naskah akademik - repositori.unud.ac.id · naskah akademik rancangan peraturan daerah provinsi bali...
TRANSCRIPT
TIM PENELITI PUSAT PERANCANGAN HUKUM FH UNUD
BALI 2015
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI
TENTANG
PENYELENGGARAAN KETERTIBAN
UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
KERJA SAMA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
PROVINSI BALI
PUSAT PERANCANGAN HUKUM |
KAMPUS SANGLAH JALAN BALI NOMOR 1 DENPASAR 80114 TELP (0361) 222666
DENPASAR 2011
2
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN
MASYARAKAT
TIM PENELITI
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana.,SH.,MH
Dr. I Ketut Wirawan.,SH.,MH.
I Ketut Sudiarta, SH., MH.
Ni Luh Gede Astariyani, SH., MH.
A.A. Istri Ari Atu Dewi., MH.
PEMERINTAH PROVINSI BALI BEKERJA SAMA
DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015
PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
Jalan Bali Nomor 1 Denpasar Tlp. (0361)222666
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana diamanatkan
dalam Undang_undang Dasar 1945. Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat adalah bagian dari hak asasi manusia dalam
tertib kehidupan masyarakat bernegara sebagaimana dijamin dalam Pasal
28 J UUD 1945
Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-
lainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan
mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang
teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan
norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam
masyarakat. Ketertiban dapat membuat seseorang disiplin, Ketertiban dan
Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan. Tertib dan disiplin adalah matra
yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan.
Dengan ketertiban, seseorang berusaha mengetahui dan mencermati
aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang
diperlukan untuk menjalani proses tersebut.
Tim Peneliti
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar >> i
Daftar Isi >> ii
Daftar Gambar >> iii
Daftar Tabel >> iv
BAB I. PENDAHULUAN >>> 1
A. Latar Belakang >>> 1
B. Identifikasi Masalah >>> 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah
Akademik
>>> 6
D. Metode Penelitian >>> 8
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>> 12
A. Kajian Teoritis >>> 12
B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan
Penyusunan Norma
>>> 15
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan >>> 18
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan
Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya
Terhadap Beban Keuangan Daerah
>>> 22
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
>>> 24
A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya >>> 24
B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan
Peraturan Perundang-undangan Yang Lain
>>> 26
C. Rencana Pengaturan Dari Pemerintah
Provinsi Bali Tentang Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat
>>> 29
iii
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN
YURIDIS
>>> 31
A. Validitas Peraturan Perundang-undangan :
Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.
>>> 31
B. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan
Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat
>>> 36
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN
DAERAH PROVINSI BALI TENTANG
PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN
KETENTRAMAN MASYARAKAT
>>> 40
A. Arah dan Jangkauan Pengaturan >>> 40
B. Ruang Lingkup Materi Muatan >>> 42
BAB VI PENUTUP >>>52
A. RANGKUMAN >>>52
B. SARAN >>>55
DAFTAR PUSTAKA
DDAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
>>>56
>>>57
LAMPIRAN
1. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.
2. Penjelasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Kewengan Satpol PP dalam menjaga
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat
>>> 4
Tabel 2: Data Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2013 >>> 18
Tabel 3: Data Rekapitulasi Penegakan Peraturan Daerah
Tahun 2014
>>> 18
Tabel 4 : Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya. >>>24
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi
kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik
terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setiap manusia
akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau
melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu. Dalam hidup berkelompok itu
terjadilah interaksi antar manusia.
Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya,
harus diingat pula bahwa manusia adalah mahluk sosial. Menurut
Aristoteles, manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut
oleh Hans Kelsen man is a social and politcal being artinya manusia itu
adalah mahluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan
sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yang terbawa oleh kodrat
sebagai mahluk sosial itu selalu berorganisasi. Kehidupan dalam
kebersamaan (ko-eksistensi) berarti adanya hubungan antara manusia yang
satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang dimaksud dengan
hubungan sosial (social relation) atau relasi sosial. Yang dimaksud
hubungan sosial adalah hubungan antar subjek yang saling menyadari
kehadirannya masing-masing. Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi
interaksi sosial yang mewujudkan jaringan relasi-relasi sosial (a web of
social relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan
masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya
untuk mencapai suatu ketertiban.
Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-lainan
karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai
sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur
setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma
atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat.
Ketertiban dapat membuat seseorang disiplin, Ketertiban dan Kedisiplinan
sebagai Landasan Kemajuan. Tertib dan disiplin adalah matra yang amat
2
menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan
ketertiban, seseorang berusaha mengetahui dan mencermati aturan agar
perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan
untuk menjalani proses tersebut.
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah bagian dari hak
asasi manusia dalam tertib kehidupan masyarakat bernegara sebagaimana
dijamin dalam Pasal 28 J UUD 1945 yang mengatur bahwa :
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat dalam suatu masyarakat demokratis.
Dalam Pasal 28 ayat (2) ditegaskan kewajiban setiap orang untuk
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Tujuan pembatasan
adalah untuk menjamin pembatasan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, agama, keamanan dan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dalam
suatu masyarakat yang demokratis.
Dengan adanya desentralisasi, memberikan kewenangan
penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat dan masyarakat tersebut juga menjadi kewajiban dari
masyarakat. Kewenangan ini diselenggarakan oleh Satuan Polisi Pamong
Praja ( Satpol PP) sebagai bagian perangkat daerah dalam penegakan
Peraturan Daerah. Sesuai dengan Perauran Pemerintah Nomor 6 Tahun
2011 tentang satuan Polisi Pamong Praja dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
3
Satpol PP, di Provinsi Bali diatur dalam Peraturan Gubernur No 86 Tahun
2011 tentang Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi
Bali. Dalam Pasal 3 Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang Rincian
Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali mengatur :
Satuan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 menyelenggarakan fungsi : a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Peraturan
Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat serta perlindungan masyarakat; b. pelaksanaaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepela Daerah c. pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat di daerah;
d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; e. peleksanaan koordinasi penegakan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dan/atau
aparatur lainnya;
Seiring dengan perkembangan dinamika dan kebutuhan masyarakat,
maka pengaturan ini dirasakan harus dituangkan dalam Peraturan
Daerah. Adanya dasar kewenangan Satpol PP dalam melakukan penegakan
terhadap Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 255 UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
(1) Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkanPerda dan
Perkada, menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.
(2) Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan: a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
b. melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; c. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat;
d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;dan
e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yangmelakukan pelanggaran atas
Perda dan/atau Perkada.
4
Dalam Lampiran bagian E Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Ketenteraman Dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat dalam UU No 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah Juga Mengatur tentang Kewenangan Satpol
PP Dalam Menjaga Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat. Kewenangan Provinsi diatur dalam Lampiean E UU No 23
Tahun 2014 sebagaimana dilampirkan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 1 : Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan
Ketertiban Umum Serta Perlindungan Masyarakat
No Sub Urusan
Pemerintah
Pusat Daerah Provinsi Daerah Kabupaten/Kota
1 Ketenteraman
dan
Penyelenggaraan
Ketertiban
Umum dan
Ketentraman
Masyarakat
a. Standardisasi
tenaga
satuan polisi pamong
praja.
b. Penyelenggaraan
pendidikan dan
pelatihan,
danpengangkatan
penyidik pegawai
negeri
sipil (PPNS)
penegakan Perda.
a. Penanganan
gangguan
ketenteraman dan ketertiban
umum lintas
Daerah
kabupaten/kot
a dalam 1
(satu) Daerah provinsi.
b. Penegakan
Perda Provinsi
dan peraturan
gubernur. c. Pembinaan
PPNS provinsi.
a. Penanganan
gangguan
ketenteraman dan
Penyelenggaraa
n Ketertiban
Umum dan
Ketentraman
Masyarakat dalam 1 (satu)
Daerah
kabupaten/kota
b. Penegakan
Perda Kabupaten/Kot
a dan peraturan
bupati/walikota
c. Pembinaan
PPNS
kabupaten/kota
Sumber : Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara
Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota Matriks
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota E. Pembagian Urusan
Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Serta
Perlindungan Masyarakat
Terkait dengan dasar kewenangan dalam Undang-Undang Pemerintah
Daerah menunjukkan bahwa antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten memiliki kewenangan masing-masing. Dalam
kaitannya dengan rencana pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
pemerintah provinsi bali memiliki kewenangan :
5
a. Penanganan gangguan ketenteraman dan ketertiban umum lintas
Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. b. Penegakan Perda Provinsi dan peraturan gubernur.
c. Pembinaan PPNS provinsi.
Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011
tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja
mengatur bahwa : Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan
menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat
(1) Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar
Operasional Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa :
(1) SOP Satpol PP meliputi: a. Standar Operasional Prosedur penegakan peraturan daerah; b. Standar Operasional Prosedur ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat; c. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan penanganan unjuk rasa
dan kerusuhan massa;
d. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting;
e. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan tempat-tempat penting; dan
f. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan operasional patroli.
Terkait dengan pengaturan kebijakan SOP di Provinsi diatur dalam
Pasal 6 ayat (1), mengatur bahwa Petunjuk teknis SOP Satpol PP provinsi
ditetapkan oleh gubernur.
Banyaknya peranan penting yang merukan salah satu bentuk
kewenangan Satpol PP Provinsi Bali harus dibarengi dengan adanya
pengaturan tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat di Provinsi Bali. Tidak adanya pengaturan yang digunakan
sebagai pedoman oleh pemangku kepentingan akan menimbulkan dampak
hukum dengan adanya banyak pelanggaran terhadap penegakan hukum
terkait dengan penegakan Peraturan Daerah. Disamping itu dengan tidak
adanya pengaturan tentang Penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban
6
Umum dan Ketentraman Masyarakat dan Ketentraman Masyarakat Bali,
juga mengakibatkan tindakan Satpol PP tidak berlandaskan pada adanya
dasar hukum sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang
penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga sangat
perlu disusun Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan
Ketertiban UmumDan Ketentraman Masyarakat
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4 (empat)
masalah pokok:
1. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat
2. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat
3. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
4. Belum optimalnya pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah di
daerah.
1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH
AKADEMIK
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan
di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
7
2. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat
3. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
sebagai dasar untuk memastikan objek dan subjek
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ,
serta struktur dan bentuk Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat .
4. Melakukan pengkajian hukum untuk memberikan kepastian
hukum bagi pemangku kepentingan dalam melakukan koordinasi
dengan Satpol PP yang ada di seluruh Bali.
Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat adalah sebagai pedoman dalam :
a. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali
tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat .
b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali
tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat .
c.
d.
Pelaksanaan kegiatan partisipasi masyarakat dalam
memberikan masukan tertulis dan/atau masukan lisan baik
dalam penyusunan maupun pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .
Adanya landasan hukum dalam penyelenggaraaan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat
8
1.4. METODE
Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik
digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian hukum.1
D.1 Jenis Penelitian.
Dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis penelitian yaitu : 2
a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal, mempergunakan data sekunder berupa ; peraturan perundang-
undangan, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hukum terkemuka, Analisis data sekunder dilakukan secara normative kualitatif yaitu yuridis kualitatif.
b. Metode penelitian hukum sosiologis / empiris, mempergunakan semua metode dan tehnik-tehnik yang lasim dipergunakan di
dalam metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial / empiris.
Bertitik tolak dari pemasalahan yang diangkat dalam kajian ini, maka
jenis penelitian dalam kajian ini mempergunakan penelitian hukum
normative. Dalam beberapa kajian jenis penelitian seperti ini juga disebut
dengan penelitian dogmatik.3 Dalam penelitian hukum normatif, untuk
mengkaji persoalan hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang
terdiri dari bahan hukum primer ( primary sources or authorities ) bahan-
bahan hukum sekunder ( secondary sources or authorities ) dan bahan
hukum tersier ( tertier sources or authorities ). Bahan-bahan hukum primer
dapat berupa peraturan perundang-undangan, bahan-bahan hukum
sekunder dapat berupa makalah, buku-buku yang ditulis oleh para ahli dan
bahan hukum tersier berupa kamus bahasa hukum dan kamus bahasa
Indonesia.
1 Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan
Refleksi,Yayasan Obor, h. 177-178. 2 Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia Indonesia
Jakarta, 1985, h. 9. 3 Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta ) Apakah Teori
Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung, h. 109-110.
9
D.2. MetodePendekatan.
Dalam penelitian hukum normative ada beberapa metode pendekatan
yakni pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan
konsep (conceptual approach ), pendekatan analitis ( analytical approach ),
pendekatan perbandingan ( comparative approach ), pendekatan histories (
historical approach ), pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan
pendekatan kasus ( case approach).4 Dalam penelitian ini digunakan
beberapa cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan ( statute
approach ), pendekatan kasus ( case approach ) dan pendekatan konsep
hukum ( conceptual approach ).
Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut
dengan pendelegasian kewenangan dalam UU Pemda.
Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ) dilakukan dengan
menelaah pandangan-pandangan mengenai pendelegasian kewenangan
sesuai dengan penelitian ini.5 Disamping itu digunakan pendekatan
kontekstual terkait dengan penrapan hukum dalam suatu waktu yang
tertentu.
D.3. Sumber Bahan Hukum.
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.6 Bahan hukum primer adalah segala dokumen
resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini adalah Undang-
Undang UU NO 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan
Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang
Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri No
40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi
4 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, h.
93-137. 5 Ibid, h. 19. 6 C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad
ke 2 , Alumni, Bandung, h. 134.
10
Pamong Praja, Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar
Operasional Polisi Pamong Praja dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2
Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali.Peraturan
Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali
Kawasan civic centre Niti Mandala serta peraturan perundang-undangan
yang lain yang terkait dengan pendelegasian kewenangan mengatur pada
peraturan perundang-undangan.
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil
penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan
penelitian ini, termasuk di dalamnya kamus dan ensiklopedia.
D.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Bahan hukum dikumpulkan melakukan studi dokumentasi, yakni
dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan
masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.
1.6.5. Teknis Analisis Bahan Hukum
Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan
dalam kajian ini adalah teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi,
argumentasi dan evaluasi. Philipus M.Hadjon mengatakan bahwa tehnik
deskripsi adalah mencakup isi maupun struktur hukum positif.7 Pada
tahap deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari
aturan-aturan hukum yang dikaji .dengan demikian pada tahapan ini
hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.8 Lebih lanjut
berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan :
The relation berween a given formulation and specific complex of facts.The technique of argumentation demanded by this method is
7 Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam
Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember h. 33. 8 Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz, h. 16.
11
directed toward discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either covered by it or not.9
( terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. teknik argumentasi ini
dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang saling melengkapi satu
sama lain )
Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I Dewa Gede
Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat dibedakan menjadi :10
1. Penafsiran otentik ; yakni penafsiran yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran ini adalah
merupakan penjelasan-penjelasan yang dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan ( biasanya sebagai lampiran ). Penafsiran otentik ini mengikat umum ;
2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan ;
3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum ; merupakan penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan
mengikat, namun karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang.
Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I Dewa Atmadja
di atas, maka untuk membahas persoalan hukum yang akan dikaji, akan
dipergunakan penafsiran otentik, penafsiran gramatikal dan penafsiran
sejarah hukum.
Penafsiran otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah penafsiran
yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-
undang, melalui penjelasan-penjelasannya dan peraturan perundang-
undangan yang lain.
Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini dilakukan dalam
kaitannya untuk menemukan makna atau arti aturan hukum.
9 Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los
Angeles, h. 111. 10 I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan
Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD, (selanjutnya
disebut I Dewa Gede Atmadja II ), h. 14 .
12
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Ketertiban berasal dari kata tertib yang berarti teratur; menurut
aturan; rapi. Sedangkan ketertiban yaitu peraturan atau keadaan serba
teratur baik. Ketertiban adakalanya diartikan sebagai “ketertiban,
kesejahteraan, dan keamanan”, atau disamakan dengan Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, atau sinonim dari istilah
“keadilan”. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Indonesia
mengibaratkan lembaga Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat ini sebagai “rem darurat” yang kita ketemukan
pada setiap kereta api.11 Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit
mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini,
maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik. Lebih lanjut Sudargo
Gautama mengatakan bahwa lembaga Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat ini digunakan jika pemakaian dari hukum
asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi
hukum nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat
menyampingkan hukum asing .
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan
membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dengan adanya hubungan
sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga individu dapat
berhubungan secara harmoni dengan individu lain sekitarnya. Oleh karena
itu diperlukan aturan yang disebut Hukum. Hukum diciptakan dengan
tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum
adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kemanfaatan, ada yang
menyatakan kepastian hukum.
11 Sudargo Gaotama, 1985, Hukum Perdata Internasional, Alumni Bandung, h 120
13
Hukum yang ada kaitannya dengan masyarakat mempunyai tujuan
utama yaitu dapat direduksi untuk ketertiban (order). Menurut Mochtar
Kusumaatmadja “Ketertiban” adalah tujuan pokok dan pertama dari segala
hukum, Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok
(fundame ntal) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur,
ketertiban sebagai tujuan hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku
bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya untuk mencapai
ketertiban ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia
dalam masyarakat. Di setiap aspek kehidupan sudah barang tentu terdapat
sebuah aturan yang mengatur. Baik di lingkungan keluarga, masyarakat,
sekolah, atau pun di bidang sosial, politik maupun agama. Dengan adanya
pengaturan akan menciptakan ketertiban dan membuat keadaan menjadi
lebih tenang, damai, aman, dan sentosa. Bahkan, dengan adanya
ketertiban itulah terselenggara kehidupan di dunia dan alam semesta ini.
Aturan merupakan sebuah kata yang mempunyai makna sesuatu yang
harus dipatuhi. Aturan juga disebut dengan norma. Sebuah norma adalah
sebuah aturan, patokan atau ukuran, yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan
tidak berubah. Dengan adanya norma kita dapat memperbandingkan
sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, serta kualitasnya kita
ragukan. Norma berguna untuk menilai baik-buruknya tindakan
masyarakat sehari-hari. Sebuah norma bisa bersifat objektif dan bisa pula
bersifat subjektif. Norma objektif adalah norma yang dapat diterapkan
diterapkan secara langsung apa adanya, maka norma subjektif adalah
norma yang bersifat moral dan tidak dapat memberikuan ukuran atau
patokan yang memadai.
Aturan bisa diterapakan dalam kehidupan keluarga agar tercipta
kehidupan rumah tangga yang berjalan tentram, indah, bersih, dan
bahagia. Aturan juga terdapat pada Negara yang disebut dengan undang-
undang. Dalam kehidupan masyarakat, sesuatu yang bersifat mengatur
disebut hukum. Dengan adanya hukum itulah terjadi ketertiban dan
ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Bila hukum tidak ada atau
tidak berfungsi, maka akan terjadi hukum rimba. Siapa kuat dialah yang
berkuasa. Tentunya, ini akan berbahaya. Bahaya dari hukum rimba itu
14
adalah anarki, dan kekacauan sosial akan terjadi dimana-mana. Sedikit
lebih rendah dari norma, hukum dalam masyarakat juga berlaku sebagai
norma sopan-santun yang mencerminkan etika seseorang.
Sesuatu yang bersifat aturan juga terdapat dalam alam semesta. Kita
mengenal hukum alam, itulah aturan yang bekerja di alam semesta.
Ketertiban alam semesta dikenal di dalam agama Buddha sebagai Niyama
artinya Hukum Tertib Kosmis. Sesungguhnya, di dalam segenap bidang
kehidupan berlaku aturan dan ketertiban. Ketertiban itu pulalah yang
dikuak oleh ilmu pengetahuan lewat teori. Sedangkan hukum-hukum di
dalamnya sebagai bidangnya.
Tidak ada lagi jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi, tidak
ada rasa aman, tidak ada lagi perlindungan terhadap hak milik, tidak ada
lagi kebenaran. Semua serba kacau dan orang akan melakukan sesuatu
dengan sesuka hatinya. Tidak ada bedanya antara benar dan salah, tidak
ada bedanya antara kebijaksanaan dan keegoisan, antara giat dan malas,
antara sukses dan gagal. Oleh karena itu aturan sangat penting bagi
kehidupan manusia. Karena aturan itu akan menciptakan kedamaian,
ketentraman. Aturan juga harus jelas, sehingga antara yang menjalankan
maupan yang melanggarnya tahu akan akibat dari pelanggaran aturan yang
ia lakukan. Ketertiban pada prinsipnya dapat membuat seseorang disiplin,
sebab Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan tertib dan
disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses
pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, kita berusaha mengetahui dan
mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah
sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut.
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat
mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada
pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling
menguntungkan. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk
badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.
Dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
juga dilakukan dalam bentuk kerjasama dan koordinasi oleh Pemerindah
Provinsi Bali terkait dengan kewenangan yang lintas kabupaten / kota.
15
B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN
NORMA
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang
secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.12
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang
bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (khususnya
dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam
Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik”, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , yakni:
materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan;
d. kekeluargaan; e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
12 A. Hamid S. Attamimi; “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-
undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005), h 238-309.
16
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai
dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan tertentu dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , yang
dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara
lain:
a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah; dan
b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian
antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dengan pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kejelasan tujuan. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi
masyarakat mengenai siapa yang bertanggung jawab dan apa tanggung
jawabnya terhadap pengelolaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat ; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi
Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan untuk melakukan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan
pelayanan kepada masyarakat. Tujuan Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat adalah efektivitas, efisiensi, dan
akuntabilitas pengelolaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat .
Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:
Pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat dengan Peraturan Daerah dilakukan. Rancangan dapat berasal
dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali maupun dari DPRD Provinsi Bali.
17
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat harus dengan Peraturan
Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah
mengacu pada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan
dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah harus memperhatikan
beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; (2)
yuridis, adanya jaminan kepastian dalam Penyelenggaraan Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat , termasuk substansinya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan
(3) sosiologis, pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat memang dapat memberikan manfaat, baik bagi
pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan
sepanjang pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu
indikasi pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ,
sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas.
Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan
pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat sesuai persyaratan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat yang menjamin kepastian.
18
Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini
harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin
haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta
kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah
dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi
masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan
informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.
Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal
6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, dalam pengaturan tentang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , yakni:
1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan
kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi
setiap anggota kelompok masyarakat.
2. secara politis dapat diterima oleh pemerintah, pemangku
kepentingan dan masyarakat, sehingga timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk melaksanakan Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .
c. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN
Berdasarkan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk
menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan
ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang
Satuan Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa Polisi Pamong Praja
berwenang:
a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan
pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;
b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
19
c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan
perlindungan masyarakat;
d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan
pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan
e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran
atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
Dalam Pasal 3 Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang
Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali diatur :
Satuan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menyelenggarakan fungsi :
a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat serta perlindungan masyarakat; b. pelaksanaaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepela Daerah
c. pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di daerah;
d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; e. peleksanaan koordinasi penegakan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dan/atau aparatur lainnya;
Di Provinsi Bali pelaksanaan tugas Satpol PP didasarkan pada Keputusan
Gubernur Bali No 2383/05/HK/2013 tentang Pembentukan Dan Susunan
Keanggotaan Tim Penegakan Peraturan Daerah dan Pemberdayaan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil PPNS. Penegakan Peraturan Daerah dan
pemberdayaan PPNS yang menitik beratkan penegakan pada :
1. Penegakan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1992
tentang Pemakaian Tanah Yang Dikuasai Oleh Pemerintah
Provinsi Daerah Tingkat I Bali
2. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2000 tentang
Retribusi Pelayanan Kesehatan
20
3. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun2000 tentang
Pembatasan Memasukkan Kendaraan bermotor
4. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Larangan Menaikkan Layan-Layang dan Permainan Sejenis di
Bandara Ngurah Rai dan sekitarnya
5. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Pengeluaran Ternak Potong Sapi
6. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun tentang
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung
7. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
8. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Penanggulangan HIV / AIDS
9. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No 8 Tahun
2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa
10. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun2007 tentang
Pengelolaan Barang Milik Daerah
11. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Barang Milik Daerah
12. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Pramuwisata
13. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang
14. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009 tentang
Penanggulangan Rabies
15. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Rencana Tata Ruang Wilyah Provinsi Bali 2009-2029
16. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 tahun 2010 tentang
Usaha Jasa Perjalanan Wisata
17. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Kawasan Tanpa Rokok.
21
18. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jalan Umum
19. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Usaha
20. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Sampah
21. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Pajak Daerah
22. Peraturan Daerah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3
tahun 2013 tentang Perlindungan Buah Lokal
23. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 tentang
Retribusi Perizinan Tertentu
24. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tathu 2014 tentang
Pelestarian Warisan Budaya
25. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak
Berdasarkan data dari Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali Tahun
2014 jumlah penegakan hukum dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2 : Data Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2013
No Peraturan Daerah Jumlah Sasaran Obyek
Memenuhi Persyaratan
Tidak Memenuhi
Persyaratan
1. Perda 10 Tahun 2001 tentang Retribusi Angkutan
Orang Dengan Kendaraan Umum
362 190 172
2. Perda 8 Tahun 2000 tentang Pembatasan Memasukkan
Kendaraan bermotor Bekas
284 42 242
3. Perda 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata
96 78 18
4. Perda 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum
33 - 33
Sumber : Laporan Akhir Kegiatan Penegakan Peraturan daerah dan Pemberdayaan
PPNS, Bidang Ketentraman dan ketertiban Satuan polisi Pamong Praja Provinsi Bali
Tahun Anggaran 2013.
22
Berdasarkan data dari Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali Tahun
2014 jumlah penegakan hukum dapat dilihat dalam tabel di bawah ini
Tabel 3 :Data Rekapitulasi Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2014
No Peraturan Daerah Total
1. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 1992 tentang Pemakaian Tanah Yang Dikuasai Oleh
Pemerintah Provinsi Bali
-
2. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 8 Tahun 2000
tentang Pembatasan Memasukkan Kendaraan Bermotor Bekas
236
3. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2003 tentang Pengeluaran Ternak Sap Potong Bali
-
4. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta
-
5. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2008
tentang Pramuwisata
7
6. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2009
tentang Penanggulangan Rabies
1
7. Peraturan Daerah Provinsi Bali No1 Tahun 2010
tentang Usaha Perjalanan wisata
2
8. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2011
tentang Retribusi Jasa Umum
-
9. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 10 Tahun 2011
tentang Kawasan Tanpa Rokok
1
10. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian dan Peredaran Minuman
Beralkohol
1
Total 294 Sumber : Laporan Akhir Pelaksanaan Kegiatan Penegakan Peraturan daerah dan
Pemberdayaan PPNS, Seksi Penegakan Hukum Bidang Ketentraman dan ketertiban
Satuan polisi Pamong Praja provinsi Bali Tahun 2014.
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP
MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN DAERAH
Dalam lingkup pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat , terdapat dua komponen yaitu komponen yang
sifatnya statis, dan komponen yang sifatnya dinamis. Komponen yang
sifatnya statis meliputi:
a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;
b. Struktur atau kelembagaan dalam Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;
23
c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;
d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan;
e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;
f. Ketenagaan;
g. Kekayaan; dan
h. Sanksi.
Sedangkan yang dimaksud pengaturan penyelenggaran
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat yang
sifatnya dinamis adalah pengaturan kelembagaan Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Pengaturan yang bersifat
dinamis dalam bentuk pelaksanaan fungsi dan dalam bentuk pelaksanaan
koordinasi.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, dengan adanya Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat ini berdampak terhadap beban keuangan daerah dan juga
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat melalui
penegakan Peraturan Daerah. Penegakan dilakukan terhadap pelanggaran
ketentuan Perda yang dapat diketahui melalui :
1. Laporan dari masyarakat, lembaga, instansi maupun institusi.
2. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja hasil dari patrol wilayah
3. Diketahui langsung oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
4. Tertangkap tangan baik-baik oleh petugas maupun
masyarakat.
24
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA
Dalam ketentuan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah
membentuk Perda. Adanya dasar kewenangan pengaturan menujukkan
pendelegasian keweangan dalam pembentukan peraturan daerah. Terkait
dengan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
di Pemerintah belum memiliki dasar hukum untuk melakukan
pelaksanaan kegiatan dimaksud. Berdasarkan Pasal 255 UU No 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah
(2) Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.
(3) Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan:
a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
b. melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; c. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan
pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.
Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang
Satuan Polisi Pamong Praja, mengatur tentang Wewenang, Hak dan
Kewajiban, Polisi Pamong Praja berwenang:
25
a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan
pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat;
c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan
perlindungan masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan
pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah
Pengaturan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40
Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi
Pamong Praja mengatur bahwa : Satpol PP mempunyai tugas menegakkan
Perda dan menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat serta
perlindungan masyarakat
Dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011
tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa :
(1) SOP Satpol PP meliputi:
a. Standar Operasional Prosedur penegakan peraturan daerah;
b. Standar Operasional Prosedur ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
c. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa;
d. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting;
e. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan tempat-tempat penting;
dan
f. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan operasional patroli.
g. Terkait dengan pengaturan kebijakan SOP di Provinsi diatur dalam Pasal 6 ayat (1), mengatur bahwa Petunjuk teknis SOP Satpol PP provinsi ditetapkan oleh gubernur.
Provinsi Bali dalam pelaksanaan urusan pemerintahan juga mengatur
tentang adanya urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Bali
yaitu diatur dalam Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun
26
2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali, yang menjadi
Kewenangan Provinsi Bali. Merupakan urusan wajib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi: t. otonomi daerah, pemerintahan
umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
selain dengan adanya kewenangan yang bersifat lintas kabupaten kota juga
terkait dengan kewenangan pengaturan di kawasan civic centre .
Pengaturan terkait dengan civic centre diatur dalam Pasal 1
Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan
Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala Denpasar yang mengatur bahwa
kawasan civic centre Niti Mandala berlokasi di Denpasar dengan batas :
a. Sebelah utara : Jalan Letda Tantular dan Cok Agung Tresna;
b. Sebelah Timur : Jalan Prof Moh Yamin;
c. Sebelah Selatan : Jalan Raya Puputan;
d. Sebelah Barat : Jalan Raya Puputan dan Letda Tantular.
Mengingat pentingnya posisi Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat baik terhadap masyarakat maupun terhadap
pemerintah, maka diperlukan penyusunan Naskah Akademik.
B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN
Materi Pokok Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat yang hendak diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang
disusun Naskah Akademiknya, mempunyai keterkaitan dengan sejumlah
peraturan perundang-undangan.
Tabel 4. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.
Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN
UU No. 23 Tahun
2014 tentang
Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2010
Tentang Satuan Polisi
Pamong Praja
Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor
40 Tahun 2011
Tentang Pedoman
Organisasi Dan Tata
Kerja Satuan Polisi
Pamong Praja
27
...... Pasal 255
(3)Satuan polisi
pamong praja
dibentuk untuk menegakkan
Perda dan Perkada,
menyelenggarakan
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat
dan ketenteraman,
serta
menyelenggarakan
pelindungan masyarakat
Pasal 6
a.melakukan
tindakan
penertiban nonyustisial
terhadap warga
masyarakat,
aparatur, atau
badan hukum yang
melakukan pelanggaran atas
Perda dan/atau
peraturan kepala
daerah;
b. menindak warga masyarakat,
aparatur, atau
badan hukum yang
mengganggu
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat dan
ketenteraman
masyarakat;
c. fasilitasi dan pemberdayaan
kapasitas
penyelenggaraan
perlindungan
masyarakat;
d. melakukan tindakan
penyelidikan
terhadap warga
masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang
diduga melakukan
pelanggaran atas
Perda dan/atau
peraturan kepala
daerah; dan e. melakukan
tindakan
administratif
terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau
badan hukum yang
melakukan
Pasal 3
Satpol PP mempunyai
tugas menegakkan
Perda dan menyelenggarakan
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan
Ketentraman
Masyarakat dan
ketenteraman masyarakat serta
perlindungan
masyarakat
Pasal 4
(1) Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 3, Satpol PP
mempunyai fungsi:
a. penyusunan program dan
pelaksanaan
penegakkan
Perda dan
Peraturan Kepala Daerah,
penyelenggaraa
n ketertiban
umum dan
ketenteraman
masyarakat serta
perlindungan
masyarakat;
b. pelaksanaan
kebijakan penegakkan
Perda dan
Peraturan
Kepala Daerah;
c. pelaksanaan
kebijakan penyelenggaraan
ketertiban
umum dan
ketenteraman
masyarakat di daerah;
d. pelaksanaan
kebijakan
perlindungan
masyarakat;
e. pelaksanaan koordinasi
28
penegakan Perda
dan Peraturan
Kepala Daerah
serta penyelenggaraan
ketertiban
umum dan
ketenteraman
masyarakat
dengan Kepolisian
Negara Republik
Indonesia,
Penyidik Pegawai
Negeri Sipil daerah,
dan/atau
aparatur
lainnya;
f. pengawasan
terhadap masyarakat,
aparatur, atau
badan hukum
agar mematuhi
dan mentaati penegakkan
Perda dan
Peraturan
Kepala Daerah;
dan
g. pelaksanaan tugas lainnya.
(2) Pelaksanaan
tugas lainnya
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf g
meliputi:
a. mengikuti proses
penyusunan
peraturan perundang-
undangan serta
kegiatan
pembinaan dan
penyebarluasan produk hukum
daerah;
b. membantu
pengamanan dan
pengawalan tamu
VVIP termasuk pejabat negara
dan tamu negara;
29
c. pelaksanaan
pengamanan dan
penertiban aset
yang belum teradministrasi
sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan;
d. membantu
pengamanan dan
penertiban
penyelenggaraan
pemilihan umum dan pemilihan
umum kepala
daerah;
e. membantu
pengamanan dan
penertiban penyelenggaraan
keramaian
daerah dan/atau
kegiatan yang
berskala massal; dan
f. pelaksanaan
tugas
pemerintahan
umum lainnya
yang diberikan oleh kepala
daerah sesuai
dengan prosedur
dan ketentuan
peraturan perundang-
undangan.
Sumber : Diolah dari UU Pemerintahan Daerah, PP Satpol PP dan Pedoman Organisasi dan
Pedoman Tata Kerja Satpol PP
C. RENCANA PENGATURAN DARI PEMERINTAH DAERAH PROVINSI
BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN
KETENTRAMAN MASYARAKAT
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah adalah penyelenggaraan Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah berkomitmen untuk menyelenggarakan
30
urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah,
menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya Kesejahteraan.
Kondisi tersebut akan menjadi daya tarik bagi masyarakat luar
daerah untuk datang dan berkunjung serta menanamkan investasi yang
pada akhirnya memberikan kontribusi dalam pengembangan dan
pembangunan. Di Provinsi Bali pengaturan mengenai Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat harus diarahkan guna
pencapaian kondisi yang kondusif bagi seluruh aspek kehidupan
masyarakat Provinsi Bali. Dinamika perkembangan dan kebutuhan
masyarakat Bali yang dinamis dirasakan memerlukan Peraturan Daerah
yang menjangkau secara seimbang antara subjek dan objek hukum yang
diatur. Oleh karena itu, dalam upaya menampung persoalan dan mengatasi
kompleksitas permasalahan dinamika perkembangan masyarakat
diperlukan penyempurnaan terhadap Peraturan Daerah dimaksud.
Peraturan Daerah ini diharapkan implementasi terhadap penyelenggaraan
ketenteraman masyarakat dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat dapat diterapkan secara optimal guna
menciptakan Bali Mandara ( aman, damai dan sejahtera). Peraturan Daerah
ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan penting untuk memberikan
motivasi dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat Bali.
31
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS,
DAN YURIDIS
A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: LANDASAN
FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada
istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang
mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap
Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika,
yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi
syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.13
Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav
Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku
hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya
hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch
disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan
(zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.14
Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai
dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa
norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan
pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya
masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu,
pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih
oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide
mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan
diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat
13 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli:
Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), h. 147. 14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), h.
19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft,
(Sttugart: K.F. Koehler, 1961), h. 36.
32
serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh
Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah
satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin
keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya
dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat
terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan
mereka satu sama lain.15
Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu
konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya
berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang
diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav
Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the
law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan
kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu
adalah:
1. Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu
suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki
keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang
berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia
maupun hubungan-hubungan diantara mereka.
2. Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu
tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihak-
pihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang
hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama
tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan
dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi
kehidupan mereka.
3. Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif
dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka
apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus
diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau
15 Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 18-19.
33
petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan
diberlakukan.16
Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh
W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan
kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum,
yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan:
1. Keadilan sebagai suatu cita, seperti telah ditunjukkan oleh Aristoteles
tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus diperlakukan
sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.
2. Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan
pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum.
Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus
menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum.
3. Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan,
keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum.
Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti.
Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian
yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-
pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur
relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif,
hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif.
Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan
lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus
diputuskan oleh sistem politik masing-masing.17
Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara
satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu
dengan yang lainnya.18 Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang
demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang
berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk
16 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies
Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109. 17 W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan
(susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit
CV Rajawali, 1990), h. 43. 18 Ibid., hlm. 109 -110.
34
bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera
menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi
kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya,
adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.19
Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia.
Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. UU P3 2011
memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan
yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3
(vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada
konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis
yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai
berikut:
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang
akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
19 Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 19-20.
35
Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis,
dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan
peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah
akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal
57 UU No 12/2011, yang menentukan:
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Berikutnya dalam Pasal 63 UU No 12/2011 ditentukan bahwa
ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Artinya, ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang
berlaku bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing
unsur-unsur tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis,
dan landasan yuridis, adalah sebagai berikut:
1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
36
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga
daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan
dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan
berikut:
Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.
B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT
Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur
filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan
undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:
1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu
Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan
37
Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan
pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau
peraturan daerah, yang meliputi:
a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur
tertentu.
b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan
yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan
materi muatan.
3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik
yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
Relevansi landasan keabsahan tersebut dengan pengaturan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah
pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis,
yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.
Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk
memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam
rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,
dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing
pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan
38
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah
otonomi seluas-luasnya.
Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Dengan
berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi
daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Kedua, Landasan sosiologis adalah dengan disusunya Perda ini
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat daerah bukan merupakan
sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan
pemerintahan daerah. Dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan,
landasan filosofis bahwa Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat harus mampu menjamin pemerataan kesempata
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan
lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan. Jadi, Pemerintahan Daerah
membuat Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat , berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan
dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan
pembentukan Perda ini adalah sebagai landasan hukum Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di Provinsi Bali.
Ketiga, Landasan Yuridis yaitu memberikan arahan, landasan dan
kepastian hukum bagi aparatur pemerintah daerah dan para pemangku
kepentingan dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat.
39
Dalam kaitannya dengan penyusunan Rancangan Peraturan daerah
tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
mendasarkan pada landasan keberlakuan sebagai berikut :
a. bahwa guna mewujudkan Provinsi Bali yang tertib, tentram dan prilaku
disiplin bagi setiap masyarakat, maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; ( landasan filosofis)
b. bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen dengan prilaku yang berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang
untuk menunjang ketentraman dan ketertiban umum; (landasan sosiologis)
c. bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan
meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
( landasan yuridis).
40
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN
KETENTRAMAN MASYARAKAT
A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN
Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het onderwerp”.20 Pada
tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat suatu kajian mengenai materi
muatan peraturan perundang-undangan. Kata materi muatan
diperkenalkan oleh A.Hamid S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda
Het ondrwerp dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der
wet” yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, Attamimi mengatakan :
“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama
kali istilah materi muatan.Kata materi muatan diperkenalkan oleh
penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam
ungkapan ThorbPecke het eigenaardig onderwerp der wet. Penulis
menterjemahkannya dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-
mata dimuat dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan
undang-undang”.21
Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi muatan peraturan
perundang-undangan yang hendak dibentuk, semestinya harus
diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi materi muatan yang akan
dibentuk. Karena masing-masing tingkatan ( jenjang ) peraturan
perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri secara
berjenjang dan berbeda-beda.22 Sri Sumantari juga berpendapat yang sama
bahwa masing-masing peraturan perundang-undangan mengatur materi
muatan yang sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan
20 A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI, Jakarta, h. 193-194. 21 Ibid. 22 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, h. 90.
41
berbeda dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula
yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur dalam
Peraturan Presiden.23
Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan isi
kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang khususnya
dan peraturan perundang-undangan pada umumnya.24 Dengan demikian
istilah materi muatan tidak hanya digunakan dalam membicarakan
undang-undang melainkan semua peraturan perundang-undangan.
Pedoman 98 TP3U menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan
pengertian atau definisi ; b. singkatan atau akronim yang dituangkan
dalam batasan pengertian atau definisi ; dan/atau c. hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Pedoman 109 TP3U
menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum
mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang
lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b.pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c.pengertian yang
mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya yang diletakkan
berdekatan secara berurutan.
Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan umum
dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah:
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-
undangan
23 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia
Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan Jakarta, h 62. 24 Rosjidi Rangga Widjaja, 1999, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju Bandung
h. 53.
42
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (jika diperlukan)
Dalam penyusunan Rancangan Peraturan daerah Provinsi Bali
tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat arah dan jangkauan pengaturan antara lain :
1. Bab I Ketentuan umum
2. Bab II Tugas dan Wewenang
3. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman
Masyarakat
4. Bab IV Larangan
5. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan
6. Bab VI Sanksi Administratif
7. Bab VII Pendanaan
8. Bab VIII Ketentuan Penyidikan
9. Bab IX Ketentuan Pidana
10. Bab X Ketentuan Penutup
B.RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
Ruang lingkup materi muatan Ranperda Penyelenggaraan Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah jangkauan materi pengaturan
yang khas yang dimuat dalam raperda Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat , yang meliputi materi yang boleh dan materi
43
yang tidak boleh dimuat dalam raperda Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat 25 Jadi, yang dimaksud dengan materi
muatan baik mengenai batas materi muatan maupun lingkup materi
muatan.
Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi
daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara objektif-
normatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai
materi muatan Perda tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat antara lain :
1. Bab I Ketentuan umum
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Provinsi Bali.
2. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali.
3. Gubernur adalah Gubernur Bali.
4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota.
5. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja adalah Kepala Satuan Polisi Pamong
Praja Provinsi Bali.
6. Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan
dinamis yang memungkinkan Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan
teratur.
7. Pejabat yang ditunjuk adalah pegawai negeri yang ditunjuk dan diberi
tugas tertentu di bidang perijinan sesuai dengan Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku.
8. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
Pejabat yang memiliki kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan
dan penyelidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah.
25 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija
Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister,
(Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995),hlm. 14.
44
9. Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan
lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan,
Perkumpulan, Yayasan, Organisasi massa, Organisasi sosial politik atau
organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan
lainnya.
10. Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk
mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
11. Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi tidak sebagai tempat
melakukan kegiatan.
12. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian
jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
13. Tempat umum adalah fasilitas umum yang menjadi milik, dikuasai
dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah.
14. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam.
15. Jalur Hijau adalah salah satu jenis Ruang Terbuka Hijau fungsi tertentu.
16. Taman Kota adalah ruang terbuka segala kelengkapannya yang
dipergunakkan dan dikelola untuk keindahan yang antara lain berfungsi
sebagai paru-paru kota.
17. Ruang milik jalan adalah ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di
luar manfaat jalan yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan,
pelebaran jalan, penambahan jalur lalu lintas di massa datang serta
kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan dan dibatasi oleh lebar,
kedalaman dan tinggi tertentu.
45
18. Civic centre adalah pusat kegiatan atau pusat perkantoran yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah.
2. Bab II Tugas dan Wewenang
Pasal 2
Tugas Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi meliputi :
a. menegakkan Perda;dan b. menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat dan
perlindungan masyarakat.
Pasal 3
Satuan Polisi Pamong Praja berwenang: a. membantu dan mengkoordinir tindakan penertiban nonyustisial
terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. membantu dan mengkoordinir tindakan terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum
dan ketenteraman masyarakat; c. membantu dan mengkoordinir dalam memfasilitasi dan
pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat; d. membantu dan mengkoordinir tindakan penyelidikan terhadap
warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga
melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan
e. membantu dan mengkoordinir dalam melakukan tindakan
administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan
kepala daerah
3. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman
Masyarakat
Bagian kesatu Kerjasama Dan Koordinasi
Pasal 4
(1) Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dapat bekerja sama dengan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia dan/atau lembaga lainnya.
46
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas hubungan fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum.
Pasal 5
(1) Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi mengkoordinasikan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di kabupaten/kota.
(2) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Bagian kedua Penegakan Perda dan/atau Perkada
Pasal 6
(1) Penegakan Perda dan Perkada meliputi : a. Memberikan pengarahan kepada masyarakat dan badan hukum
yang melanggar Peraturan daerah dan/atau Peraturan Kepala
Daerah; b. Melakukan pembinaan dan/atau sosialisasi kepada masyarakat dan
badan Hukum; c. Melakukan tindakan Preventif non yustisial; dan d. Penindakan yustisial.
(2) Penegakan Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan bersama-sama dengan Kabupaten/Kota;
(3) Penegakan Perda dan Perkada Provinsi dapat dilakukan di
Kabupaten/Kota, apabila belum ada pengaturannya. (4) Ketentuan Tata cara penindakan Preventif non yustisial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan penindakan yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian ketiga
Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat
Pasal 7
Pemerintah Provinsi menjamin penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat meliputi : a. Tertib tata ruang;
47
b. Tertib jalan; c. Tertib angkutan jalan;
d. Tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; e. Tertib sungai, saluran, kolam, dan pinggir pantai;
f. Tertib lingkungan; g. Tertib tempat usaha dan usaha tertentu; h. Tertib bangunan;
i. Tertib sosial; j. Tertib kesehatan; k. Tertib tempat hiburan dan keramaian; l. Tertib peran serta masyarakat; m. Ketentuan lain sepanjang telah di tetapkan dalam peraturan daerah.
(2) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara koordinasi
dengan Kabupaten/Kota.
Pasal 9 Satpol PP Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan koordinasi dengan
Satpol PP Provinsi dalam hal : a. Penegakan peraturan daerah; dan b. Dukungan sumber daya manusia.
4. Bab IV Larangan
Pasal 10
Setiap orang dan/atau badan dilarang : a. Memasang sepanduk, atribut, reklame, selebaran di area civic
centre dan taman kota tanpa seijin pemerintah daerah; b. Berjualan di area civic centre dan taman kota tanpa seijin
pemerintah daerah; c. Membeli barang dagangan yang dijual oleh pedagang di area civic
centre dan taman kota.
Pasal 11 Penyelenggaraan tertib angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf b dilarang: a. Mengangkut bahan dan barang tanpa alat pengaman; b. Mengangkut bahan berdebu dan berbau busuk tanpa alat
pengaman; dan c. Mengangkut hewan dan unggas tanpa alat pengaman.
Pasal 12
Penyelenggaraan tertib jalur hijau, taman dan tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d dilakukan dengan larangan :
48
a. mengalihkan fungsi jalur hijau, taman dan tempat umum tanpa izin dari Pemerintah Daerah.
b. berjualan atau berdagang, menyimpan atau menimbun barang di jalur hijau, taman dan tempat umum yang tidak sesuai dengan
peruntukannya; c. mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau
di tembok, jembatan lintas, halte, tiang listrik, pohon dan sarana
umum lainnya; d. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman,
sungai dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan
kebersihan lingkungan; e. memasang dan/atau menempelkan kain bendera, kain bergambar,
spanduk dan/atau sejenisnya disepanjang jalan, rambu-rambu lalu lintas, tiang penerangan jalan, pohon, bangunan fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial tanpa ada izin dari Pemerintah Daerah;
f. menebang dan/atau merusak pohon pelindung dan/atau tanaman lainnya yang berada di fasilitas umum tanpa ada izin dari
Pemerintah Daerah; g. mengotori, mencoret dan merusak jalan dan/atau jembatan beserta
bangunan pelengkapnya, rambu lalu lintas, pohon, fasilitas umum
dan fasilitas sosial.
Pasal 13
Penyelenggaran tertib sosial sebgaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i dilakukan dengan larangan : a. meminta bantuan dan/atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri
dan/atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan pemukiman, rumah sakit, sekolah, kantor dan tempat ibadah.
b. menyediakan tempat dan menyelenggarakan segala bentuk undian
dengan memberikan hadiah dalam bentuk apapun kecuali mendapat izin dari Pemerintah Daerah.
c. Permintaan bantuan atau sumbangan untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Pemerintah Daerah.
Pasal 14
Setiap orang dan/atau badan dilarang : a. beraktifitas sebagai gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks
Komersial, pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di traffic ligt;
b. mengkoordinir gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di jalan dan tempat umum;
c. mengeksploitasi bayi dan anak untuk mengemis; e. berbuat asusila di jalan umum, di taman dan tempat umum.
49
Pasal 15 Setiap orang dan/atau keluarga yang memiliki anggota keluarga yang
menderita gangguan jiwa berkewajiban merawat dan tidak menelantarkannya.
Pasal 16
(1) Tertib tempat usaha dan usaha tertentu sebgaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf g dilakukan dengan larangan :
a. melakukan usaha dan mendirikan tempat kegiatan usaha yang dapat mengganggu ketertiban umum.
b. menempatkan barang dengan maksud untuk melakukan usaha di sepadan jalan, trotoar, di dalan taman dan tempat umum;
c. memproduksi, mengedarkan, menyimpan dan menjual minuman beralkohol dan petasan;
(2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi
tempat-tempat yang telah mendapat izin oleh pemerintah daerah.
Pasal 17
Penyelenggaraan Tertib peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) huruf l dilakukan dengan : a. Setiap orang dan/atau badan dapat menyampaikan laporan kepada
petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan/atau aparat pemerintah
daerah apabila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
b. Setiap orang atau badan yang melaporkan sebagaimana dimaksud pada huruf a berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan
Pasal 18
(1) Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja bersama Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Satuan kerja perangkat daerah terkait lainnya.
Dalam melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan instansi
lain dan pemerintah Kabupaten/Kota.
6. Bab VI Sanksi Administratif
Pasal 19
50
Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 15 ini dikenakan hukuman sanksi administrasi berupa :
a. Teguran lisan;
b. Peringatan tertulis; c. Penertiban; d. Penghentian sementara dari kegiatan;
e. Denda administrasi; dan/atau f. Pencabutan izin, pembekuan izin, dan/atau penyegelan.
7. Bab VII Pendanaan
Pasal 20
Pendanaan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
8. Bab VIII Ketentuan Penyidikan
Pasal 21
(1) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang
lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Ketertiban dan Ketenraman Masyarakat, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang :
a. menerima laporan atau pengaduan berkenaan tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian . c. melakukan pemanggilan terhadap perseorangan atau badan usaha untuk
di dengar dan diperiksa sebagai saksi dalam tindakan pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman massayarakat;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti dan/atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. meminta keterangan atau bahan bukti dari perseorangan atau badan usaha terkait tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat; g. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan
pemeriksaan perkara; h. membuat dan menandatangan berita acara dan
i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman
51
masyarakat. (2) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Polri.
9. Bab IX Ketentuan Pidana
Pasal 22
(1) Setiap orang dan/atau badan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16 , Pasal 17, dan Pasal 19 diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga)
bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran.
(3) Selain ancaman pidana yang di maksud pada ayat (1) dapat dikenakan
sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku
10. Bab X Ketentuan Penutup
Peraturan Daerah ini mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan
Daerah yang bersangkutan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Provinsi Bali
52
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Pertama, permasalahan yang dihadapi berkenaan dengan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat dasar kewenangan pembentukan diatur dalam
Undang UU NO 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan
Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang
Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri No
40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi
Pamong Praja, Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar
Operasional Polisi Pamong Praja dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2
Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali.Peraturan
Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali
Kawasan civic centre Niti Mandala serta peraturan perundang-undangan
yang lain yang terkait dengan pendelegasian kewenangan mengatur pada
peraturan perundang-undangan. Permasalahan tersebut diatasi dengan
pembuatan Peraturan Daerah dalam rangka Penyelenggaraan Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat. Penjabaran dalam materi muatan
yaitu tentang :
11. Bab I Ketentuan umum
12. Bab II Tugas dan Wewenang
13. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman
Masyarakat
14. Bab IV Larangan
15. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan
16. Bab VI Sanksi Administratif
17. Bab VII Pendanaan
18. Bab VIII Ketentuan Penyidikan
19. Bab IX Ketentuan Pidana
20. Bab X Ketentuan Penutup
53
Kedua, penyusunan Peraturan Daerah diperlukan sebagai dasar
penyelesaian masalah tersebut di atas sehingga Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat memiliki landasan dan
kepastian dalam kaiatannya dengan perlindungan dan pemberdayaan.
Ketiga, pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah:
a. Landasan Filosofis bahwa guna mewujudkan Provinsi Bali yang tertib, tentram dan prilaku disiplin bagi setiap masyarakat, maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
b. Landasan Sosiologis bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen dengan prilaku yang
berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang untuk
menunjang ketentraman dan ketertiban umum; (landasan sosiologis)
c. Landasan Yuridis bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan meningkatkan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas
dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
Keempat, arah, sasaran, da jangkauan pengaturan, dan ruang lingkup
materi muatan Peraturan Daerah yang akan dibentuk adalah:
1. Arah pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk ini
adalah memberikan landasan dan kepastian hukum bagi
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
di Provinsi Bali .
2. Sasaran yang hendak diwujudkan dari Peraturan Daerah yang
akan dibentuk ini adalah terwujudnya bentuk Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .
54
3. Jangkauan pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk
ini adalah memberikan pedoman berkaitan dengan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.
4. Ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah yang akan
dibentuk adalah:
1. Bab I Ketentuan umum
2. Bab II Tugas dan Wewenang
3. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman
Masyarakat
4. Bab IV Larangan
5. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan
6. Bab VI Sanksi Administratif
7. Bab VII Pendanaan
8. Bab VIII Ketentuan Penyidikan
9. Bab IX Ketentuan Pidana
10. Bab X Ketentuan Penutup
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat ditarik
konklusi bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Bali belum mempunyai
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat. Berdasarkan keseluruhan tersebut di atas
dirumuskan simpulan dasar hukum pembentukan peraturan daerah :
1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
55
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5094);
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Ppraja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 705);
6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Dati I Bali;
B. Saran
1. Menyiapkan segera Peraturan Gubernur sebagai bentuk
pendelegasian kewenangan mengatur
2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat
dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat , sesuai dengan asas
keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam
Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah
2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Pasal
partisipasi masyarakat dalam bentuk :
a. konsultasi publik; b. musyawarah;
c. kemitraan; d. penyampaian aspirasi;
e. pengawasan; dan/atau f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan erundang-
undangan
56
DAFTAR PUSTAKA
Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles.
A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi
Doktor UI, Jakarta C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir
Abad ke 2 , Alumni, Bandung Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta ) Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung.
Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz. Gede Marhaendra Wija Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan
Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, (Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995). Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu
Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung
Gustav Radbruch,1950, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard
University Press. I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata
Negara Pada FH.UNUD, J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari
judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996). Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama
Offset, Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif )
dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember.
Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia Indonesia Jakarta,
Rosjidi Rangga Widjaja, 1999, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju Bandung .
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,)
Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor
Sudargo Gaotama, 1985, Hukum Perdata Internasional, Alumni Bandung.
Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan
Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta
W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory.
57
.
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
Nasional( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 244 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 4301 ).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagimana diubah beberapa kali terkhir dengan Undang-Undang No 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang ( Lembaran Negara Republik Indoensia Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran negara republik Indonesia Nomor 5657);
Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong
Praja ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 5094 )
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang
Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja . ( Berita
Negara Republik Indoensia Tahun 2011 No 590)
58
Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional
Polisi Pamong Praja ( Berita Negara Republik Indoensia Tahun 2011
No 705)
Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2008 Tentang Urusan
Pemerintahan Daerah Provinsi Bali Lembaran Daerah Tahun 2008
Nomor 2
Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan
Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala Denpasar, Berita Daerah
Provinsi Bali Tahun 2006 Nomor 12.
Keputusan gubernur Bali Nomor 2383/05-A/HK/2013 tentang
Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Tim Penegakan Peraturan
Daerah dan Pemberdayaan Penyidik Pegawai negeri Sipil ( PPNS)
59
LAMPIRAN PERATURAN DAERAH :
REVISI III FH
GUBERNUR BALI
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI
NOMOR ...... TAHUN 2015
TENTANG
PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BALI,
Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan Provinsi Bali yang tertib, tentram dan prilaku disiplin bagi setiap masyarakat,
maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
b. bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen
dengan prilaku yang berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang untuk menunjang ketentraman dan ketertiban umum;
c. bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
Mengingat : 7. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah daerah Tingkat I Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1649);
60
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5094);
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Ppraja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 705);
12. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Dati I Bali;
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BALI
dan
GUBERNUR BALI,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
61
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
19. Daerah adalah Provinsi Bali.
20. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali.
21. Gubernur adalah Gubernur Bali.
22. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota.
23. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja adalah Kepala Satuan Polisi Pamong Praja
Provinsi Bali.
24. Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan
dinamis yang memungkinkan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur.
25. Pejabat yang ditunjuk adalah pegawai negeri yang ditunjuk dan diberi tugas
tertentu di bidang perijinan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku.
26. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat
yang memiliki kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan dan
penyelidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah.
27. Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan
Usaha Milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan,
Organisasi massa, Organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,
lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
28. Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-
minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan
belas kasihan dari orang lain.
29. Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan
tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di
dalam tanah dan atau air, yang berfungsi tidak sebagai tempat melakukan
kegiatan.
30. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi
lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di
bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali
jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
62
31. Tempat umum adalah fasilitas umum yang menjadi milik, dikuasai dan/atau
dikelola oleh pemerintah daerah.
32. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
33. Jalur Hijau adalah salah satu jenis Ruang Terbuka Hijau fungsi tertentu.
34. Taman Kota adalah ruang terbuka segala kelengkapannya yang dipergunakkan
dan dikelola untuk keindahan yang antara lain berfungsi sebagai paru-paru
kota.
35. Ruang milik jalan adalah ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di
luar manfaat jalan yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran
jalan, penambahan jalur lalu lintas di massa datang serta kebutuhan ruangan
untuk pengamanan jalan dan dibatasi oleh lebar, kedalaman dan tinggi
tertentu.
36. Civic centre adalah pusat kegiatan atau pusat perkantoran yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah.
BAB II TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 2
Tugas Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi meliputi :
c. menegakkan Perda;dan
d. menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat dan perlindungan masyarakat.
Pasal 3
Satuan Polisi Pamong Praja berwenang: f. membantu dan mengkoordinir tindakan penertiban nonyustisial
terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;
g. membantu dan mengkoordinir tindakan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat; h. membantu dan mengkoordinir dalam memfasilitasi dan pemberdayaan
kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;
i. membantu dan mengkoordinir tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan
63
pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan
j. membantu dan mengkoordinir dalam melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
BAB III
PELAKSANAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT
Bagian kesatu
Kerjasama Dan Koordinasi Pasal 4
(3) Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dapat bekerja sama dengan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia dan/atau lembaga lainnya.
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas hubungan fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum.
Pasal 5
(4) Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi mengkoordinasikan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di kabupaten/kota.
(5) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Bagian kedua Penegakan Perda dan/atau Perkada
Pasal 6
(5) Penegakan Perda dan Perkada meliputi : e. Memberikan pengarahan kepada masyarakat dan badan hukum yang
melanggar Peraturan daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah;
f. Melakukan pembinaan dan/atau sosialisasi kepada masyarakat dan badan Hukum;
g. Melakukan tindakan Preventif non yustisial; dan
h. Penindakan yustisial. (6) Penegakan Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan dan dilakukan bersama-sama dengan Kabupaten/Kota; (7) Penegakan Perda dan Perkada Provinsi dapat dilakukan di
64
Kabupaten/Kota, apabila belum ada pengaturannya.
(8) Ketentuan Tata cara penindakan Preventif non yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan penindakan yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan Peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian ketiga Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat
Pasal 7
Pemerintah Provinsi menjamin penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Pasal 8
(2) Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat meliputi
: a. Tertib tata ruang;
b. Tertib jalan; c. Tertib angkutan jalan; d. Tertib jalur hijau, taman dan tempat umum;
e. Tertib sungai, saluran, kolam, dan pinggir pantai; f. Tertib lingkungan;
g. Tertib tempat usaha dan usaha tertentu; h. Tertib bangunan; i. Tertib sosial;
j. Tertib kesehatan; k. Tertib tempat hiburan dan keramaian; l. Tertib peran serta masyarakat;
m. Ketentuan lain sepanjang telah di tetapkan dalam peraturan daerah.
(3) Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara koordinasi dengan Kabupaten/Kota.
Pasal 9
Satpol PP Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan koordinasi dengan Satpol PP Provinsi dalam hal :
a. Penegakan peraturan daerah; dan b. Dukungan sumber daya manusia.
BAB IV LARANGAN
Pasal 10
Setiap orang dan/atau badan dilarang :
65
d. Memasang sepanduk, atribut, reklame, selebaran di area civic centre
dan taman kota tanpa seijin pemerintah daerah; e. Berjualan di area civic centre dan taman kota tanpa seijin pemerintah
daerah; f. Membeli barang dagangan yang dijual oleh pedagang di area civic
centre dan taman kota.
Pasal 11 Penyelenggaraan tertib angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilarang:
d. Mengangkut bahan dan barang tanpa alat pengaman; e. Mengangkut bahan berdebu dan berbau busuk tanpa alat pengaman;
dan f. Mengangkut hewan dan unggas tanpa alat pengaman.
Pasal 12
Penyelenggaraan tertib jalur hijau, taman dan tempat umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d dilakukan dengan larangan : h. mengalihkan fungsi jalur hijau, taman dan tempat umum tanpa izin dari
Pemerintah Daerah. i. berjualan atau berdagang, menyimpan atau menimbun barang di jalur
hijau, taman dan tempat umum yang tidak sesuai dengan
peruntukannya; j. mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di
tembok, jembatan lintas, halte, tiang listrik, pohon dan sarana umum lainnya;
k. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai
dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan;
l. memasang dan/atau menempelkan kain bendera, kain bergambar,
spanduk dan/atau sejenisnya disepanjang jalan, rambu-rambu lalu lintas, tiang penerangan jalan, pohon, bangunan fasilitas umum
dan/atau fasilitas sosial tanpa ada izin dari Pemerintah Daerah; m. menebang dan/atau merusak pohon pelindung dan/atau tanaman
lainnya yang berada di fasilitas umum tanpa ada izin dari Pemerintah
Daerah; n. mengotori, mencoret dan merusak jalan dan/atau jembatan beserta
bangunan pelengkapnya, rambu lalu lintas, pohon, fasilitas umum dan
fasilitas sosial.
Pasal 13
Penyelenggaran tertib sosial sebgaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i dilakukan dengan larangan :
d. meminta bantuan dan/atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan
66
pemukiman, rumah sakit, sekolah, kantor dan tempat ibadah.
e. menyediakan tempat dan menyelenggarakan segala bentuk undian dengan memberikan hadiah dalam bentuk apapun kecuali mendapat izin dari Pemerintah Daerah.
f. Permintaan bantuan atau sumbangan untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Pemerintah Daerah.
Pasal 14
Setiap orang dan/atau badan dilarang : a. beraktifitas sebagai gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial,
pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di traffic ligt; b. mengkoordinir gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial
pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di jalan dan tempat umum;
c. mengeksploitasi bayi dan anak untuk mengemis;
e. berbuat asusila di jalan umum, di taman dan tempat umum.
Pasal 15 Setiap orang dan/atau keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa berkewajiban merawat dan tidak menelantarkannya.
Pasal 16
(2) Tertib tempat usaha dan usaha tertentu sebgaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) huruf g dilakukan dengan larangan :
d. melakukan usaha dan mendirikan tempat kegiatan usaha yang dapat mengganggu ketertiban umum.
e. menempatkan barang dengan maksud untuk melakukan usaha di sepadan jalan, trotoar, di dalan taman dan tempat umum;
f. memproduksi, mengedarkan, menyimpan dan menjual minuman beralkohol dan petasan;
(2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi
tempat-tempat yang telah mendapat izin oleh pemerintah daerah.
Pasal 17
Penyelenggaraan Tertib peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf l dilakukan dengan : c. Setiap orang dan/atau badan dapat menyampaikan laporan kepada
petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan/atau aparat pemerintah daerah
apabila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum dan ketentraman
67
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. d. Setiap orang atau badan yang melaporkan sebagaimana dimaksud pada huruf a
berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V PEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18
(3) Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan pembinaan, pengendalian
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.
(4) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja bersama Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Satuan kerja perangkat daerah terkait lainnya.
(5) Dalam melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan instansi lain dan pemerintah Kabupaten/Kota.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI Pasal 19
Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 15 ini dikenakan hukuman sanksi administrasi berupa :
a. Teguran lisan; b. Peringatan tertulis; c. Penertiban;
d. Penghentian sementara dari kegiatan; e. Denda administrasi; dan/atau f. Pencabutan izin, pembekuan izin, dan/atau penyegelan.
BAB VII PENDANAAN
Pasal 20
Pendanaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
BAB VIII KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 21
(3) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Ketertiban dan Ketenraman Masyarakat, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, sesuai ketentuan peraturan
68
perundang-undangan.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang :
a. menerima laporan atau pengaduan berkenaan tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian .
c. melakukan pemanggilan terhadap perseorangan atau badan usaha untuk di dengar dan diperiksa sebagai saksi dalam tindakan pidana dibidang
ketertiban umum dan ketentraman massayarakat; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti dan/atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. meminta keterangan atau bahan bukti dari perseorangan atau badan usaha terkait tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat; g. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;
h. membuat dan menandatangan berita acara dan i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
(4) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Polri.
BAB IX KETENTUAN PIDANA
Pasal 22
(4) Setiap orang dan/atau badan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16 , Pasal 17, dan Pasal 19 diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pelanggaran.
(6) Selain ancaman pidana yang di maksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Daerah ini mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada
tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Daerah yang
69
bersangkutan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Provinsi Bali.
Diundangkan di Denpasar Pada tanggal………
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BALI
COKORDA NGURAH PEMAYUN
Ditetpkan di Denpasar Pada tanggal……….. GUBERNUR BALI,
MADE MANGKU PASTIKA
LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI … TAHUN … NOMOR…………..
NO.REG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI:
70
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI
NOMOR ………..
TENTANG
PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT
I. UMUM
Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memupunyai komitmen untuk
penegakkan Peraturan Daerah, menjaga ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat guna terwujudnya Masyarakat yang adil dan sejahtera.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah,
maka kondisi ketenteraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk
meningkatkan mutu kehidupannya.
Pengaturan mengenai ketertiban umum harus diarahkan guna pencapaian
kondisi yang kondusif bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat Bali yang dinamis dirasakan memerlukan Peraturan Daerah yang menjangkau secara seimbang antara
subjek dan objek hukum yang diatur. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengaturan lebih lanjut Peraturan Daerah tentang ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat. Peraturan Daerah ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan penting untuk membehkan motivasi dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat guna mewujudkan
tata kehidupan masyarakat yang tertib.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
71
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan tindakan Preventif non yustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Satuan Polisi
Pamong Praja:
a. Penindakan terhadap para pelanggar Peraturan daerah, terlebih dahulu menanda tangani surat pernyataaan bersedia dan sanggup mentaati dan mematuhi serta melaksanakan ketentuan dalam waktu 15 hari terhitung sejak penandatanganan surat pernyataan.
b. Apabila tidak melaksanakan dan/atau mengingkari syarat
pernyataannya, maka akan diberikan Surat teguran pertama, dengan tegang waktu 7(tujuh) hari 2. Surat teguran kedua dengan tegang waktu 3 (tiga) hari 3. Surat teguran ketiga, dengan tegang waktu 3 (tiga) hari .
c. Apabila tidak melaksanakan dan atau mengingkari surat teguran tersebut, akan dilaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk dilakukan proses sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku.
Huruf d
Tindakan penertiban nonyustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Polisi Pamong Praja dalam rangka
menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah dengan cara yang
72
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan tidak sampai proses peradilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
73
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVONSI BALI TAHUN 2015 NOMOR
…..