nilai tambah syariah rezeki

38
NILAI TAMBAH SYARI’AH BERBASIS REZEKI Oleh: Aji Dedi Mulawarman Universitas Cokroaminoto Yogyakarta Abstract The objective of this research is to prove the existence of Shari’ate Value Added Statement from the real transaction and business habitus of Indonesian Moslem Society. Study is conducted by utilising Hyperphenomenology Methods. The major result shows that rizq becomes a substance of Shari’ate Value Added concept. This means that rizq is actually value added gained (financial, social and environmental) and has been purified (becomes halal, thoyib and free from riba) in every process of its attainment, result to distribution. The consequences of the major result are that the form of the Shari’ate Value Added Statement have quantitative and qualitative elements that must be stated in one form, not separated. Keywords: Rizq, Shari’ate Value Added, Shari’ate Value Added Statement. 1

Upload: ali-ibrahim-al-canei

Post on 23-Jul-2015

187 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Nilai Tambah Syariah Rezeki

NILAI TAMBAH SYARI’AH BERBASIS REZEKI

Oleh: Aji Dedi Mulawarman

Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

Abstract

The objective of this research is to prove the existence of Shari’ate Value Added

Statement from the real transaction and business habitus of Indonesian Moslem

Society. Study is conducted by utilising Hyperphenomenology Methods. The major

result shows that rizq becomes a substance of  Shari’ate Value Added concept. This

means that rizq is actually value added gained (financial, social and environmental)

and has been purified (becomes halal, thoyib and free from riba) in every process of

its attainment, result to distribution. The consequences of the major result are that the

form of the Shari’ate Value Added Statement have quantitative and qualitative

elements that must be stated in one form, not separated.

Keywords: Rizq, Shari’ate Value Added, Shari’ate Value Added Statement.

1. PENDAHULUAN

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih jauh eksistensi Laporan Nilai Tambah

Syariah sebagai bagian dari Laporan Keuangan Syariah. Pengembangan laporan

keuangan syari’ah banyak dilakukan misalnya oleh Gambling dan Karim (1991);

Baydoun dan Willett (1994; 2000); perluasan Baydoun dan Willett (1994) oleh

Sulaiman (2000; 2001); Sulaiman dan Willett (2003); dan Mulawarman (2006; 2007a;

2007b). Pengembangan laporan keuangan syari’ah oleh Mulawarman (2007c) disebut

Laporan Keuangan Syariah. Laporan Keuangan Syariah terdiri dari Laporan Nilai

1

Page 2: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Tambah Syariah (Mulawarman 2006), Neraca Syariah (Mulawarman 2007a) dan

Laporan Arus Kas Syariah (Mulawarman 2007b).

Khusus mengenai Laporan Nilai Tambah Syariah (2006) terdiri dari laporan

kuantitatif dan kualitatif yang saling terikat satu sama lain dan bersifat mandatory

(wajib). Laporan kuantitatif mencatat aktivitas finansial-sosial-lingkungan (akun

kreativitas) dan bersifat halal-thoyib-bebas riba (akun ketundukan) (Tabel 1).

Laporan kualitatif berupa catatan laporan yang tidak dapat dimasukkan dalam laporan

kuantitatif serta berkenaan dengan bentuk transaksi batin-spiritual.

Hanya masalahnya terpisahnya laporan tersebut apabila diterapkan di lapangan

dapat memberi peluang perusahaan mementingkan penyampaian akuntabilitas dan

informasi kuantitatif. Laporan kualitatif meskipun bersifat mandatory akhirnya

kembali menjadi laporan pseudo-mandatory. Pseudo-mandatory di sini dapat

diartikan bahwa laporan kualitatif secara substansial bersifat mandatory, tetapi

praktiknya di lapangan menjadi “mandul”, bahkan akan tergeser menjadi laporan

voluntary. Dengan demikian, perlu penyesuaian bentuk laporan nilai tambah syari’ah

secara teknologis menjadi satu kesatuan tak terpisah secara konkrit.

Diingatkan oleh Triyuwono (2007) bahwa konsep nilai tambah syari’ah

merupakan nilai tambah ekonomi, mental dan spiritual yang diperoleh, diproses dan

didistribusikan dengan cara yang halal. Pemaknaan nilai tambah syari’ah dari

Triyuwono (2007) dapat dijadikan source tambahan penjelasan bentuk laporan nilai

tambah syari’ah. Meskipun penjelasan tersebut baru melihat pembentukan, proses dan

distribusi nilai tambah harus memenuhi prinsip halal. Mulawarman (2006) sendiri

sebenarnya telah menjelaskan bahwa pembentukan, proses dan distribusi nilai tambah

tidak hanya berkenaan dengan masalah halal, tetapi juga harus bersifat thoyib (baik

halal dan thoyib lebih berkenaan dengan produk) dan bebas riba (lebih berkenaan

2

Page 3: Nilai Tambah Syariah Rezeki

dengan kontrak atau akad1). Dengan demikian pembentukan, proses dan distribusi

nilai tambah syari’ah (baik ekonomi, mental dan spiritual) harus memenuhi prinsip

halal, thoyib dan bebas riba.

Konsep nilai tambah syariah Triyuwono (2007) bila dilihat lebih jauh juga

masih melihat shariate enterprise theory sebagai basis akuntansi syariah idealis2 yang

memiliki asumsi dasar manusia sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi).

Dijelaskan Mulawarman (2007b) bahwa shariate enterprise theory bila memang

memiliki substansi akuntansi berpasangan, maka harus melihat asumsi dasar manusia

dalam substansi akuntansi berpasangan pula. Asumsi dasar manusia dalam Islam di

samping sebagai khalifatullah fil ardh juga memiliki asumsi dasar pasangannya, yaitu

manusia sebagai abd’ Allah (konsep kepatuhan dan ketundukan manusia kepada

Allah). Prinsip berpasangan abd’ Allah dan khalifatullah fil ardh telah memberikan

solusi implementasi konsep teknologi akuntansi syariah yang memiliki dua akun

utama, yaitu akun ketundukan (representasi abd’ Allah) dan akun kreativitas

(representasi khalifatullah fil ardh)3.

Laporan Nilai Tambah Syari’ah juga perlu diuji secara empiris. Desain

Laporan Nilai Tambah Syari’ah sebenarnya masih menyisakan masalah berkaitan

realitas akuntansi, terutama realitas masyarakat Muslim Indonesia. Artinya, nilai

tambah syari’ah sebagai basis konseptual laporan perlu dilihat secara kontekstual dari

nilai-nilai masyarakat Muslim Indonesia.

1 Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.2Aliran pragmatis biasanya menyepakati Entity Theory (lihat Syahatah 2001, Zaid 2004, Adnan 2005). 3 Teknologi akuntansi syariah berbentuk laporan keuangan syariah (Mulawarman 2007c), yang memiliki tiga laporan utama, yaitu Laporan Arus Kas Syariah (Mulawarman 2007a), Laporan Nilai Tambah Syariah (2006) dan Neraca Syariah (Mulawarman 2007b)

3

Page 4: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Mulawarman (2007c) telah melakukan studi empiris bahwa terdapat

keserasian antara sirah Muhammad saw. dan realitas empiris saat ini yang dapat

dijadikan source bentuk Trilogi Laporan Keuangan Syari’ah. Trilogi Laporan

Keuangan Syari’ah merupakan kesatuan konsep ma’isyah (bekerja) untuk

mencari rezeki (rizq) sehingga berdampak pada maal (kekayaan) penuh barokah.

Konsep ma’isyah dijadikan sebagai basis aliran kas syari’ah, rizq basis nilai tambah

syari’ah, dan maal basis neraca syari’ah. Untuk memudahkan lihat gambar di

Gambar 1 (Lampiran).

Berdasarkan latar belakang di atas diperlukan penyesuaian lebih lanjut bentuk

Laporan Nilai Tambah Syariah. Pertanyaannya kemudian, apakah memang nilai

tambah syariah secara kontekstual memiliki eksistensinya dalam realitas bisnis dan

akuntansi masyarakat Muslim Indonesia? Bila memang eksis, apakah konsep rezeki

memang dapat dijadijan sebagai bentuk Laporan Nilai Tambah Syariah sesuai tradisi

bisnis dan akuntansi masyarakat Muslim Indonesia? Terumuskannya Laporan Nilai

Tambah Syari’ah yang sesuai eksistensi bisnis dan akuntansi masyarakat Muslim

Indonesia diharapkan; (1) akuntansi syari’ah yang masih berada pada tataran filosofis-

teoritis segera dapat diimplementasikan; (2) memberi kontribusi praktis bagi para

akuntan melakukan praktik sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah; (3) memberi

bukti empiris masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya masih melakukan aktivitas

akuntansi sesuai nilai-nilai syari’ah yang dapat dijadikan source pengembangan

laporan keuangan; (4) memberi kontribusi konstruktif penyusunan standar akuntansi

keuangan perbankan maupun perusahaan syari’ah.

4

Page 5: Nilai Tambah Syariah Rezeki

2. LAPORAN NILAI TAMBAH SYARI’AH: IN THE BEGINNING

Meskipun seperti ditegaskan Mulawarman (2006) penggunaan konsep nilai

tambah berbasis stakeholders oleh aliran non-middle ground, ternyata masih

menekankan kepentingan bersifat materi. Aliran non middle ground tidak dapat

memotret realitas di luar materi. Memaknai laba akuntansi tanpa terjebak materialitas

sebenarnya telah digali secara mendalam oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004).

Penafsiran ini pada dasarnya merupakan konsepsi atas ekspresi kebebasan manusia

dari sebuah interaksi sosial yang menghasilkan nilai lebih (value added/VA). Laba,

sebagaimana merupakan ekspresi kebebasan manusia, merupakan representasi nilai

kebebasan manusia yang sekaligus menjunjung tinggi hakikat manusia dari esensi

kemanusiaannya. Mengembalikan hakikat manusia tidak saja berpedoman pada aspek

fisiologis dan psikologis, tetapi juga pada aspek religius.

Konsep nilai tambah lebih operasional disebut Mulawarman (2006) sebagai

nilai tambah syariah (Shari’ate Value Added/SVA). Konsep nilai tambah syari’ah

berasal dari perlakuan ta’wil (metafora) atas konsep zakat. SVA secara definitif

menurut Mulawarman (2006, 292-303) adalah pertambahan nilai (zaka) material

(baik finansial, sosial dan lingkungan) yang telah disucikan (tazkiyah) mulai dari

pembentukan, hasil sampai distribusi (zakka), kesemuanya harus halal dan tidak

mengandung riba (spiritual) serta thoyib (batin). Implikasinya, pertama, proses

pembentukan VA dalam batas-batas yang diperbolehkan syara’ (halal) dan

bermanfaat/menenangkan batin (thoyib). Sebaliknya aktivitas ekonomi yang

melanggar ketentuan adalah Haram. Kedua, pertumbuhan harta dan mekanisme usaha

harus dilakukan untuk menghilangkan sifat berlebihan dalam perolehan harta dan

5

Page 6: Nilai Tambah Syariah Rezeki

menjalankan aktivitas usaha bebas riba4. Ketiga, distribusi VA harus dilakukan secara

optimal untuk kebaikan sesama, merata dan tidak saling menegasikan. Seberapapun

keikutsertaan harus dicatat dan diakui sebagai potensi mendapat hak pembagian VA.

3. KONSEP REZEKI DALAM ISLAM

Mencari rezeki dalam perspektif Islam adalah bentuk ma’isyah setiap Muslim yang

berdampak kekayaan penuh berkah. Perolehan rezeki berbentuk uang atau harta jika

tanpa niatan untuk beribadah menuju ketakwaan, maka niat tersebut hanya sebatas

keuntungan yang didapat. Ketika mencari rezeki diniatkan dan diibadahkan untuk

selalu mengharap ridha Allah, maka rezeki tersebut memberi keuntungan atau laba

dalam arti bernilai lebih dan barakah.

Bila dilihat lebih lanjut, sifat Allah yang Maha memberi Rahmat, Rahman dan

Berkah hanya diperuntukkan bagi manusia yang memang bekerja dengan orientasi

ketakwaan. Sedangkan sifat Allah yang Maha memberi Rahim memang

diperuntukkan untuk seluruh manusia. Artinya, bila manusia mencari rezeki tetapi

tidak disertai takwa, mereka tetap mendapatkan rezeki sesuai dengan kerjanya, tetapi

tidak mendapatkan berkah, rahmat dan rahman dari Allah.

Konsep Rezeki5 sebenarnya bersandarkan pada kata utama dari satu nama

Allah, yaitu Rabb. Kata Rabb dapat ditemukan misalnya dalam Al Qur’an Surat Al

Fathihah ayat 2, Rabb yang berada dalam satu kalimat Rabbil’alamin, menunjuk

Tuhan sebagai Tuhan Yang Ditaati, Yang Memiliki, Yang Mendidik dan Yang

4 Dari sisi finansial, bebas riba adalah kerja sama berdasar prinsip bai’ atau bagi hasil. Dari sisi kepentingan sosial dan lingkungan, bebas riba dengan melakukan relasi sosial dan lingkungan alam secara pro-aktif berlandaskan prinsip shadaqah.5 Beberapa konsep kunci penting mengenai rezeki menurut Al Qur’an, pertama, rezeki berasal dari Allah (QS. 51: 22, Huud: 6, Az Zukhruf: 32). Kedua, rezeki harus dihitung sesuai akhlak Islami (QS. 14: 34). Ketiga, semua perolehan rezeki berkaitan dengan penegasan keimanan dan ketakwaan seseorang (QS. 7:96). Keempat, rezeki yang berorientasi ketakwaan akan memunculkan berkah (QS. Huud: 73; QS. 7: 96) dan kemenangan yang besar (QS. Al Ahzaab: 70-71).

6

Page 7: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Memelihara. Sedangkan dalam etimologi Arab dapat berarti dua hal, yaitu Penguasa

(Sovereign) dan Pemberi Rezeki (Sustainer) (Muslehudin 2004, 100). 6

Rezeki dalam kata Rabb di sini bermakna bahwa Allah adalah tempat dan

pusat dari rezeki itu sendiri. Hanya Allah pemilik dan pemberi Rezeki atau

kenikmatan baik dunia maupun akhirat. Rezeki dengan demikian terikat dengan

konteks spiritualitas. Kita tidak dapat memisahkan konteks rezeki atau kehidupan

dunia yang penuh kenikmatan misalnya dengan kehidupan di akherat. Artinya, dalam

makna rezeki itu sendiri telah melekat dua prinsip akuntansi yang tak terpisahkan.

Dalam nash Qur’an makna rezeki atau penghidupan seperti tertulis dalam Surat An-

Naba’ ayat 11 ”Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan”

Dari penelusuran konsep Qur’an tersebut dapat dimaknai bahwa sebenarnya

konsep rezeki atau penghidupan memang sangat sarat dengan nilai-nilai Ketuhanan

(Ilahiyyah), sarat-sarat nilai kesucian atas apa yang kita lakukan dalam menjalani

hidup. Semua ini menurut Muslehudin (2004, 102) merupakan implementasi dari

Keadilan Ilahi yang bertujuan untuk keadilan sosial yang diupayakan oleh Hukum

Ilahi. Allah menjanjikan penghidupan kepada semua makhlukNya bahkan membagi

berdasarkan kebutuhan dan kapasitasnya. Kepada sebagian orang, Allah memberi

kelimpahan, sementara kepada sebagian lainnya memberikan keterbatasan, tetapi

dengan janji Allah bahwa Allah akan menjaga semua bertahan dengan tidak

mengalami pengurangan. Prinsip keadilan dalam akuntansi seperti juga dijelaskan

(Irianto 2003; 2006) adalah bentuk perilaku bisnis dan pencatatan dalam melihat

perolehan keuntungan harus tetap mengedepankan amanat Tuhan, dan bahkan

menghadirkanNya dalam proses pencatatan transaksi bisnis itu sendiri.

6 Muslehudin (2004) menghubungkan dua makna tersebut sebagai sebuah hubungan antara konteks ekonomi dan politik, tetapi dalam konteks penelitian ini tidak akan membahas hal tersebut lebih jauh. Yang jadi perhatian di sini adalah menekankan salah satu makna yang berhubungan dengan konsepsi ekonomi, yaitu pemberi rezeki.

7

Page 8: Nilai Tambah Syariah Rezeki

4. METODE PENELITIAN: HYPERPHENOMENOLOGY METHODS

Penelitian ini menggunakan Hyperphenomenology Methods, yaitu salah satu

pengembangan lanjut metode fenomenologi untuk menggali lebih jauh makna

aksiologis Nilai Tambah Syari’ah dalam akuntansi syari’ah. Artinya fenomenologi di

sini tidak hanya berpaku pada Paradigma Interpretif yang diturunkan dari Germanic

Philosofical Interests yang menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan

pemahaman atas subyek materi dan mental (Hardiman 2003, 60).

Metode fenomenologi tidak melakukan pemaknaan subyek yang masih

bersifat materi dan mental saja, atau bahkan hanya terpaku pada nilai spiritualitas

postpatriarkal dari Capra misalnya (1999). Interpretif yang dipakai di sini adalah

melakukan Pemaknaan Laba lebih dari memaknai bentuk subyektivitas materi dan

mental. Memaknai laba dari konsepsi Islam memang lebih menerobos makna nilai

dan gagasan yang muncul dari substance of spirituality, substance of God’s Value’s.

Inilah yang disebut dengan Hyperphenomenology. Langkah-langkahnya adalah

sebagai Intentional Analysis, Epoche, Eidetic Reduction.

Menurut Sanders (1982) esensi analisis intensional adalah analisis korelasi

antara obyek yang dipersepsikan (Noema) dan pemahaman subyekif (Noesis) pada

obyek atau pengalaman. Intensionalitas merupakan arti keseluruhan dari obyek,

dimana yang biasanya hanya dipahami atau dipersepsikan secara parsial.

Intensionalitas adalah bentuk langsung dan internal dari pengalaman atau kesadaran.

Dalam penelitian ini akan dilakukan pemahaman konsep laba (Noema) dalam

pengalaman bisnis (Noesis). Meskipun hal itu perlu dilakukan Analisis pelampauan

(Hyper Analysis) ekspektasi dan bentuk pengalaman yang masih berbasis nilai obyek

laba yang materi saja. Hal itu hanya kana menggali makna laba materi (obyek) dan

8

Page 9: Nilai Tambah Syariah Rezeki

tidak dapat menggali makna laba yang bersifat non materi (non obyek) seperti aspek

Realitas Absolut (Allah) sebagai pintu utama masuknya teori dan pengetahuan

(akuntansi) dan makna Tazkiyah An Nafs (Pensucian) setiap individu. Pemaknaan

teknis SVA adalah Realitas Absolut dan Tazkiyah An Nafs dalam konsep Rezeki.

Berkaitan dengan perilaku peneliti dalam melakukan penggalian data lapangan

menurut Sanders (1982) disebut Epoche atau disebut Husserl sebagai Bracketing

(Prasenjit 2002). Epoche adalah prosedur dan perilaku (attitude) peneliti yang

digunakan dalam bentuk pertanyaan yang harus dimunculkan berkaitan dengan

masalah metafisika yang sebenarnya terikat dalam mental individu.

Eidetic reduction adalah proses abstraksi esensi dari kesadaran atau

pengalaman dengan menggunakan intuisi dan refleksi. Eidetic berasal dari kata Eidos

yang berarti idea atau form (essence). Eidetic Reduction adalah aksi yang berasal dari

ekspresi konkret pada fenomena khusus (particular phenomenon) menjadi esensi

murni yang universal (universal pure essences) (Sanders 1982).

Terdapat tiga komponen fundamental dalam desain riset fenomenologi, yaitu

menetapkan batasan apa dan siapa yang diinvestigasi, koleksi data dan analisis

fenomenologis data (Sanders 1982).

4.1. Penetapan Batasan

Konsep laba digali secara empiris di lapangan dengan informan pemilik (Pak

Abbas) sebuah perusahaan di Malang yang bergerak di bidang real estat dan

pertambangan batubara, leveransir bahan bangunan di Malang (Pak Ishar), produsen

alat bantu mebelair di Jepara (Pak Aziz), manajer BMT di Pasuruan (Pak Dumairi).

Disamping itu juga akan dilakukan penggalian makna laba dalam konteks rezeki dari

konteks nash Al Qur’an dan Sunnah.

4.2. Koleksi Data

9

Page 10: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Koleksi data dilakukan dengan tiga langkah (Stone 1979 dalam Sanders 1982):

1. Interview historis langsung dengan cara semistruktur dengan subyek

menggunakan tape recorder dan pencatatan.

2. Studi dokumentasi apa yang telah ditulis dari hasil wawancara (langkah

pertama) dengan subyek untuk menderivasikan ‘makna’.

3. Teknik observasi sebagai partisipan, yaitu observasi subyek dalam situasi

aktual di lapangan untuk melihat secara langsung perilaku yang

berhubungan dengan fenomena yang diinvestigasi. Hal ini juga

menggunakan interview untuk mengeksplorasi perilaku secara mendalam.

4.3. Analisis Fenomenologis Data

Tahap ketiga fenomenologi adalah melakukan analisis isi transkripsi hasil

koleksi data. Terdapat empat langkah yang harus dilakukan:

1. Deskripsi fenomena berdasarkan hasil interview yang direkam dalam tape

recorder. Pencatatan narasi berhubungan dengan identifikasi dan deskripsi

kualitas pengalaman dan kesadaran manusia yang memunculkan keunikan

identitas dan pandangan subyek.

2. Identifikasi tema-tema atau invariants yang muncul dalam deskripsi.

Tema-tema merujuk ‘pesan-pesan’ umum yang muncul di dalam dan antar

narasi. Tema-tema diidentifikasi berbasis pada kepentingan sentral

pemikiran subyek.

3. Pengembangan korelasi noetic/Noematic. Korelasi tersebut merupakan

refleksi tema-tema yang muncul. Korelasi noetic/Noematic

merepresentasikan persepsi individual atas realitas dari fenomeman yang

diinvestigasi. Interpretasi korelasi merupakan langkah yang penting untuk

10

Page 11: Nilai Tambah Syariah Rezeki

mengidentifikasi esensi fenomena atau apa yang menjadi esensi dari

pengalaman.

4. Abstraksi esensi atau universalitas dari korelasi noetic/Noematic. Langkah

ini memerlukan kemampuan intuitif dan refleksi atau eidetic reduction.

Jika Noema adalah melakukan deskripsi “what of experience” dan Noesis

melakukan “how of experience”, maka kemudian yang harus dilakukan

kemudian adalah esensi “why of experience”.

5. PEMBAHASAN: REZEKI SEBAGAI BASIS NILAI TAMBAH SYARIAH

Gagasan tentang konsep rezeki sebagai dasar penetapan nilai tambah masih

dianut banyak masyarakat muslim di Indonesia, seperti ketika ditemui peneliti saat

melakukan wawancara dengan pak Abbas dan pak Dumairi. Pak Abbas melihat

bahwa prinsip berusaha keras dari pak Abbas dianggap sebagai kewajiban

melaksanakan amanah Allah sebagai abdi-Nya, untuk mendapatkan rezeki yang

bernilai tambah. Hal ini nampak ketika pak Abbas menjelaskan makna rezeki:

Rezeki menjadi bermanfaat bagi kita ketika kita melihat kebahagiaan, kebaikan bagi kita di dalamnya. Sekaligus kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain.

Nilai tambah kebaikan sekaligus nilai tambah materi. Hal ini nampak ketika pak

Abbas mendefinisikan rezeki yang mirip dengan konsep nilai tambah syari’ah:

Rezeki menjadi tidak bermanfaat ketika hanya mengejar keuntungan semata. Rezeki menjadi bermanfaat bagi kita ketika kita melihat kebahagiaan, kebaikan bagi kita di dalamnya. Sekaligus kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain. Contohnya, ketika saya didatangi kontraktor untuk melakukan penelitian dan eksplorasi awal areal batubara di Tenggarong. Saya selalu mengatakan, mas jangan dilihat apakah kerjasama kita ini bermanfaat bagi saya aja atau menguntungkan anda saja. Tapi kerjasama ini harus memberi manfaat dan rezeki yang barokah bagi anda juga dan terutama bagi penduduk sekitar. Saya dapat berapa dari situ ya tergantung hitungan dan studi anda di lapangan. Saya juga sudah ketemu dengan lurah

11

Page 12: Nilai Tambah Syariah Rezeki

dan teman-teman dayak di sana, mereka mau membantu di lapangan asal jangan seperti MHU7 yang tugasnya Cuma ngeruk batu bara terus tinggal gelanggang colong playu.

Ditegaskan pak Abbas:

Setiap orang harus kaya, setiap orang harus berbagi dengan sesamanya, dan setiap orang harus menjalankannya dengan berorientasi pada hari akhir.

Pandangan mirip Pak Abbas dijelaskan oleh Pak Ishar:

Kalo cari rejeki itu memang untuk usaha memperoleh kekayaan ya memang itu kan tujuan kita usaha, bisnis, bekerja, meskipun itu tetap berpedoman pada tujuan ibadah kita kepada Allah.

Pandangan menarik mengenai konsep rezeki yang lebih dekat dengan konsep nilai

tambah adalah komentar dari Pak Aziz . Menurutnya rezeki adalah:

Rejeki yang saya dapat dari usaha saya jelas harus memiliki nilai tambah yang penting karena menjalankan aktivitas berdasarkan ibadah yang saya lalukukan setiap waktu. Ibadah itu semoga saja berdampak pada nilai tambah usaha saya, keluarga, orang-orang yang memanfaatkan produk saya . Nah kalo sudah gitu artinya ibadah saya memang bermanfaat secara sosial kan?

Lebih lanjut Pak Aziz melihat bahwa rezeki itu tidak hanya berbasis tumpukan materi:

Cari rejeki itu karena Allah, jadi gak perlu ngoyo. Yang penting lumintu, dapat rejeki supaya ada nilai tambah yang bisa ditabung dan dibelikan perangkat pabrikan. tetapi tidak serakah dan harus tetap bernilai barokah. Gak etis kalo misalnya sudah punya langganan untuk memasok barang saya, tapi hanya karena perbedaan price lebih menguntungkan terus langsung pindah. Itu namanya memutus silaturrahim.. asal cukup untuk biaya makan, anak sekolah, keperluan sehari-hari, ya syukur Alhamdulillah.

Pak Aziz memandang mencari rejeki sebagai bentuk pengabdian kepada Allah perlu

mendapat aset, ekuitas dan keuntungan bersifat nilai tambah.

Pendapat mengenai rezeki lebih konkrit dalam bentuk akuntansi diungkapkan

Pak Dumairi, mengenai kesatuan dakwah-bisnis dalam laporan keuangan:

7 MHU singkatan dari PT. Multi Harapan Utama

12

Page 13: Nilai Tambah Syariah Rezeki

laporan keuangan penting untuk mengaplikasikan pencatatan sebagai kalkulasi bisnis sekaligus untuk aktivitas dakwah di dunia kerja orientasinya harus mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Prinsip pelaporan berhubungan dengan kesatuan bisnis-da’wah mirip gagasan rezeki

bernilai tambah. Bahwa bisnis sekaligus dakwah adalah kesatuan antara materi-

spiritual untuk mendapatkan rezeki bernilai tambah bagi semua, bukan hanya kita,

tetapi masyarakat luas sebagai bentuk ketundukan menjalankan dakwah bil-haal

(dakwah langsung). Hal menarik adalah dimasukkannya qardh hassan dalam struktur

pembiayaan dan bukan struktur laporan tambahan seperti tertuang dalam PSAK 59

maupun SAK 101-106 dari IAI. Dalam ketentuan syari’ah menurut Pak Dumairi lagi:

...orientasi sosial tidak dapat dipisahkan dengan orientasi keuntungan. Qardhul hasan (hutang untuk kebajikan) dianggap pembiayaan dan pendapatan yang harus masuk masing-masing dalam neraca dan laba rugi. Karena qardhul hasan bukanlah aktivitas bisnis yang terpisah. Bahkan disitulah pusat pemberdayaan masyarakat dan target pengentasan masyarakat atau pedagang pasar dari bahaya rentenir.

Qardh dalam fiqh sebenarnya lebih berorientasi sosial, meskipun sosial tidak berarti

merugikan pemberi pinjaman. Di sini ada kelonggaran untuk menetapkan keuntungan

meski keuntungan tersebut harus berdasarkan keridhaan peminjam. Sehingga jelas

bahwa dalam qardh yang penting adalah nadzarnya harus produktif dan bukan

qardhnya yang produktif.

Berdasarkan praktik bisnis di atas dapat ditarik benang merah, bahwa rizq

(rezeki) merupakan bentuk nilai tambah aktivitas bisnis (ma’isyah) bernilai barakah

yang didapatkan sesuai ketentuan syari’ah untuk kesejahteraan bersama (mashlaha).

Rizq merupakan nilai tambah syari’ah nilai tambah yang didapatkan (baik finansial,

sosial dan lingkungan) dan telah disucikan/tazkiyah (secara halal, thoyib dan bebas

riba) mulai dari pembentukan, hasil sampai distribusinya.

13

Page 14: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Substansi nilai tambah syari’ah seperti bila diturunkan lebih teknis sebagai

konsep akuntansi berimplikasi pada, pertama, proses pembentukan nilai tambah

syari’ah harus selalu tersucikan secara konsisten. Caranya adalah melaksanakan

aktivitas ekonomi dalam batas-batas yang diperbolehkan syara’ (halal) dan

bermanfaat/menenangkan batin (thoyib). Sebaliknya aktivitas ekonomi yang

melanggar ketentuan adalah Haram. Kedua, pertumbuhan harta dan mekanisme usaha

yang sehat, hasil dari didapatkannya rezeki, harus dilakukan untuk menghilangkan

sifat berlebihan (halal dan thoyib) dan menjalankan aktivitas usaha bebas riba dalam

segala bentuknya. Dari sisi finansial, bebas riba adalah melakukan proses kerja sama

berdasar keseimbangan antara intermediasi (jual beli), produktif dan ekstraktif

(seperti dikembangkannya model muzara’ah dan musaqah). Dari sisi kepentingan

sosial dan lingkungan, reduksi riba dilakukan dengan melakukan relasi sosial dan

lingkungan alam secara pro-aktif berlandaskan prinsip shadaqah. Ketiga, implikasi

bentuk distribusi rezeki bernilai tambah, harus dilakukan secara optimal pada

kebaikan sesama, merata dan tidak saling menegasikan. Seberapapun keikutsertaan

harus dicatat dan diakui sebagai potensi yang berhak mendapatkan bagian dalam

pembagian nilai tambah. Artinya, bukan meletakkan prinsip keadilan berdasarkan

etika Barat (berdasar utilitas, konsensus dan disahkan melalui hukum positif). Tetapi

keseimbangan dan keadilan berdasar ‘Adalah/Keadilan Ilahi yang berwujud

kesejahteraan sosial untuk semua dan harus selalu melalui proses tazkiyah.

Nilai tambah syari’ah dari nilai-nilai empiris telah memberikan gambaran

sesuai nilai tambah syari’ah secara normatif. Nilai tambah berpusat pada konsep

tazkiyah, yaitu penyucian proses pencarian rezeki untuk mendapat barokah baik

secara kuantitatif maupun kualitatif. Inilah yang disebut dengan Rizq Income. Nilai

14

Page 15: Nilai Tambah Syariah Rezeki

tambah syari’ah memang tidak menganut model economic income atau accounting

income, tetapi dapat disebut menganut model income yang khas Islam, rizq income.

Konsep nilai tambah syari’ah (shari’ate value added/SVA) berbasis rizq

income jelas berbeda dengan pandangan akuntansi secara umum (konvensional).

Seperti diketahui konsep nilai tambah konvensional (value added/VA) berbasis pada

konsep dasar teoritis usulan Suojanen (1954), yaitu Enterprise Theory. VA

didefinisikan Belkaoui (2000, 222) sebagai peningkatan kesejahteraan yang

dihasilkan dari penggunaan sumber daya perusahaan yang produktif sebelum

dialokasikan kepada pemegang saham, pemegang obligasi, pegawai dan pemerintah.

Konsep VA menurut Glautier dan Underdown (1992, 409) berdampak pada

pendistribusian income di antara perusahaan yang kemudian mengarah pada distribusi

income pada entitas yang terlibat dalam proses produksi seperti manajemen dan

karyawan. Pendekatan VA memang lebih cenderung pada pembentukan kekayaan

yang berorientasi pada income ekonomi daripada income akuntansi (untuk definisi

lebih lanjut dapat dilihat dalam Meek dan Gray 1988; Staden 2000; Morley 1979;

Diefenbach 2003; Hendriksen dan Breda 2000; Mathews dan Perera 1996; Haller dan

Stolowy 1995; Firrer 2004 dan banyak lainnya).

SVA maupun VA berbeda dengan pendekatan mainstream akuntansi

berkenaan dengan konsep laba. Laba biasanya berkaitan dengan prinsip penandingan

(matching), pengakuan biaya pada dasarnya sejalan dengan pengakuan pendapatan.

Pendapatan merupakan hasil yang dituju perusahaan, sementara biaya untuk

memperoleh pendapatan merupakan upaya yang dilakukan perusahaan. Dengan

demikian, pendapatan harus ditandingkan dengan biaya yang diperkirakan telah

menghasilkan pendapatan tersebut, agar dihasilkan besarnya laba yang tepat8.

8 Dalam praktik, disebutkan Kam (1990, 283-286) ada tiga dasar penandingan yang umum digunakan untuk mencari hubungan antara biaya dengan pendapatan dalam suatu periode tertentu. Dasar penandingan tersebut, pertama, hubungan sebab-akibat; kedua, alokasi sistematis dan rasional; ketiga,

15

Page 16: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Pendekatan pendapatan dan biaya dalam konteks seperti ini menurut Mulawarman

(2006) masih memunculkan tiga hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan

tujuan syari’ah. Pertama, pengakuan pendapatan yang berkaitan dengan realisasi

pendapatan yang akan berimplikasi pada sifat dasar halal (permitted). Kedua,

pengakuan pendapatan dalam proses pembentukan pendapatan yang berbasis akrual

dan ditetapkannya time value of money berujung pada riba (interest). Ketiga, prinsip

penandingan pendapatan dan biaya juga masih belum sesuai dengan tujuan syari’ah.

Dalam penandingan tidak nampak aspek keadilan sosial, tetapi hanya muncul sifat

egositik akuntansi (Triyuwono 2004). Pengakuan hanya berkaitan dengan biaya dan

manfaat yang bersifat privat. Privat di sini diartikan sebagai pencatatan biaya dan

pendapatan dari sudut pandang kepentingan perusahaan. Dapat dikatakan pendekatan

yang dilakukan adalah dalam kerangka Entity Theory. Sedangkan pendapatan dan

biaya yang sifatnya publik sama sekali tidak disajikan. Sifat egoistik akuntansi

berimplikasi pada masalah ketimpangan keadilan dan tidak sesuai dengan tujuan

akuntansi syari’ah dan terutama tujuan syari’ah. Untuk memudahkan ditampilkan

Tabel 2 berkenaan perbedaan tiga konsep laba seperti dijelaskan di atas (Lampiran).

Konsep laba seperti di atas jelas berpengaruh terhadap bentuk laporan kinerja

keuangan yang dihasilkan. Perbandingannya dapat dilihat di Tabel 3 (Lampiran).

Berdasarkan laporan nilai tambah syari’ah awal (Mulawarman 2006)

dilakukan penyesuaian dari sesuai realitas empirisnya, yaitu secara konseptual dan

bentuk laporannya. Bentuk laporan nilai tambah syari’ah juga mengalami penyesuaian

atas pemisahan laporan kuantitatif dan kualitatif menjadi penyatuan laporan

kuantitatif dan kualitatif. Kedua bentuk laporan tersebut bersifat mandatory (wajib).

pembebanan segera. Prinsip ini masih mengidap masalah karena substansi dari prinsip penandingan merupakan kepentingan akuntansi konvensional untuk menghasilkan laba atau lebih tegas merupakan turunan dari konsep laba akuntansi (lihat Belkaoui 2001; Kusumawati 2004; Triyuwono dan As’udi 2001) dan lebih dekat dengan prinsip dasar akrual (lihat Kam 1990, 296; Kusumawati 2004, 25).

16

Page 17: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Penggabungan laporan kuantitatif dan kualitatif seperti telah dijelaskan di atas untuk

menghindari perilaku pragmatis perusahaan. Laporan kualitatif meskipun bersifat

mandatory, bila disajikan terpisah akan mengarah pada sifat pseudo-mandatory.

Pseudo-mandatory di sini dapat diartikan laporan kualitatif secara substansial

memang bersifat mandatory, tetapi praktiknya di lapangan menjadi “mandul”, bahkan

akan tergeser kembali menjadi laporan voluntary.

Sementara pembagian akuntabilitas tetap mengacu pada Mulawarman (2006),

yaitu akuntabilitas ketundukan (spiritual) dibagi menjadi ketundukan primer dan

ketundukan sekunder. Akuntabilitas kreativitas (mental dan material) juga dibagi

menjadi primer dan sekunder. Lengkapnya lihat Tabel 4 (Lampiran).

Penjelasan elemen-elemen laporan nilai tambah syari’ah di atas adalah sebagai

berikut. Pencatatan bentuk output ketundukan primer secara finansial dan

sosial/lingkungan dari pencapaian halal atas aktivitas ekonomi, yaitu berkaitan

dengan pencapaian produk halal dan peningkatan kualitas karyawan. Pencapaian

halal dapat berupa Sertifikasi Halal yang dikeluarkan LPPOM MUI untuk perusahaan

obat, kosmetik, makanan/minuman, restoran dan peternakan, atau Sertifikasi Syari’ah

yang dikeluarkan DSN MUI untuk lembaga perbankan syari’ah dan pasar modal

syari’ah. Untuk keperluan implementasi output ketundukan proses Sertifikasi Halal

perusahaan obat, kosmetik, makanan/minuman, restoran dan peternakan atau

pencapaian kualitas karyawan berupa peningkatan skill/kemampuan, kursus serta

training berkaitan pencapaian produk halal.

Pencatatan bentuk ketundukan sekunder secara finansial (halal zamany) dan

sosial/lingkungan (halal makany) untuk pencapaian halal atas aktivitas ekonomi.

Bentuknya merupakan input berupa proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan

17

Page 18: Nilai Tambah Syariah Rezeki

yang harus memenuhi Sistem Jaminan Halal dan Standar Operasi Prosedur Halal

(SOP) Halal sebagai implementasi Total Quality Management (TQM) perusahaan.

Akuntabilitas kreativitas (mental dan material) dibagi menjadi output

kreativitas primer dan output kreativitas sekunder. Pencatatan bentuk kreativitas

primer secara finansial yaitu reduksi riba ekonomi berbentuk bai’, dan

sosial/lingkungan yaitu reduksi riba sosial berbentuk Profit Loss Sharing System.

Bentuknya dapat berupa reduksi bunga/interest, reduksi prinsip time value of money

dalam penentuan penyusutan aset, tidak melakukan penimbunan, penipuan, monopoli,

oligolopi, judi dan kepastian penentuan bagi hasil saham preference maupun saham

biasa. Serta menjalankan aktivitas perusahaan dalam penyuluhan dan kursus maupun

peningkatan kemampuan masyarakat sekitar dalam memahami kesadaran bersama

menjaga keseimbangan ekologis dan menjaga keserasian hubungan dengan

masyarakat sekitar perusahaan. Pencatatan bentuk kreativitas sekunder yaitu dalam

bentuk kreativitas sosial dan lingkungan, seperti hasil dari pengolahan limbah, berupa

lingkungan bersih.

Kekurangan informasi kuantitatif finansial dan sosial/lingkungan baik

material, mental dan spiritual harus dijelaskan dalam laporan kualitatif. Laporan

kualitatif seperti penjelasan keharaman dari aspek, haram karena faktor eksternal dan

proses relasi sosial dan penanganan lingkungan. Laporan kualitatif juga berisi tentang

ketenangan melaksanakan ibadah mahdah di dalam lingkungan perusahaan,

keselarasan hubungan antar stakeholders (pemilik, pemegang saham, manajemen,

karyawan, masyarakat sekitar, konsumen dan lingkungan), maupun kenikmatan atas

hasil aktivitas bisnis halal, reduksi riba dan gharar.

6. SIMPULAN

18

Page 19: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Konstruksi khusus laporan nilai tambah syari’ah dalam penelitian ini

merupakan implementasi kedua dari trilogi laporan keuangan syari’ah berbasis

ma’isyah-rizq-maal (Mulawarman 2007c). Laporan nilai tambah syari’ah diturunkan

dari salah satu trilogi, yaitu rizq. Rizq merupakan bentuk laba yang disebut rizq

income sebagai penjelasan lebih lanjut dari konsep nilai tambah syari’ah (shari’ate

value added/SVA). Meskipun konsep rizq di sini memang lebih mengakomodasi

realitas empiris. Meskipun rizq tergali dari realitas masyarakat Muslim Indonesia,

ternyata hal tersebut memiliki kesesuaian dengan konsep SVA.

Hasilnya adalah bahwa rizq income sebagai konsep rezeki bernilai

tambah (sebagai basis laporan nilai tambah syari’ah dalam perspektif akuntansi

syari’ah) merupakan nilai tambah yang didapatkan (baik finansial, sosial dan

lingkungan) dan telah disucikan/tazkiyah (secara halal, thoyib dan bebas riba)

mulai dari pembentukan, hasil sampai distribusinya

DAFTAR PUSTAKA

Baydoun, N., and Roger Willett. 1994. Islamic accounting theory. The AAANZ Annual Conference.

Baydoun, N., and Roger Willett. 2000. Islamic Corporate Report. ABACUS. 36 (1): 71-90.

Belkaoui, AR. 2000. Teori Akuntansi Jilid 1. Terjemahan. Jakarta. Salemba Empat. Jakarta.

Bev, Jennie S. 2007. GDP, Poverty and Gross National Happiness. The Jakarta Post. Monday, November, 12.

Capra, Fritjof. 1999. The Tao of Physics. 4th Edition. Terjemahan. 2005. Jalasutra. Yogyakarta.

Diefenbach, Thomas. 2003. Internal value added and profit distribution. www.econ.cam.ac.uk.

Firer, Steven. 2004. Does Value Added Beat Earnings? Empirical Evidence from South Africa. www.wits.ac.za

Frey, Bruno S. and Alois Stutzer. 2007. Should National Happiness be Maximized? Working Paper Series. Institute for Empirical Research in Economics. University of Zurich. March.

19

Page 20: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Gambling, Trevor and Rifaat AA Karim. 1991. Business and Accounting Ethics in Islam. London: Mansell.

Glautier, MWE. B. Underdown. 1991. Accounting Theory and Practice. 4th Edition. ELBS With Pitman.

Gray, Rob., R. Kouhy, S. Lavers. 1995. Corporate social and environmental reporting: a review of the literature and a longitudinal study of UK disclosure. Accounting, Auditing and Accountability Journal. 8 (2). pp. 47-77.

Gray, Rob., D. Owen, C. Adams. 1996. Accounting and Accountability: Changes and Challenges in corporate social and environmental reporting. Prentice Hall.

Haller, Axel. Herve Stolowy. 1995. Value Added Accounting in Germany and France: A Conceptual and Empirical Comparison. Annual Congress of the European Accounting Association. Birmingham, United Kingdom, May 10-2. campus.hec.fr.

Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Penerbit Kanisius. Jogjakarta.

Hendriksen Eldon S., M. V. Breda. 2000. Teori Akunting. Buku Kesatu. Edisi Kelima. Terjemahan. Interaksa. Jakarta.

Hirata, Johannes. 2005. How Should Happiness Guide Policy?: Why Gross National Happiness is not opposed to democracy. 2nd International Conference on Gross National Happiness “Rethinking Development: Local Pathways to Global Wellbeing”. St. Francis Xavier University. Antogonish, Nova Scotia, Canada. 20-24 June.

Irianto, Gugus. 2003. Skandal Korporasi dan Akuntan. Lintasan Ekonomi. LPPI-FE Unibraw. Vol. XX (2) Juli pp 104-114.

Irianto, Gugus. 2006. Privatisasi BUMN di Indonesia: Pilihan atau Keniscayaan? Telaah dari Perspektif PEA. Proceeding The 2nd Postgraduate Consortium on Accounting 2006. Brawijaya University Malang. June, 14-15.

Matthews, MR., MHB Perera. 1996. Accounting Theory and Development. 3rd edition. Thomas Nelson Australia.

Meek Gary K., Sydney J. Gray. 1988. The value added statement: an innovation for U.S. companies? Accounting Horizon. June. pp. 73-81.

Morley, Michael F. 1979. The value added statement in Britain. The Accounting Review. July. pp. 618-629.

Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah. Simposium Nasional Akuntansi X. Unhas Makassar. 26-28 Juli

Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi “Kekayaan Altruistik Islami”. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syari’ah Berbasis Trilogi Ma’isyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Unpad. Bandung. 14-15 Nopember.

Muslehuddin, Muhammad. 2004. Sistem Perbankan dalam Islam. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Ormerod, Paul. 1999. Matinya Ilmu Ekonomi. Jilid 1. Terjemahan. Cetakan Keempat. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

20

Page 21: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Pransejit, Biswas. 2002. Historicizing Reason: Husserl’s Transcendental Phenomenology. Prague, Czech Republic, Seminar “Issues Confronting the Post-European World”, November

Revkin, Andrew. 2005. A New Measure of Well-Being from a Happy Little Kingdom. New York Times. Oktober, 4.

Sanders, Patricia. 1982. Phenomenology: A new way of viewing organizational research. Academy Management Review 1982, Vol 7 no.3.

Staden, Chris. 2000. The Value Added Statement: Bastion of Social Reporting or Dinosaur of Financial Reporting? Massey University, New Zealand. www.accountancy.massey.ac.nz

Sulaiman, Maliah. 2000. Corporate Reporting From An Islamic Perspective. Akauntan Nasional. Oktober (18-22)

Sulaiman, Maliah. 2001. Testing a Model of Islamic Corporate Financial Reports: Some Experimental Evidence. IIUM Journal of Economics and Management 9 (2) pp. 115-39

Sulaiman, Maliah. Roger Willett. 2003. Using the Hofstede-Gray Framework to Argue Normatively for an Extension of Islamic Corporate Reports. Malaysian Accounting Review. Vol 2 (1).

Subiyantoro, Eko B. Iwan Triyuwono. 2004. Laba Humanis: Tafsir Sosial atas Konsep Laba dengan Pendekatan Hermeneutika. Bayumedia. Malang.

Suojanen, Waino W. 1954. Accounting Theory and The Large Corporation. The Accounting Review. pp. 391-398.

Triyuwono, Iwan. 2004. Formulasi Karakter Laporan Akuntansi Syari’ah dengan Pendekatan Filsafat Manunggaling Kawulo Gusti (Syekh Siti Jenar). Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II. PPBEI, Universitas Brawijaya. Malang. h. 79-94.

Triyuwono, Iwan. 2007. Konsep Nilai Tambah Syariah. Simposium Nasional Akuntansi X Universitas Hassanudin. Makassar.

LAMPIRAN

Tabel 1. Laporan Nilai Tambah Syari’ah Kuantitatif

Penciptaan VA Finansial Sosial-Lingkunga

n

Combined

Output Ketundukan Primer Xa - XaKetundukan Primer Xb - XbKreativitas Primer - Ya YaKreativitas Sekunder - Yb YbJumlah Output Xc Yc Za

Input Ketundukan Sekunder

Xd - Xd

Revaluation Kreativitas Primer Xe - XeVA Kotor Xf Yd Zb

TAZKIYAH (Zc)Pembayaran Zakat kepada 8 Asnaf (Zd)

21

Page 22: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Aliran Kas Syari’ah Berbasis Ma’isyah

Neraca Syari’ah Berbasis Maal

Nilai Tambah Syari’ah Berbasis Rizq

Trilogi Teknosistem Laporan Keuangan Syari’ah

1 2

3

VA HALAL DAN THOYIB (Ze)Distribusi VA Finansial Sosial &

Lingkungan

Combined

InternalKaryawan Ketundukan

SekunderXg - Xg

Ketundukan Primer Xh XhOwners Kreativitas Primer Xi - XiReinvestment Funds

Kreativitas Sekunder Xj - Xj

EksternalPemerintah Ketundukan Primer Ye Ye

Kreativitas Sekunder Yf YfResidents Ketundukan

Sekunder- Yg Yg

Masyarakat Kreativitas Sekunder - Yh Yh

Gambar 1. Trilogi Teknosistem Laporan Keuangan Syari’ah

Tabel 2. Perbandingan Konsep Laba

22

Page 23: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Konsep LabaKonsep Dasar

TeoritisMekanisme

Penciptaan Laba

Penerima Laba

Shari’ate Value Added

Shari’ate Enterprise

Theory

Tazkiyah Concept

Rizq IncomeStakeholders

sesuai Keadilan Ilahi

Value AddedEnterprise

TheoryOutput-Input

ConceptEconomic

Income

Stakeholders sesuai

Keadilan Barat

Laba Konvensional

Entity TheoryMatching Concept

Accounting Income

Shareholders

Tabel 3. Perbandingan Substansi Laporan Kinerja Keuangan

Akuntansi Konvensional

Akuntansi Sosial

Lingkungan

Akuntansi Syari’ah

Pragmatis

Akuntansi Syari’ah Idealis

Tujuan Utama

Laba VALaba sebagai penentu zakat

Zakat sebagai penentu VA

Laporan Kinerja

Income Statement; VAS

additionVAS / SVAS

Expanded Income

Statement

VAS berbasis zakat

Posisi Laba

Bottom LineBagian dari

VASetelah dikurangi

zakatBagian dari VA dikurangi zakat

Sasaran Utama

Shareholders;Stakeholders

additionStakeholders

Shareholders; Stakeholders

addition

Shareholders dan Stakeholders

Konsep Teoritis

Entity TheoryEnterprise

TheoryEntity Theory

Shari’ate Enterprise Theory

Bentuk Laporan

Kuantitatif; Kualitatif addition

Kualitatif Kuantitatif

KuantitatifKuantitatif Kualitatif

Tabel 4. Penyesuaian Shari’ate Value Added Statement Berbasis Rizq

Penciptaan VA Kuantitatif KualitatifOutput Ketundukan

X1 Y1Kreativitas Jumlah Output X2 Y2

Input Ketundukan X3 Y3Revaluation Kreativitas

VA Kotor X4 Y4

TAZKIYAH (Za)Pembayaran Zakat kepada 8 Asnaf (Zb)

VA HALAL DAN THOYIB (Zc)Distribusi VA Kuantitatif Kualitatif

InternalKaryawan Ketundukan

X5 Y5Owners Kreativitas Reinvestment Funds Kreativitas EksternalPemerintah Ketundukan

X6 Y6Kreativitas

23

Page 24: Nilai Tambah Syariah Rezeki

Residents Ketundukan Masyarakat Kreativitas

24