nursing-inspirations.com · web viewriset kesehatan dasar/riskesdas (2018) menerangkan bahwa...
TRANSCRIPT
KARYA TULIS ILMIAH
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA PASIEN STROKE
HEMORAGIK DI RUANG HCU RSUDDr. MOEWARDI SURAKARTA
LATHIFA KURNIA PANGESTIP27220017024
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTAJURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIPLOMA III2020
Asuhan Keperawatan Kritis Dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Pada Pasien Stroke Hemoragik Di Ruang HCU RSUDDr. Moewardi Surakarta
Lathifa Kurnia Pangesti (2020)DIII Keperawatan, Politeknik Kementerian Kesehatan Surakarta
Martono, S.Kp., Ns., M.PdSuryanti, S.Kep.,Ns.,Msc
ABSTRAK
Latar belakang: Stroke adalah penyakit serebrovaskuler yang merupakan ancaman terbesar yang menimbulkan kecacatan serta dapat menimbulkan kematian pada seseorang. WHO menyatakan bahwa diperkirakan 17,7 juta orang meninggal karena stroke pada tahun 2015 yang mewakili 31% dari semua kematian global.Tujuan studi kasus: Menggambarkan secara nyata Asuhan Keperawatan Kritis dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada Pasien Stroke Hemoragik.di RSUD Dr. Moewardi.Metode: Penelitian ini menggunakan teknik deskriptif dengan metode analisa data yang membandingkan hasil data kedua pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi dan kemudian membandingkannya dengan kesesuaian teori dalam jurnal studi kasus dan sumber lainnya.Hasil: Didapatkan data pada kedua pasien yaitu kedua pasien mengalami sesak napas dan mengalami penurunan kesadaran. Sehingga, ditegakkan diagnose yang sama dan dilakukan tindakan keperawatan yang sama. Namun, terdapat persamaan dan perbedaan pada hasil penelitian kedua pasien.Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah masalah teratasi sebagian pada diagnose ketidakefektifan perfusi jaringan otak dan pada diagnosa ketidakefektifan pola napas di kedua pasien.Saran: Saran pada penelitian ini adalah pemberian tindakan keperawatan dalam pemenuhan oksigenasi sebaiknya dilakukan secara optimal dan selalu memperhatikan kondisi pasien.
Kata kunci: Oksigenasi, Stroke Hemoragik, Asuhan Keperawatan
Critical Nursing Care in Fulfilling Oxygenation Needs in Hemorrhagic Stroke Patients in HCU Room RSUDDr. Moewardi Surakarta
Lathifa Kurnia Pangesti (2020)Diploma III in Nursing, Polytechnic of the Ministry of Health Surakarta
Martono, S.Kp., Ns., M.PdSuryanti, S.Kep., Ns., MSc
ABSTRACT
Background: Stroke is a cerebrovascular disease which is the biggest threat that causes disability and can cause death in a person. WHO states that an estimated 17.7 million people died of strokes in 2015 representing 31% of all global deaths.Purpose of case study: Describe clearly Critical Nursing Care in Meeting Oxygenation Needs in Hemorrhagic Stroke Patients. Moewardi.Method: This study uses descriptive techniques with data analysis methods that compare the results of the data of the two patients with impaired oxygenation fulfillment needs and then compare them with the suitability of the theory in case study journals and other sources.Results: Obtained data in both patients, both patients experiencing shortness of breath and decreased consciousness. Thus, the same diagnosis is made and the same nursing action is taken. However, there are similarities and differences in the results of the two patients' studies.Conclusion: The conclusion of this study is that the problem is partly resolved in diagnosing the ineffectiveness of brain tissue perfusion and in diagnosing the ineffectiveness of breathing patterns in both patients.Suggestion: Suggestion in this research is that giving nursing action in fulfilling oxygenation should be done optimally and always paying attention to the patient's condition.
Keywords: Oxygenation, Hemorrhagic Stroke, Nursing Care
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan dan majunya teknologi saat ini, telah
berkembang juga berbagai penyakit di dunia. Salah satu jenis penyakit tidak
menular yang mengalami peningkatan pesat tiap tahunnya adalah penyakit
stroke. Stroke adalah penyakit serebrovaskuler yang merupakan ancaman
terbesar yang menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia bahkan dapat
menimbulkan kematian pada seseorang.
WHO (2015) menjelaskan bahwa stroke merupakan penyebab kematian
utama secara global. Diperkirakan 17,7 juta orang meninggal karena stroke
pada tahun 2015 mewakili 31% dari semua kematian global.
Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas (2018) menerangkan bahwa prevalensi
(per mil) stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk usia
≥15 tahun sebesar 10,9 mil. Pada kelompok yang didiagnosis dokter
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, tertinggi pada usia ≥75 tahun
(50,2 ‰). Dijelaskan lebih lanjut bahwa prevalensi stroke yang terdiagnosis
oleh dokter sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi stroke yang
terdiagnosis oleh dokter cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan
pendidikan rendah (21,2 ‰) dan cenderung lebih tinggi berdasarkan diagnosis
dokter pada masyarakat perkotaan (12,6 ‰) serta berdasarkan diagnosis dokter
cenderung lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja (21,8 ‰). Provinsi
Jawa Tengah menduduki urutan ke 11 dengan prevalensi 11,8 ‰.
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2018) menjelaskan bahwa
jumlah kasus penyakit tidak menular sebesar 2.412.297 dengan kasus stroke
(3,09%) sekitar 74.539 kasus. Kasus stroke 2018 mengalami kenaikan hampir
tiga kali lipat dari tahun 2017 yaitu sebesar 28.212 kasus stroke.
Setiyawan, Nurlely, dan Harti (2019) menambahkan bahwa dari data
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta tahun 2016, jumlah
penderita stroke di Kota Surakarta berjumlah 952 padatahun 2016 dengan
kasus baru mencapai 365. Berdasarkan dari data rekam medis RSUD Dr.
Moewardi, jumlah kasus stroke pada semua kelompok usia mengalami
peningkatan dari tahun 2011-2012 dan mengalami penurunan pada tahun 2013,
pada tahun 2015 terdapat jumlah kasus stroke sebanyak 222 dan pada tahun
2016 sebanyak 246, sedangkan pada bulan Januari sampai November tahun
2017 terdapat kasus stroke sebanyak 729, sehingga dapat dilihat bahwa
penyakit stroke mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Parli dan Wiyoko (2018) menjelaskan bahwa stroke hemoragik sendiri
merupakan salah satu indikator dari kegawatan dan prognosis pada pasien ICU.
Pada keadaan kritis, pasien mengalami perubahan psikologis dan fisiologis,
oleh karena itu peran perawat kritis sebagai sentral untuk mengetahui
perkembangan terkait kondisi pasien dengan mengidentifikasi masalah
keperawatan dan tindakan yang akan diberikan pada pasien. Perubahan
fisiologis pada pasien stroke hemoragik yaitu tentang pemenuhan kebutuhan
dasar yang meliputi gangguan pernapasan, gangguan irama jantung, gangguan
hidrasi, gangguan aktifitas, kemampuan berkomunikasi, gangguan eliminasi
(Hudak & Gallo dalam Parli, 2018). Salah satu pemberian tindakan
keperawatan yaitu dengan memberikan ventilasi mekanik yang berfungsi
memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara
positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan untuk mempertahankan
oksigenasi (Brunner dan Suddarth dalam Parli, 2018). Kebutuhan oksigen
dalam tubuh merupakan kebutuhan yang paling utama dan sangat vital.
Kurangnya oksigen di dalam tubuh dapat menyebabkan kemunduran fungsi
tubuh dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Martono, Sudiro, dan Satino (2016) menjelaskan bahwa jumlah aliran
darah di otak dipertahankan pada nilai 60-100 mmHg. Apabila jumlah aliran
darah yang diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa yang adekuat untuk
metabolisme di otak melebihi 100 mmHg, maka akan terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Sedangkan jika kurang dari 60 mmHg, maka aliran darah
ke otak menjadi terganggu sehingga memungkinkan terjadinya hipoksia dan
dapat menyebabkan gangguan kesadaran serta kematian sel otak.Peningkatan
tekanan intrakranial secara singnifikan dapat menurunkan aliran darah dan
menyebabkan iskemia. Bila terjadi iskemia komplet dan lebih dari 3 sampai 5
menit, otak akan menderita kerusakan yang tidak dapat di perbaiki. Hal ini
terjadi dikarenakan adanya penurunan perfusi serebral yang mempengaruhi
perubahan keadaan sel dan mengakibatkan hipoksia serebral.
Sehingga perlu adanya pelayanan kesehatan berupa asuhan keperawatan
kritis yang professional. Proses asuhan keperawatan dilakukan oleh perawat
dan bekerja sama dengan pasien (individu, keluarga, masyarakat) yang
bertujuan untuk mengidentifikasi masalah keperawatan dengan melakukan
pengkajian, menentukan diagnose keperawatan, merencanakan tindakan
keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan, serta mengevaluasi hasil
asuhan keperawatan yang telah diberikan dengan berfokus pada pasien untuk
mengetahui perkembangan tentang kondisi pasien.
Berdasarkan uraian di atas, semakin banyaknya kasus stroke khususnya
Stroke Hemoragik dan pentingnya pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada
pasien Stroke Hemoragik, maka penulis bermaksud mengambil judul tentang
“Asuhan Keperawatan Kritis dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada
Pasien Stroke Hemoragik”
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah studi kasus ini yaitu bagaimana gambaran Asuhan
Keperawatan Kritis dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada Pasien
Stroke Hemoragik?
C. Tujuan Studi Kasus
1. Tujuan Umum
Tujuan umum studi kasus ini adalah memperoleh gambaran nyata Asuhan
Keperawatan Kritis dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada Pasien
Stroke Hemoragik.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus studi kasus ini secara terperinci adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi pengkajian keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan
oksigenasi pada pasien stroke hemoragik.
b. Merumuskan diagnose keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan
oksigenasi pada pasien stroke hemoragik.
c. Menyusun rencana tindakan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan
oksigenasi pada pasien stroke hemoragik.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan
oksigenasi pada pasien stroke hemoragik.
e. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan
oksigenasi pada pasien stroke hemoragik.
D. Manfaat Studi Kasus
Studi kasus ini, diharapkan memberikan manfaat bagi :
1. Institusi Pendidikan
Sebagai referensi dalam pengembangan ilmu keperawatan khususnya pada
Asuhan Keperawatan Kritis dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada
Pasien Stroke Hemoragik.
2. Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terhadap bidang keperawatan
dalam Asuhan Keperawatan Kritis dalam Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi pada Pasien Stroke Hemoragik.
3. Masyarakat
Menambah informasi mengenai asuhan keperawatan stroke hemoragik
meliputi pengertian, penyebab, tanda gejala, tindakan dan pengobatan,
komplikasi serta perawatan pada Stroke Hemoragik.
4. Rumah Sakit
Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan rumah sakit khususnya di
ruang kritis dalam memberikan asuhan keperawatan dengan kasus Stroke
Hemoragik.
5. Penulis
Menambah pengalaman dan pengetahuan dalam penerapan ilmu yang
diperoleh selama pendidikan pada asuhan keperawatan pasien Stroke
Hemoragik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Stroke Hemoragik
1. Pengertian
Black dan Hawks (2014) stroke adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan adanya gangguan suplai darah ke bagian otak yang
menyebabkan perubahan neurologis. Menurut Indrawati, Sari, dan Dewi
(2016) stroke adalah penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak)
dengan gangguan fungsi otak karena kerusakan atau kematian jaringan otak
akibat dari kurangnya atau tersumbatnya aliran darah dan oksigen ke otak.
Stroke ditandai dengan gejala yang tetap, berlangsung lebih dari 24 jam dan
akhirnya terjadi defisit neurologis yang permanen. Stillwell (2012)
menambahkan tanda dan gejala serangan otak (stroke) bergantung pada
keparahan dan lokasi gangguan aliran darah.
Indrawati, Sari, dan Dewi (2016) stroke hemoragik artinya stroke
karena perdarahan yaitu stroke yang disebabkan akibat pembuluh darah di
otak yang pecah sehingga aliran darah ke otak menjadi berkurang dan sel-
sel di otak dapat mengalami kerusakan dan bahkan kematian karena
kurangnya oksigen dan nutrisi di otak, bahkan dapat merusak sel-sel otak
yang ada di sekitarnya.
2. Etiologi
Ariani (2012) membagi etiologi stroke hemoragik ke dalam beberapa
bagian, sebagai berikut:
a. Hemoragi Ekstradural (hemoragi epidural)
Hemoragi ekstradural merupakan kondisi darurat yang memerlukan
perawatan segera. Kondisi ini biasanya mengikuti dari adanya fraktur
tengkorak karena robekan pada arteri tengah dan pada arteri meninges
lainnya. Pasien harus segera ditangani dalam beberapa jam setelah
mengalami cedera agar dapat mempertahankan hidupnya.
b. Hemoragi Subdural
Hemoragi subdural pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural kecuali
bahwa hematoma subdural biasanya akibat jembatan vena yang robek.
Oleh karena itu, periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin mengalami
hemoragi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau gejala.
c. Hemoragi Subaraknoid
Indrawati, Sari, dan Dewi (2016) menjelaskan bahwa perdarahan
subarakhnoid adalah perdarahan yang terjadi pada pembuluh darah yang
ada di selaput otak. Lalu, darah akan mengalir keluar mengisi rongga
antara tulaang tengkorak dan otak. Sama halnya dengan perdarahan
intraserebral. Perdarahan subarachnoid juga dapat menyebabkan spasme
pada arteri di sekitar perdarahan, mengiritasi bagian di sekitar
perdarahan, dan dapat juga menyebabkan proses desak ruang.
d. Hemoragi Intraserebral
Hemoragi intraserebral adalah perdarahan di substansi dalam otak, paling
umum terjadi pada pasien dengan hipertensi dan arteriosklerosis serebral
yang disebabkan oleh perubahan degeneratife. Karena penyakit ini
biasanya menyebabkan rupture pada pembuluh darah dan biasanya tiba-
tiba mengalami sakit kepala yang berat. Bila hemoragik membesar makin
jelas defisit neurologi yang terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran
dan abnormalitas pada tanda vital.
Adapun faktor risiko stroke menurut Indrawati, Sari, dan Dewi (2016) antara
lain :
a. Faktor Risiko yang Dapat Dikontrol
1) Pernah terserang stroke
Seseorang yang pernah mengalami Transient Ischemic Attack (TIA) atau
stroke ringan akan mengalami sembilan kali lebih berisiko dari pada
seseorang yang tidak pernah mengalami TIA.
2) Hipertensi
Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah mengalami tekanan yang cukup
besar. Dan jika tekanan tersebut berlangsung lama, maka akan
mengakibatkan kelemahan pada dinding pembuluh darah sehingga
menjadi rapuh dan mudah pecah. Hipertensi juga dapat menyebabkan
aterosklerosis dan penyempitan pada diameter pembuluh darah
sehingga mengganggu aliran darah ke jaringan otak.
3) Penyakit jantung
Beberapa penyakit jantung seperti fibrilasi atrial (salah satu jenis
gangguan irama jantung), jantung koroner, jantung rematik, serta
orang melakukan pemasangan katup jantung buatan akan mengalami
risiko yang lebih tinggi untuk terserang stroke. Stroke emboli
umumnya disebabkan karena kelainan-kelainan jantung tersebut.
4) Diabetes mellitus
Seseorang yang mengidap diabetes mellitus memiliki risiko dua kali lipat
untuk terserang stroke iskemik dari pada seseorang yang tidak
mengidap diabetes mellitus.
5) Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia dapat menyebabkan aterosklerosis, dan sterosklerosis
tersebut dapat menyebabkan jantung koroner dan penyakit stroke itu
sendiri.
6) Merokok
Perokok mempunyai risiko lebih besar terserang stroke dari pada
seseorang yang tidak merokok. Nikotin yang terkandung di dalam
rokok membuat jantung bekerja keras karena frekuensi denyut jantung
dan tekanan darah meningkat. Nikotin tersebut juga mengurangi
kelenturan arteri dan dapat menyebabkan aterosklerosis.
7) Gaya hidup tidak sehat
Seseorang yang sering mengonsumsi makanan tinggi lemak, kurang
melakukan aktivitas fisik, dan sering mengalami stres emosional
rentan mengalami obesitas, diabetes mellitus, aterosklerosis, dan
penyakit jantung.
b. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dikontrol
1) Usia
Risiko terserang stroke meningkat seiring bertambahnya usia. Risiko
semakin meningkat setelah usia 55 tahun. Seseorang yang terkena
stroke banyak yang berusia 65 tahun ke atas.
2) Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko 19% lebih tinggi untuk terserang stroke
dibandingkan perempuan. Namun kematian stroke banyak dijumpai
pada perempuan karena pada umumnya perempuan terserang stroke
pada usia yang lebih tua.
3) Ras
Stroke lebih banyak menyerang dan menyebabkan kematian pada ras kulit
hitam, Asia dan Kepulauan Pasifik, serta Hispanik dibandingkan ras
kulit putih. Pada ras kulit hitam diduga karena banyaknya kasus
hipertensi dan diet yang tinggi garam.
4) Genetik
Risiko stroke menjadi lebih tinggi jika terdapat orang tua atau saudara
kandung yang mengalami stroke ataupun TIA.
3. Manifestasi Klinis
Oktavianus (2014) menjelaskan bahwa tanda gejala yang muncul pada
pasien stroke sangat tergantung pada daerah stroke yang terkena. Yaitu jika
seseorang terkena stroke lobus parietal maka orang tersebut akan mengalami
gangguan pada fungsi somatic, kesadaran menempatkan posisi. Pada lobus
temporal, akan mengalami gangguan fungsi indera, dan memori. Pada
bagian lobus oksipital maka akan mengalami gangguan fungsi penglihatan.
Sedangkan pada bagian lobus frontal, akan mengalami gangguan fungsi
pada mental, emosi, fungsi fisik, dan intelektulnya. Pasien stroke hemoragik
dapat mengalami trias Tekanan Intrakranial (TIK) yang mengindikasikan
bahwa adanya peningkatan volume dalam kepala.Trias TIK yaitu muntah
proyektil, pusing, dan pupil edema. Batticaca (2011) menambahkan bahwa
stroke hemoragik sering terjadi pada usia 20-60 tahun dan biasanya terjadi
pada saat penderita sedang beraktivitas atau emosinya aktif. Gejala berupa
nyeri kepala hebat seperti mau pecah disertai muntah-muntah, kuduk
menjadi kaku dan kesadaran sering terganggu.
Menurut Batticaca (2011) tanda dan gejala stroke hemoragik sebagai
berikut :
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Stroke akibat PIS mempunyai gejala tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat
karena hipertensi, serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan
emosi atau marah, mual atau muntah pada permulaan serangan,
hemiparesis atau hemiplegia (kelemahan anggota gerak) terjadi sejak
awal serangan, kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma
(65% terjadi kurang dari ½ jam-2 jam sedangkan < 2% terjadi setelah 2
jam – 19 hari).
b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Stroke akibat PSA mempunyai gejala nyeri kepala hebat dan mendadak,
kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi, ada gejala atau tanda
meningeal, papiledema terjadi bila ada perdarahan subarachnoid karena
pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis
interna.
4. Patofisiologi
Wijaya dan Putri (2013) mengungkapkan bahwa otak sangatlah
tergantung pada oksigen karena di dalam otak tidak mempunyai cadangan
oksigen. Oktavianus (2014) menambahkan bahwa pada stroke hemoragik,
terjadinya perdarahan dikarenakan oleh pecahnya aneurisma, Arterio
Venous Malformation (AVM) atau paling sering terjadi karena hipertensi.
Peningkatan pada sitolik dan diastolik menyebabkan perubahan pada
dinding arteri sehingga mudah pecah. Aneurisma sering terjadi pada daerah
percabangan arteri serebral besar. Pecahnya aneurisma menyebabkan
perdarahan akan langsung masuk pada ruang subarakhnoid atau langsung
memasuki ventrikel sehingga menyebabkan perdarahan intraserebral, yang
terjadi pada parenkim otak itu sendiri. Hal ini menyebabkan aliran darah
menjadi berkurang dan kemudian akan terjadi iskemik yang akhirnya akan
terjadi penurunan neurologis. Mahmudah (2014) juga menerangkan bahwa
stroke hemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah di otak atau
bahkan mengalami kebocoran, sehingga terjadi perdarahan pada bagian
otak. Pecahnya pembuluh darah di otak menyebabkan keluarnya darah ke
jaringan parenkim otak, ke ruang cairan serebrospinalis yang ada disekitar
otak atau kombinasi dari keduanya. Perdarahan tersebut mengakibatkan
gangguan pada serabut saraf otak karena adanya penekanan struktur otak
dan hematoma yang menyebabkan iskemik pada jaringan sekitarnya
sehingga suplai darah ke otak berkurang. Adanya gangguan peredaran darah
di daerah otak pada pasien stroke mengakibatkan terjadinya penurunan
Cerebral Blood Flow (CBF) yang mengakibatkan regional suatu daerah otak
terisolasi dari jangkauan aliran darah, yang mengangkut O2 dan glukosa
yang sangat diperlukan untuk metabolism oksidatif serebral. Daerah yang
terisolasi itu tidak berfungsi lagi dan karena itulah timbul manifestasi deficit
neurologis berupa hemiparalisis, hemihipsetesia, hemiparestesia. Timbulnya
infark serebral regional dapat juga disebabkan oleh pecahnya arteri serebral.
Daerah distal dari tempat dinding arteri yang pecah, tidak lagi mendapat
pasokan darah sehingga daerah tersebut menjadi iskemik dan kemudian
menjadi infark. Daerah yang terjadi infark tersebut tidak berfungsi lagi
sehingga menimbulkan deficit neurologis, yang biasanya berupa
hemiparalisis. Perdarahan intraserebral menyebabkan 10- 15% kasus
serangan stroke pertama kalinya, dengan angka kematian selama 30 hari
dari 35% menjadi 52% dimana setengah dari angka kematian tersebut
terjadi dalam 2 hari pertama.
Price dan Wilson dalam Dosen Keperawatan Medikal-Bedah
Indonesia (2017) menjelaskan bahwa gangguan aliran darah di otak dapat
terjadi dimana saja pada arteri-arteri yang membentuk sirkulasi willisi yaitu
pada arteria karotis interna dan sistem vertebrobasilar serta pada semua
cabang-cabangnya. Apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15
sampai 20 menit, maka akan terjadi infark dan kematian jaringan.
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Junaidi (2012), pemeriksaan penunjang pada pasien stroke hemoragik
yaitu :
a. CT-Scan (computerized tomographic scanner).
Pemeriksaan yang umum digunakan adalah CT-scan yang berguna untuk
membedakan stroke iskemik atau stroke perdarahan serta dapat menilai
letak, besar, dan luas dari area infark (setelah 24 jam).
b. MRI (Magnetik Resonance Imaging)
MRI dengan modifikasi diffusion dan perfussion imanging sangat
bermanfaat serta dapat memperlihatkan area iskemik atau mendiagnosis
stroke iskemik lebih dini. Cara ini mampu mendeteksi adanya kelainan
pada otak dalam waktu 6 jam. Sedangkan jika dengan T1 dan T2 itu
masih belum nampak adanya kelainan yang diderita. MRI spec- troscopy
dapat dipakai untuk mengukur fosfat berenergi tinggi walaupun kurang
akurat dan lama.
c. DWI (Diffusion Waighted Imaging)
Cara DWI bekerja dengan mendeteksi gerakan proton dari molekul air
dalam sel-sel otak, yaitu dengan memanfaatkan brownian movement
molekul air. Cara ini bisa mendeteksi pada iskemik otak fokal dalam
waktu 14 menit pada stroke eksperimen dan dalam waktu kurang dari 2
jam pada manusia. Gambaran infark pada alat ini cocok dengan hasil
otopsi.
d. MRS (Magnetic Resonance Spectrocoscopy)
MRS berguna dalam pengobatan pasien dengan stroke iskemik akut dan
dapat menentukan keadaan reperfusi dengan cepat. Bahkan dapat
digunakan untuk membedakan daerah infark atau penumbra.
e. Doppler
Doppler mampu memberikan informasi mengenai kondisi aliran di dalam
pembuluh darah otak.Dapat mendiagnosa stenosis, vasospasme, kelainan
pembuluh darah, pembuluh darah ekstrakranial (arteri karotis). Pada
PSA, dapat terlihat stenosis yang berukuran sedang dan besar karena
kecepatan aliran darah yang meningkat.
f. PET (Photon Emission Tomography)
PET dapat digunakan untuk mengukur dan membedakan daerah iskemik
yang masih reversibel dan yang sudah irreversibel. Selain itu, PET juga
dapat digunakan untuk mengukur CBF, perfusi, pengambilan dan
konsumsi oksigen.
g. ECG (Electro Cardiograpy)
ECG perlu dilakukan pada semua pasien yang dicurigai mengalami stroke
embolik. Apabila ditemukan trombus pada dinding jantung maka perlu
pertimbangan dalam pemberian sintrom sesudah pemberian heparin berat
dan molekul rendah.
h. MRA (Magnetic Resonance Angiography)
Angiografi mampu mendeteksi kelainan pembuluh darah intrakranial, misal:
aneurisma, angioma. Pada PSA, dapat diketahui sumber perdarahan,
hubungan dengan pembuluh darah di sekitarnya, dan dapat diketahui ada
tidaknya penyempitan saluran arteri (Vasospasme).
i. Echo – ensefalografi
Pada ensefalografi menggunakan gelombang ultrasonik untuk mendeteksi
proses “Space occupying lesion” (Tumor) dan dapat melihat dilatasi
ventrikel otak, misalnya jika ada penambahan volume otak
(hidrosefalus).
j. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa hal yang perlu diperiksa dalam pemeriksaan laboratorium yaitu:
1) Jumlah sel darah total seperti: hemoglobin, hematokrit, eritrosit,
leukosit, hitung jenis, trombosit, laju endapan darah.
2) Glukosa darah sewaktu puasa dan 2 jam setelah makan, kolesterol
(total, HDL, LDL), dan lemak trigliserida.
3) Urea, protein darah, asam urat, kreatinin, fungsi hati, urin lengkap,
bila perlu elektrolit (natrium, kalium) dan gas darah
4) Tes serologik untuk sifilis, AIDS, TBC, autoimun, dan lain-lain
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Nurarif dan Kusuma (2015) menjelaskan penatalaksanaan medis
pada stroke hemoragik yaitu jika volume hematoma >30ml, adanya
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis yang
cenderung memburuk yang terjadi pada pasien stroke hemoragik, maka
pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU. Tekanan darah harus
diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan
pada sistolis > 180 mmHg, diastolic > 120 mmHg, Mean Arterial
Pressure (MAP) > 130 mmHg, dan volume hematoma bertambah.
Penatalaksanaan umum yang dilakukan pada stroke hemoragik sama
seperti pada stroke iskemik, yaitu tukak lambung diatasi dengan
antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton.
Komplikasi pada saluran napas dapat dicegah dengan fisioterapi dan
diobati dengan antibiotic spectrum luas.
Bila terdapat gagal jantung, maka penurunan tekanan darah harus
dilakukan segera dengan pemberian labetalol iv 10 mg (dalam 2 menit)
sampai 20 mg (dalam 10 menit) maksimal pemberian dalam 300 mg, dan
pemberian enalapril iv 0,625 – 1.25 mg per 6 jam, serta pemberian
kaptopril 3 kali 6,25 – 25 mg per oral. Memposisikan kepala dengan
dinaikkan 30o, posisi kepala dan dada dalam satu bidang, serta dilakukan
pemberian manitol dan hiperventilasi (PCO2 20-35 mmHg) jika
didapatkan tanda-tanda peningkatan intrakranial.
Terapi khusus yang dilakukan yaitu dengan pemberian
neuroprotektor kecuali yang bersifat vasodilator. Untuk penatalaksanaan
tindakan bedah diperlukan pertimbangan pada usia pasien dan letak
perdarahan yaitu akan dilakukan tindakan bedah pada pasien yang
kondisinya semakin memburuk dengan perdarahan serebelum
berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat adanya perdarahan
intraventrikel atau serebelum, jika dilakukan VP shunting, dan
perdarahan lobar >60 ml dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial
akut dan adanya ancaman herniasi. Perdarahan subarakhnoid dapat diberi
antagonis kalsium (nimodipin) atau dilakukan tindakan bedah (ligasi,
embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika dikarenakan aneurisma
atau AVM.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Morton, dkk (2013) menerangkan bahwa penatalaksanaan
keperawatan pada pasien stroke yaitu pasien perlu dipantau dengan
saksama untuk mengetahui adanya infeksi, perubahan suhu, dan
perubahan kadar glukosa, yang kemungkinan dapat memberi pengaruh
buruk pada pasien yang pernah mengalami stroke. Cegah komplikasi
terkait dengan imobilitas, hemiparesis, atau defisit neurologis lain yang
disebabkan oleh stroke. Tindakan pencegahan sangat penting dalam hal
infeksi saluran kemih, aspirasi, ulkus dekubitus, kontraktur, dan
tromboplebitis. Perawat perlu membantu pasien dan keluarga dalam
mengontrol emosi dan perilaku. Tenangkan pasien dan berikan
kenyamanan dan ketenangan agar pasien mampu mengontrol emosinya.
Berikan waktu istirahat untuk pasien agar pasien tidak terlalu letih.
Perawat berperan dalam membantu keluarga dalam memahami
perubahan perilaku pasien. Perawat dapat memberi tahu keluarga bahwa
pasien yang mengalami disfasia tidak berarti ia mengalami gangguan
kecerdasan. Komunikasi melalui tulisan, menggunakan papan gambar,
atau sikap tubuh perlu dicoba.
7. Komplikasi
Nurarif dan Kusuma (2015) menyatakan bahwa komplikasi terkait
Cerebrivaskuler Accident atau stroke terbagi menjadi:
a. Dini (0 - 48 jam pertama)
Edema serebri, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial,
herniasi, dan akhirnya menyebabkan infark miokard (penyebab kematian
mendadak pada stroke stadium awal).
b. Jangka Pendek (1 - 14 hari)
Pneumonia akibat immobilisasi lama, infark miokard, emboli paru
(cenderung terjadi pada 7-14 hari pascastroke, sering terjadi pada saat
penderita mulai mobilisasi), stroke baru atau rekuren dapat terjadi setiap
saat.
c. Jangka Panjang (> 14 hari)
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskuler lain: penyakit vaskuler
parifer.
B. Konsep Dasar Oksigenasi
1. Pengertian
Oksigen menjadi salah satu komponen gas dan merupakan unsur vital
dalam proses metabolisme serta sangat penting untuk mempertahankan
kelangsungan hidup (Andarmoyo, 2012). Mubarak dan Chayatin (2014)
menambahkan bahwa oksigen merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak
berbau yang sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme sel. Kusnanto
(2016) menjelaskan bahwa oksigenasi adalah suatu proses menghirup O2
(oksigen) dan mengeluarkan CO2 (karbon dioksida) serta uap air. Tanpa
adanya oksigen di dalam tubuh maka akan menyebabkan kemunduran pada
fungsi tubuh atau dapat menimbulkan kematian. Apabila lebih dari 4 menit
seseorang tidak mendapatkan oksigen maka akan mengakibatkan kerusakan
pada otak yang tidak dapat diperbaiki dan bahkan bisa sampai meninggal.
2. Proses Oksigenasi
Kusnanto (2016) proses oksigenasi terdiri dari 3 tahapan, yaitu :
a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses keluar masuknya oksigen dari atmosfer ke
dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer yang terjadi saat respirasi
(inspirasi-ekspirasi). Ventilasi paru dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1) Tekanan oksigen di atmosfer
Saat inspirasi, tekanan udara atmosfer menjadi rendah dan akan
menyebabkan tekanan oksigen yang masuk ke dalam alveoli menjadi
rendah. Hal ini akan dijumpai pada dataran tinggi dimana makin
tinggi suatu tempat, maka tekanan udara makin rendah dan ini
berbanding lurus dengan tekanan O2.
2) Keadaan saluran napas
Beberapa keadaan yang mempengaruhi keadaan saluran napas
menjadi lebih sempit atau tersumbat, misalnya sekret yang berlebihan
atau kental, spasme atau konstriksi, ada benda asing atau masa baik
pada saluran napas sendiri atau diluar saluran napas yang mendesak
saluran napas.
3) Complience dan Recoil
Yaitu daya pengembangan serta pengempisan paru dan thorak yang
terbentuk oleh gerakan naik turun diafragma, elevasi dan depresi iga,
elastisitas jaringan paru, serta adanya surfaktan.
4) Pengaturan Napas
Pusat pernapasan terdapat pada medulla oblongata dan pons. Pusat
napas biasanya terangsang oleh peningkatan CO2 dalam darah dari
hasil metabolisme sel. Kenaikan CO2 mengakibatkan peningkatan
konsentrasi hidrogen dan akan merangsang pusat napas. Perangsangan
tersebut merupakan mekanisme umpan balik yang penting untuk
mengatur konsentrasi CO2 seluruh tubuh. Adanya trauma kepala atau
edema otak atau peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan
gangguan pada sistem pengendalian ini.
b. Difusi Gas
Difusi adalah pergerakan gas atau partikel lain dari area yang
bertekanan atau berkonsentrasi tinggi ke tekanan atau konsentrasi rendah.
Yaitu pertukaran oksigen di alveoli dengan kapiler dan CO2 di kapiler
dengan alveoli. Tekanan parsial gas adalah tekanan yang menyebabkan
substansi gas memiliki daya menembus dinding sekitar. Tekanan parsial
gas O2 di atmosfer berkisar 159 mmHg dan CO2 berkisar 0.15 mmHg.
Di alveoli, tekanan parsial O2 sekitar berkisar 104 mmHg dan CO2
sekitar 40 mmHg. Di dalam darah, tekanan parsial O2 100 mmHg dan
CO2 46 mmHg. Tekanan parsial ini menyebabkan oksigen cenderung
bergerak dari atmosfer ke alveoli dan dari alveoli oksigen cenderung
masuk ke kapiler karena tekanan parsialnya lebih rendah. Sedangkan
CO2 cenderung bergerak dari kapiler ke alveoli dan dari alveoli
cenderung ke atmosfir bebas.
Kemampuan suatu gas dalam menembus (difusi) membran pulmonal
juga ditentukan beberapa faktor lain, yaitu :
1) Ketebalan membran respirasi
Ketebalan membran respirasi ini dapat meningkat oleh berbagai
keadaan, misalnya karena peningkatan jumlah cairan instertitial,
peningkatan permeabilitas kapiler paru atau penurunan tekanan
osmotik koloid sehingga, selain harus melewati membran respirasi
yang biasanya, udara juga harus melewati kemungkinan menebalnya
membran respirasi.
2) Luas permukaan membran pulmonal
Bila luas permukaan total berkurang menjadi sepertiga saja,
pertukaran gas-gas tersebut menjadi terganggu bahkan dalam keadaan
istirahat. Penurunan luas permukaan membran yang paling sedikit
dapat menganggu pertukaran gas yang hebat, yaitu saat olah raga
kompetitif atau gerak badan lainnya. Pada konsolidasi paru dapat
terjadi penurunan luas permukaan membran respirasi.
3) Koefisien Difusi
Koefisien difusi tiap gas dalam membran respirasi tergantung pada
daya larut dalam membran itu dan berbanding terbalik dengan akar
pangkat dua berat molekulnya. Kecepatan difusi CO2, 20 kali lebih
cepat dari O2 sehingga kekurangan O2 belum tentu disertai kelebihan
CO2. Sebaliknya O2, 2 kali lebih cepat daripada nitrogen, dan CO
berdifusi 200 kali lebih cepat dari O2 sehingga mudah terjadi
keracunan.
4) Perbedaan tekanan parsial gas antara alveoli dan kapiler
Bila tekanan parsial suatu gas di dalam alveoli lebih besar daripada
tekanan parsial di dalam darah kapiler paru seperti O2, maka terjadi
perpindahan gas dari alveoli ke dalam darah kapiler paru, tetapi bila
tekanan parsial gas dalam darah kapiler paru lebih besar dari pada
tekanan parsial dalam alveoli seperti CO2, maka terjadi perpindahan
gas dari darah kapiler paru ke alveoli.
5) Tingkat kelarutan gas pada membran (semakin besar semakin mudah
berdifusi) → O2 : 1, CO2 : 20.3, N2 : 0.53
c. Transportasi Gas
Transportasi gas adalah proses pendistribusian O2 dari paru ke
jaringan sedangkan CO2 dari jaringan ke paru. Proses transportasi gas
dipengaruhi oleh adanya curah jantung, kondisi pembuluh darah,
aktivitas fisik, hematokrit, serta eritrosit dan kadar Hb. Pada kondisi
normal, hampir seluruh oksigen diikat oleh hemoglobin (Hb) yang berada
di dalam eritrosit untuk dihantarkan ke seluruh tubuh. Eritrosit dan cairan
plasma dipompa oleh jantung ke seluruh tubuh. Sebagian kecil O2 (3%)
langsung larut dalam plasma dengan bentuk oksigen bebas. Setelah
sampai di kapiler organ, O2 lepas dari Hb dan berdifusi ke jaringan
interstisial lalu masuk ke dalam sel. Dengan berikatan dengan Hb,
transportasi O2 ditingkatkan sampai 60 x lipat. Tarwoto dan Wartonah
(2015) menambahkan bahwa setiap 100 ml darah yang meninggalkan
kapiler alveolus membawa 20 ml oksigen.
1) Ikatan Oksigen-Hemoglobin
Ketika berdifusi dari alveoli ke dalam kapiler, tekanan parsial O2
masih 100 mmHg. Tekanan yang cukup tinggi ini membuat sekitar
97% O2 terikat dengan Hb (Hb O2 ). Ketika sampai dikapiler organ,
tekanan parsial oksigen menurun sampai 40 mmHg, akibatnya sekitar
27% O2 dilepas oleh Hb masuk ke insterstisial sehingga hanya tinggal
70% O2 yang terikat Hb.
2) Transport Karbon-Dioksida di Jaringan
O2 akan bereaksi (bermetabolisme) dengan karbohidrat (CH2O) untuk
suplai energi bagi kehidupan sel. Sisa metabolisme berupa CO2 dan
air (H2O). CO2 beredar di pembuluh darah untuk nantinya keluar
melalui ekspirasi udara paru. Karbon dioksida cenderung keluar dari
sel karena memiliki tekanan parsial gas di dalam sel lebih tinggi
dibanding tekanan parsial di darah. Setelah sampai di kapiler paru,
CO2 akan cenderung ke alveoli karena tekanan parsial CO2 di alveoli
lebih rendah.
Morton, dkk (2013) mengatakan jika jumlah aliran darah dari sirkulasi
sistemik yang diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa yang adekuat
untuk metabolisme di otak melebihi 100 mmHg, maka berpotensi terjadi
peningkatan tekanan intrakranial. Sebaliknya jika kurang dari 60 mmHg,
maka aliran darah ke otak tidak adekuat sehingga memungkinkan terjadi
hipoksia, gangguan kesadaran dan bahkan menyebabkan kematian sel otak.
Sedangkan jika MAP dan intrakranial pressure sama, berarti tidak ada
tekanan perfusi serebral dan perfusi serebral berhenti. MAP dapat diukur
dengan TD Sistolik + 2 (TD Diastolik) / 3. Sedangkan Cerebral perfusion
pressure (CPP) (dapat dihitung dengan mengurangi MAP dengan TIK.
Black dan Hawks (2014) mengatakan bahwa otak sangat rentan
mengalami kerusakan saat mengalami kekurangan oksigen dan bisa
mengakibatkan kecacatan hingga kematian. Meskipun komposisi otak hanya
2 persen dari total masa tubuh, bagian ini menghabiskan total 20%
(seperlima dari suplai oksigen) kebutuhan oksigen. Otak tidak seperti
jaringan pada bagian tubuh lain misalnya otot, otak tidak bisa menggunakan
metabolisme anaerobik jika kekurangan oksigen atau glukosa. Jika otak
sama sekali tidak mendapat suplai oksigen dalam waktu 3-10 menit saja,
sel-sel otak akan mulai mengalami kematian. Sedangkan Morton, dkk
(2013) mengatakan bahwa otak akan mengalami kerusakaan reversibel jika
otak tidak mendapatkan oksigen selama 1 menit.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigen
Tubuh kita membutuhkan oksigen dalam jumlah yang tidak menentu
dan terkadang akan membutuhkan jumlah oksigen yang banyak karena
suatu keadaan tertentu. Kusnanto (2016) menerangkan bahwa kebutuhan
oksigen dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
a. Lingkungan
Ketika berada di lingkungan yang panas, tubuh kita akan berespon
dengan lingkungan tersebut yang menjadikan vasodilatasi pada pembuluh
darah perifer, sehingga darah banyak mengalir ke kulit. Hal tersebut
mengakibatkan respon terhadap panas, banyak dikeluarkan melalui kulit.
Respon tersebut menyebabkan curah jantung meningkat dan kebutuhan
oksigen pun juga meningkat. Sebaliknya ketika berada pada lingkungan
yang dingin, pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi dan
menyebabkan penurunan pada tekanan darah sehingga juga akan
menurunkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen.
Pemenuhan kebutuhan oksigen juga ditentukan dengan tinggi
rendahnya tempat kita berada. Pada tempat yang tinggi tekanan
barometernya akan menurun, sehingga tekanan oksigen juga turun.
Seseorang yang berada pada tempat yang tinggi maka tekanan oksigen di
alveoli seseorang tersebut akan berkurang. Ini menjelaskan bahwa
kandungan oksigen di dalam paru-paru dalam jumlah yang sedikit.
Semakin tinggi suatu tempat maka akan semakin sedikit kandungan
oksigennya, sehingga orang yang berada pada tempat yang tinggi akan
mengalami kekurangan oksigen sehingga orang tersebut akan mengalami
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan oksigenasinya. Selain itu, kadar
oksigen juga dipengaruhi oleh adanya polusi udara. Udara yang kita
hirup dengan campuran polusi udara, menyebabkan udara tersebut hanya
memiliki konsentrasi oksigen yang rendah. Hal itu menyebabkan
kebutuhan oksigen dalam tubuh tidak terpenuhi secara optimal. Respon
yang diberikan oleh tubuh terhadap lingkungan polusi udara diantaranya
menyebabkan mata perih, sakit kepala, pusing, batuk dan merasa
tercekik.
b. Latihan
Latihan fisik atau peningkatan aktivitas yang kita lakukan akan
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan juga peningkatan
frekuensi napas sehingga kebutuhan terhadap oksigen semakin tinggi.
c. Emosi
Ketika kita berada dalam kesulitan untuk mengontrol emosi yang
kita miliki seperti merasa takut, cemas, dan marah, maka itu akan
mempercepat denyut jantung kita sehingga kebutuhan oksigen yang kita
butuhkan juga akan meningkat.
d. Perilaku
Kebiasaan merokok akan mempengaruhi status oksigenasi pada
seseorang, karena dengan kebiasaan merokok dapat memperburuk
penyakit arteri koroner dan pembuluh darah arteri. Nikotin yang
terkandung di dalam rokok juga dapat menyebabkan vasokontriksi pada
pembuluh darah perifer dan pembuluh darah koroner. Akibatnya, suplai
darah ke jaringan akan menurun. Serta gaya hidup seperti makan yang
tidak terkontrol bisa menyebabkan penyakit obesitas, yang mana keadaan
itu juga akan menjadikan kita kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan
oksigen.
e. Status Kesehatan
Pada orang yang sehat, sistem kardiovaskuler dan sistem
respirasinya dapat berfungsi dengan baik sehingga orang itu dapat
memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh secara adekuat. Sebaliknya,
jika seseorang yang mempunyai penyakit jantung ataupun penyakit
pernapasan maka orang tersebut akan mengalami kesulitan dalam
pemenuhan kebutuhan oksigen dalam tubuhnya.
C. Konsep Asuhan Keperawatan Kritis
1. Pengkajian
Penjelasan dibawah ini merupakan hasil dari modifikasi pengkajian
menurut Muttaqin (2012) dan Andarmoyo (2014). Data yang perlu dikaji
saat anamnesa yaitu indentitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang,riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pekerjaan dan
kebiasaan serta pemeriksaan fisik B1 – B6.
a. Biodata pasien
Nama, jenis kelamin, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), no
rekam medis, diagnose medis.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien stroke hemoragik meliputi
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, konvulsi (kejang), sakit kepala yang hebat, nyeri otot,
kaku kuduk, sakit punggung, tingkat kesadaran menurun (GCS < 15),
akral dingin, dan ekspresi takut.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi
adanya riwayat trauma, riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada
saat melakukan aktivitas, keluhan pada gastrointestinal seperti mual,
muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar. Selain itu didapatkan pula
gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain
seperti gelisah, letargi, lelah, apatis, perubahan pupil, pemakaian obat-
obatan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah pasien menggunakan obat-obat analgetik, perangsang
sistem persarafan, apakah pernah mengeluhkan gejala sakit kepala,
kejang, tremor, pusing, vertigo, kebas, atau kesemutan pada bagian
tubuh, kelemahan, nyeri atau perubahan dalam bicara di masa lalu,
riwayat trauma kepala, riwayat peningkatan kadar gula darah dan tekanan
darah tinggi, dan riwayat tumor.
e. Riwayat keluarga
Kaji apakah ada keluarga yang mempunyai riwayat hipertensi ataupun
diabetes mellitus.
f. Riwayat pekerjaan dan kebiasaan
Perawat menanyakan kadaan lingkungan perkerjaan selain itu tanyakan
kebiasaan pola hidup seperti kebiasaan merokok minum alkohol dan
obata – obat tertentu. Jika pasien dalam pertanyaan kritis sebaiknya
menggunakan pertanyaan tertutup yang jawabannya ya atau tidak dan
mengangguk atau menggeleng sehingga tidak membutuhkan energi yang
besar.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda vital
Meliputi tekanan darah yang meningkat, nadi meningkat, pernafasan
meningkat, dan suhu.
b. Pemeriksaan head to toe
Meliputi pemeriksaan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dan pada
anggota gerak yang mengalami gangguan.
c. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada B3 (Brain) yang lebih terarah
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan pasien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi suara napas tambahan yang sering didapatkan
pada pasien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran seperti adanya
ronkhi, adanya peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk
yang menurun. Pada klien dengan kesadaran composmentis,
pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi thoraks
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak
didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemi) yang sering terjadi pada pasien stroke. Tekanan darah
biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi massif
(tekanan darah > 200 mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan lesi otak yang rusak tidak dapat
membaik sepenuhnya. Serta pengkajian saraf-saraf cranial dari saraf I
sampai saraf ke XII.
Sistem Neurologi
Kaji adanya sakit kepala yang berat, periksa adanya pupil
unilateral, dan observasi tingkat kesadaran.Pengkajian tingkat
kesadaran dilakukan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang
menilai tingkat kesadaran berdasarkan respon membuka mata,
motorik, dan verbal.
Respon membuka mata yaitu jika pasien membuka mata secara
spontan diberi nilai 4, merespon terhadap rangsangan suara atau
perintah diberi nilai 3.Nilai 2 jika pasien merespon terhadap nyeri dan
jika tidak ada respon diberi nilai 1. Respon verbal yaitu dinilai 5 jika
berorientasi baik, nilai 4 jika disorientasi atau bicara kacau, jika kata-
kata tidak sesuai diberi nilai 3, jika kata-kata tidak bermakna
(mengerang) dinilai 2, dan jika tidak ada respon diberi nilai 1.Respon
motorik yaitu jika pasien mengikuti perintah maka diberi nilai 6, jika
melokalisir nyeri diberi nilai 5. Dinilai 4 jika menghindari rangsang
nyeri (fleksi), nilai 3 jika fleksi abnormal, dinilai 2 jika ekstensi
terhadap nyeri, dan dinilai 1 jika tidak ada respon.Kriteria total nilai
yaitu jumlah nilai 14-15 kesadaran composmentis, nilai 12-13
kesadaran apatis, jumlah nilai 10-11 kesadaran delirium, jumlah nilai
7-9 kesadaran somnolen, jumlah nilai 5-6 kesadaran stupor, jumlah
nilai 4 kesadaran stuporcoma, dan jika nilai < 3 kesadaran coma.
4) B4 (Bowel)
Adanya keluhan kesulitan dalam menelan, nafsu makan yang menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan kebutuhan nutrisi. Biasanya terjadi konstipasi akibat dari
penurunan peristaltik usus.
5) B5 (Bone)
Pasien stroke memiliki gangguan pada neuron yang menyebabkan
motorik pada salah satu sisi tubuh mengalami kerusakan yang
berlawanan dari otak. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensorik, atau paralisis/hemiplegia, mudah
lelah menyebabkan masalah pada mobilitas pasien dan menurunkan
aktivitas sehari-hari.
6) B6 (Bladder)
Pasien yang sudah pernah mengalami stroke mungkin akan mengalami
inkontenensia urine sementara karena ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Terkadang kontrol urine eksternal hilang atau berkurang.
Terjadinya inkontinensia yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis yang luas.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan Stroke Hemoragik menurut Keliat, Mediani,
dan Tahlil (2018) yaitu :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan spasme jalan
napas, jalan napas alergik, hiperplasia pada dinding bronkus, infeksi,
mucus berlebihan, disfungsi neuromuscular, adanya jalan napas buatan,
benda asing dalam jalan napas, sekresi yang tertahan.
b. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
gangguan serebrovaskuler, suplai darah ke otak menurun, hipertensi,
aneurisma serebral, embolisme, aterosklerosis aortic, cedera otak.
c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan neurologis,
imaturitas neurologis, disfungsi neuromuscular, deformitas dinding dada,
cedera medulla spinalis.
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolar kapiler, ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
3. Intervensi
Nurarif dan Kusuma (2015) rencana tindakan yang harus dilakukan yaitu :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Tujuan dan Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan napas efektif,
dengan kriteria hasil :
1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu
bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2) Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
irama napas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal
(16-20x/menit), tidak ada suara napas abnormal)
3) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan napas
4) Tanda-tanda vital dalam rentang normal
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital
2) Monitor respirasi dan status O2
3) Identifikasi perlunya pemasangan alat bantu jalan napas buatan
4) Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
5) Auskultasi suara paru sebelum dan sesudah suctioning
6) Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction
nasotracheal
7) Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
8) Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
9) Informasikan pada pasien dan keluarga tentang suctioning
10) Lakukan fisioterapi dada bila perlu
11) Keluarkan secret dengan batuk atau suction
12) Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
13) Berikan bronkodilator bila perlu
b. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Tujuan dan Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan otak
terjadi peningkatan, dengan kriteria hasil :
1) Tekanan dalam rentang yang diharapkan systole (100-120mmHg) dan
diastole (70-90mmHg)
2) Tidak ada ortostatikhipertensi
3) Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial (tidak lebih
dari 15 mmHg)
4) Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
5) Menunjukkan perhatian, konsentrasi, dan orientasi
6) Mampu memproses informasi
7) Menunjukkan fungsi sensorik motorik kranial yang utuh yaitu tingkat
kesadaran membaik, tidak ada gerakan-gerakan involunter
8) Tanda-tanda vital dalam rentang normal
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital
2) Monitor daerah tertentu yang peka terhadap panas, dingin, tajam,
tumpul
3) Monitor adanya paretese
4) Monitor kemampuan BAB
5) Monitor adanya tromboplebitis
6) Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada laserasi
7) Batasi gerakan kepala, leher, dan punggung
8) Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi
9) Kolaborasikan pemberian analgetik
c. Ketidakefektifan pola napas
Tujuan dan Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola napas kembali
efektif, dengan kriteria hasil :
1) Sesak napas berkurang
2) Irama napas regular
3) Frekuensi pernapasan dalam rentang normal 16-20x/menit
4) Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan) dalam rentang
normal
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital
2) Monitor respirasi dan status O2
3) Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
4) Monitor frekuensi dan irama pernapasan
5) Atur peralatan oksigenasi
6) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
7) Auskultasi suara paru
8) Atur intake cairan untuk mengoptimalkan keseimbangan
9) Pertahankan jalan napas yang paten
10) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi O2
d. Gangguan pertukaran gas
Tujuan dan Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi gangguan
pertukaran gas, dengan kriteria hasil :
1) Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat
2) Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda distress
pernapasan
3) Tanda-tanda vital dalam rentang normal
Intervensi :
1) Monitor respirasi dan status oksigen
2) Monitor rata-rata, kedalaman, irama, dan usaha respirasi
3) Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan
4) Monitor pola napas
5) Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
6) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
7) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan
8) Berikan pelembab udara
9) Auskultasi suara paru
4. Implementasi
Implementasi adalah realisasi dari intervensi, dimulai setelah rencana tindakan
disusun serta membantu pasien untuk mencapai tujuan yang diharapkan
meliputi peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan, dan terpenuhinya fasilitas koping (Nursalam, 2016).
5. Evaluasi
Budiono (2016) evaluasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Evaluasi Formatif (evaluasi proses)
Evaluasi yang dilakukan setelah tindakan yang dilakukan selesai,
berorientasi pada etiologi, dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan
yang telah ditentukan tercapai dengan format SOAP
1) S (Data Subjektif)
Data yang berdasarkan pada keluhan yang diucapkan atau disampaikan
oleh pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
2) O (Data Objektif)
Data objektif adalah data dari hasil pengukuran atau hasil observasi secara
langsung oleh perawat mengenai yang dirasakan klien setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
3) A (Analisis)
Analisis merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang
masih terjadi dan bisa juga masalah atau diagnosis keperawatan baru
yang mungkin terjadi akibat perubahan status kesehatan klien yang
telah teridentifikasi dalam data subjektif dan objektif.
4) P (Planning)
Tindakan yang ditambahkan, dimodifikasi, dilakukan, dan dihentikan
sesuai dengan masalah yang masih ada pada pasien.menyelesaikan
masalah klien.
b. Evaluasi Sumatif (evaluasi hasil)
Evaluasi sumatif merupakan evaluasi yang dilakukan setelah
selesainya tindakan keperawatan secara final, yang berorientasi pada
masalah keperawatan, dan menjelaskan keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari tindakan keperawatan yang dilakukan, serta
sebagai rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan
kerangka waktu yang ditetapkan. Format evaluasi jenis ini dengan
menggunakan format SOAPIER.
1) S (Data Subjektif)
Data yang berdasarkan pada keluhan yang diucapkan atau disampaikan
oleh pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
2) O (Data Objektif)
Data objektif adalah data dari hasil pengukuran atau hasil observasi secara
langsung oleh perawat mengenai yang dirasakan klien setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
3) A (Analisis)
Analisis merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang
masih terjadi dan bisa juga masalah atau diagnosis keperawatan baru
yang mungkin terjadi akibat perubahan status kesehatan klien yang
telah teridentifikasi dalam data subjektif dan objektif.
4) P (Planning)
Tindakan yang ditambahkan, dimodifikasi, dilakukan, dan dihentikan
sesuai dengan masalah yang masih ada pada pasien.menyelesaikan
masalah klien.
5) I (Implementasi)
Implementasi adalah tindakan keperawatan yang dilakukan dengan
instruksi yang telah teridentifikasi dalam komponen P (perencanaan).
Serta jangan lupa menuliskan tanggal dan jam pelaksanakan.
6) E (Evaluasi)
Evaluasi adalah respon klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
7) R (Reassesment)
Reassesment adalah pengkajian ulang yang dilakukan terhadap
perencanaan setelah diketahui hasil evaluasi, apakah dari rencana
tindakan perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan.
D. Kerangka Teori
Pembuluh darah serebral pecah
Pembuluh darah
serebral rapuh
Tekanan intravaskuler meningkat
Abnormalitas vaskuler
arteriosklerosis
Hipertensi
E. Kerangka Konsep
Pasien stroke hemoragik
dengan gangguan
oksigenasi
Rupture aneurisma
Peningkatan TIK
Hematoma serebral
Stroke hemoragik
Perdarahan arakhnoid/ventrikel
Rupture atau perdarahan aneurisma
Darah masuk ke dalam jaringan otak
Perdarahan intraserebral
(PIS)
Perdarahan subarakhnoid
(PSA)
Perfusi jar. serebral tidak adekuat
Suplai darah ke otak
menurun
Herniasi serebral Vasospasme pembuluh darah serebral
Nyeri akut
Ketidakefektifan perfusi jar.
serebral
Disfungsi otak
Pola nafas tidak
Perubahan pola nafas
inefektif
Depresi pusat pernafasan
Risiko jatuhRisiko aspirasi
Kesadaran menurun
Disfungsi otak fokal
Kelumpuhan bagian tubuh
Hemiparesiss
Gangguan mobilitas fisik Defisit perawatan diri
Bedrest
Risiko kerusakan integritas kulit
Gangguan fungsi bicara
Gangguan komunik
asi
Reflek mengunyah menurun
Tersedak
Obstruksi jalan nafas
Defisit nutrisi
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Sumber : Wijaya, 2013 Ditambah Mahmudah, 2014 Dilengkapi Nurarif, 2015 Ket : = Dx keperawatan
= Dx kep yang diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Teori
BAB III
METODE STUDI KASUS
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas
2) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
3) Ketidakefektifan pola napas
4) Gangguan pertukaran gas
Pemberian asuhan keperawatan pada
pasien stroke hemoragik dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi
1) Tidak ada penumpukan secret
2) Pola napas kembali efektif
3) Suara napas kembali normal
4) Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
5) Tidak ada tanda-tanda peningkatan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)
6) Menunjukkan fungsi sensorik motorik kranial yang utuh yaitu tingkat kesadaran
membaik tidak ada gerakan-gerakan involunter
7) Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
A. Rancangan Studi Kasus
Tujuan studi kasus ini adalah menggambarkan asuhan keperawatan pada
pasien stroke hemoragik dengan pemenuhan kebutuhan oksigenasi. Dalam
studi kasus ini, penulis mendeskripsikan proses keperawatan mulai dari
pengkajian keperawatan, penetapan diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan, implementasi dari rencana keperawatan dan evaluasi sesuai
dengan tujuan yang dicapai serta mendokumentasikannya sebagai
pertanggungjawaban dan pertanggung gugatan pada tindakan keperawatan
yang telah dilakukan. Sehingga rancangan studi kasus yang digunakan penulis
adalah dengan rancangan penelitian deskriptif dengan pendekatan studi kasus
(case study).
B. Subjek Studi Kasus
Subjek studi kasus ini adalah dua pasien yang nantinya akan diberikan
tindakan keperawatan di ruang HCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Studi
kasus ini membahas tentang pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien
stroke. Kriteria inklusi untuk pasien kelolaan studi kasus ini adalah pasien
dengan diagnosa medis stroke hemoragik, pasien stroke hemoragik dengan usia
> 40 tahun, pasien dengan GCS < 13, serta pasien dan keluarga bersedia
dikelola menjadi subyek studi kasus ini. Sedangkan kriteria eksklusinya yaitu
pasien dengan adanya komplikasi yang memerlukan pembedahan dan pasien
yang tidak bersedia dikelola sebagai subyek studi kasus ini.
C. Fokus Studi Kasus
Fokus studi kasus ini adalah berfokus pada asuhan keperawatan dalam
pemenuhan kebutuhan dasar manusia yaitu dalam pemenuhan kebutuhan
oksigenasi pada pasien kritis stroke hemoragik.
D. Definisi Operasional
Pada studi kasus ini, peneliti berfokus pada studi kasus pemenuhan
oksigenasi pada pasien stroke hemoragik. Definis operasional dari studi kasus
tersebut adalah:
1. Oksigen
Oksigen adalah gas yang tidak berasa, tidak berbau, dan tidak berwarna
yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk kelangsungan metabolisme
sel tubuh, untuk aktivitas organ atau sel dalam tubuh serta untuk
mempertahankan hidup.
2. Stroke Hemoragik
Stroke Hemoragik adalah stroke yang diakibatkan karena pecahnya
pembuluh darah di otak yang menyebabkan aliran darah di otak menjadi
berkurang serta sel-sel di otak dapat mengalami kerusakan dan bahkan
kematian akibat kurangnya oksigen dalam otak yang ditandai dengan nyeri
kepala hebat seperti mau pecah disertai muntah-muntah, kuduk menjadi
kaku dan kesadaran sering terganggu.
3. Terapi Oksigenasi
Tindakan keperawatan dengan cara pemberian oksigen ke dalam tubuh
melalui saluran pernapasan dengan menggunakan alat bantu oksigen seperti
nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup muka dengan kantung
rebreathing, dan sungkup muka dengan kantung non rebreathing.
Sedangkan indikator untuk mengukur pemenuhan terapi oksigen adalah
tanda-tanda vital termasuk tekanan darah, heart rate, respirasi rate, saturasi
oksigen, suhu, dan kesadaran.
4. Asuhan Keperawatan Kritis
Asuhan keperawatan kritis meliputi pengkajian dengan menggunakan
pengkajian persistem (B1-B6), merumuskan diagnosa sesuai dengan kondisi
pasien dalam keadaan kritis, menyusun intervensi keperawatan sesuai
diagnosa pasien, melakukan rencana tindakan yang telah disusun, dan
mengevaluasi perkembangan kondisi pasien.
E. Tempat dan Waktu
Studi kasus ini akan dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada
Bulan Februari 2020.
F. Pengumpulan Data
Menurut Budiono (2016), pengumpulan data yang dilakukan pada asuhan
keperawatan meliputi :
1. Anamnesis
Anamnesis adalah suatu proses tanya jawab atau komunikasi untuk
mengajak klien dan keluarga bertukar fikiran dan perasaan, mencakup
keterampilan secara verbal dan non verbal, empati dan rasa kepedulian yang
tinggi. Teknik verbal, meliputi pertanyaan terbuka/tertutup, menggali
jawaban dan memvalidasi respon klien. Sedangkan teknik non verbal,
meliputi mendegarkan secara aktif, diam, sentuhan dan kontak mata.
2. Observasi
Observasi merupakan pengamatan pada perilaku serta keadaan klien
untuk memperoleh data tentang masalah kesehatan dan keperawatan klien.
Kegiatan observasi berupa 2S HFT meliputi Sight yaitu seperti kelainan
fisik, perdarahan, terbakar, menangis; Smell yaitu seperti alkohol, darah,
feces, medicine, urine; Hearing yaitu seperti tekanan darah, batuk,
menangis, ekspresi nyeri, heart rate dan ritme
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pemeriksaan head to toe
(pemeriksaan dari ujung kepala hingga ujung kaki) dengan menggunakan
metode atau teknik P.E.(Physical Examination) yang terdiri dari :
a. Inspeksi merupakan teknik yang dilakukan dengan proses observasi yang
dilakukan secara sistematik.
b. Palpasi merupakan suatu teknik yang dilakukan dengan menggunakan
indera peraba.
c. Perkusi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan mengetuk,
dengan tujuan untuk membandingkan kiri-kanan pada setiap daerah
permukaan tubuh dengan menghasilkan suara. Tujuan dari perkusi yaitu
untuk mengetahui lokasi, ukuran, bentuk dan konsistensi jaringan.
Contoh suara-suara yang dihasilkan: Sonor, Redup, Pekak,
Hipersonor/timpani.
d. Auskultasi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan
mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh dengan menggunakan
stetoskop.
4. Dokumentasi
Setelah mendapatkan data yang diperlukan maka perlu
didokumentasikan pada lembar catatan perkembangan pasien, agar tim
kesehatan lainnya juga mengetahui perkembangan pasien serta agar dapat
dipertanggungjawabkan dan dipertanggunggugatkan.
Dalam melakukan pengumpulan data dapat diperoleh data dari berbagai
sumber yaitu sebagai berikut :
1. Sumber data primer
Klien adalah sebagai sumber utama data (primer) dan sehingga dapat
menggali informasi yang sebenarnya secara langsung mengenai masalah
kesehatan klien. Apabila klien tidak dapat memberikan data secara langsung
dikarenakan klien dalam keadaan tidak sadar, mengalami gangguan bicara,
atau pendengaran, dan jika klien masih bayi atau beberapa sebab lainnya,
maka dapat menggunakan data objektif untuk menegakkan diagnosis
keperawatan. Namun, apabila diperlukan klarifikasi data subjektif, maka
dapat dilakukan anamnesis pada keluarga.
2. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari pasien,
yaitu orang terdekat dari pasien, orang tua pasien, suami atau istri pasien,
anak pasien, ataupun teman pasien. Jika klien mengalami gangguan
keterbatasan berkomunikasi misalnya klien bayi atau anak-anak dan
kesadaran yang menurun.
3. Sumber data lainnya
a. Catatan medis dan anggota tim kesehatan lainnya. Dan juga dapat
menggunakan catatan kesehatan terdahulu sebagai sumber informasi
yang dapat mendukung rencana tindakan perawatan.
b. Riwayat penyakit. Pemeriksaan fisik dan catatan perkembangan dapat
diperoleh dari tim terapis. Informasi yang diperoleh adalah hal-hal yang
difokuskan pada identifikasi patologis dan digunakan untuk menentukan
rencana tindakan medis.
c. Konsultasi. Konsultasi diperlukan agar terdapat kesesuaian dalam
menentukan diagnosa medis atau dalam merencanakan dan melakukan
tindakan medis.
d. Hasil pemeriksaan diagnostik. Yang meliputi hasil pemeriksaan
laboratorium dan tes diagnostik, dapat digunakan sebagai data objektif
sesuai dengan masalah kesehatan klien. Dan juga dapat digunakan untuk
membantu mengevaluasi keberhasilan dari tindakan keperawatan.
e. Perawat lain. Jika klien adalah rujukan dari pelayanan kesehatan lainnya,
maka diperlukan informasi dari perawat yang telah merawat klien
sebelumnya. Hal tersebut digunakan untuk kelanjutan dari tindakan
keperawatan yang telah diberikan.
f. Kepustakaan. Untuk mendapatkan data dasar klien yang komprehensif,
dapat juga dengan menggunakan literatur dapat digunakan untuk
membantu dalam memberikan asuhan keperawatan yang benar dan tepat
sesuai dengan masalah kesehatan klien.
G. Metode Analisa Data
Studi kasus ini menggunakan teknik deskriptif yang dilakukan dengan
rancangan studi kasus dan dengan pendekatan asuhan keperawatan yang
meliputi pengkajian keperawatan, penetapan diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan, implementasi dan evaluasi keperawatan. Sedangkan analisa studi
kasus ini adalah dengan membandingkan capaian kriteria hasil kedua pasien.
BAB IV
HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Studi Kasus
Pada bab ini akan menjelaskan hasil studi kasus Asuhan Keperawatan
Kritis Pada Tn. M dan Tn. J dengan Stroke Hemoragik, yang meliputi
pengkajian, intervensi, implementasi, dan evaluasi keperawatan.
Asuhan Keperawatan Kritis Pada Tn. M dilakukan pada tanggal 18-20
Februari 2020, sedangkan Asuhan Keperawatan Kritis Pada Tn. J dilakukan
pada tanggal 27-29 Februari 2020 Di HCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. M dan Tn. J selama 3x24
jam, penulis bekerjasama dengan dokter, perawat HCU, petugas laboratorium,
ahli gizi, pasien, dan keluarga pasien.
1. Pasien 1 (Tn. M)
a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada hari Selasa, 18 Februari 2020 pukul
19.30 WIB di HCU Anggrek 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam
melakukan pengkajian, peneliti menggunakan metode autoanamnesa dan
alloanamnesa, observasi, pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi.
Dalam pengkajian didapatkan data pasien bernama Tn. M berumur 49
tahun, beragama islam, alamat Karanganyar, No Register 01487xxx,
pekerjaan pedagang kerupuk. Pasien datang ke HCU dengan diagnosa
intra cerebral hemoragik (ICH) dan intraventricular hemoragik (IVH).
Keluhan utama, pasien mengalami sesak napas. Riwayat penyakit
sekarang, pasien mendadak mengalami kelemahan anggota gerak kanan
atas bawah sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada hari Jum’at
pagi tanggal 14 Februari 2020, pasien mengeluh bicara pelo dan saat
tidur, pasien tidak bisa dibangunkan oleh keluarganya. Kemudian, pasien
dibawa ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Karanganyar dengan
penurunan kesadaran disertai badan kaku. Di RS PKU Muhammadiyah
Karanganyar, dilakukan CT Scan dan didapatkan hasil adanya
perdarahan di otak. Pasien dirawat di ICU selama 3 hari dan masih
mengalami penurunan kesadaran. Selama dirawat di ICU, pasien
mengalami kejang tonik klonik sebanyak 3x. Kemudian pada hari Selasa
tanggal 18 Februari 2020 pukul 00.20 WIB, pasien dirujuk ke Rumah
Sakit Dr. Moewardi Surakarta, dikarenakan tidak mengalami perubahan
selama dirawat di RS PKU Muhammadiyah Karanganyar. Pasien tiba di
IGD Dr. Moewardi Surakarta pukul 01.00 WIB dan mendapatkan terapi
O2 nasal kanul 3 lpm serta infus NaCl 0,9% 20 tpm. Tekanan darah
172/117 mmHg, MAP 135 mmHg, nadi 110x/menit, RR 21x/menit, suhu
36,5oC, GCS E3M4V1. Kemudian pukul 03.00 WIB, pasien dipindahkan
di HCU Anggrek 2 untuk diberikan terapi lebih lanjut. Di HCU pasien
terpasang bedside monitor, dan didapatkan hemodinamik tekanan darah
pasien 182/123 mmHg, MAP 143 mmHg, nadi 100x/menit, RR
22x/menit, SpO2 100%, mendapatkan terapi O2 3 lpm, terpasang NGT,
dan terpasang urine kateter.
Riwayat penyakit dahulu, keluarga pasien mengatakan pada Bulan
Desember tahun 2019, pasien pernah dirawat di ruang unit stroke Rumah
Sakit Dr. Moewardi Surakarta selama 13 hari dengan stroke perdarahan
dan mengalami kelemahan pada anggota gerak bagian kiri. Setelah
diperbolehkan pulang dari rumah sakit, pasien berobat jalan selama 2
bulan dan dilakukan fisioterapi di rumah. Selama 2 bulan tersebut, pasien
tidak merasakan keluhan apapun, bahkan tekanan darah systole
180mmHg tidak menimbulkan keluhan apapun. Pasien dapat menjalani
aktivitas seperti biasa dengan bekerja berjualan kerupuk. Pasien memiliki
kebiasaan merokok sebelum sakit serta mengonsumsi kopi, dikarenakan
harus berjualan kerupuk pada dini hari. Riwayat penyakit keluarga,
keluarga pasien mengatakan, orang tua pasien, yaitu dari bapak memiliki
riwayat penyakit tekanan darah tinggi. Dari keluarga pasien tidak ada
yang memiliki penyakit menular seperti TBC dan hepatitis.
Untuk pemeriksaan persistem B1-B6 pada pemeriksaan breathing,
pasien bernapas spontan, jalan napas paten, RR 26x/menit, irama napas
ireguler, pengembangan dada simetris kanan kiri, terdapat retraksi dada,
pasien bernapas dengan bantuan O2 nasal kanul 3 lpm, perkusi paru
sonor, auskultasi suara paru vesikuler. Pada pengkajian blood, tidak ada
oedem pada tubuh pasien, TD: 180/103 mmHg, MAP 129 mmHg, nadi
100x/menit, SpO2 100%, CRT < 2 detik, sinus takikardi, konjungtiva
tidak anemis, ictus cordis tampak, palpasi ictus cordis tidak teraba,
perkusi jantung pekak, auskultasi suara jantung normal. Pada pengkajian
brain, keadaan umum pasien lemah, kesadaran pasien somnolen dengan
GCS E3M3V1, reflek fisiologis pupil +/+ dengan diameter 3mm/3mm.
Pada pengkajian bladder, tidak ada hambatan saat BAK, terpasang DC
dengan pengeluaran urine ±1500cc/hari, berwarna kuning jernih bau khas
urine. Pada pengkajian bowel, mukosa bibir lembab, bising usus
15x/menit, perkusi abdomen timpani, tidak ada nyeri tekan abdomen,
terpasang NGT dengan diit cair sonde TKTP 1500 kkal, saat masuk
rumah sakit, pasien belum BAB. Pada pemeriksaan bone, pemeriksaan
kekuatan otot didapatkan nilai 2 pada ekstremitas kanan atas dan bawah,
sedangkan pada ekstremitas kiri atas dan bawah didapatkan nilai 4, tidak
ada deformitas, suhu 37,2oC, akral hangat, warna kulit sawo matang,
terdapat luka dekubitus braden score 10.
Pada terapi dan pemeriksaan penunjang didapatkan terapi obat IV
line yaitu infus NaCl 0,9% 20 tpm di tangan kanan, infuse manitol
100cc/6 jam, injeksi perdipin 1 ampul dalam Nacl 0,9 % 50 cc syringe
pump 10cc/ jam, injeksi citicoline 250 mg/12 jam IV, injeksi ranitidine
50 mg/12 jam IV, injeksi santagesic 1 g/12 jam IV, infuse paracetamol 1
g/12 jam IV, injeksi phenytoin 50 mg/12 jam IV, O2 dengan nasal kanul 3
lpm, diit cair personde TKTP 1500 kkal. Pemeriksaan CT Scan pada
tanggal 13 Februari 2020 di RS PKU Muhammadiyah Karanganyar
didapatkan kesan : gambaran ICH dan IVH, suspect chronic infark DD
thrombo emboli infark. Data penunjang dari pemeriksaan hasil
laboratorium darah rutin pada tanggal 18 Februari 2020, diperoleh
pemeriksaan hematologi, pada hemoglobin 13,3 g/dl, hematokrit 40%,
leukosit 7,3 ribu/ul, trombosit222 ribu/ul, eritrosit 4,49 juta/ul, MCV
89,3 /um, MCH 29,5 pg, MCHC 33,1 g/dl, RDW 14,2%, MPV 8,1 fl,
PDW 16%, eosinofil 0,9%, basofil 0,30%, neutrofil 83,30%, limfosit
8,80%, monosit 4,70%, PT 12,7 detik, APTT 30,3 detik, INR 0,970.
Pemeriksaan kimia klinik GDS 101 mg/dl, SGOT 12 u/l, SGPT 20 u/l,
natrium darah 147 mmol/L, kalium darah 3,2 mmol/L, calcium ion 1,22
mmol/L, HbA1c 5,7%, GDP 87 mg/dl, glukosa 2 jam PP 143 mg/dl,
albumin 3,6 g/dl, asam urat 6,1 mg/dl, cholesterol total 167 mg/dl,
cholesterol LDL 117 mg/dl, cholesterol HDL 26 mg/dl, trigliserida 186
mg/dl. Pemeriksaan kimia klinik analisa gas darah pada tanggal 18
Februari 2020 didapatkan PH 7,534, BE 6,0 mmol/L, PCO2 33,9 mmHg,
PO2 133,1 mmHg, HCO3 28,8 mmol/L, total CO2 29,8 mmol/L, SPO2
98,9%, laktat arteri 2,00 mmol/L. Pemeriksaan foto thorax AP pada
tanggal 18 Februari 2020, didapatkan cardiomegali dengan oedem
pulmonal.
b. Diagnosa Keperawatan
Menurut Keliat, Mediani, dan Tahlil (2018), pada kasus pertama dapat
ditegakkan diagnosa :
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan
serebrovaskuler, suplai darah ke otak menurun.
Diagnosa ini didukung dengan data obyektif yaitu keadaan umum
lemah, kesadaran somnolen dengan GCS E3M3V1, TD 180/103
mmHg, MAP 129 mmHg, nadi 100 x/menit, suhu 37,2oC, dan
pemeriksaan CT Scan didapatkan kesan : gambaran ICH dan IVH,
suspect chronic infark DD thrombo emboli infark.
2) Ketidakfektifan pola napas berhubungan dengan gangguan neurologis.
Hasil dari pengkajian tidak didapatkan data fokus subyektif,
dikarenakan pasien mengalami penurunan kesadaran. Data fokus yang
menunjang diagnosa tersebut yaitu data obyektif meliputi pasien
tampak sesak napas, RR 26 x/menit, SpO2 100%, irama napas
irregular, pasien bernapas dengan nasal kanul 3 lpm, tampak terlihat
retraksi dada.
c. Intervensi
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015) pada kasus pertama sesuai diagnose
yang ditegakkan, dapat dirumuskan intervensi keperawatan :
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan
serebrovaskuler, suplai darah ke otak menurun. Tujuan yang
diharapkan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x
24 jam diharapkan perfusi jaringan otak kembali efektif dengan
kriteria hasil tekanan systole (100-120mmHg) dan diastole (70-
90mmHg), tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
(TIK < 15 mmHg), tingkat kesadaran membaik. Intervensi yang akan
dilakukan adalah observasi vital sign, observasi kesadaran dan GCS
pasien, beri posisi elevasi kepala 15o-30o, pertahankan posisi kepala,
leher, dan punggung, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
terapi diuretic dan analgetik.
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan
neurologis. Tujuan yang diharapkan adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola napas kembali efektif
dengan kriteria hasil menunjukkan sesak napas berkurang, irama
napas regular, dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal 16-
20x/menit, tidak menggunakan otot bantu pernapasan. Intervensi yang
akan dilakukan adalah monitor vital sign, monitor frekuensi dan irama
napas, auskultasi suara paru, beri posisi elevasi kepala 15o-30o,
kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen.
d. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah
disusun sebelumnya. Pada pasien kasus pertama implementasi dilakukan
tanggal 18-20 Februari 2020.
1) Implementasi yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 2020
adalah sebagai berikut: Pada pukul 19.30 mengobservasi keadaan dan
tanda-tanda vital pasien dengan data obyektif keadaan pasien tampak
lemah, kesadaran somnolen, GCS E3M3V1, TD 180/103 mmHg,
MAP : 129 mmHg, RR 26 x/menit, nadi 100 x/menit, suhu 37,20C,
SpO2 100%, irama napas ireguler, suara napas vesikuler,
pengembangan dada simetris kanan kiri, terdapat retraksi dada, pasien
dipasang infus Nacl 0,9% 20 tpm, terpasang O2 nasal kanul 3 liter per
menit. Pada pukul 20.15 mempertahankan posisi elevasi kepala 30o
dengan data obyektif pasien tampak lebih nyaman.
2) Implementasi yang dilaksanakan pada tanggal 19 Februari 2020
adalah sebagai berikut: pada pukul 14.00 memonitor keadaan umum
dan tanda-tanda vital dengan data obyektif pasien tampak lemah,
tekanan darah 179/114 mmHg, MAP : 136 mmHg, RR 23 x/menit,
nadi 94 x/menit, suhu 36,80C, SpO2 100%. Pada pukul 14.05
memonitor pernapasan pasien, pola napas pasien ireguler, suara napas
vesikuler, dan tidak ada tambahan bunyi napas, terdapat retraksi dada.
Pada pukul 14.30 memonitor kesadaran dan GCS pasien dengan
respon pasien masih tampak lemah, kesadaran somnolen, GCS
E3M3V2. Pada pukul 14.40 mempertahankan terapi oksigen nasal
kanul 3 lpm dengan respon, pernapasan pasien tampak lebih
terkontrol. Pada pukul 16.00 mempertahankan posisi elevasi kepala
30o supaya pasien lebih leluasa dalam bernapas dan mempertahankan
posisi kepala. Pada pukul 18.05 memberikan terapi diuretic infuse
manitol 100cc.
3) Implementasi yang telah dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2020
adalah sebagai berikut: pada pukul 15.00 memonitor keadaan umum
dan tanda-tanda vital dengan respon pasien mengatakan pusing, dan
sedikit sesek, data obyektif keadaan pasien tampak lemah, tekanan
darah 153/95 mmHg, MAP : 114 mmHg, RR 22 x/menit, nadi 90
x/menit, suhu 36,50C, SpO2 100%, CRT < 2 detik, irama napas
regular, suara napas vesikuler, pengembangan dada simetris kanan
kiri, tidak ada retraksi dada. Pada pukul 15.10 memonitor kesadaran
dan GCS dengan respon pasien masih tampak lemah, kesadaran
delirium, GCS E3M5V3. Pada pukul 15.45 memberikan posisi yang
nyaman supaya pasien dapat beristirahat dengan nyaman.
Mempertahankan terapi O2 3 lpm supaya mengurangi sesak napas.
e. Evaluasi Keperawatan
Setelah melakukan implementasi tanggal 18-20 Februari 2020
sesuai intervensi yang disusun, selanjutnya dilakukan evaluasi pada
tanggal 20 Februari 2020, evaluasi terdiri dari data subjektif (S), data
objektif (O), assesment (A) dan planning (P). Evaluasi diagnosa pertama
dengan ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
gangguan serebrovaskuler, suplai darah ke otak menurun yaitu untuk data
subyektif (S) : pasien mengatakan pusing, data obyektif (O) : KU lemah,
kesadaran delirium, GCS E3M5V3, tekanan darah 153/95 mmHg, MAP :
114 mmHg, nadi 90x/menit, RR 22x/menit, suhu 36,5oC, SpO2 100%,
CRT < 2 detik. Dari data tersebut didapatkan analisa (A) : masalah
ketidakefektifan perfusi jaringan otak teratasi sebagian, untuk planning
(P) : lanjutkan intervensi di HCU observasi tanda-tanda vital, observasi
kesadaran dan GCS pasien, lanjutkan terapi diuretic dan analgetik.
Evaluasi diagnose kedua dengan ketidakefektifan pola napas
berhubungan dengan gangguan neurologis yaitu data subyektif (S) :
pasien mengatakan sedikit sesek, data obyektif (O) : pasien bernapas
spontan, irama napas regular, suara napas vesikuler, pasien tampak
lemah, tekanan darah 153/95 mmHg, RR 22 x/menit, nadi 90x/menit,
suhu 36,50C, SpO2 100%, CRT < 2 detik, pengembangan dada simetris
kanan kiri, tidak ada retraksi dada. Dari data tersebut didapatkan analisa
(A): masalah ketidakefektifan pola napas teratasi sebagian, untuk
planning (P): lanjutkan intervensi di HCU observasi tanda-tanda vital,
monitor frekuensi dan irama napas, auskultasi suara napas, lanjutkan
terapi oksigen.
2. Pasien 2 (Tn. J)
a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada hari Kamis, 27 Februari 2020 pukul
11.00 WIB di HCU Anggrek 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pada
kasus ini peneliti melakukan pengkajian dengan metode autoanamnesa
dan alloanamnesa, observasi, pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi.
Dalam pengkajian didapatkan data pasien bernama Tn. J berumur 71
tahun, beragama islam, alamat Boyolali, No Register 01497xxx,
pensiunan. Pasien datang ke HCU dengan diagnosa intra cerebral
hemoragik (ICH).
Keluhan utama, pasien mengalami sesak napas. Riwayat penyakit
sekarang, pasien mendadak mengalami penurunan kesadaran dan sulit
diajak komunikasi disertai dengan muntah sejak ± 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien mengeluh mengalami kelemahan anggota gerak kiri
atas bawah. Sebelumnya, pasien biasa bangun tidur pukul 05.00 WIB
dengan memanggil anaknya atau bangun sendiri. Namun, saat itu pasien
dibangunkan anaknya dengan kondisi kaki dingin, batuk-batuk, muntah,
serta mata kiri sulit untuk membuka. Lalu, dipanggilkan ambulan dari
RSI Boyolali dan dilakukan CT Scan di RS UNS, dan didapatkan hasil
adanya perdarahan di otak. Saat di RSI Boyolali, pasien dirawat selama 4
hari. Karena kurang lengkapnya peralatan, pasien dirujuk ke RSUD Dr.
Moewardi pada hari Rabu, 26 Februari 2020 pukul 15.00 WIB. Di IGD,
pasien mendapatkan terapi O2 nasal kanul 3 lpm, dan infus NaCl 0,9% 20
tpm. Tekanan darah 160/93 mmHg, MAP 115 mmHg, nadi 80x/menit,
RR 20x/menit, suhu 36,5o C, GCS E3M5V1. Kemudian pada pukul 18.00
WIB, pasien dipindahkan di HCU Anggrek 2 untuk diberikan terapi lebih
lanjut. Di HCU, pasien terpasang bedside monitor dengan GCS E3M5V1
dan didapatkan hemodinamik tekanan darah pasien 187/103 mmHg,
MAP 131 mmHg, nadi 121x/menit, RR 32x/menit, SpO2 100%,
mendapatkan terapi O2 3 lpm, terpasang NGT, dan terpasang kateter
urine.
Riwayat penyakit dahulu, keluarga pasien mengatakan, pasien anti
terhadap obat-obatan dan dokter. Jika merasa sakit, pasien hanya
meminum jamu herbal. Pasien memiliki kebiasaan rajin berolahraga di
rumah. Namun, pasien juga memiliki kebiasaan merokok sebelum sakit
yaitu dapat menghabiskan 2 bungkus rokok per hari. Keluarga pasien
mengatakan pada tahun 2010, pasien makan sate kambing dalam 2 hari
berturut-turut di acara nikahan keluarga. Saat itu juga, baru diketahui jika
pasien mempunyai riwayat tekanan darah tinggi. Pada tahun 2014, pasien
pernah dirawat di rumah sakit dengan riwayat penyakit Diabetes Melitus.
Saat pasien sakit, pasien mulai mengurangi rokoknya dan sekarang
pasien hanya merokok 1 batang dalam 1 bulan atau jika ia menginginkan.
Setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, pasien berobat jalan dan
menggunakan insulin selama 1 tahun. Setelah 1 tahun, pasien tidak
menggunakan insulin lagi. Pasien dapat menjalani aktivitas seperti biasa
dan tidak merasakan keluhan apapun. Riwayat penyakit keluarga,
keluarga pasien mengatakan, dari keluarga pasien yaitu adiknya memiliki
riwayat penyakit Diabetes Melitus. Kemudian, kakak pasien meninggal
karena penyakit Diabetes Melitus, serta kakak pasien lainnya meninggal
karena penyakit jantung. Keluarga pasien tidak ada yang memiliki
penyakit menular seperti TBC dan hepatitis.
Untuk pemeriksaan persistem B1-B6 pada pemeriksaan breathing,
pasien bernapas spontan, jalan napas paten, RR 30x/menit, irama napas
ireguler, pengembangan dada simetris kanan kiri, pasien bernapas dengan
bantuan O2 nasal kanul 3 lpm, ada retraksi dada, perkusi paru sonor,
auskultasi suara paru vesikuler. Pada pengkajian blood, tidak ada oedem
di tubuh, TD: 207/107 mmHg, MAP 140 mHg, nadi 110x/menit, SpO2
99%, CRT <2 detik, irama jantung sinus takikardi, konjungtiva tidak
anemis, ictus cordis tampak, palpasi ictus cordis tidak teraba, perkusi
jantung pekak, auskultasi suara jantung normal. Pada pengkajian brain
keadaan pasien lemah, kesadaran pasien delirium dengan GCS E3M5V2..
Reflek fisiologis pupil +/+ dengan diameter 3mm/3mm. Pada pengkajian
bladder, tidak ada hambatan saat BAK, terpasang DC dengan
pengeluaran urine ±1700cc/hari, berwarna kuning jernih bau khas urine.
Pada pengkajian bowel, mukosa bibir lembab, bising usus 12x/menit,
perkusi abdomen timpani, tidak ada nyeri tekan abdomen, terpasang
NGT dengan diit cair sonde TKTP 1700 kkal, saat masuk rumah sakit,
pasien belum BAB. Pada pemeriksaan bone, pemeriksaan kekuatan otot
didapatkan nilai 5 pada ekstremitas kanan atas dan bawah, sedangkan
pada ekstremitas kiri atas dan bawah didapatkan nilai 1, tidak ada
deformitas, suhu 36,8oC, akral hangat, warna kulit sawo matang, terdapat
luka dekubitus braden score ≤ 9.
Pada terapi dan pemeriksaan penunjang didapatkan terapi obat IV
line yaitu infus NaCl 0,9% 20 tpm di tangan kanan, injeksi ranitidine 50
mg/12 jam IV, infuse paracetamol 1 g/12 jam IV, injeksi ampicilin 1 g/8
jam IV, totilac (1 flas) 100cc/12jam IV, allopurinol 300mg/24 jam PO,
amlodipin 20mg/24 jam PO, injeksi nicardipine 1 ampul dalam Nacl 0,9
% 50 cc syringe pump 10cc/jam, injeksi novorapid 14-14-14 IU SC,
injeksi lantus 0-0-0-18 IU SC, O2 dengan nasal kanul 3 lpm, diit cair
personde TKTP 1700 kkal. Data penunjang dari pemeriksaan hasil
laboratorium darah rutin pada tanggal 26 Februari 2020. Diperoleh hasil
pemeriksaan hematologi, pada hemoglobin 16,7 g/dl, hematokrit 52%,
leukosit 17,0 ribu/ul, trombosit 301 ribu/ul, eritrosit 5,52 juta/ul, MCV
94,4 /um, MCH 30,3 pg, MCHC 32,1 g/dl, RDW 14,4%, MPV 9,8 fl,
PDW 16%, eosinofil 0,10%, basofil 0,20%, neutrofil 84,60%, limfosit
9,70%, monosit 5,40%, PT 13,7 detik, APTT 26,4 detik, INR 1060.
Pemeriksaan kimia klinik tanggal 26 Februari 2020 didapatkan hasil
GDS 384 mg/dl, SGOT 41 u/l, SGPT 18 u/l, creatinin 3,1 mg/dl, ureum
85 mg/dl, natrium darah 152 mmol/L, kalium darah 3,5 mmol/L, kalsium
darah 1,09 mmol/L. Pemeriksaan foto thorax PA pada tanggal 26
Februari 2020 didapatkan kesimpulan: pulmo tak tampak kelainan, cor
tidak valid untuk dinilai. Pemeriksaan CT Scan pada tanggal 26 Februari
2020 didapatkan hasil: ICH di cerebellum kanan, lacunar infark di globus
palidus kanan, mucocele sinus maksilaris kiri, terpasang gastric tube
melali cavum nasi kiri.
b. Diagnosa Keperawatan
Menurut Keliat, Mediani, dan Tahlil (2018) pada kasus kedua dapat
ditegakkan diagnosa :
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan hipertensi
Diagnosa ini didukung dengan data obyektif yaitu keadaan pasien
lemah, kesadaran pasien delirium dengan GCS E3M5V2, TD 207/107
mmHg, MAP 140 mmHg, nadi 110x/menit, suhu 36,8oC, SpO2 99%,
dan pemeriksaan CT Scan stroke 26 Februari 2020 didapatkan
kesimpulan : ICH di cerebellum kanan, lacunar infark di globus
palidus kanan, mucocele sinus maksilaris kiri, terpasang gastric tube
melali cavum nasi kiri.
2) Ketidakfektifan pola napas berhubungan dengan gangguan neurologis.
Hasil dari pengkajian tidak didapatkan data fokus subyektif,
dikarenakan pasien mengalami penurunan kesadaran. Data fokus yang
menunjang diagnosa tersebut yaitu data obyektif meliputi pasien
tampak sesak napas, RR 30x/menit, SpO2 99%, pasien bernapas
dengan bantuan O2 nasal kanul 3 lpm, terdapat retraksi dada, irama
napas ireguler.
c. Intervensi
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015) pada kasus pertama sesuai diagnose
yang ditegakkan, dapat dirumuskan intervensi keperawatan :
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan hipertensi.
Tujuan yang diharapkan adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan perfusi jaringan otak
kembali efektif dengan kriteria hasil tekanan systole (100-120mmHg)
dan diastole (70-90mmHg), tidak ada tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial (tidak lebih dari 15 mmHg), tingkat kesadaran
membaik. Intervensi yang akan dilakukan adalah observasi vital sign,
observasi kesadaran dan GCS pasien, beri posisi elevasi kepala 15o-
30o pertahankan posisi kepala, leher, dan punggung, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian terapi diuretic dan analgetik.
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan
neurologis. Tujuan yang diharapkan adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola napas kembali efektif
dengan kriteria hasil menunjukkan sesak napas berkurang, irama
napas reguler, frekuensi pernapasan dalam rentang normal
16-20x/menit, tidak menggunakan otot bantu pernapasan. Intervensi
yang akan dilakukan adalah monitor vital sign, monitor frekuensi dan
irama napas, auskultasi suara paru, beri posisi elevasi kepala 15o-30o,
kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen.
d. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah
disusun sebelumnya. Pada pasien kasus kedua, implementasi dilakukan
tanggal 27-29 Februari 2020.
1) Implementasi yang dilaksanakan pada tanggal 27 Februari 2020
adalah sebagai berikut: Pada pukul 11.00 memonitor kesadaran dan
GCS pasien dengan respon pasien tampak lemah dengan kesadaran
delirium, GCS E3M5V2, pasien tampak gelisah, tekanan darah
207/107 mmHg, MAP : 140 mmHg, RR 30 x/menit, nadi 110 x/menit,
suhu 36,80C, SpO2 99%, pasien terpasang infus Nacl 0,9% 20 tpm,
terpasang O2 nasal kanul 3 liter per menit, irama napas ireguler, suara
napas vesikuler, pengembangan dada kanan kiri simetris, terdapat
retraksi dada. Pada pukul 11.50 mempertahankan posisi kepala dengan
elevasi kepala 30o dengan respon pasien tampak lebih nyaman dan
lebih leluasa bernapas.
2) Implementasi yang telah dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2020
adalah sebagai berikut: pada pukul 15.00 memonitor keadaan umum
dan tanda-tanda vital dengan tekanan darah 227/128 mmHg, MAP :
161 mmHg, RR 24 x/menit, nadi 111 x/menit, suhu 36,50C, SpO2
98%, irama napas regular, suara napas vesikuler, tidak ada retraksi
dada. Pada pukul 15.05 memonitor status kesadaran dan GCS pasien
dengan respon pasien masih tampak lemah, dengan kesadaran apatis,
GCS E3M5V4. Pada pukul 15.30 mempertahankan terapi oksigen 3
lpm respon tampak pernapasan pasien terkontrol.
3) Implementasi yang telah dilaksanakan pada tanggal 29 Februari 2020
adalah sebagai berikut: pada pukul 10.00 memonitor keadaan umum
dan tanda-tanda vital dengan respon pasien mengatakan masih sedikit
pusing, data obyektif keadaan pasien sedikit lemah, tekanan darah
189/106 mmHg, MAP : 137 mmHg, RR 18 x/menit, nadi 100 x/menit,
suhu 36,70C, SpO2 100%, irama napas regular, suara napas vesikuler,
pengembangan dada kanan kiri simetris, tidak ada retraksi dada, CRT
< 2 detik. Pada pukul 10.45 memonitor kesadaran dan GCS pasien
dengan respon pasien masih sedikit lemah, kesadaran apatis, GCS
E3M5V5. Pada pukul 11.30 mempertahankan posisi elevasi kepala 30o
dan memberikan posisi yang nyaman, respon pasien lebih nyaman dan
pasien tampak lebih leluasa bernapas. Pada pukul 12.00 memberikan
terapi obat paracetamol 1g.
e. Evaluasi
Setelah melakukan implementasi tanggal 27-29 Februari 2020
sesuai intervensi yang disusun, selanjutnya dilakukan evaluasi pada
tanggal 29 Februari 2020. Evaluasi terdiri dari data subjektif (S), data
objektif (O), assesment (A) dan planning (P). Evaluasi diagnosa pertama
dengan ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
hipertensi yaitu untuk data subyektif (S) : pasien mengatakan masih
sedikit pusing, data obyektif (O) : keadaan pasien sedikit lemah,
kesadaran apatis, GCS E3M5V5, tekanan darah 189/106 mmHg, MAP :
137 mmHg, RR 18 x/menit, nadi 100 x/menit, suhu 36,70C, SpO2 100%,
CRT < 2 detik. Dari data tersebut didapatkan analisa (A) : masalah
ketidakefektifan perfusi jaringan otak teratasi sebagian, untuk planning
(P) : lanjutkan intervensi di HCU observasi tanda-tanda vital, observasi
kesadaran dan GCS pasien, lanjutkan terapi diuretic dan analgetik.
Evaluasi diagnose kedua dengan ketidakefektifan pola napas
berhubungan dengan gangguan neurologis yaitu data subyektif (S) :
pasien mengatakan sesek berkurang, data obyektif (O) : pasien bernapas
spontan, irama napas regular, suara napas vesikuler, pasien tampak
sedikit lemah, tekanan darah 189/106 mmHg, RR 18 x/menit, nadi 100
x/menit, suhu 36,70C, SpO2 100%, CRT < 2 detik, pengembangan dada
simetris kanan kiri, tidak ada retraksi dada. Dari data tersebut didapatkan
analisa (A): masalah ketidakefektifan pola napas teratasi sebagian, untuk
planning (P): lanjutkan intervensi Planning (P) : lanjutkan intervensi di
HCU observasi tanda-tanda vital, monitor frekuensi dan irama napas,
auskultasi suara napas, lanjutkan terapi oksigen.
B. Pembahasan
Pada sub bab ini akan membahas asuhan keperawatan kritis pada Tn. M
dan Tn. J dengan Stroke Hemoragik di HCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta
yang memiliki persamaan dan perbedaan. Pembahasan ini meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pada pengkajian didapatkan data antara pasien kasus pertama dan
kedua memiliki persamaan serta perbedaan. Pengkajian dilakukan dengan
mengkaji identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pekerjaan dan kebiasaan
serta pemeriksaan fisik B1 – B6. Hal ini sejalan dengan Muttaqin (2012).
Data yang didapatkan dari kedua responden berbeda, hal ini sesuai dengan
kondisi responden masing masing. Namun, secara umum data fokus yang
ditemukan dalam kasus nyata tidak jauh berbeda dengan data fokus yang
terdapat dalam teori. Data kedua responden memiliki kesamaan dalam
masalah oksigenasi yaitu masalah pola napas dan ketidakefektifan perfusi
jaringan otak.
a. Tanda dan gejala yang timbul pada pasien dan sesuai dengan teori
Pada kedua pasien didapatkan data tanda dan gejala yang mucul
yaitu pada Tn. M dan Tn. J sama-sama mengalami penurunan kesadaran
dan sulit diajak komunikasi. Gejala yang muncul pada Tn. J yaitu Tn. J
mengalami muntah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Hal itu
dikarenakan terjadi peningkatan tekanan intrakrainial pada kedua pasien.
Menurut Amri (2017) beberapa penyebab umum peningkatan TIK
meliputi neoplasma, perdarahan, trauma (hematom intraserebral,
epidural, dan subdural, kontusio, higroma), dan infeksi (abses, empiema
subdural). Sedangkan gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK
adalah terjadinya muntah proyektil. Hal ini sejalan dengan Batticaca
(2011) yang mengatakan bahwa stroke biasanya terjadi pada saat
penderita sedang beraktivitas atau emosinya aktif. Gejala berupa nyeri
kepala hebat seperti mau pecah disertai muntah-muntah, kuduk menjadi
kaku, hemiparesis atau hemiplegia (kelemahan anggota gerak) terjadi
sejak awal serangan, kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma
(65% terjadi kurang dari ½ jam-2 jam sedangkan < 2% terjadi setelah 2
jam – 19 hari). Pada Tn. M didapatkan hasil CT Scan terdapat multiple
lesi hipodens di lobus temporo parietalis dekstra.
b. Breathing (Respirasi)
Pada kasus Tn. M dan Tn. J diperoleh data obyektif pasien tampak
sesak napas RR Tn. M 26x/menit, dan Tn. J 30x/menit, pengembangan
dada simetris kanan kiri, terdapat retraksi dada. Adapun hubungan erat
status neurologis dengan pernafasan yaitu kerusakan neurologis dapat
menyebabkan terancamnya jalan napas atas sehingga mempengaruhi
pernapasan (Sari & Halimuddin, 2018). Kemudian juga didapatkan data
perbedaan pada saturasi oksigen kedua pasien, pada Tn. M saturasi
oksigennya 100% sedangkan Tn. J saturasi oksigennya 99%. Perbedaan
antara keduanya sangat berhubungan erat antara frekuensi napas dengan
nilai saturasi oksigen. Tarwoto dan Wartonah (2015) mengatakan pada
sistem hematologi sel darah yang sangat berperan dalam oksigenasi
adalah sel darah merah, karena di dalamnya terdapat hemoglobin yang
mampu mengikat oksigen. Pada Tn. M didapatkan data eritrosit nya 4,49
juta/ul yang mana hasil tersebut kurang dari nilai normalnya yaitu 4,50-
5,90 juta/ul. Sedangkan Tn. J jumlah eritrositnya 5,52 juta/ul. Namun,
perbedaan saturasi oksigen juga dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini
sejalan dengan Pertami, Munawaroh, dan Rosmala (2019) Perubahan
nilai saturasi yang terjadi pada setiap responden berbeda hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara faktor yang mempengaruhi
perubahan nilai saturasi oksigen, meliputi faktor usia, jenis kelamin, dan
pekerjaan atau aktivitas setiap harinya. Pada studi kasus ini, didapatkan
responden Tn. M dengan usia 49 tahun dan Tn. J usia 71 tahun.
Dijelaskan lagi oleh Pertami, Munawaroh, dan Rosmala (2019), bahwa
semakin bertambahnya usia maka peningkatan nilai saturasi semakin
lambat. Hal tersebut dikarenakan menurunnya beberapa fungsi organ
seperti jantung. Usia sebagai salah satu sifat karakteristik tentang organ,
bertambahnya umur berhubungan dengan proses penuaan, dimana semua
organ tubuh mengalami kemunduran fungsi termasuk pembuluh darah.
Pembuluh darah dalam proses penuaan akan mengalami kemunduran
fungsi, seperti pembuluh darah menjadi tidak elastis terutama bagian
endotel yang mengalami penebalan, sehingga mengakibatkan lumen
pembuluh darah semakin sempit dan berdampak pada penurunan aliran
darah ke seluruh jaringan. Hal ini berhubungan dengan pengantaran
oksigen ke jaringan menjadi tidak adekut. Sehingga akan mempengaruhi
saturasi oksigen pada responden. Adanya hubungan yang lemah dengan
arah korelasi negatif antara RR dan SpO2 menunjukkan bahwa upaya
tubuh dalam meningkatkan RR merupakan pertanda adanya hipoksia
jaringan yang ditandai oleh adanya penurunan saturasi oksigen atau
SpO2. Upaya tersebut merupakan pertanda tubuh sedang melakukan
mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi
jaringan cerebral. Adanya kerusakan jaringan otak akan memicu
terjadinya gangguan sistemik yang salah satunya berupa
hipermetabolisme pada jaringan otak. Cedera otak yang diikuti dengan
adanya kenaikan penggunaan energi dan metabolisme basal akan memicu
kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dari kondisi normal (Werner dalam
Ristanto, 2017). Maka secara reflek tubuh akan berusaha untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan menjaga perfusi jaringan otak dengan
cara meningkatkan jumlah RR per menit.
Pada patofisiologi stroke terjadi herniasi serebri yang akan
menekan medulla oblongata yang menjadi pusat pernapasan dan
mengakibatkan terganggunya pernapasan (Oktavianus, 2014). Pada pons
terdapat dua pusat pernapasan yaitu pusat apneutik dan pusat
pneumotaksis. Pusat apneutik terletak di formasio retikularis pons bagian
bawah. Fungsi pusat apneutik adalah mengoordinasi transisi antara
inspirasi dan ekspirasi dengan cara mengirimkan rangsangan impuls pada
area inspirasi dan menghambat ekspirasi. Sementara itu, pusat
pneumotaksis terletak si pons bagian atas. Impuls dari pusat
pneumotaksis menghambat aktivitas neuron inspirasi sehingga inspirasi
dihentikan dan terjadi ekspirasi. Fungsi dari pusat pneumotaksis adalah
membatasi durasi inspirasi, tetapi meeningkat frekuensi respirasi
sehingga irama respirasi menjadi halus dan teratur, proses inspirasi dan
ekspirasi berjalan secara teratur pula (Tarwoto & Wartonah, 2015). Dapat
disimpulkan bahwa apabila hemoragik serebral terjadi pada bagian otak
yang mempengaruhi pusat pernafasan maka pernafasan pasien akan
terdampak pula baik kualitas maupun kuantitas.
Kedua pasien sama-sama mendapatkan terapi oksigen 3 liter per
menit. Dari dokter diberikan advice 3 liter per menit karena sesuai
penelitian yang dilakukan oleh Ninuk dan Abu Bakar dalam Setyalingga
(2018), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada responden dengan
pemakaian oksigen dengan flow rata-rata 3 lpm tidak ditemukan adanya
efek yang berarti pada mukosa hidung maupun keluhan tidak nyaman
pada daerah hidung responden.
c. Blood (Kardiovaskuler)
Pengkajian pada darah dilakukan untuk menilai apakah sistem
kardiovaskuler berfungsi dengan baik dan efektif. Pada kedua pasien
mengalami tekanan darah tinggi yaitu pada Tn. M tekanan darahnya
180/103 mmHg, dan pada Tn J tekanan darahnya 207/107mmHg.
Perbedaan tekanan darah antara keduanya dikarenakan oleh faktor usia.
Tn M berusia 49 tahun, sedangkan Tn. J berusia 71 tahun. Hal tersebut
sejalan dengan Supriyono (2019) bahwa dijelaskan dalam penelitian lain
yaitu seiring dengan bertambahnya usia menjelang 50 tahun keatas, kerja
jantung akan berkurang 1% dalam setiap tahunnya. Umur berkaitan
dengan kinerja karena pada umur yang menua, akan diikuti proses
degenerasi organ tubuh yang menyebabkan kemampuan organ menurun
serta menyebabkan penurunan fungsi-fungsi organ. Sehingga bisa
berakibat naiknya tekanan darah terutama tekanan darah systole.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko yang kuat
yang dapat menyebabkan stroke. Menurut Qurbany dan Wibowo (2016),
tekanan darah sistemik yang meningkat akan membuat pembuluh darah
serebral berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan
tekanan darah. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan hialinisasi pada
lapisan otot pembuluh darah serebral yang mengakibatkan diameter
lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya
karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi
dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekan darah sistemik. Bila
terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada
dinding kapiler menjadi tinggi yang mengakibatkan terjadi hyperemia,
edema, dan kemungkinan perdarahan otak.
Pada kedua pasien didapatkan hasil, nadi Tn. M 100 x/menit dan
Tn. J 110x/menit, didapatkan gambaran EKG sinus takikardi pada kedua
pasien. ‘Alim (2009) menjelaskan bahwa sinus takikardi adalah irama
sinus yang frekuensinya 100-150 kali/menit. Morton (2013) menjelaskan
pada pasien terjadi gambaran EKG sinus takikardi karena terdapat
gangguan perdarahan pada daerah medula oblongata yang merupakan
pusat yang mengatur fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung,
dan tonus vasomotor. Supriyono (2019) menjelaskan tekanan nadi
(perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik) sering meningkat
pada orang lanjut usia dengan hipertensi. Pada keadaan ini dapat terjadi
tekanan sistolik sangat tinggi di atas normal, tetapi tekanan diastolik
mungkin normal atau rendah. Kondisi ini disebut hipertensi sistolik
terisolasi. Tekanan nadi yang tinggi pada orang lanjut usia dengan
hipertensi atau hipertensi sistolik terisolasi disebabkan karena
peningkatan kekakuan arteri, yang biasanya menyertai penuaan dan dapat
diperberat oleh tekanan darah tinggi.
Ditambah lagi kedua pasien memiliki riwayat hipertensi dan
kebiasaan merokok yang dapat memicu terjadinya stroke serta pasien
pertama juga memiliki riwayat penyakit stroke hemoragik. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa faktor risiko stroke yang dapat dikontrol yaitu pernah
terserang stroke, hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia, merokok, gaya hidup tidak sehat (Indrawati, Sari, &
Dewi, 2016)
d. Brain (Neurologis)
Menurut Muttaqin (2012) pengkajian neurologis yaitu dengan
dilakukan penilaian Glasgow Coma Scale (GCS) yang menilai tingkat
kesadaran berdasarkan respon membuka mata, motorik, dan verbal.
Berdasarkan teori setelah dilakukan pemeriksaan GCS didapatkan data
bahwa pasien mengalami gangguan kesadaran yang terjadi karena adanya
gangguan sirkulasi di otak. Menurut Yusuf dan Rahman (2019)
penurunan tingkat kesadaran ini dipengaruhi oleh beberapa factor seperti
sirkulasi yang tidak adekuat sehingga transport oksigen ke jaringan tidak
adekuat dan menimbulkan hipoksia otak, gangguan pada otak akibat
trauma dan nontrauma, sepsis dan intoksikasi, gangguan pada metabolic
tubuh, ketidakseimbangan elektrolit tubuh yang mengganggu kerja organ
dan kerja listrik otak. Nilai GCS pada pasien pertama yaitu E3M3V1,
sedangkan pada pasien kedua GCSnya E3M5V2 dengan kesadaran
somnolen untuk pasien pertama, sedangkan pada pasien kedua adalah
delirium. Berkurangnya suplai darah menuju ke otak dapat menyebabkan
iskemia otak sedangkan penekanan yang diakibatkan oleh darah yang
mengisi ruang di otak dapat menyebabkan tertekannya ARAS
(Ascending Reticular Activation System). Kedua mekanisme tersebut
berkaitan dengan kesadaran pasien stroke pendarahan. Semakin parah
derajat stroke perdarahan maka tingkat kesadaran pasien akan semakin
menurun (Hartanto, Basuki, & Juli, 2019).
e. Bone (Muskuloskeletal)
Menurut Wiwit dalam Yazid (2017) menyatakan bahwa kematian
jaringan otak pada pasien stroke dapat menyebabkan hilangnya fungsi
yang dikendalikan oleh jaringan tersebut, salah satu gejala yang
ditimbulkan adalah kelemahan otot pada anggota gerak tubuh dan juga
menurut Junaidi dalam Yazid (2017) bahwa serangan stroke dapat
menyebabkan kelemahan dan kelumpuhan pada salah satu atau bahkan
kedua sisi bagian tubuh pasien.
Mardjono dalam Mahmudah (2014) menjelaskan bahwa pada
keadaan fisiologis, jumlah darah yang mengalir ke otak (Cerebral Blood
Flow= CBF) ialah 50-60 ml per 100gr jaringan otak. Dari jumlah darah
tersebut satu pertiganya disalurkan melalui tiap arteri karotis interna dan
satu pertiga sisanya disalurkan melalui susunan vertebrobasilar. Pada
stroke, terjadi gangguan peredaran darah pada daerah otak tertentu.
Akibat penurunan CBF regional suatu daerah otak terisolasi dari
jangkauan aliran darah, yang mengangkut O2 dan glukosa yang sangat
diperlukan untuk metabolisme oksidatif serebral. Daerah yang terisolasi
itu tidak berfungsi lagi dan arena itulah timbul manifestasi deficit
neurologis berupa hemiparalisis, hemihipsetesia, hemiparestesia yang
bisa juga disertai dengan defisit fungsi luhur seperti afasia. Timbulnya
infark serebral regional dapat juga disebabkan oleh pecahnya arteri
serebral. Daerah distal dari tempat dinding arteri pecah, tidak lagi
mendapat pasokan darah sehingga daerah tersebut menjadi iskemik dan
kemudian menjadi infark. Daerah infark tersebut tidak berfungsi lagi
sehingga menimbulkan defisit neurologis, yang biasanya berupa
hemiparalisis.
Pada kasus Tn. M dan Tn. J ditemukan hemiparase. Pada saat
pengkajian didapatkan data Tn. M derajat kekuatan otot ekstermitas
kanan atas dan bawah 2 dan ekstermitas kiri atas dan bawah 4.
Sedangkan pada Tn. J didapatkan data derajat kekuatan otot ekstermitas
kanan atas dan bawah 5 dan ekstermitas kiri atas dan bawah 1. Kedua
pasien mengalami kelemahan bagian tubuh yang berbeda, hal ini
dikarenakan oleh perbedaan terjadinya perdarahan di otak. Hemiparesis
sinistra adalah kerusakan pada sisi sebelah kanan otak yang
menyebabkan kelemahan tubuh bagian kiri (Harsono dalam Yazid,
2017). Hasil CT-Scan Tn. M didapatkan hasil tampak lesi hiperdens
diganglis basalis sinistra dengan perifokal edema dan lesi hiperdens
ventrikel, lateralis sinistra cornu posterior, multiple lesi hipodens di lobus
temporo parietalis dekstra dan ganglia basalis dekstra, batas grey matter
dan white matter tegas, tak tampak midline deviasi, ventrikel tak melebar
atau menyempit dengan kesan : gambaran ICH dan IVH, suspect chronic
infark DD thrombo emboli infark.
Sedangkan Hasil CT-Scan Tn. J didapatkan hasil lateralis motorik
dekstra, tampak lesi hiperdens densitas darah (70 HU) di cerebellum
kanan dengan ukuran 2,42 x 3,39 x 2,45 cm (volume estimasi 11,2 cc)
disertai perifocal edema di sekitarnya, tampak lesi hipodens ukuran <1,5
cm di globus palidus kiri, tak tampak midline shifting, sulci dan gyri
normal, sistem ventrikel dan sisterna normal, pons dan cerebellopontine
angle normal, tak tampak kalsifikasi abnormal, orbita dan mastoid kanan
kiri normal, tampak lesi semi solid (32 HU) di sinus kaksilaris kiri,
tampak terpasang gastric tube melalui cavum nasi kiri, cranio cerebral
space tak tampak melebar, calvania intak, tak tampak osteodestruksi,
dengan kesimpulan : ICH di cerebellum kanan, lacunar infark di globus
palidus kanan, mucocele sinus maksilaris kiri, terpasang gastric tube
melali cavum nasi kiri.
f. Pemeriksaan CT Scan
Junaidi (2012) menjelaskan bahwa pemeriksaan yang umum
digunakan pada pasien stroke adalah CT-scan yang berguna untuk
membedakan stroke iskemik atau stroke perdarahan serta dapat menilai
letak, besar, dan luas dari area infark (setelah 24 jam). Pada pasien
pertama didapatkan hasil CT Scan dengan kesan : merupakan gambaran
ICH dan IVH, suspect chronic infark DD thrombo emboli infark.
Sedangkan pasien kedua didapatkan hasil : ICH di cerebellum kanan,
lacunar infark di globus palidus kanan, mucocele sinus maksilaris kiri,
terpasang gastric tube melali cavum nasi kiri.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan memberikan gambaran tentang masalah atau
status kesehatan pasien yang aktual ataupun potensial. Diagnosa
keperawatan ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data yang
diperoleh dan diprioritaskan berdasarkan gangguan neurologis. Menurut
Nurarif dan Kusuma (2015) pada pasien stroke hemoragik terdapat beberapa
diagnose keperawatan yang bisa diangkat sesuai respon dari setiap individu
terhadap masalah kesehatan yang dialaminya. Dalam penelitian ini pasien
memiliki beberapa diagnosa yang lain, tetapi diagnosa itu tidak dimasukkan
dalam pembahasan dikarenakan fokus asuhan keperawatan pada karya tulis
ilmiah ini adalah pemenuhan kebutuhan oksigenasi. Pada kasus pertama
ditegakkan diagnose ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan
dengan gangguan serebrovaskuler, suplai darah ke otak menurun dan
ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan neurologis.
Sedangkan pasien kedua juga ditegakkan diagnose ketidakefektifan perfusi
jaringan otak berhubungan dengan hipertensi dan ketidakefektifan pola
napas berhubungan dengan gangguan neurologis.
Terdapat perbedaan pada etiologi diagnose yang pertama pada kedua
pasien. Pada pasien pertama, didapatkan etiologi gangguan serebrovaskuler,
suplai darah ke otak menurun untuk ketidakefektifan perfusi jaringan otak.
Diagnose tersebut didukung adanya hasil pemeriksaan CT Scan didapatkan
kesan : gambaran ICH dan IVH, suspect chronic infark DD thrombo emboli
infark. Sedangkan pada pasien kedua, didapatkan etiologi hipertensi.
Dikarenakan pasien memiliki riwayat hipertensi, yang mana perdarahan
intraserebral dapat dikarenakan oleh peningkatan tekanan sistolik dan
diastolik yang menyebabkan perubahan pada dinding arteri sehingga
menjadi mudah pecah, dan mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan
otak. Hal ini menyebabkan aliran darah menjadi berkurang dan kemudian
akan terjadi iskemik yang akhirnya akan terjadi penurunan neurologis
(Oktavianus, 2014). Hal tersebut dapat mengakibatkan ketidakefektifan
perfusi jaringan otak. Untuk diagnose yang kedua pada kedua pasien,
ditegakkan diagnose ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
neurologi. Hal ini dikarenakan adanya hubungan erat status neurologis
dengan pernafasan yaitu kerusakan neurologis dapat menyebabkan
terancamnya jalan napas atas sehingga mempengaruhi pernapasan (Sari &
Halimuddin, 2018).
a. Pasien Pertama
Pada pasien pertama, masalah keperawatan yang utama adalah
ketidakefektifan perfusi jaringan otak. Ketidakefektifan perfusi jaringan
otak disebabkan karena terdapat gangguan serebrovaskuler yaitu adanya
perdarahan di otak, yang mengakibatkan suplai darah ke otak menurun.
Sesuai yang dijelaskan diatas maka sangat tepat apabila menegakkan
diagnose ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
gangguan serebrovaskuler, suplai darah ke otak menurun dan
ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan neurologis.
Dengan hasil pemeriksaan CT Scan didapatkan kesan : gambaran ICH
dan IVH, suspect chronic infark DD thrombo emboli infark
b. Pasien Kedua
Sedangkan pada pasien kedua, penulis menegakkan diagnose
ketidakefektifan perfusi jaringan otak karena hipertensi. Ditegakkan
diagnose tersebut karena tekanan darah pasien yang terlalu tinggi
sehingga terjadi penekanan pembuluh darah yang menyebabkan
pecahnya pembuluh darah di otak dan mengakibatkan adanya gangguan
sirkulasi darah ke otak. Dengan data pemeriksaan blood (kardiovaskuler)
didapatkan data keadaan pasien lemah, kesadaran pasien delirium dengan
GCS E3M5V2, tekanan darah 207/107 mmHg, MAP 140 mmHg, nadi
110x/menit, suhu 36,8oC, CRT ≤ 2 detik, SpO2 99%. Diagnose kedua
ditegakkan diagnose ketidakefektifan pola napas karena terdapat
gangguan neurologis yang menyebabkan peningkatan pernapasan.
Ditegakkan diagnose tersebut didukung dengan data obyektif pasien
tampak sesak napas, RR 30x/menit, SpO2 99%, pengembangan dada
simetris kanan kiri, pasien bernapas dengan bantuan O2 nasal kanul 3
lpm, terdapat pernapasan cuping hidung, ada retraksi dada, irama napas
ireguler. Diagnosa tersebut sesuai dengan yang dirumuskan dalam bab
sebelumnya yaitu menurut (Keliat, Mediani, & Tahlil, 2018).
3. Intervensi
Pasien pertama dan kedua diberikan intervensi yang sama dengan
kriteria hasil yang sama karena kedua pasien ditegakkan diagnose yang
sama. Supaya dapat dilihat apakah pasien mengalami perubahan kondisi
yang lebih baik atau tidak. Diagnose pertama ditetapkan 3x24 jam dengan
alasan pasien telah mengalami gangguan kesadaran dan peningkatan TIK,
untuk mengembalikan keadaan tersebut perlu mendapat bantuan terapi
oksigen, diuretik dan analgetik, oleh karena itu penulis menetapkan 3x24
jam, diharapkan perfusi jaringan otak kembali efektif dengan kriteria hasil
tekanan systole (100-120mmHg) dan diastole (70-90mmHg), HR 60- 100
kali/menit, SpO2 ≥95%, tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial (tidak lebih dari 15 mmHg), tingkat kesadaran membaik.
Intervensi yang dilakukan sesuai teori yaitu monitor adanya daerah tertentu
yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul, monitor adanya
paretese, monitor kemampuan BAB, monitor adanya tromboplebitis,
Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi,
batasi grakan kepala, leher, dan punggung, diskusikan mengenai penyebab
perubahan sensasi, kolaborasikan pemberian analgetik. Namun sesuai
pengkajian dan masalah yang dialami pasien rencana tindakan keperawatan
yaitu observasi vital sign, observasi kesadaran dan GCS pasien, beri posisi
elevasi kepala 15o-30o pertahankan posisi kepala, leher, dan punggung,
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi diuretic dan analgetik.
Kemudian untuk diagnosa yang kedua yaitu ketidakefektifan pola
napas berhubungan dengan gangguan neurologis. Tujuan yang diharapkan
adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pola napas kembali efektif dengan kriteria hasil menunjukkan
sesak napas berkurang, irama napas reguler, frekuensi pernapasan dalam
rentang normal 16-20x/menit, tidak menggunakan otot bantu pernapasan,
tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan) dalam rentang normal.
Intervensi yang akan dilakukan adalah monitor vital sign, monitor frekuensi
dan irama napas, auskultasi suara napas, beri posisi elevasi kepala 15o-30o,
kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen. Intervensi ini sesuai dengan
yang ada dalam teori yang dibahas dalam bab sebelumnya.
4. Implementasi
Implementasi adalah realisasi dari intervensi, dimulai setelah rencana
tindakan disusun serta membantu pasien untuk mencapai tujuan yang
diharapkan meliputi peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan, dan terpenuhinya fasilitas koping (Nursalam, 2016).
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien kasus pertama dan kedua
dilaksanakan dalam waktu yang berbeda. Pada pasien kasus pertama
tindakan keperawatan dilaksanakan mulai tanggal 18 Februari 2020 sampai
dengan tanggal 20 Februari 2020. Sedangkan untuk pasien kasus kedua
pelaksanaan tindakan keperawatan dimulai tanggal 27 Februari 2020 sampai
dengan tanggal 29 Februari 2020. Kedua pasien, telah diberikan tindakan
keperawatan sesuai dengan intervensi yang direncanakan.
Pada kedua pasien, dilakukan tindakan keperawatan mempertahankan
pemberian O2 sesuai advis dokter. Namun setelah pemberian O2 3 lpm, pada
hari pertama asuhan keperawatan, pasien kedua tidak mencapai saturasi
oksigen yang maksimal 100%. Hal itu dikarenakan, pada pasien kedua
tampak gelisah. Posisi kanul oksigen bergeser-geser dan mudah lepas
sehingga tidak memaksimalkan penyaluran oksigen. Pada kedua pasien juga
dilakukan tindakan keperawatan memberikan posisi elevasi kepala 30o.
Menurut Pertami, Munawaroh, dan Rosmala (2019) pemberian elevasi
kepala 30o dapat meningkatkan saturasi oksigen pada pasien stroke yang
mana pengaturan posisi kepala yang lebih tinggi dari jantung dapat
melancarkan aliran oksigen yang menuju ke otak serta dapat memfasilitasi
peningkatan aliran darah serebral. Hal ini juga dibuktikan dengan teori
menurut Summer dalam Pertami (2019) yang menunjukkan bahwa posisi
kepala yang lebih tinggi dapat memfasilitasi peningkatan aliran darah
serebral dan memaksimalkan oksigenasi jaringan seberal sehingga akan
memicu pada peningkatan nilai saturasi oksigen. Hal tersebut terbukti pada
pasien kedua, yang SpO2 nya pada hari pertama 99% menjadi 100% pada
hari kedua, serta pada hari ketiga saturasi oksigennya tetap bertahan 100%.
Morton, dkk (2013) mengatakan bahwa elevasi kepala mempunyai efek baik
terhadap penurunan TIK namun beresiko terhadap penurunan CPP.
Sehingga dengan posisi elevasi kepala yang lebih tinggi akan lebih
berpeluang terjadi penurunan tekanan darah. Ditambah Black & Hawk
(2014) yang mengatakan bahwa derajat ketinggian kepala didasarkan pada
respon TIK. Peningkatan TIK mengurangi tekanan perfusi serebral yang
akan mengaktifkan reflex iskemia, sehingga mengakibatkan vasokonstriksi
dan konsekuensinya peningkatan tekanan arteri. Posisi elevasi kepala 30°
dapat memfasilitasi aliran darah vena dari serebral, sehingga hal tersebut
dapat mengurangi edema serebral.
Setelah dilakukan implementasi yang sama pada pasien pertama dan
kedua, didapatkan respon yang berbeda dari kedua pasien. Pada pasien
pertama, Tn.M belum mampu mencapai kondisi yang baik. Sebaliknya pada
pasien kedua, sudah sedikit mengalami perubahan yang baik setiap harinya
pada tingkat kesadarannya. Namun, pasien kedua masih didapatkan data
tekanan darah yang masih tinggi dibandingkan dengan pasien pertama.
Dalam pemberian terapi obat pada kedua pasien, juga ditentukan dari
kondisi pasien. Tidak bisa diberikan obat dan dosis yang sama. Karena,
setiap pasien memiliki sifat yang unik dan cara tubuh dalam merespon
tindakan yang diberikan, belum tentu menghasilkan respon yang sama.
5. Evaluasi Keperawatan
Pada kedua kasus diatas didapatkan hasil evaluasi masalah teratasi
sebagian dengan waktu 3x24 jam, dikarenakan kondisi pasien yang masih
belum bisa memenuhi kriteria hasil yang telah ditetapkan yaitu tekanan
darah systole dan diastole belum mencapai kriteria yang diharapkan yaitu
systole (100-120mmHg) dan diastole (70-90mmHg). Pada pasien pertama,
frekuensi pernapasan belum mencapai kriteria hasil yang telah ditetapkan
yaitu frekuensi napas masih 22x/menit dengan irama napas regular dan tidak
ada retraksi dada. Pada pasien pertama dan kedua didapatkan perbedaan
pada GCS pasien, namun di kedua pasien mengalami tingkat kesadaran
yang membaik. Serta pada kedua pasien didapatkan hasil tekanan darah
yang masih tinggi, yaitu pasien pertama tekanan darahnya 153/95mmHg,
MAP 114 mmHg, sedangkan pasien kedua 189/106 mmHg, MAP 137
mmHg. Hal tersebut, dijelaskan Supriyono (2019) bahwa dalam penelitian
lain yaitu seiring dengan bertambahnya usia menjelang 50 tahun keatas,
kerja jantung akan berkurang 1% dalam setiap tahunnya. Umur berkaitan
dengan kinerja karena pada umur yang menua, akan diikuti proses
degenerasi organ tubuh yang menyebabkan kemampuan organ menurun
serta menyebabkan penurunan fungsi-fungsi organ. Sehingga bisa berakibat
naiknya tekanan darah terutama tekanan darah systole. Pada pasien pertama
didapatkan data, pasien memiliki riwayat stroke perdarahan 1 tahun yang
lalu. Menurut Smeltzer dalam Sulastri (2018) jenis stroke hemoragik
relative mengalami kerusakan permanen pada otak, hal ini bisa terjadi
karena penyebab stroke hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah
serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak.
Jadi, pada pasien pertama memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami
kerusakan permanen pada otak yang dapat mengganggu pusat pernapasan.
Sehingga dapat juga mempengaruhi tingkat kesadaran pasien.
C. Keterbatasan
Penulis menyadari memiliki keterbatasan dalam melakukan asuhan
keperawatan pada kedua pasien. Keterbatasan dalam pengkajian yaitu kedua
pasien mengalami penurunan kesadaran yang membuat peneliti mengalami
kesulitan dalam memperoleh data subyektif, sehingga data-data pendukung
dalam menegakkan diagnosa hanya diperoleh sedikit. Pada tahap pengambilan
data, peneliti mengalami keterbatasan dalam melakukan implementasi
keperawatan untuk pemberian terapi obat karena waktu yang terbatas dan
waktu pemberian terapi obat yang berbeda-beda.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan kritis pada Tn. M dan Tn. J dengan
Stroke Hemoragik didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengkajian terhadap Tn. M dan Tn. J mempunyai keluhan yang sama yaitu
sesak napas dan kedua pasien mengalami penurunan kesadaran yang
disebabkan karena terganggunya sirkulasi darah di otak.
2. Penetapan diagnosa pada kedua pasien, sesuai dengan teori yang
dikemukakan dalam bab sebelumnya. Yaitu pada pasien pertama ditegakkan
diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
gangguan serebrovaskuler, suplai darah ke otak menurun dan diagnose
kedua ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ganguan neurologis.
Sedangkan pasien kedua ditegakkan diagnosa ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral berhubungan dengan hipertensi dan ketidakefektifan pola
napas berhubungan dengan ganguan neurologis.
3. Intervensi keperawatan terhadap Tn. M dan Tn J disusun sesuai dengan teori
menurut Nurarif dan Kusuma (2015).
4. Tindakan keperawatan pada kasus pertama dan kedua dilakukan sama, yaitu
pemberian posisi elevasi kepala 30o dalam pemberian terapi oksigen dengan
nasal kanul 3 liter per menit sesuai dengan intervensi yang telah disusun.
5. Evaluasi tindakan keperawatan terhadap kedua pasien dilakukan dengan
evaluasi proses (SOAP). Hasil evaluasi antara kasus pertama dan kedua
menunjukkan hasil masalah teratasi sebagian ditandai dengan peningkatan
GCS pada kedua pasien dan penurunan RR.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, ada beberapa masukan yang perlu
diperhatikan dalam asuhan keperawatan kritis dalam pemenuhan kebutuhan
oksigen pada pasien dengan Stroke Hemoragik antara lain :
1. Diharapkan Rumah Sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dan
mempertahankan hubungan kerja sama baik antara tim kesehatan maupun
dengan pasien sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan
keperawatan yang optimal pada umumnya dan khususnya pada pasien
stroke hemoragik.
2. Saat memberikan tindakan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan
oksigenasi sebaiknya dilakukan secara optimal dan selalu memperhatikan
kondisi pasien, kolaborasikan dengan dokter dan beri penanganan yang
tepat apabila terjadi ketidakstabilan hemodinamik.
3. Hasil studi kasus ini diharapkan dapat menambah referensi dalam studi
kasus yang sejenis dalam upaya pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada
pasien stroke hemoragik serta peneliti dapat menambah jumlah responden
penelitian, sehingga hasil penelitian bisa digeneralisasi lebih luas dan
sebaiknya dalam mensurvei pasien dilakukan jauh-jauh hari sehingga bisa
mendapatkan pasien yang tidak jauh berbeda kondisinya.
DAFTAR PUSTAKA
‘Alim, A. M. (2009). Pocket ECG. Yogyakarta: Intan Cendikia.
Amri, Imtihanah. (2017). Pengelolaan peningkatan tekanan intrakranial. Medika
Tadulako, Jurnal Ilmiah Kedokteran. 4(3): 1-17.
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/MedikaTadulako/article/view/9288
Diakses 29 April 2020 jam 22.00 WIB.
Andarmoyo, Sulistyo. (2012). Kebutuhan dasar manusia (oksigenasi). Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Ariani, A.T. (2012). Sistem neurobehavior. Jakarta: Salemba Medika.
Batticaca, Fransisca. B. (2011). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Black, J.M., & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan medikal bedah:Manajemen klinis
untuk hasil yang diharapkan (Ed.8th). Jakarta: Salemba Medika.
Budiono. (2016). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: Kemenkes RI Pusdik SDM
Kesehatan.
Dinas Kesehatan Jawa Tengah. (2018). Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2018
http://dinkesjatengprov.go.id. Diakses 16 September 2019 jam 17.30 WIB.
Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia. (2017). Rencana asuhan keperawatan
medikal-bedah: Diagnosis nanda-i 2015-2017 intervensi NIC hasil NOC.
Jakarta: Kedokteran EGC.
Hartanto, A.S., Basuki, Andi., & Juli, Cep. (2019). Correlation of glasgow coma scale
score at hospital admission with stroke hemorrhagic patient mortality at hasan
sadikin hospital. Journal of Medicine and Health. 2(4): 938-944.
https://journal.maranatha.edu/index.php/jmh/article/view/1139 Diakses 20
April 2020 jam 09.40 WIB.
Indrawati, L., Sari, W., & Dewi, C.S. (2016). Care yourself stroke cegah dan obati
sendiri. Jakarta: Penebar Plus.
Junaidi, Iskandar. (2012). Stroke waspadai ancamannya. Jogjakarta: C.V Andi
Offset.
Keliat, B.A., Mediani, H.S., & Tahlil, T. (2018). NANDA-I diagnosis keperawatan
definisi & klasifikasi 2018-2020 (NANDA international nursing diagnoses:
Definitions & classifications 2018-2020. Jakarta: Kedokteran EGC.
Kusnanto. (2016). Modul pembelajaran pemenuhan kebutuhan oksigen. Surabaya:
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
Mahmudah, Raisa. (2014). Left hemiparesis e.c hemorrhagic stroke. Jurnal Medula
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 2(4): 70-79.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/412/413.
Diakses 21 September 2019 jam 20.30 WIB.
Martono, Sudiro, & Satino. (2016). Deteksi dini derajat kesadaran menggunakan
pengukuran nilai kritis mean artery pressure (Detection of the degree of
awareness using the measurement of critical value mean artery pressure on
nursing care). Deteksi Dini Derajat Kesadaran Menggunakan Pengukuran
Nilai Kritis Mean Artery Pressure, 11: 73–78.
https://doi.org/10.20473/jn.V11I12016.73-78. Diakses 26 September 2019 jam
15.00 WIB.
Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M., & Gallo, B.M. (2013). Keperawatan kritis:
pendekatan asuhan holistik (Critical care nursing: a holistic approach).
Jakarta: Kedokteran EGC.
Mubarak, W.I., & Chayatin, N. (2014). Buku ajar kebutuhan dasar manusia: Teori
dan aplikasi dalam praktik. Jakarta: Kedokteran EGC.
Muttaqin, A. (2012). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, A.H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan
diagnosa medis & NANDA NIC-NOC jilid 3. Yogyakarta: Media Action
Publishing.
Nursalam. (2016). Metodologi penelitian ilmu keperawatan: Pendekatan praktis.
Jakarta: Salemba Medika.
Oktavianus. (2014). Asuhan keperawatan pada sistem neurobehavior. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Organisation, W. H.O. (2015). WHO: Stroke, Cerebrovascular accident.
Stroke.https://doi.org/http://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/
index.hhtm. Diakses 12 september 2019 jam 20.30 WIB.
Parli., & Wiyoko, P.F. (2018). Analysis of nursing clinical practice in stroke
haemoragia patients manage on a mechanical ventilator attached with
intervention innovation humidification and management of cuff in the icu room
of hospital abdul wahab sjahranie samarinda. Karya Ilmiah Akhir Ners.
http://dspace.umkt.ac.id/handle/463.2017/875. Diakses 26 September 2019 jam
15.40 WIB.
Pertami, S.B., Munawaroh, S., & Rosmala, N.W.D. (2019). Pengaruh elevasi kepala
30o terhadap saturasi oksigen dan kualitas tidur pasien stroke. HIJP : Health
Information Jurnal Penelitian. 11(2): 133-144. https://myjurnal.poltekkes-
kdi.ac.id/index.php/HIJP/article/view/133 Diakses 02 April 2020 jam 10.43
WIB.
Qurbany, Z.T., & Wibowo, Adityo. (2016). Stroke hemoragik e.c hipertensi grade II.
Jurnal Medula Unila. 5(2): 114-118.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/1520 Diakses
02 April 2020 jam 11.33 WIB.
Riskesdas. (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI. http://www.depkes.go.id/article/print/17051800002.html.
Diakses 13 September 2019 jam 08.30 WIB.
Ristanto, Riki., & Zakaria, Amin. (2017). Hubungan respiratory rate (rr) dan oxygen
saturation (spo2) pada klien cedera kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti
Poltekkes Soepraoen.
http://jurnal.poltekkes-soepraoen.ac.id/index.php/HWS/article/view/206
Diakses 20 April 2020 jam 13.00 WIB.
RSUD Dr. Moewardi. 2019.
Sari, W. N., & Halimuddin. (2019). Kejadian henti jantung, henti nafas, dan
peningkatan tekanan intrakranial pada pasien stroke akut. JIM FKep. 4(2): 34-
41. http://jim.unsyiah.ac.id/FKep/article/view/12376 Diakses 02 April 2020 jam
14.21 WIB.
Setiyawan., Nurlely, P.S., & Harti, A.S. (2019). Pengaruh mirror therapy terhadap
kekuatan otot ekstremitas pada pasien stroke di RSUD dr.Moewardi. Jurnal
Kesehatan Masyarakat STIKES Cendekia Utama Kudus.7(1): 49-
61.https://www.google.com/search=jurnal+tentang+data+stroke+di+rsud+moe
wardi&oq. Diakses 25 September 2019 jam 12.40 WIB.
Setyalingga, Panji. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke Hemoragik
dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi [KTI]. Jawa Tengah (ID): Poltekkes
Kemenkes Surakarta.
Stillwell, Susan. B. (2012). Pedoman keperawatan kritis. Jakarta: Kedokteran EGC.
Sulastri, Dedeh. (2018). Perbedaan Activities Of Daily Living Pada Pasien Stroke
Hemoragik Dan Non Hemoragik Paska Perawatan Di Rs Bethesda Yogyakarta
Tahun 2018 [Skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.
Supriyono. (2019). Analisis faktor-faktor yang berhubungan tekanan darah sistole
pada peserta pelatihan manajemen puskesmas. Jurnal Inspirasi. 10(1): 32-48.
http://inspirasi.bpsdm.jabarprov.go.id/index.php/inspirasi/article/view/62
Diakses 20 April 2020 jam 10.00 WIB.
Tarwoto., & Wartonah. (2011). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Wijaya, Andrea., & Putri, Yessie. (2013). KMB 2 keperawatan medikal bedah
(keperawatan dewasa). Yogjakarta: Nuha Medika.
Yazid, Budiana. (2017). Gambaran kekuatan otot pasien stroke yang imobilisasi di
RSUP. H. Adam Malik Medan. Jurnal Keperawatan Flora. 10(1): 61-67.
http://www.ojs.stikesflora-medan.ac.id/index.php/jkpf/article/view/105 Diakses
02 April 2020 jam 11.43 WIB.
Yusuf, Z.K., & Rahman, Asriyanto. (2019). Pengaruh stimulasi al-qur'an terhadap
glasgow coma scale pasien dengan penurunan kesadaran di ruang ICU. JNJ
Jambura Nurisng Journal. 1(1): 44-47. https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=gcs+dengan+penurunan+kesadaran+pada+pasien+str
oke+hemoragik&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DKpX8iv8jtEMJ Diakses 02
April 2020 jam 11.17 WIB.