new microsoft office word document

Upload: sinchan-chandra

Post on 06-Jul-2015

72 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENYELESAIAN SENGKETA INDONESIA-KOREA SELATAN MELALUI WTO

A. PENDAHULUANSistem Penyelesaian Sengketa World Trade Organization (WTO)/Dispute Settlement Understanding (DSU) adalah tulang punggung darirejim perdagangan multilateral saatini. Sistem ini diciptakan oleh paraNegara anggota WTO pada saatUruguay Round dengan harapanuntuk menciptakan suatu sistem yangkuat dan dapat mengikat semuapihak dalam rangka menyelesaikansengketa perdagangan dalam kerangkaWTO. Dengan sistem penyelesaiansengketa ini juga diharapkanagar negara anggota dapat mematuhiperaturan -peraturan yang disepakatidalam WTO Agreement. Sistempenyelesaian sengketa ini juga dinilaisebagai kontribusi unik dari WTOterhadap kestabilan perekonomianglobal. Sistem penyelesaian sengketaWTO dibentu k sebagai pembaruandari sistem penyelesaian sengketaGeneral Agreement on Tariff andTrade sebelumnyaada. Dengan sistem penyelesaiansengketa WTO (GATT) yang diharapkan

akandiperoleh kestabilan dan perkiraanperaturan perdagangan internasionalyang berpihak pada kegiatanbisnis,petani, pekerja dan konsumen peran dariseluruh pentingdalam

dunia.Sistem

penyelesaiansengketaWTO

memainkan

mengklarifikasi dan penegakStaf Advokasi Tuduhan Dumping, DirektoratPengamanan

Perdagangan, itjen KerjasamaPerdagangan Internasional , DepartemenPerdagangan Republik Indonesia.an kewajiban anggota dalam WTO Agreement. Penyelesaiansengketamemang bukan kegiatan utamadalam kinerja organisasi WTO,namun penyelesaian sengketa adalahbagian yang sangat penting

dalamkenyataan kinerja

organisasi.

Penyelesaiansengketa

WTO jugamenjadi

perangkat pentingdalammanajemen negara anggota WTOdan kaitannya dengan hubunganekonomi yang luas.Perdagangan bebas dewasa inimenuntut semua pihak untukmemahamipersetujuan implikasinyaterhadap perdaganganinternasional perkembanganekonomi dengan nasional segala secara

menyeluruh.Persetujuan-persetujuan yangada dalam kerangka WTO bertujuanuntuk menciptakan sistem perdagangandunia yang mengaturmasalah -masalah

perdagangan agarlebih bersaing secara terbuka, fairdan sehat. Hal tersebut tampak dalamprinsipprinsip yang dianut olehWTO yaitu prinsip

Nondiscrimination,Transparency ,Stabilityand predictability of traderegulations, Use of tariffs asinstruments of protection danElimination of unfair competition .Terkait denganprinsip predictabilityof trade regulations , dalam prinsip ini dikemukakan bahwa pemerintahsuatu negara yang menjadi anggota dari WTO dapat melakukan pengaturanyang akan membatasi ataumengatur mengenai bidang

perdagangannyasendiri apabila terdapathal -hal khusus (special circumstances).Halhal khusus tersebutantara lain apabila dalam menegak kan faircompetition , suatu negaraterpaksa tindakan(state perlu action) membuat suatu kebijakan berupa peraturan atau

mencegah terjadinya

tindakan subsidi,

dumpingdan

pengenaan safeguard.Indonesia telah meratifikasi PersetujuanPembentukan WTO melaluiUndang - Undang No. 7 Tahun 1994. Dengan ratifikasi tersebut, makanegara negara anggota WTO, dalam hal ini juga Indonesia, harus menyesuaikanperaturan nasionalnyadengan persetujuanWTO. ketentuan Indonesia -ketentuan sebagai negara yangada dalam persetujuan juga memiliki

anggotaWTO

kewenanganuntuk malakukan tuduhananti dumping berupa pengenaan beamasuk anti dumping, tuduhan anti -subsidi dalam hal ini yaitu pengenaanbea masuk imbalan dant indakan safeguard berupa pengenaantarif, kuota atau keduanya. Praktek anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan perdagangan internasional agar terciptanya fair trade. Mengenai hal ini telah diatur dalam Persetujuan Anti -Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang diikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang. peraturan WTO memegang tegas prinsip Peraturan

prinsip tertentu tetapi tetap

memperbolehkan adanya pengecualian. Tiga isu utama yang ada didalamnya adalah : 1. Tindakan untuk melawan dumping (menjual dengan harga yang lebih murah secara tidak adil), 2. Subsidi dan tindakan tindakan imbalan untuk menyeimbangkan subsidi

(countervailing measures),

3. Tindakan

tindakan darurat (emergency measures) untuk membatasi impor

secara sementara demi mengamankan industri dalam negeri (safeguards). Jika sebuah perusahaan menjual produknya di negara lain lebih murah dari harga normal pasar dalam negerinya, maka hal ini disebut dumping terhadap produk tersebut. Hal ini merupakan salah satu isu dalam persetujuan WTO yang tidak bersifat menghakimi, tapi lebih memfokuskan pada tinda kan tindakan yang boleh

dan tidak boleh dilakukan oleh negara untuk mengatasi dumping. Persetujuan ini dikenal dengan Persetujuan Anti -Dumping (Anti-Dumping Agreement) atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994. Dalam persetujuan ini pemerintah diperbolehkan untuk mengambil tindakan sebagai reaksi terhadap dumping jika benar benar terbukti terjadi kerugian

(material injury) terhadap industri domestik. Untuk melakukan hal ini, pemerintah harus dapat membuktikan terjadinya dumping de ngan memperhitungkan tingkat dumping, yaitu membandingkannya terhadap tingkat harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk tersebut di negara asalnya. Pengertian Dumping dan Anti Dumping Istilah Dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan

Internasional adalah praktik dagang yang dilakukan oleh eksporter dengan menjual komodity di pasar Internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri, at au dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. Praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak

pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor (AF. Erawati dan JS. Badudu, 1996:37). Sedangkan yang dimaksud dengan Anti dumping adalah sanksi balasan yang berupa bea masuk tambahan yang dikenakan atas suatu produk yang dijual di bawah harga normal dari produk yang sama di negara pengekspor maupun pengimpor. Menurut Black,s Law Dictionary, pengertian dumping adalah: The act of selling in quantity at very low price or practically regardless of the price; also, selling goods abroad at less than the market price at home (Henry Campbell, 1998: 347). Dari definisi tersebut di atas menunjukkan bahwa pengertian dumping, sering diekspresikan sebagai perbuatan curang karena penjualan produk -produk untuk ekspor pada harga yang lebih rendah dari nilai normal. Selanjutnya dalam Uruguay Round memberikan pengertian dumping yang baru, sebagai penyempurnaan dalam Artikel VI GATT 1994 yang dituangkan dalam Artikel 2, mengenai Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI GATT 1994 sebagai berikut: For purposes of this agreement, a product is to be considered as being dumped, i.e. introduced into the commerce of another country at less that its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less then the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country . Adapun suatu barang/produk yang masuk secara dumping disebut barang

dumping , hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) PP.34 Tahun 1994 tentang Bea Masuk

Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan, bahwa barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat Harg a Ekspor yang lebih rendah dari Nilai Normalnya di negara pengekspor. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa Dumping adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau eksporter yang melaksanakan penjualan barang/komoditi di luar ne geri atau negara lain (Negara pengimpor) dengan harga yang lebih rendah dari harga normal barang sejenis baik di dalam negeri pengekspor (eksporter) maupun di negara pengimpor (importer), sehingga mengakibatkan kerugian bagi negara pengimpor.

B. PENYELESAIAN SENGKETA WTO Sengketa dapat muncul ketikasuatu negara menetapkan suatu kebijakan

perdagangan tertentu yangbertentangan dengan komitmennyadi WTO atau mengambil kebijakankemudian merugikan negara lain.Selain negara yang paling dirugikan oleh kebijakan tersebut, negara ketigayang tertarik pada kasus tersebutdapat danmendapatkan penyelesaiansengketa. Prinsip Penyelesaian Sengketa Negara - negara anggotaWTO telah sepakat bahwa jikaada negara anggota yang melanggarperaturan perdaganganWTO, negara -negara anggota tersebutakan menggunakan system penyelesaian multilateral daripadamelakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebutharus mematuhi prosedur yangtelah disepakati danmenghormati putusan yangdiambil.Meskipun banyak prosedurWTO yang mirip dengan prosespengadilan, negara -negara anggotayang bersengketa tetap mengemukakan hak -hak keinginannyauntuk tertentu menjadi pihak ketiga proses

selamaberlangsungnya

diharapkanuntuk melakukan perundingandan menyelesaikanmasalah mereka sendiri sebelumterbentuknya panel. Oleh karenaitu, tahappertama yang dilakukanadalah konsultasi antar pemerintahyang terlibat dalam suatukasus. Bahkan sekiranya kasustersebut melangkah ke kasusberikutnya, konsultasi danmediasitetap

dimungkinkan.Persetujuan DSU juga men utupkemungkinan suatu Negara yang kalah dalam kasus tertentuuntuk menghalang -halangi putusan.Di bawah

ketentuanGATT,suatu putusan disahkan berdasarkankonsensus, yang berartitidak

ada keputusan jikaterdapatkeberatan dari suatu negara. Dibawah ketentuan WTO, putusansecara otomatisdisahkan kecualiada konsensus untuk menolakhasil putusan, dengan mekanismeini makanegara yang inginmenolak suatu hasil putusanharus melobi seluruh anggotaWTO lainnyauntuk membatalkankeputusan panel

termasukanggota WTO yang menjadilaw an dalamkasus tersebut.Jadi penyelesaian sengketa WTOmengandung prinsip - prinsip:adil, cepat,efektif dan saling

menguntungkan. Proses Penyelesaian Sengketa DSB dan Panel Penyelesaian sengketamenjadi tanggung jawabBadan Penyelesaian

Sengketa(DisputeSettlement Body/DSB) yang merupakan penjelmaandari Dewan Umum(GeneralCouncil/GC). DSBadalah satu -satunya badanyang memiliki otoritas membentukPanel yangterdiri daripara ahli yang bertugasmenelaah kasus. DSB dapatjuga menerima atau menolakkeputusan Panel atau kepu tusanpada tingkat banding.DSB tersebut memonitorpelaksanaan putusan -putusandan rekomendasi serta memilikikekuasaan/wewenanguntukmengesahkan retaliasijika suatu negara tidak mematuhisuatu putusan. Banding Tiap pihak yang bersengketadapat mengajukanbanding atas putusan panel.Kadang kadang kedua belahpihak sama -sama mengajukanbanding. Namun bandingharus didasarkan pada suatuperaturan tertentu sepertiinterpretasi legal atas

suatuketentuan/pasal dalam suatu persetujuan WTO. Dimanatidak dilakukan untuk

mengujikembali bukti-bukti yangada atau bukti-bukti yangmuncul, melainkan untuk menelitiargumentasi yang dikemukakanoleh Panel sebelumya.Tiap upaya banding ditelitioleh tiga dari tujuhanggota tetap Badan Banding(Appelate Body/AB) yangditetapkan oleh DSB danberasal dari anggota WTOyang mewakili kalangan luas.Anggota AB memiliki masakerja 4 (empat) tahun.Mereka harus berasal dariindividu-individu yang memilikireputasi dalam bidanghukum dan

perdaganganinternasional, dan lepas darikepentingan negara manapunKeputusan pada tingkatbanding dapat menunda, mengubahataupunmemutarbalikantemuan temuan danputusan hukum dari panel.Biasanya banding membutuhkanwaktu tidak lebih dari 60hari, dan batas maksimumnya90 hari. DSB harus menerimaataupun menolak laporanbanding tersebut dala mjangka waktu tidak lebih dari30 hari dimana penolakanhanya dimungkinkan melaluikonsensus.

C.

PENYELESAIAN

SENGKETASETELAH

REKOMENDASIATAU

KEPUTUSAN

DISPUTESETTLEMENT BODY /DSB Jika suatu negara telah melanggaraturan WTO dengan menetapkanaturan yang tidak konsistendengan WTO, maka negara tersebutharus segera mengoreksi kesalahannya dengan menyelaraskanaturannya dengan aturan WTO. Jikanegara tersebut masih melanggaraturan WTO, maka harus membayarkompe nsasi atau dikenai retaliasi . Biasanya kompensasi/retaliasi diterapkandalam bentuk konsesi atau akses pasar. Walaupun suatu kasus sudahdiputuskan, masih banyak hal yangharus dilakukan sebelum sanksiperdagangan diterapkan. Dalamtahap ini yang penting adalah tergugatharus menyelaraskan kebijakannyadenga n rekomendasi ataukeputusan DSB. Persetujuan WTO mengenai penyelesaian sengketamenetapkan bahwa tindakan yangcepat dalam hal mematuhi rekomendasiatau putusan DSB sangatpenting untuk menjamin bahwaputusan penyelesaian tersebut efektifdan menguntungkan selu ruh anggotaWTO.Negara yang kalah sengketaharus mengikuti rekomendasi

yangdisebutkan dalam laporan Panel(panel report) atau laporan banding(appelate Body report).Secara prinsipil, sanksi diterapkanpada bidang yang sama denganbidang yang disengketakan. Jikasanksi tersebut tidak dapat dilaksanakan atau tidak efektif, makasanksi dapat diterapkan dalam sector yang lain, dalam satu persetujuanyang sama. Selanjutnya, sekiranyamasih juga belum dilaksanakan ataubelum efektif, dan jika keadaannyacukup serius, tindaka n dapat diambildi bawah persetujuan WTO lain.Maksudnya adalah untuk memperkecilkesempatan merambatnyatindakan tersebut ke dalam bidangbidangyang tidak ada hubungannyadengan bidang

tersebut, sekaligusagar menjamin agar tindakantersebut efektif.Da lam setiap kasus, DSB mengawasi pelaksanaan putusan yangtelah disahkan. Kasus -kasus yangmasih dalam proses tetap menjadiagenda D SB sampai berhasil diselesaikan.

Salah satu contoh sengketa WTO yang pernah dihadapi In donesia

Selasa, 15 Januari 2008 Kasus Dumping Kertas Indonesia -Korea Negara-negara berkembang pada umumnya akan membantu industri domestiknya melalui subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tariff atau non tariff untuk memasukkan industrinya ke persaingan internasional apalagi d alam era Globalisasi teknologi dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau pemerintah akan berusaha mendorong industrinya untuk bersaing di pasar internasional dan untuk bersaing perlu berbagai perbaikkan kualitas baik tenaga kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestic untuk di subsidi khususnya industri yang benar -benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tariff dan non tariff dan kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea yang ingin saya soroti disini juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi Industri

domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang melakukka n dumping adalah Indonesia. ANALISA KASUS DUMPING KERTAS INDONESIA-KOREA

Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut perlu kita lihat apa saja yang menjadi kerangka pemikiran untuk melihat masalah ini. Dalam industri pulp dan kertas campur tangan pemerintah t elah menimbulkan akumulasi kekuatan pasar. Konsentrasi pasar untuk kertas industri meningkat dari 37 persen menjadi 90 persen antara 1985 dan 1995, sedangkan rasio konsentrasi untuk pulp, bahan baku utama dari kertas industri, secara konsisten selalu diata s 90 persen. Pelaku pasar tertentu di sektor kertas dan pulp telah mendapat keuntungan yang besar dari perlakukan khusus oleh pemerintah di masa yang lalu. Sebagai contoh, perusahaan kertas PT Kiani Kertas mendapat Rp 250 miliar (US$ 180.70 juta) dari Dana Reboisasi untuk membangun pabrik puld dan kertas dari PT Kiani Lestari Pulp, yang dibukan awal 1997. Pinjaman ini merupakan 20 persen dari investasi total. Bunganya adalah sebesar 6.7 persen dan untuk jangka waktu delapan tahun, termasuk tiga tahun grace periodBegitu juga kebijakkan pemerintah pada masa orde baru memilih dan mempermudah perusahaan PT Indah Kiat dari Sinar Mas Group menguasai industri kertas dari hulu ke hilir. PT Indah Kiat menguasai hutan industri dan menghasilkan barang mulai dari pulp s ampai ke buku tulis, amplop, kertas komputer, kertas fotokopi, dan barang -barang kertas lainnya. Selain itu, dua anak perusahaan Sinar Mas, PT Pindo Deli dan PT Paper Onward Utama, menguasai industri kertas tisu. Dari sini dapat kita lihat bahwa sektor in dustri kertas sangat dilindungi terhadap persaingan asing dalam bentuk tarif impor; tingkat proteksi efektif untuk barang-barang kertas pada tahun 1995 adalah 41 persen.Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindaka n proteksi yang

dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan: 1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana negara anggota harus menetapkan level maksimum dan kemudian menguranginya pada tingkat yang diperbolehkan; 2. Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distor ting sering disebut sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga Negara anggota boleh menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk misalnya perlindungan lingkungan dan penelitian. Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga kategori: 1. AMS aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini

berkaitan dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi. 2. De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari persentase dari nilai produksi. 3. Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box. Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Di spute Settlement Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggota -anggotanya.

Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah Dumping. Dumping terjadi apabila produk -produk impor tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari kemungkinanadanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidum ping atas 425 kasus, di mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyel idiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya . Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah disepaka ti dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum internasional disini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek -aspek ekonomi baik yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya terga ntung kepada isi

ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan untuk melakukan perjanjian atau kontrak denga n seubyek hukum lainnya. Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara -negara berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaa ti kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hokum.

Fakta

Fakta Hukum

Para Pihak a. Penggugat : Indonesia b. Tergugat : Korea Selatan Objek Sengketa Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing,

printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper. Kronologis Kasus Korea Selatan mengajukan pe tisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tb k dan April Pine Paper Trading Pte Ltd. Pada Mei 2003 Korea Selatan memberlakukan BM (bea masuk) anti dumpin atas produk kertas Indonesia, namun pada November 2003 mereka menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel. tepatnya pad a 9 Mei 2003 KTC mengenai Bea Masuk Anti -Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk

PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61 persen, PT Pindo Deli 11,65 persen, PT Indah Kiat 0,52 persen, April Pine dan lainnya sebesar 2,80 persen. Kemudian Pada 7 November 2003, KPC menurunkan BMAD untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat masingmasing sebesar 8,22 persen, serta untuk April Pine dan lainnya 2,8 persen. Pada 4 Juli 2004, Indonesia dan Korea Selatan mengadakan konsult asi bilateral akan tetapi tidak mencapai kesepakatan. 27 September 2004, Disputes Settlement Body WTO membentuk Panel. Pihak yang berpartisipasi diantaranya Amerika Serikat, Eropa, Jepang, China dan Kanada. 1-2 Februari 2005, diselenggarakan Sidang Pan el kesatu 30 Maret 2005, diselenggarakan Sidang Panel kedua 28 Oktober 2005, Panel Report Gugatan Indonesia Korea Selatan melanggar beberapa pasal dalam perjanjian WTO, antara lain : Pasal VI GATT 1994, inter alia, Pasal VI : 1, VI : 2 dan VI : 6; Pasal 1, 2.1, 2.2, 2.2.1.1, 2.2.2, 2.4, 2.6, 3.1, 3.2, 3.4, 3.5, 4.1(i), 5.2, 5.3, 5.4, 5.7, 6.1.2, 6.2, 6.4, 6.5, 6.5.1, 6.5.2, 6.7, 6.8, 6.10, 9.3, 12.1.1(iv), 12.2, 12.3 Annex I, dan ayat 3, 6 dan 7, Annex II tentang Anti-Dumping Agreement (ADA).

Panel Report 1. KTC telah melanggar ketentuan WTO dalam hal penentuan margin dumping bagi beberapa perusahaan Indonesia. 2. Korea Selatan telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari dua perusahaan kertas Indonesia. 3. Dalam hal ini, Panel hanya me meriksa kasus hukum ekonomi berdasarkan klaim utama yang diajukan oleh Indonesia. 4. Panel menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan antidumping yang dilakukan oleh Korea Selatan Pembahasan Sebagai negara yang telah menjadi anggota WTO yaitu dengan meratifikasinya Agreement Establishing the WTO melalui Undang Undang Nomor. 7 Tahun 1994

tentang Pembentukan WTO, maka Indonesia juga harus melaksanakan prinsip prinsip pokok yang dikandung dalam General Agreement on Tariff and Trade/GATT1947 (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947), berikut persetujuan susulan yang telah dihasilkan sebelum perundingan Putaran Uruguay. GATT merupakan perjanjian perdagangan multilateral dengan tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, d an membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan umat manusia. GATT dimaksudkan sebagai upaya untuk memperjuangkan terciptanya perdagangan bebas,

adil dan menstabilkan sistem perdagangan internasional, dan memperjua ngkan penurunan tarif bea masuk serta meniadakan hambatan -hambatan perdagangan lainnya. GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara -negara anggota dalam membahas dan menyelesaikan masalah -masalah yang timbul di bidang perdagangan internasional, GATT jug a berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di bidang perdagangan antara negara -negara peserta, masalah-masalah yang timbul

diselesaikan secara bilateral antara negara -negara yang terlibat dalam persengkataan dagang melalui konsultasi dan konsiliasi. Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandi ngkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut. Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport. Menurut Robert Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir, kekuaran pasar dan struktur pasar import, antara lain :

1. Market Expansion Dumping Perusahaan pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan mark -up yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah. 2. Cyclical Dumping Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungk inan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait. 3. State Trading Dumping Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akui sisi moneternya. 4. Strategic Dumping Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing pesaing asing.

5. Predatory Dumping Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping kenis ini adalah mati nya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis. Pengaturan dalam GATT dan WTO Peraturan Anti-dumping yang terdapat dalam Persetujuan Anti -Dumping GATT adalah pada article VI GATT yang terdiri dari 7 ayat yang menyebutkan : Article VI Anti-dumping and Countervailing Duties 1. The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned i f it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. For the purposes of this Article, a product is to be considered as being introduced into the commerce of an importing country at less than its normal value, if the price of the product exported from one country to another a) is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumptio n in the exporting country, or b) in the absence of such domestic price, is less than either

i. he highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary course of trade, or ii. the cost of production of the product in the country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit. Due allowance shall be made in each case for differences in conditions and terms of sale, for differences in taxation, and for other differences affecting price comparability. 2. In order to offset or prevent dumping, a contracting party may levy on any dumped product an anti-dumping duty not greater in amount than the margin of dumping in respect of such product. For the purposes of this Article, the margin of dumping is the price difference determined in accordance with the provisions of paragraph 1. 3. No countervailing duty shall be levied on any product of the territory of any contracting party imported into the territory of another contracting party in excess of an amount equal to the estimated bounty or subsidy determined to have been granted, directly or indirectly, on the manufacture, production or export of such product in the country of origin or exportation, including any special subsidy to the transportation of a particular product. The term "countervailing duty" shall be understood to mean a special duty levied for the purpose of offsetting any bounty or subsidy bestowed, directly or indirectly, upon the manufacture, production or export of any merchandise.

4. No product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be subject to anti -dumping or countervailing duty by reason of the exemption of such product from duties or taxes borne by the like product when destined for consumption in the country of origin or exportation, or by reason of the refund of such duties or taxes. 5. No product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be subject to both anti- dumping and countervailing duties to compensate for the same situation of dumping or export subsidization. 6. a.) No contracting party shall levy any anti -dumping or countervailing duty on the importation of any product of the territory of another contracting party unless it determines that the effect of the dumping or subsidization, as the case may be, is such as to cause or threaten material injury to an established domestic industry, or is such as to retard materially the establishment of a domestic industry. b) The CONTRACTING PARTIES may waive the requirement of subparagraph (a) of this paragraph so as to permit a contracting party to levy an anti -dumping or countervailing duty on the importation of any product for the purpose of offsetting dumping or subsidization which causes or threatens material injury to an industry in the territory of another contracting party exporting the product concerned to the territory of the importing contracting party. The

CONTRACTING PARTIES shall waive the requirements of sub-paragraph (a) of this paragraph, so as to permit the levying of a countervailing duty, in cases in which they find that a subsidy is causing or threatening material injury to an industry in the territory of another contracting party exporting the product concerned to the territory of the importing contracting party. c) In exceptional circumstances, however, where delay might cause damage which would be difficult to repair, a contracting party may levy a countervailing duty for the purpose referred to in sub-paragraph (b) of this paragraph without the prior approval of the CONTRACTING PARTIES; Provided that such action shall be reported immediately to the CONTRACTING PARTIES and that the countervailing duty shall be withdrawn promptly if the CONTRACTING PARTIES disapprove. 7. A system for the stabilization of the domes tic price or of the return to domestic producers of a primary commodity, independently of the movements of export prices, which results at times in the sale of the commodity for export at a price lower than the comparable price charged for the like commodi ty to buyers in the domestic market, shall be presumed not to result in material injury within the meaning of paragraph 6 if it is determined by consultation among the contracting parties substantially interested in the commodity concerned that: a) the system has also resulted in the sale of the commodity for export at a price higher than the comparable price charged for the like commodity to buyers in the domestic market, and

b) the system is so operated, either because of the effective regulation of production, or otherwise, as not to stimulate exports unduly or otherwise seriously prejudice the interests of other contracting parties. Pengaturan dalam Hukum Nasional Pengaturan anti -dumping dalam hukum nasional Indonesia sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Persetujuan pembentukan WTO melalui UU Nomor 7 Tahun 1994 ternyata belum terdapat pengaturannya. Sehingga dalam hukum nasional di Indonesia diatur dalam : 1. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 2. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan 3. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor :

430/MPP/Kep/9/1999 tentang Komite Antidumping Indonesia dan Tim Operasional Antidumping 4. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai No. SE -19/BC/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping/Sementara.

Kriteria Dumping yang Dilarang oleh WTO Kriteria dumping yang dilarang oleh WTO adalah dumping oleh suatu n egara yang : 1. Harus ada tindakan dumping yang LTFV (less than fair value) 2. Harus ada kerugian material di negara importir 3. Adanya hubungan sebab akibat antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi. Seandainya terjadi dumping yang less than fair value tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak dilarang. Komisi Anti-Dumping Indonesia Komisi Anti-Dumping Indonesia (KADI) didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian da n Perdagangan No. 136/MPP/Kep/6/1996. Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mempunyai tugas pokok yaitu : 1. Melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping dan atau mengandung barang subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri barang sejenis, 2. Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi yang mengenai dugaan adanya barang dumping dan atau barang mengandung subsidi, 3. Mengusulkan pengenaan bea masuk anti dumping dan atau bea masuk imbalan kepada Menperindag,

4. Menyusun

laporan

pelaksanaan

tugas

untuk

disampaikan

kepada

Menperindag. Sehubungan dengan tugas -tugas yang diemban KADI, maka KADI berkewajiban untuk mensosialisasikan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perdagangan dunia yang telah diratifikasi dengan tujuan ag ar masyarakat khususnya dunia usaha Indonesia tidak menjadi korban praktek -praktek perdagangan yang tidak sehat atau unfair trade practices, yang meliputi dumping dan subsidi. Penyelesaian Sengketa Dalam kasus dumping kertas yang dituduhkan oleh Korea Sel atan terhadap Indonesia pada perusahaan eksportir produk kertas diantaranya PT. Indah Kiat Pulp and Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp and Mills, dan PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, serta April Pine Paper Trading Pte. Ltd, Indonesia berhasil memenangkan sen gketa anti-dumping ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi. Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM)

sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakua n kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus Anti-Dumping untuk Korea-Certain Paper Products. Pada

tanggal 4 Juni 2004, Indonesia membawa Korea Selatan untuk melakukan konsultasi

penyelesaian sengketa atas pengenaan tindakan anti -dumping Korea Selatan terhadap impor produk kertas asal Indonesia. Hasil konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Indonesia kemudian mengajukan permintaan ke DSB WTO agar Korea Selatan mencabut tindakan anti dumpingnya yang melanggar kewaji bannya di WTO dan menyalahi beberapa pasal dalam ketentuan Anti-Dumping. Pada tanggal 28 Oktober 2005, DSB WTO menyampaikan Panel Report ke seluruh anggota dan menyatakan bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan telah menyalahi keten tuan Persetujuan Anti-Dumping. Kedua belah pihak yang bersengketa pada akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea harus mengimplementasikan rekomendasi DSB dan menentukan jadwal waktu bagi pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reasonable period of time/RPT) . Namun sangat disayangkan hingga kini Korea Selatan belum juga mematuhi keputusan DSB, meskipun telah dinyatakan salah menerapkan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap produk kertas dari Indonesia, karena belum juga mencabut pengenaan bea masuk anti -dumping tersebut. Padahal Badan

Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menyatakan Korea Selatan melakukan kesalahan prosedur dalam penyelidikan antidumping kertas Indonesia pada 2003. Untuk itu DSB meminta Korea Selatan segera menjalankan keputusan ini.

Simpulan dan Saran

A. Simpulan1. Pengaturan tentang Anti Dumping selain mengacu pada ketentuan internasional (Agreement on Implementation of Article VI GATT dan Agreement on Subsidies and Countervailing Duties), juga pada peraturan perundang -undangan nasional, yaitu UU. No. 10 tahun 1995 tetang Kepabeanan. Pengaturan anti dumping sangat diperlukan untuk melindungi industri dalam negeri terhadap praktik yang dapat merugikan industri dalam negari yang memp roduksi barang sejenis.

2. Untuk melindungi produk dalam negeri harus dilakukan penegakan hukum baik secara preventif seperti sosialisi peraturan dan pengkajian ulang izin impor; maupun secara represif melaui penerapan saksi berupa pembebanan bea masuk anti dumping terhadap para importer yang melakukan praktik dumping.

3. Kebijakan yang dapat dilakukan Indonesia dalam menghadapi praktik dumping terlebih dahulu dilakukan penyelidikan oleh KADI untuk memperoleh bukti apakah produk impor beridikasi dumping sehingg a merugikan industri domestik. Berdasarkan bukti tersebut maka pemerintah melalui KADI dapat membebankan bea masuk anti damping kepada importer. Sebaliknya untuk menghadapi tuduhan dumping beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu memahami secara

seksama ketentuan anti dumping di negara penuduh; melakukan kerjasama yang baik dengan penyidik negara pengimpor yang mencari fakta dilapangan; melakukan koordinasi dalam asosiasi produk yang bersangkutan dan

mendapatkan berbagai informasi dari instansi terkait, ser ta selalu menggunakan tenaga konsultan hukum (lawyer) yang ahli di bidang antidumping.

B. Saran:1. Perlu dikeluarkan peraturan khusus tentang anti dumping dalam bentuk undang undang tersendiri, karena keberadaan perangkat hukum nasional dalam mengantisipasi masalah dumping masih lemah, baik sebagai instrumen guna melindungi produk dalam negeri dari praktik dumping, maupun sebagai instrumen hukum guna mengahdapi tuduhan dumping di luar negeri. Kelemahan tersebut terutama terkait dengan pengertian harga normal . Salah satu unsur terjadinya praktik dumping apabila harga yang ditawarkan di pasar negara pengimpor lebih rendah jika dibandingkan dengan harga normal ( norma value) di dalam negeri pengimpor.

2. Perlindungan hukum terhadap produk dalam negari hendaknya te rus dilakukan melalui upaya penegakan hukum anti dumping, baik secara preventif dalam upaya mencegah praktik dumping maupun secara represif yaitu berupa pemberian sanksi pengenaan bea masuk anti dumping terhadap pelaku

ekonomi yang memasukkan produk beri ndikasi dumping.

3. Untuk mengatasi kegiatan dumping yang terus terjadi, peranan KADI harus di tingkatkan terutama kemampuan personil dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penanganan masalah dumping di dalam negeri, maupun dalam mengkounter tuduhan da mping dari berbagai Negara.