naskah final si c & r - bag i.pdf

137
Simfoni Inovasi Cita & Realita Kusmayanto Kadiman

Upload: duongnhan

Post on 14-Jan-2017

225 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Simfoni Inovasi

Cita & Realita

Kusmayanto Kadiman

Page 2: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Editor:

Sonny Yuliar

Transkrip Wawancara:

Merry Magdalena

Page 3: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Prakata

Istilah ‘inovasi’ kini menjadi sebuah slogan, atau buzzword, yang muncul di berbagai wacana baik dalam organisasi bisnis, di  perguruan  tinggi,  di   lingkungan  birokrasi  pemerintahan,  di Lembaga Swadaya Masyarakat maupun di kelompok­kelompok ekonomi kreatif. Bagi sebagian pihak, makna inovasi dikaitkan dengan   keunggulan   suatu   produk   komersial   yang   baru,   atau layanan   publik   yang   baru.   Bagi   pihak   yang   lain,   inovasi dikaitkan dengan kreativitas yang orisinal. Pihak yang lain lagi menekankan  adanya pengetahuan  yang baru  (new knowledge) dalam inovasi. Tapi, meski terdapat perbedaan dalam cara orang memaknai, makna ‘inovasi’ tidak pernah lepas dari ‘kebaruan.’ Tentu saja idak setiap ‘kebaruan’ dikatakan inovatif.  Ada dua aspek pokok dari ‘kebaruan’ yang inovatif: pertama, terciptanya nilai (value) yang baru; ke dua, terdapat pengetahuan yang baru.

Istilah   ‘inovasi’   itu   sendiri  berasal  dari   ‘innovare,’   istilah dalam Bahasa Latin yang merujuk pada penggunaan cara­cara yang baru untuk menghasilkan nilai  yang baru.  Di Indonesia, slogan   “niteni,   niroake,   nambahake”   memiliki   makna   serupa dengan   inovasi.   Slogan   ini   dilontarkan   oleh   sang   tokoh pendidikan bangsa, yaitu Ki Hajar Dewantoro, beberapa dekade yang   silam.  Niteni  bermakna   mencermati   (to   inquire)   suatu objek.  Niroake  berarti  menirukan   (to   replicate,  to   imitate,  to  simulate).  Nambahake  artinya   menambahkan   secara keseluruhan, to add value. Dikombinasikan dalam satu kesatuan, 

Page 4: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

makna   slogan   itu  mencakup  pengembangan  pengetahuan  dan penciptaan nilai—riset dan inovasi.

Suatu   produk,   proses,   atau   metode   organisasi   dikatakan inovatif  bila menimbulkan nilai  yang baru: kehadiran produk, proses atau metode tersebut memunculkan sesuatu sesuatu yang lebih berharga, atau lebih valuable bagi pihak­pihak lain. Sering kali  nilai  itu adalah ekonomik, seperti  dalam kasus inovasi di organisasi   bisnis.   Tapi   dalam   kasus   inovasi   di   lembaga pemerintahan,   nilai   sosial   dari   layanan   publik   yang   menjadi pusat   perhatian.   Di   perguruan   tinggi   atau   lembaga   riset, kebaruan pengetahuan sering menjadi tolok ukur inovasi. 

Pada  umumnya  penciptaan  nilai  yang  baru  membutuhkan pengetahuan yang baru. Misalnya, pengetahuan akan proses atau manajemen yang baru dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi produksi   komersial.   Begitu   pula,   pengetahuan   yang   baru diperlukan dalam peningkatan kualitas kehidupan sosial seperti peningkatan   kesetaraan   sosial,   pencegahan   konflik, perlindungan ekosistem, dan lain sebagainya. Tapi tidak setiap pengetahuan yang baru akan menimbulkan nilai­nilai yang baru. Belakangan ini, konsep ‘valorisasi pengetahuan’ mulai dibahas di berbagai forum ilmiah. Valorisasi pengetahuan atau teknologi merupakan metode atau langkah­langkah untuk  memberi arah pada riset  dan perkembangan pengetahuan/teknologi,  sehingga pada   akhirnya   dihasilkan   pengetahuan/teknologi   yang mempunyai nilai ekonomik ataupun sosial. 

Jadi, inovasi menjadi perhatian ketika terciptanya nilai­nilai yang baru diinginkan. Inovasi dibicarakan ketika produk baru, sistem yang baru, keadaan baru—produk, sistem, keadaan yang 

Page 5: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

lebih  baik dan bernilai   (valuable)—diinginkan.  Pertanyaannya kemudian: bagaimana inovasi dapat terjadi? 

oo0oo

Kreatif   tidak   sama   dengan   inovatif,   meski   inovasi memerlukan   kreativitas.   Seseorang   yang   kreatif   belum   tentu inovatif,   kalau   kreativitas   itu   semata­mata   bermotivasikan kesenangan diri­sendiri, atau justru untuk merugikan orang lain. Jadi, teori tentang inovasi berbeda dari teori tentang kreativitas. Inovasi,  ketika terjadi,  sering merupakan hasil  kolektif,  bukan hasil individual. Oleh karena ini, dalam literatur akademik teori­teori inovasi merujuk pada gagasan kesisteman: sistem inovasi (innovation system) atau jejaring inovasi (innovation network). 

Karena   inovasi   bersangkutan   dengan   nilai­nilai,   inovasi sering merupakan proses yang kompleks. Ini dikarenakan bahwa apa­apa yang bernilai  bagi pihak tertentu belum tentu bernilai bagi   pihak   yang   lain.   Situasi   demikian   sering   terjadi   dalam konteks   inovasi   produk   komersial.  Misalnya,   pengembangan produk baru yang lebih tinggi nilai komersialnya, ditolak oleh para   aktivis   lingkungan   karena   membahayakan   kelestarian lingkungan.   Nilai   komersial   sering   berbenturan   dengan   nilai lingkungan. Begitu pula dalam kasus penyelenggaraan layanan publik.   Pengembangan   infrastruktur   publik   sering   harus menyeimbangkan   nilai­nilai   sosial.   Misalnya,   pengembangan infrastruktur   transportasi   perlu   mengkompromikan   antara mobilitas sosial (bagi pihak tertentu) dan kohesivitas sosial (bagi pihak yang lain). 

Jadi, sebagai gagasan normatif  inovasi merupakan hal yang menarik,  dan memberikan harapan akan terciptanya nilai­nilai 

Page 6: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

yang baru. Tapi menyusun teori  tentang inovasi merupakan hal yang tidak mudah, persisnya karena inovasi berkenaan dengan nilai­nilai,   dan   pada   praktiknya   pihak­pihak   yang   berbeda mengusung   nilai­nilai   yang   berbeda.   Dengan   perkataan   lain, sebuah teori tentang inovasi perlu membahas adanya pluralitas nilai­nilai, dan transformasi nilai­nilai ini menjadi sebuah nilai bersama yang baru.

oo0oo

Buku ini membahas  tema inovasi dalam konteks kemajuan bangsa Indonesia, dengan penekanan pada peran riset dan iptek. Dalam literatur akademik, tema demikian dibahas dalam rubrik ‘sistem inovasi nasional’ (national innovation system, NIS) atau, yang   belakangan   dilontarkan,   ‘sistem   pengetahuan,   riset   dan inovasi’   (knowledge,   research  and  innovation  system,  KRIS). Pembahasan  dalam buku   ini   lebih  bersifat   eksploratif­empiris ketimbang   teoretis,   dengan   menyajikan   dialog­dialog   yang melibatkan sejumlah pelaku dari lingkungan akademisi, bisnis, birokrasi, dan organisasi sosial yang lain. Gagasan tentang relasi A­B­G  (academician­business­government)   digunakan   sebagai kerangka kerja untuk menstruktur hasil­hasil dialog tersebut. 

Dengan   metode   pembahasan   demikian,   diharapkan   para pembaca buku ini dapat memahami konsep­konsep yang terkait dengan inovasi, melalui eksplorasi terhadap situasi atau kondisi yang   nyata.   Jadi,   buku   ini   tidak   hanya   membahas   cita­cita inovasi berkaitan dengan terciptanya nilai­nilai yang baru, tapi juga   realita   dari   inovasi.   Buku   ini   mengajak   pembaca   untuk ‘bermimpi’   tentang   cita­cita   bersama,   dan   membangun ‘pemahaman’ akan realita bersama. Sesudah kita sampai pada cita­cita dan pemahaman bersama tersebut, tantangan di depan 

Page 7: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

kita adalah mengubah cita­cita ini menjadi sebuah ‘realita yang baru.’ 

oo0oo

Buku ini tidak akan hadir tanpa peran serta yang tulus dan penuh  entusiasme dari  para  partisipan  dialog,  dan   tidak  akan tersusun   dengan   sistematik   tanpa   ketekunan   dan   kesabaran segenap   tim pendukung,  yaitu  perekam wawancara,  pengolah hasil wawancara, penyunting naskah,  perancang tata letak, dan perancang sampul buku. Saya sampaikan rasa terima kasih yang mendalam   kepada   para   partisipan   dialog   dan   segenap   tim pendukung penyusunan buku ini. 

Jakarta,  Nopember 2008

Kusmayanto Kadiman

Page 8: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Daftar Isi

Prakata

Daftar Isi

Daftar Gambar

Daftar Gambar

Prolog

Dari Iptek menuju Inovasi

DialogBagian Satu : Agenda 6 dalam Konteks

Industri, bukan Pabrik (Dialog dengan Rama Prihandana)

Regulasi/De-regulasi

(Dialog dengan Edie Haryoto)

Konsistensi Regulasi(Dialog dengan Hilmi Panigoro)

Perencanaan Lintas-Sektor(Dialog dengan Herman Darnel Ibrahim)

Kesinambungan Milestones (Dialog dengan Suryatin Setiawan)

Embargo sebagai Pemicu

Page 9: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

(Dialog dengan Budi Santoso)

Perbedaan Paradigma Ilmu (Dialog dengan Irwan Hidayat)

Peran Badan Intermediasi (Dialog dengan Boenjamin Setiawan)

Petikan Hikmah:

Interaksi ‘Melintas Batas’

Bagian Dua : Ekologi Inovasi

Governance yang Pro-Inovasi(Dialog dengan Setiyono Djuandi Darmanto

dan Rama Prihandana)

Nalar Ekonomi vs. Nalar Teknologi(Dialog dengan Thee Kian Wie)

Pertambangan: Potensi yang Terpendam (Dialog dengan Noke Kiroyan)

Teknologi dan Tanggung Jawab Sosial(Dialog dengan Mayiling Oei-Gardiner)

Memaknai Perbedaan lewat ‘Live-In’(Dialog dengan Aristides Kastopo dan Mudji Soetrisno)

Menyandingkan Ilmu Horisontal dan Ilmu Vertikal

(Dialog dengan Mustofa Bisri)

Page 10: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Petikan Hikmah:

Transformasi Nilai dalam Inovasi

Epilog Memilih Rute Inovasi

Page 11: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

PrologDari Iptek menuju Inovasi

erkembangan   ilmu   pengetahuan   dan   teknologi   (iptek) sering   dikaitkan   dengan   ‘kemajuan   bangsa’.   Sebagian 

kalangan  bahkan  meyakini   bahwa   iptek   itu  merupakan   agen, atau   kekuatan,   perubahan.   Pertanyaannya   adalah:   bagaimana, secara aktual, iptek itu menghasilkan perubahan ke arah yang kita   inginkan?  Pertanyaan   ini   penting  untuk  bisa   kita   jawab, karena   dalam   kondisi   bangsa   Indonesia   hari   ini   kita membutuhkan sumber­sumber perubahan. 

P

Mari kita lihat  kehadiran sejumlah teknologi di masyarakat. Telepon seluler merupakan sejenis teknologi canggih, yang kini digunakan meluas di masyarakat. Dengan alat ini di genggaman tangan,   kita   dapat   berbincang­bincang   dengan   orang­orang terdekat—saudara, kerabat, kolega, atau mitra bisnis, kapan saja dan di mana saja kita mau. Serupa dengan contoh ini, kehadiran jalan­jalan   tol,   kereta   api,   pesawat   terbang   menimbulkan mobilitas sosial yang tinggi, dan memperluas lingkup kegiatan ekonomi. Dalam industri­industri manufaktur modern, jaringan komputer­komputer   membuat   kegiatan   produksi   menjadi sesederhana   ‘pasang­dan­mainkan’   (‘plug­and­play’),   dan ‘klik’. Kalau kita masuk ke dalam kehidupan pribadi, di bidang kesehatan misalnya, sekarang kita sudah bisa merekayasa tubuh, 

Page 12: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

organ   tubuh,   dan   bahkan   meremajakan   sel­sel   tubuh.   Masih sangat   banyak   contoh­contoh   serupa   yang   mungkin ditambahkan di sini. 

Apakah   pemaparan   contoh­contoh   ini   sudah   menjawab pertanyaan di atas? Belum! Yang belum diuraikan adalah proses aktual   dari   perubahan   yang   ditimbulkan   oleh   iptek.   Telepon seluler, mesin uap, komputer, jalan tol, organ buatan, ini semua merupakan   benda­benda.   Komunikasi,   mobilitas   sosial, perdagangan dan kesehatan merupakan hal­hal dalam kategori yang   lain,   yang   menyangkut   manusia,   komunitas   dan masyarakat.   Maksud   pertanyaan   di   atas   adalah,   bagaimana perkembangan   iptek   dapat   menimbulkan   perubahan   pada manusia dan masyarakat.

Kalau kita meyakini peran iptek sebagai sumber perubahan, kita  menghadapi   sejumlah  pertanyaan  yang  harus  kita   jawab. Misalnya, bagaimana iptek dapat memberikan kemampuan pada masyarakat   untuk   mendapatkan   apa­apa   yang   dibutuhkan: pangan, kesehatan, tempat tinggal, transportasi, komunikasi, dan energi, dan juga rasa aman? Di ranah ekonomi, bagaimana iptek dapat   meningkatkan   produktivitas   nasional,   meningkatkan kesejahteraan   secara   merata,   memberikan   pilihan­pilihan lapangan kerja, dan menjamin keberlanjutan ekonomi? Terkait dengan   konteks   yang   lebih   luas,   bagaimana   iptek   dapat berkontribusi  dalam memulihkan kerusakan  lingkungan akibat ‘perlombaan   ekonomi   global’,   mewujudkan   perdamaian, kesetaraan sosial dan demokrasi?

Ini   semua,   pada   intinya,   merupakan   pertanyaan   tentang hubungan antara perkembangan iptek dan penciptaan nilai­nilai ekonomik,  sosial  dan  lingkungan—hubungan antara  iptek dan 

Page 13: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

inovasi. Sebenarnya pertanyaan­pertanyaan seperti ini bukanlah hal   yang   baru.   Sejumlah   konsep   atau   model   telah   diusulkan sebagai   jawaban,   dan   bahkan   telah   menjadi   bagian   dari kebijakan  dan  program­program pembangunan  nasional.  Tapi yang   masih   perlu   kita   temukan   adalah   model   atau   jawaban alternatif,   karena   model­model   yang   ada   masih   mengandung kelemahan, dan belum efektif. Berikut ini akan dibahas terlebih dahulu, model­model yang telah dikenal luas. 

Model-Model ‘Instrumentalis’

Dalam model pembangunan yang populer di periode 1950 sampai 1970­an, kita mengenal konsep alih iptek (science and technology   transfer).   Badan­badan   internasional   (seperti Perserikatan   Bangsa­Bangsa   dan   Bank   Dunia)   sejak   dekade 1950­an gencar mempromosikan program­program alih iptek ke negara­negara   berkembang.   Hal   ini   dimaksudkan   untuk membantu negara­negara berkembang mengejar ketertinggalan mereka. 

Konsep   alih   iptek   ini   didasarkan   atas   asumsi   bahwa ketersediaan iptek merupakan sumber  perubahan dan kemajuan bangsa.   Di   masa   itu,   negara­negara   maju   (para   pemenang Perang Dunia II) telah memiliki cadangan iptek yang berlimpah, maju   dan   teruji.   Negara­negara   tersebut   memandang   perlu, upaya pengalihan iptek ke negara­negara yang masih tertinggal. Pandangan demikian tercermin dalam pidato  presiden Amerika Serikat   di   masa   itu   (akhir   1940­an),   Hary   Truman,   ketika memproklamasikan berakhirnya era kolonialisasi, 

“The economic life of (the poor) is primitive and stagnant … Their   poverty   is   a   handicap   and   a   threat,  …  We   must  

Page 14: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

embark on a bold new program for making the benefits of  our scientific advances and industrial program available for the improvement and growth of underdeveloped areas, … “

Pengalihan   iptek   ini   ditempuh  melalui   beberapa   cara,   seperti melalui  program­program bantuan (hibah  dan pinjaman),  atau melalui   penanaman   modal   asing   (PMA)   ke   negara­negara berkembang,   yang   disertai   dengan   impor   iptek.   Program­program seperti ini menembus Indonesia sejak awal 1970­an.

Model yang lain, tentang hubungan antara iptek dan inovasi, bertolak   pada   kritik   atas   program­program   alih   iptek. Dikhawatirkan   bahwa   program­program   seperti   ini   justru menimbulkan   kebergantungan   negara­negara   berkembang terhadap   negara­negara   pemberi   bantuan.   Atas   dasar   ini, disarankan   bahwa   negara­negara   berkembang   harus mengembangkan   iptek   secara   mandiri.   Model   ini   dikenal sebagai model ‘tekno­nasionalis’. Dalam model ini,  iptek yang berada  di  negara­negara  maju   tetap  dijadikan   rujukan.  Hanya saja,   pengembangan   iptek   tersebut   dilakukan   secara   mandiri oleh negara­negara berkembang, agar tidak lagi tertinggal dan bergantung pada negara­negara maju. 

Model yang lain  muncul belakangan, sejak 1980­an, ketika agenda liberalisasi  pasar meluas di arena internasional.  Model ini menyarankan bahwa bukan iptek yang harus pertama­tama dikembangkan,   melainkan   pertumbuhan   ekonomi   lewat mekanisme pasar.  Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pendapatan  negara  akan meningkat  dan  daya  beli  masyarakat menjadi   tinggi.   Ketika   hal   ini   dicapai,   maka   iptek   yang dibutuhkan  untuk  kemajuan bangsa    dapat  diperoleh  di  pasar internasional. Sebutlah ini sebagai model pasar liberal.

Page 15: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Model  pasar   liberal  berbeda  dari  model   alih   iptek,  meski keduanya  menekankan  pertumbuhan  ekonomi dan  penanaman modal asing. Dalam model alih iptek, ditekankan adanya impor dan adopsi iptek, agar negara­negara berkembang mendapatkan stok, atau persediaan iptek yang cukup untuk bisa berkembang. Tapi dalam model pasar liberal, alih iptek kurang mendapatkan penekanan.   Asumsinya,   segala   sesuatu   dapat   dengan   mudah diperoleh di pasar global. 

 Ketiga model yang didiskusikan di atas—model alih iptek, model   tekno­nasionalisme,  dan  model  pasar   liberal,  memiliki kesamaan  dalam  asumsi   dasar,   bahwa  hubungan  antara   iptek dan   masyarakat   bersifat  instrumental.   Diasumsikan   bahwa ketika   iptek   sudah   berada   di   tangan   masyarakat,   maka perubahan   akan   segera   terjadi   tanpa   perlu   upaya­upaya  yang berarti.  Dikarenakan   adanya   asumsi   seperti   ini,   ketiga  model tersebut   dapat   dikatakan   berwatak   instrumentalis,   atau berorientasi pada instrumen. 

Dalam   asumsi   instrumentalis,   iptek   adalah   instrumen perubahan,   dan   masyarakat   merupakan   subjek   pemakai instrumen.   Masyarakat   akan   segera   mengalami   perubahan, begitu   iptek   berada   di   tangan   mereka.   Dalam   cara   berpikir seperti ini, perhatian ditujukan terutama pada instrumen, sarana, atau alat, tapi bukan pada subjek yang menggunakan instrumen tersebut.  Sebagian periset menyebut pendekatan instrumentalis sebagai pendekatan linier, atau model linier dari inovasi, karena mengasumsikan   aliran   pengaruh   yang   linier,   satu   arah,   dari instrumen ke subjek (lihat Gambar 1).

Jadi,   dalam model   alih   iptek,   instrumen  untuk  perubahan masyarakat   di   negara­negara   berkembang   disediakan   oleh 

Page 16: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

negara­negara maju. Dalam model tekno­nasionalis, disarankan bahwa instrumen itu dikembangkan sendiri oleh negara­negara berkembang,  untuk  menghindari  kebergantungan   instrumental. Sedangkan   dalam   model   pasar   liberal,   disarankan   bahwa instrumen   itu   diperoleh   di   pasar   global,   lantaran   langkah   ini lebih hemat.

Yang   kurang   mendapat   perhatian   dalam   ketiga   model tersebut   adalah  peran  subjek,  yakni  manusia  dan  masyarakat. Faktor­faktor   intrinsik   dari   masyarakat   dan   institusi­institusi sosial   cenderung   terabaikan.   Kalaupun   model­model instrumentalis tersebut menekankan pentingnya pengembangan sumber  daya manusia   (SDM),  seperti  melalui  pendidikan  dan pelatihan,   tujuannya adalah  untuk  menyiapkan para  pengguna iptek yang trampil dan disiplin, atau untuk menghasilkan para periset iptek yang menapak­tilas iptek­iptek di negara maju.

 Aliran pengaruh

PemerintahIndustri

Lembagaiptek

Penggunaakhir

LembagaIptek

Industri

Alih iptek asing‘Tren’ iptek global

Pasokan pasar global

Pemerintah

Negara­negaraberkembang

(Konsumen iptek)

Negara­negara maju(Produsen iptek)

Gambar 1. Aliran Pengaruh Linier, Satu Arah, sebagai Implikasi Pendekatan Instrumentalis terhadap Inovasi.

Sejumlah  kritik   dari   berbagai   sudut   pandang   telah dilontarkan   terhadap   model,   atau   pendekatan   instrumentalis 

Page 17: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

tersebut. Dapat disebutkan di sini sekelumit di antaranya, seperti dari   sudut   pandang   antropologi   (Goonatilake,   1984;   Hess, 1995),   sosiologi   (Rip   dan   Misa,   1995),   kebijakan   publik (Ahmad, 1988; Lee, 1997), ekonomi (Etzkowitz 2007; Nelson, 1993), sejarah (Mitcham, 1994). 

Sejumlah   model   baru   telah   intensif   dikembangkan   sejak awal   1990­an,   dan   membawa   perubahan   dalam   kebijakan­kebijakan  publik.  Secara  garis  besar,  kebaruan  dalam model­model ini terletak pada penekanan atau orientasinya, yakni pada masyarakat,   sebagai   subjek   dari   perkembangan   iptek   dan inovasi.   Dalam   model­model   inovasi   yang   baru,   kapabilitas masyarakat dan institusi­institusi sosial menjadi fokus perhatian. 

Pendekatan Kapabilitas

Dalam artian sederhana, kapabilitas merupakan kemampuan untuk   melakukan   sesuatu,   guna   mendapatkan   hasil   yang dikehendaki.   Jadi,   kapabilitas   mengandung   makna   kebebasan seseorang, atau suatu masyarakat,  untuk mendapatkan apa­apa yang   diinginkan.   Kapabilitas   ini   tidak   otomatis   terbangun dengan meningkatnya jumlah iptek yang dihasilkan/digunakan, ataupun   dengan   meningkatnya   pendapatan/uang.   Terdapat faktor­faktor intrinsik yang harus berkembang agar kapabilitas ini menjadi kuat. 

Dalam   literatur   tentang   pembangunan,   pendekatan berorientasi   pada   kapabilitas   diusulkan   oleh   Amartya   Sen, seorang   ahli   ekonomi   penerima   hadiah   nobel,   penulis   buku “Development   as   Freedom”   (1999).   Secara   khusus   Sen mengkritik pendekatan ekonomik yang dianut oleh badan­badan 

Page 18: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

pembangunan   dunia,   seperti   Bank   Dunia,   yang   terlalu menekankan   tingkat   pendapatan.   Meski   tingkat   pendapatan merupakan   ukuran   kesejahteraan   yang   penting,   tapi   ini   tidak selalu   terkait  dengan  kemampuan.  Pendapatan  atau  daya  beli diperlukan oleh masyarakat. Tapi ini tidak otomatis memberikan kapabilitas.  Banyak hal  yang harus  dipikirkan  dan dikerjakan untuk   membangun   kapabilitas   masyarakat,   yang   bagi   Sen merupakan aspek pokok dari freedom. 

Carl  Mitcham,  seorang antropolog  yang menekuni  sejarah teknologi di Barat, memperlihatkan bahwa perubahan jenis atau bentuk teknologi  dari  zaman­ke zaman mencerminkan evolusi dari   kapabilitas   masyarakat.   Jadi,   ketika   moda   produksi   di masyarakat   industrial   berubah   dari  mekanik  ke  otomatik,   ini bukan   semata­mata   akibat   penemuan   komputer.   Sebaliknya, perubahan  dalam kebudayaan  dan  kepranataan  sosial  menjadi faktor   instrinsik   dari   masyarakat,   yang   memicu   perubahan dalam teknologi: dari mesin­mesin penghasil tenaga ke mesin­mesin informasi (komputer­komputer). 

Dalam   bukunya  “Thinking   Through   Technology”   (1994), Mitcham   menguraikan   kapabilitas   manusia   ke   dalam   empat unsur: (i) material yang menjadi objek perbuatan; (ii) kegiatan atau perbuatan mentransformasi objek­objek; (iii)  pengetahuan yang memandu kegiatan; dan (iv) kehendak (atas perbuatan dan hasilnya)   yang   menggerakkan   kegiatan.   Keempat   unsur   ini saling berkaitan dan membentuk kapabilitas manusia.

Kehendak  (mencakup   motivasi   dan   keputusan)   dan pengetahuan  merupakan   faktor­faktor  yang  intrinsik  pada  diri manusia.   Keduanya   saling   terkait   dengan   erat.   Pengetahuan 

Page 19: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

berkembang   melalui   proses   mental   (yakni   berpikir).   Tanpa motivasi   yang   kuat,   kegiatan   berpikir   menjadi   lemah   daya, mudah   menyerah.   Pengetahuan   memberikan   kecerahan,   dan menjadi   panduan   dalam   berbuat.   Kehendak   dan   pengetahuan manusia   merupakan   penggerak   dan   pemandu   kegiatan manipulatif   atas   objek­objek  material   (termasuk   juga  hayati). Kehendak,   pengetahuan   dan   perbuatan   ini   menghasilkan serangkaian   transformasi   pada   objek­objek   material/hayati tersebut. 

Mesin,   jaringan   komputer,   bangunan,  pesawat   ruang angkasa   merupakan   artifak   teknologis,   yang   hadir   melalui perbuatan manipulatif manusia, dan dibuat untuk menghasilkan apa­apa   yang   dikehendaki   manusia.   Yang   dituju   tidak   selalu material (kebutuhan pangan, perlindungan fisis), tapi juga non­material. 

Misalnya,  menaklukkan  alam  jelas  bukan   tujuan  material, karena hukum­hukum alam tidak pernah diubah oleh manusia. Sering   yang   manusia   lakukan   adalah   mendemonstrasikan, bahwa   dia   tidak   lagi   terbelenggu   oleh   batasan   alamiah. Membebaskan diri dari kungkungan alamiah merupakan tujuan yang bersifat non­material. Dengan ilustrasi seperti ini, Mitcham berargumen bahwa perubahan teknologi merupakan bagian dari perubahan   humanisme   dan   kebudayaan   manusia,   bukan sebaliknya.

Hanya   saja,   sebagaimana   dicatat   oleh   Goonatilake, antropolog  dari  Argentina,   banyak   ilmuwan  di   negara­negara berkembang melihat kemajuan teknologi di Barat secara parsial, lalu   berkesimpulan   bahwa   iptek   menjadi   sumber   perubahan kebudayaan.   Lalu   mereka   terperangkap   dalam   pemikiran 

Page 20: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

instrumentalis.   Alih­alih   bekerja   mengupayakan   transformasi kebudayaan, mereka menapak­tilas iptek di negara­negara Barat, dengan   harapan   kebudayaan   mereka   akan   ikut   berubah. Akibatnya,   banyak   iptek   di   negara­negara   berkembang   tidak orisinal. Dalam istilah yang digunakan Goonatilake, kreativitas para ilmuwan di negara­negara berkembang itu ‘teraborsi,’ atau mati sebelum tumbuh dewasa. 

Jadi, kemajuan iptek suatu bangsa memang mencerminkan kapabilitas   bangsa   tersebut.   Tapi   ini   bukan   dalam   artian instrumentalis,   bahwa  produk  iptek   itulah   kekuatan perubahannya.   Terdapat   faktor­faktor   intrinsik   dalam masyarakat   yang   mengalami   perubahan,   yang   kemudian terwujudkan  dalam  hal­hal   yang  kasat  mata.  Sebuah  pepatah klasik menyatakan,  “  men sana in corpore sano,” yang lazim diartikan  “dalam badan yang sehat  terdapat   jiwa yang sehat.” Dalam penafsiran instrumentalis, badan yang sehat merupakan penyebab   jiwa   yang   sehat.   Tentu   penafsiran   ini   tidak sepenuhnya benar. Banyak orang yang sakit jiwa, tapi badannya sehat   dan   berusia   panjang.   Slogan   di   atas   dapat   ditafsirkan sebaliknya.   Jiwa  yang   sehat  merupakan   faktor   intrinsik  yang diperlukan   untuk   menyehatkan   badan.   Ini   penafsiran   dalam pendekatan kapabilitas.

Jadi,  mengikuti   slogan   klasik   di   atas,   kita   bisa   membuat slogan, “dibalik iptek yang maju, terdapat bangsa yang maju.” Dalam penafsiran   instrumentalis,   iptek  yang maju  merupakan sumber   kemajuan   bangsa.   Tapi   dalam   penafsiran   yang menekankan   kapabilitas,   artinya   adalah   bahwa   kapabilitas bangsa   merupakan   pra­kondisi,   baik   bagi   kemajuan   bangsa maupun iptek. 

Page 21: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Kalau  gagasan   Mitcham   tentang   kapabilitas   manusia diperluas, diekstrapolasi ke ranah masyarakat, maka kapabilitas iptek   dapat   dipahami   sebagai   kemampuan   masyarakat   untuk memanipulasi   objek­objek   di   lingkungannya,   untuk mendapatkan   yang   mereka   kehendaki,   atau   yang   mereka putuskan sebagai tujuan bersama. Dengan memperluas konsep Mitcham, kapabilitas iptek masyarakat dapat diuraikan ke dalam faktor­faktor sebagai berikut: 

• Lingkungan material/hayati dari suatu masyarakat; • Kegiatan   atau   aktivitas   kolektif   melalui   ko­ordinasi antara berbagai institusi;• Pengetahuan kolektif yang berkembang melalui interaksi sosial, komunikasi dan pembelajaran; dan• Kehendak, motif atau keputusan (politik) kolektif untuk mencapai tujuan bersama.

Keterpautan   antara   keempat   faktor   dari   kapabilitas   iptek tersebut   dapat   divisualkan   dalam   bentuk   diagram   sebagai berikut (Gambar 2):

Interaksi danPembelajaran

Motif dan KeputusanBersama

Transformasi padaObjek-Objek

Material/Hayati

KegiatanKolektif

Masyarakat denganfaktor-faktor intrinsik

Objek-objek material/hayati di lingkungan

masyarakat

Kegiatan manipulatifmenghubungkan faktor

intrinsik denganlingkungan

Page 22: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Gambar 2. Faktor-Faktor Kapabilitas Iptek (Diadopsi, dengan beberapa modifikasi, dari Mitcham

(1994)).

Kalau salah satu unsur dari kapabilitas iptek ini tidak ada, atau   rendah   tingkatnya,   maka   efek   keseluruhannya   adalah kapabilitas yang rendah. Misalnya, saat ini teknologi bioenergi telah dikuasai di  sejumlah negara Eropa. Tapi sumber­sumber pertanian   energi   yang  mereka   miliki   sangat   terbatas.   Hal   ini sangat   membatasi   kapabilitas   mereka   dalam   menghasilkan bioenergi.   Jadi,   tanpa   ketersediaan   sumber   daya   alam, penguasaan   iptek   tidak   langsung   memberikan   kapabilitas. Sebaliknya   juga   berlaku.   Keberlimpahan   sumber   daya   alam tidak   banyak   artinya   tanpa   penguasaan   iptek.   Ini   terjadi   di Indonesia. 

Penguasaan iptek juga tidak banyak artinya tanpa keputusan kolektif  dan kegiatan­kegiatan  yang terko­ordinasi.  Kalau kita tengok   bangsa   India,   mereka   memiliki   banyak   ilmuwan   dan insinyur, sebagian bekerja di mancanegara. Tapi kalau tidak ada keputusan  kolektif  untuk  mentransformasikan  pengetahuan  ke dalam   bentuk   artifak,   tidak   banyak   manfaat   praktis   yang dihasilkan.  Belakangan   ini   India  gencar  membangun berbagai institusi  untuk mengkoordinasikan interaksi dan pembelajaran, untuk   memacu   kegiatan­kegiatan     industrial   mereka.   Ketika keputusan   kolektif   dilaksanakan,   institusi­institusi   dibangun, dan  interaksi diko­ordinasikan, maka keberadaan para ilmuwan tersebut menjadi lebih berharga.

Page 23: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Sebaliknya,   keputusan   politik   tanpa   didukung   oleh penguasaan   iptek   juga   bisa   tidak   efektif.  Cina   merupakan bangsa   besar   dengan   determinasi   politik   yang   kuat.   Tapi kekuatan   iptek   Cina   jauh   di   bawah   Jepang,   yang   telah membangun   kekuatan   iptek   sejak   era   Restorasi   Meiji.   Sejak kepemimpinan Deng Xiaoping (awal 1970­an), Cina melakukan langkah­langkah   besar   untuk   membangun   kekuatan   iptek nasional. Mereka mengirim generasi muda untuk belajar iptek di negara­negara Barat,  untuk kemudian dikembangkan di dalam negeri.  Cina  membangun  berbagai   kepranataan,   institusi,   dan mengikutertakan   para   pengusaha   Cina,   untuk   menumbuhkan pasar domestik yang berdaya saing. Saat ini produk­produk Cina telah menembus pasar dunia.

Contoh­contoh di atas mengilustrasikan bagaimana keempat unsur kapabilitas masyarakat (lihat Gambar 2) berfungsi saling memperkuat satu pada yang lain. Kalau salah satu unsur tidak dimiliki   oleh   suatu   masyarakat,   maka   kapabilitas   masyarakat tersebut   akan   menjadi   rendah.   Prinsip   ini   dapat  dinyatakan dalam bentuk hubungan kualitatif sebagai berikut: 

Kapabilitas Iptek Masyarakat = Keputusan Kolektif x Interaksi dan

Pembelajaran x Ko-ordinasi Kegiatan x Ketersediaan Sumber

Material Lokal

Dalam   pernyataan   ini   dipilih   lambang   perkalian,   ‘x’,   bukan lambang   penjumlahan   ‘+’,   untuk   menekankan   bahwa   unsur­

Page 24: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

unsur tersebut saling menguatkan, atau saling melemahkan, satu pada yang lain. Kita tahu bahwa 1 + 0 = 1. Tapi 1 x 0 = 0.

Pendekatan   instrumentalis   tidak   selalu   menimbulkan peningkatan kapabilitas iptek. Misalnya, program alih iptek atau impor iptek yang diadopsi negara­negara berkembang umumnya tidak   berhasil   memacu   pembelajaran   di   dalam   negeri.   Hal seperti ini terjadi di Indonesia dalam dekade 1970­an dan 1980­an,   terutama   di   sektor   manufaktur   (lihat   diskusi   tentang   ini dalam   Thee   (1997)).   Dalam   model   pembangunan   ekonomik berbasis pasar, kapabilitas iptek bahkan dipandang tidak perlu, dan diganti dengan daya beli. Asumsinya, dengan kemampuan membeli segala hal yang dibutuhkan bisa diperoleh dari pasar global.   Tentu   saja   asumsi   ini   bisa   diperdebatkan.   Dengan membeli,  kita bisa memiliki.  Tapi kemampuan dan kapabilitas tidak didapat dari sekadar memiliki. 

Konsep ‘Sistem Inovasi’

Istilah   ‘inovasi’   berasal   ‘innovare,’   istilah   dalam   Bahasa Latin yang berarti penggunaan cara atau sarana yang baru, untuk menghasilkan nilai yang baru. Di Indonesia, ada ungkapan yang bermakna   serupa,   dilontarkan   oleh   Ki   Hajar   Dewantoro beberapa   dekade   yang   lalu.   Yaitu   slogan,   “niteni,   niroake,  nambahake.”  Niteni  itu  mencermati   (to   inquire)   suatu  objek. Niroake  artinya  meniru  (to  replicate,  to   imitate,  to   simulate). Nambahake  artinya menambahkan secara keseluruhan,  to  add value. Meski sudah lama dikenal, bukan dalam artian ini konsep inovasi yang belakangan mendapat perhatian besar. 

Banyak negara  saat   ini   tengah mengembangkan  kebijakan dan kepranataan untuk membangun kapabilitas inovasi, bukan di 

Page 25: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

ranah individual  atau organisasional,   tapi  dalam ranah sebuah negara­bangsa.  Konsep   “sistem   inovasi   nasional”   (SIN)  yang banyak   dibicarakan   sejak   awal   1990­an,   misalnya.   Mengacu pada   kapabilitas   negara­bangsa,   bukan   kapabilitas   organisasi­organisasi tertentu, ataupun individu­individu secara terisolasi. 

Banyak   kajian   lintas­disiplin   (melibatkan   ekonomi, sosiologi, ilmu politik, dan lain­lain) dilakukan di mancanegara untuk   mempelajari   bentuk­bentuk   transformasi   kelembagaan dan   interaksi   sosial   yang   mampu   mensirkulasikan   ‘aliran’ pengetahuan,   untuk   tujuan   penguatan   daya   saing   industri­industri   nasional.   Dari   hasil­hasil   riset   mereka,   model­model tentang   sistem   inovasi   mulai   dirumuskan.   Sebagai   ilustrasi, dalam bukunya   “National   Innovation  Systems,”   ahli   ekonomi Richard Nelson (1993) mendefinisikan sistem inovasi sebagai:

“a   set   of   institutions   whose   interactions   determine   the  innovative performance of national economies.”  

Dalam rumusan seperti ini, meski nilai ekonomik merupakan hal yang   dipentingkan,   nilai­nilai   lain   seperti   kelestarian lingkungan,   keberlanjutan,   dan   kesetaraan   sosial   juga   makin mendapat perhatian.

Kalau kita tengok literatur, kita akan dapati adanya variasi dalam   definisi­definisi   sistem   inovasi.   Tapi   dari   berbagai definisi   tersebut,   terdapat  kesamaan  konseptual,  yakni  adanya penekanan pada unsur­unsur:

• jaringan institusi di sektor publik dan swasta nasional; • interaksi   dalam   aspek­aspek   teknis,   komersial,   legal, 

finansial, sosial, kultural; • pengetahuan dan pembelajaran; 

Page 26: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

• pengembangan, penyebaran dan pemanfaatan iptek; • kinerja perusahaan­perusahaan; • kekuatan yang berakar dalam budaya; 

 Kalau kita cermati unsur­unsur di atas, kita dapat simpulkan 

bahwa   rumusan   konseptual   dari   sistem   inovasi   memberikan penekanan   pada   kapabilitas  inovasi   sebagai   kekuatan   sebuah masyarakat­bangsa. Dengan perkataan lain, model­model sistem inovasi tersebut dikembangkan dengan pendekatan kapabilitas, bukan   pendekatan   instrumentalis.   Hal   ini   penting   untuk   kita garis bawahi.

Diyakini  oleh   para   penyusun   model   inovasi,   bahwa terbangunnya kapabilitas inovasi tidak terjadi dalam suatu arena yang   terisolasi  dari   lingkungannya,   tapi  merupakan  hasil  dari interaksi  di   antara   seluruh  elemen­elemen  dari   sebuah   sistem sosial (Nelson, 1993; Mowery dan Rosenberg, 1998; Etzkowitz, 2007).   Terjadinya   perkembangan   iptek,   dan   pemanfaatannya baik di sektor publik maupun di sektor swasta, merupakan hasil dari terbangunnya kapabilitas inovasi tersebut. 

Meningkatnya perhatian  banyak negara pada sistem inovasi tidak terlepas dari perubahan geo­politik.  Sejak awal 1990­an, setelah  Perang  Dingin  berakhir,   terjadi   pergeseran­pergeseran geo­politik   seperti,   antara   lain:  dari  konflik   ideologis  ke  arah persaingan   industrial;   dari   pertumbuhan   ekonomik   ke pembangunan berkelanjutan, dan dari ‘masyarakat industrial’ ke ‘masyarakat   berbasis   pengetahuan.’   Pergeseran­pergeseran   ini pada gilirannya membawa implikasi dalam kebijakan ekonomi, kebijakan iptek, dan pendidikan tinggi. 

Page 27: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Mass   (2002)   mencatat   bahwa  negara­negara   OECD (Organization   for   Economic   Co­operation   and   Development) memfokuskan   kebijakan   inovasi   dengan   memberi   penekanan pada   interaksi   antara   berbagai   pelaku   inovasi,   dan   proses pengembangan   pengetahuan   secar   multidisiplin.   Tujuan   dari kebijakan   ini   adalah   untuk   memperbesar   sumbangan   ilmu pengetahuan   pada   peningkatan   kualitas   kehidupan   sosial, peningkatan daya saing ekonomi, serta pelestarian biosfer. 

Kategori Pelaku Iptek/Inovasi

Pendekatan   kapabilitas   berbeda   dari   pendekatan instrumentalis   dalam   menyoroti   siapa­siapa   yang   dipandang sebagai   pelaku   iptek.   Dalam   pendekatan   instrumentalis, umumnya   para   penghasil   iptek   (lembaga   riset   iptek   dan perguruan tinggi) yang disoroti, sedangkan para pengguna iptek kurang   diperhatikan.   Dalam   pendekatan   kapabilitas,   yang dikategorikan  sebagai  pelaku  iptek  mencakup siapa saja  yang keputusan,   pengetahuan,   dan   kegiatannya   mempengaruhi perkembangan, penyebaran dan pemanfaatan iptek. 

Para   akademisi   (ilmuwan   dan  periset)   tentu   saja  menjadi ‘ujung   tombak’   dalam   hal   pengembangan   iptek.   Tapi   sering mereka tidak terlibat  langsung dalam pemanfaatan iptek.  Para pelaku  usaha  berperan  banyak  dalam pemanfaatan   iptek,  dan penyebarannya. Dalam kasus­kasus tertentu, para pelaku usaha juga   melakukan   riset   dan   menghasilkan   variasi   iptek. Pemerintah,   sebagai  penetap  kebijakan  dan  perumus   regulasi, berpengaruh   besar   dalam   pengembangan,   penyebaran   dan pemanfaatan   iptek.   Misalnya,   kalau   pemerintah   memutuskan untuk   membangun   pasar   domestik   yang   tangguh,   ini   akan 

Page 28: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

membuat   aktivitas   ekonomi   menjadi   kekuatan   penghela   riset iptek. Ini yang belakangan terjadi di Brazil dan Cina. Amerika Serikat (AS) menerapkan kebijakan demikian sejak awal 1900­an. 

Melaui   subsidi   sebagai   instrumen,   pemerintah   juga mempengaruhi  mana  iptek yang berkembang,  dan mana yang tidak.  Misalnya,   kalau   transportasi   jalan   raya  yang  disubsidi, maka teknologi perkeretaapian akan lamban perkembangannya, seperti   yang   pernah   terjadi   di   AS.   Dan   kalau   pemanfaatan minyak  dan  gas  bumi  yang  disubsidi,  maka   teknologi   energi terbarukan menjadi lamban perkembangannya. 

Jadi,  dalam   pendekatan   kapabilitas   terhadap   inovasi, terdapat   tiga   kategori   pelaku   inovasi   yang  utama,   yaitu   para akademisi   (Academicians),   para   pelaku   bisnis (Businessmen/wowen),   dan   para   penyelenggara   pemerintahan (Government   agencies).   Dalam   diskusi   selanjutnya,   para akademisi   akan   disebut   sebagai   pelaku   A,   pebisnis   sebagai pelaku B, dan penyelenggara pemerintahan sebagai pelaku G. 

Selain para pelaku A, B dan G, tentu terdapat juga unsur­unsur lain dari masyarakat sipil yang mempengaruhi kapabilitas inovasi:   Lembaga   Swadaya   Masyarakat,   kelompok­kelompok aktivis pecinta lingkungan, forum pengawas demokrasi, pelaku media  massa,   lembaga  perlindungan konsumen,  dan   lain­lain. Peran   mereka   dapat   signifikan   dalam   mengarahkan perkembangan,   penyebaran   iptek   ataupun   pemanfaatan   iptek. Tapi   peran   mereka   lebih   sering   sebagai   mediator   atau pengendali, bukan sebagai motor. 

Secara  sederhana,  konfigurasi  pelaku­pelaku  inovasi  dapat divisualkan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3. Sebagai 

Page 29: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

catatan, gambar tersebut tidak dimaksudkan untuk mengabaikan peran penting dari pelaku­pelaku mediator. 

Enam Tema Prioritas Nasional

Hari   ini,   bangsa   Indonesia   tengah   berupaya   keras   untuk memantapkan   kehidupan   yang   demokratis,   dan   sekaligus bangkit dari keterpurukan ekonomik. Belajar dari apa­apa yang kita alami di masa lalu, kita tahu bahwa kesejahteraan saja tidak cukup   untuk   membangun   kapabilitas   inovasi   yang   tangguh. Krisis   energi,   krisis   pangan,   dan   kerapuhan   kita   dalam menyikapi  bencana alam membuktikan bahwa banyak kosong dalam bangunan kapabilitas inovasi bangsa Indonesia. 

Indonesia  telah   memutuskan   untuk   turut   mendukung ketercapaian Millenium Development Goals (MDGs). Ini berarti bahwa kita ikut serta dalam gerakan global untuk ‘memerangi’ sumber­sumber   kemiskinan.   Di   sisi   lain,   kita   juga   telah menyepakati   ketentuan­ketentuan   persaingan   dagang   dalam WTO,   dan   ketentuan­ketentuan   lingkungan   dalam   Protokol Kyoto.   Ini   berarti   kita   siap   menjadi   pelaku   ekonomi   yang berdaya   saing  di   arena  global,   dan   turut  menjaga  kelestarian biosfer   demi   generasi   masa   depan.   Ini   semua   berimplikasi bahwa   kita   harus   merumuskan   langkah­langkah   yang   tepat untuk   bisa   membangun   kapabilitas   inovasi   nasional   yang tangguh. 

Sesuai dengan yang digariskan dalam rencana pembangunan jangka  menengah   (RPJM)  periode  2005­2010,   terdapat   enam tema   yang   ditetapkan   sebagai   prioritas   dalam   pengembangan iptek   nasional.   Secara  terinci,   agenda   nasional   tentang pengembangan iptek dipaparkan dalam dokumen Agenda Riset 

Page 30: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Nasional   (ARN)   periode   2006­2009.   Tema   yang   pertama berkenaan   dengan   keamanan   pasokan   pangan.   Yang   ingin dijawab adalah bagaimana banga Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan, dengan kualitas gizi yang baik. Yang ke dua tentang kemampuan dalam peenyediaan obat, dan peningkatan kesehatan tubuh secara menyeluruh. 

Tema­tema berikutnya mengenai informasi dan komunikasi, dan   transportasi.   Yang   ingin   dibangun   adalah   kemampuan dalam   penyediaan   akses,   yang   terjangkau   (affordable)   bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tema ke lima berkenaan dengan keamanan   pasokan   energi,   yakni   bagaimana   kita   dapat membangun   kemampuan   untuk   menghasilkan   energi,   tanpa terlalu  bergantung pada minyak  dan  gas  bumi.  Yang  terakhir terkait   dengan   kemandirian   dalam   pertahanan   dan   keamanan nasional.  Sampai  batas   tertentu,  kita  perlu  mampu memenuhi kebutuhan akan teknologi pertahanan dan keamanan nasional.

Keseluruhan   tema­tema   itu   saling   berkaitan,   saling memperkuat, satu dengan yang lain, dan tersatukan oleh tujuan bersama   (lihat   Gambar   4).   Tema­tema   ini   berwatak   multi­dimensional,   dan   karenanya   membutuhkan   riset   dan pengembangan  iptek secara  multi­  atau bahkan  lintas­disiplin, mencakup  hard   sciences  (berbagai   disiplin   ilmu   alam   dan teknologi) dan soft sciences (ilmu­ilmu sosial dan kemanusiaan). Ini merupakan tantangan tersendiri, karena kita belum terbiasa dengan   kegiatan   riset   multidisiplin.   Interaksi   antarpelaku iptek/inovasi   juga   penting   dalam   pelaksanaan   agenda   iptek nasional, karena  stakeholder  dari masing­masing tema tersebut mencakup beragam pelaku A, B, G dan pelaku­pelaku lain yang menjadi komponen masyarakat sipil, seperti LSM, pelaku media massa, dan lain­lain. 

Page 31: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Keseluruhan   diskusi   dalam   Prolog   ini   bekenaan   dengan tantangan­tantangan:   perubahan   paradigma   tentang   iptek   dan inovasi; masalah­masalah bangsa; desakan faktor­faktor global. Yang   menjadi   cita­cita   adalah   menjawab   tantangan   tersebut. Sebagai   langkah   awal   yang   penting   untuk   ditempuh   adalah mengenali realitas kita, kondisi riel dari kapabilitas inovasi kita. Untuk  mengenali   realitas   kita,   dalam  bagian   selanjutnya  kita akan menyimak penuturan para pelaku inovasi, yakni pelaku A, B dan G.

BadanPemasaran/

Distribusi

Lembaga­Lembaga

Riset

Industri­Industri

ManufakturPengguna

Akhir

Perguruan­Perguruan

Tinggi

LembagaPenyalur

Dana

BadanPerencana

BadanLegislatif

KementerianIptek

Departemen­Departemen

Teknis

Akademi IlmuPengetahuan A

G

B

: Pelaku Iptek

: Kegiatan yang Relevan

Regulasi/De­regulasiLegitimasiSosialisasi

Perencanaan danimplementasi program

Penyaluran Dana

PenelitianPengajaran/

PelatihanKomersialisasi Hasil

RisetAdvokasi KebijakanPenelitian Industrial

Transaksi Produsen­KonsumenPersaingan

AntarprodusenStandar­standar

Penanaman ModalPerlindungan

KonsumenPerlindunganLingkungan

Gambar 3. Konfigurasi Pelaku-Pelaku A, B, G Penopang Kapabilitas Inovasi Masyarakat.TUJUAN

BERSAMA

Energi Baru danTerbarukan

KetahananPangan

TransportasiInformasidan Komunikasi

Kesehatandan Obat

Pertahanan danKeamanan

KetahananKeberlanjutan

Basis Legal &Kepranataan

Ketersediaan &Keterjangkauan

Akses

KemandirianDaya Saing

BasisPengetahuan

Page 32: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Gambar 4. Enam Tema Iptek Prioritas dan Tujuan Kolektif (Diadopsi, dengan penyederhanaan, dari Dokumen Agenda

Riset Nasional 2006-2009).

“I believe you can choose to approach the world creatively or not creatively. There’s always the possibility of turning over

any task in an unusual, creative way.’

Tod Machover—komposer musik, Opera of The Future, MIT’s Media Lab.

Page 33: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Dialog

Bagian Satu

Agenda 6 dalam Konteks

Conversation should be pleasant without scurrility,witty without affectation, free without indecency,

learned without conceitedness, novel without falsehood.

— William Shakespeare

Dalam Dialog Bagian Satu ini ini kita akan menyimak pengalaman para pelaku A, B dan G dalam merintis inovasi, dan pandangan mereka atas arti penting dari keselarasan hubungan-hubungan A-B-G. Para partisipan dialog adalah mereka yang bergerak di bidang-bidang yang relevan dengan keenam tema prioritas riset nasional (Agenda 6).

Tentu saja para partisipan dialog ini tidak mewakili keseluruhan pelaku A, B dan G. Meski demikian, kita akan lihat bahwa dari pengalaman mereka terangkat fakta-fakta yang relevan untuk memahami kapabilitas inovasi nasional. Khususnya, akan kita dapati arti penting dari interaksi dalam keberagaman, dan pembelajaran lewat interaksi, dalam upaya membangun kapabilitas inovasi.

Page 34: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf
Page 35: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Industri, bukan Pabrik

Dialog dengan Rama Prihandana (RP)Pelaku di Bidang Pangan

Direktur Utama PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)

Topik : • Antara produsen dan pedagang • Peluang inovasi produk pertanian

KK: Kami ingin berbincang-bincang, bertukar pendapat, pemikiran dan gagasan. Di negara-negara berindustri maju itu ekonominya tumbuh dengan ditopang oleh hubungan yang serasi antara akademisi, pebisnis dan pemerintah. Itu yang saya sebut sebagai hubungan A-B-G. Jadi, isunya adalah bagaimana hubungan A-B-G itu bisa harmonis. Nah, dari kacamata pelaku BUMN bagaimana ini dilihat?

RP: Kalau dari yang kasat mata saja, terlihat mereka masih jalan sendiri-sendiri. Asyik dengan dunianya masing-masing. Kalau menurut saya, dalam situasi sekarang sedang susah-susahnya mereka diselaraskan, karena ‘mahal’-nya ko-ordinasi.

KK: Menurut Pak Rama, apa yang membawa pada situasi seperti itu?

RP: Kita ambil suatu ‘contoh kasus’, misalnya,

Page 36: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

pengembangan bio-energi sebagai energi alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan. Kami sebagai pelaku BUMN selama ini hanya menggunakan sumber energi atau minyak yang berasal dari fosil. Tidak terpikir sama sekali sebelumnya untuk mengadakan kegiatan riset guna mencari sumber energi alternatif. Jadi, kalau tidak terpikirkan oleh pelaku badan usaha untuk mengadakan riset, lalu bagaimana kami bisa menyalurkan dan mengembangkan inovasi serta bergandengan dengan akademisi? Pasti tidak akan terjadi hal itu.

Selama ini, RNI merekrut para lulusan dari lingkungan akademik hanya untuk menangani alat produksi saja. Tidak ada aktivitas riset. Kami menjalankan business as usual saja. Lalu pertanyaannya, mengapa tidak melakukan riset? Karena itu tadi, Pemerintah tetap berpegang pada minyak fosil yang bersubsidi. Apa pun hitungannya di atas kertas, kan kami mesti membuat studi awal. Hitungannya itu, dari awalnya saja sudah tidak tampak menjanjikan, karena adanya faktor subsidi.

Yang ke dua, para pelaku usaha ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu pedagang dan produsen. Antara kedua kelompok ini saja terdapat kesenjangan pengetahuan yang lebar. Banyak orang berpandangan bahwa tidak enak menjadi produsen, risikonya besar. Lebih enak menjadi pedagang: turn over-nya tinggi, risikonya kecil, untungnya besar. Itu menurut

Page 37: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

banyak orang. Kalau menurut saya, ada yang tidak seimbang di sana. Karena kekeliruan para produsen, akhirnya risiko yang seharusnya ditanggung oleh para pedagang, dibebankan pada produsen atau konsumen.

Mengapa terjadi seperti itu? Itu karena para birokrat yang menangani hukum dagang belum jeli melihatnya. Hubungan antara konsumen, produsen dan pedagang itu, dari sisi teori, seharusnya win-win atau saling menguntungkan. Seharusnya ada keseimbangan antara keuntungan yang didapatkan dan risiko yang ditanggung, serta saling bergantung satu pada yang lain. Kalau tidak seimbang, itu karena salah mengaturnya, terutama dalam mengatur keseimbangan tanggung jawab antara para pelaku.

Sekarang masalahnya, mengapa para birokrat menjadi kurang kreatif, atau kurang produktif dalam mengembangkan, memperdalam, dan menyempurnakan aturan-aturan yang ada? Salah satu, dan yang utama, faktornya adalah kesejahteraan dari para pegawai negeri. Ambil contoh misalnya, profesi guru. Yang saya ketahui dan lihat di periode 1960-an itu luar biasa profesi ini. Menjadi guru adalah salah satu idaman orang. Jadi guru itu enak. Pada tahun 1960-an, gaji guru relatif berharga kalau dirujukkan pada harga motor, harga sepeda, atau harga rumah. Hari ini, berapa gaji guru? Coba kita bandingkan dengan harga sepeda, atau harga rumah?

Page 38: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

KK: Itu perbandingan yang bagus!

RP: Harus kita bandingkan gaji guru ini dengan harga kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Kalau guru pada 1960-an itu menjadi idaman, rasanya kebutuhan tersier waktu itu terjangkau. Kalau gaji guru sekarang, untuk menjangkau kebutuhan primer saja, Insya Allah, bukan begitu?! Guru itu, kalau tidak membuat kursus di luar sekolah, atau mencari pendapatan sampingan, tidak hidup lo, Pak!

Saya dulu bekerja di Batam. Gaji saya 20 juta rupiah lebih, sebagai direktur utama. Nyamanlah keadaan di Batam itu. Nyamannya itu karena banyak tamu. Kebanyakan pelanggan itu berasal dari luar Batam dan selalu ingin tahu banyak tentang Batam. Mungkin dalam satu minggu itu bekerja di kantor dua hari saja.

KK: Di sana di perusahaan apa?

RP: Di sebuah BUMN, PT. (Persero) Batam, perusahaan yang menangani jasa kepelabuhanan, Kawasan Berikat, perdagangan, dan juga oil logistic. Jadi, saya menangani aktivitas di pelabuhan laut, pergudangan, dan administrasi Kawasan Berikat. Distribusi barang-barang yang diawasi itu di bawah kendali saya. Jadi, saya mengendalikan mulai dari beras sampai minuman beralkohol.

Di tahun 1999 saya dipindahkan ke Wisma Nusantara, mewakili Pemerintah di sana. Take home pay-nya saja 12.000 dolar AS. Dengan gaji

Page 39: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

sebesar itu jam kerjanya sampai jam 5 sore. Saya malu! Jadi saya cari apa-apa lagi yang bisa dikerjakan. Kami terus berusaha berinovasi baik dalam aspek administrasi, operasional, maupun kreasi-kreasi baru guna menyumbangkan tenaga dan pikiran kami untuk kepentingan perusahaan.

Kembali ke hubungan A-B-G tadi, belum ada titik temunya. Komponen-komponen A-B-G ini terpisah baik secara administrasi maupun sasaran kerjanya, dan akibatnya berjalan sendiri-sendiri. Saya sudah asyik dengan dunia saya, dan dalam dunia saya, Anda tidak dibutuhkan. Ini yang pertama. Yang ke dua, karena saya tidak menciptakan alternatif sumber penghasilan yang baru, maka tidak tercipta lapangan kerja baru. Karena tidak tercipta lapangan kerja, maka sebagian rakyat menganggur. Semuanya ini saling terkait.

~0~

Saya juga tidak mengerti secara pasti situasi BUMN kita ini, mengapa selama ini kita hanya membuat pabrik CPO (crude palm oil)? Mengapa tidak membuat pabrik minyak goreng? Pertanyaan ini tidak ada yang bisa menjawab secara tegas dan gamblang. Kalau BUMN yang bergerak di sektor perkebunan mengubah kegiatannya, dengan mengolah bahan baku menjadi bahan semi jadi, dan kemudian menjadi bahan jadi, ini otomatis akan masuk ke berbagai bentuk produk akhir, kan. Begitu masuk ke produk hilir kita akan berada di

Page 40: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

pasar, di sektor riel. Dan begitu masuk ke sektor riel, ruang gerak perusahaan akan menjadi lebih luas dan leluasa.

KK: Contohnya saja, PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) yang menghasilkan teh. Ini belum berlangsung lama. Baru 10 tahun dia membuat teh celup. Sebelumnya hanya mengeskpor teh gelundungan.

RP: Saya tidak mengerti hal itu. Misalnya, saya mau ekspor CPO. Saya bisa hitung, pasar saya siapa. Tidak banyak. Tapi begitu saya hasilkan minyak goreng, semua mal, pasar swalayan, pasar tradisional, sampai warung-warung membutuhkannya. Pasarnya itu tiba-tiba menjadi begitu besar! Nah, besarnya pasar ini kan identik dengan meningkatnya turn over ekonomi negeri ini. Mengapa tidak? Tapi yang terjadi, malah upaya seperti ini 'dihantam' kiri-kanan.

Saya sudah mengolah pucuk tebu untuk menjadi pakan ternak. Saya sudah mulai dapatkan ruang ekspor ke Korea Selatan dan Jepang. Kalau Jepang dan Korea Selatan jauh-jauh mencari pucuk tebu ke sini, mengapa para petani di sini tidak digalakkan agar sapinya bisa makan pucuk tebu? Mengapa dibiarkan para petani tetap menggunakan rumput gajah sebagai makanan sapi? Seandainya ternaknya diberi makan pucuk tebu, tanah yang ditanami rumput gajah bisa ditanami tanaman yang lain-lain, sehingga lebih produktif. Ini salah satu bentuk pembodohan yang

Page 41: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

tidak kita sadari!

Lahan kita yang subur hanya ditanami rumput gajah. Lantas mereka bilang, "Kalau rumput gajah kan tanahnya, ya, tanah saya sendiri. Kalau pucuk tebu, saya harus beli." Saya bilang, "Pak, pucuk tebu itu memang beli. Tapi tanah Bapak kalau ditanami cabe kan menghasilkan uang juga." Yang harus dihitung adalah hasil penjualan cabe itu harus melebihi harga beli pucuk tebu. Begitu, kan? Dan itu harusnya bisa. Pucuk tebu itu limbah. Sementara kalau lahan dipakai untuk cabe, labu, atau lainnya, itu adalah produk inti. Mestinya harganya lebih bagus daripada pucuk tebu.

Kalau Pemerintah melihat ada BUMN yang mulai berinovasi, kan mestinya disambut, diadakan riset atau pembimbingan masyarakat. Itu akan berdampak luar biasa pada peningkatan produktivitas, baik dalam ‘kaca mata’ BUMN maupun ekonomi nasional.

Salah satu program yang saya jalankan pada tahun 2002 adalah untuk mengatasi kerugian yang dialami PT. RNI, dan yang utama adalah defisit cash flow. Ternyata itu semua disebabkan pabrik gula yang defisit, karena harga gula tidak bisa bersaing di pasar. Harga gula di pasar 2600-2750 rupiah per kilogram. Sementara harga pokok produksi kurang lebih 3500 rupiah per kilogram. Jauh, kan?! Lalu dicari cara bagaimana menurunkan harga pokok.

Kalau kita berbicara soal pabrik gula, mungkin

Page 42: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

kita hanya berpikir untuk memproduksi gula sebanyak-banyaknya, dengan kualitas sebaik-baiknya. Nah, kalau berpikir industri berbasis tebu, kita harus memikirkan juga bagaimana memanfaatkan lahan tebu yang kosong, pucuk tebu, daun kering, ampas tebu dan lain-lain. Jadi, banyak yang bisa dikerjakan, selain menghasilkan gula sebagai produk utama.

Kami mengelola BUMN bukan untuk mencari omset yang sebesar-besarnya, bukan untuk merekrut pegawai sebanyak-banyaknya. Itu semua hanya dampak, saya kira. Yang utama adalah mecari untung. Bagaimana meningkatkannya, begitu kan? Saya definisikan dan siapkan beberapa langkah. Pertama, kami harus menaikkan pendapatan. Tapi biaya produksinya tidak boleh naik. Meningkatkan pendapatan ini bisa dengan menaikkan produktivitas, bisa juga menaikkan harga. Ke dua, omsetnya tetap, tapi biaya produksinya kami turunkan melalui program efisiensi. Yang paling bagus memang omset naik, efisiensi terjadi. Yang ke tiga, kami manfaatkan semua by-product yang selama ini disebut limbah. Bagaimana limbah ini dihilangkan, atau kami olah kembali sehingga bernilai tambah.

Pembiayaan di pabrik gula ini cukup besar, karena penggunaan energi yang luar biasa. Misalnya pada waktu itu, 18 persen dari komponen harga pokok produksi itu adalah untuk energi, yaitu minyak bakar, IDO atau residu. Saya terpicu untuk mencari pengganti minyak bakar itu dengan

Page 43: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

yang lebih murah. Yang kami lakukan adalah menggunakan sampah tebu yang namanya bagas. Tahun berikutnya, kami pakai daun kering tebu yang kami sebut daduk. Tahun ke tiga, kami kombinasikan dengan grajen yang kami ambil dari tukang gergaji kayu. Dalam 3 tahun pertama itu, 2003-2005, penggunaan minyak bakar menurun drastis, dari 18 juta liter per tahun menjadi 10 juta liter per tahun.

Page 44: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Regulasi/De-regulasi

Dialog dengan Edie Haryoto (EH)Pelaku di Bidang Transportasi;

Direktur Utama PT. Angkasa Pura II

Topik: • Kemitraan publik-swasta • Antara regulator dan operator •

Adopsi teknologi baru

KK: Saya melihat bahwa salah satu faktor untuk mewujudkan ekonomi yang inovatif itu adalah keselarasan aktivitas antara pelaku riset dan pelaku pasar. Aktivitas itu selaras ketika para periset menengok peluang inovasi di arena pasar, dan pelaku pasar menengok peluang adopsi hasil riset untuk inovasi. Nah, ini kalau kita kaitkan dengan peranan kebijakan pemerintah, menjadi A-B-G: academics, business, government.

Memang ini tidak ada sangkut-pautnya dengan 'anak baru gede.' Namun ada sifat yang menarik pada 'anak baru gede' itu, yang subur di masa mereka, tapi mungkin menghilang dengan bertambahnya usia. Sifat itu adalah saling berbagi, atau resource sharing. Di antara mereka itu, kalau kita perhatikan, baju milik A, besoknya dipakai oleh B. Besoknya lagi oleh C. Selain sifat ini, begitu

Page 45: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

mereka sudah kompak, tantangan apapun mereka hadapi.

EH: Hari ini saya baru mengalami kejadian yang sangat menarik. Tadi saya undang tim dari Bappenas, membahas Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 yang demikian terkenal itu. Perpres No. 67 tahun 2005 itu mengatur tentang pembangunan infrastruktur. Dari sisi pehubungan udara, yang paling penting kan mengurangi barrier to entry, supaya industri jasa penerbangan tumbuh cepat. Tapi itu semua dibicarakan tanpa membahas masalah bandara. Padahal pesawat itu sampai saat ini masih perlu bandara. Jadi, kapabilitas bandara itu kan menjadi masalah yang sangat penting. Nah, itu perlu kita kerjakan. Kita pun bersemangat menyambut Infrastructure Summit.

Lalu diterbitkan Perpres No. 67 itu, yang mengatur bahwa semua harus ditenderkan, mengatur bagaimana bekerja sama dengan swasta, dan sebagainya. Kami ingin membangun infrastruktur dengan kapabilitas layanan empat juta penumpang, dan kami ingin merealisasikannya. Padahal kapabilitas Bandara Polonia, Medan, hanya 800 ribu. Lalu kami mencari para calon investor. Kami punya tanah, dan lain-lain. Mereka tidak hanya memberi uang, tapi juga teknologi, dan sebagainya. Kami ingin menjadi world class begitu, Pak. Ketika proses baru berjalan, keluar Perpres No. 67 yang menetapkan mekanisme tender.

Page 46: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Saya sampaikan, "Ini tanah milik Kami, tanah Angkasa Pura. Saya mau bekerja sama, mau membangun infrastruktur." Tapi kami diberi tahu, "Tidak bisa, harus lewat tender!" Angkasa Pura harus ikut tender? Saya menjadi bingung, Pak. Disebutkan bahwa Angkasa Pura itu BUMN. Jadi, sama seperti swasta, harus ikut tender. Saya bertanya, "Kalau yang menang bukan Kami, bagaimana?" Jawabnya, "Ya, Anda sewakan tanah!" Wah, kan tidak betul ini, Pak?! Saya sampaikan persoalan ini ke beberapa instansi terkait, tapi penjelasannya tidak sinkron satu sama lain. Akhirnya saya undang tim Bappenas itu.

Jadi, kalau Perpres No. 67 dibaca begitu saja yang tertulis, maka kalau kami mau membangun bandara baru, kami mesti ikut tender.

KK: Karena asetnya belum milik Anda?

EH: Tanah milik Angkasa Pura. Jadi, kalau ikut tender, kalau nanti yang menang pihak lain, silahkan dia bekerja sama dengan Angkasa Pura, karena Angkasa Pura yang punya tanah.

Tapi ada Peraturan Pemerintah (PP) lain yang menetapkan bahwa Bandara Polonia adalah Angkasa Pura. Ada PP lain lagi yang menyatakan bahwa Bandara Kualanamu, kalau dibangun, itu sebagai pengganti Bandara Polonia. Artinya kan kami punya kompetensi di sini. Kan begitu, Pak? Berarti kami boleh bekerja sama dengan pihak swasta, meski tentu harus sesuai prosedur yang ditetapkan, transparan dan adil.

Page 47: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

KK: Ini persoalan yang banyak dikeluhkan ..., uncertainty.

EH: Kita menghadapi banyak masalah kapabilitas. Bandara Soekarno-Hatta 18 juta kapabilitasnya. Volume penumpangnya 31 juta. Disarankan masalah ini dimasukkan dalam pembahasan Infrastructure Summit. Lalu kami susun perencanaan bisnisnya. Setelah jelas semua untuk diputuskan, akhirnya menjadi bingung semua bagaimana memrosesnya.

Dalam kaitannya dengan Infrastructure Summit itu, saya ikut roadshow. Pertama ke London. Kami nyatakan bahwa kami ingin membangun infrastruktur, dan kami ingin tahu apakah ada pihak yang berminat. Ada pihak yang bertanya, dari British Petroleum, ke pembicara, "Pak, kami berminat sekali di bidang perminyakan, tapi kan kami harus kerja sama dengan Pertamina. Padahal kan sulit Pertamina itu?!"

Kemudian roadshow ke New York. Dibuka oleh Presiden SBY. Dari peserta Summit ada yang berkomentar, "Kalau mau deal dengan Indonesia, di luar negeri saja. Nanti ditandatangani oleh Duta Besar. Itu bayar juga, tapi lebih murah." Ini serius lo, Pak. Asal bicara saja itu orang!

Menurut saya, ya ini bisnis, yang 'kacamata'-nya berbeda sama sekali dengan birokrasi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana regulasi itu bisa mendukung kegiatan bisnis. Kalau memang yang diinginkan Pemerintah adalah bagaimana

Page 48: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

bisnis ini bisa maju, regulasi harus bisa mendukung. Tapi yang ditekankan sekarang ini, bagaimana bisnis menyesuaikan diri dengan regulasi. Makanya terhambat. Dalam kaitannya dengan Infrastructure Summit tadi, kelihatannya sedikit sekali projek yang jadi.

KK: Sebenarnya, regulasi dan de-regulasi itu apa esensinya? Dalam ilmu kontrol, menurut teorinya, regulasi dilakukan kalau ada fluktuasi yang magnitudenya besar. Akibatnya, dinamika berkurang. Tapi kalau dinamika terlalu rendah, dilakukan de-regulasi. Jadi, regulasi dan de-regulasi itu merupakan aksi untuk mengatur dinamika, sesuai dengan objektif yang kita inginkan. Apakah prinsip ini berlaku dalam ekonomi?

~0~

EH: Mari kita bahas masalah jasa penerbangan. Masalah teknologinya. Pesawat itu perlu dipandu, mengapa? Sedangkan pilot tahu posisi pesawat dengan kompas atau sekarang dengan GPS. Nah, masalahnya pilot tidak tahu posisi pesawat lain, kan begitu. Saya tahu posisi saya, tapi posisi pesawat lain saya tidak tahu. Yang tahu adalah mereka yang memantau di ground (Air Traffic Control). Diciptakanlah radar-radar. Pada tahap berikutnya, ada yang namanya “surveillance broadcast.” Ini berfungsi untuk memberitahukan posisi saya, sehingga pesawat-pesawat yang lain bisa tahu posisi saya. Jadi, pesawat tidak perlu dipandu, kecuali setelah mendekati bandara.

Page 49: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Nah, sekarang berkembang gagasan bahwa peran ini semua diambil alih oleh Pemerintah. Padahal, nanti yang mengelola adalah pihak bandara. Pemerintah seharusnya kuat sekali memainkan peran sebagai regulator, bukan operator. Re-check itu bukan tugas Pemerintah, tapi tugas perusahaan penerbangan untuk menjaga keselamatan. Pemerintah hanya memastikan saja bahwa semuanya berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Pemerintah yang melakukan oversight bahwa maskapai penerbangan melakukan itu semua. Jika tidak, kenakan sanksi.

Tapi bukan hanya di sektor perhubungan udara saja Pemerintah perlu berperan demikian. Di sektor perkeretaapian sama saja. Untuk menurunkan penumpang yang naik ke atap gerbong, pihak KAI tidak punya kewenangan apa-apa. Itu kewenangan polisi. Kalau pun punya kewenangan, bagaimana bisa memaksa penumpang turun dari atap?

Saya ambil contoh apa-apa yang terjadi pada waktu saya mengundurkan diri dari posisi direktur utama PT. KAI. Jadi, kalau ada dua stasiun A dan B, dan ada kereta api yang berangkat dari stasiun A ke B, maka yang memberangkatkan adalah stasiun B. Bukan stasiun A. Stasiun B memberi kabar ke A bahwa lintasan kereta dari A ke B aman, tidak ada kereta api yang lain di situ. Lantas diperagakan tanda berwarna putih, yang artinya "siap". Setelah itu berganti menjadi tanda berwarna merah, yang artinya “siap diberangkatkan.” Sesudah itu baru

Page 50: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

sinyal bisa digerakkan. Kalau masih putih, sinyal tidak akan bisa bergerak. Walaupun ini teknologi kuno, terbukti masih manjur, Pak. Tidak akan ada kereta api yang bisa berangkat bila tidak diberi izin.

Nah, sekarang ini yang terjadi semuanya serba elektronik. Tapi cara kerjanya sama. Sekarang dipakai panel-panel. Saya hanya tinggal menekan tombol rute dengan sinyal elektronik. Kalau tombol di panel tidak pernah ditekan, tidak akan ada kereta api yang diberangkatkan karena ada mekanisme interlocking.

Nah, yang jadi masalah pada waktu itu alat penggerak itu rusak, karena diganjal batu oleh seseorang. Sedangkan kabelnya dicuri orang. Akibatnya tidak bisa berkomunikasi dengan menggunakan alat elektronik. Dalam situasi seperti ini, seharusnya pengendalian diambil alih oleh pusat pengendali Manggarai. Di situ ada monitor besar. Masalahnya, Manggarai belum lama tersambar petir sehingga tidak bisa berfungsi. Maka semuanya kembali lagi ke teknologi konvensional, yaitu menggunakan telepon. Sebenarnya komunikasi lewat telepon sudah biasa dipraktikkan untuk memberi tahu bahwa kereta api akan diberangkatkan. Tapi karena kebiasaan ini sudah ditinggalkan sejak adanya peralatan elektronika, terjadi mis-komunikasi. Kedua kereta api sama-sama berangkat. Terjadilah peristiwa yang sangat tidak diinginkan oleh semua pihak.

Page 51: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Jadi, bukannya teknologi yang dipakai itu kurang canggih. Sudah elektronik, 100% aman. Yang tidak dilakukan adalah membuat rencana A, rencana B, jika sewaktu-waktu terjadi kerusakan peralatan.

KK: Kalau dalam pengelolaan jalan tol hal itu wajib: ada rencana A, ada rencana B. Juga ada rencana C, yaitu pengoperasian secara manual.

EH: Di kasus kereta api juga begitu. Tapi pada kenyataannya, tidak selalu berhasil. Masalahnya, di ujung-ujungnya tadi sederhana. Ada yang mencuri kabel.

Page 52: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Konsistensi Regulasi

Dialog dengan Hilmi Panigoro (HP)Pelaku di Bidang Energi

CEO Medco Energi Internasional

Topik: • Konsistensi dalam regulasi • Kesenjangan teknologi industri-

perguruan tinggi • Pilihan tanaman energi

KK : Saya sedang mengkaji kasus bencana 'lumpur Lapindo' itu, Pak Hilmi. Apa yang akan terjadi jika dalam lima tahun ke depan, kita masih tidak mampu menanggulanginya?

Saya sudah berkomunikasi ke berbagai pihak di penjuru bumi lewat Internet, melalui jalur relasi saya. Data yang saya dapat, proses semburan lumpur seperti itu paling cepat tiga bulan baru berhenti, dan paling lama lebih dari 21 tahun! Yang terjadi di Gurun Sahara itu sudah 21 tahun, dan sekarang masih terus berlangsung. Tapi dalam kasus Sahara itu tidak menimbulkan ancaman, karena tidak berada di tengah kota. Apa yang dialami Lapindo ini juga sebetulnya bukan yang pertama. Sebelumnya juga pernah terjadi di Kalimantan.

HP: Semburan lumpur yang terjadi di

Page 53: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Kalimantan itu keringnya cepat, dan volumenya kecil. Lokasinya di area berawa-rawa. Begitu disumbat, amblas, dan habis sendiri. Tapi dalam kasus Lapindo ini, terkesan kurang hati-hati dalam perencanaan pengeborannya. Sebenarnya semburan lumpur itu bisa dihindari jika dilakukan oleh orang yang lebih berkompeten, dan lebih memperhatikan prosedur dan standar yang berlaku.

KK: Dalam sebuah artikel, tulisan seorang profesor benama Bill Gath, diformulasikan bahwa:

Korupsi = (monopoli + disgrace) - akuntabilitas.

HP: Jadi, yang keluar 350.000 barel/hari itu air semuanya. Itu semua sesungguhnya air yang mengalami tekanan-lebih (over-pressured), lalu naik ke atas, sambil mengikis bebatuan di atasnya, dan bercampur dengan tanah. Sesungguhnya tidak ada zat beracun di situ. Karena ini, saya berpendapat bahwa kalau memang air, lebih baik dibuang ke laut. Paling-paling menjadi delta tambahan. Anggap saja ini reklamasi pantai.

KK: Atau kalau dibuang ke laut dalam, juga tidak apa-apa. Buang saja ke area di bawah garis termoklin, yaitu lebih dalam dari 100 meter di bawah permukaan laut. Karena faktor gravitasi, air akan naik dan material lainnya akan jatuh ke dasar laut.

Saya mengkritik teman-teman saya yang melarang pembuangan lumpur ke laut. Dalam

Page 54: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

kasus-kasus yang dialami perusahaan asing, mereka membolehkan pembuangan tailing ke laut, asalkan persyaratan tertentu dipenuhi. Mengapa tidak dipakai saja persyaratan itu untuk kasus lumpur Lapindo? Lokasi pembuangan yang ideal adalah ke arah Pasuruan, bukan ke arah Surabaya. Selain lautnya tidak dalam, laut dekat Surabaya menjadi area lalu lintas kapal.

~0~

Kalau kita tengok negara-negara yang maju sistem inovasinya, perkembangan teknologi dapat membawa kontribusi ekonomik. Ini bisa terjadi, antara lain, ketika ada keselarasan antara kebijakan pemerintah, agenda riset dan pengembangan iptek, serta pertumbuhan di sektor riel.

Mereka di negara-negara itu sudah membuktikan bahwa keselarasan dalam tiga hal ini menjadi faktor penting bagi pertumbuhan ekonomik, dengan landasan yang kokoh. Yang saya ingin bicarakan adalah situasi di sektor bisnis kita. Menurut Pak Hilmi, sebagai seorang pelaku bisnis, apa yang Anda harapkan dari Pemerintah dan dunia akademik?

HP: At the end of the day, yang kita bicarakan adalah value. Kalau berbicara tentang value, bukankah ini goal dari Pemerintah juga? Pemerintah ingin kita, di sektor bisnis ini, mampu menghasilkan keuntungan dan tumbuh--berkembang, sehingga menciptakan lapangan

Page 55: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

kerja dan menghasilkan pajak yang terus meningkat. Hal ini akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomik nasional, kan? Sekarang, bagaimana itu bisa tercapai dengan efektif?

Kalau dari Pemerintah, satu hal yang harus dijamin, yaitu kepastian. Bagus atau tidak bagusnya suatu produk itu relatif. Tapi yang lebih penting adalah kepastian, baik dalam soal perburuhan maupun perpajakan. Yang penting adalah konsistensi Pemerintah dalam memberikan platform usaha kepada siapa pun. Sekali lagi, bagus atau tidak bagus itu sifatnya relatif. Namun, makin tinggi konsistensi dari suatu negara, makin banyak bidang usaha yang bisa kita kembangkan.

Mengenai hubungan dengan universitas, aktivitas riset dan pengembangan kalau bisa kita kerjakan bersama. Tapi hubungan antara universitas dan industri di Indonesia tidak sebagus yang terjadi di luar negeri. Sebagai gambaran, kebetulan saya pernah kuliah di luar negeri, dan juga di dalam negeri. Suatu saat ketika sekolah di luar, saya harus mengerjakan tugas yang memerlukan simulasi komputer. Saya kerjakan ini di ruang komputer, penyedianya adalah perusahaan komputer terkemuka dengan Landmark perangkat lunak yang terbaru di dunia peminyakan. Ini semua disediakan secara cuma-cuma. Mereka berpandangan bahwa ketika mahasiswa nantinya lulus dan menjadi master-master di bidang perminyakan, mereka juga yang akan memakai perangkat lunak tersebut. Hal

Page 56: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

seperti itu yang tidak terjadi di sini.

Memang belakangan ini kolaborasi ke arah seperti itu sudah dimulai. Tapi perangkat lunak yang digunakan di universitas, kalaupun berasal dari industri, adalah yang bekas, atau belum tentu mewakili the state of technology yang sesungguhnya. Jadi, terlihat sekali keterpisahan antara universitas dan industri.

KK: Mengenai peran Pemerintah tadi, konsistensi dalam bentuk apa yang Anda inginkan? Apakah yang Pemerintah mesti lakukan agar sektor riel tergerak untuk mengalokasikan anggaran untuk riset dan pengembangan?

HP: Bagi perusahaan tertentu, seperti di bidang farmasi, riset dan pengembangan itu menjadi aktivitas yang inti. Sebab dengan cara itu mereka bisa melakukan eksplorasi. Tapi di bidang perminyakan, eksplorasi itu bukan bersumber dari riset dan pengembangan. Jadi agak berbeda situasinya. Dan perlu dibedakan antara perusahaan yang sebesar kita dengan perusahaan-perusahaan asing yang kapitalisasinya mencapai 200-300 miliar dolar AS. Sedangkan kita hanya berkisar 1,5 miliar dolar AS. Skalanya berbeda. Mereka mungkin lebih intensif dalam melakukan riset dan pengembangan.

KK: Itu betul. Mereka melakukan hal itu karena memang di negara maju diberlakukan insentif bagi industri yang melaksanakan riset dan pengembangan. Itu yang sedang kita tiru.

Page 57: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

HP: Itu bagus, Pak! Apakah kegiatan itu untuk filantrofi, atau sebagai insentif, maka industri akan dengan senang hati menyambutnya.

KK: Bahkan Singapura bergerak lebih jauh lagi. Mereka memberlakukan skema yang disebut ‘matching fund’. Dari total PDB Singapura, 2 persen untuk riset dan pengembangan. Sebagai perbandingan, Indonesia hanya mengalokasikan 0,1 %. Dalam 5 tahun Singapura akan menaikkan menjadi 2,5 %. Mereka menganggarkan 70% dari sumber dana pemerintah, dan 30% dari industri swasta. Insentif tetap diberikan. Saya sedang memformulasikan ini dengan kawan-kawan di sektor ekonomi.

~0~

HP: Soal kepastian tadi, yang diperlukan di sektor bisnis adalah, misalnya, begitu aturan itu dibuat, aturan itu konsisten dengan aturan yang lain. Lalu juga konsistensi dalam penegakan aturan itu sendiri.

Baru-baru ini keluar aturan mengenai perbankan. Kalau Anda seorang kreditor yang meminjamkan uang ke perusahaan, maka jika perusahaan itu bankrut atau terjadi malpractice di dalamnya, maka kreditor tadi bisa menuntut. Ketika tuntutan diajukan, persoalan ini masuk ke sistem legal yang melibatkan kurator, dan elemen-elemen sistem legal lainnya. Ini semua berjalan dengan konsisten.

Tapi apa yang terjadi di Indonesia? Sekarang ini

Page 58: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

pengusaha-pengusaha besar yang ngemplang terhadap kreditor dari luar negeri itu selalu bisa menang dalam peradilan di sini. Mereka ini bisa membuat kepastian hukum yang seharusnya ada, menjadi luntur. Menjadi tugas Pemerintah untuk memastikan bahwa hal seperti itu tidak terjadi.

Anda tahu, berapa kali UU Perburuhan berubah sejak Presiden Soeharto turun? Bahkan setiap menteri baru memerintah, aturan diganti. Sekarang ini, kalau perusahaan memberhentikan orang karena orang itu melakukan tindak pidana, harus tetap diberi pesangon. Itu masalah di luar isu korupsi. Tidak ada konsistensi. Padahal kalau membuat usaha, perencanaan usaha harus disusun dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Kalau aturan itu diubah-ubah, maka perencanaan menjadi sulit dijalankan.

KK: Ada faktor 3L yang menentukan: Labor activity, Legal certainty dan Law enforcement. Ketiga hal ini yang menjadikan Indonesia tidak masuk dalam peringkat atas di daftar investasi.

HP: Apalagi dalam sektor industri migas. Hari ini hampir tidak ada investasi untuk eksplorasi migas di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar itu setiap tahun membelanjakan sekian miliar dolar untuk eksplorasi. Mereka akan memilih di negara-negara mana mereka akan melakukan eksplorasi, dengan melihat daftar 100 negara penghasil minyak di dunia. Di jajaran ini Indonesia berada dalam kategori country risk.

Page 59: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

KK: Indonesia berada di peringkat ke-60, kalah jauh dari Vietnam.

~0~

KK: Pabrik bio-etanol di Lampung yang dibangun oleh Medco, dikatakan sebagai yang terbesar di Indonesia. Padahal di Brazil ada sekitar 112-114 buah pabrik yang akan dibangun, dan untuk seukuran yang Anda bangun, hanya berada di peringkat terbawah. Saya sudah bangga sekali dengan yang Medco punya. Tapi ternyata di Brazil, seukuran seperti itu yang paling bawah.

HP: Pabrik bio-etanol di Lampung itu bertujuan untuk ekspor. Sekarang ini, kalau saya menjual produknya di dalam negeri, harus dioplos dengan bensin, karena belum ada regulasinya. Kecuali kalau saya menjualnya ke Pertamina. Tapi Pertamina belum bisa membeli untuk jangka 10 tahun ke depan. Jadi saya jual ke luar negeri dengan kontrak selama 10 tahun. Hasilnya akan saya pakai untuk membangun pabrik yang lainnya. Kalau pasar domestik Indonesia sudah ada, akan dibuat pabrik lagi. Kami sudah ada perencanaan untuk membangun pabrik lain yang ke-2,3,4,5 dan seterusnya. Saya sedang lakukan pembicaraan dengan bupati-bupati. Saya sampaikan bahwa kami membutuhkan lahan minimum seluas 15.000 hektar, bisa untuk menanam tebu atau jagung.

KK: Di Kalimantan Tengah ada lahan seluas 23.000 hektar yang cukup bagus bukan hanya untuk sawit, tapi juga untuk tebu.

Page 60: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

HP: Bank berani memberi 70 persen dari biaya pembangunan pabrik.

KK: Jadi, begitu proposal disampaikan ke bank, bank akan melihat apakah ini bank-able.

HP: Medco Energi ini perusahaan kecil. Jadi kami tidak mampu membuat riset sendiri. Ada aktivitas riset dalam skala kecil yang melibatkan universitas. Tujuannya, kami mencari sesuatu yang bisa dikomersialkan secara cepat. Kami mencari tahu, mana-mana sumber etanol yang paling bagus, apakah itu singkong, tebu atau jagung. Saya dengar di Amerika Serikat jagung paling diminati karena bisa dipanen secara mekanik, sehingga tidak membutuhkan banyak tenaga manusia.

KK: Tebu juga bisa. Dari banyak studi, kalau tebu itu bisa ditanam, maka tebu paling bagus. Sepenuhnya mekanik. Dari segi tanah juga yang terbaik. AS melirik ke jagung karena memang tanahnya paling cocok dengan jagung. Tidak bisa menanam tebu di sana.

Satu hal lagi, setelah Brazil sukses dengan bio-etanol dan berhasil mendongkrak ekonominya, sekarang mereka punya program pengentasan kemiskinan. Program itu bernama “Bio-diesel for the Inclusive of Brazilian.” Jadi, mereka tidak akan memproduksi bio-diesel secara besar-besaran dengan skala ekonomi seperti etanol, melainkan small mining untuk rakyat. Mamona, atau Jarak, menjadi tanaman andalan. Tanaman itu kurang

Page 61: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

efektif buat industri semacam Medco. Yang cocok buat Anda adalah tebu, CPO, atau singkong.

HP: CPO saya tidak berani.

KK: Mengapa?

HP: Karena CPO ini harganya meningkat terus.

KK: Tebu juga begitu. Komoditas seperti CPO dan tebu mengikuti harga minyak. Itu seperti ada afiliasi. Hebatnya minyak kan begitu, ada afiliasi dengan komoditas lain. Sekarang ini dengan harga minyak naik, Brazil ‘berkipas-kipas’ lantaran diuntungkan. Di Brazil saat ini ditetapkan bahwa gasolin itu 20 persennya adalah etanol. Ini wajib dipatuhi. Dengan ketetapan itu maka otomatis pasar langsung terwujud. Dan yang menetapkan berapa persen kandungan etanolnya, apakah 18,19,20, atau 21 persen, adalah menteri pertanian.

Di sana tidak ada gasolin murni. Dalam setiap liter gasolin sudah ada 20 persen etanol. Sebanyak 30 persen jumlah mobil di sana sudah merupakan mobil yang bisa dipakai untuk bahan bakar bio-etanol. Sebanyak 65 persen mobil baru juga demikian. Secara otomatis, dunia otomotif juga menyesuaikan. Setiap pemilik mobil tidak perlu mencari SPBU khusus, sebab semua SPBU bisa cocok.

Padahal belum lama ini Brazil menemukan minyak di tengah lautan lepasnya. Ini merupakan bonus bagi negara itu. Kebutuhan dalam negerinya

Page 62: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

sudah terpenuhi melalui saluran pipa-pipa. Satu-satunya negara di dunia yang etanolnya sudah didistribusikan dengan pipa-pipa adalah Brazil. Kebun yang mereka punya juga tidak terlau besar, hanya 6 juta hektar. Lahan sawit kita juga 6 juta hektar luas totalnya. Berarti angka itu sangat mungkin kita penuhi.

HGU yang tidak terpakai mencapai 16 juta hektar, sudah saya cek ke sejumlah pejabat yang terkait. Dua tahun HGU tidak dipakai, gugur. Tinggal dipindahkan melalui BPN. Hanya saja, laju kemampuan kita seberapa jauh? Sebab perusahaan besar sekali pun tidak mampu membuka lahan 100.000 hektar per tahun. Bukan masalah uangnya. Kalau uangnya ada, bagaimana dengan pengadaan bibitnya?

Yang hebat lagi di Brazil, tebu tidak hanya dimanfaatkan siropnya saja. Sampai daun dan batangnya pun diperas habis, sampai ke ujungnya. Saat ini industri sawit juga sudah melakukan hal yang sama. Tandas-nya dikonversikan dengan mesin pendidih. Kalau semua tandas sawit dimanfaatkan jadi listrik, bisa menyediakan sejumlah daya listrik se-Sumatra. Sebagian dibakar, sebagian dikompos, tapi masih tetap sisa.

HP: Dengan harga singkong hari ini, dikali dua, jatuhnya itu per barel 40 dolar AS. Jadi jangan naik lagi. Paling tidak dalam 10 tahun ke depan, naiknya 10 kali lipat.

Page 63: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Perencanaan Lintas-Sektor

Dialog dengan Herman Darnel Ibrahim (HDI)Pelaku di Bidang Energi;

Direktur Transmisi dan Distribusi PLN Jakarta

Topik: •Pentingnya kemampuan rekayasa • Ko-ordinasi dalam

perencanaan • Pengelolaan listrik nasional

HDI: Kalau kami tengok apa yang terjadi setelah 25 tahun ini, masih belum lahir sebuah perusahaan yang menguasai rekayasa. Kalau orang-orangnya, per individu, mungkin sudah ada yang menguasai rekayasa. Di lingkungan kami ada PLN Engineering. Tapi dalam membuat desain, pendekatannya masih copy-and-paste. Tidak ada optimasi dalam desain. Dulu itu, saya ingat, ada seorang dosen ITB yang merintis pendirian perusahaan bernama Informa, bergerak dalam bidang kontraktor dan rekayasa. Juga ada Sitakonas. Pada awalnya banyak didampingi oleh konsultan asing sebagai mitra. Tapi tidak bisa bertahan lama.

Kalau sekarang sudah ada perusahaan seperti PT. Rekayasa Industri. Lalu PLN mendirikan juga PT. Rekadaya. Itulah yang menjadi harapan-harapan. Hanya saja kapabilitas perusahaan-

Page 64: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

perusahaan itu masih terbatas. Kalau permintaan pasar dalam negeri diserahkan semua pada mereka, akan kewalahan mereka memenuhi permintaan itu. Mereka bisa berperan dalam bidang rekayasa tenaga listrik. Tapi sudah banyak pelaku lain dari Jepang, juga dari Inggris dan Kanada.

Dalam bidang tenaga listrik itu, bidang pembangkit yang boleh dibilang paling rumit. Sebenarnya tidak terlalu rumit juga. Hanya saja, perlu ada individu-individu yang spesialis di bidang pembangkit ini. Biasanya, desain dasar untuk pembangkit itu dibuat oleh perusahaan konsultan asing. Pertanyaannya adalah pembangkit jenis apa yang ingin kami buat di dalam negeri?

Dulu, saya lihat, pembangkit jenis diesel yang paling cocok. Tapi setelah subsidi BBM dihapuskan, pertanyaan tentang jenis pembangkit harus dikaitkan dengan bahan bakar alternatif yang dipilih. Tetap yang termudah untuk skala kecil itu diesel. Sebab, Indonesia kan terdiri dari sebegitu banyak pulau, dan sebegitu banyak kawasan yang terisolasi. Mungkin kami punya diesel itu sampai 4000-5000 unit. Tapi berapa besar kapabilitas pembangkit secara keseluruhan? Satu wilayah itu 500-600 unit. Tapi tidak kami kembangkan lagi, karena BBM sudah mahal. Sekarang, dalam bidang pembangkit, pilihan bahan bakar alternatifnya bisa solar. Kalau lihat harga BBM sekarang, solar atau hibrida akan lebih menguntungkan.

Page 65: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Jadi, masalah penyediaan listrik Indonesia, justru yang rumit bukan pasokan yang berskala besar. Yang rumit justru bagaimana melistriki yang kecil-kecil. Mungkin teknologi tepat guna yang perlu dicari, terutama dengan berubahnya harga minyak. Kalau dulu memang BBM disubsidi. Dan itu jauh lebih murah dari sel surya (solar cell). Memang sel surya itu terbatas energi yang dihasilkannya, dan tidak nyaman juga. Banglades yang paling banyak mengembangkan sel surya. Mungkin pilihan yang lain adalah yang sesuai dengan alam kita, yaitu teknologi mini-hidro dan mikro-hidro. Ada PT. Barata yang bisa membuat sel surya. Tapi mungkin kalau dihitung seluruhnya, dan dikerjakan dalam satu paket seluruhnya, baru skala ekonominya tercapai.

Sekarang, dengan mahalnya minyak, yang harus dijawab adalah bagaimana memenuhi kebutuhan yang berskala kecil di wilayah-wilayah yang terisolasi. Kalau untuk kebutuhan berskala besar, ini mudah dijawab dengan memakai batu bara atau gas. Tapi kalau untuk wilayah yang terisolasi, kalau dibentang jaringan akan terlalu panjang. Jadi harus diupayakan sumber daya setempat. Kalau memang ada aliran air sungai, mestinya bisa jadi sumber energi. Kalau seluruh Indonesia disurvei potensi sumber-sumber energi lokalnya, kemudian digarap secara besar-besaran, tidak satu-satu, mungkin kebutuhan energi listrik nasional bisa dijawab. Tapi kalau penyelesaiannya satu-satu, secara parsial, tidak akan tumbuh.

Page 66: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

KK: Kaya dengan sumber minyak itu bisa jadi faktor kuat, tapi juga bisa jadi faktor lemah. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengelola sumber minyak itu untuk kepentingan jangka panjang. Dampak negatifnya seperti yang terjadi di negara-negara Arab itu, kalau tidak pandai-pandai. Sebaliknya, embargo yang semula dianggap sebagai perangkap atau membuat orang kerdil, tapi malah menjadikan orang kuat. Misalnya ini terjadi pada negara-negara Amerika Latin, atau bahkan Cina. Cina itu pernah diembargo puluhan tahun. Sekarang dia menjadi bangsa yang kuat.

HDI: Kalau memang ulet, orang yang diembargo itu justru bisa menjadi kuat. Teorinya, menurut saya, orang yang diembargo akan tambah kuat. Kalau kita dikasih kesusahan, kita akan lebih terpacu. Hanya saja, ini bergantung pada mentalitas orang. Ada juga orang yang kalau mengalami kesusahan malah pasrah saja. Dia tidak bangun, karena dia masih bisa menikmati kesusahan itu.

~0~

Pada awal saya masuk PLN, apa saja yang kami lakukan selalu memakai jasa konsultan asing. Ada yang dari Perancis, Inggris, Selandia Baru dan Jepang. Sekarang kami sudah bisa melakukan rekayasa, dengan menggunakan desain-desain yang sudah ada. Dokumen-dokumen dari desain itu ditinggalkan di sini oleh para konsultan, lalu kami copy-and-paste. Jadi, kalau ditanya apakah

Page 67: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

penguasaan kami di bidang rekayasa itu sudah baik, jawabannya adalah belum optimal.

Katakanlah kami tidak perlu membayar orang lagi untuk membuat desain yang baru. Tapi desain yang kami buat juga belum tentu kompetitif. Membuat sendiri justru tidak sehemat kalau menggunakan jasa konsultan. Misalnya, desain yang kami buat malah menjadi over designed. Ada hal-hal yang tidak perlu, tapi dimasukkan ke dalam desain. Itu menambah biaya, dan harus dibayar sepanjang umur pakai alat tadi, kan.

Untuk bisa berdaya saing di bidang listrik, garis besar strateginya adalah memanfaatkan campuran bahan bakar (fuel mix), karena bahan bakar menjadi faktor dominan. Kalau kami bisa memperkirakan profil harga dan ketersediaan bahan bakar, maka kami bisa lebih tepat mengatur keekonomiannya. Kita bisa mencontoh strategi negara-negara maju juga. Misalnya dengan penggunaan energi nuklir.

Untuk energi nuklir, harga uranium tidak berubah dengan naik-turunnya harga minyak. Tapi, yang punya uranium itu siapa? Kalau kita nanti membeli uranium, apakah nanti kita tidak akan diembargo? Mungkin pertanyaannya ke situ lagi. Kita tidak menguasai teknologi energi nuklir, kan? Apakah kita tidak akan didikte harganya oleh si penjual?

Strategi yang ke dua, untuk berdaya saing, adalah dengan meningkatkan efisiensi melalui

Page 68: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

rekayasa dan perencanaan keseimbangan kapabilitas (capacity balance). Jadi, faktor bahan bakar dan faktor rekayasa ini yang paling berpengaruh terhadap biaya. Kalau dalam bidang rekayasa kami sudah jagoan, maka biaya akan berkurang.

Di lingkungan kami, banyak hal-hal yang setelah diaudit, tidak dimasukkan kembali sebagai umpan balik ke dalam tahap desain. Mestinya kan setelah suatu desain diaudit, dilihat mana yang efisien dalam desain itu. Sering terjadi bahwa komponen kami beli itu ternyata tidak penting, dan hanya aksesoris saja. Itu kami beli biasanya karena ditawari oleh pabrikan-pabrikan asing. Kalau kami tidak punya pengetahuan yang memadai, kami akan sulit memutuskan apakah menerima atau menolak tawaran-tawaran itu.

Contohnya, saya baru saja mengunjungi sebuah gardu induk. Dalam gardu induk itu terdapat gedung kontrol dan panel-panel. Desain gedung itu bisa tahan untuk guncangan gempa sampai sekitar 10 skala Richter. Sebetulnya, mungkin tidak perlu sekokoh itu, yang akibatnya menjadi sangat mahal. Dan luasnya juga berlebihan. Kalau saya pergi ke negara yang lebih maju, mereka tidak punya gedung kontrol sebesar itu. Mereka taruh saja panel-panel itu. Lalu dipasang sistem pengendali jarak jauh.

Idealnya, semua yang sudah dibuat itu diaudit, diperiksa. Dalam pembangkit-pembangkit itu

Page 69: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

banyak komponen yang fungsinya aksesoris saja. Waktu dibeli disangka komponen utama, tapi ternyata tidak diperlukan.

KK: Jadi isu-isu utamanya itu, pertama keamanan pasokan. Yang kedua kerekayasaan. Kalau operasi dan pemeliharaan bagaimana?

HDI: Operasi dan pemeliharaan temasuk yang penting juga. Hanya saja dalam keputusan awal, kerekayasaan dan perencanaan yang menentukan. Misalnya, perencanaan lokasi gardu induk. Ini kadang-kadang tidak efisien juga. Kami kan harus membuat perkiraan. Kalau untuk sistem pembangkit, kami tidak perlu melakukan zonasi. Tapi untuk sistem distribusi dan penempatan gardu induk, perlu zonasi. Kalau zonasi meleset, itu akan berakibat ada gardu induk yang cepat penuh, dan ada gardu induk yang setelah dibangun 10 tahun bebannya rendah terus. Itu bisa terjadi.

Kami tidak bisa mengatur konsumen. Kalau kami minta supaya konsumen mendaftar ke gardu-gardu yang belum penuh, itu tidak realistis. Ditambah lagi, dalam perencanaan kami perlu memperkirakan jalur-jalur transmisi dan distribusi. Dengan tidak adanya kepastian tata ruang, ini mempersulit perencanaan transmisi dan distribusi.

Idealnya kami mengikuti sistem di negara maju. Industri-industri harusnya berlokasi di sebuah kawasan tertentu, jumlahnya sekian per kilometer persegi, kebutuhan listriknya sekian. Di negara maju itu semua dihitung. Kalau kami belum bisa

Page 70: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

begitu. Kami masih hanya melihat tren, atau data historis saja. Perencanaan zonasi ini memang masih menjadi 'momok' bagi banyak pihak.

Saya pernah coba mengumpulkan orang untuk membuat zonasi. Semua kantor wilayah tidak punya rencana induk (master plan) propinsi, yang kami perlukan untuk penentuan distribusi. Jadi, ibu kota propinsi mau seperti apa ke depannya, tidak ada gambarannya. Kami hanya melihat dari perkembangan yang terjadi saja. Idealnya kami harus punya rencana induk itu, dan perencanaan distribusi listrik harus dikoordinasikan dengan perencanaan tata ruang.

KK: Apakah rencana tata ruang kawasan harus direspon oleh PLN?

HDI: Harus direspon. Tapi sampai sekarang ini, kami merespon apa-apa yang sudah terjadi. Misalnya, untuk daerah perumahan, seharusnya kebutuhan tenaga listrik per kilometer perseginya berbeda dengan daerah komersial. Kalau ke depannya daerah perumahan itu menjadi komersial, kan berarti butuh tambahan gardu. Perubahan seperti ini tidak pernah final. Kawasan yang sudah mapan pun masih mungkin berubah lagi. Ini membuat perencanaan distribusi listrik menjadi tidak efisien.

Yang sudah kami coba sekarang, semua ibu kota propinsi kami minta menyusun rencana induk untuk distribusi energi. Perencanaan untuk pembangkit dan transmisi itu harus dimulai dari

Page 71: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

hilir, dari apa-apa yang harus dilayani di sisi permintaan. Kemudian mundur: di mana perlu diletakkan gardu induk? Lalu mundur lagi: di mana harus diletakkan pembangkit?

Penentuan lokasi pembangkit itu bisa dilakukan dengan metode optimasi, seperti dalam perencanaan transportasi. Misalnya, bagaimana meminimumkan biaya transmisi kalau sumber energinya berasal dari luar wilayah? Tapi kalau sumber energinya lokal, seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA), berarti kan pembangkitnya harus di wilayah yang sama. Lalu dihitung dan dibandingkan dengan alternatif kalau sumber energi berasal dari luar wilayah.

Saya juga sudah coba meningkatkan kerja sama dengan perguruan tinggi. Tapi mungkin terganggu juga akhir-akhir ini, dengan terbitnya UU Persaingan Usaha. Sekarang saya tidak bisa lagi menunjuk perguruan tinggi mitra.

KK: Kepres No. 80?

HDI: Kepres No. 80 dan UU Persaingan Usaha, keduanya tidak membolehkan penunjukan secara langsung. Kalau kami coba adakan tender, belum tentu perguruan tinggi yang akan ikut.

KK: Dalam Kepres No. 80 itu, Anda boleh menunjuk langsung, tapi pendekatannya kemudian swa-kelola. Jadi, perguruan tinggi ditunjuk sebagai 'perpanjangan tangan.' Swa-kelola namanya.

HDI: Tapi kalau untuk sekaligus memperbaiki

Page 72: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

industri dan membangun kemampuan dalam negeri, memang diperlukan suatu kebijakan yang melampaui apa-apa yang ada sekarang ini. Misalnya, kita mau membangun pembangkit kecil-kecil, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berskala kecil. Setelah kita hitung, katakanlah sekarang ada 4000 MW pembangkit diesel yang tersebar. Katakan itu mau kita ganti setiap tahunnya sebanyak 300MW, diganti dengan PLTU berskala 3-5MW. Mestinya bisa dibuat kebijakan pemerintah yang mengharuskan itu semua dikerjakan di dalam negeri, dengan segala biayanya. Kebijakan seperti ini yang belum muncul. Ini akan menjawab kebutuhan pasokan energi, dan sekaligus membangun industri dalam negeri. Mungkin dengan menggunakan dana perbankan dalam negeri saja, itu sudah bisa dilaksanakan, karena berskala kecil.

~0~

KK: Kembali ke faktor penentu tadi, Pak. Pertama, kepastian pasokan energi. Ke dua, masalah pembangkit. Ke tiga, distribusi, yang notabene pasar. Nah, kalau ketiga faktor ini yang menjadi penentu, bagaimana PLN mengelolanya? Berarti penting sekali PLN memiliki rencana induk. Kalau pembangkit itu mau dibangun sedekat mungkin ke sumber energi, maka ongkos transmisi yang kita harus pikirkan. Kalau dibangun sedekat mungkin ke pasar, ongkos distribusi bahan baku yang kita pikirkan.

Page 73: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Contohnya, sampai sekarang kita pertanyakan mengapa dibangun pembangkit listrik yang begitu besar, 3500 MW, di Banten. Padahal Banten bukan sumber energi. Akibatnya kita harus menanggung beban untuk mengirim batu bara dari Sumatera dan Kalimantan. Mengapa pembangkit itu tidak dibangun di Sumatera Selatan?

HDI: Atau bahkan di sekitar Jakarta?

KK: Ya. Kalau di Banten kan ke sumber energi jauh, ke pasar jauh. Yang dekat ke pasar itu Muara Karang.

HDI: Yang diperdebatkan di DPR baru-baru ini adalah pengetatan tarif. PLN itu perusahaan yang kalau diganggu keuangannya, dampaknya tidak langsung. Misalnya, kalau dilakukan pengetatan tarif tahun ini, implikasinya baru terjadi 3 sampai 5 tahun lagi. Karena kalau diketatkan tahun ini, tidak akan terjadi investasi tahun ini. Kalau tidak ada investasi, layanan kami tahun ini belum terganggu. Seandainya ada investasi tahun ini, akan dipakai selama 5 tahun ke depan. Kalau membangun pembangkit sekarang, dampaknya terjadi pada 5 tahun ke depan. Kalau membangun transmisi, selesainya 3 tahun. Kalau distribusi, setahun. Jadi, kalau tidak ada investasi tahun ini, dampaknya adalah tidak ada peningkatan kapabilitas pada 3 sampai 5 tahun ke depan.

Bagi PLN, biaya pemeliharaan itu tidak fluktuatif. Biaya pegawai dan biaya administrasi juga tidak fluktuatif. Yang fluktuatif itu biaya bahan

Page 74: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

bakarnya. Begitu harga bahan bakar naik, dan tarif listrik tetap, harus ada efisiensi. Tapi mau diefisienkan yang mana lagi? Begitu investasi terhenti, pelayananlah yang di kemudian hari akan terganggu.

PLN adalah perusahaan yang satu-satu sumber hidupnya berasal dari pembayaran tarif oleh pelanggan. Apa pun biaya yang harus dikeluarkan PLN, sumber uangnya dari pelanggan. Dan apa pun yang didapat dari pelanggan, akan dipakai hanya untuk kelistrikan, bukan untuk membangun mal, atau bisnis yang lainnya. PLN bukan konglomerat. Hanya memproduksi listrik.

Saat ini konsumsi minyak bumi oleh PLN sekitar 30%. 10 juta kiloliter minyak bumi dibutuhkan untuk memproduksi kira-kira 25 miliar kWh, dari 110 miliar kWh total produksi. Biaya untuk konsumsi BBM 60 triliun rupiah per tahun. Kalau dibagi dengan total penjualan saja sudah menjadi 600 rupiah tiap kWh. Jadi kalau tidak ada subsidi, tidak akan ada gaji, tidak akan ada biaya adminsitrasi dan pemeliharaan, apalagi biaya pembangunan. Hasil penjualan listrik hanya habis buat BBM.

Solusi kami untuk masalah ini sebenarnya ada. Ke satu, dalam jangka yang lebih panjang, membangun PLN bersumber energi batu bara untuk menggantikan konsumsi BBM. Ke dua, sosialisasi penghematan energi listrik. Ini sangat menentukan. Saat ini marginal cost kami berasal

Page 75: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

dari faktor BBM. Setiap kenaikan produksi listrik, bebannya dipikul oleh BBM. Jadi, kalau kami lakukan penghematan konsumsi listrik, penggunaan BBM juga akan berkurang.

Di negara-negara Barat itu, toko buka ditentukan jamnya. Dengan ditentukan jam bukanya, energi listrik yang dipakai akan berkurang. Dalam jam-jam kantor itu sebenarnya kita bisa bekerja efisien, sehingga tidak perlu bekerja sampai malam. Toko juga tidak perlu buka sampai malam, dan pelanggan tetap bisa berbelanja. Mal-mal bisa pakai lisensi buka malam dengan digilir, tidak usah semuanya. Pengetahuan kami tentang konservasi energi masih minimum.

Page 76: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Kesinambungan Milestones

Dialog dengan Suryatin Setiawan (SS)Pelaku di Bidang Informasi dan Komunikasi;

Mantan Direktur Bisnis Jasa PT. Telkom Indonesia

Topik: • Determinasi dalam kebijakan • Milestones program TIK •

Keutuhan rantai-nilai inovasi

KK: Saya melihat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) itu berpotensi untuk berperan sebagai bonding agent, atau agen pengikat ke tiga elemen A-B-G ...

SS: Ya! Dan juga sebagai enabler yang membuat kita makin produktif dan lebih transparan. TIK itu semacam 'bumbu' yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.

KK: Kalau kenyataannya potensi-potensi itu semua belum terealisasi, apa yang keliru?

SS: Ya, kita bisa lihat Malaysia ketika dipimpin Mahathir. Sektor informasi dan komunikasi berkembang pesat mulai dari infrastruktur sampai ke industri manufakturnya. Mahathir berdiri di depan, dan memberitahu bangsanya jalan ke arah mana yang akan ditempuh, objektif apa yang dikejar, sumber-sumber daya apa yang dilibatkan.

Page 77: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Kemudian dia memandu perjalanan itu. Kalau tidak ada kepemimpinan seperti yang dia tegakkan, semua pihak akan mengusulkan gagasan dan pendekatannya sendiri-sendiri. Dan masing-masing pihak ini merasa benar. Akibatnya, tidak akan ada program yang terealisasi, atau program-program berjalan hanya dalam ranah yang sempit, sesuai kepentingan dan dukungan kelompok.

Jadi, diperlukan kombinasi pendekatan antara bottom-up dan top-down. Kelebihan pendekatan top-down adalah efektivitas. Tapi pendekatan seperti ini bisa kurang sesuai dengan situasi sosio-politik saat ini.

KK: Kalau kita lihat kasus Malaysia, seandainya saja Mahathir masih tetap memimpin dan sukses, itu kan betul-betul top-down! Dia mulai dengan memegang tali komando, mendirikan Putera Jaya, baru dia turunkan ke tingkat bawah. Itu kan efektif.

SS: Betul, efektif itu. Hanya saja, rupanya dia belum berhasil menumbuhkan akarnya. Dia tinggalkan yang dirintisnya sebelum akarnya tumbuh kuat. Pendekatan top-down itu memang efektif, cepat berjalan dan menyeluruh. Tapi agar ini terus bertahan, harus ada jejak-jejak yang nyata dalam kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi. Dengan begitu, kalau terjadi pergantian kepemimpinan, masyarakat dan pemimpin baru itu bisa melanjutkan apa-apa yang sudah terlihat nyata. Dalam proses pergantian kepemimpinan di Malaysia, tampaknya akar itu kurang kuat.

Page 78: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Jadi, pada intinya perubahan itu perlu bersistem. Membangun sistem itu memang lambat. Tapi bila ini berlangsung secara konsisten, maka akan bersinambung ke masa depan. Kalau tidak konsisten, apa-apa yang sudah dirintis bisa hilang.

KK: Ya, betul! Di Malaysia itu sistemnya belum sempat terbangun dengan mantap. Sinten dan sistem, keduanya penting. Sinten dalam bahasa Jawa artinya siapa, atau pelaku. Kehadiran tokoh penghela perubahan itu perlu. Tapi terbangunnya sistem juga diperlukan bagi kesinambungan perubahan itu. Di Malaysia sudah ada pemimpin yang menggerakkan perubahan. Tapi kalau belum terwujud sebagai sistem, ketika terjadi pergantian orang-orang, sistemnya pun terpengaruh dan berubah. Sementara itu kalau kita lihat di negara-negara berindustri maju, mereka telah berhasil membangun sistem secara mantap. Ketika orang-orangnya berganti, sistemnya tetap bertahan dan stabil.

Kita lihat misalnya bagaimana komputerisasi terjadi di sana. Budaya tulis-cetak dengan medium kertas telah maju dan mapan. Mereka mampu melakukan pencatatan, pengolahan data, dan lain-lain. Lalu ketika muncul kebutuhan akan kecepatan, ketepatan, dan integritas, muncul gagasan untuk menggunakan media elektronik. Lalu berkembanglah penggunaan komputer sebagai jawabannya. Komputerisasi terjadi melalui pengembangan struktur baru, yang ditopang oleh

Page 79: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

kultur dan struktur yang sudah mapan. Nah, kembali ke kasus Malaysia, tampaknya Mahathir ingin mulai dengan struktur, dengan harapan akan diikuti dengan perubahan kultural. Ini yang belum berhasil.

Kalau Indonesia, baik struktur maupun kultur belum tersedia untuk menopang komputerisasi. Sudah banyak orang tahu bahwa kalau kita bisa membangun TIK, banyak masalah informasi bisa dijawab. Bukan mustahil TIK bisa dimanfaatkan KPK, Timnas TIPIKOR, atau lembaga-lembaga lain yang penting untuk membangun good governance. Tapi, meski sudah banyak orang tahu potensi TIK, mengapa belum terlihat perkembangan yang cukup berarti?

SS: Ya ..., motornya itu ..., harus ada mesin penggerak yang kuat!

KK: Bukankah kita sudah punya tim telematika nasional? Rasanya ini sudah lama dibentuk. Apa lagi yang masih kurang?

SS: Ya, kita sudah punya tim nasional sejak 1996, di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Waktu itu saya dipanggil untuk ikut membantu program Nusantara-21. Lalu dibentuk Tim Telematika. Tapi belum cukup lama ini berjalan, semua hilang ketika terjadi Krisis Moneter. Di era Reformasi Tim Telematika tidak banyak berperan, karena banyak agenda reformasi yang lebih menjadi prioritas.

~0~

Page 80: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Kita juga pernah punya program besar, yakni Satelit Palapa. Kehadiran Satelit Palapa, dan bagaimana dia memenuhi fungsinya sebagai salah satu medium komunikasi yang menjangkau seluruh Nusantara, boleh dibilang berjalan dengan konsisten. Begitu terbang di angkasa, dia tetap di sana dan bisa dipakai.

Yang menarik adalah ketika Palapa meluncur, terjadi perkembangan kegiatan manufaktur yang bagus sekali. Ketika Palapa meluncur, Pemerintah, dalam situasi politik waktu itu, masih sanggup menugasi tiga perusahaan nasional yang sebelumnya tidak punya apa-apa, yaitu PT. INTI, RFC (Radio Frequency Company), dan LEN (Lembaga Elektronika Nasional). Kebutuhan pasokan komponen nasional disediakan oleh ketiga perusahaan itu. PT. INTI untuk wilayah timur, LEN wilayah barat, sisanya RFC. Itu pengembangan manufaktur yang efeknya besar sekali. Saya ikut disertakan dalam pengembangan industri itu.

Kami mulai segalanya dari nol: membangun jalur produksi, merekrut orang, pengadaan perlengkapan produksi, pengembangan prototipe, dan lain-lain, sampai semuanya berjalan. Jadi, ini semua membentuk serangkaian milestones. Hanya sayangnya, yang kemudian hilang konsistensinya itu.

Pada milestone berikutnya kami mendapatkan dana dari UNDP untuk membangun sistem komunikasi satelit berbasis data paket. Nah,

Page 81: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

teknologi data paket ini merupakan dasar dari teknologi Internet yang sekarang populer. Jadi, itu boleh dibilang teknologi yang berorientasi jauh ke depan. Projek itu sendiri, karena bersumber dana dari UNDP, berpola multinasional. Dalam projek itu terlibat periset dari Inggris, Jepang dan Indonesia. Tapi, sesudah ini semua dikerjakan, tidak dipakai! Ketika produk itu selesai, dengan usaha yang lumayan berat, kami sampaikan laporan ke jajaran pimpinan waktu itu. Kami bawa produk itu. Komentar yang mereka lontarkan hanya, "Wah, di Amerika ada produk serupa yang jauh lebih maju!"

Mendengar komentar ini, kami, para insinyur, rasanya seperti ditampar. Itu peristiwa yang sangat berkesan bagi saya. Saya tidak bisa lupa. Para pimpinan itu sepertinya tidak menunjukkan apresiasi sedikit pun. Mereka berkomentar begitu tanpa tahu apa isi produk yang dibuat, sebuah teknologi yang sebetulnya berorientasi jauh ke depan. Nah, konsistensi itu yang tidak ada. Akhirnya apa-apa yang sudah dicapai dengan berhasil menjadi lenyap.

Konsistensi tidak ada, pola tidak ada. Jadi, kita selalu gagal untuk menyambung milestone yang satu ke milestone yang berikutnya. Kalau Jepang, mereka sangat konsisten dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka telah meraih suatu kesadaran bersama, tanpa perlu diwacanakan atau ditulis lagi, bahwa mereka harus menyelamatkan bangsa Jepang. Dan untuk kepentingan nasional ini, apa-apa yang sudah baik tidak diutak-utik terus-

Page 82: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

menerus. Mana-mana yang sudah baik diteruskan.

Kita sering memulai sesuatu, tapi setelah sedikit berkembang, mundur ke awal lagi. Kita ini seperti bergerak dalam permainan "ular-tangga." Jadi setelah bergerak sekian langkah, ketika sampai di mulut ular terus turun lagi ke belakang. Saat ini momentumnya memang tengah diciptakan kembali.

~0~

KK: Kalau kita kembali pada unsur-unsur A-B-G, kira-kira apa faktor yang perlu bekerja yang membuat TIK menjadi pemersatu bangsa? Kita tahu bahwa dalam kasus Palapa, agenda TIK nasional memerankan TIK sebagai pemersatu. Nah, apa yang hilang sekarang ini, yang kalau muncul bisa menggerakkan TIK sebagai pemersatu bangsa? Tadi kita sudah bicarakan faktor kepemimpinan yang kuat dan konsisten.

SS: Saya kira faktor yang lain adalah kesadaran. Kita ini kan bukan termasuk bangsa yang, maaf saya katakan ini, disegani dalam kancah percaturan antarbangsa-bangsa. Ini suatu keadaan yang sudah berada di dasar jurang keterpurukan. Ini yang harus kita sadari. Atas kesadaran ini mestinya kita mau mengesampingkan perbedaan--perbedaan, dan mulai melangkah maju dengan lebih cepat. Salah satu enabler-nya, ya TIK itu. Kita mulai bangun kapabilitas, menjadi lebih transparan, sehingga orang lain menjadi lebih percaya pada kita. Jadi, kolektivitas itu unsur yang

Page 83: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

hilang di Indonesia.

Kalau perusahaan-perusahaan besar sekarang sudah mengandalkan TIK. Tapi Pemerintah masih agak lamban. Dunia akademik juga masih lamban dalam pemanfaatan TIK. Di beberapa komponen sosial di masyarakat, TIK sudah menjadi faktor daya untuk hidup dan berkembang. Hanya saja secara kolektif, ini belum terjadi.

KK: Di kampus, ketika saya menjabat rektor ITB, upaya ke arah itu cukup kuat. Tapi tentunya ada agenda-agenda lain yang juga menjadi prioritas. Kami berupaya menggelar semacam information highways, atau jalan raya informasi di dalam kampus. Kami percaya kalau highway ini ada, informasi akan mengalir. Sirkulasi informasi dalam kampus itu terjadi.

Namun, ini justru memperkokoh posisi bahwa kampus itu 'menara gading.' Mengapa demikian? Karena ada kesenjangan dengan dunia luar. Di dalam kampus kita gunakan ‘jalan raya,’ tapi di luar kita menemui ‘jalan-jalan sempit’ lagi. Jadi, saya merasa ini kemajuan, tapi sekaligus juga memperkokoh keadaan ‘menara gading.’

SS: Masalah information highways itu, kalau ingin bisa dimengerti oleh masyarakat umum dan mendapat dukungan, bisa kita analogikan dengan jalan raya fisis. Kalau Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan jalan-jalan raya fisis, mengapa tidak ada anggaran untuk membangun jalan raya informasi? Semua urusan

Page 84: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

ini diserahkan pada para operator. Tidak bisa begitu! Mestinya dibicarakan dalam kabinet mapun parlemen, bahwa pemerintah, sebagai penanggung jawab tumbuhnya infrastruktur umum di Indonesia, perlu membangun jalan raya informasi itu. Bahwa kalau nanti para perusahaan operator mau bergabung, itu silahkan, dan seharusnya begitu.

KK: Bukankah mengenai infrastruktur informasi itu sudah kuat keinginan Pemerintah? Kalau kita lihat, memindahkan sektor pos dan telekomunikasi dari Departemen Perhubungan untuk menjadi sebuah departemen tersendiri merupakan langkah yang strategis. Ini menunjukkan suatu strategic intent. Hanya saja, mereka yang ‘menyambut bola’ yang masih kebingungan, bagaimana memainkan bola itu. Lalu, peluang yang ada. Kita punya infrastrcture summit. Departemen Kominfo itu selalu dilibatkan. Tapi mereka belum bisa menawarkan apa pun. Padahal strategic intent ada, dan peluang ada.

SS: Betul sekali itu! Jadi, infrastructure summit sebagai milestone. Yang saya belum melihat, karena saya bukan bagian dari Pemerintah, apakah sudah ada pembicaraan bahwa dalam APBN ada alokasi untuk infrastruktur informasi? Ini penting sekali! Kalau memang ada, sangat bagus. Apalagi kalau Parlemen secara politis mendukung.

KK: Uang yang berasal dari PNBP, yang berasal dari para operator itu, dikembalikan ke negara kok!

Page 85: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Artinya, bola sudah digelindingkan, strategic intent kuat, dan peluang ada. Tapi yang menyambut bola tidak tahu apa yang harus dimainkan. Sebetulnya, konsep sudah ada. Teruskan saja Nusantara-21.

SS: Jadi, ini sesuatu yang tipikal kita. Yakni, gagal menerjemahkan gagasan yang besar ke dalam langkah-langkah praktis. Kita kenal slogan “the devil is the detail.” Jadi, penjabaran langkah-langkah praktis secara rinci itu yang tidak ada pengawalnya. Gagasan yang besar akan berhenti di tataran gagasan, kecuali ada yang mengawal penerjemahannya secara rinci ke dalam langkah-langkah praktis. Kan, begitu PNBP itu disetorkan ke Departemen Keuangan, semua orang tahu bahwa itu tidak akan kembali ke sektor terkait. Karena untuk bisa kembali ke sektor itu, proses politisnya rumit sekali. Jadi, secara praktis tidak mungkin PNBP yang berasal dari sektor telekomunikasi kembali ke sektor itu.

KK: Ya, tampaknya kendaraan-kendaraan yang dibentuk untuk mengantarkan ke tempat tujuan, justru mogok.

SS: Kalau kita coba perluas, masalahnya adalah mesin birokrasi. Apakah mesin birokrasi itu mampu menerjemahkan gagasan-gagasan besar ke dalam realitas? Ini pertanyaan penting. Gonta-ganti kabinet tidak akan ada artinya kalau mesin birokrasi ini tidak mampu menerjemahkan gagasan tersebut. Dalam tubuh pemerintahan itu terdapat unsur-unsur yang berubah melalui Pemilu, tapi ada

Page 86: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

yang terus bertahan tetap. Yang tetap itu mesin birokrasi. Ini yang sangat penting perannya.

KK: Sebetulnya mekanisme pendanaan matching fund sudah ada. Dana ini ada yang bentuknya moneter, ada yang bukan moneter. Misalnya dalam bentuk jaminan uang di bank.

SS: Jadi penjabaran rincinya sampai ke mekanisme pendanaan itu, termasuk permasalahan tender secara transparan, merupakan faktor penting.

KK: Betul! Termasuk kalau highway sudah ada, harus diterjemahkan bagaimana operator akan bekerja, seperti apa aturan mainnya, dan lain-lain.

SS: Highways itu cukup dalam bentuk ring besarnya.

SY: Masih ada permasalahan lain, terkait dengan penerjemahan terinci itu. Dalam kasus Satelit Palapa, penerjemahan itu komprehensif, sampai pada program televisi masuk desa dan program Klompencapir. Ini semua membuat intended value atau benefit itu betul-betul menjadi nyata. Nah, sekarang ini, apakah orang-orang yang merumuskan agenda TIK mampu menjadikan kenyataan manfaat-manfaat TIK itu? Misalnya, bagaimana TIK bisa betul-betul bermanfaat bagi sektor kesehatan?

SS: Ya, TIK itu facet-nya jamak. TIK itu payung besarnya. Tapi apa yang masuk dalam kategori TIK itu beragam sekali, termasuk TV. Tapi, TIK dalam

Page 87: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

arti yang lebih sempit, sebagai fasilitas informasi yang membuat kita bekerja lebih efektif, lebih transparan, ini memerlukan ketrampilan untuk memanfaatkannya.

Dunia usaha yang ingin berdaya saing sudah memanfaatkan TIK. Nah, sekarang, sektor mana lagi yang akan memanfaatkan TIK? Ini pertanyaannya, kan? Kita ingin pemerintahan itu memanfaatkan TIK. Kalau bisa kita bergerak cepat untuk memasukkan TIK dalam operasi dan prosedur kerjanya, sehingga manfaatnya terasa bagi masyarakat. Memang masyarakat bukan pengoperasi.

KK: Sebetulnya itu kan kita bisa lakukan dengan meneruskan kisah sukses sebelumnya. Dalam kasus PALAPA dan TVMD, itu kan sudah menjadi bagian yang menyatu dengan masyarakat. Sekarang juga komunikasi seluler sudah menjadi bagian dari gaya hidup, dan sudah membawa nilai tambah. Nah, bagaimana ini didifusikan, dirembeskan ke area-area aktivitas sosial yang lain.

SS: Memang kalau dibandingkan dengan Palapa, ada perbedaan. Affordability atau keterjangkauan! Telepon itu sudah affordable. Tapi, begitu Internet diterjemahkan ke dalam akses dan komputer, muncul persoalan baru. Ini menjadi tidak affordable seperti halnya telepon.

Jadi, manfaatnya itu harus dibuat terasa. Dan ini mudah, asal dieksekusi. Kalau orang merasakan

Page 88: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

bahwa hidup jadi lebih mudah, pesan tiket pesawat jadi mudah, maka dia akan meminta layanan itu.

KK: BRI itu mengembangkan layanan ATM di desa-desa. Kalau tidak bisa tanda tangan, ya cap jempol.

SS: Lalu pertanyaannya, apakah peran kita dalam produksi TIK? Untuk komponen perangkat keras, pertanyaannya apakah kita mampu berproduksi seefisien Cina, sehingga harganya bersaing? Kalau bisa, kita buat. Kalau tidak bisa, lupakan saja, karena buang-buang energi. Tapi kalau perangkat lunak, itu tidak terbatas. Beberapa eksperimen telah dimulai. Misalnya, kita punya Bali Camp. Hanya saja belum ada yang bersemi. Pertanyaannya, mengapa belum ada yang bersemi?

Ada sesuatu yang tidak benar di sini. Lahan kita kurang subur bagi kultivasi kreativitas seperti itu. Di India, lahan kreativitas seperti itu sangat subur.

KK: Kalau India ‘the land of plenty,’ sedangkan kita ‘the plenty of lands.’

SS: (Ha ha ha ... !) Nah, itu perlu kita cermati mengapa semua inisiasi kreatif itu tidak berhasil bersemi. Benihnya sudah ada. Dan orang-orang kreatif itu punya relasi-relasi global. Peluangnya juga ada. Tapi lahannya yang tidak subur. Pengindustrian kreativitas menjadi suatu kekuatan ekonomi itu yang kita gagal terus. Kalau kita lihat Korea Selatan, kreativitasnya sederhana. Mereka mengganti nada ring menjadi musik. Tapi setelah

Page 89: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

ini ditemukan, rantai nilainya itu mereka bangun sampai ke hilir. Itu menjadi bisnis besar.

Sekarang para artis masuk ke bisnis itu. Tidak ada pembajakan seperti dalam produksi DVD. Penghasilan mereka meningkat. Seniman musik Indonesia meraih penghasilan besar dari bisnis ring tone itu.

Gagasannya sederhana. Tapi mereka tidak berhenti di fase itu. Rantai nilainya dibangun. Mulai dari platform, perangkat lunak, IPR connection, semuanya dikembangkan. Kreativitas menjadi suatu kekuatan ekonomi. Memang ini suatu upaya multi-disiplin mulai dari riset, pengembangan, komersialisasi, sampai menjadi komoditas di pasar. Ini suatu upaya multi-disiplin.

Page 90: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Embargo sebagai Pemicu

Dialog dengan Budi Santoso (BS) Pelaku di Bidang Pertahanan

Direktur Utama PT. Pindad

Topik: • Kesenjangan periset-pebisnis • Pengaruh bantuan teknologi •

Faktor endogen dari inovasi

KK: Tema yang ingin diketengahkan adalah keselarasan hubungan antara akademikus, pebisnis dan pemerintah. Bagaimana Pak Budi menengok hal ini, khususnya di sektor pertahanan dan keamanan?

BS: Saya melihat akademikus itu, kalau dia ingin memulai sesuatu, cenderung berdasarkan pemikiran yang lebih mendalam. Tapi 'penyakit'-nya akademikus itu, lantaran begitu percaya dengan teori tadi, begitu diperjalanan ternyata kita meleset dari target, dia tidak akan membelokkan arah perjalanan agar sesuai dengan target tersebut. Dia terus saja berjalan. Saya sendiri dulu di sekolah juga mengalami hal seperti itu.

Saya dulu hampir setahun terlambat menyelesaikan program doktor. Waktu itu saya diingatkan seorang profesor bahwa saya salah, tapi saya lawan karena tidak sesuai dengan teori yang

Page 91: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

saya anut. Mungkin tipikal akademikus seperti itu. Sikap ini berbeda dari yang diperlihatkan kawan-kawan saya yang bergerak di bidang bisnis. Bagi dia itu yang menjadi perhatian utama adalah targetnya. Kalau memulai suatu tujuan, dia jalan saja tanpa banyak teori. Kemudian arah jalannya akan disesuaikan dengan targetnya.

Berbeda lagi dengan pemerintah. Dalam bekerja, pemerintah akan melihat ke kiri dan ke kanan. Dia akan membuat suatu outline, nanti jalannya akan seperti apa, targetnya seperti apa. Belum tentu jalan yang ditempuh itu hal-hal yang baik, akhirnya juga belum tentu hal-hal yang baik. Tapi karena memang sudah aturannya begitu, itulah jalan yang mereka coba. Tidak jarang mereka mendengarkan pendapat akademikus dan pendapat pebisnis. Tapi orang pemerintahan akan membuat jalan sendiri. Yang agak sulit adalah menyatukan antara orang bisnis dengan akademikus. Dan ini hanya bisa diatasi dengan menciptakan suatu jembatan.

Seorang akademikus, ketika berkiprah di pemerintahan, terkadang masih terpengaruh oleh sikap lamanya. Misalnya, kalau dia sudah yakin dengan jalannya, dia tidak mau belok lagi. Tapi ada juga orang yang bisa menjembatani komunikasi antara periset dengan pebisnis, karena dia bisa membuat jalan penghubungnya. Dia adalah orang yang tahu hubungan antara keduanya. Jalan yang ditempuhnya tidak lurus, agak bengkok, tapi sinambung dari awal sampai ke

Page 92: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

akhir.

Mengenai kemampuan teknologi kami, untuk membuat laras senjata saja bisa menghabiskan waktu empat tahun. Itu sampai berganti-ganti orang. Kami ini kalau mau mencari orang yang tahu teknologi pembuatan senjata, tidak tahu ke mana sekolahnya. Akhirnya kami terpaksa mencoba belajar sendiri, trial and error. Kami tidak tahu ke mana sekolahnya. Ada sekolah yang sesuai, di Inggris dan Belgia. Tapi tidak semua orang boleh masuk. Kebanyakan tentara kita berangkat ke luar negeri untuk belajar tentang penggunaan alat, bukan pembuatan alat. Maka kami harus mencari orang yang agak 'menyimpang' sedikit dari yang lain. Saat ini kami juga mengirim orang untuk belajar dan menjadi ahli propelan bahan peledak.

KK: Propelan dari bahan padat atau cair?

BS: Bahan padat.

KK: Saya mau membuat komponen seperti itu, tapi dari bahan cair, untuk roket.

BS: Kalau dari bahan cair yang diperlukan bukan ahli bahan peledak, tapi ahli metalurgi.

KK: Bahan yang dibutuhkan itu kerosen dan oksigen cair, kan? Saya membuatnya di Narogong. Sudah saya pertemukan Pak Budi Sadewo dengan Pak Said Jenie. LAPAN sudah menandatangani perjanjian bahwa mereka tidak akan main ke sektor itu. Kami akan membuat model ketapel.

Page 93: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Yang namanya flight dynamic dan propelan, mekanika dan booster-nya kan sama semua. Biar saja LAPAN yang membuat, lalu dikembangkan oleh BPPT.

BS: Kalau yang terbuat dari bahan cair sejak zaman Perang Dunia II memang sudah ada ahlinya.

KK: Saya akan menyewa tenaga ahli dari mana saja, yang sudah purna-bakti, seperti dari Cina dan Rusia.

~0~

BS: Upaya pembuatan senjata di Indonesia pertama kali dimulai di era 1950-an. Ketua timnya waktu itu Jendral Ahmad Yani. Mulai saat itu ada banyak kontrak-kontrak yang diberi nama Koya, singkatan dari Komisi Yani. Pabrik senjata Pindad itu sendiri diresmikan pada bulan Mei, tahun 1965, beberapa bulan sebelum Jendral Ahmad Yani meningal. Kita mendapatkan lisensi dari Jerman dan Italia, sehingga banyak terlibat tenaga ahli dari kedua negara itu.

Pada era 1970-an, Amerika Serikat tahu bahwa Indonesia mempunyai kemampuan teknologi itu. Karena itu mereka memberikan bantuan senjata-senjata bekas yang pernah digunakan di masa perang Vietnam, dengan tujuan agar Indonesia tidak membuat senjata lagi. Hal yang sama dilakukan Amerika Serikat ke Israel. Amerika Serikat sering memberi senjata gratis ke Israel agar mereka tidak maju dalam persenjataan. Banyak negara memberi bantuan bukan untuk

Page 94: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

dikembangkan, melainkan mejadi 'kerangkeng.' Praktik seperti itu membuat kita tidak berkembang.

Di sekitar tahun 1982-83 baru kami mulai lagi berkeinginan membuat senjata. TNI yang merintisnya dengan mengambil lisensi dari Belgia. Mengapa mengambil dari Belgia? Karena di saat pemilihan senjata, antara M16 dari AS dan G33 dari Jerman, ternyata AS membolehkan kita membeli senjata apa saja, asal bukan frame-nya. Jadi, kalau kami mau membuat 10.000 pucuk senjata, kami diberi 10.000 frame juga. Sedangkan oleh Jerman, kami dibolehkan beli semuanya kecuali komponen penahan peluru di dalamnya, yang patennya dia pegang. Kalau kami terikat kontrak dengan AS dalam pembuatan senjata, begitu kontrak selesai maka semua peralatan harus dihancurkan. Ini juga dialami oleh Singapura waktu mereka membuat M16, di mana semua peralatannya harus dihancurkan begitu selesai kontrak.

Akhirnya kami pilih FNC dengan lisensi dari Belgia. Ini bukan yang terbaik. Tapi negara itu membebaskan semuanya. Sayangnya saat itu FNC masih ‘bayi, bahkan tentara Belgia pun belum memakainya. Jadi, tentara Indonesia dijadikan tentara 'percobaan'-nya. Baru kemudian mulai tahun 1995 kami mencoba memecahkan masalah-masalah yang ada. Saat itu masih banyak orang FNC di Bandung. Tapi pada perioda 1998-96, Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan

Page 95: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

keuangan.

Saya pertama kali masuk ke Pindad saat itu atas perintah Pak Habibie. Dia bilang, "Kamu urus Pindad, tapi tak ada uang untuk Pindad." Itu pada akhir tahun 1995. Untungnya saat itu bukan tahun 1998, jadi kami masih memiliki waktu sebelum terjadinya krisis moneter. Karena tidak ada uang untuk menyewa tenaga dari luar, kami mulai belajar membuat dan memperbaiki senjata sendiri. Itu sekitar tahun 2002-2003. Dan satu lagi yang menjadi titik tolak yang baik bagi industri senjata dalam negeri, adalah pemberlakuan embargo dari AS. Begitu diembargo, langsung kami menjadi kreatif untuk membuat senjata sendiri.

KK: Mulai tahun berapa embargo berlaku?

BS:1999, saat kasus Timor-Timur. Pembuatan senjata kami lakukan berdasarkan pesanan dari TNI. Yang kami buat atas kemauan kami sendiri hanya prototipe, yang jumlahnya bisa 10 sampai 100. Saya pernah membuat senjata sampai 100 buah, lalu yang jelek dibuang lagi.

Pembuatan senjata untuk tentara itu harus memenuhi sebuah syarat. Kalau orang membuat 20 senjata, lalu dibongkar dan dirakit kembali, harus jadi 20 senjata lagi. Tapi kalau kami masih hand-made. Kalau 20 dibongkar, saat dipasang lagi hanya 2 atau 3 saja yang jadi. Untuk sampai ke tahap itu prosesnya butuh waktu. Itu berlaku untuk setiap jenis senjata. Dan semuanya tidak bisa dijual. Mungkin hanya dipakai sendiri. Produk

Page 96: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

senjata lebih banyak kami jual secara politik, seperti melalui hubungan pemerintah-ke-pemerintah. Ini berbeda dengan peluru, yang lebih seperti komoditas, seperti beras.

KK: Ya, seperti peluru di Amerika Latin yang kemarin dipakai, ternyata buatan Pindad! Waktu itu kelompok separatis Kolombia dilacak, dan diketahui pelurunya buatan Pindad.

BS: Itu mereka beli dari Ekuador atau Peru. Kedua negara ini membeli dari Pindad. Keduanya berperang waktu itu. Begitu peluru tersisa, dijual lagi ke Kolumbia. Kami punya semua catatan transaksi jual-beli itu.

Ekspor kami tidak banyak, hanya sekitar 20 %. Kalau senjata, lebih banyak ke negara tetangga. Tapi semua negara besar selalu punya pabrik senjata sendiri. Malaysia, bahkan Singapura yang ‘kecil’ itu saja punya, Thailand juga. Burma justru yang paling mandiri dari semua negara ASEAN, karena dia diembargo. Kalau kita lihat negara yang dikekang seperti Burma, Iran dan Afrika Selatan, justru maju di bidang senjata. Iran kini sudah punya pesawat tempur sendiri. AS sempat terkejut. Sebab pesawat F14 yang diembargo AS sejak jatuhnya Syah Iran ternyata masih bisa terbang, karena mereka mampu membuat suku cadang sendiri. Kita baru diembargo sebentar saja sudah tidak bisa menerbangkan F16.

KK: Iran memang luar biasa. Menurut berita, yang dipakai Libanon untuk membalas serangan

Page 97: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Israel, roketnya buatan Iran.

BS: Yang menembak kapalnya Israel juga buatan Iran, tapi dibeli dari Cina. Mereka mampu membuat sendiri semuanya.

KK: Embargo benar-benar membuat orang pandai, ya!

BS: Kalau kita lihat sejarahnya, Iran itu baru sekali diembargo. Indonesia sudah sering. Tahun 1950-an kita bergantung pada negara-negara Barat. Tahun 1960-an pindah ke Rusia. Tahun 1970-an ke Barat lagi. Tahun 1990-an kita cari 'pasar gelap.' Tapi kita tidak pernah merasa kalau kita itu diembargo. Kini kami ada kebijakan bahwa sebaiknya senjata dan bahan senjata, selama masih bisa dibuat di dalam negeri, ya kami buat sendiri.

KK: Presiden SBY pernah menyampaikan dalam sebuah pidato, bahwa beliau melarang pembelian produk senjata impor menggunakan dana APBN, apabila masih bisa diproduksi di dalam negeri. Itu pidato beliau di IPTN dan di Pindad.

BS: Untuk pengembangan rudal, saya punya prinsip yang berbeda dengan Pak Habibie. Beliau berprinsip bahwa kita berawal dari akhir. Secara politik itu betul. Tapi untuk membuat sesuatu yang mendasar, kita menjadi tidak independen dengan pendekatan seperti itu. Apalagi kalau membuat senjata, kami harus membuat sendiri dasarnya. Kalau untuk pesawat, mungkin bisa kita membeli mesinnya dari AS. Namun kalau tidak diberi

Page 98: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

mesinnya, kita jadi tidak bisa membuat apa-apa. Untuk senjata tidak bisa seperti itu. Untuk rudal, misalnya, kami tidak bisa membeli bahan dari mana-mana, lalu membuat sendiri. Kalau bahannya tidak ada, maka kami tidak bisa membuat sendiri lagi.

Jadi, yang pertama-tama kita harus siapkan adalah orangnya. Seperti ketika membuat peluru kendali, tiga tahun yang lalu, seluruh staf saya tidak ada yang tahu cara pembuatan peluru kendali. Sampai akhirnya saya meminta peluru kendali dari TNI yang tidak dipakai. Saya harus menandatangani perjanjian bahwa kalau peluru itu meledak, harus bertanggungjawab. Dan ketika peluru itu datang, kami bingung. Kami bingung bagaimana membongkarnya, mana bagian depannya, mana belakangnya. Kalau salah kan bisa meledak. Setelah sukses, kami baru mengerti apa saja komponennya, dan mulai belajar membuat satu per satu.

Saya sekarang bekerja sama dengan beberapa universitas untuk membuat komponen bahan peledak. Misalnya reaktornya satu gram, lalu kami coba membuat sendiri campuran kimianya, agar tidak perlu mencari dari luar lagi.

KK: Kalau di kepolisian bagaimana?

BS: Kalau kepolisian itu tidak banyak memakai peralatan, juga senjata dan peluru. Peralatan yang mereka perlukan bukan tank atau panser perang. Untuk peralatan lain mereka sering tenderkan,

Page 99: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

seperti water cannon untuk dalam negeri. Walau kami kalah tender, tapi sudah bagus bahwa mereka ada kesadaran untuk memilih buatan dalam negeri.

KK: Untuk pesawat tempur kita masih impor. Tahun ini kita sudah membeli perlengkapannya. Sukhoi juga. Jadi, bukan lagi pesawat terbang, tapi sudah menjadi pesawat tempur. Selama ini kan pesawat Sukhoi kita masih merupakan pesawat terbang 'termahal' sedunia.

Saat ini kita punya 12 Hercules yang bisa terbang semua. Kemarin ada 2 yang saya konversikan untuk pembuatan hujan buatan. Untuk tahun 2007 saya akan buat water bomb. Saya minta 1 water container dari Ciracas untuk air. Ternyata mahal sekali. 400.000 rupiah itu untuk menjatuhkan air 40 ton. Hanya sekali pakai lalu pecah. Saya mau buat tank yang bisa dibuka sekaligus, tapi harus dibuat agar bisa terbang pada ketinggian yang rendah, dengan pergeseran central gravity.

Sebab kalau pakai hujan buatan, kita jadi sangat bergantung pada cuaca. Kalau water bomb tidak. Atau ada pesawat yang bisa menerbangkan 10 ton sekali terbang. Karena kalau kita beli dari Rusia, sekitar 5 juta dolar AS lebih mahal dari Sukhoi kosong. Yang buatan Rusia ini bisa membawa air 40 ton tanpa pendaratan. Cukup men-scoop lalu terbang lagi.

BS: Ada beberapa yang memakai helikopter?

Page 100: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

KK: Itu yang jenis water bucket. Ya, kita juga pakai itu kemarin, tapi kecil-kecil. Ada yang hanya bisa menampung 350 liter dan 1 ton. Sedangkan yang Puma, kemahalan biayanya kalau hanya untuk menampung air.

BS: Hercules kita sudah tua-tua, ya? Waktu kasus Aceh, hanya empat buah yang bisa terbang.

KK: Sekarang 12 buah sudah bisa kita terbangkan lagi!

BS: Pesawat Hercules kita usianya sudah lebih tua dari pilotnya. Maka pilotnya harus berbaik-baik dengan pesawatnya.

KK: Tapi sampai sekarang masih dirawat terus. Itu pesawat angkut yang paling sukses. Kita punya sampai seri 138.

BS: Di AS juga masih pakai pesawat jenis B52 yang walau usianya sudah tua, tapi masih dipakai terus.

KK: Pihak kepolisian sudah mau pesan water cannon ke Pindad?

BS: Ya, baru tendernya saja. Kalau dipikir, lebih baik kita ikut tender di luar negeri ketimbang di dalam negeri.

KK: Memang prosedur itu harus dibenahi lebih dulu. Prosedur yang ada saat ini memungkinkan kita itu lebih mudah ikut tender dengan pihak asing. Lalu setelah mereka menang, baru kita ambil dari pihak asing. Kalau kita kontrak langsung

Page 101: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

dengan sesama instansi negara, per tanggal 20 Desember administrasi sudah harus beres semua. Sementara kalau deal dengan perusahaan asing, asal 20 Desember LC sudah dibuka, maka beres. Barang bisa dikirimkan tahun depan. Jadi, aturan ini yang harus diubah lebih dulu. Sampai-sampai tentara kita mengimpor senjata dari Singapura, padahal senjatanya buatan Bandung.

BS: Sebenarnya bukan salah tentaranya.

KK: Ya, aturannya yang harus diubah. Jadi kita belum boleh melakukan kontrak melebihi tahun anggaran. Setiap tutup buku, harus dibereskan semua. Ini juga berlaku di DPR, karena setiap anggaran bergantung pada ketentuan-ketentuan yang masa berlakunya setahun.

BS: Jadi, lebih baik kita buat perusahaan di luar negeri.

KK: Jadi di sektor pertahanan dan keamanan itu, selain terdapat masalah teknologis, tampaknya juga terdapat masalah ekonomik. Ini adalah isu yang fundamental: bagaimana di negara ini kita bisa menyelaraskan nalar teknologi dan nalar ekonomi.

Page 102: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Perbedaan Paradigma Ilmu

Dialog dengan Irwan Hidayat (IH) Pelaku di Bidang Kesehatan

Presiden Direktur PT. Jamu Sido Muncul

Topik: • Posisi obat tradisional •

Antara iptek modern dan tradisional • Kepranataan pengobatan tradisional

KK: Pak Irwan itu bergulat untuk mendobrak 'tembok' persepsi, bahwa jamu itu tidak bisa memasyarakat. Dalam dunia pengobatan nasional posisi jamu terpinggirkan oleh serbuan obat-obatan Barat (Western medicine), mulai dari dokter, farmasi, sampai kelembagaannya. Produk-produk Sido Muncul awalnya bergerak di pinggiran, di 'papan bawah,' dan sekarang sudah menjadi salah satu produk kesehatan unggulan.

IH: Ah, pernyataan Pak Kus ini hanya untuk menyenangkan saya saja, biar saya "terlena," seperti judul lagunya Ikke Nurjanah ... (ha ha ha). Kuku Bima ini perluasan merek saja, sebab kalau saya membangun merek baru akan menjadi mahal. Saya tidak akan bisa bertahan.

KK: Karena Kuku Bima-nya sudah ada yang dalam bentuk jamu, lalu dibuat versi instan.

Page 103: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Inovasi yang menarik perhatian itu mungkin bukan Kuku Bima, tapi Vitamin C 1000 dalam bentuk saset.

IH: Vitamin 1000 miligram sengaja dibuat berbentuk saset. Produk yang sudah ada berbentuk tablet. Kemarin beritanya keluar di surat kabar. Mereka bilang, vitamin 1000 hanya dikemas dalam bentuk botol, bukan saset. Saya segera menulis untuk meluruskan, bahwa Sido Muncul C 1000 dibuat dalam bentuk bubuk, dan dikemas dalam saset supaya terlindung dari ultraviolet. Produk ini dibuat dalam bentuk bubuk supaya kadar vitamin C-nya lebih stabil. Saya bilang ini diproduksi oleh industri farmasi PT. Sido Muncul, Semarang.

KK: Kalau ini sih tidak ada lawannya.

IH: Kalau ini murah harganya. Dan orang kan minum vitamin C hanya sekali dalam sehari. Harapan saya, orang lebih rasional. Biar kaya, tetap rasional. Justru makin kaya orang makin rasional. Lalu, apakah Tolak Angin benar-benar bisa menolak angin? Saya tidak mau jawab begitu saja. Kami lakukan uji toksisitas dulu, seperti yang lazim dilakukan di dunia kedokteran.

Terus kami lakukan uji khasiatnya. Kami melibatkan para periset dari Universitas Diponegoro, ahli imunologi. Hasilnya, kalau orang sehat mulai masuk angin, limfositnya turun. Kalau minum Tolak Angin, dari kadar 48 naik menjadi 70. Dari 50-40 responden 70 persen mengalami

Page 104: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

kenaikan dengan baik. Minggu ke dua dia masih naik, sampai minggu ke tiga dan ke empat. Terus diikuti apakah limfositnya yang ada PH1, PH2, dan seterusnya. Nah, kalau dari satu dan dua, serta satu dan tiga tidak seimbang, itu orang alergi. Makanya sekarang saya melihat, kalau orang tua banyak yang menderita kanker, alergi, dan beberapa penyakit seperti rematik, minimal dengan minum produk ini akan menyeimbangkan PH1 dan PH2. Seperti yang dikenal di Cina itu, prinsip yin-yang. Kami tidak tahu seperti apa mekanisme yin-yang itu.

~0~

KK: Pertanyaannya, bagaimana kita memposisikan jamu sebagai 'tuan rumah,' dengan cara fortifikasi terhadap pasar domestik? Dari sejak awal kan jamu sudah ada di masyarakat kita. Tapi mengapa dengan mulai datangnya sistem pengobatan Barat, mulai dari orangnya, keahliannya, teknologinya, kapitalnya, sampai produk-produk obatnya, jamu ini menjadi termarjinalkan. Fakta yang terakhir memperlihatkan bahwa dari nilai pasar total untuk obat-obatan, jamu memegang tidak lebih dari 15%. Sisanya yang 85% didominasi obat-obatan Barat yang notabene nilai ekonomiknya akan ke luar lagi. Memang asalnya dari luar semua, baik bahan bakunya, ahlinya, teknologinya, maupun kapitalnya. Nah, bagaimana caranya mengembalikan jamu ke posisinya semula di pasar domestik?

Page 105: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

IH: Awalnya dulu semua pengobatan menggunakan bahan alami. Obat itu sendiri kan asalnya dari jamu, dari bahan alami dengan komposisi yang sederhana. Misalnya, teh itu mengandung tamin, kafein, dan lain-lain. Lalu orang mengisolasi kafein dari tamin, sebab dipikir akan lebih bagus efeknya. Karena ada tamin, kafein tidak bekerja dan menjadi netral. Tapi begitu tamin dihilangkan, tinggal kafein saja, dia bisa memacu detak jantung. Ini efeknya bagus. Tapi waktu itu diproduksi, dirasa kemahalan biayanya. Maka dicari tiruannya dari bahan-bahan kimia murni. Itu dulu begitu awalnya.

Nah, waktu ditemukan penisilin, parasetamol, aspirin, industri obat alami menjadi terpinggirkan karena telah ditemukan obat tiruan dari bahan kimia murni. Kalau sakit, efek obat sintetis ini langsung terasa. Misalnya, bakteri langsung dibunuh dengan penisilin. Jamu atau obat alami itu langsung ditinggalkan orang. Tapi lama-lama orang juga sadar, dan mulai mempersoalkan apakah vaksinasi itu benar. Apakah kalau orang itu sakit karena bakteri, lalu bakteri ini langsung dibunuh, apakah penyembuhan seperti ini benar? Itu menjadi pertanyaan-pertanyaan besar di dunia medis.

Tubuh itu kan sebenarnya mekanismenya begini. Kalau dia luka dia memproduksi kortison. Kalau kemasukan bakteri, antibodinya dipacu tumbuh. Masalahnya orang tidak punya cukup waktu untuk itu. Sakit hari ini, besok mau

Page 106: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

bepergian. Jadi dikasih antibiotik dulu hari ini, agar besok bisa kerja. Dalam situasi seperti itu pengobatan modern terlihat lebih menarik dibandingkan jamu. Tapi sekarang orang sadar bahwa orang bisa hidup sehat dari nutrisi dan gaya hidup. Kalau nutrisinya baik dan gaya hidupnya baik, diperkirakan standar kesehatannya akan jauh lebih baik.

Makanya, di seluruh dunia, di negara mana pun, industri jamu memang kalah dengan industri obat modern. Hanya saja saat ini, ketika negara-negara lain sedang berlomba-lomba untuk memajukan industri jamu dan pengobatan alamiah, negara kita masih belum bergerak. Ini masalah pokoknya. Mengapa? Karena pemahaman ilmu kedokteran semuanya berasal dari luar sana. Dan kedokteran di Barat itulah yang akan mulai memasukkan obat-obat alami itu ke pasar domestik kita. Pasti itu! Jadi, riset obat-obat alamiah dimulai di dunia Barat dulu, lalu masuk ke sini.

Kita mesti keluar dari belenggu kebiasaan seperti itu. Cina dan India sudah berhasil. Makin banyak orang yang berobat ke sana. Dan kalau kita tidak berani melakukan sesuatu, dalam bidang pengobatan apa saja, menurut saya kita tidak akan bisa membangun bukti. Pembuktiannya tidak akan didapat. Justru orang lain yang temukan. Cina dan India berhasil karena mereka berani keluar dari paradigma-paradigma Barat yang dominan di dunia farmasi. Kita mesti berani melangkah, tentunya disesuaikan dengan kondisi dan situasi

Page 107: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

masyarakat kita. Diperlukan peraturan yang mendukung langkah-langkah seperti ini.

KK: Peraturannya seperti apa, Pak? Ketentuan WTO (World Trade Organization) kita sudah tandatangani ... .

IH: Kalau yang sederhana kan begini. Kalau misalnya obat itu harus diuji secara klinis, peraturan uji klinisnya kan ada fase 1, fase 2, fase 3, fase 4. Padahal sebenarnya pengujian klinis itu kan terdiri dari dua sistem: naturopati dan alopati. Yang ke dua, menurut saya, sistem riset itu juga harus disesuaikan. Jadi, misalnya, obat itu harus dikaji sampai sedemikian rupa, dan didaftarkan dulu ke mahkamah etik kedokteran. Peraturannya seperti itu. Kemudian dipublikasikan. Lalu dilihat apakah ada klaim atau tidak dari masyarakat.

Setiap obat yang kita makan membebani metabolisme. Yang penting adalah mencari dosis yang paling tepat untuk menstimulasi. Konsepnya, dicari dosis yang tepat sebagai stimulator. Kalau itu sudah ditemukan, kemudian kita lakukan uji khasiat. Khasiatnya untuk apa? Misalnya, untuk menambah darah. Kita uji, naik atau tidaknya kadar darah merah atau hemoglobin (Hb). Lalu kalau kita mengiklankan obat itu, kita daftarkan dulu ke badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan).

Tanaman Indonesia seperti meniran itu luar biasa khasiatnya. Segala sumber penyakit itu asalnya karena berkurangnya kekebalan tubuh.

Page 108: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Kalau yang saya lihat, penyakit seperti kanker itu sumbernya sistem kekebalan tubuh. Kemudian alergi, terusannya asma. Ini alergi yang terjadi di daerah pernapasan, lalu kontraksi. Jadi kan sumbernya harus diketahui dulu. Risetnya juga harus disesuaikan. Dalam hal ini dibutuhkan mitra.

Sekarang ini sekitar ada 100.000 pengobat yang tidak terstandarkan. Ada yang mengaku sebagai pengobat, tapi sebenarnya tidak berkompeten. Tapi kan tidak bisa dilarang, karena tidak ada standarnya. Ada yang mengaku ahli tifus, ahli penyakit kronis, ahli mengobati wasir tanpa operasi, tanpa disuntik atau apa pun.

Jadi, jalan keluarnya mereka itu dibina dulu. Lalu diberi nama bukan pengobat, tapi herbalis, yang merekomendasikan obat-obat alami. Yang diajarkan pada mereka apa? Yang diajarkan adalah bagaimana mendiagnosis penyakit, mengenali simptom, membaca laporan darah, dan juga pendekatannya apakah dipijat, diberi obat, dan lain-lain. Misalnya, kanker itu salah satu gejalanya adalah tubuh mengeluarkan darah atau cairan, karena luka. Kalau diketahui gejalanya, bisa direkomendasikan untuk pergi ke spesialis kanker.

Kalau sekarang kan tidak begitu. Yang tifus didiagnosis hepatitis. Atau sebaliknya. Yang kanker dibilang bisa diobati. Banyak pasien yang menjadi korban yang bungkam (silent victim). Kebanyakan mereka orang miskin yang bersikap nrimo. Ongkosnya saja untuk melapor mereka tidak

Page 109: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

punya. Dia sudah tidak mampu membayar untuk melakukan delik pengaduan. Dalam situasi seperti itu menurut saya pemerintah perlu mengambil suatu langkah. Mengapa?

Pertama, tren di dunia ini menunjukkan bahwa obat-obat alami ini memang obat-obat yang makin banyak digunakan, karena bisa menjadi pendukung, dan bisa untuk pengobatan sendiri. Misalnya, seseorang terkena diabetes, dia minum obat-obat Barat. Tapi dari riset yang kami lakukan, itu dihilangkan separuh. Dengan diberi jamu, ada efeknya. Berarti kan mengurangi lebih jauh lagi. Di Cina, obat-obat tradisional diakui secara klinis. Di rumah sakit disediakan obat-obat Barat dan obat-obat tradisional.

KK: Di Cina sendiri, bagaimana sih hubungan antara pengobatan Barat dan Timur?

IH: Dikembangkan keduanya secara bersamaan, Pak. Jadi, ada dokter Timur, ada dokter Barat. Dua-duanya diakui. Asuransi juga berlaku untuk keduanya. Di India sudah mulai seperti itu. Di Seattle, Amerika Serikat, juga dikembangkan naturopati. Indonesia kan memiliki banyak industri jamu dan pengobat tradisional. Mereka ini ada juga yang baik, yang mestinya menjadi target pembinaan oleh pemerintah. Yang belum berhasil juga perlu dikembangkan, agar tidak merugikan masyarakat lebih jauh. Kalau yang dikembangkan hanya pengobatan Barat, ya, yang menikmati dunia Barat lagi.

Page 110: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Ketika membuat Vitamin C 1000 ini, saya harus terlebih dulu membeli paten ke orang Jepang. Setiap paten, lisensi, kita mesti bayar. Sekarang kita berpikir untuk keluar dari perangkap-perangkap seperti ini. Sebagai upaya bekerja sama dengan ilmuwan, Sido Muncul melakukan uji toksisitas dengan melibatkan para periset dari Universitas Sanatha Darma. Kemudian untuk Tolak Angin, uji khasiatnya dilakukan dengan melibatkan Lembaga riset Bioteknologi di Universitas Diponegoro.

Pengakuan itu ada dua jalur. Di dunia kedokteran kita harus mematuhi tata krama dunia kedokteran. Tapi di luar dunia kedokteran, ada tata karma yang lain, yaitu sebagai obat bebas. Yang saya lakukan adalah menempuh jalur yang kiri, sebab yang satu juga tidak mau mengakui. Misalnya, dokter memberi resep Sido Muncul, tentu pasien akan bertanya-tanya, apakah dokternya tidak keliru memberikan resep. Kemarin saya ajak 200 dokter ke Semarang. Saya tunjukkan pusat produksi kami, bagaimana kami membuat uji toksisitas, dan bagaimana pengolahan bahan supaya produknya juga terstandarkan.

Saya lebih bangga dengan cara-cara seperti ini, daripada berkutat di jalur kedokteran. Tapi saya juga banyak bicara di perguruan tinggi, seperti Universitas Diponegoro, dan masuk ke publikasi seperti "Man's Obsession." Jadi, itu hal yang harus dilakukan oleh pengusaha, dan itu sudah saya lakukan.

Page 111: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Memang ada riset tentang kencing manis, yang kalau dikombinasikan dengan jamu bisa lebih baik pengobatannya. Tapi kalau itu saya komunikasikan lewat iklan, itu terlalu mahal. Kalau saya masuk lewat kedokteran, tidak ada jaringan. Maka harus ada jalur tengah, yakni para pengobat tradisional yang dibina itu. Ini supaya masyarakat perjamuan juga bisa menikmati kemajuan Indonesia. Kalau tidak, mereka hanya jadi penonton. Padahal mereka selama bertahun-tahun sudah berupaya mengembangkan. Berpuluh-puluh tahun, mulai dari tahun 1825, ketika pabrik jamu paling tua didirikan. Itu 27 tahun sebelum Fakultas Kedokteran Jawa didirikan.

Bagi saya, yang penting produk itu aman, berkhasiat, ada sertifikasinya yang didapatkan dari riset, kemudian masyarakat percaya dan mau mencoba. Buat saya itu sudah cukup. Bagi saya yang meresahkan adalah para silent victim, korban-korban yang bungkam saja. Saya punya pengalaman, ini tentang pembantu saya. Dia bilang, "Pak Irwan saya mau pulang." "Kenapa?" "Ini saya mau ke dukun, ada ahli tifus." Padahal sakitnya hanya tenggorokan, infeksi. Dia bilang mau ke ahli tifus. Banyak orang juga pergi ke tempat-tempat yang salah tapi dibiarkan saja. Artinya, ini karena mereka tidak punya uang. Sebenarnya penyakitnya bisa disembuhkan. Misalnya, cacingan itu kan gejalanya kelihatan. Misalnya dia punya hepatitis. Sebenarnya penyakit ringan. Tapi karena tidak mampu membiayai

Page 112: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

pengobatan, dan tidak bisa ke dokter, akhirnya penyakitnya menjadi serius.

Pengobat itu juga tidak punya standar. Harusnya mereka dibina, dan diganti namanya jadi herbalis. Mengapa? Pertama, itu akan menyelamatkan banyak orang. Ke dua, industri jamu ini bisa punya mitra. Sesuai dengan globalisasi, harus dibuat aturan yang kompetitif.

SY: Kalau tidak salah, Departemen Kesehatan sudah punya lembaga yang membina para pengobat tradisional. Dananya dari pemerintah. Yang menjadi persoalan itu di sisi kelembagaannya. Kelembagaan pengobatan tradisional itu tidak selengkap dan sekuat kelembagaan pengobatan Barat. Dalam pengobatan Barat terdapat fakultas kedokteran, rumah sakit, badan asuransi, perusahaan obat, asosiasi dokter, lembaga perlindungan konsumen, dan juga mahasiswa-mahasiswa. Ini membuat siklus pengetahuan itu utuh dan lengkap. Dalam kasus pengobatan tradisional, kelembagaannya sangat kurang unsur-unsurnya.

IH: Ya, otomatis tidak ada. Justru karena tidak berkembang pengetahuannya itu kita mesti masuk ke situ. Ini supaya orang tidak menjadi korban. Ada ratusan ribu orang yang mengaku bisa melakukan pengobatan. Tapi standarnya apa? Fakultas kedokteran Jawa yang pertama itu yang mendirikan bukan pemerintah, tapi Belanda. Dokter pertamanya Cipto Mangunkusumo dan

Page 113: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Wahidin Sudirohusodo. Dan menurut saya, yang membina semestinya Pemerintah.

Kalau kita mau, para pengobat tradisional itu dilatih dengan kursus singkat dan kursus lanjutan. Yang diajarkan adalah bagaimana mendiagnosis penyakit, dan menentukan apa saja obatnya. Meskipun dia tidak bisa melakukan pengobatan, minimal dia tahu, daripada tidak tahu sama sekali. Misalnya dia tahu A, B, C, D, sedangkan dokter tahu sampai Z. Nanti ada perkembangan di mana mereka membuat perkumpulan khusus untuk penyakit tertentu. Sama dengan yang terjadi di kedokteran, dulu semuanya dokter umum. Lama-kelamaan tercipta spesialis-spesialis, karena ada permintaannya. Hal yang sama akan terjadi pada para pengobat tradisional itu. Mereka akan bekerja sama dengan industri-industri jamu yang kecil-kecil.

Page 114: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Peran Badan Intermediasi

Dialog dengan Boenjamin Setiawan (BjS) Pelaku di Bidang Kesehatan

Komisaris Utama PT. Kalbe Farma Tbk.

Topik: • Intermediasi dalam komersialisasi riset • Iptek modern

dan tradisional • Komunikasi periset-pebisnis

KK: Kalau kita menengok ke luar negeri, katakanlah Amerika Serikat, kebijakan publik di sana sudah mampu menghasilkan lingkungan yang kondusif bagi perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan aktivitas filantropis. Lingkungan ini ditumbuhkan melalui insentif baik fiskal maupun non-fiskal. Contoh untuk yang non-fiskal, perusahaan mana pun yang mendonasikan sejumlah dana ke sektor pendidikan, dana itu bisa diperhitungkan sebagian, atau bahkan seluruhnya, sebagai pajak. Begitu, kan. Nah, situasi seperti itu yang kita perlukan, Pak.

BjS: Ini kami baru merintis, bersama-sama dengan berbagai pihak, untuk mendirikan pusat studi stem cell, Pak.

KK: Stem cell merupakan isu yang kontroversial.

Page 115: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Stem cell itu inti dari sel kita, cikal bakal dari sel kita. Sel kita kan bertambah umur, dan ikut menjadi tua. Tapi kita punya stem cell yang masih asli, yaitu dari ari-ari waktu kita dilahirkan. Kalau itu bisa diambil dan disimpan kembali ke tubuh kita, maka dia akan mengalami peremajaan. Itu gagasannya. Mengapa saya bilang kontroversial? Yang menjadi perdebatan, stem cell ini datang dari mana nanti? Kalau datang dari saya sendiri, katakanlah dari ari-ari saya yang masih dalam freezer, maka dia masih bisa dipakai. Tidak ada isu etika di sini. Tapi kalau stem cell itu diambil dari seorang bayi, lalu dimasukkan ke tubuh saya, itu kan punya orang lain. Bagaimana kemudian kode etiknya? Oleh karena itu, di beberapa negara berkembang terjadi pro dan kontra terhadap stem cell.

BjS: Tapi kalau stem cell, sebagian besar sudah dibolehkan. Hanya embrionic stem cell yang berasal dari embrio.

~0~

Kembali ke masalah kebijakan publik tadi, saya punya kumpulan macam-macam dokumen kebijakan riset seperti di Malaysia dan Thailand, mencakup kebijakan insentif pajak, begitu Pak. Berbicara tentang kerja sama universitas dan industri, saya melihat mindset-nya, budayanya, itu keduanya berbeda. Universitas biasanya diurus oleh pemerintah. Kalau industri kan selalu berusaha hidup dari keuntungan. Kesannya hanya

Page 116: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

mencari keuntungan saja. Kalau dari industri, riset universitas terkesan terlalu teoretis. Jadi masih ada persepsi-persepsi yang keliru. Ini di seluruh dunia begitu, Pak.

Di Australia, mereka membangun Cooperative Research Center, atau CRC. Idenya dari akademisi, manajemennya dari industri. Sampai sekarang di Indonesia belum ada yang seperti itu. Kalau kita bisa membuat model begitu, saya kira akan bermanfaat sekali. Ada beberapa projek kerja sama dengan BATAN. Itu bisa diangkat menjadi CRC.

KK: Justru itu yang menjadi cita-cita saya. Tadi Bapak menengok bahwa ada kesenjangan antara kehidupan akademik dan kehidupan industrial. Menurut saya, jangan dileburkan keduanya. Biar mereka tetap hidup di ranahnya masing-masing. Yang diperlukan adalah badan intermediasi. Kita harus mengembangkan badan yang sejenis CRC. Tugasnya adalah mengarahkan riset akademik pada permintaan pasar. Sebaliknya, isu-isu komersial ditengok dari sudut pandang akademik. Nah, badan seperti ini harus berupa Non-Governmental Organization, bukan milik pemerintah. Di seluruh dunia juga begitu.

Coba kita lihat tumbuhnya Silicon Valley. Pemerintah setempat bekerja sama dengan universitas. Pemerintah memberi lahannya, kemudian universitas mencari entrepreneur dengan infrastruktur murah, dan kapital murah.

Page 117: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Datangnya dari pemerintah lokal, industri lokal, lewat program filantropis. Dalam setiap kawasan ekonomi khusus seperti itu seharusnya ada semacam CRC. Tidak akan ada industri yang bisa berkembang kalau murni industri saja, tanpa ada unsur akademik. Tapi juga jangan murni akademik. Jadi harus ada antarmuka atau interface di situ antara lembaga akademik dan industri yang berorientasi profit. Kemudian perlu ada pusat riset yang mulai memikirkan kewirausahaan social, yaitu kewirausahaan yang mengemban misi sosial.

~0~

SY: Bagaimana pandangan Bapak mengenai peluang bagi pengobatan tradisional? Ada yang melihat ini berpotensi karena berbasis sumber lokal, tapi ditolak karena tidak sesuai dengan pengobatan Barat.

BjS: Saya melihat, antara pengobatan tradisional dan pengobatan Barat memang titik tolaknya berbeda. Konsep Barat selalu melihatnya basis saintifik, jadi harus melalui pengujian klinis fase ke-1, 2, 3, lalu masalah pemasarannya. Pengobatan tradisional itu kelemahannya adalah tidak ada buktinya. Semua berdasarkan studi kasus. Dulu pernah ada obat yang telah digunakan sejak tahun 1940-an, obat asma yang manjur sekali. Tapi waktu dilakukan uji klinis, tidak ada efeknya.

KK: Dalam ilmu-ilmu yang Pak Boen anut, juga saya dan kawan-kawan anut, kita terikat pada

Page 118: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

rumus: input-proses-output. Pada waktu kita bicara soal input-proses-output, kita banyak sekali melakukan penyederhanaan. Ini dilakukan untuk mengendalikan eksperimen, sehingga kalau kita beri input tertentu, dengan proses tertentu, maka output bisa diprediksi.

Kalau perilaku input-ouputnya tidak seperti yang diprediksi, hasil eksperimen tidak bisa diterima. Upaya pengendalian eksperimen seperti ini bisa berlaku, karena kita sudah potong di sana-sini, sehingga menjadi sederhana. Sedangkan, mungkin, pengobatan tradisional itu basisnya holistik, sehingga tidak memungkinkan penyederhanaan menjadi input-proses-output. Apakah bukan di situ perbedaannya?

BjS: Kalau saya melihat sisi praktisnya saja. Kalau obat tradisional ini, jangan ditanyakan efektifnya. Yang penting masyarakat itu percaya atau tidak.

KK: Albert Einstein pernah bilang, kira-kira bunyinya, bahwa penyederhanaan itu memberikan kepastian, tapi bukan kenyataan. Sedangkan kenyataan itu tidak bisa disederhanakan, dan menimbulkan ketidakpastian kalau dilihat dalam kacamata ilmiah. Artinya, dalam ketidakpastian itu sendiri terkandung banyak informasi tentang kenyataan yang kita hadapi.

BjS: Saya percaya begitu.

KK: Kalau fitofarmaka, itu sudah merupakan penyederhanaan dari pengobatan tradisional. Jadi,

Page 119: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

dia yang menjadi titik temu antara dua ini, antara pengobatan Barat dan tradisional.

SY: Di ITB ada riset di bidang fitofarmaka. Hanya penetrasi ke masyarakat yang dilihat sangat sulit, karena legitimasinya tidak bisa berkembang. Apakah dia legal atau tidak, masalah standarisasi, masih belum terjawab. Tapi ini potensial, karena bisa memanfaatkan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia.

KK: Di beberapa negara seperti Jerman dan Kanada, mereka punya dua jenis dokter, yaitu dokter medis dan dokter natural. MIT sudah mempunyai program master dalam bidang akupunktur.

BjS: Kalau saya perkirakan, obat-obatan Barat itu total pasarnya pada tahun 2006 sekitar 2 sampai 3 triliun rupiah di Indonesia. Kalau obat tradisional sekitar 10-15 persen dari total pasar obat-obatan. Tapi itu lumayan mempengaruhi.

~0~

KK: Kita perlu lebih mengenali kekayaan alam Indonesia, sebagai potensi untuk obat. Baik preventif maupun kuratif. Selama ini kita tidak punya alat untuk mendeteksi signature dari komponen alam kita ini. Logikanya, kita punya mikroskop berukuran nano. Itu sebabnya kami paksa cari uang, untuk pengadaan magnetic resonator untuk LIPI.

BjS: Kemampuan-kemampuan analitik yang ada

Page 120: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

di Indonesia, kita belum banyak tahu. Jadi, industri perlu tahu kemampuan yang ada di Indonesia ini, supaya bisa saling memanfaatkan.

KK: Kami punya Business Technology Center (BTC).

BjS: Diswastakan?

KK: Saya sedang mencari mitra untuk spin-off ke industri. Masih diperlukan aturan-aturan pendukung. Misalnya untuk mengatur mobilitas para pelakunya dan masalah resource sharing.

BjS: Saya mau usulkan kalau Pemerintah, dalam hal ini kementerian ristek, menyediakan dana 100 miliar rupiah misalnya, lalu industri boleh mengajukan usulan projek riset yang bisa dikomersialkan.

KK: Sudah dicoba, Pak, yang namanya Riset Unggulan Kemitraan (RUK). Kami juga punya Riset Unggulan Nasional, dengan 100% dana dari Pemerintah. Kalau RUK itu, Pemerintah sekian persen, swasta sekian persen. Banyak yang kurang berhasil, meski ada juga yang berhasil dengan baik. Salah satu yang berhasil adalah tentang kereta uji. Di Indonesia itu semua lintasan kereta api kan harus diuji. Satu-satunya kereta uji yang kita punya itu kita impor 100 tahun yang lalu dari Belanda. Lalu saya sampaikan ke PT. INKA, sebagai BUMN penghasil kereta api, agar mereka membuat satu buah kereta uji. Itu kami beri nama Fujika, Fasilitas Uji Dinamika Kereta Api. Ternyata kita bisa!

Page 121: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Isu besar yang kami hadapi, kereta uji ini bisa dioperasikan untuk keperluan PT. KAI (Kereta Api Indonesia), dengan catatan ini menjadi milik mereka. Ini masuk akal. Kepemilikannya harus dipindahkan dulu. Ini yang sedang saya pikirkan. Bagaimana uang Pemerintah lewat kementerian ristek, dan uang Pemerintah lewat PT. INKA, bisa menghasilkan sebuah aset nasional yang namanya FUJIKA? Bagaimana kepemilikan aset ini dialihkan ke PT. KAI? Banyak aturan yang yang harus dipelajari terkait dengan masalah ini.

BjS: Kami sendiri masih butuh riset dan pengembangan. Misalnya tentang insulin, yang sudah lama ada. Sekarang ada produk baru, yang pemakaiannya dengan disemprotkan. Ini untuk orang yang takut disuntik. Produk itu laku, dan sudah dipatenkan. Ini salah satu contoh riset tentang drug delivery.

Riset itu di mana-mana diakui sebagai sumber inovasi. Inovasi itu penting. Pemerintah Korea Selatan mendorong masyarakatnya agar menjadi lebih inovatif. Dengan inovasi akan tercipta lapangan pekerjaan, dan nilai tambah ekonomi meningkat.

Tapi kita hanya bisa mengekspor sumber daya alam kita, seperti gelondongan kayu. Sumber daya alam kita itu tidak benar-benar ditingkatkan nilai ekonomiknya. Mengapa? Karena dana riset untuk pengembangannya kurang sekali! Ini yang masih terjadi sampai sekarang, sepertinya Pemerintah

Page 122: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

kurang mendorong perubahannya. Saya pernah usulkan ke Universitas Indonesia untuk mendirikan pusat inovasi. Tapi katanya tidak boleh universitas itu mendirikan pusat inovasi.

Page 123: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Petikan Hikmah:

Interaksi Melintas-Batas

Creativity requires the courage to let go of certainties. — E ric Fromm; Ahli Psikologi

ialog di bagian satu ini melukiskan sebuah cuplikan, atau fragmen, dari realitas hubungan A-B-G.

Gambaran ini memang tidak mewakili keseluruhan interaksi A-B-G. Meski demikian apa-apa yang terungkap adalah faktual, dan tentunya bermakna dalam konteksnya tersendiri. Beberapa hal dapat ditarik dari dialog tersebut, berkenaan dengan iptek dan kapabilitas inovasi. 

D

‘Potret’ Kapabilitas Inovasi Kita

Penuturan   para   partisipan   dialog   tersebut   memberikan ‘sinyal­sinyal’   yang   mencerminkan   kapabilitas   inovasi   kita. Diskusi  di   sini   tidak  dimaksudkan  untuk  membuat  penilaian­penilaian mengenai kinerja kelembagaan, ataupun kinerja dalam pengembangan iptek. Yang ingin digarisbawahi adalah apa­apa yang menjadi sumber permasalahan. 

Kita   mulai   dengan   kemampuan   dalam   kerekayasaan.   Ini sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan layanan publik yang melibatkan mesin­mesin, seperti layanan listrik oleh PLN, juga tentunya layanan bahan bakar oleh Pertamina dan layanan air minum oleh  PDAM, dan  lain­lain.  Kemampuan kerekayasaan dibutuhkan   dalam   pengoperasian,   pemeliharaan,   keselamatan 

Page 124: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

kerja,   termasuk   juga   perencanaan   pengembangan   untuk meningkatkan kualitas layanan. Dalam kasus yang dialami PLN, sebagaimana   diungkapkan   oleh   seorang   partisipan   dialog, terdapat hambatan­hambatan dalam pengembangan kemampuan kerekayasaan   di   bidang   kelistrikan.   Salah   satu   faktor   yang penting   adalah   proses   pembelajaran   di   lingkungan   industri (dalam hal ini  PLN sebagai BUMN). Proses pembelajaran ini yang masih memerlukan pengembangan. Meski konsultan asing telah lama terlibat dalam membuat rancangan­rancangan, yang belum intensif terjadi adalah pengembangan dari dalam, yakni pengembangan   kemampuan   kerekayasaan   dari   perusahaan nasional kita.

Di   bidang   pertahanan,   kemampuan   kerekayasaan   dipacu untuk tumbuh justru di waktu terjadi embargo, ketika bantuan dari   luar   negeri   dihentikan/dikurangi.   Sebaliknya,   ketika bantuan­bantuan  asing  dalam persenjataan  mengalir   lancar  ke dalam   negeri,   kita   justru   ‘terkunci­mati’   untuk   bisa mengembangkan produk persenjataan. Salah satu penyebabnya adalah   perjanjian­perjanjian   yang   menyertai   bantuan­bantuan asing   tersebut,   yang   membatasi   ruang­gerak   kita   untuk melakukan pengembangan iptek pertahanan. 

Tentu saja, bidang pertahanan nasional tidak bisa dilepaskan begitu   saja   dari   pengaruh   kepentingan   asing.   Pengembangan iptek   pertahanan   di   sebuah   negara   dapat   menimbulkan ‘kekhawatiran’ pada negara­negara lain. Tapi, kalau kita tengok pengalama   AS,   Cina,   India,   Jepang,   dan   lain­lain, pengembangan   iptek   pertahanan   merupakan   faktor   kuat penghela perkembangan iptek. Mungkin yang perlu kita lakukan adalah  menunjukkan  bahwa kalau  kita  mengembangkan   iptek pertahanan,   itu untuk tujuan pemeliharaan perdamaian.  Bukan 

Page 125: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

untuk melakukan invasi. 

Di   bidang   TIK,   ketika   program   nasional   Satelit   Palapa digulirkan,   sebenarnya   hal   ini   telah   memicu   perkembangan kemampuan   kita   dalam   manufaktur   elektronika.   Sejumlah perusahaan nasional berdiri, dan para akademisi berperan serta secara aktif dan produktif. Hanya saja, program itu tampaknya memang   tidak  ditujukan  untuk  membangun  kekuatan   industri elektronika   nasional.   Kepentingan   politik   dari   pemerintah   di masa itu lebih dominan menentukan arah pengembangan TIK. Para  pelaku   swasta  nasional   tidak  distimulasi  untuk  berperan aktif.  Di periode akhir 1970­an dn awal 1980­an, kemampuan akademisi kita di bidang elektronika sudah cukup maju. Dan di masa   itu  masih   terbuka  peluang  untuk  membangun  kekuatan pasar domestik, karena permintaan dalam negeri (akan telepon, televisi   dan  komponen­komponen  pendukung   telekomunikasi) cukup tinggi.    Saat  ini,  ketika pelaku TIK dari  manca negara sudah mendominasi pasar domestik, menjadi terbatas ruang bagi pelaku nasional untuk bermain di sektor manufaktur pendukung TIK.   Peluang   yang   tersisa   tinggal   di   sektor   layanan   jasa operator.

Dalam   industri   pangan,   peluang   untuk   melakukan diferensiasi produk terbuka cukup lebar. Kita memiliki variasi produk   pertanian   yang   dapat   digunakan   sebagai   bahan   baku industri pangan. Peluang pasar juga ada, baik domestik maupun internasional. Hanya saja, diperlukan regulasi dan insentif untuk memacu   para   pelaku   industri   untuk   kompetitif.   Untuk   bisa bertahan   kompetitif,   secara   umum   memang   ada   dua   langkah yang dapat ditempuh: efisiensi dan diferensiasi produk. Efisiensi dapat   dilakukan   dengan   cara   mencari   ‘celah­celah’   untuk menurunkan biaya produksi. Tapi dalam pendekatan diferensiasi 

Page 126: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

produk,   yang   menjadi   fokus   adalah   pengembangan   produk, apakah   dengan   diferensiasi   bahan   baku,   penggunaan   proses yang baru, atau melakukan kombinasi iptek untuk menghasilkan produk   dengan   mutu   yang   unik.   Kalau   berhasil,   diferensiasi produk akan menghela perkembangan iptek, dan menghasilkan perluasan pasar. 

Sedangkan   mengenai   pendekatan   efisiensi,   kalau   tidak dilakukan dengan sebuah misi   jangka panjang,   ini   justru bisa menyebabkan rendahnya kreativitas dan turunnya mutu produk. Kalau kita tengok Cina, misalnya, efisiensi yang tinggi dicapai perusahaan­perusahaan   swasta   Cina   setelah   pemerintah melakukan   langkah­langkah   besar   dalam   membangun kapabilitas   inovasi   nasional.   Dengan   perkataan   lain,   efisiensi belum tentu mendorong proses inovasi, tapi kapabilitas inovasi dapat menghasilkan efisiensi.

Di bidang kesehatan, peluang untuk riset dan pengembangan iptek terbuka lebar. Salah satu faktornya adalah pasar domestik yang besar. Masyarakat selalu membutuhkan produk kesehatan yang   lebih   baik   dan   terjangkau.   Pengobatan   tradisional bersumberkan   bahan   baku   dan   pengetahuan   yang   berakar lokal/tradisional.   Dalam   pengobatan   tradisional,   kerja   sama dengan akademisi telah dirintis,  melalui inisiasi  pelaku bisnis. Salah   satu   pendorongnya   adalah   kebutuhan   untuk   bersaing dengan   pengobatan   Barat.   Pengobatan   Barat   tentu   memiliki sumbangan   yang   signifikan   juga   dalam   memberikan   layanan kesehatan   bagi   masyarakat.   Hanya   saja,   besarnya   komponen impor dari produk­produk obat Barat akan membatasi peluang kita untuk membangun kapabilitas inovasi di bidang kesehatan. 

Seluruh partisipan dialog, dari sudut pandang yang berbeda, 

Page 127: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

menyatakan bahwa para pelaku A, B dan G  bergerak di jalurnya masing­masing. Dengan perkataan lain, terjadi divergensi dalam arah gerak para pelaku A, B, G. Para partisipan dialog tersebut juga menyatakan harapannya, bahwa keselarasan antara pelaku­pelaku   A,   B,   G   dapat   dijalin   dengan   lebih   baik.   Misalnya, keselarasan   antara   regulasi   dan   dinamika   bisnis   dipandang sangat  penting  bagi  para  pelaku  usaha,  baik  BUMN maupun swasta   nasional.   Juga   dikemukakan   kesenjangan­kesenjangan antara iptek yang dipelajari di kampus dan iptek yang digunakan di   industri;  antara perilaku para periset  dan perilaku pebisnis. Terpadunya perencanaan­perencanaan layanan publik di sektor­sektor   yang   berbeda,   juga   merupakan   hal   yang   dipandang penting. 

Dari  apa­apa  yang dikemukan  oleh  para  partisipan  dialog tersebut, kita dapat lihat pentingnya regulasi bagi kinerja bisnis. Bagi para pelaku usaha, swasta maupun BUMN, kepastian legal dan regulasi yang responsif terhadap dinamika bisnis diperlukan agar perencana bisnis dapat melakukan kalkulasi­kalkulasi dan mengambil  keputusan   investasi  dengan  risiko  kegagalan  yang kecil.  Cara­cara  yang ditempuh  perusahaan­perusahaan  dalam bersaing, pada gilirannya, akan menentukan apakah ada peluang bagi   komersialisasi   hasil   riset   atau   tidak.   Kalau   perusahaan­perusahan   menerapkan  pola  business­as­usual,   hanya  melihat biaya  produksi   sebagai   faktor  daya  saing,  peluang  bagi  kerja sama riset  antara  industri  dan perguruan tinggi menjadi  kecil. Jadi,   regulasi   mempengaruhi   dinamika   persaingan,   dan   ini berimplikasi pada peluang komersialisasi riset. 

Sebaliknya, apa­apa yang dikembangkan di kampus­kampus juga   mempengaruhi   perusahaan­perusahaan   dan   lembaga­lembaga pemerintahan, secara langsung ataupun tidak langsung. 

Page 128: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Misalnya, kurikulum yang dijalankan di kampus­kampus akan memberi bekal pengetahuan dan ketrampilan tertentu pada para sarjana,   yang   menjadi   kompetensi   awal   ketika   mereka   di kemudian   hari   bekerja   di   perusahaan   ataupun   lembaga pemerintahan.  Begitu juga,  arah dari  aktivitas riset  di kampus dan lembaga riset akan menentukan, apakah pengetahuan yang dihasilkan   akan   relevan   atau   tidak   dengan   tantangan   yang dihadapi perusahaan atau lembaga pemerintahan. 

Jadi,  perusahaan­perusahaan,  baik  BUMN maupun   swasta nasional,   berpotensi   menjadi   kekuatan   penghela   riset   iptek, kalau mereka saling bersaing melalui diferensiasi produk. Tapi untuk ini dibutuhkan regulasi  dan insentif  untuk mengarahkan persaingan dalam koridor seperti itu. Yang menjadi pembatas di sini  adalah para pelaku swasta  asing.  Mereka  jauh lebih  kuat dalam banyak hal. Selain dukungan pemerintah mereka masing­masing (kita tahu bahwa banyak negara mendorong perusahaan swasta mereka untuk berekspansi ke pasar internasional),   juga didukung oleh stok iptek di perguruan­perguruan tinggi mereka. Jadi,   perusahaan­perusahaan   swasta   asing   itu   tidak   terisolasi. Mereka   memiliki   hubungan­hubungan   A­B­G   nasional   yang lebih kuat. Kompetisi tidak pernah terjadi murni B lawan B.

Diskusi di  atas mengilustrasikan bahwa keselarasan dalam jalinan   hubungan   A­B­G   merupakan   faktor   penting   bagi peningkatan kapabilitas inovasi bangsa. Ini dikarenakan pelaku­pelaku A, B dan G itu sendiri sebenarnya saling mempengaruhi. Meski masing­masing pelaku A, B, G berada dalam ‘dunia’­nya masing­masing,   dan   bergerak   di   arahnya   sendiri­sendiri, kenyataannya mereka juga bisa saling membatasi/melemahkan satu   sama   lain,   atau   juga   bisa   saling   memperkuat   dan memperluas ruang untuk berinovasi. 

Page 129: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Meski terdapat perbedaan-perbedaan antara para pelaku A-B-G, perbedaan-perbedaan itu justru merupakan sumber pembelajaran yang penting. Perguruan tinggi dapat memanfaatkan pengalaman para pelaku industri untuk melihat peluang-peluang riset dan pengembangan, dan sebaliknya para pelaku industri dapat memanfaatkan proses akademik di kampus untuk pengembangan pengetahuan dan ketrampilan, dan untuk melihat hasil-hasil riset yang potensial untuk diferensiasi produk. Pemerintah memerlukan industri-industri sebagai 'mesin' untuk mencapai sasaran-sasaran ekonomik, dan para pelaku usaha memerlukan dukungan pemerintah dalam menyediakan iklim persaingan usaha yang fair dan sehat.

Tentang Heterogenitas Pelaku A, B, G

Tapi,   bahwa   masing­masing   pelaku   A,   B,   dan   G   berada dalam dunianya sendiri­sendiri dan bergerak di jalurnya masing­masing, ini bukan lantas berarti bahwa antara mereka terdapat pertentangan   kepentingan.   Kalau   kita   tengok   lebih   cermat, perbedaan  antara  para  pelaku  A,  B dan  G  ini   terkait  dengan perbedaan dalam kerangka kerja praktis, yakni perbedaan dalam orientasi, tujuan, tolok ukur kemajuan, kaidah, dan pengetahuan praktis. Kerangka kerja praktis dari akademisi tentu berbeda dari para birokrat, kerangka kerja praktis pelaku bisnis berbeda dari kerangka   kerja   praktis   akademisi,   dan   seterusnya.   Boleh dibilang bahwa, lantaran perbedaan­perbedaan ini, para pelaku A, B, dan G itu heterogen. Dan heterogenitas ini tentu saja dapat 

Page 130: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

menimbulkan konsekuensi­konsekuensi praktis. 

Apa­apa  yang  dilihat   sebagai  peluang  oleh  pelaku  bisnis, misalnya, belum tentu dilihat sebagai peluang yang sama oleh pembuat regulasi. Misalnya, ketika untuk tujuan efisiensi suatu perusahaan menggunakan bahan baku yang baru, ini bisa dilihat sebagai   penyimpangan   terhadap   aturan   oleh   regulator.   Bagi pengusaha,  kepastian  dan  konsistensi   legal   (seperti  dalam hal perburuhan   dan   perpajakan)   lebih   utama   diperbaiki,   bukan teknologi. 

Tentunya   seorang   periset   teknologi   akan   berpandangan berbeda   mengenai   hal   ini.   Teknologi   yang   dipelajari   di lingkungan akademik  juga bisa sangat  berbeda dari   teknologi yang   digunakan   di   perusahaan­perusahaan.   Ini   menimbulkan kesenjangan   teknologis   antara   perguruan   tinggi   dan   industri, seperti dalam teknologi perminyakan.

Bagi  para   akademisi,   pada   umumnya,   profit   dari   produk bukan   hasil   yang   langsung   dia   inginkan.   Sebab   kemajuan akademik   tidak   diukur   dari   profit,   meski   hasil   riset   yang dipatenkan   membawa   manfaat   komersial.   Sebaliknya,   bagi pelaku  usaha   tidak  penting  apakah   teknologi  yang digunakan dalam produksi itu teknologi garda depan (frontier) atau bukan, orisinal   atau   tidak.   Kecanggihan   teknologi   bukan   tolok   ukur dalam   persaingan   antara   perusahaan­perusahaan,   meski teknologi merupakan faktor produksi yang penting. 

Bagi   pemerintah  dan  perusahaan   swasta,  meski   keduanya sering bertemu membicarakan produktivitas ekonomi, keduanya mungkin berbeda dalam kepentingan­kepentingan.  Daya saing jelas   sangat  berarti  bagi  pelaku  usaha.  Tapi  bagi  pemerintah, mungkin saja peningkatan daya beli masyarakat dan pendapatan 

Page 131: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

negara yang dinilai lebih berarti. 

Pemerintah   merupakan   pemegang   amanah   untuk menyelenggarakan   layanan   publik,   menetapkan   kebijakan­kebijakan, dalam koridor konstitusi negara. Kebijakan­kebijakan yang ditetapkan ini akan menentukan bagaimana suatu masalah publik   dijawab:   apa   prinsip­prinsipnya,   keadaan   seperti   apa yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, bagaimana regulasi dijalankan,   serta   bagaimana   institusi   difungsikan.   Kualitas layanan publik, dan ketercapaian sasaran­sasaran pembangunan merupakan  hal­hal  yang mendapat  perhatian  dari  para  pelaku pemerintahan. 

Sementara  itu,   para   pelaku   bisnis/usaha   swasta—berskala besar,   menengah   ataupun   kecil—boleh   dibilang   mereka   itu ‘ujung   tombak’   ekonomi.   Melalui   serangkaian   aktivitas produksi,   distribusi,   dan   konsumsi   yang   mereka   gerakkan, terjadi   penyerapan   tenaga   kerja,   dihasilkan   barang/jasa   yang dibutuhkan   konsumen,   dan   diperoleh   pendapatan   negara. Perusahaan­perusahaan swasta tersebut tentunya saling berbeda strategi   untuk  memajukan  bisnisnya  dan  bertahan  kompetitif, dan   berbeda   dalam   jenis   dan   tingkat   risiko   yang   dihadapi. Dalam industri farmasi, ruang bagi kegiatan riset cukup longgar. Sedangkan dalam industri eksplorasi, pengembangan teknologi bukan   faktor   kompetitif.  Khususnya  perusahaan  milik   negara (yakni  BUMN),  berbeda  dari  perusahaan  swasta,  mengemban misi   negara   (misi   layanan   publik),   selain   juga   perlu   mampu bersaing. 

Kalau yang dihasilkan pelaku pemerintahan adalah layanan publik dan produk regulasi, yang dihasilkan perusahaan swasta adalah komoditas, maka yang dihasilkan oleh akademisi adalah 

Page 132: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

pengetahuan   dan   sarjana­sarjana.   Aktivitas   inti   dalam perguruan­perguruan  tinggi  dan   lembaga­lembaga  riset  adalah menghasilkan   pengetahuan   yang   baru,   memelihara,   dan menyebarluaskan pengetahuan.  Para sarjana lulusan perguruan tinggi   merupakan   ‘pembawa’   pengetahuan,   yang   kemudian menyebar luas ketika mereka bekerja di perusahaan­perusahaan, lembaga­lembaga   pemerintahan,   atau   organisasi­organisasi sosial lainnya.  Para sarjana tersebut juga merupakan produsen pengetahuan melalui  riset,  khususnya sarjana tingkat doktoral. Seperti   halnya   lembaga   pemerintahan,   perguruan   tinggi   juga mengemban   misi   negara,   yakni   menghasilkan   ‘kolam pengetahuan’  yang dapat  dimanfaatkan  oleh masyarakat,  serta menyelenggarakan pendidikan. 

Dikarenakan   heterogenitas   ini,   yaitu   perbedaan­perbedaan dalam kerangka kerja praktis, menjadi wajar bila masing­masing pelaku A, B dan G terlihat bergerak di arahnya sendiri­sendiri. Tapi, seperti diperlihatkan dalam Tabel 1, tidak terlihat aspek­aspek perbedaan yang secara intrinsic bertentangan. Lalu, kalau demikian, apakah perbenaan ini merupakan halangan bagi kita untuk membangun kapabilitas inovasi nasional? 

Tabel 1. Ilustrasi mengenai Aspek-Aspek Perbedaan antara Pelaku-Pelaku A, B, G.

Page 133: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Memulai dengan Interaksi Melintas-Batas

Jadi, perbedaan­perbedaan yang terdapat antara para pelaku A, B dan G merupakan sumber yang penting bagi pembelajaran. Pengetahuan   baru   yang   dihasilkan   melalui   pembelajaran tersebut   akan   memberikan   pilihan­pilihan   alternatif,   yang kemudian dapat diseleksi untuk mendapatkan hasil  yang lebih baik.   Tanpa   adanya   alternatif­alternatif,   perbaikan   menjadi mustahil. Dan tanpa pembelajaran dan pengetahuan yang baru, tidak  akan  tersedia  alternatif.  Tapi, untuk mendapatkan manfaat dari perbedaan, kita perlu lompat melampaui (beyond) perbedaan itu, dan menjalin keselarasan ‘di atas’ perbedaan-perbedaan tersebut.

Pelaku A Pelaku B Pelaku G

Kegiatan Inti

Menghasilkan pengetahuan

Menghasilkan komoditas

Menyelenggarakan layanan publik

Orientasi Orisinalitas, invensi, discovery

Profit dan kepuasan pelanggan 

Kesejahteraan publik,   keteraturan administratif

Metode Riset akademik 

Transaksi komersial 

Birokrasi

Bentuk Pengeta­huan

Eksploratif, eksplanatori

Praktis, operasional

Praktis, operasional

Page 134: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

Kalau kita tengok individu-individu yang berbeda pandangan, interaksi antara mereka dapat menghasilkan ‘modal sosial’ melalui komunikasi. Mereka dapat berbagi pengalaman dan bertukar cara pandang, sehingga dihasilkan cara pandang yang baru dan rasa saling percaya. Tapi dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan, masing-masing individu perlu mencoba mengenakan ‘kaca mata’ milik individu yang lain, dan melihat dunia dari ‘kaca mata’ yang lain tersebut. Ini merupakan praktik berempati. Dan bila semua partisipan komunikasi mencoba untuk saling berempati, akan didapatkan suatu gambaran tentang realitas yang kaya perspektif, lebih berwarna, dan lebih holistik. Gambaran yang holistik ini kemudian menjadi lingua franca, atau protokol, yang memandu interaksi dan kolaborasi antara partisipan komunikasi.

Kembali ke relasi-relasi A-B-G, langkah awal yang penting dalam membangun kapabilitas inovasi adalah melalui interaksi dan komunikasi secara ‘melintas–batas.’ Ini merupakan interaksi yang melampaui (beyond) hal-hal yang rutin, melampaui sekat-sekat formal kelembagaan, dan melampaui kotak-kotak disiplin ilmu dan bidang profesi. Dalam situasi yang formal, interaksi akan cenderung mekanistik, dan berpola tanya-jawab. Yang diperlukan adalah komunikasi yang disertai dengan upaya untuk saling berbagi (sharing), saling belajar (mutual learning), untuk mencapai kemajuan bersama. Dengan cara demikian,

Page 135: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

missing links menjadi linkage yang baru, dan akhirnya pengetahuan yang baru dihasilkan. Belajar melalui interaksi dan komunikasi merupakan aspek esensial dari inovasi.

A

G

B

: Pelaku Inovasi

Regulasi/De­regulasiSosialisasi

PerencanaanPenyaluran Dana

PenelitianKomersialisasi

Advokasi KebijakanPenelitian Industrial

TransaksiPersaingan

PerlindunganLingkungan

Tantangan dalam Persaingan BisnisProspek Ekonomik

Peluang Pengembangan Produk

Misi PemerintahKebijakan Inovasi

Kepentingan Publik

Agenda AkademikPotensi Komersialisasi

Potensi Kemitraandengan Industri

Misi PemerintahKebijakan Inovasi

Kepentingan Publikdan Pasar

Agenda Riset IndustrialPotensi Komersialisasi

Kebutuhan PengembanganProduk dan Efisiensi Produksi

Gambar 5. Ilustrasi mengenai Isu-Isu yang Relevan bagi Interaksi dan Komunikasi antara Pelaku-Pelaku A, B, G.

A state is not a mere society, having a common place,... Political society exists for the sake of noble

Page 136: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf

actions, and not of mere companionship.

— Aristoteles

Page 137: Naskah Final SI C & R - Bag I.pdf