norman mahardhika, pudentia mpss
TRANSCRIPT
Unsur Cerita Pewayangan, Warna Lokal, Ajaran Kejawen, dan Nilai-Nilai
yang Terkandung dalam Novel Punakawan Menggugat Karya Ardian
Kresna
Norman Mahardhika, Pudentia MPSS
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
ABSTRAK
Skripsi ini membahas novel Punakawan Menggugat yang dikarang oleh Ardian Kresna.
Pengarang menggunakan dasar kebudayaan Jawa dan konsep cerita pewayangan untuk
menyampaikan pandangan tentang nilai-nilai kehidupan yang ideal. Novel ini menampilkan
simbol-simbol yang terdapat dalam dunia pewayangan dan maknanya terhadap kehidupan
manusia. Punakawan Menggugat juga menyediakan intisari ajaran Kejawen sebagai bahan
renungan cerita. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural untuk melihat aspek
intrinsik karya sastra dan pendekatan sosiologi sastra untuk melihat warna lokal dan nilai-
nilai yang terkandung dalam novel Punakawan Menggugat. Selain itu, penelitian ini juga
meninjau karakteristik cerita wayang yang diangkat oleh pengarang.
The Puppet Story Elements, Local Colours, Kejawen Teachings, and
Values in the Novel Punakawan Menggugat by Ardian Kresna
ABSTRACT
This undergraduate thesis discusses about the novel Punakawan Menggugat by Ardian
Kresna. The author used the Javanese cultural basis and the concept of puppet stories to
present the insight about an ideal values of life. The novel shows the symbols in the puppet
world and their meaning to human’s life. Punakawan Menggugat also provides the essence of
Kejawen teachings as the reflection of the story. This study uses a structural approach to see
the intrinsic aspects and a sociological approach to see the local colours and values in the
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
novel Punakawan Menggugat. Furthermore, this sttudy also observes the characteristics of the
puppet stories that were raised by the author.
Keywords : Javanese, kejawen, local colours, mahabharata, punakawan, symbols, wayang
purwa
Pendahuluan
Karya sastra adalah sebuah bangunan yang dibangun dari berbagai macam sumber ide. Salah
satu sumber ide yang menarik adalah dunia pewayangan. Dunia atau budaya pewayangan di
Indonesia telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO. Pada tanggal 21 April 2004,
UNESCO menganugerahkan penghargaan Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of
Humanity kepada kesenian wayang yang berasal dari Indonesia. Keadaan yang demikian
menjadikan wayang sebagai kesenian yang merangkum sebuah konsep hidup manusia – dan
menyangkut nilai-nilai kehidupan yang sifatnya menuntun. Wayang berkembang menjadi
sebuah fenomena budaya yang cukup bertahan lama.
Wayang berasal dari kata ‘wa’ dan ‘hyang’ yang berarti keturunan yang ilahi. Dalam
bahasa Jawa Kuna, kata ‘wayang’ sendiri berarti ‘bayang-bayang’. Dua pengertian itu
menunjukkan kondisi wayang sebagai sebuah kesenian yang memanfaatkan bayang-bayang
sebagai medianya. Dalam hal ini, kaitan bayang-bayang dengan dunia kesenian menyebabkan
kesenian wayang dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan. Bayang-bayang itu diciptakan
dari boneka atau manusia. Kondisi ini disebut sebagai kondisi ‘tubuh tanpa roh’ yang siap
menjalankan cerita, dalam hal ini adalah dalang (Groenendael, 1987 : 55).
Kesenian yang memanfaatkan bayang-bayang itu menggunakan cerita yang berasal
dari epos atau wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Agama Hindu dan Buddha yang masuk
ke nusantara menyebabkan terjadinya alih wahana dari kitab epos Ramayana dan
Mahabharata menjadi sebuah pertunjukan wayang. Wayang mengadaptasi kitab ini untuk
dijadikan nyawa cerita ‘kebaikan yang mengalahkan kejahatan’ (Nurgiyantoro, 1998 : 24).
Hal ini menunjukkan hakikat wayang sebagai tontonan sekaligus tuntunan.
Wayang di Indonesia mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang panjang.
Kitab epos Ramayana dan Mahabharata yang datang dari India tidak dijadikan tumpuan dasar.
Pada tahun 1117 Masehi, Kakawin Smaradhana dari Kerajaan Kediri digunakan sebagai
nyawa cerita sebuah kesenian wayang (Poerbatjaraka, 1919 : 478 dalam Braginsky, 1998 :
110). Selain itu, cerita tentang kerajaan Majapahit (Serat Damarwulan), penyebaran agama
Islam, kehidupan Jazirah Arab (tampak dalam Hikayat Amir Hamzah), perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia, hingga inti cerita Alkitab agama Kristen dijadikan nyawa
cerita dalam kesenian wayang (Timoer, 1984 : 26, Guritno, dkk, 1985 : 94, dan Poplawska,
2004 : 196).
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Dengan demikian, wayang adalah sebuah konsep kesenian yang memasukkan banyak
ranah kehidupan manusia untuk dimanifestasikan dalam bentuk pertunjukan dan permainan
teater, khususnya teater boneka. Akan tetapi, kitab epos Ramayana dan Mahabharata bertahan
lama dan masih populer sebagai nyawa kesenian pertunjukan wayang. Kitab epos Ramayana
dan Mahabharata dirangkum dalam khazanah cerita wayang purwa. Istilah purwa sendiri
berasal dari sebuah istilah dalam kitab Mahabharata, ‘parwa’ yang berarti pembabakan cerita
(Soekmono, 1991 : 67). Wayang Purwa juga berkembang menjadi kesenian yang diakuisisi di
berbagai daerah di Indonesia. Wayang Purwa eksis dari pulau Sumatera (Palembang),
Jawa(Sunda, Banyumas, Tegal, Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Timur), Bali, Lombok
(Sasak), dan Kalimantan (Banjar) (Guritno, dkk, 1985 : 95; Haryanto, 1995 : 57 – 119).
Keadaan yang demikian menjadikan wayang purwa sebagai salah satu nyawa bagi
penciptaan karya sastra di Indonesia. Banyak pengarang di Indonesia yang berpijak pada
wayang purwa sebagai sumber ide bagi penciptaan karyanya. Sebagai contoh, Ardian Kresna
menuliskan novel Bima Sejati (2012) dan Punakawan Menggugat (2012). Pengarang juga
memiliki penerimaan yang beragam terhadap fenomena pewayangan sebagai sumber ide. Ada
yang memparodikan, mendekonstruksi, dan ada juga yang tetap berpijak pada aturan (pakem)
dalam dunia pewayangan. Sebagai contoh, Yanusa Nugroho menciptakan kumpulan cerpen
Bulan Bugil Bulat (1990) yang memasukkan wacana urban dalam dunia pewayangan. Seno
Gumira Ajidarma juga mendekonstruksi nilai-nilai pewayangan dalam novelnya yang
berjudul Kitab Omong Kosong (2004). Selain itu, Gunarso TS menciptakan kumpulan cerpen
Wayang Semau Gue (1991) yang memparodikan wayang purwa.
Penelitian ini membahas novel Punakawan Menggugat yang tidak memparodikan
cerita wayang, tetapi mengangkat cerita wayang yang berasal dari ranah budaya Jawa.
Punakawan Menggugat mengangkat cerita wayang yang bersifat carangan. Dengan
demikian, penelitian terhadap novel Punakawan Menggugat didasarkan pada karakteristik
cerita wayang yang diangkat dan mengungkap apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam
cerita yang bersifat carangan.
Untuk melihat itu semua, digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah
pendekatan struktural yang digunakan untuk mengetahui struktur naratif novel Punakawan
Menggugat. Pendekatan kedua adalah pendekatan sosiologi sastra untuk mengungkap nilai-
nilai yang terkandung di dalam novel Punakawan Menggugat. Selain itu, karakteristik cerita
wayang yang bersifat carangan akan dijabarkan dalam penelitian ini.
Tinjauan Teoretis
Pembahasan terhadap novel Punakawan Menggugat meninjau adanya penelitian yang
memberikan gambaran awal. Gambaran awal penelitian ini didapatkan dari dua hasil
penelitian. Adapun kedua tinjauan teoretis yang memberikan gambaran awal bagi penelitian
ini adalah sebagai berikut.
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
• Penelitian yang dilakukan oleh Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya
yang berjudul Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia (1998). Buku
ini mengungkap perkembangan dan penafsiran beberapa pengarang yang mengangkat
cerita wayang ke dalam kesusastraan Indonesia. Buku ini memberikan jawaban yang
mempertemukan benang merah antara dunia kesusastraan dan budaya pewayangan.
• Skripsi yang ditulis oleh Ika Puji Hardiyati yang berjudul Analisis
Psikologi Tokoh Utama Novel Pahlawan Pilihan Kreshna Karya Ardian Kresna dan
Pembelajarannya di SMA (2012). Penelitian ini adalah skripsi pada Universitas
Muhammadiyah Purworejo yang ditujukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan (S. Pd.). Skripsi ini memberikan gambaran awal tentang karakteristik
Ardian Kresna dalam mengkreasikan lakon wayang carangan menjadi sebuah fiksi.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis, terutama untuk
mengkaji struktur karya sastra, unsur pewayangan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam
novel Punakawan Menggugat karya Ardian Kresna. Metode deskriptif-analitis dilakukan
dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang ada pada masyarakat dan mengaitkannya ke
dalam karya sastra yang hidup dalam masyarakat tersebut. Karya sastra merupakan
sekumpulan nilai-nilai yang membangun alam dan manusia melalui kata-kata. Oleh karena
itu, nilai-nilai ini butuh dikeluarkan dari karya dan direfleksikan dengan fakta-fakta yang ada
pada kehidupan masyarakat (Ratna, 2010 : 282).
Penelitian ini akan membahas dunia pewayangan dalam kesusastraan Indonesia yang tampak
pada novel Punakawan Menggugat. Selanjutnya, konsep-kosep kebudayaan yang ada pada
novel Punakawan Menggugat dideskripsikan dan dikaitkan dengan teori-teori mengenai
sastra, kebudayaan, dan studi kebudayaan yang mengacu pada keberadaan wayang purwa
dalam kesusastraan Indonesia. Dengan demikian, esensi dari karya Punakawan Menggugat
dapat ditunjukkan. Esensi karya ini dikaitkan dengan amanat-amanat yang terkandung dalam
novel Punakawan Menggugat.
Dengan demikian, ada dua tahap pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Tahap
pertama adalah pendekatan struktural yang digunakan untuk mengkaji struktur naratif prosa
(aspek intrinsik) yang terkandung dalam novel Punakawan Menggugat. Aspek intrisik dalam
karya sastra tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural. Analisis struktural pada dasarnya
digunakan untuk membongkar dari dalam seluruh aspek yang ada pada karya sastra.
Pembongkaran dari dalam ini ditujukan untuk memaparkan keterkaitan antara anasir dan
aspek-aspek di dalam karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh
(Teeuw, 2003 : 115). Pendekatan struktural ini digunakan untuk mengkaji karya sastra yang
merupakan bangunan kreativitas antara nilai-nilai dalam medium bahasa (Wellek dan
Warren, 2014 : 3). Selain itu, Jakob Sumardjo mendefiniskan sastra sebagai karya seni yang
menggunakan material bahasa dan berdasarkan bahasa itulah kita mengklasifikasikan
kesastraan (1992 : 2). Dengan demikian, pendekatan struktural adalah pendekatan yang
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
penting dan tak bisa dipisahkan dari penelitian terhadap novel Punakawan Menggugat karya
Ardian Kresna.
Tahap kedua adalah pendekatan sosiologi sastra. Menurut Wellek dan Warren (2014 : 98),
Pendekatan sosiologis dalam pengamatan karya sastra memiliki tiga hal penting. Pertama,
pendekatan sosiologi sastra dilakukan dengan melihat segi-segi sosiokultural seorang
pengarang. Pendekatan pertama ini disebut sebagai pendekatan sosiologi pengarang. Kedua,
pendekatan sosiologi sastra dilakukan dengan melihat keberadaan karya dalam kehidupan
masyarakat. Pendekatan kedua ini disebut sebagai pendekatan sosiologi karya. Ketiga,
pendekatan sosiologi sastra dilakukan dengan melihat keberadaan masyarakat, kalangan
pembaca, dan penilai karyanya. Pendekatan ketiga ini disebut sebagai pendekatan sosiologi
pembaca.
Sapardi Djoko Damono menambahkan bahwa sastra dan sosiologi memiliki kesamaan dalam
mengkaji manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, keduanya memiliki perbedaan yang
terletak pada objektivitas analisis. Sosiologi melakukan analisis ilmiah secara objektif,
sedangkan sastra menembus kehidupan sosial dan menunjukkan cara manusia menghayati
masyarakat dengan lebih subjektif (2010 : 8). Pendekatan sosiologis atas karya sastra
merupakan usaha pemahaman, penafsiran, dan pemaknaan aspek intrinsik di dalam karya
sastra dan mengaitkannya dengan aspek ektrinsikalitas atau dunia di luar karya (Mahayana,
2005 : 337). Gerbstein mengemukakan bahwa pemahaman karya sastra hanya dapat dilakukan
secara lengkap jika suatu karya tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban
yang menghasilkan karya tersebut. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan hasil pengaruh
rumit dari faktor sosial dan kultural. Karya sastra berbentuk novel tampak lebih dominan
dalam menampilkan cermin masyarakat dibandingkan puisi atau drama (Mahayana, 2005 :
338-339).
Karya sastra merupakan sebuah cerminan dari masyarakat tertentu. Karya sastra tidak dapat
dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan
dan peradaban yang telah menghasilkannya (Damono, 1978 : 4). Selain itu, Sapardi Djoko
Damono juga menekankan bahwa karya sastra adalah cermin langsung dari berbagai segi
struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain (1978 : 9). Sosiologi
sastra bertugas untuk menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan
pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya (Damono, 1978 : 9).
Dalam pembahasan terhadap novel Punakawan Menggugat, pernyataan Sapardi Djoko
Damono diperkuat oleh pernyataan Rene Wellek dan Austin Warren. Teknik-teknik sastra
tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan
norma masyarakat (Wellek dan Warren, 2014 : 98). Dengan pernyataan Rene Wellek dan
Austin Warren, novel Punakawan Menggugat yang bersumber dari unsur pewayangan adalah
cermin bagi kondisi masyarakat, khususnya Jawa.
Dengan demikian, pendekatan sosiologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini juga
diperkuat dengan referensi-referensi pendukung. Referensi-referensi yang mendukung
pendekatan ini adalah pennelitian tentang warna lokal, dunia pewayangan, dan konsep ajaran
Kejawen.
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Pembahasan
Pembahasan yang pertama kali dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis struktural
terhadap novel Punakawan Menggugat karya Ardian Kresna. Pembahasan ini diawali dengan
sebuah uraian cerita singkat dari novel Punakawan Menggugat. Uraian cerita yang singkat ini
akan memberikan gambaran tentang isi keseluruhan novel Punakawan Menggugat.
Punakawan Menggugat menceritakan sepak terjang para punakawan dalam
menggugat para tuannya. Para tuannya adalah kelompok tokoh Pandawa yang dikisahkan
sebagai tokoh yang melupakan jasa-jasa para punakawan. Para punakawan juga
menggunakan intrik dalam menjalankan gugatannya, yaitu dengan mengubah Raden
Abimanyu menjadi seekor ikan nila bersisik emas. Melalui media ini, para punakawan
menjadikan keseluruhan lakon gugatannya tercapai. Para punakawan terkesan mengatur
jalannya cerita dengan melibatkan tokoh-tokoh yang berada di luar pihak Pandawa. Tokoh-
tokoh itu adalah kelompok tokoh dari negara Parang Gumiwang dan negara Imantaka. Ikan
Nila bersisik emas yang dibuat oleh para punakawan itu dijadikan sayembara oleh negara
Astinapura hingga melibatkan kedua kelompok tokoh tersebut. Secara otomatis, pemenang
sayembara itu adalah Bagong dari kelompok punakawan. Akan tetapi, perjalanan mereka
masih dihiasi dengan aksi-aksi gugatan yang dilancarkan oleh Gareng dan Petruk. Gareng dan
Petruk mengubah dirinya menjadi raja yang sakti mandraguna hingga mampu mengobrak-
abrik tatanan Amartapura beserta Astinapura. Aksi Gareng dan Petruk dilakukan dengan
membonceng negara Parang Gumiwang dan negara Imantaka. Pada akhir cerita, tatanan
negara Astinapura dan Amartapura kembali pulih dengan adanya peleraian kejadian oleh
Semar. Semar tampil sebagai tokoh yang menjelaskan maksud gugatan para punakawan.
Analisis pertama yang dilakukan dalam pendekatan struktural adalah analisis
mengenai tokoh-penokohan. Ada sembilan kelompok tokoh yang berperan dalam novel
Punakawan Menggugat. Kelompok tokoh yang terlibat dalam novel Punakawan Menggugat
adalah kelompok tokoh Punakawan, Pandawa (Negara Amartapura), Raden Abimanyu,
Raden Gatotkaca, Kelompok tokoh Kurawa (Negara Astinapura), Kelompok tokoh
Dwarawati, Kelompok Tokoh Glagah Arum, Kelompok tokoh Parang Gumiwang, dan
kelompok tokoh Imantaka.
Kelompok punakawan dikisahkan sebagai tokoh yang dominan dalam cerita. Hal ini
disebabkan oleh karena mereka adalah kelompok tokoh yang menggugat para tuannya.
Kelompok tokoh yang dijadikan peran antagonis (peran lawan) adalah kelompok tokoh
Kurawa (Negara Astinapura). Raden Abimanyu dan Raden Gatotkaca muncul dengan peran
yang khas. Raden Abimanyu adalah tokoh yang dijadikan media penggugatan para
punakawan dengan perubahan wujudnya menjadi ikan nila bersisik emas. Raden Gatotkaca
adalah tokoh yang membantu Bagong (anggota punakawan) untuk memenangkan sayembara
ikan nila bersisik emas yang diadakan oleh pihak Astinapura. Kelompok tokoh Kurawa
memiliki peran sebagai medium jalannya penggugatan para punakawan. Kelompok tokoh
Parang Gumiwang, Glagah Arum, dan Imantaka adalah kelompok tokoh yang masuk ke
dalam kelompok tokoh non-Mahabharata dan memperkuat karakteristik carangan yang
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
terkandung dalam novel Punakawan Menggugat. Kelompok tokoh Dwarawati memiliki porsi
sebagai tokoh yang ikut memberikan solusi bagi peredaman konflik cerita – terutama dengan
tampilnya sosok Sri Kresna.
Gagasan yang muncul dalam novel ini menekankan pada peran dan fungsi
punakawan sebagai kelompok tokoh protagonis dan membawa nilai-nilai keutamaan hidup.
Hal itu dimunculkan pada sosok Semar dan anak-anaknya. Kutipan di bawah ini akan
memperjelas gagasan yang terkandung dalam novel Punakawan Menggugat.
(Adegan kilas balik cerita Ekalaya yang menggambarkan segi keluguan Bagong)
“Waduh…, orang mati kok tidak boleh. Apa hanya gara-gara Bharatayuda, Permadi,
yang sudah jelas berbuat untuk menebus karma kesalahannya itu, harus hidup terus?
Lha kok enak ya, Kang Gareng?...” Bagong semakin tak terkendali dengan jawaban
lugunya.
(hlm. 42)
(Rancangan peristiwa yang dilakukan oleh Punakawan)
“Nah, kini bendoromu sudah berubah bentuk menjadi ikan nila bersisik emas. Ikan
ini harus segera dilepaskan di sebuah telaga yang bernama Tirtaranu di Puncak
Gunung Parasu. Biarlah jelmaan Gusti Abimanyu betapa di sana sampai saatnya
kembali menjadi sedia kala.” (…) Ketiga anak Semar membisu. Sepertinya mereka
enggan melaksanakan tugas itu.
“Hmmm…, dasar kalian pemalas! Aku tak bisa dibohongi karena dalam hati
kalian sudah menolak tugas ini, hehehe… tapi jangan khawatir. Justru dari masalah
inilah kalian semua akan mendapat peranan di jagat pewayangan ini, Ngger. Biarlah
untuk sementara waktu, aku yang sedikit mengambil peran dan mengatur agar tatanan
kehidupan ini menjadi selaras kembali…” Semar memancing teka-teki kepada anak-
anaknya.
( hlm. 34)
(Semar yang mulai membuka wejangannya ketika semua peristiwa sudah terjadi)
“Kejadian ini telah kalian lewatkan. Pasti kalian bingung tentang apa arti semua ini.
Nah, kini aku akan memberikan sedikit pengertian kautamaning ngaurip atau
keutamaan hidup.”
(hlm. 362)
Ketiga kutipan di atas menunjukkan gagasan yang ingin diangkat oleh pengarang dalam novel
Punakawan Menggugat. Kutipan pertama menunjukkan adanya sikap dari Bagong yang ingin
memperbaiki sifat negatif yang dimiliki oleh Raden Arjuna. Bagong memiliki sikap itu dalam
lamunannya yang menjadikan dasar tindakan penggugatan para punakawan. Dengan adanya
lamunan itu, novel ini menggunakan gagasan campuran yang dipadukan dalam alur yang
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
memanfaatkan kilasan balik (memorial plot). Kutipan kedua semakin menunjukkan gagasan
tentang pentingnya peran punakawan dalam cerita wayang purwa, khususnya novel
Punakawan Menggugat. Punakawan diberikan porsi yang pentingoleh karena kesaktiannya
untuk mengatur laku, cerita, dan peristiwa yang dialami oleh para tuannya. Hal ini
menunjukkan konsep kosmologi Jawa yang menekankan pada konsep ‘vox populi, vox dei’,
kehendak Tuhan sama dengan kehendak rakyat. Kutipan ketiga menunjukkan peran
punakawan sebagai rakyat jelata sekaligus sebagai pemerhati dan pengatur kehidupan para
penguasanya. Melalui tokoh Semar, para punakawan berniat menjelaskan maksud
gugatannya untuk menyadarkan tuannya yang melupakan kewajibannya terhadap rakyat.
Analisis kedua yang dilakukan dalam pendekatan struktural adalah analisis mengenai
latar. Latar yang dibangun meliputi latar tempat, waktu, dan latar sosial. Latar tempat yang
diangkat dalam novel Punakawan Menggugat adalah latar tempat yang mengacu pada kondisi
dan alam pulau Jawa. Hal itu semakin nyata dalam kutipan berikut.
Badan gapura istana berkilauan karena sepuhan emas yang memboreh di sekujur
dindingnya. Di dua sisinya, tampak dua buah patung Dwarapala besar yang tak kalah megah
karena diukir dari emas murni dengan mahkota intan berwarna-warni. (…)
Istana megah didukung oleh keindahan alam yang asri. Siapa yang tak kenal dengan
negara Astinapura yang namanya telah begitu harum dan menggetarkan hati seluruh
penduduk pulau Jawadwipa?
( hlm. 51-53)
Dengan adanya kata „Jawadwipa‟, latar tempat yang dibangun adalah latar tempat
yang mengacu pada kondisi dan alam pulau Jawa. Hal ini menunjukkan karakteristik cerita
wayang yang diangkat. Cerita wayang yang diangkat dalam novel ini adalah cerita wayang
yang bersumber dari penafsiran Mahabharata versi Jawa. Latar waktu tidak ditampakkan
dengan baik. Latar waktu yang ditampilkan hanya sebatas waktu yang wajar antara pagi
hingga malam hari. Latar sosial yang ditampakkan adalah latar sosial yang mengacu pada
kondisi masyarakat Jawa yang terbagi ke dalam kelas sosial – umumnya antara penguasa
dengan rakyat jelata. Meskipun demikian, keberadaan tokoh punakawan menunjukkan
gagasan kondisi sosial yang ideal – para penguasa berhak mendapatkan gugatan dari
rakyatnya.
Pembahasan berikutnya adalah Alur. Alur yang ditampilkan di dalam novel ini adalah
alur campuran. Konflik terjadi sebanyak tiga kali dan konflik yang ketiga adalah konflik
utama. Konflik pertama dan kedua adalah konflik yang didapatkan dari lamunan para
punakawan tentang sikap para Pandawa yang negatif – padahal Pandawa adalah ksatria
berwatak positif. Alur ini ditutup dengan kondisi yang diciptakan oleh tokoh Semar. Semar
memberikan wejangan di akhir cerita dan menjadikan kondisi itu sebagai bentuk leraian
hingga selesaian. Hal yang kurang tampak dalam alur di novel ini adalah suspense, hubungan
sebab-akibat, dan plausibilitas dalam cerita.
Pembahasan berlanjut ke pokok bahasan tentang sudut pandang. Dalam cerita wayang,
sudut pandang adalah hal yang penting. Hal ini dilakukan untuk menemukan kemungkinan
peran pengarang sebagai dalang – orang ketiga yang serba tahu terhadap keseluruhan cerita.
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Ternyata, hal itu terbukti. Kutipan di bawah ini adalah contoh sudut pandang orang ketiga
serba tahu yang dimunculkan oleh pengarang.
Adalah negara Parang Gumiwang yang istananya tak kalah megah dengan istana yang dari
negara-negara yang acap kali menjadi buah bibir dalam lakon-lakon pewayangan. Kerajaan
Parang Gumiwang ini berada di sebuah pulau yang terletak di seberang Samudera Selatan
Pulau Jawadwipa.
Inilah negara para raksasa dengan istananya yang serba berlapis emas. Demikian pula
perabotan di dalamnya yang tak kalah menampilkan keindahan. Tembok benteng yang
mengelilingi istananya terukir beraneka ragam jenis bunga dengan sepuhan warna emas,
menyilaukan mata, bahkan matahari pun serasa gelap jika diperbandingkannya.
( hlm. 71)
Kutipan di atas adalah sampel dari pengetahuan pengarang tentang pengetahuan orang ketiga
yang serba tahu terhadap alam cerita novel Punakawan Menggugat. Dengan lancar,
pengarang mampu menceritakan kondisi alam negara Parang Gumiwang yang tampak pada
kutipan tersebut. Pengarang meletakkan porsinya sebagai dalang sehingga perannya adalah
sebagai tuhan atas cerita Punakawan Menggugat.
Pembahasan terakhir dalam analisis struktural adalah pokok bahasan mengenai tema.
Tema yag dibangun dalam novel Punakawan Menggugat adalah tema mengenai dinamika
kehidupan masyarakat antara penguasa dan rakyat jelata. Hal itu dibuktikan dengan adanya
kelompok tokoh punakawan yang dominan terhadap cerita. Tema dalam novel ini juga
dibangun dalam motif-motif cerita seperti : mimpi, „anak mencari ayahnya‟, sayembara,
pertempuran, dan pemberian wejangan. Keempat motif itu dijadikan sebuah urutan untuk
mencapai sebuah cita-cita sempurna masyarakat Jawa, yaitu sebuah keseimbangan dalam
hidup bermasyarakat. Motif mimpi adalah motif yang menunjukkan karakteristik manusia
yang selalu mencari makna hidupnya. Selain itu, motif „anak mencari ayahnya‟ menunjukkan
bahwa seorang anak yang berusia remaja harus mengetahui asal-usul keluarganya. Sosok anak
itu ditampilkan pada tokoh Raden Harya Prabakusuma dari kelompok tokoh Glagah Arum
yang mencari ayahnya, Raden Arjuna (salah satu anggota Pandawa Lima). Motif sayembara
dan pertempuran memiliki arti dinamika manusia untuk mencari nilai kebaikan yang hakiki.
Motif pemberian wejangan adalah motif akhir cerita yang menunjukkan tema utama novel
Punakawan Menggugat. Punakawan Menggugat mengangkat tema tentang keseimbangan
hidup yang harus senantiasa diperjuangkan.
Pembahasan mengenai tema ini akan semakin lengkap dengan adanya pendekatan
kedua, yaitu pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk
menemukan nilai-nilai yang lebih dalam dari analisis struktural. Pendekatan sosiologi sastra
akan digunakan dalam pembahasan unsur ekstrinsik.
Sebelum sampai pada pembahasan ekstrinsik, pembahasan yang harus dilakukan
adalah menemukan karakteristik cerita wayang yang tampak dalam novel Punakawan
Menggugat. Karakteristik cerita wayang yang tampak dalam novel Punakawan Menggugat
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
adalah karakteristik yang masuk ke dalam sifat cerita carangan. Novel Punakawan
Menggugat akan dicari karakteristik dan sifat carangannya mulai dari lakon wayang
carangan yang identik hingga basis cerita wayang yang diangkat.
Untuk masuk ke dalam pembahasan ekstrinsik ini, perlu diketahui pengertian dan
hakikat dari lakon wayang carangan. Lakon wayang purwa terbagi menjadi dua. Pertama,
wayang purwa memiliki lakon wayang pakem yang pasti berbeda di setiap daerah yang
memiliki kesenian wayang purwa. Lakon pakem adalah lakon yang sebagian besar masih
sama dengan induk cerita Ramayana dan Mahabharata. Perbedaan antara lakon wayang
pakem dengan induk cerita Ramayana dan Mahabharata hanya terletak pada nama-nama
tokoh, kosmologi cerita, logika cerita, dan nilai-nilai yang terkandung. Lakon pakem
menyesuaikan induk cerita Mahabharata menjadi semakin dekat dengan masyarakat,
khususnya masyarakat asli Indonesia di setiap daerah yang menerima cerita wayang.
Lakon wayang kedua yang diangkat dalam khazanah cerita wayang purwa adalah lakon
wayang carangan atau sempalan. Dari akar katanya, kata „carang‟ berarti ranting pohon.
Lakon wayang carangan adalah lakon wayang yang merupakan ranting atau cabang dari
pohon cerita utama. Pohon cerita utama itu adalah Ramayana dan Mahabharata.
Hingga saat ini, cerita-cerita carangan dalam khazanah cerita Wayang Purwa semakin
bertambah. Pola perwatakan yang terdapat pada tokoh-tokoh Ramayana atau Mahabharata
lebih dinamis dan tidak terpaku pada pakem (Mulyono, 1989a : 179-180 dalam Nurgiyantoro,
1998 : 48). Tujuan dibuatnya cerita-cerita wayang carangan adalah sebagai kritik terhadap
nilai-nilai yang sudah ada pada pakem aslinya. Lakon wayang carangan merupakan cerita
wayang yang kental dengan porsi wacananya. Wacana yang ada di dalam lakon wayang
carangan biasanya aktual terhadap zaman dan berfungsi untuk mengkomunikasikan kritik
atau pesan-pesan tertentu (Chatman 1980 : 19 dalam Nurgiyantoro, 1998 : 47).
Pada dasarnya lakon wayang pakem dan carangan masih memiliki intisari nilai yang
sama. Selebihnya, lakon wayang carangan berlaku lebih „nakal‟, „liar‟, komunikatif, dan
dekat dengan masyarakat yang tergolong unlettered. Lakon wayang carangan adalah sebuah
penggarapan cerita wayang dengan tidak memparodikan – tetapi memperbaharui isi pakem
(Foley, 1979 : 104-108 dalam Weintraub, 2004 : 49).
Cerita yang tampak dalam novel Punakawan Menggugat memiliki kesamaan motif
cerita terhadap tiga lakon wayang carangan. Ketiga lakon wayang carangan itu adalah
Gareng Dadi Ratu, Mustakaweni Maling, dan Ulamsari (Hardjowirogo, 1982 : 227; 314 –
315 dan Soma, 2003 : Jilid 1, 2, dan 3). Kesamaan motif itu terletak pada nama tokoh, pusaka
yang digunakan, sayembara, dan tindakan penggugatan punakawan kepada para tuannya.
Lakon Gareng Dadi Ratu menceritakan perjalanan Gareng yang menggugat Raden Arjuna
karena telah dicampakkan oleh Raden Arjuna. Raden Arjuna tega membunuh Gareng oleh
karena kesalahan yang sepele. Gareng berubah menjadi raja dan berhasil membuat tindakan
penggugatan kepada Raden Arjuna. Lakon Mustakaweni Maling menceritakan perjalanan
Dewi Mustakaweni untuk mencuri Pusaka Kalimasada dari Negara Amarta. Mustakaweni
harus berperang melawan Srikandi dan diapun kalah dengan utusan Srikandi yang merupakan
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
anak tirinya sendiri. Mustakaweni tidak merasa kalah, malahan jatuh cinta kepada Raden
Priyambada (utusan Srikandi) yang telah mengalahkannya. Pusaka Kalimasada yang berhasil
direbut oleh Priyambada dititipkan kepada Petruk. Petruk menyalahgunakan kesempatan itu
untuk mengubah diri menjadi raja sakti dan menggugat para tuannya, Pandawa. Tampaklah
bahwa percampuran konflik yang terjadi di lakon Mustakaweni Maling adalah bukti bahwa
lakon ini bersifat carangan karena mengangkat isu dan dilema yang digemari oleh masyarakat
luas. Lakon Ulamsari berasal dari ranah cerita wayang purwa carangan gaya Sunda.
Meskipun demikian, ada kesamaan yang muncul antara lakon Ulamsari dengan novel
Punakawan Menggugat. Keduanya sama-sama menceritakan sayembara ikan bersisik emas
dan bermata intan. Perbedaannya terletak pada tokoh punakawan yang berperan dan nama
ikan yang disayembarakan. Pada lakon Ulamsari ikan yang disayembarakan adalah ikan
Ulamsari sedangkan pada novel Punakawan Menggugat adalah ikan Nilasari. Meskipun
demikian, hampir sebagian besar isinya sama.
Diagram 1
Kesamaan motif antara novel Punakawan Menggugat dengan Tiga Lakon Wayang Carangan yang Identik
Setelah itu, pembahasan mengenai basis cerita wayang yang tampak dalam novel
Punakawan Menggugat perlu dilakukan sebelum sampai kepada bahasan ekstrinsik dalam
pendekatan sosiologi sastra. Konsep pewayangan yang diangkat dalam novel Punakawan
Menggugat adalah konsep wayang purwa Jawa. Dengan demikian, novel ini diangkat dari
cerita wayang versi Jawa yang berbeda dengan cerita wayang versi India. Konsep wayang
purwa Jawa itu tampak pada tokoh punakawan, nama-nama tempat yang ada di dalam cerita
Punakawan Menggugat, dan tafsiran ulang pengarang terhadap nilai-nilai pewayangan.
Konsep yang pertama dibahas adalah konsep punakawan yang diangkat dalam cerita
Punakawan Menggugat. Konsep punakawan ini dibahas sebagai langkah awal memahami
konsep wayang purwa versi Jawa. Adapun nama para punakawan yang berperan adalah
Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat punakawan ini berasal dari pemikiran dalam
kebudayaan Jawa. Dalam pertunjukan wayang kulit purwa, para punakawan biasanya
dimunculkan pada adegan gara-gara. Adegan ini berfungsi sebagai hiburan karena tokoh-
tokoh ini identik dengan tingkah laku yang kocak dan menghibur (Damono, 2011 : 279).
Selain fungsi hiburan, para punakawan dimunculkan sebagai „juru dakwah‟ dan penyampai
pesan moral dari pertunjukan wayang kulit.
Punakawan berasal dari kata „pana‟ yang berarti „cerdik‟ dan „kawan‟ yang berarti
„kawan‟. Kemunculan para punakawan merupakan kebutuhan para ksatria untuk
mendapatkan kawan yang cerdik dalam mengemban tugasnya di dunia (Haryanto, 1995 : 67).
Para punakawan diciptakan dengan label „abdi‟ atau „pembantu‟. Para punakawan bertugas
mengiringi para ksatria dengan wataknya masing-masing. Para Ksatria mengatur rakyat jelata
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
dan masyarakat yang berada di bawah kelas sosialnya. Keberadaan punakawan ini menjadi
bentuk dialog antara para ksatria sebagai pemegang nilai utama dengan rakyat jelata.
Punakawan lahir dari golongan rakyat jelata tetapi bisa mengatur dan mengasuh para ksatria
yang berstatus sosial lebih tinggi. Dengan demikian, para punakawan ini menjadi simbol
keseimbangan antara penguasa dengan rakyat jelata.
Selain daripada abdi atau pamong, punakawan juga dimunculkan sebagai „juru
dakwah‟. Punakawan memiliki peran yang berbagai macam karena mereka adalah
representasi antara Tuhan dan manusia. Keadaan mereka menjadi kompleks dan
perwatakannya disesuaikan dengan kebutuhan penikmat cerita wayang (Mulyono, 1982 : 42).
Punakawan dimunculkan ketika pulau Jawa mengalami persinggungan budaya dan religi
antara Hindu, Buddha, Islam, dan aliran lokal yang ada di Jawa.
Pada intinya, konsep punakawan dalam wayang purwa merupakan sebuah konsep
cerita Ramayana dan Mahabharata versi Jawa. Konsep itu menjadi sebuah pemikiran
masyarakat Jawa dalam memadukan nilai-nilai tradisi Hindu-Buddha dan Islam. Perpaduan
itu dikolaborasikan dengan nilai-nilai asli budaya Jawa. Pada akhirnya, konsep wayang
purwa yang menempatkan para punakawan sebagai salah satu bagiannya menjadi nilai
budaya. Nilai budaya itu kemudian dijadikan sumber rujukan kultural dan dapat digunakan
dalam berbagai produk kebudayaan. Novel Punakawan Menggugat adalah salah satu
contohnya.
Selain konsep punakawan, konsep yang dibahas selanjutnya adalah basis cerita
wayang yang diangkat dalam novel Punakawan Menggugat. Basis cerita yang tampak dalam
novel Punakawan Menggugat adalah basis cerita Mahabharata. Basis cerita Mahabharata ini
tidak sama dengan Mahabharata versi India. Basis cerita Mahabharata dalam novel
Punakawan Menggugat adalah basis cerita Mahabharata versi Wayang Purwa Jawa.
Mahabharata versi Wayang Purwa Jawa adalah kisah epos Mahabharata yang
digabungkan dengan Lokapala dan Ramayana. Wayang Purwa Jawa mengawali ceritanya dari
cerita Lokapala, Ramayana, hingga Mahabharata sebagai pemuncak cerita Wayang Purwa.
Dengan demikian, ketiga pokok cerita itu merupakan satu kesatuan dan berlaku sebagai
penanda zaman dalam kosmologi cerita wayang purwa Jawa.
Tabel 1
Cerita Wayang Purwa Versi Jawa
Wayang Purwa Versi Jawa
Zaman
Sumber Cerita
Inti Cerita
Jumlah Lakon
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Tokoh-Tokoh Cerita yang Terkenal
Lokapala
Serat Lokapala
Masa penciptaan dunia hingga pemerintahan Kerajaan Medang Kamulan dan Ayodya yang pertama. Inti cerita
Lokapala sampai pada kelahiran Rahwana dan Rama.
5
Prabu Srimahapunggung,
Prabu Arjunasasrabahu,
Prabu Kalmasapada,
Resi Wisrawa, Dewi Sukesi, dan
Resi Gotama.
Ramayana
Kitab Epos Ramayana
Kisah petualangan Rama dalam mencari istrinya, Dewi Sinta yang diculik oleh Rahwana.
18
Prabu Ramawijaya,
Raden Lesmana,
Raden Gunawan Wibisana,
Anoman,
Prabu Rahwana,
dan Dewi Sinta.
Mahabharata
Kitab Epos Mahabharata
Kisah perebutan tahta dan kekuasaan antara Pandawa dan Kurawa. Pandawa dan Kurawa adalah keturunan
Bharata yang berkedudukan di negara Astina. Kisah ini dilanjutkan dalam fragmen perang Bharatayudha hingga
kematian Pandawa. Kisah ini ditutup dengan cerita Parikesit sebagai pemimpin negara Astinapura yang terakhir.
147
Prabu Sentanu, Resi Bhisma, Adipati Drestarastra, Prabu Pandu, Patih Sengkuni, Kurawa, Pandawa, Raden
Gatotkaca, Raden Abimanyu, Adipati Karna, Prabu Salya, Prabu Matswapati, Resi Durna, dan Prabu Parikesit.
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Dalam novel Punakawan Menggugat, kesatuan kosmologi cerita ini ditampakkan pada
kutipan di bawah ini.
Petruk merindukan kembali saat keadaan kawula ini gemah ripah loh jinawi tata titi
tentrem kerta raharja sebagaimana pemerintahan Prabu Sri Mahapunggung yang dibantu
oleh Patih Jakapuring. Kedua bangsawan itu terbukti akrab dan gigih bahu-membahu
memberdayakan rakyatnya untuk mandiri serta mampu mengupayakan kesejahteraan
rakyatnya.
(hlm. 22)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa novel ini memberikan penekanan pada wayang
purwa Jawa dengan sifat yang carangan. Punakawan memiliki kondisi yang immortal dan
mampu mengalami semua zaman yang ada pada kosmologi cerita wayang purwa. Dengan
demikian, konsep wayang purwa yang diangkat dalam novel ini adalah wayang purwa dengan
basis cerita Jawa dan bersifat carangan.
Pembahasan berikutnya masuk ke dalam ranah pendekatan sosiologi sastra yang
paling inti. Pembahasan berikutnya adalah warna lokal yang tampak pada novel Punakawan
Menggugat karya Ardian Kresna. Dalam dimensi sosiologi sastra, ada salah satu pokok
bahasan yang membahas warna lokal. Warna lokal adalah kesan dan esensi karya yang
mengacu pada lokalitas sebuah daerah. Sastra warna lokal ditandai dengan pemanfaatan
setting dan pengarang berfungsi sebagai wisatawan atau pemandu wisata. Sastra warna lokal
berbeda dengan sastra regional. Sastra warna lokal menggunakan bahasa yang berlaku lebih
universal sedangkan sastra regional menggunakan bahasa asli daerah. Dalam sejarah sastra
Indonesia, sastra warna lokal adalah karya sastra yang melukiskan ciri khas wilayah etnis
tertentu dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai medium bahasanya (Ratna, 2010 : 384-
385).
Dengan demikian, novel Punakawan Menggugat dapat dirumuskan segala aspek yang
membangun warna lokalnya. Warna lokal yang tampak dalam novel ini adalah penggunaan
dialek atau istilah yang khas Jawa, eksistensi geografis, dan falsafah yang terkandung di
dalam novel Punakawan Menggugat. Warna lokal yang paling terlihat adalah warna lokal
tentang penggunaan dialek atau istilah Jawa dan warna lokal tentang eksistensi geografis.
Sampel yang ada di bawah ini menunjukkan warna lokal yang tampak dalam novel
Punakawan Menggugat.
Tabel 2
Warna Lokal Istilah atau Dialek Jawa
Tokoh yang Menggunakan Istilah dan Dialek Lokal Jawa
Ujaran
Istilah atau Dialek yang diperoleh
Arti
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
(Kamus Bahasa Jawa Online kamus.ugm.ac.id/jowo.php)
Dewi Banowati
“Ayo, Nduk…, segera kita menghadap ayahmu yang sudah menunggu di paseban ndalem…”
(hlm. 146)
Nduk Genduk
Sebutan atau persona pronomina bagi „anak perempuan‟ dalam satu keluarga.
Selain nukilan tabel yang tampak di atas, kutipan di bawah ini menunjukkan warna lokal
tentang eksistensi geografis yang dimunculkan. Kutipan di bawah ini adalah sampel dari
pemunculan eksistensi geografis yang dilakukan oleh pengarang.
(Penggambaran bentang alam dari desa Karang Kabolotan)
Kicauan burung prenjak mengalun merdu dari atas pohon dadap srep yang berada di sebelah
samping kanan sebuah gubuk limasan, tak begitu besar. Mentari pagi baru saja beranjak dari
balik bebukitan sebelah timur Desa Karang Kabolotan. Sapuan kabut tipis masih lamat-lamat
membuat kabur pandangan jika mata menerawang ke arah cakrawala biru muda di atas
hamparan sawah-sawah yang bagaikan permadani raksasa tergelar menghijau kekuningan.
(hlm. 7)
Dari kutipan di atas, kata-kata yang dicetak miring adalah bentuk-bentuk pemunculan
eksistensi geografis yang ada di Jawa. Kata-kata itu menunjukkan keberadaan kekayaan alam
atau kekayaan produk budaya yang terdapat di Jawa. Pada intinya, burung prenjak, pohon
dadap srep, dan gubuk limasan adalah contoh-contooh nyata yang dapat dijumpai di wilayah
Jawa.
Selain warna lokal, pembahasan terakhir yang memperuat pendekatan sosiologi sastra
adalah pembahasan mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam novel Punakawan
Menggugat. Melalui tokoh Semar, para Punakawan banyak menjabarkan ajaran Kejawen
yang merupakan inti dan cita-cita masyarakat Jawa.
Ajaran Kejawen yang diangkat adalah ajaran Kejawen yang dapat diaplikasikan dalam
kehidupan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan Tuhan. Kesatuan
manusiawi dan kosmos adalah terkoordinasi, dan merupakan bagian dari suatu keseluruhan,
dan bila bagian-bagian itu berusaha keras ke arah kesatuan dan keharmonisan, hidup akan
menjadi nikmat (Mulder, 1984 : 15). Ajaran Kejawen mewajibkan manusia harus selaras
dengan alam sekitar. Ajaran Kejawen menyadari bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa
unsur-unsur lain yang lebih besar daripada diri manusia itu sendiri.
Selain itu, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pun juga diatur dalam
falsafah ajaran Kejawen. Kewajiban moral setiap individu adalah menjaga tatanan harmonis
itu dan dengan setia menjalankan kewajiban-kewajiban sosial. Kewajiban-kewajiban sosial itu
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
berkaitan dengan sistem hubungan-hubungan sosial; hubungan-hubungan ini tidaklah
sederajat melainkan merupakan sistem hirarkis (Mulder, 1984 : 49). Ajaran Kejawen yang
terakhir adalah mengenai spiritualitas dalam kehidupan manusia. Pada intinya, manusia Jawa
harus berani pasrah, bekerja tanpa pamrih, dan hidup seimbang terhadap semua unsur yang
ada. Kutipan di bawah ini akan semakin memperkuat ajaran Kejawen yang ditampilkan dalam
novel Punakawan Menggugat.
(Tokoh Semar memberi pesan kepada Abimanyu)
“Lakukan sembah kepada Sang Maha Pencipta dalam tiga tahapan. Pertama adalah sembah
cipta, artinya menyembah dengan tata laku beribadah seperti yang diajarkan oleh agama-agam
suci. Kedua sembah rasa, yang artinya menyatukan segenap perasaan agar perhatianmu tertuju
pada hanya kepada yang engkau sembah dengan menutup godaan-godaan dari panca indramu.
Yang ketiga adalah sembah kalbu atau sembah jiwa, yang maksudnya dalam melaksanakan
ibadah itu sebaiknya memilih tempat yang sepi, jauh dari keramaian yang akan mengganggu
konsentrasi, memasrahkan segenap jiwa dan raga kepada Sang Maha Kuasa atas hidupmu, dan
memohonkan keinginan kepada Sang Maha Pengasih dan Penyayang.
(hlm. 32)
“Ketahuilah bahwa keprihatinanku dengan apa yang terjadi pada bangsa di tanah Jawadwipa ini
belumlah berhenti. Bencana alam masih silih berganti. Menjadikan manusia harus mulat sarira
dengan bertekun samadi karena serba kekurangan bahan makanan, kurang sandang, sulit mata
pencaharian, sehingga jual-beli pun menjadi terpuruk. Negara menjadi bangkrut dan nyaris
ambruk, rakyatnya carut-marut dan mudah bertengkar satu dengan yang lainnya. Namun, semua
ini hanyalah nggenepi laku di masa goro-goro bumi ini. Jangan mengeluh, jangan menggerutu
terus-menerus dengan keadaan! Jalani semua ini dengan tabah dan tulus, jangan grenengan agar
anugerah agung tidak gagal didapat.
(hlm. 363-364)
Dengan adanya ajaran Kejawen ini, novel Punakawan Menggugat juga memunculkan sebuah
pesan atau nillai tentang komunikasi politik. Dengan berperannya Semar sebagai penyampai
pesan, novel ini memiliki muatan tentang nilai politik ‘vox populi, vox dei’, yang berarti suara
rakyat adalah suara Tuhan. Novel ini memberikan sebuah gambaran ideal bagi kehidupan
manusia Jawa dan disajikan dalam Bahasa Indonesia. Hal itu berarti nilai-nilai dari pemikiran
tradisional Jawa yang tampak dalam ranah pewayangan diangkat ke dalam khazanah
kesusastraan Indonesia.
Kesimpulan
Sebagai sebuah karya sastra, novel Punakawan Menggugat menggunakan basis cerita wayang
dan pemikiran tradisional Jawa. Kedua nilai tersebut menajadi nyawa yang penting karena
Ardian Kresna ikut mengangkat nilai-nilai tradisional ke dalam ranah kesusastraan Indonesia.
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Novel ini diterbitkan dan didistribusikan dalam lingkungan percetakan modern. Dengan
demikian, nilai pewayangan sebagai unsur tradisional dihadirkan dalam penerbitan modern.
Pengarang mengambil ranah cerita wayang yang bersifat carangan. Pengarang juga
ikut mendekosntruksi nilai-nilai yang terdapat dalam pakem wayang purwa. Hal ini tampak
pada pemberian porsi yang lebih banyak bagi kelompok tokoh punakawan. Selain itu,
kelompok tokoh Pandawa pun diberikan porsi sebagai tokoh antagonis (tokoh lawan) yang
digugat oleh para punakawan. Dengan demikian, pengarang memiliki penafsiran mengenai
kehidupan ideal yang berdasarkan simbol-simbol pewayangan, khususnya novel Punakawan
Menggugat yang mengambil berbagai macam unsur carangan.
Unsur yang dimainkan adalah unsur alur yang tidak linier. Alur yang terdapat di
dalam novel ini adalah alur campuran yang menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik
lebih dari satu kali. Kilasan balik dimunculkan untuk menambah kekuatan alasan bagi
tindakan penggugatan para punakawan. Latar tempat memiliki acuan kepada wayang purwa
Jawa dan latar sosialnya mengacu pada kondisi masyarakat Jawa. Latar waktu dalam novel ini
tidak menonjol sehingga logika ceritanya kurang berterima. Latar waktu yang hanya
meletakkan perputaran waktu yang wajar menyebabkan suspense dan plausibilitas cerita
kurang dalam. Sudut pandang dimunculkan dalam bentuk orang ketiga serba tahu yang
menyebabkan pengarang berlaku seperti Dalang. Tema diangkat dari motif cerita wayang
pada umumnya dan bersifat tradisional. Tema cerita dalam novel Punakawan Menggugat
dibangun dari motif mimpi, „anak mencari ayahnya‟, sayembara, pertempuran, dan pemberian
wejangan yang menunjukkan dinamika kehidupan manusia. Motif-motif ini menjadikan
semacam siklus bagi perputaran konflik dalam novel Punakawan Menggugat.
Pembahasan mengenai unsur ekstrinsik novel ini menekankan pada pendekatan
sosiologi sastra untuk mengungkap warna lokal dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel
Punakawan Menggugat. Dari pendekatan sosiologi sastra, novel Punakawan Menggugat
menampilkan warna lokal yang terkait dengan istilah atau dialek Jawa dan eksistensi
geografis. Kedua warna lokal tersebut dimunculkan untuk menambah kesan budaya dan
pemikiran Jawa dalam cerita wayang carangan yang diangkat. Cerita wayang yang diangkat
adalah cerita wayang yang berbasis pada wayang purwa bergaya Jawa. Konsep Punakawan
sebagai rakyat jelata sekaligus Tuhan dimunculkan. Selain itu, basis cerita Mahabharata
dalam novel Punakawan Menggugat diperkuat dengan penerimaan wayang purwa Jawa yang
menempatkan Lokapala, Ramayana, dan Mahabharata menjadi satu kosmologi cerita.
Perbandingan novel ini dengan tiga lakon wayang carangan yang terkait semakin
memperkuat sifat cerita carangan pada novel Punakawan Menggugat. Pengarang mengangkat
lakon-lakon yang hidup sebagai lakon wayang carangan dan menggabungkannya menjadi
satu kesatuan cerita. Hal ini terbukti dari kesamaan motif cerita, pusaka, dan beberapa di
antaranya memiliki kesamaan pada nama-nama tokoh yang berperan. Meskipun demikian, hal
ini tidak menjadikan konflik cerita berdasarkan alasan yang logis dan berterima. Novel ini
terkesan terburu-buru untuk menyelesaikan konflik yang sudah terbangun. Apabila
dikategorikan, novel adalah novel cerita wayang berdasarkan lakon wayang bersifat
carangan.
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Sebagai sebuah karya sastra, Punakawan Menggugat berhasil menunjukkan peran
sekaligus arti punakawan. Punakawan Menggugat adalah bentuk pemikiran orang Jawa
tentang kehidupan yang ideal. Bentuk pemikiran orang Jawa itu disajikan dalam bahasa
Indonesia dan bisa diterima secara luas. Ardian Kresna mengambil peran dalam
mengajarkan nilai-nilai tradisional Jawa melalui novelnya.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict R.O‟G. 2000. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta :
Penerbit Qalam.
Ajidarma, Seno Gumira. 2004. Kitab Omong Kosong. Yogyakarta : Bentang.
Braginsky, Vladimir I. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal. Jakarta :
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies.
Damono, Sapardi Djoko. 2011. Mengapa Ksatria Memerlukan Panakawan?
Dalam Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia dalam Jebakan Kapitalisme.
Yogyakarta : Penerbit Universitas Sanata Dharma.
____________________. 1978. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta : PPPB Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
____________________. 2010. Sosiologi Sastra : Pengantar Ringkas. Ciputat :
Editum.
Groenendael, Victoria M. Clara. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta :
Penerbit Grafitti.
Gunarso TS. 1991. Wayang Semau Gue. Jakarta : Penerbit Pos Kota.
Guritno, Pandam dkk. 1985. Lordly Shades; Wayang Purwa Indonesia. Jakarta
: Published through the generosity of Bapak Probosoetedjo.
Hardiyati, Ika Puji. 2012. Analisis Psikologi Tokoh Utama Novel Pahlawan
Pilihan Kresna Karya Ardian Kresna. Skripsi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo
Hardjowirogo. 1989. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta : Balai Pustaka.
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Haryanto, S. 1995. Bayang-Bayang Adiluhung; Filsafat, Simbolis, dan Mistik
dalam Wayang. Semarang : Dahara Prize.
Jenks, Chris. 2013. Culture; Studi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kramadibrata, Dewaki. 2010. Lakon Jaka Sukara. Depok : Yanassa.
Kresna, Ardian. 2012. Bima Sejati; Perjalanan Sang Legenda Mencari Tirta
Pawitra. Yogyakarta : Diva Press.
Kresna, Ardian. 2012. Punakawan Menggugat; Kisah Heroik dari Para Abdi
Sejati. Yogyakarta : Diva Press.
_____________. 2012. Punakawan; Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa.
Yogyakarta : Penerbit Narasi.
Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta :
Bening Publishing.
__________________. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
Mudjanattistomo, R.M. dkk. 1977. Pedhalangan Ngayogyakarta; Jilid 1;
Gegaran Pamulangan Habirandha. Yogyakarta : Yayasan Habirandha.
Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Kelangsungan Hidup Sehari-Hari Orang
Jawa; Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia.
Mulyono, Sri. 1982. Apa dan Siapa Semar. Jakarta : Penerbit Djambatan.
Nugroho, Yanusa. 1990. Bulan Bugil Bulat. Jakarta : Grafiti.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
__________________.1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi
Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Poplawaska, Marzanna. 2004. Wayang Wahyu as an Example of Christian
Forms of Shadow Theatre Dalam Asian Theatre Journal Vol. 21, no.2, hal. 194 –
202. Hawai University Press.
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra; Peranan Unsur-Unsur
Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
____________________. 2011. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
_____________________. 2010. Sastra dan Cultural Studies;
Represantasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rush, Michael dan Phillip Althoff. 2011. Pengantar Sosiologi Politik.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Samba, I Gde. 2013. Pencarian ke Dalam Diri; Merajut Ulang Budaya Luhur
Bangsa; Tinjauan Filsafati Cerita Ramayana dan Mahabharata. Bandung :
Yayasan Dajan Rurung.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2.
Yogyakarta : Kanisius.
Soma, Saleh Ardi. 2003. Ulamsari; Berdasarkan Lakon Wayang Carangan
Gaya Sunda. Jilid 1-3. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumardjo, Jakob dan Saini KM. 1992. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta :
Penerbit PT. Gramedia.
Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal. Yogyakarta
: Galang Press.
Sunarto. 1997. Seni Gatra dalam Wayang Kulit Purwa. Semarang : Dahara
Prize.
Teeuw. A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta : Pustaka Jaya.
Timoer, Soenarto. 1984. Damarwulan; Sebuah Lakon Wayang Krucil. Jakarta :
PN. Balai Pustaka
Weintraub. Andrew Noah. 2004. Power Plays : Wayang Golek Puppet Theater
of West Java. Ohio : OURISS South East Asia Studies.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014
Publikasi Elektronik
SENAWANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia). Leaflet
Informasi Pewayangan Indonesia. Diunduh dari www.pdwi.org, 12 Januari
2014, pukul 21.54 WIB.
Sumari. 2001. Mengenal Pakem Pedalangan. Makalah pada laman
www.pdwi.org. Diunduh pada tanggal 23 April 2014, pukul 15.27 WIB.
Kamus Dalam Jaringan
Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan www.kbbi.web.id
Kamus Online Bahasa Jawa www.kamus.ugm.ac.id/jowo.php
Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014