must read!!!

78
KEKUATAN, BALANCE OF POWER, DAN TEORI STABILITAS HEGEMONI Berdasarkan Oxford Learner’s Pocket Dictionary kekuatan (power) dalam konteks hubungan internasional dapat dideskripsikan sebagai sebuah tingkata sumber kapabilitas dan pengaruh dalam hubungan internasional. Biasanya kekuatan dibedakan menjadi dua konsep, yakni hardpower dan softpower. Salah ahli politik internasional, Ray S. Cline (1975), mampu mengemukakan metode efektif kekuasaan, yaitu: Pp = (C+E+M) x (S+W) Keterangan: Pp = Power Perception; C = critical mass (populasi dan wilayah); E= Economy, M = Military; S = Strategic (Tujuan-tujuan strategis), W = Will (keinginan untuk mencapai tujuan nasional) Dalam perkembangan modern, istilah kekuatan negara mengindikasikan kedua kekuatan militer dan ekonomi yang yang kemudian akan menghasilkan perbedaan kapabilitas kekuatan- kekuatan negara dalam sistem internasioal. Kemudian akan muncullah negara dengan kekuatan rendah, menengah, dan tinggi (superpower). Terdapat kecenderungan bahwa superpower ini akan memegang kendali sebagai seorang hegemon. Pada era kejayaan pemikiran kaum realis, hegemon dianggap sebagai sebuah ancaman bagi negara-negara lainnya. Dapat dikatakan teori Balance Of Power (Keseimbangan kekuatan) muncul dengan asumsi dasar bahwa ketika sebuah negara atau aliansi negara meningkatkan atau mengunakan kekuatannya secara lebih agresif, negara-negara yang merasa terancam akan merespon dengan meningkatkan kekuatan mereka. Hal ini dikenal dengan istilah counter balancing coalition. Contoh kasus seperti munculnya kekuatan Jerman menjelang Perang Dunia I (tahun 1914-1918) yang memicu formasi koalisi anti-Jerman yang terdiri dari Uni Sovyet, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan beberapa Negara lain. Secara teoritis, balance of power menganggap bahwa perubahan status dan kekuatan internasional khususnya upaya sebuah negara yang hendak menguasai sebuah kawasan tertentu akan dapat menstrimulir aksi counter-balancing dari satu Negara atau

Upload: amelia-khaira

Post on 03-Jul-2015

582 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Must Read!!!

KEKUATAN, BALANCE OF POWER, DAN TEORI STABILITAS   HEGEMONI

Berdasarkan Oxford Learner’s Pocket Dictionary kekuatan (power) dalam konteks hubungan internasional dapat dideskripsikan sebagai sebuah tingkata sumber kapabilitas dan pengaruh dalam hubungan internasional. Biasanya kekuatan dibedakan menjadi dua konsep, yakni hardpower dan softpower. Salah ahli politik internasional, Ray S. Cline (1975), mampu mengemukakan metode efektif kekuasaan, yaitu:

Pp = (C+E+M) x (S+W)

Keterangan:Pp = Power Perception; C = critical mass (populasi dan wilayah); E= Economy,M = Military; S = Strategic (Tujuan-tujuan strategis), W = Will (keinginan untuk mencapai tujuan nasional)

Dalam perkembangan modern, istilah kekuatan negara mengindikasikan kedua kekuatan militer dan ekonomi yang yang kemudian akan menghasilkan perbedaan kapabilitas kekuatan-kekuatan negara dalam sistem internasioal. Kemudian akan muncullah negara dengan kekuatan rendah, menengah, dan tinggi (superpower). Terdapat kecenderungan bahwa superpower ini akan memegang kendali sebagai seorang hegemon. Pada era kejayaan pemikiran kaum realis, hegemon dianggap sebagai sebuah ancaman bagi negara-negara lainnya. Dapat dikatakan teori Balance Of Power (Keseimbangan kekuatan) muncul dengan asumsi dasar bahwa ketika sebuah negara atau aliansi negara meningkatkan atau mengunakan kekuatannya secara lebih agresif, negara-negara yang merasa terancam akan merespon dengan meningkatkan kekuatan mereka. Hal ini dikenal dengan istilah counter balancing coalition. Contoh kasus seperti munculnya kekuatan Jerman menjelang Perang Dunia I (tahun 1914-1918) yang memicu formasi koalisi anti-Jerman yang terdiri dari Uni Sovyet, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan beberapa Negara lain.

Secara teoritis, balance of power menganggap bahwa perubahan status dan kekuatan internasional khususnya upaya sebuah negara yang hendak menguasai sebuah kawasan tertentu akan dapat menstrimulir aksi counter-balancing dari satu Negara atau lebih. Dalam keadaan yang demikian, proses perseimbangan kekuatan dapat mendorong terciptanya dan terjaganya stabilitas hubungan antar negara yang beraliansi. Kita dapat menilik bagaimana Amerika Serikat dan Uni Soviet yang secara bersamaan melakukan peningkatan kapabilitas militer untuk saling bersaing memperoleh posisi terkuat di dunia saat Perang Dingin berlangsung.

Kelemahan dari konsep balance of power adalah karena ia terlalu sempit dalam menilai kekuatan sebuah negara sebagai ukuran dari sebuah proses perseimbangan kekuatan. Meski dapat dikatakan secara sederhana, seperti yang dipaparkan oleh Morgenthau, penggagas teori balance of power, bahwa kekuatan nasional diukur dari ukuran geografi wilayah, populasi penduduk yang dimiliki, serta tingkat kemajuan teknologi sebuah negara atau aliansi sebuah kekuatan. Adapun kapasistas ekonomi masih dilihat kabur oleh Morgenthau sendiri karena ekonomi diterjemahkan lebih kepada bagaimana kapabilitas militer dapat terbangun olehnya. Dan dengan runtuhnya Uni Soviet di akhir Perang Dingin, beberapa kelemahan teori yang terlalu fokus pada kapabilitas militer ini mulai dianggap irrelevant.

Page 2: Must Read!!!

Secara historis, kepemimpinan hegemoni dan munculnya ekonomi dunia liberal hanya terjadi dua kali. Pertama adalah era Pax Britannica hingga berlangsung hingga perang Napoleon dan berakhir hingga pecahnya Perang Dunia I. Sejalan dengan bangkitnya negara kelas menengah, menyetujui ideologi liberalisme, Inggris Raya membangkitkan era free trade dengan cara mereduksi tarif dan membuka border pada pasar dunia (Kindleberger, 1978b, ch. 3). Hampir sama ketika AS mengambilalih aturan internasional liberal setelah Perang Dunia II melalui GATT (General Agreement Tariffs and Trade) dan IMF (International Monetary Fund).

Berdasarkan teorinya, hegemon atau pemimpin memegang tanggung jawab untuk menjamin kondisi collective goods sistem perdagangan terbuka dan kestabilan pertukaraan mata uang. Hegemon memegang beberapa peran penting bagi operasi ekonomi dunia. Ia digunakan untuk mempengaruhi pembentukan rezim internasional (Krasner, 1982a, p. 185). Hegemon juga harus mencegah adanya negara lain dengan kekuatan monopoli mengeksploitasi lainnya agar mencegah negara tersebut keluar dari free trade (H. Johnson, 1976, pp. 17, 20). Hegemon juga harus mengatur, dalam suatu tingkatan, struktur foreign-exchange rate dan menyediakan kooperasi kebijakan moneter domestik (Kindleberger, 1981, p. 247), jika tidak, pasti akan ada serangan dari nasionalisme. Meskipun terdapat beberapa keuntungan dari sistem ini, muncul beberapa kritik sebagaimana Hirschman (1945, p. 16) bahwa hegemoni dapat mengeksploitasi posisi dominannya.

Analysis

Akhirnya, konsep Balance of Power ditujukan untuk menciptakan stabilitas keamanan dengan mengedepankan aspek menentang hegemoni dan membatasi ruang geraknya supaya tidak mendesak negara lain yang lebih lemah maupun secara signifikan-insignifikan terancam, bukan lagi untuk menciptakan distribusi power secara paralel antarnegara sebagaimana pengertian tentang Balance of Power sebelumnya. Alur yang demikian sesuai dengan pemikiran realis di mana balance of power menjadi strategi keamanan yang secara inheren efektif untuk menciptakan stabilitas keamanan yang toleran dan favor bagi negara-negara yang berkonflik.

Sementara itu dengan berakhirnya perang Dingin relevansi konsep ini menjadi dipertanyakan. Kemudian muncullah konsep stabilitas hegemoni yang mana memandang hegemon bukan sebagai makhluk monster yang kemudian akan mencaplok dunia. Teori ini memandang bahwa hadirnya suatu hegemon akan menjamin stabilitas sistem internasional dengan menyediakan pelbagai norma, nilai, dan sokongan bagi keberlangsungan sistem internasional yang tertuang dalam rezim internasional (sesuai dengan pemikran Krasner, 1982a, p. 185). Hegemon, kendati memiliki peluang untuk mengekploitasi kedudukan hegemoninya (sesuai dengan pemikiran Hirschman, 1945, p. 16), telah meresikokan dirinya pada suatu tanggung jawab dalam menjamin berlangsungnya seluruh sistem internasional.

REZIM INTERNASIONAL

Rezim internasional berkembang pesat sejak perang dunia kedua. Sampai saat ini pun rezim sudah meliputi hampir seluruh aspek hubungan internasional yang membutuhkan koordinasi antar state, mulai dari isu pertahanan (misalnya pembatasan pengembangan senjata atau pertahanan kolektif), perdagangan, keuangan dan investasi, informasi dan komunikasi, hak asasi manusia, dan lingkungan; merupakan contoh dari sekian banyak urusan dalam sebuah rezim internasional.

Page 3: Must Read!!!

Stephen Haggard dan Beth A. Simmons (1987) mengatakan bahwa rezim internasional muncul sebagai fokus penting dari riset empiris dan debat teoritis di dalam hubungan internasional[1]. Perbedaaan signifikan antara kompetitif, zero-sum-anarchy dari hubungan antarnegara dan “kewenangan” dari politik domestik terlihat terlalu banyak mengambil penjelasan dari perilaku diantara negara industri maju. Padahal dilemma kebijakan diciptakan dari tumbuhnya rasa saling ketergantungan sejak perang dunia yang menghasilkan sebuah bentuk koordinasi dan organisasi baru yang sama sekali tidak sesuai dengan kerangka berpikir realis–yang menganggap kerjasama antarnegara tidak mungkin akan terjadi. Permintaan rezim timbul karena adanya ketidakpuasan dengan konsep dominan dari tata aturan internasional, kewenangan, dan organisasi.

Definisi rezim dapat pula dikutip dari Donald Puchala dan Raymond Hopkins yang berargumen bahwa sebuah rezim ada di dalam setiap issue area hubungan internasional dimana terdapat keteraturan perilaku, seperti prinsip-prinsip, norma-norma atau aturan-aturan harus ada untuk dipertanggungjawabkan. Seperti yang dikutip di bawah ini:

a regime exists in every substantive isue-area in international relations… Wherever there is regularity in behavior, some kinds of principles, norms or rules must exist to account for it. (Puchala, 1982: 356)

Definisi luas akan beresiko mencampuradukan pola perilaku teratur dengan aturan, dan hampir  pasti terlalu jauh memprediksikan level kesepakatan normative dalam politik internasional. Mengurangi rezim dari pola perilaku akan membuatnya sulit untuk memutuskan bagaimana mereka bermediasik, berlawanan, atau mempengaruhi perilaku. Kata “rezim” seringkali digunakan sebagai cara paling murni menggambarkan kelompok dari rangkaian perilaku-perilaku negara di dalam isu-isu tertentu, tetapi pendekatan ini sudah banyak ditinggalkan.

Pertama-tama akan diuraikan mengenai pengertian rezim internasional menurut beberapa ahli beserta pendekatan-pendekatan teoritisnya. Kedua, pengaruh hegemoni dalam tumbuh dan berkembangnya sebuah rezim. Keempat, akan dijelaskan kondisi-kondisi (demand) dimana rezim menjadi sangat signifikan meski hegemon penyuplai mereka telah mengalami decline.

PENGERTIAN REZIM INTERNASIONAL MENURUT BEBERAPA AHLI

Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan–baik bersifat eksplisit maupun implisit–yang berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor itu sendiri dalam hubungan Internasional[2].

Robert Jervis menyatakan rezim tidak hanya mempunyai implikasi terhadap norma-norma yang memfasilitasi terciptanya kerjasama semata, melainkan suatu bentuk kerjasama yang juga lebih dari sekedar kepentingan internal dalam jangka pendek[3].

Oran R. Young berpendapat bahwa rezim internasional adalah seperangkat aturan, prosedur pembuatan keputusan, dan atau program yang membutuhkan praktek sosial, menetapkan peranan bagi partisipan dalam praktek tersebut dan kemudian mengelola interaksi-interaksi mereka. Raymond Hopkins dan Donald Puchala juga sependapat dengan Young bahwasanya

Page 4: Must Read!!!

tidak ada yang dapat membuat sebuah negara dapat bertahan selama waktu tertentu jika tidak didukung oleh keberadaan sebuah rezim. Artinya, rezim secara mutlak diperlukan[4].

Sedangkan rezim menurut Robert O. Keohane merupakan suatu perangkat peraturan pemerintah yang meliputi jaringan-jaringan peraturan, norma-norma dan cara-cara yang mengatur serta mengawasi dampaknya. “Norma” dalam konteks tersebut adalah nilai-nilai yang didalamnya terkandung fakta tepercaya, penyebab dan rectitude (keadilan/ kejujuran). Sedangkan yang dimaksud dengan “nilai-nilai” adalah perilaku standar yang terbentuk karena adanya kewajiban dan keharusan. “Peraturan” sendiri mengandung anjuran untuk bertindak secara spesifik yang sifatnya membatasi. Sedangkan “decision-making procedure” (prosedur membuat keputusan) merupakan praktek berlaku untuk membuat dan mengimplementasikan pilihan kelompok[5].

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian rezim secara kontekstual merupakan gabungan dari keempat nilai-nilai dasar tersebut di atas yang secara keseluruhan memfasilitasi lahir dan bertahannya sebuah rezim.

Sementara itu Strange (1982) membantah, ia menekankan bahwa rezim merupakan miskonsepsi di mana sebenarnya tidak ada kepentingan bagi norma-norma, prinsip, peraturan-peraturan dan decision-making procedures[6]. Strange berpendapat rezim masih cenderung bersifat state-centic, artinya rezim internasioal sesungguhnya tak lebih dari sebuah bentuk multilateralisme antar negara semata. Teori rezim dianggap masih terlalu bernuansa realist dan menjadi kurang relevan dalam studi hubungan internasional kontemporer – terutama setelah berkembangnya pemikiran tentang power dan interdependence. Kelemahan kedua teori rezim ini berasal dari konsentrasinya pada regulasi-regulasi yang sangat spesifik: rezim internasional tidak selalu berupa bangun atau tatanan politik yang bersifat komprehensif. Artinya, teori rezim memang berhasil melepaskan diri dari asumsi anarkhi dalam hubungan internasional, tetapi hanya dalam kerangka spesifik tersebut.

Aliran liberal–yang menyatakan bahwa rezim mutlak diperlukan demi menjaga kooperasi antar Negara–juga mendapatkan perlawanan berupa kritik yang mengatakan bahwa rezim justru merupakan sumber penambah konflik atau inefisiensi dalam politik dunia[7]. Kritik terhadap rezim mengekpresikan ketidaksepahaman mereka terhadap rezim yang berpengaruh sebagai sumber penambah konflik atau inefisiensi dalam politik dunia. Seperti halnya rezim keamanan yang diorganisasikan oleh United Nations Security Council (Dewan Keamanan PBB) seringkali disebutkan sebagai sumber konflik negara-negara di dunia. Beberapa ahli lain mengatakan bahwa rezim hanya membuat kontrol demokratis lemah. Walaupun demikian rezim sangat berpengaruh terhadap aspek kehidupan penting anggota penyusunnya kendati pada prakteknya mereka tidak mengindahkan prinsip-prinsip demokratis yang diterapkan dalam lingkup domestik anggotanya.

Kritik lain menyatakan bahwa kebanyakan rezim hadir untuk mewakili pandangan teknokratif dari birokrat yang bekerja di rezim internasional tersebut, dengan mengatasnamakan perjanjian internasional, mereka memberikan pengaruh mereka terhadap perumusan perjanjian tersebut di belakang layar secara tertutup. WTO misalnya telah menciptakan situasi “democratic deficit” atau defisit demokrasi dengan membangun suatu departemen mengurusi masalah kerakyatan (civilian affairs department) yang semestinya mereka bertindak sebagai liaison dari kehendak orang banyak bukan sebaliknya mencampuri urusan orang.

Page 5: Must Read!!!

Sebagian besar rezim masih menutup diri dari politik demokrasi langsung yang banyak dipraktekkan di berbagai negara. Akan tetapi ada anggapan bahwa penutupan diri tersebut penting, karena banyaknya koordinasi internasional membutuhkan spesialisasi tenaga ahli yang harus dikumpulkan oleh para teknokrat.

BEBERAPA PENDEKATAN TEORITIS MENGENAI DEFINISI REZIM

Sebagian besar studi rezim berasal dari aliran pemikiran berikut ini[8]:

1. Pendekatan realis

Pendekatan ini mengatakan bahwa kondisi alamiah negara-negara di dalam sistem internasional adalah anarkis. Hal tersebut karena negara-negara berpikiran untuk mendapatkan perolehan keuntungan relatif saja, seperti posisi mereka terhadap negara lain di dalam sistem. Akibatnya negara-negara merasa enggan untuk memasuki perjanjian yang akan membuat posisi mereka relatif lebih buruk dibandingkan dengan yang lain, merasakan akibat yang harus ditanggung bersama untuk memelihara sebuah rezim. Walaupun terdapat resiko potensial dalam memasuki perjanjian kerjasama, realis percaya bahwa keberadaan rezim adalah wajar adanya.

1. Pendekatan neoliberal

Pendekatan ini beranjak dari pemikiran realis – yang menyatakan kondisi alamiah sistem internasional adalah anarkis. Akan tetapi berlawanan dengan pandangan realis, mereka berpendapat bahwa negara-negara sebenarnya sangatlah mempertimbangkan untuk memperoleh keuntungan absolut. Pada akhirnya ketika mereka memutuskan untuk melakukan bekerjasama atau tidak, negara-negara tersebut akan mengevaluasi ‘apa manfaat yang dapat diberikan kepada mereka’ daripada memikirkan ‘apa keuntungan yang dapat mereka berikan secara relatif terhadap yang lain’. Oleh karena itu, pertimbangan utama bagi negara-negara seperti itu adalah bagaimana mereka mendapatkan keuntungan paling maksimal dan rezim alat yang efektif untuk menjamin keberlangsungan keuntungan seperti itu.

1. Pendekatan kognitivisme (cognitivism)

Pendekatan ini memberikan kontribusi pada pemahaman kita tentang rezim dengan memahami bagaimana perilaku aktor yang tidak dibentuk oleh kepentingan material terlalu banyak, akan tetapi oleh peran mereka di masyarakat. Mempelajari rezim tanpa memerhatikan saling ketergantungan antar pandangan akan menjadi kurang lengkap.

Tidak semua pendekatan pada teori rezim bersifat liberal atau neoliberal. Beberapa ilmuwan berdisiplin realis seperti Joseph Grieco membangun teori hybrid berdasarkan pada pendekatan realis terhadap teori liberal fundamental (realis tidak pernah berkata kerjasama tidak akan pernah terjadi, hanya saja hal tersebut bukanlah norma karena kerjasama ada pada tingkatan derajat yang lain).

Seperti telah disebutkan di atas, sebuah rezim didefinisikan oleh Stephen D. Krasner sebagai satu rangkai ekplisit atau implisit dari prinsip, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan dimana terdapat perbedaan harapan aktor berbeda-beda dalam satu wilayah isu

Page 6: Must Read!!!

(principles, norms, rules, and decision making procedures around which actor expectations converge in a given issue-area). Definisi tersebut ditujukan luas, dan melingkupi interaksi manusia mulai dari organisasi formal (misal: OPEC) sampai kelompok informal (misal: bank-bank besar di masa krisis ekonomi), mulai aktor state sampai non-state.

HEGEMONI DALAM REZIM INTERNASIONAL

“Teori Hegemonic Stability-Neorealis” berbicara tentang eksistensi kekuatan aktor dominan yang menentukan dan mempengaruhi norms, principles, dan rules struktur internal suatu rezim dan sekaligus bersifat memaksa (impose) terhadap anggotanya agar patuh pada peraturan dengan penyesuaian-penyesuaian dari kekuatan hegemoni tersebut. Terdapat beberapa rezim yang sangat tergantung pada kekuatan hegemoni, misalnya rezim moneter (contoh: IMF), rezim perdagangan (contoh : GATT&EEC), dan rezim minyak (contoh: OPEC).

Aktor hegemoni cenderung mendapat maximum profit dengan menginduksi rezim yang ada meskipun pada kondisi tertentu kekuatan hegemoni dituntut berperan besar untuk menyediakan public good bagi semua member dengan konsekuensi adanya free riders. Sebagai akibatnya, ketika aktor hegemoni tersebut mengalami decline, ia membawa perubahan dan dampak signifikan terhadap rezim yang disokongnya.

Salah satu hegemoni dunia yang utama dalam ekonomi global adalah Amerika, dengan kapabilitas ekonomi dan politik yang mampu membentuk ekonomi politik internasional yang cenderung kapitalis dan menyediakan insentif bagi negara pengikut kapitalisme globalnya, Amerika sukses menjadi satu-satunya negara dengan potensi hegemon terbesar di dunia. Sebagai respon, Amerika pun melakukan peran hegemoninya selama beberapa dekade dan seiring berjalannya waktu mempengaruhi perubahan pada rezim-rezim yang dibentuknya: perubahan pada rezim moneter internasional yang mengarah pada pembentukan IMF berdasarkan naskah Bretton Woods; penurunan tarif dan less strict rules pada GATT memicu terjadinya free market dan industri yang berkembang pesat. Dan berbeda dengan rezim moneter dan rezim perdagangan yang dirumuskan melalui ‘kesepakatan konferensi internasional’, rezim minyak tetap eksis karena ada harapan-harapan dan asymmetries information di antara produsen minyak Timur Tengah. Namun kegagalan Amerika dalam menstabilkan dollarnya(1971) serta mengatasi krisis minyak di tahun 1970, membuktikan bahwa hegemoni Amerika tidak lagi mampu membuat penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan masyarakat dunia. Hal ini mengakibatkan hegemoni Amerika pelan-pelan melemah dalam ekonomi politik internasional, sehingga rezim internasional  pun harus bekerja keras menggantikan fungsi fundamental hegemoni. Beberapa diantara fungsi fundamental tersebut dapat terpenuhi dan beberapa lainnya gagal. Hal tersebut menyebabkan penurunan tak lengkap rezim-rezim internasional seperti yang dijabarkan oleh Robert O. Keohane dalam ‘The Incomplete Decline of Hegemonic Regimes’. Walaupun demikian, kooperasi internasional masih mungkin terjadi selama tersedia demand of international regimes[9]. Dengan demikian teori hegemonic stability menjadi ‘sebagian salah’.

Page 7: Must Read!!!

THE DEMAND OF INTERNATIONAL REGIMES

Berbeda dengan teori hegemonic stability, demand of international regimes lebih fokus pada demand –permintaan–ketimbang suplai, sebagaimana teori hegemonic stability menyatakan hegemon sebagai suplai utama sebuah rezim internasional.

Dalam artikel “The Demand of The International Regimes”, Robert Keohane mengungkapkan bahwa rezim dianggap efektif selama  demand – permintaan adanya rezim dalam politik internasional – tersedia. Namun hal itu bukan merupakan hal yang mutlak karena terdapat beragam perbedaan kondisi dimana demand rezim semakin berkurang atau kondisi lain dimana rezim menjadi lebih signifikan meski tanpa kekuatan aktor dominan.

Rezim lebih dari sesuatu yang independen dalam politik internasional yang berperan sebagai fasilitator terciptanya agreement dengan cara menyediakan seperangkat norma, peraturan dan prinsip sekaligus menyediakan informasi yang sufficient, mengurangi asymmetric information (mencakup moral hazard–penyimpangan moral) serta mengurangi uncertainties. Rezim lahir guna menciptakan solusi tersebut untuk menyelesaikan masalah di dalam kompleksitas perilaku anggotanya secara spesifik.

Rezim internasional terkadang muncul sebagai reaksi terhadap adanya kebutuhan untuk melakukan koordinasi perilaku berbagai negara tentang suatu isu tertentu. Di tengah-tengah absennya suatu rezim yang dominan, perjanjian-perjanjian bilateral yang ada dapat menggantikan pola pengaturan di seluruh dunia. Kehadiran suatu rezim berisikan perjanjian multilateral dapat menggantikan perjanjian bilateral, berisikan standar yang dapat diterapkan secara efisien dalam berbagai bentuk seperti International Monetary Fund (IMF), Biological Weapons Conventions, dan Kyoto Protocol (Protokol Kyoto).

Rezim menjalankan fungsi penting yang dibutuhkan dalam hubungan antarnegara dan merupakan aktor independen dalam politik internasional. Rezim ketika dilembagakan akan dijaga keutuhannya sehingga kehadirannya dapat memberikan pengaruh politik melebihi independensi negara-negara yang menciptakannya. Sebagai contoh the International Atomic Energy Agency (IAEA), memiliki hak-hak yang diberikan oleh negara-negara pembentuknya untuk memonitor aktivitas penggunaan energi nuklir di negara-negara dunia.

Sebuah rezim diorganisasikan dengan perjanjian antarnegara, sehingga dapat menjadi sumber utama hukum internasional formal. Rezim sendiri dapat juga bertindak sebagai subyek dari hukum internasional. Lebih jauh lagi rezim dapat membentuk perilaku dari negara-negara penyusunnya. Rezim paling berpengaruh dapat menjadi kaidah dalam hukum internasional–merupakan pandangan para ahli aliran liberal yang melihat rezim sebagai awal terciptanya tata dunia damai. Hal tersebut sejalan dengan nafas sang filsuf, Immanuel Kant, tentang ide kedamaian berkelanjutan (perpetual peace) melalui federasi negara-negara dunia.

Rezim lahir ketika ada kekuatan aktor dominan di dalamnya (teori Hegemonic Stability), hal ini sesuai dengan pernyataan seorang pakar ekonomi, Charles Kingleberger (dalam Great Depression 1929-1939), “for the world economy to be stabilized, there has to be a stabilizer, one stabilizer“.

Beberapa ahli menekankan pentingnya kehadiran sebuah hegemon (penguasa tak terkalahkan atau super power) untuk menciptakan sebuah rezim dan memberikan arti kepadanya. Seperti contohnya Amerika Serikat yang diyakini telah memberikan kontribusi besar terhadap

Page 8: Must Read!!!

lahirnya sistem Bretton Wood (Bretton Wood System), dengan organisasi turunannya, seperti IMF dan World Bank. Kehadiran sebuah hegemon diperlukan karena aktor dominan dalam ekonomi dan politik internasional diperlukan untuk menciptakan standar global. Ketika negara-negara lain mungkin mendapatkan manfaat dari rezim, perusahaan AS seperti Microsoft, Universal Studios, dan Pfizer akan mendapatkan keuntungan paling besar dari rezim hak cipta intelektual (intellectual property) yang memiliki standar baku. Hegemon akan menggunakan kekuatan mereka semaksimal mungkin untuk menciptakan rezim. Penarikan diri hegemon dari rezim justru akan membuat keefektifan rezim akan berkurang.

Teori hegemonic stability menyatakan pula bahwa konsentrasi power pada sebuah dominant state mempermudah perkembangan rezim agar menjadi kuat dan pemecahan power diasosiasikan sebagai rezim yang kolaps. Namun teori ini gagal menjelaskan hubungan antara perubahan dalam struktur power dan perubahan dalam rezim internasional – ia tidak memperhitungkan perbedaan kekekalan dari institusi serta tidak mampu menjelaskan mengapa rezim internasional menjadi sangat meluas saat ini daripada sebelum periode kepemimpinan hegemonis (akhir abad 19).

Keohane dalam “Cooperation and Discord in The World Political Economy” tidak megingkari peran penting kekuatan aktor dominan dalam pembentukan rezim, walaupun demikian dijelaskan pula bahwa rezim bisa tumbuh dan berkembang tanpa kekuatan hegemoni[10]. Bahkan suatu contoh rezim bisa diciptakan tanpa kekuatan hegemoni yang dominan, contohnya terciptanya rezim International Energy Agency pada tahun 1973 setelah kiris minyak (pada rentang waktu 1960-1970). Namun ketika kekuatan aktor dominan rezim tersebut berkurang atau berangsur menghilang, maka demand for regime yang berperan untuk menjaga agar rezim terpelihara. Demand for regime tersebut dapat dijelaskan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain:

1. Systemic constraint-choice analysis

Analisis ini menjelaskan perilaku anggota rezim yang tetap tergabung dalam suatu rezim kendati terdapat beberapa constraints (dapat berupa pengaruh lingkungan geografi, keterpaksaan oleh yang lebih kuat, dan lain sebagainya). Namun mereka menganggap hal yang demikian merupakan minimum rational choice yang dapat mereka dapatkan dalam membership regime – yangmana setiap aktor, baik yang kuat maupun yang lemah selalu memiliki pilihan dengan sejumlah tertentu—constraints. Pendekatan ini menggambarkan jawaban dari pertanyaan ‘mengapa para aktor yang tidak diuntungkan tetap mengikuti rezim kendati mereka menerima keuntungan yang jauh lebih sedikit dari lainnya.

1. 2. Function of international regimes

Fungsional rezim internasional antara lain: information-providing, reducing transaction cost, dapat menanggulangi serta mencegah information-asymmetries, serta menyediakan principles, aturan, asas kerjasama, dan lain sebagainya. Hal tersebut karena rezim mengijinkan anggotanya untuk saling mengkontrol perilaku member lainnya. Oleh karena itu melalui rezim, konflik kepentingan dapat dikurangi dengan cara mengkoordinasikan tingkah laku para member. Fungsi utama dari rezim sebenarnya adalah untuk mengfasilitasi penciptaan agreement substantive-specific dan pengganti hegemon dominan yang mengalami decline dalam beberapa fungsinya. Oleh karena fungsional-fungsional  tersebut, rezim akan selalu dipertahankan keutuhannya.

Page 9: Must Read!!!

1. 3. Elements of demand of international regimes

Rezim, seperti yang dijelaskan sebelumnya, mengfasilitasi dalam pembuatan persetujuan substansif dengan menyediakan tatanan rules, prinsip, norma, dan prosedur negosiasi. Ada kalanya sebuah rezim menjadi tidak berguna, menurut Ronald Coase (dalam artikel Robert O. Keohane: The Demand of International Regimes), yakni ketika terjadi harmoni dan tiap-tiap aktor menerima solusi Pareto Optimal, yakni: (a) certainties – terdapat tatanan legal yang menekankan pertanggungjawaban aksi, misalya didukung oleh sebuah otoritas pemerintahan; (b)perfect symmetries information; (c) zero transaction cost. Saat ketiga kondisi tersebut terpenuhi, rezim tidak diperlukan lagi. Namun jika satu saja tidak terpenuhi, maka akan terjadi hal yang sangat berkebalikan.

1. 4. Information, communication, and openness

Pertama, rezim dengan tingkat keteraturan prosedur dan juga rules yang tinggi akan menyediakan informasi yang jauh leih baik dan mendapat permintaan yang lebih besar dari partisipannya. Adanya ketidakseimbangan informasi antara aktor satu dengan yang lain akan menyebabkan unfair bargaining. Kedua, rezim yang mengembangkan norma-norma yang diinginkan oleh partisipan akan lebih diinginkan ketimbang rezim-rezim yang gagal mengembangkan norma-norma tersebut. Ketiga, rezim dengan tatanan yang terbuka dan terkarakteristik dengan hubungan trans-governmental yang luas akan lebih diminta dan bermakna ketimbang rezim yang jangkauannya sebatas ikatan state-to-state.

1. 5. Coping with uncertainties

Yang dimaksud dengan ketidakpastian-ketidakpastian adalah sesuatu yang menyebabkan suatu rezim menjadi efektif atau bahkan hampir mutlak diperlukan. Jika rezim dapat mengendalikan ketidakpastian maka rezim akan terus dipelihara meskipun keadaan-keadaan yang favorable – seperti yang disediakan oleh hegemon mereka pada awal pembentukan rezim – sudah tidak lagi ada. Jika pendekatan control-oriented yang lebih ambisius dan keras tidak memiliki kekuatan efektif untuk mengatur anggotanya maka insurance regimes[i] akan menjadi pilihan terbaik. Di bawah pengikisan hegemoni insurance regimes dapat diharapkan.

SIMPULAN

Kehadiran hegemon memang sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sebuah rezim. Namun ia gagal menjelaskan mengapa rezim internasional minyak tidak didirikan sebelum tahun 1974 (ketika kekuatan hegemon masih berkuasa) sebagaimana gagal menyediakan cukup penjelasan tentang perubahan pada rezim moneter internasional (IMF) yang masih mampu bertahan hingga sekarang kendati hegemon Amerika telah melemah paska runtuhnya Bretton Woods di tahun 1971 – ketika terjadi rush dollar dan kemudian Amerika memutuskan untuk melepas jaminan dollar terhadap emas pada 15 Agustus 1971. Salah satu alasannya adalah karena teori ini merupakan teori sistemik yang tidak mampu memperhitungkan adanya tekanan politik (merupakan suatu hal yang muncul dan berkembang dalam ekonomi politik dunia dan dipengaruhi oleh nature of domestic belief system dan koalisi-koalisi[11]. Teori ini juga gagal menjelaskan mengapa rezim-rezim masih mampu bertahan kendati kondisi sebenarnya dari hegemon mereka telah hilang sama sekali.

Page 10: Must Read!!!

Sementara itu demand atas rezim akan selalu eksis, berdasar pada realitas bahwa kondisi terciptanya kooperasi  yang harmoni sangatlah langka[12]. Pertama, rezim internasional dapat diinterpretasikan sebagai sarana untuk memfasilitasi penyusunan agreement dalam dunia politik antarnegara dengan menyediakan peraturan, norma, prinsip, dan prosedur yang menolong para aktor mengatasi dinding penghalang dalam sebuah kooperasi. Kedua, masalah public goods yang mempengaruhi suplai rezim internasional. Namun mereka juga memunculkan demand terhadap rezim internasional guna menyelesaikan masalah tersebut. Ketiga, fungsi utama dari rezim sebenarnya adalah untuk memfasilitasi penyusunan agreement dalam kepentingan substantive-significance dan pengganti hegemon dominan yang mengalami decline dalam beberapa fungsinya. Keempat, rezim menjadi tidak bermakna ketika demand tidak tersedia, yakni ketika harmoni terjadi dalam hubungan internasional (kendati hal tersebut sangat jarang terjadi). Kelima, ada dua macam demand-side : meningkatnya isu akan meningkatkan pula demand atas rezim dan yang kedua adalah demand atas rezim akan menjadi bagian dari fungsi keefektifan rezim dalam mengembangkan norma komitmen umum dan dalam menyediakan informasi berkualitas terhadap decision maker. Keenam, berdasarkan uncertainties, rezim terbagi dalam dua golongan, yakni: control-oriented dan insurance strategy.

PENDAPAT

Menurut saya, pada dasarnya rezim adalah sebuah reaksi atas adanya konflik kepentingan antarsesama aktor. Sebab rezim merupakan sebuah sarana yang menyediakan keempat unsur penting dalam melakukan sebuah kolaborasi maupun koordinasi, yakni prinsip, norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan. Kehadiran sebuah hegemoni memang seringkali mempermudah dan memperlancar tumbuh dan berkembangnya sebuah rezim internasional, tetapi patut kita sadari bahwa tidak selamanya hegemon tempat kita bersandar akan terus berdiri selamanya. Oleh karenanya, ada baiknya masing-masing rezim mempersiapkan kekuatan sendiri dalam mempertahankan eksistensi mereka.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, teori hegemonic stability memiliki beberapa kelemahan dimana ia tidak bisa menjelaskan mengapa rezim-rezim terus bertahan hingga sekarang kendati negara hegemon penyokong mereka telah mengalami decline, hal tersebut telah dijawab oleh Robert O. Keohane dalam “The Demand of international Regimes” bahwasanya teori hegemonic stability hanya memfokuskan diri pada suplai/ pemenuhan rezim internasional, tapi fluktuasi/ naik turunnya permintaan terhadap adanya sebuah rezim tidak diperhitungkan dalam teori tersebut. Kemudian dalam artikel tersebut Keohane menjelaskan lima prinsipal (telah disebutkan sebelumnya) dalam permintaan-permintaan terhadap rezim untuk menyediakan dasar pada sebuah penafsiran yang lebih komprehensif dan seimbang[13]. Begitulah…

Leadership, Hegemoni, dan Stabilitas: Tatanan Ekonomi Politik   Internasional

dalam struktur yang terhieraki yang mana negara-negara core semakin lama bertambah kaya. Hierarki tersebut bisa diidenfikasikan macam-macam misal pembangunan tidak seimbang antara negara-negara maju (Utara) dan Selatan. Manakala terjadi perubahan negara periphery menjadi negara core, maka otomatis tatanan ekonomi politik internasional berubah. Misal kehadiran kekuatan ekonomi Jepang pada 1980an.

Page 11: Must Read!!!

Teori stabilitas hegemoni, isu keamanan dan politik menjadi subjek utama yang mengakibatkan dinamika pada ekonomi internasional. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dimana ekonomi internasional tidak bisa dipisahkan dari politik dan kebijakan suatu negara apalagi yang berkaitan dengan isu keamanan. Suatu hegemoni mutlak diperlukan untuk menjaga kestabilan politik dan keamanan. Secara langsung keamanan dan politik menjadi lingkungan tempat berkembangnya ekonomi internasional. Sehingga bisa juga ditarik kesimpulan ekonomi dan lingkungan saling berhubungan, jika lingkungan berubah maka ekonomi juga mengikutinya.

Pertanyaan berikutnya, teori manakah yang paling relevan? Secara pribadi saya ingin berpendapat bahwa tidak ada teori yang benar-benar 100% relevan terhadap tatanan ekonomi internasional sekarang. Ketiganya saling komplementer dari pada kontradiktif. Dalam hal tertentu, ekonomi internasional bergerak berdasarkan supply and demand aktor-aktor ekonomi di luar state. Yang membuat integrasi ekonomi terjadi pada level yang sangat signifikan. Hal ini seolah menyiratkan bahwa perekonomian itu bergerak sesuai dengan invisible hand-nya Adam Smith. Artinya tidak ada faktor lain yang diikutsertakan dalam telaah dinamika ekonomi politik internasional. Akan tetapi seolah teori ini menjadi ketinggalan jaman, ketika faktor politik dan lingkungan dilibatkan. Negara tetap menjadi aktor utama dan influensial dalam mempengaruhi dan  mengarahkan tatanan dunia sesuai dengan yang diinginkan, dalam hal ini disebutkan oleh seorang hegemon. Hegemon berperan untuk menciptakan environment yang favorable buat ladang subur perekonomian. Negara tetap secara politis berperan mengurangi batasan-batasan ekonomi yang mesti dicapai dalam suatu insitusi bersama dimana persaingan negatif akibat konflik kepentingan bisa dinegosiasikan. Teori sistem dunia modern memegang peran lainnya dalam menyediakan bukti bahwa perekonomian cenderung menciptakan sistem hierarki antara negara yang terklasifikasi dalam negara core dan negara periphery. Menurutnya ini adalah hal yang terjadi secara natural, ada yang tergantung dan ada yang menggantungkan diri. Inilah yang membentuk sistem secara utuh dan dinamis. Manakala salah satu variabel diatas mengalami pergeseran dan perubahan either insignifacantly nor indisively, maka dinamika itu merupakan suatu yang abadi.

HEGEMONY AFTER   WAR

“HEGEMONY AFTER WAR: US’S ROLE ON INTERNATIONAL POLITIC”

Pembentukan awal rezim internasional mulanya lahir karena keberadaan kekuatan hegemoni yang merupakan faktor dominan penting dalam menciptakan iklim supaya rezim dipatuhi oleh anggotanya sebab dilengkapi oleh seperangkat norms, principles, dan rules dalam decision making yang mengijinkan tiap anggota rezim untuk mengontrol perilaku anggota yang lain. Mengingat pentingnya hegemoni dalam rezim yakni memberi kontribusi positif bagi terciptanya lebih banyak agreement yang dipayungi oleh rezim internasional, adanya kekuatan hegemoni juga menjadi sumber konflik dalam politik internasional yang cenderung anarkis dan didasarkan pada self-egoistic individuals karena adanya hegemoni justru menciptakan penyimpangan sehingga membuat rezim menjadi bias. Salah satu kekuatan hegemoni yang momentous ialah peranan Amerika dalam politik internasional sekaligus hubungan internasional, salah satu studi kasus penting adalah usaha Amerika dalam memenuhi kebutuhan minyak industrinya adalah dengan menciptakan rezim internasional baru[1] dengan mengumpulkan anggotanya yang terdiri dari produsen minyak dunia sekaligus melakukan kontrol terhadap harga minyak agar selalu stabil dan menguntungkan pihak dominan sekaligus mengurangi uncertainties sekaligus mendorong lebih banyak

Page 12: Must Read!!!

kooperasi yang menguntungkan partner Amerika dan mengurangi transaction costs. Rentang tahun 1977, Amerika saat itu memiliki peran penting di daerah Atlantik Utara; menjaga kestabilan kapitalisme internasional merupakan norm yang dianut Amerika sehingga ketika Amerika membuat rezim sekaligus memaksakan ideologi hegemoni Amerika maka dari itu Amerika cenderung menanamkan sumberdaya dalam mendirikan international arrangement—penyusunan internasional dengan peraturan yang telah disepakati dan diketahui sebelumnya sekaligus formasi dari rezim internasional menjamin legitimasi adanya perilaku standard yang dimainkan oleh aktor hegemoni dalam menjaga efektivitas rezim. Tentu saja masuk akal bagi Amerika jika kemudian Amerika mengikatkan diri dalam rezim sekaligus mendorong weaker states untuk menyetujui dan mengikuti kepemimpinan Amerika. Setelah perang dunia II Amerika memantapkan perannya sebagai kekuatan dominan utama dalam ekonomi politik dunia untuk menciptakan hegemoni yakni mendapatkan influence effect[2] dalam memasok bahan baku dari negara-negara lain: (1) sistem moneter internasional yang stabil—untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang liberal, (2) menyediakan povisi pasar terbuka, (3) kemudahan akses minyak pada harga yang stabil—perusahaan amerika berusaha untuk menyediakan minyak ke Eropa, Jepang serta Timur Tengah.

Studi Kasus

Studi kasus penanaman hegemoni Amerika Serikat pada lapangan perdagangan meliputi empat hal yaitu: usaha amerika untuk mengontrol minyak Arab antara 1943-1948, yang meliputi Anglo-American Petroleum Agreement di 1943-45; the sterlingdollar oil problem of 1949-50; British dan intervensi Amerika di Iran antara 1951-1954, termasuk pembentukan Iranian Consortium di tahun berikutnya; Emergency Oil Lift Program yang merupakan implementasi United States terhadap invasi Anglo-French pada Mesir di 1956. Beberapa kasus di atas secara langsung maupun tidak telah menunjukkan dominasi Amerika dalam minyak internasional yang diyakini merupakan produk dari pemerintah amerika bekerja sama dengan pihak perusahaan besar yang berkepentingan yang biasanya pemerintahlah yang memegang kendali. lebih jauh, pengawasan kontrol minyak merupakan sumber politik bagi Amerika bekerjasama dengan Eropa sebagai mitra utama Amerika dalam politik internasional.

SIMPULAN

Barangkali jelas jika Amerika serikat sebenarnya memainkan peran kepemimpinan hegemoni selama tahun 1950 meskipun Amerika belum sepenuhnya mendikte arah—utamanya dalam rezim perdagangan dan perjanjian—politik internasional. Walaupun demikian secara tidak langsung Amerika mempunyai beragam cara dalam menyediakan insentif  perdangan dan moneter utamanya dalam kasus fenomenal dimana Amerika berusaha untuk menanamkan dominasi pada pasar minyak di Timur Tengah dan beberapa negara lain di dunia. Adanya rezim merupakan wadah utama bagi pemerintah Amerika untuk memfasilitasi perusahaan besarnya untuk berkembang dan mendapatkan pasar liberal yang bebas dan kapitalis dalam politik internasional.

OPINI

Meski pada awal pembentukan rezim mutlak selalu didasari adanya kekuatan hegemoni dominan yang mempermudah rezim untuk menerapkan beragam peraturan supaya ditaati oleh member-membernya. Adanya kepentingan hegemoni dalam rezim merupakan hal yang tidak bisa diabaikan, namun pada dasarnya kekuatan hegemoni bukan merupakan fundamental

Page 13: Must Read!!!

utama dalam menjaga eksistensinya karena absennya hegemonic stability tidak menyebabkan suatu internasional regimes runtuh dikarenakan absennya hegemoni bisa digantikan oleh functional rezim antara lain: menyediakan symmetries information, reducing transaction cost, providing certaintisi dan regime as problem solving to create agreements  that would give benefit at the lowest level.

Balance of Power in ASEAN as a Cooperative Regime   Security

ABSTRAK

Balance of power merupakan ide, konsep politis sekaligus strategi kebijakan yang relevan terhadap kondisi empiris situasi politik internasional yang anarkis yang tertuang dalam beragam definisi dan pengertian berbeda, kemudian dipelajari menjadi panduan kebijakan politik luar negeri baik oleh praktisi hubungan internasional—untuk memahami perilaku kolektif states, maupun statesmen sebagai strategi untuk menyusun perjanjian—agreement dalam usaha membela kepentingan nasional. Secara khusus, ASEAN sebagai rezim regional menjadi ilustrasi adanya pengaruh faktor balance of power pada perilaku anggotanya yang secara politis saling berseberangan tetapi masih mempertahankan konsep sekuriti sebagai alasan mendasar mendirikan kelompok kerjasama kooperatif maupun satuan organisasi regional yang dijanjikan mampu menciptakan stabilitas dan keamanan kawasan.

PENDAHULUAN

Balance of power merupakan ide politik dan strategi kebijakan relevan terhadap kondisi empiris situasi politik internasional yang anarkis dalam beragam definisi dan pengertian berbeda yang  terus dikembangkan menjadi panduan kebijakan politik luar negeri baik oleh praktisi hubungan internasional untuk memahami perilaku kolektif states maupun statesmen sebagai strategi untuk menyusun perjanjian—agreement dalam usaha membela kepentingan nasional. Secara khusus, ASEAN sebagai rezim regional menjadi ilustrasi adanya pengaruh faktor balance of power pada perilaku anggotanya yang secara politik saling berseberangan tetapi masih mempertahankan konsep sekuriti sebagai platform fundamental mendirikan kelompok kerjasama maupun satuan organisasi regional yang dijanjikan mampu menciptakan stabilitas dan keamanan. ASEAN bisa saja dianggap sebagai usaha regional yang menyediakan keamanan dengan cara bergerak di antara conventional balance of power politics, yakni dengan menunjukkan maksud, premis, objektif, dan model operasi. Selanjutnya operasi balance of power cenderung dipandang dari sudut sebuah policy. Hal demikian menjadikan Balance of Power merupakan alat analisis atau panduan terhadap kebijakan. Dalam uraian singkat di bawah ini pertama akan disinggung pengertian balance of power dan sejarahnya. Kedua, dibahas pandangan realisme tentang balance of power. Ketiga, kelemahan dan strategi yang ditawarkan kondisi balance of power dan hubungannya dengan cooperative security dan the pursuit of power. Keempat, pembentukan ASEAN dijelaskan melalui perspektif balance of power.

SIMPULAN

To conduct FP

Page 14: Must Read!!!

To provide penjelasan2 struktur of some pola2 dalam hubungan internasional

Definisi dan Sejarah Balance of Power

Pada beragam pengertian, balance of power merupakan konsep yang telah dipegang sepanjang sejarah, praktisi, dan negarawan—statesmen; sehingga perilaku demikian membawa konsekuensi pada tingkat beragam pengertian pada setiap orang berbeda. Walaupun demikian tidak terdapat konsesus resmi definisi balance power secara tepat[1], beragam pandangan definisi tersebut terletak pada pemahaman pada berbagai istilah yakni sebagai suatu simbol, situasi, kebijakan, dan sistem[2]. Pengertian  yang demikian banyak dan luas sebagaimana diutarakan oleh Inis Claude (1962: 13) disebabkan konsepnya yang mudah dipahami serta banyaknya literatur antara lain sebagai berikut[3]:

1. Masa klasik: distribusi power yang sama di antara Princes of Europe → memungkinkan bagi salah satu dari mereka untuk mengganggu ketenangan yang lain (Anonymous, Europe’s Catechism, 1741);

Pada Midieval Era di mana masing-masing kerajaan di Eropa berlomba untuk memperkuat diri; semakin intensnya kompetisi tersebut, makin intens pula adanya ancaman yang  memicu kapabilitas ketenangan negara lain yang secara geografis berdekatan.

1. Aksi dari negara lain untuk menghambat negara tetangganya untuk menjadi lebih kuat dan menjaga keseimbangan dan kesejajaran antarnegara tetangganya—terdekatnya (Fenelon, 1835);

Balance of power sebagai reaksi yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas keamanan regional antarnegara yang berdekatan.

1. Menjaga keseimbangan: yang lemah seharusnya tidak dihancurkan oleh negara yang lebih kuat → merupakan prinsip yang membentuk kesatuan pada peta politik sejarah Eropa Modern (Stubbs, 1886);

Balance of power sebagai kolektif reaksi untuk mencegah terbitnya satu kekuatan dominan yang berpotensi mendesak yang lemah.

1. Suatu penyusunan hubungan sehingga tidak akan ada negara yang berada pada posisi lebih kuat di atas negara-negara lainnya (Vattel, 1916);

Seperti halnya poin ketiga yang mana balance of power sebagai kolektif reaksi karena adanya kesadaran bersama untuk menghindari munculnya negara yang terkuat di antara yang lainnya.

1. Balance of Power beroperasi melalui aliansi-aliansi yang tidak memberi peluang adanya satu dominan power yang tumbuh lebih kuat sehingga berpotensi mengancam keamanan yang lain (Palmer and Perkins, 1954);

Balance of power sebagai strategi untuk menciptakan stabilitator regional melalui keikutsertaan dalam aliansi maupun kelompok kerjasama keamanan yang kolektif.

Page 15: Must Read!!!

1. Balance of Power: merujuk pada hubungan aktual antarnegara dimana power terdistribusi secara paralel pada semua negara (Morgentahu, 1978);

Balance of power merupakan strategi alternatif melakukan atau mempengaruhi distribusi power.

1. Balance of Power merujuk pada respon untuk melakukan ukuran (pemantauan dan pengawasan) yang ekivalen secara individual maupun kolektif guna meningkatkan power mereka (Claude, 1962);

Balance of power sebagai tool efektif untuk melakukan check and balance posisi dan pemetaan power yang dimiliki masing-masing negara.

1. Balance of Power merupakan prinsip dasar guna merenggangkan power yang sanggup mengintervensi pada satu sisi, dimana ada bahaya potensi meletusnya perang, untuk menjamin bahwa yang kalah—lemah tidak tereliminasi dari sistem dan tidak terserap ke dalam kolosus yang sedang berkembang (Quester, 1977).

Balance of power merupakan efektif tool untuk mendispersi power guna mengurangi potensi konflik dan perang.

Dari berbagai pengertian di atas, tentunya menimbulkan permasalahan tentang bagaimana menggunakan konsep dan istilah balance of power dalam hubungan dan politik internasional. Salah satu permasalahan intelektual disebabkan oleh power sebagai suatu konsep dan istilah, adalah interprestasi berbeda pada tiap orang yang berbeda pula. Beberapa diantaranya mengasumsikan “power” tidak hanya mengandung arti kekuatan militer, tetapi juga mengandung implikasi kekuatan politik dan ekonomi—oleh realis disebut tradisional power. Bagi yang lainnya, power tidak hanya menyangkut aktivitas spesifik seperti tersebut di atas, tetapi juga kemampuan untuk mempengaruhi perilaku state lain[4]. Berikut penjelasan lebih luas hubungan balance of power dalam perspektif realis.

SIMPULAN

Many different meanings and long history

Balance of Power dan Realisme

Balance of power menurut sudut pandang realis: memandang masyarakat internasional sebagai aksi-reaksi yang tidak ekivalen—assymetris: power berhadapan dengan weakness. Basis dasar asimetris antar-state tersebut dapat diseimbangkan, yakni dengan cara setiap state bertindak saling mengawasi terhadap posisi masing-masing—check and balance.

Karena politik internasional yang anarkis berlawanan dengan keamanan dan stabilitas jangka panjang, maka nation-states semestinya memotori terciptanya keseimbangan dalam sistem power, sehingga dalam jangka absolut, keamanan, stabilitas, power, dan pengaruh dapat kemudian lebih potensial ditingkatkan. Adalah tugas seorang negarawan—statesmen untuk mendemonstrasikan dan memprioritaskan kepentingan masing-masing berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi dengan membuat kebijakan dan penyesuaian berdasarkan tujuan menciptakan stabilitas yang kondusif. Maka dari itu, Morgenthau berpendapat bahwa

Page 16: Must Read!!!

balance of power dan politik luar negeri yang diciptakan untuk diraih dan dipelihara bukanlah hal yang tidak mungkin, lebih dari itu, merupakan mekanisme penting untuk menstabilkan komunitas internasional[5].

Berkaitan erat dengan power, di dalam balance of power terdapat konsep national interest dan objectives antara lain tujuan fundamentalnya adalah menolak adanya hegemoni secara regional maupun global, yang pada intinya untuk mencegah terbitnya hegemoni dengan mengijinkan semua state untuk memelihara identitas, kesatuan, dan independensinya, hingga pada level optimal mencegah potensi agresi perang, dan lain sebagainya. Teori balance of power maka dari itu erat kaitannya dan kedudukannya selaras dengan pandangan tradisional realis mengenai hubungan internasional.secara tidak langsung dimaksudkan untuk menyediakan kondisi internasional yang stabil dan damai[6], sekaligus sebagai faktor penstabil dalam masyarakat negara-negara yang berdaulat[7]. Dari pengertian di atas, intinya teori balance of power sebenarnya merupakan konsep penting dalam menciptakan dan memelihara stabilitas komunitas internasional.

Balance of power dan the pursuit of power

Konsep dan ukuran suatu power bersama dengan kemampuan negara menerjemahkan power tersebut ke dalam defined national goal, merupakan karakter fundamental pemikiran realis. Sebagian besar realis beranggapan bahwa hal tersebut merupakan kepentingan state untuk mendapatkan power semaksimal mungkin dan guna mendapatkannya, harus mempertahankan dan memelihara power itu. States akan mempunyai tujuan kebijakan tertentu, beberapa di antaranya berkonflik dengan kebijakan negara-negara lain. Selama selalu ada kekhawatiran dan kecemasan pada setiap negara di mana posisinya terancam dengan kekuatan yang lain, maka balance of power menjadi makin relevan sebagai usaha state untuk kemudian berusaha berhadapan dengan kekuatan yang sejajar. Artinya, dalam balance of power, state akan terus menerus secara praktikal membuat powernya sejajar dengan tandingannya—the pursuit of power. Salah satunya, adalah untuk menjaga eksistensinya, setiap negara akan mengandalkan diplomasi yang didukung oleh kekuatan militer utamanya bagi diri sendiri, jika dibutuhkan dilengkapi oleh aliansi-aliansi[8]. Sebagaimana setiap state pasti berusaha untuk paralel dengan usaha rival, dengan demikian balance of power akan muncul sebagai stabilitator sistem, dimana power mesti berhadapan dengan power yang setara—matching power.

Dalam menciptakan kondisi internasional yang stabil, balance of power menawarkan strategi diplomasi yang mencakup empat karakterisktik[9], yaitu collective security, comprehensive security, cooperative security dan common security. Dalam pembahasan di bawah ini, akan dibicarakan mengenai alternatif diplomasi yakni cooperative security sebagai pendekatan guna menjelaskan perilaku negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam internal rezim ASEAN dalam usaha meningkatkan stabilitas regional dan menolak timbulnya hegemoni, utamanya berkaitan dengan the potential rising hegemoni, Indonesia saat itu.

Page 17: Must Read!!!

Balance of Power dan Cooperative Security

Asumsi realis yang berkaitan dengan konsep sovereignty dan anarki membuat realis berdebat bahwa tidak ada otoritas superior yang memerintah di atas kedaulatan–sovereignty, kemudian states yang berdaulat secara independen harus berjuang untuk mengamankan interest masing-masing. Sebagaimana Nicholas Spykman  berpendapat bahwa tujuan objektif dari kebijakan luar negeri suatu negara adalah untuk mengamankan integritas-kesatuan teritorial dan independensi politik masing-masing. Dari penjelasan tersebut di atas konsep kooperatif sekuriti—cooperative security menjadi hal penting dan dalam hal ini balance of power dijelaskan dengan sudut pandang kebijakan: balance of power as a policy[10].

Di samping itu, pandangan realis tentang kondisi politik internasional dan balance of power sebenarnya telah menjadi prediksi beberapa penulis seiring dengan paradigma keamanan politik yang kemudian berkembang menjadi security dilemma. Security dilemma memandang setiap negara secara signifikan berkompetisi, berkonflik, dan berselisih menyangkut isu tentang keamanan nasional. Implikasinya adalah bahwa state kemudian harus melakukan segala cara yang dibutuhkan untuk bertahan dalam lingkungan anarkis dan ancaman. Menjadikan nature of the system menjadi arena untuk menentukan keputusan—in decision making process, memaksa mereka untuk berperan dalam balance of power game supaya berhasil bertahan—survive. Karakteristik yang demikian merupakan penjelasan sentral mengenai lanjutan balance of power oleh structural atau neo-realis seperti Kenneth Waltz (1979:118).

Secara rasional maupun irrasional, kondisi internasional yang demikian menjadikan state cenderung saling curiga satu sama lain yang mana sekutu terdekat bisa menjadi ancaman laten sebagaimana ancaman visibel dari musuh yang sebenarnya. Secara berbeda, Morgenthau mengungkapkan bahwa teori balance of power hanya menawarkan solusi parsial bagi permasalahan anarkis dan perubahan dalam sistem internasional. Perilaku state yang demikian berdasarkan pandangannya karena state mesti mengikuti supreriority of power sebagaimana dikutip di bawah ini:

“states involved in the international anarchy must in practice seek, not ‘a balance or equality of power, but a superiority of power on their own behalf[11]’” (Morgenthau, 1949: 155)

Kelemahan konsep dan teori balance of power secara praktikal antara lain balance of power sulit untuk dicapai[12] karena state selalu cenderung untuk menjamin secara individual melawan segala kekuatan yang mengancam dari lawan mereka, dengan cara memperoleh margin safety—kapasitas maksimal menyaingi atau kapasitas minimal guna mengantisipasi ancaman dari pihak yang berlawanan.

Konsep balance of power menurut Morgenthau: balance of power menciptakan precarious stability dalam hubungan antarnegara, suatu yang esensial untuk dikembangkan secara konstan. Kata “balance” secara khusus mempunyai implikasi “suatu finished produk.” Realitas hubungan internasional, bagaimanapun juga merupakan kombinasi dari pergerakan dan perubahan, bukan statis, dimana pergerakan dan perubahan tersebut merupakan fitur karakteristik utama dari suatu politik internasional. Kekuatan tidak pernah bisa diseimbangkan, disesuaikan maupun dimanipulasi sebagai suatu respon dari aliran power di dalam suatu sistem. Dalam hal ini, balance of power bukan menjadi desain tandingan bagi perubahan yang damai, melainkan influence guna menstabilkan segala perkembangan selama stabilitas itu berlangsung.

Page 18: Must Read!!!

Balance of Power in Cooperative Security Regimes: the founding moment of ASEAN

Teori Balance of Power sebagian besar muncul secara eksklusif dari pemikir Realis yang meyakini bahwa Balance of Power bersandar pada kapabilitas dan kuantitas power suatu negara, dimana power diasumsikan sebagai akumulasi variabel (komponen-komponen politik, ekonomi, militer)—disertai intangible dan tangible factors sebagaimana kombinasi hard power & soft power.

Artikel Ralf Emmers berjudul “Balance of power within and beyond cooperative security regime: ASEAN & ARF”  menafsirkan konsep Balance of Power dalam konteks politik regional berkaitan dengan momen berdirinya ASEAN sebagai organisasi regional yang memegang nilai cooperative security[13].

Awal berdirinya ASEAN semula sebagai konter positif terhadap berkembangnya the rising star saat itu, yakni Indonesia. Saat itu Indonesia menjadi ancaman regional yang disegani oleh negara tetangga di sekitarnya sebab baru merdeka lengkap dengan perangkap susunan politik dan pengalaman signifikan dalam proses mempertahankan kemerdekaan dari jajahan Eropa serta barier terhadap perkembangan negara Barat utamanya dalam pengaruh Amerika. Hal ini sesuai dengan tulisan Emmers:

“Governments enter alliances so as to enhance their power positions and to react to rising hegemonies in the international system.” (Emmers, 2004: 46)

Hal ini kemudian menjelaskan perilaku negara-negara kawasan di sekitar Indonesia untuk kemudian bergabung dengan aliansi militer—collective security, sepertihalnya Thailand dan Philipina yang tergabung dalam SEATO (South East Asia Treaty Organization) yang dipegang oleh Liberal-kapitalis Amerika. Serta kecenderungan Malaysia dan Singapura bersama dengan Selandia Baru dan Australia, ikut serta Five Power Defence Arrangements[14]. Sedangkan Indonesia, bersikap berseberangan dengan bergabung dengan Poros Jakarta-Peking dan Nefo—New Emerging Forces yang dimotori oleh China dan komunisme Uni Soviet. Dua kekuatan yang pada Perang dingin saling berhadapan dan bertentangan.

Relevansi dari politik balance of power adalah kerjasama keamanan yang diciptakan oleh Malaysia dan Singapura, bernama ASEAN. Kala itu Indonesia adalah sebuah hegemon alami di Asia Tenggara karena skala dan populasinya (baik dalam kekuatan militernya dalam mencapai kemerdekaan, kondisi geografis, populasi yang besar, posisi yang strategis, dan sumber daya alamnya yang melimpah). Kepemimpinan baru di Jakarta menyadarkan adanya ketidakpercayaan yang dikukuhkan di pusat ASEAN lainnya dalam menanggulangi posisi Indonesia di Asia Tenggara. Kemudian muncullah kesadaran bagi indonesia bahwasanya ASEAN dapat bekerja sebagai faktor pemaksa dalam menjalankan politik luar negeri dan secara alami Indonesia pun menjadi pemimpin dalam asosiasi tersebut.

Selanjutnya, ASEAN sebagai jembatan sekaligus barier regional terhadap ancaman meluasnya ideologi dan pemahaman politik karena pengaruh komunisme di Indochina dan Uni Soviet yang berimplikasi konflik politis baik secara internal dan eksternal, hal tersebut adalah konsekuensi terhadap iklim politik antara komunisme Uni Soviet dan liberalisme Amerika.

Page 19: Must Read!!!

Keadaan yang demikian menjadi justifikasi pernyataan balance of power yang berasumsi bahwa posisi state berangsur-angsur dapat menjadi ancaman bagi eksistensi state yang lain[15]. Untuk menghindari perang pecah dan instabilitas keamanan regional sekaligus menjamin pemeliharaan sistem state yang ekivalen sebagai upaya preventif terhadap hegemoni, maka suatu balancing menjadi mutlak diperlukan dalam beragam diplomasi bilateral dan regional, utamanya dalam ASEAN. Salah satu strategi balancing yang digunakan ASEAN yakni cooperative security yang melibatkan aksi diplomasi melalui dialog dan forum regional—misalnya ASEAN Regional Forum, yang di dalamnya membahas berbagai permasalahan sosial dan ekonomi utamanya.

Sayangnya strategi cooperative security yang demikian memiliki kelemahan. Sebagaimana yang diungkapkan terdahulu oleh Morgenthau dimana strategi balance of power menawarkan solusi parsial semata dan mengandung ketidakpastian dan kurang efektif[16] sebagaimana dikutip:

“Morgenthau refers to its main weaknesses as being ‘its uncertainy, its unreality, and its inadequacy’” (Emmers, 2004: 47).

Sedangkan pemikir lain, seperti Emmers mengutarakan cooperative security tidak memberikan aksi secara langsung dan tepat sasaran, disebabkan pertemuan dan diskusi melalui forum yang terjadi hanya angin semata dan tidak lebih dari ucapan bibir dari diplomasi politik guna merenggangkan tensi dan ketegangan akibat konflik regional karena salah paham maupun saling curiga[17].

“…cooperative security, unlike collective security, lacks of the vehicle of economic or military sanctions…cooperative security focuses on confidence building and a reventive dimension, albeit not through problem solving.” (Emmers, 2004: 50)

Dengan demikian strategi cooperative security yang semula dimaksudkan untuk sebagai kendaraan sosial dan ekonomi menjadi irrelevan karena lemah terhadap pemberian sangsi militer dan embargo ekonomi yang jelas. Hal tersebut menjadi kelemahan ASEAN yang cenderung tidak tegas, tidak jelas, dan menjadi tidak netral terhadap berbagai konflik regional. Sebagaimana konflik yang terjadi antara Kualalumpur-Jakarta mengenai batas teritorial dan perairan terhadap permasalahan Pulau Sipagan-Ligitan-Ambalat.

SIMPULAN

Balance of power menjadi ide politis sekaligus strategi kebijakan dalam menyediakan alternatif-alternatif yang bertujuan menangkal peluang adanya kekuatan dominan / hegemon yang berpotensi mendesak dan mengancam eksistensi negara-negara yang secara geografis berdekatan dan bertetangga. Balance of power merupakan panduan perumusan kebijakan politik luar negeri dan penyusunan perjanjian—agreement dalam kerangka analisis untuk memprediksi perilaku negara-negara khususnya yang sekawasan dalam melakukan check and balance posisi dan kekuatan negara satu dengan yang lain. Konsep Balance of Power dapat menjelaskan pendirian ASEAN, sebagai rezim keamanan dalam usaha menjamin kestabilan kawasan terhadap ancaman luar dan posisi kuat negara lain, dengan cara menggunakan nilai-nilai balance of power yang berkaitan dengan keamanan, yakni cooperative (ASEAN), collective (keikutsertaan negara anggota ASEAN yang lain dalam Nefos, Poros Jakarta-Peking, SEATO dan Five Power Defence Arrengements) dan comprehensive security

Page 20: Must Read!!!

(memperluas area kerjasama dalam bidang sosial dan ekonomi. Cooperative security rezim keamanan ASEAN meliputi kewajiban untuk menjaga kestabilan keamanan masing-masing negara; sementara collective security rezim keamanan merupakan usaha secara kolektif menjaga kestabilan keamanan kawasan dengan mengembangkan kepercayaan sebagaimana mengikuti PBB dan organisasi keamanan internasiaonal—SEATO.

OPINI

Akhirnya, konsep Balance of Power ditujukan untuk menciptakan stabilitas keamanan dengan mengedepankan aspek menentang hegemoni dan membatasi ruang geraknya supaya tidak mendesak negara lain yang lebih lemah maupun secara signifikan-insignifikan terancam, bukan lagi untuk menciptakan distribusi power secara paralel antarnegara sebagaimana pengertian tentang Balance of Power sebelumnya. Alur yang demikian sesuai dengan pemikiran realis di mana balance of power menjadi strategi keamanan yang secara inheren efektif untuk menciptakan stabilitas keamanan yang toleran dan favor bagi negara-negara yang berkonflik. Selain itu, balance of power berhasil menawarkan alternatif bagi strategi politik luar negeri yang efektif walaupun sebenarnya cenderung tidak adequate. Sementara itu, ASEAN hanya menjadi wadah dan tool untuk menjangkar dan membatasi ruang gerak Indonesia yang saat itu sangat potensial menjadi hegemoni di Asia tenggara dikarenakan potensi kekayaan alam, populasi dan iklim politis kharismatik Soekarno saat itu sehingga yang demikian membuat posisi Indonesia dalam catur politik internasional, utamanya regional, menjadi ancaman bagi tumbuh kembangnya iklim politik bilateral dan regional negara tetangga. Oleh karena itu, di Asia Tenggara balance of power melahirkan upaya preventif yang sukses dalam menghambat terbitnya hegemoni sebagaimana tujuan fundamental awal teori balance of power, meskipun di sisi lain tidak diimbangi dengan kekuatan untuk menjalankan sangsi ekivalen terhadap negara satu sama lain dan kurangnya check and balance yang ideal.

WORDS CAN HURT   YOU

Review : Words can hurt you; or, who said what to whom about regimes by Ernst Haas

“Words can hurt you: the studying of regimes”

Pengertian tentang regimes yang diberikan oleh sarjana-sarjana hubungan internasional banyak yang mengambil dari berbagai perspektif, contohnya pengertian yang didasarkan pada paham Marxist, neomercantilist dan berdasarkan beberapa studi secara normatif lainnya. Sedangkan yang lainnya kemudian mencoba untuk menguraikan pengertian rezim dimana kemudian berupaya menggabungkan berbagai pandangan serta mengambil benang merah di antara keduanya. Oleh karena itu, banyak sekali pengertian-pengertian yang kemudian digunakan untuk menjelaskan sekaligus mempelajari rezim. Namun demikian yang paling signifikan adalah penulis memperkenalkan pandangannya evolutonary epistemology,bahwasanya studi rezim lebih dari sekedar studi mengenai kolaborasi internasional/kerjasama internasional melainkan studi yang juga mengaitkan bagaimana homo politicus berhubungan satu sama lain (saling menjelaskan) dengan nature dan culture¸sebagai tambahan yakni juga studi tentang apa-apa yang telah terjadi dan memprediksikan tentang apa yang akan terjadi.

Page 21: Must Read!!!

Rezim kemudian perlu dipahami sebagai sebuah solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada, selain itu rezim juga perlu dipahami sebagai suatu perubahan yang telah terjadi sebagai respon terhadap hal-hal yang selama ini konstan (menjemukan). Adanya pandangan bahwa rezim itu dapat dikatakan sebagai perubahan maka tercipta sebuah rezim yang akhirnya dalam keadaan tertentu (terpaksa) membuat hal-hal lain yang mengikutinya ikut berubah. Sebagai contoh yang disebutkan dalam artikal Haas, antara lain adanya penetapan peraturan Law of The Sea (LOS) yang berawal norma ingin menciptakan akses laut terbuka, menyebabkan hal-hal lain yang berhubungan dengan di atas terpaksa berubah mengikuti:berubahnya batas-batas laut teritorial, zona-zona konservasi, zona bebas polusi, restriction on transit, dan pengawasan terhadap penambangan lepas pantai. Dengan demikian, pemahaman tentang rezim secara singkat dapat dirumuskan sebagai hal yang membawa perubahan,mengangkat sesuatu yang benar-benar baru menjadi perihal yang lebih penting, yang beranjak dari norma tertentu.

Idealnya, rezim lebih dari suatu ide/gagasan yang muncul atau dibentuk dari adanya ketergantungan yang kompleks atau rumit, lebih lanjut ketergantungan kompleks yang dimaksud adalah ketergantungan pada pentingnya ada norma, asas-asas, peraturan dan decision-making procedure yang mengatur perihal tertentu, yang semula diabaikan menjadi hal yang kemudian signifikan. Rezim pula dimengerti tidak hanya sebagai hubungan yang timbul karena tercipta kerjasama, bahkan ada yang berpendapat bahwa rezim bukan merupakan ide untuk kemudian mengembangkan suatu kerjasama sehingga rezim kemudian di mengerti sebagai suatu hubungan permainan koordinasi dalam memainkan kebijakan-kebijakan, entah kebijakan yang bersifat selfhelp (berdasarkan pandangan realism) ataupun menghindari hubungan konfliktual sebaliknya menjalin kerjasama (secara ideal).

MEMPELAJARI REZIM

Adapun cara yang digunakan untuk mempelajari rezim adalah dengan melakukan analisa terhadap perkembangan (evolution) dari variabel-variabel: kepentingan, kepentingan yang sama, kerugian-kerugian, keuntungan-keuntungan, dan serta kebutuhan publik. Selain itu, secara singkat juga diuraikan asas struktural yang menjelaskan tentang rezim. Asas-asas struktural dan menjelaskan bahwasanya ada kepentingan yang melekat dengannya sehingga artinya rezim bekerja berdasarkan asas-asas struktural. Yang kemudian dengan jalan menjalin koordinasi kebijakan dan kemudian merumuskan kerjasama yang berdasarkan atas ketentuan-ketentuan yang biasanya disepakati bersama. Sedangkan perkembangan rezim yang lebih jauh, kemudian akan menjelaskan secara spesifik terbentuknya organisasi internasional dan lembaga-lembaga lainnya yang secara keseluruhan atau pada umumnya menggunakan prinsip ketergantungan, melekat di dalamnya asas-asas untung rugi. Sebagaimana jika dianalogikan ke dalam prinsip ekonomi; karena ada ketergantungan maka digunakan prinsip-prinsip ekonomi: rezim diibaratkan sebagai sebuah produk/jasa, sedangkan pendekatan-pendekatan dalam hubungan internasional:liberalis, merkantilis, realis dan marxis; mewakili masing-masing firma dalam prinsip dan ketentuan yang berlaku pada pasar tidak sempurna. Karena dilihat dari sudut adanya pertukaran rezim maka dikenal adanya pendekatan menggunakan teori keseimbangan, sudut pandang yang diperkenalkan antara lain: mechanical dan oraganic metaphor.

KESIMPULAN

Pertama, tidak cukup mempelajari rezim hanya pengertian-pengertian yang spesifik dan begitu pula sebaliknya tidak cukup pula jika mengandalkan gabungan dari kesemua

Page 22: Must Read!!!

pengertian tersebut lalu menyimpulkannya berdasarkan pada persamaan maupun perbedaan yang dapat dijelaskannya. Hal ini kemudian mendorong untuk menggunakan pendekatan lain dimana berusaha memahami asal rezim dengan menganalagokikannya dengan prinsip dan dasar-dasar pendekatan ekonomi. Dinilai, cara tersebut sangat membantu yang kemudian muncul pendekatan secara (menyerupai) liberalis, merkantilis, marxist: organic methapor (cenderung bersifat sebagai coagulated menyediakan solusi bagi permasalahan-permasalahan karena pandangannya—eco-environmental, ecoreformist dan egalitarian;) dan mechanic methapor (cenderung berpandangan pesimis: dunia bersifat stabil, dengan sistem tertutup—closed system dimana tindakannya dikendalikan oleh ketentuan yang mengatur mereka).

THE DYNAMIC OF INTERNATIONAL   REGIMES

Review : Regime dynamic: the rise and fall of int’l regimes by Oran Young

“Regime Dynamic: the rise and fall of int’l regimes”

Dalam artikel Oran Young: Regime Dynamic: The Rise & Fall of Int’l Regimes, dinyatakan bahwa rezim merupakan institusi sosial sekaligus bentuk struktur sosial yang bergerak berdasarkan spesifik kegiatan tertentu. Karena berupa institusi sosial maka dapat dikenali dengan menganalisa pattern of behavior-nya. Namun demikian istilah rezim tidak terlalu sering digunjingkan dalam sistem dan dunia internasional dan tidak berdiri karena ada perjanjian tertulis tertentu sepertihalnya PBB yang lahir dari Piagam Atlantik, bahkan dalam sistem internasional rezim merupakan bentuk akumulasi kepentingan-kepentingan anggotanya. Oleh karena itu, rezim memiliki bentuk sebagai struktur sosial. Sepertihalnya organisasi internasional memiliki peraturan yang mesti ditaati oleh anggotanya, rezim juga memiliki order, rules, norms, principles dalam pembuatan keputusannya yang disepakati bersama. Seperangkat order tersebut, oleh O Young diistilahkan dengan types of order; terdiri dari spontaneous order[1], negotiated order[2] & imposed order[3] dimana setiap order memiliki karakteristik yang membedakan satu sama lain. Hal ini memberi kontribusi pada penjelasan selanjutnya yakni tentang ‘formasi rezim’. Selain mengalami formasi, rezim juga mengalami transformasi, ditekankan disini bahwasanya rezim bersifat fleksibel artinya berubah secara dinamis menyesuaikan dengan perubahan kepentingan aktor-aktor di dalamnya serta mengikut pengaruh perubahan pada situasi politik, ekonomi dan sosial; sedangkan norma dan asas-asasnya tidak mengalami perubahan adapun jika berubah hal itu berdasarkan kondisi/ syarat-syarat tertentu. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil garis besar bahwa rezim bersifat fleksibel karena perubahan-perubahan internal.

Outline dalam artikel Oran Young terdiri dari dua hal utama: regimes as human artifacts, regime formation & regime transformation. Berikut review singkat:

Pengertian regime as human artifacts: bahwa rezim memiliki arti erat dengan perilaku kelompok individual yang ada di dalamnya; berfungsi sebagai insitusi sosial, rezim merupakan konvergensi antara harapan-harapan dan pola perilaku dan praktik anggotanya. Oleh karena itu, kelompok individual tersebut  cenderung merupakan bagian dari sistem sosial daripada sistem natural, menyebabkan rezim memiliki penyimpangan[4] sebagaimana intitusi sosial pada umumnya. Oleh karena tidak ada yang sesuatu yang sempurna, maka dapat dikatakan bahwasanya rezim itu mirip dengan perilaku manusia, dalam hal ini disebut dengan istilah human artifacts.

Page 23: Must Read!!!

Pengertian regime dalam regime formation: bahwa rezim dibentuk oleh types of orders. Pertanyaan berikutnya: order mana yang paling signifikan di atas yang lain? Order mana yang mesti dianut lebih dulu dalam rezim? Baik spontaneous order mengarah pada batasan-batasan formal pada kebebasan aktor-aktor individual, meskipun di sisi lain memberikan  dorongan pada bentuk tekanan-tekanan sosial yang effektif. Sebaliknya, negotiated order identik dengan kerugian dan pengenalan yang progresif terhadap pembatasan pada kebebasan individual. Sedangkan imposed orders dibuat untuk keuntungan kekuatan hegemoni yang dominan, menghasilkan output pada kondisi yang berangsur-angsur mengarah pada outcome yang tidak efisien, misalnya kelahiran merkantilis, sistem guild pada feodalisme, kolonialis dan lainnya. Berdasarkan uraian di atas, simpulanny: types of order bisa saling berbenturan satu sama lain. Setiap order memberikan option berbeda bagi setiap kelompok individual, maka manakah yang paling effektif untuk diterapkan adalah tergantung pada keputusan setiap kelompok individu. Oleh karena itu, tidak membuat perbedaan order manakah yang mesti dianut.

Pengertian tentang regime transformation: bahwa transformasi rezim ditentukan oleh perubahan pada tiap-tiap order daripada perubahan pada struktur sistem internasional itu sendiri.

SIMPULAN

Rezim lebih cenderung dilihat merupakan intitusi sosial yang meskipun berdiri dan bergerak secara independen,tetapi harus tetap berada dalam area yang diawasi oleh intitusi di atasnya, misal organisasi internasional. Berbeda dengan organisasi internasional pada umumnya yang didirikan berdasarkan perjanjian tertulis dihadiri oleh sejumlah negara-negara dunia, tidak demikiannya dengan rezim: rezim tidak lahir dari perjanjian besar; oleh karena itu, hal ini pula menyebabkan rezim bertindak secara spesifik. Perilaku suatu rezim membentuk rezim; ditentukan oleh adanya set of orders. Types of order tersebut, merupakan sumber dari transformasi yang terjadi secara internal di dalam rezim itu sendiri. Tranformasi inilah yang menciptakan konflik dan permasalahan sehingga terkadang rezim itu harus bersifat fleksibel: berubah secara dinamis supaya tetap bertahan. Bagi rezim yang tidak dapat melakukan penyesuaian dengan iklim politik, ekonomi dan sosial yang dinamis, mesti harus ditanggalkan karena sudah tidak dibutuhkan.

opini: melakukan analisa terhadap bagaimana rezim itu lahir dan kemudian runtuh, tidak hanya diperlukan satu sudut pandang. Jika organisasi internasional dapat dipandang sebagai sebuah rezim, maka tidak demikian halnya dengan rezim: rezim tidak bisa dipandang sebagai sebuah organisasi internasional. Hal ini yang membuat rezim berbeda dengan rezim, dikarenakan rezim identik dengan institusi sosial yang independen tapi tetap berada dalam area konvensi-konvensi sosial. Hal ini selaras dengan kutipan: “(its) conventionalized behavior or behavior  based on recognizable social conventions”. Menurut saya lebih mudah memberikan pengertian bahwasanya rezim tidak bisa dicampuradukkan dengan bentuk organisasi internasional dikarenakan ruang gerak rezim yang cenderung masih terbatas pada restriksi-restriksi internal yang dibuat dan disepakati bersama. Oleh karena itu, akan lebih mudah memahaminya dengan memandang rezim merupakan bentuk institusi sosial yang bersifat fleksibel dan dinamis, dimana gerakannya dapat disesuaikan dengan perubahan (pengaruh) iklim politik, ekonomi dan sosial faktor-faktor lingkungannya.[5]

Page 24: Must Read!!!

[1] Spontaneous order:order yang terjadi begitu saja karena koordinasi yang tidak direncanakan antarpelakunya; muncul karena semakin intensenya interaksi yang terjadi di antara pelakunya

[2] Negotiated order: order dibuat karena direncanakan untuk mendukung provisi mayoritas

[3] Imposed order: (biasanya) dibuat oleh kekuatan dominan; membuat pelaku lain mengikuti melalui keterpaksaan disebabkan karena tidak ada opsi lain kecuali tunduk, koersi, kooptasi dll

[4] Penyimpangan yang dimaksud: bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna; disebabkan oleh adanya konflik dan problem antarkepentingan anggota-anggotanya sehingga sering kali rezim memberikan keuntungan pada kelompok individual yang dominan dan sebaliknya membawa disadvantage pada sisa anggota yang lainnya: yang tidak dominan

“HEGEMONY AFTER WAR: US’S ROLE ON INTERNATIONAL POLITIC”

Pembentukan awal rezim internasional mulanya lahir karena keberadaan kekuatan hegemoni yang merupakan faktor dominan penting dalam menciptakan iklim supaya rezim dipatuhi oleh anggotanya sebab dilengkapi oleh seperangkat norms, principles, dan rules dalam decision making yang mengijinkan tiap anggota rezim untuk mengontrol perilaku anggota yang lain. Mengingat pentingnya hegemoni dalam rezim yakni memberi kontribusi positif bagi terciptanya lebih banyak agreement yang dipayungi oleh rezim internasional, adanya kekuatan hegemoni juga menjadi sumber konflik dalam politik internasional yang cenderung anarkis dan didasarkan pada self-egoistic individuals karena adanya hegemoni justru menciptakan penyimpangan sehingga membuat rezim menjadi bias. Salah satu kekuatan hegemoni yang momentous ialah peranan Amerika dalam politik internasional sekaligus hubungan internasional, salah satu studi kasus penting adalah usaha Amerika dalam memenuhi kebutuhan minyak industrinya adalah dengan menciptakan rezim internasional baru[1] dengan mengumpulkan anggotanya yang terdiri dari produsen minyak dunia sekaligus melakukan kontrol terhadap harga minyak agar selalu stabil dan menguntungkan pihak dominan sekaligus mengurangi uncertainties sekaligus mendorong lebih banyak kooperasi yang menguntungkan partner Amerika dan mengurangi transaction costs. Rentang tahun 1977, Amerika saat itu memiliki peran penting di daerah Atlantik Utara; menjaga kestabilan kapitalisme internasional merupakan norm yang dianut Amerika sehingga ketika Amerika membuat rezim sekaligus memaksakan ideologi hegemoni Amerika maka dari itu Amerika cenderung menanamkan sumberdaya dalam mendirikan international arrangement—penyusunan internasional dengan peraturan yang telah disepakati dan diketahui sebelumnya sekaligus formasi dari rezim internasional menjamin legitimasi adanya perilaku standard yang dimainkan oleh aktor hegemoni dalam menjaga efektivitas rezim. Tentu saja masuk akal bagi Amerika jika kemudian Amerika mengikatkan diri dalam rezim sekaligus mendorong weaker states untuk menyetujui dan mengikuti kepemimpinan Amerika. Setelah perang dunia II Amerika memantapkan perannya sebagai kekuatan dominan utama dalam ekonomi politik dunia untuk menciptakan hegemoni yakni mendapatkan influence effect[2] dalam memasok bahan baku dari negara-negara lain: (1) sistem moneter internasional yang stabil—untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang liberal, (2) menyediakan povisi pasar terbuka, (3) kemudahan akses minyak pada harga yang stabil—perusahaan amerika berusaha untuk menyediakan minyak ke Eropa, Jepang serta Timur Tengah.

Studi Kasus

Page 25: Must Read!!!

Studi kasus penanaman hegemoni Amerika Serikat pada lapangan perdagangan meliputi empat hal yaitu: usaha amerika untuk mengontrol minyak Arab antara 1943-1948, yang meliputi Anglo-American Petroleum Agreement di 1943-45; the sterlingdollar oil problem of 1949-50; British dan intervensi Amerika di Iran antara 1951-1954, termasuk pembentukan Iranian Consortium di tahun berikutnya; Emergency Oil Lift Program yang merupakan implementasi United States terhadap invasi Anglo-French pada Mesir di 1956. Beberapa kasus di atas secara langsung maupun tidak telah menunjukkan dominasi Amerika dalam minyak internasional yang diyakini merupakan produk dari pemerintah amerika bekerja sama dengan pihak perusahaan besar yang berkepentingan yang biasanya pemerintahlah yang memegang kendali. lebih jauh, pengawasan kontrol minyak merupakan sumber politik bagi Amerika bekerjasama dengan Eropa sebagai mitra utama Amerika dalam politik internasional.

SIMPULAN

Barangkali jelas jika Amerika serikat sebenarnya memainkan peran kepemimpinan hegemoni selama tahun 1950 meskipun Amerika belum sepenuhnya mendikte arah—utamanya dalam rezim perdagangan dan perjanjian—politik internasional. Walaupun demikian secara tidak langsung Amerika mempunyai beragam cara dalam menyediakan insentif  perdangan dan moneter utamanya dalam kasus fenomenal dimana Amerika berusaha untuk menanamkan dominasi pada pasar minyak di Timur Tengah dan beberapa negara lain di dunia. Adanya rezim merupakan wadah utama bagi pemerintah Amerika untuk memfasilitasi perusahaan besarnya untuk berkembang dan mendapatkan pasar liberal yang bebas dan kapitalis dalam politik internasional.

OPINI

Meski pada awal pembentukan rezim mutlak selalu didasari adanya kekuatan hegemoni dominan yang mempermudah rezim untuk menerapkan beragam peraturan supaya ditaati oleh member-membernya. Adanya kepentingan hegemoni dalam rezim merupakan hal yang tidak bisa diabaikan, namun pada dasarnya kekuatan hegemoni bukan merupakan fundamental utama dalam menjaga eksistensinya karena absennya hegemonic stability tidak menyebabkan suatu internasional regimes runtuh dikarenakan absennya hegemoni bisa digantikan oleh functional rezim antara lain: menyediakan symmetries information, reducing transaction cost, providing certaintisi dan regime as problem solving to create agreements  that would give benefit at the lowest level.

A FUNCTIONAL THEORY OF INTERNATIONAL   REGIMES

Review : A Functional Theory of International Regimes by Robert O Keohane

“A Functional Theory of International Regimes”

Artikel Robert Keohane: A Functional Theory of International Regimes, menyatakan rezim internasional sangat fungsional untuk memfasilitasi terjadinya tawar menawar serta mengantarkan terjadinya negosiasi kepentingan-kepentingan dimana rezim merupakan effective tool supaya perjanjian antaraktor state lebih mudah diciptakan melalui adanya koordinasi kolektif dan kerjasama yang efektif. Dalam koordinasi dan kerjasama tersebut,

Page 26: Must Read!!!

tentunya, tidak ada member suatu rezim yang diuntungkan sepenuhnya, begitupun sebaliknya tidak ada yang benar-benar dirugikan karena selalu tersedia alternatif yang pada tingkat minimum, tidak mengakibatkan terlalu banyak kerugian/ keuntungan bagi salah satu pihak. Karena itu rezim berfungsi mengurangi kerugian dan ketidakpastian legitimate transaksi sekaligus meningkatkan keuntungan illegitimate transaksi sehingga dicapai kesepakatan yang pada tingkat paling minimum terdapat mutual benefit. Hal ini sejalan dengan pernyataan Coase: “actors do not bear the full costs or receive the full benefits of their own actions.” Dengan demikian, rezim dapat dijelaskan dengan bantuan pendekatan Coase (Coase Theorem) yang berbunyi: permasalahan dalam politik internasional dapat diatasi melalui tawar-menawar dan penyesuaian mutual. Hal ini mengarah pada penciptaan beberapa kondisi tertentu, yang paling crucial antara lain government authority, perfect information dan zero transaction costs[1]. Meski demikian, dalam beberapa kondisional Coase theorem mengarah pada simpulan bahwa tidak sebegitu mudahnya menerapkan Coase theorem pada situasi politik dunia.[2] Coase theorem menarasi beberapa isu yang berkaitan dengan fungsional rezim internasional, isu-isu tersebut antara lain legal liability, transaction costs, uncertainty & information dengan beberapa kesulitan yang mengikutinya yaitu asymmetrical information[3], moral hazard[4] dan irresponsibility[5]. Legal liability tidak diciptakan oleh government authority, tapi hal ini tidak menghalangi rezim berkembang meskipun pada kenyataannya bahkan legal liability dibelokkan oleh aksi sovereign states. Rezim memberikan alternatif transaction cost dari suatu kerjasama yang ditawarkan apakah membuatnya jadi lebih sulit atau lebih mudah dalam menghubungkan isu-isu dalam politik internasional. Rezim mengurangi uncertainty & memberi information dalam menjalin kesepakatan internasional. Uncertainty bersifat merugikan,  disebabkan karena perbedaan distribusi informasi yang tidak seimbang, biasanya terjadi dishonest possible behavior; irresponsibilty: member rezim bisa berperilaku inkonsisten dengan komitmen yang tidak mampu mereka beban. Oleh karena itu, diperlukan satu kekuatan dominan untuk membuat member-member tunduk pada prinsip, norma dan rules. Gagalnya sistem pasar merupakan akumulasi dari ketidakseimbangan distribusi informasi termasuk teknologi di dalamnya, rezim dalam hal ini berposisi untuk membuat ketidakseimbangan tersebut berkurang. Idealnya, rezim internasional merupakan government assistant untuk meraih keuntungan yang semula mustahil, karena itu dalam hal ini rezim menjadi important values untuk government. Jelas ini merupakan penjelasan bahwa rezim berfungsi secara fungsional untuk memfasilitasi dan memberi solusi dalam mengatasinya penyimpangan—deviant behavior—yang bisa menyebabkan kondisi ideal berdirinya rezim bisa sama sekali berubah dengan kondisi kontemporer. Dalam hal ini, rezim internasional mutlak diperlukan dan mengandung beberapa nilai dalam dunia internasional antara lain: mengurangi hambatan-hambatan yang disebabkan oleh transaksi internasional dan ketidakpastian di dalamnya, rezim lebih mudah dipelihara daripada diciptakan oleh sebab itu ketika rezim kali pertama diciptakan memberikan keuntungan-keuntungan—yang secara ideal, berlevel simetris[6]. Problem dalam konflik politik internasioal merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan begitu pula dalam rezim itu sendiri. Namun, dalam posisi demikian rezim selalu ditempatkan sebagai penengah , dibuatlah berbagai macam rezim yang mengatur sangsi serta peraturan antarmembernya dimana setiap rezim dan rezim yang lainnya merupakan korelasi yang utuh sehingga dapat menciptakan iklim kerjasama yang  kolektif  dan mutual beneficial.

SIMPULAN

Rezim dianalogikan sebagai suatu institusional sosial yang terdesentralisasi[7], memiliki fungsional sebagai tempat tawar-menawar—bargaining—antaraktor state. Dalam kegiatan tersebut, rezim diposisikan untuk memberikan equilibrium balance yang fair dimana tidak

Page 27: Must Read!!!

terjadi ketimpangan distribusi informasi, ketimpangan moral serta ketidaktanggungjawaban di antara membernya. Rezim lebih dari sekedar merupakan government assistant, rezim juga memiliki nilai-nilai fungsional untuk mempermudah terjadinya agreement yang pada tingkat minimum disepakati oleh kedua pihak[8].

PENDAPAT

Keohane membuat jelas bahwasanya rezim bergerak dan beroperasi di bawah prekondisi situasi yang spesifik: state yang memiliki kepentingan hampir serupa dalam spesifik isu tertentu, selayaknya aktif secara sadar dalam suatu cooperation. Dalam beberapa kondisi, state memang memiliki mutual interest, artinya politik internasional bukan lagi praktik zero-sum game. Namun juga tidak menutup kemungkinan, meskipun state memiliki mutual interest masihkah akan bekerjasama? State berperilaku independen, meskipun keberadaan dari mutual interest tersebut adalah esensial, namun tidak cukup untuk menjadi fondasi pondasi menjalin kooperasi.[9]

[1] Namun, dalam konteks politik internasional yang real dan anarkis, kondisi ini sulit dijelaskan dalam perspektif tersebut.

[2] Karena Coase theorem gagal menjelaskan dasar game theory dengan lebih dari dua aktor dan oleh karena itu tidak menjamin stable condition yang berlangsung terus menerus karena pada dasarnya akan selalu timbul konflik yang bersumber pada dilemmas of colective actions

[3] Ketidakseimbangan distribusi informasi yang sangat potensial untuk menciptakan kooperasi yang cenderung tidak fair

[4] Kecendurungan untuk berperilku menyimpang dari set of rules yang ada

[5] Kecenderungan untuk tidak konsisten dengan komitmen yang disepakati bersama

[6] tidak sepihak/ sepenuhnya menguntungkan maupun merugikan

[7] Meski cenderung independent, berdiri sendiri, fleksibel dan spesifik; tetapi merupakan suatu kolektivitas yang utuh antara rezim yang satu dan yang lainnya. Sehingga dapat gabungan rezim dapat memberikan solusi bagi konflik kepentingan antaranggotanya

[8] Sesuai dengan Coase theorem

THE DEMAND OF INTERNATIONAL   REGIMES

Review : The Demand of International Regimes by Robert O Keohane

“The Demand of The International Regimes”

Dalam artikel: The Demand of The International Regimes, Robert Keohane menarasikan bahwa rezim dianggap efektif selama  demand—permintaan adanya rezim dalam politik internasional—diperlukan. Namun, hal itu bukan merupakan hal yang mutlak karena disamping itu juga terdapat beragam perbedaan kondisi di mana demand rezim semakin

Page 28: Must Read!!!

berkurang sebagaimana juga eksis kondisi lain dimana rezim menjadi lebih signifikan meski tanpa kekuatan aktor dominan. Rezim lebih dari suatu yang independen dalam politik internasional yang berperan sebagai fasilitator terciptanya agreement dengan cara menyediakan seperangkat norma, peraturan dan prinsip sekaligus menyediakan informasi yang sufficient, mengurangi aymmetris information, mencakup moral hazzard serta mengurangi ketidakpastian—uncertainties. Rezim lahir guna menciptakan solusi tersebut untuk menyelesaikan masalah di dalam kompleksitas perilaku anggotanya yang spesifik. Rezim lahir ketika ada kekuatan aktor dominan di dalamnya (teori Hegemonic Stability—yang diisukan oleh teori internasional rezim oleh Neorealism[1]), hal ini sesuai dengan pernyataan seorang pakar ekonomi, Charles Kingleberger dalam Great Depression 1929-1939, “for the world economy to be stabilized, there has to be a stabilizer, one stabilizer“. Selanjutnya ketika kekuatan aktor dominan rezim tersebut berkurang atau berangsur menghilang, maka terdapat demand for regime yang berperan untuk menjaga agar rezim terpelihara. Demand for regime tersebut dapat dijelaskan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain:

1. Systemic constraint-choice analysis—sistem (selalu ada) pilihan-(namun dengan) batasan: menjelaskan perilaku anggota rezim yang tetap bergabung (mereka menganggap hal demikian merupakan minimum rational choice yang dapat mereka dapatkan dalam membership regime) dalam suatu rezim dimana setiap aktor baik yang kuat maupun yang lemah selalu memiliki pilihan meskipun mereka sedikit sekali diuntungkan (istilah ‘sedikit sekali diuntungkan’ inilah yang dimaksud adanya sejumlah batasan tertentu—constraints:constrains dapat didikte dari banyak pengaruh lingkungan baik geografi, keterpaksaan oleh yang lebih kuat) ;

2. 2. Function of international regimes[2]

Fungsional rezim internasional antara lain: information-providing, reducing transaction cost, dapat memaksakan restriksi sekaligus mengurangi ketimpangan informasi—information-asymmetries sehingga rezim mengijinkan anggotanya untuk saling kontrol perilaku member yang lain. Regime merupakan subtitute jika hegemon dominan mulai decline dalam beberapa fungsinya (mengurangi ketidakpastian, mengurangi transaction cost, dan menyediakan principles—aturan , asas kerjasama dll);

1. 3. Elements[3] of demand of international regimes

Agreement bisa terbentuk dengan atau ‘tanpa’ adanya rezim internasional, maka agreement yang lahir karena rezim internasional sebenarnya merupakan produk dan konsekuensi kooperasi yang harmoni: zero transaction cost, perfect symmetries information, certainties. Sehingga jika keadaan harmoni tersebut terpenuhi, keberadaan rezimpun tidak lagi dibutuhkan  karena rezim menjadi hal yang tidak efektif[4];

1. 4. Information and openness

Adanya ketidakseimbangan informasi antara aktor satu dengan yang lain akan menyebabkan unfair bargaining. Selain itu, studi behavioral aktor-aktor rezim mungkin menghasilkan bahwasanya salah satu aktor bisa saling tidak loyal satu sama lain sekaligus tidak berkenan untuk bersikap kooperatif—moral hazzard, sehingga rezim menjadi tidak efektif dan efisien. Adapun nilai moral yang mesti atau sering dianut biasanya adalah realitas. Selain itu, rezim bukan hanya sebagai instrumen yang mengurangi transaction cost, melainkan pula merupakan principles untuk menciptakan responsibility;

Page 29: Must Read!!!

1. 5. Coping with uncertainties: memanajemen ketidakpastian

yang tersebut di atas merupakan ketidakpastian-ketidakpastian yang menyebabkan suatu rezim menjadi efektif sekaligus hampir mutlak diperlukan. Jika rezim dapat mengendalikan (memanage) ketidakpastian yang lain tentu rezim akan terpelihara meskipun keadaan-keadaan yang favorable seperti pada awal pembentukan rezim tidak lagi ada.

KESIMPULAN

Demand rezim akan selalu eksis; jika bersandar pada moral rezim yang berdasar pada realitas, maka kondisi terciptanya kooperasi  yang harmoni adalah jarang. Kondisi yang banyak mempengaruhi sehingga rezim selalu diperlukan dalam politik internasional adalah : supply demand yang inadequate. Sebaliknya, politik internasional tidak lagi membutuhkan rezim jika terjadi pemerataan informasi serta absenny uncertainties yang diikuti oleh distribusi sumber power secara adil pada sesama member rezim.

PENDAPAT

Uraian di atas  menjelaskan sedikit dari sekian banyak variabel-variable penting yang mempengaruhi efektivitas rezim dalam politik internasional. Namun, satu hal yang belum disentuh dalam artikel adalah tentang distribution of power: rezim menjadi perihal yang tidak efektif lagi jika terjadi distribution of power resources equally among its members. Hal ini merupakan analysis dari Olsen’S Collective Action Theory: ‘Hegemonic stability dapat menjadi enhancer terjadinya kooperasi, tetapi terjadinya cooperation tidak selalu memerlukan peran satu kekuatan aktor dominan dalam International regime’. Rezim internasional idealnya mesti memiliki fondasi moral serta nilai-nilai—regime values yang tidak terbatas pada keinginan dan kepentingan aktor yang lebih kuat.

SUMBER

Keohane, Robert. 2004. The Demand of International Regime. New Jersey: Cambridge University Press. Ch. VI.

Keohane, Robert. 2004. After Hegemoni: Cooperation and Discord in World Political Economy. New Jersey: Princeton University Press

[1] OPINI: Pada akhirnya dibantah Keohane (lihat After Hegemony: Cooperation and Discord in The World Political Economy): Keohane tidak megingkari peran penting kekuatan aktor dominan dalam pembentukan rezim, walaupun demikian dijelaskan pula bahwa rezim bisa tumbuh dan berkembang tanpa kekuatan hegemoni. Bahkan suatu contoh rezim bisa diciptakan tanpa kekuatan hegemoni yang dominan: terciptanya rezim International Energy Agency pada tahun 1973 setelah kiris minyak dimana pada rentang waktu 1960-70, Amerika telah pelan-pelan mengurangi perannya sebagai hegemoni politik internasional

[2] OPINI: Selain itu rezim memiliki peran fungsional yang lain: (1) Regime as an Utility Modifier: bagaimana suatu rezim membuat aktor dalam membernya untuk kemudian terpaksa melakukan modifikasi pada beberapa kebijakannya agar sesuai dengan kesepakatan bersama atau pun sesuai dengan common aversions yang diyakini bersama;(2) Regime as a Learning facilitators: rezim gives rise to individual actor khususnya sebagai social institution;(3)

Page 30: Must Read!!!

Regime as a Bestower of Authority: rezim memiliki otoritas untuk menetapkan peraturan yang menuntut ditaati oleh membernya;(4) Regimes as Enhancers of Cooperation: rezim membuat membernya sepakat untuk menjalin kerjasama pada tingkat minimum keduanya mendapat keuntungan dan tidak dirugikan atas keuntungan dari pihak lain–kondisi pareto optima–sepakat untuk menciptakan equilibrium yang ditawarkan atau yang menjadi alternatif yang diberikan oleh rezim (SUMBER: Young, Oran R and Marc A Levy. 1999. The Effectiveness International Environmental Regimes. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology.)

[3] Elements of international regimes: supply&demand of International regimes; transaction cost—which highly depends on the dense of issues—as has been said the denserà the higher of interdependence and result is the high demand of agreement. The less dense of issueàless interdependence and then less on agreement, or adequate; demand on norms&principles and demand on specific information become less. It is therefore the demand of aggreement is reverse against demand on international regimes.

[4] Oleh karena itu, ketika supply for aggreement, meningkat maka demand for international regime menjadi berkurang—zero level. Begitupun sebaliknya jika kondisi kooperasi harmoni tidak tercapai: highly transaction cost, assymmetries information and uncertainties, maka demand for regime meningkat karena supply aggreement tidak memenuhi–inadequate;

“Balance Power in Cooperative Security   Regimes”

“Balance Power in Cooperative Security Regimes”

Artikel yang ditulis oleh Ralf Emmers mendiskusikan konsep Balance of Power dalam politik internasional dan regional terutama berkaitan dengan momen berdirinya ASEAN sebagai organisasi regional yang mengusung konsep cooperative security.

Balance of Power memiliki pengertian dengan aspek yang terlalu luas dan berisi banyak penjelasan dari beragam pandangan praktisi hubungan internasional; antara lain menyebutkan bahwa Balance of Power dalam konteks politik mencakup: (1)kondisi dan situasi terciptanya distribusi power (Inis Claude)*, (2)kebijakan untuk menciptakan keseimbangan supaya tidak tercipta satu kekuatan tunggal di atas lainnya—as a policy (Michael Sheehan)* sekaligus mempelajari state system—Balance of Power  as a system, (3)proses membuat seimbang kekuatan yang ada pada beberapa kelompok negara dalam politik internasional, regional maupun bilateral bahkan secara global. Meskipun pengertian Balance of Power demikian luas, namun kesemuanya memiliki kesamaan dasar dengan prinsipel dan nilai-nilai tertentu yakni Balance of Power muncul karena adanya ancaman dan kebutuhan untuk mempertahankan state system yang stabil. Sebagai tambahan, Balance of Power juga dimaksudkan sebagai pengertian dari upaya kolektif untuk mencegah adanya hegemoni berdasarkan pada politik internasional yang cenderung bipolar daripada unipolar.

Teori Balance of Power sebagian besar muncul secara eksklusif dari pemikir Realis yang meyakini bahwa Balance of Power bersandar pada kapabilitas dan kuantitas power suatu negara, dimana power diasumsikan sebagai akumulasi variabel (komponen-komponen politik, ekonomi, militer)—including intangible and tangible factors as well as hard power & soft power combined together. Walaupun demikian, teori Balance of Power mengandung

Page 31: Must Read!!!

sejumlah ketidakpastian yang mengakibatkan teori Balance of Power gagal menjadi barometer efektif untuk mengukur power yang dimiliki oleh negara.

BALANCE POWER OF POLITICS:

Balance of Power & Collective Security

Balance of Power bukan merupakan ide yang sama sekali baru, karena pada awal abad 19, konsep Balance of Power telah tertuang dalam kesepakatan-kesepakatan politik, pasca perang dan konflik, yang disimbolkan oleh aliansi-aliansi dan kooperasi dan untuk jangka waktu tertentu konsep Balance of Power terbukti menyediakan stabilitas regional bahkan internasional. Namun, kelemahannya adalah sistem politik internasional yang selalu dinamis; meski Balance of Power berkesempatan untuk menciptakan stabilitas (produk legitimasi Balance of Power[1]), bukan berarti Balance of Power terus menerus berpotensi melahirkan kondisi nonkonflik, terbukti PD II merupakan produk gagal ide Balance of Power. Jika demikian, maka konsep Balance of Power sebenarnya hanya berfungsi melahirkan opsi alternatif bagi terciptanya kerjasama keamanan yang lebih komprehensif. Namun adapula yang membuat persamaan konsep Balance of Power dengan konsep collective security, persamaan tersebut terletak pada keduanya yang merupakan usaha untuk menyeimbangkan kebijakan-kebijakan negara. Sedangkan perbedaannya berpijak pada alasan dari kegiatan menyeimbangkan kebijakan tadi. Balance of Power: berasal dari keyakinan bahwa setiap negara bertanggung jawab penuh dengan keamanan masing-masing; collective security: berasal dari satu alasan untuk menghindari satu ancaman yang sama.

Balance of Power & Comprehensive security

Comprehensive security merupakan seperangkat usaha untuk menciptakan keamanan kolektif dengan memperluas area isu politik internasional, lebih dari sekedar aspek militer melainkan juga meliputi fokus pada politik, ekonomi dan permasalahan sosial pada semua level analisis dan kerjasama. Hal ini kali pertama dipromotori oleh Jepang, untuk kemudian berusaha disesuaikan dengan konsep collective dan comprehensive security ASEAN dimana berdirinya ASEAN pertama kali berasal dari ide untuk menciptakan kemanan kawasan yang stabil dengan mengadakan kerjasama secara kolektif antarnegara sekawasan. Adapun kerjasama tersebut tidak terbatas pada isu militer dan keamanan secara fisik, melainkan mencontoh comprehensive security Jepang yang mengusung ide: keamanan kawasan dapat dijaga dengan stabil dengan memperluas area isu politik regional kawasan. Hal ini yang menciptakan perlunya suatu rezim keamanan untuk merealisasikan tujuan tersebut, sehingga Balance of Power menjadi faktor relevan untuk mendukung rezim keamanan.

The Relevance of Balance of Power factor to Regime for Cooperative Security

Rezim keamanan menyediakan norms, principles dan rules bagi anggotanya. Balance of Power akan menjadi relevan selama komponen-komponen rezim keamanan di atas tidak mengungguli pertimbangan-pertimbangan Balance of Power.

SIMPULAN

Konsep Balance of Power menjelaskan pendirian ASEAN, sebagai rezim keamanan guna menjamin kestabilan kawasan terhadap ancaman luar, dengan cara menggunakan nilai-nilai keamanan yakni cooperative, collective dan comprehensive security. Cooperative security

Page 32: Must Read!!!

rezim keamanan Asean meliputi kewajiban untuk menjaga kestabilan keamanan masing-masing negara; collective security rezim keamanan merupakan usaha secara kolektif menjaga kestabilan keamanan kawasan dengan mengembangkan kepercayaan sebagaimana nilai yang dianut Asean. Sedangkan comprehensive security berkaitan dengan perluasan area isu politik regional untuk menjamin keamanan kawasan yang lebih komprehensif dari sekedar hanya memiliki militer dan hardpower.

OPINI

Akhirnya, konsep Balance of Power ditujukan untuk menciptakan stabilitas keamanan, bukan lagi untuk menciptakan distribusi power secara paralel antarnegara sebagaimana pengertian tentang Balance of Power sebelumnya. Dengan demikian, the nature of Balance of Power theory has shifted and evolved.

SUMBER

Emmers, Ralf. 2004. Cooperative Security and Balance of Power in ASEAN and The ARF. New York: Routledge Curzon

*Teori Balance of Power, definition

[WEAKNESS AND ALTERNATIVES OF BALANCE OF POWER]

*Perbedaan teori Balance of Power sebagai kebjikan—policy dan sistem

*Asas-asas yang dianut oleh teori Balance of Power

*Teori balance of power berasal dari pemikiran Realis

*Power refers to? Sum of power components: realist and … mainstream?

*Balance of Power dimaksudkan untuk menolak adanya hegemoni berdasarkan pada politik internasional yang cenderung bipolar daripada unipolar

*Balance of power mengandung perngertian ketidakpastian dalam mengukur power

*Balance of power: power balancing between groups of states nor in bilateral relationship

*Kesamaan balance of power dengan cooperative security, collective security and comprehensive security

Relevansi Balance of Power faktor bagi rezim untuk cooperative security

NEOREALISME VS   NEOLIBERALISME

Devania Annesya

070810535

Page 33: Must Read!!!

[email protected]

Salah satu pemikir kaum neorealisme kontemporer terkemuka yang tidak diragukan lagi adalah Kenneth Waltz (1979). Ia mengambil beberapa elemen realisme klasik dan neoklasik sebagai titik awal pemikirannya. Ia percaya bahwa negara-negara berdaulat tumbuh dan bergerak dalam suatu sistem anarki internasional dengan mengabaikan pertimbangan normatif dan menyediakan teori HI yang ilmiah. Tidak seperti Morgenthau (1985), Waltz tidak memberikan pertimbangan pada sifat dasar manusia dan mengabaikan etika kenegaraan. Jika dalam realisme klasik para pemimpin negara dan penilaian subjektifnya tentang hubungan internasional merupakan pusat perhatiannya, neorealisme lebih memfokuskan sistem struktur terkait distribusi kekuatan relatif sebagai fokus analitis utama. Aktor-aktor dianggap kurang begitu penting lagi sebab strukturlah yang memaksa mereka melakukan aksi-aksi dengan cara tertentu. Struktur pada dasarnya menentukan tindakan para aktor (Waltz 1979: 97). Dengan kata lain, perubahan internasional terjadi ketika negara-negara berkekuatan  besar muncul dan tenggelam dan dengan demikian perimbangan kekuatan bergeser. Alat-alat yang  khas dari perubahan tersebut adalah perang antarnegara berkekuatan besar.

Baik realisme strategis (Schelling 1980: 1996) maupun neorealisme (Waltz 1979) sangat erat hubungannya dengan Perang Dingin. Keduanya kemudian merupakan teori HI yang merespon situasi sejarah saat itu. Waltz menyatakan bahwa sistem bipolar bersifat superior dari sistem multipolar sebab menyediakan stabilitas internasional yang lebih besar dan oleh karena itu keamanan dan perdamaian lebih baik pula. Ada tiga alasan dasar mengapa kondisi ini dianggap lebih menyediakan kestabilitasan internasional: pertama, jumlah negara berkekuatan besar hanya sedikit sehingga mengurangi resiko peperangan negara-negara besar; kedua, sedikitnya negara-negara berkekuata besar akan mempermudah sistem pemusatan; dan ketiga adalah dengan adanya dua kekuatan besar tersebut akan meminimalisir kesalahan perhitungan dan prediksi. Singkatnya dua superpower yang bersaing dapat terus menerus mengoreksi satu sama lain.

Sementara itu, kaum neorealis yang gencar menyerang pemikiran liberalisme pada akhirnya menerima perlawanan dari pemikiran neoliberalisme. Liberalisme klasik yang tidak bisa menjelaskan mengenai eksistensi anarki dalam sistem internasional dan mengapa negara tetap mau bekerja sama dalam kondisi tersebut, menjadikan asumsi dasar kaum neorealis sebagai titik awal analisis kaum neoliberalis.

Kaum neoliberalis menjelaskan realitas anarki internasional tidak perlu menjadi “anarki mentah” dengan dasar rasa takut dan ketidakamanan dari lingkungan sekitar. Menurutnya ada elemen lain yang cukup signifikan untuk diperhitungkan dari kekuatan internasional yang legal dan efektif. Ia percaya perdamaian dapat tercipta dalam sebuah bentuk kerjasama yang nantinya akan member efek interdependensi. Dan sistem internasional akan menyediakan sebuah institusi yang menyediakan norma dan nilai umum.

Dengan berakhirnya Perang Dingin beberapa isu tradisional menyangkut agenda riset kaum liberal mendapat urgensi baru. Misalnya tentang bagaimana demokrasi menuju perdamaian dan memahami tingkat yang tepat di mana negara-negara demorasi perlu digabung dalam upaya menjamin perdamaian demokratis. Konsep “komunitas keamanan” yang diajukan Karl Deutsch membutuhkan pengembangan yang lebih jauh. Pemikiran ini membantu dalam menekankan bahwa perdamaian lebih dari sekedar ketiadaan perang melainkan mengenai

Page 34: Must Read!!!

keberadaan “perdamaian hangat”, sebagaimana “perdamaian dingin” di era Perang Dingin. Dengan demikian akan meningkatkan intensitas kerjasama antarnegara (Mueller 1990; 1995)

Analysis

Neoliberalisme tidak menolak adanya anarki, self interest, dan state sebagai aktor utama di sistem internasional serupa dengan pemikiran neorealisme. Ia bahkan berangkat dari kritikan neorealisme dalam menjelaskan eksistensi anarki dalam sistem internasional. Jika neorealisme percaya bahwa kerjasama antarnegara hampir tidak mungkin dan sulit terjadi karena tidak adanya kepercayaan, neoliberalisme sebaliknya meyakini seberapa besar kontribusi kerjasama internasional dalam menjamin perdamaian sebagai akibat dari interdependensi di antara mereka. Namun jika diteliti dengan benar kedua teori ini tidak ada yang benar-benar “benar” dalam artian perlu mix diantara keduanya untuk menciptakan sebuah formula terbaik dalam menciptakan situasi damai dalam sistem internasional.

FEMINISM

Devania Annesya

070810535

[email protected]

Breaking with the powerful bond among manly men, states and war, feminist theories of international relations have proliferated since the early 1990s. These theories have introduced gender as a relevant empirical category and analytical tool for understanding global power relations as well as a normative position from which to construct alternative world orders. the political rupture created by the magnitude and significance of the events of September 11, 2001 has given new impetus to feminist perspectives on international relations. With their focus on non-state actors, marginalized peoples and alternative conceptualizations of power, feminist perspectives bring fresh thinking and action in the post-9/11 decentred and uncertain world. It differentiates three overlapping forms of feminist International Relations that represent a useful heuristic for discussing the varied contributions to the field. These are: (1) empirical feminism, that focuses on women and/or explores gender as an empirical dimension of international relations; (2) analytical feminism, that uses gender as a theoretical category to reveal the gender bias of International Relations concepts and explain constitutive aspects of international relations; and (3) normative feminism, that reflects on the process of theorizing as part of a normative agenda for social and political change. These forms do not prefigure or suggest any particular feminist epistemology.

Focusing on politics at the margins dispels the assumption that power is what comes out of the barrel of a gun or ensues from the declarations of world leaders. Indeed, feminist efforts to reinterpret power suggest that International Relations scholars have underestimated the pervasiveness of power and precisely what it takes, at every level and every day, to reproduce a grossly uneven and hierarchical world order (Enloe 1997). A first generation of feminist International Relations in the late 1980s sought to challenge the conventional ontological and epistemological focus of the field by engaging in what was called the ‘third debate’ among positivist and post-positivist. In this debate, feminist scholars contested the exclusionary, state-centric and positivist nature of the discipline primarily at a meta-theoretical level. Often

Page 35: Must Read!!!

implicit in their concern with gender relations was the assumption of a feminist standpoint epistemology. Such a standpoint maintains that women’s lives on the margins of world politics afford us a more critical and comprehensive understanding of international relations than the objectivist view of the realist theorist or foreign policy lens of the statesman since they are less complicit with and/or blinded by existing institutions and elite power (Keohane 1989a: 245; Sylvester 1994a: 13; see also Harding 1986; Tickner 1992; Zalewski 1993). A second generation of feminist research promises a new phase in the development of feminist International Relations. This emerging body of scholarship seeks to make gender a central analytic category in studies of foreign policy, security, global political economy through an exploration of particular historical and geographic contexts (Moon 1997; Chin 1998; Hooper 2000; Prugl 2000; True 2003; Whitworth 2004; Stern 2005).

Empirical feminism

Empirical feminism turns our attention to women and gender relations as empirical aspects of international relations. Feminist challenges to International Relations contend that women’s lives and experiences have been, and still are, often excluded from the study of international relations. This sexist exclusion has resulted in research which presents only a partial, masculine view in a field in which the dominant theories claim to explain the reality of world politics (Halliday 1988b). Since the 1990s, empirical feminist research has taken a variety of

methodological and substantive forms in International Relations. Studies under the rubric of ‘women in international development’ (WID), and more recently gender and development (GAD), have documented how male bias in the development process has led to poor implementation of projects and unsatisfactory policy outcomes in terms of eradicating poverty and empowering communities (Newland 1988; Goetz 1991; Kardam 1991; Kabeer 1994; Rathergeber 1995).

Analytical feminism

Analytical feminism deconstructs the theoretical framework of International Relations, revealing the gender bias that pervades key concepts and inhibits an accurate and comprehensive understanding of international relations. The feminist concept of gender refers to the asymmetrical social constructs of masculinity and femininity as opposed to ostensibly ‘biological’ male–female differences (although feminist postmodernists contend that both sex and gender are socially constructed categories, see Butler 1990; Gatens 1991). International Relations’ key concepts are neither natural nor genderneutral: they are derived from a social and political context where masculine hegemony has been institutionalized. Feminist scholars argue that notions of power, sovereignty, autonomy, anarchy, security and the levels of analysis typology in International Relations are inseparable from the gender division of public and private spheres institutionalized within and across states.

Normative feminism

Normative feminism reflects on the process of International Relations theorizing as part of a normative agenda for global change. ‘All forms of feminist theorising are normative, in the sense that they help us to question certain meanings and interpretations in IR theory’ (Sylvester 2002: 248). Feminists are self-consciously explicit about the position from which they are theorizing, how they enter the International Relations field and go about their research. They view their social and political context and subjectivity as part of theoretical

Page 36: Must Read!!!

explanation. Empirical feminism and gender analysis are important contributions, but they are only starting points for feminist goals of transforming global social hierarchies (Persram 1994; Ship 1994; Hutchings 2000; Robinson forthcoming). Feminist theorists bring the insights of feminist praxis – for instance, care ethics and Third World women’s social activism – to bear on debates about international ethics, humanitarian aid and intervention and human rights instruments (Cochran 1999; Robinson 1999; Hutchings 2000; Ackerly 2000).

Analysis

The three forms of feminism (empirical feminism, analytical feminism and normative feminism) all suggest that the theory and practice of international relations has suffered from its neglect of feminist perspectives. Feminists argue that conventional International Relations theories distort our knowledge of both ‘relations’ and the ongoing transformations of the ‘international’. These International Relations theories overlook the political significance of gendered divisions of public and private institutionalized within and by the state and state-system and, as a result, ignore the political activities and activism of women: whether they are mobilizing for war, protesting state abrogation of their rights or organizing for the international recognition of women’s human rights. Moreover, the objectivist approach of much International Relations theory produces relatively superficial knowledge and tends to reproduce the dichotomies which have come to demarcate the field. These dichotomies are gendered: they define power as power-over ‘others’, autonomy as reaction rather than relational, international politics as the negation of domestic, ‘soft’ politics and the absence of women, and objectivity as the lack of (feminized) subjectivity.

In sum, approaches to international relations that fail to take gender seriously overlook critical aspects of world order and abandon a crucial opening for effecting change. Feminist International Relations contributes to expanding and strengthening existing theories and analyses including liberal, critical theory, postmodern, constructivist and green theories of international relations. For example, International Relations feminists advance constructivist International Relations approaches by uncovering the processes through which identities and interests, not merely of states but of key social constituencies, are shaped at the global level. Elisabeth Prugl (2000) exemplifies this feminist constructivist approach in her study of home-workers in the global political economy (Locher and Prugl 2001; Kardam 2004). Prugl (2000) shows how transnational rules and regimes of gender in international organizations such as the ILO and global solidarity networks have been powerful forces in determining the plight of these workers around the world.

LIBERALISM

Devania Annesya

070810535

[email protected]

As one of the two great philosophical products of the European Enlightenment, liberalism has had a profound impact on the shape of all modern industrial societies. It has championed limited government and scientific rationality, believing individuals should be free from

Page 37: Must Read!!!

arbitrary state power, persecution and superstition. It has advocated political freedom, democracy and constitutionally guaranteed rights, and privileged the liberty of the individual and equality before the law. Liberalism has also argued for individual competition in civil society and claimed that market capitalism best promotes the welfare of all by most efficiently allocating scarce resources within society. To the extent that its ideas have been realized in recent democratic transitions in both hemispheres and manifested in the globalization of the world economy, liberalism remains a powerful and influential doctrine. The journal will begin with an analysis of the revival of liberal thought after the Cold War. It will then explain how traditional liberal attitudes to war and the importance of democracy and human rights continue to inform contemporary thinking.

The end of Soviet Communism at the beginning of the 1990s improved the influence of liberal theories of international relations within the academy, a theoretical tradition long thought to have been discredited by perspectives which emphasize the recurrent features of international relations. Fukuyama claimed in the early 1990s that the collapse of the Soviet Union proved that liberal democracy had no serious ideological competitor: it was ‘the end point of mankind’s ideological evolution’ and the ‘final form of human government’ (1992: xi–xii). For Fukuyama, the end of the Cold War represented the triumph of the ‘ideal state’ and a particular form of political economy, ‘liberal capitalism’, which ‘cannot be improved upon’: there can be ‘no further progress in the development of underlying principles and institutions’ (1992: xi–xii).

For liberals, peace is the normal state of affairs: in Kant’s words, peace can be perpetual. The laws of nature dictated harmony and cooperation between peoples. War is therefore both unnatural and irrational, an artificial contrivance and not a product of some peculiarity of human nature. (Gardner 1990: 23–39; Hoffmann 1995: 159–77; Zacher and Matthew 1995: 107–50). According to Paine in The Rights of Man, the ‘war system’ was contrived to preserve the power and the employment of princes, statesmen, soldiers, diplomats and armaments manufacturers, and to bind their tyranny ever more firmly upon the necks of the people’(Howard 1978: 31). Wars provide governments with excuses to raise taxes, expand their bureaucratic apparatus and increase their control over their citizens. The people, on the other hand, were peace-loving by nature, and plunged into conflict only by the whims of their unrepresentative rulers.

Fukuyama also believes that progress in human history can be measured by the elimination of global conflict and the adoption of principles of legitimacy that have evolved over time in domestic political orders. It also leads to Doyle’s important claim that ‘liberal democracies are uniquely willing to eschew the use of force in their relations with one another’, a view which rejects the realist contention that the anarchical nature of the international system means states are trapped in a struggle for power and security (Linklater 1993: 29).

Although his ‘hypothesis remains correct’, the events of 9/11 have subsequently caused Fukuyama to reflect on resistance to political and economic convergence in the modern world and the reaction in many societies against the dominance of the West (Fukuyama 2002: 28).

In the 1990s Fukuyama revived a long-held view among liberals that the spread of legitimate domestic political orders would eventually bring an end to international conflict. This neo-Kantian position assumes that particular states, with liberal-democratic credentials, constitute an ideal which the rest of the world will emulate (Fukuyama 1992: xx). This approach is rejected by neo-realists who claim that the moral aspirations of states are dissatisfied by the

Page 38: Must Read!!!

lack of an overarching authority which regulates their behaviour towards each other. The anarchical nature of the international system tends to homogenize foreign policy behaviour by socializing states into the system of power politics.

Analysis

Fukuyama had reason to be optimistic. The spread of liberal democracies and the zone of peace was an encouraging development, as is the realization by states that trade and commerce is more closely correlated with economic success than territorial conquest. The collapse of Marxism as a legitimate alternative political order removes a substantial barrier to

the spread of liberal democracies, and there can be little doubt that the great powers are now much less inclined to use force to resolve their political differences with each other. It appears that liberal democracies are in the process of constructing a separate peace.

The globalization of the world economy means that there are few obstacles to international trade. Liberals want to remove the influence of the state in commercial relations between businesses and individuals, and the decline of national economic sovereignty is an indication that the corrupting influence of the state is rapidly diminishing. Globalization has undermined the nation-state in other ways that have pleased liberals. The capacity of each state to direct the political loyalties of its citizens has been weakened by an increasing popular awareness of the problems faced by the entire human species. The state cannot prevent its citizens turning to a range of sub-national and transnational agents to secure their political identities and promote their political objectives. Sovereignty is no longer an automatic protection against external interference called ‘humanitarian intervention’. And

decision making on a range of environmental, economic and security questions has become internationalized, rendering national administration often much less important than transnational political cooperation.

But, as Scott Burchill (2005) written in Theories of International Relations, realists would argue that liberals such as Ohmae are premature in announcing the failure of the nation-state. Realists cite a number of important powers retained by the state despite globalization, including monopoly control of the weapons of war and their legitimate use, and the sole right to tax its citizens. They would argue that only the nation-state can still command the political allegiances of its citizens or adjudicate in disputes between them. And it is still only the nation-state which has the exclusive authority to bind the whole community to international law. They would question the extent to which globalization today is an unprecedented phenomenon, citing the nineteenth century as period when similar levels of economic interdependence existed. They would also point to the growing number of states which reject the argument that Western modernity is universally valid or that political development always terminates at liberal-capitalist democracy. More recently realists have highlighted the expanding power and reach of the state as a result of the latest wave of anti-Western Islamic militancy – a significant reversal for liberals who anticipated the imminent decline of the nation-state in modern life. Islamism is a direct challenge to liberal assumptions about economics and politics terminating at a liberal capitalist consensus.

Unpredictable challenges of this kind have left liberalism on the back foot, questioning whether the linear path to improving the human condition is as straight and as inexorable as they thought only a few short years ago.

Page 39: Must Read!!!

MARXISM

Devania Annesya

070810535

[email protected]

In the mid-1840s Marx and Engels wrote that capitalist globalization was seriously eroding the foundations of the international system of states. Conflict and competition between nation-states had not yet ended in their view but the main fault-lines in future looked certain to revolve around the two principal social classes: the national bourgeoisie, which controlled different systems of government, and an increasingly cosmopolitan proletariat. The outline of a radically new social experiment was already contained within the most advanced political movements of the industrial working class. Through revolutionary action, the international proletariat would embed the Enlightenment ideals of liberty, equality and fraternity in an entirely new world order which would free all human beings from exploitation and domination (Marx and Engels 1977).

Many traditional theorists of international relations have pointed to the failures of Marxism or ‘historical materialism’ as an account of world history. As Martin Wight maintained that Lenin’s Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1916) might seem to be a study of international politics but it was far too preoccupied with the economic aspects of human affairs to be taken seriously as a contribution to the field (Wight 1966). Marxists had underestimated the crucial importance of nationalism, the state and war, and the significance of the balance of power, international law and diplomacy for the structure of world politics.

For some, the collapse of the Soviet Union and the triumph of capitalism over socialism marked the death of Marxism as social theory and political practice. In the 1990s, some argued that the relevance of Marxism had increased with the passing of the age of bipolarity and the rapid emergence of a new phase of economic globalization (Gamble 1999). A biography of Marx which appeared in the late 1990s argued that, following the collapse of the Soviet Union, his analysis of how capitalism breaks down Chinese Walls and unifies the human race had finally come of age (Wheen 1999). For others, the resurgence of national security politics since the terrorist attacks of ‘9/11’ is a simple reminder that Marxism has little grip on the most fundamental realities of international politics.

For Marx, human history has been a laborious struggle to satisfy basic material needs, to understand and tame the physical world, to resist class domination and exploitation and to overcome fear and distrust of the rest of the human race. Marx thought that capitalism had made massive advances in reducing feelings of estrangement between societies. Nationalism, he believed, had no place in the hearts and minds of the most advanced sections of the proletariat which were committed to a cosmopolitan political project. But capitalism was a system of largely unchecked exploitation in which the bourgeoisie controlled the labour-power of members of the proletariat and profited from their work. It was the root cause of an alienating condition in which the human race – the bourgeoisie as well as the proletariat – was at the mercy of structures and forces which it had created. Marx wrote that philosophers had only interpreted the world whereas the real point was to change it (Marx 1977b: 158). An end to alienation, exploitation and estrangement was Marx’s main political aspiration and the

Page 40: Must Read!!!

point of his efforts to understand the laws of capitalism and the broad movement of human history. This was his chief legacy to thinkers in the Marxist tradition.

Realists such as Waltz have argued that members of the proletariat concluded during the First World War that they had more in common with their own national bourgeoisie than with the working classes of other countries. For realists, the failure to anticipate this outcome demonstrates the central flaw in Marxism – its economic reductionism, as manifested in the belief that understanding capitalism would explain the mysteries of the modern world and its unprecedented political opportunities (Waltz 1959: Chapter 5). This is one of the most famous criticisms of Marxism within the study of international relations. There are three points to make about it.

First, although Marx and Engels were clearly aware of the globalization of economic and social life, they believed that class conflict within separate, but not autonomous, societies would trigger the great political revolutions of the time (Giddens 1981). Their assumption was that revolution would quickly spread from the society in which it first erupted to all other leading capitalist societies. According to this view of the world, burgeoning transnational capitalist activity shattered the illusion of apparently separate societies – an illusion created by geographical boundaries separating peoples governed by different political systems. Marxism largely ignored geopolitics, nationalism and war. Second, Marx and Engels were forced to reconsider their ideas about the nation because of the importance of nationalism in the 1848 revolutions and its growing political influence later in the century. They wrote that the Irish and the Poles were the victims of national domination rather than class exploitation, and added that freedom from national dominance was essential if subordinated peoples were to become allies of the international proletariat (Marx and Engels 1971; see also Benner 1995). These remarks indicate that while Marx and Engels were primarily concerned with the class structure of capitalist societies, they were well aware of the persistence of ancient animosities between national groups – but they almost certainly continued to believe that national differences would eventually decline in importance and might even disappear altogether (Halliday 1999: 79). Third, as Gallie (1978) has noted, those intriguing comments about nationalism, the state and war did not lead Marx and Engels to rework their early statements about the explanatory power of historical materialism. Marx and Engels’ political writings revealed growing subtlety but the main statements of their theoretical position continued to privilege class and production, to regard economic power as dominant form of power and to regard the revolutionary project as fundamentally about promoting the transition from capitalism to socialism (Cummins 1980).

Analysis

Despite its weaknesses, Marxism contributes to the theory of international relations in at least four respects. First, historical materialism with its emphasis on production, property relations and class is an important counter-weight to realist theories which assume that the struggle for power and security determines the structure of world politics. This leads to two further points which are that Marxism has long been centrally concerned with capitalist globalization and international inequalities and that, for Marxism, the global spread of capitalism is the backdrop to the development of modern societies and the organization of their international relations. A fourth theme, which first appeared in Marx’s critique of liberal political economy, is that explanations of the social world are never as objective and innocent as they may seem. Applied to international politics, the argument is that the analysis of basic and unchanging realities can all too easily ignore relations of power and inequality not between

Page 41: Must Read!!!

states but between individuals. Dominant strands of Marxist thought have taken the view that one of the main functions of scholarship is to understand the principal forms of domination and to imagine a world order which is committed to reducing material inequalities. This critical orientation to world politics can no longer be simply ‘Marxist’ in the largely superseded sense of using the paradigm of production to analyze class inequalities. But it can nevertheless remain true to the ‘spirit of Marxism’ by combining the empirical analysis of the dominant forms of power and inequality with a moral vision of a more just world order. This critical approach can extend beyond the analysis of capitalist globalization and rising international inequalities to the ways in which states conduct national security politics. One of the failings of Marxism as a source of critical international theory is its ingrained tendency to focus on the former at the expense of the latter field of inquiry. Later chapters discuss whether other strands of critical international theory have succeeded in overcoming this limitation.

NEOREALISME VS   NEOLIBERALISME

Devania Annesya

070810535

[email protected]

Salah satu pemikir kaum neorealisme kontemporer terkemuka yang tidak diragukan lagi adalah Kenneth Waltz (1979). Ia mengambil beberapa elemen realisme klasik dan neoklasik sebagai titik awal pemikirannya. Ia percaya bahwa negara-negara berdaulat tumbuh dan bergerak dalam suatu sistem anarki internasional dengan mengabaikan pertimbangan normatif dan menyediakan teori HI yang ilmiah. Tidak seperti Morgenthau (1985), Waltz tidak memberikan pertimbangan pada sifat dasar manusia dan mengabaikan etika kenegaraan. Jika dalam realisme klasik para pemimpin negara dan penilaian subjektifnya tentang hubungan internasional merupakan pusat perhatiannya, neorealisme lebih memfokuskan sistem struktur terkait distribusi kekuatan relatif sebagai fokus analitis utama. Aktor-aktor dianggap kurang begitu penting lagi sebab strukturlah yang memaksa mereka melakukan aksi-aksi dengan cara tertentu. Struktur pada dasarnya menentukan tindakan para aktor (Waltz 1979: 97). Dengan kata lain, perubahan internasional terjadi ketika negara-negara berkekuatan  besar muncul dan tenggelam dan dengan demikian perimbangan kekuatan bergeser. Alat-alat yang  khas dari perubahan tersebut adalah perang antarnegara berkekuatan besar.

Baik realisme strategis (Schelling 1980: 1996) maupun neorealisme (Waltz 1979) sangat erat hubungannya dengan Perang Dingin. Keduanya kemudian merupakan teori HI yang merespon situasi sejarah saat itu. Waltz menyatakan bahwa sistem bipolar bersifat superior dari sistem multipolar sebab menyediakan stabilitas internasional yang lebih besar dan oleh karena itu keamanan dan perdamaian lebih baik pula. Ada tiga alasan dasar mengapa kondisi ini dianggap lebih menyediakan kestabilitasan internasional: pertama, jumlah negara berkekuatan besar hanya sedikit sehingga mengurangi resiko peperangan negara-negara besar; kedua, sedikitnya negara-negara berkekuata besar akan mempermudah sistem pemusatan; dan ketiga adalah dengan adanya dua kekuatan besar tersebut akan meminimalisir kesalahan perhitungan dan prediksi. Singkatnya dua superpower yang bersaing dapat terus menerus mengoreksi satu sama lain.

Page 42: Must Read!!!

Sementara itu, kaum neorealis yang gencar menyerang pemikiran liberalisme pada akhirnya menerima perlawanan dari pemikiran neoliberalisme. Liberalisme klasik yang tidak bisa menjelaskan mengenai eksistensi anarki dalam sistem internasional dan mengapa negara tetap mau bekerja sama dalam kondisi tersebut, menjadikan asumsi dasar kaum neorealis sebagai titik awal analisis kaum neoliberalis.

Kaum neoliberalis menjelaskan realitas anarki internasional tidak perlu menjadi “anarki mentah” dengan dasar rasa takut dan ketidakamanan dari lingkungan sekitar. Menurutnya ada elemen lain yang cukup signifikan untuk diperhitungkan dari kekuatan internasional yang legal dan efektif. Ia percaya perdamaian dapat tercipta dalam sebuah bentuk kerjasama yang nantinya akan member efek interdependensi. Dan sistem internasional akan menyediakan sebuah institusi yang menyediakan norma dan nilai umum.

Dengan berakhirnya Perang Dingin beberapa isu tradisional menyangkut agenda riset kaum liberal mendapat urgensi baru. Misalnya tentang bagaimana demokrasi menuju perdamaian dan memahami tingkat yang tepat di mana negara-negara demorasi perlu digabung dalam upaya menjamin perdamaian demokratis. Konsep “komunitas keamanan” yang diajukan Karl Deutsch membutuhkan pengembangan yang lebih jauh. Pemikiran ini membantu dalam menekankan bahwa perdamaian lebih dari sekedar ketiadaan perang melainkan mengenai keberadaan “perdamaian hangat”, sebagaimana “perdamaian dingin” di era Perang Dingin. Dengan demikian akan meningkatkan intensitas kerjasama antarnegara (Mueller 1990; 1995)

Analysis

Neoliberalisme tidak menolak adanya anarki, self interest, dan state sebagai aktor utama di sistem internasional serupa dengan pemikiran neorealisme. Ia bahkan berangkat dari kritikan neorealisme dalam menjelaskan eksistensi anarki dalam sistem internasional. Jika neorealisme percaya bahwa kerjasama antarnegara hampir tidak mungkin dan sulit terjadi karena tidak adanya kepercayaan, neoliberalisme sebaliknya meyakini seberapa besar kontribusi kerjasama internasional dalam menjamin perdamaian sebagai akibat dari interdependensi di antara mereka. Namun jika diteliti dengan benar kedua teori ini tidak ada yang benar-benar “benar” dalam artian perlu mix diantara keduanya untuk menciptakan sebuah formula terbaik dalam menciptakan situasi damai dalam sistem internasional.

COMPARING DETERRENCE, COMPELLENCE, AND MILITARRY   DEFENSE

Devania Annesya

070810535

[email protected]

Deterrence is a conditional commitment to retaliate or to exact retribution if anoter party fails to behave in a desire, compliant manner (Penguin, 1998). It is about relationships between individuals or groups. It is possible to identify this relationship in its simplest two-person version by speaking of an imposer and a target. Hence imposer seeks to deter the target from behaving in an unacceptable fashion by threatening punishment.

Page 43: Must Read!!!

Deterrence as a policy is about maintaining a large military force and arsenal to discourage any potential aggressor from taking action (states commit themselves to punish an aggressor states). The goal of deterrence (like that of balance of power) is to prevent the outbreak of war. Deterrence theory posits that war can be prevented by the threat of the use of the force. We can see this policy in 2002 National Security Strategy of United States. There is a very explicit threat for those who may pursue terrorism. The United States writes “the US, the American people, our interest at home and abroad by identifying and destroying the threat before it reaches our border… We will not hesitate to act alone, if necessary, to exercise our right of self-defense by acting preemptively against such terrorist, to prevent them from doing harm against our people and our country”

Deterrence theory as initially developed based on three assumption (Snyder, 1961). First, decision makers are rational who is assumed to avoid resorting to war in those situations in which the anticipated cost of aggression is greater than the gain expected. Second, the threat of destruction from warfare is large. We used to know since the advent of nuclear weapon in 1945, deterrence has taken on a special meaning. Nuclear weapons pose an unacceptable level of destruction and thus that decision makers will not resort to armed aggression against a nuclear state. Third, there are alternatives to war available.

Meanwhile compellence is the policy of threatening or intimidating adversary in order to get it to either take or refrain from taking a particular action. With the strategy of compellence, a state tries, by threatening to use force, to get another state to do something or to undo an act that it has undertaken. The prelude to the 1991 Gulf war serves an excellent example: The U.S, the U. N, and coalition members tried to get Saddam Hussein to change his actions with the compellence strategy of escalating threat. During each step of the compellence strategy of escalation, one message was communicated to Iraq to withdraw from Kuwait or more coercive actions will follow. Similarly, the Western alliance sought to get Serbia to stop abusing the human rights of Kosovar Albanians and to withdraw its military forces from the region. Compellence was also used before the 2003 Iraq war when the United States and others threatened Saddam Husein that if certain actions were not taken, then war would follow. Threat began when George W. Bush labeled Iraq a member of the “axis of evil”, they escalated when the United Nations found Iraq to be in material breach of a U. N. resolution. And in March 2003, Great Britain, one of the coalition partners, gave Iraq ten days to comply with the UN resolution. And on March 17, the last compellent threat was issued: Bush gave the Baathist regime only forty eight hours sary to resort to an invasion because compellence via an escalation of threats failed. And the compellence end once the use of force begins. Liberal theorists are more suitable with compelling strategies, moving cautiously to deterrence whereas realists promote deterrence.

Analysis

The conclusion is force (and the threat of force) is another critical instrument of statecraft and is central realist thinking. Force or its threat may be used either to get a target state to do something or to undo something it has done (compellence) or to keep and adversary from doing something (deterrence) (Schelling, 1966). For either compellence or deterrence to be effective, states have to lay the groundwork. They must clearly and openly communicate their objectives and capabilities, be willing to make a good on the threats or to fulfill the promises and have the capacity to follow through with their commitment. In short, a state’s credibility is essential for compellence and deterrence. It is a strategic interaction where the behavior of each is determined not only by one’s own behavior but by the actions and responses of the

Page 44: Must Read!!!

other. If ompellence and deterrence fail sates my got to war but they have choices. They choose that type of weaponry (nuclear or nonnuclear, strategic or tactical, conventional or chemical and biological), the kind of target (military or civilian, city or country), and the geographic locus (city, state, region) to be targeted. They able chose to respond in kind, to escalate or de-escalate. In war, both explicit and implicit negotiation takes place, over both how to fight the war and how to end it.

CRITICAL   THEORY

Devania Annesya

070810535

[email protected]

Critical theory’ it is the idea that the study of international relations should be oriented by an emancipatory politics. The terrorist attacks of September 11, 2001 and the subsequent ‘war on terrorism’ showed, among other things, that unnecessary human suffering remains a central fact of international life. For critical theory, any assessment of the degree to which September 11 changed world order will depend on the extent to which various forms of domination are removed and peace, freedom, justice and equality are promoted.

Critical theory has its roots in a strand of thought which is often traced back to the Enlightenment and connected to the writings of Kant, Hegel, and Marx. In the twentieth century critical theory became most closely associated with a distinct body of thought known as the Frankfurt School (Jay 1973; Wyn Jones 2001). It is in the work of Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, Erich Fromm, Leo Lowenthal and, more recently, Jürgen Habermas that critical theory acquired a renewed potency and in which the term critical theory came to be used as the symbol of a philosophy which questions modern social and political life through a method of immanent critique.

Essential to the Frankfurt School’s critical theory was a concern to comprehend the central features of contemporary society by understanding its historical and social development, and tracing contradictions in the present which may open up the possibility of transcending contemporary society and its built-in pathologies and forms of domination. it is always ‘situated knowledge’. Since critical theory takes society itself as its object of analysis, and since theories and acts of theorizing are never independent of society, critical theory’s scope of analysis must necessarily include reflection on theory. By drawing attention to the relationship between knowledge and society, which is so frequently excluded from mainstream theoretical analysis, critical theory recognizes the political nature of knowledge claims.

It was not until the 1980s, and the onset of the so-called ‘third debate’, that questions relating to the politics of knowledge would be taken seriously in the study of international relations. Epistemological questions regarding the justification and verification of knowledge claims, the methodology applied and the scope and purpose of inquiry, and ontological questions regarding the nature of the social actors and other historical formations and structures in international relations, all carry normative implications that had been inadequately addressed. One of the important contributions of critical international theory has been to widen the

Page 45: Must Read!!!

object domain of International Relations, not just to include epistemological and ontological assumptions, but to explicate their connection to prior political commitments. Robert Cox (1981) succinctly and famously said, ‘theory is always for someone and for some purpose’. As a consequence, critical international theorists reject the idea that theoretical knowledge is neutral or non-political. Whereas traditional theories would tend to see power and interests as a posteriori factors affecting outcomes in interactions between political actors in the sphere of international relations, critical international theorists insist that they are by no means absent in the formation and verification of knowledge claims.

In his pioneering 1981 article, Robert Cox followed Horkheimer by distinguishing critical theory from traditional theory – or, as Cox prefers to call it, problem-solving theory. Problem-solving or traditional theories are marked by two main characteristics: first by a positivist methodology; second, by a tendency to legitimize prevailing social and political structures.

Heavily influenced by the methodologies of the natural sciences, problem-solving theories suppose that positivism provides the only legitimate basis of knowledge. Problem-solving theory, as Cox (1981: 128) defines it, ‘takes the world as it finds it, with the prevailing social and power relationships and the institutions into which they are organised, as the given framework for action.

By contrast, critical international theory starts from the conviction that because cognitive processes themselves are contextually situated and therefore subject to political interests, they ought to be critically evaluated. Theories of international relations, like any knowledge, necessarily are conditioned by social, cultural and ideological influence, and one of the main tasks of critical theory is to reveal the effect of this conditioning. As Richard Ashley (1981: 207) asserts, ‘knowledge is always constituted in reflection of interests’, so critical theory must bring to consciousness latent interests, commitments, or values that give rise to, and orient, any theory.

Analysis

To summarize, critical theory draws upon various strands of Western social, political and philosophical thought in order to erect a theoretical framework capable of reflecting on the nature and purposes of theory and revealing both obvious and subtle forms of injustice and domination in society. Critical theory not only challenges and dismantles traditional forms of theorizing, it also problematizes and seeks to take apart fixed forms of social life that constrain human freedom. Critical international theory is an extension of this critique to the international domain.

There are some contributions of critical theory to the study of international relations. One of these contributions has been to heighten our awareness of the link between knowledge and politics. Critical international theory rejects the idea of the theorist as objective bystander. Instead, the theorist is enmeshed in social and political life, and theories of international relations, like all theories, are informed by prior interests and convictions, whether they are acknowledged or not. A second contribution critical international theory makes us to rethink accounts of the modern state and political community. Traditional theories tend to take the state for granted, but critical international theory analyses the changing ways in which the boundaries of community are formed, maintained and transformed.

Page 46: Must Read!!!

Critical international theory’s aim of achieving an alternative theory and practice of

international relations rests on the possibility of overcoming the exclusionary dynamics associated with modern system of sovereign states and establishing a cosmopolitan set of arrangements that will better promote freedom, justice and equality across the globe. It is thus an attempt radically to rethink the normative foundations of global politics.

THE ENGLISH   SCHOOL

Devania Annesya

070810535

[email protected]

‘The English School’ is a term coined in the 1970s to describe a group of predominantly British or British-inspired writers for whom international society is the primary object of analysis (Jones 1981; Linklater and Suganami 2006). Its most influential members include Hedley Bull, Martin Wight, John Vincent and Adam Watson whose main publications appeared in the period between the mid-1960s and late 1980s (see Bull 1977; Bull and Watson 1984; Wight 1977, 1991; Vincent 1986; Watson 1982). Since the late 1990s, the English School has enjoyed a renaissance in large part because of the efforts of Barry Buzan, Richard Little and a number of other scholars (Buzan 2001, 2003; Little 2000). The English School remains one of the most important approaches to international politics although its influence is probably greater in Britain than in most other societies where International Relations is taught.

The foundational claim of the English School is that sovereign states form a society, albeit an anarchic one in that they do not have to submit to the will of a higher power. The fact that states have succeeded in creating a society of sovereign equals is for the English School one of the most fascinating dimensions of international relations. This is not to suggest that the English School ignores the phenomenon of violence in relations between states. Its members regard violence as an endemic feature of the ‘anarchical society’ (the title of Hedley Bull’s most famous work, 1977) but they also stress that it is controlled to an important extent by international law and morality.

Members of the English School are attracted by elements of realism and idealism, yet gravitate towards the middle ground, never wholly reconciling themselves to either point of view. In short, members of the English School maintain that the international political system is more civil and orderly than realists and neo-realists suggest. However, the fact that violence is ineradicable in their view puts them at odds with utopians who believe in the possibility of perpetual peace. There is no expectation among its members that the international political system will come to enjoy levels of close cooperation and the relatively high level of security found in the world’s more stable national societies. There is, they argue, more to international politics than realists suggest but there will always be much less than the cosmopolitan desires. This is why it makes sense to argue that members of the English School belief there has been a limited degree of progress in international politics.

Page 47: Must Read!!!

The English School is interested in the processes which transform systems of states into societies of states and in the norms and institutions which prevent the collapse of civility and the re-emergence of unbridled power. It is also concerned with the question of whether societies of states can develop means of promoting justice for individuals and their immediate associations. Bull in particular distinguished between international societies and international systems, but he also identified different types of international society in order to cast light on the relationship between order and justice in world affairs.

In an early essay (1966a), Bull distinguished between the ‘solidarist’ or ‘Grotian’ and ‘pluralist’ conceptions of international society. He maintained that the ‘central Grotian assumption is that of the solidarity, or potential solidarity, of the states comprising international society, with respect to the enforcement of the law’ (Bull 1966a: 52). Solidarism is apparent in the Grotian conviction that there is a clear distinction between just and unjust wars, and in the assumption ‘from which [the] right of humanitarian intervention is derived… that individual human beings are subjects of international law and members of international society in their own right’ (1966a: 64). Pluralism, as expounded by the eighteenth-century international lawyer, Vattel, rejects this approach, arguing that ‘states do not exhibit solidarity of this kind, but are capable of agreeing only for certain minimum purposes which fall short of that of the enforcement of the law’ (1966a: 52). A related argument is that states rather than individuals are the basic members of international society (1966a: 68). Having made this distinction, Bull asked whether there was any evidence that the pluralist international society of the post-Second World War era was becoming more solidarist. His answer in The Anarchical Society was that expectations of greater solidarity were seriously ‘premature’ (Bull 1977: 73).

Bull argued that the goal of preserving the sovereignty of each state has often clashed with the goal of preserving the balance of power and maintaining peace. Polish independence was sacrificed on three occasions in the eighteenth century for the sake of international equilibrium. The League of Nations chose not to defend Abyssinia from Italian aggression because Britain and France needed Italy to balance the power of Nazi Germany. In such cases, order took priority over justice which requires that each sovereign state should be treated equally. Contemporary international society contains other examples of the tension between order and justice. Order requires efforts to prevent further additions to the nuclear club, but justice suggests all states have an equal right to acquire weapons of mass destruction (1977: 227–8).

The development of English School thinking about human rights is fascinating in this regard. Bull (1977: 83) argued that in the recent history of international society pluralism has triumphed over solidarism. In recent centuries, the solidarist belief in the primacy of individual human rights had survived albeit ‘underground’. In addition, most states – and Europe’s former colonies since the end of the Second World War – have feared that human rights law might be used as a pretext for interfering in their domestic affairs. Bull was concerned that Western arrogance and complacency about human rights might damage the delicate framework of international society. He also noted that relative silence on the importance of human rights had produced a strong counterreaction, and that states in the twentieth century had come under increasing pressure to ensure their protection (Bull 1984a).

In fact, two very different tendencies have appeared in the English School in recent years. Dunne and Wheeler (1999) argued in the late 1990s that the end of bipolarity made it possible that states could agree on how to introduce new principles of humanitarian intervention into

Page 48: Must Read!!!

the society of states. They added that the aspiring ‘good international citizen’ should be prepared to intervene in societies where there was a ‘supreme humanitarian emergency’ even though their action was in breach of international law. This argument has been rejected by Jackson (2000: 291ff.) who stresses, citing the example of Russia’s long-standing affinity with Serbia, the danger that humanitarian intervention might disturb order between the great powers. Jackson (2000) argues that the greatest violations of human rights take place in times of war, and so preserving constraints on violence between states should have priority over the use of force to safeguard human rights, whenever it is necessary to choose between them.

Analysis

In The Twenty Years’ Crisis 1919–1939, E. H. Carr (1939/1945/1946: 12) argued that international theory should avoid the ‘sterility’ of realism and the ‘naivety’ of idealism. The English School can claim to have passed this test of a good international theory. They have analysed elements of society and civility which have been of little interest to realists. Although they have been principally concerned with understanding international order, they have also considered the prospects for global justice and some have made the moral case for creating a more just world order. Members of the English School are not convinced by utopian or revolutionist arguments which maintain that states can settle their most basic differences about morality and justice. The idea that the English School is the via media between realism and revolutionism rests on such considerations.

The English School argues that international society is a precarious achievement but the only context within which more radical developments can take place. Advances in the global protection of human rights, they argue, will not occur in the absence of international order. It is to be expected that there will always be two sides to the English School: the side that is quick to detect threats to international society and the side that identifies ways in which that society might become more responsive to the needs of individuals and their various associations.

POSTMODERNISM

Devania Annesya

070810535

[email protected]

Postmodernism remains among the most controversial of theories in the humanities and social sciences. It has regularly been accused of moral and political delinquency. Indeed, after the terrorist attacks of September 11, some commentators went so far as to blame postmodernism. In a time when moral certitude appeared to be necessary, postmodernism was charged with a dangerous tendency towards moral equivocation or even sympathy towards terrorism. Moreover, as James Der Derian (2002: 15) has provocatively argued, despite everything that differentiates America’s president, George W. Bush, from the terrorist leader behind the attacks, Osama bin Laden, they are united in their moral and epistemological certitude. It is precisely this conviction that their moral and epistemological claims are beyond question that postmodernism challenges.

Page 49: Must Read!!!

The meaning of postmodernism is in dispute not just between proponents and critics, but also among proponents. Indeed, many theorists associated with postmodernism never use the term, sometimes preferring the term ‘post-structuralism’, sometimes ‘deconstruction’, sometimes rejecting any attempt at labelling altogether.

Power and Knowledge

Rather than treat the production of knowledge as simply a cognitive matter, postmodernism treats it as a normative and political matter (Shapiro 1999: 1). According to Foucault, there is a general consistency, which cannot be reduced to an identity, between modes of interpretation and operations of power. Power and knowledge are mutually supportive; they directly imply one another (Foucault 1977: 27). The task therefore is to see how operations of power fit with the wider social and political matrices of the modern world. For example, in Discipline and Punish (1977), Foucault investigates the possibility that the evolution of the penal system is intimately connected to the human sciences. His argument is that a ‘single process of “epistemologico-juridical” formation’ underlies the history of the prison on the one hand, and the human sciences on the other (1997: 23). In other words, the prison is consistent with modern society and modern modes of apprehending ‘man’s’ world.

One of the important insights of postmodernism, with its focus on the power–knowledge nexus and its genealogical approach, is that many of the problems and issues studied in International Relations are not just matters of epistemology and ontology, but of power and authority; they are struggles to impose authoritative interpretations of international relations. As Derrida (2003: 105) himself says in an interview conducted after September 11: ‘We must also recognize here the strategies and relations of power. The dominant power is the one that manages to impose and, thus, to legitimate, indeed to legalize … on a national or world stage, the terminology and thus the interpretation that best suits it in a given situation’. The following section outlines a strategy which is concerned with destabilizing dominant interpretations by showing how every interpretation systematically depends on that for which it cannot account.

It is important to grasp the notion of genealogy, as it has become crucial to many postmodern perspectives in International Relations. Genealogy is, put simply, a style of historical thought which exposes and registers the significance of power–knowledge relations. It is perhaps best known through Nietzsche’s radical assault on the concept of origins. As Roland Bleiker (2000: 25) explains, genealogies ‘focus on the process by which we have constructed origins and given meaning to particular representations of the past, representations that continuously guide our daily lives and set clear limits to political and social options’. It is a form of history which historicizes those things which are thought to be beyond history, including those things or thoughts which have been buried, covered, or excluded from view in the writing and making of history.

Textual strategies

Der Derian (1989: 6) contends that postmodernism is concerned with exposing the ‘textual interplay behind power politics’. It might be better to say it is concerned with exposing the textual interplay within power politics, for the effects of textuality do not remain behind politics, but are intrinsic to them. Textuality is a common postmodern theme. It stems mainly from Derrida’s redefinition of ‘text’ in Of Grammatology (1974). ‘Textual interplay’ refers to the supplementary and mutually constitutive relationship between different interpretations in

Page 50: Must Read!!!

the representation and constitution of the world. In order to tease out the textual interplay, postmodernism deploys the strategies of deconstruction and double reading.

Deconstruction is a general mode of radically unsettling what are taken to be stable concepts and conceptual oppositions. Its main point is to demonstrate the effects and costs produced by the settled concepts and oppositions, to disclose the parasitical relationship between opposed terms and to attempt a displacement of them. To summarize, deconstruction is concerned with both the constitution and deconstitution of any totality, whether a text, theory, discourse, structure, edifice, assemblage, or institution.

As expressed by Derrida (1981: 6), double reading is essentially a duplicitous strategy which is ‘simultaneously faithful and violent’. The first reading is a commentary or repetition of the dominant interpretation – that is, a reading which demonstrates how a text, discourse or institution achieves the stability-effect. The point here is to demonstrate how the text, discourse, or institution appears coherent and consistent with itself. the second, counter-memorializing reading unsettles it by applying pressure to those points of instability within a text, discourse, or institution. It exposes the internal tensions and how they are (incompletely) covered over or expelled.

Analysis

Postmodernism makes several contributions to the study of international relations. First, through its genealogical method it seeks to expose the intimate connection between claims to knowledge and claims to political power and authority. Secondly, through the textual strategy of deconstruction it seeks to problematize all claims to epistemological and political totalization. This holds especially significant implications for the sovereign state. Most notably, it means that the sovereign state, as the primary mode of subjectivity in international relations, must be examined closely to expose its practices of capture and exclusion. Moreover, a more comprehensive account of contemporary world politics must also include an analysis of those transversal actors and movements that operate outside and across state boundaries. Thirdly, postmodernism seeks to rethink the concept of the political without invoking assumptions of sovereignty and reterritorialization. By challenging the idea that the character and location of the political must be determined by the sovereign state, postmodernism seeks to broaden the political imagination and the range of political possibilities for transforming international relations. These contributions seems more important than ever after the events of September 11.