naskah akademik rancangan undang-undang … · dilakukan melalui koordinasi antar lembaga/otoritas...

152
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2015

Upload: vokien

Post on 21-Jun-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK)

Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2015

i

KATA PENGANTAR

Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan diiringi puji syukur

ke hadirat-Nya, kegiatan penyusunan Undang-Undang tentang Jaring

Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) telah dapat diselesaikan.

Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem

Keuangan ini sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum bagi

implementasi sistem pengamanan dalam rangka memelihara Stabilitas

Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya yang tertuang dalam

mekanisme Jaring Pengaman Sistem Keungan (JPSK).

Pengalaman krisis yang pernah dihadapi Indonesia dan negara lain,

mendorong suatu kesadaran bahwa kewaspadaan dan kesiapan yang lebih

baik dalam menghadapi krisis sistem keuangan di masa mendatang mutlak

diperlukan. Implementasi dari kewaspadaan dan kesiapan tersebut dapat

dilakukan melalui koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam sistem

keuangan Indonesia dalam kerangka JPSK. Dalam hal ini, koordinasi

dilakukan dalam rangka memelihara dan menangani Stabilitas Sistem

Keuangan secara terpadu dan efektif. Koordinasi tersebut antara lain

meliputi pemantauan terhadap kondisi Stabilitas Sistem Keuangan

sekaligus menetapkan tindakan yang perlu dilakukan dalam menghadapi

permasalahan di dalam sistem keuangan dan kondisi Stabilitas Sistem

Keuangan tidak normal.

Keberadaan UU JPSK diharapkan dapat memberikan keyakinan bagi

pengambil keputusan dalam mengambil kebijakan dalam rangka

memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya.

Hal ini dilakukan dengan melibatkan seluruh lembaga/otoritas yang terkait

di dalam sistem keuangan. Di sisi lain, keberadaan UU JPSK ini juga

diharapkan dapat menghindarkan para pengambil keputusan dan

kebijakan yang diambil dari dispute yang dapat terjadi karena kurangnya

koordinasi dan keterbukaan informasi serta governance dalam mekanisme

koordinasi antar lembaga/otoritas.

Selanjutnya, disahkannya UU JPSK merupakan langkah nyata dalam

rangka mendukung Stabilitas Sistem Keuangan nasional yang aman, sehat,

2015

2015

ii

terpercaya, dan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap

sistem keuangan Indonesia. Kondisi tersebut dapat membawa implikasi

positif dalam rangka menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem

Keuangan serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Tim Penyusun Naskah Akademik

Kementerian Keuangan

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

i

iii

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Identifikasi Masalah 8

C. Tujuan dan Kegunaan 8

D. Metode 9

BAB II. KAJIAN TEORI DAN PRAKTIK EMPIRIS 12

A. Kajian Teoritis 12

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan

Penyusunan Norma

19

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang

Ada, Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat

24

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang

akan Diatur Dalam UU JPSK Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Keuangan Negara

29

BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

77

A. Evaluasi dan Analisis terhadap Perpu No.4 Tahun 2008 77

B. Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait 79

BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

96

A. Landasan Filosofis 96

B. Landasan Sosiologis 97

C. Landasan Yuridis 98

BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

100

A. Sasaran 100

B. Jangkauan dan Arah Pengaturan 100

C. Ruang Lingkup Materi Muatan 101

BAB VI. PENUTUP 141

A. Simpulan 141

B. Saran 144

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

145

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada akhir tahun 1990–an, Indonesia mengalami krisis

moneter yang diawali krisis di sektor perbankan. Krisis tersebut

berimbas pada perekonomian dan stabilitas nasional sehingga

Stabilitas Sistem Keuangan nasional menghadapi tantangan yang

sangat berat. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan

nasional menurun tajam, ditandai dengan terjadinya penarikan

dana secara besar-besaran oleh nasabah perbankan. Akibatnya,

sejumlah Bank mengalami kesulitan likuiditas dan permasalahan

solvabilitas yang menjurus kepada runtuhnya sistem perbankan

nasional dan pada gilirannya berdampak pada terganggunya

sistem pembayaran dan perekonomian nasional. Untuk

menyelamatkan perekonomian nasional pada saat itu, Pemerintah

harus mengeluarkan biaya program penjaminan simpanan,

program rekapitalisasi perbankan, dan Bantuan Likuiditas Bank

Indonesia (BLBI), dengan jumlah sekitar Rp. 640 triliun.1

Dalam menangani krisis yang terjadi pada akhir tahun

1990-an tersebut, Pemerintah belum mempunyai landasan hukum

yang memadai untuk melakukan langkah-langkah penanganan

Kondisi Tidak Normal. Terlebih lagi, pada saat itu belum ada

mekanisme koordinasi yang baik antara Bank Indonesia (BI)

sebagai otoritas moneter dan pengawas perbankan dengan

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai otoritas fiskal.

Belajar dari krisis tersebut, Pemerintah secara terus-

menerus melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membangun

sistem keuangan yang lebih tangguh dan lebih siap dalam

1 Enoch et al, “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two Years of Living Dangerously 1997-1999” IMF Working Paper WP/01/02, IMF, 2001.

2

menghadapi Kondisi Tidak Normal. Upaya perbaikan tersebut

meliputi penataan kembali kelembagaan yang ada, antara lain

melalui reorganisasi Kemenkeu, amandemen Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

(UU BI), dan pendirian Lembaga Penjamin Simpanan melalui

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 (UU LPS).

Sebagai negara dengan sistem perekonomian terbuka,

Indonesia terkena imbas langsung akibat dinamika kondisi

perekonomian regional atau global. Dalam kurun waktu 15 (lima

belas) tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi rangkaian

krisis keuangan yang terjadi baik di tingkat nasional, regional

maupun global. Pengalaman menghadapi krisis regional di

kawasan Asia pada tahun 1997/1998, krisis reksa dana domestik

tahun 2005, dan krisis keuangan global yang dipicu krisis US

subprime mortgage tahun 2008, yang berlanjut dengan krisis

utang di negara-negara kawasan Eropa tahun 2011 telah

memberikan pelajaran berharga. Berdasarkan fakta yang ada,

dapat dipetik suatu pelajaran bahwa krisis dapat terjadi di mana

saja dan kapan saja, sehingga dibutuhkan kesiapan untuk

menghadapi Kondisi Tidak Normal2 sekaligus dampaknya.

Dampak Kondisi Tidak Normal baik secara langsung maupun

tidak langsung terhadap perekonomian nasional di masa

mendatang diperkirakan akan semakin besar mengingat

perkembangan di bidang ekonomi dan keuangan yang demikian

pesat. Hal ini dapat dilihat dari besaran ekonomi, kecanggihan,

dan interkonektivitas antarnegara sebagai akibat globalisasi,

sehingga dapat memberikan efek menular yang luas dan cepat.

2 Istilah yang digunakan dalam RUU JPSK adalah “Kondisi Tidak Normal”, bukan “Keadaan Darurat” sebagaimana digunakan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, atau “Krisis” sebagaimana UU APBN 2014 karena walaupun maknanya hampir sama tetapi secara psikologis pilihan istilah “Kondisi Tidak Normal” lebih diterima pasar, dalam rangka mempercepat proses penanganan masalah stabilitas sistem keuangan.

3

Mekanisme koordinasi dalam rangka memelihara Stabilitas

Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya secara

terpadu dan efektif menjadi semakin penting setelah munculnya

krisis keuangan global pada awal tahun 2008. Menteri Keuangan

dan Gubernur Bank Sentral dari berbagai negara melakukan

pembahasan yang intensif untuk menyusun langkah-langkah

penanggulangan ancaman krisis tersebut. Indonesia mengambil

langkah-langkah inisiatif dengan penyusunan kebijakan strategis

di berbagai sektor keuangan, antara lain: relaksasi penilaian aset

berdasarkan harga pasar (marked to market valuation), suspensi

bursa efek untuk sementara, redefinisi kriteria pembiayaan

darurat dalam UU APBN, penghentian lelang SBN, peningkatan

besaran jumlah simpanan yang dijamin, relaksasi ketentuan

Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), dan penerbitan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK).

Penerbitan Perpu JPSK telah memberikan landasan hukum

bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah

memelihara SSK dan menangani permasalahannya. Langkah

tersebut dilakukan melalui pengambilan keputusan untuk

menyelamatkan sistem keuangan yang terganggu karena adanya

Bank bermasalah yang dapat berdampak sistemik. Dalam situasi

yang sangat sulit sebagaimana dialami pada tahun 2008, Perpu

JPSK telah memberikan keyakinan bagi otoritas untuk mengambil

keputusan secara transparan, kredibel, akuntabel, dan taat azas.

Hal ini dapat dilakukan untuk menghindarkan sistem perbankan

nasional dari tekanan Kondisi Tidak Normal. Namun, dalam

perkembangannya Perpu JPSK ini tidak mendapat persetujuan

DPR RI untuk dijadikan Undang-Undang. Keputusan tersebut

merupakan hasil rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah

4

tanggal 14 Desember 2008 dan hasil rapat paripurna tanggal 18

Desember 2008.

Berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat

itu, maka atas penolakan tersebut perlu diterbitkan UU Penolakan

Perpu sesuai bunyi ketentuan Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4)

bahwa:

(3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang mengenai penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang menjadi Undang-Undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak

berlaku. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka

Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.

Sampai saat ini UU Pencabutan Perpu JPSK belum pernah

ditetapkan. Oleh karena itu, secara yuridis formal, Perpu tersebut

masih tetap berlaku.

Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) sebagai

pengganti UU No. 10 Tahun 2004 ditentukan pengaturan tentang

penolakan Perpu, yang substansinya sebagian hampir sama

dengan UU No. 10 Tahun 2004, bahwa:

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

5

(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang.

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut

ditetapkan menjadi Undang-Undang.

(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak

berlaku.

(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden

mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang.

(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-

Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Bertolak dari ketentuan ini, Perpu JPSK yang sudah

dinyatakan ditolak pada rapat paripurna, seharusnya perlu diikuti

dengan pengajuan RUU Pencabutan Perpu. RUU tersebut dapat

diajukan oleh DPR atau Presiden, sekaligus menuangkan

pengaturan akibat hukum yang timbul atas pelaksanaan Perpu

tersebut karena sangat mungkin pada saat Perpu diberlakukan

terjadi perubahan terhadap kondisi yang ada. Perubahan ini akan

menimbulkan persoalan jika tidak diperjelas dalam UU

Pencabutan Perpu.

6

Sekalipun ada penolakan Perpu bukan berarti peluang

pengajuan RUU JPSK menjadi tertutup. UU JPSK sangat penting

untuk dibentuk dalam rangka mengatur sistem pengamanan

untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani

permasalahannya dalam Keadaaan Tidak Normal. Pembentukan

ini sekaligus sebagai pengejawantahan UU BI dan UU LPS serta

dalam rangka mempertegas dan memperjelas kewenangan

lembaga/otoritas yang terkait dengan hal tersebut.

Sebelum UU JPSK terbentuk, Pemerintah bersama-sama

dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan (UU OJK). Hal ini merupakan tindak lanjut dari

penataan kembali kelembagaan di sektor keuangan. Dengan

ditetapkannya UU tersebut, fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di Industri

Keuangan nonBank (IKNB) dan sektor pasar modal beralih dari

Kemenkeu ke OJK sejak tanggal 31 Desember 2012. Di sisi lain,

fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan

kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari BI ke

OJK mulai tanggal 31 Desember 2013.

Dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, seluruh

lembaga/otoritas yang terkait, harus tetap waspada karena

tekanan terhadap sistem keuangan dapat terjadi setiap saat. Hal

ini dapat terjadi mengingat dinamika perekonomian global yang

bergerak sangat cepat dan interaksi antar pasar keuangan yang

demikian erat satu sama lain. Di samping itu, gejolak sistem

keuangan di Eropa dan Amerika masih belum teratasi sehingga

lembaga/otoritas dalam sistem keuangan harus selalu siap siaga

untuk mengantisipasi datangnya krisis dengan menyiapkan

7

berbagai bentuk kebijakan dan Protokol Manajemen Krisis (PMK)/

Crisis Management Protocol.

Belajar dari pengalaman pencegahan dan penanganan krisis

tahun 1997/1998 dan 2008, serta penanganan krisis reksa dana

pada tahun 2005, diyakini bahwa suatu JPSK diperlukan di

Indonesia. JPSK merupakan sistem yang dibentuk untuk

memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani

permasalahannya. Untuk itu, JPSK perlu dituangkan dalam

bentuk UU tersendiri. Hal ini sangat penting untuk memberikan

landasan hukum dalam mekanisme koordinasi antar

lembaga/otoritas serta pengambilan keputusan yang terpadu,

transparan, akuntabel, dan cepat agar dapat segera

menanggulangi permasalahan Bank dalam kondisi sistem

keuangan tidak normal.

UU JPSK akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi

lembaga/otoritas dalam upaya memelihara stabilitas dan

menangani Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam keadaan darurat,

UU ini memberikan tugas dan kewenangan kepada

lembaga/otoritas dalam sistem keuangan untuk melakukan

tindakan tertentu, baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-

sama. UU ini juga mengatur mengenai tindakan yang tidak diatur

atau diatur secara berbeda di dalam peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan kegiatan masing-

masing lembaga/otoritas tersebut dalam upaya mengatasi

permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan.

Penyusunan UU JPSK secara yuridis merupakan amanat

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

8

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang dan

amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Masalah yang teridentifikasi dalam Naskah Akademik RUU

JPSK ini mencakup 4 (empat) hal, yaitu:

1. Apakah permasalahan yang dihadapi dalam upaya memelihara

Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahan

yang timbul karenanya ketika Kondisi Tidak Normal?

2. Apakah dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang

JPSK dapat mengatasi permasalahan yang timbul dalam

upaya memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani

permasalahan yang timbul?

3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,

sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang

JPSK?

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan Rancangan

Undang-Undang

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di

atas, maka tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah

sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam upaya

memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani

permasalahannya.

2. Merumuskan urgensi Rancangan Undang-Undang JPSK dalam

mengatasi permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan.

9

3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,

yuridis RUU JPSK.

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU

JPSK.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah

sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU

JPSK.

D. METODE

Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan

suatu kegiatan penelitian sehingga harus menggunakan metode

penyusunan naskah akademik yang berbasis metode penelitian

hukum. Penyusunan naskah akademik RUU JPSK ini

menggunakan metode yuridis normatif. Adapun langkah-langkah

yang dilakukan adalah melalui studi kepustakaan/library research

yang menelaah (terutama) data sekunder berupa: bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer

meliputi UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pemeliharaan Stabilitas Sistem

Keuangan dan penanganan permasalahannya, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan;

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang

Negara;

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara;

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara;

10

5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan;

6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat

Berharga Syariah Negara;

8. Perpu Nomor 04 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman

Sistem Keuangan;

9. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi

Undang-Undang;

10. Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2009 tentang Penetapan

Perpu Nomor 03 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin

Simpanan;

11. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan;

12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan;

13. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun

Anggaran 2015; dan

14. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN

Tahun Anggaran 2015.

Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi hasil kajian dan

laporan yang dihasilkan baik oleh lembaga maupun akademisi

pada level nasional dan internasional.

Di luar studi pustaka, penyusunan Naskah Akademik ini

juga dilengkapi dengan metode diskusi terarah/Focus Group

Discussion (FGD), workshop, wawancara, serta dengar pendapat

dengan narasumber yang ahli di bidangnya.

11

Bahan dan hasil diskusi yang telah diperoleh selanjutnya

diolah secara sistematis kualitatif. Bahan-bahan hukum tertulis

yang telah terkumpul diklasifikasikan sesuai dengan

permasalahan yang telah diidentifikasi. Langkah selanjutnya yaitu

dilakukan content analysis terhadap dokumen bahan hukum dan

dikomparasikan dengan informasi narasumber, sehingga dapat

menjawab permasalahan yang diajukan.

12

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

Saat ini perbankan dinilai sebagai entitas yang memiliki

posisi paling strategis dalam sistem keuangan dan perekonomian

Indonesia dibandingkan dengan entitas keuangan lain seperti

asuransi, dana pensiun, pasar modal, dan pembiayaan. Industri

perbankan memiliki karakteristik yang unik karena adanya sistem

pembayaran yang hanya dimiliki oleh Bank. Sistem pembayaran

tersebut mengalokasikan dana kepada para pihak sesuai dengan

hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, adanya gangguan dalam

sistem perbankan dapat menimbulkan risiko finansial karena

sifatnya yang menghubungkan antarpasar dan antarlembaga jasa

keuangan.

Dalam cakupan perekonomian yang lebih luas, perbankan

menjalankan fungsi intermediasi yang memiliki keterkaitan

dengan hampir semua kegiatan ekonomi. Oleh karena itu,

kegagalan fungsi suatu Bank akan berdampak pada kegagalan

sistem keuangan di mana Bank tersebut berada. Lebih lanjut, hal

ini dapat mendorong kegagalan sistem perekonomian apabila Bank

yang bermasalah tersebut memiliki konektivitas yang luas dengan

sistem perekonomian.

Perbankan menghadapi risiko yang cukup kompleks, baik

risiko yang bersumber dari tata kelola Bank itu sendiri, dari

sistem di mana Bank itu berada, atau dari pemangku kepentingan

yang memiliki keterkaitan dengan Bank tersebut dalam proses

bisnisnya. Risiko yang dihadapi suatu Bank yaitu credit risk,

market risk, liquidity risk, operational risk, legal and regulator risk,

13

reputation risk, strategic bussiness risk, dan compliance risk. Lebih

lanjut, dalam kondisi tertentu, perbankan tidak hanya terimbas

oleh risiko-risiko di atas saja namun justru dapat menjadi sumber

risiko bagi Bank lain, sistem keuangan, bahkan perekonomian

secara lebih luas.

Jika dilihat dari sisi total aset, industri perbankan masih

mendominasi industri jasa keuangan domestik. Berdasarkan data

OJK, aset perbankan secara total mencapai sekitar 5.615 triliun

rupiah pada tahun 2014 atau sekitar 53% dari gross domestic

product (GDP) Indonesia. Sebagai pembanding, pada periode yang

sama total aset IKNB hanya mencapai 1.530 triliun rupiah atau

kurang lebih hanya sebesar 14,5% terhadap GDP. Kemudian

berdasarkan komposisi aset dalam industri keuangan, komposisi

aset perbankan mencapai 78,6% dan 77,9% dari total aset industri

keuangan pada tahun 2014 dan 2013.

Gambar 1

14

Tidak selamanya industri perbankan dalam keadaan

normal, dalam situasi tidak normal terdapat golongan Bank yang

digolongkan sebagai Systemically Important Bank (SIB) atau biasa

disebut Bank SIB. Bank SIB adalah Bank yang karena ukuran

aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas

transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor

keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau

keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik

secara operasional maupun finansial, apabila Bank tersebut

mengalami gangguan atau gagal.

Mempertimbangkan pentingnya sektor perbankan dalam

kaitannya dengan sektor keuangan maka perlu ada upaya untuk

menciptakan sistem keuangan yang sehat dan stabil pada sektor

perbankan. Upaya tersebut perlu dibangun melalui mekanisme

koordinasi yang jelas, terarah oleh para pemegang otoritas yang

memiliki fungsi berbeda. Dalam keadaan normal masing-masing

lembaga/otoritas menjalankan fungsinya untuk menjamin

pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan. Namun dalam keadaan

tidak normal atau dalam menangani Bank SIB, diperlukan

pengintegrasian masing-masing fungsi lembaga/otoritas sehingga

dapat diambil keputusan dan ditetapkan langkah-langkah yang

diperlukan agar tetap dapat terpelihara Stabilitas Sistem

Keuangan dan tertangani dengan cepat permasalahan yang timbul

terkait Stabilitas Sistem Keuangan.

Mekanisme inilah yang harus dibangun melalui sistem

JPSK. Sistem ini menggambarkan bagaimana mekanisme kerja

antarlembaga/otoritas yang memiliki kewenangannya masing-

masing yang perlu dipadukan sehingga terbangun suatu jaring

yang mampu menjaga Stabilitas Sistem Keuangan nasional dari

ancaman krisis. Stabilitas Sistem Keuangan merupakan kondisi

15

sistem keuangan yang berfungsi secara efektif serta mampu

bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan/atau luar

negeri. Schich berpendapat bahwa dengan memiliki JPSK, para

pemegang otoritas cenderung memiliki rasa percaya diri yang kuat

dalam menghadapi krisis keuangan, sehingga potensi terjadinya

krisis keuangan menjadi lebih kecil.3 Tanpa adanya JPSK,

permasalahan kecil di sektor keuangan dapat menjadi pemicu

krisis (full-blown crisis), sebagaimana yang dikatakan oleh Schich

berikut:

“Without an appropriate financial safety net, even simple rumours of problems regarding solvency or liquidity of a financial institution have the potential to become self-fulfilling and turn into a full-blown financial crisis.”

Penyelenggaraan JPSK dimaksud menjadi tanggung jawab

KSSK dengan anggota terdiri dari pimpinan Kemenkeu, BI, OJK,

dan LPS. Proses pengambilan keputusan KSSK dilakukan sesuai

dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga/otoritas secara

bertanggung jawab demi kepentingan bangsa dan negara karena

terkait dengan persoalan yang sangat krusial yaitu menjamin

tetap terpeliharanya Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan

Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB.

Oleh karena itu penyelenggaraannya harus berlandaskan asas

kepentingan umum, keterpaduan, efektivitas, dan kepastian

hukum. Hal ini juga digariskan dalam arah kebijakan dan strategi

utama sektor keuangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2015 -2019.

Namun demikian, sampai saat ini pengaturan terkait dengan

penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan permasalahan

Bank SIB belum diatur secara detail dalam suatu undang-undang.

3 Sebastian Schich, Financial Crisis: Deposit Insurance and Related Financial

Safety Net Aspects, Financial Market Trends, OECD, 2008.

16

Padahal dampaknya jika tidak ditangani dengan baik akan sangat

luas dan berpotensi menyebabkan terganggunya perekonomian

nasional karena cakupan sistem keuangan nasional secara luas

dapat meliputi berbagai sektor, seperti perbankan, pasar uang,

pasar modal, industri keuangan bukan Bank, dan lainnya. Namun

demikian, ruang lingkup sistem keuangan di dalam UU JPSK ini

adalah sistem perbankan. Hal ini mengingat sistem perbankan

saat ini menguasai kurang lebih 80% dari keseluruhan market

share sektor keuangan nasional.

Dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan,

UU JPSK sebagai bagian dari upaya untuk mengimplementasikan

pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan dan penanganan

permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan hanya akan mengatur

penanganan permasalahan Bank sepanjang Bank tersebut

termasuk di dalam daftar Bank SIB. Sementara itu, mekanisme

penanganan permasalahan Bank yang tidak termasuk di dalam

daftar Bank SIB akan diselesaikan oleh masing-masing

lembaga/otoritas sesuai dengan kewenangan masing-masing

berdasarkan undang-undang.

Pengaturan di dalam UU JPSK tersebut diperlukan untuk

memperoleh pemahaman yang sama serta memastikan tidak

terjadi tumpang tindih (overlap) kewenangan antara satu

lembaga/otoritas dengan lembaga/otoritas lainnya. Dengan

adanya landasan hukum yang jelas, proses pengambilan

keputusan oleh lembaga/otoritas dapat dilakukan dengan cepat

dan tepat, karena fungsi-fungsi dalam JPSK dilakukan oleh

beberapa lembaga/otoritas yang saling berkaitan. Oleh karena itu

pengaturan mengenai pembagian tugas dan tanggung jawab,

koordinasi dan kerja sama, serta pertukaran informasi perlu

diatur dengan jelas dan tegas.

17

Pada dasarnya, konsep JPSK di Indonesia sudah pernah

disusun namun masih memerlukan penyempurnaan dan

penyesuaian dengan perkembangan saat ini. Konsep tersebut telah

dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

tentang OJK dimana komponen JPSK terdiri dari: (1) OJK sebagai

otoritas pengatur dan pengawas Bank; (2) BI sebagai otoritas

moneter dan lender of the last resort (LoLR) bagi Bank; (3) LPS

sebagai otoritas yang berfungsi menjamin simpanan nasabah

Bank dan melakukan resolusi Bank gagal; dan (4) Kementerian

Keuangan sebagai otoritas fiskal dan koordinator dalam

pencegahan dan penanganan krisis.

Adapun uraian mengenai fungsi masing-masing

lembaga/otoritas tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Pengaturan dan pengawasan Bank yang efektif;

Fungsi ini merupakan jaring pengaman pertama (first line of

defense) dalam JPSK. Mengingat pentingnya fungsi tersebut,

dalam kerangka JPSK digariskan prinsip-prinsip dasar

(guiding principles) bahwa pengawasan dan pengaturan

terhadap lembaga dan pasar keuangan oleh otoritas terkait

harus senantiasa ditujukan untuk menjaga Stabilitas Sistem

Keuangan. Selain itu, pengawasan dan pengaturan tersebut

harus berpedoman pada best practices dan standar yang

berlaku.

2. Lender of the Last Resort (LoLR);

Adanya kebijakan LoLR yang baik terbukti sebagai salah satu

alat yang efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis.

Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan LoLR dalam kondisi

normal dan Kondisi Tidak Normal telah mengacu pada

international best practices. Pada prinsipnya, LoLR untuk

kondisi normal hanya diberikan kepada Bank yang mengalami

18

kesulitan likuiditas tetapi masih solven dengan agunan yang

likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam Kondisi Tidak

Normal, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan

utama dengan tetap mensyaratkan solvensi dan

mempertimbangkan agunan. Untuk mengatasi kesulitan

likuiditas yang berdampak sistemik, BI sebagai LoLR dapat

memberikan pinjaman likuiditas khusus kepada Bank umum

yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.

3. Penjaminan simpanan yang memadai; dan

LPS juga merupakan salah satu elemen penting dalam

menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Program penjaminan

Pemerintah (blanket guarantee) yang diberlakukan untuk

menangani krisis sejak tahun 1998 berhasil memulihkan

kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Namun

demikian, penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut

dapat mendorong moral hazard yang berpotensi menimbulkan

krisis dalam jangka panjang. Untuk itu, ditetapkan UU No. 24

Tahun 2004 tentang LPS yang mengatur secara detail

mengenai skema penjaminan simpanan. Dalam undang-

undang tersebut, LPS memiliki dua fungsi utama, yaitu: (i)

menjamin simpanan nasabah Bank; dan (ii) turut aktif

memelihara stabilitas sistem perbankan.

4. Penanganan Kondisi Tidak Normal yang efektif.

Fungsi ini dituangkan dalam kerangka kebijakan JPSK agar

Kondisi Tidak Normal dapat ditangani secara cepat tanpa

membebani perekonomian. Dalam JPSK ditetapkan peran dan

kewenangan masing-masing lembaga/otoritas dalam

penanganan Kondisi Tidak Normal sehingga setiap

lembaga/otoritas memiliki wewenang, tanggung jawab, dan

akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian, Kondisi Tidak

19

Normal dapat ditangani secara efektif, cepat, serta tidak

menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi.

Dengan adanya penyempurnaan terhadap konsep JPSK,

diharapkan tidak hanya memperkuat upaya memelihara Stabilitas

Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya, namun juga

dapat mencegah timbulnya biaya yang lebih besar pada

perekonomian apabila terjadi Kondisi Tidak Normal dan adanya

permasalahan Bank. Diamond & Dybvig dan Nadezhda M. & John

R.Walter berpendapat bahwa JPSK memberikan kontribusi positif

terhadap perekonomian karena biaya pencegahan dan

penanganan krisis menjadi lebih rendah.4

B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT

DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, Penyusunan UU JPSK ini berupaya untuk

memenuhi asas-asas sebagai berikut:

1. Kejelasan Tujuan

UU tentang JPSK disusun untuk melaksanakan amanat Pasal

33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam

rangka menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional.

2. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat

RUU JPSK ini disusun oleh Kemenkeu. Berdasarkan Pasal 5

UUD 1945, Kementerian Keuangan Republik Indonesia

merupakan unsur lembaga eksekutif yang memiliki wewenang

untuk mengajukan RUU JPSK.

4 Douglas D Diamond and Philip H Dybvig, “Bank Runs, Deposit Insurance, and

Liquidity” dalam Journal of Political Economy Volume 91 No. 3, 1983, hlm. 401-

419.

20

3. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan

Hal-hal yang diatur dalam UU JPSK ini merupakan hal

mendasar yang diperlukan untuk mewujudkan Stabilitas

Sistem Keuangan. Hal ini dilakukan karena penyelenggaraan

JPSK memiliki implikasi yang luas dalam rangka menjaga agar

kepentingan negara tidak terganggu. Disamping itu, beberapa

poin pengaturan di dalamnya menggantikan ketentuan di

dalam UU lain yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini

ataupun menambah ketentuan yang belum diatur. Untuk itu,

diperlukan peraturan setingkat undang-undang.

4. Dapat dilaksanakan

Pengaturan dalam UU JPSK ini mengadopsi hasil kajian

internasional dan praktik-praktik sesuai dengan standar

internasional yang telah disesuaikan dengan memperhatikan

kebutuhan, urgensi, kondisi sistem keuangan saat ini, sistem

hukum, dan sistem keuangan di Indonesia. Selain itu,

pengaturan tersebut juga telah menyesuaikan dengan

kebutuhan berdasarkan pengalaman lembaga/otoritas dalam

menghadapi krisis di masa lalu. Penyesuaian tersebut

memungkinkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam

UU JPSK dapat dilaksanakan.

5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan

Jangkauan dan arah pengaturan dalam UU JPSK merupakan

penyempurnaan atas ketentuan peraturan perundang-

undangan yang telah ada dalam rangka mewujudkan JPSK

sebagai upaya untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan

dan menangani permasalahannya. Dengan adanya pengaturan

tersebut, koordinasi dalam rangka pemantauan dan

21

pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan

Kondisi Tidak Normal, Permasalahan Bank SIB, baik dalam

kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi

Tidak Normal, akan dapat dilakukan dengan lebih baik.

6. Kejelasan Rumusan

UU JPSK telah memenuhi ketentuan persyaratan teknis

penyusunan peraturan perundang-undangan karena disusun

dengan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta

bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti. Dengan

demikian, pengaturan di dalam UU JPSK diharapkan tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

7. Keterbukaan

Sebagai upaya untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan

dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan,

KSSK berhak memperoleh data/informasi yang akurat,

lengkap, terkini, dan tepat waktu agar dapat mengambil

keputusan secara cepat dan tepat. Data/informasi tersebut

dapat berasal dari Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS, maupun

sumber lain yang diperlukan. Pemberian informasi tersebut

dikecualikan dari ketentuan mengenai kerahasiaan Bank dan

kerahasiaan data/informasi yang dikelola oleh

lembaga/otoritas anggota KSSK. Selain itu, dalam penanganan

permasalahan Bank, sektor swasta dapat berperan serta

menyelesaikan permasalahan Bank dengan tetap mengacu

pada peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan

RUU ini pun dilakukan dengan pelibatan stakeholders terkait

sesuai dengan prinsip keterbukaan.

Selain memperhatikan asas terkait dengan pembentukan

peraturan perundang-undangan, UU JPSK juga mendasarkan

22

pada asas-asas yang terkait dengan pengamanan sistem keuangan

yaitu.:

1. Asas Kepentingan Umum

Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara

yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

Bahwa dalam pelaksanaannya, JPSK harus mengutamakan

kepentingan masyarakat luas untk mencapai kesejahteraan

umum. Pelaksanaan JPSK selanjutnya akan menjadi tugas dan

tanggung jawab bersama antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS

yang dilakukan dengan memegang prinsip gotong royong.

Lebih lanjut, perlu ditekankan bahwa JPSK merupakan

kesatuan yang utuh, saling menunjang, selaras antara

berbagai kepentingan, serta terkoordinasi dalam satu kendali

yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling

mendukung dalam rangka mencapai tujuan JPSK.

2. Asas efektivitas

Asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan

berdaya guna.

Dalam hal ini, JPSK harus dilaksanakan dengan berorientasi

pada tujuan JPSK yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam

rangka menghadapi permasalahan Kondisi Tidak Normal dan

permasalahan Bank SIB, JPSK harus mampu menyelesaikan

permasalahan tersebut secara cepat dan tepat dengan biaya

yang wajar

3. Asas kepastian hukum

Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan

ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam

setiap kebijakan penyelenggara negara.

Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum

tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian

23

hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam

perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang

dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek

yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum

berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8

(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila

tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut

sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat

kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai

berikut :5

1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan,

tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal

tertentu;

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik

3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas

sistem;

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa

yang bisa dilakukan;

7. Tidak boleh sering diubah-ubah; dan

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan

sehari-hari.

Bahwa norma yang mengatur JPSK harus mencerminkan

suatu kepastian hukum. Peraturan yang terkait dengan JPSK

harus menjadi pedoman dan dasar hukum yang jelas bagi

pengambil keputusan dalam menetapkan langkah-langkah

5 “Asas Kepastian Hukum”, http://tesishukum.com/pengertian-asas-

kepastian-hukum-menurut-para-ahli/ . Diunduh pada tanggal 6 Mei 2015.

24

penanganan Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank

SIB.

C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN,

KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG

DIHADAPI MASYARAKAT

1. Praktik Penyelenggaraan dan Permasalahan yang

Dihadapi

Dengan ditetapkannya UU OJK, Indonesia memiliki

empat lembaga/otoritas yang masing-masing memiliki peran

dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Perubahan yang

signifikan adalah pengalihan fungsi pengaturan dan

pengawasan Bank di bidang mikroprudensial dari BI kepada

OJK. Selain itu, LPS juga diberi wewenang yang lebih luas

untuk dapat melakukan pemeriksaan pada Bank setelah

berkoordinasi dengan OJK. Dengan bertambahnya jumlah

lembaga/otoritas yang terlibat dalam menjaga stabilitas

sistem perbankan, koordinasi, kerja sama, dan tukar-

menukar informasi perlu ditingkatkan.

Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi krisis yang

terjadi pada tahun 2008 dan krisis-krisis sebelumnya,

pengambilan keputusan yang tidak didasari atas landasan

hukum yang kuat akan menghasilkan suatu keputusan

yang menimbulkan polemik di masyarakat. Ketiadaan

landasan hukum tersebut menimbulkan permasalahan

dalam pelaksanaan mekanisme pengambilan keputusan,

antara lain koordinasi, prosedur, tanggung jawab dan

wewenang lembaga/otoritas, sekaligus tidak adanya

perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. Lebih

lanjut, permasalahan tersebut menyebabkan penurunan

25

tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum

dan sistem keuangan di Indonesia. Kondisi tersebut

kemudian berdampak secara langsung terhadap Stabilitas

Sistem Keuangan dan perekonomian nasional secara umum

sehingga akan menimbulkan kondisi yang lebih buruk

apabila tidak ditangani dengan baik.

Kondisi di atas dapat dihindari apabila terdapat payung

hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur

mengenai fungsi, tugas, tanggung jawab, dan wewenang

lembaga/otoritas yang terkait dengan penanganan SSK

dalam suatu jarring pengaman yang sistematis. Pengaturan

tersebut akan memberikan landasan hukum yang kuat

sebagai dasar dalam pengambilan keputusan oleh

lembaga/otoritas terkait, terutama pada Kondisi Tidak

Normal. Kebutuhan akan adanya landasan hukum atas hal-

hal tersebut di atas akan dituangkan di dalam UU JPSK.

Upaya untuk menciptakan sistem keuangan yang sehat

dan stabil harus dilakukan dengan mekanisme koordinasi

yang jelas dalam rangka pengambilan kebijakan dan

penetapan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka

pemeliharaan dan penanganan permasalahan SSK. Untuk

itu, diperlukan suatu JPSK yang bertujuan untuk

memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem

Keuangan, yang penyelenggaraannya berlandaskan atas

asas kepentingan umum, keterpaduan, efektivitas, dan

kepastian hukum.

Dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan

dan menangani permasalahannya, diperlukan langkah-

langkah pengambilan kebijakan antarlembaga/otoritas

dalam suatu kerangka koordinasi yang efektif, transparan,

26

dan akuntabel dengan didukung oleh data dan informasi

yang dapat diandalkan. Pemberian mandat, wewenang, dan

tanggung jawab antarlembaga/otoritas harus didefinisikan

secara jelas dalam suatu UU sehingga tidak ada tumpang

tindih kewenangan.

2. Perbandingan Praktik Penyelengaraan di berbagai

Negara

Sejauh ini, mekanisme koordinasi antar

lembaga/otoritas di sektor keuangan yang diterapkan di

banyak negara memiliki keragaman sesuai dengan

pengalaman, kondisi, dan kebutuhan masing-masing

negara. Misalnya Amerika Serikat (AS), yang pernah

menghadapi krisis cukup dalam pada tahun 2008, saat ini

memiliki suatu komite koordinasi yang berfungsi untuk

menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Dodd-Frank Wall Street

Reform and Consumer Protection Act (“Dodd-Frank Act”) AS

mengamanatkan pembentukan Financial Stability Oversight

Council (FSOC) dengan Secretary of the Treasury bertindak

sebagai koordinator.

Dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan,

komite tersebut diberikan kewenangan untuk memfasilitasi

koordinasi peraturan, memfasilitasi pertukaran dan

pengumpulan informasi, menetapkan pengawasan terhadap

industri keuangan nonbank secara lebih terkonsolidasi,

merekomendasikan pengawasan yang lebih ketat dalam

kondisi tertentu, serta menetapkan langkah yang perlu

diambil terhadap lembaga keuangan yang mengancam

Stabilitas Sistem Keuangan AS.

27

Selain AS, Korea juga memiliki Macroeconomic Financial

Meeting (MEFM), sebuah forum tingkat deputi yang dibentuk

berdasarkan keputusan presiden. Di samping itu, Inggris

juga memiliki forum koordinasi yang beranggotakan HM

Treasury, Bank of England, dan subsidiarinya yaitu The

Prudential Regulation Authority (PRA). Forum ini dibentuk

berdasarkan nota kesepahaman. Forum/komite koordinasi

Stabilitas Sistem Keuangan juga dimiliki oleh Australia,

Kanada, dan Jepang.

Pada umumnya, forum/komite di negara-negara

tersebut dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan, atas dasar

pemikiran bahwa terdapat interkoneksi antar risiko sistem

keuangan dan risiko fiskal. Penanggung beban terakhir

(ultimate burden) dari upaya penanganan Kondisi Tidak

Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB adalah

Pemerintah selaku pengelola fiskal.

Di Indonesia, lembaga/otoritas yang memiliki

kewenangan untuk melakukan penanganan SSK adalah

Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. Kewenangan masing-masing

lembaga/otoritas tersebut sebagai berikut:

a. Kemenkeu terkait kebijakan fiskal dan penyediaan

pendanaan yang bersumber dari APBN;

b. BI terkait kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan

makroprudensial;

c. OJK terkait kebijakan mikroprudensial; dan

d. LPS terkait dengan penjaminan simpanan dan

penyelesaian Bank gagal.

Dalam UU JPSK ini, dibentuk suatu komite yang disebut

KSSK, dengan keanggotaan sebagai berikut:

28

a. Menteri Keuangan sebagai koordinator merangkap

anggota;

b. Gubernur BI sebagai anggota;

c. Ketua Dewan Komisioner OJK sebagai anggota; dan

d. Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota.

Lebih lanjut, perlu menjadi perhatian bahwa tidak

tertutup kemungkinan terdapat wewenang antarinstitusi

yang saling beririsan ketika menyelesaikan isu tertentu.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu ditunjuk lead

authority dalam forum/komite. Pada umumnya,

forum/komite di beberapa negara diketuai oleh pemerintah.

Sebagai contoh, MEFM Korea diketuai oleh perwakilan dari

pemerintah dan Financial Stability and Development Council

(FSDC) India diketuai oleh Menteri Keuangan. Penunjukan

Pemerintah c.q. Menteri Keuangan tersebut dilakukan

dengan pertimbangan bahwa terdapat interkoneksi antara

risiko sistem keuangan dan risiko fiskal. Di samping itu,

ultimate burden dari upaya penanganan Kondisi Tidak

Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB adalah

Pemerintah selaku pengelola fiskal.

Merujuk pada struktur dan mekanisme KSSK pada

negara lain sekaligus dengan mempertimbangkan

kebutuhan, kondisi, dan sistem ketatanegaraan yang

dianut, maka Menteri Keuangan ditetapkan sebagai

koordinator KSSK. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan

dalam menetapkan Menteri Keuangan sebagai koordinator

KSSK adalah:

1) Menteri Keuangan menanggung risiko dampak sistemik

dari sektor keuangan yang menyangkut kemungkinan

terjadinya risiko fiskal (risiko keuangan negara);

29

2) Menteri Keuangan sebagai pembantu kepala

negara/pemerintahan dan atas nama Pemerintah

berkewajiban untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

dan stabilitas perekonomian nasional; dan

3) Menteri Keuangan berdasarkan akuntabilitas fiskal

harus mampu mempertanggungjawabkan kepada DPR

dan masyarakat selaku pembayar pajak atas setiap

biaya fiskal yang dikeluarkan.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM

BARU YANG AKAN DIATUR DALAM UU JPSK TERHADAP

ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA

TERHADAP ASPEK KEUANGAN NEGARA

Dalam rangka memelihara SSK dan menangani

permasalahan yang timbul karenanya maka perlu ditentukan

langkah antisipatif, proaktif, dan koordinatif yang harus dilakukan

oleh lembaga/otoritas yang terlibat, baik secara sendiri-sendiri

maupun terkoordinasi, dalam suatu unit organisasi KSSK.

Lembaga/otoritas tersebut akan memiliki keyakinan yang lebih

baik dalam pengambilan keputusan karena mekanisme bekerjanya

diatur dengan jelas di dalam UU JPSK. Sebagai contoh, di dalam

Penanganan Permasalahan Bank SIB, BI sebagai otoritas yang

berwenang akan memiliki keyakinan yang lebih tinggi dalam

memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) mengingat

ketentuan tersebut telah diatur di dalam UU JPSK dan hanya

diberikan kepada Bank SIB dimana BI juga terlibat di dalam

penyusunan daftar Bank SIB tersebut. Di samping itu, keberadaan

jaminan Pemerintah dalam penyaluran PLK menjadi satu hal yang

mendukung keyakinan BI. Pada akhirnya, langkah-langkah

30

kebijakan dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan serta

kecepatan, ketepatan, dan keyakinan pengambilan keputusan

dalam menangani Kondisi Tidak Normal dan menangani

permasalahan Bank yang dilakukan oleh lembaga/otoritas dapat

memberikan ketenangan dan keyakinan bagi masyarakat luas,

sehingga tidak menimbulkan dampak meluas dan mengganggu

perekonomian nasional.

Dalam UU JPSK perlu diatur PMK sehingga ada kejelasan

mengenai tingkat eskalasi penyelesaian Bank bermasalah, yang

terdiri dari penyelesaian permasalahan oleh Bank itu sendiri

(recovery plan yang telah disetujui oleh OJK), fungsi LoLR BI,

resolusi Bank LPS, dan mekanisme APBN. Sebelum menggunakan

dana APBN sebagai buffer terakhir, diharapkan penanganan Bank

bermasalah dapat terselesaikan pada tahapan-tahapan

sebelumnya. Namun demikian, dalam hal penggunaan dana APBN

harus dieksekusi untuk mencegah memburuknya kondisi SSK

yang dikhawatirkan akan menjalar pada stabilitas perekonomian

lebih luas, penggunaan dana tersebut diharapkan dapat

dilaksanakan secara efektif.

Efektivitas tersebut dapat terwujud dengan adanya

mekanisme koordinasi antar pemegang otoritas dan PMK yang

diatur di dalam UU JPSK dapat mendeteksi lebih dini

permasalahan dan langkah-langkah penanganannya dapat

disiapkan lebih awal. Selain itu, program penyelesaian

permasalahan Bank sebagaimana diatur di dalam UU JPSK ini

melibatkan pihak swasta melalui mekanisme private solution.

Pelibatan swasta tersebut diharapkan dapat meminimalisasi, baik

peluang eskalasi penanganan pada dana APBN maupun besaran

dana APBN yang digunakan.

31

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

saat ini, penggunaan dana APBN melalui mekanisme pemberian

pinjaman dan penyertaan modal kepada LPS tidak dapat

dilakukan. Oleh karena, itu perlu ada suatu ketentuan bahwa

dana APBN dapat digunakan untuk pemberian pinjaman dan

penambahan modal kepada LPS dengan memperoleh persetujuan

DPR terlebih dahulu.

Dengan adanya pengaturan JPSK akan terbangun

koordinasi yang terpadu dan efektif antar pemegang otoritas dalam

menangani Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan

Bank SIB baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal

maupun Kondisi Tidak Normal. Dengan demikian, mekanisme

pemeliharaan SSK dan penanganan permasalahannya akan dapat

dilakukan secara cepat dan efektif. Hal ini dapat terjadi karena

beberapa faktor, yaitu:

1) terdapat mekanisme koordinasi dan pembagian tanggung

jawab yang jelas di antara lembaga/otoritas terkait dalam

memelihara Stabilitas Sistem Keuangan, tanpa mengurangi

independensi masing-masing lembaga/otoritas;

2) adanya transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme

pengambilan keputusan dalam rangka penanganan Kondisi

Tidak Normal;

3) terdapat landasan hukum yang kuat dalam melakukan

tindakan penanganan permasalahan Bank SIB; dan

4) terdapat sumber pendanaan yang jelas untuk tindakan

penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan

permasalahan Bank SIB dengan tetap berpedoman pada

ketentuan dan kemampuan keuangan negara serta hak budget

DPR.

32

Upaya penyelenggaraan JPSK tersebut dilakukan oleh

Negara melalui pembentukan KSSK. Dengan demikian, koordinasi

yang dilakukan dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan

Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal,

dan penanganan permasalahan Bank SIB, memiliki landasan

hukum yang kuat. Hal ini akan berimplikasi positif dalam rangka

pemulihan kondisi perekonomian karena terjaganya Stabilitas

Sistem Keuangan.

Untuk menciptakan koordinasi antar lembaga/otoritas yang

efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka pemeliharaan

Stabilitas Sistem Keuangan dan penanganan masalahnya,

pembagian fungsi, tugas, dan wewenang KSSK perlu diatur secara

jelas. Sebagai contoh, MEFM Korea, yang merupakan forum

tingkat deputi untuk melakukan sharing dan review atas analisis

risiko Stabilitas Sistem Keuangan6. Forum ini terdiri dari Ministry

of Strategy and Finance, The Bank of Korea, The Financial Service

Commission, dan The Financial Supervisory Service. Di dalam

forum tersebut, setiap lembaga/otoritas mendiskusikan hasil

analisis dan identifikasi potensi risiko serta mengkaji respon

kebijakan yang dapat diambil.

Pada dasarnya, pemeliharaan SSK dalam kondisi normal

dilakukan oleh masing-masing lembaga/otoritas sesuai dengan

kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang ada. Namun demikian, dalam kondisi tertentu,

terdapat kebutuhan untuk mempertimbangkan terlebih dahulu

dan/atau memutuskan suatu kebijakan dalam kerangka

koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam KSSK. Beberapa

kebutuhan tersebut antara lain menetapkan status SSK, langkah-

langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah

6 “Republic of Korea: Financial Sector Assessment Program-Crisis Preparedness and Crisis Management Framework-Technical Note” IMF Country Report No. 15/5, IMF, 2015.

33

penanganan permasalahan Bank yang tidak dapat lagi ditangani

oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan

melaporkan pelaksanaan tugas kepada Presiden.

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas tersebut, KSSK

perlu diberikan kewenangan. Sebagai contoh, untuk dapat

menentukan status SSK, KSSK perlu mempunyai wewenang untuk

memperoleh hasil penilaian kondisi SSK dari masing-masing

anggota KSSK terlebih dahulu. Hasil penilaian tersebut juga perlu

dilengkapi dengan data dan informasi pendukung, serta kerangka

kerja penilaian yang digunakan oleh masing-masing anggota.

Lebih lanjut, untuk menetapkan langkah-langkah penanganan

Kondisi Tidak Normal, KSSK juga perlu mendapatkan rekomendasi

dari masing-masing anggota KSSK mengenai langkah-langkah

penanganan dimaksud. KSSK juga berwenang untuk memperoleh

daftar Bank SIB terkini yang ditetapkan oleh OJK setelah

berkoordinasi dengan BI. Pengkinian daftar Bank SIB dilakukan

oleh OJK secara berkala, misalnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam)

bulan, atau sewaktu-waktu sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pengkinian sewaktu-waktu tersebut hanya

dapat dilakukan pada saat kondisi SSK normal.

Dengan mempertimbangkan luasnya cakupan tugas dan

wewenang KSSK, maka ditunjuk sekretaris KSSK yang dapat

menjalankan sebagian tugas dan/atau wewenang KSSK apabila

menerima pendelegasian dari KSSK. Di samping itu, dalam rangka

mendukung kelancaran tugas KSSK, diperlukan suatu sekretariat

untuk membantu penyelenggaraan rapat hingga melakukan

monitoring terhadap tindak lanjut keputusan rapat, melakukan

kompilasi analisis umum berdasarkan indikator, dan laporan

surveillance dari masing-masing anggota KSSK, menyusun

standard operating procedure bagi sekretariat KSSK, dan tugas-

34

tugas kesekretariatan lain dalam rangka mendukung

terlaksananya koordinasi yang baik antaranggota KSSK.

Hal tersebut juga sejalan dengan praktik di Amerika Serikat,

dimana Financial Stability Oversight Council (FSOC) mempunyai

kelompok kecil dengan staf independen yang mengelola dan

menyimpan dokumen serta menyusun keterbukaan dokumen

kepada publik. Kelompok staf independen ini juga bisa

beranggotakan para ahli untuk mendukung kerja komite dan

penyusunan legal drafting (jika diperlukan) serta pelaporan kepada

Kongres. Selain itu, praktek di India melalui Financial Stability and

Development Council (setara dengan KSSK) juga memiliki sub-

committee yang merupakan sekretariat KSSK. Jabatan sekretaris

dipegang oleh Pejabat Direktur Eksekutif Bank Sentral, dengan

mendapat dukungan kesekretariatan dari Financial Stability Unit.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya, KSSK

didukung oleh kesekretariatan yang dipimpin oleh sekretaris

KSSK. Sekretaris KSSK seyogyanya dijabat oleh seorang pejabat

yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu di Kemenkeu

yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Lebih lanjut, untuk tata

laksana kesekretariatan KSSK sebaiknya diatur dengan

Keputusan Menteri Keuangan. Juga dimungkinkan bagi KSSK

membentuk gugus tugas, kelompok kerja, atau alat kelengkapan

lain untuk membantu pelaksanaan tugas KSSK, mengundang

pihak lain sebagai narasumber, serta menyelenggarakan rapat

persiapan pelaksanaan rapat KSSK yang melibatkan pejabat

perwakilan dari masing-masing lembaga/otoritas anggota KSSK.

Mekanisme dalam menetapkan tindakan penanganan

Kondisi Tidak Normal harus dilakukan lebih awal dan sesegera

mungkin7. Selain itu, standar dan indikator yang digunakan

7Loc.cit, lihat 4.

35

untuk melakukan asesmen terhadap entitas yang diawasi juga

harus jelas. Terdapat beberapa prinsip yang perlu menjadi

perhatian dalam mekanisme penanganan permasalahan Stabilitas

Sistem Keuangan, yaitu:

a. Kecepatan pengambilan keputusan

Keputusan penanganan terhadap permasalahan harus

dilakukan sesegera mungkin. Tindakan cepat, pesan

(signalling) yang jelas, dan kepemimpinan yang didefinisikan

secara baik akan memberikan dampak positif terhadap

kepercayaan publik.

b. Transparansi dan kredibilitas keputusan

Menjaga integritas dan kepercayaan publik dalam

penanganan permasalahan SSK menjadi faktor yang sangat

penting untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap

sistem keuangan nasional. Untuk itu, diperlukan adanya

proses yang menjamin bahwa penanganan dilakukan secara

transparan dan akuntabel, serta dilakukan oleh

lembaga/otoritas yang kompeten. Dengan demikian,

diperlukan data dan informasi yang handal (reliable), staf

yang berkualitas, koordinasi institusional yang erat, dan

komunikasi publik yang baik.

c. Kepastian hukum

Keputusan yang diambil dalam rangka penanganan

permasalahan SSK oleh KSSK merupakan keputusan yang

sah dan mengikat, sehingga dapat memberikan kepastian

hukum.

d. Akuntabilitas penggunaan dana publik

Mekanisme penanganan permasalahan SSK memerlukan

dukungan pendanaan dari APBN. Hal ini harus dilaksanakan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

36

di bidang keuangan negara dan dengan mempertimbangkan

kecepatan pengambilan keputusan.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka KSSK secara rutin perlu

menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali

dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu atas permintaan dari

anggota KSSK.8 Mekanisme rapat seperti itu sudah dilakukan oleh

Korea melalui MEFM dimana komite tersebut juga

menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali

dalam 1 (satu) tahun9.

Rapat KSSK dihadiri oleh seluruh anggota KSSK dan

dipimpin oleh koordinator KSSK. Dalam Kondisi Tidak Normal

diperlukan adanya pengambilan keputusan secara terpadu dan

cepat serta tepat, berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Mengingat keputusan yang diambil di dalam KSSK merupakan

keputusan yang strategis dan berdampak luas pada perekonomian

nasional, maka keputusan rapat harus memperoleh keyakinan

dari semua lembaga/otoritas untuk menghindari perselisihan atas

keputusan yang diambil di kemudian hari. Hal ini sekaligus

mencerminkan suatu kebulatan pendapat dan tekad dari masing-

masing anggota KSSK untuk melakukan upaya terbaik dalam

penanganan permasalahan SSK.

Dalam hal tidak mencapai kata mufakat, usulan keputusan

yang diajukan anggota KSSK dinyatakan ditolak dan pendapat

akhir masing-masing anggota KSSK di dalam rapat tersebut harus

didokumentasikan. Usulan yang ditolak dapat diajukan kembali

dalam rapat KSSK berikutnya maksimal 1 (satu) kali.

8 Pasal 45 ayat (1) huruf b UU OJK ditentukan dalam kondisi normal FSSK

melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. 9 Korea Financial Stability Report, The Bank of Korea, 2014.

37

Mengingat pentingnya proses pengambilan keputusan dan

dampak atas hasil keputusan yang sangat luas, maka proses

pengambilan keputusan harus dihadiri oleh seluruh anggota

KSSK. Apabila terdapat kondisi dimana anggota KSSK

berhalangan hadir secara fisik, maka rapat KSSK dapat

diselenggarakan menggunakan media komunikasi elektronik

dimana peserta rapat KSSK harus saling melihat dan/atau

mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat, serta

didokumentasikan secara utuh. Dalam kondisi ini, anggota KSSK

yang berhalangan hadir secara fisik menunjuk pejabat yang akan

mewakilinya untuk menandatangani keputusan rapat KSSK.

Dalam hal anggota KSSK berhalangan sementara, anggota KSSK

yang bersangkutan diwakili oleh pejabat yang ditunjuk sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keputusan rapat KSSK mencakup penetapan Kondisi Tidak

Normal, langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal,

dan/atau langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB.

Hasil keputusan rapat tersebut harus dilaporkan oleh koordinator

KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh

empat) jam secara tertulis atau melalui sarana elektronik.

Pelaporan tersebut harus ditatausahakan dengan baik dan

lengkap sebagai kelengkapan apabila dibutuhkan di masa

mendatang, terutama apabila timbul permasalahan hukum atas

keputusan yang diambil.

Jangka waktu pelaporan kepada Presiden harus dilakukan

paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam mengingat dari

hasil keputusan rapat KSSK dimungkinkan adanya penggunaan

dana APBN untuk menangani Kondisi Tidak Normal dan/atau

penanganan permasalahan Bank SIB. Selain itu, sangat penting

bagi Presiden untuk mengetahui kondisi sistem keuangan karena

38

ketidakstabilan sistem keuangan berpotensi mengganggu stabilitas

nasional.

Tekanan terhadap sistem keuangan dapat terjadi setiap saat

mengingat dinamika perekonomian global yang bergerak sangat

cepat dan interaksi antar pasar keuangan yang demikian erat satu

sama lain. Oleh karena itu, setiap anggota KSSK harus

mewaspadai dan mengantisipasi risiko tersebut. Dalam hal ini,

masing-masing lembaga/otoritas telah menyusun PMK sebagai

bagian dari upaya pencegahan dan penanganan Kondisi Tidak

Normal. PMK tersebut paling kurang memuat tentang mekanisme

pemantauan Stabilitas Sistem Keuangan yang terdiri dari

indikator-indikator penyusun, mekanisme pengambilan

keputusan, serta mekanisme koordinasi dan komunikasi. Protokol

tersebut disusun berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenang

masing-masing lembaga/otoritas.

Di dalam kerangka koordinasi KSSK, apabila PMK anggota

KSSK menunjukkan Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang

Tidak Normal, maka anggota yang bersangkutan dapat

mengusulkan kepada KSSK untuk menyelenggarakan rapat guna

membahas permasalahan tersebut. Dalam rapat KSSK dimaksud,

KSSK mendapatkan data dan informasi dari masing-masing

anggota KSSK sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung

jawabnya.

Sebagai otoritas makroprudensial, BI menyampaikan

penilaian kondisi moneter, makroprudensial, dan sistem

pembayaran serta pengaruhnya terhadap Stabilitas Sistem

Keuangan dan rekomendasi langkah-langkah penanganan

permasalahan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem

pembayaran yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan.

OJK, selaku otoritas mikroprudensial menyampaikan penilaian

39

kondisi lembaga keuangan dan pasar keuangan dan pengaruhnya

terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, OJK juga

menyampaikan data Bank SIB dalam status Bank dalam

pengawasan khusus, dan langkah-langkah penanganan

permasalahan Bank SIB.

Dari sisi fiskal, Kemenkeu menyampaikan penilaian kondisi

kesinambungan fiskal dan pasar SBN yang mempengaruhi

Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkah-

langkah penanganan kondisi fiskal dan pasar SBN agar tetap

berkesinambungan. LPS menyampaikan penilaian kondisi

kecukupan dana penjaminan simpanan yang mempengaruhi

Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkah-

langkah penanganan untuk memenuhi kecukupan dana

penjaminan simpanan.

Setelah memperoleh data, informasi, kerangka penilaian

kondisi Stabilitas Sistem Keuangan, dan pertimbangan dari

seluruh anggota KSSK, maka KSSK menetapkan status Stabilitas

Sistem Keuangan. Apabila Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan

dalam kondisi normal, penanganan permasalahan Stabilitas

Sistem Keuangan dikembalikan kepada masing-masing anggota

KSSK sesuai bidang tugas dan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang ada.

Apabila KSSK menetapkan SSK dalam Kondisi Tidak

Normal, maka penetapan ini perlu disertai dengan penetapan

langkah-langkah penanganan permasalahan di bidang moneter,

makroprudensial, dan sistem pembayaran, penanganan Bank SIB

dalam status Bank dalam pengawasan khusus, dan penanganan

kondisi lembaga keuangan dan/atau pasar keuangan, kondisi

kesinambungan fiskal dan pasar SBN, serta kecukupan dana

penjaminan simpanan. Langkah-langkah penanganan tersebut

40

dilaporkan oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu

1x24 (satu kali dua puluh empat) jam.

Flowchart (Gambar 1) di bawah ini memberikan gambaran

mekanisme bekerjanya proses pengambilan keputusan dalam

sistem jaring pengaman ketika Kondisi Tidak Normal.

Gambar 1

Berdasarkan flowchart di atas terlehat bahwa tindakan

mengatasi permasalahan Bank SIB dilakukan secara cermat dan

hati-hati (prudent). OJK sebagai otoritas pengawas perbankan,

dalam melaksanakan tugasnya harus mampu melakukan

identifikasi Bank yang dikategorikan sebagai Bank SIB yang

41

dilakukan dengan berkoordinasi dengan BI. Bank SIB, sesuai

karakteristiknya, dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau

keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan. Kegagalan

tersebut dapat terjadi, baik secara operasional maupun finansial.

Dengan mempertimbangkan potensi risiko tersebut, maka Bank

tersebut diwajibkan untuk membuat rencana pemulihan sebagai

tindakan siaga apabila Bank tersebut mengalami permasalahan

keuangan di masa mendatang.

Penyusunan rencana dimaksud merupakan upaya untuk

mencegah eskalasi permasalahan individu Bank SIB tersebut pada

sistem perbankan dan sistem keuangan secara lebih luas.

Penyusunan rencana pemulihan oleh Bank SIB tersebut

merupakan bentuk komitmen awal Bank SIB untuk

menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya,

rencana pemulihan tersebut harus mendapatkan persetujuan OJK

sebagai otoritas pengawas perbankan.

Apabila Bank SIB yang bersangkutan belum mempunyai

rencana pemulihan, maka Bank tersebut harus menerapkan

langkah-langkah penyehatan yang telah ditetapkan OJK

berdasarkan penilaian yang dilakukan OJK terhadap kondisi Bank

tersebut. Memperhatikan bahwa UU OJK memberikan

kewenangan kepada OJK untuk menetapkan peraturan

pelaksanaan dari undang-undang di bidang jasa keuangan,

pengaturan lebih lanjut mengenai rencana pemulihan

permasalahan keuangan Bank SIB diatur dalam Peraturan OJK.

Salah satu permasalahan keuangan perbankan adalah

kesulitan likuiditas, yang perlu diatur dengan jelas mekanisme

penanganan kesulitan tersebut sebagaimana flowchart (Gambar 2)

di bawah ini:

42

Gambar 2

Pada praktiknya, apabila Bank mengalami kekurangan

likuiditas, Bank dapat mencari sumber dana lain dari Pasar Uang

Antar Bank (PUAB). Namun demikian, terdapat kemungkinan

bahwa kondisi likuiditas di pasar uang sedang ketat atau Bank

dilanda penarikan dana besar-besaran (Bank run) sehingga tidak

mampu memperoleh dana untuk mengatasi kesulitan

likuiditasnya. Dalam kondisi demikian, Bank sentral sebagai LoLR

dapat memberikan pinjaman kepada Bank untuk mengatasi

kesulitan keuangan tersebut. Pinjaman tersebut diberikan setelah

penanganan mandiri yang dilakukan Bank dimaksud, dengan

dibantu oleh OJK sesuai kewenangannya, belum dapat

menyelesaikan permasalahan likuiditas.

BI, sesuai ketentuan dalam UU No. 23 tahun 1999 yang

telah diubah beberapa kali (terakhir dengan UU No. 6 tahun

2009), mempunyai dua fasilitas pembiayaan untuk mengatasi

43

kesulitan likuiditas perbankan, yaitu Fasilitas Pendanaan Jangka

Pendek (FPJP) dan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD). Kedua

fasilitas tersebut menegaskan peran Bank Indonesia sebagai

Lender of The Last Resort (LoLR) dan untuk menjaga Stabilitas

Sistem Keuangan.

FPJP dapat diakses oleh semua Bank yang mengalami

permasalahan likuiditas tetapi masih solven. Dalam hal ini, FPJP

diberikan oleh BI berdasarkan informasi dan rekomendasi dari

OJK, sebagai otoritas pengawas perbankan, atas kondisi Bank

yang mengajukan FPJP tersebut. Ketentuan mengenai FPJP saat

ini diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

14/16/PBI/2012. Pengaturan lebih lengkap di dalam PBI tersebut

memberikan keleluasaan pada BI untuk dapat melakukan

penyesuaian terhadap kondisi yang terjadi secara lebih cepat.

Selain pinjaman likuiditas jangka pendek, fasilitas

pembiayaan lain yang dikenal di Indonesia untuk mengatasi

kesulitas likuiditas Bank adalah FPD. Berdasarkan

karakteristiknya, FPD memiliki kesamaan dengan Emergency

Liquidity Assistance (ELA), dimana ELA merupakan fungsi dari

Bank sentral dan merupakan instrumen LoLR.10 FPD merupakan

pinjaman likuiditas dari BI kepada Bank SIB yang mengalami

kesulitan likuiditas, namun masih memenuhi tingkat solvabilitas

sementara pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek

diperkirakan tidak dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas

dimaksud.

Konsep fasilitas LoLR sendiri pertama kali dikemukakan

oleh Henry Thornton pada awal abad ke-19 dengan

menghubungkan prinsip-prinsip dasar praktek Bank sentral yang

10M Manna, “Emergency Liquidity Assistance at Work: Both Words and Deeds

Matter” Studi e Note di Economia Anno XIV No. 2-2009, 2009, hlm. 155-186.

44

baik dengan pemberian pinjaman darurat11. Kemudian Walter

Bagehot yang dikenal sebagai peletak teori LoLR modern

menyebutkan bahwa FPD digunakan untuk mengatasi risiko

sistemik.12 Selain itu, Bagehot mengemukakan tiga prinsip

pemberian LoLR yakni:

a. pemberian pinjaman harus didukung dengan agunan

yang memadai dan diberikan hanya untuk Bank yang

solven;

b. pemberian pinjaman dengan suku bunga penalti; dan

c. pengumuman kesediaan untuk meminjamkan tanpa

batas dari Bank sentral dimana hal ini penting untuk

meyakinkan kredibilitas Bank sentral.

Pengalaman historis menunjukkan bahwa fungsi LoLR yang

efektif dapat mencegah panik pada berbagai kejadian.13 Sejalan

dengan itu, Mishkin berargumen bahwa Bank sentral dapat

mendorong pemulihan krisis keuangan dengan memberikan

pinjaman dalam rangka menjalankan perannya sebagai LoLR.14

Selain itu, terdapat banyak contoh sukses praktik LoLR di negara-

negara maju.

Berdasarkan standar praktik terbaik di dunia internasional,

pendekatan LoLR dapat dilakukan melalui dua metode utama

yaitu metode yang menganut ambiguitas konstruktif dan metode

yang menganut transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan

pengalaman Indonesia dalam melakukan penanganan

permasalahan Bank, faktor utama yang menjadi perhatian baik

11H Thornton, An Enquiry into the Nature and Effects of the Paper Credit of Great

Britain, Augustus M. Kelley, Fairfiled, 1802. 12W Bagehot, Lombard Street: A Description of the Money Market, H.S. King,

London, 1873. 13M Bordo, "The Lender of Last Resort: Alternative Views and Historical Experience", Economics Review 76 (1), 1990, hlm. 18–29. 14Frederic S Mishkin, “The International Lender of Last Resort: What Are The Issues?”

NBER Working Paper, IMF, 2000.

45

dari sisi penanganan permasalahan Bank itu sendiri, maupun dari

sisi hukum dan politik adalah transparansi dan akuntabilitas

tindakan penanganan permasalahan Bank tersebut oleh

lembaga/otoritas yang berwenang. Dengan mempertimbangkan

hal tersebut, konsep penanganan permasalahan Bank, dalam hal

ini pemberian FPD, harus mencerminkan suatu proses

penanganan yang transparan dan akuntabel. Dong He berargumen

bahwa meskipun terdapat alasan yang tepat untuk menjaga

ambiguitas atas kriteria (constructive ambiguity) dalam pemberian

bantuan likuiditas, namun dengan prosedur yang tepat, kejelasan

akuntabilitas dan kewenangan serta aturan keterbukaan akan

meningkatkan stabilitas keuangan, mengurangi moral hazard, dan

melindungi LoLR dari pengaruh politik yang tinggi.15 Dengan

pemikiran serupa, Nakaso mengemukakan bahwa pendekatan

LoLR di Jepang telah beralih dari ambiguitas konstruktif

(constructive ambiguity) ke arah kebijakan transparansi dan

akuntabilitas.16

Dalam UU BI, BI dapat memberikan FPD kepada Bank yang

berdampak sistemik dengan pembiayaan dari APBN. Dalam UU

JPSK, fasilitas pembiayaan darurat ini diubah menjadi PLK yang

diberikan oleh BI dengan jaminan dari Pemerintah. Fasilitas

tersebut hanya akan diberikan kepada Bank SIB yang telah

ditetapkan di awal oleh OJK setelah berkoordinasi dengan BI dan

disampaikan secara berkala dalam rapat KSSK. Daftar Bank SIB

ditetapkan di awal tanpa menunggu terjadinya Kondisi Tidak

Normal (predetermined). Hal tersebut akan memberikan keyakinan

kepada KSSK dalam memutuskan pemberian PLK dan kepada BI

15Dong He, “Emergency Liquidity Support Facilities” IMF Working Paper No.WP/00/79,

IMF, 2000. 16H Nakaso, “The Financial Crisis in Japan During the 1990s: How the Bank of Japan Responded and the Lessons Learnt” BIS Papers No. 6, BIS, 2001.

46

sebagai otoritas yang memberikan dana PLK mengingat BI terlibat

di dalam proses penyusunan daftar Bank SIB dalam konteks

koordinasi dengan OJK.

Pada saat ini, ketentuan dan tata cara pengambilan

keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank, pemberian FPD,

dan sumber pendanaan yang berasal dari APBN diatur dalam Nota

Kesepakatan antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal

17 Maret 2005. Selanjutnya, mekanisme pemberian FPD tersebut

telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor

136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang FPD dan

PBI Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Berdasarkan

ketentuan di dalam peraturan tersebut, pada prinsipnya BI

bertanggung jawab untuk menganalisis risiko sistemik yang dapat

mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan sementara keputusan

atas pemberian FPD diambil bersama antara BI dan Kemenkeu.

Pemberian FPD dimaksud dilakukan dengan ketentuan yang jelas

dan transparan, persyaratan yang selektif – hanya untuk Bank

yang masih solven dan adanya agunan – serta berdasarkan

keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI. Namun

demikian, mekanisme tersebut kurang sesuai lagi saat ini,

mengingat fungsi pengawasan perbankan telah dilimpahkan dari

BI ke OJK.

Pada dasarnya, PLK bisa diberikan dalam kondisi normal

dan Kondisi Tidak Normal. Dalam kondisi normal, PLK harus

didasarkan pada suatu aturan yang jelas sehingga dapat

mengurangi kemungkinan terjadinya krisis (self-fulfilling crises),

dan memberikan insentif tumbuhnya disiplin pasar. Hal itu juga

dapat mengurangi campur tangan politik dan mencegah bias yang

mengarah pada pelonggaran aturan (forbearance). Fasilitas LoLR

pada kondisi normal hanya dapat diberikan kepada Bank yang

47

solven dengan agunan yang memadai dan memenuhi syarat.

Dalam Kondisi Tidak Normal, PLK harus menjadi bagian yang

terintegrasi dari suatu strategi manajemen penanganan

permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang komprehensif dan

dirumuskan secara baik.

Walaupun kerangka yang digunakan antara satu negara

dengan negara lain berbeda, terdapat suatu konsensus umum

mengenai pertimbangan utama dalam pemberian FPD pada

kondisi normal dan Kondisi Tidak Normal. Dong He membahas

tentang aspek pemberian FPD kepada satu institusi yang tidak

sehat dan teknis pertimbangan pemberian FPD pada kondisi

normal maupun tidak normal.17 Pertimbangan utama dalam

pemberian FPD antara lain sebagai berikut:

1. Adanya prosedur, kewenangan, dan akuntabilitas yang jelas.

2. Kerja sama yang erat dan pertukaran informasi antara Bank

sentral, otoritas pengawas perbankan (jika terpisah dari Bank

sentral), otoritas penjamin simpanan (jika ada) dan

kementerian keuangan.

3. Keputusan pemberian pinjaman kepada lembaga yang

berkategori SIB dan berisiko insolvensi dengan/atau tanpa

agunan yang memadai harus diambil secara bersama-sama

antara otoritas moneter, pengawas perbankan, dan fiskal.

4. Pinjaman kepada Bank di luar kategori SIB, jika ada, hanya

diberikan kepada Bank yang benar-benar solven dengan

penyertaan agunan yang memadai dan memenuhi syarat.

5. Pemberian pinjaman secara cepat.

6. Pinjaman dalam bentuk mata uang domestik.

7. Pinjaman dengan suku bunga di atas suku bunga rata-rata

pasar.

17Loc.cit, lihat 14.

48

8. Menjaga stabilitas moneter yang efektif.

9. Bank-bank peminjam harus diperiksa dan diawasi secara ketat

dan dibatasi aktivitasnya.

10. Pinjaman hanya untuk jangka pendek, sebaiknya tidak

melebihi tiga hingga enam bulan.

11. Prosedur penyelesaian permasalahan (exit strategy)

ditetapkan dengan jelas.

Kebijakan PLK yang transparan akan berfungsi sebagai

salah satu alat manajemen krisis yang efektif dan dapat

mengurangi moral hazard serta mendorong disiplin pasar yang

pada akhirnya akan mendorong terciptanya SSK. Proses

pemberian PLK harus diawali dengan permintaan untuk

memperoleh PLK dari Bank SIB yang kesulitan likuiditas namun

masih solven kepada BI. Berdasarkan pengajuan tersebut, BI

kemudian meminta persetujuan KSSK. Persetujuan KSSK tersebut

diperlukan karena dampak pemberian PLK akan melibatkan

masing-masing institusi anggota KSSK. Selain itu, KSSK juga

mempunyai tugas untuk menetapkan langkah-langkah

penanganan permasalahan Bank dimana pemberian PLK

termasuk didalamnya. Persetujuan KSSK akan diberikan apabila

berdasarkan informasi dan rekomendasi dari OJK sebagai otoritas

pengawas perbankan, Bank SIB yang mengajukan PLK tersebut

masih memenuhi ketentuan mengenai solvabilitas, permodalan,

dan tingkat kesehatan Bank, serta kemampuan untuk

mengembalikan PLK. Untuk memberikan kepastian pengembalian

dana PLK kepada BI sehingga tidak akan mengurangi modal BI,

Pemerintah memberikan jaminan atas pemberian PLK tersebut.

Sebagai konsekuensinya, apabila Bank SIB tidak mampu melunasi

PLK sesuai perjanjian, maka Pemerintah akan melunasi

kekurangannya.

49

Pengaturan lebih lanjut tentang persyaratan dan tata cara

pemberian PLK serta pemberian jaminan Pemerintah akan

diputuskan oleh KSSK untuk diatur dengan peraturan perundang-

undangan sesuai dengan kewenangan Pemerintah, BI, dan OJK.

Hal ini diatur selain untuk mengurangi moral hazard, juga untuk

memberikan keleluasaan kepada masing-masing institusi sesuai

dengan kebutuhan KSSK serta dapat disesuaikan dengan kondisi

yang terjadi.

Pada proses mendapatkan PLK tersebut, Bank SIB harus

menyusun rencana pembayaran agar dapat melunasi PLK pada

saat jatuh tempo. Bank SIB penerima PLK diharapkan untuk

segera melunasi dana pembiayaan tersebut karena biaya bunga

PLK yang lebih tinggi dari suku bunga pasar akan semakin

membebani Bank SIB apabila tidak segera dilunasi. Di samping

itu, Bank SIB yang belum melunasi PLK tersebut dilarang untuk

melakukan aktivitas-aktivitas keuangan yang dapat menambah

beban keuangan. Transaksi tersebut meliputi transaksi dengan

pihak terafiliasi, pembagian dividen, dan pemberian manfaat-

manfaat keuangan yang akan mengurangi kemampuan

permodalan Bank. Sebagaimana diketahui, permasalahan pada

Bank SIB akan mempengaruhi SSK. Oleh karena itu, pelarangan

terhadap aktivitas yang dapat mengurangi modal Bank SIB

diharapkan dapat mempercepat proses pemulihan Bank SIB yang

bermasalah sehingga SSK dapat tetap terjaga.

Penegakan terhadap pelarangan aktivitas-aktivitas

keuangan tersebut di atas dan penerapan rencana pembayaran

dilakukan oleh OJK sebagai otoritas pengawas perbankan. Dalam

pelaksanaannya, OJK dapat menempatkan pengawas pada Bank

SIB penerima PLK sehingga pengawasan dapat dilakukan secara

lebih intensif. Disamping itu, penempatan pengawas dapat

50

mencegah Bank untuk melakukan aktivitas keuangan yang

dilarang. Pengawasan tersebut dilakukan oleh OJK dengan

berkoordinasi dengan BI.

Permasalahan yang dihadapi oleh Bank tidak hanya

mengenai likuditas tetapi juga mengenai solvabilitas. Apabila OJK

mengidentifikasi suatu Bank SIB mengalami permasalahan

solvabilitas, maka OJK harus melakukan penanganan

permasalahan tersebut berdasarkan kewenangannya, termasuk

melaksanakan rencana penyehatan (recovery plan) yang harus

dimiliki oleh Bank SIB. Bersamaan dengan itu, OJK perlu

memberitahukan kepada LPS mengenai hal tersebut dalam rangka

memberikan ruang gerak kepada LPS untuk menyiapkan langkah-

langkah penanganannya.

Untuk mengakomodasi ketentuan yang mengatur

keterlibatan LPS di dalam penanganan permasalahan solvabilitas

Bank, konsep pengaturan di dalam UU JPSK akan memperluas

tugas dan wewenang LPS dalam rangka penanganan

permasalahan solvabilitas Bank SIB. Sebagaimana diketahui,

berdasarkan UU LPS, otoritas hanya dapat mulai melakukan

langkah-langkah penanganan Bank setelah Bank tersebut

dinyatakan sebagai Bank gagal. Oleh karena itu, pengaturan

dalam UU JPSK ini akan memperluas tugas dan wewenang LPS

dalam rangka penanganan Bank SIB sebelum Bank tersebut

dinyatakan sebagai Bank gagal.

Apabila kondisi Bank SIB yang mengalami permasalahan

solvabilitas semakin memburuk sehingga menyebabkan Bank SIB

tersebut ditetapkan sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus

(BDPK), OJK mempunyai opsi untuk menunjuk pihak tertentu

sebagai pengelola statuter. Selain itu, OJK juga dapat melibatkan

LPS untuk melakukan pengalihan sebagian atau seluruh aset

51

dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank atau pihak lain, atau

yang dikenal sebagai transaksi purchase and assumption (P&A).

Apabila OJK tidak berhasil menangani permasalahan Bank

SIB tersebut sesuai kewenangannya, maka OJK akan meneruskan

penanganan Bank SIB tersebut kepada KSSK melalui usulan

penyelenggaraan rapat KSSK untuk membahas permasalahan

tersebut. Dalam rapat KSSK, akan diputuskan langkah-langkah

penanganan Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas

yang antara lain dilakukan dengan menyerahkan Bank SIB

tersebut kepada LPS. Penyerahan Bank SIB oleh KSKK akan

memberikan kepastian hukum bagi LPS dalam melakukan

penanganan Bank SIB bermasalah. Hal ini melengkapi pengaturan

dalam Pasal 21 UU No. 24 Tahun 2004. Selain penyerahan Bank

SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas kepada LPS, KSSK

juga menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh

anggota KSSK yang lain sesuai kewenangan masing-masing.

LPS sebagai otoritas resolusi, perlu mengembangkan alat

resolusi untuk menangani permasalahan Bank SIB dengan efisien,

dapat diandalkan, dan credible.18 Strategi resolusi yang baik harus

dapat meminimalisir penggunaan dana LPS dan kerugian pihak

lain (stakeholder), namun tetap dapat mempertahankan

kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan, khususnya

perbankan. Di dalam UU No. 24 Tahun 2004, LPS memiliki metode

resolusi berupa penyertaan modal sementara (PMS) atau open

bank assistance. PMS dapat memperbaiki permasalahan

solvabilitas Bank dan mempertahankan kepercayaan nasabah

terhadap sistem keuangan19. Namun demikian, belajar dari

18“General Guidance for Resolutionof Bank Failures” by the International Association of

Deposit Insurers (IADI – 2005). Bank for International Settlements, Switzerland, 2005. 19 Robert Solow, On the Lender of Last Resort in C. P. Kindleberger and J. P. Laffargue

(eds.), Financial Crisis: Theory, History, and Policy, Cambridge University Press, Cambridge, 1982

52

berbagai pengalaman Bank bermasalah di negara-negara lain,

metode PMS dirasakan kurang efektif dalam menangani Bank

bermasalah karena tidak menyelesaikan akar permasalahan yang

sebenarnya20. Selain itu, konsekuensi penggunaan metode ini

dapat menimbulkan permasalahan moral hazard karena dapat

memotivasi pelaku perbankan lain untuk melakukan kegiatan

yang lebih berisiko,21 menggerus dana LPS lebih cepat dalam

periode yang singkat22, dan mengurangi market discipline karena

melindungi depositor dan kreditor yang tidak masuk dalam skema

perlindungan LPS23. Untuk itu, perlu adanya metode resolusi lain

yang lebih efektif serta dapat disesuaikan dengan kondisi sistem

keuangan dan kondisi Bank secara lebih khusus.

Saat ini, otoritas resolusi di berbagai negara di dunia

memiliki pilihan metode-metode resolusi, seperti Federal Deposit

Insurance Corporation (Amerika Serikat), Deposit Insurance

Corporation of Japan (Jepang), dan Korea Deposit Insurance

Corporation (Korea). Secara umum, metode resolusi yang dimiliki

oleh otoritas resolusi di negara tersebut mencakup pengalihan

sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank bermasalah

kepada Bank lain (P&A), pengalihan aset dan/atau kewajiban

Bank bermasalah kepada entitas perantara (bridge bank), serta

penyertaan modal sementara (open bank assistance). Ketersediaan

pilihan metode resolusi yang lebih banyak ini juga telah sesuai

dengan Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial

Institutions yang dikeluarkan oleh FSB.

20J Bolzico, Y Mascaro and P Granata, “Practical Guidelines for Effective Bank Resolution” World Bank Policy Research Working Paper no. 4389, World Bank, 2007. 21Ibid. 22Robert Solow, Op.Cit., 52 23“Chapter 5 - Open Bank Assistance Transactions” FDIC Resolutions Handbook, FDIC.

53

Pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Gagal kepada Bank atau pihak lain

Transaksi pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau

kewajiban Bank kepada Bank atau pihak lain, atau yang dikenal

dengan metode P&A, merupakan metode resolusi Bank yang paling

umum. Berdasarkan survei International Association of Deposit

Insurers (IADI) tahun 2012 terhadap 91 otoritas resolusi di seluruh

dunia, sebanyak 53 otoritas resolusi telah memiliki kewenangan

untuk melakukan transaksi P&A. Dalam suatu transaksi P&A,

Bank atau pihak lain membeli (purchase) sebagian atau seluruh

aset Bank bermasalah dan mengasumsikan (assume) sebagian

atau seluruh kewajiban Bank bermasalah, termasuk simpanan

yang dijamin.

Transaksi P&A pada umumnya menawarkan biaya yang

lebih rendah dan lebih efisien dalam penyelesaian Bank

bermasalah dibandingkan dengan proses likuidasi. Penerapan

metode ini tidak merugikan nasabah karena pelayanan terhadap

nasabah Bank bermasalah tersebut tidak terganggu24. Dengan

membeli aset dan/atau kewajiban dari Bank SIB yang mengalami

permasalahan solvabilitas, Bank dapat meningkatkan pangsa

pasar dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan

merger atau akuisisi. Sementara itu, aset dan/atau kewajiban

yang tidak dapat dialihkan kepada Bank sehat akan tetap berada

dalam Bank SIB tersebut di bawah penanganan LPS. Dengan

demikian, Bank SIB tersebut telah berkurang dampak sistemiknya

sehingga penanganannya diperkirakan akan lebih mudah.

Namun, keberhasilan transaksi P&A juga bergantung pada

ada atau tidaknya Bank atau pihak lain yang mau membeli aset

dan/atau kewajiban Bank SIB yang mengalami permasalahan23.

24Claire L McGuire, Simple Tools to Assist in the Resolution of Troubled Banks, World

Bank, Washington, DC, 2012.

54

Salah satu kemungkinan terburuk adalah LPS tidak dapat

menemukan Bank sehat yang bersedia membeli aset dan/atau

kewajiban Bank SIB dimaksud. Untuk itu, perlu diatur ketentuan

tentang batas waktu maksimal untuk melakukan transaksi P&A

dan tindak lanjut dalam hal transaksi P&A tidak dapat dilakukan,

termasuk perlu tidaknya penambahan modal untuk menarik

minat calon pembeli.

Pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Gagal kepada entitas perantara

Apabila struktur Bank SIB yang mengalami permasalahan

solvabilitas terlalu kompleks dan/atau terdapat beberapa Bank

SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas pada waktu

bersamaan, implementasi transaksi P&A akan membutuhkan

waktu yang lebih lama. Salah satu solusinya adalah LPS dapat

melakukan pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau

kewajiban Bank SIB tersebut kepada sebuah entitas perantara.

Metode ini dikenal dengan istilah bridge bank, yang merupakan

salah satu variasi dari transaksi P&A.25 Pada tahun 2012,

pendekatan ini sudah diterapkan oleh 39 negara, antara lain

Australia, Brasil, Kanada, Jerman, Jepang, Meksiko, Swiss,

Inggris, dan Amerika Serikat. Bahkan di Inggris, otoritas resolusi

juga memiliki perluasan wewenang hingga pengalihan saham

Bank bermasalah26.

Bridge bank adalah bentuk kepemilikan sementara Bank SIB

yang mengalami permasalahan solvabilitas oleh LPS untuk

dilakukan restrukturisasi dan selanjutnya dijual kepada Bank

25J Bolzico, Y Mascaro and P Granata, Loc.cit. 26Resolution Policies and Frameworks – Progress so Far”, Basel Committee on Banking

Supervision, 2011.

55

atau pihak lain yang sehat.27 Melalui metode bridge bank, LPS

membentuk Bank Perantara untuk menjembatani pengalihan aset

dan/atau kewajiban Bank SIB tersebut kepada Bank lain yang

sehat.

Bank Perantara digunakan sebagai sarana resolusi dengan

menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau

kewajiban Bank SIB yang ditangani LPS. Bank Perantara tersebut

menjalankan kegiatan usaha perbankan sebagaimana pada

umumnya dan selanjutnya akan dialihkan kepada pihak lain.

Metode bridge bank dapat digunakan untuk menyelamatkan

Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas yang dinilai

masih mempunyai nilai jual dan peluang untuk disehatkan.

Melalui pembentukan Bank Perantara yang berbadan hukum

perseroan terbatas, LPS dapat bergerak lebih cepat untuk

mempertahankan nilai Bank SIB yang mengalami permasalahan

solvabilitas sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian.

Dalam rangka penanganan Bank SIB yang mengalami

permasalahan dibutuhkan penanganan yang cepat dan tepat.

Dalam pendirian bridge bank oleh LPS, tidak berlaku ketentuan

yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang

atau lebih sebagaimana diatur dalam UU PT. Dalam rangka

menangani Bank SIB yang bermasalah secara cepat dan menjaga

pelayanan kepada nasabah dari Bank yang diselamatkan agar

tidak terganggu, dibutuhkan penyesuaian perizinan Bank gagal.

Dalam hal ini, perizinan Bank Perantara yang diberikan oleh OJK

dapat disesuaikan menjadi 2 (dua) tahap sesuai dengan

kebutuhan operasional Bank Perantara.

27 Glenn Hoggarth, Jack Reidhill, and Peter J. N Sinclair, “On the Resolution of Banking Crises: Theory and Evidence” Bank of England Working Paper No. 229, Bank of England, 2004.

56

Untuk tahap pertama, OJK perlu memberikan persetujuan

prinsip kepada Bank Perantara untuk dapat melakukan persiapan

pendirian Bank. Sebelum mendapatkan persetujuan prinsip

tersebut, Bank Perantara harus memiliki anggaran dasar yang

paling tidak memuat kegiatan usaha sebagai Bank, modal disetor

yang memenuhi UU PT, struktur organisasi, manajemen risiko,

pedoman terkait tata kelola perusahaan yang baik, dan laporan

keuangan bulanan.

Tahap kedua adalah memberikan izin usaha Bank setelah

persiapan pendirian Bank selesai dilakukan oleh Bank Perantara.

Pada tahapan ini, Bank Perantara harus memenuhi kewajiban

penyediaan modal minimum untuk Bank umum, telah memiliki

susunan direksi dan dewan komisaris, serta rencana bisnis terkait

mekanisme pengalihan baik terkait sumber daya manusia

maupun infrastruktur Bank Perantara. Dalam penetapan direksi

dan dewan komisaris, uji kemampuan dan kepatutan dilakukan

oleh OJK berdasarkan ketentuan uji kemampuan dan kepatutan

bagi Bank dalam penanganan LPS.

Di dalam proses ini tidak diberikan pembatasan waktu.

Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Bank Perantara akan

hidup sampai batas waktu yang tidak ditentukan melainkan

dengan semangat optimis diharapkan dapat sesegara mungkin

dibeli oleh calon pembeli. Pada praktik di beberapa negara, jangka

waktu pengalihan aset dan/atau kewajiban tersebut dapat lebih

atau kurang dari dua tahun. Sebagai contoh, di Kanada masa

pendirian bridge bank maksimum selama dua tahun dengan opsi

perpanjangan waktu satu tahun sebanyak tiga kali. Sedangkan di

Meksiko, bridge bank dapat beroperasi selama enam bulan dengan

masa perpanjangan enam bulan lagi sebanyak satu kali. Menurut

The European Comission operasional bridge bank sebaiknya

57

dibatasi selama satu tahun dengan opsi perpanjangan satu

tahun28. Apabila hanya sebagian aset dan/atau kewajiban pada

Bank Perantara yang berhasil dijual kepada Bank lain yang sehat,

maka penanganan sisa aset dan/atau kewajiban yang tidak laku

akan menjadi wewenang LPS.

Karakteristik bridge bank memungkinkan pihak otoritas

untuk bekerja mempersiapkan pengalihan aset dan/atau

kewajiban. sementara kegiatan operasional layanan perbankan

masih dapat berjalan. Karakteristik seperti ini memberikan

keuntungan tersendiri bagi LPS untuk mempertahankan nilai jual

Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas tersebut. Di

sisi lain, metode ini membutuhkan usaha yang lebih dari pihak

LPS untuk memastikan proses metode ini berjalan lancar. Bridge

bank juga mungkin membutuhkan dukungan likuiditas dari pihak

otoritas terkait. Selain itu, potensi kerugian juga masih bisa terjadi

antara lain jika terdapat kesalahan perhitungan nilai jual yang

ternyata lebih kecil dari biaya operasional bridge bank dan tidak

adanya calon pembeli yang berminat dengan bridge bank

tersebut.29

Dalam melakukan transaksi pengalihan aset dan/atau

kewajiban Bank bermasalah kepada Bank atau pihak lain,

terdapat kemungkinan adanya selisih antara aset dan/atau

kewajiban tersebut. Apabila hal ini terjadi, LPS harus memiliki

kewenangan untuk melakukan pembayaran kepada pihak lain

untuk menutup selisih nilai tersebut sehingga pihak lain tersebut

bersedia menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban tersebut.

Selain itu, LPS juga berwenang untuk mengalihkan sebagian atau

seluruh aset dan/atau kewajiban Bank tanpa persetujuan

kreditur, debitur, dan RUPS Bank. Apabila setelah jangka waktu 28Loc.cit, lihat 24. 29Loc.cit, lihat 22.

58

yang ditentukan LPS tidak berhasil menjual Bank Perantara

secara keseluruhan, LPS akan melakukan metode P&A terhadap

Bank Perantara tersebut.

Keberhasilan metode bridge bank tidak hanya tergantung

pada kerangka hukum dan kerangka kerja yang kuat, namun juga

tergantung pada ketersediaan dana untuk mendukung operasional

Bank Perantara sebagai Bank. Karena Bank Perantara tersebut

dapat menerima simpanan dan memberikan pinjaman, Bank

Perantara ini tetap tunduk kepada perundang-undangan tentang

perbankan namun diberikan pengaturan tertentu mengenai

persyaratan dan tata cara pendirian, permodalan, perizinan dan

pengangkatan anggota direksi dan komisaris yang diangkat untuk

pertama kalinya.

Dalam proses pembentukan Bank Perantara tersebut,

terdapat kemungkinan bahwa LPS akan menghadapi kesulitan

dalam mencari partner kepemilikan saham atas Bank Perantara

tersebut. Sementara itu, proses pembentukannya harus dilakukan

dalam waktu sesingkat mungkin untuk menghindari kemungkinan

adanya potensi bank run.

Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa persyaratan

pendirian perseroan adalah oleh dua orang atau lebih. Sehingga,

melalui UU JPSK perlu diberikan pengecualian bagi LPS terkait

persyaratan pendirian perseroan agar proses pendirian Bank

Perantara tersebut dapat dilakukan dengan segera. Di samping

itu, BI juga dapat menetapkan pengaturan tertentu bagi Bank

Perantara terkait dengan kebijakan moneter, makroprudensial,

dan sistem pembayaran. Pengaturan tertentu bagi Bank Perantara

tersebut diberikan karena adanya keterbatasan waktu yang

dimiliki oleh LPS dalam melakukan penanganan Bank.

59

Apabila dalam penanganan permasalahan Bank SIB, LPS

mengalami kesulitan likuiditas dan/atau modal LPS kurang dari

modal awal yang LPS yang ditetapkan Pemerintah, maka LPS

dapat menjual SBN yang dimilikinya dan/atau memperoleh

pinjaman dari pihak lain. Dalam rangka penanganan

permasalahan Bank SIB, maka dengan persetujuan KSSK, LPS

dapat menjual SBN yang dimiliki kepada BI berdasarkan harga

pasar.

Di dalam konsep pengaturan UU JPSK, Pemerintah dapat

memberikan jaminan atas pinjaman yang diperoleh oleh LPS.

Lebih lanjut, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada

LPS. Ketentuan tersebut disusun untuk memberikan keyakinan

kepada LPS dalam melakukan langkah-langkah penanganan

permasalahan Bank sekaligus untuk menjaga kepercayaan publik

terhadap LPS. Namun demikian, berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan, terdapat tumpang tindih

ketentuan mengenai pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada

LPS. Di satu sisi pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS telah

diatur dalam Pasal 85 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS

menyatakan “Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (1), Pemerintah

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup

kekurangan tersebut” dan Ayat (2) yang menyatakan “Dalam hal

LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh

pinjaman dari Pemerintah”. Selain itu, Pasal 30 Ayat (1) UU No. 27

Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015 berbunyi

“Pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),

dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas.”

Di sisi lain, dalam UU yang mengatur mengenai keuangan

negara dan perbendaharaan negara, pemberian pinjaman dari

60

Pemerintah hanya dapat diberikan kepada pihak-pihak tertentu

yang telah ditetapkan di dalam kedua UU tersebut. Pasal 22 Ayat

(2) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara berbunyi

“Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah

kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya”. Selain itu, Pasal 33

Ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

berbunyi “Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau

hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik

Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang

tercantum/ditetapkan dalam UU tentang APBN.”.

Pada dasarnya, ketentuan dalam UU tentang APBN

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dapat menjadi landasan

hukum bagi Pemerintah untuk memberikan pinjaman kepada LPS.

Namun, hal tersebut hanya berlaku pada tahun anggaran berjalan

sesuai dengan masa berlaku UU tersebut, yaitu 1 (satu) periode

anggaran atau 1 (satu) tahun. Oleh karena itu, risiko tidak

dituangkannya ketentuan tersebut pada UU tentang APBN di masa

mendatang sangat terbuka.

Ketiadaan pengaturan tersebut dapat menimbulkan

ketidakjelasan landasan hukum untuk pemberian pinjaman oleh

Pemerintah kepada LPS sehingga dapat menimbulkan keragu-

raguan, baik pada lembaga/otoritas maupun KSSK, dalam

mengambil keputusan. Lebih lanjut, kondisi tersebut dapat

menimbulkan permasalahan hukum di masa yang akan datang

apabila dilakukan pemberian Pinjaman oleh Pemerintah kepada

LPS tanpa landasan hukum yang jelas. Oleh karena itu, di dalam

UU JPSK perlu diatur ketentuan bahwa pemberian pinjaman oleh

Pemerintah kepada LPS dikecualikan dari ketentuan dalam UU

No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun

61

2004 tentang Perbendaharaan Negara mengenai pihak yang dapat

diberikan pinjaman oleh Pemerintah.

Untuk menjalankan fungsi tata kelola yang baik, LPS

berkewajiban untuk melaporkan segala perkembangan aktivitas

penanganan permasalahan kepada KSSK, yang dimulai dari

aktivitas penyerahan penanganan permasalahan Bank SIB oleh

KSSK kepada LPS hingga selesainya proses penanganan

permasalahan tersebut. Fungsi pelaporan tersebut dimaksudkan

agar aktivitas penanganan permasalahan selalu dapat terkoordinir

dengan baik dan tidak menimbulkan benturan-benturan

kepentingan dengan anggota KSSK.

Restrukturisasi perbankan dalam Kondisi Tidak Normal

Dalam Kondisi Tidak Normal, terdapat kemungkinan

terjadinya kegagalan sejumlah Bank dalam waktu yang bersamaan

yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Penanganan

bank-bank bermasalah tersebut memerlukan pendekatan khusus

yang mungkin berbeda dengan penanganan permasalahan Bank

dalam kondisi normal. Pasal 37A UU No. 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan mengatur upaya penyehatan industri perbankan.

Dalam upaya melaksanakan penyehatan industri perbankan,

apabila BI menilai bahwa permasalahan yang terjadi di industri

perbankan membahayakan perekonomian nasional, dapat

dibentuk suatu badan khusus. Atas permintaan BI, Pemerintah

setelah berkonsultasi dengan DPR, dapat membentuk badan

khusus yang bersifat sementara.

Pemerintah pernah membentuk badan khusus dalam

rangka melakukan upaya penyehatan perbankan setelah krisis

tahun 1998 yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

BPPN yang dibentuk berdasarkan Kepres No. 27 Tahun 1998

62

tentang Pembentukan BPPN, mempunyai tugas pokok untuk

melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan

termasuk restrukturisasi Bank yang dinyatakan tidak sehat oleh

BI. Karena kinerjanya yang dinilai kurang memuaskan, lembaga

ini dibubarkan pada tanggal 27 Februari 2004 berdasarkan Kepres

No. 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran

BPPN.

BPPN yang dibentuk Pemerintah pada tahun 1998 pada

dasarnya merupakan salah satu bentuk badan khusus

independen atau Asset Management Company (AMC). Badan

khusus independen ini merupakan entitas yang berfungsi untuk

memfasilitasi penyehatan Bank dan mengelola atau menghapus

aset bermasalah sehingga asetnya menarik bagi calon investor

baru. Penanganan perbankan setelah krisis melalui pembentukan

badan khusus independen telah banyak diimplementasikan di

berbagai negara seperti Amerika Serikat, Thailand, Swedia,

Tiongkok, dan Korea Selatan, meskipun diadopsi dengan strategi

yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak

dicapai dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi.

Terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan terkait

penanganan permasalahan Bank SIB dalam Kondisi Tidak Normal

oleh badan khusus yang independen, antara lain:

1. Badan khusus independen umumnya rentan terhadap tekanan

politik dari pihak tertentu. Menurut Klingebiel (2000), untuk

negara berkembang, bentuk badan khusus memberikan

lingkup intervensi politik yang cukup besar sehingga rentan

untuk mengalami kegagalan. Dari hasil penelitian yang

dilakukannya terkait berbagai badan khusus di beberapa

negara, perbandingannya hanya sepertiga yang bisa dikatakan

berhasil dalam penanganannya untuk menyehatkan Bank.

63

2. Jika aset yang dialihkan kepada badan khusus independen

tidak dikelola secara aktif, keberadaan badan khusus dapat

memicu terjadinya penurunan disiplin kredit dalam sistem

keuangan.

Belajar dari pengalaman pembentukan BPPN dan badan-

badan khusus independen di negara-negara lain, terdapat suatu

pendekatan untuk membentuk suatu badan khusus yang tidak

independen. Dalam UU tentang JPSK ini dibentuk suatu badan

khusus yaitu Badan Restrukturisasi Perbankan (BRP) sebagai

suatu badan hukum. Selanjutnya, dalam kondisi tertentu, KSSK

dapat sewaktu-waktu mengaktifkan serta menetapkan lama masa

tugas atas badan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan

kondisi tertentu adalah Kondisi Tidak Normal dimana KSSK

menilai terdapat permasalahan perbankan yang membahayakan

perekonomian nasional. Atas pengaktifan dan penyelenggaraan

BRP tersebut, KSSK harus melaporkannya kepada Presiden.

Penyelenggaraan dan penetapan kepengurusan atas badan

khusus ini dilakukan oleh KSSK sebagai trustee. Hal ini berbeda

dengan BPPN sebelumnya, dimana diharapkan pengelolaan badan

khusus oleh LPS dapat meminimalisasi tekanan politik dan

memberikan jaminan adanya good governance dalam pengelolaan

aset dan/atau kewajiban Bank SIB yang dialihkan. Anggaran BRP

bersumber dari APBN, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank-

bank yang ditangani, dan sumber lain sesuai dengan peraturan

perundangan.

Agar dapat menjalankan tugas restrukturisasi perbankan,

BRP ini diberi kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan

kewenangan LPS. Kewenangan badan restrukturisasi ini antara

lain sebagai berikut:

64

a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang

pemegang saham termasuk hak dan wewenang rapat umum

pemegang saham Bank atau organ lain yang setara;

b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang

direksi dan dewan komisaris Bank atau organ lain yang setara;

c. menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan

atas kekayaan milik atau yang menjadi hak Bank, termasuk

kekayaan Bank yang berada pada pihak manapun, baik di

dalam maupun di luar negeri;

d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau

mengubah kontrak yang mengikat Bank dengan pihak ketiga,

yang menurut pertimbangan Badan Restrukturisasi Perbankan

merugikan Bank;

e. menjual, melelang, atau mengalihkan kekayaan Bank di dalam

negeri maupun di luar negeri, baik secara langsung maupun

melalui penawaran umum;

f. menjual, melelang atau mengalihkan tagihan Bank dan/atau

menyerahkan pengelolaanya kepada pihak lain, tanpa

memerlukan persetujuan nasabah debitur;

g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan/atau manajemen

Bank kepada pihak lain;

h. melakukan penyertaan modal sementara pada Bank secara

langsung atau melalui konversi tagihan Badan Restrukturisasi

Perbankan terhadap Bank menjadi saham Bank;

i. melakukan penagihan piutang Bank yang sudah pasti dengan

penerbitan surat paksa;

j. melakukan pengosongan atas tanah dan/atau bangunan milik

atau yang menjadi hak Bank yang dikuasai oleh pihak lain,

baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak

hukum yang berwenang;

65

k. melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh

segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai Bank

dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan, dan

pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau

mengetahui kegiatan yang merugikan Bank dalam

penganganan Bank khusus tersebut;

l. menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami Bank

dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan dan

membebankan kerugian tersebut kepada modal Bank yang

bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena

kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan anggota dewan

komisaris atau organ yang setara, dan/atau pemegang saham,

maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang

bersangkutan;

m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh

pemegang saham Bank dalam penanganan Badan

Restrukturisasi Perbankan;

n. meminta data, informasi, dan dokumen dari Bank dalam

penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan dan dari pihak

lain;

o. membekukan aset milik pengurus Bank, pemegang saham

Bank, dan/atau pihak terafiliasinya yang terindikasi

melakukan tindakan yang merugikan Bank, baik yang berada

di dalam negeri maupun di luar negeri; dan

p. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang

pelaksanaan wewenang Badan Restrukturisasi Perbankan

sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf o.

Terkait dengan upaya penyelesaian permasalahan Bank, Key

Attributes (2014) memberikan pedoman bahwa alternatif

66

penyelesaian permasalahan Bank seharusnya tidak bergantung

kepada public ownership ataupun bail-out funds.30 Sejalan dengan

hal tersebut, menurut Beck, penyelesaian permasalahan Bank

melalui mekanisme pasar dinilai lebih tepat dibandingkan dengan

penyelesaian melalui dana publik31. Dengan demikian, alternatif

penyelesaian permasalahan Bank harus mengedepankan

penyelesaian melalui mekanisme pasar. Lebih lanjut, jika

diperlukan, lembaga/otoritas dapat menyediakan insentif sebagai

alternatif penyelesaian melalui mekanisme pasar tersebut. Hal ini

sejalan dengan hasil asesmen atas kondisi Indonesia dalam Peer

Review of Indonesia 2014 bahwa solusi penyelesaian

permasalahan seharusnya tidak mengandalkan dana publik dan

tidak pula memberikan pernyataan atau harapan bahwa dana

tersebut tersedia32. Hal ini dilakukan untuk menghindari motif

moral hazard bagi para pelaku industri perbankan.

Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dapat memberikan insentif

dan/atau fasilitas berupa fiskal maupun non fiskal kepada Bank

SIB yang dapat menyelesaikan permasalahannya melalui

mekanisme pasar. Insentif tersebut dapat diberikan antara lain

dalam bentuk kemudahan dalam pemberian izin menjadi Bank

devisa, kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan GWM

Rupiah, perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan

Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang timbul apabila

Bank melakukan merger atau konsolidasi, kemudahan dalam

pemberian izin pembukaan kantor cabang Bank, penggantian

30Loc.cit, lihat 4. 31T Beck, The Incentive Compatible Design of Deposit Insurance and Bank Failure Resolution-Concepts and Country Studies, 2003. 32“Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions, Key Attributes-Financial Stability Board 2014: Peer Review of Indonesia”, Financial

Stability Board, 2014.

67

sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence, atau insentif

perpajakan.

Sebagai contoh, Bank of Japan pernah memberikan insentif

berupa penghapusan non performing loan (NPL) perbankan. Oleh

karena itu, jika dipandang perlu dan dengan mempertimbangkan

kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang ada, maka

lembaga/otoritas dapat memberikan insentif tersebut. Sifat dan

jenis insentif akan ditentukan kemudian berdasarkan kebutuhan

dan kondisi Stabilitas Sistem Keuangan secara situasional.

Sumber pendanaan untuk penanganan Bank dapat berasal

dari kekayaan BI, kekayaan LPS, dan APBN. Dalam hal Bank SIB

mengalami kesulitan likuiditas namun masih memenuhi

ketentuan tingkat solvabilitas, Bank SIB dapat mengajukan

permohonan untuk mendapatkan fasilitas pinjaman likuiditas

jangka pendek dari BI. Apabila fasilitas tersebut belum dapat

menyelesaikan permasalahan likuiditas, Bank tersebut dapat

mengajukan permohonan kepada BI untuk memperoleh PLK.

Sumber pendanaan atas kedua fasilitas tersebut berasal dari

kekayaan BI.

Dalam proses penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau

penanganan permasalahan Bank SIB, BI bertindak sebagai

penyedia dana PLK mengingat BI memiliki sumber pendanaan

yang dapat segera dieksekusi selaku otoritas moneter yang juga

ikut berperan dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan. PLK

dimaksud hanya diberikan kepada Bank SIB yang mengalami

permasalahan. Hal ini dilakukan karena permasalahan pada Bank

tersebut dapat mengakibatkan gangguan atau kegagalan pada

sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa

keuangan, baik secara operasional maupun finansial.

68

Peran serta Pemerintah dalam proses pemberian PLK adalah

memberikan jaminan kepada BI atas pemberian PLK dimaksud.

Jaminan tersebut direalisasikan apabila Bank SIB tidak mampu

melunasi PLK. Jaminan Pemerintah tersebut dilakukan melalui

pembayaran kekurangan oleh Pemerintah kepada BI. Dalam hal

ini, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan bertindak

sebagai penjamin atas pemberian PLK dimaksud mengingat fungsi

Pemerintah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan di bidang

keuangan yang memiliki kepentingan sekaligus peran serta dalam

memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.

Lebih lanjut, persyaratan dan tata cara mengenai pemberian

PLK, jaminan Pemerintah atas PLK, serta pengawasan terhadap

Bank SIB penerima PLK diputuskan oleh KSSK untuk ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangan

Pemerintah, BI, dan OJK. Hal ini diatur dengan

mempertimbangkan fungsi KSSK, yaitu untuk memelihara dan

menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, sehingga

KSSK adalah wadah yang tepat untuk menetapkan hal tersebut.

Di samping itu, KSSK yang beranggotakan pimpinan lintas

lembaga/otoritas di sektor keuangan, diharapkan dapat memiliki

pandangan dan pertimbangan yang lebih komprehensif dalam

penanganan permasalahan Bank SIB.

Penanganan permasalahan Bank SIB oleh LPS

menggunakan pendanaan yang berasal dari kekayaan LPS.

Apabila dalam proses penanganan tersebut LPS mengalami

kesulitan likuiditas dan/atau modal LPS menjadi kurang dari

ketentuan mengenai modal awal yang ditetapkan Pemerintah, LPS

dapat menerima pinjaman dari Pemerintah.

Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS tersebut

dimungkinkan mengingat ketentuan Pasal 85 Ayat (1) UU No. 24

69

Tahun 2004 tentang LPS menyatakan bahwa “Dalam hal modal

LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal

81 Ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat menutup kekurangan tersebut” dan Ayat (2) menyatakan

bahwa “Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat

memperoleh pinjaman dari Pemerintah”. Selain itu, UU No. 27

Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015 juga

menyebutkan dalam Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi “Pemberian

pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal

LPS mengalami kesulitan likuiditas.”

Namun demikian, ketentuan dalam UU tentang APBN

tersebut hanya dapat menjadi landasan hukum bagi Pemerintah

untuk memberikan pinjaman kepada LPS pada tahun anggaran

berjalan. Hal ini sesuai dengan masa berlaku UU tersebut yaitu 1

(satu) periode anggaran atau 1 (satu) tahun. Oleh karena itu,

terdapat potensi risiko bahwa ketentuan tersebut tidak

dituangkan pada UU tentang APBN di periode anggaran

berikutnya.

Berdasarkan ketentuan dalam UU yang mengatur mengenai

keuangan negara dan perbendaharaan negara, pemberian

pinjaman oleh Pemerintah hanya dapat diberikan kepada pihak-

pihak tertentu. Pasal 24 Ayat (7) berbunyi “Dalam keadaan

tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah

Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan

penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat

persetujuan DPR” dan Pasal 22 Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara berbunyi “Pemerintah Pusat dapat

memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah

atau sebaliknya”. Selain itu, Pasal 33 Ayat (1) UU No. 1 Tahun

2004 tentang Perbendaharaan Negara berbunyi “Pemerintah Pusat

70

dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah

Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah

sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-undang

tentang APBN.”

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang ada serta dengan mempertimbangkan kebutuhan akan

pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS, di dalam UU

JPSK perlu diatur ketentuan yang dapat menjadi landasan hukum

bagi pemberian pinjaman dimaksud. Ketentuan tersebut perlu

mengatur bahwa pemberian pinjaman oleh Pemerintah, dengan

menggunakan dana APBN, kepada LPS dikecualikan dari

ketentuan mengenai pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh

Pemerintah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17 Tahun

2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara.

Penggunaan dana APBN dalam rangka penanganan Bank

SIB dalam Kondisi Tidak Normal seperti yang telah dijelaskan di

atas, dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan

DPR berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemerintah

dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya

dan/atau melebihi pagu yang telah ditetapkan dalam APBN

dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari

DPR. Hal tersebut mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara Pasal 27 Ayat (4) yang berbunyi “Dalam keadaan

darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum

tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam

rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam

Laporan Realisasi Anggaran.”

Dengan demikian, pengaturan hal ini dalam UU tentang

JPSK sejalan dengan salah satu dari tiga fungsi DPR, yaitu fungsi

71

anggaran sesuai dengan amanat Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945

yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,

fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.”

Persetujuan tertulis DPR diberikan kepada Pemerintah

paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah

permohonan persetujuan tertulis disampaikan oleh Pemerintah

mengingat pengambilan keputusan perlu dilakukan dengan cepat.

Ketika suatu Bank mengalami kegagalan sistem perbankan dan

tidak dapat mengikuti sistem pembayaran, maka hal tersebut

dapat mempengaruhi sistem pembayaran Bank lainnya. Eskalasi

permasalahan Bank SIB, terlebih dalam Kondisi Tidak Normal,

dapat terjadi dengan sangat cepat dan dapat menimbulkan efek

domino terhadap sektor riil karena krisis perbankan akan

menghambat proses intermediasi keuangan. Selain itu,

permasalahan perbankan akan menyebabkan formulasi kebijakan

moneter menjadi kurang efektif.

Persetujuan tertulis DPR tersebut dituangkan dalam

kesimpulan Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dalam waktu 1x24

(satu kali dua puluh empat) jam setelah usulan disampaikan oleh

Pemerintah kepada DPR. Persetujuan tertulis tersebut juga

termasuk persetujuan DPR mengenai tambahan nilai bersih SBN

yang akan diterbitkan dalam rangka penjaminan PLK atas Bank

SIB kepada BI dan juga pemberian pinjaman kepada LPS

dan/atau LPS mengalami kesulitan likuiditas.

Penerbitan SBN oleh Pemerintah kepada BI harus mendapat

persetujuan dari DPR. Penerbitan SBN ini boleh melebihi pagu

yang ditetapkan dalam APBN tahun anggaran berjalan dan harus

dilaporkan dalam APBN Perubahan dan Laporan Keuangan

Pemerintah Pusat (LKPP). Hal ini sesuai dengan UU No. 24 Tahun

2002 tentang Surat Utang Negara Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi

72

“Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dan Ayat (4) yang berbunyi

“Dalam hal-hal tertentu, Menteri dapat menerbitkan Surat Utang

Negara melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui Dewan

Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setelah

mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan

Rakyat dan dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan.”

Dalam penanganan permasalahan Bank sebagai bagian dari

upaya untuk memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas

Sistem Keuangan, Pemerintah dapat menerbitkan SBN. Penerbitan

SBN untuk penanganan permasalahan Bank tersebut perlu

dikecualikan dari tujuan penerbitan SUN dan tujuan penerbitan

SBSN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 24

Tahun 2002 tentang SUN yang berbunyi “Surat Utang Negara

diterbitkan untuk tujuan sebagai berikut: a. membiayai defisit

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. menutup

kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara

arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara

dalam satu tahun anggaran; c. mengelola portofolio utang negara”

dan dalam ketentuan pada Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2008 tentang

SBSN yang berbunyi “SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk

membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk

membiayai pembangunan proyek”.

Dalam rangka penjaminan PLK oleh Pemerintah kepada BI

yang dibayarkan melalui SBN, BI dapat membeli SBN melalui

pasar perdana. SBN yang dibeli oleh BI merupakan SBN yang

dapat diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan kewenangan BI

untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yaitu

melakukan pengendalian moneter, yang salah satunya

73

dilaksanakan dengan melakukan operasi pasar terbuka di pasar

uang, baik rupiah maupun valuta asing, seperti yang tercantum

dalam UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

menjadi Undang-Undang.

Pembelian SBN dalam rangka penanganan permasalahan

Bank SIB oleh BI dikecualikan dari ketentuan Pasal 55 Ayat (4) UU

No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI yang

berbunyi “Bank Indonesia dilarang membeli surat-surat utang

negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diri sendiri,

kecuali surat utang negara berjangka pendek yang diperlukan oleh

Bank Indonesia untuk operasi pengendalian moneter”.

Pembelian SBN oleh BI dilakukan berdasarkan keputusan

KSSK dengan mempertimbangkan paling kurang kesinambungan

APBN, tingkat kesehatan neraca BI, efektivitas kebijakan moneter,

dan kondisi pasar SBN. Pembelian SBN tersebut didasarkan atas

keputusan KSSK dengan pertimbangan bahwa KSSK berfungsi

untuk memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem

Keuangan sehingga KSSK merupakan wadah yang tepat untuk

memutuskan hal tersebut. Selain itu, KSSK diharapkan dapat

memiliki pandangan dan pertimbangan yang lebih komprehensif

dalam penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan

permasalahan Bank SIB mengingat KSSK beranggotakan

pimpinan lintas lembaga/otoritas di sektor keuangan.

Apabila Bank SIB tidak dapat melunasi PLK pada saat jatuh

tempo maka Pemerintah membayarkan jaminan PLK kepada BI.

Pemerintah memperoleh hak tagih atas kekurangan pelunasan

74

PLK tersebut kepada Bank SIB setelah membayarkan jaminan

kepada BI. Apabila Bank SIB tidak dapat membayar kekurangan

pelunasan kepada Pemerintah, maka selisih antara dana yang

dikeluarkan oleh Pemerintah untuk membayarkan jaminan PLK

dengan pengembalian dana yang diterima oleh Pemerintah

merupakan biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah dalam

rangka memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas

Sistem Keuangan. Selisih kurang tersebut tidak dapat digolongkan

sebagai kerugian negara sebagaimana dalam ketentuan UU No. 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam UU

tersebut, kerugian negara didefinisikan sebagai kekurangan uang,

surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya

sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun

lalai.

Apabila terdapat selisih antara dana yang dikeluarkan oleh

LPS dengan hasil penjualan Bank SIB setelah ditangani oleh LPS,

maka selisih kurang tersebut diakui sebagai biaya yang

dikeluarkan dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 24 Tahun

2004 tentang LPS yang menyatakan bahwa salah satu fungsi LPS

adalah turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan

sesuai dengan kewenangannya.

Dalam melaksanakan fungsinya memelihara SSK dan

menangani permasalahannya, setiap lembaga/otoritas dalam

sistem keuangan dituntut memiliki akuntabilitas yang baik

dengan mekanisme pelaporan yang jelas dan transparan.

Pelaporan yang terbuka untuk publik telah dijalankan oleh

beberapa negara dengan manajemen sistem keuangan yang maju,

seperti Inggris dan Amerika Serikat.

75

Di Amerika Serikat, FSOC memberikan kesempatan kepada

publik untuk dapat mengakses kesepakatan-kesepakatan tertentu

dalam rapat-rapat yang diadakan komite tersebut, dan juga

melaporkan notulen rapat kepada publik. Lebih lanjut, agenda

rapat dan alasan rapat diadakan tertutup ataupun terbuka telah

diumumkan kepada publik melalui website FSOC sekurang-

kurangnya tujuh hari sebelum rapat diadakan33. Praktik

akuntabilitas sejenis juga dilakukan oleh Financial Policy

Committee Meeting (FMCM) yang melakukan publikasi notulen

rapat dan hasil-hasil keputusan rapat melalui website Bank of

England34.

Di Indonesia, prinsip keterbukaan informasi kepada publik

diatur oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik. Pada prinsipnya, hak setiap warga negara untuk

mengetahui rencana, proses, serta alasan pengambilan keputusan

kebijakan publik dijamin oleh UU. Hal tersebut dimaksudkan

untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan dan

efektif. Namun demikian, dalam kondisi tertentu, badan publik

juga diberikan diskresi untuk merahasiakan informasi kepada

publik. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip keterbukaan

informasi, KSSK harus memberikan informasi kepada publik

mengenai keputusan KSSK dalam rangka pelaksanaan tugas dan

wewenangnya. KSSK juga diberikan diskresi untuk dapat

menetapkan jenis dan tata cara pemberian akses informasi kepada

publik.

Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, KSSK

harus melaporkan secara berkala kepada Presiden terkait dengan

kondisi Stabilitas Sistem Keuangan minimal 1 (satu) kali dalam 6

(enam) bulan. Dalam setiap penanganan Kondisi Tidak Normal, 33Website Financial Stability Oversight Council (FSOC) 34Website Bank of England

76

apabila KSSK memutuskan untuk mengaktifkan BRP, maka KSSK

melaporkan pelaksanaan tugas dan wewenang badan tersebut

kepada Presiden.

77

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN TERKAIT

A. Evaluasi dan Analisis terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008

Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi krisis yang

terjadi pada tahun 2008 dan krisis-krisis sebelumnya,

pengambilan keputusan yang tidak didasari atas landasan hukum

yang kuat akan menghasilkan suatu keputusan yang

menimbulkan polemik di masyarakat. Ketiadaan landasan hukum

tersebut menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan

mekanisme pengambilan keputusan, antara lain koordinasi,

prosedur, tanggung jawab dan wewenang lembaga/otoritas,

sekaligus tidak adanya perlindungan hukum bagi pengambil

kebijakan. Lebih lanjut, permasalahan tersebut menyebabkan

penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem

hukum dan sistem keuangan di Indonesia. Kondisi tersebut

kemudian berdampak secara langsung terhadap Stabilitas Sistem

Keuangan dan perekonomian nasional secara umum sehingga

akan menimbulkan kondisi yang lebih buruk apabila tidak

ditangani dengan baik.

Secara yuridis formal, saat ini masih berlaku Perpu No. 4

Tahun 2008 tentang JPSK. Pembentukan Perpu ini dilakukan

dalam rangka menghadapi ancaman krisis keuangan global yang

dapat membahayakan Stabilitas Sistem Keuangan dan

perekonomian nasional. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu

landasan hukum yang kuat dan cepat, dengan mekanisme

koordinasi antar lembaga/otoritas yang terkait dalam pembinaan

sistem keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan

keputusan dalam tindakan pencegahan dan penanganan krisis

dapat dilakukan secara terpadu dan efektif. Pada saat itu tidak

78

memungkinkan dibentuk UU secara normal karena situasi yang

sangat mendesak untuk mengatasi krisis. Tujuan Perpu JPSK ini

untuk menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.

Dalam Perpu ini diatur mengenai ruang lingkup JPSK yang

meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Pencegahan krisis

dilakukan melalui penanganan kesulitan likuiditas dan

penanganan masalah solvabilitas dari Bank dan Lembaga

Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik, yaitu

antara lain dengan memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat

(FPD) bagi Bank atau bantuan likuiditas bagi LKBB yang

mengalami kesulitan likuiditas. Selain itu, pencegahan krisis

dapat pula dilakukan dengan menambah modal berupa

penyertaan modal sementara (PMS) terhadap Bank dan LKBB yang

mengalami masalah solvabilitas. Penanganan Krisis pada dasarnya

dilakukan dengan cara yang sama seperti pencegahan Krisis,

namun penanganan Krisis dilakukan pada saat kondisi sistem

keuangan dalam keadaan Krisis yang membahayakan Stabilitas

Sistem Keuangan dan perekonomian nasional.

Dalam rangka pelaksanaan JPSK, berdasarkan Perpu ini

dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang

beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.

KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan

dan penanganan Krisis dalam sistem keuangan. Sumber

pendanaan untuk pencegahan dan penanganan krisis berasal dari

dana APBN yang diberikan Pemerintah melalui penerbitan Surat

Berharga Negara (SBN) atau secara tunai. Untuk memberikan

fleksibilitas agar Krisis dapat dicegah atau ditangani segera,

penerbitan SBN dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan

SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat

Utang Negara dan Undang-Undang tentang Surat Berharga

79

Syariah Negara (SBSN). Dalam situasi ini, yang bertindak sebagai

pembeli SBN di pasar primer adalah Bank Indonesia. Dalam

rangka akuntabilitas, Menteri Keuangan melaporkan penerbitan

SBN tersebut kepada DPR. Penggunaan dana APBN untuk

pencegahan dan penanganan krisis harus mendapat persetujuan

dari DPR.

Perpu ini seharusnya tidak dapat berlaku lama karena

penggunaan hak prerogatif Presiden di bidang legislasi ini harus

dilakukan pengujian untuk dinilai tingkat kemendesakannya oleh

DPR pada masa sidang berikutnya. DPR diberi kewenangan untuk

menerima atau menolak Perpu. Dalam Rapat Paripurna tanggal 29

September 2009, Perpu ini tidak mendapatkan persetujuan DPR.

Oleh karena itu Presiden perlu mengajukan RUU JPSK baru yang

muatannya disesuaikan dengan perkembangan pengaturan

pemegang otoritas keuangan yang sudah berubah.

B. Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait

Pengaturan dalam RUU JPSK memuat beberapa ketentuan

baru dalam rangka menyesuaikan langkah-langkah dalam

memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem

Keuangan, terutama dalam hal penetapan Bank SIB dan

penanganan permasalahan Bank. Terkait penetapan Bank SIB,

ketentuan di dalam UU ini akan mengatur mengenai penetapan

secara periodik Bank SIB tanpa menunggu kondisi Tidak Normal

(predetermined). Selain itu, UU JPSK juga mengadopsi mekanisme

penanganan permasalahan Bank SIB, baik dengan mewajibkan

Bank SIB untuk menyusun rencana pemulihan (recovery plan)

resolusi Bank maupun pembiayaan (funding), berdasarkan best

practice di beberapa negara di dunia.

80

Dalam kaitannya dengan undang-undang yang berlaku saat

ini, UU JPSK disusun untuk mengatur hal-hal khusus (sebagai lex

spesialis) dan untuk melengkapi hal-hal yang belum diatur dalam

undang-undang yang sudah ada. Selain itu, UU JPSK juga

disusun dengan mempertimbangkan peraturan perundang-

undangan yang sudah ada untuk menjaga konsistensi dan

harmonisasi peraturan perundang-undangan. Berikut analisa

beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

norma yang akan diatur dalam JPSK:

1. Terkait dengan Kecukupan Dana Penjaminan Simpanan

UU LPS mengatur penjaminan simpanan nasabah bank

yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat

terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko

yang membebani APBN atau risiko yang menimbulkan moral

hazard. Penjaminan simpanan nasabah bank dilaksanakan

oleh LPS. Penjaminan simpanan nasabah bank yang

dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup

sebanyak-banyaknya nasabah. LPS merupakan suatu lembaga

independen, transparan, dan akuntabel yang memiliki fungsi

(Pasal 4):

1. menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan

2. turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan

sesuai dengan kewenangannya.

Dalam menjalankan fungsinya, LPS bertugas salah satunya

melaksanakan penjaminan simpanan (Pasal 5). Penjaminan

simpanan nasabah bank adalah penjaminan yang

dilaksanakan oleh LPS atas simpanan nasabah bank (Pasal 1

angka 8). Mengenai sistem penjaminan simpanan nasabah

bank yang terdiri dari aspek kepesertaan, simpanan yang

dijamin, premi, pembayaran klaim penjaminan, diatur mulai

81

dari Pasal 8-20 UU LPS. Penjaminan simpanan nasabah bank

yang dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup

sebanyak-banyaknya nasabah.

Penjaminan simpanan nasabah bank diberikan terhadap

simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito,

sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu (Pasal 10). Nilai Simpanan yang

dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 11 ayat (1)).

Nilai yang dijamin diharapkan dapat melindungi seluruh

simpanan yang dimiliki oleh nasabah kecil yang merupakan

sebagian besar nasabah bank di Indonesia.

Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia

diwajibkan untuk menjadi peserta dan membayar premi

penjaminan. Dalam hal bank tidak dapat melanjutkan

usahanya dan harus dicabut izin usahanya, LPS akan

membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai

jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin akan

diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Likuidasi ini

merupakan tindak lanjut dalam penyelesaian bank yang

mengalami kesulitan keuangan. Penghitungan premi dilakukan

sendiri oleh bank (Pasal 14 ayat (1)). LPS dapat melakukan

verifikasi atas perhitungan premi tersebut. Bank dapat

dikelompokkan dalam beberapa kelompok dengan masing-

masing kelompok memiliki skala risiko kegagalan yang relatif

sama. Pembedaan tingkat premi dilakukan berdasarkan skala

risiko kegagalan untuk setiap kelompok tersebut. Misalnya

tingkat premi untuk kelompok bank dengan skala risiko

kegagalan terendah adalah 0,1%, maka tingkat premi untuk

82

kelompok bank dengan skala risiko kegagalan tertinggi tidak

dapat ditetapkan melebihi 0,6%.

Jika LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas

atau modal dan cadangan penjaminan tidak cukup untuk

membiayai penanganan Bank Gagal, LPS dimungkinkan untuk

mendapat bantuan dana termasuk tambahan modal sesuai

dengan keputusan Komite Koordinasi.

2. Terkait Dengan Fungsi, Tugas, Dan Wewenang Komite

Koordinasi

Menurut Pasal 1 angka 9, Komite Koordinasi adalah komite

yang beranggotakan Menteri Keuangan, Lembaga Pengawas

Perbankan (LPP), Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin

Simpanan yang memutuskan kebijakan penyelesaian dan

penanganan suatu Bank Gagal yang ditengarai berdampak

sistemik.

Ruang lingkup kerja LPS adalah pada penanganan Bank

Gagal baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak

berdampak sistemik. Sebelum dinyatakan Bank Gagal, LPS

menerima pemberitahuan dari LPP mengenai bank bermasalah

yang sedang dalam upaya penyehatan sebagaimana dimaksud

dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.

LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal baik yang

berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik

setelah LPP atau Komite Koordinasi menyerahkan

penyelesaiannya kepada LPS.

Apabila kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan

tersebut semakin memburuk, antara lain ditandai dengan

menurunnya tingkat solvabilitas bank, tindakan penyelesaian

dan penanganan lain harus segera dilakukan. Dalam keadaan

ini, penyelesaian dan penanganan Bank Gagal diserahkan

83

kepada LPS yang akan bekerja setelah terlebih dahulu

dipertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha

bank terhadap perekonomian nasional. Dalam hal pencabutan

izin usaha bank diperkirakan memiliki dampak terhadap

perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan

LPS yang didasarkan pada Keputusan Komite Koordinasi.

Akan tetapi sejak UU OJK diundangkan, maka fungsi, tugas,

dan wewenang Komite Koordinasi dilaksanakan oleh Forum

Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) (Pasal 69 ayat

(3) UU OJK). Dengan adanya JPSK, fungsi, tugas, dan

wewenang Komite Koordinasi dilaksanakan oleh KSSK.

Selanjutnya, Ketentuan mengenai protokol koordinasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46

berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang

mengenai jaring pengaman sistem keuangan.

3. Terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Forum

Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK)

UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,

salah satunya mengatur tentang protokol koordinasi. Menurut

Pasal 44 UU OJK, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan,

dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan

anggota terdiri atas:

a. Menteri Keuangan selaku anggota merangkap

koordinator;

b. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;

c. Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan

d. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan

selaku anggota.

Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menurut

Pasal 1 angka 25, adalah forum koordinasi yang dibentuk

84

untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang anggotanya

terdiri atas Menteri Keuangan selaku koordinator merangkap

anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua

Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku

anggota, dan Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota.

Dalam kondisi normal, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem

Keuangan (Pasal 45 ayat (1)):

a. wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas

sistem keuangan;

b. melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga)

bulan;

c. membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk

melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan

dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan;

dan

d. melakukan pertukaran informasi.

Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan

penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank

Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua

Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang

mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis

pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke

Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera

dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah

pencegahan atau penanganan krisis (Pasal 45 ayat (2). Menteri

Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan

Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga

Penjamin Simpanan berwenang mengambil dan melaksanakan

keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya

dalam rangka pengambilan keputusan Forum Koordinasi

85

Stabilitas Sistem Keuangan, dalam kondisi tidak normal (Pasal

45 ayat (3). Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan

menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan

dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem

keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing (Pasal 45

ayat (4). Keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem

Keuangan yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan

suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik

mengikat Lembaga Penjamin Simpanan (Pasal 45 ayat (5).

Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan

yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk

mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 46).

Selanjutnya, Ketentuan mengenai protokol koordinasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46

berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang

mengenai jaring pengaman sistem keuangan

FKSSK diganti menjadi Komite Stabilitas Sistem Keuangan

(KSSK) melalui aturan JPSK. Perubahan Forum Koordinasi

menjadi Komite dikarenakan istilah “forum” dinilai kurang

memadai karena dapat diartikan hanya sebagai wadah untuk

berkoordinasi tanpa memiliki kewenangan untuk memutuskan

dan menetapkan suatu produk hukum. “komite” dinilai lebih

tepat karena merupakan lembaga yang lebih formal dan dapat

menetapkan suatu produk hukum.

4. Konsepsi “Keadaan Darurat”

UU Keuangan Negara tidak mengenal “kondisi tidak normal”

melainkan “keadaan darurat”. Istilah “keadaan darurat” dapat

terlihat di UU Keuangan Negara maupun UU APBN 2015.

Menurut Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, dalam keadaan darurat Pemerintah dapat

86

melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya,

yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN

dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

Menurut UU No. 27 Tahun 2014 tentang APBN tahun

Anggaran 2015 Pasal 30, menyatakan bahwa keadaan darurat

apabila terjadi hal hal sebagai berikut:

a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan

deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya yang

menyebabkan turunnya pendapatan negara, dan/atau

meningkat nya belanja negara secara signifikan

b. kondisi sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan

perannya secara efektif dalam perekonomian nasional;

dan/atau

c. kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil SBN secara

signifikan.

Pemilihan untuk tidak menggunaan terminologi “keadaan

darurat” dalam pengaturan JPSK adalah agar tidak terjadi

respon pasar yang unpredictable. Ditakutkan kalau

menggunakan terminologi “keadaan darurat” justru akan

memperburuk keadaan. Pemilihan istilah “tidak normal” lebih

general, yang di dalamnya ada keadaan “krisis” maupun

“darurat”.

5. Terkait dengan Langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah

dengan persetujuan DPR jika terjadi keadaan darurat

Menurut Pasal 30 ayat (1) angka 6 UU APBN Tahun

Anggaran 2015, Pemerintah dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dapat melakukan langkah-langkah antara

lain melakukan pemberian pinjaman kepada Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal LPS mengalami kesulitan

likuiditas. Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat

87

melakukan penarikan pinjaman siaga yang berasal dari

kreditur bilateral dan multilateral sebagai alternatif sumber

pembiayaan dalam hal kondisi pasar tidak mendukung

penerbitan SBN (Pasal 30 ayat (2) UU APBN Tahun Anggaran

2015).

Pasal 24 ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara: mengatur bahwa Pemerintah hanya

dapat memberikan penyertaan modal kepada perusahaan

swasta yang memenuhi kondisi tertentu dalam rangka

penyelamatan perekonomian nasional. Kemudian dalam Pasal

33 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara, mengatur bahwa Pemerintah Pusat

dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah

Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah

sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-

undang tentang APBN. Dalam hal LPS mengalami

permasalahan likuiditas atau modal LPS kurang dari modal

awal yang ditetapkan Pemerintah, Pemerintah perlu

melakukan pemberian pinjaman atau penyertaan modal

kepada LPS. Namun demikian, ketentuan di dalam kedua

Undang-Undang tersebut tidak memungkinkan adanya

mekanisme tersebut. Oleh karena itu, dalam UU JPSK perlu

diatur suatu ketentuan yang mengecualikan pemberian

pinjaman atau penyertaan modal Pemerintah kepada LPS dari

ketentuan mengenai pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh

Pemerintah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17 Tahun

2003 dan UU No. 1 Tahun 2004.

Dalam UU yang menjadi dasar penetapan APBN setiap

tahunnya terdapat ketentuan yang mengatur bahwa dalam

keadaan darurat, Pemerintah dapat memberikan pinjaman

88

kepada LPS apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas.

Namun demikian, UU tentang APBN hanya berlaku pada tahun

anggaran berjalan sesuai dengan masa berlaku UU tersebut,

yaitu 1 (satu) periode anggaran atau 1 (satu) tahun. Dalam hal

ini terdapat kemungkinan bahwa ketentuan tersebut tidak

dituangkan kembali di dalam UU APBN tahun anggaran

berikutnya. Selain itu, Pemerintah juga memiliki kewajiban

untuk memberikan jaminan kepada Bank Indonesia yang

dapat terealisasi dalam bentuk penerbitan SBN. Penerbitan

SBN tersebut akan dianggarkan dalam UU APBN. Oleh karena

itu, UU JPSK akan mengakomodir ketentuan-ketentuan

tersebut.

Langkah-langkah lain yang dilakukan Pemerintah dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal kondisi

sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya

secara efektif dalam perekonomian nasional maka langkah-

langkah untuk mengatasi keadaan kondisi keuangan tersebut

dilaksanakan berdasarkan hasil koordinasi antara Menteri

Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua

Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua

Dewan Komisioner LPS dalam Forum Koordinasi Stabilitas

Sistem Keuangan (FKSSK), sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang mengenai OJK (Pasal 30 ayat (4) UU UU APBN

Tahun Anggaran 2015).

6. Persero yang Sahamnya Dimiliki Negara

Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas (PT), menyatakan bahwa persyaratan

pendirian perseroan adalah oleh dua orang atau lebih.

Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua)

89

orang atau lebih tidak berlaku bagi Persero yang seluruh

sahamnya dimiliki oleh negara (Pasal 7 ayat (7) UU PT))

Dalam hal dilakukan pendirian Bank baru sebagai Bank

perantara oleh LPS yang akan menerima pengalihan sebagian

atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB, LPS akan

menghadapi kesulitan dalam mencari partner kepemilikan

sahamnya. Di samping itu, proses pembentukannya harus

dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari potensi bank

run. Dengan demikian, ketentuan kepemilikan tunggal Bank

baru dimaksud perlu dibuka kemungkinannya melalui

pengaturan dalam UU JPSK.

Dalam rangka menangani Bank SIB yang bermasalah secara

cepat dan menjaga pelayanan kepada nasabah dari Bank yang

diselamatkan agar tidak terganggu, dibutuhkan

penyederhanaan perizinan Bank, sehingga tidak mengikuti

ketentuan atau dikecualikan sebagaimana diatur dalam UU PT.

7. Terkait dengan Pembentukan Badan Khusus dalam Rangka

Penyehatan Perbankan

Dalam pasal 37A UU Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan diatur mengenai ketentuan

pembentukan badan khusus yang memiliki wewenang untuk

melakukan upaya penyehatan terhadap perbankan yang

membahayakan perekonomian nasional. Badan khusus

tersebut melakukan program penyehatan terhadap bank-bank

yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada

badan dimaksud. Badan khusus tersebut mempunyai

wewenang antara lain:

90

a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan

wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang

Rapat Umum Pemegang Saham ;

b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan

wewenang Direksi dan Komisaris bank;

c. menguasai, mengelola dan melakukan tindakan

kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak

bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak

manapun, baik di dalam maupun di luar negeri;

d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau

mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak

ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus

merugikan bank ;

e. menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi,

Komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri

ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun

melalui penawaran umum;

f. menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau

menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa

memerlukan persetujuan Nasabah Debitur;

g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau manajemen

bank kepada pihak lain;

h. melakukan penyertaan modal sementara pada bank,

secara langsung atau melalui pengonversian tagihan

badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;

i. melakukan penagihan piutang bank yang sudah past i

dengan penerbitan Surat Paksa;

j. melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan

milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh

91

pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat

negara penegak hukum yang berwenang;

k. melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk

memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan

mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak

manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau

mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam

program penyehatan tersebut;

l. menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank

dalam program penyehatan dan membebankan kerugian

tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan

bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau

kelalaian Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham,

maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang

bersangkutan;

m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor

oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan;

n. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk

menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana

dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.

Apabila KSSK dibentuk oleh UU JPSK, maka KSSK yang

akan menilai terdapat permasalahan perbankan yang

membahayakan perekonomian nasional. KSSK pula yang akan

memutuskan untuk mengaktifkan Badan Restrukturisasi

Perbankan (BRP). Untuk itu, UU JPSK akan mengakomodir

ketentuan mengenai hal tersebut.

8. Terkait Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)

Menurut UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 11

menyatakan bahwa Dalam hal suatu Bank mengalami

92

kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi

mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan,

Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan

darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.

Namun demikian, pendanaan oleh Pemerintah kurang sesuai

dengan konsep LoLR dimana BI seharusnya menjadi penyedia

dana dalam waktu singkat. Di samping itu, pendanaan oleh

Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sehingga membuka

peluang munculnya moral hazard dan bank run. Oleh karena

itu perlu diatur ketentuan mengenai pendanaan oleh BI

dengan jaminan Pemerintah untuk Bank yang mengalami

kesulitan likuiditas namun masih memenuhi ketentuan

solvabilitas.

9. Terkait dengan Penerbitan SUN/SBN

Terkait dengan penerbitan Surat Utang Negara sebagaimana

diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2002 tentang

Surat Utang Negara, bahwa SUN ditujukan yaitu, membiayai

defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup

kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara

arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas

Negara dalam satu tahun anggaran, dan mengelola portofolio

utang Negara. Kewenangan menerbitkan Surat Utang Negara

menurut Undang-Undang tersebut, ada pada Pemerintah, yang

dilaksanakan oleh Menteri. Pemerintah dalam hal ini Menteri

apabila akan menerbitkan Surat Utang Negara terlebih dahulu

berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Dengan adanya

masukan dari Bank Indonesia didalam pengambilan keputusan

oleh Pemerintah, agar dalam penerbitannya surat utang Negara

dapat dilakukan tepat waktu, dan dilakukan dengan

persyaratan yang dapat diterima oleh pasar, serta

93

menguntungkan pemerintah. Penggunaan dan pengelolaan

surat utang Negara yang baik, dapat mengurangi kerugian

Negara yang ditimbulkan oleh berbagai resiko keuangan.

Sesuai dengan tujuan penerbitan surat utang Negara

menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat

Utang Negara, diketahui bahwa didalam Undang-Undang Surat

Utang Negara, tidak mengenal kondisi tidak normal. Sehingga

kewenangan mengenai penerbitan Surat Utang Negara ada

pada pemerintah, dalam hal ini Menteri, dan penerbitannya

pun telah ditentukan secara eksplisit di dalam Undang-

undang. Sedangkan, dalam mengenai penanganan kondisi

tidak normal, dan / atau penanganan bank SIB, tidak diatur

oleh UU SUN, yang mengakibatkan dimungkinkannya

penerbitan SBN/ surat utang Negara selain yang diterbitkan

oleh menteri dalam hal ini keadaan yang mempengaruhi status

stabilitas system keuangan.

Untuk mengakomodasi hal ini, dalam UU JPSK diatur

mengenai pengecualian atas penerbitan SBN untuk

penanganan permasalahan Bank dari tujuan penerbitan SUN

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 24 Tahun

2002.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang

Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Ketentuan di dalam

Pasal 4 UU ini membatasi penerbitan SBSN hanya untuk

membiayai APBN termasuk membiayai pembangunan proyek,

sehingga tidak memungkinkan bagi Pemerintah untuk

menerbitkan SBN sebagai upaya penanganan permasalahan

Bank. Oleh karena itu, UU JPSK mengatur ketentuan

mengenai pengecualian atas penerbitan SBN untuk

penanganan permasalahan Bank dari tujuan penerbitan SBSN

94

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 19 Tahun

2008.

Substansi yang akan diatur dalam UU JPSK memiliki

keterkaitan dengan beberapa undang-undang sistem keuangan

dan keuangan negara. Oleh karena itu untuk menyamakan

persepsi dan menghindari penafsiran yang berbeda, maka

dalam UU JPSK digunakan terminologi yang sama dengan

undang-undang sebagaimana tersebut di atas, dengan tetap

memperhatikan ketentuan yang diatur dalam beberapa

undang-undang tersebut.

UU JPSK memuat beberapa pengaturan, baik yang belum

diatur maupun yang sudah diatur, namun perlu disesuaikan.

Oleh karena itu, terdapat beberapa ketentuan dalam UU JPSK

yang akan menggantikan (over rule) dan/atau menambahkan

beberapa ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang

yang ada saat ini. Hal tersebut diperlukan mengingat langkah-

langkah pengambilan keputusan yang cepat dan tepat dalam

Kondisi Tidak Normal belum diakomodasi dalam peraturan

perundang-undangan yang ada saat ini.

10. Terkait Pertukaran Data dan Informasi

Prinsip keterbukaan informasi kepada publik diatur oleh UU

No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Pada prinsipnya, hak setiap warga negara untuk mengetahui

rencana, proses, serta alasan pengambilan keputusan

kebijakan publik dijamin oleh UU. Hal tersebut dimaksudkan

untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan

dan efektif. Namun demikian, dalam keadaan tidak normal

dan/atau bank SIB, pertukaran data dan informasi antar

anggota KSSK tidak boleh ada yang dirahasiakan mengingat

tugas KSSK adalah memelihara SSK dan menangani

95

permasalahannya. Di sisi lain, badan publik diberikan diskresi

untuk merahasiakan informasi kepada publik. Namun,

berdasarkan prinsip keterbukaan informasi publik, KSSK

harus memberikan informasi kepada publik mengenai

keputusan KSSK dalam rangka pelaksanaan tugas dan

wewenangnya. KSSK juga diberikan diskresi untuk dapat

menetapkan jenis dan tata cara pemberian akses informasi

kepada publik.

96

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan

makmur sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD

1945, diperlukan pembangunan ekonomi nasional yang

berkelanjutan. Salah satu wujud nyatanya adalah dengan

menciptakan perekonomian yang stabil dan tangguh. Hal ini dapat

terwujud salah satunya melalui Stabilitas Sistem Keuangan.

Namun demikian, perkembangan saat ini membawa sistem

keuangan Indonesia pada kondisi yang semakin rentan terhadap

risiko yang bersumber baik dari global maupun domestik. Lebih

lanjut, sumber risiko domestik dapat berasal dari sektor keuangan

sendiri maupun sektor lain yang memiliki keterkaitan.

Untuk mengantisipasi ancaman risiko global terhadap

sistem perekonomian nasional diperlukan adanya kepastian

hukum, perlindungan terhadap masyarakat, peraturan yang

sesuai dengan international best practice, lembaga/otoritas yang

berfungsi dengan baik serta mempunyai kewenangan yang

memadai untuk menjaga kestabilan sistem keuangan.

JPSK diselenggarakan untuk memelihara SSK dan

menangani permasalahan yang timbul dalam rangka menjalankan

amanat yang lebih luas sesuai dengan ketentuan Pasal 33 Ayat (4)

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yaitu menjaga

keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan

mempertimbangkan amanat tersebut maka KSSK sebagai unit

organisasi diberi kewenangan khusus untuk dapat segera

mengambil keputusan strategis dalam menangani sistem

keauangan dan mengatasi permasalahan Bank SIB dalam

97

Keadaan Tidak Normal. Ketentuan tersebut dapat memberikan

perlindungan hukum sekaligus keyakinan kepada

lembaga/otoritas mengingat peran masing-masing

lembaga/otoritas dilaksanakan sebagai bagian dari pelaksanaan

tugas pemerintahan yang sangat penting dan berdampak luas.

Dengan adanya UU JPSK, diharapkan terwujud mekanisme

pengamanan sistem keuangan nasional untuk memelihara SSK

dan menangani permasalahannya. Pada akhirnya, pembangunan

ekonomi Indonesia yang stabil, berkesinambungan, dan efektif

dapat terwujud.

B. Landasan Sosiologis

Stabilitas Sistem Keuangan merupakan faktor yang sangat

penting dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap

sektor keuangan. Dalam Kondisi Tidak Normal akan timbul

kepanikan di tengah masyarakat. Dalam kondisi tersebut Bank

mengalami masalah kesulitan likuiditas, sehingga kepercayaan

publik terhadap Bank akan berkurang, bahkan akan memicu

penarikan dana besar-besaran (bank run) oleh masyarakat.

Apabila tidak ada langkah penanganan yang diambil oleh

Pemerintah ataupun terdapat kesalahan penanganan dalam upaya

untuk menyelamatkan Bank tersebut, maka kepercayaan

masyarakat terhadap perbankan nasional akan semakin menurun.

Pada akhirnya, hal ini akan mengganggu perekonomian nasional.

Oleh karena itu penanganan sistem keuangan dalam

menghadapi Kondisi Tidak Normal menjadi tanggung jawab

Pemerintah, lembaga/otoritas di sektor keuangan, pelaku

ekonomi, dan masyarakat pengguna sistem keuangan. Tanggung

jawab bersama tersebut dapat meringankan tugas Pemerintah

dalam menjaga stabilitas ekonomi, sehingga dapat mewujudkan

98

perekonomian nasional yang tumbuh secara berkelanjutan. Untuk

tidak menimbulkan dispute atas keputusan yang diambil oleh

lembaga/otoritas yang menangani penyelesaian Bank SIB,

dilakukan mekanisme pengambilan keputusan yang jelas dan

akurat.

C. Landasan Yuridis

Perlunya pembentukan UU JPSK dalam rangka

melaksanakan perintah Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang tentang

Bank Indonesia yang menyatakan bahwa “Ketentuan dan tata cara

pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang

berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan

sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri” dan Pasal

69 ayat (4) Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan yang

menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai protokol koordinasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46

berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai

jaring pengaman sistem keuangan”.

UU JPSK akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi

lembaga/otoritas dalam upaya menjaga dan menciptakan

stabilisasi sistem keuangan. Seiring dengan kebutuhan dan

perkembangan, materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak

saja mengatur hal-hal seperti yang diperintahkan oleh Undang-

Undang tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang tentang

Otoritas Jasa Keuangan, tetapi mencakup pula Asas dan Tujuan,

Penyelenggaraan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Komite

Stabilitas Sistem Keuangan, Penanganan Permasalahan Stabilitas

Sistem Keuangan, Penanganan Permasalahan Bank, Insentif

Dan/Atau Fasilitas Dalam Rangka Penanganan Bank SIB,

99

Pendanaan, Pertukaran Data Dan Informasi, serta Akuntabilitas

dan Pelaporan.

Dengan demikian, UU JPSK dimaksudkan untuk mengisi

kekurangan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang

ada saat ini, dengan menetapkan ketentuan mengenai:

1. Peningkatan koordinasi antara lembaga/otoritas yang terkait

dengan pengelolaan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia;

2. Peningkatan kualitas regulasi tentang penanganan sistem

keuangan dalam Kondisi Tidak Normal;

3. Penyusunan dasar hukum yang lebih kuat kepada regulator

dalam membuat kebijakan penanganan Kondisi Tidak

Normal; dan

4. Peningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem

keuangan, khususnya sektor perbankan.

100

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. Sasaran

Hal atau keadaan yang ingin dicapai dengan membentuk

Undang-Undang JPSK adalah:

1. Tersusunnya pengaturan yang menyelenggarakan sistem

pengamanan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan

dan menangani permasalahannya yang disusun dalam Jaring

Pengaman Sistem Keuangan.

2. Terciptanya kepastian hukum bagi lembaga/otoritas dalam

melakukan koordinasi dan menetapkan suatu kebijakan dalam

rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem

Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal, dan penanganan

permasalahan terhadap Bank SIB.

B. Jangkauan dan Arah Pengaturan

1. Mengatur pemeliharaan stabilitas sistem keuangan dan

penanganan permasalahan yang penyelenggaraannya

berlandaskan kepada asas kepentingan umum, keterpaduan,

efektivitas, dan kepastian hukum.

2. Mengingat pentingnya sektor perbankan dalam kaitannya

dengan sektor keuangan maka upaya menciptakan sistem

keuangan yang sehat dan stabil saat ini difokuskan pada sektor

perbankan. Upaya tersebut harus dilakukan dengan

mekanisme koordinasi yang jelas dalam rangka pengambilan

kebijakan dan penetapan langkah-langkah yang diperlukan

untuk pemeliharaan dan penanganan permasalahan Stabilitas

Sistem Keuangan.

2015

2015

Tim

101

3. Mengatur mekanisme koordinasi dalam rangka menciptakan

dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan yang dilakukan

secara terpadu dan efektif.

4. Jaring Pengaman Sistem Keuangan negara difokuskan pada

tiga hal, yaitu (i) koordinasi dalam rangka pemantauan dan

pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, (ii) penanganan

Kondisi Tidak Normal, serta (iii) penanganan permasalahan

Bank SIB, baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan

normal maupun Kondisi Tidak Normal.

5. Jaring Pengaman Sistem Keuangan negara pada dasarnya

hanya memuat pengaturan mengenai penanganan

permasalahan Bank SIB yang tidak dapat ditangani oleh

otoritas secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangan yang

dimilikinya. Sedangkan untuk Bank yang tidak termasuk

dalam Bank SIB, penanganan permasalahan Bank tersebut

dilaksanakan oleh otoritas sesuai dengan kewenangan yang

diatur dalam undang-undang terkait. Meskipun demikian,

dalam Kondisi Tidak Normal dan terdapat permasalahan

perbankan yang masif dan membahayakan perekonomian

nasional, KSSK dapat mengaktifkan Badan Restrukturisasi

Perbankan untuk penyehatan Bank SIB maupun yang bukan

Bank SIB.

C. Ruang Lingkup Materi Muatan

1. Ketentuan Umum

Ketentuan Umum yang berisi pengertian istilah atau frasa

yang meliputi:

a. Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah sistem

pengamanan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan

dan menangani permasalahannya.

102

b. Sistem Keuangan adalah sistem yang terdiri dari lembaga

keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan,

termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam

memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan

pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas

perekonomian nasional.

c. Stabilitas Sistem Keuangan adalah kondisi Sistem

Keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu

bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri

dan/atau luar negeri.

d. Kondisi Tidak Normal adalah kondisi Sistem Keuangan

yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif

dan efisien, yang ditunjukkan dengan memburuknya

berbagai indikator ekonomi dan keuangan.

e. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang

Perbankan Syariah.

f. Systemically Important Bank, yang selanjutnya disebut

Bank SIB, adalah Bank yang karena ukuran aset, modal,

dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi

atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor

keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian

atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa

keuangan, baik secara operasional maupun finansial,

apabila Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.

g. Pinjaman Likuiditas Khusus, yang selanjutnya disingkat

PLK, adalah pinjaman likuiditas atau pembiayaan likuiditas

berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada

Bank SIB yang masih memenuhi ketentuan solvabilitas

namun mengalami kesulitan likuiditas dan pemberian

103

pinjaman atau pembiayaan likuiditas jangka pendek

diperkirakan tidak dapat menyelesaikan permasalahan

likuiditas dimaksud.

h. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disingkat SBN,

adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan surat

berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara.

i. Bank Perantara adalah bank yang didirikan oleh LPS untuk

digunakan sebagai saran resolusi dengan menerima

pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban

bank yang ditangani LPS dan selanjutnya menjalankan

kegiatan usaha perbankan, dan dalam jangka waktu

tertentu akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.

j. Badan Restrukturisasi Perbankan adalah badan hukum

publik yang dibentuk untuk menangani permasalahan

perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.

k. Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang

Bank Indonesia.

l. Otoritas Jasa Keuangan adalah otoritas jasa keuangan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang

Otoritas Jasa Keuangan.

m. Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga penjamin

simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

n. Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang keuangan.

o. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.

104

2. Ruang Lingkup Materi

a) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

Penyelenggaraan JPSK

Di dalam RUU JPSK perlu dituangkan secara jelas

menganai tujuan diterapkannya JPSK yaitu untuk

memelihara stabilitas sistem keuangan dan menangani

permasalahannya. Selanjutnya, di dalam

penyelenggaraannya JPSK harus berlandaskan pada asas-

asas yang dapat menjamin bahwa JPSK dilaksanakan

dengan mengutamakan kepentingan masyarakat luas yang

diselenggarakan secara bersama-sama oleh Pemerintah, BI,

OJK, dan LPS. Di dalam penyelenggaraan JPSK oleh

lembaga/otoritas tersebut perlu diperhatikan prinsip-prinsip

keselarasan dan koordinasi antara satu lembaga/otoritas

satu dengan yang lain secara efektif. Selanjutnya, adanya

kepastian hukum dalam penyelenggaraan JPSK perlu

diwujudkan untuk menjadi dasar dalam pengambilan

kebijakan yang dilakukan oleh lembaga/otoritas terkait.

Penyelenggaraan Jaring Pengaman Sistem Keuangan

meliputi:

a. koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan

Stabilitas Sistem Keuangan;

b. penanganan Kondisi Tidak Normal; dan

c. penanganan permasalahan Bank SIB, baik dalam

kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun

Kondisi Tidak Normal.

105

b) Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)

Pembentukan KSSK

Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini

dan mengacu pada standar praktik yang telah diterapkan di

berbagai negara, diperlukan adanya langkah-langkah

pengambilan kebijakan antar lembaga/otoritas dalam

kerangka koordinasi yang efektif, transparan, serta

akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan

suatu mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas dalam

suatu komite yang ditetapkan dengan undang-undang.

Mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas

tersebut dapat diwujudkan melalui pembentukan Komite

Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan

Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner

OJK, Ketua Dewan Komisioner LPS. Dalam hal ini Menteri

Keuangan akan bertindak sebagai koordinator merangkap

anggota. Setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan

bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyelenggarakan

Jaring Pengaman Sistem Keuangan dalam rangka

melaksanakan kepentingan negara di bidang perekonomian.

Tugas dan Kewenangan KSSK

Komite Stabilitas Sistem Keuangan mengemban tugas

untuk:

a. melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan

pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan; dan

b. melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem

Keuangan yang diakibatkan oleh Kondisi Tidak Normal

dan permasalahan Bank SIB.

106

Dalam rangka menyelenggarakan JPSK untuk

memelihara stabilitas sistem keuangan dan menangani

permasalahannya, KSSK perlu memiliki beberapa

kewenangan. Sebagai contoh, untuk dapat menentukan

status Stabilitas Sistem Keuangan, KSSK perlu mempunyai

wewenang untuk memperoleh hasil penilaian kondisi SSK

dari masing-masing anggota KSSK terlebih dahulu. Hasil

penilaian tersebut juga perlu dilengkapi dengan data dan

informasi pendukung, serta kerangka kerja penilaian yang

digunakan oleh masing-masing anggota. Lebih lanjut, untuk

menetapkan langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak

Normal, KSSK juga perlu memperoleh rekomendasi dari

masing-masing anggota KSSK mengenai langkah-langkah

penanganan dimaksud. KSSK juga berwenang untuk

memperoleh daftar Bank SIB terkini dari OJK, baik secara

berkala atau atau sewaktu-waktu sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Secara rinci, KSSK berwenang untuk:

a. menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan;

b. menetapkan langkah penanganan Kondisi Tidak Normal;

c. menetapkan langkah penanganan permasalahan Bank

SIB yang tidak dapat lagi ditangani oleh Otoritas Jasa

Keuangan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya;

d. memberi persetujuan pemberian PLK dari Bank

Indonesia kepada Bank SIB;

e. menyerahkan penanganan permasalahan solvabilitas

Bank SIB kepada Lembaga Penjamin Simpanan;

f. menetapkan keputusan mengenai pembelian SBN yang

dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan oleh Bank

Indonesia untuk penanganan Bank SIB;

107

g. menetapkan keputusan mengenai pembelian SBN di

pasar perdana oleh Bank Indonesia untuk penanganan

Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan

permasalahan Bank SIB;

h. menetapkan keputusan mengenai tata kelola KSSK dan

sekretariat KSSK.

i. meminta hasil penilaian kondisi Stabilitas Sistem

Keuangan dari masing-masing anggota KSSK, beserta

data dan informasi pendukungnya;

j. meminta informasi mengenai kerangka kerja penilaian

kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang digunakan oleh

masing-masing anggota KSSK;

k. meminta daftar Bank SIB terkini dari Otorias Jasa

Keuangan secara berkala atau sewaktu-waktu;

l. meminta rekomendasi dari masing-masing anggota KSSK

mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh

Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa

Keuangan, dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan;

m. meminta informasi dari Lembaga Penjamin Simpanan

mengenai perkembangan penanganan Bank SIB;

n. meminta laporan dari Lembaga Penjamin Simpanan

mengenai pengelolaan Badan Restrukturisasi Perbankan;

Kesekretariatan dan Alat Kelengkapan KSSK

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KSSK

dibantu oleh sekretariat KSSK yang dipimpin oleh sekretaris

KSSK. Sekretariat KSSK berada di lingkungan Kementerian

Keuangan. Sekretaris KSSK merupakan pejabat di

lingkungan Kementerian Keuangan yang ditugaskan oleh

Menteri Keuangan. Anggaran sekretariat KSSK bersumber

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sekretariat

108

KSSK dapat menyelenggarakan rapat yang dihadiri oleh

pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas

Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk

mempersiapkan pelaksanaan rapat KSSK. Organisasi dan

tata kerja Sekretariat KSSK ditetapkan oleh Menteri

Keuangan.

Apabila diperlukan, KSSK dapat membentuk gugus

tugas atau kelompok kerja untuk membantu pelaksanaan

tugas KSSK. Gugus tugas atau kelompok kerja, dibentuk

untuk melaksanakan tugas khusus, misalnya membangun

kerangka atau pedoman analisis dan melakukan kajian

hukum. KSSK dapat meminta informasi, pendapat,

dan/atau masukan dari pihak lain yang diperlukan dalam

pelaksanaan tugasnya. Pihak lain yang dapat diminta

informasi, pendapat, dan/atau masukan, misalnya menteri

yang membidangi hukum, aparat penegak hukum, dan ahli

dalam bidang ekonomi atau perbankan.

Tata Cara Pengambilan Keputusan

Dalam rangka mewujudkan tujuan JPSK, yaitu untuk

memelihara stabilitas sistem keuangan dan menangani

permasalahannya, maka perlu diatur suatu ketentuan

mengenai tata cara pengambilan keputusan yang diadakan

oleh KSSK. Pengambilan keputusan KSSK dilakukan dalam

rapat KSSK. Rapat KSSK dihadiri oleh seluruh anggota

KSSK dan dipimpin oleh koordinator KSSK. Dalam hal

anggota KSSK berhalangan hadir secara fisik pada waktu

dan tempat rapat yang telah ditentukan, rapat KSSK dapat

diselenggarakan melalui sarana komunikasi elektronik yang

memungkinkan anggota KSSK saling melihat dan/atau

mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam

109

rapat. Pelaksanaan rapat KSSK harus didokumentasikan

baik secara tertulis dan/atau secara elektronik. secara utuh

mulai dari awal sampai dengan berakhirnya rapat.

Pendokumentasian dilakukan secara tertulis dan/atau

secara elektronik. Dalam hal anggota KSSK berhalangan

sementara atau tetap, anggota KSSK yang bersangkutan

diwakili oleh pejabat pengganti sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan

“pejabat pengganti adalah termasuk pejabat sementara, atau

istilah lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Namun, jika koordinator KSSK

berhalangan sementara atau tetap, koordinator KSSK

diwakili oleh pejabat pengganti sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Rapat KSSK dinyatakan

sah dan dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh

seluruh anggota KSSK atau diwakili oleh pejabat pengganti.

Kehadiran anggota KSSK sebagaimana dimaksud berupa

kehadiran secara fisik maupun kehadiran melalui sarana

komunikasi elektronik.

Pengambilan keputusan dalam rapat KSSK dilakukan

berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal tidak

tercapai mufakat, usulan keputusan yang diajukan oleh

anggota KSSK dinyatakan ditolak dan pendapat akhir

masing-masing anggota KSSK didokumentasikan. Usulan

keputusan yang diajukan oleh anggota KSSK dapat diajukan

kembali oleh anggota KSSK yang bersangkutan paling

banyak 1 (satu) kali. Keputusan rapat KSSK mengenai

penetapan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah

penanganan Kondisi Tidak Normal, dan/atau langkah-

langkah penanganan permasalahan Bank SIB dilaporkan

110

oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24

(satu kali dua puluh empat) jam sejak penetapan Kondisi

Tidak Normal. Penyampaian laporan dilakukan secara

tertulis atau melalui sarana elektronik. Penyampaian

laporan harus ditatausahakan dengan baik dan lengkap.

Yang dimaksud dengan “baik dan lengkap” adalah

penatausahaan dokumentasi yang dilakukan memenuhi tata

cara dan kaidah yang berlaku. Setiap keputusan

ditandatangani oleh seluruh anggota KSSK. Dalam hal rapat

diselenggarakan melalui sarana komunikasi elektronik,

anggota KSSK yang berhalangan hadir secara fisik

menunjuk pejabat yang mewakilinya untuk menandatangani

keputusan rapat KSSK.

c) Pemantauan dan Pemeliharaan Stabilitas Sistem

Keuangan

Anggota KSSK melakukan pemantauan dan

pemeliharaan stabilitas sistem keuangan sesuai dengan

tugas dan wewenang masing-masing anggota KSSK.

Pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan

merupakan bagian dari protokol manajemen krisis masing-

masing anggota KSSK.

Dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan

stabilitas sistem keuangan, KSSK menyelenggarakan rapat

KSSK secara berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1

(satu) tahun atau sewaktu-waktu atas permintaan anggota

KSSK. Anggota KSSK menyampaikan hasil pemantauan dan

pemeliharaan baik secara berkala maupun sewaktu-waktu

dalam rapat KSSK.

111

d) Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem

Keuangan

Anggota KSSK dapat meminta penyelenggaraan rapat

KSSK kepada Koordinator KSSK apabila protokol

manajemen krisis yang dimilikinya mengindikasikan adanya

Kondisi Tidak Normal pada bidang yang menjadi tanggung

jawabnya yang dapat mempengaruhi Stabilitas Sistem

Keuangan. Permintaan penyelenggaraan rapat KSSK disertai

dengan hasil penilaian protokol manajemen krisis anggota

KSSK yang bersangkutan yang mengindikasikan adanya

Kondisi Tidak Normal pada bidang yang menjadi tanggung

jawabnya yang dapat mempengaruhi Stabilitas Sistem

Keuangan. Dalam rapat KSSK, anggota KSSK memberikan

informasi sebagai berikiut:

1. Bank Indonesia menyampaikan:

a. penilaian kondisi moneter, makroprudensial, dan

sistem pembayaran yang mempengaruhi Stabilitas

Sistem Keuangan; dan

b. rekomendasi langkah-langkah penanganan

permasalahan di bidang moneter, makroprudensial,

dan sistem pembayaran yang mempengaruhi

Stabilitas Sistem Keuangan.

2. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan:

a. penilaian kondisi lembaga jasa keuangan dan pasar

modal yang mempengaruhi stabilitas sistem

keuangan;

b. data Bank SIB dalam status bank dalam pengawasan

khusus; dan

c. rekomendasi langkah-langkah penanganan kondisi

lembaga jasa keuangan dan pasar modal yang

112

mempengaruhi stabilitas sistem keuangan serta

penanganan Bank SIB dalam status Bank dalam

pengawasan khusus.

Yang dimaksud dengan “bank dalam pengawasan

khusus” adalah status pengawasan terhadap bank yang

dinilai oleh Otoritas Jasa Keuangan mengalami kesulitan

yang membahayakan kelangsungan usahanya.

3. Lembaga Penjamin Simpanan menyampaikan:

a. penilaian kondisi kecukupan dana penjaminan

simpanan yang mempengaruhi Stabilitas Sistem

Keuangan; dan

b. rekomendasi langkah-langkah penanganan untuk

memenuhi kecukupan dana penjaminan simpanan.

4. Menteri Keuangan menyampaikan:

a. penilaian kondisi kesinambungan fiskal dan pasar

SBN yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan;

dan

b. rekomendasi langkah-langkah penanganan kondisi

kesinambungan fiskal dan pasar SBN yang

mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan.

Rapat KSSK menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan

dalam kondisi normal atau tidak normal. Penetapan status

Stabilitas Sistem Keuangan didasarkan pada data,

informasi, kerangka penilaian kondisi Stabilitas Sistem

Keuangan, dan pertimbangan dari seluruh anggota KSSK,

termasuk pertimbangan profesional masing-masing anggota

KSSK. Yang dimaksud dengan “pertimbangan profesional

(professional judgement)” adalah suatu proses pragmatik

melalui faktor-faktor berupa pengalaman, pembenaran

113

terhadap tindakan, merespon terhadap motivasi dari luar,

dan belajar dari kesalahan.

Dalam hal KSSK menetapkan status Stabilitas Sistem

Keuangan dalam Kondisi Tidak Normal, dengan

mempertimbangkan rekomendasi dari masing-masing

anggota KSSK, KSSK menetapkan langkah-langkah dalam

rangka:

a. penanganan permasalahan di bidang moneter,

makroprudensial, dan sistem pembayaran yang

mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan;

b. penanganan Bank SIB dalam status Bank dalam

pengawasan khusus dan penanganan kondisi lembaga

jasa keuangan dan/atau pasar modal yang

mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan;

c. Penanganan kondisi lembaga jasa keuangan dan/atau

pasar modal dalam Kondisi Tidak Normal tidak diatur

secara spesifik dalam Undang-Undang ini sehingga

penanganannya dilakukan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

d. penanganan kondisi kesinambungan fiskal dan pasar

SBN yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan;

dan/atau

e. penanganan bank dan pemenuhan kecukupan dana

penjaminan simpanan.

Penanganan permasalahan kecukupan dana

penjaminan simpanan dilakukan berdasarkan Undang-

Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan. Langkah-

langkah penanganan dilaporkan oleh koordinator KSSK

kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh

empat) jam. Selain langkah-langkah penanganan di atas,

114

KSSK dapat mengusulkan kepada Presiden untuk

menetapkan kenaikan besaran nilai simpanan nasabah

penyimpan pada bank yang dijamin oleh Lembaga Penjamin

Simpanan.

e) Penanganan Permasalahan Bank

1. Penanganan Permasalahan Bank SIB

(a) Tindakan Mengatasi Permasalahan oleh Bank

Penetapan Bank SIB dilakukan oleh Otoritas

Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank

Indonesia pada kondisi Stabilitas Sistem Keuangan

normal. Pengkinian Bank SIB dilakukan secara

berkala atau sewaktu-waktu pada kondisi Stabilitas

Sistem Keuangan normal. Penetapan Bank SIB

berdasarkan pengkinian sewaktu-waktu dilakukan

setelah memperoleh persetujuan Komite Stabilitas

Sistem Keuangan. Bank SIB harus menerapkan

rencana pemulihan yang telah disusunnya dan yang

telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk

mengatasi masalah keuangan. Rencana pemulihan

(recovery plan) merupakan rencana langkah-langkah

yang akan dilakukan oleh Bank dan/atau pemegang

saham Bank untuk mengatasi masalah keuangan.

Rencana penyehatan disusun sejak Bank ditetapkan

sebagai Bank SIB dan disampaikan kepada Otoritas

Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan.

Selama rencana pemulihan belum disetujui oleh

Otoritas Jasa Keuangan, Bank SIB harus

menerapkan langkah penyehatan yang ditetapkan

oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan lebih lanjut

115

mengenai rencana pemulihan diatur dengan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

(b) Tindakan Mengatasi Kesulitan Likuiditas Bank

Bank SIB yang mengalami kesulitan likuiditas

dapat mengajukan permohonan kepada Bank

Indonesia untuk mendapatkan pinjaman likuiditas

jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka

pendek berdasarkan prinsip syariah. Berdasarkan

Undang-Undang mengenai Bank Indonesia, Bank

yang mengalami kesulitan likuiditas dapat

mengajukan pinjaman likuiditas jangka pendek

kepada Bank Indonesia sebagai lender of the last

resort sepanjang Bank yang bersangkutan

memenuhi ketentuan solvabilitas dan memiliki

agunan yang cukup. Pinjaman likuiditas jangka

pendek yang disediakan untuk Bank SIB adalah

dalam rangka pelaksanaan peran Bank Indonesia

untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.

Pinjaman likuiditas jangka pendek untuk Bank

Syariah adalah berupa pembiayaan likuiditas jangka

pendek berdasarkan prinsip syariah. Bank

Indonesia berdasarkan informasi dan rekomendasi

dari Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan

pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan

likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip

syariah. Pemberian pinjaman likuiditas jangka

pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek

berdasarkan prinsip syariah dilakukan sesuai

dengan ketentuan dalam Undang-Undang Bank

Indonesia dan peraturan pelaksanaannya.

116

Dalam hal Bank SIB mengalami kesulitan

likuiditas namun masih memenuhi ketentuan

solvabilitas dan pemberian pinjaman likuiditas

jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka

pendek berdasarkan prinsip syariah diperkirakan

tidak dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas

Bank SIB, Bank SIB dimaksud dapat mengajukan

permohonan untuk mendapatkan PLK kepada Bank

Indonesia. PLK untuk Bank Syariah adalah berupa

Pembiayaan Likuiditas Khusus berdasarkan prinsip

syariah. Bank Indonesia setelah berkoordinasi

dengan Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta

penyelenggaraan rapat KSSK untuk memutuskan

pemberian PLK dalam hal terdapat Bank SIB yang

mengajukan permohonan PLK. Dalam rapat KSSK,

Bank Indonesia setelah berkoordinasi dengan

Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan usulan

antara lain besarnya jumlah PLK yang diberikan,

jangka waktu, dan suku bunga PLK.

Bank Indonesia meminta penyelenggaraan

rapat KSSK apabila berdasarkan penilaian Bank

Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, Bank SIB

yang mengajukan PLK telah memenuhi syarat dan

ketentuan pemberian PLK. Dalam rapat KSSK, Bank

Indonesia menyampaikan usulan antara lain

besarnya jumlah PLK yang diberikan, jangka waktu,

dan suku bunga PLK. Bank Indonesia memberikan

PLK kepada Bank SIB berdasarkan Keputusan

KSSK. Persetujuan KSSK diberikan apabila

berdasarkan informasi dan rekomendasi dari

117

Otoritas Jasa Keuangan, Bank SIB masih

memenuhi ketentuan mengenai solvabilitas dan

tingkat kesehatan Bank serta perkiraan

kemampuan untuk mengembalikan PLK.

Pemerintah memberikan jaminan pelunasan atas

PLK yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada

Bank SIB. Dalam hal Bank SIB tidak dapat

melunasi PLK pada saat jatuh tempo sesuai

perjanjian, Pemerintah merealisasikan jaminan

pelunasan dengan membayar secara tunai dan/atau

dengan menerbitkan SBN yang dapat

diperdagangkan untuk Bank Indonesia. Ketentuan

mengenai pemberian PLK termasuk tata cara,

persyaratan, dan jaminan pemerintah atas

pelunasan PLK serta pengawasan terhadap Bank

SIB penerima PLK diputuskan oleh KSSK.

Pelaksanaan keputusan KSSK diatur dalam

peraturan perundang-undangan sesuai dengan

kewenangan pemerintah, Bank Indonesia, dan

Otoritas Jasa Keuangan.

Bank SIB penerima PLK dilarang melakukan

transaksi dengan pihak terkait, termasuk

membagikan dividen dan memberikan manfaat

finansial lainnya, sebelum melunasi seluruh

kewajiban PLK. Yang dimaksud “pihak terkait”

adalah sesuai dengan ketentuan batas maksimum

pemberian kredit.

Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan

Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap

Bank SIB penerima PLK dalam rangka memastikan

118

penggunaan PLK dan pelaksanaan rencana

pembayaran kembali PLK sesuai dengan perjanjian.

Dalam rangka pengawasan, Otoritas Jasa

Keuangan dapat menempatkan pengawas pada

Bank SIB penerima PLK.

(c) Tindakan Mengatasi Permasalahan Solvabilitas

Bank

Dalam hal terdapat Bank SIB yang mengalami

permasalahan solvabilitas, Otoritas Jasa Keuangan

melakukan penanganan permasalahan solvabilitas

berdasarkan kewenangannya, termasuk

pelaksanaan rencana penyehatan Bank SIB

dimaksud. Yang dimaksud dengan “permasalahan

solvabilitas” adalah kesulitan permodalan yang

dialami Bank SIB sehingga tidak memenuhi

kewajiban penyediaan modal minimum yang

ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Termasuk

dalam penanganan solvabilitas antara lain adalah

konversi kewajiban Bank SIB menjadi modal (bail-in)

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan

kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk

melakukan persiapan penanganan Bank SIB. Dalam

hal Bank SIB ditetapkan sebagai Bank dalam

pengawasan khusus, Otoritas Jasa Keuangan dapat:

1. menunjuk pengelola statuter sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang tentang

Otoritas Jasa Keuangan; atau

119

2. meminta Lembaga Penjamin Simpanan

melakukan langkah persiapan penanganan Bank

SIB berupa pengalihan sebagian atau seluruh

aset dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank

atau pihak lain.

Langkah persiapan penanganan Bank SIB

dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada

saat Bank dalam pengawasan khusus agar pada

saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima

penyerahan Bank SIB dari KSSK, Lembaga

Penjamin Simpanan telah siap

mengimplementasikan pengalihan sebagian atau

seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB.

Langkah persiapan Lembaga Penjamin Simpanan

antara lain berupa melakukan penilaian aset

dan/atau kewajiban Bank SIB, menawarkan kepada

Bank atau pihak lain yang bersedia menerima

pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau

kewajiban Bank SIB, dan/atau melaksanakan uji

tuntas (due dilligence).

Dalam hal penanganan tidak dapat mengatasi

masalah solvabilitas Bank SIB, Otoritas Jasa

Keuangan meminta penyelenggaraan rapat KSSK

disertai dengan rekomendasi langkah-langkah

penanganan permasalahan Bank SIB dimaksud.

Permasalahan solvabilitas tidak dapat diatasi

apabila kondisi semakin memburuk atau batas

waktu Bank dalam pengawasan khusus telah

berakhir. Rapat KSSK diselenggarakan untuk

menetapkan langkah-langkah penanganan

120

permasalahan solvabilitas Bank SIB dimaksud.

Langkah-langkah penanganan Bank SIB paling

sedikit:

1. memutuskan penyerahan Bank SIB kepada

Lembaga Penjamin Simpanan untuk dilakukan

penanganan berdasarkan Undang-Undang ini

dan Undang-Undang mengenai Lembaga

Penjamin Simpanan. Bank SIB yang diserahkan

kepada Lembaga Penjamin Simpanan merupakan

Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan

membahayakan kelangsungan usahanya serta

dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh

Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan

kewenangan yang dimilikinya, sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Lembaga Penjamin

Simpanan.

2. Selain hal tersebut di atas juga menetapkan

langkah-langkah yang harus dilakukan oleh

anggota KSSK sesuai dengan kewenangan

masing-masing dalam rangka mendukung

pelaksanaan penanganan Bank SIB oleh LPS.

Penanganan Bank SIB dilakukan oleh Lembaga

Penjamin Simpanan dengan cara:

a. mengalihkan sebagian atau seluruh aset

dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank

atau pihak lain;

b. Penanganan bank seperti ini dikenal sebagai

transaksi purchase and assumption. Yang

dimaksud dengan “pihak lain” adalah

perorangan atau badan hukum selain Bank.

121

c. mengalihkan sebagian atau seluruh aset

dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank

baru yang dibentuk khusus sebagai Bank

Perantara; dan/atau;

d. Penanganan bank seperti ini dikenal sebagai

transaksi purchase and assumption melalui

bridge bank.

e. melakukan penanganan sesuai dengan

Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin

Simpanan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan

Bank SIB, jenis dan kriteria aset dan kewajiban

Bank SIB yang dapat dialihkan kepada Bank

Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak

penerima lain diatur dengan Peraturan Lembaga

Penjamin Simpanan. Peraturan Lembaga

Penjamin Simpanan antara lain mengatur

prosedur pelaksanaan pengalihan aset dan/atau

kewajiban Bank kepada Bank Perantara, Bank

penerima, dan/atau pihak penerima lain, dan

prosedur pengoperasian Bank Perantara

Lembaga Penjamin Simpanan mendirikan Bank

Perantara untuk menerima pengalihan sebagian

atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB

dan menjalankan aktivitas usaha Bank. Dalam

rangka pendirian Bank Perantara oleh Lembaga

Penjamin Simpanan, tidak berlaku ketentuan

yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan

oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang tentang

122

Perseroan Terbatas. Otoritas Jasa Keuangan

memberikan izin Bank Perantara dalam 2 (dua)

tahap:

a. persetujuan prinsip untuk melakukan

persiapan pendirian bank.

b. izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha

bank setelah persiapan pendirian bank selesai

dilakukan.

Persetujuan prinsip diberikan setelah memenuhi

persyaratan:

a. anggaran dasar yang antara lain memuat

kegiatan usaha sebagai bank;

b. modal disetor sebagaimana diatur dalam

undang-undang tentang Perseroan Terbatas;

dan

c. Struktur organisasi dan sumber daya

manusia, pedoman manajemen risiko, good

corporate governance, prosedur kerja, rencana

bisnis, proyeksi neraca dan laba rugi, laporan

arus kas bulanan. Untuk pemenuhan

persyaratan ini dapat menggunakan surat

pernyataan dari Lembaga Penjamin Simpanan

bahwa persyaratan dimaksud akan dipenuhi

dengan menggunakan data dan/atau

dokumen Bank SIB.

Izin usaha diberikan setelah memenuhi

persyaratan:

a. kewajiban penyediaan modal minimum bank

umum;

b. susunan direksi dan dewan komisaris; dan

123

c. rencana tindak meliputi cara dan jadwal

pengalihan, pemenuhan dan pengelolaan

sumber daya manusia serta migrasi

infrastruktur Bank Perantara.

Uji kemampuan dan Kepatutan bagi Bank

Perantara dilakukan oleh Otoritas Jasa

Keuangan terhadap calon dewan komisaris dan

direksi berdasarkan ketentuan Uji Kemampuan

dan Kepatutan bagi bank dalam penanganan

Lembaga Penjamin Simpanan. Susunan direksi

dan komisaris dapat menjalankan tugas dan

wewenang sebelum uji kemampuan dan

kepatutan (fit & proper test) dilakukan oleh

Otoritas Jasa Keuangan.

Bank Perantara dalam menjalankan kegiatan

usaha wajib:

a. menyampaikan kepada Otoritas Jasa

Keuangan laporan berkala dan dokumen lain

yang diwajibkan bagi Bank Umum; dan

b. memenuhi persyaratan terkait prinsip kehati-

hatian dan indikator tingkat kesehatan Bank

Umum.

Persyaratan prinsip kehati-hatian dan indikator

tingkat kesehatan bank yang diberlakukan

kepada Bank Perantara mengikuti ketentuan

Otoritas Jasa Keuangan mengenai bank dalam

penanganan/penyelamatan Lembaga Penjamin

Simpanan.

Dalam rangka melaksanakan pengalihan

sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban

124

Bank SIB kepada Bank penerima dan/atau

pihak penerima lain atau kepada Bank

Perantara, Lembaga Penjamin Simpanan

memiliki kewenangan:

a. mengalihkan kewajiban Bank SIB berupa

simpanan nasabah penyimpan dan

kewajiban lain kepada bank penerima

dan/atau pihak penerima lain yang diikuti

dengan pengalihan sebagian atau seluruh

aset Bank SIB dimaksud tanpa persetujuan

kreditur, debitur, dan “pihak lainnya”.

Simpanan nasabah penyimpan yang

dialihkan adalah jumlah seluruh simpanan

nasabah penyimpan yang tercatat pada

pembukuan Bank SIB saat penyerahan Bank

SIB oleh KSSK kepada LPS. Yang dimaksud

dengan persetujuan dari “pihak lainnya”

antara lain persetujuan dari rapat umum

pemegang saham Bank SIB.

b. melakukan pembayaran kepada Bank

Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak

penerima lain untuk menutup selisih apabila

nilai aset Bank SIB yang dialihkan lebih kecil

dibandingkan dengan nilai kewajiban Bank

SIB yang dialihkan.

Pembayaran selisih antara nilai aset Bank

SIB dengan nilai kewajiban Bank SIB yang

dialihkan kepada Bank Perantara merupakan

penyertaan modal Lembaga Penjamin

Simpanan kepada Bank Perantara tersebut.

125

Penyertaan modal Lembaga Penjamin

Simpanan pada Bank Perantara bukan

merupakan penempatan investasi

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Lembaga Penjamin Simpanan.

Pembayaran selisih antara nilai aset Bank

SIB dengan nilai kewajiban Bank SIB yang

dialihkan kepada Bank penerima, dan/atau

pihak penerima lain merupakan beban dalam

rangka menjaga stabilitas sistem perbankan.

c. melakukan wewenang lainnya sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Lembaga

Penjamin Simpanan.

Bank Indonesia dapat menetapkan pengaturan

tertentu yang berlaku bagi Bank Perantara terkait

dengan kebijakan moneter, makroprudensial, dan

sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan

harus segera menjual Bank Perantara atau

mengalihkan seluruh aset dan kewajiban Bank

Perantara kepada Bank atau pihak lain. Bank

Perantara harus segera dijual setelah

mempertimbangkan antara lain ukuran,

kompleksitas permasalahan, dan kondisi

perekonomian. Pelaksanaan penjualan Bank

Perantara atau pengalihan seluruh aset dan

kewajiban Bank Perantara pada Bank atau pihak

lain dilakukan secara terbuka dan transparan. Bank

Perantara yang telah dijual kepada Bank atau pihak

lain, status Bank tersebut menjadi Bank

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

126

Perbankan dan tidak lagi disebut sebagai Bank

Perantara. Dalam hal kondisi keuangan dan

permodalan Bank Perantara menurun dan tidak

sesuai profil risiko berdasarkan penilaian Otoritas

Jasa Keuangan, maka Lembaga Penjamin Simpanan

wajib menambah modal paling rendah sesuai profil

risikonya. Pengalihan sebagian atau seluruh aset

dan/atau kewajiban Bank SIB oleh Lembaga

Penjamin Simpanan kepada Bank Perantara, Bank

penerima, dan/atau pihak penerima lainnya, terjadi

demi hukum sejak akta pengalihan ditandatangani.

Pengalihan demi hukum berlaku pula terhadap

pengalihan perizinan yang dimiliki Bank SIB kepada

Bank Perantara. Perizinan yang dialihkan dan

operasional akibat peralihan perizinan disesuaikan

dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Setelah dilakukan pengalihan sebagian atau seluruh

aset dan/atau kewajiban kepada Bank Perantara,

Bank penerima dan/atau pihak penerima lain,

Lembaga Penjamin Simpanan meminta Otoritas

Jasa Keuangan untuk mencabut izin usaha Bank

yang telah dialihkan sebagian atau seluruh aset

dan/atau kewajibannya. Lembaga Penjamin

Simpanan melakukan proses likuidasi terhadap

bank yang telah dicabut izin usahanya oleh Otoritas

Jasa Keuangan sesuai dengan Undang-Undang

tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Seluruh

tindakan Lembaga Penjamin Simpanan dalam

rangka menjalankan penanganan Bank SIB

berdasarkan undang-undang ini sah demi hukum.

127

Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Bank

SIB, jenis dan kriteria aset dan kewajiban Bank SIB

yang dapat dialihkan kepada Bank Perantara, Bank

penerima, dan/atau pihak penerima lain diatur

dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.

Dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan

antara lain diatur prosedur pelaksanaan pengalihan

aset dan/atau kewajiban Bank kepada Bank

Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak

penerima lain, dan prosedur pengoperasian Bank

Perantara.

Dalam rangka penanganan Bank SIB, Lembaga

Penjamin Simpanan dapat: menjual SBN yang

dimilikinya; dan/atau memperoleh pinjaman dari

pihak lain. Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan

harus menjual SBN yang dimilikinya untuk

melakukan penanganan Bank SIB, berdasarkan

keputusan KSSK, Bank Indonesia dapat membeli

SBN dimaksud. Pemerintah dapat memberikan

jaminan atas pinjaman Lembaga Penjamin

Simpanan Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan

mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan

Bank SIB setelah dilakukan upaya, Pemerintah

dapat memberikan pinjaman kepada Lembaga

Penjamin Simpanan.

Lembaga Penjamin Simpanan menyampaikan

informasi mengenai perkembangan penanganan

Bank SIB kepada KSSK.

128

2. Restrukturisasi Perbankan Dalam Kondisi Tidak Normal

Untuk mengatasi kondisi tidak normal, dibentuk Badan

Restrukturisasi Perbankan (BRP). BRP bertugas

menangani kesulitan perbankan yang membahayakan

perekonomian nasional dalam Kondisi Tidak Normal.

BRP bertanggung jawab kepada KSSK. Organ BRP terdiri

dari Dewan Pengawas dan Dewan Eksekutif BRP. Organ

BRP beserta tugas dan wewenangnya ditetapkan oleh

KSSK. Dewan Eksekutif BRP berwenang mewakili BRP

di dalam maupun di luar pengadilan. Dewan Eksekutif

BRP berwenang menetapkan Peraturan BRP. Struktur

organisasi dibawah Dewan Pengawas dan Dewan

Eksekutif BRP tata kerja, sistem kepegawaian, dan

penggajian diatur oleh Dewan Eksekutif.

BRP mulai menjalankan tugasnya berdasarkan

penetapan KSSK yang didasarkan pada pertimbangan:.

a. Kondisi Tidak Normal; dan

b. terdapat permasalahan perbankan yang

membahayakan perekonomian nasional.

KSSK menetapkan pengaktifan dan penonaktifan tugas

BRP untuk meduian dilaporkan kepada Presiden.

Anggaran BRP bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara, hasil pengelolaan aset dan

kewajiban Bank-bank yang ditangani, dan sumber lain

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan. KSSK menetapkan masa tugas BRP.

Dalam menjalankan tugasnya, BRP berwenang untuk:

a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan

wewenang pemegang saham termasuk hak dan

129

wewenang rapat umum pemegang saham Bank atau

organ lain yang setara;

b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan

wewenang direksi dan dewan komisaris Bank atau

organ lain yang setara;

c. menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan

kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi

hak Bank, termasuk kekayaan Bank yang berada

pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar

negeri;

d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau

mengubah kontrak yang mengikat Bank dengan

pihak ketiga, yang menurut pertimbangan Badan

Restrukturisasi Perbankan merugikan Bank;

e. menjual, melelang, atau mengalihkan kekayaan Bank

di dalam negeri maupun di luar negeri, baik secara

langsung maupun melalui penawaran umum;

f. menjual, melelang atau mengalihkan tagihan Bank

dan/atau menyerahkan pengelolaanya kepada pihak

lain, tanpa memerlukan persetujuan nasabah

debitur;

g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan/atau

manajemen Bank kepada pihak lain;

h. melakukan penyertaan modal sementara pada Bank

secara langsung atau melalui konversi tagihan Badan

Restrukturisasi Perbankan terhadap Bank menjadi

saham Bank;

i. menagih piutang Bank yang sudah pasti dengan

penerbitan surat paksa;

130

j. mengosongkan atas tanah dan/atau bangunan milik

atau yang menjadi hak Bank yang dikuasai oleh

pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat

negara penegak hukum yang berwenang;

k. meneliti dan memeriksa untuk memperoleh segala

keterangan yang diperlukan dari dan mengenai Bank

dalam penanganan Badan Restrukturisasi

Perbankan, dan pihak manapun yang terlibat atau

patut diduga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang

merugikan Bank dalam penanganan Badan

Restrukturisasi Perbankan tersebut;

l. menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami

Bank dalam penanganan Badan Restrukturisasi

Perbankan dan membebankan kerugian tersebut

kepada modal Bank yang bersangkutan, dan

bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan

atau kelalaian anggota direksi dan anggota dewan

komisaris atau organ yang setara, dan/atau

pemegang saham, maka kerugian tersebut akan

dibebankan kepada yang bersangkutan;

m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib

disetor oleh pemegang saham Bank dalam

penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan;

n. meminta data, informasi, dan dokumen dari Bank

dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan

dan dari pihak lain;

o. membekukan aset milik pengurus bank, pemegang

saham bank, dan/atau pihak terafiliasinya yang

terindikasi melakukan tindakan yang merugikan

131

Bank, baik yang berada di dalam negeri maupun di

luar negeri;

p. melakukan tugas lain yang ditetapkan oleh KSSK.

Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas, kewenangan,

anggaran, dan penyelenggaraan BRP diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

f) Insentif dan/atau Fasilitas dalam Rangka

Penanganan Bank SIB

Dalam rangka penanganan Bank SIB, Pemerintah, Bank

Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga

Penjamin Simpanan dapat memberikan insentif

dan/atau fasilitas berupa fiskal dan non fiskal kepada

orang atau badan hukum yang berperan dalam rangka

tindakan penyelesaian permasalahan Bank SIB. Yang

dimaksud insentif fiskal antara lain adalah insentif

perpajakan. Yang dimaksud dengan fasilitas non fiskal

antara lain adalah pengecualian dari ketentuan

mengenai pembatasan kepemilikan Bank. Insentif

dan/atau fasilitas ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan, dan Peraturan Lembaga

Penjamin Simpanan.

g) Pendanaan

Sumber pendanaan dalam rangka penanganan Kondisi

Tidak Normal dan/atau penanganan permasalahan

Bank SIB meliputi:

a. kekayaan Bank Indonesia yang digunakan untuk

pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau

132

pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan

prinsip syariah dan PLK kepada Bank SIB;

b. kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan yang

digunakan untuk penanganan permasalahan Bank

SIB;

c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang

digunakan untuk:

1. pembayaran jaminan Pemerintah kepada Bank

Indonesia untuk pemberian PLK;

2. pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin

Simpanan untuk mengatasi permasalahan

likuiditas Lembaga Penjamin Simpanan;

3. penambahan modal kepada Lembaga Penjamin

Simpanan dalam hal modal Lembaga Penjamin

Simpanan kurang dari modal awal Lembaga

Penjamin Simpanan yang ditetapkan oleh

Pemerintah; dan/atau

4. pendanaan penanganan permasalahan Bank.

Penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara untuk 4 (empat) keperluan tersebut di atas yang

belum dialokasikan secara khusus dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan

dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan

persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam

hal dana untuk pembiayaan yang berasal dari Anggaran

Pendapatan Belanja Negara belum tersedia anggarannya

atau melebihi pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara, Pemerintah dapat melakukan pengeluaran dana

tersebut dengan terlebih dahulu mendapatkan

133

persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam

hal pengeluaran dana akan dipenuhi melalui penerbitan

SBN, persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat

mencakup pula tambahan nilai bersih maksimal SBN

yang akan diterbitkan. Persetujuan tertulis Dewan

Perwakilan Rakyat dilakukan dengan keputusan yang

tertuang dalam kesimpulan Rapat Kerja Badan

Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah,

yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 1x24 (satu

kali dua puluh empat) jam setelah usulan disampaikan

Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam

hal persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat tidak

diberikan kepada Pemerintah dalam waktu 1x24 (satu

kali dua puluh empat) jam, Pemerintah dapat

melakukan pengeluaran dana Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara. Jika pengeluaran belum tersedia

anggarannya dan/atau melebihi pagu yang telah

ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara, dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara Perubahan tahun berjalan dan/atau

dilaporkan dalam laporan keuangan Pemerintah pusat.

Pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga

Penjamin Simpanan untuk mengatasi permasalahan

likuiditasnya dikecualikan dari ketentuan mengenai

pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh Pemerintah

dalam undang-undang yang mengatur mengenai

perbendaharaan dan undang-undang yang mengatur

mengenai keuangan negara. Ketentuan dan tata cara

pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin

Simpanan untuk mengatasi permasalahan likuiditasnya

134

diatur dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Dalam hal pengeluaran dana akan dipenuhi melalui

penerbitan SBN, persetujuan tertulis Dewan Perwakilan

Rakyat mencakup pula tambahan nilai bersih maksimal

SBN yang akan diterbitkan. Penerbitan SBN

dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan surat

utang negara sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang tentang Surat Utang Negara dan tujuan

penerbitan Surat Berharga Syariah Negara sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga

Syariah Negara. Pemerintah dapat melakukan

penerbitan SBN melebihi pagu yang ditetapkan dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang

bersangkutan untuk penanganan Kondisi Tidak Normal

dan/atau penanganan permasalahan Bank SIB.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan

SBN untuk penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau

penanganan Bank SIB diatur dengan Peraturan Menteri

Keuangan.

Bank Indonesia dapat membeli SBN pada pasar perdana

namun terbatas pada SBN yang dapat diperdagangkan.

Pembelian SBN oleh Bank Indonesia dilakukan

berdasarkan keputusan KSSK dengan

mempertimbangkan paling sedikit kesinambungan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tingkat

kesehatan neraca Bank Indonesia, efektivitas kebijakan

moneter, dan kondisi pasar SBN.

135

Dalam hal terdapat selisih kurang antara:

a. dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin

Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank

SIB dengan hasil penjualan Bank SIB dimaksud;

b. dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk

memenuhi penjaminan PLK dengan dana yang

diperoleh dari pembayaran kembali PLK oleh Bank

SIB; dan/atau

c. dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk

melakukan penanganan Kondisi Tidak Normal

dan/atau penanganan permasalahan Bank SIB

dengan pengembalian atas dana yang dikeluarkan

dimaksud,

Dana yang diperoleh dari pembayaran kembali PLK oleh

Bank SIB merupakan pembayaran kembali oleh Bank

SIB setelah Bank Indonesia menyerahkan hak tagih atas

PLK kepada Pemerintah setelah PLK jatuh tempo. Dana

yang diterima oleh Pemerintah berasal dari pembayaran

PLK oleh Bank SIB dan/atau hasil eksekusi agunan PLK

setelah Bank Indonesia menyerahkan hak tagih atas

PLK tersebut kepada Pemerintah

Selisih kurang tersebut merupakan biaya penanganan

Kondisi Tidak Normal dan/atau permasalahan Bank SIB

dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan.

h) Pertukaran Data dan Informasi

Anggota KSSK melakukan pertukaran data dan

informasi yang diperlukan dalam rangka pemeliharaan

SSK dan penanganan permasalahannya. Pertukaran

data dan informasi dilakukan melalui sekretariat KSSK.

136

Pertukaran data dan informasi tersebut dikecualikan

dari ketentuan kerahasiaan yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-

undangan yang dimaksud mencakup undang-undang

mengenai perbankan, pasar modal, perpajakan, dan

surat berharga negara.

i) Akuntabilitas dan Pelaporan

Terkait dengan akuntabilitas, KSSK memublikasikan

dan memberikan akses informasi kepada publik

mengenai keputusan KSSK. Menteri Keuangan

memublikasikan pemberian pinjaman kepada Lembaga

Penjamin Simpanan, Bank Indonesia memublikasikan

pemberian PLK kepada Bank yang mengalami kesulitan

likuiditas, Otoritas Jasa Keuangan memublikasikan

langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB,

Lembaga Penjamin Simpanan memublikasikan

pelaksanaan penanganan Bank SIB.

KSSK memublikasikan pelaksanaan tugas dan

wewenang yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini.

Mengenai jenis dan tata cara akses informasi oleh

publik, ditetapkan oleh KSSK.

Terkait dengan pelaporan, Koordinator KSSK

melaporkan kepada Presiden mengenai:

a. kondisi Stabilitas Sistem Keuangan paling sedikit 1

(satu) kali dalam 6 (enam) bulan;

b. penanganan Kondisi Tidak Normal;

c. penanganan permasalahan Bank SIB; dan/atau

137

d. pelaksanaan tugas dan wewenang Badan

Restrukturisasi Perbankan dalam rangka

penanganan permasalahan Bank.

j) Ketentuan Lain-lain

Anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat

KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian

Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,

dan Lembaga Penjamin Simpanan yang melaksanakan

tugas berdasarkan Undang-Undang ini mendapatkan

bantuan hukum dari lembaga yang diwakili atau

menugaskannya dalam menghadapi tuntutan hukum

yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan

wewenang KSSK. Dalam hal berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota

sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai

Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa

Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan yang

melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini

diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak

lain, sepanjang yang bersangkutan melaksanakan tugas

dan wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, ganti rugi dimaksud dibayarkan

oleh lembaga yang diwakili atau menugaskannya. Yang

dimaksud dengan tuntutan hukum mencakup tuntutan

hukum pidana dan perdata.

Keputusan yang ditetapkan oleh KSSK dan/atau

pelaksanaan dari keputusan tersebut oleh masing-

138

masing lembaga anggota KSSK berdasarkan Undang-

Undang ini adalah sah dan mengikat setiap pihak.

k) Ketentuan Penutup

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. Pasal 37A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);

b. Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 55 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);

dan

c. Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 69 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

139

Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Sejak Undang-Undang ini diundangkan, fungsi, tugas,

dan wewenang Komite Koordinasi sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4420) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4963), dilaksanakan

oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Forum Koordinasi

Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka

melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5253) sampai dengan

berlakunya Undang-Undang ini tetap sah dan mengikat.

Sebelum sekretariat KSSK ditetapkan, tugas dan

wewenang sekretariat KSSK termasuk pengelolaan

140

dokumen dilaksanakan oleh sekretariat Forum

Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,

memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini

dengan penempatannya dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia.

141

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan dalam

bab-bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan yaitu:

1. Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (ius constitutum) tidak dapat digunakan untuk

menjamin terselenggaranya Stabilitas Sistem Keuangan

karena hanya disusun untuk penanganan kondisi normal,

sehingga ketentuan tersebut tidak memadai untuk

penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan

permasalahan Bank SIB untuk memelihara SSK. Selain itu,

Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK yang selama ini

digunakan untuk mengatasi SSK, ditolak oleh DPR sehingga

tidak ada ketentuan yang secara materiil mengatur mengenai

pemeliharaan SSK dan menangani permasalahannya yang

bersifat antisipatif, proaktif, dan koordinatif yang harus

dilakukan oleh lembaga/otoritas yang terkait, baik secara

sendiri-sendiri maupun terkoordinasi dalam KSSK.

2. Keberadaan UU JPSK akan memberikan landasan hukum

yang kuat bagi lembaga/otoritas dalam melakukan koordinasi

dalam suatu kerangka sistem sehingga dapat memelihara SSK

dan menangani permasalahannya.

3. Landasan filosofis: bahwa dalam rangka mewujudkan

masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

Pancasila dan UUD NRI tahun 1945 diperlukan pembangunan

ekonomi nasional yang berkelanjutan, yang diwujudkan

dengan menciptakan perekonomian yang stabil dan tangguh

melalui Stabilitas Sistem Keuangan.

142

Dalam Kondisi Tidak Normal, terdapat kemungkinan

terjadinya kegagalan sejumlah Bank dalam waktu yang

bersamaan yang dapat membahayakan perekonomian

nasional. Penanganan bank-bank bermasalah tersebut

memerlukan pendekatan khusus dalam suatu jaring

pengaman sistem keuangan yang berbeda dengan

penanganan permasalahan Bank dalam kondisi normal.

Landasan sosiologis: bahwa dalam rangka mewujudkan

stabilitas sistem keuangan yang kokoh untuk menghadapi

ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang

dapat mengakibatkan kondisi sistem keuangan yang tidak

normal, diperlukan jaring pengaman sistem keuangan.

Dengan stabilnya sistem keuangan kita dan tertanganinya

permasalahan yang timbul dalam Kondisi Tidak Normal

akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor

keuangan, karena jaring pengaman sistem keuangan

memberikan landasan yang kuat bagi lembaga/otoritas

untuk mengambil keputusan strategis demi kepentingan

perekonomian nasional yang lebih luas.

Landasan yuridis UU JPSK dibentuk dalam rangka

melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah

beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1999 tentang BI Menjadi Undang-Undang, serta Pasal

69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

OJK.

143

4. Sasaran yang ingin diwujudkan adalah Stabilitas Sistem

Keuangan yang kokoh dalam menghadapi ancaman Kondisi

Tidak Normal. UU JPSK ini akan memberikan landasan

hukum dalam mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas

terkait serta pengambilan keputusan yang terpadu,

transparan, akuntabel, dan cepat untuk menanggulangi

Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank SIB sehingga

tetap dapat terpelihara SSK dan penanganan

permasalahannya SSK.

Lingkup materi yang diatur meliputi: (i) koordinasi dalam

rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem

Keuangan, (ii) penanganan Kondisi Tidak Normal, serta (iii)

penanganan permasalahan Bank SIB, baik dalam kondisi

Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak

Normal. Dengan demikian, Undang-Undang ini pada dasarnya

hanya memuat pengaturan mengenai penanganan

permasalahan Bank SIB yang tidak dapat ditangani oleh

otoritas secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangan

yang dimilikinya. Sedangkan untuk Bank yang tidak

termasuk dalam Bank SIB, penanganan permasalahan Bank

tersebut dilaksanakan oleh otoritas sesuai dengan

kewenangan yang diatur dalam undang-undang masing-

masing. Dalam Kondisi Tidak Normal dan terdapat

permasalahan perbankan yang masif dan membahayakan

perekonomian nasional, KSSK dapat mengaktifkan Badan

Restrukturisasi Perbankan untuk mengatasi permasalahan

Bank.

144

B. Saran

Berdasarkan simpulan tersebut, dapat dikemukakan

beberapa saran sebagai berikut:

1. Terdapat beberapa substansi yang perlu diatur lebih lanjut

dalam peraturan lembaga/otoritas terkait.

2. Mengingat pentingnya JPSK, pembahasan mengenai RUU

tentang JPSK diusulkan untuk dilakukan dalam masa sidang

DPR tahun 2015.

3. Untuk mendukung keberhasilan penerapan UU tentang JPSK

perlu dilakukan sosialisasi, komunikasi, dan edukasi kepada

masyarakat luas khususnya kepada pelaku industri di sektor

keuangan.

145

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Makalah

Bagehot, W. (1873). Lombard Street: A Description of the Money

Market. London: H.S. King.

Beck, T. (2003). “The Incentive Compatible Design of Deposit

Insurance and Bank Failure Resolution-Concepts and Country

Studies”.

Bolzico, J, Mascaro, Y and Granata, P (2007). “Practical Guidelines

for Effective Bank Resolution” World Bank Policy Research

Working Paper no. 4389.

Bordo, M. (1990). "The Lender of Last Resort: Alternative Views and

Historical Experience" Economics Review 76 (1): 18–29.

Basel Committee on Banking Supervision. (2011). “Resolution

Policies and Frameworks – Progress so Far”.

Diamond, Douglas D and Dybvig, Philip H. (1983). “Bank Runs,

Deposit Insurance, and Liquidity” Journal of Political Economy

Volume 91 No. 3.

Enoch et al. (2001). “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two

Years of Living Dangerously 1997-1999” IMF Working Paper

WP/01/02.

Federal Deposit Insurance Corporation. “FDIC Resolutions

Handbook Chapter 5 - Open Bank Assistance Transactions”.

Financial Stability Board. (2014). “Key Attributes of Effective

Resolution Regimes for Financial Institutions”.

Financial Stability Board. (2014). “Key Attributes of Effective

Resolution Regimes for Financial Institutions, Key Attributes-

Financial Stability Board 2014: Peer Review of Indonesia”.

146

Freixas et al. (1999). “Systemic Risk, Interbank Relations, and

Liquidity Provision by the Central Bank" Journal of Money,

Credit and Banking. Ohio: Ohio State University Press.

He, Dong. (2000). “Emergency Liquidity Support Facilities” IMF

Working Paper No.WP/00/79.

Hoggarth, Glenn and Reidhill, Jack and Sinclair, Peter J. N. (2004).

“The Resolution of Banking Crises: Theory and Evidence” Bank

of England Working Paper No. 229.

International Association of Deposit Insurers. (2005). “General

Guidance for Resolution of Bank Failures”.

International Monetary Fund. (2015). “Republic of Korea: Crisis

Preparedness And Crisis Management Framework, Technical

Note” Country Report No. 15/5.

International Monetary Fund. (2010). “Indonesia: Financial System

Stability Assessment” Country Report No. 14/126.

Kaufman, George. (1991). Lender of Last Resort: A Contemporary

Perspective. Journal of Financial Services Research Volume 5.

Manna, M. (2009) “Emergency Liquidity Assistance at Work: Both

Words and Deeds Matter” Studi e Note di Economia Anno XIV

No. 2-2009.

McGuire, Claire L. (2012). “Simple Tools to Assist in the Resolution

of Troubled Banks”. Washington DC: World Bank.

Mishkin, Frederic S. (2000). “The International Lender of Last

Resort: What Are The Issues?” NBER Working Paper.

Nakaso, H. (2001). “The Financial Crisis in Japan During the 1990s:

How the Bank of Japan Responded and the Lessons Learnt”

BIS Papers No. 6.

Schich, Sebastian. (2008), Financial Crisis: Deposit Insurance and

Related Financial Safety Net Aspects, Financial Market Trends.

OECD.

147

Solow, Robert. (1982). “On the Lender of Last Resort in C. P.

Kindleberger and J. P. Laffargue (eds.), Financial Crisis: Theory,

History, and Policy”. Cambridge: Cambridge University Press.

The Bank of Korea. (2014). Korea Financial Stability Report.

Thornton, H. (1802). An Enquiry into the Nature and Effects of the

Paper Credit of Great Britain. Fairfield: Augustus M. Kelley.

B. Peraturan Perundang-undangan

Perpu Nomor 04 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem

Keuangan;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan;

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi

Undang-Undang;

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan;

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan;

Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu

Nomor 03 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang

Negara;

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga

Syariah Negara;

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

148

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara;

Undang-Undang Nomor 27 tahun 2014 tentang APBN Tahun

Anggaran 2015.