naskah akademis rancangan peraturan...
TRANSCRIPT
1
NASKAH AKADEMIS
RANCANGAN PERATURAN
DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA
TENTANG PENYELENGGARAAN
PELAYANAN PUBLIK
KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT KABUPATEN JEMBRANA
DAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
2
KATA PENGANTAR
Pemerintah Kabupaten Jembrana bekerjasama dengan
Fakltas Hukum Universitas Udayana untuk menyusun
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang
Pelayanan Publik beserta Konsep Awal Rancangan Peraturan
Daerah. Berdasarkan kerjasama tersebut Fakultas Hukum
pengerjaannya ditugaskan kepada Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana (PPH FH-UNUD), yang
selanjutnya membentuk tim peneliti yang bertugas melakukan
penelitian hukum dan menuangkannya dalam bentuk Naskah
Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah .
Naskah Akademik ini sebagai karya penelitian hukum ‒ tidak
menutup, bahkan sangat mengharapkan, kritik dan saran dari
pembaca, untuk penyempurnaannya. Terutama dalam konsultasi
publik, masukan dari masyarakat sangat diperlukan dalam
penyempurnaan Naskah Akademik dan Konsep Awal Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan
Publik.
Terimakasih disampaikan kepada pimpinan Fakultas Hukum
Universitas Udayana dan Pemerintah Kabupaten Jembrana,
sehingga Tim Peneliti mempunyai kesempatan mengembangkan
bidang keilmuannya. Terimakasih juga pada anggota Tim Peneliti
atas dedikasi dan integritasnya sehingga tugas ini dapat
diselesaikan.
Denpasar, November 2015
Tim Peneliti PPH FH-UNUD
Ketua,
3
DAFTAR ISI
Narasi Pengantar ……………………………………………….. ii
Daftar Isi ……………………………………………….. iv
Daftar Tabel ……………………………………………….. vii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1
A. Latar Belakang ……………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah………………………………… 6
C. Tujuan dan Kegunaan………………………………. 6
D. Metode………………………………………………….. 8
BAB II KAJIAN TEORITIS……………………………………………. 13
A Kajian Teoritis………………………………………… 13
B Kajian terhadap asas / prinsip yang terkait
dengan penyusunan norma……………………….
15
C Kajian Kajian terhadap praktik
penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat………
20
D Kajian terhadap implikasi penerapan sistem
baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah
terhadap aspek kehidupan masyarakat dan
dampaknya terhadap aspek beban keuangan
daerah…………………………………………………….
24
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURANPERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT……………………………………….
25
A Kondisi Hukum Dan Satus Hukum Yang Ada
B Keterkaitan Dengan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Lain........................................
28
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN
4
YURIDIS………………............................................ 32
A. Pandangan Akhli dan UU 12/2011…………. 32
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH…
40
A Ketentuan Umum……………………………………… 40
B Materi Yang Akan Diatur………………………........ 42
BAB VI PENUTUP…………………………………………………………. 44
A Simpulan ……………………………………………….. 44
B Saran……………………………………………………… 45
DAFTAR PUSTAKA >> 46
LAMPIRAN:
Racangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Tentang
Pelayanan Publik
5
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU
12/2011 dan Penjelasannya)……………………………………..
16
Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 yat (1)
dan ayat (2) UU 12/2011 dan penjelasan……………………
17
Tabel 3 : Visi dan Misi....................................................................... 22
Tabel 4 : Jenis Layanan Perizinan Di Kabupaten Jembrana Tahun
2014...............................................................................
22
Tabel 5: Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan......... 31
Tabel 6 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
menurut Para Sarjana Indonesia.....................................
34
Tabel 7 : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan
perundang-undangan……………………………………………….
38
Tabel 8 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011……
39
6
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan publik sesungguhnya yang menjadi produk dari
organisasi pemerintahan adalah pelayanan masyarakat (publik
service). Pelayanan tersebut diberikan untuk memenuhi hak
masyarakat, baik itu merupakan layanan civil maupun layanan
public dalam bentuk pelayanan jasa dan barang. Pelayanan pada
dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak yang didasrkan
pada komitmen pelayanan yang melekat pada setiap orang, baik
secara pribadi maupun berkelompok (organisasi), dan dilakukan
secara universal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir
(1998:41) bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal,
berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan
oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan
pelayanan.” 1
Pemerintah Kabupaten Jembrana belum memiliki dasar
pengaturan tentang pelayanan public. Pemerintah Kabupaten
Jembrana terus berbenah diri dengan meningkatkan sumber daya
manusia (SDM) dalam upaya meningkatkan pelayanan publik .
Sarana dan prasarana juga terus dilengkapi sehingga aparatur
negara mampu lebih cepat memberikan pelayanan terhadap
keperluan masyarakat, baik terhadap perizinan, kependudukan,
kesehatan, maupun keperluan lainnya. Kawasan perkantoran
Pemerintah Kabuapten Jembrana cukup strategis, dan beberapa
instansi terkait berada dalam suatu kawasan sehingga
mempermudah masyarakat jika berhubungan dengan aparatur
pemerintah. Aparatur pemerintah yang mampu melakukan tugas
1 http://tentangpelayananpublik.blogspot.com/, 9 Oktober 2014
2
dengan baik dan cekatan tentu akan menerima penghargaan dari
pemerintah, upaya itu guna mendorong aparat melakukan tugas
dengan baik. Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan
mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas
pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan
umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu
proses pelaksanaan urusan publik.2 Sedangkan tugas mengatur
lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat
pada posisi jabatan birokrasi. Keberadaan pelayanan publik
sebagai bentuk pelayanan penyelenggaraan administrasi
pemerintah, pembangunan dan masyarakat Kabupaten Jembrana
, memiliki peranan dan fungsi strategis sebagai bahan
pertanggungjawaban proses administrasi dan fungsi-fungsi
manajemen.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menentukan
pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum
konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah. Mengenai
otonomi dan tugas pembantuan ditentukan dalam Pasal 18 ayat
(2) UUD 1945, bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5)
UUD 1945).
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
2 http://tentangpelayananpublik.blogspot.com/, 9 Oktober 2014
3
Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587). UU 23/2004 merupakan dasar hukum
pembentukan peraturan daerah. Pasal 236 menentukan:
Pasal 236
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan TugasPembantuan, Daerah membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. (4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 344 ayat (1) Undang-Undang No 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan daerah mengatur bahwa Pemerintah Daerah
wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 No. 32) Dalam Pasal Produk
hukum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
berbentuk:
a. Perda atau nama lainnya;
b. Perkada;
c. PB KDH; dan
d. Peraturan DPRD
Pasal 5 UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (
selanjutnya disebut UU Pelayanan Publik ) adalah menyangkut
dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah.Pengaturan
dasar kewenangan dimaksud adalah :
4
(1) Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang
publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan,
jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait.
(3) Pelayanan barang publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; b. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan
oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau
kekayaan daerah yang dipisahkan; dan c. pengadaan dan penyaluran barang publik yang
pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian
atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya
menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Pelayanan atas jasa publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah; b. penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal
pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
c. penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi skala kegiatan yang didasarkan pada ukuran
besaran biaya tertentu yang digunakan dan jaringan yang
5
dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk dikategorikan
sebagai penyelenggara pelayanan publik. (6) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah.
(7) Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh
negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan
dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda.
b. tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang
diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan
perjanjian dengan penerima pelayanan.
Pengaturan terkait dengan materi muatan diatur dalam Pasal
8 yang mengatur :
(1) Organisasi Penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan
pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan.
(2) Penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya meliputi:
a. pelaksanaan pelayanan; b. pengelolaan pengaduan masyarakat;
c. pengelolaan informasi; d. pengawasan internal;
e. penyuluhan kepada masyarakat; dan f. pelayanan konsultasi.
(3) Penyelenggara dan seluruh bagian Organisasi Penyelenggara
bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan
kegagalan penyelenggaraan pelayanan.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah mengatur No 96 Tahun
2011 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tentang
Pelayanan Publik mengatur bahwa Materi muatan yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi :
a. ruang lingkup pelayanan publik; b. sistem pelayanan terpadu;
c. pedoman penyusunan standar pelayanan; d. proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat dalam
pelayanan berjenjang; dan
6
e. pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
Berkenaan dengan materi muatan peraturan daerah. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya
disebut PP 38/2007), yang memasukan urusan pemerintahan
bidang pelayanan publik diatur dalam Lampiran huruf T PP
38/2007 (huruf T tersebut tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum,
Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian,
Dan Persandian).
Ketentuan tersebut diimplementasikan dalam Peraturan
Daerah Kabupaten JembranaNomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintah Kabupaten Jembrana. Berdasarkan UU 23 Tahun
2014 menunjukan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana
memiliki kewenangan mengatur dalam bentuk Peraturan Daerah.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan
identifikasi masalah, yakni bahwa Pelayanan Publik di Kabupaten
Jembrana merupakan suatu hal yang mendapat perhatian
sehingga perlu dilakukan pengaturan, oleh karena itu perlu
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembranatentang
Pelayanan Publik.
Berdasarkan pada identifikasi masalah tersebut dapat
dirumuskan 3 (tiga) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana tentang Pelayanan Publik ?.
7
2. Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Jembran tentang Pelayanan Publik ?.
3. Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang
Pelayanan Publik ?.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN
NASKAH AKADEMIK
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik
dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik .
2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Jembranatentang Pelayanan Publik .
3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang
Pelayanan Publik
Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah
sebagai acuan penyusunan dan pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan
Publik.
8
D. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah
Akademik digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian
hukum.3
D.1 Jenis Penelitian.
Di dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis penelitian
yaitu : 4
a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal, mempergunakan data sekunder berupa ;
peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hukum terkemuka, Analisis data sekunder dilakukan secara normative kualitatif
yaitu yuridis kualitataif.
b. Metode penelitian hukum sosiologis / empiris,
mempergunakan semua metode dan tehnik-tehnik yang lasim dipergunakan di dalam metode-metode penelitian
ilmu-ilmu sosial / empiris.
Bertitik tolak dari pemasalahan yang diangkat dalam kajian
ini, maka jenis penelitian dalam kajian ini mempergunakan
penelitian hukum normative. Dalam beberapa kajian jenis
penelitian seperti ini juga disebut dengan penelitian dogmatik.5
Dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji persoalan
hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari
bahan hukum primer ( primary sources or authorities ) bahan-
bahan hukum sekunder ( secondary sources or authorities ) dan
bahan hukum tersier ( tertier sources or authorities ). Bahan-bahan
3 Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum
Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor, hal. 177-178. 4 Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia
Indonesia Jakarta, 1985, hal. 9. 5 Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta )
Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan
Bandung, hal. 109-110.
9
hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan,
bahan-bahan hukum sekunder dapat berupa makalah, buku-
buku yang ditulis oleh para ahli dan bahan hukum tersier berupa
kamus bahasa hukum dan kamus bahasa Indonesia.
D.2. MetodePendekatan.
Dalam penelitian hukum normative ada beberapa metode
pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan ( statute
approach ), pendekatan konsep (conceptual approach ), pendekatan
analitis ( analytical approach ), pendekatan perbandingan (
comparative approach ), pendekatan histories ( historical approach
), pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan pendekatan
kasus ( case approach).6 Dalam penelitian ini digunakan beberapa
cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (
statute approach ), pendekatan kasus ( case approach ) dan
pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ).
Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ),
dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang
bersangkut paut dengan pendelegasian kewenangan, antara lain
UU Kearsiapan dan UU Pemda.
Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach )
dilakukan dengan menelaah pandangan-pandangan mengenai
pendelegasian kewenangan sesuai dengan penelitian ini..7
Disamping itu digunakan pendekatan kontekstual terkait dengan
penrapan hukum dalam suatu waktu yang tertentu.
6 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, hal. 93-137.
7 Ibid, hal. 19.
10
D.3. Sumber Bahan Hukum.
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.8 Bahan hukum primer adalah segala
dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini
adalah UU Kearsiapan dan UU Pemda serta peraturan perundang-
undangan yang lain yang terkait dengan pendelegasian
kewenangan mengatur pada peraturan perundang-undangan.
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan
hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, termasuk di
dalamnya kamus dan ensiklopedia.
Selain itu akan digunakan data penunjang, yakni berupa
informasi dari lembaga atau pejabatdi lingkungan Pemerintah
Daerah Kabupaten Jembrana
D.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Bahan hukum dikumpulkan melakukan studi dokumentasi,
yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang
relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum
tersier.Untuk mendukung bahan hukum tersebut dilakukan
wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan yang terkait
dengan Pelayanan Publik.
1.6.5. Teknis Analisis Bahan Hukum
Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang
dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi,
interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Philipus
8 C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada
Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung, hal. 134.
11
M.Hadjon mengatakan bahwa tehnik deskripsi adalah mencakup
isi maupun struktur hukum positif.9 Pada tahap deskripsi ini
dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan
hukum yang dikaji .dengan demikian pada tahapan ini hanya
menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.10 Lebih
lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan :
The relation berween a given formulation and specific complex
of facts.The technique of argumentation demanded by this method is directed toward discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either covered by it or not.11
( terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep
yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan
kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang saling melengkapi satu sama lain )
Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I
Dewa Gede Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat
dibedakan menjadi :12
1. Penafsiran otentik ; yakni penafsiran yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran
ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang
dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan (
biasanya sebagai lampiran ). Penafsiran otentik ini
mengikat umum ;
9 Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif )
dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember hal. 33. 10 Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-
rouz, hal. 16. 11 Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press,
Barkely & Los Angeles, hal. 111. 12 I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka
Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada
FH.UNUD, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II ), hal. 14 .
12
2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang
ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak
yang bersangkutan ;
3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum ; merupakan
penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan
buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini
tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun karena
wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan,
secara materiil mempunyai pengaruh terhadap
pelaksanaan undang-undang.
Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I
Dewa Atmadja di atas, maka untuk membahas persoalan hukum
yang akan dikaji, akan dipergunakan penafsiran otentik,
penafsiran gramatikal dan penafsiran sejarah hukum.
Penafsiran otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah
penafsiran yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh
pembentuk undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya
dan peraturan perundang-undangan yang lain.
Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini
dilakukan dalam kaitannya untuk menemukan makna atau arti
aturan hukum, khususnya aturan hukum yang berkaitan dengan
Penyelenggaraan Kearsipan.
13
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Tugas utama pemerintah adalah memberikan kesejahteraan
dan kemakmuran bagi masyarakatnya, melayani kepentingan
masyarakat secara merata dan berkedilan, memberikan
perlindungan dan rasa aman serta kemudahan dalam
memberikan pelayanan. Pengertian Layanan Publik,
Sesungguhnya yang menjadi produk dari organisasi pemerintahan
adalah pelayanan masyarakat (public service). Pelayanan tersebut
diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik itu merupakan
layanan civil maupun layanan publik. Artinya kegiatan pelayanan
pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak. Ia melekat
pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok
(organisasi), dandilakukan secara universal. Pelayanan publik
atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk
jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa
publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan
dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya,
pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
14
1. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang
diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua
penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan
oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS,
perusahaan pengangkutan milik swasta.
2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang
diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat
dibedakan lagi menjadi :
a. Yang bersifat primer dan,adalah semua penye¬diaan
barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh
pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan
satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau
tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah
pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan
pelayanan perizinan.
b. Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk
penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan
oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya
pengguna/klien tidak harus mempergunakannya
karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
Ada lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan
ketiga jenis penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, yaitu:
1. Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan
sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh
pengguna.
2. Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi posisi tawar
pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang
pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
15
3. Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah
penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya
dengan pengguna/klien.
4. Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang
memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna
ataukah penyelenggara pelayanan.
5. Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan
pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih
dominan.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa
“hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku
terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh
organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan
pelayanan.” Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan
mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas
pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan
umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu
proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur
lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat
pada posisi jabatan birokrasi
B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT
DENGAN PENYUSUNAN NORMA
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan hukum, yakni adanya
keadilan dan kepastian hokum, adalah telah dipositipkan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam undang-undang
sebagaimana dimaksud, asas yang bersifat formal diatur dalam
Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6.
Pengertian masing-masing asas ini dikemukakan dalam
16
penjelasan pasal dimaksud. Dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, asas yang bersifat formal
pengertiannya dapat dikemukakan dalam tabel berikut.
Tabel 1 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasannya)
Pasal 5 UU 12/2011 Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011
Dalam membentuk
Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik,
yang meliputi:
a. kejelasan tujuan
bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (PPu) harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat
bahwa setiap jenis PPu harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk PPu yang berwenang. PPu tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara
jenis, hierarki, dan materi
muatan
bahwa dalam Pembentukan PPu harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan
jenis dan hierarki PPu.
d. dapat
dilaksanakan
bahwa setiap Pembentukan PPu harus
memperhitungkan efektivitas PPu tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. kedayagunaan
dan kehasilgunaan
bahwa setiap PPu dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
f. kejelasan rumusan
bahwa setiap PPu harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan PPu,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
17
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan bahwa dalam Pembentukan PPu mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan PPu.
Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan
Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya,
sebagaimana tampak dalam tabel berikut.
Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)
PASAL 6 UU 12/2011 PENJELASAN PASAL 6 UU
12/2011
Ayat (1) Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan
asas:
a. Pengayoman
bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan (PPu) harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Kemanusiaan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan
hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara
dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan bahwa setiap Materi Muatan PPu
18
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan
bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan
bahwa setiap Materi Muatan PPu senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan PPu
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika bahwa Materi Muatan PPu harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah
serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Keadilan
bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara.
h. Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan
bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan
Kepastian Hukum
bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian
hukum.
j. Keseimbangan, Keserasian, dan
Keselarasan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
19
individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2)
PPu tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga
tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata,
misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan
berkontrak, dan itikad baik.
Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan
Asas-asas tersebut kemudian membimbing para legislator
dalam perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum, yang
berlangsung dengan cara menjadikan dirinya sebagai titik tolak
bagi permusan norma hukum dalam aturan hukum.
Berdasarkan Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009 Penyelenggaraan
Pelayanan Publik berasaskan:
a. kepentingan umum; b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan; f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Dalam Pasal 344 Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah mengatur tentang asas-asas yang melandasi
tentang pelayanan public antara lain :
a. kepentingan umum;
20
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan; f. partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan; i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Penyusunan Raperda Kabupaten Jembranadidasarkan pada
asas-asas tersebut di atas, baik asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang formal dan materiil, maupun
asas yang termuat dalam UU Pelayanan Publik dan dalam UU
Pemda .
C.KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN, KONDISI
YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
MASYARAKAT
Pemerintah Kabupaten Jembrana sangat menyadari bahwa
otonomi daerah dilaksanakan untuk mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat utamanya dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang berkualitas termasuk memberi ruang kepada
masyarakat untuk menyampaikan pengaduan atas
penyelenggaraan pelayanan publik. Pengaduan maksudnya
adalah pengaduan masyarakat yang merupakan bentuk
penerapan dari pengawasan masyarakat yang disampaikan oleh
masyarakat, baik secara lisan maupun tertulis kepada Aparat
Pemerintah Daerah, berupa saran, gagasan atau
keluhan/pengaduan yang bersifat membangun.
Setiap penyelenggara pelayanan publik memang harus terus
menerus melakukan upaya untuk membangun kepercayaan
masyarakat terhadap pelayanan publik yang diselenggarakannya
21
agar seiring dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap
peningkatan pelayanan publik. Peningkatan kualitas pelayanan
publik dapat dilakukan melalui penyediaan pelayanan publik
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang
baik serta memberi perlindungan kepada masyarakat dari
penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan
publik.
Pemerintah Kabupaten Jembrana melkaukan upaya melalui
reformasi paradigma lama melalui peningkatan kesadaran
perangkat birokrasi yang dimanifestasikan antara lain dalam
perilaku : 13
a. melayani bukan dilayani;
b. mendorong bukan menghambat; c. mempermudah bukan mempersulit;
d. sederhana bukan berbelit-belit; e. transparan bukan tertutup; f. terbuka untuk setiap orang dan bukan unutk
segelintir orang.
Kantor Pelalayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana
dalam memberikan layanan perizinan memerapkan Standar
Operasional yang konsisten pedoman :
1. arah dan kepastian;
2. proporsional;
3. professional;
4. berstandar;
5. serta memenuhi prinsip-prinsip pelayanan prima yang
mengarah pada tercapainya tujuan, visi dan misi.
Visi dan misi pelayanan public yang selama ini dalam praktek di
Kabupaten Jembrana antara lain :
13
Kantor Pleyanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana, 2014,
Buku Pelayanan Perijinan Terpadu, h. 2-4
22
Tabel 3 : Visi dan Misi
Visi Terwujudnya pelayanan prima di bidang perizinan dan
non perijinan dengan pola pelayanan terpadu dengan loket yang cepat, tepat, benar dan transpara.
Misi Memberikan pelayanan yang berkualitas dan merata bagi
masyarakat dengan kepastian prosedur, biaya dan waktu yang ditetapkan
Sumber : Kantor Pelalayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana
Jumlah layanan yang dilayani sebanyak 69 jenis, terdiri dari
layanan perijinan sebanyak 51 buah, nonperijinan 12 buah, akta
catatan sipil 5 buah dan 1 buah layanan Kartu Tanda Pencari
Kerja dengan rincian dalam tabel sebagi berikut :
Tabel 4 : Jenis Layanan Perizinan Di Kabupaten Jembrana Tahun 2014
No Nama Jenis Pelayanan Keterangan
1 Persetujuan prinsip Non Perizinan
2 Izin Lingkungan Perizinan
3 Izin Undang-Undang Gangguan ( HO) Perizinan
4 Izin Mendirikan Bangunan ( IMB) Perizinan
5 Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) Perizinan
6 Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha ( TDU ) Usaha penggilingan Padi/ Huller dan
penyosohan beras
Perizinan
7 Izin Pemasangan Reklame Perizinan
8 Izin Usaha Hotel Perizinan
9 Izin Usaha Pondok Wisata Perizinan
10 Izin Usaha restoran /Rumah Makan/Warung
Wisata
Perizinan
11 Rekomendasi pemakaian gedung Mandapa Kesari
Non Perizinan
12 Rekomendasi pemakaian Tanah Lapang Non Perizinan
13 Izin Usaha Peternakan Perizinan
14 Tanda Pendaftaran peternakan Rakyat Perizinan
15 Izin pemotongan ternak, penganan daging serta hasil ikutannya
Perizinan
16 Izin Usaha Perikanan Perizinan
17 Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Perizinan
18 Tanda Daftar Usaha Perikanan Perizinan
19 Izin Menebang Kayu Kebun /Kayu Rakyat Perizinan
20 Surat Ijin Usaha Konstruksi (S IUJK) Perizinan
21 Pengesahan Nomor Kode Tenaga Teknik ( Non Perizinan
23
NKTT)
22 Tanda Pendaftaran Usaha (TPU ) VCD Rental Non Perizinan
23 Izin Menyelenggaran pendidikan Khusus Luar sekolah
Perizinan
24 Izin Usaha Pengelolaan Pasar Tradisional Perizinan
25 Izin Usaha Pusat Perbelanjaan ( IUPP) Perizinan
26 Izin Usaha Toko Modern ( IUTM) Perizinan
27 Surat Izin Usaha Perdagangan ( SIUP) Perizinan
28 Surat Izin Perdagangan Minuman Beralkohol Perizinan
29 Surat Izin penjualan Minuman Beralkohol Perizinan
30 Tanda Daftar Perusahaan ( TDP) Non Perizinan
31 Izin Usaha Undustrai Perizinan
32 Tanda Daftar Industri ( TDI) Non Perizinan
33 Tanda Daftar Gudang ( TDG) Non Perizinan
34 Izin Apotek Perizinan
35 Izin Optical Perizinan
36 Izin Berpraktek Dokter Umum Perizinan
37 Izin Berpraktek Dokter Gigi Perizinan
38 Izin Klinik; BP; RB; BKIA Perizinan
39 Izin Balai Pengobatan Gigi Perizinan
40 Izin Unit Tranfusi Darah Perizinan
41 Izin Tukang Gigi Perizinan
42 Izin Praktik Fisioterapi Perizinan
43 Izin Praktik Perorangan Dokter / Dokter Gigi Perizinan
44 Surat Izin Praktik bidan ( SIPB) Perizinan
45 Surat Izin Praktik perawat ( SIPP) Perizinan
46 Sertifikat Produksi Pangan Rumah Tangga (
SPP-IRT)
Non Perizinan
47 Izin Toko Obat Perizinan
48 Izin Salon Kecantikan Perizinan
49 Surat Izin Kerja Tenaga Medis Perizinan
50 Ijin Laboratoriun Kesehatan Swasta Perizinan
51 Surat Izin Mendirikan Rumah Sakit Umum Perizinan
52 Izin Operasional Rumah Sakit Umum Perizinan
53 Izin Operasional menara ( IOM) Perizinan
54 Izin Penimbunan / Penyimpanan BBM Perizinan
55 Rekomendasi penutupan Jalan Non Perizinan
56 Izin Usaha Angkutan Kendaraan Umum Perizinan
57 Kartu Tanda Pemilikan Izin Usaha Angkutan
Kendaraan Bermotor Umum
Non Perizinan
58 Izin Trayek Angkutan Pedesaan Perizinan
59 Izin Insidentil ( Penyimpanan Trayek) Perizinan
60 Surat Tanda Uji Kendaraan Bermotor Non Perizinan
61 Izin Tempat Penampungan Sementara ( TPS) Limbah B3
Perizinan
62 Izin Pembungan limbar cair ( IPLC) Perizinan
24
63 Izin Pengambilan dan pemanfaatan Air Tanah
Perizinan
64 Akta Perkawinan Perizinan
65 Akta Perceraian Perizinan
66 Akta Kematian Perizinan
67 Akta Kelahiran Perizinan
68 Akta Pengangkatan Anak, Pengakuan Anak, Pengesahan Akata Anak, Perubahan Nama
Perizinan
69 Kartu Tanda Pencari Kerja ( AK-1) Tenaga kerja
Sumber : Buku Pelayanan Perizinan Terpadu Yang Diterbitkan Oleh
Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Jembrana Tahun 2014
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PADA ASPEK KEHIDUPAN
MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA PADA ASPEK BEBAN
KEUANGAN DAERAH.
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembranatentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik merupakan
sarana untuk menjaga agar terlaksananya :
a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak,
tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak
yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang
layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan
korporasi yang baik;
c. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; dan
d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembranatentang Pelayanan Publik membawa implikasi pada
aspek keuangan daerah, sehingga sangat diperlukan adanya
pengaturan sebagai dasar penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana .
25
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG MENJADI DASAR HUKUM DAN YANG
TERKAIT
A. KONDISI HUKUM DAN SATUS HUKUM YANG ADA
Dengan diberlakukannya UU No. 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, seluruh instansi pemerintah dituntut untuk
dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat yaitu pelayanan yang cepat, mudah, murah dan
akuntabel. Untuk itu setiap unit pelayanan diharapkan mampu
berinovasi menciptakan berbagai terobosan yang memudahkan
masyarakat mendapatkan layanan tanpa melanggar norma hukum
yang berlaku.
Pemerintah Daerah menyadari bahwa dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah, salah satu
faktor yang menentukan adalah kualitas pelayanan publik. Dalam
hal peningkatan kualitas pelayanan publik, Pemkab Jembrana
memiliki komitmen yang jelas, hal itu dapat dibuktikan dalam
RPJMD Kabupaten Jembrana dengan tegas tercantum
peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi salah satu
prioritas pembangunan daerah. Atas dasar prioritas pembangunan
daerah tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik diantaranya membentuk
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu sebagai wujud Pelayanan
Terpadu Satu Pintu dan memberikan penghargaan bagi
SKPD/unit pelayanan yang berprestasi dan memiliki komitmen
dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
26
Pembentukan (BPPT) yang mulai beroperasi 1 Mei 2013 lalu
merupakan wujud nyata komitmen kami dalam mempermudah
dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat serta mendorong
tumbuhnya iklim investasi yang sehat di Kabupaten Jembrana,”
tegas Bupati seraya menambahkan dalam memberikan pelayanan
dan memimpin Jembrana selalu dengan hati yang tulus.
Selain itu menurut Bupati, bahwa dalam upaya untuk
mendapatkan masukan dari masyarakat, Jembrana juga sudah
mengarahkan agar seluruh SKPD untuk melakukan survey Indeks
Kepuasan Masyarakat (IKM).
Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Jembranatentang
Pelayanan Publik adalah:
1. Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038).
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun
27
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor
473 ).
6. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik
7. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan
Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2012 Petunjuk
Teknis Penyusunan, Penetapan, Dan Penerapan Standar
Pelayanan.
8. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten
Jembrana(Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana
Tahun 2008 Nomor 2).
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum
konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah.
Pemerintahan daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
(Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat
(Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).
Ketentuan tersebut menjadi politik hukum pembentukan
peraturan daerah tentang Pelayanan Publik. Sebagai dasar hukum
formal pembentukan perda ini adalah Pasal 18 ayat (6) UUD 1945,
sebagaimana juga ditentukan pada Pedoman 39 Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3U) Lampiran UU
12/2011, yang menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan
28
Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945..
B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG LAIN
Dalam sistem negara hukum modern, kekuasaan Negara
dibagi dan dipisah-pisahkan antara cabang-cabang kekuasaan
legislative, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan untuk membuat
aturan dalam kehidupan bernegara dikonstruksikan berasal dari
rakyat yang berdaulat yang dilembagakan dalam organisasi negara
di lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat misalnya
kekuasaan membentuk undang-undang merupakan kekuasaan
negara yang dipegang oleh badan legislatif.14 Sedangkan cabang
kekuasaan pemerintahan negara sebagai organ pelaksana atau
eksekutif hanya menjalankan peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh cabang legislative. Sementara itu cabang
kekuasaan kehakiman atau yudikatif bertindak sebagai pihak
yang menegakkan peraturan-peraturan itu melalui proses
peradilan.
Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya
dituangkan dalam undang-undang dasar atau hukum yang
tertinggi di bawah undang-undang dasar ada undang-undang
sebagai bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislatif. Namun
karena materi yang diatur dalam undang-undang itu hanya
terbatas pada soal-soal umum, diperlukan pula bentuk-bentuk
peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana undang-
undang yang bersangkutan. Lagi pula sebagai produk lembaga
14 Made Subawa, 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan
Membentuk Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca perubahan UUD 1945, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga, Surabaya, hal. 1.
29
politik seringkali undang-undang hanya dapat menampung
materi-materi kebijakan yang bersifat umum. Forum legislatif
bukanlah forum teknis melainkan forum politik, A.V.Dicey
menyetujui adanya pendelegasian kewenangan ;
The cumbersomeness and prolixity of English statute is due in
no small measure to futile endeavoursof Parliament to work
out the details of large legislative changes… the substance no
less than the form of law would,it is probable, be a good deal
improved if the executive government of England could, ike
that of France , by means of decrees, ordinances, or
proclamations having yhe force of law, work out the detailed
application of the general principles embodied in the acts of
the legislature [(1898),1959,pp52-53].15
( terjemahan bebasnya : Kesulitan dalam penggunaan dan
bertele-telenya Undang-undang di Inggris adalah
dikarenakan tidak adanya ukuran untuk melakukan usaha
yang sia-sia dari parlemen untuk menyelesaikan pekerjaan
perubahan legislative yang besar secara
terperinci…persoalan bentuk hukum yang diinginkan,
dimana hal tersebut memungkinkan, akan merupakan
peningkatan persetujuan yang baik apabila pemerintah
eksekutif di Inggris bisa seperti di Prancis, yang diartikan
sebagai dekrit, peraturan, atau proklamasi yang memiliki
tekanan akan hukum, menyelesaikan rincian penerapan
dari prinsip secara umum yang diwujudkan dalam undang-
undang dari badan pembuat undang-undang .
[(1898),1959,pp52-53].
Dalam kaitannya dengan adanya pendelegasian kewenangan
mengatur dimana sumber kewenangan pokoknya ada ditangan
legislator maka pemberian kewenangan untuk mengatur lebih
lanjut itu kepada lembaga eksekutif atau lembaga pelaksana
haruslah dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang
akan dilaksanakan hal inilah biasanya dinamakan legislative
15 Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Adminittratif Law, Fourth
Edition Cavendish Publishing hal. 485.
30
delegation of rule making power.16 Berdasarkan prinsip
pendelegasian ini norma hukum yang bersifat pelaksanaan
dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa di dasarkan atas
delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik.
Mengingat arti pentingnya pemerintah Indonesia
menaruh perhatian yang cukup besar terhadap pelayanan publik.
Hal ini terbukti dengan diperlukannya beberapa peraturan
perundangan yang mengatur tentang pelayanan publik.
Materi pokok yang diatur mengenai Penyelenggaraan
Kearsipanyang akan diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang
disusun Naskah Akademisnya ini mempunyai keterkaitan dengan
sejumlah peraturan perundang-undangan.
Tabel 5 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan
Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANAN YANG LAIN
Perda
Jembrana No 2 Tahun 2008
tentang Urusan
Pemerintah Kabupaten Jembrana
UU No 23
Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
ANALISIS
a. pelaksanaan
pelayanan; b. pengelolaan
pengaduan
Pasal 4
Urusan wajib sebagaimana
dimaksud
Pemerintah
Daerah wajib menjamin
terselenggara
Pengkajian
kewenangan kaitan antara
jenis peraturan
16 Jimly Asshiddiqie II, Op.cit, hal. 215.
31
masyarakat; c. pengelolaan
informasi; d. pengawasan
internal;
e. penyuluhan kepada
masyarakat; dan
f. pelayanan konsultasi.
dalam Pasal 3 adalah
urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh
Pemerintahan Daerah yang
berhubungan dengan pelayanan
dasar
nya pelayanan
publik berdasarkan Urusan
Pemerintahan yang
menjadi kewenangan
Daerah
dan materi muatan peraturan
perundang-undangan menunjukkan
terdapat adanya dasar kewenangan
pembetukan Peraturan Daerah
Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang
Organisasi Perangkat Daerah, UU No 23 Tahun 2014 dan Peraturan Daerah Kabupaten JembranaNo. 2 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana
32
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. PANDANGAN AKHLI DAN UU 12/2011
Validitas hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Hans Kelsen,
adalah eksistensi spesifik dari norma-norma. Dikatakan bahwa
suatu norma adalah valid adalah sama halnya dengan mengakui
eksistensinya atau menganggap norma itu mengandung
“kekuatan mengikat” bagi mereka yang perbuatannya diatur oleh
peraturan tersebut17.
Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum yang
menyatakan bahwa norma-norma hukum itu mengikat dan
mengharuskan orang untuk berbuat sesuai dengan yang
diharuskan oleh norma-norma hukum tersebut. Suatu norma
hanya dianggap valid apabila didasarkan kondisi bahwa norma
tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.
Berkenaan dengan validitas hukum ini, Satjipto Rahardjo
dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch
mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlakunya
suatu hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum
tersebut. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi
berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar
dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum18.
Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas
hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya hukum
didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum
mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan
sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan
17 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan
Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung:
Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), hal. 40 18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 2000), hal. 19
33
didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu
mencerminkan nilai kepastian hukum.
Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan
hukum dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan
di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis
oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie19, Bagir
Manan20, dan Solly Lubis21.. Pandangan ketiga sarjana itu dapat
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 6: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
menurut Para Sarjana Indonesia22
Landasan Jimly
Asshiddiqie
Bagir Manan M. Solly Lubis
Filosofis
Bersesuaian
dengan nilai-
nilai filosofis
yang dianut oleh
suatu Negara.
Contoh, nilai-
nilai filosofis
Negara Republik
Indonesia
terkandung
dalam Pancasila
sebagai
“staatsfunda-
mentalnorm”.
Mencerminkan
nilai yang
terdapat dalam
cita hukum
(rechtsidee), baik
sebagai sarana
yang melindungi
nilai-nilai
maupun sarana
mewujudkannya
dalam tingkah
laku
masyarakat.
Dasar filsafat
atau
pandangan,
atau ide yang
menjadi dasar
cita-cita
sewaktu
menuangkan
hasrat dan
kebijaksanaan
(pemerintahan
) ke dalam
suatu rencana
atau draft
peraturan
Negara.
19 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), hal . 169-174, 240-244 20 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), hal. 14-17. 21 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung:
Penerbit CV Mandar Maju, 1989), hal. 6-9. 22 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”,
Op. Cit., hal. 38.
34
Sosiologis Mencerminkan
tuntutan
kebutuhan
masyarakat
sendiri akan
norma hukum.
[Juga dikatakan,
keberlakuan
sosiologis
berkenaan
dengan (1)
kriteria
pengakuan
terhadap daya
ikat norma
hukum; (2)
kriteria
penerimaan
terhadap daya
ikat norma
hukum; dan (3)
kriteria faktisitas
menyangkut
norma hukum
secara faktual
memang berlaku
efektif dalam
masyarakat].
Mencerminkan
kenyataan yang
hidup dalam
masyarakat.
Kenyataan itu
dapat berupa
kebutuhan atau
tuntutan atau
masalah-
masalah yang
dihadapi yang
memerlukan
penyelesaian.
-
Yuridis Norma hukum
itu sendiri
memang
ditetapkan (1)
sebagai norma
hukum
berdasarkan
norma hukum
yang lebih tinggi;
(2) menunjukkan
hubungan
Keharusan (1)
adanya
kewenangan dari
pembuat
peraturan
perundang-
undangan;
(2) adanya
kesesuaian
bentuk atau
jenis peraturan
Ketentuan
hukum yang
menjadi dasar
hukum bagi
pembuatan
suatu
peraturan,
yaitu:
(1) segi formal,
yakni
landasan
35
keharusan
antara suatu
kondisi dengan
akibatnya; (3)
menurut
prosedur
pembentukan
hukum yang
berlaku; dan (4)
oleh lembaga
yang memang
berwenang
untuk itu.
perundang-
undangan
dengan materi
yang diatur;
(3) tidak
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-
undangan yang
lebih tinggi; dan
(4) mengikuti
tata cara
tertentu dalam
pembentukanny
a.
yuridis yang
memberi
kewenangan
untuk
membuat
peraturan
tertentu; dan
(2) segi
materiil, yaitu
landasan
yuridis untuk
mengatur hal-
hal tertentu.
Politis Harus tergambar
adanya cita-cita
dan norma dasar
yang terkandung
dalam UUD NRI
1945 sebagai
politik hukum
yang melandasi
pembentukan
undang-undang
[juga dikatakan,
pemberlakuanny
a itu memang
didukung oleh
faktor-faktor
kekuatan politik
yang nyata dan
yang mencukupi
di parlemen].
Garis
kebijaksanaan
politik yang
menjadi dasar
bagi
kebijaksanaan
-
kebijaksanaan
dan
pengarahan
ketatalaksana
an
pemerintahan.
Misalnya,
garis politik
otonomi dalam
GBHN (Tap
MPR No. IV
Tahun 1973)
memberi
pengarahan
dalam
pembuatan
UU Nomor 5
36
Tahun 1974.
Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan
perundang-undangan tersebut menunjukan:
1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan
pada ranah (1) normatif; dan (2) sosiologis. Pemahaman
dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly
Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang
terdapat dalam tanda kurung ([…]). Dalam konteks
landasan keabsahan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pembentukan peraturan perundang-
undangan, lebih tepat memahami landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.
2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly
Asshiddiqie, mengambarkan politik hukum, yakni adanya
cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI
1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat
diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.
3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang
menggambarkan garis politik hukum dalam Ketetapan MPR,
yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang
landasan keabsahan atau dasar keberlakuan peraturan
perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis,
sosiologis, dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut:
37
Tabel 7 : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan 23
LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang
terdapat dalam cita hukum (rechtsidee).
Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan
masyarakat yang memerlukan penyelesaian.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.
Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut
dasar kewenangan dan prosedur pembentukan,
maupun jenis dan materi muatan, serta tidak
adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang
sederajat dan dengan yang lebih tinggi. Diperlukan
sebagai sarana menjamin kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) mengadopsi
validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang yang memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–
undangan, ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis,
dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis
rancangan peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah
dikemukakan di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan24 dan teknik
penyusunan naskah akademik25 yang diadopsi Undang-Undang
23 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Ibid., hlm. 29.
24 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).
25 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
38
Nomor 12 Tahun 2011, ketiga aspek dari validitas tersebut dapat
disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 8 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN URAIAN
Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu,
pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang
mesti dijamin dengan adanya peraturan
perundang-undangan.
Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian,
yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan
dengan kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan.
Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur.
Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum
yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-undangan, oleh karena itu harus ada konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar
kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi
antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
39
Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan
UUD 1945 alenia ke 4 anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap
bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ; dan 2)
memajukan kesejahteraan umum
Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak
saja terhadap setiap orang baik dari arti individual dan kelompok
berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi juga
perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya
sumber daya alam dan lingkungan hidup. Perlindungan tersebut
diarahkan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum yang
juga merupakan tanggung jawab Negara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemerintahan Kabupaten
Jembranaperlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Berdasarkan Pasal 4 UU No
25 Tahun 2009 Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:
a. kepentingan umum; b. kepastian hukum; c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan;
f. partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan; i. akuntabilitas; j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Penjabaran asas tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik
dan bersih serta dalam menjaga agar dinamika gerak maju
masyarakat, bangsa, dan negara ke depan agar senantiasa berada
pada pilar perjuangan mencapai cita-cita dan bahan pembelajaran
masyarakat
40
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. KETENTUAN UMUM
Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het
onderwerp”.26 Pada tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat
suatu kajian mengenai materi muatan peraturan perundang-
undangan. Kata materi muatan diperkenalkan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda Het ondrwerp dalam
ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet” yang
diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, Attamimi mengatakan :
“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk
pertama kali istilah materi muatan.Kata materi muatan
diperkenalkan oleh penulis sebagai pengganti kata Belanda
het onderwerp dalam ungkapan ThorbPecke het eigenaardig
onderwerp der wet. Penulis menterjemahkannya dengan
materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi
pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat
dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan
undang-undang”.27
Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi
muatan peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk,
semestinya harus diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi
materi muatan yang akan dibentuk. Karena masing-masing
tingkatan ( jenjang ) peraturan perundang-undangan mempunyai
materi muatan tersendiri secara berjenjang dan berbeda-beda.28
26 A.Hamid.S.Attamimi II, Op.cit, hal. 193-194. 27 Ibid. 28 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu
Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, hal. 90.
41
Sri Sumantari juga berpendapat yang sama bahwa masing-masing
peraturan perundang-undangan mengatur materi muatan yang
sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan berbeda
dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula
yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur
dalam Peraturan Presiden.29
Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan
isi kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang
khususnya dan peraturan perundang-undangan pada
umumnya.30 Dengan demikian istilah materi muatan tidak hanya
digunakan dalam membicarakan undang-undang melainkan
semua peraturan perundang-undangan .Pedoman 98 TP3U
menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan pengertian
atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam
batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal
berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,
maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal
atau bab.
Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata
atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai
berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum
ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.
pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi
pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu;
dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian
di atasnya yang diletakkan berdekatan secara berurutan.
29 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993,
Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30 Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, hal. 62.
30 Rosjidi Rangga Widjaja, Op.cit, hal. 53.
42
Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan
umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik diantaranya adalah:
a. pelaksanaan pelayanan;
b. pengelolaan pengaduan masyarakat; c. pengelolaan informasi; d. pengawasan internal;
e. penyuluhan kepada masyarakat; dan f. pelayanan konsultasi.
B. MATERI YANG AKAN DIATUR
Materi Pokok Yang Diatur adalah Penyelenggaraan Pelayanan
publikPembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih
kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian
(Pedoman 111 TP3U), yakni:
a. Ketentuan Umum
b. Ruang Lingkup Penyelenggaraan Pelayanan Publik;
c. Pembina dan Penanggung Jawab
d. Organisasi penanggung jawab
e. Organisasi penyelenggara
f. Kerjasama Penyelenggara
g. Hak dan Kewajiban Penyelenggara.
h. Kewajiban Pelaksana
i. Hak Dan Kewajiban Masyarakat.
j. Penyusunan
k. Penetapan
l. Maklumat dan Penerapan Standar Pelayanan
m. Pemantauan Dan Evaluasi
n. Peran Serta Masyarakat
43
o. Pengawasan
p. Penyelesaian Pengaduan.
44
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu,
dapat ditarik konklusi bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten
Jembranabelum mempunyai Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Berdasarkan keseluruhan
tersebut di atas dirumuskan simpulan yaitu :
1. Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038).
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 , Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik
45
6. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan
Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2012 Petunjuk
Teknis Penyusunan, Penetapan, Dan Penerapan Standar
Pelayanan.
7. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana
(Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2008
Nomor 2).
B. Saran
1. Menyiapkan segera Peraturan Bupati tentang Pelayanan
Publik.
2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang
Penyelenggaraan Pelayanan public sesuai dengan asas
keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat
dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (4) UU
Pemerintahan Daerah 2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU
Pemerintahan Daerah 2004. Pasal partisipasi masyarakat
dalam bentuk :
g. konsultasi publik; h. musyawarah;
i. kemitraan; j. penyampaian aspirasi;
k. pengawasan; dan/atau l. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
erundang-undangan
46
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ann Seidman, et.all, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-
Undang Dalam Masyarakat Yang Demokratis, Terjemahan
ELIPS Jakarta.
Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press,
Barkely & Los Angeles.
A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI,
Jakarta,
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,
(Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992).
C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia
Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung.
Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka
Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni
Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar
Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD.
Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-
rouz.
Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum dalam
Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan
Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, (Malang: Program
Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
2012).
Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni Dasar-dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu hukum Empirik-Deskriptif, Alih Bahasa
Soemardi, Rimbi Press.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2004, Ilmu Perundang-undangan,
Dasar-Dasar Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta.
47
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,
terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory
of Law and State.
Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Adminittratif Law, Fourth
Edition Cavendish Publishing.
Jan Gijsels,Mark Van Hocke, 2005, ( terjemahan B. Arief Sidharta
) Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum
Universitas Parahyangan Bandung.
Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta
Interpratama Offset
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006).
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,
(Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989).
Mahendra Putra Kurnia, 2007, et all, Pedoman Naskah Akademis
Perda Partisipatif, Kreasi Total Media Yogyakarta.
Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (
Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-
Desember ( selanjutnya disebut Philipus M Hadjon II ).
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana, 2014,
Buku Pelayanan Perijinan Terpadu
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT Citra
Aditya Bakti.
Subawa, Made 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan
Membentuk Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia Pasca perubahan UUD 1945, Disertasi
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
48
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009
Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5038).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 ,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2012 Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, Dan Penerapan Standar Pelayanan.
49
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 32);
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana No 2 Tahun 2008 Tentang
Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana
Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 2
50
BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PELAYANAN PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI JEMBRANA,
Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana dan sebagai amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pelayanan publik diamanatkan untuk
terus ditingkatkan kualitas untuk menjamin kesederhanaan, kemudahan, keterjangkauan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat;
b. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang kompleks dan didukung dengan adanya kemajuan teknologi, maka
pemerintah Kabupaten Jembrana dituntut untuk melakukan peningkatan dan perbaikan pelayanan public kepada masyarakat;
c. bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan
publik serta mempertegas hak dan kewajiban
setiap warga masyarakat, korporasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
51
norma hukum yang memberi dasar pengaturan
yang jelas;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu dibentuk Peraturan Daerah
tentang Pelayanan Publik.
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam
Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1555);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038;
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012
52
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 215, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5357 );
7. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pedoman Standar Pelayanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 615);
8. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Pedoman Survei Kepuasan Masyarakat Terhadap
Penyelenggaraan Pelayanan Publik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 616);
9. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor
… tahun 2008 tentang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten Jembrana, Tambahan Lembaran Daerah Nomor …);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBRANA dan
BUPATI JEMBRANA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PELAYANAN PUBLIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Kabupaten adalah Kabupaten Jembrana.
53
2. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Jembrana.
3. Bupati dalah Bupati Jembrana. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah.
5. Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik.
6. Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
7. Atasan satuan kerja Penyelenggara adalah pimpinan satuan kerja
yang membawahi secara langsung satu atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik.
8. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana.
9. Organisasi penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya
disebut Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik.
10. Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana
adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan
tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
11. Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan
hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan
54
publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.
12. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas
pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
13. Maklumat pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam
standar pelayanan.
14. Sistem informasi pelayanan publik yang selanjutnya disebut Sistem
Informasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam
bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual
ataupun elektronik.
15. Informasi Pelayanan Publik yang selanjutnya disebut Informasi
adalah keterangan, pernyataan, gagasan dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar dan dibaca yang
disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi secara
elektronik ataupun nonelektronik.
16. Dokumentasi adalah pengumpulan, pengolahan, penyusunan dan
pencatatan dokumen, data, gambar dan suara untuk bahan informasi publik.
17. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi yang selanjutnya
disingkat PPID adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam pengumpulan, pendokumentasian, penyimpanan, pemeliharaan,
penyediaan, distribusi dan pelayanan informasi di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
18. Mediasi adalah penyelesaian sengketa pelayanan publik antar para pihak melalui bantuan, baik oleh ombudsman sendiri maupun melalui mediator yang dibentuk oleh ombudsman.
55
19. Ajudikasi adalah proses penyelesaian sengketa pelayanan publik
antarpara pihak yang diputus oleh ombudsman.
20. Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi:
a. pelayanan barang publik;
b. jasa publik; dan
c. pelayanan administratif.
Pasal 3
Pelayanan barang publik sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf a
meliputi:
a. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh
instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah;
b. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh
suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau
seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan
56
daerah yang dipisahkan; dan
c. pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya
tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang
modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi
ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
Pelayanan atas jasa publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
meliputi:
a. penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah;
b. penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal
pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan
daerah yang dipisahkan; dan
c. penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari
anggaran pendapatan belanja daerah atau badan usaha yang
modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pasal 5
(1) Pelayanan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c
merupakan pelayanan oleh penyelenggara yang menghasilkan
berbagai produk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh masyarakat;
(2) Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka
mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda.
b. tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan
57
oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta
diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan.
BAB III
PEMBINA DAN PENANGGUNGJAWAB
Pasal 6
(1) Pembina penyelenggaraan pelayanan publik di Daerah dilakukan oleh Bupati;
(2) Tugas Pembina meliputi :
a. melakukan pembinaan; b. pengawasan; dan
c. evaluasi terhadap pelaksanaan tugas penanggungjawab. (3) Pembina berkewajiban melaporkan hasil perkembangan kinerja
pelayanan publik kepada DPRD dan gubernur.
Pasal 7
(1) Bupati menunjuk pimpinan kesekretariatan lembaga sebagai
penanggungjawab;
(2) Tugas penanggung jawab berupa:
a. mengkoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan
publik sesuai dengan standar pelayanan pada setiap SKPD;
b. melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik; dan
c. melaporkan kepada pembina pelaksanaan penyelenggaraan
pelayanan publik di lingkungan SKPD.
BAB IV ORGANISASI PENYELENGGARA
Pasal 8
(1) Organisasi Penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik;
(2) Penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi: g. pelaksanaan pelayanan;
h. pengelolaan pengaduan masyarakat;
58
i. pengelolaan informasi;
j. pengawasan internal; k. penyuluhan kepada masyarakat; dan
l. pelayanan konsultasi
BAB V
KERJASAMA PENYELENGGARA
Pasal 9
(1) Kegiatan teknis operasional pelayanan dan/atau pendukung
pelayanan, dapat dilakukan kerjasama antar penyelenggara;
(2) Dalam hal Penyelenggara yang memiliki lingkup kewenangan dan
tugas pelayanan publik tidak dapat dilakukan sendiri karena
keterbatasan sumber daya dan/atau dalam keadaan darurat,
Penyelenggara dapat meminta bantuan kepada Penyelenggara lain
yang mempunyai kapasitas memadai.
Pasal 10
(1) Penyelenggara Pelayanan Publik dapat melakukan kerja sama dalam
bentuk penyerahan sebagian tugas penyelenggaraan pelayanan publik
kepada pihak lain dengan ketentuan:
a. dituangkan dalam perjanjian kerja sama;
b. pelaksanaannya didasarkan pada standar pelayanan;
c. menginformasikan perjanjian kerja sama kepada
masyarakat;
d. tanggung jawab pelaksanaan kerja sama berada pada
penerima kerja sama, sedangkan tanggung jawab
penyelenggaraan secara menyeluruh berada pada
penyelenggara;
e. informasi tentang identitas pihak lain dan identitas
Penyelenggara harus dicantumkan oleh Penyelenggara pada
tempat yang mudah diketahui masyarakat; dan
f. mencantumkan alamat yang mudah diakses untuk
menampung keluhan masyarakat;
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berbadan
59
hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.`
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
membebani masyarakat.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA Pasal 11
Penyelenggara memiliki hak:
a. memberikan pelayanan tanpa dihambat pihak lain yang bukan tugasnya;
b. melakukan kerja sama;
c. mempunyai anggaran pembiayaan penyelenggaraan pelayanan publik; d. melakukan pembelaan terhadap pengaduan dan tuntutan yang tidak
sesuai dengan kenyataan dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
e. menolak permintaan pelayanan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Penyelenggara memiliki kewajiban:
a. menyusun dan menetapkan standar pelayanan; b. menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;
c. menempatkan pelaksana yang kompeten; d. menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik
yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai; e. memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
penyelenggaraan pelayanan publik;
f. melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan; g. berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik; h. memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang
diselenggarakan; i. membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya; j. bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara
pelayanan publik; k. melaksanakan evaluasi terhadap kinerja Pelaksana di lingkungan
organisasi secara berkala dan berkelanjutan. l. melakukan upaya peningkatan kapasitas Pelaksana.
m. melakukan penyeleksian dan promosi Pelaksana secara
60
transparan, tidak diskriminatif, dan adil;
n. memberikan penghargaan kepada Pelaksana yang memiliki prestasi kerja.
o. memberikan hukuman kepada Pelaksana yang melakukan pelanggaran ketentuan internal penyelenggara
p. memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku
apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau jabatan; dan
q. memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan
pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KEWAJIBAN PELAKSANA Pasal 13
Pelaksana memiliki Kewajiban meliputi :
a. melakukan kegiatan pelayanan sesuai dengan penugasan yang
diberikan oleh Penyelenggara;
b. memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. memenuhi panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu
tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari
lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang,
dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. memberikan pertanggungjawaban apabila mengundurkan diri atau
melepaskan tanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
e. melakukan evaluasi dan membuat laporan keuangan dan kinerja
kepada Penyelenggara secara berkala.
BABVIII
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT
Pasal 14
Masyarakat berhak:
a. mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;
b. mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
61
c. mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
d. mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan; e. memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki
pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
f. memberitahukan kepada Pelaksana untuk memperbaiki pelayanan
apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
g. mengadukan Pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada
Penyelenggara dan ombudsman; h. mengadukan Penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar
pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina
Penyelenggara dan ombudsman; dan i. mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan
pelayanan.
Pasal 15
Masyarakat berkewajiban:
a. mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan
dalam standar pelayanan;
b. ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/atau fasilitas
pelayanan publik; dan
c. berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik.
BAB IX PENYUSUNAN, PENETAPAN, MAKLUMAT DAN PENERAPAN STANDAR
PELAYANAN
Bagian kesatu Penyusunan Standar Pelayanan
Pasal 16
(1) Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban menyusun Standar Pelayanan;
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Rancangan Standar Pelayanan.
62
Pasal 17
Penyusunan Rancangan Standar Pelayanan meliputi :
a. Identifikasi persyaratan;
b. Identifikasi Prosedur;
c. Identifikasi Waktu;
d. Identifikasi Biaya atau Tarif;
e. Identifikasi Produk Pelayanan;
f. Penanganan Pengelolaan Pengaduan.
Pasal 18
(1) Identifikasi persyaratan berupa dokumen, barang atau hal lain
yang harus dipenuhi dalam pengurusan jenis pelayanan;
(2) Persyaratan yang dipenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa persyaratan teknis dan persayaratan administrasi;
(3) Identifikasi persyaratan dilakukan dengan mengkaji kebutuhan
yang diperlukan untuk penyelesaian proses pelayanan.
Pasal 19
(1) Proses Identifikasi dilakukan untuk setiap jenis pelayanan.
(2) Hasil Proses Identfikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. Daftar persyaratan yang diperlukan dalam setiap tahapan jenis
pelayanan;
b. Persyaratan waktu.
Pasal 20
63
(1) Prosedur pelayanan berupa tata cara pelayanan yang dibakukan
untuk penerima pelayanan;
(2) Penyelenggara pelayanan wajib memiliki Standar Oprasional
Prosedur.
Pasal 21
(1) Waktu Pelayanan berupa jangka waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan seluruh proses pelayanan setiap jenis pelayanan;
(2) Proses identifikasi waktu dilakukan untuk setiap jenis pelayanan.
Pasal 22
(1) Biaya/tarif pelayanan publik merupakan tanggung jawab daerah
dan/atau masyarakat; (2) Biaya/tarif pelayanan publik yang merupakan tanggung jawab
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada
daerah apabila diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan; (3) Biaya/tarif pelayanan publik selain yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada penerima pelayanan publik.
(4) Penentuan biaya/tarif pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan persetujuan DPRD dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
Penyelenggara Pelayanan Publik berhak mendapatkan alokasi anggaran sesuai dengan tingkat kebutuhan pelayanan.
Pasal 24
(1) Produk pelayanan berupa hasil pelayanan yang diberikan dan
diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
(2) Produk pelayanan berupa;
a. Penyediaan barang; b. Penyediaan jasa;
64
c. Penyediaan produk administrasi.
(3) Hasil identifikaasi berupa daftar produk layanan pada setiap jenis
layanan.
Pasal 25
(1) Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan
menugaskan Pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan
pengaduan.
(2) Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal
dari penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam batas waktu tertentu.
(3) Penyelenggara berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penyelenggara berkewajiban mengumumkan nama dan alamat
penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan
yang disediakan.
Pasal 26
(1) Penyelenggara berkewajiban menyusun mekanisme pengelolaan
pengaduan;
(2) Materi dan mekanisme pengelolaan pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Penyelenggara.
(3) Materi pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi:
a. identitas pengadu;
b. prosedur pengelolaan pengaduan;
c. penentuan Pelaksana yang mengelola pengaduan;
d. prioritas penyelesaian pengaduan;
e. pelaporan proses dan hasil pengelolaan pengaduan kepada
atasan pelaksana;
f. rekomendasi pengelolaan pengaduan;
65
g. penyampaian hasil pengelolaan pengaduan kepada pihak
terkait;
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan pengaduan;
i. dokumentasi dan statistik pengelolaan pengaduan; dan
j. pencantuman nama dan alamat penanggung jawab serta sarana
pengaduan yang mudah diakses.
(4) Bentuk-bentuk pengelolaan pengaduan berupa :
a. Penyediaan kotak saran atau kotak pengaduan;
b. Pesan Pendek melalui Telepon Genggam atau sms
c. Portal pengaduan dalam website;
d. Penyediaan petugas penerima pengaduan.
Bagian kedua Penetapan Standar Pelayanan
Pasal 27
(1) Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban melakukan
penetapan Standar Pelayanan;
(2) Penyelenggara berkewajiban membuat Berita Acara Pembahasan
sebelum dilakukan penetapan Standar Pelayanan;
(3) Para Pihak yang terlibat dalam pembahasan Standar Pelayanan wajib memberikan tanda tangan.
66
Bagian Ketiga
Penetapan Maklumat Pelayanan Pasal 28
(1) Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban menyususn dan
menetapkan Maklumat Pelayanan;
(2) Pernyataan yang dimuat dalam Maklumat Pelayanan meliputi :
a. janji dan kesanggupan untuk melaksanakan pelayanan sesuai
dengan Standar Pelayanan;
b. memberikan pelayanan sesuai dengan kewajiban;
c. melakukan perbaikan secara terus-menerus;
d. kesediaan untuk menerima sanksi dan/atau memberikan
konpensasi apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai
dengan standar.
(3) Maklumat Pelayanan wajib dipublikasikan melalui media yang
mudah diakses masyarakat.
Bagian Kempat Penerapan Standar Pelayanan
Pasal 29
(1) Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban menerapkan Standar Pelayanan;
(2) Penerapan Standar Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintergarsikan ke dalam :
a. perencanaan program;
b. Penganggaran;
c. Pelaksanaan;
d. Pemantauan dan evaluasi hasil penyelenggaraan pelayanan.
(3) Proses Penerapan Standar Pelayanan meliputi :
a. Internalisasi; dan
67
b. Sosialisasi.
BAB X
PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasal 30
(1) Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk evaluasi kinerja
pelayanan sebagai dasar peningkatan kualitas pelayanan publik
berkelanjutan;
(2) Pemantauan berupa penilaian standar pelayanan yang telah
disusun dan dilaksanakan;
(3) Evaluasi berupa rangkaian kegiatan membandingkan hasil atau
prestasi penerapan standar pelayanan yang telah di tetapkan.
Pasal 31
Pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan :
a. Analisis dokumen;
b. Survei Kepuasan masyarakat;
c. Wawancara; dan
d. Observasi.
BAB XI
PERAN SERTA MASTARAKAT
Pasal 32
(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi
dan pemberian penghargaan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diwujudkan dalam bentuk kerja sama, pemenuhan hak dan kewajiban
masyarakat, serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan
68
publik.
(3) Masyarakat dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan
publik.
(4) Tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik diatur lebih lanjut dalam peraturan bupati.
BAB XII PENGAWASAN
Pasal 33
(1) Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh
pengawas internal dan pengawas eksternal.
(2) Pengawasan internal pelayanan publik dilakukan melalui:
a. pengawasan oleh Penyelenggara; dan
b. pengawasan oleh instansi pengawas fungsional.
(3) Pengawasan eksternal pelayanan public dilakukan oleh:
a. masyarakat;
b. DPRD; dan
c. Ombudsman.
BAB XIII PENYELESAIAN PENGADUAN
Bagian kesatu
Pengaduan Pasal 34
(1) Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik
kepada Penyelenggara, ombudsman, dan DPRD;
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap:
a. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban; dan
b. Pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan
69
standar pelayanan.
Pasal 35
(1) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 diajukan oleh
setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima
kuasa untuk mewakilinya.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan.
(3) Pengaduan disampaikan secara tertulis memuat:
a. nama dan alamat lengkap;
b. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan dan uraian kerugian materiil atau immateriil yang diderita;
c. permintaan penyelesaian yang diajukan; dan
d. tempat, waktu penyampaian, dan tanda tangan.
(4) Pengadu dapat memasukkan tuntutan ganti rugi dalam surat
pengaduannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu
dirahasiakan.
Pasal 36
(1) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) disertai
dengan bukti-bukti sebagai pendukung pengaduannya.
(2) Dalam hal pengadu membutuhkan dokumen terkait dengan
pengaduannya dari penyelenggara dan/atau pelaksana untuk
mendukung pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara dan/atau pelaksana wajib memberikannya.
Pasal 37
(1) Penyelenggara dan/atau ombudsman wajib memberikan tanda terima
pengaduan.
(2) Tanda terima pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
70
memuat:
a. identitas pengadu secara lengkap;
b. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan; c. tempat dan waktu penerimaan pengaduan; dan
d. tanda tangan serta nama pejabat/pegawai yang menerima pengaduan.
(3) Penyelenggara dan/atau ombudsman wajib menanggapi pengaduan
masyarakat paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pengaduan
diterima;
(4) Dalam hal materi aduan tidak lengkap, pengadu melengkapi materi
aduannya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
menerima tanggapan dari Penyelenggara atau ombudsman
sebagaimana diinformasikan oleh pihak Penyelenggara dan/atau
ombudsman.
(5) Dalam hal berkas pengaduan tidak dilengkapi dalam waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengadu dianggap mencabut
pengaduannya.
Pasal 38
(1) Pengaduan terhadap Pelaksana ditujukan kepada atasan Pelaksana.
(2) Pengaduan terhadap Penyelenggara ditujukan kepada atasan satuan
kerja Penyelenggara.
(3) Pengaduan terhadap Penyelenggara yang berbentuk korporasi dan
lembaga independen ditujukan kepada pejabat yang bertanggung
jawab pada instansi pemerintah yang memberikan misi atau
penugasan.
Bagian Kedua Penyelesaian Pengaduan
Pasal 39
(1) Ombudsman wajib menyelesaikan pengaduan masyarakat apabila
pengadu menghendaki penyelesaian pengaduan tidak dilakukan
oleh Penyelenggara;
(2) Ombudsman wajib melakukan mediasi dan konsiliasi dalam
71
menyelesaikan pengaduan atas permintaan para pihak.
(3) Mekanisme dan tata cara penyelesaian pengaduan oleh ombudsman
diatur lebih lanjut dalam peraturan ombudsman.
Pasal 40
(1) Penyelenggara wajib memeriksa pengaduan masyarakat;
(2) Proses pemeriksaan untuk memberikan tanggapan pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Penyelenggara.
(3) Penyelenggara berkewajiban berpedoman pada prinsip independen,
nondiskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya dalam
memeriksa materi pengaduan;
(4) Dalam hal pengadu keberatan dipertemukan dengan pihak teradu
karena alasan tertentu yang dapat mengancam atau merugikan
kepentingan pengadu, dengar pendapat dapat dilakukan secara
terpisah.
(5) Dalam hal pengadu menuntut ganti rugi, pihak pengadu
menguraikan kerugian yang ditimbulkan akibat pelayanan yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan.
Pasal 41
(1) Dalam hal melakukan pemeriksaan materi pengaduan,
Penyelenggara berkewajiban menjaga kerahasiaan.
(2) Kewajiban menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak gugur setelah pimpinan Penyelenggara berhenti atau
diberhentikan dari jabatannya.
Pasal 42
(1) Penyelenggara harus memutuskan hasil pemeriksaan pengaduan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak berkas pengaduan
dinyatakan lengkap.
72
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan
kepada pihak pengadu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diputuskan.
(3) Dalam hal pengadu menuntut ganti rugi, keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat jumlah ganti rugi dan batas waktu
pembayarannya.
(4) Penyelenggara harus menyediakan anggaran guna membayar ganti
rugi.
BAB XIV
KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 43
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten
mempunyai wewenang untuk menyidik pelanggaran tehadap
ketentuan Peraturan Daerah ini.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana Pelayanan Publik agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang
pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana Pelayanan Publik;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau
Badan sehubungan dengan tindak pidana Pelayanan Publik;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana Pelayanan Publik;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana Pelayanan Publik.
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
73
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung
dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang
dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana
Pelayanan Publik;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana Pelayanan Publik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1) Setiap orang dan/ atau badan hukum yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 Ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 27 (3), Pasal 28 ayat (3), Pasal 36 ayat (2), Pasal 37 (3), Pasal 39 (1) dan
dalam Pasal 39 ayat (2) diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah);
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pelanggaran;
(3) Selain ancaman pidana yang di maksud pada ayat (1) dapat juga dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku.
74
BAB XVI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana ini diundangkan dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Jembrana.
.
Ditetapkan di Jembrana Pada tanggal ........................
BUPATI JEMBRANA
............................................
Diundangkan di
Jembrana Pada tanggal .............
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN JEMBRANA,
.............................
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TAHUN 2015 NOMOR ....
75
PENJELASAN
ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
NOMOR ............ TAHUN............ TENTANG
PELAYANAN PUBLIK
I. UMUM
Pelayanan Publik merupakan amanat Konstitusi, oleh karena itu, untuk bisa meningkatkan penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas, sederhana dan
mudah diakses oleh masyarakat sehingga perlu diselenggarakan Pelayanan Publik yang sesuai dengan standar pelayanan publik dengan tujuan memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Penyelenggaraan Pelayanan Publik merupakan perwujudan pelaksanaan pelayanan bagi setiap masyarakat yang berupa pelayanan barang publik,
pelayanan jasa publik dan pelayanan administratif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan sumber daya aparatur sebagai
aset utama dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Pekembangan teknologi informasi yang semakin canggih, maka pemerintah
daerah dituntut untuk melaksanakan pelayanan publik dengan sarana penunjang pelayanan yang memadai, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dan mempermudah proses penyusunan, serta meningkatkan kemandirian unit-unit pelayanan.
Bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap
warga negara dan badan hukum dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan pengaturan hukum yang
mendukungnya.
Berdasarkan Pertimbangan Tersebut, Pemerintahan Kabupaten Jembrana Perlu membentuk Peraturan Daerah Tentang Pelayanan Publik. Adapun materi yang diatur dalam Peraturan Daerah Ini Meliputi : Ruang Lingkup
Penyelenggaraan Pelayan Publik, Pembina Dan Penanggungjawab, Organisasi Penyelenggara, Kerjasama Penyelenggara, Hak Dan Kewajiban Penyelenggara,
Kewajiban Pelaksana, Hak Dan Kewajiban Masyarakat, Penyusunan, Penetapan, Maklumat Dan Penerapan Standar Pelayanan, Pemantauan Dan
Evaluasi, Peranserta Mastarakat, Pengawasan, Penyelesaian Pengaduan.
II. PASAL DEMI PASAL
76
Pasal 1 Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4 Cukup jelas
Pasal 5 Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8 Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10 Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e Cukup jelas
Huruf f
77
Yang dimksud dengan mencantumkan alamat yang mudah
diakses adalah pihak lain wajib mencantumkan alamat tempat mengadu dan sarana untuk menampung keluhan masyarakat
yang mudah diakses, antara lain telepon, pesan layanan singkat (short message service (sms)), laman (website), pos-el (e-mail), dan kotak pengaduan.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11 Cukup jelas
Pasal 12 Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17 Cukup jelas
Pasal 18 Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20 Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1) Cukup jelas
78
Ayat (2) Yang dimaksud dengan proses identifikasi waktu adalah bahwa
dalam menghiting waktu, perlu betul-betul memperhatikan prosedur yang mengatur hubungan dengan pangguna layanan, maupun prosedur yang mengatur hubungan antar petugas.
Pasal 22 Cukup jelas
Pasal 23 Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25 Cukup jelas
Pasal 26 Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) a. Yang dimkasud dengan internalisasi adalah suatu proses yang
diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada seluruh jajaran organisasi pennyelenggara pelayanan.
b. Yang dimaksud dengan sosialisasi adalah suatu proses yang perlu
dilakukan untuk membangun pemahaman dan persamaan persepsi dilingkungan unit/satker penyelenggara pelayanan.
Pasal 30
Cukup jelas
79
Pasal 31 Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan survei kepuasan masyarakat adalah pengukuran secara komprehensif kegiatan tentang tingkat kepuasan
masyarakatyang diperoleh dari hasil pengukuran atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari penyelenggara
pelayanan publik.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33 Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36 Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39 Cukup jelas
Pasal 40 Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
80
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43 Cukup jelas
Pasal 44 Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN KABUPATEN JEMBRANA TAHUN 2015 NOMOR …..
81