negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca
TRANSCRIPT
1
NEGARA KESATUAN PERSPEKTIF PARA PENDIRI NEGARA DAN
PASCA PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 19451
Oleh: Dr. Nuruddin Hady, SH., MH.2
A. Latar Belakang
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, pada saat
penyusunan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau biasa di singkat BPUPKI,
maupun dalam perdebatan di sidang-sidang Dewan Konstituante,
persoalan susunan negara menjadi sebuah perdebatan yang
sangat menarik pada saat itu, meskipun tidak semenarik
perdebatan dalam pembahasan dasar Negara,3 tetapi perdebatan
tentang susunan negara patut untuk mendapatkan perhatian yang
sangat serius, karena dari aspek perjalanan sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia pernah mengalami perubahan
ke susunan negara federal, yaitu menjadi Republik Indonesia
Serikat (RIS) dengan Konstitusi RIS tahun 1949, disamping
susunan negara kesatuan dalam UUD 1945 dan UUDS 1950.
Pandangan para pendiri negara yang muncul dalam
perdebatan di BPUPKI setidaknya terdapat 5 (lima) pandangan
penting, yaitu: Pertama, Pandangan negara kebangsaan, yang
diantaranya dikemukakan oleh Muh. Yamin, Ir. Soekarno, dan
1
Disampaikan pada Kajian Rutin dengan tema: ”Negara Kesatuan Perspektif Para Pendiri Negara dan Pasca Perubahan UUD Negara RI tahun
1945”, yang diselenggarakan oleh UPT Pusat Pengkajian Pancasila UM, 10 Juni
2016. 2 Staf Pengajar pada Jurusan HKn FIS UM, mantan Anggota KPU Kota
Malang tahun 2003-2006. 3 Perdebatan tentang dasar-dasar Indonesai merdeka ini dapat dilihat
selengkapnya dalam Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995. Lihat juga dalam Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Prapantja, Jakarta, 1960. Lihat dan bandingkan juga dalam A. Buyung Nasution, “Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, studi sosio-legal atas Konstituante 1956-1959”, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta, 1995. Lihat juga dalam Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2011, h. 331-333.
2
Soekiman; kedua, pandangan negara Integralistik, yang
dikemukakan oleh Soepomo; ketiga, Pandangan negara
kesejahteraan, yang dikemukakan oleh M. Hatta; dan keempat,
Pandangan negara Islam, yang didukung oleh M. Natsir, Ki Bagus
Hadikuesoemo, K.H. Masjkoer dan Abdoel Kahar Moezakkir serta
didukung oleh H. Agus salim, dan KH. Abdoel Wachid Hasjim, dan
kelima, pandangan Negara demokrasi yang tercermin dalam
pandangan M. Hatta.4
Pandangan pertama, disampaikan oleh Muh. Yamin yang
berbicara pada urutan pertama pada tanggal 29 Mei 1945. Muh.
Yamin antara lain mengemukakan bahwa negara yang akan
dibentuk adalah suatu negara kebangsaan Indonesia atau suatu
Nationale Staat yang sewajarnya dengan peradaban kita dan
menurut susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan
ke-Tuhanan.5 Pada kesempatan itu Muh. Yamin menyampaikan
lima asas sebagai dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu; (i). Peri-
Kebangsaan, (ii). Peri-Kemanusiaan, (iii). Peri-Ketuhanan, (iv). Peri-
Kerakyatan, dan (v). Kesejahteraan rakyat.6
Pandangan negara kebangsaan berikutnya disampaikan oleh
Ir. Soekarno, pada pidato 1 juni 1945, yang sebetulnya menjawab
permintaan dari ketua BPUPKI Radjiman Widjodiningrat. Bung
Karno mengatakan bahwa yang diminta ketua sebenarnya adalah
philosofische gronslag Indonesia Merdeka. Philosofische gronslag
yang dalam bahasa jerman disebut Weltanschauung, adalah
fundamental, filsafat, pikiran, jiwa dan hasrat yang sedalam-
4 Dalam pandangan A. Buyung Nasution, dalam disertasinya
mengemukakan terdapat tiga konsep negara yang saling bertentangan dalam
sidang BPUPKI maupun dalam sidang-sidang di dewan konstituante, yaitu; Pertama, konsep Negara Integralistik, yang menganggap negara sebagai
perwujudan kesatuan pemerintah dan rakyat; Kedua, Negara Islam, yakni
negara sebagai perwujudan umat Islam, dan ketiga, Negara Konstitusional yang
didasarkan pada pengakuan HAM dan Kedaulatan Rakyat. Lihat lebih lanjut dalam A. Buyung Nasution, Ibid, h. 86-87.
5 Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia,
Jakarta, 1995, h. 11. 6 Ibid, h.10-25.
3
dalamnya bagi didirikannya gedung Indonesia Merdeka yang kekal
dan abadi.
Ir. Soekarno, dalam pidatonya pada 1 juni 1945 secara
panjang lebar mengilustrasikan pandangannya lebih lanjut
tentang pembentukan dasar-dasar suatu negara ini, dengan
membandingkan dasar-dasar negara bangsa lain. Pembentukan
suatu bangsa menurut Ir. Soekarno adalah pertama-tama karena
adanya „kesamaan riwayat‟ (nasib) dan kehendak untuk bersatu.7
Pandangan Ir. Soekarno yang disampaikan pada tanggal 1 juni
1945 dengan uraian yang dilatari oleh pengetahuan sejarah yang
luas, ia mengemukakan rumusan pemikirannya yang disebutnya
dengan Pancasila, sebagai dasar filsafat negara, dengan susunan
Pancasila 1 juni 1945 yang diusulkan itu ialah: (1) Kebangsaan
Indonesia; (2) Internasionalisme atau peri-kemanusiaan; (3)
Mufakat atau Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; dan (5)
Ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima dasar itulah yang
disarankan oleh Ir. Soekarno sebagai dasar-dasar Indonesia
Merdeka yang akan didirikan itu.8
7 Menurut Ir. Soekarno, Lenin, misalnya mendirikan negara Sovyet pada
tahun 1917, namun weltanschauung-nya telah dipersiapkan 22 tahun
sebelumnya yaitu pada tahun 1895, pada tahun 1905, weltanschauung tersebut
telah digladiresikkan lebih dahulu. Sedangkan Hitler mendirikan Negara Jermania pada tahun 1933, tetapi dasar negaranya, National Sosialistische weltanschauung, telah dipersiapkan 12 tahun sebelumnya pada tahun 1921.
Sama seperti Lenin, sebelum 1933, National Sosialistische weltanschauung Jerman itu pun telah dicobakan pada Munchener Putsch, tetapi gagal. Sun Yat
Sen mendirikan Negara Tiongkok Merdeka pada tahun 1912, tetapi weltanschauung-nya yang disebut Sun Min Sui (Mintsu, Minchuan, dan Minseng), telah dipersiapkan 27 tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1885.
Demikian juga dengan weltanschauung yang diusulkan oleh Bung Karno tanggal
1 juni 1945, menurut pengakuannya telah ia persiapkan 27 tahun sebelumnya pada tahun 1918. Lihat, ibid, h. 69-70.
8 Pada saat menyampikan pandangannya itu, Ir. Soekarno menyebutnya
sebagai Pancasila, Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah
kita mendirikan Negara Indonesia kekal dan abadi. Selain itu, Ir. Soekarno juga
menawarkan apabila usulannya diperas menjadi tiga yang disebutnya sebagai Tri Sila, yaitu socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ke-Tuhanan. Dan
apabila yang tiga diperas lagi menjadi satu – Eka Sila yaitu „gotong royong‟,
negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong yang
menurutnya lebih dinamis dari „kekeluargaan‟, karena menggambarkan satu
4
Kedua, pandangan negara „integralistik‟ yang dikemukakan
oleh Soepomo yang berbicara pada tanggal 31 Mei 1945 di sidang
BPUPKI, dengan memberikan uraiannya tentang dasar-negara
yang seharusnya dapat digunakan jika negara indonesia kelak
merdeka dikemudian hari. Soepomo mengemukakan pendapatnya
tentang struktur negara yang bergantung pada paham mengenai
negara (staatsidee). Dalam uraiannya Soepomo menjelaskan 3
(tiga) perspektif mengenai negara dan masyarakat dengan
menyebut pendapat ahli-ahli filsafat barat klasif. (1) Perspektif
individualistik yang diajukan oleh Hobbes, Locke, dan Rousseau.
Menurut Soepomo, dalam perspektif ini negara merupaan
masyarakat hukum yang berdasarkan kontrak; (2) Perspektif kelas
yang diajukan oleh Karl Marx dan Lenin, yang memandang negara
sebagai alat golongan yang menguasai sistem ekonomi untuk
menindas golongan lain; (3) Perspektif integralistik yang diajukan
oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel, yang menganggap bahwa
fungsi negara tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau
golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat
seluruhnya sebagai persatuan.9
Soepomo menyampaikan persetujuannya dengan pemikiran
Hatta, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya
urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Kemudian,
Soepomo menegaskan pendiriannya bahwa yang hendak didirikan
adalah negara nasional yang bersatu, yaitu negara yang tidak
akan mempersatukan dirinya dengan golongan yang terbesar,
tetapi yang akan mengatasi segala golongan dan akan
menghormati keistimewaan dari segala golongan, baik golongan
yang besar maupun golongan yang kecil. Dengan sendirinya
menurut Soepomo, dalam negeri nasional yang bersatu itu urusan
usaha, satu amal, satu pekerjaan-- „satu karyo, satu gawe‟. Lihat Risalah Sidang
BPUPKI, h. 80-83. 9 Risalah Sidang BPUPKI, h. 33.
5
agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinya
dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama akan
diserahkan kepada golongan-golongan agama yang
bersangkutan.10 Pandangan Soepomo, yang didasari oleh pikiran
Spinoza dan Hegel ini, merupakan cakupan dari azas-azas sebagai
berikut; (i). Persatuan, (ii). Kekeluargaan, (iii). Keseimbangan lahir
dan batin, (iv). Musyawarah dan, (v). Keadilan Rakyat11 Adapun
yang merupakan ciri khas dari pandangan negara „integralistik‟
Soepomo tersebut yaitu kesatuan antara pemerintah dan rakyat.12
Ketiga, pandangan negara kesejahteraan yang dikemukakan
oleh M. Hatta yang berpijak pada asas kekeluargaan yang pada
akhirnya melahirkan rumusan Pasal 33 UUD 1945.13 Rumusan
Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa: “....Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama (mutual endeavour) berdasar atas
asas kekeluargaan (brotherhood)....” merupakan suatu konsepsi
normatif yang dipersembahkan Hatta untuk membentuk sistem
ekonomi berdasarkan ukhuwah, baik dinniyah maupun
wathoniah, dan barangkali pula menggapai dimensi bashoriah.
Lebih jauh Hatta telah mengajukan konsepsinya tentang
“demokrasi ekonomi” yang harus mendampingi “demokrasi
politik”. Menurut Hatta kerakyatan dalam sistem ekonomi
mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat,
khususnya hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada
kedaulatan rakyat atau demokrasi. Lebih dari itu Hatta pun
menegaskan bahwa demokrasi Indonesia dasarnya adalah paham
kebersamaan yang berbeda dengan demokrasi Barat yang
dasarnya adalah liberalisme dan individualisme. Paham
kebersamaan ini adalah sikap bergotong-royong yang saling tolong
menolong dan ber-ukhuwah mengutamakan kerjasama
10 Ibid, h. 38. 11 Anhar Gonggong, ...,Op.Cit, h. 10-11. 12 A. Buyung Nasution, .....,Op. Cit, h. 105-106. 13 Lihat dan bandingkan dalam Yudi Latif, Op. Cit, h. 541-542.
6
(cooperation), bukan mengutamakan persaingan (free competition).
Inilah kultur dan tradisi Indonesia yang tentulah pula sangat
islami, yang diartikulasikan Hatta pada konstelasi normatif
tertinggi, yaitu konstitusi.14
Keempat, pandangan negara Islam, yang dikemukakan oleh
K.H. Sanoesi,15 Muzakkir, Ki Bagus Hadikuesoemo. Setidaknya,
pandangan negara Islam ini tercermin dari pidato Ki Bagus
Hadikuesoemo pada sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945.16
Adapun pokok-pokok argumentasinya, antara lain sebagai berikut:
(i) bahwa agama merupakan pangkal persatuan; (ii) Islam
membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan,
berdasarkan kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan
memeluk agama; (iii) Islam tidak bertentangan, bahkan sangat
sesuai dengan kebangsaan kita; (iv) Islam merupakan ajaran
lengkap yang menyuruh masyarakat didasarkan atas hukum Allah
dan agama Islam; (v) Akhlak perseorangan harus mendapatkan
perbaikan, dan ajaran-ajaran Islam tentang perbaikan
perseorangan dan masyarakat; (vi) Isalam mengajarkan persatuan
atas dasar persaudaraan yang kokoh, maka bangunkanlah Negara
di atas dasar ajaran Islam; dan (vii) Islam membangun
pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, berdasar
kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama.17
Inti dari pandangan tokoh-tokoh Islam ini adalah
menempatkan agama Negara adalah agama Islam dan bahwa
Negara Indonesia baru harus berdasarkan Islam sesuai dengan Al-
14 Sri Edi Swasono, Religiusitas Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta,
dalam Kata Sambutan Bung Hatta dan Ekonomi Islam, LP3M STIE Ahmad
Dahlan, Jakarta, 2008. 15 Naskah Pidato K.H. Sanoesi tidak ditemukan dalam Risalah Sidang
BPUPKI, lihat RM. AB. Kusuma, Op.Cit, h. 133. 16 Naskah Pidato Ki bagus Hadikusumo dalam Risalah sidang di BPUPKI
yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI tahun 1995 tidak ditemukan, tetapi
dalam bukunya RM. AB. Kusuma, naskah pidato tersebut tertulis secara lengkap. Lihat RM.AB. Kusuma, Ibid, h. 136-148.
17 Ibid, h. 136-143.
7
Qur‟an dan Sunnah. Meskipun tuntutan mereka sangat ditentang
oleh para pemimpin nasionalis (Soekarno, Hatta, dan Soepomo),18
namun pada akhirnya pandangan inilah yang kemudian
melahirkan konsep Piagam Jakarta. Karena sikap mereka yang
tidak kenal mundur, akhirnya mereka berhasil memperoleh
konsesi penting, kompromi politik dalam BPUPKI dari kaum
nasionalis, yaitu menerima pemuatan teks yang dikenal sebagai
Piagam Jakarta yang telah disepakati oleh panitia sembilan yang
diketuai oleh Soekarno pada tanggal 22 juni 1945 untuk
dicantumkan dalam Pembukaan. 19 Meskipun pada akhirnya,
setelah melewati saat-saat yang cukup kritis,20 maka pada tanggal
18 agustus 1945, wakil-wakil Ummat Islam akhirnya menyetujui
usul penghapusan anak kalimat tersebut dari Pembukaan UUD
1945 dan Pancasila. Tetapi sila pertama, yaitu sila Ketuhanan
mendapat tambahan atribut yang sangat kunci sehingga menjadi:
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
18 Soepomo sendiri, sebetulnya juga mengakui bahwa Islam sebagai
suatu sistem kehidupan manusia yang komprehensif, tetapi karena Indonesia
mempunyai keistimewaan-keistimewaan khas, maka gagasan tentang negara
islam harus ditolak. Indonesia katanya tidaklah sama dengan Irak, Iran, Mesir, atau Suriah yang jelas-jelas bercorak Islam (Corpus Islamicum). Selain alasan
ini, Supomo juga meragukan apakah syari‟ah yang ada sekarang dapat
memenuhi kebutuhan manusia modern. Sampai pada batas tertentu, Soepomo
mungkin benar dalam penilaiannya terhadap isi syari‟ah yang ada sekarang;
tetapi untuk memasangkan suatu sistem politik yang sepenuhnya sekuler atas
kehidupan ummat Islam, disamping tidak akan berjalan, dalam jangka panjang,
juga dapat membahayakan eksistensi Islam itu sendiri. Lihat lebih lanjut dalam Ahmad Syafi‟i Maarif, Op cit, h. 108.
19 Lihat lebih lanjut dalam M. Yamin, I, hlm 145-197, lihat juga dalam Ibid, h. 102. Lihat dan bandingkan juga dalam Ahmad Syafi‟i Maarif, Ibid,
h.108-109. 20 Pasca pidato dari kelompok islam, ditanggapi oleh Sam Ratulangi dan
Latoeharhary. Tanggapan mereka cukup singkat namun tegas, mereka mengatakan kalau Badan Penyelidik nantinya menetapkan bahwa dasar
indonesia merdeka adalah Islam, maka mereka akan mengundurkan diri dari
sidang dan selanjutnya tidak ikut bertanggungjawab lagi. Tanggapan itu sudah
barang tentu mengakibatkan suasana sidang menjadi tegang. Dalam suasana
yang demikian, Bung Karno dengan suara terbata-bata diiringi dengan cucuran
air mata menyatakan kesedihan hatinya, karena persoalan dasar agama akan mengakibatkan perpecahan dikalangan bangsa indonesia. Ketua sidang Dr.
Radjiman Widyodiningrat tanggap akan suasana sidang, dan segera menskors sidang sampai hari berikutnya. Lihat RM. AB. Kusuma, Op, cit, h. 355.
8
Kelima, pandangan negara demokrasi yang menghargai
nilai-nilai hak asasi manusia. Hal itu tercermin dalam pandangan
M. Hatta yang nampaknya menggambarkan kekhawatirannya
akan munculnya negara kekuasaan, apabila jaminan hak-hak
rakyat, seperti kebebasan berbicara dan berpendapat tidak
mendapatkan jaminan dalam konstitusi. Hal ini menurut Hatta
merupakan tanggung jawab untuk tetap menjaga agar supaya
negara Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan, sebab
menurutnya negara Indonesia didasarkan kepada kedaulatan
rakyat.
Pandangan-pandangan para pendiri negara sebagaimana
yang telah dipaparkan diatas pada intinya menggambarkan pola
pikir mereka dalam menyumbangkan pemikiran tentang
konstruksi bangunan negara Indonesia yang akan dibangun.
Pertarungan gagasan tersebut tidak lepas dari tantangan yang
dihadapi Indonesia pada masa itu, disamping dipengaruhi oleh
latar belakang mereka, baik dari aspek pendidikan maupun aspek
sosial, politik dan gerakan keagamaan.
B. ISU HUKUM
Beranjak dari latar belakang dan realitas diatas, maka isu
hukum yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Filosofi negara Kesatuan menurut para pendiri negara; dan
2. Negara Kesatuan pasca perubahan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
C. FILOSOFI NEGARA KESATUAN MENURUT PARA PENDIRI
NEGARA
1. Perdebatan Susunan Negara pada sidang di BPUPKI.
Persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung selama dua
kali masa persidangan. Masa persidangan pertama berlangsung
9
dari tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 1 juni 1945.
Sedangkan masa sidang kedua berlangsung dari tanggal 10 Juli
sampai dengan tanggal 17 Juli 1945.21
1.1. Perdebatan Masa Sidang Pertama (28 Mei–1 Juni 1945).
Dalam perdebatan yang muncul pada masa sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPK), pembahasan susunan negara termasuk menjadi pokok
bahasan utama selain pembahasan dasar ideologi negara. Tetapi
dalam masa persidangan pertama yang berlangsung dari tanggal
29 Mei sampai dengan tanggal 1 juni 1945, pidato Muh. Yamin
dan Soepomo yang paling banyak mengemukakan secara eksplisit
terkait dengan susunan bentuk negara. Sementara pidato Ir.
Soekarno pada tanggal 1 juni 1945 lebih banyak memberikan
pandangan tentang “Philosofische grondslag” atau “weltanschaung”
bagi Indonesia Merdeka, dan tidak menyebut secara eksplisit
bentuk negara yang ingin diwujudkan. Meskipun demikian, secara
substansi pokok-pokok pikiran yang dikemukakan oleh Ir.
Soekarno mengandung filosofi yang sangat mendasar bagi
bangunan Indonesia merdeka yang hendak diwujudkan.
Pada persidangan pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945,
dengan agenda utama membahas tentang Dasar Negara Indonesia,
adalah Muh. Yamin yang diberikan kesempatan pertama oleh
Ketua BPUPKI Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, untuk
memberikan pandangannya dihadapan Rapat Besar BPUPKI.
Dalam pidatonya, Muhammad Yamin secara tegas mengatakan
bahwa Indonesia ialah negara persatuan yang tidak terpecah-
pecah, dibentuk diatas dan didalamnya badan bangsa Indonesia
yang tidak terbagi-bagi. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan
atas faham unitarisme.22 Salah satu poin penting dalam pidato
21 Risalah Sidang BPUPKI, Sekretaris Negara Republik Indonesia,
Jakarta, 1995. 22 Ibid, h. 21.
10
yang disampaikan Muhammad Yamin mengenai bentuk negara
indonesia disampaikan sebagai berikut.
.....Kesejahteraan Rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia Merdeka ialah pada ringkasnya keadilan
masyarakat atau keadilan sosial. Negara akan dipangku oleh bangsa dan penduduk yang hampir mendekati 100 juta jiwa. Inilah negara Kesejahteraan baru, yang sudah besar dan
mulia pada hari pelantikan. Dalam peperangan dunia pertama bangsa indonesia dengan cita-citanya terjerumus
kedalam jurang penjajahan. Dalam peperangan dunia kedua, berkat bantuan Balatentara Dai Nippon, dan berkat kesungguhan perjuangan rakyat Indonosea kita ditakdirkan
Tuhan naik dari kedudukan jajahan menjadi rakyat Negara Merdeka. Jadi, bentuk negara Indonesia yang merdeka berdaulat itu ialah suatu Republik Indonesia yang tersusun
atas faham unitarisme.” 23
Dalam pandangan Muhammad Yamin pilihan bentuk negara
Indonesia yang tersusun atas faham unitarisme, terkait erat
dengan tujuan negara Indonesia Merdeka yang hendak
diwujudkan yaitu kesejahteraan masyarakat atau keadilan sosial.
Muhammad Yamin menolak segala ketata negaraan atau bagian-
bagiannya yang melanggar dasar permusyawaratan, perwakilan
dan pikiran. Muhammad Yamin juga menolak faham: federalisme
(persekutuan), feodalisme (susunan lama), monarchi (kepala
negara berturunan), liberalisme, autokrasi dan birokrasi, serta
demokrasi Barat.24 Maka, dia selalu menekankan perlunya syarat
mutlak bagi sebuah negara yang ingin didirikan, yaitu
berhubungan langsung dengan dasar permusyawaratan,
perwakilan, dan kebijaksanaan. Ketiga dasar itulah yang menurut
Muhammad Yamin menjadi syarat mutlak bagi berdirinya Negara
Indonesia.
Muhammad Yamin, juga menyinggung perlunya Indonesia
menjalankan pembagian pekerjaan negara atas jalan
23 Ibid, h. 28. Lihat juga dalam Muh. Yamin, Op. Cit, h. 106. 24 Ibid, h. 20-21.
11
desentralisasi atau dekonsentrasi yang tidak mengenal federalisme
atau perpecahan negara, Muhammad Yamin mengemukakan.25
Negara Rakyat Indonesia menjalankan pembagian pekerjaan negara atas jalan desentralisasi atau dekonsentrasi yang
tidak mengenal federalisme atau perpecahan negara.
Pandangan Muhammad Yamin, terkait dengan perlunya
daerah diberikan „otonomi‟ melalui desentralisasi atau
dekonsentrasi yang tidak mengenal federalisme atau perpecahan
negara. Muhammad Yamin telah berpikir jauh kedepan bagaimana
membangun pola hubungan antara pemerintah Pusat dengan
pemerintah daerah dalam kerangka negara kesatuan yaitu melalui
desentralisasi ataupun dekonsentrasi, tetapi tidak mengarah pada
federalisme atau perpecahan negara. Hal ini penting, mengingat
perdebatan yang selalu muncul dalam beberapa dasawarsa, terkait
dengan politik hukum Otonomi Daerah, khususnya bagaimana
pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah masih belum memiliki persepsi yang sama, sehingga
kebijakan rezim Soeharto yang sentralistik berimplikasi pada
munculnya gerakan separatisme di daerah yang mengancam
disintegrasi bangsa. Sementara di era reformasi politik hukum
otonomi daerah sudah mengarah pada federalisme.
Pada pidato tanggal 31 Mei 1945 dihadapan rapat Besar
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) di gedung chuuoo Sangi-in Jakarta, gagasan mengenai
susunan negara juga disampaikan oleh Supomo. Ada 3 (tiga) hal
menarik untuk dikemukakan terkait dengan pembahasan
susunan bentuk negara yang disampaikan oleh Soepomo, yaitu:
Pertama, apakah Indonesia akan berdiri sebagai persatuan negara
(Eenheidsstat) atau negara serikat (Bondstaat) atau sebagai
persekutuan negara (Statenbond), kedua; persoalan hubungan
25 Risalah Sidang BKUPKI, Op. Cit, h. 22.
12
antara negara dan agama, ketiga: apakah Republik atau Monarchi.
Menurut Soepomo, sebelum membicarakan soal persatuan negara,
atau negara serikat, Republik atau Monarchi, terlebih dahulu kita
membicarakan soal yang disebut negara itu, negara menurut
dasar pengertian apa, oleh karena segala pembentukan susunan
negara itu tergantung dari pada dasar pengertian (Staatsidee)
apa?.26 Dalam melihat susunan negara, Soepomo mengemukakan
sebagai berikut:
“Tentang persatuan negara atau negara serikat atau tentang Republik atau Morarchi, itu sebetulnya menurut pendapat saya, soal bentuk susunan negara ..........”27
Soepomo lebih menekankan pada tiap-tiap negara
mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri berhubung dengan
riwayat dan corak masyarakatnya. Oleh karena itu politik
pembangunan Negara Indonesia menurut Soepomo harus
disesuaikan dengan “sociale structuur” masyarakat Indonesia yang
nyata pada masa sekarang serta harus disesuaikan dengan
panggilan zaman. Dalam pandangan Soepomo, dasar persatuan
dan kekeluargaan sangat sesuai dengan corak masyarakat
Indonesia yang asli yang tidak lain ialah ciptaan kebudayaan
indonesia, ialah buat aliran pikiran atau semangat kebatinan
bangsa Indonesia. Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia
yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat
Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran
(Staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan
seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya
dalam lapangan apapun.28
Persoalan yang berkaitan dengan susunan bentuk negara,
apakah negara kesatuan (eenheidsstaat) atau negara serikat
(bondstaat) atau negara persekutuan (federatie), maka secara tegas
26 Ibid, h. 32. Lihat juga dalam Yudi Latif, Op. Cit, h. 331-333. 27 Ibid, h. 110. 28 Risalah Sidang BKUPKI, Op. Cit, h. 35-36.
13
Soepomo menolak negara federasi dengan alasan karena dengan
mengadakan federasi, bukanlah mendirikan suatu negara, tetapi
beberapa negara, sedangkan kita hendak mendirikan satu negara.
Lebih lanjut Soepomo menegaskan:
Sekarang saya membicarakan soal yang berhubungan dengan bentuk susunan negara. Apakah negara kesatuan
(eenheidsstaat) atau negara serikat (bondstaat) atau negara persekutuan (federatie) ?. Dengan sendirinya negara secara
federasi kita tolak, karena dengan mengadakan federasi itu, bukanlah mendirikan satu negara, tetapi beberapa negara.
Sedang kita hendak mendirikan satu negara. Jadi tinggal membicarakan “eenheidsstaat” atau “bondstaat”. Jika benar, bahwa “bondstaat” itu juga satu negara belaka, maka lebih
baik kita tidak memakai “eenheidsstaat” atau “bondstaat”, oleh karena perkataan-perkataan itu menimbulkan salah
paham.29
Soepomo juga sependapat dengan pandangan Moh. Hatta,
terkait dengan sentralisasi atau disentralisasi pemerintahan yang
tergantung dari pada masa, tempat dan soal yang bersangkutan.
Segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai
keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat dan kedudukan
sendiri-sendiri, sebagai bagian organik dari negara seluruhnya.
Sedangkan soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh
pemerintahan pusat dan soal apakah yang akan diserahkan
kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah
kecil, itu semuanya akan tergantung dari pada “doelmatigheid”
berhubungan dengan waktunya, tempatnya dan juga soalnya.
Soepomo mengemukakan:
Sebagaimana telah diuraikan oleh anggota yang terhormat tuan Muh. Hatta, maka dalam negara itu soal sentralisasi
atau disentralisasi pemerintahan tergantung dari pada masa, tempat dan soal yang bersangkutan. Maka, dalam
Negara Indonesia yang berdasar pengertian negara integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat
dan kedudukan sendiri-sendiri, sebagai bagian organik dari
29
Ibid, h. 41.
14
negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal apakah yang akan
diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil, itu semuanya akan tergantung dari pada “doelmatigheid” berhubungan dengan waktunya,
tempatnya dan juga soalnya. Misalnya soal ini, pada masa ini dan pada tempat ini, lebih baik diurus oleh pemerintah
daerah, sedangkan soal itu, pada masa itu dan tempat itu lebih baik diurus oleh pemerintah pusat, Jadi dalam negara totaliter atau integralistik, negara akan ingat kepada segala
keadaan, hukum negara akan memperhatikan segala keistimewaan dari golongan-golongan yang bermacam-macam adanya ditanah-air kita itu. Dengan sendirinya
dalam negara yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar, banyak soal-soal pemerintahan yang harus
diserahkan kepada pemerintah daerah. Sekian tentang bentuk susunan negara.30
Gagasan negara integralistik yang dikemukakan oleh
Soepomo didalamnya juga mengandung pemikiran bahwa
perlunya memperhatikan keistimewaan dari golongan-golongan
yang begitu beragam yang ada di tanah air Indonesia. Dengan
demikian, dalam negara yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu
besar, banyak persoalan pemerintahan yang harus diserahkan
kepada pemerintah daerah. Soepomo menyadari negara Indonesia
yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar tidak mungkin
bisa diurus oleh pemerintah pusat, maka keberadan pemerintah
daerah perlu diberikan kewenangan sesuai dengan tujuannya.
Terkait dengan pilihan apakah republik atau monarchi,
maka Supomo mengatakan hal itu tidak mengenai dasar susunan
pemerintahan. Soepomo menegaskan sebagai berikut:
Apakah kita akan mengangkat seorang sebagai Kepala
Negara dengan hak turun-temurun, atau hanya untuk waktu yang tertentu, itulah hanya mengenai bentuk
susunan pemimpin negara yang nanti akan kita selidiki dalam badan ini. Caranya mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah diturut cara pilihan menurut sistem
demokrasi Barat, oleh karena pilihan secara sistem
30
Ibid, h. 41. Lihat juga dalam Muhammad Yamin, Op. Cit, h. 117-118.
15
demokrasi Barat itu berdasar atas paham perseorangan. Untuk menjamin supaya pimpinan negara terutama Kepala
Negara terus-menerus bersatu jiwa dengan rakyat, dalam susunan pemerintahan Negara Indonesia, harus dibentuk sistem badan permusyawaratan. Kepala Negara akan terus
bergaul dengan Badan Permusyawaratan supaya senantiasa mengetahui dan merasakan rasa keadilan rakyat dan cita-cita rakyat.31
Pandangan Supomo diatas, secara implisit tidak
mempersoalkan pilihan antara republik atau kerajaan, tetapi
Soepomo lebih menekankan pada cara mengangkat pemimpin
negara tidak menurut sistem demokrasi Barat yang berdasar atas
paham perseorangan. Secara eksplisit Soepomo menolak sistem
parlementer, dan mengusulkan perlunya dibentuk sistem Badan
permusyawaratan.
1.2. Perdebatan Masa Sidang Kedua (10-17 Juli 1945)
Dalam sidang BPUPKI, pembicaraan terkait susunan negara
berlanjut pada masa sidang kedua tanggal 10 Juli 1945 sampai
dengan tanggal 17 Juli 1945. Sebelum ketua sidang Radjiman
Wedyodiningrat memberikan kesempatan kepada anggota BPUPKI
untuk memberikan pandangannya terkait dengan bentuk negara,
maka Ketua BPUPKI terlebih dahulu memberikan kesempatan
kepada ketua Panitia Kecil untuk membacakan hasil kerjanya. Ir.
Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil menyampaikan hasil
tugasnya, dimana dari 40 usul yang telah disampaikan anggota
BPUPKI mengenai 32 persoalan, dan apabila digolongkan lagi
persoalan-persoalan tersebut dapat dimasukkan dalam sembilan
persoalan, yaitu: (1) usul yang meminta Indonesia Merdeka
selekas-lekasnya; (2) usul mengenai dasar negara; (3) usul
mengenai soal unificatie atau federatie; (4) usul mengenai bentuk
negara dan Kepala Negara; (5) usul mengenai warga –negara; (6)
31
Ibid, h. 42.
16
usul mengenai daerah; (7) usul mengenai soal agama dan negara;
(8) usul mengenai pembelaan; dan (9) usul mengenai soal
keuangan.32
Dari berbagai usulan yang masuk itulah, maka Panitia Kecil
mengusulkan kepada ketua BPUPKI beberapa hal sebagai berikut:
(1) Badan Penyelidik ini menentukan bentuk negara dan
menyusun Hukum Dasar Negara; (2) Minta lekas dari Pemerintah
Agung di Tokyo pengesahan Hukum Dasar itu dan minta agar
dengan selekas-lekasnya diadakan Badan Persiapan
Kemerdekaan, yang kewajibannya ialah sekedar
menyelanggarakan Negara Indonesia Merdeka di atas Hukum
Dasar yang ditentukan oleh Badan Penyelidik, serta melantik
pemerintah nasional; dan (3) soal tentara kebangsaan dan soal
keuangan.33
Setelah Ir. Soekarno membacakan hasil kerja Panitia Kecil,
Ketua BPUPKI Radjiman kemudian mempersilahkan kepada para
anggota BPUPKI untuk memberikan usul soal hukum dasar
ataupun terkait dengan bentuk negara. Pada sidang tanggal 10
Juli 1945 tersebut, terdapat beberapa anggota BPUPKI yang
mengemukan pandangannya terkait dengan bentuk negara, tetapi
nampaknya para anggota BPUPKI belum memiliki pemahaman
yang sama terkait dengan apa sebetulnya bentuk negara yang
dimaksud. Hal ini setidaknya tercermin dari pandangan anggota
BPUPKI Wongsonegoro, KI Bagus Hadikusumo, Dahler dan
Singgih, pada sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 digedung
Pedjambon. Berbeda dengan pandangan Muhammad Yamin dan
Soepomo, persoalan yang berkaitan dengan susunan negara,
adalah apakah negara persatuan, negara serikat atau negara
persekutuan. Sementara pemahaman Wongsonegoro, KI Bagus
Hadikusumo, Dahler, dan Singgih, persoalan bentuk negara
32 Risalah Sidang BPUPKI, h. 89. 33 Ibid, h. 92.
17
berkaitan dengan republik atau monarki. Menurut Wongsonegoro,
bentuk yang kita kehendaki, jangan kita memakai begitu saja
perkataan republik atau monarki, meskipun Wongsonegoro
menegaskan setiap orang yang mengetahui bentuk negara modern,
bahwa susunan negara itu tergantung „in de laatste en hoogste
instantie‟ pada votum rakyat. Wongsonegoro tidak sependapat
dengan penggunakan istilah republik atau monarkhi atau
menggunakan perkataan asing lainnya, karena menurutnya belum
tentu hal itu sesuai dengan maksud dan tafsir yang diinginkan.
Oleh karena itu, menurutnya anggota BPUPKI harus membuat
istilah baru yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Wongsonegoro
juga menghendaki pilihan bentuk Republik atau kerajaan
diserahkan kepada keinginan rakyat. Pandangan senada juga
dikemukakan oleh KI Bagus Hadikusumo, yang mengatakan:
Tuan-tuan yang terhormat, dengan tegas, dengan pendek dan tegas, maka tentang bentuk Negara Indonesia yang akan
datang, dalam perkataan republik atau monarki, menurut pendapat saya, sudah tersumbunyi setan .... 34
KI Bagus Hadikusumo memahami bentuk negara adalah
apakah bentuk Republik atau Monarchi, meskipun tidak setuju
penggunaan perkataan republik atau monarchi, dia menginginkan
perdebatan hanya terkait dengan isinya saja bukan bentuknya,
meskipun secara substansi KI Bagus Hadikusumo lebih setuju
bentuk Republik dari pada bentuk Monarchi. Lebih lanjut KI
Bagus Hadikusumo, mengemukakan:
Semua orang mufakat juga, bahwa republik yang akan dibangunkan memakai majelis wakil rakyat..... bahwa
negara dikepalai oleh seorang pemimpin yang tidak turun-temurun dan dimufakati oleh rakyat, dengan pemerintahan
yang berdasarkan rakyat dan permusyawaratan.35
34
Ibid, h. 106. 35
Ibid.
18
Meskipun KI Bagus Hadikusumo tidak setuju penggunaan
perkataan republik atau monarchi, tetapi secara substansi KI
Bagus Hadikusumo lebih setuju bentuk Republik karena
menurutnya negara dikepalai oleh seseorang pemimpin yang tidak
turun-temurun dan dimufakati oleh rakyat dengan pemerintahan
yang berdasarkan rakyat dan permusyawaratan. Begitu juga
dengan pandangan Dahler, yang mengatakan: “...pendirian saya
tentang bentuk negara, dan saya minta bentuk negara itu
hendaknya kerajaan”.36 Pandangan senada juga dikemukakan oleh
Singgih, yang lebih menekankan pada apakah dipilih bentuk
monarki atau republik, atau bentuk lain dengan memakai nama
Kepala Negara, tetapi sepenuhnya diserahkan kepada suara
rakyat.
Pandangan anggota BPUPKI KI Bagus Hadikusumo, Dahler,
Wongsonegoro, maupun Singgih, terkait dengan bentuk negara
adalah bentuk negara republik atau Kerajaan, bukan unitary atau
federasi. Selain itu, substansi yang bisa ditangkap dari pendapat
yang ada adalah kepala negara tidak ditentukan berdasarkan
turun-temurun, tetapi dimufakati oleh rakyat dengan
pemerintahan yang berdasarkan rakyat dan permusyawaratan.
Begitu juga dengan pilihan bentuk negara sebaiknya diserahkan
kepada kehendak rakyat.
Pandangan berikutnya yang cukup luas disampaikan oleh
anggota BPUPKI Susanto, menurutnya pembicaraan tentang
bentuk negara terkait dengan 2 (dua) hal, yaitu pertama soal
unitary atau federasi; kedua soal republik atau kerajaan. 37
Sementara dalam pemahaman Susanto, terkait dengan
pembicaraan uni dan federasi, maka hai itu terkait dengan
susunan negara yang menurutnya terdapat 3 (tiga ) macam
susunan negara, dan dia lebih setuju dengan bentuk negara
36 Muhammad Yamin, loc. cit, h. 167. 37 Ibid, h.165.
19
unitary. Dalam pandangannya, Unitary yang berhak untuk
berhubungan dengan luar negeri, hanya dan melalui pemerintah
pusat. Sementara Federasi yang bercorak Bondstaat, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berhak
berhubungan dengan luar negeri. Dan pemerintah pusat berhak
mengadakan aturan langsung untuk semua penduduk. 38 Lebih
lanjut Anggota BPUPKI Susanto menguraikan arti dan perbedaan
antara unitary dan federasi.
Perbedaan antara Bondstaat dan Statenbond ialah dalam negara yang bersifat Bondstaat, baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah berhak berhubungan dengan luar negeri. Tetapi dalam Statenbond, pemerintah pusat tidak berhak langsung membuat aturan untuk penduduk,
melainkan hanya dengan perantaraan pemerintah daerah. 39
Pada sidang kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 di gedung
Tyuuoo Sangi-In, dengan agenda persiapan penyusunan
Rancangan Undang-undang Dasar dan Pembentukan Panitia
Perancang Undang-undang Dasar, ketua BPUPKI Radjiman
membentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang
diketuai oleh Ir. Soekarno. 40 Selain itu, juga dibentuk dua
bunkakai (kelompok kerja) yang membahas tentang keuangan dan
ekonomi, serta bunkakai yang membahas tentang pembelaan
tanah-air. Pada rapat Panita Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945
yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, dengan agenda utama
pembicaraan tentang Rancangan Undang-undang Dasar, pertama
yang diusulkan oleh Ir. Soekarno untuk dibahas adalah persoalan
unitarisme, federalisme atau bondstaat. Mengawali persidangan
itu, Ir. Soekarno mengemukakan sebagai berikut:
38 Ibid, h. 166. 39 Risalah Sidang BPUPKI, h. 107. Lihat Muhammad Yamin, Ibid, h.
166. 40 Anggota Panitia Perancang UUD sebanyak 19 orang, yakni: Ir.
Soekarno (Ketua), Maramis, Oto Iskandardinata, Poeroebojo, Haji Agus Salim, Subardjo, Supomo, Ny. Ulfah Santosa, Wachid Hasjim, Parada Harahap,
Latuharhary, Susanto, Sartono, Wongsonegoro, Wurjaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Husein Djajadiningrat, dan Sukiman. Lihat Ibid, h. 200-201.
20
....kita mulai membicarakan hal unitarisme, federalisme atau bondstaat. Itu kita selesaikan dahulu, kemudian kita
bentuk Panitia Kecil lagi yang kami serahkan pekerjaan untuk membuat rancangan hukum dasar. Tetapi soal ini saya anggap lebih dahulu diselesaikan: unitarisme atau
federalisme atau bondstaat.41
Pembicaraan Ir. Soekarno kemudian ditanggapi oleh anggota
Haji Agus Salim yang mengemukakan bahwa soal unitarisme atau
federalisme tidak timbul dikalangan kita, karena tidak ada yang
menginginkan Provincialisme atau Separatisme. Sebab itu
urusannya terletak antara pembagian kekuasaan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.42 Secara substantif, tanggapan Haji
Agus Salim menarik untuk dicermati karena apapun pilihannya,
apakah unitarisme atau federalisme, tetapi tidak ada satupun
anggota Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang
menginginkan separatisme, oleh karena itu pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
mendapatkan perhatian yang sangat serius.
Tanggapan berikutnya disampaikan oleh anggota Sartono,
menurutnya: “...untuk tertibnya perjalanan pekerjaan Panitia
perlu sekali, bukan saja urusan unitarisme atau federalisme tetapi
juga isinya pokok-pokok daripada Republik Indonesia itu. Sesudah
pokok itu ditetapkan, barulah Panitia Kecil bersandar atas
keputusan-keputusan itu mulai bekerja.”43 Usul awal Ir. Soekarno
didukung oleh anggota Iskandardinata, yang mengusulkan
perlunya kita memutuskan pilihan antara unitarisme atau
federalisme, hal ini menurutnya sangat penting sebagai keputusan
dari panitia perancang.44
Nampaknya tentang unitarisme atau federalisme tidak
dibahas panjang lebar dalam rapat Panitia perancang Undang-
41 Ibid, h. 208. 42 Ibid. Lihat juga dalam RM.A.B. Kusuma, Op. Cit, h. 25. 43 Ibid, h. 209. 44 Ibid.
21
undang Dasar, meskipun demikian atas saran dari anggota Panitia
Ny. Ulfah Santosa, maka Ir. Soekarno membacakan usulan-usulan
dari anggota BPUPKI yang masuk terkait dengan persoalan
unitarisme atau federalisme.
Setelah Ir. Soekarno membacakan usulan tertulis yang
masuk terkait dengan persoalan unitarisme atau federalisme dari
anggota BPUPKI, ternyata tidak banyak mendapatkan tanggapan
dari anggota Panitia Perancang. Kemudian Ir. Soekarno
menawarkan kepada para anggota untuk membicarakan lebih
lanjut tentang unitarisme, tetapi, aggota Singgih, menawarkan usul
perlunya dilakukan pemungutan suara, apakah unitarisme atau
federalisme. Anggota Singgih mengemukakan sebagai berikut:
“Dipungut suara saja: unitarisme atau federalisme”.45 Secara tegas
Anggota Latuharhary tetap menginginkan bentuk Bondstaat
(federalisme), meskipun demikian secara implisit Latuharhary
telah menerima unitarisme, tetapi mengusulkan perlu ada sebuah
rumusan dalam hukum dasar agar supaya persoalan pilihan
unitarisme ataupun pilihan bondstaat bisa diserahkan pilihannya
kepada rakyat setelah kondisi bangsa memungkinkan, karena
menurutnya hak rakyatlah untuk menentukan pilihan apakah
unitarisme atau bondstaat.
Atas usul itu, Ir. Soekarno menyambutnya secara positif,
dan kemudian menawarkan kepada angota Panitia Perancang
untuk dilakukan pemungutan suara. Selanjutnya, Ir. Soekarno
mengemukakan sebagai berikut.
Kalau sudah aman, semua akan dibicarakan lagi. Siapa mufakat dengan unitarisme, saya minta berdiri. (kecuali 2
anggota yang tinggal duduk, sekalian angota berdiri). Terima kasih. Tuan-Tuan, apa yang sekarang dibicarakan ?
46
45 Ibid, h. 215. 46 Ibid.
22
Pembahasan terkait dengan pilihan unitarisme atau
federalisme, ternyata dalam rapat Panitia Perancang Undang-
Undang Dasar tidak melalui pembahasan yang panjang, karena
atas usul aggota Singgih, maka langsung dilakukan pemungutan
suara dalam Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang
menghasilkan suara yang menyetujui Unitarisme sebanyak 17
orang, sedangkan yang setuju dengan Federalisme hanya 2
orang.47
2. Filosofi Susunan Negara Kesatuan Menurut Para Pendiri
Negara (The founding fathers).
Negara kesatuan menurut CF. Strong adalah negara yang
diorganisir di bawah satu pemerintah pusat. Artinya, kekuasaan
apa pun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang
dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus
diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu. 48 Dicey
memberikan pengertian unitarianisme sebagai pelaksanaan
kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat.49
Terdapat dua sifat penting negara kesatuan menurut CF.Strong,
yaitu: (i) supremasi parlemen pusat, dan (ii) tidak adanya badan
berdaulat tambahan.50 Menurut R. Kranenburg terdapat dua ciri
dalam negara kesatuan desentralistis, yaitu: (i) dalam negara
kesatuan kewenangan daerah ditetapkan oleh pembuat undang-
undang pusat, dan (ii) kekuasaan pembuat undang-undang pusat
47 Ibid, h 215. Yang menyetujui Uni (Negara Kesatuan) jauh lebih banyak
daripada yang menyetujui Federasi. Di Panitia Perancang yang memilih Federasi (Bondstaat) hanya Mr. Latuharhary dan Maria Ilfah Santoso. Selain itu, anggota
BPUPKI yang memilih Federasi adalah M. Hatta, Dr. Radjiman, Dr. Sukiman
dan Dr. Kusuma Atmadja. Pratalykrama memilih Statenbond (Konfederasi).
Menjelang Proklamasi, setelah didesak oleh para mahasiswa Fakultas
Kedokteran agar Bung Karno dan Bung Hatta tidak berbeda pendapat. Bung Hatta menyetujui Uni, Negara Kesatuan. Lihat Lebih lanjut dalam RM. A.B. Kusuma, Op. Cit, h. 25
48 CF. Strong, Op. Cit, h. 87. 49 Ibid, 50 Ibid, h. 115.
23
telah diberikan dalam rumus yang sangat umum dan kekuasaan
legislatif badan-badan yang lebih rendah tergantung kepada
pembuat undang-undang pusat dalam menggunakan kekuasaan
itu.51
Pembahasan ciri negara kesatuan republik Indonesia
menurut para pendiri negara (the founding fathers) dapat dilihat
pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan),
yang menyebutkan: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sitem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Meskipun
pengaturannya hanya dalam satu pasal, tetapi secara historis,
gagasan pendiri negara terkait desain pemerintahan daerah dapat
dilacak pada perdebatan yang muncul dalam sidang-sidang di
BPUPKI maupun dalam sidang di PPKI,52 sehingga diharapkan kita
dapat memahami apa maksud dari para pendiri negara.
Dalam hal ini dapat dilihat pada Pidato Muhammad Yamin
pada Rapat Besar BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, yang menyinggung
persoalan pemerintah daerah ini. Dalam pidatonya Muhammad
Yamin mengemukakan sebagai berikut:
Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintah Daerah untuk menjalankan Pemerintah Urusan Dalam, Pangreh Praja. Sekarang memulangkan kekuasan kepada Negara Indonesia dan Pemerintah Urusan Dalam bagi seluruh Indonesua disusun kembali. Negara Rakyat Indonesia menjalankan pembagian pekerjaan negara atas jalan desentralisasi atau dekonsentrasi yang tidak mengenal federalisme atau perpecahan negara.53
51 R. Kranenburg, Op. Cit, h. 177. 52 Ibid, h. 22. 53 Pada Rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 (Rapat Lanjutan), Soepomo
menjelaskan Pasal yang mengatur tentang Pemerintah Daerah, yang
menurutnya pemerintah daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan
perkataan lain harus ada Dewan Perwakilan Daerah. Selain selain Pemerintah pusat menghormati keberadaan daerah-daerah yang bersifat Istimewa, seperti:
kooti-kooti, kesultanan-kesultanan, tetapi keadaannya sebagai daerah bukan negara. Ibid, h. 22.
24
Pandangan Muhammad Yamin di atas belum nampak begitu
jelas apa yang dimaksud dengan struktur pemerintah daerah yang
terdiri bagian atas dan bagian bawah, karena pada waktu itu
belum disampaikan secara utuh. Meskipun demikian, secara
eksplisit Muhammad Yamin memberikan usulan perlunya
pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dengan cara desentralisasi atau dekonsentrasi.
Terkait dengan hal ini, Soepomo juga menyinggung dalam
pidatonya pada Rapat Besar BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Dalam
pidatonya Soepomo menegaskan sebagai berikut:
Sebagai telah diuraikan oleh anggota yang terhormat tuan
Moh. Hatta,54 maka dalam negara itu soal sentralisasi atau desentralisasi pemerintahan tergantung daripada masa,
tempat dan soal yang bersangkutan. Maka dalam Negara Indonesia yang berdasar pengertian Negara Integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai
keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat dan kedudukan sendiri-sendiri, sebagai bagian organik dari
negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar
maupun daerah kecil, itu semuanya akan tergantung dari pada “doelmatigheid” berhubungan dengan waktunya,
tempatnya dan juga soalnya.55
Pada kesempatan lain, ketika Muhammad Yamin
menyampaikan Rancangan Undang-Undang Dasar yang
disusunnya, maka dia secara tegas menolak pembentukan negara
serikat dalam republik, tetapi sebagai upaya untuk
mengakomodasi usulan negara federal, maka Muhammad Yamin
mengemukakan sebagai berikut:
54 Laporan “Asia Raja” tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan bahwa
Hohammad Hatta berpidato selama 1 jam menganjurkan gar urusan agama
dipisahkan dari urusan negara (separation of Church and state), pendapat Mohammad Hatta dikemukakan juga oleh Soepomo didalam pidatonya tanggal
31 Mei 1945, tetapi Naskah Pidato Mahammad Hatta belum ditemukan. Lihat dalam RM. AB. Kusuma, Op. Cit, h. 118.
55 Ibid, h. 41.
25
...hendaknya kekuasan pusat jangan bertumpuk-tumpuk di pusat dan juga supaya daerah jangan kosong, melainkan
dapat kekuasaan sepenuh-penuhnya dari Pemerintah Pusat. Jadi kemauan atau aliran yang hendak memajukan bodsstaat adalah supaya memenuhi nasehat-nasehat untuk
memecahkan kekuasaan pusat mengenai 2 perkara, yaitu deconcentratie kekuasaan pusat antara badan-badan pusat
dan juga decentralisatie kekuasaan antara pusat dengan daerah. Maka, kedua syarat ini dapat kita penuhi, tetapi kita janganlah menyangka, bahwa syarat deconcentratie
(pembagian kekuasaan pusat diantara badan-badan pusat) dan decentralisatie (pembagian kekuasaan pusat dengan
daerah), hanya dapat dilakukan di dalam suatu bondstaat Indonesia, melainkan dapat pula seperti telah juga terdapat
di Jerman dan dijalankan dalam negara persatuan atau eenheidsstaat. Jadi, syarat-syarat deconcentratie dan decentralitatie dapat dijalankan dalam Negara Kesatuan
yang berupa eenheidsstaat. Semua itu terdapat dalam negara yang kita anjurkan.56
Apabila kita cermati pandangan di atas, Muhammad Yamin
memberikan tawaran solusi bagi yang menginginkan gagasan
negara federal yaitu dengan jalan deconcentratie dan
decentralisatie kekuasaan antara pusat dengan pemerintah
daerah, sehingga tidak terjadi kekuasaan yang menumpuk di
pemerintah pusat, meskipun tidak menjelaskan secara detail
bagaimana bentuk dekonsentrainya dan dimana desentralisasinya
diletakkan, apakah pada tingkat kabupaten/kota atau ditingkat
provionsi. Terkait dengan pembagian sumberdaya alam di
Indonesia, maka Muhammad Yamin lebih lanjut mengemukakan
sebagai berikut:
...berhubungan dengan bagian kekayaan di tanah air
Indonesia ini, karena segala bagian kepulauan ini tidak sama kaya dan tidak sama isi penduduknya. Keadaan itu juga menimbulkan kekacauan dalam ekonomi, jikalau
dipilih bentuk serikat. Jadi segala nafsu dan anjuran yang diberikan oleh golongan bondstaat, baiklah kita tinggalkan
dan marilah kita susun hanya satu Negara Kesatuan dengan
56
Ibid, h. 185-186.
26
mementingkan kepentingan daerah dan membuang segala sifat concentratie dan bureaucratie. 57
Muhammad Yamin juga sangat meyakini bahwa Indonesia
akan kuat dengan negara kesatuan. 58 Lebih lanjut Mohammad
Yamin mengemukan sebagai berikut:
...Paham geopolitik juga memberi bahan yang nyata untuk mengadakan Negara Kesatuan atau eenheidsstaat. Saya yakin bahwa dunia internasional agak memandang kita kuat
dengan negara unitarisme dan memandang kita lemah kalau kita menutup negara federal dengan atap yang hanya berupa
unitarisme pura-pura. Maka, syarat-syarat Negara Kesatuan adalah berisi bahan-bahan yang kita idam-idamkan dengan sehebat-hebatnya.59
Secara prinsip pokok-pokok pikiran yang bisa ditangkap
adalah keberadaan pemerintahan daerah tetap memegang dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan
melestarikan serta menghormati hak-hak asal usul daerah-daerah
yang bersifat istimewa, yaitu pertama daerah kerajaan (Kooti), baik
di Jawa maupun diluar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa
Belanda dinamakan “zelfbesturende lanschappen”. Kedua daerah-
daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di
Jawa, nagari di Minagkabau, dusun dan marga di Palembang,
huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh. Dalam hal ini,
pemerintah Pusat hendaknya tetap menghormati keberadaan
daerah-daerah istimewa tersebut. Terkait dengan keberadaan
daerah kerajaan (Kooti), anggota BPUPKI Surjohamidjoyo, 60
meminta penegasan pengaturan keberadaan kerajaan-kerajaan
dan kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar. Namun usul
tersebut ditolak oleh Soepomo, karena hal itu dianggap sudah
57 Ibid, h. 187. 58 Negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur
hubungan kekuasaan (gezagsverhouding) antara pemerintah pusat dan daerah,
sedangkan persatuan adalah sikap batin atau kejiwaan atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara. Lihat Moh. Mahfud MD, Op. Cit, h. 212.
59 Ibid, h. 188. 60 Ibid, h. 329. Lihat juga dalam AB. Kusuma, Op. Cit, h. 408.
27
cukup jelas diatur karena yang dimaksud daerah-daerah yang
bersifat istimewa itu ialah daerah-daerah Kooti, jadi dalam hukum
dasar tidak bisa ditambah.61 Persidangan kedua BPUPKI berakhir
pada tanggal 16 Juli 1945 dengan agenda melanjutkan
pembahasana Rancangan Undang-undang Dasar, tetapi sampai
rapat berakhir tidak ada lagi anggota BPUPKI yang mengusulkan
terkait dengan susunan pemerintahan daerah.
Pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang dipimpin
oleh Ir. Soekarno dengan agenda pembicaraan tentang Susunan
Pemerintahan, Soepomo atas permintaan Ir Soekarno memberikan
penjelasan kembali yang salah satunya terkait dengan
Pemerintahan Daerah. Soepomo mengemukakan sebagai berikut:
adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, Kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai
daerah, bukan negara, jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah “Zelfbesturende landschappen”, itu bukan negara, sebab hanya ada satu negara. Jadi “Zelfbesturende landschappen”, hanyalah
daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah itu istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat
istimewa, mempunyai susunan asli. Begitupun adanya “Zelfstandige gemeenschappen” seperti desa, di Sumtera
negeri (di Minangkabau) marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “Inheenmsche Rechtsgemeenschappen”, susunannya asli dihormati.62
Penjelasan Soepomo di atas, semakin menegaskan bahwa
dalam negara kesatuan tetap menghormati keberadaan daerah-
daerah yang bersifat istimewa yang menjadi suatu bagian dari
negara Indonesia. Meskipun demikian, dalam rumusan tersebut
tidak diatur secara eksplisit tentang dekonsentrasi dan
desentralisasi, hal inilah yang mendapat tanggapan dari anggota
PPKI Amir yang mengemukakan sebagai berikut:
61 Ibid, h. 331. 62 Ibid, h. 424.
28
...walaupun tidak dimasukkan dalam gronwet – supaya pemerintahan kita disusun dengan sedemikian rupa,
sehingga diadakan deconcentratie sebesar-besarnya. Pulau-pulai di luar Jawa supaya diberi pemerintahan di sana, supaya rakyat di sana berhak mengurus rumahtangganya
sendiri dengan seluas-luasnya.63
Pendapat anggota PPKI Amir di atas, juga ditanggapi oleh
Ratulangi yang setuju agar supaya daerah diberi hak seluas-
luasnya untuk mengurus keperluannya menurut pikirannya
sendiri, kehendaknya sendiri dan kebutuhan daerah-daerah
tersebut harus mendapat perhatian sepenuhnya dengan
mengadakan suatu peraturan yang akan menyerahkan kepada
pemerintahan daerah kekuasaan penuh untuk mengurus
keperluan daerahnya sendiri. 64 Meskipun demikian, Soepomo
tetap bersikukuh bahwa hal itu lebih baik diatur dalam undang-
undang tidak diatur dalam Undang-undang Dasar. Jadi, apabila
kita tarik kesimpulan dari perdebatan di atas, maka sejatinya para
pendiri negara telah menyadari bahwa betapa luasnya negara
Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau yang tersebar di wilayah
nusantara, maka tidak mungkin semuanya urusan itu diserahkan
kepada pemerintah pusat, maka mereka telah memikirkan
perlunya diberikan kepada daerah untuk mengurus
rumahtangganya sendiri dengan cara dekonsentrasi dan
desentralisasi, serta negara kesatuan yang tetap menghormati
keberadaan daerah-daerah yang bersifat istimewa yang menjadi
suatu bagian dari negara Indonesia.
Dalam konteks ini relevan dikemukakan pendapat Hans
Kelsen yang mengatakan bahwa otonomi daerah adalah suatu
perpaduan langsung dari ide-ide desentralisasi dengan ide-ide
demokrasi. Satuan daerah otonom adalah kotapraja atau
kotamadya, itu adalah sebuah pemerintahan daerah yang otonom
63 Ibid, h. 426-427. 64 Ibid, h. 427.
29
dan desentralistis. Desentralisasi menunjuk hanya kepada
masalah-masalah tertentu menyangkut kepentingan khusus
daerah, dan ruang lingkup wewenang kotapraja atau kotamadya
dibatasi kepada tingkatan norma-norma khusus,65 bahkan Hans
Kelsen juga mengemukkan bahwa Otonomi Daerah biasanya
menggambarkan satu tipe desentralisasi yang relatif sempurna.66
Hans Kelsen juga mengemukakan, bahwa salah satu alasan utama
dari desentralisasi adalah semata-mata bahwa desentralisasi
memberi kemungkinan pengaturan masalah yang sama secara
berbeda untuk daerah-daerah yang berbeda. Pertimbangan yang
demikian menurut Hans Kelsen adalah berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan geografis, nasional, atau keagamaan.
Semakin besar teritorial negara, dan semakin bervariasi kondisi-
kondisi sosialnya, maka desentralisasi melalui pembagian teritorial
akan semakin diharuskan.67 Secara kuantitatif, sentralisasi atau
desentralisasi dari suatu tatanan hukum berbeda derajatnya,
karena ditentukan oleh perbandingan jumlah dan kepentingan
relatif dari norma-norma pusat dan daerah dari tatanan hukum
tersebut. 68 Merujuk pada pendapat Hans Kelsen di atas, para
pendiri negara sejatinya menghendaki otonomi daerah, melalui
dekonsentrasi dan desentralisi, dimana memberi kemungkinan
pengaturan masalah yang sama secara berbeda untuk daerah-
daerah yang berbeda dalam pengelolaan pemerintahan daerah,
yang derajatnya disesuaikan dengan keistimewaan masing-masing
daerah, khususnya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
geografis, nasional, atau keagamaan, mekipun hal itu
pengaturannya cukup dalam Undang-undang, tidak dalam
Undang-undang Dasar.
65 Hans Kelsen, Op. Cit, h. 445. 66 Ibid. 67 Ibid, h. 431-432. 68 Ibid, h. 433.
30
Dapat disimpulkan bahwa ciri negara kesatuan republik
Indonesia menurut para pendiri negara (the founding fathers)
adalah negara kesatuan yang kuat yang berautonomi dengan tetap
menghormati keberadaan daerah-daerah yang bersifat istimewa
yang menjadi suatu bagian dari negara Indonesia, dengan
menerapkan otonomi daerah, melalui dekonsentrasi dan
desentralisi.
D. NEGARA KESATUAN PASCA PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 1945.
Secara historis, filosofi pilihan negara kesatuan yang telah
disepakati para pendiri negara merupakan pertarungan gagasan
antara kelompok yang menginginkan negara kesatuan yang kuat
(strong unitary state) dan berhadapan dengan kelompok yang
menginginkan negara demokrasi yang menghargai prinsip-prinsip
hak-hak asasi manusia yang pada waktu dimotori oleh
Mohammad Hatta, disamping kelompok yang menginginkan
negara Islam. Kelompok pertama didukung oleh Ir. Soekarno,
Muh. Yamin, dan Mr. Soepomo. sedangkan kelompok yang
menginginkan negara Islam, diantaranya didukung oleh Ki Bagus
Hadikuesoemo, Kiai Sanusi, KH. Wachid Hasjim, KH. Masjkoer
dan K.H. Abdul Kahar Moezakkir.
Muh. Yamin secara tegas mengatakan “menolak federalisme
dan menyetujui unitarisme. 69 Sejalan dengan pandangan M.
Yamin, secara eksplisit Ir. Soekarno menolak demokrasi Barat,
dan lebih setuju dengan permusyawaratan yang menurutnya
memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu
mendatangkan kesejahteraan sosial. 70 Mohammad Hatta,
mengemukakan perlunya negara mengakui hak-hak asasi
manusia agar jangan sampai menjadi negara kekuasaan atau
69 Ibid, h. 114. 70 Ibid, h. 79.
31
negara penindas. Disamping itu, sebagai cara untuk merawat
persatuan itu, Ki Bagoes Hadikoesoemo yang menekankan
pentingnya „permusyawaratan” dalam mengambil keputusan
sebagai cara merawat persatuan.
Pertarungan gagasan tersebut tidak lepas dari tantangan
yang dihadapi Indonesia pada masa itu yang setidaknya
menghadapi 3 (tiga) tantangan utama, yaitu: Pertama, ancaman
konflik dan disintegrasi bangsa yang mewarnai perjalanan revolusi
kemerdekaan Indonesia yang terjadi di beberapa daerah. Hal itu
disebabkan baik oleh faktor internal, seperti munculnya gerakan-
gerakan kedaerahan, maupun pertentangan ideologi yang begitu
tajam, sedangkan faktor eksternal yakni politik pecah belah
(devide et impera) ala Van Mook, yang diterapkan oleh kolonial
Belanda.
Kedua, komitmen menjaga persatuan (unity) ditengah
keberagaman dan kemajemukan bangsa dengan keluasan
teritorial. Memang diperlukan pengerahan kemauan dan
kemampuan yang luar biasa untuk bisa menyatukan keluasan
teritorial dan kebhinekaan sosio-kultural Indonesia ke dalam
kesatuan entitas negara-bangsa. Sebuah negeri “untaian zamrud
khatulistiwa”, yang mengikat lebih dari lima ratus suku bangsa
dan bahasa, ragam agama dan budaya. Secara geopolitik, Negara
Republik Indonesia, seperti pernah dikatakan oleh Soekarno,
adalah “negara lautan” (archipelago) yang ditaburi oleh pulau-
pulau, atau dalam sebutan umum dikenal sebagai “negara
kepulauan”. 71
Ketiga, tantangan bagaimana mensejahterakan seluruh
rakyat Indonesia. Dalam ungkapan Ir. Soekarno: “ .... di seberang
jembatan emas inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat
Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.”72
71 Yudi Latif, Op. Cit, h. 250-251. 72 Risalah Sidang BPUPKI, Op. Cit, h. 68.
32
Seperti halnya ungkapan anggota BPUPKI Sukardjo Wirjopranoto
yang mengatakan: “... membangkitkan rakyat dari kemiskinan
sehingga menjadi makmur”. 73 Pada akhirnya, para pendiri negara
telah menyepakati pilihan negara kesatuan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang kemudian dijabarkan dalam UUD
1945, yaitu “Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik” yang
menempatkan kedaulatan adalah berada ditangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaran Rakyat.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru Soeharto pada tanggal
21 Mei 1998 melalui gerakan reformasi, menandai berakhirnya era
rezim otoritarian yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh
dua tahun, yang pada akhirnya membuka peluang suksesi
kepemimpinan nasional kepada B.J. Habibie. Sistem politik yang
otoriter sejak akhir 1950-an sampai akhir 1990-an dinilai banyak
kalangan disebabkan adanya sentralisasi kekuasaan yang
menguat pada pribadi, kelompok atau institusi tertentu. Masalah
utama bagi adanya sentralisasi kekuasaan pada saat itu adalah
begitu besarnya kekuasaan pada eksekutif, dalam hal ini lembaga
kepresidenan, sementara kekuasaan legislatif yang juga
didalamnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak mampu
menjalankan tugas dan fungsinya secara baik.
Perkembangan penting di era reformasi ini adalah tuntutan
perlunya merevitalisasi fungsi-fungsi lembaga-lembaga politik agar
supaya dapat bekerja secara lebih demokratis dan tercipta check
and balances antara lembaga eksekutif terhadap lembaga-lembaga
negara lainnya melalui amandemen terhadap UUD 1945.
Disamping itu reformasi juga telah mendorong tuntutan agar
perlunya menata ulang relasi kekuasaan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah yaitu melalui desentralisasi atau
Otonomi Daerah. Tuntutan perlunya otonomi daerah tidak terlepas
73 Ibid, h. 117.
33
dari sentralisasi Negara Kesatuan yang diterapkan oleh rezim Orde
Baru Soeharto, baik dari sisi administrasi pemerintahan, masalah
politik, dan juga masalah ekonomi terutama terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah. Hal inilah yang
berimplikasi pada munculnya ketidakpuasan daerah bahkan
berimplikasi pada munculnya gerakan separatisme yaitu tuntutan
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setidaknya terdapat 5 (lima) poin yang sangat krusial hasil
perubahan UUD 1945 yang mengatur tentang Pemerintahan
daerah ini, yaitu: (1) penegasan bahwa pemerintah daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan (Pasal 18 ayat 2); (2) Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4);
(3) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat 6); (4)
hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah; dan (5) hubungan keuangan, pelayanan umum, dan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan UU. Perubahan tersebut
diharapkan dalam kerangka menjamin dan memperkuat Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pasca perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada
tahun 1999 hingga 2002 meliputi hampir keseluruhan materi
muatan UUD 1945, kecuali Pembukaan dan prinsip-prinsip
bernegara tertentu yang disepakati tidak diubah. Oleh karena itu,
hasil perubahan tersebut bukan hanya telah mengubah secara
mendasar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi
34
juga telah terjadi pergeseran ciri negara kesatuan republik
Indonesia. Hal itu setidaknya terjadi pada dua hal, yaitu:
Pergeseran Kekuasaan Tertinggi dalam Negara Kesatuan Repulik
Indonesia, dan Pergeseran Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
yang mengarah pada prinsip Negara Federal.
E. PENUTUP
Filosofi susunan negara menurut para pendiri negara (the
founding fathers) adalah negara kesatuan yang kuat (strong unitary
state) yang berautonomi dengan tetap menghargai daerah-daerah
yang bersifat Istimewa, serta menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi, hukum dan hak-hak asasi manusia dengan
menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara. Sistem
ketatanegaraan Indonesia juga telah dirancang sedemikian rupa
oleh para pendiri negara, agar compatible dengan tujuan negara
Indonesia merdeka yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia telah terjadi
pergeseran susunan negara kesatuan pasca perubahan UUD
Negara RI Tahun 1945. Pergeseran penyelenggaraan pemerintahan
daerah di Indonesia yang mengarah ke sistem federal, atau federal
arrangements atau meminjam istilah Arend Lijphart sebagai semi
federal. Hal itu dapat dilihat dengan jelas pada ketentuan Pasal
18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD Negara RI Tahun 1945, yang
berimplikasi pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (i) sistem
penyerahan sisa kewenangan (reserve of power) kepada daerah: (ii)
isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan
daerah lainnya menggambarkan kesamaan dengan konsep
diversity in unity dalam sistem negara federal; dan (iii)
pelaksanaan Otonomi khusus dan Istimewa yang mengarah pada
sistem negara federal.
35
DAFTAR BACAAN
Buku
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, edisi terjemahan Bahasa Indonesia, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2008.
Kranenburg, R, Mr, Ilmu Negara Umum, J.B. Wolters, Jakarta, 1957.
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2004.
Latif, Yudi, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan aktualisasi Pancasila, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2011.
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid
I, Penerbit Jajasan Prapantja, Jakarta, 1959.
------------------, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia,
Djambatan, Jakarta, 1952.
Ma‟arif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta, 2006.
Strong, C.F, Modern Political Constitustions: An Introduction to the Comparative study of Their History and Existing Form, Sidgwick & Jackson Limited London, 1996, edisi bahasa
Indonesia, Penerbit Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2004.
Sri Edi Swasono, Religiusitas Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta, dalam Kata Sambutan Bung Hatta dan Ekonomi Islam, LP3M STIE Ahmad Dahlan, Jakarta, 2008.
Risalah dan Konstitusi
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sekretaris Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995.
UUD 1945, Sekretaris jenderal MPR RI, Jakarta, 2010