mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton

6

Click here to load reader

Upload: markus-t-lasut

Post on 08-Jul-2015

648 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton

EKOTON Vol. 3, No.1: 1-6, April 2003 ISSN 1412-3487

HASIL PENELITIAN

____________________________________________________________ © Pusat Penelitian Lingkungan Hidup & Sumberdaya Alam (PPLH-SDA),

Lembaga Penelitian, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Indonesia, April 2003

EFEK POTASSIUM SIANIDA (KCN) TERHADAP KEBERHASILAN REPRODUKSI BULUBABI Echinometra mathaei

Markus T. Lasut 1*, Deiske A. Sumilat 1 & Octavianus Lintong

1 Staf Pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Sam Ratulangi, Manado * Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam (PPLH-SDA),

Lembaga Penelitian, Universitas Sam Ratulangi, Manado

Abstract. A laboratory experiment to study the effect of potassium cyanide (KCN), a potential pollutant on the reproduction (embryo development) aspect of the sea urchin, Echinometra mathaei was performed using artificial fertilisation. The cyanide at three different sublethal concentrations (5, 10, and 15 ppm) was applied to the sea urchin prior fertilisation at five different exposure time (2, 4, 6, 8, and 10 days) plus a control (i.e. no cyanide used). The result showed that the cyanide affected the development of embryo and the artificial fertilisation achievement. The cyanide at concentrations of 10 and 15 ppm caused development of pleteus malformation, exogastrula and 3-cells embryos. The exogastrula and 3-celss embryos were also observed at the concentration of 5 ppm. The achievement of artificial fertilisation was also affected by the pollutant. Keywords: Potassium cyanide (KCN), sea urchin, Echinometra mathaei , artificial

fertilisation.

PENDAHULUAN Indikasi adanya suatu bahan pencemar (polutan) dalam suatu perairan dapat dilakukan ketika polutan tersebut terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah dan tidak mematikan (subletal). Polutan tersebut tetap dapat menimbulkan efek negatif terhadap aspek biologi organisme (Rompas 1992) dan lingkungannya dan dengan demikian menujukkan terjadinya pencemaran.

Dari bebagai sistem kehidupan organisme laut, salah satu sistem yang dapat terpengaruh oleh adanya polutan adalah sistem reproduksi, misalnya turunnya kemampuan reproduksi organisme. Sehingga populasi organisme akan menurun yang berarti sumberdaya yang ada akan berkurang.

Sianida adalah salah satu bahan polutan yang berpotensi untuk itu. Menurut Health (1987) sianida merupakan senyawa beracun dan memberikan efek toksik bagi mahluk hidup. Sianida banyak digunakan dalam proses pembersihan logam pada pabrik bahan tekstil, plastik, bahan pertanian serta digunakan dalam penelitian-penelitian kimia. Sianida juga digunakan pada industri pertambangan untuk

mengekstrasi beberapa logam, terutama emas (Manahan 1992). Sianida juga digunakan untuk menangkap ikan, penyu atau organisme laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi.

Untuk membuktikan asumsi yang telah dikemukakan diatas maka, perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan organisme sebagai indikator. Dalam hal ini dipilih bulubabi (Eichinoidea) sebagai organisme uji.

Dalam hubungannya dengan studi pencemaran, secara umum bulubabi sangat ideal untuk di pengujian di bidang ekotoksikologi (Kobayashi, 1984). Embrio organisme layak dipakai dalam uji biologi untuk pemantauan lingkungan (Dinnel, 1994). Disamping itu teknik fertilisasi buatan pada bulu babi telah berhasil dilakukan dan terus berkembang (Ch izak, 1975).

MATERIAL DAN METODE

Organisme uji yang digunakan adalah bulubabi Echinometra mathaei Tipe C. Sampel organisme uji diambil dari alam (di perairan Desa Tongkeina, Teluk Manado) dan ditempatkan dalam wadah yang berisi air laut dengan aerasi yang baik. Kemudian sampel dibawa ke

Page 2: Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton

M. T. LASUT, D. A. SUMILAT & O. LINTONG

2

laboratorium dan ditempatkan dalam wadah kaca (aquarium).

Larutan uji dan air laut yang digunakan masing-masing yaitu Potassium Sianida (KCN) dan air laut di ambil dari perairan tempat sampel organisme uji diperoleh.

Teknik fertilisasi buatan akan diaplikasi dalam percobaan ini. Air laut yang digunakan sebelumnya disaring dengan menggunakan filter ukuran 0,45 ? m dan disterilisasi dengan menggunakan autoclave sampai pada suhu 121oC selama 30 menit.

Percobaan dilakukan pada suhu air 28-290 C (diukur dengan termometer), pH=7 (pengukurannya dilakukan dengan kertas lakmus), dan salinitas 33 ppt (diukur dengan refraktometer).

Pada Tahap Pendahuluan, organisme uji dikultur dalam wadah yang mengandung larutan uji. Prosedur kultur dimo difikasi dari Hinegarder (1975) menggunakan metode statis (air tidak mengalir). Organisme uji diberi makan lamun (rumput-rumputan laut) secukupnya.

Ada 4 wadah kultur dalam percobaan, yakni wadah yang masing-masing mengandung larutan uji dengan konsentrasi 0 ppm (kontrol), 5 ppm, 10 ppm, dan 15 ppm di mana di dalamnya ditempatkan masing-masing 20 organisme uji. Untuk menjaga ketersediaan organisme uji maka pada setiap konsentrasi digunakan tiga wadah. Pendedahan (kontaminasi) dilakukan selama 2–10 hari.

Setelah pendedahan berlangsung selaman 2 hari, masing-masing wadah (tiap konsentrasi) diambil 3 pasang organisme uji, kemudian dibersihkan dan dibedah. Selanjutnya dilakukan fertilisasi buatan di wadah yang bersih atau tanpa larutan uji. Prosedur fertilisasi buatan dimodifikasi dari Osani (1975), yaitu sebagai berikut: ? Telur dirangsang keluar dengan pemberian

0,5 M KCI. Telur yang keluar ditampung

pada beker glas. ? Sperma langsung diambil dengan pinset, lalu

diencerkan dan ditampung pada cawan petri. ? Kemudian diambil 1 ml telur dari beker glas

dan dimasukkan ke dalam glas arloji yang berisi air laut steril.

? Telur dicuci sekurang-kurangnya 2 kali dan ditempatkan pada cawan petri.

? Setelah itu diambil 1 ml sperma dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi telur.

? Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan mikroskop.

Tahap ini akan kembali dilakukan apabila pendedahan mencapai 4, 6, 8, dan 10 hari, untuk organisme uji yang lain.

Adapun indikator yang digunakan sebagai parameter dalam percobaan ini untuk mencapai tujuan penelitian adalah: 1. Jumlah sel telur yang berhasil menjadi

pluteus, dinyatakan dalam persentase pluteus. 2. Berbagai perkembangan abnormal embrio

yang terjadi, yaitu: pembelahan 3 sel, exogastrula dan sel-sel telur yang terbentuk menjadi pluteus tapi memiliki formasi struktur tidak normal (malformasi).

Untuk mengetahui keberhasilan fertilisasi buatan dan perkembangan embrio dari bulu babi yang telah didedah pada konsentrasi sianida dan lama pendedahan yang berbeda maka diaplikasikan Uji Sidik Ragam (ANOVA) Dua-Arah dan Uji-Tukey.

Perhitungan hasil analisis ragam dilakukan dengan menggunakan Program Komputer MINITAB Versi 8.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 dan 2 masing-masing menampilkan persentase rata-rata keberhasilan reproduksi bulubabi E. mathei Tipe C pada konsentrasi sianida (KCN) dan waktu pendedahan yang berbeda. Indikator/parameter reproduksi yang

Tabel 1 Persentase rata-rata keberhasilan reproduksi bulubabi Echinometra

mathaei pada konsentrasi sianida (KCN) yang berbeda.

Konsentrasi (ppm)

Pluteus Pluteus Malformasi

Pembelahan 3 sel

Exogastrula

0 62,70 17,10 0 0 5 62,74 17,46 0,98 1,29 10 61,74 24,93 1,31 1,32 15 60,37 47,27 2,74 3,12

Page 3: Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton

EFEK POTASSIUM SIANIDA TERHADAP Echinometra mathaei 3

diamati adalah pluteus, pluteus malformasi, pembelahan 3 sel, dan exogastrula. Gambar 1 dan 2 memperlihatkan bentuk dari tiap tahap perkembangan embrio secara normal dan abnormal akibat efek sianida yang dikontaminasikan sebelum fertilisasi.

Besarnya ratio telur yang dapat mencapai tahap larva pluteus dalam suatu fertilisasi buatan yang dilakukan mengindikasikan tingkat kebersihan fertilisaasi buatan tersebut (Czihak, 1975; Kobayashi 19994). Semakin besar ratio maka tingkat keberhasilan semakin tinggi dan demikian sebaliknya.

Dalam penelitian ini, persentase pluteus yang dapat dihasilkan tidak dapat mencapai 100%, meskipun fertilisasi buatan dilakukan terhadap organisme uji dalam wadah kontrol. Persentase pluteus terbesar hanya mencapai 64,01 % atau terdapat sekitar 35,99 % sel telur yang gagal mencapai pluteus.

Sel telur yang gagal mencapai pluteus dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu:

1. Terjadinya perubahan kondisi fisik terutama suhu dan salinitas dalam wadah fertilisasi buatan yang tidak dapat terhindarkan. Suhu salinitas berbeda memberikan pengaruh berbeda pada keberhasilan sel-sel telur untuk mencapai pluteus (Giudice 1986). Beberapa spesies bulu babi memiliki kisaran suhu dan salinitas optimum pada fertilisasi yang dilakukan secara buatan. Fertilisasi yang dilakukan di luar kisaran tersebut dapat menurunkan keberhasillan fertilisasi yang dilakukan (Czihak, 1975; Osanai, 1975). Selain itu, kondisi fertillisasi buatan yang tidak steril sempurna sehingga terdapat organisme lain seperti siliata yang dapat menurunkan stok telur dalam wadah.

2. Karena stok-stok organisme uji yang digunakan dalam penelitian ini telah

dipengaruhi polutan (bahan pencemar) dari lokasi pengambilan, sehingga keberhasilan fertilisasinya menurun. Oleh karena cara paling sederhana mengetahui keberadaan polutan di perairan laut adalah dengan menggunakan indikator biologi melalui uji biologi/bioassay (Xhapman & Long, 1983; Abel, 1991; Axiak, 1991), dan keberhasilan fertilisasi buatan dan perkembangan embrio bulu babi, banyak digunakan sebagai indikator pencemaran (Dinnel, 1994).

Meskipun demikian, jumlah pluteus dapat mencapai lebih dari 60% pada fertilisasi buatan yang dilakukan dalam kontrol tersebut, hal ini dapat dikatakan bahwa organisme tersebut layak digunakan untuk menilai efek suatu polutan. Asalkan dipastikan bahwa hampir semua telur dalam wadah fertilisasi membentuk membran fertilisasi (Dinnel, 1994; Dinnel, dkk . 1982; Kobayashi, 1994).

Rata-rata jumlah pluteus pada wadah kontrol adalah 62,7%. Sedangkan pada organisme uji yang telah didedah (terkontaminasi) dalam konsentrasi 15 ppm adalah 60,37%. Hal ini berarti bahwa ada penurunan sebesar 2,33%. Namun dari hasil analisis data diketahui bahwa nilai penurunan jumlah pluteus tersebut tidak signifikan. Dengan demikian pendedahan organisme uji pada ketiga tingkat konsentrasi larutan uji selama waktu tertentu, tidak mempengaruhi jumlah pluteus yang dapat dihasilkan.

Tidak berpengaruhnya larutan uji terhadap jumlah pluteus yang dihasilkan, tampaknya disebabkan oleh sifat toksik larutan uji sianida (KCN) yang digunakan. Sianida merupakan bahan toksik yang bersifat efek akut.

Penjelasan lainnya yang beralasan adalah aspek yang berhubungan dengan kematangan gonad. Bulubabi yang telah matang gonad,

Tabel 2 Persentase rata-rata keberhasilan reproduksi bulubabi Echinometra

mathaei dengan waktu pendedahan (kontaminasi) yang berbeda pada sianida (KCN).

Konsentrasi

(ppm) Pluteus Pluteus

Malformasi Pembelahan

3 sel Exogastrula

2 62,89 24,07 0,76 0,73 4 62,25 23,78 1,22 1,26 6 63,12 22,32 1,26 1,56 8 61,34 27,44 1,45 1,59 10 59,83 35,85 1,60 1,76

Page 4: Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton

M. T. LASUT, D. A. SUMILAT & O. LINTONG

4

dengan sendirinya akan memijah dan tidak lagi dipengaruhi oleh intervensi bahan asing, termasuk polutan. Lebih mungkin suatu polutan dapat mempengaruhi reproduksi bulubabi jika polutan itu berada selama proses gametogenesis.

Tetapi dari penelitian ini tampak bahwa pendedahan dalam larutan uji sianida berpengaruh pada formasi pluteus yang dihasilkan. Dari hasil analisis data, konsentrasi 10 dan 15 ppm menyebabkan penigkatan jumlah pluteus malformasi (pluteus yang memiliki formasi struktur yang tidak normal). Pada konsentrasi 10 ppm menyebabkan peningkatan pluteus malformasi pada lama pendedahan 8 dan 10 hari. Konsentrasi 15 ppm, menyebabkan penigkatan pada lama pendedahan 2 hari. Jumlah pluteus malformasi tertinggi terjadi dalam

fertilisasi buatan yang dilakukan pada organisme uji yang telah didedah pada konsentasi 15 ppm selama 10 hari, yakni sebesar 63,10%.

Kobayashi (1984; 1994) dalam serangkaian penelitiannya menyimpulkan bahwa sebagian besar polutan, meskipun pada kondisi pencemaran berat, tidak mempengaruhi secara nyata jumlah pluteus yang dihasilkan. Tetapi menyebabkan perubahan pada formasi pluteus-pluteus yang dihasilkan. Karena itu untuk menilai efek suatu polutan disarankan untuk melihat formasi pluteus, disamping melihat jumlah pluteus yang dihasilkan.

Unsur-unsur bahan pencemar (misalnya logam berat dan sianida) masuk ke dalam tubuh organisme perairan melalui insang dan difusi permukaan kulit. Khusus untuk sianida, bahan

a

f e d c

b

i

h g

bb’

ii’

Efek Sianida (KCN)

gg’

ii’

Gambar 1. Perkembangan embrio bulubabi Echinometra mathaei Tipe C dan perkembangan abnormal (malformasi) yang terjadi sebagai respon dari efek sianida (a: sel telur, b: dua sel, c: 4 sel, d: 8 sel, e: 16 sel, f: blastula, g: gastrula, h: prisma, i: pluteus, bb’: 3 sel, gg’: exogasrula, ii’: pluteus malformasi).

Perkembangan embrio normal

Page 5: Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton

EFEK POTASSIUM SIANIDA TERHADAP Echinometra mathaei 5

kimia ini kemudian akan mempengaruhi organisme tersebut sesuai dengan daya toksiknya.

Menurut Edward & Hassall (1980, Heath (1987), Manahan (1992), daya toksik (toxicity) sianida dalam tubuh organisme disebabkan oleh kemampuannya berikatan dengan Fe(III) dalam oksidasi Ferrisitokrom (Fe(III) Oksidase), suatu metaloprotein yang megandung besi dan bersifat sebagai akseptor elektron selama oksidasi gula. Keadaan ini menyebabkan terhalangnya reduksi enzim ferrisitokrom Oksidase menjadi ferrositokrom oksidase. Hasilnya adalah ferrositokrom oksidase yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan oksigen tidak terbentuk, dan dengan demikian penggunaan oksigen dalam sel terhalang/terhambat.

Selanjutnya Yanagisawa (1975) dalam penelitiannya mengenai tingkat konsumsi oksigen oleh sel yang diamati selama perkembangan embrio berlangsung, menyimpul-kan bahwa konsumsi oksigen oleh sel akan meningkat selama fertilisasi dan perkembangan embrio. Semakin tinggi tahap perkembangan embrio, konsumsi oksigen akan semakin tinggi.

Dalam hubungannya dengan sianida, oleh karena sianida merupakan agen penghambat (bloker) enzim sitokrom oksidase (Heath 1987), bahan ini diduga menyebabkan penurunan

kemampuan sel untuk mengikat oksigen selama fertilisasi dan perkembangan embrio. Sehingga sel tidak memiliki cukup oksigen yang sangat dibutuhkan untuk melangsungkan perkembangan secara normal.

Hal tersebut lebih dipertegas lagi dengan adanya data hasil penelitian ini, di mana terjadi peningkatan jumlah pembelahan abnormal (3 sel) dan exogastrula selama perkembangan embrio.

Pembelahan abnormal (3 sel) terjadi ketika suatu sel dalam embrio membelah sedangkan sel lainnya tidak dapat melakukan pembelahan. Akibatnya, kelihatan sel yang terbentuk hanya 3. Demikian pula halnya dengan abnormal lainnya, pembelahan 3 sel cepat atau lambat akan rusak sehingga tidak dapat melanjutkan perkembangan normalnya (Dinnel dkk ., 1982; Farmanfamaian & Giese, 1963; Kobayashi, 1984) dan akhirnya menyebabkan terjadinya mortalitas.

Dalam penelitian ini, diketahui bahwa pada semua kombinasi perlakuan, jumlah sel yang membelah abnormal (3 sel) kurang dari 4%. Tetapi dari hasil analisis data, pendedahan pada tingkat larutan uji yang dicobakan tersebut menyebabkan peningkatan secara nyata jumlah sel yang membelah abnormal tersebut, meskipun dari jumlahnya masih dikategorikan sebagai efek penghambatan ringan (slight inhibition)

Sel telur

Pembelahan 3 Sel

Exogastrula

malformasi

M O R T A L I T A S

Pembelahan 2, 4, 8, 16 sel

(n-sel)

Hatching blastula gastrula

prisma pluteus Organisme

Efek sianida

PERKEMBANGAN EMBRIO NORMAL

Gambar 2. Skema perkembangan embrio bulubabi dan perkembangan abnormal yang terjadi akibat efek sianida (KCN).

Page 6: Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton

M. T. LASUT, D. A. SUMILAT & O. LINTONG

6

(Kobayashi, 1984). Sedangkan exogastrula terbentuk ketika

air laut terkontaminasi bahan toksik seperti ion-ion yang bersifat logam (metalik). Archenteron tidak terbentuk dalam emb rio selama proses gastrulasi dan jaringan yang menghubungkan endoderm menjulur keluar embrio. Kondisi inilah yang disebut exogastrula (Waterman, 1937).

Dari hasil analisis, diketahui bahwa semua tingkat konsentrasi larutan uji yang dicobakan, menyebabkan peningkatan jumlah exogastrula pada perkembangan embrio. Namun pada semua kombinasi perlakuan, jumlah exogastrula yang terjadi kurang dari 4%. Sehingga efek penghambatannya dikategorikan sebagai penghambatan ringan.

Sama seperti perkembangan abnormal lainnya, exogastrula lama-kelamaan akan hancur dan tidak dapat meneruskan perkembangan (Kobayashi 1984) dan mengalami mortalitas, sehingga mengurangi jumlah telur yang dapat mencapai pluteus.

Terjadinya pembelahan 3 sel dan exogastrula selama perkembangan embrio diduga akibat penghambatan enzim sitokrom oksidase oleh sianida. Akibatnya suplai oksigen selama perkembangan tidak mencukupi untuk membentuk energi yang dibutuhkan sel agar dapat melangsungkan perkembangan normal (Gambar 2).

REFERENSI Abel, P. D. 1991. Lethal toxicity test: theory and

methodology. Halaman 39-56 dalam P.D. Abel & V. Axiak (eds.). Ecotoxicology and the marine environment. Ellis Horwood. New York.

Axiak, V. 1991. Sublethal toxicity test: physiological responses. Halaman 132-136 dalam P.D. Abel & V. Axiak (eds.). Ecotoxicology and the marine environment. Ellis Horwood. New York.

Chapman, P. M. & E. R. Long. 1983. The use of bioassay as part of a comphrehensive approach to marine pollution assessment. Marine Pollution Bulletin 14(3): 81-84.

Czihak, G. 1975. The sea urchin embryo. Biochemistry and Morphogenesis. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, New York. 700 hal.

Dinnel, P. A., Q. J. Stober, S. C. Crumley & R. E. Nakatani. 1982. Development of a sperm

cell toxicity test for marine waters. Halaman 82-89 dalam J. G. Pearson, R. B. Foster & W. E. Bishop (eds.). Aquatic toxicity and hazard assessment. STP 766 Amer. Soc. Test. Mater. Philadelphia. 400 hal.

Dinnel, P. A. 1994. Toxicity testing in marine environment. SNC-Lavalin International Inc.

Edward, N.A. & K.A. Hassall. 1980. Bioche-mistry and physiology of the cell: an introductory text. Second Edition. McGraw-Hill Book Co. (UK) Ltd. London. 448 hal.

Farmanfamaian, A. & A. C. Giese. 1963. Thermal tolerance and acclimation in the western purple sea urchin, Strongylocentrotus purpuratus. Physiol. Zool. 36: 237-243.

Giudice, G. 1986. The sea urchin embryo: a development biological system. Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg. 214 hal.

Heath, A. G. 1987. Water pollution and fish physiology. CRC Press, Boca Raton. Ann Arbor, London. 245 hal.

Hinegarder, R. 1975. Care and handling of sea urchin eggs, embryos and adults. Halaman 10-22 dalam G. Czihak (ed.). The sea urchin embryo. Biochemistry and Morphogenesis. Springer-Verlag, Berlin.

Kobayashi, N. 1984. Marine ecotoxicological testing with echinoderms. G. Persoone, E. Jaspers & C. Claus (eds.). State Univ. Ghent and Inst. Mar. Sci. Res. Belgia. Vol. I. 798 hal.

Kobayashi, N. 1994. Application of eggs of the sea urchin Diadema setosum on marine pollution bioassay. Phuket Marine Biological Centre Research Bulletin 59: 91-94.

Manahan, S. E. 1992. Toxicology chemistry. Second Edition. Lewis Publisher. Boca Raton Ann Arbor. London. 449 hal.

Osani, K. 1975. Handling Japaness sea urchin and their embryo. Halaman 26-36 dalam G. Czihak (ed.). The sea urchin embryo. Biochemistry and Morphogenesis. Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg, New York.

Waterman, A. J. 1937. Effect of salts of heavy metals on development of the sea urchin Arbacia punctulata . Biol. Bull 73: 401-420.

Yanagisawa, T. 1975. Respiration and energy metabolism. Halaman 510-538 dalam G. Czihak (ed.). The sea urchin embryo. Biochemistry and Morphogenesis. Springer-Verlag, Berlin.

ISSN 1412-3487