musik dalam tradisi tasawuf : studi sama' dalam
TRANSCRIPT
MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA‘ DALAM TAREKAT MAULAWIYAH
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)
Oleh :
Zaenal Abidin NIM : 102033124744
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008 M/1428 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA‘
DALAM TAREKAT MAULAWIYAH telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 18 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.) pada Program Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 18 Juni 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Drs. Ramlan A. Gani, M.A. NIP: 150 262 447 NIP: 150 254 185
Anggota,
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, M.A. Drs. Syamsuri, M.A. NIP: 150 209 685 NIP: 150 240 089
Prof. Dr. Raden Mulyadhi Kartanegara, M.A. NIP: 150 227 576
PEDOMAN TRANSLITERASI
h = ة a = ا
h = ه b = ب
’ = ء t = ت
y = ي ts = ث
w = و j = ج
h Untuk Mad Diftong = ح
ai = أ ْى kh = خ
au = أ وْ d = د
dz â = a panjang = ذ
r î = i panjang = ر
z û = u panjang = ز
s = س
sy = ش
s = ص
d = ض
t = ط
z = ظ
، = ع
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perhatian kepada pendidikan musik telah diberikan semenjak akhir zaman
Umawiyah. Dalam zaman ‘Abbâsiyyah perhatian yang amat besar untuk
perkembangan pendidikan musik diberikan oleh para khalifah dan pembesar.
Sekolah musik tingkat menengah dan tinggi didirikan di berbagai kota.1 Pabrik
alat-alat musik dibangun di berbagai negeri Islam. Sejarah telah mencatat bahwa
pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang sangat terkenal ada di kota Sevilla
(Andalusia atau Spanyol).2
Catatan tentang kesenian umat Islam begitu banyak disebut orang. Para
penemu dan pencipta alat musik Islam juga cukup banyak jumlahnya, yang
muncul sejak pertengahan abad kedua Hijriah, misalnya Yûnus al-Khâtib (w. 135
H), Khalîl ibn Ahmad (170 H), Ibn al-Nadîm al-Nausillî (235 H), Hunain ibn
Ishâq (264 H), dan lain-lain.3
Pada masa itu cakrawala umat Islam juga diramaikan oleh biduan dan
biduanita yang status umumnya adalah pelayan. Mereka ini bukan penyanyi
bayaran yang disewa untuk setiap pertunjukannya. Merekalah yang bernyanyi
untuk menghibur khalifah dan para penguasa lainnya di istana dan rumah mereka
masing-masing.4
1 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian : Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya
Manusia, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), hlm.169. 2 ’Abdurrahman al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam : Seni Vocal, Musik dan Tari,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm.97. 3 Ibid., h.97-98. 4 Ibid., h. 98.
1
Sejak kejatuhan negeri-negeri Islam ke tangan penjajah Timur (Rusia) dan
Barat pada abad ke-19 M (ke-13 H) berbagai tragedi melingkupi umat Islam,
termasuk bidang kesenian yang mulai pula diwarnai oleh seni budaya penjajah.
Kini para generasi muda telah sulit melepaskan diri dari seni Barat yang telah
merasuk kedalam dirinya. Mereka bahkan sudah keranjingan dan menggilai
seniman-senimannya. Mereka menjadi fans grup band heavy metal dan
menciptakan idola, misalnya Madonna, Mick Jagger, Jason Danovan, Rod
Stewart, dan masih banyak idola-idola lainnya.5
Seiring maraknya dunia musik, membuat bermunculan group-group musik
yang tidak bisa dibendung keberadaannya. Bermusik tampaknya menjadi sebuah
gaya anak muda zaman sekarang yang ingin mengeksplorasi bakatnya dalam
bermain musik. Hal ini membuat penikmat musik memiliki banyak pilihan untuk
menikmati musik yang ditawarkan para seniman musik, dengan karakter dan gaya
yang berbeda.
Menurut penulis, kecenderungan terhadap musik Barat memang bukanlah
suatu masalah. Hanya saja, penulis melihat ada dampak negatif dari
kecenderungan itu. Seharusnya, musik dijadikan sumber inspirasi spiritual bagi
remaja, bukan menjadi kemerosotan spiritual. Penulis sendiri melihat banyak dari
mereka yang mengonsumsi narkoba atau minum-minuman keras terlebih dahulu
ketika mereka hendak bermain musik, seharusnya hal ini tidak perlu dilakukan
oleh mereka para seniman musik.
Sering kita melihat anak-anak muda di siang hari dan malam harinya
berkumpul di rumah dan di pinggir-pinggir jalan dalam mencari kesenangan
5 Ibid., h. 7.
dengan bernyanyi menggunakan gitar dan alat musik lainnya, menari bersama
sambil berjoget dan ditambah dengan minum-minuman keras, terkadang dan
sering menggangu orang-orang yang lewat, serta mengganggu ketenteraman
masyarakat sekitar dengan tingkah laku mereka yang kurang menjaga adab dan
etika masrayakat.
Media elektronika telah lama mempengaruhi kehidupan para generasi
muda, baik yang ada di pedesaan maupun di perkotaan, bahkan yang lebih buruk
lagi, tempat-tempat hiburan (maksiat) seperti night club, bioskop dan panggung
pertunjukan jumlahnya sangat banyak dan telah mewarnai kehidupan pemuda-
pemudanya.
Menurut Plato, musik itu bertujuan untuk membentuk manusia yang
bermoral tinggi sehingga mereka menjadi orang-orang yang tahu mencintai
keindahan. Masyarakat yang memandang musik hanya sebagai hiburan semata,
sebagai alat dalam bersenang-senang, serta hanya sebagai media untuk mabuk-
mabukan, masyarakat tersebut pastilah masyarakat yang bermoral rendah.6
Dalam hal ini, penulis melihat musik sufi tampaknya dapat menjadi
sebuah solusi. Musik sufi mempunyai pengaruh positif dalam hal spiritual, karena
mereka umumnya yang berkecimpung dalam tasawuf tidak pernah meninggalkan
aspek spiritual dalam kegiatan apapun termasuk bermain musik, apapun jenis
musik yang mereka mainkan baik itu musik Rock, Pop, Jazz, Dang Dut, dan yang
lainnya. Bagi para sufi, musik adalah merupakan tajallinya sifat Jamaliyah Allah.
Allah sendiri menyifatkan DiriNya dengan yang Maha Indah dan menyukai hal-
hal yang berkaitan dengan keindahan. Musik sendiri adalah indah, orang yang
6 Sukatmi Susantina, Nada-Nada Radikal: Perbincangan para Filsuf tentang Musik,
(Yogyakarta: Panta Rhei, 2004), hlm.24
bermain musik dan mendengarkannya akan menjadi tenteram dan menenangkan
hati, bukan menjadi sebaliknya.
Mungkin jika semua pemain dan penikmat musik tidak melupakan aspek
spiritual dari musik, kita tidak akan mendengar dan melihat adanya kerusuhan
yang banyak menelan korban jiwa ketika menyaksikan sebuah pertunjukan musik,
seperti yang terjadi di Pekalongan, yang menelan korban jiwa 10 orang ketika
menyaksikan pertunjukan Band Ungu. Dan tidak lagi mengkonsumsi narkoba atau
minum-minuman keras ketika bermain dan menikmati musik, sehingga adab dan
etika dalam masyarakat dapat terjaga.
Rhoma Irama sebagai motor grup Soneta berpendapat, bahwa musik
bukanlah sekedar arena untuk hura-hura semata. Musik adalah kebutuhan
manusia yang tidak bisa diabaikan kehadirannya. Menurutnya, bahwa pada
dasarnya musik itu fitrah (suci), namun tangan manusialah musik itu menjadi
maksiat, depends on the man behind the instrument.7 Pandangan Rhoma Irama ini
sejalan dengan pendapat para sufi, yang mengatakan bahwa musik bukanlah
media yang hanya mencari kesenangan dan bermain-main saja, keindahan suara
juga termasuk nikmat Allah SWT, jadi pada dasarnya musik adalah sarana untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menurut Imam al-Ghazâlî musik dan nyanyi sangat penting untuk
memperoleh gairat Tuhan. Dengan musik dan nyanyian, kita akan memperoleh
nikmat Tuhan. Ahli-ahli tasawuf berpendapat, bahwa musik dapat menjadi obat,
musik dan nyanyian dapat menyembuhkan penyakit jiwa dan badan.8 Di balik
musik ada sebuah kekuatan pendorong, seorang pemusik harus mempunyai hati
7 W, Siwi, ”Rhoma Irama : Hidayah Usus Kusut”, dalam Majalah Hidayah, Edisi 22, Mei 2003, h. 18-23.
8 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian….., h. 170.
yang dimulai dengan niat menghadirkan Tuhan dalam setiap alunan irama musik
yang keluar, sehingga ada kontak dengan pendengar musik. Musik hanyalah
sebagai media untuk mendekatkan diri dengan Allah SWT, bukan menjadikan
jauh dari Allah SWT. Memang para sufi dalam memaknai musik lebih mendalam
dan lebih menjiwai.9
Tasawuf sendiri telah banyak mempengaruhi sebagian besar literatur dunia
dan telah menembus pelbagai ranah budaya, dari Eropa Selatan dan Eropa Timur
hingga Afrika Utara dan Afrika Tengah, dari Timur Tengah hingga ke wilayah
daratan barat Cina. Dampak tasawuf terhadap budaya Islam dapat dengan mudah
dideteksi. Desain pelbagai bangunan dan arsitektural secara umum, pola puisi dan
musik, serta efek-efek visual warna dan kaligrafi, semuanya berada dalam wilayah
pengaruh sufi di Timur Tengah.1
Dalam hal musik, pengaruh tasawuf belakangan ini sangat terlihat. Musik
sufi ditemukan di semua kawasan Muslim di mana syair sufi dibaca. Musik lokal
yang digunakan dalam musik sufi sangat bervariasi, dan masing-masing memiliki
sejarah panjang dan kompleks, yang seringkali tidak diketahui oleh orang luar.
Musik sufi kini telah banyak dipopulerkan di Barat, dan kini juga bisa disimak
lewat kaset-kaset rekaman.2
Mungkin tidak ada aspek tasawuf yang lebih kontroversial, dan sekaligus
populer, dibanding praktik musik. Memang musik tidak dianut secara universal di
kalangan kaum sufi, karena ada beberapa tarekat yang tidak setuju dengan
9 Talk Show dan Live Musik Sufi “Debu”, dengan tema Peran Musik dalam Meretas
Pembeningan Nurani, Nara Sumber Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, dan Drs. Rahmat Ismail, bertempat di Wisma Syahida UIN Syahid Jakarta, 24 Maret 2004.
1 Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia, Para Sufi Agung : Kisah dan Legenda, (Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2003), h. 13.
2 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 239.
pertunjukan musik. Walaupun banyak ulama yang mendukung tentang kebolehan
musik, namun banyak juga yang tidak setuju bahkan mengharamkannya. Padahal
tasawuf hakikatnya memperjelas, melapangkan dan membersihkan jalan menuju
al-Ihsan, yang merupakan puncak dari prestasi amaliah dan komunikasi seorang
hamba dengan Allah secara eksistensial dan esensial. Al-Ihsân merupakan wujud
nyata dari praktik al-Islâm dan al-Imân. Karena itu, tasawuf mengintegrasikan
dunia syariat dengan dunia hakikat, melalui jembatan tarekat.3
Berdasarkan latar belakang di atas, dan masih jarangnya pembahasan
mengenai musik, memang ada beberapa skripsi yang menulis tentang musik,
namun penulis tidak menemukan pembahasan musik yang lebih mendalam
terutama dalam tradisi tasawuf. Untuk itulah penulis ingin mencoba membahas
persolan tersebut dalam skripsi ini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan skripsi ini akan dibatasi sekitar musik dalam tradisi tasawuf,
agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis mencoba untuk merumuskan
masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah musik (Samâ‘) dipraktekkan dalam Tarekat Mawlawiyah ?
3 Imam al-Qusyairy al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah : Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Risalah Gusti, 2001), h. V.
C. Metode Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian skripsi ini termasuk penelitian kepustakaan (Library Research),
suatu metode dengan cara mengumpulkan data dan informasi, baik berupa buku-
buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasikan secara sistematis
dan analitis, dengan didukung dan dibantu dengan berbagai macam sarana yang
terdapat di ruang pustaka.
Sedangkan data-data yang diperlukan dapat dicari dari sumber-sumber
kepustakaan yang bersifat primer, yaitu disebut sebagai sumber utama, dalam hal
ini yang menjadi sumber utama adalah buku-buku yang khususnya membahas
tentang musik dan tasawuf. Kemudian data yang bersifat sekunder, yaitu data-data
dari sumber-sumber yang lain, yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti
yang kemudian disebut dengan data atau sumber pendukung.
2. Metode Pembahasan
Dalam metode ini penulis menggunakan :
a. Metode Deskriptif, yaitu suatu pembahasan yang bermaksud untuk
menggambarkan mengenai data-data dalam rangka menguji hipotesa atau
menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu sedang
berjalan dari pokok masalah. Langkah ini diambil sebagai awal yang
sangat penting karena akan menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya
b. Metode Analisis, yaitu suatu bahasan dengan cara memberikan
interpretasi-interpretasi terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun.
Jadi metode deskriptif analitis adalah suatu pembahasan yang bertujuan
untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah tersusun dan
terkumpul dengan cara memberikan interpretasi terhadap data tersebut.
3. Karena penulisan ini membahas tentang tasawuf, maka Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan tasawuf.
Adapun metode penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendapatkan sebuah pemahaman
baru dan lebih mendalam tentang musik yang pada saat ini sudah agak jauh
menyimpang dari tujuan bermusik itu sendiri, dan dapat menambah khazanah
literatur Islam khususnya mengenai pandangan, gagasan dan ajaran tasawuf
mengenai musik. Penelitian ini juga untuk memenuhi salah satu persyaratan guna
meraih gelar Sarjana Strata Satu ( S-1 )
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini,
maka penulis membagi tulisan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai
berikut :
Bab I, pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II, menguraikan pengertian, sejarah dan perkembangan musik dalam
dunia Islam yang meliputi pengertiannya dan sejarah perkembangan musik
khususnya di dunia Islam. Dilanjutkan dengan jenis-jenis musik apa saja yang ada
dan juga pengertiannya. Berikutnya, akan dijelaskan bagaimana pandangan para
ulama mengenai hukum musik itu sendiri, yang terdiri dari pendapat empat
mazhab fiqih terbesar, dan tokoh-tokoh yang terkenal.
Bab III adalah Rumî dan Tarekat Mawlawiyahnya, dimulai dengan
biografi Rumi, karya-karya Rumî, dan tarekat Mawlawiyah itu sendiri.
Bab IV, menjelaskan hasil penelitian mengenai samâ‘ dalam tarekat
Mawlawiyah, pembahasan sekilas tentang sama‘, dilanjutkan dengan sama‘ dalam
ritual Maulawiyah, yang akan menjelaskan symbol-simbol dalam sama‘, seperti
prosesnya, simbol dari tarian, dan dapur dalam tradisi Maulawiyah. Setelah itu,
akan diterangkan bagaimana sama‘ dalam dunia kontemporer dipertunjukkan.
Bab V, penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran penulis.
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK DALAM DUNIA ISLAM
A. Pengertian, dan Sejarah Perkembangan Musik dalam Dunia Islam
Di abad yang semakin maju ini kehidupan menjadi semakin kompleks. Hal
demikian tidak saja terjadi pada kehidupan sehari-hari akan tetapi juga pada
kehidupan ilmu pengetahuan dengan segala cabang-cabangnya. Cabang-cabang
ilmu pengetahuan inilah yang membuat adanya keterkaitan, saling mengisi serta
saling melengkapi dalam kehidupan ini. Dalam bidang kesenian pada umumnya,
serta musik pada khususnya. Seni sebagai media informasi, media pendidikan,
maupun media komunikasi, membutuhkan keterlibatan bidang-bidang ataupun
ilmu pengetahuan yang lain. Seni musik sendiri juga memiliki sejarah, bentuk,
dan strukturnya, teori-teorinya dan juga filsafat dan ide penciptaannya.1
Kita tidak dapat mengingkari bahwa musik memiliki fungsi yang banyak
dalam kehidupan manusia. Sebagaimana pepatah mengatakan "Men die for want
of cheerfulness as plants die for want of light" (Manusia mati karena kekurangan
kebahagiaan sebagaimana tumbuh-tumbuhan mati karena kekurangan cahaya).
Pepatah ini menunjukan bahwa musik merupakan sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia karena musik dapat membuat manusia
menjadi gembira, segar, dan terhibur. Dengan kata lain, musik itu merupakan
pemulih energi yang hilang, penyejuk perasaan, serta pengobar perasaan dan
aspirasi yang halus.2
1 Sukatmi Susantina, Nada-Nada Radikal: Perbincangan Para Filsuf Tentang Musik,
(Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2004), h.12-13. 2 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik SufiOleh Ahmad al-
Ghazali, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 6.
Secara etimologis, kata musik berasal dari bahasa Yunani mousike yang
memiliki beberapa arti yaitu:3
a. Seni dan ilmu pengetahuan yang membahas cara meramu vokal atau
suara alat-alat musik dalam berbagai lagu, yang dapat menyentuh
perasaan.
b. Susunan dari suara atau nada.
c. Pergantian ritme dari suara yang indah, seperti suara burung dan air.
d. Kemampuan untuk merespon atau menikmati musik.
Dalam bahasa Yunani, musik bukanlah sekedar seni, tetapi memiliki
cakupan yang sangat luas, seperti pendidikan, ilmu, tingkah laku yang baik,
bahkan dipercayai sebagai sesuatu yang memiliki dimensi ritual, magis, dan etik.4
Seni musik adalah bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik
dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Di samping itu, seni musik juga
membahas cara membuat not dan bermacam aliran musik, misalnya musik vokal
dan musik instrumentalia.
Musik sebagai seni, menurut para filosof mampu mengungkapkan hal-hal
yang tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata, ataupun oleh jenis seni lainnya.
Atau dapat dikatakan bahwa musik akan lebih mampu dan ekspresif
mengungkapkan perasaan daripada bahasa, baik lisan maupun tulisan. Hal
demikian, menurut para ahli (filsafat dan musikologi) adalah disebabkan bentuk-
bentuk perasaan manusia jauh lebih dekat atau sesuai dengan bentuk-bentuk
musikal daripada bentuk bahasa.5
3 Ibid., h.17. 4 Ibid., h.17 5 Susantina, Nada-Nada Radikal, h. 2.
Definisi tentang musik memang bermacam-macam, namun dari pengertian
diatas, dapat disimpulkan bahwa musik itu merupakan bentuk induksi bunyi yang
mempunyai susunan suara atau nada yang indah, baik itu musik vokal (tanpa
iringan instrumen musik), maupun musik instrumentalia (dengan instrumen musik
saja), dan bagi yang mendengarnya dapat menyentuh perasaan. Ada sebagian
orang menganggap musik tidak berwujud sama sekali, artinya tidak dapat
didefinisikan.
Bangsa Yunani menganggap bahwa musik adalah salah satu cabang seni
yang amat penting, sehingga mereka beranggapan bahwa orang-orang yang
berpendidikan tinggi dan berbudi luhur disebut orang musikal sedang orang-orang
yang bodoh dan berbudi rendah disebut orang tidak musikal atau orang yang tidak
memiliki musik.6
Secara historis, ide-ide yang berkaitan dengan fungsi dan pengaruh musik
dalam Islam dipengaruhi oleh pemikiran Yunani. Bangsa Yunani memperoleh
ide-ide ini dari bangsa Semit kuno, Babilonia-Assyiria. Kitâb al-Siyâsah, sebuah
buku yang dikenal sebagai hasil dari pseudo Aristotelian, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Syiria oleh Yuhannâ ibn Batrîq (w. 200/815), sangat mempengaruhi
pemikiran bangsa Arab.7
Bicara tentang sejarah itu berarti berbicara tentang peristiwa-peristiwa
yang terikat oleh perjalanan waktu. Pada umumnya, orang Arab berbakat musik
sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zaman
jahilliyah. Di Hijâz kita dapati orang menggunakan musik yang mereka namakan
dengan iqa (irama yang berasal dari semacam gendang). Mereka menggunakan
6 Ibid., h. 116. 7 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 7.
berbagai alat musik, antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.
Setelah bangsa Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat
jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasûlullâh, ketika Hijâz menjadi pusat politik,
perkembangan musik tidak menjadi berkurang.8
‘Abd al-Hay al-Kattânî mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa
Rasûlullâh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup kalangan wanita saja pada
pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hamamah dan Arnab.
Sedangkan kaum lelaki pada masa Rasûlullâh saw dan sesudahnya suka
memanggil penyanyi budak (jawarî) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan.
Buktinya Amîr ibn Sa‘d (seorang tabi‘in) pernah meriwayatkan tentang apa yang
terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata: 9
ÏóÎóáúÊõ Úóáóì ÞõÑó ÙóÉó Èúäö ßóÚúÈò æóÇóÈöì
ãóÓúÚõæúÏò ÇúáÇó äúÕóÇÑöíøö Ýöí ÚõÑúÓò æóÇöÐóÇ
ÌóæóÇÑöì íõÛóäøöíúäó, ÝóÞõáúÊõ : ÇóäúÊõãóÇ ÕóÇÍöÈóÇ
ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøó Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó : æóãöäú
Çóåúáö ÈóÏúÑò, íõÝúÚóáõ åóÐóÇ ÚöäúÏó ßõãú¿ ÝóÞóÇáó:
ÇöÌúáöÓó Çöäú ÔöÆúÊó ÝóÇÓúãóÚú ãóÚóäóÇ æóÇöäú
ÔöÆúÊó ÇöÐúåóÈú ÞóÏú ÑõÎøöÕó áóäóÇ Ýöì Çááøóåúæö
ÚöäúÏó ÇáúÚõÑúÓö
“Saya masuk kerumah Qurazah ibn Ka‘ab dan Abû Mas‘ud al-Ansari. Ketika itu sedang berlangsung pesta pernikahan, tiba-tiba ada beberapa budak perempuan mulai bernyanyi. Maka saya bertanya, "Kalian berdua adalah sahabat Rasûlulullah SAW dan pejuang di perang Badar, kenapa hal ini kalian lakukan?" Qurazah menjawab: "Duduklah, kalau engkau mau, mari kita dengar bersama-sama, kalau tidak, silahkan pergi.
8 Abdurrahman al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam : Seni Vocal, Musik dan Tari
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h.15. 9 Ibid.,h. 17.
Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan.” (HR. Al-Nasai)
Kehidupan masyarakat Islam pada masa awal ditandai oleh dua
karakteristik, yaitu kesederhanaan, dan berbuat banyak untuk berjuang di jalan
Allah (jihâd fî sabîlillâh). Pada masa ini mereka lebih tertarik oleh seruan berjihad
daripada bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik)
apalagi menikmatinya. Ini membuktikan pada masa Rasûlullâh bukan tanah yang
subur untuk kesenian (seni musik). Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum
muslimin berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai
kebudayaan dan kesenian, sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian
dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi.10
Umat Islam yang fleksibel, menerima musik-musik khas Persia, Arab,
Syria, dan Turki di berbagai kota dan pusat kekhalifahan. Supaya musik-musik
tersebut dapat beradaptasi dengan daerah tertentu, dibutuhkan metode pemaduan
dan peramuan. Orang Arab yang berhasil menemukan metode ini adalah Ibn
Misjah (w. 715 M). Metode Ibn Misjah tersebut diperoleh setelah ia mengadakan
perjalanan ke Syria dan Persia untuk belajar musik dari para ahli dan praktisi
musik.11
Pada abad 9 M., para cendikiawan Islam mulai tertarik pada ilmu tentang
musik. Di Bayt al-Hikmah, Baghdad, tulisan-tulisan Yunani yang berkaitan
dengan musik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, termasuk tulisan
Nichomachus, Aristoteles, dan lain-lainnya.12 Mereka mengarang kitab-kitab
musik dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik
10 Ibid., h. 19. 11 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 7. 12 Ibid., h. 7
dari segi alat-alat musik, maupun sistem dan tekhnisnya. Di antara pengarang teori
musik Islam yang terkenal adalah, Yûnus ibn Sulayman al-Khâtib (w.785 M)
yang menjadi rujukan para pengarang teori musik Eropa, Khalîl ibn Ahmad
(w.791 M) pengarang buku teori musik mengenai not dan irama, Ishâq ibn
Ibrâhîm al-Mausûlî (w. 850 M) yang berhasil memperbaiki musik Arab jahiliyah
dengan sistem baru. Karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Han wa al-Angham
(Buku Not dan Irama), beliau mendapat julukan Imam al-Mughanniyyin (Raja
Penyanyi),13Ibn Munajjim (w. 913 M) dengan bukunya Risalah fî al-Musiqa, Abû
Bakr al-Razî (w. 925 M) pengarang Kitâb fî Jumâl al-Musiqa.14
Al-Kindi (w. 260/873M) seorang filosof Islam yang pertama, telah
menaruh perhatian dalam bidang musik secara serius. Ia tidak hanya
menggunakan musik sebagai alat hiburan, tetapi dia juga menggunakannya
sebagai obat terapi menyembuhkan penyakit jiwa dan raga. Menurutnya, segala
sesuatu yang ada di alam raya selalu berkaitan dan setiap nada pada sebuah alat
musik yang bersenar berkaitan dengan cara menyanyikannya, ritme, dan perasaan.
Semua ini pada gilirannya berhubungan dengan planet-planet, musim, hawa,
humor, warna, dan parfum.15
Kemudian pada abad 10 M, Ikhwân al-Safâ mengikuti hampir seluruh ide
al-Kindi. Mereka menyebutkan secara rinci tentang pengaruh psikologis yang
ditimbulkan oeh nyanyian dan ritme. Teori ini dikenal dengan sebutan al-Ta'tsir
(pengaruh), sebuah teori yang memiliki pengaruh besar di dunia Islam abad ke-
13 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 19-20. 14 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 8. 15 Ibid., h. 8.
20.16 Di dalam Rasa’il Ikhwan al-Safâ seperti yang dikatakan oleh Mulyadhi
bahwa musik itu termasuk dalam kategori ilmu matematika.17
Al-Farâbî (w. 339/950M), seorang filosof Islam yang terkenal dengan teori
emanasinya, dan juga seorang ahli dalam teori musik melalui bukunya Kitâb al-
Mûsiqa al-Kabîr, seperti yang dikutip oleh Muhaya, adalah sebuah karya dalam
bidang teori musik yang terbesar pada masanya. Ia tidak sekedar mengikuti
pendapat-pendapat bangsa Yunani, tetapi ia mengikutinya secara kritis. Hal itu
dibuktikan dengan penolakannya terhadap teori bangsa Yunani yang mengatakan
bahwa suara akan lebih pelan jika didengar di air daripada di udara dan teori yang
mengatakan bahwa wol tidak akan mengeluarkan suara bila menabrak (pendapat
Aristoteles). Dia juga tidak mengulangi kesalahan Nichomachus yang menyatakan
bahwa Pythagoras menemukan konsonan dengan cara membandingkan berat palu-
palu yang ada di toko tukang besi. Al-Farabi juga mengembangkan teori al-ta'tsir
jauh lebih maju jika dibanding teori Yunani dan al-Kindi.18
Muhaya juga menulis bahwa Ibn Sîna (w. 428/1037), dalam bukunya al-
Syifâ', menulis satu bab tentang musik, demikian juga dalam kitab al-Najât. Salah
seorang murid Ibn Sîna, Abû Mansûr ibn Zailah (w. 440/1048), menulis Kitâb al-
Kâfi fî al-Mûsiqa. Kitab ini dari segi isinya dipandang lebih komprehensif jika
dibanding dengan tulisan-tulisan Ibn Sîna tentang musik karena memuat banyak
materi yang tidak dijumpai di dalam buku-buku yang lain, terutama dalam hal
praktik musik. Kita juga tidak boleh lupa terhadap jasa Ibn al-Sid (w. 458/1066),
seorang ahli dari Andalusia yang telah menulis beberapa pasal tentang musik dan
16 Ibid., h. 9. 17 Bimbingan dan perbaikan skripsi dengan Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara pada
tanggal 19 Juni 2008. 18 Ibid., h. 9.
alat-alat musik dalam bukunya Kitab al-Mukhassas, Abû al-Salt Umayyah al-
Andalusi (w. 529/1134), orang yang ahli dalam teori dan praktik musik, yang
menulis Risalah fî al-Musiqi, sebuah buku yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Hebru. Ibn Bajjah (w. 533/1139), seorang filsuf dari Andalusia juga
mengarang Kitâb al-Musiqa, sebuah kitab musik yang terkenal di Barat
sebagaimana terkenalnya Kitâb al-Musiqa karya al-Farâbî di belahan dunia
Timur.19
.Selain dari penyusunan kitab musik oleh para cendikiawan, timbul
perhatian dalam bidang pendidikan musik yang dicurahkan pada akhir masa
Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalifah dan para pejabat lainnya
memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik.
Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah,
baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik
yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘îd ‘Abd al-
Mu'min (w. 1294 M).19
Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbâsiyyah didirikan banyak
sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu
syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di istana dan di rumah
pejabat negara ataupun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan.
Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk
mempelajari musik.20 Bahkan di Sevilla (Andalusia) telah didirikan pabrik alat-
alat musik, alat-alat yang dikeluarkan oleh pabrik ini ialah Mizbar (kecapi klasik),
19 Ibid., h. 10. 19 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 20. 20 Ibid., h. 20.
‘Ud qadim (kecapi lama), ‘Ud kamil (kecapi lengkap), syahrud (kecapi lengkung),
Murabba' (semacam gitar), qitara (gitar), dan kamanja (semacam rebab).21
Kehadiran musik dalam dunia Islam, baik itu pada masa awal Islam
maupun pada masa kini telah menyentuh berbagai aspek tradisi umat Islam yang
sangat fundamental. Panggilan untuk shalat (al-adzân) hampir selalu
dikumandangkan dengan lagu,22 sebagaimana halnya al-Qur'an al-Karim yang
dengan melagukannya merupakan hidangan yang sangat bergizi bagi jiwa kaum
mukminin, sekalipun secara teknis melagukan al-Qur'an tidak pernah disebut
sebagai "musik". Sekarang pun, selama bulan Ramadhan, di beberapa kota Islam,
dapat ditemukan tradisi lama yaitu pada waktu makan sahur banyak orang
membangunkan orang untuk sahur berjalan-jalan sambil bernyanyi, dan terkadang
menggunakan alat musik gendang, gitar, dan yang lainnya.
Selain itu, orasi-orasi pada pemakaman yang diselenggarakan dengan
peraturan agama yang sangat ketat umumnya dibacakan dengan lagu dan di
beberapa tempat keramat, musik menyertai upacara-upacara religius seperti yang
terjadi di makam Imam ‘Ali al-Ridâ, di Masyhad Persia, di mana tambur-tambur
dan obo (semacam seruling) dibunyikan untuk menyambut terbitnya sinar
matahari di setiap pagi hari. Bahkan di masa lalu, tentara muslim yang berangkat
menunaikan perang suci (jihâd fî sabîlillâh) diiringi dengan musik untuk
meningkatkan keberanian dan keteguhan hati perjuangan mereka. Sebenarnya
21 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian : Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya
Manusia (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), h. 170. 22 Dibeberapa bagian dunia Islam seperti Indonesia, adzan didahului dengan pemukulan
gendang (beduk) yang gemanya lebih jauh daripada suara muadzin itu sendiri.
kelompok musik militer pun pertama kali diciptakan oleh Dinasti Ottoman dan
kemudian ditiru oleh seluruh negara Eropa.23
Beberapa tabib muslim menggunakan musik sebagai sarana penyembuhan
penyakit, baik jasmani maupun ruhani dan telah ditulis pula beberapa risalah
tentang ilmu pengobatan melalui musik seperti karya al-Farâbî yang berjudul al-
‘Ilaj fî al-Mûsiqa (pengobatan melalui musik) dan Ikhwân al-Safâ membahas
tentang pengaruh musik pada jiwa dalam Rasa’il mereka. Para pujangga pun pada
umumnya memahami musik. Syair pada khususnya hampir tidak dapat dipisahkan
dari musik sepanjang sejarah Islam seperti kitab al-Aghanî karya Abû Faraj al-
Asfahânî yang menjelaskan kisah pada permulaan periode Islam. Dalam sastra
Arab maupun Persia, perpaduan yang erat antara syair-syair terkemuka seperti
Burdah atau ghazal-ghazal karya Hafîz dengan pembacaannya secara musikal
terlihat di hampir setiap masa dan kesempatan. Hal yang sama terjadi pula di
Turki, Urdu, dan di berbagai negeri belahan dunia Islam lainnya.24
B. Jenis-Jenis Musik
Manusia dengan daya kreatifitasnya yang terus berkembang terus-menerus
dapat menghasilkan sebuah karya yang berbeda-beda, manusia mampu
memadukan antara satu suara dengan suara yang lainnya dalam susunan yang
harmonis, yang akhirnya melahirkan musik yang dapat menyebabkan
kegembiraan atau kesedihan pendengarnya. Untuk keperluan tersebut
diciptakanlah alat musik.
23 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 165-
166. 24 Ibid., h. 167.
Pada perkembangan selanjutnya, musik berkembang bersamaan dengan
berkembangnya suatu bangsa. Karena itu, kualitas musik dapat dijadikan salah
satu indikator bagi kualitas kebudayaan suatu bangsa. Ilmu yang mempelajari hal
ini disebut ethnomusicology, suatu cabang ilmu yang berpangkal dari sebuah
pemikiran bahwa musik adalah bagian dari tingkah laku manusia sehingga tidak
dapat dilepaskan dari budaya tertentu.25
Secara ontologis, musik merupakan perpaduan antara unsur material
dengan immaterial. Ia tersusun dari elemen-elemen yang bersifat jasmaniah dan
ruhaniah. Karena itu, musik memiliki kekuatan untuk menspiritualkan hal yang
materi dan sebaliknya, mematerikan hal yang spiritual. Adapun esensi musik itu
berupa substansi ruhaniah, yaitu jiwa pendengar.26
Dalam sejarah musik, kita dapat mengenal adanya tiga jenis musik yang
ada dalam dunia musik. Pertama, musik vokal yaitu melagukan sebuah syair yang
hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen
musik,27 Seperti paduan suara, dan acapela. Kedua, musik instrumentalia yaitu
musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik itu sendiri sehingga terdengar
harmonis dan teratur, seperti pertunjukan-pertunjukan musik orkestra, dan musik-
musik klasik ciptaan Mozart, Beethoven, dan Sebastian Bach. Ketiga, musik
campuran yang merupakan perpaduan antara musik vokal dan musik
instrumentalia. Walaupun pengkategorian jenis musik seperti ini, terkadang
merupakan hal yang subjektif, namun merupakan salah satu ilmu yang dipelajari
dan ditetapkan oleh para ahli musik.
25 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 27 26 Ibid., h. 30. 27 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 13.
Biasanya, jenis musik pertama lebih tinggi nilainya daripada yang kedua
dan ketiga.28 Keutamaan musik vokal disebabkan oleh kemampuan kapasitasnya
dalam berkomunikasi dengan makna (pesan). Al-Farâbî mengatakan bahwa dilihat
dari fungsinya, musik dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam:
1. Musik yang digunakan oleh pendengarnya sebagai alat untuk menghibur
diri, ini adalah fenomena yang sering kita jumpai.
2. Musik yang bertujuan untuk terjadinya suatu aksi dan reaksi (perbuatan
tertentu).
3. Musik yang membangunkan (membangkitkan) imajinasi.
Ketiga jenis musik itu terangkum dan termuat dalam suara manusia. Di
samping alasan di atas, keutamaan musik vokal juga disebabkan sumber musik.
Pendapat ini berkeyakinan musik vokal lebih mulia daripada musik instrumentalia
karena keutamaan sumbernya. Musik vokal bersumber dari manusia, sedangkan
musik instrumental berasal dari benda. Karena manusia lebih mulia daripada
benda. Musik vokal diciptakan oleh Tuhan, sedangkan instrumen musik
diciptakan oleh manusia.29
Apresiasi terhadap musik vokal, secara historis sudah ada sejak masa pra-
Islam, baik di kalangan bangsa Arab maupun bangsa-bangsa lain. Posisi tersebut
tidak bergeser pada masa Islam. Hal itu dapat dilihat pada sikap Nabi Muhammad
saw yang membiarkan kehadiran penyanyi di hadapan istrinya.30 Nabi pun pernah
28 Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrument musik) tidak
diperselisihkan oleh ulama fiqih. 29 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 30-31.
30 Ibid., h. 31.
meminta Ka‘ab ibn Mâlik untuk melantunkan sebuah syair, di kala beliau menaiki
unta dalam perjalanannya untuk menyerang Taif setelah Perang Hûnain.31
Ada juga bentuk musik yang lebih populer, yang sering disebut dengan
musik rakyat. Keberadaannya merupakan bagian integral dari pola kehidupan
berbagai kelompok, terutama pedalaman dan di antara suku pengembara di
seluruh dunia Islam dan dinyanyikan atau dimainkan oleh orang-orang yang
benar-benar berpegang teguh pada syariat. Terkadang, jenis musik ini, menjadi
inspirasi bagi para tokoh sufi untuk kesempurnaan tujuan spiritual pada pertemua-
pertemuan mereka. Bahkan Jalâl al-Dîn Rûmî sering mengambil nyanyian dari
kedai-kedai minuman di Anatolia dan mengubahnya menjadi sarana untuk
mengungkapkan kerinduan yang sangat mendalam kepada Tuhan.32
Di samping jenis-jenis musik tersebut, harus disebutkan pula tradisi musik
klasik yang menonjol dalam dunia Islam seperti musik klasik Persia, Andalusia
(Spanyol), Arab Timur Dekat, Turki, dan India Utara yang masih terus hidup
sampai saat ini. Meskipun tradisi musik ini bersumber dari peradaban kuno,
namun semua terpadu utuh dalam semesta Islami dan jantung seni Islam. 33
C. Pandangan para Ulama tentang Hukum Musik
Seiring dengan berkembangnya musik, terlebih di dalam dunia Islam,
mungkin timbul pertanyaan mengapa banyak orang, tidak hanya para orientalis
tetapi juga beberapa cendikiawan muslim klasik maupun modern, menegaskan
bahwa musik adalah dilarang atau haram. Apakah dasar hukum Islam yang
dipakai, dan manakah bukti larangan atas musik seandainya memang ada larangan
31Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Energi Zikir dan Shalawat (Jakarta: Serambi, 2007), h. 82-83.
32 Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 166. 33Ibid., h. 166.
seperti itu. Bagian musik yang mana dan jenis musik apa yang dilarang oleh
ketentuan syariat? Tidak diragukan lagi bahwa masalah ini diperdebatkan oleh
para ahli hukum dan teologi terkemuka termasuk para tokoh pemikir Islam yang
terkenal seperti Ibn Hazm dan al-Ghazâlî.
Persoalan tentang signifikansi serta legitimasi musik dalam keseluruhan
struktur tradisi Islam, bagaimanapun juga, bukanlah bersifat yuridis (fiqih) dan
teologi (kalam) semata. Hal itu mencakup seluruh aspek batin dan spiritual Islam,
oleh karena itu apapun ambiguitas yang ada secara yuridis, jawaban akhirnya,
terutama sejauh menyangkut hubungan musik dengan spiritualitas Islam, harus
dicari dalam tasawuf.34
Ironisnya, diskursus tentang kehalalan musik masih belum berakhir dan
bahkan mungkin tidak akan berakhir manakala hal tersebut hanya didekati melalui
pendekatan normatif. Baik yang menghalalkan maupun yang menolak
(mengharamkan) musik sama-sama menggunakan dalil al-Qur’an dan hadits serta
berbagai pendapat sahabat dan tabi‘in serta perkataan ulama.
Meskipun demikian, persoalan tentang hukum musik (al-sama’)
merupakan hal yang belum terjawab secara memuaskan, bahkan mungkin
persoalan tersebut tidak hanya akan berakhir kalau hanya menggunakan
pendekatan normatif semata. Sebagian ulama mengategorikan sama’ sebagai
perbuatan yang tidak bermanfaat (lahw), dapat menumbuhkan kemunafikan, dan
termasuk hal yang dilarang oleh agama. Pandangan ini didukung oleh keempat
imam mazhab fiqh meskipun dalam catatan sejarah hidup imam Abû Hanîfah,
imam Mâlik, dan imam Syâfi‘i diriwayatkan menghargai musik.35
34 Ibid., h. 168. 35 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 2-3.
Ahli fiqh yang mengharamkan musik mempertimbangkan berbagai
dampak negatif yang ditimbulkan oleh musik sebagai alasan keharamannya.
Mereka memasukkan kebiasaan yang jelek yang sering diiringi dengan musik dan
selanjutnya memutuskan bahwa musik itu jelek atau paling tidak dipandang
sebagai sesuatu yang mendatangkan mudharat yang lebih banyak jika dibanding
dengan manfaat yang diperoleh darinya. Oleh karena itu, musik harus
disingkirkan dari kehidupan sosial.
Sebelum kita membahas dan mendiskusikan pendapat para fuqaha, terlebih
dahulu kami akan mengutip beberapa pendapat, baik dari golongan yang
mengharamkan maupun yang membolehkan. Dalam hal ini, al-Baghdadi menulis
di dalam bukunya bahwa Imam Syaukânî dalam kitabnya Nail al-Autâr
menyatakan sebagai berikut:36
1. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik.
Menurut jumhur adalah haram, sedangkan mazhab Ahl al-Madînah, al-
Zahîriyah, dan jama‘ah sufiyah memperbolehkannya.
2. Abû Mansûr al-Baghdâdi (ulama mazhab Syafi‘î) menyatakan: ‘Abd
Allâh ibn Ja‘far berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi
masalah. Dia sendiri pernah menciptakan lagu untuk dinyanyikan oleh
para pelayan wanita dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa
Imam ‘Alî ibn Abî Tâlib.
3. Imam al-Haramain didalam kitabnya al-Nihâyah mengatakan bahwa ‘Abd
Allâh ibn Zubair memiliki beberapa jariyah (budak wanita) yang biasa
memainkan alat gambus. Pada suatu hari ‘Abd Allâh ibn ‘Umar datang
36 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 21.
kepadanya dan melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibn
‘Umar bertanya, “Apa ini wahai sahabat Rasûlullâh?” setelah diamati
sejenak, lalu ia berkata, “oh, barangkali timbangan buatan negeri Syam,”
ejeknya. Mendengar itu Ibn Zubair berkata, “digunakan untuk menimbang
akal manusia.”
4. al-Ruyâni meriwayatkan dari al-Qaffâl bahwa mazhab Mâliki
membolehkan menyanyi dengan ma’azif (alat musik yang berdawai).
5. Abû al-Fadl ibn Tâhir mengatakan: “Tidak ada perselisihan pendapat
antara ahli Madinah tentang menggunakan alat gambus, mereka
berpendapat boleh saja.”
Ibn al-Nahwî didalam kitabnya al-Umdah mengatakan bahwa para sahabat
Rasûlullâh saw yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain
‘Umar ibn al-Khattâb, ‘Utsmân ibn ‘Affân, ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf, sa‘ad ibn
Abî Waqâs, dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan Tabi‘în antara lain Sa‘id al-
Musayyâb, Salîm ibn ‘Umar, Ibn Hibbân, Khârijah ibn Zaid, dan lain-lain.37
Ibn Hajar menukil pendapat Imam Nawâwî dan Imam Syâfi‘i yang
mengatakan bahwa haramnya (menyanyi dan main musik) hendaklah dapat
dimengerti karena hal demikian biasanya disertai dengan minum-minuman keras,
bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada maksiat.
Adapun nyanyian pada saat bekerja, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya,
dan nyanyian perang, menurut Imam Auzâ‘î adalah sunnah. Begitu juga dengan
nyanyian pada perayaan-perayaan seperti pesta nikah, khitanan, hari raya, dan
37 Ibid., h. 22.
hari-hari lainnya dibolehkan. Para sufi berpendapat boleh bernyanyi dengan atau
tanpa iringan alat-alat musik.38
Al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Adapun
nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada akhirat tidak mengapa
bahkan sunnah dinyanyikan. Imam al-Mawardî berkata, “Kalau kami
mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyian alat-alat permainan itu maka maksud
kami adalah dosa kecil bukan dosa besar.39
Ibn Qayyim al-Jauziyâh seorang ulama fikih mazhâb Hanbalî, yang
merupakan murid Ibn Taimîyah mengaitkan bahaya musik dengan sifat buruk
yang dimiiki oleh manusia, al-nafs al-ammârah (nafsu yang mendorong seseorang
untuk berbuat hal-hal yang jelek). Ia juga berpendapat bahwa mendengarkan
musik itu menjadikan hati jauh dari pancaran Allâh cahaya Allâh dan RahmatNya.
Musik dapat membuat manusia lupa akan kesederhanaan dan mengganggu
pikiran.40
‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî di dalam kitabnya al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhîb al-
Arba‘a mengatakan bahwa ulama Syâfi‘iyah dan Hanafiyah mengharamkan
nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang oleh syara’, selain itu
dibolehkan. Sedangkan ulama Malikiyah membolehkan musik itu untuk perayaan-
perayaan khusus, dengan alat musik khusus seperti gendang, rebana yang tidak
memakai genta, seruling dan terompet. Selanjutnya. Ulama Hanbaliyah
mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik, seperti gambus,
seruling, gendang, rebana, dan alat yang serupa dengannya. Adapun tentang
nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunnah melagukannya ketika
38 Ibid., h. 23. 39 Ibid., h. 23-24. 40 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 4.
membacakan ayat-ayat al-Qur’an asal tidak sampai mengubah aturan-aturan
bacaannya.41
Golongan yang kurang setuju tentang musik, hanya membolehkan
nyanyian dalam pesta pernikahan dan hari-hari raya, juga untuk memenuhi nazar.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka mengutip sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhârî dari ‘Âۥisyah ra:42
ÇóäøóåóÇ Òó ÞøóÊú ÇöãúÑóÇóÉð Çöáóì ÑóÌõáò ãöäó ÇúáÇó
äúÕóÇÑöì ÝóÞóÇáó ÇáäøóöÈíøõ Õóáøó Çááåõ Úóáóíúåö
æóÓóáøóãó : íÇó ÚóÇÆöÔóÉõ ãóÇ ßóÇäó ãóÚóßõãú ãöäú
áóåúæò ÝóÅöäøó ÇúáÇó äúÕóÇÑó íõÚúÌöÈõåõãõ Çááøóåúæö
“Bahwa ia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Ansâr. Maka Nabi SAW bersabda: ″Hai ‘A’isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Ansâr senang dengan hiburan.”
Dalam kisah lain diceritakan bahwa Rasûlullâh saw pergi menghadapi
suatu peperangan. Setelah perang usai, seorang budak wanita (jariyah)kulit hitam
menjumpai beliau dan mengutarakan nazarnya untuk menyanyi sambil menabuh
rebana bila Rasûlullâh saw pulang dengan selamat dari medan perang. Dengan
izin Rasûlullâh saw, jariyah itu bernyanyi dan memainkan rebana di hadapannya.
Tak lama kemudian datang Abû Bakr, disusul ‘Utsmân serta ‘Alî turut menikmati
nyanyiannya. Namun sewaktu yang datang adalah ‘Umar ibn al-Khattâb, si
jariyah berhenti seketika dan cepat-cepat menyembunyikan rebananya.43
41 Al-Baghdadi, h. 24-25. 42 Ibid., h. 16-17. 43 Fathi Utsman, Ijtihad Pakar Islam Masa Lalu, (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h.72.
Dalam hal ini, Ibn Hazm menyanggah pendapat mereka. Dia mengatakan
bahwa tidak ada dalil yang menerangkan kekhususan itu. Masalah nazar tersebut
tak bisa digolongkan dalam kekhususan karena tidak boleh bernazar dalam
maksiat kepada Allâh swt. Izin yang diberikan Rasûlullâh saw terhadap jariah itu
untuk menyanyi sambil memainkan rebana membuktikan bahwa perbuatan itu
bukanlah maksiat kepada Allâh swt.44
Abû Tâlib al-Makkî pengarang kitab Qut al-Qulûb meriwayatkan dari
Syu’bah bahwa dia mendengar permainan genderang di rumah al-Minhâl ibn
Amrû, seorang ahli hadits terkenal. Abû al-Fadl ibn Tâhir juga menulis dalam
bukunya bahwa tak ada selisih pendapat di antara ulama Madinah tentang
diperbolehkannya permainan gambus. Al-Mawardî jiga mengatakan bahwa
sebagian golongan Syâfi‘iyah mengizinkan permainan gambus. Serta masih
banyak lagi yang berpendapat sama, misalnya penulis buku al-Imtâ al-Idfawî dari
Abû Bakr ibn al-‘Arabî.45
Golongan yang membolehkan nyanyian dan permainan musik,
berargumentasi bahwa kitabullah maupun sunnah Rasul tidak cukup
menghasilkan qiyas dan istidlal yang mengharamkan mendengarkan suara-suara
indah dan teratur dengan instrumen pengiringnya. Menurut Fathi ‘Utsmân,
Golongan ini juga menolak hadis yang diriwayatkan oleh Abû Amir dan Abû
Mâlik al-Asy‘arî yang dikutip al-Bukhârî: 46
áóíóßõæúäóäøó ãöäú Çõ ãøóÊöíú Þóæúãñ íóÓúÊóÍöáøõæúäó
ÇáúÍöÑøó æóÇáúÍóÑöíúÑó æó ÇáúÎóãúÑó æóÇáúãóÚóÇÒöÝó.
44 Ibid., h. 72. 45 Ibid., h. 69. 46 Ibid., h. 70.
“Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera, arak, dan alat-alat musik.”
Mereka menganggap sanad dan matan hadis tersebut lemah, ada perbedaan
dalam menentukan aat-alat musik yang diperbolehkan, alat-alat musik yang
dilarang tidak bisa disamakan hukumnya dengan arak yang memang sudah jelas-
jelas haram, dan menghalalkan hal-hal tersebut pada waktu-waktu dan syarat-
syarat tertentu.47
Golongan yang membolehkan musik juga berargumentasi bahwa sekiranya
musik dan lagu dihukumi haram karena merupakan lahw (senda gurau, perkataan
yang tak berguna), maka pada hakikatnya yang ada di dunia ini juga haram.
Dasarnya adalah firman Allâh swt:
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” (Q.S: Muhammad: 36)
Segala macam keramaian dan hiburan dalam pesta perkawinan merupakan
sarana dan arena kegembiraan bagi bangsa Arab. Oleh karena itu, Rasûlullâh saw
mewasiatkan agar hiburan tetap dipelihara dalam kehidupan bermasyarakat.48
Ibn Hazm juga mengatakan bahwa pendapat yang mengharamkan
nyanyian dan memainkan alat musik rebana, serta setiap alat musik termasuk
seruling, tambur, tidak dapat dijadikan hujjah karena tidak ada hujjah dalam
47 Ibid., h. 70. 48 Ibid., h. 71.
ucapan manusia manapun selain ucapan Rasûlullâh saw. Ibn Hazm membantah
pendapat mereka dengan menggunakan dalil yang sama, yaitu surat Luqman ayat
6. 49
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu tergantung
dari niatnya, sesuai dengan hadits Rasûlullâh saw. Oleh karena itu siapa saja yang
niatnya mendengar nyanyian untuk melakukan suatu kemaksiatan kepada Allâh
swt, maka ia adalah seorang fasiq. Begitu pula halnya tiap sesuatu (hiburan) selain
nyanyian.
Para ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah musik
(nyanyian). Sebagian dari mereka tidak menganggap hadis-hadis yang
mengharamkan nyanyian adalah sahîh. Sedangkan yang lain telah menjadikan
hadis-hadis tersebut sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan musik.
Masing-masing mengikuti apa yang mereka tentukan sebagai dasar pengambilan
hukum sesuai dengan ijtihadnya. Oleh karena itu, siapa saja yang ijtihadnya telah
menghasilkan suatu dugaan yang kuat bahwa bermusik dan mendengarkannya
adalah haram, maka itulah hukum Allâh swt terhadapnya, juga terhadap setiap
orang yang mengikutinya.
Sedangkan bagi orang yang belum terbukti bagi kesahîhan hadis-hadis
yang mengharamkan musik, disertai dengan dugaan yang kuat dan dengan ijtihad
yang benar, maka itulah hukum Allâh swt terhadapnya, juga terhadap setiap orang
yang mengikutinya sebab masalah ini adalah masalah khilafiyah yang tidak perlu
dibesar-besarkan. Dan seyogyanya, setiap golongan saling menghargai
pendapatnya masing-masing, tidak saling mengafirkan satu sama lain.
49 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 57.
BAB III
RÛMÎ DAN TAREKAT MAWLAWIYAH
A. Biografi Rûmî
Setiap orang yang akrab dengan mistisisme Barat, khususnya tasawuf,
pasti pernah mendengar nama Jalâl al-Dîn Rûmî, karena dia merupakan salah
seorang guru sufi terkemuka di segala zaman dan karyanya banyak yang
diterjemahkan. Di samping itu, orang-orang yang mempelajari puisi, khususnya
yang tertarik dengan hasil karya dari Persia, melihat bahwa karya Rûmî sebagai
model terbaik dalam bahasa Persia. Bahkan, kaum terpelajar seperti Reynold A.
Nicholson dan A.J. Arberry, menggambarkan Rûmi sebagai penyair mistis
terbesar di segala zaman. Begitu juga dengan William Chittick dan Annemarie
Schimmel, telah menyelesaikan dan menginterpretasi ajaran-ajaran Rûmî.1
Nama asli Rûmî adalah Jalâl al-Dîn Muhammad, tetapi kemudian dia lebih
dikenal sebagai Mawlânâ Jalâl al-Dîn Rûmî, atau Rûmî saja.2 Ia dilahirkan di
Balkh pada 6 Rabi‘ul awwal 604 Hijriyah atau bertepatan 30 September 1207.
dari pihak ayahnya, ia merupakan keturunan dari khalifah Abû Bakr al-Siddîq,
sedangkan dari pihak ibu, dari ‘Ali ibn Abî Tâlib, khalifah keempat.3
Ayahnya bernama Muhammad, bergelar Bahaۥ al-Dîn Walad, adalah
ulama dan guru besar di negerinya, yang juga bergelar Sultân al-‘Ulama.4 Ia
adalah seorang ulama Sunni yang memegang teguh opini-opini ortodoks dan
kecenderungan-kecenderungan anti rasionalis. Ia tidak saja menentang para filosof
1 Mojdeh Bayat dan Mohammad ‘Ali Jamnia, Para Sufi Agung: Kisah dan Legenda, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 147.
2 Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Maulawiyah: Tarekat Kelahiran Turki, dalam Sri Mulyati, ed., Mengenal dan MemahamiTarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 321.
3 Ibid., h. 322. 4 Abû al-Hasan al-Nadwi, Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar, Terj. M. Adib Bisri.,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 2.
dan rasionalis pada masanya, namun juga berulang kali mengritik kebijaka-
kebijakan politik Sultan. Aflakî, pengikut tarekat Mawlawiyah dan murid dari
Salabi Amir ‘Arîf cucu dari Rûmî, pengarang Manâqib al-‘Arifîn, seperti yang
dikutip oleh Mulyadhi, menyatakan bahwa Bahaۥ al-Dîn Walad berdakwah
menentang “pembangunan” yang dilakukan penguasa Muhammad Qutb al-Dîn
Khawârizimsyah dan mendorong masyarakat untuk mempelajari dan menjalankan
pandangan-pandangan Islam. Oposisi ini melahirkan rasa antipati Sultan
kepadanya.5
Sekitar 616/1219, pada usia kira-kira 12 tahun, Rûmî bersama seluruh
anggota keluarganya, diam-diam meninggalkan kampung halamannya, untuk
beribadah haji, namun tidak untuk kembali, karena ayahnya telah mendengar
tentang invasi Mongol ke arah kota kelahiran Rûmî, Balkh.6
Dalam perjalanannya mereka singgah di Nisyapur, kota kediaman Farîd al-
Dîn al-‘Attâr pengarang kitab Mantiq al-Tair (Musyawarah Burung), Rûmî dan
keluarganya disambut hangat oleh ‘Attâr. Bahaۥ al-Dîn Walad dan ‘Attâr duduk
bersama sambil minum teh, dan memperbincangkan al-Qur’an. Kemudian,
keluarga itu bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan. Ketika Rûmî muda
berjalan tepat di belakang ayahnya, ‘Attâr menoleh kepada salah seorang
muridnya dan berkata, “Lihalah situasi khusus ini, di sana berjalan lautan yang
diikuti samudera.”7 Tampaknya, pandangan mata ‘Attâr telah kasyaf dan melihat
potensi besar Rûmî walaupun ia masih muda, dan belakangan pernyataan ‘Attâr
ini terbukti.
5 Mulyadhi Kartanegara, Jalâl al-Dîn Rûmî: Guru Sufi dan Penyair Agung, (Jakarta:
Teraju, 2004), h. 2. 6 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed.,Mengenal dan Memahami, h.
322. 7 Mojdeh Bayat, dan ‘Ali Jamnia, Para Sufi Agung, h. 150.
Pada kunjungan tersebut, ‘Attâr menghadiahi Rûmî dengan kitab Asrâr
Nameh (Kitab Misteri-Misteri). Ia memberitahu Baha’ al-Dîn bahwa puteranya,
Rûmî akan menyalakan api dunia pencinta ilahi. Ia juga bertemu guru agung,
Syaikh Sihab al-Dîn ‘Umar Surahwardî, seorang sufi terkenal lainnya di sana.8
Dari Nisyapur, keluarga Rûmî pergi ke Baghdad menuju Mekkah, untuk
menunaikan ibadah haji. Dari Mekkah perjalanan diteruskan ke Damaskus, Syria,
kemudian ke Malatiya (Melitene). Dari Malatiya ia menuju ke Arzijan (Armenia),
dan kemudian Zaranda, sekitar empat puluh mil dari barat daya Konya, yang
menjadi tempat tinggalnya bersama keluarganya selama empat tahun. Di kota
Zaranda inilah Rumi menikahi seorang gadis muda bernama Jauhar Khatun, putri
Lala Syaraf al-Dîn dari Samarqand pada tahun 622/1225, jadi Rûmî menikah kira-
kira umur 18 tahun.9
Kota Zaranda pada saat itu dikuasai oleh dinasti Seljuk, dan penguasanya
yang bernama ‘Alâ al-Dîn Kaiqabad, mengundang Keluarga Rûmî ke Konya, ibu
kota kekaisaran Seljuk Barat. Diriwayatkan bahwa ayah Rûmî sangat dihormati
oleh Sultan dan menjadi pembimbing spiritualnya. Bahkan sang penguasa
memberinya gelar kehormatan sebagai “Sultân al-‘Ulama,” rajanya para ulama.
Baha’ al-Dîn Walad, sang guru terkemuka memperoleh ketenaran dan posisi
terhormat hingga wafat pada tahun 1230 M.10
Setelah ayahnya wafat, Rûmî meneruskan posisi ayahnya sebagai
penasehat para ulama Konya dan murid-murid ayahnya. Terkesan oleh kedalaman
pengetahuan dan keluasan pengalamannya, guru sultan, Badr al-Dîn Gohartâs,
8 Mulyadhi, Jalâl al-Dîn Rûmî, h. 2. 9 Ibid., h. 3 10 Mulyadhi, Tarekat Maulawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 323.
mendirikan sebuah perguruan tinggi yang dikenal sebagai Madrasa-i
Khudavandgar, di sini Rûmî mengajar dan berdakwah kepada orang-orang.
Rûmî diperkirakan akrab dengan ajaran-ajaran tasawuf karena bimbingan
ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, salah seorang murid ayah Rûmî Burhan al-
Dîn Muhaqqiq dari Tirmidz memberikan pendidikan lanjutan untuknya. Atas
anjuran Burhan al-Dîn, Rûmî meneruskan pendidikannya di Aleppo. Kemudian, ia
melanjutkan perjalanannya ke Damaskus. Di sini ia bertemu dan bercakap-cakap
dengan tokoh-tokoh besar yang paling berpengaruh pada zamannya, seperti Muhy
al-Dîn ibn ‘Arabî, Sa‘ad al-Dîn al-Hamawî, ‘Utsman al-Rûmî, Awahad al-Dîn al-
Kirmanî, dan Sadr al-Dîn al-Qunyawî.11
Rûmî tetap menduduki jabatannya di Universitas Konya, meskipun ia
sudah diakui sebagai guru sufi. Ia memperoleh kehormatan dan ketenaran yang
tesebar luas, banyak orang dari seluruh penjuru wilayah datang untuk
menemuinya untuk belajar padanya. Mungkin ia akan tetap seperti itu andai ia
tidak bertemu dengan seseorang yang paling menentukan kehidupan spiritualnya,
yaitu Syams al-Dîn Tabriz.
Syams al-Dîn Tabriz yang misterius pertama kali bertemu dengan Rûmî
pada tahun 642/1244, usia Rûmî pada saat itu sekitar 37 tahun. Peristiwa ini
mendorong Rûmî meninggalkan ketenaran dan mengubahnya dari seorang teolog
terkemuka menjadi seorang penyair mistik.
Begitu kuatnya pesona kepribadian Syams-al-Dîn Tabriz ini, membuat
Rûmî lebih memilih untuk menghentikan aktivitasnya sebagai guru. Ia banyak
menghabiskan waktu dengan Syams al-Dîn, akibatnya, murid-muridnya merasa iri
11 Ibid., h. 323.
dan cemburu karena hubungannya dengan sang guru terputus begitu saja karena
kehadiran orang asing seperti Syams al-Dîn. Akhirnya, mengetahui keadaan
seperti ini Syams al-Dîn meninggalkan Rûmî, setelah tinggal di Konya selama 16
bulan, lalu ia pergi ke Damaskus.
Rûmî yang tidak kuat berpisah dengan gurunya itu, mengirimkan putranya
Sultân Walad untuk mencari Syams al-Dîn agar kembali ke Konya. Syams al-Dîn
akhirnya kembali ke Konya, namun tak lama setelah kedatangannya, dia
menghilang lagi secara misterius. Perpisahan ini membuat Rûmî sedih dan
tertekan kondisi mentalnya.
Menurut Idris Syah, seperti yang dikutip oleh Mojdeh dan ‘Alî
mengatakan bahwa sebagaian sufi termasuk anak Rûmî yaitu Sultân Walad,
menyamakan Syams al-Dîn dengan nabi Khidr yang misterius, penuntun, dan
guru para sufi.12
Untuk mengobati kesedihannya, dan mengungkapkan berbagai perasaan
dan pandangannya, Rûmî mengangkat Syaikh Salah al-Dîn Faridun Zarkub,
seorang darwis dan tukang emas, untuk menjadi khalifah yang menggantikan
Syams al-Dîn. Setelah Salah al-Dîn wafat, Rûmî menunjuk Chelebi (Sayyid)
Husam al-Dîn ibn Muhammad ibn Hasan Akhis menggantikannya. Dengan
sahabat baru inilah Rûmî menemukan sumber inspirasi yang segar dan ak kunjung
kering untuk magnum opusnya Matsnâwî. Itulah alasan mengapa karya ini disebut
juga sebagai kitab-i Husam (bukunya Husam).13
Setelah menyelesaikan penulisan Matsnâwî, kesehatan Rûmî terus
menurun dan tak lama kemudian jatuh sakit. Diriwayatkan, selama masa sakit ini
12 Mojdeh Bayat, dan ‘Ali Jamnia, Para Sufi Agung, h. 152. 13 Mulyadhi, Jalâl al-Dîn Rûmî, h. 8.
Sadr al-Dîn al-Qunyawî, murid Ibn ‘Arabî menjenguk Rûmî dan sempat
mendoakan keselamatan sang Maulânâ, tetapi yang didoakan justru telah tak sabar
untuk berjumpa dengan Sang Kekasih. Akhirnya pada hari Minggu, tanggal 16
Desember 1273 Mawlânâ Rûmî menghembuskan nafasnya yang terakhir di kota
Konya.14
Ketika jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-
desak ingin menyaksikan. Para pemeluk agama lain pun ikut menangisi
kepergiannya. Orang Yahudi dan Nasrani, misalnya, membacakan Taurat dan
Injil. Hadir juga para penguasa negeri. Kepada para pastur dan rahib, penguasa
setempat bertanya: “Peduli apa kalian dengan suasana berkabung saat ini?
Bukankah yang meninggal ini jenazahnya seorang muslim yang alim.” Para pastur
dan rahib itu menjawab: “Berkat dialah kami mengetahui kebenaran para nabi
terdahulu, dan pada dirinya kami memahami prilaku para wali yang sempurna.”15
Sebagian orang mengatakan kalau Rûmî adalah orang Turki, karena Rûmî
menjalani sebagian hidupnya di Konya, sebuah kota di wilayahTurki. Sementara
itu, sebagian lagi mengatakan Rûmî adalah orang Afghanistan, karena ia
dilahirkan di Balkh, kota yang berada di wilayah Afghanistan sekarang. Tetapi
sebagian yang lain menyepakati bahwa Rûmî adalah orang Persia. Alasannya
adalah, karena Balkh, kota kelahiran Rûmî, pada saat ia dilahirkan merupakan
termasuk wilayah kekuasaan Persia, dan karya-karya Rûmî banyak yang ditulis
dalam bahasa Persia. Bagaimanapun juga, Rûmî memang telah memilih Konya
sebagai tempat tinggalnya hingga ajal menjemputnya. Tentunya, tempat lahir dan
14 Mulyadhi, Tarekat Maulawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., Mengenal dan Memahami,
h.325. 15 al-Nadwi, Jalâl al-Din Rûmî, h. 9.
kebangsaan bukan hal yang sangat penting bagi Rûmî, karena jiwa mistik sejati
bersifat universal.
B. Karya-Karya Rûmî
Setelah wafat, Rûmi meninggalkan karya-karya yang indah lagi kaya,
bukan saja bagi kaum Muslim tapi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Rûmî
melalui murid-murid dan karya-karyanya dihargai dan dimanfaatkan oleh guru-
guru sufi sesudahnya, tidak hanya kaum sufi bahkan mereka penikmat puisi,
dimabukkan oleh kata-kata Rûmî yang magis. Dalam contoh berikut ini, yang
diterjemahkan oleh Nicholson, yang dikutip oleh Mojdeh dan ‘Alî, puisi Rûmî
yang mengisahkan tentang seruling (menyimbolkan jiwa manusia) yang meratapi
perpisahannya dengan asalnya (Tuhan), yang diwakili oleh bambu.16
Dengarkan seruling sebagaimana ia berkisah, karena perpisahannya ia adukan derita.
Katanya, “Sejak aku terpisah dari rumpun bambuku, laki-perempuan telah merintih dalam jeritku.”
Kuingin dada yang terkoyak-koyak perceraian biar kuungkapkan semua derita kerinduan.
Siapa saja yang terlempar dari asalnya mencari saat kembali ia bergabung dengannya.
Pada setiap kelompok, jeritan kugubah lagu dan dendang, aku bergabung dengan yang malang dan senang.
Setiap orang menduga dia sudah menjadi kawanku. Tapi tak seorang pun ingin tahu rahasia apa yang sedang ku
kandung. Rahasiaku tak jauh dari jeritanku, namun mata dan telinga tak cukup
punya cahaya (untuk menyerapku). Raga bukan selubung ruh, ruh pun bukan selubung raga, tapi tak
seorang pun diizinkan memandang ruh Karya-karya Rûmî sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan
popularitas Tarekat Mawlawiyah, baik yang ditulis oleh Rûmî sendiri, maupun
para pengikutnya, baik pada masa lalu maupun pada masa kini. Popularitas
16 Mojdeh dan ‘Ali, Para Sufi Agung, h. 148.
Tarekat Mawlawiyah tentu sangat terikat dengan karya utama Rûmî, yang
berjudul Matsnâwî al-Ma‘nâwî, atau Matsnâwî Jalâl al-Dîn Rûmî. Ini adalah
maha karya yang sangat agung, yang telah mendapat pujian dari ‘Abd al-Rahmân
Jâmî sebagai al-Qur’an dalam bahasa Persia.17
Matsnâwî merupakan syair panjang sekitar 25.000 untaian bait bersajak,
yang terbagi dalam enam kitab. Karya ini ditulis selama lima belas tahun terakhir
hidup Rûmî dan dimulai untuk memenuhi permintaan Husyâm al-Dîn. Karya ini
menyajikan ajaran-ajaran mistik Rumi dengan indah dan kreatif melalui anekdot,
hadis-hadis nabi, dongeng, tema-tema foklor, dan kutipan-kutipan dari al-Qur’an.
Bagi para pengikut Rûmî, Matsnâwî adalah penyibakan makna batin al-Qur’an,
sedangkan bagi Rûmî sendiri, Matsnâwî adalah akar dari akarnya akar agama
Islam dalam hal penyingkapannya terhadap misteri-misteri dalam memperoleh
kebenaran dan keyakinan.18
Selain Matsnâwî, Rûmî juga menulis ghazal (puisi cinta) yang ditujukan
untuk gurunya, yang menghilang secara misterius. Ghazal-ghazal ini sekarang
dikenal dengan Divan-i Syams-i Tabriz (Ode Mistik Syamsi Tabriz). Karya
memukau ini dipersembahkan Rûmî kepada gurunya tercinta, Syams al-Dîn
Tabriz, dan ditulis untuk mengenangnya (in memoriam). Disini Rûmî
mengekspresikan penghormatannya kepada Syams, yang namanya sering dikutip
diakhir setiap bait. Karya ini berisikan koleksi yang sangat banyak, sekitar 2.500
ode mistik. Nama Syams al-Dîn Tabriz (Matahari Agama) itu sendiri sangat
simbolik dan Rûmî sering kali menggunakan simbolisme nama ini pada syair-
17 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 334. 18 Ibid., h. 334.
syair yang tampaknya merujuk pada guru dan Tuhan sekaligus.19 Mojdeh dan ‘Ali
mengatakan, dibandingkan dengan Matsnâwî, yang merupakan karya yang lebih
tenang, Divan-i Syams-i Tabriz lebih jelas mewakili rasa mabuknya keadaan
mistik 20
Karya besar lainnya yang patut disinggung disini adalah sebuah karya posa
yang berjudul Fîhi Mâ Fîhi, yang arti harfiahnya, “Di dalamnya ada di sana”, dan
telah diterjemahkan menjadi Discourse of Rûmî atau “Percakapan Rûmî”. Karya
prosa ini mencakup ucapan-ucapan Rûmî yang ditulis oleh putra sulungnya Sultân
Walad. Eve de Vitray-Meyerovitch yang menerjemahkannya ke dalam bahasa
Prancis, menggambarkannya sebagai “benar-benar menarik, bukan saja untuk
memahami pemikiran Rumi dan tasawuf pada umumnya, tapi juga karena
kedalaman dan keunggulan analisis isinya, yang menjadikannya inisiasi tentang
dirinya sendiri”.21
Sebenarnya masih ada karya-karya Rûmî yang lain, seperti Ruba’iyat
(syair empat baris dari Rûmî), berisikan sekitar 1.600 kuatren orisinal, yang
mencakup ide-ide Rûmî tentang tema-tema yang beragam dalam tasawuf, seperti
tawakal, ikhlas, cinta, iman, akal, dan penyatuan. al-Maktûbât, karya Rûmî yang
lain berisikan 145 surat yang rata-rata sepanjang dua halaman, yang ditujukan
kepada para keluarga raja dan bangsawan Konya, tetapi karya ini tidak begitu
dikenal dan berpengaruh.22 Maqalat-i Syams-i Tabriz (Percakapan Syamsi
Tabriz), karya Rûmî yang lain, dianggap sebagai buah persahabatan intim Rûmî
dengan guru dan sahabatnya, Syams-al-Dîn Tabriz. Ia berisikan beberapa dialog
19 Mulyadhi, Jalâl al-Din Rumi, h. 11. 20 Mojdeh dan ‘Ali, Para Sufi Agung, h. 162. 21 Mulyadhi, Jalâl al-Din Rumi, h. 12-13. 22 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 336.
mistik antara Syams sebagai guru dan Rûmî sebagai murid. Sekalipun karya
tersebut menjelaskan prihal kehidupan, namun menurut Mulyadhi, mengutip
Nicholson, mengatakan bahwa karya ini menerangkan beberapa ide dan doktrin
sang penyair.23 Majlis-i Sab‘ah (Tujuh Pembahasan), karya Rûmî yang
merupakan prosa juga, berisikan sejumlah pidato dan kuliah Rûmî yang diberikan
bukan saja untuk kaum sufi, tapi juga khalayak umum. Pidatonya kebanyakan
dalam bentuk nasehat dan konseling, dan agaknya disampaikan sebelum
pertemuannya dengan Syams al-Dîn Tabriz.24
Inilah beberapa karya yang sangat penting sebagai sumber informasi dan
ajaran Tarekat Mawlawiyah yang telah menjadi warisan abadi tarekat ini, dan juga
mempengaruhi para sufi sesudah Rûmî.
C. Tarekat Mawlawiyah
Selain karya-karya sastra, Rûmî juga melatih banyak sekali murid yang
menjadi cikal-bakal Tarekat Mawlawiyah. Sementara karya-karyanya
menyediakan para murid dengan pandangan-pandangan teoritis, tarekatnya
menyediakan mereka jalan praktis, sejenis metode psikologis untuk membimbing
setiap individu dengan membuka jalan jiwanya menuju Tuhan, membimbingnya
melalui beberapa tahap, dari ketaatan yang tegas terhadap hukum (syariat) hingga
kenyataan ketuhanan (hakikat).25
Nama Mawlawiyah berasal dari kata “Mawlânâ”, (guru kami atau our
master) yaitu gelar yang diberikan murid-murid Jalâl al-Dîn Rûmî. Oleh karena
itu, jelas bahwa Rûmî adalah pendiri tarkat ini, yang didirikan sekitar 15 tahun
23 Mulyadhi, Jalâl al-Din Rûmî, h. 10-11. 24 Ibid., h.14. 25 Ibid., h. 14.
terakhir hidup Rûmî. Walaupun dapat dibilang tidak terlalu besar dibanding
misalnya dengan tarekat Naqsyabandi, tetapi tarekat ini masih bertahan hidup
hingga akhir-akhir ini dan salah satu mursyid (spiritual guide) dan sekaligus wakil
yang terkenal secara internasional dari tarekat ini adalah Syaikh Kabîr Helminski,
yang bermarkas di California, Amerika Serikat.26
Ciri utama tarekat ini adalah konser spiritual, sama‘, yang dilembagakan
Rûmî pertama kali setelah hilangnya gurunya yang sangat dicintai, Syams al-Dîn
Tabrîz. Peristiwa ini menjadikan Rûmî sangat sensitif terhadap musik, sehingga
tempaan palu dari seorang pandai besi saja cukup untuk membuatnya menari dan
berpuisi.27 Bahasan tentang sama‘ akan dijelaskan secara lebih mendalam pada
Bab IV.
Sekalipun sama‘, dalam bentuk tarian berputar, telah dimainkan oleh
banyak tarekat sufi, Rûmî menjadikannya sebagai ciri khas dasar dari tarekatnya.
Karena itu, tarekat tersebut dikenal di Barat sebagai Para Darwis yang Berputar
(the Whirling Darvish).
Setelah Rûmî wafat, pimpinan tarekat Mawlawiyah diambil alih oleh
sahabat karibnya dan khalifahnya, Husyâm al-Dîn. Demikian juga ketika Husyâm
al-Dîn wafat, pimpinan tarekat diambil alih oleh Sultân Walad, putra sulung
Rûmî, yang sangat berperan penting dalam mengembangkan dan menyebarkan
ajaran-ajaran Rumi melalui tarekatnya.
Setelah kematian Sultân Walad pada 1312, ia digantikan oleh putranya Ulu
‘Arîf Chelebi, guru Syams al-Dîn Aflâkî, yang telah memainkan sebuah peran
utama dalam pendirian dan organisasi tarekat Mawlawiyah. Ketika ia meninggal
26 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 321. 27 Ibid., h.337.
pada 1320 M., saudaranya Syams al-Dîn Emir ‘Alîm menjadi syaikh tarekat ini.
Setelah kematiannya pada 1328 M., putra-putranya dan keturunannya meneruskan
jabatan syaikh ini.28 Pada saat itu Tarekat Mawlawiyah telah menyebar ke seluruh
Anatolia (Romawi), dan ke wilayah-wilayah bukan saja di Turki dan Anatolia
saja tapi ke seluruh dunia.29
Pada 1925, Kemal Pasya Attaturk, presiden Republik Turki, memberikan
tekanan terhadap semua tarekat di Turki dan sekarang takyas (pusat-pusat sufi)
yang tua, termasuk milik tarekat Mawlawiyah, dijadikan museum. Pada 1927,
presiden ini mengizinkan makam Rûmî dibuka sebagai museum, tempat para
pencinta Rûmî bisa berkunjung. Sekarang terdapat sekitar “25.000 orang datang
dari seluruh dunia setiap Desember ke Konya dan menonton para pengikut tarekat
Mawlawiyah berputar dengan tarian suci mereka untuk menghormati pendiri
tarekat mereka, Jalâl al-Dîn Rûmî”.30
Pada abad ke 19, Tarekat Mawlawiyah adalah salah satu dari sekitar
tarekat sufi yang aktif di Turki, sedangkan diseluruh wilayah kerajaan Turki
‘Utsmani, dahulu terdapat sekitar tiga puluh tujuh tarekat. Dari sekitar tiga ratusan
tekke (tempat para sufi) yang ada di Istambul, hanya empat di antaranya yang
menjadi milik tarekat Mawlawiyah. Sekalipun demikian, menurut Ernst, orang
Barat, sampai sekarang tetap menganggap Darwis yang Berputar-putar (the
whirling darvish) sebagai representasi sufisme secara keseluruhan. Ini disebabkan
oleh adanya Galata Mevlevihane, sebuah bukit di Isambul yang menjadi situs
tekke Mawlawiyah selama berabad-abad. Bukit Galata menjadi tempat tinggal
kaum Mawlawiyah, dan pertunjukan sama‘ yang diselenggarakan tiap dua kali
28 Ibid., h. 339-340. 29 Mulyadhi, Jalâl al-Dîn Rumi, h. 18. 30 Ibid., h. 18.
seminggu pun menjadi atraksi yang menarik bagi para turis pada pertengahan
abad itu.31
Berbeda dengan sarjana-sarjana sebelumnya, pada masa kini, Syaikh Kabir
Helminski menulis dan memperkenalkan Rûmî dan tarekatnya dari dalam tradisi
Mawlawi sendiri, kepada audiens internasional, karena ia adalah anggota Tarekat
Mawlawiyah. Lebih dari itu, ia kini telah menjadi salah seorang mursyid (spiritual
guide) terkemuka dari tarekat Mawlawiyah, setelah berpindah agama dan bahkan
dianggap sebagai wakil (representative) dari tarekat Mawlawiyah. Kini ia dan
istrinya Cemille Helminski, adalah co-direktur dari Threshold society sebuah
organisasi nonprofit yang dipersembahkan untuk berbagi pengetahuan dan praktik
tasawuf, dan merupakan pusat kajian Rûmî internasional.32
31 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 247. 32 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 346-348.
BAB IV
SAM‘ DALAM TAREKAT MAWLAWIYAH
Sekilas Tentang Sama‘
Mungkin tidak ada aspek tasawuf yang lebih kontroversial, dan sekaligus
populer, dibanding praktik musik (al-sama‘). Musik dan nyanyian dalam zikir ini
(ada yang memakai tarian), dalam literatur tasawuf disebut sama‘. Walaupun
dalam sistem peribadatan formal Islam, sama‘ bisa dikatakan tidak mempunyai
tempat yang real, tetapi ia memainkan peranan yang besar dalam praktik kesufian.
Para sufi berkeyakinan, bahwa sama‘ bukan hanya memiliki daya mistik untuk
memperdalam perasaan, tetapi juga, ketika dikoordinasikan dengan kata-kata
simbolis dan gerakan-gerakan berirama, memiliki kekuatan atas kemauan
manusia.1
Secara etimologis, sama‘ adalah masdar dari fi‘il madi sami‘a yang berarti
mendengarkan. Kata sama‘ dalam bahasa Inggris berarti hearing, listening,
listening in auditioning, audition. Dalam kamus al-Munjid, kata sama‘ diartikan
mengindera suara melalui pendengaran dan juga dapat berarti al-ghina’
(nyanyian). Kata al-sama‘ dalam bahasa Arab klasik bisa berarti nyanyian (musik)
atau alat musik.2
Dalam terminologi tasawuf, kata sama‘ memiliki konotasi yang sangat
beragam, sebagaimana terefleksi dalam berbagai pendapat tokoh sufi. Dzû al-Nûn
al-Misrî mengatakan, “Mendengarkan (musik) adalah sentuhan (warîd) Allâh
1 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000),
h.259. 2 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik SufiOleh Ahmad al-
Ghazali, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 12-13.
yang membangkitkan hati untuk menuju Allâh. Barang siapa yang
mendengarkannya dengan Allâh (al-Haqq) akan sampai padaNya, sedangkan
orang-orang yang mendengarkannya dengan hawa nafsu (nafs) akan jatuh ke
dalam kesesatan (tazandaqa)”. 3
Ucapan Dzû al-Nûn al-Misrî menjelaskan pada kita bahwa musik itu suci
dan merupakan pengaruh ilahi. Barang siapa yang mendengarkan musik karena
dorongan jiwa rendahnya (nafs), maka ia akan tersesat, dan siapa yang
mendengarkannya dengan kecintaan kepada Allâh, maka ia akan dapat mencapai
derajat spiritualitas yang tinggi dan mulia serta memperoleh anugerah spiritualitas
(hal) dari Allâh. Karena itulah Abû Ya’qub Ishaq ibn Muhammad, sufi dan
sahabat al-Junaid, wafat pada tahun 330 H berkata. “Mendengarkan (musik)
adalah kondisi spiritual (hal) yang melahirkan keberpulangan (al-ruju‘) kepada
cahaya ruhani yang ada dalam hati (asrâr) setelah mengalami proses iluminasi
yang mengarah pada fanâ’”.4
Masih banyak ungkapan para sufi tentang sama’ yang berbeda-beda.
Adanya keragaman ucapan para sufi tentang sama’ itu karena, secara substansial,
sama’ merupakan bagian dari pengalaman mistik, dan setiap sufi memiliki
pengalaman yang berbeda-beda.
Bagi kaum sufi, musik memiliki fungsi yang beragam, membawa jiwa ke
alam realitas, menyejukkan hati, mengeluarkan permata ilahiah yang tersimpan
dalam relung hati, membersihkan hati dan meningkatkan kerinduan serta
kecintaan kepada Allah. Bahkan, musik juga dijadikan sebagai sarana
3 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 13. 4 Ibid., h.13-14.
mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mencapai derajat wusul (sampai kepada
Zat yang dituju yaitu Allah).5
Beberapa ulama sufi yang membahas musik (sama’) dan
memanfaatkannya, yaitu Abû Tâlib al-Makkî, Abû Nasr al-Sarrâj, al-Qusyairi, al-
Hujwirî, Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ahmad al-Ghazâlî, Jalâl al-Dîn al-Rûmî, dan
Muhammad al-Syâdzilî al-Tûnisî.6
Dalam buku-buku tasawuf, kata sama’ diterjemahkan kedalam bahasa
Inggris oleh kebanyakan sarjana Barat seperti Nicholson diartikan dengan
listening to music and singing, Javad Nurbakhsh mengartikannya dengan spitiual
music, dan Sayyed Hossein Nasr mengartikannya dengan spitual concert. Hal itu
karena sama’, dari segi praktik lahiriahnya, merupakan kegiatan mendengarkan
sya‘ir, nyanyian yang diiringi dengan instrumen musik yang dilakukan dalam
bentuk kelompok (konser musik).7
Sebenarnya sama’ telah dipraktikkan oleh sufi-sufi awal, tetapi
bagaimana sama’ ini dipraktikkan tidak begitu jelas digambarkan oleh sumber-
sumber awal, karena sumber-sumber ini lebih banyak membicarakan perdebatan
tentang boleh tidaknya sama’ menurut syariat. Ahmad al-Ghazâlî, adik dari Imam
al-Ghazâlî, yang nampaknya termasuk kelompok ulama yang membolehkan
sama’, bahkan membela praktik sama’, menjelaskan praktik sama’ yang ia
saksikan pada perguliran abad ke-11.8
Menurut Ahmad al-Ghazâlî, sama’ meliputi tiga teknik fisik: menari,
berputar, dan melompat, dan masing-masing gerakan tersebut memiliki fungsi
5 Ibid.,h. 11-12. 6 Ibid., h. 11. 7 Ibid., h.17. 8 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h.259-260.
sebagai simbol dan realitas spiritual. Selain menari, berputar, dan meloncat, sama’
juga meliputi kegiatan mengajar. Jamaah berkumpul di pagi hari setelah selesai
salat Subuh, atau setelah salat Isya. Selepas wirid, dan dalam keadaan duduk,
seseorang dengan suara yang paling lembut membacakan bagian tertentu dari al-
Qur’an. Kemudian sang syekh mendiskusikan makna ayat-ayat tersebut dengan
pengertian yang cocok sesuai dengan maqâm para sâlik-nya.9
Setelah pengajaran selesai, maka seorang qawwâl atau penyanyi mulai
menyanyikan puisi-puisi sufi untuk membawa mereka ke ekstase. Setelah itu
mereka bangkit dari tempat tersebut dan pulang ke tempat tinggal masing-masing
dan duduk sejenak untuk merenungkan penyingkapan-penyingkapan yang muncul
kepada mereka dalam keadaan tenggelam dalam ekstase. Setelah audisi, beberapa
dari mereka berpuasa selama beberapa hari sebagai makanan bagi jiwa dan hati
mereka berupa pengalaman-pengalaman mistik yang gaib (wâridât).10
Menurut al-Hujwirî, sama’ tidak boleh dilakukan hingga ia datang atas
kehendaknya sendiri, dan tidak boleh membuatnya sebagai kebiasaan, tapi
dilakukan dengan jarang, agar tidak bosan. Pembimbing ruhani (syeikh atau
mursyid) perlu hadir selama berlangsung sama’ dan tempatnya diusahakan bebas
dari orang-orang awam, dan yang menyanyi hendaklah orang yang terhormat,
hatinya bersih dari pikiran-pikiran duniawi, dan wataknya tidak boleh cenderung
kepada hiburan.11
Mulyadhi mengatakan. Bahwa bagi Rûmî sama‘ adalah makanan hati,
karena musik berhubungan dengan hati. Ia juga mengatakan kalau hal-hal yang
berkaitan melihat dengan mata hubungannya adalah dengan otak, tapi jika
9 Ibid., h.260-261. 10 Ibid., h. 261-262. 11 Ibid., h. 371.
mendengar hubungannya adalah dengan hati. Sama‘ bukanlah untuk musik,
karena ia tercipta dari pengalaman spiritual seorang sufi, liriknya juga merupakan
sebuah ilham spiritual. Berbeda dengan musik kontemporer, musik dan liriknya
disesuaikan dengan nafsu dan pengalaman pribadi yang bersifat hubungan sesama
makhluk.12
Seorang ahli fiqh pernah mengritik Rûmî karena tarian mistiknya yang
dianggap menyimpang dari aturan syariat (bid‘ah). Dengan cerdik, Rûmî yang
juga ahli fiqh balik bertanya pada pengeritiknya tadi: “Seumpama aku tidak
menemukan sesuatu yang halal untuk dimakan, sementara tubuh jasmaniku sudah
sangat kritis dan akan mati kecuali dengan makanan yang haram, bolehkah aku
makan sesuatu yang haram tersebut? Dengan tegas sang ahli fiqh tadi menjawab,
“Boleh, dengan mengemukakan kaidah Usûl al-fiqh, al-darûrah tubi‘ih al-
mahzûrah.” Rûmî kemudian menimpali bahwa tubuh ruhaninya sangat dahaga
dan akan mati tanpa tarian. Kalau tubuh jasmani saja diperbolehkan untuk
memakan sesuatu yang haram, bagaimana dengan tubuh ruhani? Itu pun
seandainya tarian itu diharamkan. Demikian menurut Rûmî, yang baginya sama‘
adalah santapan ruhani seperti halnya zikir.
Ada fenomena yang agak aneh menurut pendapat awam bahwa para sufi,
dalam melakukan sama’ lebih cenderung menggunakan syair, zikir, nyanyian, dan
sebagainya daripada al-qur’an. Secara psikologis, fenomena ini sebenarnya dapat
disejajarkan dengan kondisi rindu berat akan lebih cenderung memuji-muji yang
dicintai melalui lagu-lagu, syair yang mengisyaratkan sifat, bentuk kesempurnaan
yang terdapat pada yang dicintai dibanding dengan ketertarikan mereka terhadap
12 Sidang skripsi pada tanggal 18 Juni 2008.
membaca pesan-pesan yang disampaikan oleh sang Kekasih. Dengan
mendengarkan atau mendendangkan melodi cinta, kecintaan yang terpendam
dalam lubuk hati semakin menguat, dan selanjutnya dia akan masuk dalam
kondisi ekstasi. Ekstasi ini semakin kuat manakala melodi-melodi cinta tersebut
diiringi dengan tabuhan instrumen musik yang indah. Demikianlah kondisi orang
sufi yang sedang mendendangkan dan mendengarkan melodi cintanya.13
Penekanan pada sama‘ adalah pengalaman menyimak (syair) dari pada
menikmati pertunjukan musiknya, karena bagi sufi musik hanyalah sebagai media
saja bukan dijadikan sebagai yang utama. Sedangkan bagi mereka yang lebih
terfokus pada manifestasi lahir musik dari pada bentuk batinnya adalah orang-
orang yang tertipu. Efek dari sama‘ jika dilakukan dengan benar, adalah ekstase
(majdzub).14
Karena pengaruh sama‘, kadang-kadang seorang sufi mampu bertahan
berhari-hari tidak makan. Penyebabnya, ruh dan hati mereka sudah makan
berbagai pengalaman mistik yang tidak kelihatan (al-waridât al-ghaibiyâh).
Kondisi yang serupa ini tidak diingkari oleh mereka yang memiliki pengalaman
keagamaan.15
Sama‘ Dalam Ritual Mawlawiyah
Bagi para sufi ritual sama‘ memiliki makna-makna filosofis yang sangat
dalam hubungannya dengan jiwa manusia, baik dari tata cara upacaranya, maupun
alat-alat musik yang dipergunakannya. Masing-masing memiliki fungsi sebagai
simbol dari realitas spiritual. Penulis akan berusaha menjelaskan apa arti dari
13 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. xiii-xiv. 14 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 232-
236. 15 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 93.
ritual sama‘ itu, baik itu prosesnya, simbol dari tarian dalam tarekat Mawlawiyah,
dan simbol dapur yang ada dalam tarekat Mawlawiyah.
Proses Sama‘
Sebelum kita membahas tentang sama‘ dalam tarekat Mawlawiyah,
terlebih dahulu akan dibahas yang berkenaan dengan “rekrutmen” anggota pada
tarekat Mawlawiyah. Hal ini penting, karena sebelum melakukan ritual sama‘ ini,
seseorang haruslah terlebih dahulu masuk dalam anggota tarekat ini.
Menurut Ira Freid Lander, seperti yang dikutip Mulyadhi, ada lima
“tekke” (zawiyah) Mawlawiyah, sebelum tahun 1925, yang merupakan pusat-
pusat tarekat yang aktif sebagai suatu bentuk kehidupan komunal. Siapa saja di
bawah usia 18 tahun, yang masuk tarekat ini diminta untuk menunjukkan izin
tertulis dari kedua orang tuanya sebelum ia diterima untuk hidup di tekke tersebut.
Sang mursyid membawa anak laki-laki tersebut kepada syaikh tekke untuk
mengutarakan maksud dan keinginannya.16
Sang syaikh akan membai‘at anak tersebut dengan upacara kecil yang
terdiri dari mambaca zikir (lâ ilâha illâ Allâh) dan “Allah Akbar” dan pemberian
topi darwisy (sikke) yang digunakan dalam upacara tersebut. Sang murid diminta
untuk mengikat janji setia kepada sang syaikh. Anak muda yang telah dibai‘at
diberikan pilihan untuk melakukan khalwat selama 1001 hari (disebut chille) dan
menjadi seorang Dede dalam tarekat Maulawiyah atau menjadi seorang “muhib”
yang tidak melakukan khalwat dan tinggal di tekke, tetapi datang setiap hari untuk
melakukan latihan yang intens dalam praktik darwis.17
16 Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Mawlawiyah: Tarekat Kelahiran Turki, dalam Sri
Mulyati, ed., Mengenal dan MemahamiTarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 340.
17 Ibid., h. 340.
Bagi murid yang memilih khalwat selama 1001 hari (chille), harus
melakukan latihan-latihan yang sangat ketat selama 1001 hari itu. Sang murid
harus menyelesaikan upacara sang pemula sebelum diizinkan untuk melihat tarian
gasing (sama‘) utama, yang dilaksanakan setiap kamis malam. Setelah belajar
tarian tersebut, yang bisa berlangsung tahunan sebelum ia lulus dari status pemula.
Begitu ia selesai mempelajari putaran, yang biasanya membutuhkan waktu
sembilan puluh hari, sang murid ditempatkan pada status pemula ketika ia telah
betul-betul berpartisipasi dalam sebuah sama‘.18
Jika sang murid memilih menjadi seorang muhib (sang pecinta), ia tinggal
di rumah tetapi datang ke tekke setiap hari, untuk belajar sama‘ (musik), dan
diajarkan Matsnâwî (karya utama Rûmî yang berisi 25.000 bait bersajak, yang
terbagi dalam enam kitab) oleh beberapa guru yang berbeda. Ia juga dibai‘at
dengan sebuah sikke dan diizinkan untuk ikut menari. Berbeda dengan murid
chille, sang muhib dibolehkan melihat sama‘ pemula. Dalam tarekat Mawlawiyah
sekarang, orang-orang yang ada adalah seorang muhib, kecuali dalam Osman
Dede. Ia adalah satu-satunya orang yang masih hidup yang dapat menyelesaikan
ujian 1001 hari ujian chille.19
Dalam sama‘, yaitu tarian gasing yang terkenal dari tarekat Mawlawiyah,
tarian dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri dari Naat (sebuah puisi
yang memuji Nabi Muhammad saw), improvisasi ney (seruling) atau taksim dan
“lingkaran Sultân Walad”. Bagian kedua terdiri dari empat salam, musik
instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, dan do‘a.
18 Ibid., h. 341-342.
19 10 Ibid., h. 342.
Bagian yang pertama dari upacara ini ialah Naat, semacam musik religius
yang disusun oleh Buhûriz Mustafâ ‘Itrî (1640-1712), tetapi puisinya adalah puisi
Rûmî. Naat adalah pujian terhadap Nabi Muhammad saw. Sedangkan taksim
adalah sebuah improvisasi terhadap setiap makam, atau mode, yaitu konsep
penciptaan musik yang menentukan hubungan-hubungan nada, nada awal, yang
memiliki kontor dan pola-pola musik. Taksim merupakan bagian yang sangat
kreatif dari upacara Maulawi. Selanjutnya ada “lingkaran/putaran Sultân Walad”,
ini disumbangkan kepada upacara oleh putra sulung Rûmî, Sultan Walad. Selama
putaran ini, para darwis yang ikut bagian dalam putaran tari, berjalan mengelilingi
sang samahane (ruang upacara) tiga kali dan menyapa satu sama lain didepan pos
(lokasi tempat pemimpin tekke atau pimpinan upacara berdiri). Dengan cara ini
mereka menyampaikan “rahasia” dari yang satu kepada yang lain.20
Bagian yang kedua terdiri dari empat salam, yaitu:
a. Salam pertama, melodi biasanya panjang. Irama yang digunakan biasanya
disebut “putaran berjalan” (devr-i Revan). Bitnya adalah 14/8.
b. Salam kedua, pola irama dari salam ini disebut “Evfer” dan terdiri dari 9/8 bit.
c. Salam ketiga, dibagi ke dalam dua bagian yang meliputi melodi dan irama.
Bagian pertama disebut “putaran”, bitnya 28/4. Bagian kedua dari salam
ketiga ini disebut “Yoruk Semai”, bitnya adalah 6/8.
d. Salam keempat, pola irama ini juga “Evfer” (6/8), yakni irama lambat dan
panjang, untuk menurunkan elastasi sehingga sang darwis bisa konsentrasi
kembali. Tiap-tiap salam dihubungkan melalui nyanyian. Pada bagian pertama
20 Ibid., h. 343-344.
dan kedua, seleksi diambil dari Divan-i Syams atau Matsnawi, pada bagian
ketiga, puisi Maulawi lain dinyanyikan.21
Upacara berikutnya adalah musik instrumental terakhir, yang setelah
seleksi instrumental ini ada taksim seruling. Kadang-kadang musik ini dapat
dimainkan dengan alat-alat musik petik (senar). Setelah musik selesai, seorang
hâfiz di antara para penyanyi, membaca ayat-ayat al-Qur’an. Sama‘ masih terus
berlangsung sampai bacaan al-Qur’an dimulai. Ketika hâfiz mulai membaca al-
Qur’an, para penari tiba-tiba berhenti dan mundur ke pinggir ruangan dan duduk.
Setelah ia selesai, pimpinan sama‘ berdiri dan mulai berdoa di depan sang syaikh,
doa yang dibaca biasanya cukup panjang. Doa ini biasanya ditujukan untuk
kesehatan dan hidup sang sultan, atau para penguasa negara.22
Sampai sekarang, ritual sama‘ ini masih diperagakan secara formal, di
Konya, Turki, pada setiap Bulan Desember, untuk mengenang jasa dan karya-
karya sang Mawlânâ, yang wafat pada tanggal 12 Desember 1273.23
Nampaknya pengaruh Rûmî terhadap perkembangan musik di Turki
sangat erat, seperti yang dikatakan William Chittick. Banyak kaligrafer besar
Turki adalah anggota tarekat ini. Puisi Turki juga banyak berhutang budi, baik
dari sudut gaya atau tema, kepada puisi persia Rûmî.24
Simbol Tarian
Mengutip Profesor Nasr, Mulyadhi mengatakan, bahwa tarian Mawlawi
dimulai dengan nostalgia tentang Tuhan, lalu berkembang menjadi keterbukaan
sedikit demi sedikit terhadap limpahan rahmat dari surga, dan akhirnya
21 Ibid., h. 344. 22 Ibid., h. 344. 23 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h.262. 24 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 345.
menghasilkan fana’ dan penyatuan dalam diri Sang Kebenaran. Bila simbolisme
sama‘ diperhatikan, bisa dikatakan bahwa tarian berputar ini menyimbolkan
kosmos, karena menurut Rûmî seluruh kosmos adalah misteri yang sedang
menari.25
Ada metafora lain yang berkenaan dengan upacara tersebut. Topi
Mawlawi misalnya, menyimbolkan batu kuburan, jubahnya adalah peti jenazah,
dan bajunya adalah kain kafannya. Seruling buluh (ney) bukan saja
merepresentasikan terompet mitologis untuk menghidupkan kembali yang mati
pada Hari Kebangkitan, tapi juga menyimbolkan jiwa yang dikosongkan dari diri
dan diisi oleh jiwa ilahi.26
Rûmî juga menggambarkan nasib manusia tak ubahnya seperti seruling,
yang telah dipisahkan jauh dari induknya (dari pohon asalnya, dari mana sebagai
batang ia dipotong dan dipisahkan dari induknya). Tak heran kalau suara seruling,
dalam tarekat Maulawiyah merupakan salah satu alat musik yang penting dalam
ritual sama‘ mereka, sering begitu menyayat hati, menyanyikan kerinduan yang
mendalam untuk bisa berjumpa dengan tempat asalnya. Keluh kesah manusia,
ditafsirkan Rûmî sebagai bukti adanya rasa rindu yang mendalam terhadap asal-
usul mereka, yang sering tidak disadari, yaitu Tuhan sebagai “Sang Awwal”.27
Sementara itu, sembilan lubang yang ada pada seruling merupakan isyarat
sembilan lubang yang dimiliki oleh manusia dan sembilan tingkatan batin.
Sembilan lubang itu adalah, dua lubang telinga, dua lubang hidung, dua lagi di
mata, serta satu di mulut, qubul dan dubur. Adapun sembilan tingkatan batin itu
adalah, al-qalb, al-‘aql, al-rûh, al-nafs, al-sîr, al-jauhar al-insâni, al-latifah al-
25 Mulyadi Kartanegara, Jalal al-Din Rumi, h. 15-16. 26 Ibid., h. 17. 27 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 326.
dzâkirah, al-fu’ad, dan al-syaqqâf. Tiupan yang masuk ke seruling adalah isyarat
ditiupkannya cahaya Allah ke dalam zat manusia.28
Gerakan (tarian) yang dilakukan ketika mendengarkan musik adalah
isyarat akan kegembiraan hakikat manusia atas terjadinya janji primordial, yaitu
sebuah janji yang terjadi di alam mitsal, yaitu suatu alam tempat ruh-ruh manusia
dengan penuh kesadarannya menyaksikan bahwa Allâh adalah Tuhan Mereka
sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an, 7:172, ketika Allah bertanya, “Bukankah
aku ini Tuhanmu?” Tarian yang dilakukan merupakan ekspresi kegembiraan yang
dirasakan ruh karena telah lepas dari belenggu jasad, dan dapat kembali ke tanah
air yang sebenar-benarnya, yaitu di alam tempat ruh Allâh ditiupkan ke dalam
tubuh Adam.29
Ernst menyatakan bahwa Junaid al-Baghdâdi pernah berkata, “Ketika
dikatakan pada anak Adam saat ditiupkannya ruh mereka pada Hari Perjanjian itu,
‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’, maka semua ruh menjadi terpikat dengan
kenikmatannya. Demikianlah, maka semua orang yang terlahir ke dunia ini, setiap
kali mendengar suara yang indah, ruh mereka akan tergetar dan terganggu oleh
ingatan akan kalam ilahi tersebut, karena pengaruh kalam itu ada di dalam suara
yang indah.” Dengan pengertian lain, sumber sama‘ adalah rasa terpesona atau
ketertarikan hati (jadzb) kepada Tuhan, rasa ini adalah suatu energi yang langsung
mengarahkan seseorang kepadaNya.30
Menari sambil berputar-putar merupakan ekspresi dari ruh yang berputar-
putar dalam lingkaran segala yang ada (al-maujûdat) setelah ruh menerima
28 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik SufiOleh Ahmad al-
Ghazali, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 88-89. 29 Ibid., h. 89. 30 Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, h. 238.
dampak berbagai manifestasi (al-tajalliyat) dan desendensi (al-tanzîlat) Allah.
Sebuah kondisi spritualitas (hal) orang yang telah mencapai derajat ma‘rifat.
Melingkar seperti bentuk sumbu (al-fatl) isyarat ruh yang diam beserta Allah
melalui cahaya suci yang ada pada diri manusia (sîrr), wujûd, dan jangkauan
pandangan serta pikiran manusia yang menembus ke seluruh tingkatan alam.31
Posisi tangan kanan yang menengadah dengan telapak tangan ke atas,
sedang tangan kiri diturunkan ke bawah ketika menari, menggambarkan pengaruh
dari langit yang diterima dengan telapak tangan terbuka dari atas, diteruskan ke
bawah menuju dunia oleh tangan yang lain.32 Artinya seorang sufi jika
mendapatkan berkah dan rahmat dari Tuhan maka dibagi-bagikan kembali kepada
makhluk Tuhan yang lain. Putaran yang dilakukan oleh peserta sama‘ berlawanan
dengan arah jarum jam, seperti putaran tawaf (mengelilingi Ka’bah) pada ritual
ibadah haji. Kaki lurus seperti huruf alif, melambangkan ketauhidan.
Manakala peserta sama‘ telah memperoleh aspek mistis dari kondisi-
kondisi spiritual (ahwâl) yang gaib, hati mereka telah menjadi halus, dan mereka
telah mencapai kesucian jiwa, maka peserta sama‘ hendaknya duduk. Pada saat itu
penyanyi hendaklah menyanyikan lagu-lagu yang ringan untuk mengeluarkan
kesadaran dan keterpengaruhan mereka dari berbagai pengalaman mistis dengan
cara sedikit demi sedikit. Bila masih dalam keadaan seperti itu, penyanyi
hendaknya mengulangi (apa yang telah dinyanyikan) dengan suara yang lebih
bergetar daripada bacaan yang pertama. Hal ini diulang sampai tiga kali bila
31 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 89-90. 32 Mulyadhi, Tarekat Maulawiyah, dalam Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 338.
masih belum sadar. Karena keseluruhan tingkatan itu ada tiga macam: tingkatan
manusia, malaikat, dan tingkatan ketuhanan (rubûbiyyah).33
Simbol Dapur
Dalam kehidupan sehari-hari, kata dapur tentu sudah tidak asing lagi bagi
kita, karena kata itu sudah menjadi bagian dari hidup menusia, terutama mungkin
para wanita, tetapi sekarang para pria pun sudah banyak yang berkecimpung
dalam dunia dapur. Jika kita mendengar kata dapur, sudah pasti yang terbayang
adalah pengolahan makanan, dari bahan mentah menjadi matang. Setelah itu,
makanan pun siap untuk disantap, baik sendiri maupun beramai-ramai, yang
terkadang terasa lebih nikmat. Banyak dari kita tidak menyadari makna filosofis
dari kata dapur itu, karena bagi kita dapur memang seperti itu, yaitu sebuah
tempat untuk mengolah makanan. Tetapi, lain halnya Bagi pengikut tarekat
Mawlawiyah, yang memaknai dapur begitu mendalam, dan dapur juga memiliki
peranan yang sangat penting. Dapur menjadi salah satu syarat untuk menjadi
pengikut tarekat Maulawiyah.
Anak muda yang telah dibai’at, dan yang memilih untuk melakukan
khalwat selama 1001 hari (seperti yang telah dijelaskan pada proses sama‘), akan
dibawa ke ahchi Dede (ahchi artinya tukang/juru masak) dan deberikan ujian
pertama. Juru masak dalam tarekat Mawlawiyah adalah penting, bukan hanya
karena mempersiapkan makanan, tetapi juga karena “manusia adalah bahan baku
yang harus dimasak dulu untuk menjadi makanan dan enak dimakan”. Ujian
pertama si neu-niyaz (yang baru dibai’at) dibawa ke matbakh (dapur), yang
sebenarnya sebuah kamar kecil di mana sang murid duduk di atas lutut di atas
33 Ibid., h. 91.
saka (pos, yang terbuat dari kulit sapi) selama tiga hari. Ia hanya boleh bergerak
untuk salat lima waktu, ke toilet dan makan makanan yang dibawakan untuknya.
Selama itu ia tidak boleh bicara ataupun tidur. Seorang Dede penguji
mengawasinya untuk melihat apakah ia telah siap untuk melanjutkan latihan
berikutnya.34
Pada hari keempat sang murid dibawa ke hammâm (tempat mandi) untuk
dimandikan, dicukur dan diberi pakaian berwarna hitam, disebut tennuresi chille
untuk dikenakan selama masa khalwat. Setelah itu ia dibawa ke ahchi Dede untuk
memberinya dzikr (doa) yang harus diulang-ulang sambil ia melaksanakan
pekerjaan sehari-harinya. Pada waktu ini, sang murid diserahkan kepada Dede
kazandji (kazandji artinya periuk besar untuk masak sup) yang bertanggung jawab
atas pendidikannya sebagai seorang darwisy.35
Kazandji Dede bertanggung jawab untuk memelihara tekke (zawiyah) dan
menugaskan sang murid untuk tugas dapur dan pembersihan. Pada waktu siang,
sang murid harus juga belajar menjadi seorang penari sama‘ dan bekerja dengan
guru tari (semazenbashi). Tugas sehari-harinya adalah berzikir, melaksanakan
salat lima waktu, melakukan tugas pelayanan, dan belajar sama‘ (tari). Kalau ia
berkeinginan menjadi seorang pemusik ia harus mendapat izin dari Dede ahchi
dan kazandji.36
Begitu besarnya peranan dapur dan juru masak dalam tarekat
Mawlawiyah, sehingga bagi para murid (chille) yang ingin menjadi bagian dalam
ritual sama‘ harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari juru masak. Ternyata,
memberi makanan terhadap tubuh jasmani ini lebih mudah dari pada memberi
34 Mulyadhi, TarekatMaulawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 341. 35 Ibid., h. 341. 36 Ibid., h. 341.
makan tubuh ruhani. Oleh karena itu, makna dari dapur itu sendiri adalah
pelatihan awal bagi sang murid untuk belajar mengolah jiwa-jiwa yang belum
matang menjadi matang, yang diibaratkan dengan bahan makanan yang masih
mentah, kemudian diolah menjadi sedemikian rupa enaknya. Seperti apa yang
dikatakan oleh Syaikh Muzaffer mursyid tarekat Halveti-Jerrahi, dan guru
spiritual Robert Frager pakar Psikologi modern, “Pertama-tama bukalah sebuah
dapur. Pusat sufi sesungguhnya adalah sebuah dapur. Jika kau dapat memberi
makanan pada tubuh jasmani, maka kau akan mampu memberikan makanan bagi
ruhani mereka”.37
Sama‘ di Dunia Kontemporer
Kemampuan berseni, khususnya musik, merupakan salah satu perbedaan
manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Jika demikian, Islam pasti mendukung
kesenian itu selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci.
Oleh karena itu, Islam sangat mendukung kesenian itu dan bukan menjadi faktor
penghambat. Musik yang Islami bukan hanya terbatas untuk seni belaka, akan
tetapi dapat berfungsi sebagai sarana dakwah Islamiyah yang amat digemari oleh
setiap manusia, selain sebagai sarana hiburan saja.
Pada masa sekarang, khususnya di Indonesia musik sufi (sama‘) banyak
mempengaruhi kalangan seniman musik Indonesia. Baik itu dalam hal syairnya,
aransemen musiknya dan lainnya. Bahkan musik sufi telah mempunyai
penggemarnya tersendiri, seperti yang dilakukan oleh kelompok musik Debu yang
latar belakangnya merupakan sebuah tarekat yang dipimpin oleh Syaikh Fattâh
37 Robert Frager, Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Diri, dan Jiwa, (Jakarta:
Serambi, 2002), h. 146.
yang telah diberi otorisasi untuk tiga tarekat, Rifâ‘iyyah, Chistiyyah, dan
Syâdzîliyyah, hijrah ke Indonesia. Debu telah memproduksi beberapa album
rekaman, dan penggemarnya pun tidak sedikit, baik dari kalangan muda maupun
yang tua. Penulis sendiri pernah menonton konsernya di Jakarta.
Musik dan syair-syair Debu lebih banyak dipengaruhi tarekat Chistiyah.
Karena dalam tradisi tarekat tersebut ada musik, syair-syair, dan lagu-lagu. Bagi
mereka menyanyi bukan hanya hiburan. Tapi bagian dari dzikir dan ibadah
kepada Allah. “Kami senantiasa menyanyi secara dzikir, ibadah, dan istighfar,”
tegas Najib, salah seorang koordinator Debu. Kebiasaan menyanyi tersebut
awalnya hanya dilakukan untuk kalangan sendiri, tidak untuk umum. Syaikh
Fattâh melihat dalam kebiasaan menyanyi tersebut terdapat hal-hal yang kurang
baik. Karena itu dia membuat syair-syair yang berisi nilai-nilai Islam. “Dengan
syair, Syaikh mengajar kami, dan kami selalu mengingat ajarannya karena selalu
diulang-ulang dalam syair,” katanya. Syair-syair yang dibawakan Debu
merupakan gubahan Syaikh Fattâh yang terinspirasi oleh pengalaman perjalanan
ke berbagai negara. Selain itu, ada juga syair-syair terjemahan. Tokoh-tokoh yang
mempengaruhi syair-syair musik Debu antara lain, Jalâl al- Dîn Rûmî, Hamzah
Fansûri, Yûsuf al-Makasârî, Hafîz Syirazî, dan sebagainya. Tema-tema yang
terdapat dalam syairnya sebagian besar tentang cinta dan kerinduan kepada pada
Sang Kekasih Sejati, Allah.38
Syair-syair sufi banyak diadopsi oleh seniman-seniman musik Indonesia,
seperti Ahmad Dani, yang banyak sekali mengadopsi syair-syair sufi semisal Jalâl
38 Abdul D, dan Edi Junaedi, “Konser Debu Menyentuh Lubuk Jiwa, dan Ingatkan
Cinta,” artikel diakses pada 14 Februari 2002, dari http://in.musikdebu.com/news/articles/JurnalIslamStory.htm
al-Dîn al-Rûmî, Rabî‘ah al-‘Adâwiyah ke dalam lagu-lagunya, karena Dani
sendiri merupakan pengikut tarekat Naqsyabandi Haqqanî.
Penulis melihat kenapa para seniman musik banyak yang mengadopsi
sayair-syair sufi, karena syair-syair para sufi banyak menggambarkan tentang
cinta, kerinduan, dan penyatuan. Tema-tema ini zaman sekarang banyak digemari
oleh masyarakat, baik dari kalangan tua maupun muda.
Di tingkat budaya populer, musik sufi tarekat Chisytiyah mendapatkan
audiens yang semakin banyak pada abad 20 lewat industri rekaman, awalnya di
India pada masa kolonial, dan kini di dunia internasional. Selama beberapa tahun,
industri film Bombay yang sangat sukses mengandalkan musik dalam film yang
secara eksplisit didasarkan pada tradisi gazal Urdu, yang dalam tema, sajak, erat
kaitannya dengan syair-syair sufi. Bagaimanapun, ada lebih dari satu orang
peneliti yang memberikan keterangan tentang adanya pengaruh gaya musikal
Bombay terhadap penampilan-penampilan musik di tempat-tempat Chisytiyah.39
Pengaruh musik sufi belakangan ini sangat terlihat. Musik sufi ditemukan
di semua kawasan Muslim dimana syair sufi dibaca. Musik lokal yang digunakan
dalam musik sufi sangat bervariasi, dan masing-masing memilki sejarah panjang
dan kompleks, yang seringkali tidak diketahui oleh orang luar. Musik sufi kini
telah banyak dipopulerkan di Barat, dan kini juga bisa disimak melalui kaset-kaset
rekaman.40
Banyak band-band dalam dan luar negeri yang mengadopsi syair-syair
sufi, Ernst mencatat adanya sebuah album Nusrat Fateh ‘Ali Khan (pemusik sufi)
yang direkam oelh radio Perancis pada 1989. band besar seperti Rolling Stones
39 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 243. 40 Ibid., h. 239.
pun pernah berkolaborasi dengan para pemain musik sufi, bahkan membuat
rekaman album musik mereka pada 1971.41
Ritual sama‘ Mawlawiyah juga belakangan banyak melakukan konser
keliling. Ernst mencatat, pada 1994 mereka konser di Duke University, yang
didahului dengan pembacaan syair-syair Rûmî versi bahasa Inggris. Setelah jeda
istirahat, para darwis naik ke atas panggung, dan dengan arahan dua pimpinan
Mawlawiyah, mempertunjukkan rangkaian dari upacara sama‘ dengan iringan alat
musik dan vokal.42
Walaupun musik sufi didasarkan pada pelbagai karya sastra, komposisi
musik, dan idiom-idiom simbolik, namun elemen sentral yang menjadikannya
disebut musik sufi adalah ritual yang menggunakan suara manusia untuk
membacakan syair-syair yang ditujukan pada Tuhan., Nabi Muhammad, dan para
wali.43
41 Ibid., h. 252. 42 Ibid., h. 249. 43 Ibid., h. 254.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di bab-bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa
musik bukanlah hanya sebagai hiburan semata, tetapi merupakan sebuah media
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, dalam hal ini musik sufi (al-sama‘)
dapat menjadi sebuah solusi untuk meningkatkan perasaan cinta kepada Allah,
dapat meningkatkan kualitas spritual, dan juga dapat mengantarkan kita kepada
tauhid murni.
Islam tidak melarang seseorang untuk bermain serta mendengarkan musik,
selama mereka dalam melakukan itu semua tidak keluar dari ajaran Islam yang
berdasarkan al-qur’an dan al-hadits. Bagi para sufi, musik merupakan sesuatu
yang suci karena esensi musik itu adalah substansi ruhaniyah, musik merupakan
alat stimulus yang dapat meningkatkan kecintaan mereka kepada Allah. Melalui
cinta yang semakin kuat, seorang sufi akan lebih cepat sampai ke derajat wusul ke
hadirat Allah.
Dalam sama‘, sang sufi sering mengalami ekstase (majdzûb) dan
menemukan Allâh dalam ekstase itu. Hanya saja sebelum ekstase haqiqi bisa
dialami, sang pendengar haruslah matang secara spiritual dengan menyiapkan diri
melalui disiplin (riyâdah), dan mengingat Allâh terus menerus (dzikr Allâh).
Itulah sebabnya, menurut sebagian sufi, sama‘ tidak cocok bagi pemula.
B. Saran-Saran
Pertama, pendengar musik disarankan supaya terlebih dahulu menyeleksi
jenis dan kualitas musik yang akan didengarkan, karena setiap musik besar sekali
peranannya dalam mempengaruhi jiwa si pendengarnya. Tindakan ini dilakukan
untuk memperoleh jenis musik yang memiliki kualitas yang baik. Dengan
demikian, pendengar musik akan memperoleh manfaat dari upayanya.
Kedua, pencipta lagu dan syair disarankan untuk menciptakan lagu dan
syair yang bermutu baik dari segi aransemen dan pesannya, karena musik selain
hiburan juga harus dijadikan sebagai media dakwah. Selain itu, lagu dan syair
yang bermutu dapat meningkatkan kualitas jiwa pendengarnya. Sebaliknya, lagu
dan syair yang tidak bermutu dapat menurunkan kualitas jiwa pendengarnya.
Ketiga, pemusik, penyanyi, dan penyair serta orang-orang yang
mendengarkan musik disarankan selalu menjaga kesucian seni (musik) dengan
cara melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang
olehNya. Semua itu dilakukan untuk memperoleh berbagai manfaat yang ada pada
musik dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat merusak diri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (Ed.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Al-Aflaki, Syamsuddin Ahmad. Hikayat-Hikayat Sufisik Rumi. Jakarta: Hikmah,
2000. Ali Jamnia, Mojdeh Bayat dan Mohammad. Para Sufi Agung: Kisah dan
Legenda. yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003. Alaydrus, Novel bin Muhammad. Jalan Nan Lurus: Sekilas Pandang Tarekat
Bani ‘Alawi. Surakarta: Taman Ilmu, 2006. Anwar, Hamdani. Sufi al-Junayd. Jakarta: Fikahati Aneska, 1995. Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1994. Aqib, Kharisudin. Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000. Bahri, Saiful. ″Al-Izz bin Abdussalam As-Sulami: Sufi Lebih Tinggi Dari
Ulama.″ AlKisah, 14-27 Januari 2008: h. 135. Al-Baghdadi, Abdurrahman. Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik,
dan Tari. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Ernst, Carl W. Ajaran dan Amaliah Tasawuf. Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003. Frager, Robert. Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Diri, dan Jiwa. Jakarta:
Serambi, 2002. Gazalba, Sidi. Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya
Manusia. Jakarta: Pustaka al-Husna,1988. Al-Ghazali, Imam. Mukhtashar Ihya' ‘Ulumuddin. Terj. Zaid Husein a-Hamid,
Jakarta: Pustaka Amani, 1995. ______________. Kegelisahan al-Ghazali: Sebuah Otobiografi Intelektual, Terj.
Achmad Khudori Soleh. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Al-Hujwiri. Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf. Bandung:
Mizan, 1993. Jami, Maulana ‘Abd al-Rahman. Pancaran Ilahi Kaum Sufi. Yogyakarta: Pustaka
Sufi, 2003.
Al-Jilani, Syeikh Abdul Qadir. Rahasia Sufi. Terj. Abdul Majid Hj. Khatib. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002.
Kartanegara, Mulyadhi. Jalâl al-Dîn Rûmî: Guru Sufi dan Penyair Agung.
Jakarta: Teraju, 2004. _________________. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006. Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam. Energi Zikir dan Salawat. Jakarta: Serambi,
2007. Lewisohn, Leonard, ed. Warisan Sufi: Warisan Sufisme Persia Abad Pertengahan
(1150-1500). Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003. Muhaya, Abdul. Bersufi melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh
Ahmad al-Ghazali. Yogyakarta: Gama Media, 2003. Mulyati, Sri, ed. Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. An-Naisabury, Imam al-Qusyairy. Risalatul Qusyairiyah : Induk Ilmu Tasawuf.
Terj. Mohammad Luqman Hakim. Surabaya: Risalah Gusti, 2001. An-Nadwi, Abul Hasan. Jalaluddin Rumi: SufiPenyair Terbesar. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997. Nasr, Seyyed Hossein. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Mizan, 1993. Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1999. Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf ( Dirasah Islamiyah IV ).
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Noer, Kautsar Azhari. Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta:
Serambi, 2003. O.P., Cyprian Rice. Berdialog dengan Sufi-Sufi Persia. Bandung: Pustaka Setia,
2002. Sells, Michael A. Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spritualitas Islam
Awal. Bandung: Mizan, 2004. Siwi, Wulandari. ″Rhoma Irama: Hidayah Usus Kusut.″ Majalah Hidayah, Mei
2003: h. 18-23. Al-Suhrawardi, Abu al-Najib. Menjadi Sufi: Bimbingan untuk Para Pemula.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Sukardi, ed. Kuliah-Kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hiadayah, 2000. Susantina, Sukatmi. Nada-Nada Radikal: Perbincangan para Filsuf tentang
Musik. Yogyakarta: Panta Rhei, 2004. Thaha, Idris, ed. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).
Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Al-Taftazani. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka Salman, 1985. Utsman, Fathi. Ijtihad Pakar Islam Masa Lalu. Solo: Pustaka Mantiq, 1994.