nilai-nilai pendidikan akhlak dalam...
TRANSCRIPT
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM
SURAT AL-FURQON AYAT 63-67
SKRIPSI
Disusun Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (SI)
Oleh :
UMI ROCHMATUL UMMAH
111 12 072
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
i
ii
iii
MOTTO
…
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
(Q.S al-Ra’d: 11)”
Vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah dengan izin Allah SWT skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik. Skripsi ini penulis persembahkan untuk :
1. Ibu dan bapak tercinta yang selalu memberikan do‟a restu, kasih sayang,
mendidik dari kecil sampai sekarang serta memberikan dukungan baik moril
maupun materiil
2. Suami tercinta yang tak henti-hentinya memberikan dukungan apapun dalam
menyelesaikan skripsi ini dan yang selalu memberikan nasihat untuk selalu
sabar dalam meraih kesuksesan
3. Bapak Prof. Dr. Budiharjo, M. Ag, yang telah sabar dalam mengarahkan dan
memberikan masukan-masukan dalam menyusun skripsi ini.
4. Seluruh bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga, yang dengan
ikhlas membimbing dan mengarahkan penulis
5. Mbak Masruroh, Ika serta adik-adikku yang telah memberikan semangat serta
terimakasih telah memberikan motivasi
6. Teman-teman PAI B 2012 seperjuangan yang telah mengajari bagaimana
meraih kesuksesan serta motivasi dan dukungan
7. Teman-teman PPL SMK Muhammadiyah Plus Salatiga dan KKN 2016 yang
telah mengajari bagaimana kehidupan yang sesungguhnya dan tanggung
jawab
vii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah, segala puji bagi-Nya yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya. Sholawat salam selalu tercurahkan
pada junjungan nabi Muhammad SAW, yang telah menyampaikan dan membimbing
ummat pada jalan yang diridhoi Allah, dengan semangat dalam menebarkan ilmunya
dan cahaya kemulyaannya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “NILAI- NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL FURQON
AYAT 63-67”.
Alhamdulillah proses perjuangan dalam penyusunan skripsi ini telah penulis lalui
dengan baik. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Selanjutnya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang tulus dan ikhlas kepada :
1. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Bapak Dr. Rahmat
Hariyadi, M.Pd.
2. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Bapak Suwardi, M.Pd.
3. Ketua Jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam Ibu Siti Rukhayati, M.Ag.
4. Dosen pembimbing Bapak Prof. Dr. Budiharjo, M.Ag. atas bimbingan, arahan
dan motivasi yang diberikan.
viii
5. Bapak Dr. H. Miftahuddin, M.Ag. selaku pembimbing akademik.
6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu
selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.
7. Segenap keluarga tercinta yang memberikan semangat berupa moril, materil
dan spirit untuk menyelesaikan pendidikan ini.
8. Semua pihak yang ikut serta memberikan bantuan dan motivasi dalam
penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdo‟a, semoga amal dan kebaikan semua
pihak dapat diterima oleh Allah sebagai amal sholeh dan mendapatkan
balasan sebaik-baiknya.
Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini melainkan hanya Allah yang
Maha Sempurna. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran kepada semua
pihak dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini
bermanfaat dan berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Salatiga, September 2017
Penulis
Umi Rochmatul Ummah
111-12-072
ix
ABSTRAK
Ummah, Umi Rochmatul. 2017 Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam al-Qur‟an
Surat al-Furqon Ayat 63-67. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan
Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing: Prof. Dr. Budiharjo, M.Ag
Kata Kunci: Nilai-nilai Akhlak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menelaah makna nilai-nilai
pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-Furqon ayat 63-67. Pertanyaan
yang ingin diuraikan melalui penelitian ini adalah: 1). nilai-nilai pendidikan akhlak
yang Allah ajarkan kepada manusia (Hamba yanga beriman) melalui wahyu surat al-
Furqon ayat 63-67. 2). Bagaimana uraiaan para mufassir “yang telah penulis
tentukan” membahas tafsir surat al-Furqon ayat 63-67.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), Yaitu
mengadakan penelitian dengan cara mempelajari dan membaca literatur-literatur yang
ada hubungannya dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Studi
kepustakaan merupakan tehnik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah
terhadap buku-buku, literatu-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan diteliti Pengambilan data yang berasal dari
buku-buku atau karya ilmiah di bidang tafsir, pendidikan yang relevan dengan
pembahasan ini, yakni dengan membaca, menganalisis dan dipahami untuk
selanjutnya dituangkan ke dalam skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ahlak yang dapat diambil
dan diamalkan oleh setiap muslim yang menghendaki kehidupan yang baik di dunia
dan akhirat maka harus menjalankan yang Allah kehendaki dalam al-Qur‟an, setiap
manusia yang beriman (mu‟min) harus mengamalkan nilai-nilai akhlak yang
terkandung dalam surat al-Furqon ayat 63-67, sifat yang Allah jelaskan dalam ayat ini
pertama setiap hamba Allah yang beriman hendaknya selalu memiliki sifat tawadhu‟
baik dalam menjaga dirinya sendiri maupun bersikap tawadhu‟ dalam bersosial,
gambaran akhlak tawadu‟ yang sempurna telah dicontohkan oleh nabi Muhammad
SAW, mengisi anugrah malam yang Allah berikan dengan memperbanyak sujud
kepada Allah sebagai bentuk syukur atas nikmat yang telah diterima, selalu memohon
kepada Allah dengan do‟a-do‟a sebagai bentuk kepasrahan seorang hamba akan
balasan yang dijanjikan Allah, menanamkan ketaqwaan (rasa takut) atas balasan yang
kelak diberikan berupa neraka jahannam dan setiap hamba Allah yang beriman
hendaknya mebelanjakan nikmat rizqi yang Allah anugerahkan dengan cara dan porsi
yang sesuai dan berimbang (moderat).
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i
HALAMAN BERLOGO…………………………………….………………… ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………………. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN……………………………………. iv
PENGESAHAN………………………………………………………………… v
MOTTO…………………………………………………………………………. vi
PERSEMBAHAN ……………………………………………………………… vii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… viii
ABSTRAK……………………………………………………………………… x
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………… 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah……………………………………………. 8
C. Tujuan dan manfaat Penelitian …………………………………………….. 8
D. Metode penelitian ………………………………………………………….. 9
1. Jenis Penelitian ……………………………………………………….... 9
2. Tekhnik Pengumpulan Data …………………………………………… 9
xi
E. AnalisisData ……………………………………………………………….. 10
F. Sistematika Penulisan Skripsi ……………………………………………. 11
BAB II KOMPILASI AYAT SURAT AL-FURQON AYAT 63-67
A. Tafsir Al Furqon Karya Ahmad Musthofa Al Maraghy……………….. 14
B. Tafsir An-Nuur Karya Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy………………………………………………………….. 20
C. Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab …………………………. 23
BAB III MUNASABAH DAN ASBABUN NUZUL SURAT AL-FURQON
AYAT 63-67
A. Munasabah…………………………………………………………….. 35
1. Pengertian Munasabah……………………………………………… 35
2. Munasabah Antar Ayat…………………………………………….. 35
B. Asbabun Nuzul…………………………………………………………. 44
BAB IV PEMBAHASAN
A. Tafsir Al Furqon Karya Ahmad Musthofa Al- Maraghi………………. 46
1. Sifat hamba Allah dalam Berjalan………………………………….. 46
2. Sifat Hamba Allah terhadap Orang jahil……………………………….. 47
B. Tafsir An-Nuur teungku Muhammad Hasbhi ash-shidiqqi……………… 47
xii
1. Sifat hamba Allah dalam Berjalan …………………………………. . 47
2. Sifat Hamba Allah terhadap Orang jahil………………………………… 48
C. Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab…………………………….. 48
1. Sifat hamba Allah dalam Berjalan…………………………………… 49
2. Sifat Hamba Allah terhadap Orang jahil …………………………… 49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………………. 54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar SKK
2. Nota Pembimbing Skripsi
3. Lembar Konsultasi
4. Daftar Riwayat Hidup
Xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Islam adalah agama yang memberikan arti yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, Islam lahir ketika peradaban dunia dan umat manusia dalam
keadaan yang sangat rendah, bahkan keaadaan itu begitu memprihatinkan baik
dalam hubungan manusia dengan tuhan-Nya maupun dalam hubungan manusia
dengan manusia serta manusia dengan lingkungan yaitu keaadaan yang
digambarkan dengan zaman kegelapan dan kebodohan (zaman jahiliyah).
Islam lahir dengan membawa dasar pokok yang menjadi pedoman bagi
kehidupan umat manusia baik untuk masa itu maupun untuk masa yang akan
datang, dasar pokok yang menjadi pedoman manusia tersebut yakni al-Qur‟an dan
al-Hadits yang didalamnya menguraikan dengan jelas tentang moral atau akhlak
dalam segala bentuk kegiatan manusia. Islam lahir dengan membawa tujuan
pendidikan yang agung yaitu menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya
dan masyarakat serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan
ajaran islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan manusia
sesamanya.(Tim Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1983: 28). Ajaran-ajaran
yang disampaikan oleh Allah melalui nabinya yaitu nabi Muhammad saw selain
pengajaran secara umum namun, ajaran-ajaran islam lebih menitik beratkan pada
bagaimana kepribadian seorang muslim yang menjadikan nabi Muhammad saw
sebagai suri tauladan bagi manusia yaitu dengan memberi contoh, melatih
keterampilan berbuat, memberi motifasi dan menciptakan lingkungan sosial yang
mendukung ide pembentukan pribadi muslim itu. (Tim Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama, 1983: 27 ) .
Salah satu misi Muhammad yang diutus sebagai nabi dan rasul adalah
untuk menyempurnakan akhlak manusia karena mulia atau tidaknya seseorang
sangat bergantung kepada sejauh mana ia menampilkan dirinya dengan akhlak
yang agung. (H.Ahmad Yani 2014: 8) sebagai “uswatun hasanah” bagi umat
Islam apapun yang dilakukan oleh Rosulullah saw tidak akan salah apalagi
bertentangan dengan tatanan kemaslahatan manusia, hal demikian dapat terjadi
karena untuk sampai kearah penyempurnaan akhlak harus dilakukan secara
bertahap dengan melaksanakan ajaran dan petunjuk-petunjuk yang terkandung
dalam al-qur‟an. Allah berfirman dalam al-Qur‟an surat al-Qolam ayat 4 :
Artinya:Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.
Akhlak dalam Islam merupakan jalan hidup manusia yang paling
sempurna dan menuntun umat kepada roda kehidupan yang dapat menghantarkan
kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, tujuan yang paling tinggi dari segala
tingkah laku manusia menurut pandangan Islam adalah mendapatkan ridho dari
Allah SWT. Sedangkan tuntunan dan petujuk dari semua ajaran yang dapat
menuntun manusia menuju kebahagian dan kesejahteraan itu terkandung dalam
al-Qur‟an karim, yakni al-Qur‟an sebagai sumber utama dan mata air yang
memancarkan ajaran islam yang harus dipahami dan dipelajari oleh setiap muslim
yang menginginkan kehidupan sesuai yang di harapkan oleh ajaran agama islam
itu sendiri. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab 21 :
Artinya:” Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Nabi agung Muhammad saw merupakan suri tauladan bagi umat manusia
yang segala sesuatu amaliyahnya hendaknya menjadi pedoman bagi umat muslim
yang benar-benar beriman dan yakin akan kebenaran yang beliau sampaikan,
kebenaran-kebenaran yang beliau sampaikan merupakan bentuk dari ilmu yang
semuanya bersumber dari kitab Allah (al-Qur‟an). Kebenaran nabi Muhammad
juga terdapat dalam firman Allah surat al-Kahfi ayat 110.
Artinya : “ Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya (Al-
Kahfi:110)”.
Nabi Muhammad sesungguhnya adalah manusia biasa yang diwahyukan
untuk membawa al-Qur‟an dan diperintahkan untuk memberitahu para umatnya
bahwa Tuhan adalah Tuhan yang Esa. Dalam hal ini selain kewajiban yang
berhubungan langsung dengan Allah “HablumminAllah” sebagai wujud
pengabdian seorang hamba dengan TuhanNya dengan melaksankan ibadah-
ibadah yang merupakan kewajiban bagi setiap hamba yang mengharapkan
balasan dan kedekatan dengan Tuhan, al-Qur‟an juga memberikan jalan atau pun
kunci bagaimana seorang hamba dapat memperoleh kebahagiaan akhirat yang
dapat di tempuh dengan beribadah atau beramal kebaikan kepada sesama.
Nilai-nilai akhlak itu bersumber atau berasal dari Allah, bukan buatan
manuasia. Allah telah mewahyukan Qur‟an yang berisi tentang nilai-nilai
pendidikan akhlak yang mulia kepada Nabi Muhammad saw.,yang kemudian
penjelasannya dipaparkan kepada sunnah Nabi saw. Nilai-nilai akhlak dan
pendidikan akhlak bagi muslim berdiri diatas tanggung jawab terhadap perkataan
dan perbuatan. Motif dalam diri manusia adalah persoalan yang tumbuh dalam
dirinya. Kenyataan bahwa pribadi muslim bertanggung jawab di hadapan Allah
atas semua yang diucapkan dan yang dikerjakan. Dalam al Qur‟an telah
dijelaskan dalam surat al Mudatstir ayat 38 yang berbunyi :
Artinya : “Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah
dilakukannya” ( Q.S. Al Mudatstir : 38)
Oleh karenanya, sesungguhnya tantangan generasi mendatang merupakan
tantangan generasi yang teramat berat dan dilematik, pada satu sisi kemajuan
teknologi akan memberikan banyak kemudahan dan kesejahteraan baru bagi
manusia. Akan tetapi, kemajuan zaman dan teknologi juga seringkali membuat
lupa dengan tujuan penciptaan manusia yang hendaknya menjadi hamba yang
selalu bertaqwa kepada Allah.
Globalisasi telah menikung manusia. Kita bahkan miris dengan generasi muda
Islam, yang sebagian besar telah terpengaruh dengan budaya global yang negatif,
bebas dari nilai-nilai dan hanya mengejar kesenangan duniawi. Mereka telah
meninggalkan nilai-nilai moralitas Islam. Mereka terperosok dalam hedodis
(kesenangan dunia) dan melupakan religiusitas dan spiritualias. Padahal untuk
menggapai segala kenikmatan yang hakiki dan terhindar dari kemurkaan Allah
harus berahlakul karimah “ Akhlak berarti suatu kemantapan (jiwa) yang
menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus
direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan itu sedemikian, sehingga
menghasilkan amal-amal yang baik yaitu amal yang terpuji menurut akal dan
syari‟ah maka ini disebut amal yang baik dan kebiasaan yang baik (M. Abul
Quasem, 1988: 81).
Dengan kembali pada tujuan “ tujuan ialah sesuatu yang diharapkan tercapai
setelah sesuatu usaha atau kegiatan telah selesai, dengan melalui proses dan
pembiasaan serta tujuan pendidikan bukanlah suatu suatu benda yang bersifat
tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian
seseorang ( Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN ; 1982/1983: 28),
dengan demikian maka setiap tujuan menjalani kehidupan ini harus disandarkan
pada tuntunan dan pedoman seorang muslim yakni al-Qur‟an.
Al Qur`an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka, yang in
gin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kandungan al Qur`an
berhubungan dengan hal-hal keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-
kisah, filsafat, peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup man
usia, baik sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Dapat dikatakan bahwa dalam al Qur`an termuat seluruh aspek
pendidikan secara universal. Salah satu aspek pendidikan yang perlu
dikembangkan termuat dalam surat al Furqan pada kelompok ayat-ayat terakhir.
Kelompokayatinidimulai dari ayat ke 63 hingga 67 menampilkan ”ibadur
rahman”dengan sifat yang istimewa dan karakteristik khusus bagi hamba Al
lah.
Sehingga sifat-sifat mereka inilah yang menjadi contoh hidup yang realistis
bagi manusia yang dikehendaki islam. Sejalan dengan firman Allah yang
terkandung dalam surat al-furqon tersebut, Allah telah menggambarkan para
hamba-Nya yang merupakan hasil saringan dari sekian banyak umat manusia.
Mereka adalah orang-orang yang keperibadianya baik, akhlak dan prilakunya
baik baik terhadap sesame umat Islam. Selain berintraksi dengan sesamnay
diwaktu siang mereka juga menunjukkan ketakwaanya di waktu malam, seperti
halnya mengerjakan sholat malam. Kesadaran dalam bentuk pengabdian mereka
wujudkan dengan ketaatan terhadap hal-hal yang menjadi larangan-Nya.
Ketaatan itu membawa mereka untuk selalu dekat dengan kebaikan dan
pintu taubat.Sebagaimana telah banyak diketahui bahwa singkatnyapelaksanaan
pendidikan bertujuan agar tercapai aspek manusia seutuhnya, yang
berakhlak mulia, mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat serta dimulai dengan
kesadaran manusia mengabdi dan takut kepada-
Nya. sifat agung itulah yang sebenarnya ingin diwujudkan dandikembangkan
dalam proses pendidikan. Hal ini terlihat dari perkataan Al Ghazali bahwa
pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri k
epada Allah dan kesempurnaan insani dan mengarahkan manusia untuk me
ncapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat. Selain Al-Ghozali,
masih banyak pula tokoh-tokoh pendidikan yang mengemukakan tujuan
pendidikan yang hakiki. Berdasarkan paparan diatas penulis tertarik untuk
membahas dan mendalami tentang nilai-nilai pendidikan akidah dan akhlak
seorang muslim untuk mencapai dan mendapat gelar “‟ibadurrahman” yang
tertuang dalam surat al-Furqon ayat 63-67 tersebut dalam bentuk skripsi.
Diharapkan dengan penulisan ini dapat memberi wawasan nilai-nilai akhlak yang
telah digagas oleh al-Qur‟an jauh-jauh hari menurut pendapat para mufassir.
Selain itu juga aplikasinya dalam menjalani kehidupan yang tidak hanya
berorientasi pada keduniaan saja melainkan keseimbangan antara dunia dan
akhirat. Maka penulis akan membahasnya dengan judul “ NILAI-NILAI
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN SURAT AL-FURQON
AYAT 63-67
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana isi kandungan surat al-Furqon ayat 63-67 ?
2. Bagaimana isi kandungan surat al-Furqon ayat 63-67 menurut para mufassir
dalam nilai pendidikan dan akhlak ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian ini adalah :
a. Penulis ingin mengetahui isi kandungan surat al-Furqon ayat 63-67.
b. Penulis ingin mengetahui isi kandungan surat al-Furqon ayat 63-67
menurut para mufasir dalam nilai pendidikan dan akhlak.
2. Adapun manfaat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Manfaat teoritis:
Menambah wawasan dan referensi keilmuan penulis tentang nilai-nilai
pendidikan dan akhlak dalam al-Qur‟an.
b. Manfaat praktis:
Secara praktis pembahasan ini diharapkan bisa digunakan sebagai salah
satu pedoman dan acuan dalam penerapan nilai-nilai pendidikan dan
akhlak dalam kehidupan sehari-hari sesuai pedoman al-Qur‟an.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengambil data dari pendapat
para ahli yang dituangkan dalam buku-buku, istilah ini biasanya disebut
library research (penelitian pustaka). Yaitu mengadakan penelitian dengan
cara mempelajari dan membaca literatur-literatur yang ada hubungannya
dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Studi kepustakaan
merupakan tehnik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah
terhadap buku-buku, literatu-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan
yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti (Nazir, 1985:111).
Pengambilan data yang berasal dari buku-buku atau karya ilmiah di bidang
tafsir, pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini, yakni dengan
membaca, menganalisis dan dipahami untuk selanjutnya dituangkan ke dalam
skripsi ini.
2. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data penulis menggunakan tehnik dokumentasi.
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger,
agenda, dan sebagainya (Arikunto Suharsimi, 2010:274).
Dikarenakan metode ini bersifat library research dalam pengumpulan
data yang akan digunakan dalam penelitian, maka penulis membagi sumber
data menjadi dua, yaitu : Sumber data dalam penulisan ini terdiri dari sumber
primer dan sekunder.
a. Sumber primer dalam penulisan ini adalah al-Qur‟anul Karim yang
berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan akhlak yaitu surat al-Furqon ayat
63-67 dan berbagai pendapat para mufasir.
b. Adapun sumber sekundernya adalah tafsir-tafsir al-Qur‟an yang berkaitan
dengan nilai-nilai pendidikan akhlak dan buku-buku lain yang relevan
dengan pembahasan skripsi.
E. Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah terkumpul penulis menggunakan
metode Muqaran. Metode Muqaran adalah metode tafsir al-Qur‟an dengan
cara membandingkan ayat dengan ayat yang lain, yaitu ayat yang mempunyai
kemiripan redaksi dalam dua masalah atau lebih, atau kasus yang berbeda dan
yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah yang sama, atau
membandingkan ayat-ayat dengan hadits-hadits yang tampak bertentangan
serta membandingkan pendapat-pendapat Ulama Tafsir yang menyangkut
penafsiran al-Qur‟an (Budiharjo, 2012: 132).
F. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI
Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian, maka disusunlah
sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah
rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, analisis data dan sistematika penulisan
skripsi.
BAB II : KOMPILASI AYAT
Merupakan pemaparan hasil penelitian yang berupa telaah
terhadap Q.S al-Furqon ayat 63-67 yang meliputi pembahasan
dari para mufassir yang telah ditentukan
BAB III : MUNASABAH DAN ASBABUNNUZUL SURAT AL-
FURQON AYAT 63-67
Pada bab ini akan diuraikan tentang pembahasan munasabah
dan asbabunnuzul antar ayat tafsir surat al-Furqon ayat 63-67
dengan ayat-ayat pada surat yang berkaitan dengan tema
pembahasan
BAB IV : PEMBAHASAN
Pada bab pembahasan ini akan diuraikan tentang analisis dari
setiap ayat yang dikemuakakan oleh masing-masing mufassir
yang kemudian ditarik kesimpulan dari tema pembahasan
tentang nilai akhlak yang terkandung dalam ayat tersebut.
BAB V : PENUTUP
Mengakhiri penulisan skripsi pada bab ke V akan diuraikan
mengenai kesimpulan akhir dari hasil penelitian, saran-saran
yang berhubungan dengan pihak-pihak terkait dari subyek
penelitian serta daftar pustaka.
BAB II
KOMPILASI AYAT SURAT AL-FURQAN AYAT 63-67
Artinya :
63. Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan.
64. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan
mereka.
65. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari
kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".
66. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat
kediaman.
67. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-
tengah antara yang demikian.
A. TAFSIR AL FURQON KARYA AHMAD MUSTOFA AL- MARAGHY
Artinya : Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-
orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan.
Pada hamba Allah yang berhak menerima ganjaran dan pahala dari
Tuhanya ialah orang yang berjalan dengan tenang dan sopan, tidak
menghentak-hentakkan kaki maupun terompahnya dengan congklak dan
sombong.
Diriwayatkan bahwa Umar r.a melihat seorang budak berjalan dengan
sombong. Umar berkata, “ sesungguhnya berjalan dengan sombong itu adalah
berjalan yang dibenci, kecuali jika dilakukan di jalan Allah. Sesungguhnya
Allah telah memuji beberapa kaum.” Lalu dia membaca : wa „ibadur-
rahmanil-Lazzina yamsyuna „alal-ardi haunan,” maka bersikaplah sederhana
dalam kamu berjalan.”
Ibnu Abbas mengatakan, orang-orang Mu‟min yang berjalan itu adalah
ulama yang bersikap lemah-lembut, sopan dan menjaga kehormatanya.
Mengenai gambaran nabi saw, dikatakan, apabila tergelincir beliau
mengangkat kakinya dengan kuat, beliau melangkah dengan sedikit condong
kedepan, berjalan dengan halus dan tenang, langkahnya lebar, dan apabila
berjalan, seakan ia sedang berada pada jalan yang menurun, yakni, beliau
mengangkat kakinya dengan cepat dan melebarkan langkahnya, berbeda
dengan orang yang berjalan dengan menyombongkan diri, semua itu beliau
lakukan dengan halus dan pasti tanpa tergesa-gesa, karena itu dikatakan,
seakan beliau berjalan pada jalan yang menurun. Demikian dikemukakan oleh
Al-qodi „iyad di dalam Asy-Syifa‟.
Ringkasan: mereka tidak sombong, tidak ingin meninggikan diri, tidak
pula ingin mengadakan kerusakan di muka bumi.
Artinya :” dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”
Jika mereka disapa oleh orang-orang bodoh dengan perkataan yang
buruk, mereka tidak membalasnya dengan perkataan yang serupa, tetapi
memberi maaf dan hanya mengatakan yang baik, Rasulullah saw., jika
meNdapat perlakuan yang kasar dari orang yang jahil, hali itu membuat beliau
semakin penyantun,
Hasan al-Basri mengatakan, mereka adalah para penyantun yang tidak
jahil. Jika mereka dijahili, maka mereka bersikap penyantun dan tidak jahil.
Ini adlah sikap mereka di siang hari, bagaimana sikap mereka di malam hari?
Sungguh malam yang paling baik, mereka meneguhkan keimanan dan
mengalirkan air mata, memohon kepada Allah agar dimerdekakan dari
perbudakan.
Ibnu „Arabi mengatakan, ketika itu kaum muslimin belum
diperintahkan untuk mengatakan salam kepada kaum musyrikin, beliau pula
dilarang untuk itu, tetapi mereka disuruh untuk memberi maaf dan
membiarkan perlakuan pada seorang jahil secara baik. Rasulullah saw. Bisa
berada ditempat-tempat pertemuan kaum musyrikin; beliau memberikan
salam kepada mereka dan mengadakan pendekatan kepada mereka tanpa
merayu-rayu.
Setelah mengemukakan mereka terhadap sesaman makhluk,
selanjutnya Allah mengemukakan hubungan mereka dengan-Nya.Orang-
orang yang bermalam dengan sujud dan berdiri untuk ibadah kepada Tuhan-
Nya; yakni mereka menghidupkan seluruh malam atau sebagianya dengan
shalat.
Artinya: Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan
berdiri untuk Tuhan mereka.
Diungkapkanya ibadah dengan bangun malam secara khusus, karena
ibadah pada malam lebih terhindar dari berlaku riya‟. Ibnu Abbas
mengatakan, barang siapa melaksanakan shalat dua rakaat atau lebih setelah
salat isya‟ berarti ia telah bermalam dengan bangun bersujud kepada Allah.
Al-Kalbi mengatakan, barang siapa mengerjakan shalat dua raka‟at setelah
shalat Magrib dan empat raka‟at setelah Isya‟ berarti ia telah bermalam
dengan bangun bersujud kepada Allah.
Serupa dengan ayat tersebut ialah firman Allah dalam ayat-ayat
berikut:
Artinya : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka
selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta
mereka menafkahkan apa apa rezki yang kami berikan.(As-sajdah,32:16)
Artinya: “Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.Dan
selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar (Az-zariat,51: 17-
18)
Mereka Memohon Dipalingkan Dari Azab
Artinya: Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan
tempat kediaman.
Orang-orang yang memohon kepada Allah agar dia memalingkan
mereka dari azab jahannam dan penderitaannya yang sangat keras.
Di sini Allah memuji mereka, sekalipun mereka telah bergaul dengan
baik dengan sesama makhluk dan sungguh-sungguh beribadah dengan sang
Khaliq yang tidak mempunyai sekutu, namun mereka senatiasa takut kepada
azab-Nya dan berdo‟a agar dia memalingkan mereka darinya, tidak
menumpukkah harapan pada amal yang telah mereka lakukan. Hal ini
ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya yang lain:
Artinya: “ Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka
berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. (Al-Mu‟minun, 23:60)
Maksudnya: Karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan
untuk dihisab, Maka mereka khawatir kalau-kalau pemberian-pemberian
(sedekah-sedekah) yang mereka berikan, dan amal ibadah yang mereka
kerjakan itu tidak diterima Tuhan.
Kemudian Allah mengemukakan dengan dua alasan mengapa mereka
mengajukan permohonan itu :
Artinya: Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".
Karena azab jahanam itu adalah kebinasaan yang kekal dan kerugian
yang pasti
Artinya: Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap
dan tempat kediaman.
Karena, jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat tinggal dan tempat
menetap. Mereka mengatakan demikian berdasarkan pengetahuan yang
mereka miliki. Mereka adalah orang yang paling tahu tentang besarnya apa
yang mereka mohon, maka hal itu lebih memudahkan mereka agar
memperolaeh apa yang mereka inginkan.
Setiap Yang Berhutang Akan Meninggalkan Hutangnya Kecuali Yang
berhutang Jahannam
Hasan mengatakan, mereka telah mengetahui betul bahwa setiap yang
berhutang akan lepas dari hutangnya, kecuali orang yang berhutang jahannam.
Muhammad bin Ka‟ab mengatakan Allah ta‟ala menyuruh mereka untuk
membayar harga surga di dunia tetapi mereka tidak membayarnya maka dia
mengambil pembayaran itu dan memasukkan mereka ke dalam neraka.
Artinya :”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.
Orang-orang yang tidak berlaku mubadzir didalam mengeluarkan
nafkah, maka tidak mengeluarkanya lebih dari kebutuhan, tidak pula kikir
terhadap diri mereka dan keluarga mereka sehingga mengabaikan kewajiban
terhadap mereka tetapi mereka mengeluarkanya secara adil dan pertengahan
dan sebaik-baik perkara adalah yang paling pertengahan.
Yazid bin Abu Habib mengatakan, mereka adalah para sahabat,
Muhammad saw yang tidak memakan makanan untuk bersenang-senang dan
berenak-enakan tidak pula mengenakan pakaian untuk keindahan, tetapi
mereka makan untuk menutupi kelaparan dan menguatkan mereka dalam
beribadah pada Tuhan, serta mengenakan pakaian untuk menutupi aurat dan
melindungi mereka dari panas serta dingin.
B. TAFSIR AN-NUUR KARYA TEUNGKU MUHAMMAD HASBHI ASH-
SHIDDIEQY
Artinya: “ Dan hamba-hamba Allah yang Rahman itulah yang berjalan
dimuka bumi dengan lemah lembut.”
Hamba-hamba Allah yang benar-benar mu‟min adalah mereka yang
berjalan dengan lemah lembut, tenang, dan khudhu‟. Mereka tidak
memperlihatkan sikap sombong dan congkak (arogan), dan bergaul dengan
sesama secara akrab dan ramah.
Hal ini tidak memberi pengertian bahwa kita harus berjalan seperti orang
sakit berjalan, berpura-pura tunduk dengan maksud memperlihatkan kesalahan
diri. Tetapi yang dimaksud adalah berjalan dengan tidak memperlihatkan sikap
congkak dan takabur (besar kepala).
Inilah sifat pertama dari sifat hamba Allah yang mukhlis (ikhlas). Yang
berhak menerima pembalasan dan pahala dari Allah.
Artinya: ” dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
Jika mereka diganggu oleh orang-orang yang tidak berakal, mereka
menyambut gangguan (godaan) itu dengan cara yang baik dan simpatik, yaitu
dengan ucapan yang mengandung perdamaian. Tegasnya, mereka memberi
maaf. Ini adalah sikap yang kedua
Artinya: “ Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan
berdiri untuk Tuhan mereka.”
Mereka yang bersembahyang pada malam hari, baik bersembahyang pada
seluruh atau sebagian malam. Dikhususkan “ibadah malam” disini karena ibadah
malam jauh dari sikap riya‟.
Ulama‟ salaf berkata : “ ayat ini mengandung pujian kepada orang yang
melakukan sembahyang malam dengan hati yang ikhlas untuk memperoleh
keridhoan Allah yang mulia.”inilah sifat yang ketiga.
Artinya: “Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab
Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.”
Hamba-hamba Allah yang benar-benar beriman senantiasa dalam
ketakutan dan tidak merasa aman terhadap ancaman Allah. Maka, senantiasa
mereka menyebut nama Allah, mereka takut kepada azab-Nya, dan selalu
memohon: “wahai tuhan kami, palingkanlah kami dari azab jahannam yang
disediakan untuk orang-orang durhaka.” Inilah sifat keempat.
Allah selanjutnya menerangkan sebab-sebab, mengapa para mukmin yang
benar mengemukakan seperti itu.
Artinya: “ Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".
Penyebab pertama, karena azab neraka adalah azab yang terus menerus
melekat, tidak sedikitpun dapat terpisah, dan bahkan membinasakan.
Artinya: “Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap
dan tempat kediaman.”
Penyebab yang kedua, karena neraka itu adalah seburuk-buruk tempat
berteduh. Para mukmin meyakini benar bahwa neraka itu sangat buruk
keadaanya. Oleh karena itu, mereka terus berusaha dengan segala daya upaya
melakukan apa yang dikehendaki oleh ilmu itu, sehingga bisa terhindar dari azab
api neraka.
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-
tengah antara yang demikian.”
Hamba Allah yang benar-benar mukmin tidak akan melampaui batas
dalam menegeluarkan hartanya dan tidak pula berlaku kikir terhadap diri ataupun
terhadap keluarga. Mereka mengeluarkan nafkah secara seimbang, tidak
melampaui batas dan tidak pula sangat kurang dari batas. inilah dasar berhemat
yang dianjurkan oleh al-qur‟an. Inilah sifat yang kelima.
C. TAFSIR AL-MISBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB
Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-
orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang
jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan.
Rujuklah ke ayat 17 surah ini untuk memahami makna kata (عباد) „ibid.
Kata (الَزحوي) ar-Rahman telah penulis kemukakan pengertiannya pada ayat 26
surah ini. Rujuklah ke sana! Yang penulis ingin tambahkan di sini, adalah tentang
meneladani sifat ar-Rahman. Dalam buku Menyingkap Tabir ilahi, penulis
menguraikan hal tersebut antara lain dengan mengutip Imam Ghazali.
Menurut Hujjatul Islam itu, buah yang dihasilkan oleh peneladanan sifat
ar-Rahman pada diri seseorang akan menjadikannya memercikkan rahmat dan
kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantarkan
mengalihkan mereka dari jalan kelengahan menuju Allah dengan memberikannya
nasihat secara lemah lembut, tidak dengan kekerasan. Dia akan memandang
orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang bukan dengan gangguan
serta menilai setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya bagaikan kedurhakaan
terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya pun untuk
menghilangkannya sesuai kemampuannya, sebagai pengejawantahan dari
rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan
kejauhan dari sisi-Nya.
Selanjutnya kemukakan di sana bahwa:. “Kita juga dapat berkata bahwa
seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah Rahman (Pemberi rahmat kepada
makluk-makluk-Nya dalam kehidupan dunia), akan berusaha memantapkan pada
dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri kepribadiannya,
selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu
kepada semua manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat
keimanan, serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk
lain baik yang hidup maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang
tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya dan kehangatannya, kepada siapa pun
dan dimanapun.
Kata ( اهىى ) haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang
dipilih di sini, adalah mashdar/ indefinitenoun yang mengandung makna
“kesempurnaan”. Dengan demikian maknanya adalah penuh dengan
kelemahlembutan.
Sifat hamba-hamba Allah itu yang dilukiskan dengan ( يوشىى على االرض
yamsyuna „ala al-ardhi baunan/ berjalan di atas bumi dengan lemah lembut (هىًا
dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau
kasar. Dalam konteks cara jalan. Nabi saw. Mengigatkan agar seseorang tidak
berjalan dengan angkuh, membusungkan dada. Namun ketika beliau melihat
seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan
angkuh, beliua bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali
dalam situasi (perang) ini” (HR. Muslim).
Kini pada masa kesibukan dan kesemrautan lalu lintas kita dapat
memasukkan dalam pengertian kata ( اهىى ) haunan, disiplin lalu lintas dan
penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan
sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri
sehingga berjalan dengan cepat dengan melecehkan kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan, atau
larangan tergesa-gesa. Nabi Muhammad saw. Dilukiskan sebagai yang berjalan
dengan gesit, penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.
Seorang pemuda dilihat oleh Sayyidina „Umar ra. Berjalan melempem,
tanpa semangat bagaikan orang sakit. Beliau menghentikannya sambil bertanya
“Apakah engkau sakit?” setelah anak muda itu menjawab: “Tidak”. Sayyidina
„Umar ra. Menghardik dan memerintahkannya untuk berjalan dengan penuh
semangat.
Sementara ulama memahami kata (يوشىى) yamsyun/ mereka berjalan
pada ayat di atas dalam arti interaksi antar manusia. Pendapat ini dikaitkan
dengan QS. al-Baqoroh : 205 yang mencela para pendurhaka dengan firman-Nya :
Artinya: “ Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi
untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.
Penganut pemahaman di atas memperhadapkan kata “berjalan” pada
kedua ayat tersebut. Kalau interaksi orang kafir dan amal-amalnya sangat buruk,
maka interaksi orang mukmin yang dilukiskan dengan kata haunan adalah baik
dan benar. Dengan demikian – menurut mereka – penggalan ayat tersebut tidak
sekedar menggambarkan cara jalan mereka, atau sikap mereka ketika berjalan
tetapi lebih luas lagi yakni bahwa melakukan interaksi dengan pihak lain dalam
bentuk yang sebaik-baiknya dan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat. Thabathaba‟I cenderung memahami penggalan ayat ini dalam
pengertian tersebut.
Kata الجاهلىى) ) al-jahilun adalah bentuk jamak dari kata (الجاهل) al-jahil
yang berambil dari kata (جهل) jahala. Ia digunakan al-Qur‟an bukan sekedar
dalam arti seorang yang tidak tahu, tetapi juga dalam arti pelaku yang kehilangan
control dirinya sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan
nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga
digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi.
Kata (سالها) salaman terambil dari akar kata (سلن) yang maknanya
berkisar pada keselamatan dan keselamatan dan keterhindaran dari segala yang
tercela. Menurut al-Biqa‟I keselamatan adalah batas antara keharmonisan/
kedekatan dengan perpisahan, serta batas antara rahmat dengan siksaan. Jika
dipahami dalam arti ini, maka ucapan tersebut mengandung pertengkaran dan
perkelahian antara kita. Ia dapat juga berarti ucapan as-salam yang maksudnya di
sini adalah sapaan perpisahan. Dengan demikian ini bearti bahwa hamba-hamba
ar-Rahman itu bila disapa oleh orang-orang jahil mereka meninggalkan tempat
menuju tempat lain dimana mereka tidak berinteraksi dengan sang jahil itu.
Sikap itu yang diambilnya karena seperti dikemukakan diatas salam/
keselamatan adalah batas antara keharmonisan/ kedekatan dengan perpisahan,
serta batas antara rahmat dengan siksaan. Inilah yang paling wajar atau batas
minimal yang diterima seorang jahil dari hamba Allah yang Rahman, atau
seorang penjahat dari kuasa. Itu dalam rangka menghindari kejahilan yang lebih
besar atau menanti waktu untuk lahirnya kemampuan mencegahnya.
Salah satu nasihat yang amat berharga disampaikan oleh Sayyidina Ja‟far
ash-Shadiq kepada „Unwan ra, yang datang meminta nasihatnya adalah. “Jika ada
yang datang kepadanya lalu berkata: “Jika engkau mengucapkan satu cercaan,
maka engkau mendengar dariku sepuluh”, maka jawablah: “Jika engkau
memakiku sepuluh, engkau tak mendengar dariku walau satu: Jika engkau
memakiku, maka bila makianmu benar, aku bermohon semoga Tuhan
mengampuniku, dan bila keliru, aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku.”
Nasihat itu demikian karena kata atau kalimat buruk diibaratkan sebagai indung
telur. Menanggapinya sama dengan membuahi indung telur itu dengan sperma.
Pertemuan keduanya melahirnya anak, atau kalimat baru yang beranak cucu. Ini
melahirkan perang kata-kata yang mengakibatkan putusnya hubungan atau
lahirnya kerusuhan dan perkelahian, atau paling tidak habisnya waktu dan
terbuangnya energi secara sia-sia. Tetapi bila tidak dijawab dan dibiarkan berlalu,
maka itu berarti ia tidak dibuahi, dan dengan demikian indung telur menjadi sia-
sia persis seperti haidh yang menjijikan.
AYAT 64
Artinya: “ Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan
berdiri untuk Tuhan mereka”
Setelah menjelaskan sifat „Ibad ar-Rahman di siang hari dalam interaksi
mereka dengan sesama manusia, kini diuraikan keadaan mereka di malam hari.
Ini merupakan sifat mereka yang kedua. Ayat di atas menyatakan: Dan di
samping sifat mereka yang disebut ini, orang-orang yang digelar „Ibad ar-
Rahman itu juga adalah mereka yang digelar „Ibad ar-Rahman itu juga adalah
mereka yang senantiasa ketika memasuki malam hari beribadah serta tulus demi
untuk Tuhan Pemelihara mereka tanpa pamrih dalam keadaan sujud dan berdiri
yakni shalat.
Kata (و) wa / dan pada awal ayat ini dan ayat-ayat berikut
mengisyaratkan bahwa sifat yang disebut ini sebagaimana halnya sifat-sifat yang
lain secara berdiri sendiri merupakan sifat yang sangat terpuji dan itu saja telah
dapat menunjukkan betapa tinggi kedudukan mereka itu. Ia juga mengisyaratkan
bahwa mereka dikenal melalui sifat tersebut. Di dahulukannya kalimat (لزبَهن) li
rabbihim / demi untuk tuhan mereka atas (سَجدا) sujjadan / dalam keadaan sujud,
bertujuan menggaris bawahi keikhlasan mereka beribadah dan bahwa ibadah itu
tidak disertai dengan pamrih, bahkan dapat dikatakan bahwa ibadah mereka itu
semata-mata atas dorongan cinta kepada Allah swt, bukan untuk meraih surga-
Nya atau menghindar dari neraka-Nya.
Kata (يبتىى) yabitun terambil dari kata (بات) bata yang mengandung
makna keberadaan di waktu malam, baik dengan tidur maupun tidak.
Kata ( اسَجد ) sujjadan dan (قياها) qiyaman adalah bentuk jamak dari (ساجد)
sajid yakni sujud dan (قائن) qaim yakni berdiri. Berdiri dan sujud adalah dua
rukum shalat yang utama, dank arena itu banyak ulama memahami gabungan
kedua kata tersebut dalam arti sholat. Ada juga yang memahaminya lebih khusus
lagi yakni shalat tahajjud. Pendapat tersebut cukup beralasan, walau
memahaminya dalam pengertian umum di mana sholat termasuk adalah lebih
baik. Ini agar yang melakukan kegiatan positif yang mencerminkan sujud dan
ketundukan kepada Allah dapat tercakup olehnya. Didahulukannya kata (سَجدا)
sujjadan padahal dalam shalat qayaman/ berdiri dilakukan setelah terlebih dahulu
berdiri, bukan saja untuk tujuan mempersamakan bunyi akhir masing-masing ayat
sebelum dan sesudahnya, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengisyaratkan
betapa pentingnya dan dekatnya seseorang kepada Allah saat sujudnya dalam
shalat. Disisi lain ia juga merupakan sindiran kepada kaum musyrikin yang
enggan sujud dan patuh kepada ar-Rahman sebagaimana tercantum dalam ayat 60
yang lalu.
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa siapa yang shalat sunnah dua
rekaat setelah isya‟, maka dia telah dapat dinilai melaksanakan kandungan ayat
ini.
Perlu dicatat bahwa sifat pertama yang disandang oleh hamba-hamba
Allah itu yang disebut oleh ayat yang lalu adalah sifat mereka yang berkaitan
dengan makhluk, sedang disini adalah berkaitan dengan al-khalaq. Ini
mengisyaratkan pentingnya interaksi antar sesama makhluk serta perlunya
mendahulukan kepentingan mereka daripada ketaatan kepada Allah yang bersifat
sunah.
AYAT 65-66
Artinya : Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab
Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".
Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat
kediaman.
Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan aktivitas Ibad ar-Rahmanpada
malam dan siang hari terhadap makhluk dan Khaliq ayat di atas menggambarkan
sikap kejiwaan mereka. Ayat yang menguraikan sifat ketiga hamba-hamba Allah
itu bagaikan menyatakan: Kendati akhlak mereka terhadap sesama makhluk
demikian terpuji, dan ibadah mereka kepada Allah demikian tulus dan baik,
namun mereka tetap prihatin. Keprihatinan dan rasa takut merka berdampingan
dengan harapan dan optimism mereka dan rasa takut mereka berdampingan
dengan harapan dan optimism mereka. Ini ditandai dengan permohonan mereka
yang diabadikan disini. Ayat diatas menyatakan: Dan di samping sifat yang
disebut sebelum ini, hamba-hamba Allah itu juga adalah orang-orang yang selalu
berkata karena takutnya kepada Allah: Tuhan kami, jauhkanlah dari kami siksa
neraka jahannam, karena kami sadar bahwa dosa kami sangat banyak, dan ibadah
kami tidak sempurna. Sesungguhnya siksanya adalah kebinasaan yang kekal.
Sesungguhnya ia yakni neraka Jahannam adalah seburuk-buruk tempat
menatap dan tempat kediaman
Permohonan agar dijauhkan dari siksa neraka, mengandung makna
permohonan untuk meningkatkan amal kebaikan mereka, serta pemeliharaan
dari godaan setan, karena kedua hal itulah yang dapat menyelamatkan seseorang
dari siksa neraka.
Firman-Nya : ( غزاهااَى عذابها كاى ) inna „adzabaha kana gharaman/
Sesungguhnya siksanya adalah kebinasaan yang kekal, dapat dipahami sebagai
lanjutan ucapan hamba-hamba Allah itu, dan dapat juga merupakan komentar atas
ucapan mereka.
Kata (غزاها) gharaman adalah kebinasaan abadi. Kata ( اهستقزَ )
mustaqarran adalah tempat menetap, sedang ( اهقام ) muqaman adalah tempat
bermukin/ tinggal. Sementara ulama memahami yang pertama menunjukkan pada
pendurhaka yang hanya bermukim di neraka itu untuk beberapa waktu saja,
seperti halnya mereka yang durhaka tetapi mengakui keesaan Allah swt, sedang
yang kedua menunjukkan orang-orang yang akan menetap dan mantap dalam
siksa neraka itu. Pendapat ini mendapat hambatan dari penggunaan kedua kata itu,
juga ketika melukiskan penghuni surga pada ayat 76 berikut. Hamba-hamba Allah
yang dibicarakan oleh ayat 76 itu adalah hamba-hamba-Nya yang terpuji, dan
tentu saja mereka akan langsung dan segera masuk ke surga untuk selama-
lamanya. Tidak ada diantara mereka yang masuk setelah tersiksa, tidak ada juga
akan menanti sekian lama.
AYAT 67
Artinya: “ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian”
Setelah menyebutkan hubungan hamba-hamba Allah itu dengan makhluk
dan Khaliq, kini dilukiskan sifat mereka menyangkut harta benda. Ayat di atas
menyatakan bahwa: Dan mereka juga adalah orang-orang yang apabila bernafkah
yakni membelanjakan harta mereka, baik untuk dirinya, maupun keluarga atao
orang lain, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah ia yakni
pembelanjaan mereka pertengahan antara keduanya.
Kata ( ايسزفى ) yusrifu terambil dari kata (سزف) sarf yaitu melampaui
batas kewajaran sesuai dengan kondisi yang bernafkah dan yang diberi nafkah.
Walaupun Anda kaya raya, namun Anda tercela jika memberi anak kecil melebihi
kebutuhannya, namun Anda tercela jika memberi seseorang ewasa yang butuh
lagi dapat bekerja, sebanyak pemberian Anda kepada sang anak itu.
Kata ( ايقتزو ) yaqturu adalah lawan dari ( ايسزفى ) yusrifu. Ia adalah
memberi kurang dari apa yang dapat diberikan sesuai dengan keadaan pemberi
dan penerima.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa hamba-hamba Allah itu memiliki harta
benda sehingga mereka bernafkah dan bahwa harta itu mencukupi kebutuhan
mereka sehingga mereka dapat menyisihkan sedikit atau banyak dari harta
tersebut. Ini juga mengandung isyarat bahwa mereka sukses dalam usaha mereka
meraih kebutuhan hidup, bukannya orang-orang yang mengandalkan bantuan
orang lain. Ini akan semakin jelas, jika kita sependapat dengan ulama yang
menegaskan bahwa nafkah yang dimaksud di sini adalah nafkah sunnah, bukan
nafkah wajib. Dengan alasan, bahwa berlebihan dalam nafkah terlarang atau
tercelah, sebagaimana sebaliknya, yakni walau sedikit sekali dari pengeluaran
harta yang bersifat haram adalah tercela.
Kata ( اقىام ) qawaman berarti adil, moderat dan pertengahan. Melalui
anjuran ini, Allah swt dan Rasul saw, mengantar manusia untuk dapat memelihara
hartanya, tidak memboroskan sehingga habis, tetapi dalam saat yang sama tidak
menahannya sama sekali sehingga mengorbankan kepentingan pribadi, keluarga
ataupun siapa yang butuh. Memelihara sesuatu yang baik termasuk harta
sehingga selalu tersedia dan berkelanjutan, merupakan perintah agama. Moderasi
dan sikap pertengahan yang dimaksud ini, adalah dalam kondisi normal dan
umum. Tetapi bila situasi menghendaki penafkahan seluruh harta, maka moderasi
dimaksud tidak berlaku. Sayyidina Abu Bakar ra. Menafkahkan seluruh hartanya
dan Sayyidina „Utsman ra, menafkahkan setengah dari miliknya, pada saat
mobilisasi umum dalam rangka persiapan perang. Ini karena berjihad menuntut
pengarahan semua kemampuan, hingga tujuan tercapai. Dengan kata lain,
moderasi itu hendaknya dilihat dari kondisi masing-masing orang dan keluarga
serta situasi yang dihadapi.
BAB III
MUNASABAH DAN ASBABUN NUZUL
SURAT AL-FURQON 19: 63-67
A. MUNASABAH
1. Pengertian Munasabah
Kata munasabah berasal dari kata مناسبة –يناسب –ناسب yang berarti
hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Munasabah berarti
muqarabah )مقاربة) atau kedekatan dan kemiripan. Hal ini tentunya bisa
terjadi antara dua hal atau lebih, sedangkan kemiripan tersebut daoat
terjadi pada seluruh unsur-unsurnya, dapat juga terjadi pada sebagiannya
saja. Dengan demikian munasabah menurut istilah adalah adanya
kecocokan, kepantasan dan keserasian antara ayat dengan ayat atau surat
dengan surat, atau munasabah adalah kemiripan yang terdapat pada hal-
hal tertentu dalam al-Qur‟an baik pada surat maupun pada ayat-ayatnya
yang menghubungkan antara uraian yang satu dengan yang lainnya
(Budiharjo,2012: 39).
2. Munasabah Antar Ayat
munasabah antar ayat dalam al-Qur‟an, yaitu hubungan atau persesuaian
antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan penjelasan dan contoh
yang telah penulis kemukakan di atas.
a. Munasabah surat al-Furqon ayat 63 dengan ayat pada surat yang
lain dalam al-Qur‟an
Artinya : Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-
orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan.
Pada hamba Allah yang berhak menerima ganjaran dan pahala dari
Tuhanya ialah orang yang berjalan dengan tenang dan sopan, tidak
menghentak-hentakkan kaki maupun terompahnya dengan congklak dan
sombong.
Diriwayatkan bahwa Umar r.a melihat seorang budak berjalan dengan
sombong. Umar berkata, “ sesungguhnya berjalan dengan sombong itu adalah
berjalan yang dibenci, kecuali jika dilakukan di jalan Allah. Sesungguhnya
Allah telah memuji beberapa kaum.” Lalu dia membaca : wa „ibadur-
rahmanil-Lazzina yamsyuna „alal-ardi haunan,” maka bersikaplah sederhana
dalam kamu berjalan.”
Ibnu Abbas mengatakan, orang-orang Mu‟min yang berjalan itu adalah
ulama yang bersikap lemah-lembut, sopan dan menjaga kehormatanya.
Mengenai gambaran nabi saw, dikatakan, apabila tergelincir beliau
mengangkat kakinya dengan kuat, beliau melangkah dengan sedikit condong
kedepan, berjalan dengan halus dan tenang, langkahnya lebar, dan apabila
berjalan, seakan ia sedang berada pada jalan yang menurun, yakni, beliau
mengangkat kakinya dengan cepat dan melebarkan langkahnya, berbeda
dengan orang yang berjalan dengan menyombongkan diri, semua itu beliau
lakukan dengan halus dan pasti tanpa tergesa-gesa, karena itu dikatakan,
seakan beliau berjalan pada jalan yang menurun. Demikian dikemukakan oleh
Al-qodi „iyad di dalam Asy-Syifa‟.
Yaitu dengan langkah yang tenang dan anggun, tidak sombong, dan
tidak angkuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-
Nya:
Artinya, Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi Ini dengan
sombong, Karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus
bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
Cara jalan mereka tidak sombong, tidak angkuh, tidak jahat, dan tidak
takabur. Tetapi makna yang dimaksud bukanlah orang-orang mukmin itu
berjalan dengan langkah seperti orang sakit, karena dibuat-buat dan pamer.
Karena sesungguhnya penghulu anak Adam (yakni Nabi Saw.) apabila
berjalan seakan-akan sedang turun dari tempat yang tinggi (yakni dengan
langkah yang tepat) seakan-akan bumi melipatkan diri untuknya.
Sebagian ulama Salaf memakruhkan berjalan dengan langkah yang
lemah dan dibuat-buat, sehingga diriwayatkan dari Umar bahwa ia melihat
seorang pemuda berjalan pelan-pelan. Maka ia bertanya, "Mengapa kamu
berjalan pelan? Apakah kamu sedang sakit?" Pemuda itu menjawab, "Tidak,
wahai Amirul Mu-minin." Maka Umar memukulnya dengan cambuk dan
memerintahkan kepadanya agar berjalan dengan langkah yang kuat.
Artinya :” dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”
Jika mereka disapa oleh orang-orang bodoh dengan perkataan yang
buruk, mereka tidak membalasnya dengan perkataan yang serupa, tetapi
memberi maaf dan hanya mengatakan yang baik, Rasulullah saw., jika
meNdapat perlakuan yang kasar dari orang yang jahil, hali itu membuat beliau
semakin penyantun,
Hasan al-Basri mengatakan, mereka adalah para penyantun yang tidak
jahil. Jika mereka dijahili, maka mereka bersikap penyantun dan tidak jahil.
Ini adlah sikap mereka di siang hari, bagaimana sikap mereka di malam hari?
Sungguh malam yang paling baik, mereka meneguhkan keimanan dan
mengalirkan air mata, memohon kepada Allah agar dimerdekakan dari
perbudakan.
Dalam surat Ali „imran dijelaskan tentang bagaimana sifat sabar
terhadap orang jahil yang tidak beriman kepada Allah.
Artinya; “ kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan
pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musrik
jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu
termasuk urusan yang (patut) diutamakan. (Ali „Imran/3: 186)
Ayat diatas mengingatkan kita bahwa cemoohan dan pelecehan dari
musuh-musuh islam selalu akan terjadi dan tidak akan terhenti. Kesan ini bisa
ditangkap dari penggunaan kata latublawunna ( kamu sungguh-sungguh akan
diuji ) yang menggunakan bentuk kata kerja mudhore‟ (masa kini dan masa
yang akan dating). Gangguan dan sikap melecehkan itu lahir akibat banyak
faktor. (Lajnah Penashihan Mushaf al-Qur‟an kementerian Agama RI, 2010:
320)
Dalam surat al-Muzzammil/73:10 juga dijelaskan:
“ dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah
mereka dengan cara yang baik (al-Muzzammil/73:10)
Ayat ini berisi perintah kepada nabi Muhammad SAW agar ia
bersabar, yakni menahan diri, mengendalikan diri dan tidak bersikap reaktif
emosional terhadap ucapan-ucapan dari mereka yang tidak beriman. (Lajnah
Penashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama RI, 2010: 321).
c. Munasabah surat al-Furqon ayat 64 dengan ayat pada surat yang lain
dalam al-Qur‟an
Artinya: Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri
untuk Tuhan mereka.
Diungkapkanya ibadah dengan bangun malam secara khusus, karena
ibadah pada malam lebih terhindar dari berlaku riya‟. Ibnu Abbas
mengatakan, barang siapa melaksanakan shalat dua rakaat atau lebih setelah
salat isya‟ berarti ia telah bermalam dengan bangun bersujud kepada Allah.
Al-Kalbi mengatakan, barang siapa mengerjakan shalat dua raka‟at setelah
shalat Magrib dan empat raka‟at setelah Isya‟ berarti ia telah bermalam
dengan bangun bersujud kepada Allah.
Serupa dengan ayat tersebut ialah firman Allah dalam ayat-ayat berikut:
Artinya : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu
berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka
menafkahkan apa-apa rezki yang kami berikan.(As-sajdah,32:16)
Artinya: “Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.Dan selalu
memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar (Az-zariat,51: 17-18)
Bangun di malam hari setelah tidur, untuk kemudian melakukan shalat
tahajjud bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tetapi apabila kita
membiasakan diri, maka secara otomatis pada saatnya kita akan terbangun,
sehingga hal seperti ini mudah saja untuk dilakukan. Mengapa tahajjud ini
penting? Karena jika ibadah dilakukan di tempat yang sepi, maka konsentrasi
kita akan lebih terpusat, dibandingkan ibadah di tengah keramaian.
Menurut pandangan para ulama, shalat tahajjud merupakan shalat
sunnat muakkad, yaitu shalat sunnat yang senantiasa dilakukan oleh
Rasulullah. Shalat sunnat tahajjud biasa dilakukan paling tidak dua raka‟at,
umumnya dilakukan delapan raka‟at, ditambah dengan witir tiga raka‟at.
Begitu besar pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang senantiasa
melaksanakan shalat tahajjud, karena tidak banyak orang yang mampu
melakukan shalat tahajjud itu pada setiap malamnya. (Lajnah Penashihan
Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama RI, 2010: 25).
d. Munasabah surat al-Furqon ayat 65-66 dengan ayat pada surat yang lain
dalam al-Qur‟an
Artinya: Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan
azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan
yang kekal".
Orang-orang yang memohon kepada Allah agar dia memalingkan mereka dari
azab jahannam dan penderitaannya yang sangat keras.
Di sini Allah memuji mereka, sekalipun mereka telah bergaul dengan baik
dengan sesama makhluk dan sungguh-sungguh beribadah dengan sang Khaliq
yang tidak mempunyai sekutu, namun mereka senatiasa takut kepada azab-
Nya dan berdo‟a agar dia memalingkan mereka darinya, tidak menumpukkah
harapan pada amal yang telah mereka lakukan. Hal ini ditegaskan oleh Allah
dalam firman-Nya yang lain:
Artinya: “ Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka
berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. (Al-Mu‟minun, 23:60)
Maksudnya: Karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan untuk
dihisab, Maka mereka khawatir kalau-kalau pemberian-pemberian (sedekah-
sedekah) yang mereka berikan, dan amal ibadah yang mereka kerjakan itu
tidak diterima Tuhan.
Kemudian Allah mengemukakan dengan dua alasan mengapa mereka
mengajukan permohonan itu :
Artinya: Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".
Karena azab jahanam itu adalah kebinasaan yang kekal dan kerugian
yang pasti
Artinya: Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap
dan tempat kediaman.
Karena, jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat tinggal dan tempat
menetap. Mereka mengatakan demikian berdasarkan pengetahuan yang
mereka miliki. Mereka adalah orang yang paling tahu tentang besarnya
apa yang mereka mohon, maka hal itu lebih memudahkan mereka agar
memperolaeh apa yang mereka inginkan. Setiap Yang Berhutang Akan
Meninggalkan Hutangnya Kecuali Yang berhutang Jahannam.
e. Munasabah surat al-Furqon ayat 67 dengan ayat pada surat yang lain
dalam al-Qur‟an
Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian”.
Apabila orang yang beriman yang ingin membelanjakan sesuatu, maka
ketika membelanjakannya dia tidak terlalu boros, dan juga tidak boleh
terlalu kikir, melainkan berada di tengah-tengah (moderat).(Ahmad
thib Raya, 2008: 3) Allah juga menjelaskan sikap moderat ini dalam
al-Qur‟an surat al-Isra‟:26
Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
(Q.S. al-Isra‟/17: 26).
B. ASBABUN NUZUL
Al-Qur‟an diturunkan Allah untuk menjadi petunjuk bagi manusia dalam
upaya mencapai kebahagian baik di dunia maupun di akhirat nanti. Oleh
karena itu, al-Qur‟an diturunkan sesuai dengan kebutuhan orang perorang dan
masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Departemen Agama RI (2009:228)
menyatakan bahwa al-Qur‟an ada pula yang turun tanpa sebab, dan ada pula
ayat-ayat yang diturunkan setelah terjadinya suatu peristiwa yang perlu
direspon atau persoalan yang perlu dijawab. Peristiwa atau persoalan yang
melatarbelakangi turun ayat itu disebut asbabun nuzul (sebab turun ayat).
Selaras dengan pernyataan di atas, Efendi dan Fathurrohman (2014: 77)
menyatakan bahwa al-Qur‟an turun dalam dua kategori, kategori pertama
yaitu al-Qur‟an turun tanpa sebab (ibtida‟i) yaitu ayat al-Qur‟an yang turun
atas dasar kehendak Allah semata. Kategori kedua, ayat al-Qur‟an turun
karena ada sebab, inilah yang popular disebut asbab al-nuzul.
Pada penelitian ini penulis tidak menemukan informasi mengenai asbabun
nuzul Q.S. al-Furqon: 63-67 seluruhnya baik dari sumber buku, internet
maupun sumber informasi lainnya karena pada kenyataannya tidak ada
penjelasan mengenai sejarah atau sebab turunnya ayat tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
Ayat 63
Artinya : “ Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan”.
A. Tafsir al-Furqon karya Ahmad Musthofa Al- Maraghy
1. Sifat hamba Allah dalam berjalan
Pada ayat 63 menggambarkan bagaimana sifat „ibadurrahman yang di
kehendaki Allah Swt yang pada ayat ini mufasir menggambarkan sifat yang
dimaksud dengan hamba-hamba tuhan yang berjalan dimuka bumi dengan
rendah hati adalah dengan penggambaran akhlak Rasulullah Muhammad Saw
yang selalu menunjukkan sifat halus ,tenang, langkahnya lebar tanpa tergesa-
gesa ketika berjalan dalam keadaan yang menanjak ataupun jalan yang
banyak rintangan beliau berjalan seakan-akan berjalan pada jalan yang
menurun.
2. Sifat hamba Allah terhadap orang jahil
Pada ahir ayat allah menyampaikan bagaimana Sifat yang harus ditampakkan
oleh hamba allah yang beriman ketika bertemu dengan orang jahil “ dan
apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung ) keselamatan, pada akhir ayat ini mufassir menerangkan
bagaimana sifat yang ditunjukkan Rasulullah Saw yang pada masa perjuangan
beliau dalam menegakkan agama Allah yang tiada henti mendapatkan
perlakuan yang tidak baik dari orang-orang jahil kafir Quraisy seperti contoh
yang di tuliskan mufassir ketika rasul mendapatkan sapaan dengan hujatan,
ketika rasul mendapat perlakuan yang kasar, maka Rasulullah tidak sekalimun
membalas dengan perlakuan yang sama, melainkan sifat yang ditunjukkan
adalah sifat sebalikya dengan membalas perlakuan itu dengan lemah lembut
dan semakin penyantun, sehingga tidak sedikit yang mengikuti ajaran
rasulullah karena keteladanan sifat yang ditunjukkan beliau.
B. Tafsir An-Nur karya Teungku Muhammad Hasbhi Ash-Shiddieqy
1. Sifat hamba Allah ketika berjalan
Dalam ayat ini mufassir mengambarkan bagaimana sifat seorang mu‟min
dalam berjalan adalah dengan lemah lembut, tenang, dan khudu‟ namun
berjalan yang dimaksud bukan berjalan menyerupai orang yang lemah
seakan-akan ia sakit berpura-pura tunduk dengan maksud
memperlihatkan kesalahan diri, tetapi yang dimaksud adalah dengan tidak
memperlihatkan sikap congkak dan takabur (besar kepala).
2. Sifat hamba Allah terhadap orang jahil
Hamba allah yang beriman diterangkan oleh mufassir adalah hamba yang
apabila diganggu oleh orang tidak berakal (jahil) mereka menyabut
gangguan itu dengan cara yang baik dan simpatik yaitu dengan ucapan
yang, mengandung perdamaian.
C. Tafsir Al- Misbah karya M. Quraish Shihab
1. Sifat hamba Allah ketika berjalan
Dalam ayat ini mufssir menerangkan bagaimana makna yamsyu (berjalan)
dengan penggambaran cara berjalan dengan tidak angkuh atau kasar,
dalam konteks cara berjalan nabi saw, mengingatkan agar seseorang tidak
berjalan dengan angkuh dengan membusungkan dada. Namun ketika
beliau melihat seorang sahabat berjalan dengan penuh semangat dan
terkesan tergesa-gesa beliau mengatakan “ sungguh cara jalan ini dibenci
oleh allah, kecuali dalam situasi perang ini”.
Pada ayat ini juga mufassir menerangkan bagaimana makna kata “yamsyu
„alal ardhi haunan” dengan pengambaran yang lebih luas dalam keadaan
sekarang yakni makna “haunan” di implementasikan dalam bentuk
menjalankan aturan yang telah dibuat dan disepakati seperti disiplin lalu
lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang
melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang-orang yang
angkuh atau ingin menang sendiri sehingga berjalan dengan cepat dengan
melecehkan kiri kananya.
Sementara itu mufassir juga menerangkan bagaimana pemahaman
sebagian ulama‟ yang menjelaskan bahwa kata “yamsyu” bermakna lebih
luas yakni mengandung arti interaksi antar manusia maupun dengan alam,
bahwa melakukan interaksi dengan pihak lain dengansebaik-baiknya dan
selalu mengedepankan manfaat dari setiap perjalanan atau kegiatan
interaksi tersebut.
2. Sifat hamba Allah terhadap orang jahil
Kata Jahil (jahilun) yang terdapat dalam ayat 63 ini diterangkan oleh
mufassir bukan sekedar dalam arti seorang yang tidak tahu, tetapi juga
dalam arti pelaku yang kehilangan control dirinya sehingga melakukan
hal-hal tidak wajar, atar dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun
kepicikan pandangan, dan mengabaikan kepentingan illahiyah.
Sedangkan kata salaman ( salaman) pada ahir ayat 63 bermakna berkisar
pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Berkaitan
kat ini mufassir juga menuliskan bahwa keselamatan adalah batas antara
keharmonisan atau kedekatan dengan perpisahan, serta batas anrata rahmat
dengan siksaan dan juga makna as-salam bermakna sapaan perpisahan,
dengan demikian bahwa hamba Allah Ar-rahman itu bila disapa oleh
orang orang jahil mereka meninggalkan tempat menuju tempat lain
dimana memereka tidak berinteraksi dengan sang jahil itu.
Maka mufassir menegaskan berinteraksi dengan orang jahil yang
disebutkan di atas adalah dengan tidak merespon atau menanggapi serta
membalas hujatan, kedengkian dan ketidak adilan karena membalas akan
menjadikan seorang mu‟min sama dengan mengikuti kejahilan dan ikut
dalam kesesatan.
Ayat 64
Artinya: Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan
berdiri untuk Tuhan mereka.
Pada ayat 64 (tulis ayat) semua mufasir menuliskan bagaimana sifat
(akhlak) seorang hamba terhadap Tuhanya dikala mengisi malam hari
baik seluruhnya maupun pada waktu tertentu yang dikerjakan dengan
penuh ketulusan, sebagai wujud pengabdian seorang hamba terhadap
tuhanyayang semata-mata atas dorongan cinta kepada Allah SWT.
Mufassir juga menyimpulkan bahwa ibadah ini adalah ibadah sholat pada
malam hari yang merupakan ibadah seorang mu‟min yang dikerjakan
dengan penuh ketulusan tanpa di sertai sifat riya‟ dan kesombongan.
Ayat 65
Artinya: Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan
azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan
yang kekal".
Pada awal ayat 65 (tulis) ketiga mufassir mengambarkan bagaimana
sifat taqorrub seorang hamba Allah yang benar-benar mu‟min memiliki rasa
atau kehawatiran yang sama terhadap semua amal kebaikan yang telah mereka
lakukan, kalau-kalau pemberian-pemberian (sedekah-sedekah) yang mereka
berikan, dan amal ibadah yang mereka kerjakan tidak diterima Tuhan.
Keperihatinan dan rasa takut mereka berdampingan dengan harapan dan
optimism mereka, ini ditandai dengan permohonan mereka dalam bentuk doa
yang diabadikan dalam ayat ini “ Ya, Tuhan kami, jauhkan azab jahanam dari
kami”.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa hamba yang mu‟min selalu merasa
bahwa amalan yang telah mereka lakukan belumlah cukup untuk dijadikan
jaminan mendapatkan surga, maka hamba-hamba ini selalu berharap dengan
do‟a dengan ucapan “ ya, Tuhan kami jauhkanlah kami dari siksa neraka
jahannam”.
Ayat 66
Artinya: Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan
tempat kediaman.
Pada ayat 66 (ditulis) di jelaskan bahwa hamba Allah yang mu‟min
sadar bahwa neraka jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali pada hari
akhir kelak, oleh karena itu, mereka terus berusaha dengan segala daya upaya
melakukan apa yang telah dikehendaki oleh ilmu atau pengetahuan yang
mereka miliki tentang daya upaya yang dapat menjauhkan dari balasan kekal
abadi di neraka jahannam.
Ayat 67
Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Pada ayat 67 dalam tafsir al-Maraghi dan tafsir An-Nuur kedua
mufassir menuliskan bagaimana sifat mu‟min dalam membelanjakan dan
menggunakan harta yang dimilikinya seperti yang Allah wahyukan dalam ayat
67, yaitu hamba Allah yang benar-benar mu‟min yidak akan melampaui batas
dalam mengeluarkan hartanya dan tidak pula berlaku kikir terhadap diri
ataupun terhadap keluarga. Mereka mengeluarkan nafkah secara seimbang
tidak melampaui batas dan tidak pula sangat kurang dari batas, ini merupakan
dasar berhemat yang dianjurkan oleh al-Qur‟an.
Dalam tafsir Al-Misbah mufasir menuliskan lebih terperinci tentang
bagaimana cara seorang mu‟min dalam membelanjakan dan memanfaatkan
harta yang ia miliki sesuai dengan kondisi yang bernafkah dan yang diberi
nafkah, mufassir mencontohkan bagaimana cara memberi nafkah, anda tercela
jika memberi anak kecil melebihi kebutuhanya, namun anda tercela juka
memberi seorang dewasa yang butuh lagi dapat bekerja, sebanyak pemberian
anda kepada sang anak itu.
Dalam ayat ini mufassir juga menuliskan kandungan isi terkait dengan
bagaimana anjuran Rasulullah agar supaya kita berhemat dalam mengelola
harta yang dimiliki, dan juga terkandung bagaimana seorang yang mempunyai
harta yang telah ucup untuk kebutuhanya agar menyisihkan sebagian harta itu
untuk menjalankan amalan sunnah seperti berinfak sesuai kemampuan namun
tidak mengabaikan nafkah yang wajib untuk dirinya dan keluarganya sehingga
mengabaikan kepentingan pribadi.
Menafkahkan harta secara moderat (pertengahan) yaitu menafkahkan
harta dalam kondisi yang umum, meski demikian dalam situasi menghendaki
menafkahkan seluruh harta, maka moderasi dimaksud tidar berlaku. Mufassir
menuliskan bagaimana sahabat Abu Bakar menyumbangkan seluruh hartanya,
dan sayyidina „Usman bin Affan menafkahkan setengah dari harta yang
dimilikinya. Dengan kata lain, modernisatau sifat petengahan ini hendaknya
dilihat dari kondisi masing-masing orang dan keluarga serta situasi yang
dihadapi.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Isi kandungan surat al-Furqon ayat 63-67 menurut para mufassir dalam nilai
pendidikan dan akhlak
Nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-Furqon mengacu
pada bagaimana penggambaran akhlak Rasulullah Muhammad Saw yang
selalu menunjukkan sifat halus, tenang, langkahnya lebar tanpa tergesa-gesa
ketika berjalan dalam keadaan yang menanjak ataupun jalan yang banyak
rintangan beliau berjalan seakan-akan berjalan pada jalan yang menurun.
Ketika rasul mendapatkan sapaan dengan hujatan dan mendapat perlakuan
yang kasar, maka Rasulullah tidak sekalipun membalas dengan perlakuan
yang sama, melainkan sifat yang ditunjukkan adalah sifat sebalikya dengan
membalas perlakuan itu dengan lemah lembut dan semakin penyantun,
sehingga tidak sedikit yang mengikuti ajaran rasulullah karena keteladanan
sifat yang ditunjukkan beliau dalam berinteraksi social dan bentuk toleransi
yang baik.
Kemudian bila di implementasikan dalam bentuk menjalankan aturan yang
telah dibuat dan disepakati seperti disiplin lalu lintas dan penghormatan
terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja
peraturan lalu lintas kecuali orang-orang yang angkuh atau ingin menang
sendiri sehingga berjalan dengan cepat dengan melecehkan kiri kananya.
Bentuk anjuran pemdidikan akhlak yang berupa wujud pengabdian seorang
hamba kepada tuhannya adalah ibadah sholat pada malam hari yang
merupakan ibadah seorang mu‟min yang dikerjakan dengan penuh ketulusan
tanpa di sertai sifat riya‟ dan kesombongan yang semata-mata hanya atas
dorongan cinta kepada Allah SWT, yang merupakan bentuk pendidikan dalam
disiplin dengan waktu yang telah Allah berikan.
Dalam hal pendidikan yang selalu muhasabah (introveksi diri), seorang
hamba yang beriman senantiasa memiliki rasa kehawatiran terhadap semua
amal kebaikan yang telah mereka lakukan, kalau-kalau pemberian-pemberian
yang mereka berikan, dan amal ibadah yang mereka kerjakan tidak diterima
Tuhan dan memahami bagaimana buruknya balasan yang berupa neraka
jahannam. Keperihatinan ini menjadikan motifasi untu selalu mendekatkan
diri kepada Allah SWT yang tercermin dari do‟a-do‟a yang selalu dipanjatkan.
Dalam anjuran selalu hidup dalam kesemimbangan penafkahan harta.
Hamba Allah yang benar-benar mu‟min tidak akan melampaui batas dalam
mengeluarkan hartanya dan tidak pula berlaku kikir terhadap diri ataupun
terhadap keluarga. Menafkahkan harta secara moderat (pertengahan) yaitu
menafkahkan harta dalam kondisi yang umum, meski demikian dalam situasi
menghendaki menafkahkan seluruh harta, maka moderasi dimaksud tidar
berlaku. Mereka mengeluarkan nafkah secara seimbang tidak melampaui
batas dan tidak pula sangat kurang dari batas, ini merupakan dasar berhemat
yang dianjurkan oleh al-Qur‟an.
3. Saran
Sebagaimana tujuan Allah mengutus para Rasul-Nya ke muka bumi
ini adalah membenarkan sekaligus menyempurnakan akhlak manusia yang
pada saat itu akhlak manusia benar-benar dalam keadaan yang sangat
memprihatinkan, sampai-sampai predikat zaman pada saat sebelum datangnya
utusan Allah yang bernama Muhammad disebut zaman kebodohan
(jahiliyah). Predikat ini bukan karena rendahnya kualitas hidup manusia pada
saat itu, melainkan kualitas akhlak dan ketuhanan yang sangat buruk.
Dari penelitian ini penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Untuk pendidik
Bagi pendidik yang semua tingkah laku selalu dijadikan fokus perhatian
atau model bagi peserta didiknya, hendaknya memahami bagaimana
karakter akhlak yang harus ditampilkan yang selalu mengacu pada yang
telah penulis sampaikan, serta menjadikan Nabi muhammd SAW sebagai
acuan atau suri tauladan sebagai referensi karakter akhlak.
2. Untuk lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan yang merupakan wadah yang sangat setrategis
dalam pembinaan, pendidikan dan pembentukan karakter peserta didik.
Hendaknya selalu mengemas setiap kurikulum dan tujuan
penyelenggaraan pendidikanya mengacu pada pembentukan katakter yang
sesuai dengan tuntunan yang telah penulis sajikan dalam skripsi ini,
sehingga selain kecerdasan dalam pelajaran peserta didik kuat dalam
nilai-nilai akhlak.
3. Untuk penulis
Bahwa hasil dari analisis penelitian tentang nilai-nilai pendidikan akhlak
dalam surat al-Furqon ayat 63-67 tidak hanya sebatas sebagai tugas dalam
sarat mendapatkan gelar, melaikan penulis harus menjadiakan hasil
penelitian ini sebagai pengetahuan yang bener-benar di implementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Dan semoga benar-benar dapat
melaksanakanya. Aamiin.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Umi Rochmatul Ummah
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Boyolali, 19 Juni 1990
Agama : Islam
Alamat : Karangboyo, RT 03 RW 08, Kiringan, kec. Boyolali kab.
Boyolali
Riwayat pendidikan :
1. SD
SDN Kiringan 02 kec.Boyolali, lulus tahun 2002
2. SLTP
a. MTs Pembangunan Kikil, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, lulus tahun
2005
b. MTs Salafiyah PONPES Tremas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, lulus
tahun 2008
3. SLTA
a. MA Pembangunan, Kikil, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, lulus tahun
2008
b. MA Mu‟adallah PONPES Tremas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, lulus
tahun 2011
4. Pendidikan Tinggi
IAIN Salatiga ( Semester Akhir “Skripsi” )
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Boyolali, 31 Agustus 2017
Yang bertanda tangan,
( Umi Rochmatul Ummah )