nabi ibrahim as (6).doc
TRANSCRIPT
Nabi Ibrahim AS (6)
Oleh Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.
Debat tentang Tuhan
Setelah Nabi Ibrahim AS selamat dari pembakaran terjadilah pertemuan
antara beliau dengan Raja Namrud, raja Babilonia yang paling berkuasa saat itu.
Menurut Mujahid sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsîr dalam al-Bidâyah wa an-
Nihâyah (I:139) nama lengkap Namrûd dengan nasabnya adalah Namrûd ibn Kan’ân
ibn Kûsy bin Sâm ibn Nûh. Sumber lain menyebutkan nama lengkapnya adalah
Namrûd ibn Fâlih ibn ‘Ăbir ibn Shâlih ibn Arfakhsyadz ibn Sâm ibn Nûh. Dia
memerintah Babilonia selama 400 tahun. Namrûd terkenal sebagai raja yang sangat
berkuasa, sangat durhaka, sangat sombong dan menomorsatukan kemegahan hidup
dunia.
Di dalam Al-Qur’an ada empat penguasa dunia yang diceritakan, dua beriman
yaitu Nabi Sulaiman ibn Daud dan Dzu ‘l-Qarnain, dua kafir yaitu Raja Namrûd dan
Fir’aun. Sulaiman dan Dzu ‘l Qarnain memberikan pelajaran kepada umat manusia,
terutama para penguasa, bahwa kekuasaan tidak menyebabkan seseorang semakin
jauh dari Allah, tetapi justru dengan kekuasaan yang sangat luar biasa itu mereka
semakin dekat dan taat kepada Allah. Penguasa yang taat, tentu akan memerintah
dengan adil, melindungi dan memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Sementara
kisah Namrûd dan Fir’aun memberikan pelajaran kepada umat manusia, sekali lagi
terutama para penguasa, bahwa di atas segala yang berkuasa masih ada yang lebih
berkuasa yaitu Allah SWT. Kezaliman, kedurhakaan dan kesombongan akan
berakhir dengan kehancuran.
Dikisahkan oleh Al-Qur’an bahwa dalam pertemuan dengan Namrûd itu
terjadi munâzharah atau debat tentang Tuhan. Mari kita baca ayat tersebut terlebih
dahulu:
�م� �ل �ر� أ ل�ى ت ذي إ اهيم� ح�اج ال �ر� ب �ه في إ ب �ن� ر� �اه� أ ه� ء�ات ��ك� الل ����م�ل ذ� ال ال� إ ��� ق
اهيم� �ر� ب �ي� إ ب ذي ر� �ح�يي ال �ميت� ي �ا ق�ال� و�ي �ن ح�يي أ� �ميت� أ ال� و�أ ���اهيم� ق ر� ���ب إ
ن ه� ف�إ ي الل �ت �أ م�س ي الش رق من� ب �م�ش� �ت ال ا ف�أ ���ه رب من� ب ����م�غ �هت� ال ف�ب
ذي �ف�ر� ال ه� ك �ه�دي ال� و�الل �ق�و�م� ي مين� ال الظ ال
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan
mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".
Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah dia dari barat," lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah 2:258)
Diduga, setelah Ibrahim selamat dari pembakaran, Namrûd ingin tahu kenapa
Ibrahim dapat selamat. Tentu saja Nabi Ibarahim menjawab, bahwa dia dapat selamat
tidak lain karena diselamatkan oleh Tuhan. Tuhanlah yang menentukan hidup mati
seseorang. Jika Allah belum menghendaki, tidak ada yang dapat merenggut nyawa
seseorang, sekalipun dibakar dengan api sangat dahsyat seperti yang baru saja
dialaminya. Begitu juga sebaliknya, jika ajal seseorang sudah sampai sesuai dengan
2
kehendak Allah, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menahannya. Itulah Tuhan
yang menghidupkan dan mematikan.
Jawaban Ibarahim itu dibantah oleh Namrûd. Dia merasa dapat juga berfungsi
sebagai tuhan, menghidupkan dan mematikan. Menurut Qatâdah, Muhammad ibn
Ishâq dan as-Sadiy, setelah mengaku dapat menghidupkan dan mematikan itu
Namrûd memerintahkan untuk membawa kehadapannya dua orang terpidana mati.
Yang satu dia perintahkan untuk dieksekusi mati, sedang yang satu lagi dimaafkan.
Itulah yang dimaksud oleh Namrûd dengan menghidupkan dan mematikan.
Kesombongan telah menyebabkan dia tidak dapat berpikir lebih mendalam. Contoh
yang diperlihatkan Namrûd itu tidak lebih dari pada sekadar sebab lahir kematian
seseorang. Orang bisa mati karena sakit, kecelakaan, dibunuh atau sebab-sebab lain,
tetapi siapa pun tidak dapat menentukan kematian seseorang. Allah maha kuasa
menghidupan yang mati dan mematikan yang hidup, atau mengeluarkan yang hidup
dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Allah lah yang menjadi
penyebab utama kehidupan dan kematian. Bukan hanya sekadar seperti yang
dilakukan oleh Namrûd tersebut.
Untuk membuktikan baha Namrûd sama sekali tidak dapat melakukan fungsi
ketuhanan, apalagi menyamai-Nya, Nabi Ibrahim menantangnya untuk menerbitkan
matahari dari barat. Ibrahim mengatakan: “"Sesungguhnya Allah menerbitkan
matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,". Tantangan Ibarahim itu
tentu saja tidak dapat dijawab oleh Namrûd. Dia terdiam, tidak tahu mau bicara apa.
Argumen yang dibangunnya sangat rapuh, tidak punya fondasi yang kokoh sehingga
sangat mudah diruntuhkan. Akankah setelah argumen yang dibangunnya runtuh, dia
3
mengakui kekuasaan Tuhan? Ternyata tidak, karena dia berdebat bukan untuk
mencari kebenaran dan petunjuk tetapi hanya sebagai bagian dari pertunjukan
kesombongannya. Oleh sebab itu keimanan dan hidayah tidak masuk kedalam
hatinya. Pada hakikatnya Namrûd dan orang-orang seperti dia telah berbuat zalim
terhadap diri mereka sendiri. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.
Menurut Sayyid Quthub dalam kitab Fi Zhilâl Al-Qur’an (I:297), raja yang
mendebat Ibarahim ini tidaklah mengingkari eksistensi Allah, tetapi dia mengingkari
keesaan-Nya dalam rububiyah dan ilahiyah. Sebagaimana halnya para penyembah
berhala yang lainnya, raja Namrûd meyakini adanya tuhan-tuhan lain yang bersama-
sama dengan Allah mengatur alam semesta. Namrûd dan para penyembah berhala
yang lainnya memperlakukan tuhan-tuhan lain itu sebagaimana Tuhan semesta alam,
menyembahnya. Bahkan sebagian mereka, tidak hanya mempertuhankan berhala-
berhala, tetapi juga menuhankan diri mereka sendiri, seperti kasus Namrûd dan juga
Fir’aun nanti. Dengan kekuasaannya yang sangat besar, Namrûd mengira dapat
menyaingi Tuhan, dia lupa bahwa kekuasaan yang di tangannya itu sesungguhnya
berasal dari Allah Tuhan Semesta Alam. Harusnya dia beriman dan bersyukur, bukan
kufur dan takabur.
Perjalanan dan Keluarga Nabi Ibrahim
Setelah peristiwa pembakaran dan termasuk juga debat dengan Raja Namrûd,
Nabi Ibrahim AS hijrah dari Babilonia ke Syâm (daearah Mesopotamia yang
sekarang dikenal dengan nama Syria), dan menikah di sana dengan Sârah. Pada
4
waktu itu Nabi Ibrahim sudah berumur 37 tahun. Selanjutnya Ibrahim menuju Harân
dan bermukim di sana beberapa lama. Kemudian Ibrahim pergi menuju Jordan dan
tinggal di sana beberapa lama. Kemudian pergi ke Mesir dan tinggal pula di sana
beberapa lama. Setelah itu Nabi Ibrahim kembali ke Syâm dan tinggal di suatu negeri
antara Ilia dan Palestina.
Tentang perjalanan Nabi Ibrahim hijrah dari Babilonia itu disebutkan oleh
Allah dalam firman-Nya:
�اه� �ن ي �ج �وطDا و�ن ل�ى و�ل ض إ ر�� تي األ� �ا ال �ن ك �ار� �مين� فيه�ا ب �ع�ال ل ل
“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah
memberkahinya untuk sekalian manusia.” (Q.S. Al-Anbiya’ 21:71)
Menurut sebagian besar mufassir, negeri yang diberkati Allah dalam ayat ini
adalah tanah Syam, karena di negeri itu banyak diutus nabi-nabi dan lagi pula
tanahnya subur menghasilkan bermacam produk pertanian termasuk buah-buahan.
Tetapi sebagian mufassir menyatakan yang dimaksud adalah tanah ‘Iraq (Haran
masuk bagian ‘Iraq), yang diberkati oleh Allah dengan mengalirnya dua sungai besar
Eufrat dan Tigris membelah kota Baghdad. Ada pula yang mengatakan Mesir,
diberkati dengan mengalirnya sungai terpanjang di dunia, Nil. Bahkan ada juga yang
mengatakan Makkah lah negeri yang diberkati oleh Allah SWT. Karena Al-Qur’an
tidak menyebutkan nama negerinya secara eksplisit, bisa saja semuanya benar atau
salah satunya benar, karena semua daerah atau kota yang disebutkan itu adalah
negeri-negeri yang disinggahi dan didiami oleh Ibrahim dalam perjalanan hijrahnya.
5
Dalam ayat itu juga disebutkan Nabi Ibarahim hijrah dengan Luth,
keponakannya yang mengikutinya dan kemudian juga diangkat menjadi Nabi dan
Rasul yang menetap di Sodom.
Di samping itu Nabi Ibarahim AS sudah lama mendambakan anak, tetapi
tidak kunjung mendapatkannya, sementara isterinya Sârah sudah beranjak tua.
Setelah dua puluh tahun tinggal di tanah Palestina, anak yang ditunggu-tunggu tidak
juga datang, akhirnya Sârah menyarankan Ibrahim untuk menikahi Hajar,
pembantunya. Kata Sârah, mudah-mudahan Allah memberiku anak lewat Hajar.
Nabi Ibrahim mengikuti saran isterinya. Benar saja, tidak berapa lama Hajar hamil
dan kemudian melahirkan seorang putera yang diberi nama Isma’il.
Karena sangat cemburu kepada Hajar yang sudah melahirkan seorang putera,
sementara dia belum juga dikarunia seorang anak pun, Sârah meminta kepada
Ibrahim untuk membawa Hajar jauh dari hadapannya. Demikianlah, Nabi Ibrahim
pergi membawa Hajar dan puteranya Isma’il yang masih dalam umur menyusu
menuju suatu negeri yang kemudian dikenal sebagai Makkah. Ibrahim meninggalkan
Hajar dan Isma’il di suatu lembah yang kering, tidak ada air dan tidak ada tumbuh-
tumbuhan. Atas izin Allah kemudian terbit air yang kemudian dikenal dengan air
zamzam yang tidak pernah kering sampai sekarang. Beberapa waktu kemudian
Ibrahim kembali lagi ke Makkah untuk membangun Ka’bah bersama dengan
puteranya Isma’il.
Di tanah suci ini pulalah Nabi Ibrahim diuji oleh Allah dengan ujian yang
sangat berat, yaitu menyembelih puteranya Isma’il yang terkasih. Sekalipun sangat
berat, sebagai hamba dan utusan Allah, Ibrahim dengan patuh melaksanakan perintah
6
itu. Demikian juga Isma’il menerimanya dengan ridha. Rincian kisah ini akan
disampaikan dalam bagian Nabi Isma’il AS.
Sementara itu, Allah memberi kabar gembira kepada Nabi Ibarahim bahwa
beliau, melalui isteri pertamanya yang sudah tua, Sârah, akan dikaruniai seorang
putera yang bernama Ishâq, yang akan diangkat menjadi Nabi dan termasuk orang-
orang yang saleh. Allah juga akan memberkahi Ibarahim dan puteranya Ishâq. Allah
berfirman:
�اه� ن ر� �ش ح�اق� و�ب س� إ Mا ب ي �ب ) من� ن حين� �ا112الص ال �ن ك �ار� ه (و�ب ����ي ح�اق� و�ع�ل�ى ع�ل ���س و�من� إ
هم�ا ت ي نS ذ�ر� مS م�ح�س ه و�ظ�ال �ف�س ن ) ل Sين (113م�ب
Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishâq,, seorang nabi
yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan
atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang
zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.” (Q.S. Ash-Shaffât 37:112-113)
*Penulis adalah Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta dan Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Priode 2000-2005.
Sumber:Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2004
7