nilai-nilai multikulturalisme dalam interaksi...
TRANSCRIPT
i
NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME DALAM
INTERAKSI SOSIAL-BUDAYA ANTARA REMAJA
ETNIK TIONGHOA DENGAN REMAJA ETNIK
JAWA DI KAMPUNG PECINAN KOTA TEGAL
TESIS
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan
Oleh
Galih Mahardika Christian Putra
0301513033
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
ii
PERSETUJUAN PENGUJI TESIS
Tesis dengan judul “Nilai-nilai Multikulturalisme dalam Interaksi Sosial-Budaya
antara Remaja Etnik Tionghoa dengan Remaja Etnik Jawa di Kampung Pecinan
Kota Tegal” karya:
Nama : Galih Mahardika Christian Putra
NIM : 0301513033
Program Studi : Pendidikan IPS
telah dipertahankan dalam Sidang Panitia Ujian Tesis Program Pascasarjana,
Universitas Negeri Semarang pada hari Senin, tanggal 7 Januari 2016.
Semarang, Januari 2016
Panitia Ujian
Ketua, Sekretaris,
Prof. Dr. Tri Joko Raharjo, M.Pd Prof. Dr. Dewi Liesnoor, M.Si
NIP. 195903011985111001 NIP. 196208111988032001
Penguji I, Penguji II,
Prof. Dr. Wasino, M.Hum Dr. Hamdan Tri Atmaja, M.Pd
NIP. 196408051989011001 NIP. 196406051989011001
Penguji III,
Prof. Dr. Suyahmo, M.Si
NIP. 195503281983031003
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik magister, baik di Universitas Negeri Semarang
maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim
Penelaah.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebut nama pengarang dan dicantumkan
dalam daftar pustka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutab gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku di perguruan tinggi ini.
Semarang, Januari 2016
Yang membuat pernyataan
Galih Mahardika Christian Putra
NIM. 0301513033
iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN
Moto :
1. Keberagaman sosial-budaya suatu masyarakat merupakan suatu hal yang
bersifat alami.
2. Nilai-nilai multikulturalisme salah satu aspek penting yang perlu
ditumbuhkembangkan untuk menyikapi keberagaman sosial-budaya suatu
masyarakat.
3. Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai orang Tionghoa atau
Jawa, namun kita memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai
manusia.
Persembahan :
1. Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
2. Badan Pemerintah Pembangunan Daerah Pemerintah Kota Tegal
3. Masyarakat Kampung Pecinan Kota Tegal.
v
ABSTRAK
Putra, Galih Mahardika Christian. 2015.“Nilai-nilai Multikulturalisme dalam
Interaksi Sosial-Budaya antara Remaja Etnik Tionghoa dengan Remaja Etnik
Jawa Di Kampung Pecinan Kota Tegal”. Tesis. Jurusan Pendidikan IPS S2.
Program Pascasarjana. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Prof. Dr.
Suyahmo, M.Si dan Dr. Hamdan Tri Atmaja, M.Pd
Kata Kunci: Nilai-nilai Multikulturalisme, Interaksi Sosial-Budaya, Remaja
Etnik Tionghoa dan Jawa
Keberagaman sosial-budaya terkadang memunculkan sikap-sikap intoleran
dalam proses interaksi sosial di masyarakat. Nilai-nilai multikulturalisme menjadi
salah satu aspek penting dalam kehidupan bermasyarakat untuk menyikapi kondisi
keberagaman sosial-budaya tersebut. Penanaman nilai-nilai multikulturalisme
pada kalangan remaja juga menjadi sangat penting, untuk menumbuhkan
kesadaran bahwa keberagaman sosial-budaya suatu masyarakat merupakan
sesuatu yang bersifat alami. Dengan begitu, kemungkinan terjadinya konflik
horizontal dalam kehidupan bermasyarakat bisa diminimalisir.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengkaji tentang kontribusi masyarakat
dalam menanamkan nilai-nilai multikulturalisme pada remaja etnik Tionghoa dan
Jawa, 2) mengkaji interaksi sosial-budaya antara remaja etnik Tionghoa dan etnik
Jawa, dan 3) mengkaji makna yang muncul dalam interaksi sosial-budaya antara
remaja etnik Tionghoa dengan etnik Jawa
Lokasi penelitian ini adalah kampung pecinan di kota Tegal. Kehidupan
multikultural di kampung pecinan bisa dilihat dari identitas etnik dan agama.
Masyarakatnya terdiri atas etnik Tionghoa dan Jawa. Agama yang dipeluk
masyarakat kampung pecinan antara lain Khonghucu, Budha, Kristen/Katholik
dan Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara
mendalam, observasi dan dokumentasi. Selanjutnya, untuk menguji keabsahan
data dalam penelitian ini digunakan teknik triangulasi data dan triangulasi teori.
Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) terdapat nilai-nilai multikulturalisme
seperti toleransi, kesetaraan dan keterbukaan yang ditanamkan dalam diri remaja
Tionghoa dan Jawa. 2) nilai-nilai toleransi, kesetaraan dan keterbukaan tersebut,
muncul dalam proses interaksi antara remaja Tionghoa dan Jawa. 3) makna yang
muncul selama proses interaksi sosial-budaya antara remaja Jawa dan Tionghoa
yaitu membentuk kondisi hubungan in group dan the other group.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kontribusi masyarakat
dalam menanamkan nilai-nilai multikulturalisme dilakukan melalui pemberian
ruang, kesempatan dan teladan bagi remaja Tionghoa dan Jawa dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai-nilai multikulturalisme terlihat selama proses akomodasi,
akulturasi, asimilasi, dan kontravensi antara remaja Tionghoa dan Jawa. Proses
interaksi sosial-budaya di kalangan remaja ini, tidak hanya membentuk makna
berupa in group atau the other group saja, tetapi selama proses interaksi bisa juga
membentuk makna in group dan the other group.
vi
ABSTRACT
Putra, Galih Mahardika Christian. 2015. "The values of multiculturalism in
Socio-Cultural Interaction between Teenagers of Chinese and Javanese Ethnic In
the village of Chinatown Tegal City". Thesis. Education Department IPS S2.
Postgraduate Programme. Semarang State University. Supervisor Prof. Dr.
Suyahmo, M.Si and Dr. Hamdan Tri Atmaja, M.Pd
Key word : The values of multiculturalism, Socio-culture interaction, Teenagers
of Chinese and Javanese ethnic
Socio-cultural diversity sometimes raises intolerant attitudes in the process of
social interaction in the community. Values of multiculturalism becomes an
important aspect in the life of society to response to these conditions of socio-
cultural diversity. Inculcation the values of multiculturalism in teenagers also be
very important, to raise awareness that the socio-cultural diversity of a society is
something that is natural. By doing so, the possibility of horizontal conflicts in
social life can be minimized.
The purpose of this study examines 1) community contributions in
inculcation the values of multiculturalism in adolescents ethnic Chinese and
Javanese, 2) social interaction and culture among young ethnic Chinese and ethnic
Javanese, and 3) meaning that arise in social interaction and culture among
teenagers Chinese ethnic with ethnic Javanese
The location of this research is in the village of Chinatown in Tegal City.
Chinatown multicultural life in the village can be seen from the ethnic and
religious identities. Society composed of ethnic Chinese and Javanese. Religion of
village communities Chinatown among other Confucian, Buddhist, Christian /
Catholic and Islam. The method used in this study is a qualitative method. Data
collection techniques in this research was conducted through interviews,
observation and documentation. Furthermore, to test the validity of the data in this
study used data triangulation techniques and triangulation theory.
The results showed that 1) there are the values of multiculturalism as
tolerance, equality and openness that is instilled in young Chinese and Javanese.
2) the values of tolerance, equality and openness that have surfaced in the process
of interaction between young Chinese and Javanese. 3) meaning that arise during
the process of socio-cultural interaction between Javanese and Chinese
adolescents is to establish conditions of relations in the group and the other group.
Based on the results of this study concluded that the public contribution in
instilling the values of multiculturalism is done through the provision of space,
opportunity and role model for young Chinese and Javanese in everyday life.
Values of multiculturalism is visible during the process of accommodation,
acculturation, assimilation, and contravention between young Chinese and
Javanese. The process of socio-cultural interaction among these teenagers, not
only establish the meaning of the form in the group or the other group, but during
the process of interaction can also establish meaning in group and the other group.
vii
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah melimpahkan rahmat-Nya. Berkat karunia-Nya, peneliti dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “ Nilai-Nilai Multikulturalsime dalam Interaksi
Sosial-Budaya antara Remaja Tionghoa dengan Remaja Jawa Di Kampung
Pecinan Kota Tegal”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan meraih
gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan IPS, Program
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Penelitian ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini.
Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada :
1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan
kepada peneliti untuk mengenyam pendidikan di Universitas Negeri
Semarang.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang yang telah
memberikan kesempatan serta arahan selama pendidikan, penelitian dan
penulisan Tesis ini.
3. Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan IPS Program Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan dan arahan
dalam penulisan tesis ini.
viii
4. Prof. Dr. Suyahmo, M.Si, dosen pembimbing I yang dengan penuh kesabaran
dalam memberikan bimbingan, motivasi, saran dan arahan dalam penyusunan
tesis ini.
5. Dr. Hamdan Tri Atmaja, M.Pd, dosen pembimbing II yang dengan penuh
ketelitian dalam memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan arahan dalam
penyusunan tesis ini.
6. Prof. Dr. Wasino, M.Hum sebagai penguji utama, yang telah memberikan
kritik, saran dan masukan kepada peneliti sehingga tesis jni dapat
diselesaikan.
7. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana UNNES, yang telah banyak
memberikan bimbingan dan ilmu kepada peneliti selama menempuh
pendidikan.
8. Bapak Edy Prayitno sebagai Lurah Kecamatan Mintaragen Kota Tegal yang
telah memberikan ijin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di
lingkungan kampung pecinan.
9. Tokoh Masyarakat dan kalangan remaja Kampung Pecinan Kota Tegal yang
telah membantu peneliti dalam proses pengumpulan data.
10. Teman-teman mahasiswa Program Studi Pendidikan IPS Program
Pascasarjana UNNES angkatan 2013, terimakasih atas segala bantuan,
motivasi, dan kerjasamanya selama ini.
11. Kedua orang tua saya Iman Hadi Kristanto dan Okvia Tri Haryanti atas segala
bimbingan, motivasi dan do’a selama ini sejak mulai studi hingga selesainya
tesis ini.
ix
12. Eli Nova Silalahi dan Kristina Dwi Oktaviani atas segala motivasi dan do’a
yang diberikan kepada peneliti selama proses penyusunan tesis ini.
13. Semua pihak yang telah berpartisipasi dalam mendukung penyelesaian tesis
ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Peneliti sadar bahwa dalam tesis ini masih terdapat kekurangan, baik isi
maupun tulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat peneliti harapkan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan
dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………. i
PERSETUJUAN PENGUJI TESIS............................................................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN………...…………………………………… iii
MOTO DAN PERSEMBAHAN …………………………………………. iv
ABSTRAK …………………………………………………………………. v
ABSTRACT…………………………………………………………………. vi
PRAKATA………………………………………………………………..... vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. x
DAFTAR TABEL………………………………………………………….. xii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xiv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………………... 1
1.2 Identifikasi Masalah ……………………………………………. 13
1.3 Rumusan Masalah ……………………………………………… 14
1.4 Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 15
1.5 Manfaat Penelitian ……………………………………………… 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS………… 17
2.1 Nilai-nilai Multikulturalsime……………………………………. 17
2.2 Pluralisme……………………………………………………….. 28
2.3 Konsep Interaksi sosial-budaya…………………………………. 33
2.4 Konsep Remaja………………………………………………….. 39
2.5 Etnik Tionghoa………………………………………………….. 41
2.6 Etnik Jawa………………………………………………………. 45
2.7 Masyarakat Kampung Pecinan…………………………………. 49
2.8 Penelitian Terdahulu……………………………………………. 52
2.9 Kerangka Teoretis………………………………………………. 61
2.10 Kerangka Berpikir………………………………..……………. 66
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………. 69
3.1 Desain Penelitian………………………………………………... 69
3.2 Lokasi Penelitian ……………………………………………….. 70
3.3 Fokus Penelitian ………………………………………………... 71
3.4 Sumber Data Penelitian ………………………………………… 72
3.5 Teknik Pengumpulan Data……………………………………… 77
3.6 Keabsahan Data ………………………………………………… 81
3.7 Teknik Analisis Data……………………………………………. 83
BAB IV GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN………………. 86
4.1 Kondisi Geografi Kota Tegal…………………………………… 86
4.2 Keberadaan Kampung Pecinan Kota Tegal…………………….. 97
4.3 Kondisi Masyarakat Kampung Pecinan………………………… 107
xi
4.4 Kondisi Sosial ………………………………………………….. 111
4.5 Kondisi Budaya………………………………………………… 113
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………. 117
5.1 Kontribusi Masyarakat Dalam Menanamkan Nilai
Multikulturalisme………………………………………………...
117
5.1.1 Nilai-Nilai Multikulturalisme dalam kehidupan
masyarakat……………………………………………………….. 117
5.1.2 Kontribusi Masyarakat ……………………………………. 133
5.2 Interaksi Sosial-Budaya Antara Remaja Tionghoa dengan
Jawa………………………………………………………………
149
5.2.1 Akomodasi dan Kontravensi 149
5.2.2 Akulturasi 161
5.2.3 Asimilasi 170
5.3 Makna Yang Muncul Selama Proses Interaksi Sosial-Budaya…. 178
5.3.1 In Group……………………………………………………. 179
5.3.2 The Other Group…………………………………………… 188
5.4 Nilai-nilai Multikulturalisme dan Interaksi Sosial-Budaya
menurut Teori Interaksionisme Simbolik Herbert
Blumer…………………………………………………………… 207
BAB VI PENUTUP……………………………………………………… 239
6.1 Simpulan………………………………………………………… 239
6.2 Implikasi ………………………………………………………... 240
6.3 Saran……………………………………………………………. 241
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 243
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………… 249
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu……………………………………………... 59
Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian Remaja Kampung Pecinan………….. 73
Tabel 3.2 Daftar Informan Penelitian Masyarakat Kampung Pecinan……… 74
Tabel 3.3 Daftar Infroman Penelitian Tokoh Masyarakat….……………….. 75
Tabel 4.1 Jenis Mata Pencaharian
Menurut Kecamatan Di Kota Tegal……………………………… 88
Tabel 4.2 Jumlah Sarana Pendidikan
Menurut Kecamatan Di Kota Tegal.……………………………... 91
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Miskin Kota Tegal……………………………. 92
Tabel 4.4 Jumlah Pencari Kerja Berdasarkan Pendidikan Kota Tegal……... 93
Tabel 4.5 Jumlah Sarana Peribadatan Di Kota Tegal………………………. 96
Tabel 4.6 Penduduk Berdasarkan Agama…………………………............... 107
Tabel 4.7 Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian……………………….. 109
Tabel 4.8 Penduduk Berdasarkan Pendidikan……………………… ……… 110
Tabel 5.1 Nilai-nilai Multikulturlaisme dalam Kehidupan Masyarakat Kampung
Pecinan………………………………………………………………… 132
Tabel 5.2 Kontribusi masyarakat dalam Menanamkan nilai-nilai
Multikulturalisme……………………………………………………… 148
Tabel 5.3 Bentuk-bentuk Interkasi sosial-budaya di kalangan remaja Tionghoa
dan Jawa……………………………………………………………….. 177
Tabel 5.4 Pemaknaan selama proses interaksi sosial-budaya
di kalangan remaja…………………………………………………….. 206
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir……………………………………………... 68
Gambar 3.1 Proses Analisis Interaktif Miles dan Huberman……………….. 85
Gambar 4.1 Peta Administratif Kota Tegal…………………………………. 90
Gambar 4.2 Kampung Pecinan Tempo Dulu……………………………….. 99
Gambar 4.3 Kawasan Pecinan Kota Tegal…………………………….......... 104
Gambar 4.4 Gang Paweden masuk ke Kampung Pecinan………………….. 105
Gambar 4.5 Peta Administratif Kelurahan Mintaragen…………………….. 106
Gambar 5.1 Kelenteng Tek Hay Kiong Tegal Saat
Perayaan Cap Go Meh………………………………………….. 120
Gambar 5.2 Remaja Jawa Terlibat Dalam Perayaan
Tahun Baru Cina……………………………………………….. 124
Gambar 5.3 Interaksi Sosial Remaja Tionghoa dan Jawa di Lingkungan
Rumah………………………………………………………...... 156
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Instrumen Penelitian………………………………………….. 249
Lampiran 2. Pedoman Observasi…………………………………………… 250
Lampiran 3. Pedoman Wawancara…………………………………………. 252
Lampiran 4. Data Informan Penelitian……………………………………… 256
Lampiran 5. Surat Rekomendasi Permohonan Ijin Riset…………………… 258
Lampiran 6. Surat Keterangan Telah Melakukan Riset…………………….. 260
Lampiran 7. Dokumentasi Foto Penelitian………………………………….. 261
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiawan (2012) berpendapat realitas yang tak dapat dielakkan bahwa
masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri atas berbagai keragaman sosial, kelompok
etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain sehingga masyarakat dan
bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
multikultural. Indonesia sebagai masyarakat multikultural berdasarkan pernyataan
tersebut, maka dalam kehidupan masyarakat yang multikultural terdiri atas dua
atau lebih kelompok sosial. Kelompok-kelompok sosial yang hidup berdampingan
dan saling berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat pada akhirnya akan
memperlihatkan suatu perbedaan, misalnya berbeda secara sosial dan budaya.
Perbedaan itu bisa terlihat dengan adanya perbedaan dialek, mata pencaharian,
status sosial, tradisi atau agama antara kelompok sosial yang satu dengan
kelompok sosial lainnya.
Kehidupan bersama yang terjalin antar kelompok sosial tersebut lahir
dari adanya multikulturalisme. Multikulturalisme menekankan adanya perbedaan
masyarakat berdasarkan kelompok yang didasarkan pada etnisitas. Berdasarkan
pernyataan tersebut, maka interaksi antar kelompok sosial dalam kehidupan
masyarakat multikultural dilakukan dengan cara menunjukan identitas dirinya
yang didasarkan pada etnisitas. Pernyataan tersebut didasarkan pada pendapat
yang disampaikan oleh Yusuf (2005 : 26) bahwa multikulturalisme melihat
keragaman manusia pada tingkat golongan atau kelompok dan dalam
2
multikulturalisme etnisitas terkesan dititikberatkan. Beberapa kelompok
etnik yang ada di Indonesia juga hidup berdampingan sehingga terjalin interaksi
satu dengan lainnya. Interaksi yang terjadi antar kelompok etnik yang hidup dan
berkembang di Indonesia termasuk wujud dari etnisitas, termasuk juga
pengkategorisasian suatu kelompok etnik.
Pengkategorisasian kelompok etnik didasarkan pada kesamaan tradisi
leluhur, adat istiadat, religi atau bahasa yang dijadikan satu dalam bingkai
kebudayaan sehingga bisa dibedakan dengan kelompok etnik lainnya. Etnik
berbeda dengan ras karena pembagian kelompok sosial berdasarkan ras lebih
menitikberatkan pada kesamaan bentuk fisik manusia, seperti tinggi badan, warna
kulit, bentuk wajah atau bentuk rambut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Narrol
(dalam Yusuf, 2005) bahwa kelompok etnik ditandai dengan adanya populasi
yang memiliki nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu
bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi diri, menentukan
ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan
dari kelompok populasi lain. Etnik Tionghoa termasuk salah satu kelompok etnik
yang terdapat di Indonesia. Etnik Tionghoa jika dilihat dari sejarahnya di
Indonesia, kelompok etnik ini awalnya dianggap sebagai warga pendatang dari
Republik Rakyat Tiongkok. Dalam perkembangannya keberadaan etnik Tionghoa
turut mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.
Kedatangan etnik Tionghoa ke Indonesia memberi pengaruh terhadap
kehidupan masyarakatnya. Kehidupan masyarakat Indonesia semakin lama
berkembang menjadi masyarakat multikultural. Kedatangan etnik Tionghoa ke
3
Indonesia salah satunya dimotivasi oleh kegiatan perdagangan. Pernyataan
tersebut diperkuat oleh pendapat Yusuf (2005 : 107) bahwa alasan kedatangan
mereka ke Indonesia antara lain menjadikan Indonesia sebagai tempat
persinggahan, tempat berdagang dan tempat mencari nafkah. Keberadaan etnik
Tionghoa di Indonesia pada waktu itu relatif cukup lama. Kondisi tersebut
mengakibatkan terjadinya perkawinan silang antara laki-laki etnik Tionghoa
dengan perempuan-perempuan Indonesia pada khususnya. Perkwainan tersebut
menghasilkan keturunan nantinya dikenal dengan istilah Tionghoa peranakan.
Penjelasan tersebut diperkuat kembali oleh Yusuf (2005 : 107) pada alinea
berikutnya bahwa laki-laki Tionghoa yang tinggal di Indonesia kemudian menikah
dengan gadis pribumi. Dari perkawinan tersebut lahir keturunan yang disebut
peranakan. Keturunan mereka lama-kelamaan membentuk komunitas yang
disebut Tionghoa peranakan.
Tionghoa peranakan hasil perkawinan antara etnik Tionghoa dengan
kelompok etnik pribumi ada yang tumbuh dewasa dan hidup di Indonesia.
Perubahan kehidupan sosial etnik Tionghoa di Indonesia kemudian membuat
sebagian dari etnik Tionghoa peranakan memilih hidup dan menetap sebagai
warga negara Indonesia. Sebagian lagi memilih untuk kembali sebagai warga
negara Tiongkok. Berdasarkan hal itu maka etnik Tionghoa di Indonesia
dibedakan menjadi dua yaitu etnik Tionghoa Totok dan Peranakan. Suryadinata
(2010) mengatakan orang peranakan cenderung menganggap diri mereka sebagai
bagian dari suku di daerah tempat tinggal mereka. Orang peranakan pada
umumnya berorientasi ke Indonesia. Sebaliknya, orang Totok khususnya generasi
4
tua banyak yang masih berorientasi ke Tiongkok. Etnik Tionghoa peranakan yang
memilih hidup di Indonesia kemudian berinteraksi dengan etnik Pribumi.
Kehidupan masyarakat selalu mengalami perubahan sehingga interaksi antara
etnik Tionghoa dengan etnik Pribumi juga semakin berkembang. Perkembangan
interaksi tersebut membuat etnik Tionghoa sekarang ini tidak hanya hidup di satu
daerah saja tetapi hidup menyebar hampir ke seluruh wilayah di Indonesia. Yusuf
(2005 : 107) menyatakan orang-orang Tionghoa di Indonesia kebanyakan tinggal
di Jawa, Madura, Sumatera dan Indonesia bagian timur.
Interaksi yang terjadi antara etnik Tionghoa dengan etnik Pribumi sampai
saat ini, sudah berlangsung sejak kali pertama kedatangan etnik Tionghoa ke
Indonesia. Interaksi antara etnik Tionghoa dengan etnik Pribumi tersebut juga
berlangsung di Jawa Tengah, khusunya interaksi antara etnik Tionghoa dengan
etnik Jawa. Interaksi antara etnik Tionghoa dengan etnik Jawa termasuk di daerah
Jawa Tengah umumnya terjadi dalam bidang ekonomi, hal itu dikarenakan
motivasi awal kedatangan etnik Tionghoa ke Indonesia salah satunya didasari oleh
kepentingan dagang. Fatmawati (2010) dalam penelitiannya mengungkapkan
bahwa terjalinya kerja sama antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi di
desa Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah salah satunya di bidang
ekonomi, misalnya hubungan majikan dengan karyawan dan rekanan kerja dalam
hal perdagangan.
Etnik Tionghoa dalam perkembangannya sekarang ini, sudah menjadi
bagian dari kelompok etnik yang ada di Indonesia. Tetapi meskipun kondisinya
seperti itu, proses interaksi antar etnik dalam kehidupan bermasyarakat tidak
5
selamanya akan harmonis. Suatu waktu terkadang muncul ketegangan-ketegangan
dalam proses interaksi tersebut, termasuk interaksi antara etnik Tionghoa dengan
etnik Jawa. Interaksi sosial etnik Tionghoa dengan etnik Jawa termasuk di daerah
Jawa Tengah cenderung fluktuatif. Dalam waktu tertentu hubungannya baik tetapi
dalam beberapa hal hubungan menjadi buruk. Hubungan yang fluktuatif tersebut,
misalnya ditandai dengan adanya prasangka atau stereotip negatif yang muncul
pada sebagian etnik Jawa terhadap etnik Tionghoa, meskipun mereka sudah lama
hidup dan menjadi bagian dari kelompok sosial yang ada di Indonesia. Prasangka
atau stereotip yang ditunjukan oleh etnik Jawa, misalnya ada anggapan bahwa
etnik Tionghoa itu eksklusif, kaya raya, tidak bisa bergaul atau pelit pada
umumnya. Suryadinata menambahkan (2010 : 84) akhir-akhir ini mereka
dianggap sebagai kapitalis dan konglomerat yang mengeruk kekayaan negara
tanpa perasaan patriotisme. Kondisi itu menyebabkan stereotip yang diberikan
etnik Jawa terhadap etnik Tionghoa relatif negatif. Etnik Tionghoa belum bisa
dianggap sebagai bagian dari kelompok sosial yang ada di Indonesia. Menurut
pendapat Suryadinata (2010 :85) pada pandangan banyak kalangan pribumi
terhadap orang Tionghoa, maka orang Tionghoa harus menjadi pribumi dulu baru
mereka bisa diterima sebagai orang Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah pada saat itu mulai menerapkan
kebijakan-kebijakan bagi etnik Tionghoa yang ada di Indonesia. Kebijakan negara
yang ditujukan bagi etnik Tionghoa turut membentuk opini masyarakat terhadap
keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia. Kebijakan negara pada masa Orde Lama
salah satunya dengan memberlakukan perjanjian dwi-kenegaraan RI-RRC. Dewi
6
(2013 : 37) tujuan perjanjian dwi-kenegaraan adalah sebagai pemisah secara tegas
antara warga negara Indonesia dengan warga negara RRC dan pelaksanaan
perjanjian dwi kewarganegaraan secara resmi tercantum di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 20 tahun 1959. Kebijakan negara terhadap etnik Tionghoa
pada masa Orde Lama lebih mengarah kepada Integrasionis. Integrasionis artinya
mengakui keberadaan etnik Tionghoa sebagai bagian dari jati diri Indonesia tanpa
menghilangkan identitas ketionghoaan mereka. Integrasionis diwujudkan
pemerintah dengan membentuk suatu badan yang khusus mengatur hak
kewarganegaraan etnik Tionghoa di Indonesia. Dewi (2013 : 37) Pemerintah
Indonesia pada tahun 1954 membentuk Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan yang
bertugas memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan serta nasib Tionghoa di
Indonesia. Baperki lebih memilih untuk tetap mempertahankan identitas
ketionghoaan dalam menjalin interaksi dengan etnik lainnya di Indonesia.
Keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia melalui Baperki mendapat dukungan dari
Presiden Soekarno. Hal itu diperkuat oleh pernyataan Suryadinata (2010 : 189)
pada tahun 1963, ketika berpidato dalam kongres Baperki, Soekarno menekankan
bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku termasuk suku Tionghoa
peranakan. Bertolak dari hal tersebut maka konsekuensi yang diterima etnik
Tionghoa pada masa Orde Lama, mereka lebih dekat berinteraksi dengan
kekuatan-kekuatan pendukung Soekarno. Politik anti Tionghoa tidak terlalu
terlihat pada era Orde Lama.
7
Kebijakan negara yang ditujukan bagi etnik Tionghoa di Indonesia pada
era Orde Baru memiliki perbedaan dengan era sebelumnya. Kebijakan negara
pada era Orde Baru lebih mengarah kepada asimilasionis. Asimilasionis artinya
etnik Tionghoa agar diterima sebagai warga Indonesia harus menanggalkan
seluruh identitas ketionghoaannya misal, bahasa, nama, agama dan tradisi. Tetapi
dalam prakteknya asimilasionis cenderung diskriminatif terhadap etnik Tionghoa.
Puncak politik anti-Cina terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah
rezim Soeharto (Yusuf, 2005 : 114). Kebijakan negara pada era ini sangat
membatasi ruang gerak etnik Tionghoa bahkan mengarah pada perlakuan yang
diskriminatif. Kebijakan negara tersebut misalnya Keputusan Presidium Kabinet
No.127/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama bagi warga negara Indonesia
yang memakai nama cina, Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-
089.J.S/9/1978/ tentang larangan pengedaran/ penggunaan surat kawin yang
dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati Drama Yogyakarta, UU No. 48/PRP/1960.L
1960-55 tentang pengawasan pendidikan dan pengajaran asing (Yusuf, 2005 :
117). Akibat dari diterapkannya kebijakan tersebut, maka memunculkan sikap-
sikap yang diskriminatif, saling curiga, prasangka sosial dalam pandangan
masyarakat terhadap etnik Tionghoa.
Perilaku diskriminatif lainnya yang ditunjukan pemerintah Orde Baru
adalah penggunaan istilah Cina. Yusuf (2005 : 112) pemerintah Orde Baru
melegitimasinya melalui Surat Edaran No: SE-06/PresKab/6/67. Surat edaran
tersebut berisi larangan sepenuhnya penggunaan istilah Tionghoa dan
menggantinya dengan istilah Cina. Penggunaan istilah Cina dalam pelaksanannya
8
di Indonesia ternyata dipandang oleh sebagian etnik Tionghoa sebagai bentuk
penghinaan. Hal itu sesuai dengan pendapat Dawis (2010 : 81) bahwa istilah Cina
atau Cino dalam bahasa Jawa, masih mengandung makna merendahkan,
khususnya di Jawa. Suryadinata (2010 : 199) menambahkan bahwa larangan
bahasa Tionghoa pada zaman Orba merupakan contoh perliaku diskrimantif
lainnya. Bertolak dari pernyataan Suryadinata maka terdapat peraturan yang
melarang penggunaan bahasa Cina untuk keperluan apapun di Indonesia pada
waktu itu, misalnya untuk bahasa pengantar di sekolah-sekolah, penulisan di
media massa atau kegiatan perkonomian bagi warga negara Indonesia. Yusuf
(2005 : 117) peraturan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Perdagangan
dan Koperasi No. 285/KP/XII/78 tentang larangan mengimpor, meperdagangkan
dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf, aksara, dan bahasa
Cina.
Pemerintah Orde Baru menuntut nasionalisasi sehingga segala yang
berbau Cina harus dilebur menjadi satu dengan jati diri Indonesia yaitu melalui
asimilasi. Bentuk-bentuk asimiliasi pada era ini misalnya, penggantian nama
Tionghoa menjadi nama Indonesia, etnik tionghoa sangat dibatasi dalam
melakukan upacara keagamaan dan perayaan budaya, dituntut untuk memilih lima
agama yang berlaku di Indonesia. Kebijakan negara pada era Orde Lama dan Orde
Baru terhadap etnik Tionghoa di Indonesia turut mempengaruhi perkembangan
interaksi antara etnik Tionghoa dengan kelompok etnik Pribumi. Produk-produk
hukum yang diskriminatif terhadap etnik Tionghoa di Indonesia selama era Orde
Baru pada khususnya memberi dampak dalam perkembangan kehidupan
9
masyarakat. Produk hukum tersebut mengakibatkan sampai sekarang ini sebagian
opini masyarakat Indonesia termasuk masyarakat di daerah Jawa Tengah terhadap
etnik Tionghoa cenderung negatif. Pengucapan “Cino” masih digunakan sebagian
masyarakat Jawa Tengah sampai sekarang untuk menyebut etnik Tionghoa. Kata
“Cina” atau Cino tersebut jika dilihat dari sejarahnya ditafsirkan sebagai bentuk
penghinaan atau merendahkan etnik Tionghoa. Sebagian etnik Jawa di Kota Tegal
ternyata masih menggunakan kata “Cina” untuk menyebut eksistensi sosial-
budaya yang berkaitan dengan etnik Tionghoa. Meskipun begitu bukan berarti
mengandung maksud sebagai suau penghinaan. Di kalangan etnik Tionghoa
sendiri juga tidak keberatan jika digunakan istilah Cina, selama tidak mengandung
nada kebencian.
Kehidupan sosial masyarakat selalu mengalami perubahan dan
perkembangan, begitu pula dengan interaksi antara etnik Tionghoa dengan etnik
Jawa di Kota Tegal. Interaksi antara etnik Tionghoa dengan etnik Jawa yang
bersifat disassosiatif misalnya, di Kota Tegal pernah terjadi kerusuhan yang
ditujukan kepada etnik Tionghoa. Kerusuhan ini berujung kepada pengerusakan
harta benda milik etnik Tionghoa. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Anwar
(2007 : 239) bahwa sebelum peristiwa kerusuhan di Bandung tanggal 6 Mei 1963
terjadi peristiwa di Tegal yang kemudian meyebar ke lain tempat seperti Slawi,
Banjaran, Pagongan. Ini juga ditujukan terhadap golongan Cina dan di Kota Tegal
pada hari itu, 177 buah mobil dan sepeda motor dirusak dan dibakar. Tetapi
interaksi antara etnik Tionghoa dengan etnik Jawa di Kampung Pecinan Kota
Tegal dalam kehidupan sehari-hari, sekarang ini lebih bersifat assosiatif atau
10
mengarah pada bentuk-bentuk yang harmonis. Ketegangan-ketegangan yang
terjadi pun, dalam kehidupan masyarakat di Kampung Pecinan Kota Tegal tidak
mengatasnamakan perbedaan etnik atau ras.
Interaksi yang assosiatif ini ditandai dengan kehidupan yang membaur
antara etnik Tionghoa dengan etnik Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal. Hal itu
dibuktikan dengan tidak mengelompoknya tata letak perumahan di Kampung
Pecinan, misalnya rumah etnik Jawa juga berdekatan dengan rumah etnik
Tionghoa, sebagian etnik Tionghoa ada juga yang menikah dengan etnik Jawa,
dan etnik Jawa juga paham istilah-istilah dalam bahasa Tionghoa. Kehidupan
yang saling membaur mengakibatkan terjalinnya interaksi antara etnik Tionghoa
dengan etnik Jawa terjalin dengan baik. Bentuk interaksi dalam bidang ekonomi,
misalnya pada kegiatan jual-beli atau perdagangan barang dan jasa. Bentuk
interaksi dalam bidang budaya, misalnya saja sekarang ini perayaan kebudayaan
etnik Tionghoa di Kota Tegal juga melibatkan etnik nonTionghoa. Orang
keturunan Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal ikut berpartispasi dalam
perayaan budaya tersebut, misalnya dengan menjadi pemain Barongsai atau Liong
termasuk melibatkan kaum remaja Jawanya, masyarakat umum datang baramai-
ramai ke kelenteng Tek Hay Kiong Tegal untuk melihat persiapan Cap Go Meh
dan ikut arak-arakan Joli ke pelabuhan Tegal. Interaksi yang terjadi antara etnik
Tionghoa dengan etnik Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal menunjukan
adanya suatu kehidupan masyarakat yang multikultural di Kota Tegal.
Kondisi masyarakat Kota Tegal yang multikultural, bisa menjadi dasar
bagi kelompok-kelompok sosial masyarakat untuk menjalin hubungan yang
11
harmonis. Tetapi kondisi itu bisa juga memunculkan masalah sosial dalam
kehidupan bermasyarakat. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap konsep
multikulturalisme terkadang memunculkan permasalahan. Permasalahan yang
muncul biasanya berhubungan dengan budaya, suku, agama, ras atau etnik. Pada
umumnya permasalahan tersebut disebabkan oleh kurangnya kesadaran, sikap
toleransi dan keterbukaan masyarakat dengan adanya perbedaan. Penjelasan itu
diperkuat oleh pernyataan Gunawan (2013 : 116) bahwa banyaknya masalah yang
berhubungan dengan suku, agama, ras, golongan dikarenakan kurangnya
kesadaran, pemahaman, konsep serta pendidikan multikulturalisme. Bertolak dari
pernyataan Gunawan tersebut maka sikap diskriminatif, intoleransi, prasangka,
sentimen, sikap saling curiga, merasa paling benar, tidak mau menerima
kelompok masyarakat yang berbeda agama atau etnik, bisa diminimalisir dengan
multikulturalisme. Abdilah (2002) menyatakan multikulturalisme dapat berarti
penerimaan yang sederhana dan ramah terhadap perbedaan-perbedan budaya dan
sosial.
Multikulturalisme menjadi sangat penting untuk menumbuhkan
kesadaran untuk menerima perbedaan dan menanamkan sikap toleran dalam diri
masyarakat di Kampung Pecinan Kota Tegal. Hal itu dilakukan dengan asumsi
bahwa kondisi masyarakat yang multikultural memungkinkan terjadinya
ketegangan atau konflik antar etnik pada situasi politik tertentu, termasuk antara
etnik Tionghoa dengan etnik Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal.
Multikulturalisme agar bisa diresapi dan dipahami oleh masyarakat di Kampung
Pecinan Kota Tegal maka diperlukan suatu usaha yang harus dilakukan oleh
12
masyarakatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan cara menanamkan nilai-nilai
multikulturlalisme sejak dini dalam diri remaja etnik Tionghoa dan etnik Jawa di
Kampung Pecinan Kota Tegal, misalnya dengan memberi ruang dan kesempatan
bagi kaum remaja untuk berinteraksi tanpa ada paksaan atau laranagn dari
masyarakat di Kampung Pecinan. Penanaman nilai-nilai multikultural pada kaum
remaja di Kampung Pecinan Kota Tegal bertujuan untuk memupuk rasa
persaudaraan terhadap sesama manusia tanpa memandang latar belakang etnik
atau agama seseorang. Dengan begitu diharapkan tidak akan terjadi lagi
permasalahan sosial mengatasnamakan suku, agama, ras atau antar golongan yang
dimungkinkan terjadi di masyarakat. Bertolak dari penjelasan tersebut diharapkan
tumbuh sikap toleransi dan keterbukaan dalam proses interaksi social-budaya
antar remaja, khususnya antara remaja etnik Tionghoa dan etnik Jawa di
Kampung Pecinan Kota Tegal. Remaja etnik Tionghoa dan etnik Jawa nantinya
diharapkan bisa memaknai keragaman sosial-budaya sebagai suatu kenyataan
yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan dan mencari siapa yang paling benar
atau siapa yang salah.
Multikulturalisme menekankan tentang persaman hak asasi manusia dan
keadilan dalam kehidupan bermasyarakat tanpa memandang suku, agama, etnik
atau ras. Artinya jelas bahwa penanaman nilai-nilai multikulturalisme sejak dini
dalam diri remaja etnik Tionghoa dan etnik Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal
itu juga penting karena nilai-nilai multikulturalisme sangat berguna bagi masa
depan pembangunan bangsa Indonesia sebagai masyarakat multikultural. Namun
sesuai dengan pengamatan sementara peneliti, interaksi sosial-budaya antara etnik
13
Tionghoa dengan etnik Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal, masih terjadi
kesenjangan dalam berinteraksi termasuk hubungan antar remajanya. Keterlibatan
remaja etnik Jawa secara langsung dalam pertunjukan Barongsai atau Liong
sekarang ini mulai berkurang. Sikap toleransi belum sepenuhnya teraktualisasi
dalam pergaulan remaja etnik Tiongoa dengan etnik Jawa. Hal ini yang menarik
perhatian peneliti untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam, dan dari
hasil penelitian itu oleh peneliti dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah tesis
dengan judul Nilai-nilai Multikulturalisme dalam Interaksi Sosial-Budaya
antar Remaja Etnik Tionghoa dengan Remaja Etnik Jawa di Kampung
Pecinan Kota Tegal.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka identifikasi masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut.
1. Komposisi etnik di Kampung Pecinan Kota Tegal tidak hanya terdiri atas
etnik Tionghoa saja, melainkan juga terdiri atas etnik Jawa. Multikulturalisme
menjadi sangat penting untuk menumbuhkan rasa toleransi dan mencegah
kemungkinan terjadinya konflik antar etnik, khususnya antara etnik Tionghoa
dengan etnik Jawa. Mutlikulturalisme bisa terwujud dalam kehidupan etnik
Tionghoa dan Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal, jika ada kontribusi
nyata yang dilakukan oleh masyarakatnya. Kontribusi yang bisa dilakukan
masyarakat Kampung Pecinan Kota Tegal, misalnya dengan memberi contoh,
kesempatan dan ruang kepada remaja etnik Tionghoa dan Jawa untuk saling
berinteraksi dan bergaul.
14
2. Kondisi masyarakat Kota Tegal yang multikultural mengakibtakan terjalinnya
interaksi sosial-budaya antar etnik, khususnya antara etnik Tionghoa dengan
etnik Jawa di Kampung Pecinan. Interaksi sosial-budaya antar etnik tersebut
juga terjadi pada kalangan remaja etnik Tionghoa dan etnik Jawa di
lingkungannya, misalnya di lingkungan bermain, pergaulan, tempat tinggal
atau sekolah. Interaksi sosial-budaya yang terjadi antar remaja etnik Tionghoa
dan etnik Jawa bisa saja bersifat assosiatif maupun disassosiatif.
3. Proses interaksi sosial pada masyarakat akan menghasilkan “makna”.
Interaksi sosial-budaya antar etnik Tionghoa dengan etnik Jawa di Kampung
Pecinan Kota Tegal, khususnya pada kalangan remaja juga menghasilkan
suatu “makna”. Setelah terjadi proses interaksi sosial-budaya, remaja etnik
Tionghoa akan memaknai remaja etnik Jawa begitu juga sebaliknya, sebagai
musuh ataukah saudara.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah kontribusi masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai
multikulturalisme pada remaja etnik Tionghoa dan etnik Jawa di Kampung
Pecinan Kota Tegal?
2. Bagaimanakah interaksi sosial-budaya antara remaja etnik Tionghoa dan
etnik Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal ?
3. Bagaimanakah makna yang muncul dalam interaksi sosial-budaya antara
remaja etnik Tionghoa dengan etnik Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal?
15
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan penelitian yang ingin
dicapai adalah :
1. Menganalisis tentang kontribusi masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai
multikulturalisme pada remaja etnik Tionghoa dan Jawa di Kampung Pecinan
Kota Tegal.
2. Menganalisis interaksi sosial-budaya antar remaja etnik Tionghoa dan etnik
Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal.
3. Menganalisis makna yang muncul dalam interaksi sosial-budaya antar remaja
etnik Tionghoa dengan etnik Jawa di Kampung Pecinan Kota Tegal.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun
praktis yaitu sebagai berikut:
1. Secara teoritis, manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Memberi sumbangan bagi dunia ilmu sosial pada umumnya dan teori
interaksionisme simbolik Herbert Blumer pada khususnya, untuk mengkritisi,
menyanggah atau memberi varian-varian baru pada teori-teori Interasionisme
Simbolik.
b. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan di bidang penelitian sejenis atau sebagai
bahan pengembangan apabila akan dilakukan penelitian lanjutan.
16
2. Secara praktis, kegunaan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagi remaja etnik Tionghoa dan etnik Jawa, penanaman nilai-nilai
multikulturalisme memberikan pemahaman bahwa keberagaman etnik,
budaya, agama atau ras merupakan suatu keniscayaan dan tidak perlu
dipertentangkan. Sehingga bisa terjalin interaksi sosial-budaya dilandasi
dengan rasa toleransi.
b. Bagi masyarakat di Kampung Pecinan Kota Tegal, memberikan informasi
bahwa diperlukan kontribusi nyata dari masyarakat stempat untuk
menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai multikulturalisme dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga terwujud kehidupan multikultural yang
harmonis.
c. Bagi Pemerintah Kota Tegal, memberikan informasi pentingnya penanaman
nilai-nilai multikulturalisme sebagai usaha pencegahan atau untuk meredam
kemungkinan terjadinya konflik sosial antar etnik di Kota Tegal. Sehingga
bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam merumuskan suatu
kebijakan.