muhammad ali azhar public policy and public policy resistanceerepo.unud.ac.id › id › eprint ›...

12
Muhammad Ali Azhar Public Policy and Public Policy Resistance SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

Upload: others

Post on 27-Jan-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

    PUBLIC POLICY AND PUBLIC POLICY RESISTANCE:

    Critical Analysis toward Badung Regency Government Policy in Operating

    Mengwi Terminal

    Oleh:

    Muhammad Ali Azhar

    Political Science Program

    Faculty of Social and political Sciences

    Udayana University

    E-mail: [email protected]

    Abstract

    Policy is an instrument of government, not just in the sense of government as state

    officials, but also various forms of governance that touches both private

    institutions, businesses, and civil society. If they are not involved in government

    policy, some institutional forms as mention above will be resistant to the policy.

    This paper reviews resistance about the government's policy in Mengwi terminal

    operations. Start at 22nd of June 2012, through decree number SK.1543/AJ.106/DR

    JD in 2012, the government of Badung regency which is related to its ranks;

    government of Denpasar, Bali's provincial and central government decided that

    Mengwi terminal operated. However, operationally decision, not necessarily get a

    positive response from the object being regulated. It is caused, they are not

    engaged by the Badung regency government in their policy development terminal.

    As a result, the terminal is operated only half-heartedly by the holders discretion.

    Key words : policy, model and policy approaches, resistance policy

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

    A. Latar Belakang

    Kebijakan merupakan kata kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pentingnya

    kebijakan dalam pemerintahan karena segala urusan pemerintahan senantiasa berhubungan erat

    dengan pekerjaan; mengurusi, memberi, dan melayani kebutuhan warga masyarakat. Maka untuk

    melaksanakan tugas-tugas tersebut pemerintah butuh kebijakan untuk mencapainya. Hal tersebut

    dimaksudkan untuk memberikan perhatian kepada warga masyarakat, baik berupa pelayanan

    kenyamanan ataupun keamanan.

    Sejatinya sebuah kebijakan akan lebih bermakna apabila kebijakan itu selaras dengan

    keinginan publiknya1. Karena yang namanya kebijakan, pasti memiliki obyek yang diaturnya dalam

    menanggapi isu-isu pokok yang dihadapinya. Namun bagaimana kalau kebijakan itu bertentangan

    dengan obyek yang diaturnya sendiri. Tentu kebijakan tersebut akan menimbulkan resistensi

    dikalangan elemen masyarakat yang menjadi obyek dari pelaksanaan kebijakan tersebut.

    Pertentangan antara kebijakan pemerintah dan keinginan publiknya diatas, seperti yang terjadi pada

    kebijakan pengoperasian ‚terminal mengwi‛ oleh pemerintah daerah kabupaten Badung provinsi

    Bali.

    Terminal Mengwi merupakan terminal yang dibangun secara tripartit oleh pemerintah

    daerah Kabupaten Badung bersama pemerintah provinsi Bali dan pemerintah pusat. Pemerintahan

    tripartit ini, mulai mengoperasikan terminal tersebut lewat surat keputusannya bernomor

    1543/AJ.106/DR JD tahun 2012. Terminal ini merupakan terminal terbesar di provinsi Bali yang

    dibangun setaraf dengan standar-standar terminal terbesar di Indonesia2. Dengan kelengkapan

    fasilitasnya terminal ini dibangun untuk melayani arus penumpang baik yang berasal dari dalam

    maupun luar daerah Bali. Selain itu, rencana membangun terminal ini adalah untuk menggantikan

    terminal lama, ‘terminal Ubung’ yang dianggap sudah tidak memadai lagi untuk melayani arus

    mobilitas jasa transportasi dan peningkatan arus jumlah penumpang yang ada di Kota Denpasar.

    Sejak terminal Mengwi dioperasikan perduapuluh dua Juni tahun 2012 sudah mulai terlihat

    adanya tanda-tanda penolakan dari berbagai pihak, baik dari pengguna jasa transportasi maupun

    penyedia jasa transportasi umum3. Padahal seyogyanya tujuan dari dibangunnya sebuah terminal

    adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan kemudahan pelayanan untuk mengakses

    transportasi sesuai yang diinginkan. Pembangunan terminal yang seharusnya menjadi sebagai

    sebuah produk kebijakan publik yang mengayomi dan memuaskan kebutuhan para pengguna dunia

    transportasi, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.

    Persoalan pun semakin tidak dapat terurai, dimulai dari persoalan akses lokasi yang sangat

    jauh dari jangkauan penumpang, sampai dengan kegamangan pemerintah dalam melakukan

    tindakan pemaksaan terhadap pengguna jasa terminal menjadi tontotan menarik. Penolakan pun

    semakin tidak bisa dihindari, seperti ketidakpatuhan para sopir angkot, terlebih para sopir mobil

    lintas (trans) daerah dalam menaikan dan menurunkan penumpang di sana. Kondisi ini semakin

    diperparah dengan ulah penumpang dan sopir yang bekerjasama tidak bersedia turun di terminal

    tersebut. Padahal, sebagai sebuah terminal akhir sebaiknya naik turunnya penumpang dilakukan

    disana.

    Melihat persoalan diatas, tentu ada persoalan serius yang terjadi dengan kebijakan

    pemerintah dalam pembangunan terminal, terlebih lagi pemindahan lokasi terminal tersebut seolah

    mengabaikan aspirasi dan keinginan masyarakat luas. Kebijakan yang semestinya mampu

    memberikan pelayanan yang prima terhadap publiknya, yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan

    kebijakan tersebut bukan hanya menimbulkan resistensi ditingkat masyarakat, akan tetapi telah

    mengakibatkan konflik ditingkat jajaran pengatur transportasi diantara ketiga pemerintahan tersebut.

    1 Miftah Thoha, (1992). Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta; CV Rajawali 2 Terminal Mengwi merupakan terminal yang dibangun oleh pemerintah daerah setaraf dengan pelayanan internasional, karena mengikuti ikon Bali sebagai pusat pariwisata dunia. 3 Bali Pos, Denpasar, 16 Agustus 2012

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

    Sehubungan dengan persoalan diatas, pertanyaan kunci yang menarik untuk dijelaskan

    dalam tulisan ini, ‚mengapa terjadi penentangan publik terhadap implementasi kebijakan tersebut‛?

    B. Kebijakan Publik

    Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan, pilihan-pilihan tindakan yang

    secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, financial dan

    manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga negara.

    Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antar berbagai,

    gagasan, teori, dan kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.

    Banyak sekali mengenai defenisi kebijakan. Dalam beberapa defenisi sulit sekali

    membedakan defenisi kebijakan itu terpisah dengan defenisi kebijakan publik. Sebagian besar para

    ahli langsung memberikan pengertian kebijakan ini disertai dengan kebijakan publik. Sebagian besar

    mereka memberikan pengertian kebijakan publik dalam kaitannya keputusan atau ketetapan

    pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi

    kehidupan warganya. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan (lih. publik) sering

    diartikan sebagai ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’.

    Seperti yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye (1992;2) diartikan seperti “whatever government choose

    to do or not to do”.

    Islamy (1984;12), memberikan defenisi kebijakan publik adalah apa pun yang pemerintah

    pilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau apa yang pemerintah katakan dan

    dilakukan atau tidak dilakukan.

    Leslie A. Pal (1987;2) mengkategorikan defenisi ini menjadi dua macam. Kategori pertama,

    defenisi yang lebih mengedepankan kepada maksud dan tujuan utama sebagai kunci kriteria

    kebijakan. Kategori kedua, lebih mengedepankan pada dampak tindakan pemerintah berkaitan

    dengan pemerintah tersebut.

    Sebagai tulisan yang menganalisa dampak dari suatu kebijakan pembangunan. Pendapat

    Leslie A. Pal (1987;4) memberikan defenisi yang tepat mengenai kebijakan publik untuk tulisan ini

    sebagai berikut; pertama, what government actually do and why, kedua, action taken by government dan

    ketiga, a policy may usefull be considered as a cource action or inaction rather than specifik decision or action,

    and such a course has to be perceived and indentified by the analyst in question.

    Berdasarkan defenisi diatas, kebijakan atau kebijakan publik adalah merupakan upaya untuk

    memahami dan mengartikan apa yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh pemerintah

    mengenai suatu masalah, mengenai apa yang menyebabkan atau mempengaruhinya dan apa

    pengaruh dan dampak dari kebijakan tersebut4.

    C. Model dan Pendekatan Kebijakan

    Sebagai sebuah hasil dari proses kebijakan, pembangunan terminal mengwi seharusnya tidak

    menimbulkan persoalan seperti yang terjadi saat ini. Bila ada persoalan tentu ada sesuatu yang

    kontroversial dalam proses pengambilan keputusan pembangunan terminal. Dalam hal ini

    penyebabnya adalah para pengambil keputusan dalam proses penentuan kebijakan tersebut. Boleh

    jadi para pengambil keputusan dalam pembangunan terminal ini adalah para pengambil keputusan

    yang menganut pola pemikiran tertentu dalam mengambil keputusan (kebijakan umum) ini.5

    Dalam berbagai literatur kebijakan, pola pemikiran yang diambil oleh para pengambilan

    keputusan tersebut, dapat dilihat dalam model dan pendekatan kebijakan publik oleh pemerintah.

    4 Joko Widodo, (2009). Analisis Kebijakan Publik; konsep dan aplikasi analisa proses kebijakan publik. Malang; Bayumedia Publishing, hal. 13 5 Dua bentuk keputusan politik (kebijakan umum) yang mempunyai ruang lingkup pengaruh yang berbeda. Pertama, kebijakan umum yang mampu menimbulkan perubahan mendasar dan menyeluruh disebut sebagai keputusan yang komprehensif. Keputusan yang komprehensif biasanya lebih mungkin terjadi dalam sistem politik totaliter karena jumlah orang yang membuat keputusan pada umumnya relatif sedikit dan dilakukan secara sentralisasi. Kedua, kebijakan umum yang mampu menimbulkan perubahan pada perubahan dan “pingir-pinggir” permasalahan saja atau keputusan yang bersifat marjinal atau keputusan yang bersifat “tambal sulam”. Paul Con dalam Ramlan Surbakti, (2007), memahami ilmu politik, hal. 200

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

    Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu

    kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Seperti halnya masalah-masalah

    kebijakan yang merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi dan spesifikasi

    elemen-elemen kondisi masalah, model-model kebijakan merupakan rekonstruksi artifisial dari

    realitas dalam wilayah yang merentang dari energi dan lingkungan sampai ke kemiskinan,

    kesejahteraan dan kejahatan. Sementara pendekatan kebijakan adalah pilihan strategis pemerintah

    melakukan pendekatan terhadap jalannya kebijakan6.

    Dalam tulisan ini pilihan penulis kepada model kebijakan elitis dan pendekatan kelompok

    merupakan pilihan paling tepat sebagaimana dijelaskan berikut ini;

    1. Model Elitis

    Kalau kita menyelami lebih jauh kebijakan publik, orientasinya tunggalnya adalah pada

    kepentingan publik. Maka tiap-tiap kebijakan publik seyogyanya memiliki ‘semangat kepublikan’

    yang mau tidak mau implikasinya harus menempatkan publik sebagai aktor utama dalam tiap

    proses kebijakan publik’7.

    Namun seringkali kebijakan itu berjalan hanya menguntungkan segelintir orang. Pada

    umumnya kebijakan seperti ini dilakukan hanya berdasarkan preferensi dan nilai dari kalangan

    tertentu, misalnya kalangan elite penguasa. Hal itu sejalan dengan teori elite yang menyatakan

    bahwa masyarakat bersifat apatis dan kekurangan informasi mengenai kebijakan publik. Oleh

    karena itu, kelompok elitelah yang akan memproduksi dan mempertajam pendapat umum.

    Semantara pejabat administrator hanyalah pelaksana kebijakan yang telah ditentukan oleh

    kelompok elite tersebut.

    Tidak dipungkiri memang pada awal perkembangannya kebijakan publik sering disebut

    sebagai ilmunya para penguasa. Pada masa awal perkembangannya kebijakan publik itu benar-

    benar hanya menjadi bahan pembicaraan di tingkat elit politik saja. Yaitu para pemegang

    kekuasaan politik dan pakar-pakar kebijakan publik umum dan sektoral.

    Hal itu, dibuktikan di negara kita sendiri di Indonesia pada dekade 80-an, perumusan

    kebijakan yang terjadi bersifat sangat elitis8. Agenda kebijakan lebih didasarkan pada kepentingan

    pemerintah bukan negara sebagai suatu keseluruhan dengan komponen swasta maupun

    masyarakat. Pemerintah memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah kebijakan yang

    diambil. Keterlibatan stakeholder lain seperti swasta maupun masyarakat sangat dibatasi. Swasta

    sebagai pemilik modal dilibatkan karena memiliki akses terhadap peluang untuk investasi bagi

    berkembangnya industri. Sedangkan masyarakat yang diwakili oleh lembaga perwakilan (DPR)

    kurang berperan bahkan cenderung sebagai ‘stempel’ atas kebijakan yang diputuskan pemerintah.

    Dalam proses implementasi kebijakan, perumusan kebijakan elitis diatas sejalan dengan

    model elitis. Model ini mempuyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-

    nilai dan pilihan-pilihan dari elit yang memerintah. Argumentasi pokok dari model ini adalah

    bahwa bukan rakyat atau ‚massa‛ yang menentukan kebijakan publik melalui tuntutan-tuntutan

    dan tindakan mereka, tetapi kebijakan publik ditentukan oleh elit yang memerintah dan

    dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah yang berada di bawahnya.

    Thomas R. Dye dan Harmon dalam The Irony of Democracy memberikan suatu ringkasan pemikiran menyangkut perumusan kebijakan model elit ini, yakni 9:

    1. Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang

    mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.

    6 Shilatul Hamri, Makalah Model dan pendekatan kebijakan (2012), 7 Fadilah Putra, (2005). Kebijakan tidak untuk publik, Yogyakarta; Resist book, hal. 34 8 Parsons, Wayne, ……, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan, hal 251

    9 Muhammad Afif Bizri, Model-Model dalam Analisis Kebijakan Publik, jurnal online edisi 29 November, 2011

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

    2. Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elit ini (the

    rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang ekonominya tinggi. 3. Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elitis sangat pelan dan berkesinambungan untuk

    memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah

    menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang

    memerintah.

    4. Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial dan pemeliharaan sistem.

    Misalnya, di Amerika Serikat konsensus elit mencakup perusahaan swasta, hak milik pribadi,

    pemerintahan terbatas dan kebebasan individu.

    5. Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-nilai elit yang

    berlaku. Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik adalah secara inkremental daripada

    secara revolusioner. Perubahan-perubahan secara inkremental memungkinkan tanggapan-tanggapan yang timbul hanya mengancam sistem sosial dengan perubahan sistem yang

    relatif kecil dibandingkan bila perubahan tersebut didasarkan teori rasional komprehensif. 6. Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis.

    Sebaliknya, para elit mempengaruhi massa yang lebih besar.

    Dalam pandangan diatas, sebenarnya kebijakan pemerintah membangun terminal

    merupakan contoh nyata tentang kebijakan yang elitis. Keterlibatan pemerintah daerah sebagai

    stakeholder sangat kuat bahkan menjadi penentu pengambilan keputusan atas sebuah kebijakan.

    Pemerintah berhak mengeluarkan ijin operasi terminal dalam bentuk hak pengusahaan terminal

    yang kemudian diikuti oleh unit pemerintahan dibawahnya tanpa bisa menolak.

    2. Pendekatan Kelembagaan

    Dalam kaitan dengan pembangunan sarana ini, rupanya pemerintah memakai pendekatan

    secara kelembagaan dalam memproduksi kebijakannya. Pendekatan kelembagaan diasumsikan

    bahwa sebuah kebijakan publik diambil, dilaksanakan, dan dipaksakan secara otoritatif oleh

    lembaga yang ada dalam pemerintahan, misalnya parlemen, kepresidenan, pemerintah daerah,

    kehakiman, partai politik dan sebagainya. Kebijakan publik model ini memiliki beberapa

    karakteristik yaitu pemerintah mampu memberikan legitimasi atas kebijakan yang dikeluarkan,

    kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mampu bersifat universal artinya menjangkau

    semua lapisan masyarakat, terakhir adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mampu

    memonopoli paksa semua masyarakat, dalam artian mampu menjatuhkan sanksi bagi pelanggar

    kebijakan.

    Salah satu kelemahan pemerintahan dalam pendekatan seperti ini tidak adanya keterlibatan

    aktor-aktor lain dalam memutuskan kebijakan. Kebijakan top down, model ini tidak memberikan

    curahan perhatian kepada hubungan antar lembaga-lembaga pemerintahan dan substansi dari

    kebijakan publik. Setelah diambil alihnya tindakan pengoperasioanalan, banyak tindakan dan aksi

    perlawanan masyarakat mengabaikan perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal tersebut

    nampak jelas bahwa kebijakan ini tidak melibatkan banyak aktor yang mempunyai kepentingan

    dengan target group atau penerima kebijakan ini.

    Padahal keterlibatan aktor-aktor itu sangat penting untuk mengkondisikan dan

    memunculkan suatu kebijakan yang memuaskan. Misalnya dengan melakukan pendekatan

    terhadap suatu lingkungan tertentu. Lingkungan menjadi titik awal untuk mengadaptasikan

    kebijakan yang akan dibuat. Seorang analis akan mengidentifikasikan potret suatu lingkungan

    sebagai arah dalam pembuatan kebijakan. Dengan mengetahui kondisi lingkungan terhadap suatu

    implementasi kebijakan maka akan dengan mudah mengeliminir resiko kegagalan suatu

    kebijakan karena analisanya mencoba meramalkan kemungkinan yang akan datang.

    Memang terkesan sedikit mendasar, akan tetapi dengan mencoba mengetahui hal-hal yang

    mendasar untuk memulai membuat suatu kebijakan sangat penting. Karena sesuatu yang

    mungkin hanya dianggap sepele tapi ternyata sangat mempengaruhi terhadap suatu kebijakan.

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

    Pada proses awal akan sangat detail sekali dalam melakukan analisis kebijakan karena menjadi

    fondasi utama dalam suatu pembuatan kebijakan.

    Hal lain yang menyebabkan kebijakan ini mendapatkan perlawanan dari obyek yang

    diaturnya, karena tidak adanya pertimbangan suatu nilai, fakta dan tindakan yang hendak

    dicapai. Nilai sangat penting karena masyarakat selalu dinamis sehingga akan diimplementasikan

    pada tindakan publik. Nilai yang didapat, merupakan hasil dari pencarian, pendefinisian,

    spesifikasi, pengenalan masalah sehingga benar-benar tahu dan mengerti mengenai masalah yang

    dihadapi. Namun ketika kebijakan yang dijalankan tidak berorientasi kepada nilai, maka

    kebijakan akan terjadi benturan dan berujung kepada tidak terimplementasikannya kebijakan.

    Persoalan semakin lengkap, setelah kebijakan pembangunan terminal ini disinyalir

    mengabaikan proses analisa kebijakan tanpa merujuk pada suatu kajian yang eksploratif. 10

    Kecenderungannya banyak yang bersifat politis dan kadang mengabaikan nilai substansi suatu

    kebijakan. Memang suatu kebijakan tidak sepenuhnya rasional karena ada muatan-muatan politis

    yang masuk. Dominannya kekuatan politis tersebut mengabaikan sisi rasionalitas dengan

    berlindung dibawah kepentingan publik atau sosial. Namun dengan mengacu pada sisi

    rasionalitas publik seharusnya bisa memberikan acuan mengenai alternatif kebijakan karena

    dengan mengacu pada sisi rasionalitas publik dapat diketahui pilihan yang terbaik.

    D. Resistensi Kebijakan

    Sekali kebijakan diputuskan dan disahkan oleh pihak yang berwenang, maka keputusan kebijakan

    itu telah siap untuk diimplementasikan (Islamy, 2004:102). Namun, persoalan muncul jika tidak

    diikuti dengan proses penyebaran atau sosialisasi kebijakan negara secara baik, masyarakat akan

    mengalami kesulitan dalam memahami kebijakan atau keputusan tersebut. Jadi, problemnya ketika

    tidak adanya tindakan sosialisasi pemerintah, menyebabkan warga masyarakat merasa kaget dengan

    kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah. Kondisi diatas tepat sekali untuk menggambarkan

    permasalahan yang kini tengah dihadapi oleh terminal Mengwi dan stakeholdernya.

    Melihat persoalan diatas, penulis mengutip pendapat James E. Anderson (dalam Irfan Islamy

    2004:108) yang mengemukakan beberapa sebab mengapa setiap anggota masyarakat tidak mematuhi

    dan melaksanakan kebijakan negara. Faktor-faktor yang menjadi penyebabnya adalah sebagai

    berikut ;

    Pertama, kebijakan negara yang bertentangan dengan sistem nilai masyarakat. Bila suatu

    kebijakan dipandang bertentangan secara tajam dengan sistem nilai yang dianut masyarakat luas

    atau kelompok-kelompok tertentu, maka kebijakan seperti itu tidak akan dilaksanakan atau dipatuhi.

    Kedua, adanya ketidak patuhan selektif terhadap hukum. Ada beberapa peraturan perundangan

    atau kebijakan yang bersifat kurang mengikat pada individu-individu.

    Ketiga, keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan atau kelompok. Seseorang bisa patuh

    pada peraturan perundangan atau keputusan/kebijakan negara keterlibatannya dalam keanggotaan

    suatu perkumpulan atau kelompok kadang-kadang mempunyai ide-ide atau gagasan-gagasan yang

    tidak sesuai/bertentangan dengan hukum atau keinginan pemerintah. Akibatnya mereka cenderung

    untuk tidak patuh atau melawan peraturan atau kebijakan negara.

    Keempat, ketidak adanya kepastian hukum. Tidak adanya kepastian hukum, ketidakjelasan ukuran

    kebijakan yang saling bertentangan satu sama lain dapat menjadi sumber ketidak patuhan orang

    pada hukum atau kebijakan negara. Suatu peraturan perundangan atau kebijakan negara yang tidak

    pasti, tidak jelas atau isinya bertentangan satu sama lain dapat menyebabkan adanya salah

    pengertian terhadap penafsiran peraturan atau kebijakan tersebut. Disamping itu adanya perbedaan

    pandangan dan kepentingan antara pejabat pemerintah dan masyarakat menyebabkan penafsiran

    mereka terhadap peraturan atau kebijakan itu juga berbeda-beda. Ini semua menyebabkan orang

    tidak mematuhi peraturan atau kebijakan negara.

    10 Wawancara dengan salah seorang pegawai dishub kota Denpasar. Kamis 27 September 2012

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

    Berangkat dari beberapa sebab diatas, poin penting yang mendekati ketidak patuhan atau tindak

    resisten elemen masyarakat terhadap pengimplementasian terminal; pertama, kebijakan negara yang

    bertentangan dengan nilai yang dianut masyarakat. Masyarakat dan kalangan pengusaha

    transportasi (swasta) merasa dirugikan dengan dioperasikannya terminal tersebut. Dari kalangan

    penumpang mereka merasa dirugikan secara ekonomi, waktu dan tenaga karena masyarakat sebagai

    pihak pengguna jasa transportasi melihat pemindahan lokasi terminal dianggap sangat merugikan.

    Hal tersebut karena akses lokasi pemindahan sangat jauh dengan pusat Denpasar sebagai kota

    tujuan.

    Kedua, adanya ketidak patuhan selektif terhadap hukum. Yakni adanya perundangan atau

    kebijakan yang sifatnya kurang mengikat pada individu-individu atau lembaga. Hal tersebut

    dibuktikan dengan tidak adanya regulasi yang optimal menyebabkan pemerintah tidak dapat

    memaksakan kehendak kepada masyarakat untuk mematuhi kebijakan yang telah diputuskan.

    Melihat kondisi tersebut, perbedaan pandangan dan kepentingan antara pemerintah dan

    masyarakat serta sektor swasta tidak bisa dihindari. Pihak penyedia jasa transportasi tidak bisa

    mematuhi aturan pemerintah karena menghadapi dua tekanan arus besar, pertama dari pihak

    penumpang atau masyarakat pengguna jasa transportasi tidak bersedia di turunkan di terminal baru

    (mengwi) tersebut. Kedua, ada kekuatan tersembunyi di balik pro dan kontra pemindahan terminal

    yang merasa akan kehilangan sumber dan keuntungan ekonomis akibat dari pemindahan terminal11.

    Ketegasan pemerintah semakin tidak optimal, setelah diantara dua terminal (pihak pemerintah)

    tidak saling koordinasi dan kerjasama untuk mendukung bagi terlaksananya operasional terminal.

    Walaupun telah terjadi penurunan tingkat pada terminal Ubung dari tipe A turun menjadi tipe B. Hal

    tersebut disebabkan, antara pihak pemerintah kota Denpasar dan pemerintah kabupaten Badung

    tidak terjadi kesepahaman karena salah satunya (pemerintah Kota Denpasar) menganggap proyek

    pembangunan terminal mengwi dilakukan tanpa koordinasi dengan pihak mereka12.

    E. Kesimpulan

    Dari penjelasan dan argumentasi diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa terjadinya

    tindakan pengabaian komponen masyarakat terhadap pengoperasionalan terminal mengwi saat ini,

    disebabkan karena ada persoalan serius disekitar munculnya kebijakan pemerintah kabupaten

    Badung dalam rencana pembangunan terminal.

    Diantaranya yang menjadi penyebab kebijakan atau keputusan tersebut ditolak dalam proses

    implementasinya, pertama, kelompok sasaran tidak mengetahui kebijakan atau keputusan tersebut

    dibuat. Dalam arti tidak ada pelibatan dalam rencana pembuatan kebijakan. Bisa ditebak bahwa

    keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan dalam suatu proses konversi yang elitis.

    Kebijakan mengalir secara top down dari kehendak elit ke administrator atau birokrat dan bersasaran

    pada rakyat.

    Kedua, dampak dari ditolaknya keputusan atau kebijakan oleh target group menyebabkan

    kebijakan dijalankan hanya setengah hati oleh pemangku kepentingan atau pemerintah daerah,

    sehingga sampai saat ini terjadi dualisme terminal yang beroperasi di provinsi Bali.

    Daftar Pustaka

    Budi Winarno (2007). Kebijakan Publik; Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.

    Fadillah Putra, (2005). Kebijakan Tidak untuk Publik, Yogyakarta: Resist Book

    Miftah Toha (2005). Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Aministrasi Negara. Jakarta:

    Rajagrafindo Persada.

    11 Wawancara dengan salah seorang staf dishub kota Denpasar 12 Ibid.

  • Muhammad Ali Azhar Public Policy and

    Public Policy Resistance

    SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013

    Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

    Muhammad Afif Bizri, (2011). Model-Model dalam Analisis Kebijakan Publik, Jurnal

    Edisi 29 November 2011.

    Riant Nugroho, (2003). Kebijakan Publik: formulasi, implementasi, dan evaluasi. Jakarta:

    Elex Media Komputindo.

    Samodra Wibawa, (2005), Politik Perumusan Kebijakan Publik”. Yogyakarta;

    William N. Dunn (1999). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta:Gadjah Mada University

    Press.