nasionalisme dalam novel manusia bebas

130
NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS KARYA SUWARSIH DJOJOPUSPITO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh Syarifah Aliya 1112013000013 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

Upload: others

Post on 06-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

KARYA SUWARSIH DJOJOPUSPITO DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Syarifah Aliya

1112013000013

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017

Page 2: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

KARYA SUWARSIH DJOJOPUSPITO DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Syarifah Aliya

NIM. 1112013000013

Di Bawah Bimbingan

Ahmad Bahtiar, M. Hum

NIP. 197601182009121002

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017

Page 3: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
Page 4: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
Page 5: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

i

ABSTRAK

Syarifah Aliya, 1112013000013, “Nasionalisme dalam Novel Manusia Bebas

Karya Suwarsih Djojopuspitodan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum.

Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito merupakan novel

yang menggambarkan tentang perjuangan kaum intelektual yang setara dengan

bangsa Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir bagi kaum pribumi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai nasionalisme dalam

novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito serta implikasinya dalam

pembelajaran sastra di SMA. Metode dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan novel Manusia Bebas memiliki unsur

intrinsik yang mendukung tema nasionalisme, dimana Sulastri, Sudarmo dan

teman-temannya berjuang dalam mendirikan sekolah untuk kaum pribumi yang

harus mengalami kesulitan seperti penyitaan dan penangkapan oleh pemerintah

Belanda. Kemudian nasionalisme memiliki cita-cita dasar sebagai arah tujuan

nasionalisme yang diperjuangkan dalam novel Manusia Bebas Karya Suwarsih

Djojopuspito yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional,

serta adanya faktor internal yang mendukung adanya nasionalisme. Novel

Manusia Bebas memuat sejarah perjuangan nasionalisme yang dapat

dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra di SMA. Dalam menumbuhkan nilai

nasionalisme di sekolah, siswa diharapkan mulai menumbuhkan tanggung jawab,

semngat kebangsaan, dan cinta tanah air.

Kata Kunci : Nasionalisme, Novel Manusia Bebas, dan Suwarsih Djojopuspito.

Page 6: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

ii

ABSTRAK

.

Syarifah Aliya, 1112013000013, “Nationalism in the Manusia Bebas Novel

written by Suwarsih Djojopuspito and the Implications for Learning Indonesian

Literature in Senior High School”. Department of Language Education and

Indonesian Literature. Faculty of Tarbiyah and teacher training. Syarif

Hidayatullah State Islamic University, Jakarta. Supervisor: Professor Ahmad

Bahtiar, M. Hum.

Manusia Bebas novel written by Suwarsih Djojopuspito is the novel which

describes the stuggle of intellectuals that par with Netherlands to establish

partikelir school for indigenous. This research aims to describe about nationalism

in the Manusia Bebas novel written by Suwarsih Djojopuspito and its implications

in the study of literature in Senior High School. The methode in this research is

descriptive qualitative.

The results of this study demonstrate a novel free man has intrinsic

elements that support the nationalism theme, where Sulastri, Sudarmo and his

friends fought in setting up schools for natives who had to experience difficulties

such as foreclosures and arrest by the Goverment of Netherlands. Then

nationalism have basic ideals as the direction of nationalism that fought in

Manusia Bebas novel written by Suwarsih Djojopuspito, i.e. national autonomy,

national unit and national identity, as well as the existence of the internal factors

that support the existence of nationalism. Manusia Bebas novel contains the

struggle of the nationalism hystory that can be utilized in the study of literature in

senior high school. In growing the value of nationalism in schools, students are

expected to begin to foster responsibility, national spirit and love of the

motherland.

Keywords: Nationalism, Manusia Bebas novel, and Suwarsih Djojopuspito.

Page 7: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

iii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. karena telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Nasionalisme dalam Novel Manusia Bebas Karya

Suwarsih Djojopuspito dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia di Sekolah”. Salawat serta salam sudah sepatutnya mengiringi

kepada Baginda Nabi Muhammad. yang telah membawa kita kepada zaman yang

dulu gelap gulita hingga sekarang terang di semesta alam.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar

sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan ini penulis banyak

mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, semangat, dan motivasi dari

berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima

kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbyah

dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan dosen

penasihat yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi.

3. Toto Edidarmo, M.A selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah

memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Ahmad Bahtiar, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat

membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan,

bimbingan, dan kesabaran serta waktu luang Bapak selama ini sehingga

penulisa dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Orang tua tercinta, Faridah dan Iskandar, yang selalu memberikan doa

restu dan dukungan baik motivasi maupun material kepada penulis untuk

Page 8: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

iv

selalu bersemangat dalam penyusunan skripsi ini serta selalu memberikan

kasih sayang sampai detik ini yang tiada hentinya

6. Ella Nurrizki Amelia dan Syariefah Nazla Farah Dibha, saudara tercinta

yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis selalu

terdorong untuk mengerjakannya.

7. Sahabat-sahabatku, Herni Nopiani, Hanida Sukardi, Renaldi Prawira, dan

Randa Al-Fahreza yang memberikan dukungan dan selalu motivasi untuk

menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-temanku Eneng Intan Lestari, Fitri Hera Febriana, Intan Ramadyla

Eka Putri, dan Ami Septiani. Mereka adalah teman sejawat dari semester

satu sampai sekarang selalu memberikan dukungan dan selalu motivasi

untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian juga sukses selalu.

9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2012 Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia, khususnya kelas A. Terima kasih pengalaman dan

pembelajaran yang berharga yang penulis dapatkan selama ini.

10. Serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis

dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah senantiasa membalas

kalian semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari para

pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Semoga penelitian ini

dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Jakarta, 5 April 2017

Penulis

Page 9: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH

LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 6

C. Pembatasan Masalah 6

D. Rumusan Masalah 7

E. Tujuan Penelitian 7

F. Manfaat Penelitian 7

G. Metode Penelitian 8

1. Waktu Penelitian 8

2. Objek Penelitian 8

3. Pendekatan dan Metode Penelitian 8

4. Sumber Data 9

5. Teknik Pengumpulan Data 10

6. Teknik Analisis Data 10

Page 10: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

vi

BAB II KAJIAN TEORI 13

A. Pengertian Novel 13

B. Unsur Intrinsik Novel 15

C. Pengertian Nasionalisme 24

D. Faktor Internal dan Eksternal 27

E. Sosiologi Sastra 31

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah 33

G. Penelitian yang Relevan 35

BAB III PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA 38

A. Biografi Suwarsih Djojopuspito 38

B. Pemikiran Suwarsih Djojopuspito 40

C. Sinopsis Novel Manusia Bebas 43

BAB IV PEMBAHASAN 46

A. Unsur Intrinsik Novel 46

1) Tema 46

2) Alur 48

3) Tokoh 55

4) Latar 67

5) Sudut Pandang 74

6) Gaya Bahasa 75

7) Amanat 77

B. Analisis Nasionalisme dalam Novel Manusia Bebas 77

C. Faktor Nasionalisme 86

D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah 90

BAB V PENUTUP 93

A. Simpulan 93

B. Saran 94

Page 11: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

vii

DAFTAR PUSTAKA 95

LAMPIRAN

RIWAYAT PENULIS

Page 12: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedatangan Belanda ke Indonesia telah mengubah masyarakat

menjadi masyarakat jajahan yang berangsur-angsur kehilangan hak atas

keadilan dan kesejahteraan hidup di negerinya sendiri. Lambat laun

belenggu penjajahan tersebut membangunkan kesadaran masyarakat

terjajah untuk bangkit membebaskan diri dari penindasan karena memang

tidak ada masyarakat yang rela seterusnya hidup sebagai masyarakat

jajahan.1 Namun, kesadaran nasional untuk mewujudkan bangsa yang

merdeka baru muncul salah satunya pada awal abad XX. Kesadaran

nasional tersebut muncul salah satunya dengan memanfaatkan kebijakan

politik etis yang diterapkan kolonial Belanda sebagai bentuk ―utang-budi‖-

nya terhadap bangsa Indonesia. Kebijakan yang melalui program irigasi,

edukasi, dan emigrasi ini diberikan sebagai upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan bangsa Indonesia.2 Pendidikan merupakan salah satu

kebijakan Belanda terhadap Indonesia yang membangkitkan rasa

nasionalisme masyarakat agar mampu menjadi bangsa yang mandiri dan

terlepas dari penjajah.

Di bidang pendidikan, Belanda banyak mendirikan sekolah formal

bagi bumiputera, terutama dari kaum bangsawan. Pendidikan formal ini

banyak membawa perubahan nilai budaya Indonesia yang terutama

dipelopori oleh kalangan terpelajar. Perubahan nilai budaya itu sebenarnya

merupakan maksud yang memang ingin dicapai oleh penjajah. Sebab

dengan masuknya nilai-nilai Barat melalui pendidikan tersebut, Belanda

mengharapkan perlawanan bangsa Indonesia dapat dikendorkan. 3

1 Tan Swie Ling, Masa Gelap Pancasila: Wajah Nasionalisme Indonesia, (Depok: LKSI

(Lembaga Kajian Sinergi Indonesia, 2014), hlm. 17. 2Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: dari Budi Utomo sampai

Proklamasi 1908-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994). Hlm. 15-17 3Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 199),

hlm. 14-18

Page 13: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

2

Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah kolonial mendirikan

sekolah-sekolah untuk pribumi, seperti ELS (Sekolah Dasar Eropa), HBS

(Sekolah Menengah Belanda), HIS (Sekolah Menengah Umum), dan

sekolah pendidikan tinggi OSVIA, STOVIA, Rechtschool, dan THS.4

Terbukanya kesempatan mendapatkan pendidikan, dimanfaatkan

oleh golongan elit pribumi dari golongan atas atau priyayi yang

memperoleh pendidikan Barat lanjutan yang lebih tinggi. Mereka

memanfaatkan kesempatan karena tak ingin seperti orang tuanya yang

hanya menjadi ambtenar (pegawai) rendahan di Pemerintahan Hindia-

Belanda. Mereka tidak menginginkan jabatan seperti juru tulis pemerintah,

guru negeri, dokter pemerintah, penerjemah, pengawas dinas irigasi atau

dinas pekerjaan umum, melainkan menginginkan kedudukan yang

merdeka, seperti swasta, pengacara, dan wartawan.5

Namun, keinginan Belanda tersebut justru bertolak belakang

dengan harapan yang mereka bina. Sebab nilai-nilai baru yang diterima

melalui pendidikan Barat tersebut justru dipergunakan untuk menghadapi

kondisi kolonial, dan membuka mata mereka akan kondisi mereka yang

sebenarnya. Para pelajar dan tokoh masyarakat yang sadar serta

mengetahui nasib masyarakat mulai berpikir untuk melepaskan diri dari

keadaan ini. Kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan masyarakat inilah

yang pertama kalinya menumbuhkan benih-benih nasionalisme.6

Pendidikan modern yang diajarkan kepada golongan elit, telah

menghasilkan intelektual-intelektual muda yang kelak menjadi tokoh

pergerakan nasional Indonesia. Beberapa di antaranya yaitu, H.O.S

Cokroaminoto yang mendapat julukan ― Raja tanpa Mahkota‖ dari orang-

orang Belanda karena kegigihannya menuntut kemerdekaan Indonesia

4R. Z. Leirissa, dkk, Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda, (Jakarta: Depdikbud,

1989), hlm.105—110 5Hans Van Miert, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di

Indonesia 1918-1930. Penerjemah: Sudewo Sutiman, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), hlm 3 6Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 199),

hlm. 14-18

Page 14: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

3

melalui organisasi Sarekat Islam yang dipimpinnya.7 Perjuangan

pergerakan nasional juga dilakukan oleh Suwardi Soeryaningrat atau lebih

dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Tokoh pergerakan yang konsen

dengan pendidikan yang sampai saat ini diberi gelar ―Bapak Pendidikan

Indonesia‖. Ki Hajar Dewantaralah yang meletakan dasar pendidikan

bangsa Indonesia melalui Taman Siswa.

Penjajahan Belanda yang dihadapi bangsa Indonesia tidak luput

dari perhatian sastrawan yang kemudian diungkapkan melalui karya sastra

dengan cara sendiri-sendiri sesuai zamannya. Para sastrawan menjelaskan

persoalan kemasyarakatan, kebudayaan dan kebangsaan disampaikan

dengan cara estetik tidak untuk menyelesaikan masalah itu sendiri, tetapi

untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Kondisi bangsa Indonesia di

bawah pemerintahan kolonialisme Belanda telah menginspirasi sastrawan

untuk menciptakan karya sastra yang memuat persoalan pada masa

kolonialisme Belanda yang menyangkut identitas nasional.

Sastrawan yang telah menjadikan karyanya sebagai alat untuk

mengobarkan semangat kebangsaan, di antaranya penyair M. Yamin

dengan sajak-sajaknya yang bertemakan tanah air (1922). Sutan Takdir

Alisyahbana melalui novelnya Layar Terkembang (1936), Mas Marco

Kartadikromo dengan novelnya Student Hidjo (1919) yang ditulis saat ia

sedang di dalam penjara karena kegigihannya dalam melawan

pemerintahan kolonial, Novel Stti Nurbaya (1922) karya Marah Roesli,

Salah Asuhan (1922) karya Abdoel Moeis. Selan itu, terdapat novel

Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito.

Suwarsih sebagai pengarang dan intelektual Hindia Belanda

berasal dari masyarakat jajahan Belanda yang fasih berbahasa Belanda.

Novel Manusia Bebas terbit di Negeri Belanda dengan judul Buiten het

Gareel. Pada mulanya novel Manusia Bebas ditulis dalam bahasa Sunda.

Namun karena ditolak oleh Balai Pustaka, ia menulis kembali dalam

bahasa Belanda lalu ditebitkan di Negeri Belanda. Alasan penolakan itu,

7Firdaus A.N., Syarikat Islam bukan Budi Utomo, (Jakarta:CV. Datayasa 1997), hlm. 4

Page 15: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

4

menurut Ajip Rosidi, karena cita-cita kesusastraan yang dibawa novel

tersebut dianggap terlampau maju oleh penerbit Balai Pustaka, sehingga

dikhawatirkan tidak dapat dimengerti oleh bangsanya.8

Novel ini berisi peristiwa tahun 1930-an di masa pergerakan

sedang hangat-hangatnya dan semangat kebangsaan mulai membangkitkan

perlawanan bangsa Indonesia kepada Belanda. Perlawanan terhadap

kolonialisme Belanda diperlihatkan pengarang novel ini dengan cara

menghadirkan intelektual yang setara dengan Belanda untuk mendirikan

sekolah partikelir nasional. Akibatnya, tokoh intelektual yang berusaha

mencerdaskan kehidupan bangsanya harus berhadapan dengan politik

kolonial yang menganggap sekolah partikelir sebagai ―sekolah liar‖

sehingga rakyat menjadi takut menyekolahkan anaknya ke sekolah

tersebut. Hal ini menyebabkan tokoh intelektual mengalami kesulitan

hidup yang sangat berat, mereka harus rela hidup melarat, selalu diawasi

oleh aparat pemerintah, dan dimusuhi oleh kawan seperjuangan atau

keluarga. Namun segala beban hidup tersebut, mereka hadapi dengan

―gagah‖. Satu tekad mereka ialah mereka lebih senang bekerja untuk

bangsanya sendiri walaupun harus menderita karenanya. Novel Manusia

Bebas merupakan dokumen sejarah yang berharga tentang kehidupan

pergerakan sebelum perang dunia kedua.9

Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan

moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai

sumber. Selain berdialog dengan orang-orang yang sudah teruji

kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya

sastra dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan tentang moral.

Karya sastra yang bernilai tinggi di dalamnya terkandung pesan-pesan

moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada suatu tempat

dan waktu tertentu yang disajikan dengan gagasan yang berisi renungan.

8 CH. Kiting, ―Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito‖, (Mimbar Indonesia,

XVII). No 5 9Dewan Redaksi, ―Ensiklopedia Sastra Indonesia‖, (Bandung: Titisan Ilmu, 2004), hlm.

487.

Page 16: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

5

Karya sastra yang berupa novel dapat dijadikan sebagai media

untuk menghidupkan kembali gambaran masalalu yang menjadi pokok

cerita dan mampu memberikan informasi sejarah. Dalam novel terdapat

peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman tertentu, namun tidak

dijelaskan, hal ini akan membuat siswa seolah-olah mengalami sendiri

peristiwa tersebut dengan penggambaran para tokoh dan peristiwa

tersebut.

Kegiatan menganalisis karya sastra juga bermanfaat bagi dunia

pendidikan, karena dapat memberikan sumbangan terhadap keberhasilan

pendidikan. Hal ini juga berhubungan dengan konsep Horace tentang

dulce dan utile, yakni bahwa sastra itu indah dan berguna. Maka dalam hal

ini, sastra dapat berguna untuk mengajarkan sesuatu, yaitu melalui

pendidikan sastra khususnya pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia di sekolah.

Novel Manusia Bebas sangat bermanfaat bagi siswa karena di

dalam novel ini mengajarkan siswa untuk serius dan bersungguh-sungguh

dalam belajar dengan mengahargai dan memanfaatkan fasilitas dan

teknologi yang sudah canggih untuk kegiatan belajar-mengajar. Novel ini

menggambarkan bagaimana susahnya mendapat pendidikan dengan baik

dan fasilitas yang terbatas namun semangatnya untuk mendapatkan

pendidikan tidak pernah padam. Kita sebagai generasi penerus dengan

segala fasilitas yang lengkap dan pendidikan yang baik seharusnya mampu

memanfaatkannya dengan baik, namun pada kenyataannya sering kita

jumpai siswa kurang memahami pentingnya memanfaatkan fasilitas dan

pendidikan, bahkan semangat para siswa zaman sekarang pun menurun

untuk belajar. Novel Manusia Bebas dapat dimplikasikan pada

pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sastra di sekolah, yaitu pada

kegiatan menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel.

Karya sastra mampu menjembatani hubungan realita dan fiksi, hal

ini mendukung kecenderungan manusia yang menyukai realita dan fiksi.

Melalui karya sastra, pembaca belajar dari pengalaman orang lain dalam

Page 17: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

6

menghadapi masalah dalam kehidupan. Di dalam sastra terdapat nilai-nilai

kehidupan yang tidak diberikan secara preskriptif.

Alasan memilih novel Manusia Bebas sebagai objek penelitian

yaitu, pertama novel ini berlatar belakang sejarah, pembaca akan tahu

mengenai keadaan Indonesia pada tahun 1930. Kedua, Suwarsih

Djojopuspito adalah satu dari sedikit penulis perempuan indonesia pada

zamanya selain selasih dan hamidah. Ketiga, adanya penolakan novel

Manusia Bebas oleh Balai Pustaka, sehingga novel tersebut diterbitkan di

negeri Belanda dengan judul Buiten het Gareel.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis

―Nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di

SMA‖,

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka masalah

yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut.

a. Kurangnya minat siswa terhadap sejarah perjuangan Indonesia

b. Siswa kurang memahami mengenai nasionalisme dalam novel Manusia

Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

c. Siswa kurang mengetahui sosok Suwarsih Djojopuspito karena

karyanya tidak terlalu dikenal.

d. Kurangnya semangat belajar siswa terhadap karya sastra khususnya

novel

e. Kurangnya minat siswa untuk membaca sastra, khususnya novel

f. Kurangnya implikasi pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi

masalah pada novel Manusia Bebas untuk dikaji mengenai unsur intrinsik

dan masalah nasionalisme pada masa pergerakan Indonesia yang terdapat

Page 18: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

7

pada novel tersebut serta implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan

Sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, rumusan

masalah pada penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana nasionalisme yang digambarkan dalam novel Manusia

Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

2. Bagaimana implikasi hasil pengkajian novel Manusia Bebas karya

Suwarsih Djojopuspito terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di

SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah

diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan nasionalisme yang digambarkan dalam novel

Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

2. Mendeskripsikan implikasi hasil pengkajian novel Manusia Bebas

karya Suwarsih Djojopuspito terhadap pembelajaran bahasa dan sastra

di SMA.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian yang akan dilakukan oleh

peneliti adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoretis,

a. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam

pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang struktur

dan pembelajaran sastra.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan

referensi dalam penelitian lebih lanjut mengenai nasionalisme.

Page 19: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

8

2. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca

untuk lebih memahami struktur yang membangun novel Manusia

Bebas. Khususnya keterkaitan antara unsur-unsur cerita seperti tema,

tokoh, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang. Kemudian

membantu pembaca untuk memahami nasionalisme yang ditampilkan

dalam novel. Selain itu, pembahasan novel Manusia Bebas ini sebagai

bahan acuan dalam pembelajaran sastra di sekolah, seperti

memberikan pemahaman terhadap siswa dalam mempelajari pokok

bahasan menentukan dan menganalisis unsur-unsur instrinsik dan

ekstrinsik novel.

G. Metode Penelitian

1. Waktu Penelitian

Waktu penelitiam dalam mengkaji novel Manusia Bebas karya

Suwarsih Djojopuspito, mulai tanggal 21 Juli 2016 – 10 Maret 2017.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah apa yang menjadi perhatian dari suatu

penelitian. Sasaran untuk mendapatkan suatu data sesuai dengan

pendapat, objek penelitian menjelaskan tentang apa dan siapa yang

menjadi objek penelitian. Dapat disimpulkan bahwa objek penelitian

adalah ruang lingkup yang merupakan pokok persoalan dari suatu

penelitian. Kali ini objek penelitiannya adalah nasionalisme dalam

novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopudpito yang diterbitkan

oleh Djambatan, Jakarta tahun 2000 cetakan ke 2, tebal buku 284

halaman, novel ini diterjemahkan sendiri oleh pengarangnya dari buku

edisi bahasa Belanda Buiten het Gareel (1940).

3. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini bersifat deskriptif,

Page 20: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

9

artinya data dari hasil analisis yaitu berupa deskripsi, bukan berupa

angka-angka atau numerik, karena objek dalam penelitian kualitatif

adalah data berupa teks.

Menurut Ratna, sumber datanya adalah karya, naskah, data

penelitiannya, sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.10

Sedangkan menurut Atar Semi, penelitian kualitatif adalah penelitian

yang mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar

konsep yang sedang dikaji secara empiris.11

Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang

apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, presepsi,

motivasi, tindakan, dll., dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata

dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah.12

Dalam penelitian ini, karya sastra yang dianalisis adalah novel

Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Sementara itu, metode

yang digunakan dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode

deskriptif. Sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap

fenomena yang ditanggap. Metode deskriptif ini bertujuan untuk

mengungkapkan data dengan pendeskripsian secara cermat dan rinci

untuk menggambarkan suatu hal, keadaan, dan fenomena yang

meliputi analisis dan interpretasi terhadap objek yang diteliti.

4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan literatur yang membahas secara

langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu Novel Manusia

Bebas karya Suwarsih Djojopuspito diterbitkan oleh Djambatan,

Jakarta tahun 2000, tebal 284 halaman cetakan ke 2. Novel ini

10

Nyoman Khuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 47.

11M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa, 2012), hlm. 11.

12Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2011), hlm. 6.

Page 21: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

10

diterjemahkan sendiri oleh pengarangnya dari buku edisi bahasa

Belanda Buiten het Gareel (1940).

Data sekunder merupakan penunjang yang dijadikan alat bantu

penelitian, yaitu berupa bahan bacaan kepustakaan seperti buku,

artikel, dan esai, serta buku-buku dan penelitian-penelitian sebelumnya

yang terkait dengan objek penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi

pustaka, dengan teknik simak dan catat. Teknik pustaka adalah teknik

yang menggunakan sumber-sumber data tertulis untuk memperoleh

data penelitian. Teknik simak dan catat digunakan sebagai instrumen

kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat, dan terarah

terhadap sumber data. Sumber-sumber tertulis yang digunakan dalam

penelitian sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian karya sastra

yang diteliti. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara

cermat terhadap sumber data primer, yaitu teks novel Manusia Bebas

untuk memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut

kemudian digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan

dalam penyusunan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian

yang akan dicapai.

6. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

a) Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Metode analisis isi dimaknai sebagai ―teknik yang sistematis untuk

menganalisis makna pesan dan cara mengungkapkan pesan‖.

Analisis ini juga bisa diartikan sebagai analisis yang digunakan

untuk mengungkap, memahami, dan menangkap isi karya sastra.

Dalam karya sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang

disampaikan pengarang melalui karya sastranya. Analisis isi

Page 22: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

11

berdasarkan asumsi bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya

sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada para

pembacanya.

b) Metode deskriptif

Metode deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan

untuk membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan

data-data yang diperoleh. Adapun teknik deskriptif yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Penelitian kualitatif

secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan

masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi,

aktivitas sosial, dan lain-lain.

Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut,

berulang dan terus menerus, masalah reduksi data, penyajian data

dan penarikan simpulan menjadi gambaran keberhasilan secara

berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul

menyusul. Dalam penelitian ini teknik analisis data menggunakan

teknik yang dikemukakan oleh Milles dan Huberman, analisis data

ini terdiri dari tiga kegiatan yaitu, reduksi data, penyajian data, dan

penarikan simpulan.13

Dengan analisis kualitatif ini akan diperoleh

gambaran sistematik mengenai isi suatu dokumen. Dokumen

tersebut diteliti isinya kemudian diklasifikasikan menurut kriteria

atau pola tertentu. Tujuan yang hendak dicapai adalah menjelaskan

pokok-pokok penting dalam sebuah manuskrip atau dokumen.

c) Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk

pada buku pedoman penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan tahun 2012.

13

Milles Matthew dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 1992), hlm.

17

Page 23: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

12

d) Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan

langkah-langkah sebagai berikut:

1) Membaca novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

secara keseluruhan, dibaca berulang.

2) Mencermati novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

secara keseluruhan.

3) Menandai kalimat-kalimat yang menunjukkan unsur-unsur yang

membangun struktur novel Manusia Bebas dan nasionalisme yang

terdapat dalam novel.

4) Menulis data yang menunjukkan struktur unsur-unsur yang

membangun struktur novel Manusia Bebas dan nasionalisme yang

terdapat dalam novel dalam bagian pembahasan penelitian

5) Menyimpulkan hasil penelitian.

Page 24: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

13

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Novel

Novel adalah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif. Novel

lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari

cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal

sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-

tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan

menitikberatkan pada sisi yang aneh dari naratif tersebut.1

Novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus

dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa

Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya

sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu

puisi dan drama. Di samping itu, di Indonesia juga dikenal istilah

roman. Pada masa permulaan kesusasteraan Indonesia, istilah roman

dipergunakan untuk penamaan karya sastra yang terbit pada masa-

masa itu.2 Dengan kata lain roman adalah sebutan sebuah karya sastra

pada masa zamannya.

Sebutan novel dalam bahasa Inggris novel kemudian masuk ke

Indonesia yang awalnya berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam

bahasa Jerman novella). Secara harfiah novella berarti ‗sebuah barang

baru yang kecil‘ dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam

bentuk prosa. Dewasa ini istilah novel dan novella mengandung

pengertian yang sama dengan istilah Indonesia ‗novelet‘, yang berarti

sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu

panjang, namun juga tidak terlalu pendek.3 Novel merupakan bentuk

1 Ratih Mihardja, Buku Pintar: Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara, 2012), hlm. 39.

2Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT

Bumi Aksara, 2010), h. 125. 3Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2010), hlm. 11 – 12.

Page 25: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

14

prosa rekaan yang lebih pendek dari roman. Novel merupakan

karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan

seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan

watak dan sifat pelaku.4 Biasanya novel menceritakan peristiwa pada

masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari.

Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur instrinsiknya masih

lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, tokoh dan penokohan.5

Dari perspektif historis, novel memiliki garis perkembangan

yang membentang ke belakang, ke tradisi-tradisi fiksi pendahulunya.

Dalam buku Furqonul Aziez, R.J. Rees menjabarkan bahwa hakikat

novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup

panjang yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan

nyata dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks.

Sebagaimana kita pahami, novel merupakan suatu karya fiksi yaitu

karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh

dan peristiwa rekaan.6

Permasalahan dalam novel biasanya mempersoalkan manusia

dengan berbagai aspek kehidupan. Di dalamnya tercermin masalah-

masalah kehidupan yang dihadapi manusia pada suatu waktu dan

pemecahannya sesuai dengan pandangan dan cita-cita pengarang.7

Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa novel merupakan

karangan panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan

seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan

sikap-sikap pelaku. Permasalahan yang diungkapkan di dalam novel

diantaranya masalah sosiologis, psikologis dan agama. Masalah yang

ditampilkan itu seirama dengan perkembangan kehidupan dan sosial

masyarakat. Oleh sebab itu, sastrawan mencoba memilih pokok

4Suprapto, Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra, (Surabaya: Indah, 1993), hlm. 53.

5Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 141.

6Furqonul Aziez dan Abdul Hamid, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, (Bogor:

Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 1 – 4. 7Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI

Press, 2006), hlm. 41.

Page 26: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

15

permasalahan yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk novel

dengan bahasa sebagai medianya.

B. Unsur Intrinsik Novel

Unsur-unsur pembangun sebuah novel terbagi menjadi unsur

intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang

membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang

menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang

secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur

intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut

serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik

inilah yang membuat novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat

dari sudut kita membaca, unsur-unsur cerita inilah yang akan dijumpai

jika kita membaca sebuah novel.8

Unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel adalah sebagai

berikut:

1. Tema

Brooks dan Werren dalam Traigan mengatakan bahwa ―tema

adalah dasar atau makna suatu cerita tau novel‖. Sementara

Boorks, Purser, dan Werren dalam buku lain mengatakan bahwa

―tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu

mengenai kehidupan atau rangkaian nilai—nilai tertentu yang

membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu

karya sastra‖.9

Tema menyajikan cerita yang menggambarkan kondisi

emosi atau kejiwaan pengarang seperti cinta, derita, rasa takut,

kedewasaan, keyakinan, penghianatan, hal ini merupakan wujud

dari tema sebagai aspek cerita yang sejajar dengan ‗makna‘ dalam

8Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2013), hlm. 29 – 30. 9Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1984), h.

125.

Page 27: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

16

pengalaman manusia.10

Menurut Stanton dan Kenny dalam

Nurgiantoro menjelaskan tema adalah makna yang dikandung oleh

sebuah cerita.11

Makna sebuah cerita dapat lebih dari satu. Oleh

sebab itu, banyak interpretasi yang muncul dari sebuah karya

sastra. Hal ini yang menyebabkan sulitnya untuk menentukan tema

pokok atau dapat disebut tema mayor.

Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi

dasar atau gagasan utama suatu karya. Menentukan tema pokok

sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih,

mempertimbangkan dan menilai, di antara sejumlah makna yang

ditafsirkan dan dikandung oleh karya yang bersangkutan.

Sedangkan tema minor merupakan makna yang hanya terdapat

pada bagian-bagian tertentu cerita dan dapat diidentifikasikan

sebagai makna bagian, makna tambahan.12

Menentukan tema merupakan pekerjaan yang tidak mudah

karena harus memperhatiakan berbagai aspek, termasuk

pemahaman cerita secara keseluruhan dan sudut pandang yang

dipilih. Untuk menentukan sebuah tema dapat disimpulkan dari

keseluruhan cerita bukan hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu

cerita. Kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan

cerita.13

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakan bahwa tema

adalah ide dasar atau gagasan pokok yang secara eksplisit

terkandung dalam sebuah novel. serangkaian peristiwa dapat

diidentifikasi berdasarkan tema mayor dan tema minor. Secara

keseluruhan, untuk mendapatkan tema dalam sebuah novel

diperlukan proses kesimpulan dari keseluruhan cerira.

10

Robert Staton, Teori Fiksi, terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta:

Pustaka Pealajar, 2007), hlm. 36—37. 11

Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit. hlm. 67-68 12

Ibid, hlm. 133 13

Ibid, hlm. 116

Page 28: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

17

2. Alur

Unsur yang juga sangat penting adalah alur yang

membentuk kerangka cerita. Rangkaian peristiwa direka dan dijalin

dengan saksama membentuk alur yang menggerakkan jalannya

cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.14

Untuk

menyebut plot, secara tradisional orang juga sering

mempergunakan istilah alur atau jalan cerita. Stanton dalam

Widjojoko mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi

urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara

sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan

terjadinya peristiwa yang lain.15

Plot dibangun oleh beberapa

peristiwa yang biasa disebut alur. Unsur-unsur alur ialah:

perkenalan, pertikaian, klimaks atau puncak masalah, peleraian,

dan akhir cerita.16

Untuk menjelaskan tahapan-tahapan alur ini, penulis memakai

pendapat Tasrif dalam Burhan Nurgiyantoro, tahapan-tahapan

dalam alur dijelaskan menjadi lima bagian, tahapan tersebut

sebagai berikut.

1) Tahapan Penyituasian

Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan

pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan

tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-

lain, yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang

dikasihkan pada tahap berikutnya.

14

Melani Budianta dkk, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan

Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hlm. 86. 15

Nurgiyantoro, Op.Cit., hlm. 165 – 167. 16

Widjodjoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI

PRESS, 2006), hlm. 20.

Page 29: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

18

2) Tahap Pemunculan Konflik

Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan

masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Tahap

ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu

sendiri yang akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi

konflik-konflik pada tahap berikutnya.

3) Tahap Peningkatan Konflik

Pada tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap

sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar

intensitasnya. Peristiwa yang dramatik menjadi inti cerita

semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang

terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-

pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan masalah,

dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat

dihindarkan.

4) Tahap Klimaks

Tahap klimaks yaitu tahap di mana konflik dan pertentangan-

pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan ditimpakan kepada

para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Pada tahap

ini klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang

berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik

utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih

dari satu klimaks atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian.

5) Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik yang

telah mencapai klimaks diberikan penyelesaian. Konflik-

konflik yang lain, sub-sub konflik, dan konflik-konflik

tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar. Sehingga, tahap ini

disebut juga sebagai tahap akhir dari sebuah cerita.17

17

Nurgiantoro, op.cit, hlm. 9 – 10

Page 30: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

19

Pemaparan alur di atas dapat disimpulkan bahwa alur adlah

berbagai peristiwa yang dialami oleh tokoh, diseleksi dan diurutkan

berdasarkan sebab akibat.

3. Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam

cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita

sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.

Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah

laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu

karya oleh sastrawan disebut perwatakan. 18

Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.

Penggunaan istilah karakter sendiri dalam berbagai literatur bahasa

inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda yaitu sebagai

tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan,

keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh

tersebut. Dengan demikian, istilah ―penokohan‖ lebih luas

pengertiannya daripada ―tokoh‖ dan ―perwatakan‖ sebab ia

sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana

perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam

sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas

kepada pembaca.19

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat

dibedakan berdasarkan pada peran dan pentingnya seorang tokoh

dalam cerita fiksi secara keseluruhan yang terdiri dari tokoh utama

dan tokoh tambahan. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat

dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis, dilihat

berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan dalam kategori tokoh

sederhana dan tokoh bulat, berdasarkan kriteria berkembang atau

tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam

18

Budianta, Op cit., hlm 142 – 143. 19

Nurgiantoro, Op cit., hlm. 247 – 248.

Page 31: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

20

tokoh statis dan tokoh berkembang, dan berdasarkan kemungkinan

pencerminan tokoh cerita terhadap manusia dari kehidupan nyata

dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan tokoh netral.20

Penokohan ialah bagaimana cara pengarang

menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh.

Pertama, secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan

bagaimana watak tokoh-tokohnya. Kedua, secara dramatik yaitu

pengarang tidak langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-

tokoh dalam ceritanya. Misalnya: melalui penggambaran tempat

dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir (potongan tubuh dan

sebagainnya) melalui percakapan (dialog) melalui perbuatan sang

tokoh.21

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh

adalah karakter ciptaan pengarang yang mengalami peristiwa

dalam cerita. Dalam penelitian ini tokoh dibagi menjadi tokoh

protagonis dan antagonis.

4. Latar

Latar adalah lingkungan yang dapat dianggap berfungsi

sebagai metonimia atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar

juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok; lingkungan yang

dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang

tidak dapat dikontrol individu.22

Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum

(general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan

kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode

atau bagian-bagian tempat. Hudson dalam Siswanto membagi

setting atas setting sosial dan setting fisik, setting sosial

20

Ibid, hlm. 258 – 274. 21

Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 26 22

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Sastra, Terj. dari, Theory of Literature oleh

Melani Budianta, (Jakarta:Gramedia, 1993), hlm. 282.

Page 32: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

21

menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial

dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain

yang melatari peristiwa.

Latar fisik mengacu pada wujud fisikal, yaitu bangunan,

daerah, dan sebagainya. Tidak semua jenis latar cerita itu ada di

dalam sebuah cerita rekaan. Mungkin dalam sebuah cerita rekaaan,

latar yang menonjol adalah latar waktu dan tempat. Penggambaran

latar ini ada yang terperinci, ada pula yang tidak. Ada latar yang

dijelaskan secara persis seperti kenyataannya; ada yang gabungan

antara kenyataan dengan khayalan; ada juga latar yang merupakan

hasil imajinasi sastrawannya.23

Secara garis besar deskripsi latar fiksi dapat dikategorikan

dalam tiga bagian, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

a. Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah

geografis, menyangkut deskripsi tempat peristiwa terjadi,

misalnya yang menunjukan latar pedesaan, perkotaan, atau

lainnya.

b. Latar waktu berkaitan dengan masalah historis, mengacu pada

saat terjadinya peristiwa dalam plot.

c. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat, merupakan

lukisan status yang menunjukkan hakikat seseorang atau

beberapa orang tokoh dalam masyarakat yang ada di

sekelilingnya.24

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar

adalah keterangan waktu, tempat, dan suasana dalam karya sastra

yang digunakan sebagai landasan untuk memberikan kesan realistis

kepada pembaca.

23

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 149 –

150. 24

Suminto A. Sayuti, Apresiasi Prosa Fiksi, (Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan,

1996), hlm. 126—127.

Page 33: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

22

5. Titik Pandang atau Sudut Pandang

Abrams dalam Nurgiantoro mengemukakan sudut pandang

adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai

sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai

peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada

pembaca. Pandangan hidup pengarang disalurkan lewat kacamata

tokoh cerita.25

Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang

ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh,

peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. Titik pandang

oleh Aminuddin diartikan sebagai cara pengarang menampilkan

para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.26

Sudut pandang

point of view merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton

dan Siswanto digolongkan sebagai sarana cerita. Sudut pandang

haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan

sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Sudut

pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke

dalam dua macam: persona pertama, first person, gaya ―aku‖, dan

persona ketiga, third person, gaya ―dia‖. Jadi dari sudut pandang

―aku‖ atau ―dia‖, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita

dikisahkan. Kedua sudut pandang tersebut masing-masing

menunjuk dan menuntut konsekuensinya sendiri.27

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sudut

pandang alah cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita

sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, dan berbagai

peristiwa yang membentuk cerita.

25

Nurgiantoro, op.cit., hlm. 248. 26

Wahyudi Siswanto Ibid, hlm. 151 – 152. 27

Ibid,hlm. 338 – 339.

Page 34: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

23

6. Gaya Bahasa

Dalam sastra, gaya adalah gaya pengarang dalam

menggunakan bahasa. Meskipun dua orang pengarang memakai

alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa

sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada

bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan,

ritme, penjeng pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan,

danbanyaknya imajinasi dan metafora. Campuran dari bberbagai

aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan haya.28

Hanry Guntur Tarigan dalam bukunya mengungkapkan

bahwa dalam gaya, penggunaan majas ini sedikit banyak

tergantung pada usia, pendidikan, pengalaman, tempramen,

keterampilan, serta kecakapan para pelaku itu berbicara atau

menulis. Dalam hal-hal seperti ini, sang pengarang telah

mengemukakan majasnya sendiri yang normal dan harus

memberi kesempatan pada pencerita melaksanakan percakapan

tersebut. di samping itu juga, aneka penggunaan jenis majas

seperti metafora, personifikasi, alerogi, ironi, simbolisme,

sinekdok, dan lain-lain, bergantung pada materi, kondisi, dan

situasi cerita yang akan di garap.29

Dalam penelitian ini gaya bahasa yang digunakan yaitu

gaya bahasa kiasan hiperbola dan personifikasi serta diselipkan

bahasa Sunda.

7. Amanat

Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, pesan

yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau

pendengar.30

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis

28

Robert Staton, Teori Fiksi Robert Staton, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007), h. 61

29Hanry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 156

30Ibid,hlm. 162.

Page 35: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

24

yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui

karyanya.31

C. Pengertian Nasionalisme

Istilah nation atau bangsa dapat dikatakan sebagai suatu kata

yang termasuk dalam kelompok kata-kata seperti ras, komunitas,

orang, suku bangsa, clan, masyarakat dan negara. Hans Kohn dalam

Utomo memberikan pengertian tentang nasionalisme sebagai suatu

faham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus

diserahkan kepada negara kebangsaan. Bahwa kebanyakan bangsa itu

memiliki faktor-faktor objektif tertentu yang membuat mereka itu

berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Unsur yang terpenting adalah

kemauan bersama dan hidup nyata. Kemauan itulah yang dinamakan

nasionalisme, yakni suatu faham yang memberi ilham pada sebagian

terbesar penduduk yang mewajibkan dirinya untuk mengilhami

segenap anggota-anggotanya.32

Rasa nasionalisme itu telah muncul manakala suatu bangsa

memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu negara

kebangsaan. Dalam buku Badri Yatim, Renan mengatakan bahwa

syarat bangsa ialah kehendak akan bersatu, merasa dirinya satu, dan

mau bersatu. Otto Bauer, bangsa adalah satu kesatuan perangai yang

timbul karena adanya persatuan nasib. Selain itu, Ki Bagoes

Hardikusumo dan Munandar mengatakan bangsa adalah persatuan

antara orang dan tempat. Dari tiga pendapat tersebut, kemudian

Soekarno menyimpulakan, bahwa nasionalisme terdiri dari rasa ingin

bersatu, persatuan perangai dan nasib, serta persatuan antara orang

31

E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012),

hlm. 71. 32

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan

Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 17, 19

Page 36: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

25

dan tempat.33

Kata ―nasional‖ menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, nasional berarti bersifat kebangsaan; berkenaan atau

berasal dari bangsa sendiri meliputi suatu bangsa. Nasionalisme dari

kata nasional dan mendapat imbuhan isme yang bermakna paham

(ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara.34

Nasionalisme dengan

demikian, adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar

manusia perorangan hingga mereka membentuk suatu bangsa.

Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan (a sense a

belonging together) sebagai suatu bangsa.35

Nasionalisme diartikan sebagai suatu gerakan ideologis untuk

mencapai dan mempertahankan otonomi, dan identitas bagi suatu

populasi yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu

bangsa yang potensial. Selain sebagai ideologi, nasionalisme juga

sebagai paham yaitu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan

tertinggi individu harus diserahkan kepada negara.36

Nasionalisme sebagai ideologi memiliki tiga ideal fundamental

atau cita-cita yang mendasar yaitu otonomi nasional, kesatuan

nasional, dan identitas nasional. Penjelasan dari ketiga ideal

fundamental adalah sebagai berikut.

1. Otonomi Nasional

Otonomi nasional maksudnya adalah mengatur diri sendiri secara

nasional yang ditandai dengan kebebasan politik atas kehendak

kolektif dan perjuangan untuk mempunyai pemerintahan sendiri.

Pengaturan diri nasional bisa secara total dalam bentuk negara

33

Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),

hlm. 57—60. 34

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi. 3, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2007), hlm. 775. 35

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan

Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 20 36

Ibid, hlm. 25

Page 37: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

26

teritorial berdaulat atau parsial melalui sejumlah bentuk

pemerintahan sendiri kemunal atau federal.

2. Kesatuan Nasional

Kesatuan nasional bukanlah menyeragamkan yang berbeda-beda

ataupun sebuah homogenitas dari berbagai perbedaan, tetapi

merupakan penyatuan dari anggota bangsa secara sosial dan

kultural. Kesatuan nasional mengupayakan penyatuan dari

keinginan-keinginan individu melalui sentimen cinta dan

persaudaraan, tidak menuntut anggota-anggota individual harus

menjadi serupa namun menjadi satu ikatan solidaritas yang sesuai

dengan kepentingan nasional.

3. Identitas Nasional

Identitas nasional secara umum menunjukan kesamaan di dalam

suatu objek pada suatu waktu dan ketetapan suatu pola khas di

dalam periode tertentu. Identitas memiliki dimensi yang

menjelaskan kekhasan suatu bangsa secara normatif berbentuk

nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis. Implikasinya

masing-masing bangsa memiliki kaitan dengan suatu budaya

historis yang khas, cara tunggal dalam berpikir, bertindak, dan

berkomunikasi yang menjadi milik bersama bagi anggota bangsa

dan tidak dimiliki oleh non-anggota.37

Kesadaran manusia, bahwa ia hidup bernegara, ternyata makin

tumbuh kuat. Hal itu, biasanya disebut nasionalisme, ternyata bisa

melebihi kesadaran seturunan (darah), sesuku, sedesa atau sewilayah,

seagama, dan sebagainya.

Nasionalisme itu lambat laun tumbuh dalam sejarah ummat

manusia untuk meledak pada abad ke-19 dan terus merupakan

37

Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori Ideologi dan Sejarah, Terjemahan dari

Nasionalism: Teori, Ideologi, History, ter. Frans Kowa, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 11.

Page 38: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

27

kekuatan utama pada abad ke-20 ini dalam hidup politik. Untuk

tegasnya, dikemukakan beberapa unsurnya:

1. Kesadaran dan kemauan tak kunjung padam untuk hidup dalam

satu negara sendiri,

2. Pengalaman, penderitaan, perjuangan dan kemenangan-

kemenangan bersama di masa lampau, dan kesediaan untuk

berkorban lagi di masa sekarang dan yang akan datang,

3. Terpanggil untuk menjalankan peranan di antara bangsa-bangsa

4. Way of life sendiri, hidup menurut tradisi, watak, semangat dan

kepribadian sendiri.38

Nasionalisme mengikat warga negara dalam beberapa hal, yakni

(a) memiliki kesadaran sebagai satu bangsa, yang dapat memperkuat

rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan, (b) jiwa, semangat, dan

nilai-nilai patriotik, yang berkaitan dengan perasaan cinta tanah air,

cinta kepada tanah tumpah darah, cinta kepada negara dan bangsa,

cinta kepada milik budaya bangsa sendiri, kerelaan untuk membela

tanah airnya, (c) jiwa, semangat dan nilai-nilai kreatif dan inovatif,

dan (d) jiwa, semangat, dan nilai-nilai yang mampu membentuk

kepribadian, watak dan budi luhur bangsa.39

D. Faktor-faktor Nasionalisme

Secara tipologis munculnya Pergerakan Nasional Indonesia

disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor dalam negeri (faktor internal)

dan faktor pengaruh luar negeri (faktor eksternal). Munculnya

nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia

telah memiliki akar dalam tubuh masyarakat dan bangsa Indonesia

sepanjang penjajahan Barat. Faktor pengaruh luar negeri tampaknya

38

M. Hoeta Oeroek S.H, Seluk Beluk Negara: suatu pengantar sederhana, (Djakarta:

Erlangga, 1971), hlm.132—133. 39

M. Habib Mustopo. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.(Jakarta: Badan Penelitian

dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan,1983)

Page 39: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

28

merupakan hal yang mempercepat dan mematangkan tumbuhnya rasa

nasionalisme Indonesia.

1. Faktor Internal

Politik etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan

politik yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada

tahun 1900-1945. Untuk itu bangsa Belanda mempunyai kewajiban

untuk membalas budi kepada bangsa Indonesia dengan cara

memikirkan nasib dan kesejahteraan Indonesia. Sesuai dengan

anjuran C. Th. Van Deventer untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat Indonesia dapat ditempuh melalui pelaksanaan tiga prinsip

dasar, yang terkenal dengan Trilogi Van Deventer, yakni

pendidikan, perpindahan penduduk, dan pengairan. Dengan

bertumpu pada tiga prinsip itu pemikiran para Etikus rakyat

Indonesia dapat diangkat dari jurang kemelaratan dan kebodohan.40

Walaupun dari sudut pandang kolonial kebijakan pendidikan

Belanda diarahkan untuk kepentingan pemerintahan kolonial, dari

sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat

telah melahirkan Elit baru yang muncul sebagai produk pendidikan

Barat. Elit baru inilah yang kemudian menjadi pelopor Pergerakan

Nasional. Pelaksanaan politik etis ini secara tidak langsung telah

mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar

akan nasib bangsanya akibat praktik-praktik politik penjajajah.41

Menurut Kahin dalam Utomo faktor-faktor internal yaitu,

pertama penjajahan Belanda yang diikuti perluasan administrasi

dan birokrasi kolonial di hampir seluruh wilayah Nusantara secara

tidak lansung telah menyatupadukan penduduk-penduduk dari

berbagai bahasa dan kebudayaan menjadi satu unit politik dan

dengan cara demikian telah menimbulkan di kalangan rakyat

40

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan

Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 40. 41

Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Depertemen dan Kebudayaan Direktorat

Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989), hlm 98

Page 40: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

29

Nusantara semacam ―kesadaran‖ yang sama bahwa mereka berada

di bawah penindasan bangsa asing yang keji. Kedua selain

ditentukan oleh batas-batas geografis kekuasaan politik Belanda

nasionalisme Indonesia juga didorong oleh suatu kebanggaan

zaman keemasan Nusantara sebelum kedatangan bangsa asing ke

wilayah ini. Ketiga suatu faktor penting yang menimbulkan

nasionalisme yang kental adalah persamaan agama, yakni 90

persen penduduk Indonesia beragama Islam. Keempat adalah

bahasa melayu menjadi ciri khas atau identitas masyarakat bumi

putera yang membedakannya dari masyarakat atau orang Belanda

yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya

baik dalam kepentingan resmi maupun pergaulan. Kelima sejalan

dengan pergerakan nasional, penyatuan nasionalisme Indonesia

diakui dalam bentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), yakni

lembaga perwakilan tertinggi untuk seluruh Indonesia. keenam

pertumbuhan dan perluasan nasionalisme Indonesia sedikit banyak

telah dibantu oleh teknik-teknik penyebaran gagasan yang

dilakukan oleh surat kabar bumi putera dan radio.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa timbulnya

kesadaran nasional dan harga diri sebagai bangsa pada rakyat

Indonesia adalah akibat meluasnya dan meningkatnya pendidikan

dan pengajaran. Perluasan dan peningkatan pengajaran dan

pendidikan menyebabkan pemuda-pemuda pelajar bangsa

indonesia memiliki pikiran-pikiran yang maju. Mereka semakin

sadar akan harga dirinya sebagai bangsa. Inilah yang menjadi

pendorong yang kuat untuk melahirkan serta menumbuhkan

nasionalisme indonesia.

Page 41: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

30

2. Faktor Eksternal

Timbulnya pergerakan kebangsaan di Indonesia tidak lepas

dari peristiwa-peristiwa yang lahir di bagian lain di luar Indonesia.

Faktor eksternal adalah munculnya gerakan-gerakan kebangsaan di

negara-negara Asia dan Afrika, seperti: (1) gerakan Turki Muda,

suatu gerakan untuk mencapai perbaikan nasib yang akhirnya

menimbulkan revolusi antikaum kolot pada tahun 1908, (2)

munculnya Pergerakan Kebangsaan Tiongkok yang dipimpin oleh

Dr. Sunyatse, (3) Perjuangan Mahatma Ghandi di India, (4)

perjuangan Dr. Joze Rizal di Filipina, dan sebagainya. Semua

faktor itu telah mematangkan dan berkembangnya pergerakan

kebangsaan Indonesia pada awal abad XX.42

Selain itu, kaum terpelajar bangsa Indonesia sudah banyak

mendengar dan membaca gerakan-gerakan kebangsaan,

pembaharuan dan modernisasi yang terjadi dibeberapa negeri di

Asia, misalnya di Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha.

Di negeri Cina di bawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen yang terkenal

pula dengan San Min Chu I-nya. Di India di bawah pimpinan Bal

Gandahar Tilak dan Mohandas Karamachad Gandhi yang lebih

dikenal dengan nama Mahatma Gandhi. Kaum terpelajar Indonesia

mendengar serta membaca tentang apa yang terkenal dengan nama

―Restoransi Meiji‖ di Jepang. Demikian pula kemenangan Jepang

atas Rusia dalam peperangan tahun 1904—1905. Di dalam

peperangan itu angkatan Laut Jepang mengalahkan serta

menghancurkan angkatan laut Rusia. Kejadian itu dianggap

sebagai suatu peristiwa yang luar biasa. Sebelum kejadian itu

sudah menjadi kepercayaan bahwa orang-orang Eropa tidak dapat

diungguli atau dikalahkan oleh bangsa-bangsa Asia.

42

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan

Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 40—49.

Page 42: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

31

Jadi kemenangan bangsa Jepang itu dianggap oleh negeri-

negeri di Asia sebagai kemenangan bangsa Asia atas bangsa Eropa.

Hal ini membangkitkan rasa harga diri pada bangsa-bangsa Asia,

termasuk bangsa Indonesia. Peristiwa kemenangan bangsa Jepang

atas bangsa Rusia besar sekali pengaruhnya di kalangan bangsa-

bangsa Asia, juga dikalangan bangsa Indonesia. terutama di

kalangan kaum mudanya yang mendengar dan membaca berita itu.

Pembangkit utama kesadaran nasional bangsa Indonesia

adalah situasi dan kondisi dalam negeri indonesia sendiri serta

diperkuat oleh faktor faktor dari luar negeri. Hari kebangkitan

nasional indonesia 20 Mei 1908.43

E. Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra, dengan menggabungkan dua disiplin yang

berbeda, sosiologi dan sastra, secara harfiah mesti ditopang oleh dua

konsep yang berbeda, yaitu konsep-konsep sosiologi dan konsep-

konsep sastra. Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah

dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat

tercapai secara maksimal. Dalam sosiologi sastra seharusnya

mendominasi jelas konsep-konsep yang berkaitan dengan sastra,

sedangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi

sebagai komplementer.44

Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang

manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial.

Sosiologi mencoba mencari tahu bagaiaman masyarakat

dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaiamana ia tetap

ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah

perekonomian, kegamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu

43

Sagimun M.D, Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Museum

dan Sejarah, 1988), hlm. 188—190. 44

Suwarsih Endraswara, Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: CAPS,

2011), h. 34.

Page 43: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

32

merupakan struktur sosial kita mendapatkan gambaran tentang cara-

cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang

mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan

anggota masyarakat di tempatnya masing-masing. Sastra berurusan

dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk

menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.

Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah

yang sama.

Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat

ini menaruh perhatian yang lebih besar terhadap aspek documenter

sastra: landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin

zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan

cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan

kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain.45

Karena sastra

memiliki hubungan yang khas dengan sistem sosial dan budaya

sebagai basis kehidupan penulisnya, maka sastra selalu hidup dan

dihidupi oleh masyarakat, dan masyarakat sebagai objek kajian

sosiologi menegaskan adanya hubungan antara sastra sebagai disiplin

ilmu dengan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang lainnya.46

Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa sosiologi sastra

objek kajiannya adalah sastra yang berupa karya sastra, sedangkan

sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang

ada dalam sastra, baik penulis, sastra, maupun pembaca dengan

mempertimbangkan aspek-aspek yang melatarbelakangi karya

tersebut. Dalam penelitian ini sosiologi dalan novel Manusia Bebas

merupakan cerminan nasionalisme pada zaman itu.

45

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979), h. 7—10. 46

Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2012), h. 3.

Page 44: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

33

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Proses belajar mengajar di dalam lingkungan formal atau

biasanya dikenal dengan istilah ―pengajaran‖, bertujuan

mengembangkan potensi individual siswa sesuai dengan kemampuan

siswa menyangkut kecerdasan, kejujuran, keterampilan, pengenalan

kemampuan dan batas kemampuannya, dan karsa mengenai dan

mempertahannkan kehormatan dirinya. Dengan kata lain, tiap

kegiatan menyiratkan upaya pendidikan, yang bertujuan membina

watak siswa. Artinya, pengajaran sastra menghasilkan manusia-

manusia yang dapat bertahan hidup tanpa menyusahkan ataupun

merepotkan orang lain.47

Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran

kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam

berbahasa. Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari

aspek kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca,

dan menulis. Dengan demikian sastra dapat meningkatkan

pengetahuan budaya, memperluas wawasan hidup, pengetahuan-

pengetahuan lain, serta mengembangkan kepribadian.

Pengajaran bahasa dan sastra dapat membangun kemanusiaan

dan kebudayaan sehingga dapat melahirkan masyarakat yang mampu

berpikir kritis mandiri, dan sanggup berekspresi dan berapresiasi

dengan baik. Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran

kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam

berbahasa. Sastra dapat membantu pensisikan secara utuh karena

sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan

cipta, rasa, dan karsa, menunjang pembentukan watak,

menembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan,

pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi.48

47

Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia, (Yogyajarta: Graha Ilmu, 2008), hlm. 30 48

Kinaryanti Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, (Yogyakarta:

Pustaka, 2006), hlm. 84—85.

Page 45: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

34

Ketika mengajarkan sastra di sekolah, diperlukan beberapa

metode untuk mengajarkannya supaya siswa tidak merasa bosan dan

terus ingin belajar. Dalam pengajaran novel, tema dalam suatu novel

hendaknya tidak langsung diberikan oleh guru. Mereka harus

dibiarkan agar tumbuh kesadarannya, sebagai hasil pengalaman-

pengalaman mereka sendiri dalam menggauli novel-novel tersebut

lewat diskusi-diskusi yang terarah dan cermat.49

Untuk dapat mempelajari pelajaran sastra di SMA diharapkan

pendidik dapat menjabarkannya ke dalam empat kompetensi, yaitu

kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dari

keempat kompetensi tersebut, jelas bahwa pengajaran sastra dalam

pembelajaran bahasa Indonesia sangatlah bermanfaat untuk membantu

siswa dalam keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan

budaya, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan

kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi.50

Karena

pada hakikatnya, pendidik (guru) adalah pendamping siswa dalam

usaha mengungkapkan penghayatan, tanggapan, dan penilaian

pengarang terhadap kehidupan, khususnya dalam sebuah karya sastra.

Pokok materi pembelajaran sastra di sekolah terdapat dalam

pembelajaran bahasa Indonesia. Secara umum pembelajaran sastra

yaitu terkait dengan apresiasi terhadap karya sastra. Salah satu

kompetensi dasar dalam pembelajaran sastra adalah menentukan

unsur-unsur intrinsik novel. Dalam menentukan unsur-unsur intrinsik

novel, siswa diarahkan untuk membaca dan menganalisa novel,

sehingga berdampak pada pengembangan cara berpikir siswa. Serta

melalui kegiatan menganalisis novel, akan menambah wawasan sosial

dan budaya siswa.

49

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: penerbit KANISIUS, 1996),

hlm. 75 50

Kinaryanti Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, (Yogyakarta:

Pustaka, 2006), hlm. 85.

Page 46: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

35

G. Penelitian yang Relevan

Novel Manusia Bebas ini sudah diteliti sebelumnya. Penelitian

pertama oleh Dwi Retno Setiarti yang berjudul ‖ Manusia Bebas

Analisis Tokoh, Latar dan Tema. Skripsi mahasiswa Universitas

Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia 1989. Skripsi ini memberikan

gambaran tentang tema,tokoh dan penokohan, serta latar novel

Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Novel Manusia Bebas

karya Suwarsih Djojopuspito ini berlatar waktu sekitar tahun 1930-an,

di masa kegairahan para pemuda berpikiran tentang kebangsaan,

kemerdekaan, dan semangat pembaharuan tatanan masyarakat

Indonesia. Kegairahan akan rasa nasionalis dalam novel ini diwakili

oleh sepasang suami istri, Sudarmo dan Sulastri, yang memilih bidang

pendidikan sebagai lapangan perjuangannya. Mereka (Sudarmo,

Sulastri dan kawan-kawannya) memiliki tekad yang ingin memajukan

bangsanya sendiri, walaupun harus menderita karenanya.51

Penelitian kedua oleh Bondan Patti Wanggono yang berjudul

―Poskolonial dalam Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih

Djojopuspito‖. Skripsi mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, 2006.

Penelitian ini menggambarkan mengenai poskolonial pada aspek

politik tubuh antara lain: (a) tubuh terjajah adalah suatu penghinaan

dan sumber kebodohan, (b) kreativitas yang dibelenggu, dan (c)

pengasingan. Poskolonial pada aspek ruang dan tempat antara lain: (a)

persoalan ruang antara kelas atas dan kelas bawah, (b) persoalan ruang

dan tempat yang lebih baik, (c) persoalan ruang dan tempat yang

berhubungan dengan budaya dan kesopanan, (d) persoalan ruang dan

tempat yang harus diatur, dikontrol, disayangi dan dikuasai, (e)

persoalan ruang dan tempat antara Hindia dengan Belanda, dan (f)

persoalan tempat dan menempatkan diri. 52

51

Dwi Retno Setiarti skripsi yang berjudul ‖ Manusia Bebas Analisis Tokoh, Latar dan Tema‖,

Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia 1989. 52

Bondan Patti Wanggono skripsi yang berjudul ―Poskolonial dalam Novel Manusia Bebas Karya

Suwarsih Djojopuspito‖. Universitas Negeri Surabaya, 2006.

Page 47: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

36

Ketiga, yaitu disertasi oleh Rosliani yang berjudul ―Mimikri

dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme‖.

Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2012. Novel yang

dijadikan bahan penelitian adalah Max Havelaar karya Multatuli(1839

– 1887), Berpacu Nasib di KebunKaret karya M.H. Székely-Lulofs

(1899 – 1958), Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito(1912 –

1977), dan Oeroeg karya Hella S. Haasse (1918 – 2011). Hasil

identifikasi terhadap novel tersebut ditemukan masalah yang berkaitan

dengan struktur penceritaan, mimikri, ambivalensi, hibriditas dan

sinkretisme. Dari kelima masalah, ambivalensi muncul akibat

ketidakpastian mimikri dan sinkretisme muncul akibat fleksibelitas

hibridisasi Barat dan Timur.

Pemunculan benturan peradaban Barat dan Timur dalam novel

Hindia Belanda memunculkan masalah mimikri dan hibriditas bagi

bangsa Belanda dan Indonesia. Mimikri dalam gaya hidup yang

berterima di Hindia Belanda, misalnya, membentuk ambivalensi

kepribadian bangsa yang terjajah (Indonesia) dan bangsa yang

menjajah (Belanda). Mimikri dan ambivalensi tersebut menempatkan

hibriditas struktural dan kultural yang berpusat pada model dan wujud

kepemimpinan. Hibriditas kepemimpinan memunculkan sinkretisme

religi di mana Barat yang Kristen bertemu dengan Timur yang

memiliki keanekaragaman religi. Persoalan mimikri dan hibriditas

dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda tersebut

menjadi fokus penelitian poskolonial ini sehingga memberi gambaran

yang jelas terhadap akar persoalan kebangsaan Indonesia yang tetap

mengedepankan local geniusnya menghadapi era globalisasi. 53

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas,

peneliti tidak menemukan penelitian yang menganalisis mengenai

53

Rosliani, disertasi yang berjudul ―Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian

Poskolonialisme‖. Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, Medan 2012.

Page 48: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

37

tema nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih

Djojopuspito dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan

sastra Indonesia di SMA. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan

bagaimana tema nasionalisme yang tergambar dalam novel Manusia

Bebas dengan menganalisis secara struktural, serta implikasinya

terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

Page 49: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

38

BAB III

PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA

A. Biografi Suwarsih Djojopuspito

Suwarsih Djojopuspito dilahirkan di desa Tjibatok (Bogor), tanggal 20

April 1912. Berpendidikan Sekolah Kartini, MULO, dan Europee

Kweekschool. Ia pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat (1931), Taman

Siswa (1932), Pasundan Isteri (1937), dan HIS (1939). Pernah pula menjadi

anggota Komite Nasional Pusat (1945—1950), Wakil Kepala Biro

Perjuangan Bagian Wanita (1946—1947), serta membantu majalah berbahasa

Belanda: Critiek en Opbouw, Het Inzicht, dan Orientatie. Tahun 1953 ia

bermukim di Belanda.1

Ia keturunan Tionghoa yang berkecukupan. Ayah Suwarsih memiliki

keberanian untuk mengambil keputusan dengan mengirim kedua anaknya

Suwarsih dan Nining ke sekolah Kartini di Bogor. Jika dibandingkan dengan

pendirian orang pada umumnya pada masa itu, langkah yang diambil oleh

ayah Suwarsih tersebut jelas merupakan keberanian yang berorientasi modern

dengan berani membiarkan anak-anaknya terbang ke mana saja asal

mendapatkan ilmu. Ia begitu yakin bahwa kemajuan ada di tangan para

wanita, tidak terkecuali anak-anaknya. Oleh karena itu, sungguh beruntung

Suwarsih dan kakaknya memiliki ayah seperti itu.

Dua tahun sebelum Suwarsih dikirim, Nining sudah lebih dulu berada

di Bogor. Bersama kakanya itu dalam beberapa waktu Suwarsih tinggal di

asrama sekolah sebelum orang tuanya pindah ke Cicurug. Berkat

pengorbanan yang besar dari kedua orang tuanya, yang ketika itu sudah tidak

semakmur dulu, akhirnya Suwarsih dan kakaknya dapat menamatkan

sekolahnya.

1 Dewan Redaksi, Ensiklopeda Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), hlm. 781—782.

Page 50: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

39

Kesadaran yang berbau politik itu, selain tumbuh karena kepintaran

mereka selaku anak ―sekolahan‖, mungkin juga disebabkan oleh kenyataan

bahwa mereka adalah anggota perkumpulan Jong Java, yang secara praktis

menumbuhkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme dalam diri para

anggotanya.

Pada tahun 1928 hingga 1931 Suwarsih masuk Gouvernments

Europese Kweekschool (sekolah guru untuk anak-anak Eropa) di Surabaya.

Keberhasilannya menjadi ―murid pilihan‖ membuat ia mendapatkan beasiswa

dari sekolah Kartini. Pada saat itu, jumlah murid di kelasnya sebanyak 30

orang dan 28 diantaranya adalah anak Belanda.

Setamat dari Kweekschool, Suwarsih menjadi guru di Perguruan

Rakyat Pasundan di Purwakarta. Setelah menikah dengan Sugondo

Djojopuspito, yang ketika itu memimpin Taman Siswa Bandung, Suwarsih

mengikuti jejak suaminya, mengajar di sekolah itu. Selama mengajar di

Bandung suami-istri, Suwarsih-Sugondo Djojopuspito tinggal di sebuah

ruangan yang ada di kompleks sekolah. Namun, karena sekolah itu ditutup

oleh Belanda (karena dianggap menjadi sarang anggota pergerakan

kebangsaan), mereka pindah ke Surabaya. Di kota Surabaya itu mereka

mengajar di HIS selama lebih kurang 13 tahun (1931—1944).

Sejak tahun 1945 hingga tahun 1959 Suwarsih tercatat sebagai

anggota Komite Nasional Pusat (KNP). Dalam kurun waktu itu pula, tepatnya

tahun 1946 –1947, Suwarsih menjadi wakil Kepala Biro Perjuangan Bagian

Wanita. Di sela-sela kesibukannya itu, ia juga membantu beberapa majalah

berbahasa Belanda, seperti Critiek en Opbouw, Het Inzicht, dan Orientatie2.

Suwarsih yang menulis pada periode 1940—1970an menulis dengan

kesadaran untuk menjadi representasi perempuan, dalam catatan kenangannya

untuk Eddy du Perron, Suwarsih menggambarkan dirinya sebagai ―seorang

penulis karangan-karangan kecil tentang emansipasi wanita‖. Suwarsih

Djojopuspito dapat dikatakan sebagai pelopor penulis perempuan Indonesia

2 Anita K. Rustapa, dkk, Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950,

(Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm.142—143.

Page 51: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

40

karena ia adalah satu dari sedikit penulis perempuan Indonesia, selain Selasih

(Kalau Tak Untung, 1933) dan Hamidah (Kehilangan Mistika, 1935) yang

diterbitkan oleh Balai Pustaka.3

Ia terkenal sebagai pengarang yang menulis dalam bahasa Belanda,

Sunda dan Indonesia. buku-bukunya ialah: Buiten het Garell (W. De Haan,

Utrecht), Tjudjuh Kumpulan Tjerita Pendek (Pusaka Rakyat, Djakarta, 1951),

Empat Serangkai (1954), Riwayat Nabi Muhammad (Timun Mas, Djakarta,

1976), Siluman Karangkobar (Pembangunan, Djakarta, 1963), Marjanah

(Romannya yang pertama, dalam bahasa Sunda, ditulis tahun 1937, tapi

diterbitkan tahun 1959 oleh Balai Pustaka, Djakarta) dan Hati Wanita (Balai

Pustaka, Djakarta, 1963).4Sejarah Sofyet Rusia (1954), Beberapa Wanita

Terkemuka (1957). Pecahan Ratna (Jakarta: Pustaka Jaya, 1950), Arlina

(1975), dan Maryati dan Kawan-Kawan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).5

B. Pemikiran Suwarsih Djojopuspito

Suwarsih dan suaminya tergolong dalam ‗kaum proletariat intelektuil‘

yang tidak tertarik pada pekerjaan yang bergaji bagus pada gupermen, tapi

memilih pekerjaan untuk mendidik rakyat yang bodoh dan tidak

berpendidikan. Bagaimana kuat cita-cita ini pada Suwarsih, dalam kenangan-

kenangan yang ditulisnya beberapa tahun lalu, dimana ia mengenang masa 18

tahun yang pertama dari hidupnya. Kenangan-kenangan ini merupakan suatu

dokumen yang unik karena isi dan jalan cerita yang sukar yang harus dijalani

seorang gadis desa yang sederhana, sampai saat menjadi wanita muda yang

akan mengabdikan diri sebagai guru kepada bangsanya.

Suwarsih berpikir dalam hati bahwa hidupnya lain dari hidup mereka.

Ia tidak mengalami masa remaja, namun baginya orang Indonesia tidak ada

masa remaja. Karena setelah kami meninggalkan bangku sekolah, sudah

menunggu tugas yang berat yaitu menjadi pemimpin bangsa kami. Suwarsih

3 Aquarini Priatina, ―Makalah Suwarsih Djojopuspito; Menciptakan Subjek Feminis

Nasionalis Melalui Autobiografi‖, Serambi Salihara, selasa 09 April 2013, pukul 19.00 WIB. 4Serba Serbi Negeri Belanda. No. 11, 27 Februari 1968. Pusat Dokumen Sastra.

5Anita K. Rustapa, op. cit., hlm.143.

Page 52: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

41

mulai giat dalam gerakan wanita, antara lain dengan menulis karangan-

karangan. Dalam karangannya, ia menulis tentang nasib wanita ‗kawin pada

usia lima belas tahun, beroleh anak tiga orang atau lebih, hidup berkeluarga

dengan bekerja keras, mati-matian; menjelang usia tiga puluh tahun, apabila

masa berkembang yang pertama telah lewat, diceraikan oleh suaminya, tanpa

uang untuk mengurus anaknya. Itulah nasib yang lumrah wanita Indonesia

dari kalangan rakyat.

Salah satu tugas gerakan kebangsaan seharusnya membebaskan,

menyadarkan wanita Indonesia, sehingga dia dapat bahu membahu dengan

suaminya melakukan perjuangan nasional dengan hak-hak dan

tanggungjawab yang sama. Hubungan suami istri juga memainkan peranan

yang penting sekali dalam Buiten het Gareel: Sulastri (salah seorang dari

kedua tokoh utama) berusaha keras menjadi patner yang setaraf dengan

suaminya Sudarmo. Tapi yang demikian itu hanya mungkin bagi wanita yang

mempunyai kesempatan untuk mengembangkan pikirannya, karena itu dalam

buku tersebut yang nampak dipentingkan ialah pengajaran sebagai jalan untuk

mencapai perkembangan itu.6

Sebagai wanita yang berpikiran maju dan hidup di negeri jajahan.

Suwarsih ternyata menyimpan keresahan-keresahan dan obsesi tertentu

sehubungan dengan kewanitaan dan kebangsaannya. Keresahan dan

obsesinya itu makin menjadi-jadi tatkala ia merasakan sendiri bagaimana

perlakuan Belanda terhadap teman-teman sekolah dan bangsanya.

Pada mulanya Suwarsih menyalurkan keresahan-keresahannya dengan

jalan menjadi guru sekolah pergerakan kebangsaan. Namun, karena dirasa

kurang cukup ia kemudian menyalurkannya melalui sastra. Keputusannya

untuk menjadikan kesusastraan sebagai wadah penyalur keresahan dan

obsesinya diawali dengan menulis sebuah novel berbahasa Sunda. Namun,

novel itu tidak mendapat tanggapan yang baik dari penerbit Balai Pustaka

sehingga tidak terbit.

6 Gerard Termorshuizen, ―Serba-serbi Negeri Belanda: ‗Mengenang Soewarsih

Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‘‖, no 32 tahun 1978. Hlm 34—37.

Page 53: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

42

Penolakan ini menurut Ajip Rosidi karena cita-cita kesusastraan yang

dibawanya dianggap terlampau maju oleh penerbit sehingga khawatir tidak

dimengerti. Namun, menurut H.B. Jassin penolakan itu karena melukiskan

perjuangan kaum pergerakan nasionalis. Cita-cita kesusastraan Suwarsih

tidak begitu revolusioner untuk menjadi alasan penolakan. Penolakan atas

novelnya itu membuat Suwarsih kecewa. Di tengah kekecewaan itulah datang

Eddie du Perron, seorang pengarang keturunan Indo Belanda yang sangat

terkenal menyarankan agar Suwarsih menulis dalam bahasa Belanda.

Sebenarnya jauh sebelum berkenalan dengan Eddie du Perron,

Suwarsih sudah banyak menulis dalam bahasa Belanda. Namun, tulisan-

tulisannya (yang disebutnya sebagai karangan kecil tentang masalah

emansipasi wanita) dikirimnya ke majalah-majalah berbahasa Belanda yang

pada saat itu. Bahkan, sekali waktu pernah majalah yang memuat Suwarsih

mendapat teguran dan peringatan keras dari pemerintah Hindia Belanda

karena melalui tulisannya itu Suwarsih meminta agar pemerintah Belanda

membebaskan para pemimpin nasionalis Indonesia yang saat itu sedang

meringkuk dalam penjara di luar Jawa.

Sebagai orang yang kebetulan mengagumi tulisan-tulisan Eddie du

Perron, dengan senang hati Suwarsih menerima saran du perron. Mulailah

Suwarsih menulis dalam bahasa Belanda kembali. Sebagaimana yang telah

kita ketahui, tak lama kemudian lahirlah Buiten het Gareel. Novel ini

mendapat sambutan yang baik ketika diterbitkan di negeri Belanda. Sejak saat

itulah tumbuh keberanian dan rasa ―percaya diri‖ pada diri Suwarsih bahwa

dirinya mampu mengarang. Setelah Buiten het Gareel ia terus menulis

bahkan sampai masa tuanya. 7

Suwarsih Djojopuspito menterjemahkan bukunya dengan judul

Manusia Bebas. Manusia bebas ialah manusia yang bebas dari prasangka,

bebas dari ketakutan, dari bentuk-bentuk dan tradisi-tradisi yang mengikat,

dalam usahanya untuk membebaskan pikiranya, seringkali mengalami

kegagalan, seringkali mendapatkan perlawanan dari kawan-kawan sendiri dan

7Anita K. Rustapa, op. cit., hlm.142—143.

Page 54: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

43

ia sadar bahwa manusia sekalipun berulangkali jatuh dan bangun, namun

harus tetap berusaha untuk dapat memikirkan pembangunan masa depan yang

lebih baik bagi bangsanya.8

Gaya bercerita Suwarsih memikat dan tajam mengenai kekecewaan

pada masa itu, namun selalu diselipkan humor dan pandai menertawakan

dirinya sendiri.9 Persoalan yang muncul dalam karya Suwarsih Djojopuspito

memiliki persoalan yang sama, seperti pada kumpulan cerpennya yang

berjudul Empat Serangkai yang terbit pada tahun 1954. Cerpen yang

terkumpul di dalamnya adalah Seruling di Malam Sepi merupakan suatu

teriakan emansipasi kaum wanita. Cerpen yang berjudul Artinah

menceritakan mengenai kecintaannya pada suaminya dan membuat Artinah

menyetujui poligami, cerpen ini memperlihatkan kekuatan moral wanita.

Cerpen Baju Merah dan Perempuan Jahat menceritakan mengenai

permasalahan ruman tangga.10

Novel Manusia Bebas merupakan dokumen

sejarah yang berharga tentang kehidupan pergerakan sebelum perang dunia

kedua.11

C. Sinopsis Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito

Sudarmo adalah seorang direktur sekolah Perguruan Kebangsaan dan

mengajak istrinya untuk mendampinginya di Bandung. Mereka berjuang dan

bertahan bersama dengan cita-cita yang sama yaitu mendidik pribumi.

Keretakan yang terjadi antara Partai Marhaen dan Partai Kebangsaan

menimbulkan persaingan dalam mendirikan masing-masing sekolah, fitnah-

memfitnah antar guru, pemogokan murid dan penurunan banyak murid.

Penderitaan ini ditanggung bersama dengan beberapa sahabat Sudaromo,

yaitu Jamil, Gularso, dan Supardi yang bersama Soekarno mengalami

8Gerard Termorshuizen, op.cit., hlm 34—37.

9 Ibid, hlm. 34

10CH. Kiting, Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito (Diangkat dari naskah buku

antologi pengarang wanita Indonesia), (Jakarta: Pusat Dokumentasi HB. Jassin, selasa 05

November 2014). 11

Dewan Redaksi, Ensiklopedia Sastra Indonesia, (Bandung: Titisan Ilmu, 2004), hlm.

487.

Page 55: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

44

pengasingan. Rumah Sudarmo digeledah oleh serdadu Belanda dan

menyitaan surat kabar yang mereka terbitkan sendiri, surat-surat cinta yang

terpaksa dijadikan api unggun, buku-buku disita karena dianggap menjadi

bukti yang memberatkan. Guru-guru yang dianggap penghasut ditangkap oleh

serdadu Belanda. Akhirnya, setelah penggeledahan dan penangkapan

keluarlah Onderwijsverbod, larangan untuk mengajar.

Sulastri dan Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Yogja dan tinggal

bersama kakak dan iparnya, yang merupakan sesepuh di Perguruan

Kebangsaan. Di kota Yogja, Lastri menemukan respek, rasa hormat pada

Lurni, iparnya, dengan kegiatan aktivitas pendidikan. Tak lama kemudian

mereka pindah ke paviliyun kecil dan Sudarmo menerbitkan majalah

Penghidupan Rakyat tetapi gagal diteruskan karena hanya memperoleh 17

gulden lima puluh sen hasil penerbitannya pertama. Surat dari Jakarta tentang

pekerjaan baru pada pemerintah membuat Dar pergi ke Jakarta karena atas

anjuran Lastri yang segera menyusul dan mereka berdua terjebak, Dar sebagai

Klerk pemerintah kolonial membenci pekerjaannya dan menuduh Lastri

sebagai penyebabnya. Lastri tinggal bersama kakanya Marti, yang masih

ingin mengatur hidupnya. Kemudia mereka pindah lagi ke Bogor, tak tahan

mendengar pertengkaran terus-menerus suami-istri tempat mereka

menumpang dan perlakuan ayahnya Lastri yang sangat membeda-bedakan

kedua menantunya, suami Marti dan suami Lastri.

Pindah ke Bogor mereka mendapatkan masalah baru, Sudarmo segera

minta berhenti agar tidak membahayakan jabatan iparnya dan sekolah Lastri

pun belum berlangsung baik. Tetapi mereka menemukan suatu kelompok

yang bersahabat yaitu, Sutrisno, Muhammad dan Jusuf, yang sedang

mendirikan majalah Pendidikan Perekonomian Rakyat. Dunia mereka adalah

mengajar, mengurus majalah, perpustakaan dan diskusi. Setelah satu tahun,

hanya ada 5 siswa yang mendaftarkan sekolah dan akhirnya sebagai proletar

intelek mereka pindah lagi ke Semarang. Kali ini Lastri menjadi guru dengan

gaji 25 gulden, di Perguruan Kebangsaan juga, meskipun dalam dunia yang

sama. Namun, perlakuan menejemen mengecewakan Lastri karena sikapnya

Page 56: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

45

yang dingin. Akhirnya Semarang ditinggalkan dan kembali ke Bandung

dalam kekalahan setelah mengalami kemelaratan yang paling menyiksa dan

menemukan kebersamaannya kembali dengan Sudarmo, Lastripun

mendapatkan kepercayaannya dalam menulis dan menulis lagi. Tanah

Priangan, cinta pada kawan hidup dan kreativitas yang menompangnya

hingga kini.

Page 57: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

46

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Struktur Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito

1. Tema

Tema merupakan suatu gagasan yang mendasari cerita itu

terangkai dengan baik. Ada pengarang yang menyembunyikan tema

dalam cerita. Akan tetapi adapula pengarang yang secara terang-

terangan menampilkan tema melalui judul ceritanya. Penggolongan

tema berdasarkan keutamannya yaitu tema mayor dan tema minor.

Tema minor yang terdapat dalam novel Manusia Bebas yaitu

mengenai emansipasi wanita artinya peranan seorang istri yang

menjadi teman hidup bukan menjadi suatu alat kesenangan suaminya

dan bukan hanya menjadi orang yang bertanggungjawab atas masalah

rumah tangga, yang sekarang masih dialami oleh sebagian orang

menurut adat istiadat.

“Sayang, kau tak akan memberatkan bebanku, bukan? Lebih dari

apapun juga aku harus dapat pengertian dan pertolongan dari

padamu, Tri.”

“Dar, aku berjanji akan menolongmu dalam segala-galanya....”1

Kutipan di atas, menunjukan bahwa Sudarmo membutuhkan

bantuan Sulastri untuk membantunya mengajar di sekolah. Sudarmo

memberikan tanggungjawab di sekolah diluar peranan Sulastri sebagai

seorang istri, ia pun sangat mendukung istrinya dalam kemajuan

intelektualnya.

Novel Manusia Bebas berlatar waktu 1930an di mana masa

pergerakan dan semangat kebangsaan mulai membakar jiwa rakyat

Indonesia. Semangat akan rasa nasionalis ini yang menjadi tema mayor

dalam novel ini. Rasa nasionalis dalam novel ini diwakili oleh tokoh

1 Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas, (Jakarta: Djambatan, 2000), Cet. Ke 2, hlm. 28.

Page 58: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

47

Sulastri dan Sudarmo sepasang suami istri yang memilih bidang

pendidikan sebagai bentuk perjuangannya. Kegiatannya sebagai tokoh

pergerakan dalam bidang pendidikan dan keterkaitannya dalam

organisasi politik, yang menyebabkan timbulnya kesulitan hidup yang

berat dimana mereka harus rela hidup serba kekurangan dan diawasi

oleh pemerintahan Belanda. Namun, mereka hadapi segala beban

hidup tersebut, satu tekad mereka ialah mereka lebih senang bekerja

untuk bangsanya sendiri walaupun harus menderita.

Dalam kata pengantar novel Manusia Bebas, Suwarsih

Djojopuspito mengatakan bahwa ia mengajak pemuda pada zamannya

untuk bertabah hati dengan segala resiko yang dialami dalam

perjuangan untuk mencapai kemerdekaan:

“ Dengan demikian, maksud saya dulu itu, yaitu mengajak pemuda

seumuran saya supaya bertabah hati dalam perjuangannya

mencapai kemerdekaan Indonesia.”2

Permasalahan dalam novel ini ialah mengenai perjuangan kaum

nasionalis dimana pengarang menggambarkan kesulitan yang dialami

tokoh-tokoh dalam novel ini. Ketabahan yang digambarkan oleh tokoh

Sulastri dan Sudarmo yang harus berpindah-pindah untuk

mendapatkan kebebasan dalam mengajar bangsa Indonesia.

Nasionalisme dalam novel diperlihatkan pada saat Sulastri

memberikan komando kepada anak-anak untuk menyanyikan sebuah

lagu dan diakhiri dengan nada yang gemetar:

“ Satu, dua, tiga. Beri salam, pada tanah air kita.”

“ Lihatlah bendera kami,

Merah, putih, berkibar,

Dikibarkan hari ini,

Dengan hati yang riang,”3

2Ibid, hlm. V.

3Ibid,hlm. 39.

Page 59: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

48

Hal ini menjadi kebanggaan Sulastri bahwa ia bisa berjuang dengan

suaminya untuk mengajar anak bangsa. Memberikan salam pada tanah

air dan mengibarkan bendera merah putih seolah menjadi simbol

kebangaan Indonesia yang ditunjukan dalam novel ini. Selain itu,

semangat nasionalisme juga digambarkan pada tokoh Sudarmo ketika

menjelaskan keinginannya pada orang tua siswa untuk bekerjasama

dalam mewujudkan cita-cita nasional.

“ Bagaimanakah seorang Indonesia yang baik menurut cita-cita kita

ini? Kita akan mengatakan dengan suara bulat: seorang Indonesia

yang baik ialah dia, yang dapat mengembangkan bakat-bakatnya

dan menggunakannya untuk keperluan pergerakan nasional.” 4

Kutipan di atas menunjukan bagaimana sebagai rakyat Indonesia

harus saling membantu dalam memajukan bangsanya sendiri

Indonesia, meski berbeda-beda tapi tetap satu tujuan saling

bekerjasama untuk kepentingan bersama.

Kesimpulan dari tema dalam novel ini adalah tema minor yang

mendukung tema mayor yakni perjuangan kaum nasionalis dalam

bidang pendidikan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme.

2. Alur

Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur campuran. Dilihat

pada bagian 1, menceritakan kehidupan tokoh utama di masa sekarang,

menjelaskah bahwa naskahnya ditolak oleh Balai Pustaka. Dalam

novel Manusia Bebas.

a. Tahap Penyituasian

Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan

pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap penyituasian

dalam novel Manusia Bebas terdapat pada bagian 2. Pada bagian 2

digambarkan pengenalan tokoh-tokoh dan latar.

4Ibid,hlm. 63

Page 60: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

49

“Dalam tahun 1933 Sulastri memasuki rumah kediamannya

yang baru. Beberapa perabot rumah tangga seperti meja,

kursi, dan lemari, telah dikirimkan lebih dulu dari

Purwakarta ke Bandung.”5

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa latar yang digunakan

dalam cerita tersebut adalah di Bandung pada tahun 1933. Namun

pada bagian selanjutnya tokoh-tokoh ini berpindah tempat ke

Yogjakarta, Jakarta, dan kembali ke Bandung. Selain deskripsi

latar, terdapat pengenalan tokoh-tokoh dalam cerita. Hal ini di

gambarkan dalam beberapa kutipan.

“Sudarmo adalah seorang direktur pada Sekolah Perguruan

Kebangsaan di Bandung.” 6

“Kamar-kamar di belakang itu kepunyaan tiga orang guru.

Kau kenal Jamil, bukan? Nah, dia tidur di situ.”7

Sulastri menikah dengan Sudarmo, seorang guru Sekolah

Kebangsaan dan aktivis Partai Marhaen. Ia menyadari bahwa

pernikahannya dengan seorang aktivis berarti ia senantiasa akan

hidup dalam tantangan. Sebagai anggota partai Marhaen pada

zaman pergerakan mereka harus berhadapan dengan musuh-

musuh, persoalan kebutuhan hidup yang memerlukan perhatian

khusus, misalnya mereka selalu mengalami kekurangan uang.

Keadaan seperti ini menumbuhkan sikap menerima keadaan pada

tokoh Sulastri. Ia memahami kedudukan suaminya sebagai anggota

Partai Marhaen dan kepala Sekolah Kebangsaan yang tidak

mendapatkan subsidi dari pemerintah. Sudarmo dan Sulastri

tinggal bersama tiga orang guru yaitu Jamil, Harjono, dan Waluyo.

b. Tahap Pemunculan Konflik

Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan

masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Konflik

5Ibid,hlm. 15

6Ibid,hlm. 17

7Ibid,hlm. 21

Page 61: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

50

awal mulai muncul dalam cerita, dan akan berkembang menjadi

konflik-konflik pada tahap berikutnya.

Tahap pemunculan konflik dalam novel Manusia Bebas

terjadi di Bandung yaitu adanya tagihan pembelian buku yang

belum dibayarkan dan rendahnya gaji seorang guru, karena pada

saat itu pemerintah Belanda tidak memberikan dana untuk sekolah-

sekolah partikelir. Akhirnya Sudarmo memutuskan untuk meminta

istrinya (Sulastri) untuk membantunya mengajar di sekolah

tersebut karena sedang mengalami krisis keuangan.

“Ada lagi kesusahan mereka, ialah utang karena pembelian

buku-buku sebanyak F 200. Sudarmo tak mengetahui

tentang utang buku itu, waktu ia menerima jabatan sebagai

Direktur.”8

Tantangan yang dihadapi Sulastri dan Sudarmo bukan

hanya datang dari pemerintah, tetapi dari teman-teman

seperjuangannya di Sekolah Kebangsaan, teman sesama guru yang

sering kali menuntut gaji yang layak. Sementara sekolah itu

didirikan tanpa bantuan dari pemerintah, kebutuhan sekolah

sepenuhnya didapat dari murid-murid dan hasil dari penjualan surat

kabar dan majalah. Selain itu sering kali Sudarmo mengemukakan

ide-ide baru, namun ia mendapatkan cibiran dari teman-temannya.

“Saudara-saudara, di papan tulis kalian dapat lihat usul-usul

saya untuk mengatur nafkah kita. Dari sekarang kita

mempunyai harapan menerima f 8,50,-. Setiap bulan kita

harus mengeluarkan f 370,- untuk membayar sewa rumah,

utang-piutang, lampu, air, pelayan sekolah dan lain-lain

lagi. Bagi kita akan tinggal kira-kira f 500,-. Saya akan

mengaturnya begini: semua orang dapat paling sedikit f 25,-

dan jika ada kelebihan yang masih dapat dibagikan, akan

dibagi di antara kita seperti terbaca di papan tulis.”9

“Semua orang dapat f 25,-. Setahun belajar sesudah Mulo

akan diberi f5,- lebih. Untuk satu anak akan diberikan f 2,50

8 Ibid,hlm. 17

9 Ibid,hlm. 33

Page 62: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

51

dan untuk isteri 7,50. Sehingga mas Prawira mendapat f 25+

(7x f 2,50)+f 7,50= f 50,-. Gaji tertinggi adalah f 50.” 10

Persoalan seperti inilah yang menimbulkan pertentangan di

antara mereka dan menunjukan perbedaan orientasi. Mereka

umumnya terpaku pada persoalan kebutuhan hidup sehari-hari.

“Kemudian ia memperkenalkan diri sebagai seorang

kandidat Inlands bestuurambtenar, yang didetasir di PID. Ia

diberi tugas untuk menyita koran-koran, karena ada

perkataan-perkataan yang menyinggung.” 11

Selain itu, adanya penyitaan koran-koran di sekolah

Sudarmo karena dianggap telah menyinggung pemerintah. Karena

kegiatannya ini Sudarmo selalu diburu oleh Pemerintah Belanda, ia

dipandang sebagai orang yang dianggap berbahaya bagi

pemerintah.

c. Tahap Peningkatan Konflik

Konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin

meningkat. Permasalahan mengenai pembagian gaji pada guru-

guru telah membuat renggang hubungan mereka. Disamping itu,

adanya pemogokan murid-murid dan perubahan sikap guru-guru

terhadap Sudarmo yang disebabkan oleh adanya surat kaleng ke

Pengurus Besar untuk memindahkan Sudarmo.

"Belum tahukah ibu ini? Mereka telah mengirim surat

kaleng ke Pengurus Besar dari Perguruan Kebangsaan untuk

memindahkan Sudarmo.”

Dalam surat kaleng itu Sudarmo difitnah karena banyak

sekali masalah yang dialami di sekolah Kebangsaan, setelah ia

menjabat sebagai kepala sekolah. Adanya surat kaleng tersebut

membuat Sudarmo mengadakan rapat dengan guru-guru untuk

10

Ibid,hlm. 34 11

Ibid,hlm. 106

Page 63: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

52

menentukan sikapnya terhadap anak-anak yang mogok. Akhirnya,

mereka bersepakat bahwa yang menghasut dalam pemogokkan ini

tidak akan diterima sebagai murid lagi, namun yang ikut-ikutan

akan dimaafkan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.

Selain itu, mereka mengalami penyitaan surat kabar yang

mereka terbitkan, buku-buku disita karena dianggap bukti-bukti

yang memberatkan. Dan para penghasut antara lain adalah guru-

guru sekolah itu akhirnya ditangkap. Setelah penggerebekan,

penangkapan teman-teman, keluarlah Onderwijsverbod, larangan

untuk mengajar. Sudarmo, Sulastri dan bayinya tinggal bersama

kaka dan iparnya, yang merupakan sesepuh Perguruan

Kebangsaan, dengan asrama yang lebih besar dan murid-murid

yang menginap di kota Jogya.

“Sulastri mengangguk mengerti dan ia merasa dadanya

berdentum, Sudarmo membuka pintu dan sebelum pintu itu

membuka lebar, seorang Belanda yang tinggi badannya

mendesak masuk ke dalam dan ia memperkenalkan diri

dengan mengejek: “selamat pagi, kedatangan saya ini

mengganggu, bukan? Saya dari PID saya harus

menggeledah rumah.”12

Karena mendapatkan surat larangan mengajar, Sudarmo

mencoba menerbitkan majalah Penghidupan Rakyat di Yogja,

namun gagal diteruskan karena hanya mendapat sedikit uang dari

hasil penerbitan pertamanya. Kegagalan yang dialami Sudarmo

membuat Sulastri menjadi terombang-ambing antara keinginan

hatinya dan keadaan yang dihadapinya. Disatu sisi ia

mendambakan kehidupan yang layak dan di sisi lain keadaan

menuntutnya untuk terus setia membantu kesulitan suaminya. Pada

saat itu, surat yang dikirim Marti dari jakarta mengenai pekerjaan

pada pemerintahan membuat Sudarmo pergi ke Jakarta atas anjuran

Sulastri.

12

Ibid,hlm. 127

Page 64: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

53

d. Tahap Klimaks

Kegagalan yang dialami Sudarmo di Yogjakarta, membuat

ia menerima tawaran dari iparnya Marti. Sudarmo tidak menyukai

pekerjaan itu, ia sempat menolaknya. Namun Sudarmo sadar akan

kewajibannya kepada istrinya. Mereka berdua terjebak dalam

keadaan ini, di mana Sudarmo sebagai klerk pemerintah kolonial

membenci pekerjaannya dan menuduh Sulastri sebagai

penyebabnya. Tak tahan dengan perlakuan ayahnya Sulastri yang

membedakan antara priyayi berjabatan tinggi dan guru yang miskin

membuat Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Bogor.

Di Bogor Sudarmo mendirikan sekolah untuk Sulastri,

bersama teman-temannya Muhammad, Sutrisno dan Jusuf. Namun

sekolah yang diberi nama Loka Siswa itu hanya mendapat sedikit

murid akhirnya sekolah itu tidak berjalan dengan baik. Sulastri dan

Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Bandung dan memulai

hidupnya kembali dengan membuat sebuah karangan yang ditulis

oleh Sulastri, namun karanganya itu telah di tolak oleh Balai

Pustaka.

“ Sudah nyata baginya sekarang bahwa naskahnya telah

dikembalikan. Harapan bahwa naskahnya itu akan

diterbitkan dan dengan demikian mempunyai bentuk yang

nyata pula, telah menjadi buah pikirannya dan mengekang

dirinya selama dua tahun ini. Sekarang harapan itu telah

hilang. Aku harus menangis. Kurasakan seperti dipukul.

Sekarang janganlah terumbang-ambing antara bahasa Sunda

dan bahasa Belanda. Mereka telah memberikan aku

perasaan berputus asa, bahwa aku telah bekerja dengan sia-

sia. Biar pun begitu, aku tak percaya, bahwa pekerjaanku

sejelek itu.”13

Kutipan di atas menceritakan kekecewaan Sulastri terhadap

naskahnya yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan dan telah

13

Ibid,hlm. 1

Page 65: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

54

ditolak oleh Balai Pustaka. Sulastri menceritakan semua rasa

kecewanya pada suaminya (Sudarmo), bahwa ia mengingat

perjuangannya dalam menuliskan naskahnya itu, dengan

menggunakan uang terakhirnya untuk membeli peralatan yang

diperlukan untuk menulis, ketika hari sudah larut malam mereka

saling bergantian dalam menyalin naskah tersebut dengan rapi.

Namun, segala usaha yang telah mereka lakukan dalam penulisan

naskah tersebut, Sulastri harus merasakan kekecewaan yang

teramat dalam karena naskahnya telah ditolak.

“Sedih sekalikah kau, bahwa naskahmu telah

dikembalikan? Bukankah itu sudah wajar. Balai Pustaka

hanya membutuhkan bacaan untuk rakyat.” 14

e. Tahap Penyelesaian

Ketika Sulastri mengetahui bahwa tulisannya tidak dapat

diterbitkan. Ia berusaha untuk memulai menulis kembali karena ia

ingin menjadi salah satu perempuan Indonesia yang mampu

berjuang.

“Kau bergembira hati,” kata Sudarmo, “Ya. Berhentilah

menulis jika kau sedang bergembira.” “Lantas apa dong

yang harus aku bikin, kalau aku sedang girang, Dar? Kueh

untuk Rustini? Apalah PID dan pergerakan wanita akan

mengizinkannya, kalau aku sekarang membuat kueh untuk

Rustini?” 15

Sulastri dan Sudarmo kembali ke Bandung dalam

kekalahan setelah mengalami kemelaratan yang paling menyiksa

dan menemukan kebersamaannya kembali dengan Sudarmo,

Lastripun mendapatkan kepercayaannya dalam menulis dan

menulis lagi. Tanah Priangan, cinta pada kawan hidup dan

kreativitas yang menompangnya hingga kini.

14

Ibid,hlm. 4 15

Ibid, hlm. 292

Page 66: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

55

3. Tokoh dan Penokohan

Tokoh merupakan orang yang berperan dalam cerita dan memiliki

karakter yang beragam, sehingga cerita menjadi lebih hidup dan

berwatna. Sedangkan penokohan adalah karakter yang digambarkan

oleh tokoh dalam cerita.

1) Sulastri

Tokoh Sulastri dalam novel Manusia Bebas merupakan

tokoh utama protagonis, yaitu tokoh yang memiliki intensitas

keterlibatan yang menonjol dalam setiap peristiwa pada novel.

Sulastri menikah dengan Sudarmo, seorang guru Sekolah

Kebangsaan dan aktivitas Partai Marhaen. Sebagai anggota partai

di zaman pergerakan mereka harus berhadapan dengan musuh-

musuh, baik musuh yang jelas maupun yang tidak jelas, belum lagi

persoalam kebutuhan hidup yang memerlukan perhatian khusus

karena mereka selalu mengalami kekurangan uang.

Keadaan seperti ini menumbuhkan sikap menerima keadaan

pada tokoh Sulastri. Ia memahami benar kedudukan suaminya,

baik sebagai anggota partai maupun sebagai Kepala Sekolah

Kebangsaan yang tidak mendapat subsidi dari pemerintahan.

Melihat kesulitan yang dialami suaminya, akhirnya Sulastri mau

bekerja sama membantu suaminya, seperti pada kutipan:

“Dar, aku berjanji akan menolongmu dalam segala-

galanya....”

“Dar, aku merasa gembira, kau membutuhkan aku.

Tenangkan hatimu, aku akan selalu berada di sampingmu,

biarpun musuh datang menyerang. Asalkan kau dengan

terus terang mengatakan semuanya kepadaku, ... Kita

berdua tak usah berbohong sastu sama lain. Sebab kalau

tidak begitu, kita tak usah saling menyintai.” 16

Dari kutipan di atas menggambarkan kecintaan Sulastri

pada suaminya yang menumbuhkan semangat untuk mengatasi

16

Ibid,hlm. 28

Page 67: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

56

beban hidup yang berat dengan menghadapinya secara bersama-

sama. Setelah membantu suaminya di bidang pendidikan, ia

menjadi seorang yang selalu terombang-ambing antara keinginan

hatinya dan keadaan yang dihadapinya. Di satu pihak ia

memimpikan kehidupan yang layak, artinya tidak kekurangan

materi, hidup tentram tanpa diawasi pemerintah sehubungan

dengan aktivitas suaminya. Di lain pihak keadaan menuntutnya

terus setia pada janji yang pernah diucapkannya untuk selalu

membantu kesulitan suaminya.

“ Sulastri tak menjawab, ia tiba-tiba merasa berat

kepalanya, sehingga ia tak mempunyai pikiran lagi, hanya

dalam hatinya tiap kali ia merasakan ketukan yang berkata:

“Kita harus pergi memasuki kehidupan yang baru,

meninggalkan ini, kemana, tak kuperdulikan. Ia merasa lesu

sekali, seperti ia melihat dengan nyata, apakah artinya, pergi

kian kemari dengan tujuan yang tak dikenal.”17

Pada kutipan di atas menunjukan bahwa Suastri ingin keluar

dari kehidupannya yang tidak menentu. Konflik batin ini

menjadikan Sulastri seorang yang pasrah terhadap kenyataan hidup.

Seperti yang telah digambarkan pada bagian pertama saat novelnya

ditolak untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka. Selain itu, Sulastri

memiliki pemikiran yang maju untuk membantu Sudarmo dan

membela yang tertindas seperti tampak pada suratnya untuk Marti

(Kakaknya Sulastri), yang menjadikan Sulastri seorang yang giat di

lingkungannya, baik di lingkungan rumah maupun di lingkungan

Perguruan Kebangsaan. Kutipan surat Sulastri kepada Marti:

“Marti,

Do‟akanlah aku dapat bekerja dengan penuh cita-cita. Kau

masih ingat bahwa pertalian persaudaraan antara kau dan

aku harus mengkekalkan kesetiaan kita akan sumpah kita

berdua; bekerja bagi mereka yang tertindas dan untuk

Indonesia, tanah air kita bersama,”18

17

Ibid,hlm. 216 18

Ibid,hlm. 18

Page 68: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

57

Salah satu tugas gerakan kebangsaan seharusnya

membebaskan, menyadarkan wanita Indonesia, sehingga dia dapat

bahu membahu dengan suaminya melakukan perjuangan nasional

dengan hak-hak dan tanggungjawab yang sama. Hal ini yang

digambarkan oleh Suwarsih pada tokoh Sulastri yang membantu

suaminya dalam menjalankan cita-cita nasional.

“Ia merasa gembira dalam pengorbanan ini dan ketandusan

keuangan yang mendesak seperti karunia Tuhan; sebagai suatu

kehormatan. Rasa kebahagiaan memenuhi hatinya jika ia

teringat, bahwa ia lakukan semua ini untuk tanah airnya, satu

perlambang, yang pada waktu itu mempunyai wajah Sudarmo

dan sekolah. Ia merasa berbahagia, oleh karena ia bekerja

dengan sungguh-sungguh dan mencintai Sudarmo.”19

2) Sudarmo

Tokoh Sudarmo dalam novel Manusia Bebas merupakan

tokoh utama protagonis seperti Sulastri. Sudarmo adalah seorang

aktivis partai Marhaen dan menjabat sebagai Kepala Sekolah

Kebangsaan. Akibat kegiatannya ini ia menjadi putus asa karena

memiliki musuh dan merasa tidak dihargai karena guru-guru di

sekolah tidak menginginnkannya menjadi kepala sekolah.

“Kadang-kadang aku ingin meninggalkan semua ini.

Banyak musuhku, kau tahu, aku seorang anggota Partai

Marhaen dan Perguruan Kebangsaan menginginkan orang

lain menjadi kepala sekolah.” 20

Karena kegiatannya inilah ia selalu diburu oleh pemerintah

Hindia Belanda, ia dipandang sebagai orang yang berbahaya bagi

keamanan pemerintah Belanda. Ia adalah orang yang gigih dan

berani untuk menyuarakan pendapatnya melalui koran yang ia

terbitkan.

“Apakah menurut saudara tak keterlaluan, bahwa saya

dapat menghasut anak-anak itu dengan koran saya itu.

Anak-anak kecil itu belum dapat membaca betul, sedangkan

19

Ibid, hlm. 46 20

Ibid,hlm. 27

Page 69: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

58

anak-anak besar menggeletakkan koran itu begitu saja. Dan

juga tak ada hasutan di dalamnya. Bukankan wajar, jika

saya membandingkan sekolah gupernemen dengan sekolah

Perguruan Kebangsaan, juga wajar jika gupernemen dalam

urusan pendidikan patut dicela.” 21

Sudarmo memiliki sikap tolong-menolong dan peduli pada

kesukaran orang lain, seperti pada kutipan:

“Dalam hal ini kita tak usah hanya ingat kepada keperluan

diri sendiri. Kita masih muda. Bagaimanapun juga, kita

dapat memikul kehidupan ini. Akan tetapi kita akan merasa

bersalah, jika kita memandang ringan kewajiban untuk

mengurus keluarga. Kita harus mencoba meringankan

kesukaran orang lain.”22

Gambaran fisik memperkuat sikap dan tindakan Sudarmo

sebagai seorang aktivis ia memiliki kesulitan yang dialaminya dan

menampilkan sifat keras kepala, seperti pada kutipan:

“Parasnya kurus, berkerut, menampilkan sifat keras kepala

pada kekukuhan rahang pipinya, akan tetapi bibirnya lemah

dan alisnya hampir yak nampak.”23

Sebagai seorang aktivis Partai Marhaen, Sudarmo tidak

menyukai hal-hal yang bersifat mewah, baginya manusia harus

hidup sederhana sesuai dengan kenyataan yang ada di

sekelilingnya karena keadaan pada saat itu tidak mendukung untuk

memakai sesuatu yang mewah. Seperti pada kutipan saat Sudarmo

mengajak Sulastri untuk mengunjungi rumah Prawira:

“Terlalu bagus,” ia mengecam. “Kau harus belajar

berpakaian sederhana. Ini kunjungan biasa.”

“Biarlah,” Sulastri berkata, agak tersinggung oleh suaminya

yang bengis. “Aku senang berpakaian parlente. Aku tak

menganggu siapapun juga.”

“Tidak,” jawabanya. “Akan tetapi tak menurut perasaan

yang halus, jika kau datang dalam suasana melarat

21

Ibid,hlm. 107 22

Ibid,hlm. 35 23

Ibid,hlm. 7

Page 70: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

59

memakai pakaian seindah itu. Jangan dipakai lagi baju itu.

Di sini terlalu bagus.”24

Sudarmo berpendapat bahwa kaum wanita tidak boleh

menyamai kedudukan laki-laki, seperti pada kutipan:

“... karena menurut adat istiadat dan kebudayaan seorang

perempuan lebih rendah kedudukannya dari pada seorang

lelaki, walaupun dia dalam teorinya mempunyai anggapan

modern tentang persamaan dan kemerdekaan kaum

wanita.”25

Namun dalam kemajuan intelektual bagi kaum wanita

Sudarmo justru menunjukkan dukungannya. Hal ini dapat kita lihat

pada kutipan:

“Pada keesokan harinya ia mengambil tiga buku tebal

tentang pendidikan dari dalam lemarinya dan meletakannya

di atas meja di hadapan Sulastri. Ia berkata dengan pendek:

“Kau bulan muka memberikan ceramah yang pertama

bersama dengan aku. Ini bacaanmu. Sebagai judul kau

mengambil: hukuman. Kau mulai sekarang juga. Aku

merasa bangga, jika isteriku memberikan contoh yang

baik.” 26

3) Marti

Marti merupakan tokoh protagonis. Marti adalah kakak

kandung Sulastri. Ia sangat peduli terhadap nasib adiknya, ia

selalu mencoba memberikan keberanian untuk memulai

kehidupan yang baru. Ia selalu bersikap sebagai pelindung

Sulastri, namun sikap seperti ini tidak terlalu disukainya karena

ia merasa harus selalu ditolong.

“Marti merasakan mempunyai kewajiban untuk

memperhatikan nasib Sulastri.”27

Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang aktif dalam

organisasi wanita. Ia pernah menjadi sekretaris Kongres

24

Ibid,hlm. 29 25

Ibid,hlm. 47 26

Ibid,hlm. 41 27

Ibid,hlm. 183

Page 71: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

60

Perempuan Indonesia. keterlibatannya dalam organisasi

kewanitaan menunjukan niatnya untuk segera mengubah

pandangan masyarakat terhadap wanita pada masa itu.

Baginya, segala sesuatu yang dikerjakan kaum wanita harus

mengarah pada perbaikan status wanita di masyarakat.

Misalnya ia tak setuju dengan pandangan tentang poligami

yang dianut oleh rekannya, Saridah. Hal ini digambarkan pada

kutipan:

“Aku telah membuat Saridah bingung, si pro poligami itu.

Ia berkali-kali ngomong; “Ah, bagaimana ya ayat itu? Dulu

aku hafal sekali sekarang aku sudah lupa.”28

4) Lurni

Lurni merupakan tokoh protagonis. Lurni adalah adik

Sudarmo yang tinggal di Yogyakarta, ia memiliki sifat mudah

sekali marah dengan hal-hal kecil, berani bersikap kasar

terhadap orang lain, sangat sensitif terhadap sikap baik dan

buruk dari orang lain, namun ia bukan seorang pendendam.

“Lurni sebaliknya acapkali marah karena soal-soal kecil

saja; karena badanya kua, ia malahan berani bertindak kasar

terhadap orang lain, jika ia merasakan diperlakukan tidak

adil. Ia sukar melupakan satu penghinaam terhadap dirinya,

akan tetapi ia tak pernah dendam, hanya peka terhadap

sikap baik atau buruk dari orang lain kepadanya.”29

Ia mendukung sikap kakaknya dalam dunia pergerakan. Suami

Lurni yaitu Ribowo adalah seorang anggota Pengurus Besar

Perguruan Kebangsaam di Yogyakarta. Ketika Sulastri dan

Sudarmo harus pindah ke Yogyakarta, di tempat ini mereka

sama-sama mengajar di sekolah Kebangsaan. Kesamaan

aktivitas inilah yang menyatukan mereka. Sudarmo bangga

pada Lurni karena keaktifannya dibidang sosial.

28

Ibid,hlm. 197 29

Ibid,hlm. 159

Page 72: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

61

5) Jamil

Jamil merupakan tokoh protagonis. Jamil merupakan

seorang guru di Perguruan Kebangsaan dan seorang anggota

dari partai Marhaen yang sangat aktif diluar sekolah.. Jamil

mempunyai kepala yang besar, menyerupai seekor beruang liar,

jika ia berbicara kepalanya agak dimiringkan. Segala

ucapannya dipertahankan dengan kepalan tangan atau dengan

mangangguk-anggukan kepalanya. Ia juga seorang yang

pesimis.

“Sudarmo harus tertawa akan muka Jamil yang masam itu,

karena Jamil adalah seorang pesimis.”30

Jamil sangat ahli soal tumbuh-tumbuhan dan kekhewanan,

karena telah duduk di kelas tiga Sekolah Kekhewanan. Ia

adalah orang yang pesimis, realis, tidak menyukai orang

pemalas, selalu merasa yang paling tahu segalanya.

“Jamil sendiri mempertahankan keahliannya dalam soal-

soal tumbuh-tumbuhan dan kekhewanan. Ia telah duduk di

kelas tiga Sekolah Kekhewanan. Sulastri merasa berkawan

dengan dia, biar pun ia selalu benci akan sikap jamil yang

yang merasa pintar sendiri itu.”31

6) Harjono

Harjono merupakan tokoh protagonis. Harjonomerupakan

kerabat Sudarmo di Perguruan Kebangsaan. Ia mengajar

pelajaran bahasa Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis, ia

bersekolah di A.M.S bagian Sastra Barat dan telah duduk di

kelas tertinggi. Ia cukup baik dalam hal mengajar.

“... ia cukup baik dalam mengajar murid-muridnya. Ia

memberikan pelajaran bahasa Belanda, Jerman, Inggeris,

dan Perancis. Ia bersekolah di A.M.S, bagian Sastra Barat,

Tri, dan ia telah duduk dalam kelas tertinggi di situ.”32

30

Ibid,hlm. 21 31

Ibid,hlm. 22 32

Ibid,hlm. 22

Page 73: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

62

Selain itu Harjono memiliki sifat pemalu, selalu melamun

dan murung hatinya karena ia menganggap segala persoalan itu

berat, bahkan ia jarang sekali tertawa hal ini menunjukkan

keseriusannya dalam menanggapi sesuatu.

“... Ia datang, seorang pemuda dengan wajah kema lu-

maluan dan agak ngelamun pikirannya. Bahunya condong

ke muka dan sekitar mulutnya nampak tanda kemurungan

hati. Alisnya selalu berkerut.”

“Ia tak pernah tertawa” ujar Jamil “ Ia menganggap semua

persoalan berat....”33

Ia adalah orang yang baik dalam hal mengajar, namun saat

mengajar ia hanya fokus pada bukunya saja, tidak

menampilkan interaksi dengan murid. Harjono menyukai

kesenian.

7) Waluyo

Waluyo merupakan tokoh antagonis. Waluyo merupakan

kerabat Sudarmo di Perguruan Kebangsaan. Ia memiliki

senyum yang lebar, gaya acuh tak acuh dan sombong. Selain

itu, ia tidak memiliki pendirian yang kuat karena sering

terombang-ambing dalam pendiriannya, namun ia adalah

seorang propagandis yang ulung. Sulastri tidak menyukai

Waluyo karena ada sifat khianat padanya.

“..., tetapi ia malahan menghasut kawan dan lawan untuk

mengeluarkan Sudarmo dari pekerjaannya. Sebabnya,

karenaSudarmo pada suatu waktu mengecam kemalasan

Waluyo. Sudarmo mewajibkan Waluyo untuk ada di

sekolah dari jam 8 sampai setengah satu. Ia datang dan

pergi semaunya sendiri.” 34

Waluyo adalah seorang pegawai administrasi di Perguruan

Kebangsaan karena dilarang mengajar oleh gupernemen.

Seharusnya ia berterimakasih kepada Sudarmo karena

33

Ibid,hlm. 22 34

Ibid,hlm. 24

Page 74: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

63

diperbolehkan bekerja di sekolah, akan tetapi ia malah

menghasut kawan-kawannya untuk mengeluarkan Sudarmo

dari pekerjaannya. Ia aktif sebagai anggota dari Partai

Marhaen. Sebagai anggota Partai Marhaen yang sama dengan

Sudarmo, membuat Waluyo menjadi semaunya sendiri dalam

melaksanakan tugasnya di sekolah dan tak tepat waktu.

“Waluyo tak ingin menurut aturan itu, ia datang dan pergi

semaunya sendiri. Sehingga orang harus mencari dia atau

menunggu datangnya untuk membayar uang sekolah. Ini

menambah kesurutan pembayaran uang sekolah.” 35

8) Prawira

Prawira merupakan tokoh protagonis. Prawira merupakan

kerabat Sudarmo di Perguruan Kebangsaan. Ia adalah seorang

guru pada Sekolah Kebangsaan. Kehidupannya sangat

sederhana dengan tujuh orang anak, tiga kemenakan dan

seorang paman tua. Gambaran fisik dan Prawira digambarkan

memiliki wajah sawo matang dan burik, ia adalah seorang

pekerja keras untuk keluarganya.

“Wajahnya Prawira sawo matang dan burik, senyumnya

selalu samar-samar. Prawira juga bekerja keras dan selalu

mempunyai utang untuk memberi makan keluarganya itu.

Dan ia takan pernah pergi dari sekolah Perguruan

Kebangsaan.”36

Hal ini menunjukan bahwa ia adalah seorang yang tidak

terbuka, namun dalam bekerja sebagai guru ia senantiasa

berusaha untuk disiplin, walaupun anak-anaknya selalu

membuatnya terlambat datang ke sekolah. Selain itu, ia adalah

orang yang pekerja keras dan bertanggung jawab untuk

menghidupi keluarganya.

35

Ibid,hlm. 24 36

Ibid,hlm. 31—32

Page 75: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

64

9) Gularso

Gularso merupakan tokoh protagonis. Gularso adalah

teman iparnya Sudarmo, yang semula tinggal di Jawa Tengah.

Ia diminta datang oleh Sudarmo untuk menghadapi tindakan-

tindakan licik orang-orang Partai Kebangsaan. Sebagai seorang

yang berkecimpung dalam dunia politik Gularso diminta

membantu Sudarmo untuk menghadapi orang-orang licik dari

Partai Kebangsaan. Ia adalah salah satu propagandis PKI yang

sangat berkobar-kobar saat berpiato.

“Orang itu harus menghadapi fitnahan dari kiri-kanan, jadi

dia harus seorang yang mengerti cara-cara politik. Karena

inilah Sudarmo mengundang seorang kawan iparnya.

Gularso, begitulah nama kawan iparnya itu, telah dibuanh

karena ia salah satu propagandis PKI, yang sangat

berkobar-kobar pidatonya” 37

Setelah satu bulan mengajar dan mengurus administrasi,

penampilannya pun berubah terlihat menjadi lebih muda

dengan parasnya yang tadinya kurus menjadi lebih terisi,

rambutnya menjadi ikal berombak, matanya yang dulu cekung

dan lesu menjadi hitan mendalam dan bercahaya.

10) Pak Joyokuno

Pak Joyokuno merupakan tokoh protagonis. Ia adalah

seorang guru lulusan Hogere Kweekschool voor Inlandse

onderwijszers (HKS), yang dengan rajin mempelajari aliran

modern dalam pendidikan dari buku-buku pelajaran hoofdakte.

Ia belajar dengan sungguh-sungguh dengan penuh rasa

tanggung jawab. Ia memiliki keinginan untuk menguasai tiga

bahasa asing diusia yang sudah 35 tahun.

37

Ibid,hlm. 98

Page 76: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

65

“Begitulah buku-bukunya penuh dengan garis-garis biru

dan merah, karena hampir semua kalimat ia anggap

penting”38

“Aku belajar rajin sekali. Akan tetapi dapatkah orang yang

sudah berumur tiga puluh lima tahun, dengan sekaligus

belajar tiga bahasa asing?”39

11) Idih

Idih merupakan tokoh antagonis. Ia adalah seorang pribumi

yang bekerja sebagai kandidat Inlands bestuurambtenar, yang

didetasir di PID. Ia dibertugas untuk menyita koran-koran yang

ada di sekolah Sudarmo karena ada perkataan yang

menyinggung pemerintah Belanda.

“Saya menyesal sekali, tetapi ini pekerjaan saya dan saya

harus menyalankan perintah atasan saya. Maafkan saya,

saudara?”40

Tokoh Idih muncul untuk mewakili pemerintahan Belanda

yang menyita surat kabar yang diterbitkan oleh orang-orang

pergerakan nasional seperti Sulastri dan Sudarmo.

12) Sutrisno

Sutrisno merupakan tokoh protagonis. Ia adalah teman

Sudarmo, ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Ia tak

bisa berbohong pada siapapun bahkan polisi sekalipun.

“Mereka telah mengangkat aku sebagai redaktur di atas

kertas tanpa ikut bekerja. Aku ini orang yang tak dapat

bohong juga tidak terhadap polisi.”41

Sudarmo dan Sutrisno merencanakan membuat sekolah di

Bogor, bersama sahabatnya yang lain yaitu Muhammad dan

Yusuf. Sutrisno memiliki sifat penolong, ia telah menolong

Muhammad yang tidak memiliki uang dan tinggal bersama

38

Ibid,hlm. 103 39

Ibid,hlm. 103 40

Ibid,hlm. 107 41

Ibid,hlm. 198

Page 77: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

66

Sutrisno. Ia pun telah membantu Sudarmo dalam meringankan

kesusahannya, karena ia ingin mempertahankan cita-citanya.

13) Muhammad

Muhammad merupakan tokoh protagonis. Ia adalah seorang

mahasiswa dari Jakarta yang tidak memiliki cukup uang,

sehingga ia tinggal bersama Sutrisno. Gambaran fisik

Muhammad yaitu memiliki kepala kekar, mulut kuat, mata dan

alisnya hitam dan mengesankan seperti mata dan alis orang

Arab. Muhammad memiliki sifat setia dan pendiam

“Di belakangnya, lebar dan sederhana Muhammad, kepala

kekar, mulut kuat, mata dan alisnya hitam dan

mengesankan seperti mata dan alis seorang Arab.” 42

“Muhammad dengan kesetiannya dan sifatnya yang diam”43

Dalam menjalankan tugasnya di sekolah ia telah membuat

sebuah artikel untuk koran mereka.

14) Jusuf

Jusuf merupakan tokoh protagonis. Ia memiliki tubuh yang

tinggi, tampan dan wajah yang halus, ia adalah sahabat

Sudarmo dan Sutrisno. Wajahnya yang sawo matang dan halus

menggambarkan sikap yang ramah.

“Jusuf, tinngi perwatakannya, tampan dan dengan wajah

sehalus dan seempuk seekor kucing” 44

Dalam menjalankan sekolah yang diberi nama Loka Siswa,

Jusuf bekerja sebagai penjaga perpustakaan. Ia adalah orang

dipercaya Sutrisno untuk menjadi biliotekarisl.

42

Ibid,hlm. 210 43

Ibid,hlm. 273 44

Ibid,hlm. 218

Page 78: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

67

4. Latar

a. Latar waktu

Peristiwa-peristiwa dalam novel Manusia Bebas berlatar

waktu sekitar tahun 1930-an.

“Dalam waktu 1933 Sulastri memasuki rumah kediaman

yang baru.”45

Pada masa itu cita-cita berbangsa dan bernegara yang

merdeka menjadi pembicaraan yang menarik terutama di kalangan

pemuda terpelajar, baik dalam obrolan sehari-hari maupun dalam

rapat-rapat organisasi yang kerap kali diadakan. Oleh karena itu

tokoh-tokohnya hampir semuanya adalah tokoh-tokoh pergerakan

yang aktif dalam berbagai kegiatan partai. Adanya partai Marhaen

yang dipimpin oleh Soekarno terjadi pada masa 1930-an.46

Selain

itu, adanya Balai Pustaka yang telah menolak novel Sulastri. Balai

Pustaka termasuk ke dalam periode sastra 1850—1933 yang

bermaksud untuk memerangi “bacaan liar” yang banyak beredar

pada awal abad ke-20.47

“Sedih sekalikah kau, bahwa naskahmu telah

dikembalikan? Bukankah itu sudah wajar. Balai Pustaka

hanya membutuhkan bacaan untuk rakyat.” 48

b. Latar tempat

Peristiwa-peristiwa dalam novel ini berlokasi di beberapa

kota besar, seperti Bandung, Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta.

Setiap tempat pada dasarnya menunjukkan domisili tokoh (sulastri

dan Sudarmo) dalam usahanya mempertahankan hidup dan cita-

citanya. Masa tinggal di kota-kota tersebut tidak dideskripsikan

secara jelas. Pada dasarnya mereka lebih lama tinggal di Bandung.

45

Ibid,hlm. 15 46

Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm.

155 47

Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 39. 48

Ibid,hlm. 4

Page 79: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

68

Umumnya kepindahan mereka dari satu kota ke kota lain

disebabkan oleh larangan dari pemerintah untuk mendirikan

sekolah di kota tersebut.

Latar tempat juga memberi informasi kepada kita tentang

adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat.

1) Bandung

Kota Bandung merupakan kediaman pasangan Sulastri dan

Sudarmo yang baru saja menikah tahun 1933. Dimana ia harus

memikirkan kehidupan Sulastri yang baru dan harus

menyesuaikan diri. Dilihat dalam penggalan cerita pada novel

tersebut.

“Beberapa perabot rumah tangga seperti meja, kursi, dan

lemari, telah dikirimkan lebih dulu dari Purwakarta ke

Bandung. Inillah perabot rumah tangga dari kediamannya

seorang gadis. Untuk sementara tak ada kemungkinan

membeli yang baru. Tak terpikirkan pula olehnya.

Bagaimana kehidupannya nanti, ia tak tahu. Ada perasaan

yang samar-samar tentang penderitaan dan kekurangan

uang yang memberikan peringatan kepadanya, bahwa ia

harus secepat mungkin untuk menyesuaikan diri dengan

kehidupan yang baru.”49

Di kota Bandung inilah Sulastri dan Sudarmo memulai hidup

yang baru. Bandung merupakan awal karir Sulastri menjadi

seorang guru di sekolah untuk membantu seuaminya mencari

nafkah dan membantu membayar hutang-hutang.

“Dan pada suatu pagi hari yang cemerlang ia berdiri di

muka sebuah gedung loji di kota Bandung.”50

Perjuangan yang dilakukan Sudarmo dan Sulastri saat itu

serta merta dengan pengalaman kemelaratan, dimana sekolah

yang Sudarmo kelola sebagai direktur sekolah Perguruan

Kebangsaan mengalami kesulitan yaitu sekolah swasta tanpa

49

Ibid, hlm. 15 50

Ibid,hlm. 18

Page 80: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

69

murid dan sasrana yang memadai, gaji guru-guru yang tidak

mencukupi, namun mereka menemukan persahabatan dalam

perjuangan bersama. Dalam kesulitan hidup solidaritas yang

dirobek-robek oleh saling iri dan curiga. Konteks politik

berlangsung dalam kerancuan yang dialami partai Marhaen

dan partai Kebangsaan hubungan yang retak menyebabkan

persaingan untuk mendirikan sekolah masing-masing.

Akhirnya terjadi fitnah-memfitnah antarguru, pemogokan

murid bahkan penurunan banyak murid. Penderitaan ini

ditanggung bersama dengan beberapa sahabat, Jamil, Gularso,

dan Supardi yang mengalami pengasingan. Selain itu, mereka

mengalami penyitaan surat kabar yang mereka terbitkan. Surat-

surat cinta terpaksa dijadikan api unggun, buku-buku disita

karena dianggap bukti-bukti yang memberatkan. Dan para

penghasut antara lain adalah guru-guru sekolah itu akhirnya

ditangkap. Setelah penggerebekan, penangkapan teman-teman,

keluarlah Onderwijsverbod, larangan untuk mengajar.

Sudarmo, Sulastri dan bayinya ditampung oleh kaka dan

iparnya, yang merupakan sesepuh Perguruan Kebangsaan,

dengan asrama yang lebih besar dan murid-murid yang

menginap di kota Jogya.

2) Yogyakarta

Yogyakarta merupakan kota singgah setelah Sulastri dan

Sudarmo telah pindah dari rumah lamanya di Bandung.

Mereka meninggalkan rumah itu karena Sudarmo

mendapatkan surat larangan mengajar dan akhirnya mereka

pindah ke Yogyakarta ke rumah iparnya yaitu Lurni dan

Ribowo.

“Sulastri akan pergi lebih dulu dengan bayinya, Sudarmo

akan ikut kemudian, karena masih banyak hal yang harus

diurus dulu. Beberapa hari kemudian Sudarmo

Page 81: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

70

mengantarkan istri dan anaknya ke stasiun. Mereka akan

pergi ke Yogya.”51

Yogyakarta adalah tempat tinggal iparnya yang bernama

Lurni dan suaminya Ribowo. Dikota Yogya, kota andong,

panas dan berdebu tetapi sejuk dengan adat istiadat,

kebudayaan, dan keningratan.

“Waktu kereta api berhenti di stasiun Yogya, ia mencari-

cari orang di peron dengan matanya, melihat iparnya Lurni

dan Ribowo. Ia melambaikan tangannya kepada mereka,

dan sebentar kemudian ia dirangkul oleh dua tangan yang

amat ramah. Lurni menggending bayinya dengan hati-hati

....” 52

Lastri menemukan rasa hormat pada Lurni, iparnya dengan

kegiatan aktivitas pendidikan, tetapi ia tercekam rasa harga diri

dan khawatir hilang keyakinan. Ia membandingkan diri dengan

Windarti, teman lama yang hidup sebagai ibu rumah tangga

yang mengubur bakat intelektualnya. Tak lama kemudian

Sudarmo dan Sulastri pindah dari kediaman Lurni ke paviliyun

kecil. Di sana Sudarmo mencoba menerbitkan majalah

Penghidupan Rakyat, namun gagal diterusakankarena hanya

mendapatkan 17 gulden lima puluh sen dari hasil penerbitan

pertamanya. Pada saat itu, surat yang dikirim Marti dari jakarta

mengenai pekerjaan baru pada pemerintahan membuat

Sudarmo pergi ke Jakarta atas anjuran Sulastri yang segera

menyusul.

“Pada waktu ini Marti menulis surat kepada Sulastri, bahwa

di kantor suaminya ada tempat untuk seorang volunter.

Apakah Sudarmo mau? Ia dapat pergi ke Jakarta untuk

melihat-lihat dulu.”53

51

Ibid,hlm. 154 52

Ibid,hlm. 157 53

Ibid,hlm. 183

Page 82: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

71

3) Jakarta

Kegagalan yang dialami Sudarmo di Yogjakarta, membuat

ia menerima tawaran dari iparnya Marti. Sudarmo tidak

menyukai pekerjaan itu, ia sempat menolaknya. Namun

Sudarmo sadar akan kewajibannya kepada istrinya. Sebelum

surat ketiga atau Sudarmo datang ke Yogya, Sulastri menulis

surat bahwa ia akan datang ke Jakarta.

“Sekarang Sulastri pergi dengan Rustini ke Jakarta dan

Sudarmo akan menjemput mereka, mungkin marah sekali,

mungkin juga dalam hatinya senang melihat mereka

kembali.”54

Mereka berdua terjebak dalam keadaan ini, di mana Sudarmo

sebagai klerk pemerintah kolonial membenci pekerjaannya dan

menuduh Sulastri sebagai penyebabnya. Tak tahan dengan

mendengar pertengkaran Marti dan suaminya dan perlakuan

ayahnya Sulastri yang membedakan antara priyayi berjabatan

tinggi dan guru yang miskin membuat Sudarmo memutuskan

untuk pindah ke Bogor.

4) Bogor

Di kota Bogor Sudarmo mendapat kesempatan untuk

membuat rencana mendirikan sebuah sekolah bagi Sulastri.

Rencananya itu selalu dicemooh oleh Marti dan Ayahnya yang

tidak menyetujui rencana Sudarmo. Namun hal tersebut tak

menghalangi tekad Sudarmo.

“Sudarmo membuat rancana untuk pindah ke Bogor untuk

mendirikan sekolah bagi Sulastri.” 55

“Sudarmo di Bogor telah mendapatkan sebuah rumah yang

murah dan besar dan mempersiapkan kepindahan mereka.”

20156

54

Ibid,hlm. 184 55

Ibid,hlm. 201 56

Ibid,hlm. 201

Page 83: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

72

Namun mereka mendapatkan masalah baru, yaitu pekerjaan

iparnya yang terancam karena Sudarmo. Ia pun segera

meminta berhenti supaya tidak membahayakan jabatan

iparnya, dan sekolah yang sedang didirikan pun belum

berlangsung baik. Tetapi Sudarmo menemukan sahabat baru di

kota ini yaitu Muhammad dan Jusuf, sambil mendirikan

majalah Pendidikan Perekonomian Rakyat. Dunia mereka

adalah mengajar, mengelola majalah, mengurus perpustakaan

dan diskusi.

c. Latar Sosial

Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan

kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah

cerita. Latar sosial dalam novel Manusia Bebas yaitu masyarakat

pada tahun 1930-an tengah membangun bangsa dan persamaan

haknya. Tampilnya golongan terpelajar pada novel ini

menunjukkan semangat nasionalis di kalangan kaum muda.

Keterlibatan mereka dengan partai-partai pergerakan, misalnya

partai Marhaen dan Kebangsaan merupakan ciri masyarakat

Indonesia pada masa itu. Peranan Sulastri sebgai istri seorang

aktivis sangat menonjol dalam kegiatan sosial dan pendidikan. Hal

ini menunjukkan bahwa semangat kebangitan dan kemandirian

tengah terjadi di masyarakat.

Seperti halnya, tokoh Sulastri, Sudarmo dan kawan-

kawannya yang memiliki semangat nasionalisme dan pendidikan

menjadi bidang dalam perjuangannya. Selain itu, mereka aktif

dalam kegiatan Partai Marhaen seperti Sudarmo, Jamil, Harjono,

Waluyo dan Gularso.

Keadaan mereka pada saat itu serba kekurangan, misalnya

tokoh Prawira, seorang guru pada sekolah Kebangsaan yang hidup

dengan tujuh orang anak dan seorang istri. Keadaan sosial ekonomi

Page 84: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

73

yang serba kekurangan seperti itu menjadi gambaran umum dalam

novel ini. Kehidupan Sulastri dan Sudarmo pun tidak jauh berbeda,

meskipun ia adalah seorang Kepala sekolah di sekolah tersebut.

Namun menurutnya yang terpenting adalah adanya kerja sama

sedangkan materi pada prinsipnya dapat dicari.

“Kekurangan uang dapat dipikul, Tri ... aku akan

menyaksikannya sendiri. Biarpun begitu, aku kerja keras

dan mencurahkannya seluruh tenagaku.” 57

Keyakinan yang seperti inilah membuat Sudarmo tetap bertahan

pada kegiatannya, meskipun ia seringkali mengalami kekurangan.

“Seringkali mereka mengalami berbulan-bulan kekurangan

uang untuk membeli makanan. Akan tetapi adakalanya

mereka mendapat sokongan yang agak lumayan. Ada lagi

kesusahan mereka ialah hutang karena pembelian buku-

buku sebanyak f. 200.” 58

Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana Sulastri dan

Sudarmo mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal ini

menggambarkan bagaimana situasi saat itu ikut mempengaruhi

cara hidup tokoh-tokohnya. Novel ini menggambarkan bahwa

aktivitas terjadinya pergerakan dalam masyarakat Indonesia pada

tahun 1930-an adalah di kalangan kaum pemuda terpelajar. Pada

umumnya mereka mengalami pendidikan di sekolah-sekolah

pemerintah.Selain itu, novel Manusia Bebas menggambarkan

mengenai adat-adat tradisional dengan membakar kemenyan.

“Begini Pak, bakarlah kemenyan tiap malam Jumat Kliwon,

kemudian gosoklah lidah Paman dengan ali-ali emas seperti

mereka kerjakan pada burung beo, tentu paman dapat suara

berat dari seorang Belanda mabok.”59

Adanya adat tradisional dalam novel ini, membuat pertentangan

antara Sulastri dan Sudarmo mengenai metode kuno dan modern.

57

Ibid,hlm. 28 58

Ibid,hlm. 17 59

Ibid,hlm. 104

Page 85: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

74

“Ya, kita ini orang modern. Akan tetapi dalam hati kita, kita

masih menyediakan sedikit tempat untuk membakar

menyan pada saat-saat kehilangan harapan.” 60

“Dengan kedatangan Ibu Sulastri, mulailah pertentangan-

pertentangan antara metode kuno dan modern, ibu ingin

menutupi puser bayi dengan daun jarak.” Karena” ujar ibu,

“ daun jarak membuat perut bayi kempis, yang paling

penting untuk seorang anak perempuan”. Sudarmo tak tahan

melihat cara-cara kuno dengan daun-daun, rempah-rempah,

dan bunga melati, menggerutu.” 61

Selain itu, adanya pandangan orang sunda bahwa anak harus

menghormati kedua orang tuanya, bahwa antara orang sekaum-kerabat

harus tolong menolong bila mendapat kesusahan dan saling

memberikan maaf bila melakukan kesalahan, hal ini digambarkan

pada tokoh Marti yang selau ingin membantu adiknya Sulastri dan

tokoh Ibu yang selalu memafkan Bapak yang telah menikah lagi

dengan Ratna dan Ipah.

“Ibu cinta pada Bapak dengan kasih sayang yang memaafkan

semua perbuatanya, cintanya yang tak meminta apa-apa, malah

selalu merasakan kegembiraan telah berbaik budi kepada

dia.”62

Dapat disimpulkan bahwa novel ini latar waktu tahun 1930an.

Latar sosial yang dialami para tokoh pergerakan seperti Sulastri dan

Sudarmo yang berjuang mewujudkan cita-cita kebangsaan melalui

pendidikan, kesulitan yang harus dihadapi dan adat istiadat yang

masih melekat pada zaman itu. Serta latar tempat yang berpindah-

pindah menunjukkan situasi yang dialami oleh tokoh utama.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan dalam novel adalah sudut

pandang orang ketiga, karena pengarang mengetahui dan

menceritakan segala hal yang terjadi pada tokoh baik berupa perasaan

60

Ibid,hlm. 61 61

Ibid,hlm. 140 62

Ibid,hlm. 148

Page 86: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

75

atau pikiran. Dalam novel Manusia Bebas, pencerita menampilkan

tokoh-tokohnya dengan menggunakan nama orang, seperti Sulastri,

Sudarmo, Jamil, Harjono, Waluyo, Prawira, Lurni, Marti, dan

sebagainya. Seperti dalam kutipan berikut.

„Sulastri akan pergi lebih dulu dengan bayinya, Sudarmo akan

ikut kemudian, karena masih banyak hal yang harus diurus

dulu.‟ 63

Suwarsih menggunakan nama Sulastri dan Sudarmo pada tokoh

utamnya dalam novel Manuisa Bebas. Dibawah ini beberapa

pengisahan cerita novel Manusia Bebas yang menggunakan sudut

pandang orang ke tiga “dia” mahatahu.

“Dalam hatinya ia merasa tak enak juga seperti Sulastri, sebab

ia mengeluh, bahwa ia tak dapat duduk lagi di teras, oleh

karena Urip dengan seenaknya menerima tamunya di situ dan

menganggapnya seperti biasa saja, jika ia menyuguhkan rokok

Sudarmo kepada tamunya.” 64

Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga akan membuat

pembaca memahami keseluruhan konteks dari tema yang diangkat

dalam novel Manusia Bebas. Selain itu, penggunaan sudut pandang

orang ketiga juga memposisikan narator lebih objektif dibanding

tokoh di dalam cerita.

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa dalam novel Manusia Bebas yaitu menggunakan majas

hiperbola dan majas personifikasi, serta diselipkan beberapa bahasa

Sunda dan Belanda.

a. Majas personifikasi

Majas personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang

menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak

bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.

63

Ibid,hlm. 154 64

Ibid,hlm. 45

Page 87: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

76

Bagaikan bintang-bintang yang tersenyum dari kejauhan dapat

meringankan penderitaan batinnya. Ia mempunyai kesan, bahwa

mereka dalam ucapanya yang tak terdengar, mengatakan

padanya:”Kami mengetahui, bagaimana perasaanmu. Kau

merasa terpukul dan selalu ingin dipuji.65

Suwarsih mengumpamakan bintang-bintang yang tersenyum,

padahal bintang adalah benda mati, sedangkan tersenyum

merupakan kegiatan makhluk hidup seperti manusia. Pengertian di

sini adalah keadaan Sulastri yang merasa kecewa akan penolakan

atas novelnya. Kekecewaannya membuat Sulastri merasa bahwa

bintang-bintang dapat merasakan apa yang ia rasakan dan dapat

meringkankan kesedihanya, seperti meminta pertolongan untuk

membantunya keluar dari kesedihannya layaknya manusia.

b. Majas hiperbola

Majas hiperbola diartikan sebagai gaya bahasa yang berlebihan,

dengan membesar-besarkan sesuatu. Majas hiperbola yang

ditemukan dalam novel yaitu.

“Aku harus menangis, kurasakan seperti dipukul. Sekarang

janganlah terumbang-ambing antara bahasa Sunda dan bahasa

Belanda. Sudah nyata bagi mereka, yang kucintai, telah

menendang aku ke luar. Mereka telah memberikan aku perasaan

berputus asa, bahwa aku telah bekerja dengan sia-sia.”66

Kutipan di atas termasuk kedalam majas hiperbola karena terdapat

kalimat yang berlebihan yaitu saat menggambarkan perasaan

Sulastri yang merasa kecewa atas penolakan novelnya. Ia merasa

orang yang ia cintai telah menendangnya ke luar, dan apa yang

telah kerjakannya sia-sia.

Selain itu, terdapat bahasa Sunda, yaitu.

Ia menggambil mutu dari meja, memperhatikannya dengan

cermat dan memutuskan, bahwa mutu itu telah dipakai membuat

rujak.67

65

Ibid,hlm. 8 66

Ibid,hlm. 1 67

Ibid,hlm. 19

Page 88: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

77

Kutipan di atas menceritakan saat Sudarmo mengajak Sulastri untuk

melihat-lihat rumah di Bandung. Kata mutu berasal dari bahasa Sunda

yang memiliki arti ulekan dalam bahasa Indonesia.

7. Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang

hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya.

Amanat dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

yaitu bahwa niat baik tidak selamanya dianggap baik oleh orang lain,

terus berusaha untuk memperjuangkan hak rakyat dalam pendidikan

dan pantang menyerah, jangan mudah percaya kepada orang lain.

“Ia ingin menolong; orang mencacinya dengan sebaliknya. Ia

bermaksud memajukan sekolah; orang mengecam dia sebagi

seorang diktaktor, waktu dia mendesak empat orang guru yang

tak cakap dipindahkan dari sekolah itu ke sekolah dari cabang

Perguruan Kebangsaan di pedalaman.”68

“Lebih baik dibenci karena kebajikan daripada diuji-puji

karena keburukan.”69

B. Nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih

Djojopuspito

Bangsa Indonesia telah dijajah oleh bangsa Barat sejak abad XVI,

namun kesadaran nasional sebagai sebuah bangsa baru muncul pada abad

ke XX. Kesadaran itu muncul sebagai akibat dari sistem pendidikan yang

dikembangkan oleh pemerintah Belanda. Karena melalui pendidikanlah

muncul kelompok intelektual yang menjadi penggerak nasionalisme

Indonesia.70

Suwarsih sebagai seorang intelektual dan pengarang yang

menuliskan sebuah novel yang berjudul Manusia Bebas. Novel ini

menggambarkan peristiwa tahun 1933 dimana semangat bangsa Indonesia

68

Ibid, hlm. 37 69

Ibid, hlm. 81 70

Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908—

1945, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 16

Page 89: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

78

mulai membangkitkan perlawanan kepada bangsa Belanda. Perlawanan ini

digambarkan dengan adanya kaum intelektual yang setara dengan

intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional. Hal ini

menyebabkan tokoh intelektual mengalami kesulitan hidup yang sangat

berat, mereka harus hidup melarat dan selalu diawasi oleh aparat

pemerintahan Belanda.

Novel Manusia Bebas pada mulanya ditolak oleh Balai Pustaka,

penolakan ini menurut Ajip Rosidi karena cita-cita kesusastraan yang

dibawanya dianggap terlampau maju oleh penerbit sehingga khawatir tidak

dimengerti. Namun, menurut H.B. Jassin penolakan itu karena melukiskan

perjuangan kaum pergerakan nasionalis. Cita-cita kesusastraan Suwarsih

tidak begitu revolusioner untuk menjadi alasan penolakan.

“Tapi H.B. Jassin lebih tjoncong untuk mengatakan bahwa; buku

itu ditolak karena melukiskan perdjuangan kaum pergerakan

nasionalis.”71

Menurut Eddie Du Perron pada kata pengantar dalam novel

Manusia Bebas lebih bersifat pembelaan untuk kaum tertindas dari pada

pembelaan untuk kebagusan buku itu dari sudut kesusastraan. Sartono

melihat novel ini sebagai sumber “sejarah mentalitas” karena di dalam

novel ini melukiskan mentalitas sekelompok nasionalis di zaman

pergerakan nasional dalam keadaan yang sangat sulit. Politik kolonial yang

sangat konservatif dan represif harus mereka hadapi. Sementara itu mereka

harus hidup dalam keadaan depresi ekonomi 1930-an. Namun demikian

mereka tidak gentar memperjuangkan kemerdekaan, baik bagi diri sendiri

maupun bagi bangsa.72

Pada novelnya Suwarsih Djojopuspito mengatakan

bahwa ia mengajak pemuda pada zamannya untuk bertabah hati dengan

segala resiko yang dialami dalam perjuangan untuk mencapai

kemerdekaan:

71

CH. Kiting, “Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito”, (Mimbar Indonesia,

XVII). No 5. 72

P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta: KPG

(Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm. 349

Page 90: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

79

“ Dengan demikian, maksud saya dulu itu, yaitu mengajak pemuda

seumuran saya supaya bertabah hati dalam perjuangannya

mencapai kemerdekaan Indonesia.”73

Nasionalisme memiliki ideal sebagai arah tujuan nasionalisme yang

diperjuangkan yaitu mewujudkan otonomi nasional, kesatuan nasional, dan

identitas nasional.

a. Otonomi Nasional

Otonomi nasional yaitu nasionalisme sebagai dasar perjuangan

menuju kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dengan

memiliki pemerintahan sendiri di atas tanah airnya, bebas dari tekanan

luar.

Menurut Toeti Heraty, novel Manusia Bebas atau Buiten het

Gareel yang berarti di luar jalur, khususnya di luar jalur perilaku.

Ditulis oleh seorang pribumi perempuan, dalam zaman kolonial

Belanda, artinya menjadi suatu gambaran perilaku perjuangan suami

istri bercorak patriotik dalam kebangkitan nasionalisme Indonesia

tahun 1930-an, dalam konteks kehadiran Ir. Soekarno di kota

Bandung. Selain itu, karena menyangkut seorang perempuan

bersuami, dalam perjuangan bersama suami dan dalam kegitan sehari-

hari sebagai guru sekolah swasta pribumi, kegiatan inipun terletak di

luar jalur kelaziman, sebagai kegiatan di sekolah “liar” dan sebagai

istri dengan kegiatan di luar rumah tangga.74

Suwarsih Djojopuspito menterjemahkan bukunya dengan judul

Manusia Bebas. Manusia bebas ialah manusia yang bebas dari

prasangka, bebas dari ketakutan, dari bentuk-bentuk dan tradisi-tradisi

yang mengikat, dalam usahanya untuk membebaskan pikiranya,

seringkali mengalami kegagalan, seringkali mendapatkan perlawanan

dari kawan-kawan sendiri dan ia sadar bahwa manusia sekalipun

berulangkali jatuh dan bangun, namun harus tetap berusaha untuk

73

Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. V 74

Ibid, hlm. XVI

Page 91: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

80

dapat memikirkan pembangunan masa depan yang lebih baik bagi

bangsanya.75

Kebebasan yang digambarkan oleh Suwarsih yaitu dengan

anak-anak yang sedang bermain, menurutnya bahwa kebebasan bukan

kebebasan dengan bertindak sesuka hati dan tidak memperhatikan

apapun. Artinya kebebasan batin, dengan mendidik anak-anak dengan

baik namun tidak membuat jiwa anak-anak tertekan.

“Mereka mengira, bahwa „kebebasan‟ itu berarti „bertindak

semaunya sendiri dengan tidak mengindahkan apapun juga.

Walaupun artinya „kebebasan‟ itu mendidik anak-anak, akan

tetapi sedemikian rupa jangan sampai wataknya sendiri menjadi

tertekan.”76

Salah satu tugas gerakan kebangsaan seharusnya membebaskan,

menyadarkan wanita Indonesia, sehingga dia dapat bahu membahu

dengan suaminya melakukan perjuangan nasional dengan hak-hak dan

tanggungjawab yang sama. Hubungan suami istri juga memainkan

peranan yang penting dalam novel Manusia Bebas yang digambarkan

dengan tokoh Sulastri (salah seorang dari kedua tokoh utama)

berusaha keras menjadi patner yang setaraf dengan suaminya

Sudarmo. Selain itu, Suwarsih menggambarkan tokoh-tokoh

perempuan modern dan berpendidikan, yang mampu membantu

suaminya untuk menjalankan tugas nasional, tanpa terkurung tradisi

bahwa seorang istri hanya menjalakan tugas rumah tangga saja, seperti

Sulastri, Lurni, Marti. Meraka adalah perempuan yang modern yang

sama-sama berjuang dan ikut dalam sebuah organisasi wanita. Tokoh

Sulastri digambarkan sebagai perempuan yang mampu memilih

pasangan hidupnya tanpa ada tradisi perjodohan, perempuan yang

mampu membantu suaminya dalam menjalankan tugas nasional

seperti ikut menjadi guru di sekolah Kebangsaan.

75

Gerard Termorshuizen, “Serba-serbi Negeri Belanda: „Mengenang Soewarsih

Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‟”, no 32 tahun 1978. Hlm 34—37. 76

Suwarsih,Op.Cit, hlm. 44

Page 92: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

81

Ia merasa gembira dalam pengorbanan ini dan ketandusan

keuangan yang mendesak seperti karunia Tuhan; sebagai suatu

kehormatan. Rasa kebahagiaan memenuhi hatinya jika ia

teringat, bahwa ia lakukan semua ini untuk tanah airnya, satu

perlambang, yang pada waktu itu mempunyai wajah Sudarmo

dan sekolah. Ia merasa berbahagia, oleh karena ia bekerja

dengan sungguh-sungguh dan mencintai Sudarmo.77

Menurutnya kesulitan ekonomi dan pengorbanan yang ia

lakukan sebagai suatu kehormatan untuk bangsanya. Ia sangat

mencintai suaminya dan memiliki tanggungjawab untuk berjuang

bersama suaminya untuk kepentingan bangsanya. Selain itu, adapula

perempuan yang lebih memilih menjadi ibu rumah tangga meskipun ia

berpendidikan, karena menurutnya mengurus anak lebih penting

dibandingkan harus memberikan kursus-kursus pada anggota-anggota

perkumpulan wanita.

Menurut Suwarsih kebebasan yaitu manusia yang bebas dari

prasangka, bebas dari ketakutan, dalam usahanya untuk membebaskan

pikiranya, seringkali mengalami kegagalan. Hal ini yang digambarkan

oleh Suwarsih dalam novelnya. Kebebasan ini digambarkan dengan

adanya tokoh Idih sebagai seorang pribumi yang bekerja sebagai

kandidat Inlands bestuurambtenar, yang didetasir di PID yang telah

menyita koran-koran yang diterbitkan oleh Sudarmo yang dianggap

dapat mengasut anak-anak. Penyitaan ini tidak membuat Sudarmo

merasa takut, karena menurutnya wajar untuk membandingkan

sekolah gupernemen dengan sekolah kebangsaan. Bahkan Ki Hajar

Dewantoro yang selama sepuluh tahun telah mendirikan sekolah yang

sama tidak memakai modal lain kecuali semangatnya dan

keinginannya untuk mengangkat derajat rakyat. Kebebasan yaitu

menjalankan tugas bagi bangsanya dalam bidang pendidikan tanpa

harus diawasi oleh pangreh praja. Meskipun untuk mendapatkan

kebebasan itu harus berhadapan dengan bangsanya sendiri.

77

Ibid, hlm. 46

Page 93: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

82

“Sudarmo diperingatkan kepada tragik dari masyarakat kolonial,

dimana „sawo matang di lepaskan pada „sawo matang‟ untuk

mengabdikan pemerintah orang kulit putih.”78

b. Kesatuan Nasional

Kesatuan nasional atau persamaan kedudukan yaitu menyatukan

anggota bangsa secara sosial dan kultural yang berusaha

mengembalikan martabat yang telah dirusak oleh pihak eksternal

seperti yang dilakukkan oleh bangsa Belanda. Dengan adanya

Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa telah menyebabkan rakyat

Indonesia mati kelaparan di tanah airnya yang subur dan kaya raya.

Sebaliknya sistem tanam paksa ini telah memberikan keuntungan

kepada Belanda, rakyatnya menjadi makmur dan sejahtera karena

cultuurstelsel atau sistem tanam paksa, penciptanya yaitu Johannes

van den Bosch. Namun rakyat Indonesia sangat menderita dan banyak

yang mati kelaparan akibat pemerasan dan penindasan yang dilakukan

oleh kaum penjajah.

Rakyat Indonesia dengan sengaja dibiarkan hidup dalam

kebodohan oleh kaum penjajah. Rakyat Indonesia sangat terbelakang,

kedudukan ekonomi semakin merosot dan sangat lemah. Rakyat yang

bodoh dan terbelakang tidak akan mengerti dan tidak akan menyadari

kepincangan-kepincangan serta ketidakadilan yang berlaku di tanah

airnya, mudah diperintah dan dijajah, mudah ditindas dan diperas oleh

kaum bangsa asing yang sekolah, sehingga rakyat Indonesia tidak

dapat berbuat apa-apa ketika ditindas dan diperas dengan semena-

mena oleh kaum penjajah.79

Penderitaan dan kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat

Indonesia, digambarkan oleh Suwarsih dengan gaji guru yang rendah.

Prawira salah satu guru di Sekolah Kebangsaan harus menghidupi istri

dan tujuh orang anaknya dengan gaji yang minim. Kesulitan ekonomi

78

Ibid, hlm. 108 79

Sagimun M.D, Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Museum

dan Sejarah, 1988), hlm. 175—178

Page 94: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

83

juga dialami oleh Sudarmo dan Sulastri yang harus berpindah-pindah

untuk mencari pekerjaan. Namun semangat Sudarmo untuk membuat

sekolah kaum pribumi tidak pernah padam dengan segala keterbatasan

ekonomi yang mereka alami, ia selalu berusaha untuk mewujudkan

cita-citanya bersama dengan teman-temannya yang memiliki cita-cita

yang sama. Kesulitan yang dialami Sudarmo dan teman-temanya

tidak membuat mereka menyerah, namun saling membantu satu sama

lain agar bisa membuat sekolah bagi pribumi. Hal ini menggambarkan

bahwa penderitaan yang mereka alami telah membuat mereka bersatu

semakin erat untuk tujuan nasional. Ketika Sudarmo mengetahui

bahwa penghasilan sekolah semakin surut Sudarmo berusaha untuk

memberikan semangat pada guru-guru kebangsaan.

Kesulitan ekonomi yang dialami Sudarmo dan Sulastri,

membuat Sudarmo mengkritik istrinya yang berpenampilan parlente,

karena menurutnya tidak pantas untuk berpenampilan seperti itu

dalam keadaan yang sulit seperti ini.

“Akan tetapi tak menurut perasaan yang halus jika kau datang

dalam suasana melarat memakai pakaian seindah itu. Jangan

dipakai lagi baju itu. Di sini terlalu bagus.”80

Selain itu, Ayah Sulastri yang selalu membandingkan antara

Kartanegoro dan Sudarmo dalam pekerjaan. Bahwa Kartanegoro

memiliki gaji yang tetap karena bekerja pada pemerintahan Belanda

sedangkan Sudarmo memiliki gaji yang rendah karena ia bekerja pada

pergerakan nasional dalam mendirikan sekolah. Hal ini, membuat

Sulastri merasa terombang ambing dalam keinginan hidup

berkecukupan, sehingga membuat Sudarmo berkerja sebagai Klerk

sama dengan iparnya Kartanegoro. Namun, Sudarmo tetap ingin

menjalankan tugasnya yaitu mendirikan sekolah, gaji yang didapatnya

digunakan sebagai modal untuk membuat sekolah di Bogor.

80

Suwarsih, Op.Cit, hlm. 29

Page 95: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

84

Suwarsih dengan jelas menggambarkan bagaimana pengaruh

kemiskinan pada rakyat Indonesia, ia menjelaskan bagaimana murid-

murid sekolah Kebangsaan menggunakan pakaian yang sobek-sobek

dan menambalnya untuk sekolah. Selain itu, rakyat Indonesia tidak

memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengobatan yang layak, hal

ini digambarkan dengan tokoh Juhariah istri Sutrisno, yang akan

melahirkan ia lebih memilih melahirkan pada Mak Dukun dengan

kuku yang kotor dan kebersihan yang kurang, dibandingkan

melahirkan dengan bantuan bidan.

c. Identitas Nasional

Bahasa juga menjadi salah satu faktor adanya nasionalisme

karena bahasa menjadi ciri khas atau identitas masyarakat bumi putera

yang membedakannya dari masyarakat atau orang Belanda yang

menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya baik

dalam kepentingan resmi maupun pergaulan. Bahasa merupakan

bagian dari identitas nasional karena tertuang dalam sumpah pemuda

1928 yaitu sumpah pemuda yang ketiga yaitu bahasa persatuan,

bahasa Indonesia yaitu Indonesia memiliki keragaman bahasa dari

berbagai suku dan budaya. Untuk meningkatkan rasa persatuan dan

kesatuan, pemuda sepakat untuk menggunakan basa persatuan yaitu

bahasa Indonesia.

Dalam bidang pendidkan bahasa Indonesia tidak digunakan

sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, mereka lebih

memilih menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar

dalam memberikan pelajaran. Akibatnya masyarakat tidak peduli lagi

dengan pemakaian bahasa Indonesia dan mereka tidak pernah merasa

malu apabila mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik.

Apabila seseorang ingin disegani dan dihormati dalam kehidupan

sehari-hari maka ia harus menguasai bahasa Belanda dengan baik.

Page 96: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

85

“Joyokuno senang menggunakan kata-kata asing, karena dengan

demikian ia dapat meninggikan derajatnya sebagai seorang

intelek terhadap orang-orang biasa.”81

Pemakaian bahasa Belanda dapat menentukan status

pemakainya, selain itu dengan menggunakan bahasa Belanda dengan

baik masyarakat Indonesia merasa lebih terpelajar dan lebih

terhormat. Akibatnya tidak banyak masyarakat Indonesia yang mau

mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia dengan serius, dan

mereka merasa cukup menguasai bahasa Indonesia hanya untuk

komunikasi umum saja. Seperti halnya tokoh Pak Joyokuno yang

sudah berusia 35 tahun yang ingin mengikuti ujian bahasa Belanda, ia

belajar dengan sungguh-sungguh agar dapat lulus dalam ujian

tersebut. Pak Joyokuno senang menggunakan bahasa asing, karena

menurutnya dengan menggunakan bahasa asing akan mempu

meninggikan derajatnya sebagai seorang yang intelek terhadap orang

biasa.

Bahasa menjadi salah satu faktor tumbuhnya nasionalisme,

karena karangan yang ditulis dalam bahasa sendiri akan mudah

dipahami dan mampu menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa

Indonesia. Hal ini tergambar ketika kekecewaan Sulastri akan

karangannya yang ditolak.

“apakah tidak lebih baik kembali lagi ke bahasa sendiri. Pada

akhirnya bahasa Belanda itu tak lain tak bukan banya bahasa

asing saja dan apa lagi, semua buah pikiran Indonesia yang

ditulis dalam bahasa itu akan mempunyai arti untuk sementara

saja, sedangkan jika ditulis dalam bahasa sendiri, karangan itu

dapat hidup lebih lama.”82

Hal ini berbanding terbalik dengan tokoh Sulastri yang lebih

memilih menggunakan bahasa Indonesia, karena menurutnya suatu

pikiran yang ditulis dalam bahasa Indonesia akan memiliki arti yang

81

Ibid,hlm. 123 82

Ibid,hlm. 5

Page 97: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

86

lebih lama dibanding dengan bahasa asing. Karena akan bermanfaat

untuk bangsanya sendiri, sedangkan bahasa asing hanya bahasa

pengantar dan digunakan untuk kepentingan sendiri, misalya sebagai

alat untuk meninggikan derajat seseorang.

C. Faktor Nasionalisme

Faktor nasionalisme terdiri dari faktor internal dan eksternal.

Faktor internal yaitu adanya politik etis bagi bangsa Indonesia terutama

dibidang pendidikan yang tujuannya untuk mengangkat harkat dan

martabat kaum pribumi dari kebodohan, ternyata ditujukan untuk

mencetak tenaga pada administrasi dan birokrasi Belanda, serta sebagai

buruh dalam perusahaan-perusahaan swasta. Walaupun dari sudut pandang

kolonial kebijakan pendidikan Belanda diarahkan untuk kepentingan

pemerintah kolonial. Namun dari sudut kepentingan perjuangan bangsa

Indonesia pendidikan Barat telah melahirkan elit baru. Elit baru inilah

yang menjadi pelopor pergerakan nasional.

Pelaksanaan politik etis secara tidak langsung telah mendorong

munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar akan nasib bangsanya

akibat penjajah. Seperti halnya Ki Hajar Dewantara yang berpendidikan

membuat Taman Siswa yang merupakan badan perjuangan yang berjiwa

nasional suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri

sebagai dasar perjuangannya.83

R.A Kartini yang berjuang khusus di

bidang pendidikan kaum perempuan, lahirnya Budi Utomo untuk

mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia melalui

pendidikan.

Pertama, Suwarsih adalah salah satu hasil dari para elit baru, ia

mendapatkan pendidikan di sekolah Kartini. Suwarsih tergolong dalam

„kaum proletariat intelektuil‟ yang tidak tertarik pada pekerjaan yang

bergaji bagus pada gupermen, namun ia lebih memilih untuk mendidik

83

Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Departemen dan Kebudayaan Direktorat

Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989), hlm.

96

Page 98: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

87

rakyat yang bodoh dan tidak berpendidikan.84

Ia menuangkan

pengalamannya dalam novel Manusia Bebas yaitu dengan adanya politik

etis, Suwarsih memunculkan tokoh Kartanegoro ia adalah seorang Sarjana

Hukum dan bekerja sebagai Klerk pada pemerintahan Belanda. Hal ini

didukung oleh Ayahnya Sulastri bahwa ia lebih menyukai Kartanegoro

yang memiliki perkerjaan dan gaji yang tetap sebagai klerk pada

pemerintahan Belanda dibandingkan Sudarmo yang bekerja sebagai guru

untuk kepentingan bangsanya sendiri.

Tokoh Idih adalah seorang pribumi yang bekerja sebagai kandidat

Inlands bestuurambtenar di PID. Ia dibertugas untuk menyita koran-koran

yang ada di sekolah Sudarmo karena ada perkataan yang

menyinggung.Tokoh Idih muncul untuk mewakili pemerintahan Belanda

yang menyita surat kabar yang diterbitkan oleh orang-orang pergerakan

nasional seperti Sulastri dan Sudarmo.

Selain itu, timbulnya kesadaran nasional dan harga diri sebagai

bangsa pada rakyat Indonesia adalah akibat meluasnya dan meningkatnya

pendidikan dan pengajaran. Perluasan dan peningkatan pengajaran dan

pendidikan menyebabkan pemuda-pemuda pelajar bangsa indonesia

memiliki pikiran-pikiran yang maju. Mereka semakin sadar akan harga

dirinya sebagai bangsa. Inilah yang menjadi pendorong yang kuat untuk

melahirkan serta menumbuhkan nasionalisme indonesia. Hal ini,

digambarkan dengan tokoh-tokoh Sudarmo sebagai Sarjana Hukum dan

sebagai Kepala Sekolah di sekolah Kebangsaan, Jamil adalah seorang guru

di Perguruan Kebangsaan, ia sangat ahli soal tumbuh-tumbuhan dan

kekhewanan, karena ia telah duduk di kelas tiga Sekolah Kekhewanan.,

Harjono mengajar pelajaran bahasa Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis,

ia bersekolah di A.M.S bagian Sastra Barat dan telah duduk di kelas

tertinggi, Waluyo, Prawira, Lurni, Ribowo, Sulastri, Yusuf, Muhammad,

84

Gerard Termorshuizen, “Serba-serbi Negeri Belanda: „Mengenang Soewarsih Djojopuspito

Pengarang Buiten het Gareel‟”, no 32 tahun 1978. Hlm 34—37.

Page 99: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

88

Marti, dll yang mendapatkan pendidikan akibat dari adanya politik etis.

Sehingga membuat para tokoh tersebut memiliki tanggungjawab untuk

mencerdaskan bangsanya sendiri. Tujuan mereka adalah untuk

mencerdaskan bangsa pribumi yang tidak memiliki kesempatan untuk

belajar di sekolah yang didirikan oleh pihak Belanda, karena keterbatasan

yang dilakukan oleh Belanda dalam mendapatkan pendidikan.

Kedua, rasa kebangsaan ini telah menjadi faktor yang kuat untuk

menggelorakan semangat nasionalisme dikalangan nasionalis. Dalam

novelnya, Suwarsih menumbuhkan semangat nasionalisme dengan

memunculkan tokoh Soekarno sebagai seorang pemimpin yang mampu

menumbuhkan semangat nasional pribumi dalam menjalankan tugasnya.

“Mereka yang meninggalkan pekerjaannya dan dengan demikian

mengorbankan upah, sehingga dapat menceburkan dirinya dalam

pengabdian kepada perguruan nasional atau kesibukan pergerakan

yang memeras keringat dan tenaga mereka, merekalah yang dicap

sebagai pendekar. Jiwa Sukarno menyalakan api dalam sanubari

kaum muda.”85

Hal ini menjelaskan bagaimana semangat yang diberikan oleh

Sukarno kepada kaum nasionalis dalam pengabdian untuk bangsanya,

mereka yang rela bekerja dengan upah minim dan rela meninggalkan

pekerjaannya pada pemerintahan Belanda untuk kepentingan bangsanya

sendiri.

Ketiga, mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam

menganggap Islam sebagai satu kesatuan yang bisa memupuk rasa

kebangsaan. Rasa kebangsaan itulah yang digunakan untuk mengobarkan

semangat nasionalisme melawan penindasan dari kekuasaan Belanda. Hal

ini terlihat pada percakapan antara Sutrisno dan Sudarmo bahwa untuk

menumbuhkan rasa kebangsaan kita harus memberikan semangat di desa

bukan hanya menebarkan semangat di kota saja. Hal ini yang

menyebabkan Sutrisno memutuskan untuk pergi ke desa untuk

85

Ibid, hlm. 16

Page 100: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

89

menumbuhkan semangat kebangsaan. Namun, untuk menumbuhkan

semangat di Desa ia harus ikut mempelajari agama dan adat istiadat yang

mereka anut di desa.

“Jika kita ingin menawan hati mereka dan mendapat kepercayaan

mereka, maka kita harus mengalahkan ajengan-ajengan itu dengan

senjata mereka. Kita harus semngahyang dan berpuasa dan harus

mengenali adat istiadat mereka.”86

Kutipan di atas menjelaskan bahwa perjuangan untuk

menumbuhkan rasa nasionalisme harus mengikuti dan mempelajari adat

istiadat serta agama yang ada di desa, agar dapat memperkokoh hubungan

antara desa dan kota dalam mewujudkan cita-cita bangsa.

Keempat, pengaruh sistem pendidikan dan pengajaran modern atau

barat banyak melahirkan dan menumbuhkan kaum terpelajar bangsa

Indonesia yang berkesimpulam bahwa bangsa Indonesia hanya dapat

mencapai kemajuan dan nasib yang lebih baik melalui jalur pendidikan

dan pengajaran. Dengan pengetahuan yang mereka peroleh, kaum

terpelajar atau kaum intelektuil bangsa Indonesia mulai mengandung cita-

cita dan pemikiran-pemikiran serta gagasan-gagasan untuk memajukan

serta meningkatkan taraf hidup bangsanya.

Dekat pintu di dinding muka selama itu telah digantungkan papan

yang lebar panjang, dimana tertulis dengan huruf merah tua dan

artistik;

REDAKSI DAN ADMINISTRASI PENGHIDUPAN RAKYAT87

Pertumbuhan dan perluasan nasionalisme Indonesia telah dibantu

oleh teknik-teknik penyebaran gagasan yang dilakukan oleh surat kabar

bumi putera dan radio. Hal ini dilakukan oleh Suwarsih dengan perjuangan

Sudarmo dan kawan-kawannya menerbitkan sebuah koran dan disebarkan

di sekolah, namun kora yang dibuat oleh Sudarmo disita oleh serdadu

Belanda, karena dianggap telah menyinggung pemerintah. Penyitaan ini

86

Ibid, hlm. 212 87

Ibid, hlm. 182

Page 101: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

90

tak membuat semangat Sudarmo terhenti, ia lalu pindah ke Yogja dan

menerbitkan Majalah Penghidupan Rakyat.

Selain faktor-faktor dari dalam faktor-faktor dari luar juga

berpengaruh atas kelahiran nasionalisme Indonesia. Namun dalam

penelitian ini hanya faktor internal yang terdapat dalam novel Manusia

Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Karena pada novel lebih

menggambarkan mengenai perjuangan pergerakan dibidang pendidikan,

adanya kesadaran nasional dan harga diri sebagai bangsa pada rakyat

Indonesia adalah akibat meluasnya dan meningkatnya pendidikan dan

pengajaran. Perluasan ini menyebabkan pemuda-pemuda pelajar bangsa

indonesia memiliki pikiran-pikiran yang maju. Mereka semakin sadar akan

harga dirinya sebagai bangsa. Inilah yang menjadi pendorong yang kuat

untuk melahirkan serta menumbuhkan nasionalisme indonesia.

D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah

Novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito dapat

diimplikasikan terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Pembelajaran

sastra di sekolah ada dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. sedangkan

untuk materi novel sesuai dengan silabus Kurikulum 2013, diajarkan di

tingkat SMA kela XI (sebelas) semester genap (dua). Hasil analisis ini

dapat dimanfaatkan dalam rangka mengembangkan keterampilan

berbahasa dan sastra seperti yang terdapat di RPP, dengan kompetensi

dasar yang menekankan pada aspek menganalisis teks cerita fiksi dalam

novel baik lisan maupun tulisan dengan cara menentukkan sifat tokoh dan

cara penggambarannya dengan alasan yang meyakinkan. Siswa diharapkan

mampu menganalisis kedudukan dan sifat tokoh serta mampu

menginterpretasi makna yang terkandung di dalam novel.

Page 102: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

91

Kaitan sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran

kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam

berbahasa. Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek

kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Dengan demikian sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya,

memperluas wawasan hidup, pengetahuan-pengetahuan lain, serta

mengembangkan kepribadian. Dalam hal pengajaran sastra khususnya

novel dapat meningkatkan kemampuan membaca peserta didik. Dalam

novel sastra, peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan

wawasannya melalui kegiatan membaca, karena sastra membahas

permasalahan kemanusiaan serta kehidupan.

Pembelajaran sastra mengenai analisis novel dapat diterapkan oleh

guru untuk membangun kreativitas siswa dalam mengapresiasi karya

sastra. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pembelajaran sastra

adalah cukup mudahnya karya sastra tersebut dipahami siswa sesuai

dengan tingkat kemampuannya masing-masing. Namun karena tingkat

kemampuan setiap individu berbeda, maka guru dituntut menggunakan

strategi kerja kelompok dengan baik.

Penggunaan novel Manusia Bebas sebagai bahan pembelajaran

menarik siswa untuk mengetahui keadaan sejarah pada masa sebelum

kemerdekaan. Siswa akan lebih menarik untuk mengembangkan daya

imajinasinya dengan bahan pembelajaran karya sastra bernuansa sejarah

yang belum diketahui sebelumnya. Penggunaan bahasa yang disertai

campuran bahasa Sunda akan memperkaya kosakata siswa. Novel

Manusia Bebas menceritakan mengenai semangat nasionalisme pada masa

pergerakan melawan penjajahan Belanda dengan cara menghadirkan

intelektual yang setara dengan intelektual Belanda untuk mendirikan

sekolah partikelir nasional. Hal ini tentunya akan memberikan nilai-nilai

positif bagi siswa untuk mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam

kehidupan sehari-hari.

Page 103: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

92

Saat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan, siswa diharapkan

telah membaca novel Manusia Bebas. Dalam pertemuan pertama dengan

indikator mampu menentukkan unsur intrinsik novel meliputi tema, alur,

tokoh, latar, dan sudut pandang. Pada pertemuan kedua dengan indikator

mampu menginterpretasikan makna yang terkandung pada teks novel, guru

mulai pembelajaran dengan meminta siswa untuk menyampaikan

pendapatnya mengenai nilai nasionalisme yang terdapat di dalam novel.

Hal ini bertujuan untuk memastikan siswa telah siap memasuki

pembelajaran. Guru dapat melengkapi pengetahuan siswa dengan

memberikan informasi mengenai nilai nasionalisme.

Terdapat keterkaitan antara sastra dengan sejarah, seperti dalam

novel Manusia Bebas erat kaitannya dengan sejarah bangsa Indonesia, hal

ini tentunya erat kaitannya dalam pembelajaran sastra di SMA. Dalam hal

ini guru bahasa Indonesia harus melakukan sharing atau bertukar pendapat

dengan guru sejarah, agar tidak terjadi kerancuan atau perbedaan mengenai

pengetahuan sejarah yang diajarkan oleh siswa, sehingga siswa tidak

kebingungan.

Melalui pembelajaran dengan kurikulum 2013 yang berbasis

kompetensi sekaligus berkarakter yang menggunakan pendekatan tematik

dan kontekstual, diharapkan peserta didik mampu secara mandiri

meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji, dan

meninternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak

sehingga terwujud dalam prilaku sehari-hari. Selain itu, siswa diharapkan

dapat mengamalkan nilai nasionalisme, semangat kebangsaan, cinta tanah

air dan tanggung jawab.

Page 104: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

93

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari uraian yang dilakukan oleh penulis, mengenai nasionalisme dalam

novel Manusia Bebas dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan

sastra di SMA, maka dapat disimpulkan.

1. Novel Manusia Bebas menggambarkan adanya nasionalisme yang

digunakan untuk menggerakkan bangsa Indonesia bangkit dari

penindasan penjajah Belanda. Novel ini menjadi sejarah bangsa

Indonesia. karena dalam novel yang berlatar tahun 1930-an di mana

masa pergerakan dan semangat kebangsaan mulai membakar jiwa

rakyat Indonesia. Semangat nasionalisme diperlihatkan pengarang

novel ini dengan cara menghadirkan intelektual yang setara dengan

intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional.

Akibatnya, intelektual yang berusaha mencerdaskan kehidupan

bangsanya harus berhadapan dengan politik kolonial yang

menganggap sekolah partikelir sebagai “sekolah liar” sehingga rakyat

menjadi takut menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan

tetapi, pendiri dan guru-gurunya tidak takut meski harus ditangkap,

hidup serba melarat, dan selalu diawasi oleh pejabat Hindia Belanda

dan dimusuhi oleh kawan seperjuangan atau keluarga. Namun segala

beban hidup tersebut, mereka hadapi dengan “gagah”. Satu tekad

mereka ialah mereka lebih senang bekerja untuk bangsanya sendiri

walaupun harus menderita karenanya. Nasionalisme memiliki ideal

fundamental sebagai arah tujuan nasionalisme yang diperjuangkan

yaitu mewujudkan otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas

nasional, serta adanya faktor internal yang membangkitkan

nasionalisme.

2. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan

sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek membaca dan memahami

Page 105: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

94

karya sastra. Dalam pembelajaran sastra ini, kompetensi yang harus

dicapai siswa ialah menganalisis teks novel dengan menjelaskan unsur-

unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel. Tujuan dari pengajaran

novel tersebut adalah agar siswa mampu mengapresiasi novel yang

memiliki nilai-nilai nasionalisme dengan menggali hubungan antara

karya sastra dengan keadaan sosial yang ada di masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, novel Manusia Bebas sebagai karya sastra

yang menjadi dokumen sejarah perjuangan nasionalisme dapat

dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Selain itu, siswa

diharapkan dapat mengamalkan nilai nasionalisme, semangat

kebangsaan, cinta tanah air dan tanggung jawab.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap pembelajaran

sastra, maka penulis menyarankan.

1. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam

pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang karya

sastra novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan

referensi dalam penelitian lebih lanjut mengenai nasionalisme.

3. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih

memahami struktur yang membangun novel Manusia Bebas.

Khususnya keterkaitan antara unsur-unsur cerita seperti tema,

tokoh, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang. Kemudian

membantu pembaca untuk memahami nasionalisme yang

ditampilkan dalam novel. Selain itu, pembahasan novel Manusia

Bebas ini sebagai bahan acuan dalam pembelajaran sastra di

sekolah, seperti memberikan pemahaman terhadap siswa dalam

mempelajari pokok bahasan menentukan dan menganalisis unsur-

unsur instrinsik dan ekstrinsik novel.

Page 106: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

95

DAFTAR PUSTAKA

A.N., Firdaus. Syarikat Islam bukan Budi Utomo. Jakarta: CV. Datayasa .1997.

Aziez, Furqonul dan Abdul Hamid, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar.

Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.

Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk

Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera. 2003.

Dahm, Bernhard. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES. 1987.

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1979.

Dewan Redaksi. “Ensiklopedia Sastra Indonesia”. Bandung: Titisan Ilmu. 2004.

Djojopuspito, Suwarsih. Manusia Bebas. Cet. Ke 2. Jakarta: Djambatan. 2000.

Djojosuroto, Kinaryanti. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya. Yogyakarta:

Pustaka. 2006.

Endraswara, Suwarsih. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta:

CAPS. 2011.

Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Kiting, CH. “Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito”. Mimbar Indonesia,

XVII. No 5

Kosasih,E. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. 2012.

Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:

Graha Ilmu. 2012.

Leirissa, R. Z. Dkk. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda. Jakarta:

Depdikbud.1989.

Ling, Tan Swie. Masa Gelap Pancasila: Wajah Nasionalisme Indonesia. Depok:

LKSI (Lembaga Kajian Sinergi Indonesia. 2014.

M.D, Sagimun. Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi. Jakarta: Dinas

Museum dan Sejarah. 1988.

Matthew, Milles dan Huberman. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. 1992.

Page 107: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

96

Miert,Hans Van. Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan

Pemuda di Indonesia 1918-1930. Penerjemah: Sudewo Sutiman. Jakarta:

Hasta Mitra. 2003.

Mihardja, Ratih. Buku Pintar: Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara. 2012.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. 2011.

Mustopo. M. Habib. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. 2010.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. 2013.

Oeroek S.H, M. Hoeta. Seluk Beluk Nrgara: suatu pengantar sederhana.

Djakarta: Erlangga.1971.

Purba, Antilan. Esai Sastra Indonesia. Yogyajarta: Graha Ilmu. 2008.

Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi. 3. Jakarta: Balai

Pustaka. 2007.

Pusat Dokumen Sastra H.B. Jassin, Biodata Sastrawan.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: penerbit KANISIUS.

1996.

Ratna, Nyoman Khuta. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar. 2007.

Rustapa, Anita K., Agus Sri Danardana, dan Bambang Trisman, Antologi Biografi

Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950. Jakarta: Depertemen Pendidikan

dan Kebudayaan. 1977.

Sayuti, Suminto A. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Dep. Pendidikan dan

Kebudayaan. 1996.

Semi,M. Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. 2012.

Serba Serbi Negeri Belanda. No. 11, 27 Februari 1968. Pusat Dokumen Sastra.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.

Page 108: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

97

Smith, Anthony D. Nasionalisme: Teori Ideologi dan Sejarah, Terjemahan dari

Nasionalism: Teori, Ideologi, History, ter. Frans Kowa. Jakarta: Erlangga,

2003.

Soeratman, Darsiti. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen dan Kebudayaan

Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan

Dokumentasi Sejarah Nasional. 1989.

Staton, Robert . Teori Fiksi. terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad.

Yogyakarta: Pustaka Pealajar. 2007.

Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. 1988.

Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: dari Budi Utomo sampai

Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994.

Suprapto. Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra. Surabaya: Indah. 1993.

Swantoro, P. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta:

KPG (Kepustakaan Populer Gramedia. 2002.

Tarigan, Henry Guntur . Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 1984.

Termorshuizen, Gerard. “Serba-serbi Negeri Belanda: „Mengenang Soewarsih

Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‟”. no 32 tahun 1978.

Utomo, Cahyo Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari

Kebangkitan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press. 1995.

Widjodjoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:

UPI PRESS. 2006.

Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

1999.

Page 109: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
Page 110: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
Page 111: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
Page 112: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
Page 113: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
Page 114: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
Page 115: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Satuan Pendidikan : SMA

Kelas / Semester : XI/2

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Alokasi waktu : 2 x 45 menit (1x pertemuan)

A. Kompetensi Inti

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan

mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan

mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai

anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab,

peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif

dan menunjukkan sikap pro- aktif sebagai bagian dari solusi atas

berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara efektif dengan

memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta

mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi

sastra Indonesia.

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual,

konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan

sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada

bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan

minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi,

dan seni (ipteks).

Page 116: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah

abstrak untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia

secara mandiri dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah

keilmuan terkait.

B. Kompetensi Dasar

3.1 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan

menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,

menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks

cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam

novel.

3.2 Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab

dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan

cerita novel dengan cara menentukan kedudukan tokoh-tokoh.

3.3 Memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun

tulisan.

3.4 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.

C. Indikator

1. Menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan konteks

untuk mempersatukan bangsa.

2. Memiliki sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam

mengunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel, baik

melalui lisan maupun tulisan dengan kreatif.

3. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara lisan maupun

tulisan.

4. Menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan maupun

tulisan dengan tepat.

Page 117: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

D. Tujuan Pembelajaran

Setelah proses pembelajaran berlangsung diharapkan peserta didik mampu

:

1. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan

menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,

menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks

dalam novel.

2. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab

dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan

cerita fiksi dalam novel.

3. Siswa mampu menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara

lisan maupun tulisan. 3

4. Siswa mampu menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan

maupun tulisan dengan tepat.

E. Materi Pelajaran

1. Penjelasan mengenai struktur novel (unsur intrinsik)

a. Tema

b. Tokoh dan penokohan

c. Alur

d. Latar (tempat, waktu, dan sosial)

e. Sudut pandang

f. Gaya bahasa

2. Menganalisis teks novel

a. Membaca teks novel

b. Menjelaskan tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut

pandang, dan gaya bahasa dengan menyertakan kutipannya.

c. Menulis hasil analisis teks novel

d. Menyampaikan hasil analisis teks novel secara lisan

Page 118: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

F. Metode Pembelajaran

1) Diskusi.

2) Inkuiri.

3) Ceramah.

4) Penugasan.

G. Kegiatan Pembelajaran

Pertemuan I

KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN ALOKASI

WAKTU

Kegiatan Awal 1. Guru mempersilahkan salah satu dari

peserta didik untuk memimpin doa

bersama

2. Guru mengkondisikan dan momotivasi

peserta didik dengan memberikan

informasi tentang keterkaitan

pembelajaran sebelumnya dengan

pembelajaran yang akan dilaksanakan.

3. Guru mengajak peserta didik bertanya

jawab untuk menggali pengetahuan awal

mengenai novel “Anak-anak, bagaimana

novel yang telah kalian baca? Apakah ada

tokoh yang kalian kagumi? Pada

pembelajaran kali ini kita akan belajar

tentang unsur intrinsik atau unsur yang

membangun novel”.

4. Siswa menerima informasi kompetensi,

materi, tujuan, dan langkah pembelajaran

yang akan dilakasanakan.

5. Guru membagi siswa kedalam beberapa

15 menit

Page 119: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

kelompok

Kegiatan

Inti

Mengamati :

1. Membaca teks tentang struktur dan kaidah

teks novel.

2. Mencermati uraian yang berkaitan dengan

struktur dan kaidah teks novel.

Mempertanyakan :

1. Bertanya jawab tentang hal-hal yang

berhubungan dengan unsur intrinsik dan

nilai nasionalisme dalam novel.

Mengeksplorasi :

1. Menentukkan unsur intrinsik dalam yang

terdapat pada novel Manusia Bebas

Mengasosiasikan :

1. Mendiskusikan tentang unsur intrinsik

pada novel

2. Menyimpulkan hal-hal terpenting dalam

menentukkan unsur intrinsik novel.

Mengomunikasikan :

1. Menuliskan laporan kerja kelompok

tentang unsur intrinsik pada novel.

2. Siswa secara bergiliran menyampaikan

laporan mengenai unsur intrinsik pada

novel Manusia Bebas dan siswa lain

memberi tanggapan.

60

menit

Penutup 1. Siswa diminta mengungkapkan

pengalamannya dalam mengidentifikasi

unsur intrinsik pada novel

2. Siswa bersama guru menyimpulkan hasil

pembelajaran.

15 menit

Page 120: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

3. Guru menjelaskan tugas pertemuan

berikutnya secara kelompok, menentukan

nilai nasionalisme yang terdapat dalam

novel.

Pertemuan II

KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN

ALOKASI

WAKTU

Kegiatan Awal 1. Guru mempersilahkan salah satu dari

peserta didik untuk memimpin doa

bersama

2. Mengkondisikan dan momotivasi peserta

didik bahwa mengerti unsur intrinsik

penting guna pemahaman novel

keseluruhan.

3. Mengajak peserta didik bertanya jawab

untuk menggali pengetahuan pelajaran

pertemuan sebelumnya.“Anak-anak,

bagaimana tugas mengenai nilai

nasionalismenya? Pada pembelajaran kali

ini kita akan belajar tentang menerangkan

nilai nasionalisme yang terdapat dalam

novel Manusia Bebas

15 Menit

Kegiatan Inti Mengamati :

1. Mencermati uraian yang berkaitan dengan

nilai nasionalisme

Mempertanyakan :

1. Bertanya jawab mengenai hal yang

60 menit

Page 121: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

berhubungan dengan nilai nasionalisme

yang siswa ketahui

Mengeksplorasi :

1. Siswa menentukkan dan menampilkan

nilai nasionalisme yang terdapat dalam

novel Manusia Bebas

Mengasosiasi :

1. Peserta didik mendiskusikan dan

menghubungkan nilai nasionalisme dalam

novel Manusia Bebas dengan kehidupan

sehari-hari

Mengomunikasikan :

1. Siswa secara bergiliran menyampaikan

laporan mengenai nilai nasionalisme pada

novel Manusia Bebas dan siswa lain

memberikan tanggapan.

Kegiatan Akhir 1. Guru memberikan penilaian

2. Peserta didik diminta mengungkapkan

pengalamannya dalam mengidentifikasi

nilai nasionalisme yang terdapat dalam

novel Manusia Bebas

3. Guru bersama peserta didik

menyimpulkan materi pembelajaran

mengidentifikasi nilai nasionalisme yang

terdapat dalam novel Manusia Bebas

4. Guru menjelaskan tugas pertemuan

berikutnya secara individu, menulis poster

di kertas A4 dengan tema nasionalisme

15 meni

t

Page 122: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

H. Sumber/ Media Pembelajaran

1. Buku Teks Bahasa Indonesia SMA Kelas XI

2. Novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

3. Buku referensi lain yang menunjang materi struktur novel

I. Penilaian Proses dan Hasil Belajar

Indikator Pencapaian

Kompetensi Teknik Penilaian Bentuk Instrumen

1. Menggunakan bahasa

Indonesia sesuai dengan

kaidah dan konteks untuk

mempersatukan bangsa.

Penilaian

Observasi

Lembar penilaian

sikap

2. Memiliki sikap tanggung

jawab, peduli, responsif, dan

santun dalam mengunakan

bahasa Indonesia untuk

menganalisis teks novel, baik

melalui lisan maupun tulisan

dengan kreatif

3. Menganalisis struktur dan

kaidah teks novel baik secara

lisan maupun tulisan.

Penilaian

Observasi kinerja

penulisan laporan

1. Tes Tertulis

2. Rubrik

penilaian

kinerja

4. Menyusun hasil analisis

struktur novel baik secara

lisan maupun tulisan dengan

tepat.

Latihan

menyusun hasil

analisis

1. Lembaran

tugas latihan

2. Rubrik novel

penilaian

latihan

Page 123: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

J. Pedoman Penskoran

1. Jelaskan tema dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan 5

Tepat dan tidak disertai kutipan 4

Kurang tepat dan disertai kutipan 3

Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

2. Jelaskan Tokoh dan Penokohonan dalam teks novel dengan

menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan 5

Tepat dan tidak disertai kutipan 4

Kurang tepat dan disertai kutipan 3

Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

3. Jelaskan bagaimana alur dalam teks novel dengan menyertakan

kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan 5

Tepat dan tidak disertai kutipan 4

Kurang tepat dan disertai kutipan 3

Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

4. Jelaskan latar dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan 5

Tepat dan tidak disertai kutipan 4

Page 124: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

Kurang tepat dan disertai kutipan 3

Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

5. Jelaskan sudut pandang dalam teks novel dengan menyertakan

kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan 5

Tepat dan tidak disertai kutipan 4

Kurang tepat dan disertai kutipan 3

Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

6. Jelaskan bagaimana gaya bahasa dalam teks novel dengan

menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan 5

Tepat dan tidak disertai kutipan 4

Kurang tepat dan disertai kutipan 3

Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

7. Jelaskan nilai-nilai nasionalisme yang terdapat dalam novel

No Nama Kelompok Aspek Skor

Tepat dan disertai kutipan 5

Tepat dan tidak disertai kutipan 4

Kurang tepat dan disertai kutipan 3

Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

Page 125: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

Perhitungan akhir:

Nilai

Akhir :

Perolehan Skor X Skor Ideal

(100) =

Skor Maksimum

Jakarta, 13 Juni 2017

Mengetahui:

Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia

(.....................................) (Syarifah Aliya)

NIP. 1112013000013

Page 126: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

Lembar pengamatan I

LEMBAR PENGAMATAN SIKAP

Mata Pelajaran :

Kelas/Semester :

Tahun Ajaran :

Waktu Pengamatan :

Bubuhkan tanda v pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.

No Nama Siawa Penggunaan

Diksi

Keefektifan

Kalimat

Kesesuaian

Konteks

1 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

2

3

4

Keterangan:

1 = kurang

2 = sedang

3 = baik

4 = sangat baik

Page 127: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

Lembar pengamatan II

LEMBAR PENGAMATAN PERKEMBANGAN

AKHLAK DAN KEPRIBADIAN

Mata Pelajaran :

Kelas/Semester :

Tahun Ajaran :

Waktu Pengamatan :

Karakter yang diintegrasikan dan dikembangkan adalah kerja keras dan tanggung

jawab

Indikator perkembangan karakter kreatif, komunikatif, dan kerja keras

1. BT (Belum Tampak) jika sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh-

sungguh dalam menyelesaikan tugas

2. MT (Mulai Tampak) jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam

menyelesaikan tugas tetapi masih sedikit dan belum konsisten.

3. MB (Mulai Berkembang) jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh

dalam menyelesaikan tugasyang cukup sering dan mulai konsisten.

4. MK (Membudaya) jika menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh

dalam menyelesaikan tugas terus-menerus dan konsisten.

Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom hasil pengamatan.

No Nama Siawa Kreatif Komunikatif Kerja Keras

1 BT MT MB MK BT MT MB MK BT MT MB MK

2

3

4

Page 128: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

MATERI PEMBELAJARAN

A. Pengertian Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya

sastra itu sendiri dan dapat dikatakan unsur yang ada di dalam karya tersebut.

Unsur intrinsik dalam novel terdiri dari tema, alur, tokoh, latar, sudut

pandang, dan gaya bahasa.

1. Tema

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang

melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Aminuddin mengungkapkan dalam

bukunya ”tema adalah ide yang mendasari suatu cerita”. Tema berperan

sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang

diciptakannya. Tema ada kaitannya dengan hubungan makna dengan

tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.

2. Tokoh

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita, sehingga

peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan

menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu

mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu.

Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut

perwatakan

3. Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang berkaitan

dengan waktu, ruang yang dapat diamati, dan suasana terjadinya peristiwa

dalam sebuah karya sastra

4. Alur

Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur

bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana

Page 129: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana

tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya

terikat dalam satu waktu

5. Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam

membawakan cerita dan dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita yang

dikisahkan

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa disebut juga stile (style), adalah cara pengucapan bahasa

dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapakan sesuatu

yang akan dikemukakan.

B. Nasionalisme

Nasionalisme sebagai suatu faham yang berpendapat bahwa kesetiaan

tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.

Nasionalisme mengikat warga negara dalam beberapa hal, yakni (a)

memiliki kesadaran sebagai satu bangsa, yang dapat memperkuat rasa

kebangsaan, persatuan dan kesatuan, (b) jiwa, semangat, dan nilai-nilai

patriotik, yang berkaitan dengan perasaan cinta tanah air, cinta kepada

tanah tumpah darah, cinta kepada negara dan bangsa, cinta kepada milik

budaya bangsa sendiri, kerelaan untuk membela tanah airnya, (c) jiwa,

semangat dan nilai-nilai kreatif dan inovatif, dan (d) jiwa, semangat, dan

nilai-nilai yang mampu membentuk kepribadian, watak dan budi luhur

bangsa.

Page 130: NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS

BIOGRAFI

Syarifah Aliya, nama panggilan Aya. Lahir di Bogor 4

Agustus 1994 berjenis kelamin peremuan dan merupakan

anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan yang

ditempuh yaitu TK Tunas karya tahun 1998-1999, SDN

Cikopo tahun 2000-2006, SMPN 1 Ciawi tahun 2006-

2009, SMAN 1 Ciawi 2009-2012, dan sekarang sedang menempuh pendidikan S1

di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Tarbiyah dan Keguruan jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ungu adalah warna kesukaannya. Selalu

bersyukur dan berbuat baik pada siapapun.