nasal intubasi
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Nasal IntubasiTRANSCRIPT

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
RESUME
Seorang anak perempuan berusia 9 tahun dengan diagnosa abses
mandibula kronis menjalani operasi osteotomi, nekrotomi dan ekstraksi gigi
dengan narkose umum selama ±1 jam 30 menit. Selama operasi, hemodinamik
pasien terpantau baik, tekanan darah pasien berkisar antara 120/160 mmHg dan
110/50 mmHg, nadi 120 -.110x/menit.
Obat-obatan yang digunakan antara lain, premedikasi dengan Midazolam
2 mg dan Fentanyl 50 mcg secara intravena, induksi dengan Propofol 60mg,
Relaksasi dengan Farelax 20mg, intubasi menggunakan ETT No.5 non-kinkink,
cuff (+), pack (+); maintenance dengan inhalasi O2 3 lpm, N2O 3 lpm, dan
Isoflurane 2%. Medikasi lain selama operasi yaitu Ondancetron 4mg, dan Asam
Traneksamat 250mg, fentanyl 25mcg. Jumlah cairan yang masuk sebanyak 500ml
dengan KA – EN 4B. Total perdarahan selama operasi ±100 ml.
Pada akhir operasi, ekstubasi ETT dan pemasangan guedel no.3 serta
suction sekret pada jalan nafas yang dilakukan di kamar operasi. Pasien dirawat di
ruang dahlia selama dua hari dengan keadaan umum baik dan tekanan darah
dalam batas normal.
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 1

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : An.N
Usia : 9 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : JL.Bakti 3 Rt 009/06 no 64
Agama : Islam
Status : Pelajar
No RM : 477855
Tanggal Masuk RS : 25 Januari 2016
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada
tanggal 25 Januari 2016 di Ruang Recovery RS Pelabuhan
a. Keluhan Utama
Benjolan di leher kanan sejak ± 1 tahun
b. Keluhan Tambahan(-)
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak usia 9 tahun, datang dengan keluhan benjolan di leher kanan
sejak ± 1 tahun, benjolan dirasakan hilang timbul, nyeri (+), demam (-), nyeri
menelan (-). Riwayat batuk pilek (-), sesak napas (-). Pasien memiliki riwayat
gigi berlubang pada gigi geraham sebelah kanan bawah. Jarang memeriksakan
diri ke dokter gigi
Keadaan Pra Operatif:
Suhu 36,2⁰C
TD -
BB 22 kg
Hb 13,2 g/dl
Leukosit7,78 ribu/uL
Nadi 88 x/menit
Gol. Darah -O-
TB 142 cm
Ht 40,6 %
Trombosit413 ribu/uL
Airway/Respiratory C Clear; snoring (-), gurgling (-), crowing (-), BND
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 2

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/- , gigi
bolong (+), gigi palsu (-), riwayat asma (-),
riwayat alergi (-), Mallampati 3.
Sirkulasi Akral hangat, CRT < 2”, sianosis (-), BJ I & II
reguler, murmur (-), gallop (-), riwayat penyakit
jantung (-),
Saraf Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, riwayat
kejang (-), riwayat penyakit saraf (-).
Gastro Intestinal mual-muntah (-), riwayat maag (-)
Metabolik Riwayat DM (-)
Hepar Riwayat hepatitis (-),
Renal BAK jernih
Status fisik ASA 1
Medikasi pra operatif :
IV KA-EN 500ml 1/8 jam
Puasa 6 jam pre-op
Injeksi Ceftriaxon 500mg i.v
Intra operatif
Anestesi dengan Premedikasi : midazolam 2 mg, Fentanyl 50 mcg
Induksi : Propofol 60mg
Maintenance : O2 3 lpm + N2O 3 lpm + Isoflurane
2%
Relaksasi dengan Farelax (Atracurium besylate) 20 mg
Teknik Anestesi Pre-oksigenasi, premedikasi, induksi, dilakukan
intubasi,nasal ETT No. 5.0 non-Kinkink, cuff (+),
pack (+).
Respirasi Kontrol respirasi, TV 240 ml, RR 14 x/menit
Posisi Supine
Infus KA-EN 4B
Komplikasi selama
pembedahan
-
Keadaan akhir Kes: CM, TD:110/60 mmHg, N: 110 x/menit, SpO2
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 3

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
pembedahan 100%.
Penggunaan obat-obatan durante op. :
Premedikasi Medikasi
Midazolam 2 mg, Propofol 60 mg
Fentanyl 50 mcg Farelax 20 mg
Pemberian : IV Ondancetron 4mg
Efek : mengantuk Asam Traneksamat 250mg,
Fentanyl 25mcg.
Pemantauan tanda vital durante op. :
Jumlah Medikasi Jumlah Cairan Pendarahan Catatan
Midazolam 2 mg,
Fentanyl 75 mcg
Propofol 60 mg
Farelax 20 mg
Ondancetron 4mg
Asam Traneksamat 250mg
Pre-op : 100 ml
Durante op : 400 ml
Total : 500 ml
± 100 ml DC (-)
Instruksi Post Operasi
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 4

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
Bila kesakitan : Inj ketorolak 30mg
Bila mual/muntah :Inj.Ondansentron 4mg
Antibiotik dan obat-obat :Sesuai instruksi operator (DPJP)
Minum :Boleh bila sudah sadar penuh
Infus :KA-EN 4B/24 jam
Monitor :tiap 15 menit selama di RR
Pemantauan di RR
TIME SATURASI HEART RATE
14.15 99 80
14.30 99 80
14.45 99 76
15.00 100 72
TINJAUAN PUSTAKA
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 5

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
Intubasi nasotrakeal biasanya dilakukan pada pasien yang menjalani operasi
maksilofasial atau operasi gigi atau saat intubasi Orotracheal tidak dimungkinkan
(misalnya, pasien dengan pembukaan mulut terbatas). Nasotrakeal intubasi biasa
menjadi rute pilihan untuk intubasi lama di unit kritis perawatan, tapi terbatas
penggunaannya jika ada luka pada hidung, sinusitis, dan abses lokal .
Kendalanya, karena diperlukan tabung yang panjang dan rute hidung yang sempit
mengakibatkan pulmonary toilet yang lebih sulit dan resistensi saluran napas
lebih besar.
Indikasi
Paling umum, teknik ini digunakan di ruang operasi untuk operasi gigi dan
intraoral (misalnya, prosedur rekonstruksi mandibula atau osteotomi mandibula)
dan operasi orofaringeal.
Indikasi lainnya termasuk mengamankan jalan napas pada pasien dengan
stabilitas tulang belakang leher yang dicurigai atau penyakit degeneratif tulang
belakang leher, pasien dengan massa intraoral atau kelainan struktural, dan
pasien dengan pembukaan mulut yang terbatas (misalnya, trismus).
Kontraindikasi
kontraindikasi absolut
kontraindikasi mutlak untuk intubasi nasotrakeal adalah sebagai berikut:
diduga epiglottitis
ketidakstabilan midface
koagulopati
Diduga fraktur basilar tengkorak
Apnea
kontraindikasi relatif
kontraindikasi relatif terhadap intubasi nasotrakeal adalah sebagai berikut:
polip hidung besar
Adanya benda asing hidung
Riwayat operasi hidung
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 6

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
hematoma atau infeksi saluran pernapasan atas
Riwayat epistaksis sering
Anesthesia
anestesi umum: Jika tidak ada kesulitan yang dalam mengamankan jalan napas,
berdasarkan pemeriksaan fisik atau riwayat intubasi, anestesi umum dapat
diinduksi. anestesi umum secara rutin diinduksi menggunakan rapid-acting
hypnotic (misalnya, propofol, etomidate, thiopental, ketamine).
Menilai ventilasi masker sebelum blokade neuromuskular: Setelah induksi
anestesi, menilai kemampuan ventilasi pasien sebelum memberikan blocker
neuromuskuler Setelah obat blocker neuromuskuler diberikan dan diberikan
waktu untuk mencapai efek maksimal, melakukan laringoskopi langsung atau
blind intubasi.
Prepping hidung: Pelumas dan vasokonstriktor yang biasa dilakukan pada saluran
hidung sebelum memasukan tabung endotrakeal. Berbagai vasokonstriktor yang
tersedia, seperti kokain 4% larutan (tidak melebihi 1,5 mg / kg), oxymetazoline
0,05% nasal spray (Afrin), atau hidung phenylephrine tetes 0,25-1% (Neo-
Synephrine). menggunakan lidocaine jelly atau pelumas larut dalam air
memungkinkan untuk melicinkan sepanjang panjang tabung endotrakeal.
Fiberoptik intubasi: Jika pasien terjaga, intubasi fiberoptik diperlukan;
mempersiapkan jalan napas pasien seperti dijelaskan di atas. Selain itu, pada
pasien terjaga atau dibius, anestesi topikal untuk laring pasien dan faring juga
diperlukan. Hal ini dapat dicapai dengan sejumlah teknik, seperti aplikasi
transoral anestesi lokal atau penggunaan blok saraf laring superior dengan 4%
lidocaine (hingga 3 mg / kg) diberikan transtracheally. anestesi topikal tidak
lengkap tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan pasien, itu membuat
prosedur lebih sulit dan dapat menyebabkan morbiditas pasien. Obat
antisialagogue diberikan (misalnya, glikopirolat 0,2-0,3 mg IV) untuk
meningkatkan visualisasi dari lapangan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 7

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
Peralatan
Peralatan yang dibutuhkan untuk intubasi nasotrakeal adalah sebagai berikut:
Tabung endotrakeal (Nasal Rae [lihat gambar] atau tabung endotrakeal
biasa)
Lidocaine jelly
Magill forceps
Afrin spray (oxymetazoline 0.05%)
Nasal trumpets
Syringe to inflate the cuff syringe untuk mengembangkan cuff Suction
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 8

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
PosisiUntuk induksi anestesi umum, pasien harus dalam posisi terlentang.
Jika pasien sadar, fiberoptic intubasi (atau intubasi terjaga lainnya) dilakukan.
Kebanyakan praktisi memilih duduk (di meja ruang operasi) karena mencegah
laring jatuh posterior seperti dalam posisi terlentang.
Teknik nasal anestesi
menstabilkan patensi dari nares dengan corong hidung dengan dilumasi jelly.
Menyisipkan tabung yang dilumasi dengan cuff sepenuhnya kempis melalui
paten, nares yang telah dilumasi.
Beberapa hambatan yang biasa ditemui, kemungkinan besar karena arytenoid.
Hal ini biasanya diatasi dengan sedikit rotasi berlawanan pada tabung.
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 9

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
Setelah tabung melewati nasofaring, masukan laringoskop ke dalam rongga
mulut dan memajukan tabung dengan penglihatan langsung
Setelah pita suara terlihat, tabung endotrakeal dimasukan oleh dokter atau
asisten.
Tabung endotrakeal di lanjutkan menggunakan Magill forcep oleh dokter
Asisten membantu memajukan tabung dengan perlahan-lahan mendorong.
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 10

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
Komplikasi
Komplikasi intubasi nasotrakeal adalah sebagai berikut:
Epistaksis: ini adalah komplikasi yang paling umum, yang dihasilkan dari
abrasi dari mukosa hidung ketika tabung dilewatkan posterior. Jika
perdarahan terlihat tapi intubasi masih bisa dicapai, maka harus
diselesaikan. Sebuah pipa endotrakeal di posisi yang tepat memungkinkan
tamponade perdarahan dan melindungi jalan napas. Jika berulang kali
mencoba diperlukan, maka tabung harus ditarik sampai manset
diposisikan untuk meningkat dalam rangka untuk tamponade perdarahan
(biasanya di ruang postnasal). Pilihan lain adalah untuk menarik tabung
sepenuhnya dan mencubit hidung bersama-sama.
Kerusakan rongga hidung (avulsion polip hidung, fraktur turbinat, abses
septum)
Aspirasi
stimulasi vagal
laringospasme
Kerusakan Pita suara
Bakteremia dari pengenalan flora hidung ke trakea
Pneumotoraks
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 11

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
MEDIKASI PRA-ANASTETIK
Tujuan medikasi pra-anestetik ialah untuk mengurangi rasa cemas
menjelang pembedahan, mempelancar induksi, mengurangi kegawatan
akibat anesthesia. Selain itu, obat-obat ini akan mengurangi hipersalivasi,
bradikardia, dan muntah yang timbul sesudah maupun selama anesthesia.
Ada 5 golongan obat yang diberikan sebagia medikasi pra-anestetik yaitu
analgesic narkotika, sedative barbiturate, benzodiazepine, antikolinergik,
dan neuroleptik.
Analgetik Narkotik
Morfin adalah analgetik narkotika pertama yang digunkan untuk
mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi pembedahan,
mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anesthesia dengan
trikloretilen, dan membantu agar anesthesia berlangsung baik. Kini dikenal
lebih dari 20 jenis opioid yang dapat digunakan untuk tujuan ini.
Kelompok obat ini juga memiliki sifat anestetik sehingga dapat
mengurangi KAM, tetapi ia tidak digunakan untuk tujuan anesthesia
karena untuk ini ternyata dibutuhkan dosis yang menimbulkan efek SSP
lainnya. Dengan teknik anesthesia berimbang, dampak buruk morfin, yaitu
memperpanjang waktu pemulihan dan depresi kardiovaskular, dapat
diatasi, dan mual, muntah, eksitasi, serta nyeri pasca bedah dapat
dikurangi.
Opioid lain yang digunakan sebagai medikasi pra anestetik, sesuai
dengan urutan kekuatannya ialah sulfentanil (1000kali) > remifentanil
(300 kali), fentanil (100 kali) > alfentanil (15 kali) > morfin (1 kali) >
meperidin (0,1 kali). Dosis meperidin umumnya adalah 50-100 mg
IM/Subkutan/IV, sedangkan dosis fentanil adalah 0,05-0,1 mg
IM/IV.merperidin 12,5-50 mg IV juga efektif untuk mengatasi mengigil
akibat berbagai sebab anestesia.
Pemilihan penggunaan anestesik opioid didasarkan pada lama kerja
karena semanya memberikan efek analgesia dan efek samping yang sama.
Misalnya remifentanil (10 menit), sulfentanil (15 menit ), alfentanil (20
menit), dan fentanil (30 menit).
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 12

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
ANESTETIKA INHALASI
1. Penggunaan Anestetik Inhalasi
Obat-obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran
pernapasan. Keuntungannya adalah resorpsi yang cepat melalui
paru-paru seperti juga ekskersinya melalau gelembung paru
(alveoli). Dan biasanya dalam keadaan utuh. Pemberiannya mudah
dipantau dan bila perlu setiap waktu dapat dihentikan. Obat ini
terutama digunakan untuk memelihara anestesi.
a. Nitrogen Monoksida (N2O = Gas Gelak)
Nirogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna,
tidak berbau, tidak berasa, dan lebih berat daripada udara. Gas
ini tidak mudah terbakar, tetapi bila dikombinasi dengan zat
anestetik yang mudah terbakar akan memudahkan terjadinya
ledakan misalnya campuran eter dan N2O. Nitogen monoksida
sukar larut dalam darah dan merupakan anestetik yang kurang
kuat sehingga kini hanya digunakan sebagai adjuvant untuk
atau sebagai pembawa anestetik inhalasi lainnya. Karena
kelarutannya yang buruk, masa induksi dengan N2O segera
dicapai, tetapi dengan KAM yang >100 diprlukan tekanan
parsial yang tinggi dengan perbandingan N2O:O2 (85:15)
stadium induksi akan cepat dilewati, tetapi pemberiaannya
tidak boleh terlalau lama karena mudah terjadi hipoksia yang
dapat dicegah dengan memberikan O2 100% setelah N2O
dihentikan. KAM anestetik lainnya dapat diturunkan, misalnya
0,75% menjadi 0,29% untuk halotan, dan 1,68% menjadii 0,6%
untuk enfluran. Relaksasi otot kurang baik sehingga untuk
mendapatkn relaksasi yang cukup, sering ditambahkan obat
pelumpuh otot.
Kadar N2O 80% hanya sedikit mendepresi kontraktilitas
otot jantung sehingga peredaran darah tidak terganggu. Efekya
terhadap pernapasan tidak begitu besar, dikataka induksi
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 13

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
dengan pentotal dan inhalasi N2O menyebabkan berkurangnya
respon pernapasan terhadap CO2. Pada anesthesia yang lama
N2O dapat menyebabkan mual, muntah, dan lambat sadar.
Gejala sisa hanya terjadi bila ada hipoksia atau alkalosis karena
hiperventilasi.
Nitrogen monoksida mempunyai efek analgesic yang
baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksingen efeknya seperti
efek 15mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek
analgesic maksimum kurang lebih 35%. N2O diekskresi dalam
bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil melalui kulit.
b. Isofluran
Merupakan anestetik halogenasi baru yang mempunyai
biotransformasi rendah dn toksisitas terhadap organ rendah.
Tidak seperti gas anestetik halogenasi lainnya, isofuran tidak
menimbulkan aritmia jantung dan tidak mensensitisasi jantung
terhadap kerja katekolamin. Isofluran adalah molekul yang
sangat stabil yang mengalami metabolisme sedikit, akibatnya
flourida yang dihasilkan sedikit. Isofluran umumnya tidak
bersifat toksik terhadap jaringan.
Isofluran merelaksasi otot rangka dengan lebih baik dan
meningkatkan efek pelumpuh otot depolarisasi maupun
nondepolarisasi labih dari yang ditimbulkan oleh enfluran.
Tekanan darah turun cepat dengan makin dalamnya anestesi,
namun beda dengan enfluran curah jantung dipertahankan oleh
isofluran. Hipotensi lebih disebabkan oleh vasodilatasi di otot.
Pembuluh koroner juga berdilatasi dan aliran koroner
dipertahankan walaupun konsumsi O2 berkurang. Dengan
kerjanya yang demikian isofluran dipandang lebih aman untuk
pasien penyakit jantung daripada halotan atau enfluran. Akan
tetapi, isofluran dapat menyebabkan iskemia miokardium
melalui fenomena coronary steal yaitu: pengalihan aliran darah
dari daerah yang perfusinya buruk ke daerah yang perfusinya
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 14

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
baik. Kecenderungan timbulnya aritmia pun sangat kecil, sebab
isofluran tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap
katekolamin.
Ventilasi mungkin perlu dikendalikan untuk
mendapatkan efek normokapnia sebab isofluran dapat
menyebabkan depresi nafas dan menekan respon ventilasi
terhadap hipoksia. Isofluran dapat memicu refleks saluran nafas
yang menyebabkan hipersekresi, batuk, dan spasme laring, yang
lebih kuat daripada enfluran. Ditambah dengan terganggunya
fungsi silia di jalan nafas, anestesia yang lama dapat
menyebabkan menumpuknya mucus di saluran nafas. Hal ini
dapat dikurangi dengan medikasi pra-anestetik yang memadai.
Isofluran yang mengalami biotransformasi jauh lebih
sedikit. Asam trifluoroasetat dan ion fluor yang terbentuk jauh
dibawah batas yang merusak sel. Belum pernah dilaporkan
gangguang fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan isofluran.
A. ANASTETIK INTRAVENA
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 15

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
Tabel 1. Ciri berbagai anestetik intravena yang tertera dalam tabel
menentukan pemilihannya dalam anestesia
PEMILIHAN SEDIAAN
Pemilihan anestetik umum didasarkan atas beberapa pertimbangan,
yaitu :
Keadaan pasien
Sifat anestetik umum
Jenis operasi
Peralatan serta obat yang tersedia
Agar anestesia umum berjalan sebaik mungkin, pertimbangan
utama ialah memilih anestetik yang ideal yaitu cepat melewati stadium II,
tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti hipersekresi
saluran napas atau menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin,
tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, sifat analgesic cukup kuat,
relaksasi otot cukup baik, kesadaran cepat pulih tanpa efek yang tidak
diinginkan. Kalau mungkin anestetik yang mudah di dapat dan murah.
Sayangnya tidak ada satu obat pun yang memeuhi semua sifat di atas.
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 16

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
Pada operasi ringan seperti ekstraksi dan insisi abses, tidak
diperlukan relaksasi otot yang sempurna, oleh sebab itu cukup dipilih
anestetik umum yang bersifat analgesic kuat misalnya N2O dan
trikloretilen, juga dapat digunakan analgesia neuroleptik. Pada operasi
besar seperti laparotomi, diperlukan anestetik yang menimbulkan relaksasi
otot cukup baik, misalnya eter, atau kombinasinya dengan diazepam.
Untuk tindakan kauterisasi sebaiknya dipergunakan halotan yang tidak
mudah terbakar.
Penggunaan simpatomimetik bersama dengan anestetik umum
seperti siklopropan, halotan dan metoksifluran harus berhati-hati karena
ada bahaya fibrilasi ventrikel. Bahaya ini paling minimal pada penggunaan
eter, karena eter tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap
katekolamin. Anestetik umum yang hepatotoksik seperti metoksifluran
sebaiknya tidak diberikan pada pasien hepatitis atau pada penggunaan
jangka panjang.
Penggunaan anestetik umum sangat tergantung dari sarana
setempat seperti ada tidaknya tenaga ahli anestesia, kelengkapan alat
danobat. Eter dan thiopental adalah anestetik umum yang murah dan
mudah didapat, sehingga digunakan untuk berbagai operasi terutama di
daerah.
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 17

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
DISKUSI
TEORI KASUS
Intubasi nasotrakeal biasanya
dilakukan pada pasien yang menjalani
operasi maksilofasial atau operasi gigi
atau saat intubasi Orotracheal tidak
dimungkinkan (misalnya, pasien
dengan pembukaan mulut terbatas).
Pada pasien ini dilakukan operasi
osteotomi + nekrotomi dan ekstraksi
gigi dengan diagnosis abses
submandibula kronis
kontraindikasi mutlak untuk intubasi
nasotrakeal adalah sebagai berikut:
koagulopati
Tidak adanya riwayat koagulopati.
Pada pemeriksaan lab pasien
Trombosit: 413.000
Masa perdarahan: 4.00”
Masa pembekuan: 14.00”
kontraindikasi relatif terhadap intubasi
nasotrakeal adalah sebagai berikut:
polip hidung besar
Adanya benda asing hidung
Riwayat operasi hidung
hematoma atau infeksi saluran
pernapasan atas
Riwayat epistaksis sering
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
tidak ditemukan adanya kelainan
tersebut.
anestesi umum: anestesi umum secara
rutin diinduksi menggunakan rapid-
acting hypnotic (misalnya, propofol,
etomidate, thiopental, ketamine).
Jenis anestesi umum, dengan obat
iduksi yang digunakan propofol
Pelumas dan vasokonstriktor yang
biasa dilakukan pada saluran hidung
sebelum memasukan tabung
Pada prosedur anestesi yang dilakukan
menggunakan gel lidocain dan
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 18

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
endotrakeal. Berbagai vasokonstriktor
yang tersedia, seperti kokain 4%
larutan (tidak melebihi 1,5 mg / kg),
oxymetazoline 0,05% nasal spray
(Afrin), atau hidung phenylephrine
tetes 0,25-1% (Neo-Synephrine).
menggunakan lidocaine jelly atau
pelumas larut dalam air
memungkinkan untuk melicinkan
sepanjang panjang tabung endotrakeal.
menggunakan nasal spray
menstabilkan patensi dari nares dengan
corong hidung yang dilumasi
Menstabilkan patensi nares dilakukan
dengan pemeriksaan fisik
Pemilihan penggunaan anestesik
opioid didasarkan pada lama kerja
karena semanya memberikan efek
analgesia dan efek samping yang
sama. Misalnya remifentanil (10
menit), sulfentanil (15 menit ),
alfentanil (20 menit), dan fentanil (30
menit).
Midazolam IV yang disuntikkan 15-60
menit prabedah memberikan amnesia
dengan masa kerja yang lebih singkat
dan lenih sedikit efek sampingnya.
Pada operasi operator memilih
penggunaan anestesi opoid
menggunakan fentanyl dengan masa
kerja paling lama (30 menit).
Dan midazolam yang efek sampingnya
lebih sedikit sebagai obat pra
medikasi.
dosis fentanil adalah 0,05-0,1 mg
IM/IV
Dalam operasi fentanil diberikan 50
mcg secara IV, dosis telah sesuai.
N2O ,stadium induksi akan cepat
dilewati, tetapi pemberiaannya tidak
boleh terlalau lama karena mudah
terjadi hipoksia yang dapat dicegah
Diberikan O2 100 % setelah N2O
dihentikan pada saat setelah operasi ±
1 jam 30 menit
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 19

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
dengan memberikan O2 100% setelah
N2O dihentikan.
Relaksasi otot kurang baik sehingga
untuk mendapatkn relaksasi yang
cukup, sering ditambahkan obat
pelumpuh otot.
Diberikan farelax untuk mendapatkan
relaxasi otot yang cukup.
Isofluran mempunyai biotransformasi
rendah dn toksisitas terhadap organ
rendah. Tidak seperti gas anestetik
halogenasi lainnya, isofuran tidak
menimbulkan aritmia jantung dan tidak
mensensitisasi jantung terhadap kerja
katekolamin.
Isofluran adalah molekul yang sangat
stabil yang mengalami metabolisme
sedikit, akibatnya flourida yang
dihasilkan sedikit. Isofluran umumnya
tidak bersifat toksik terhadap jaringan.
Isofluran dipakai saat operasi sebagai
pilihan anestesi inhalasi
Propofol memberikan induksi dan
pemulihan cepat. Menimbulkan efek
samping hipotensi berat
Propofol dipakai sebagai induksi
dalam operasi, namun tidak terjadi
efek samping hipotensi berat saat
operasi. TD selama operasi 110/50 -
120/60
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, prosedur nasotrakeal intubasi
berhasil dan obat-obatan dan dosis yang digunakan sudah sesuai dengan literatur.
Durasi operasi berjalan selama ±1jam 30 menit, dengan keadaan hemodinamik
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 20

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
terpantau baik, tekanan darah pasien berkisar antara 120/160 mmHg dan 110/50
mmHg, nadi 120 -.110x/menit, SpO2 100%, Pada akhir operasi, ekstubasi ETT
dan pemasangan guedel no.3 serta suction sekret pada jalan nafas yang dilakukan
di kamar operasi. Pasien dirawat di ruang dahlia selama dua hari dengan keadaan
umum baik dan tekanan darah dalam batas normal. Dengan ini dapat disimpulkan
bahwa operasi berjalan dengan baik dan telah memenuhi SOP
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 21

Laporan Kasus Anestesi Nasotrakeal Intubasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Obstetric Anesthesia. In :
Clinical anesthesiology 4rd ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-
Hill Medical Publishing Four Edition, 2006
2. Marina Shindell. Nasotracheal intubation. University of Colorado School
of Medicine, 2015http://emedicine.medscape.com/article/1663655-
overview#a8
3. Gunawan, Sulistya, dkk, 2009, “Farmakologi dan Terapi”, edisi 5, Jakarta:
FK UI.
4. Nugroho AM. Anestesia pada Bedah Laparoskopik. Dalam: Soenarto RF,
Chandra S, editor. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/ RSCM. 2012.
Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiFK UNTAR – RS Pelabuhan JakartaPeriode 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016 22