang mampu menjawab kebutuhan akan personel ujung tombak penegakan syariat di
nanggroe Aceh. Apakah petugas WH semuanya berasal dari unsur dayah? Penulis belum
menemukan kejelasannya.
Semestinya yang menjadi anggota WH, disamping orang-orang yang benar-benar mengerti
syariat, mereka juga orang-orang yang teruji memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pelaksanaan syariat. Mereka adalah orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki kepekaan
syariat (senses of sharia) yang tinggi dan agung. Sosok yang mau dan mampu mengorban
apapun untuk kepentingan tegaknya hukum Allah di bumi ini. Dan tentu ada berbagai syarat
ideal lainnya yang mesti dipenuhi oleh sang pengawal tegaknya syariat.
Pemberdayaan dayah
Ada dua tradisi dayah yang sudah mengakar dalam sistem pembelajarannya: Pertama, pola
pendekatan yang mengembangkan metode pembelajaran yang lentur dan luwes dalam
melakukan transformasi nilai-nilai keagamaan. Terbukti dalam sejarah, dayah mampu
menjadi lembaga pemersatu dan bersama masyarakat terus bertransformasi. Kedua, tradisi
keilmuan yang integral, yaitu mempelajari suatu ilmu yang saling terkait dengan ilmui-ilmu
lain. Tradisi ini dapat dikembangkan terus sehingga tidak ada lagi dikhotomi ilmu dalam
tradisi keilmuan Islam.
Dengan demikian, dayah akan menjadi pelopor Islamisasi ilmu sehingga tidak ditemukan lagi
perbedaan atau garis pemisah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Dan ketiga,
arah pendidikan dayah adalah tafaqquh fiddin, sehingga melahirkan ulama-ulama yang
handal dalam berbagai disiplin ilmu. Semangat keilmuan dayah dilandasi semangat
keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian.
Selanjutnya, alumni dayah hendaknya bisa disejajarkan dengan alumni perguruan tinggi
seperti IAIN atau UIN dalam mendapatkan kesempatan bekerja. Fakta di lapangan,
terkesampingkan keterlibatannya dalam mendapatkan pekerjaan sebagaimana layaknya
alumni pendidikan formal mendapatkan pekerjaan. Harusnya mereka diberikan kesempatan
seperti yang lain, apalagi Aceh sebagai nanggroe syariat membutuhkan tenaga-tenaga handal
yang memahami syareat sebagai ujung tombak pelaksanaan di lapangan.
Terkait dengan lemahnya pelaksanaan syariat Islam yang kaffah di bumi Serambi Mekkah,
hendaknya Pemda Aceh menyerahkan pelaksanaannya kepada orang-orang yang kapabel di
bidang syariat serta lembaga penegakan syariat diisi oleh orang-orang yang memiliki
memahami syariat dan konsisten pada tugasnya.
Perekrutan pegawai dalam menempati pos tersebut harus benar-benar diwakili dari kalangan
yang bekerja bukan untuk mencari makan, tapi mereka bekerja untuk menegakkan syariat
agama Tuhan. Dan, dayah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang fokus dalam penegakan
syariat agama Tuhan, selayaknya diberikan tugas mulia tersebut.
d. Upaya agar Umat Islam Mampu Berhasil Mengimplementasikan Syariah Islam Secara
Utuh
Orientasi keberadaan syariah islam di tengah perjalanan manusia hanya ingin membawa
mereka kejenjang kehidupan yang lebih baik. Adalah demi terwujudnya kemaslahatan
terhadap kehidupan mereka di dunia dan akhirat merupakan tujuan konkrit dari keberadaan
syariat. Berangkat dari sanalah harus syariah mempunyai prinsip update dan selalu menjadi
solusi dalam perjalanan kehidupan manusia, sebab syariah ditujukan untuk menjadi pedoman
petunjuk dalam perjalanan sejarah manusia dan menjadi nilai-nilai yang harus
diimplementasikan oleh manusia.
Untuk menepis persepsi miring terhadap syariah islam, bahwa syariah islam hanya dianggap
sejarah yang cuma perannya hanya untuk dikenang, atau dalam persepsi lain bahwa syariah
tidak bisa merespon problematika kehidupan yang semakin padat di era kemajuan. Kita harus
mengenal lebih jauh terhadap syariah islam dan prinsip-prinsipnya, sehingga kita akan bisa
menepis persepsi-persepsi miring itu.
Prinsip-Prinsip Syariah
1). Syariah islam mempunyai keistimewaan dibanding dengan hukum-hukum positif yang
ada dalam setiap peradaban manusia. Syariah mempunyai hukum-hukum yang tetap tanpa
ada perubahan sedikitpun baik di era klasik atau modern, sehingga hal ini menunjukkan
eksistensi dan keteguhan syariat menjadi hal yang patut dijadikan manhaj hidup yang harus
diikuti dan dipraktekkan.
Berbeda halnya dengan hukum positif yang hukum-hukumnya tidak tetap dan diganti dalam
setiap fase sejarah. Oleh kerena itu, Penerapan hukum positif hanya berjangka bagi para
pemberlakunya, setelah mereka lengser dari tahta kekuasaan, hukum itu akan dihapus dan
diganti dengan hukum-hukum lain. Itulah masa aktif dari hukum positif.
Di sisi yang lain, syariah islam juga mempunyai hukum-hukum yang memperhatikan keadaan
sosiologi keberadaan masyarakat dalam setiap fase sejarah mereka. Hal ini yang biasanya kita
istilahkan dengan “elastisitas syariah” sehingga syariah menjadi sebuah solusi yang selalu
update terhadap khalayak umum yang diantara mereka terpaut tempat dan waktu. Dan prinsip
dari hukum ini tanpa menghapus hukum-hukum sebelumnya, dan inilah titik perbedaan
hukum-hukum syariat dengan hukum positif.
Dengan maziyyah (keistimewaan) inilah syariat islam merupakan ajaran yang sangat eksis,
kompleks dan merespon realitas kehidupan, sehingga kita harus mengikuti dan
mengaplikasikan segala ajaran-ajarannya. Agar kita berada dalam jalan yang benar dan bisa
dipertanggung jawabkan di hadapan sang pencipta alam semesta di akhirat semesta dan
rasionalitas akal manusia di dunia.
2). Syariah islam selalu memprioritaskan kebaikan dan kemaslahatan manusia dan juga aneka
makhluk lainya. Cakupan prioritas kemaslahatan mereka adalah kemaslahatan dunia dan
akhirat, bukan hanya secara materiel jasmani tapi juga spiritual rohani. Hal itu bisa
dibuktikan dalam cakupan syariah islam dari sisi tataran praktisnya yang biasanya kita sebut
dengan istilah “fiqh”.
Dalam “fiqh”, seseorang bukan hanya diberikan tatanan pedoman spiritual peribadatan
kepada Allah. Tapi, fiqh juga memberikan pedoman-pedoman yang mengatur mereka dalam
keseharian mereka. Dalam bab muamalat (transaksi) misalnya, mereka diberikan pedoman
dalam semua transaksi yang biasanya terjadi diantara manusia, sehingga mereka dalam
bertransaksi melakukan transaksi yang bersih dan saling menguntungkan satu sama lain,
bukan malah saling merugikan pihak lain. Hal ini diceriminkan dari pengharaman riba,
penipuan, pengambilan harta tidak pada jalan semestinya dan yang lain.
Oleh karena itu, asumsi dan persepsi salah yang banyak kita jumpai bisa kita tepis dan kita
tolak, tapi jika kita betul-betul menalaah ajaran syariat. Misalnya asumsi yang selama ini
santer beredar di media massa, bahwa islam tidak memperhatikan hak-hak manusia, ajaran-
ajaran islam menarik para oknumnya untuk selalu menindas dan lain-lainya. Malah kalau kita
berpikir jernih dan menalaan secara obyektif, islam mengarahkan mereka untuk hidup lebih
baik, baik aspek sosiolitas manusia atau privat mereka. Persepsi itu muncul dari oknum-
oknum yang sengaja mau memberikan potret yang jelek (bad image) tentang islam bagi
khalayak umum.
3). Syariah islam merupakan syariah yang dirancang dan dibuat oleh pencipta alam semesta
yaitu Allah Swt, melalui pengutusan-Nya terhadap para nabi dan rasul-Nya di muka bumi.
Inilah titik inti atas keberadaan syariah.
Islam memang adalah sebuah doktrin idologi yang bisa dilogikakan, jika logika itu mampu
untuk mencapai maksud dari syariah itu, kenapa penulis berpandangan demikian?.
Sebetulnya ada beberapa argumentasi yang mendasari pemikiran penulis.
Yang pertama: pandangan ini sesuai dengan perkataan Imam Qaffal As-syasyi, seorang
ulama besar dari madzhab Syafi’I, beliau menyatakan dalam prolog kitabnya fonemenalnya
yang bernama “Mahasin As-syaria” : “sesungguhnya semua syariat yang bermacam-macam,
semua masuk akal (rasional). Seandainya tidak demikian, maka syariah akan keluar dari alur
mashlahah dan hikmah”. Dan hal itu sangat benar. Satu pik contoh yang penulis ingin
tampilkan dari kitab beliau. Misalnya dalam masalah penyaratan bersuci “thaharah” sebelum
melakukan shalat, hal itu sangat wajar dan rasional sekali. Sebab hal itu sama dengan
keharusan seseorang jika mau berhadapan dan bertemu seorang raja. Dia harus bersih dan
keliatan rapi untuk menarik simpatik sang raja dan untuk mengahargai sang raja dengan
jabatan yang dia sandang. Demikian pula seorang hamba pada tuhannya, bahkan hal itu harus
lebih diperhatikan, kerena dia akan bertemu dengan penciptanya, bertemu dengan Allah
pencipta alam semesta. Inilah analogi Imam Qaffal dalam kitabnya “Mahasin As-syaria”.
Yang kedua: Allah adalah pencipta alam semesta, maka dari itu pastilah Allah menciptakan
kesesuaian alam dan makhluk-Nya dengan syariah yang diturunkan-Nya. Hal ini dibuktikan
dengan kebenaran-kebenaran al-Quran dan as-Sunnah yang semakin tertampak jelas
kesesuaianya dengan bukti ilmiah alam semesta.
Inilah inti poin (enterpoin) bahwa kita harus mematuhi semua perintah Allah dan rasul-Nya,
agar kita senantiasa berada dalam kehambaan pada yang maha kuasa dan kita akan berada
dalam kehidupan lebih baik.
Penerapan syariat islam sebetulnya kalau kita sadari adalah upaya pemberdayaan
kemanusiaan kita untuk lebih maju dalam menjalani kehidupan. Islam sudah mengajarkan
tata berprilaku yang baik, bertransaksi yang baik, tata cara bernegara dengan baik dan
semacamnya. Tapi, begitu disayangkan kerena kenaifan kita. Bahwa kita terlalu takut dan
ragu untuk menerapkan syariat islam dengan sistem apapun. Kita terlalu ambigu atas ajaran
keyakinan yang kita anut, Sebab ideologi kita sudah didominasi dan dijajah oleh filsafat-
filsafat barat yang notabene filsafat mereka terbangun atas asas hawa nafsu dan misi pribadi.
Penulis hanya ingin menyampaikan pesan moral bahwa syariat islam sudah waktunya untuk
diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan oleh umatnya sendiri, bukan hanya nilai-
nilai kemasyarakatan tapi nilai-nilai kenegaraan juga harus diimplementasikan, sebab islam
juga mengajarkan tata cara bernegara yang baik. Islam tidak mengikat dengan sistem khusus
seperti sistem khilafah yang mereka persepsikan. Islam memberikan kebebasan kepada orang
islam untuk menggunkan sistem apapun, sebab dalam prinsip islam juga memperhatikan
situasi dan kondisi manusia yang berebeda-beda dari waktu ke waktu, dan dari satu tempat ke
tempat yang lain.
Setelah lama disingkirkan oleh politik konspirasi barat, islam haruslah kembali jaya. Dan
setelah islam menorehkan sejarah kemajuan dan menjadi kiblat pengetahuan, Islam harus
kembali menorehkan sejarah itu dan merebutnya kembali dari tangan barat.
e. Ibadah & Muamalah
Ibadah
Ibadah berasal dari kata ‘abd yang artinya abdi, hamba, budak, atau pelayan. Jadi ibadah
berarti, pengabdian, penghambaan, pembudakan, ketaatan, atau merendahkan diri. Ibadah
secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Ibadah dapat juga diartikan
sebagai peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung (ritual) antara manusia
dengan Allah Swt. Selain itu juga terdapat berbagai definisi ibadah lainnya, yaitu:
Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui tutunan atau
contoh dari para Rasul-Nya. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Swt, yaitu rasa
tunduk dan patuh yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi.
Ada begitu banyak buku, artikel, dan karya yang membahas tentang pembagian ibadah.
Yaitu:
1. Ibadah Hati
Ibadah ini ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati) berupa rasa khauf (takut),
raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang),
dan rahbah (takut).
2. Ibadah Lisan dan Hati
Ibadah ini adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati) berupa tasbih, tahlil,
takbir, tahmid dan syukur.
3. Ibadah Badan (Fisik) dan Hati
Ibadah ini adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati) berupa shalat, zakat, haji,
dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati).
Ada juga yang membagi ibadah menjadi:
1. Ibadah Mahdlah. Semua perbuatan ibadah yang pelaksanaannya diatur dengan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan sunnah. Contoh, salat harus
mengikuti petunjuk Rasulullah saw dan tidak dibenarkan untuk menambah atau
menguranginya, begitu juga puasa, haji dan yang lainnya. Ibadah mahdlah ini
dilakukan hanya berhubungan dengan Allah saja (hubungan ke atas/ Hablum
Minallah), dan bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Ibadah
ini hanya dilaksanakan dengan jasmani dan rohani saja, karenanya disebut ‘ibadah
badaniyah ruhiyah.
2. Ibadah Ghairu Mahdlah, yaitu ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut
hubungan dengan Allah, tetapi juga menyangkut hubungan sesama makhluk (Hablum
Minallah Wa Hablum Minannas), atau di samping hubungan ke atas, juga ada
hubungan sesama makhluk. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya sebatas pada
hubungan sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungan
alamnya (hewan dan tumbuhan).
3. Ibadah Dzil-Wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu ibadah
mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah, seperti nikah.
2.3. Syarat Ibadah Dalam Islam
Dalam melakukan ibadah tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar.
Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
1. Ikhlas karena Allah semata
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena
ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-
Nya. Melakukan ibadah dengan ikhlas dan menjalankannya dengan sepenuh hati,
bukan karena / untuk dilihat orang atau dipuji orang
2. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia
menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan
bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Rasulullah merupakan utusan-Nya
yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai
beritanya serta mentaati perintahnya.
2.4 Rukun Ibadah Dalam Islam
Rukun-rukun ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri dari tiga hal.
Yaitu:
1. Cinta ( Al-Hubb )
Cinta adalah rukun ibadah yang terpenting, karena cinta adalah pokok ibadah. Arti
cinta disini tidak hanya terbatas hanya pada hubungan kasih antara dua insan semata,
akan tetapi lebih luas dan dalam. Kecintaan yang paling tinggi dan mulia di dalam
kehidupan kita ini adalah rasa kecintaan kita kepada Allah Swt. Dimana jika seorang
umat mencintai Allah (tuhannya), maka dia akan melakukan dan menjalankan semua
yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang oleh-Nya.
2. Takut ( Al-Khouf )
Rukun ibadah berikutnya adalah Rasa Takut. Dimana dengan adanya rasa takut,
seorang hamba (umat) akan termotivasi untuk mencari ilmu dan beribadah kepada
Allah Swt agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang
juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat dan perbuatan buruk
lainnya.
Yang dimaksud Rasa Takut seorang muslim disini memang terdiri dari banyak hal.
Namun yang utama ada dalam hati seorang muslim adalah rasa takut akan pedihnya
sakaratul maut, rasa takut akan adzab kubur, rasa takut terhadap siksa neraka, rasa
takut akan mati dalam keadaan yang buruk, rasa takut akan hilangnya iman dan lain
sebagainya.
3. Harap ( Ar-Roja’ )
Rukun Ibadah yang berikutnya adalah Harap. Yang dimaksud dari harap disini adalah
(rasa) Harapan yang kuat atas rahmat dan balasan berupa pahala dari Allah Swt.
2.5. Sifat dan Ciri Ibadah dalam Islam
Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fikih menyebutkan beberapa sifat yang menjadi
ciri-ciri ‘ibadah yang benar adalah:
1. Bebas dari perantara. Dalam beribadah kepada Allah Swt, seorang muslim tidak
memerlukan perantara, akan tetapi harus langsung kepada Allah.
2. Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus. Secara umum ajaran Islam tidak
mengharuskan penganutnya untuk melakukan ‘ibadah pada tempat-tempat khusus,
kecuali ‘ibadah haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai tempat
‘ibadah.
3. Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan, sebab Allah Subhanahu wa ta’ala
senantiasa menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki
kesulitan.
2.9. Pengertian Muamalah
Secara etiomologi, Muamalah dari kata (العمل) yang merupakan istilah yang digunakan
untuk mengungkapkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. muamalah mengikuti
pola (مفاعلة) yang bermakna bergaul (عامل ,(الت sedangkan secara terminologi, muamalah
adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah. masalah mu’amalah
(hubungan kita dengan sesame manusia dan lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti
makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi,
berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas dari Allah dan
Rasul-Nya.
Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi Muhammad SAW mengatakan:
“Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya. Tapi, dalam urusan
dunia Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa muamalah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak
seluruhnya dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW namun hanya berupa prinsip-prinsip
dasar dan pengembangannya diserahkan pada kemampuan dan daya jangkau pikiran umat
Islam sendiri. Contoh dari muamalah misalnya, aturan-aturan keperdataan seperti hal-hal
yang menyangkut perdagangan, ekonomi, perbankan, pernikahan, hutang piutang, atau pun
juga aturan-aturan dalam bidang pidana dan tata negara.
2.10. Pembagian Mu’amalah
Ada beberapa pembagian muamalah, diantaranya:
1. Muamalah Madiyah : muamalah yang mengkaji obyeknya ; benda yang halal, haram
dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang memadaratkan dan benda
yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta segi-segi yang lainnya.
2. Muamalah adabiyah : muamalah yang mengkaji subyeknya; ditinjau dari segi tukar
menukar benda yang bersumber dari panca indra manusia yang unsur penegaknya
adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban misalnya keridhaan kedua belah pihak,
ijab qabul, dusta, menipu dll.
2.11. Prinsip Muamalah
Ada beberapa prinsip Muamalah, diantaranya:
1. Bolehnya segala bentuk usaha.
2. Haramnya segala kezaliman dengan memakan harta secara bathil, seperti : riba,
ghasab, korupsi, monopoli, penimbunan , dll.
3. Jujur dan saling menasehati.
4. Asas manfaat yang diakui syara’ dalam setiap akad.