nurul fadhilah _ mukharrij dan pentingnya al-jarh wa at-ta'dil new1
TRANSCRIPT
Tugas Individu
MUKHARRI>J AL-HADI<TS
DAN SIGNIFIKANSI JARH{ WA AT-TA’DIL
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Rijal al-Hadits
Dosen / Pembimbing :
Drs. H. Muhammad Ali Ngampo, M.Ag
Oleh:
Nurul Fadhilah Faisal
Semester III
JURUSAN ILMU HADIS KHUSUS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2012/2013 M
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kenyataannya bahwa para periwayat hadis mulai dari
generasi sahabat sampai generasi mukharrij al-hadis sudah tidak
dapat dijumpai lagi secara fisik karena mereka telah wafat.
Sementara para sahabat adalah para saksi sejarah yang bisa
menyaksikan serta mewartakan apa yang telah mereka rekam
selama bergaul dan bersahabat dengan Nabi. Kondisi tersebut
menyebabkan rasa ingin tahu untuk mengenali keadaan pribadi
mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang
periwayatan hadis.
Diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh
ulama ahli kritik rijal (para periwayat) hadis. Kritik tersebut
dilakukan mengingat kedudukan hadis Nabi sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Cukup banyak ayat al-Qur’an yang
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk patuh dan
mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad sebagai utusan
Allah swt., adalah sebagai berikut:
. ق0ل. 8ط6يع0وا ;ه8 أ س0ول8 الل 6ن و8الر@ . فEEإ و.ا @EE8و8ل 6ن@ ت إ 8EEه8 ف ;EE8 الل 0ح6بI ال ي
8اف6ر6ين8 .ك ﴾٣٢﴿ الTerjemahan :
Katakanlah: "Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
2
د2 ول< ف<ي ل4ك;م2 ك4ان4 ل4ق4 س; و4ةH اللEه< ر4 س2ن4ةH أ; 4MMم4ن ح4سRل
و ك4ان4 ج; ال2ي4و2م4 اللEه4 ي4ر2 ر4 و4 خ< ذ4ك4ر4 اآل2 ه4 و4 EMMالل \ يرا >MMك4ث ﴿٢١﴾
Terjemahan :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Secara umum ayat-ayat di atas menganjurkan patuh pada
perintah Nabi dan berpegang teguh pada teladan yang
ditunjukkan melalui praktik dan perilaku-perilaku Nabi.1 Anjuran,
larangan, serta teladan hidup dari Nabi yang termuat dalam
sunnah atau hadis beliau adalah sumber ajaran Islam. Dengan
meyakini bahwa hadis Nabi merupakan bagian dari sumber
ajaran Islam, maka penelitian hadis khususnya sangat penting.
Penelitian dilakukan upaya menghindarkan diri dari pemakaian
dalil-dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di
atas, pemakalah dapat merumusan masalah yang kemudian
akan di kembangkan lagi dalam bab pembahasan, di antaranya
ialah :
1. Signifikansi Ilmu al-Jarh} wa al-Ta‘di>l.
2. Al-jarh{ wa al-ta‘di>l bagian dari gibah; argumen
penolakan
1 al-Qurtubi, al-jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz XVII (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1387 H/ 1967 M), h. 17.
3
3. Argumen pendukung ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l
BAB II
PEMBAHASAN
A. Signifikansi Ilmu al-Jarh} wa al-Ta‘di>l.
Kritik ekstern2 atau penelitian sanad dalam kajian hadis
Nabi saw. merupakan kegiatan yang sangat urgen dalam rangka
penentuan status kehujjahan Hadis Nabi saw. Sanad yang secara
terminologi berarti rangkaian periwayat yang menyampaikan
matan hadis3, dengan sendirinya menjadi objek yang
signifikansinya tidak lagi diperselisihkan. Maka tidak
mengherankan jika seorang ‘Abdullah ibn al-Muba>rak (W. 181
H/797 M) menyatakan bahwa “sanad hadis merupakan bagian
2 Term ‘kritik ekstern’ adalah istilah yang diperkenalkan Arifuddin Ahmad, yang berarti kritik sanad bersama term kritik matan yang disebut sebagai ‘kritik intern’. Istilah ini menjadi sebuah kontribusi dalam pembaruan dalam kajian hadis kontemporer, di samping istilah ‘kaidah mayor’ dan ‘kaidah minor’ dalam kaidah kes}ah}i>h}an sanad dan matan hadis. Lihat: Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru dalam Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Jakarta: Renaisan, 2005), h.
3 Nu>r al-Di>n ‘Itr, al-Madkhal ila> ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), h. 12.
4
dari agama, yang sekiranya sanad tidak ada, niscaya siapa saja
akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya.”4 Bahkan
dalam ungkapan lain —meski secara implisit Muhammad Ibn
Sirin (W 110 H/728 M) menyatakan bahwa “sesungguhnya
pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa
kamu mengambil agamamu itu”.5
Sanad hadis—sebagaimana disebutkan—terdiri dari
rangkaian nama-nama periwayat yang berawal dari sahabat
sampai ke mukharrij. Rangkaian periwayat tersebutlah yang
kemudian dalam proses penelitian yang menjadi objeknya. Jika
ke-s}ah}i>h-}an sebuah hadis menjadikan ke-‘adil-an dan ke-
d}abit}-an6 semua individu yang terangkum dalam sanad hadis
tersebut sebagai standarnya7, maka penelitian sanad hadis
berarti penelitian terhadap masing-masing periwayat yang
bersangkutan dalam hal terpenuhinya kriteria ke-‘adil-an8
4 Abu> Da>wud Sulaima>n ibn Asy‘as\, Sunan Abi> Da>wud wa Ma‘a>lim al-Sunan (Beirut: Da>r Ibn H{azm, 1997), Juz. V, h. 234.
5 Ibid., h. 14. 6 Standar kes}ah}i>h}an hadis dalam kesepakatan jumhur yaitu: 1)
sanad bersambung; 2) periwayat yang ‘a>dil; 3) periwayat yang d}a>bit}; 4) terhindar dari sya>z\; dan 5) terhindar dari ‘illat. Lihat: Ibn al-S{ala>h}, ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), h. 10.; Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawa>‘id Us}u>l al-H{adi>s\ (Beirut: Da>r al-Fikr, [t.th], h. 39.
7 Di samping standar kes}ah}i>h}an matan, yang juga dijabarkan dari 5 kriteria kes}ah}i>h}an yang dijelaskan sebelumnya.
8 Setidaknya ada 15 kriteria ‘a>dil yang diajukan oleh ulama, yaitu: 1)beragama Islam; 2) ba>ligh; 3) berakal; 4) taqwa; 5) memelihara muru>’ah; 6) teguh dalam agama; 7) tidak berbuat dosa besar; 8) menjauhi dosa kecil; 9) tidak berbuat bid’ah; 10) tidak berbuat maksiat; 11) tidak berbuat fasik; 12) menjauhi hal-hal mubah yang merusak muru’ah; 13) baik akhlaknya; 14) dapat dipercaya beritanya; dan 15) biasanya benar. Kriteria tersebut dirampingkan menjadi 4, yaitu: 1) beragama Islam; 2) mukallaf; 3) melaksanakan ketentuan agama; 4) memelihara muru’ah. Lihat: Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 113-118 dan 134.
5
(kualitas pribadi) ke-d}abit}-an9 (kapasitas intelektual) yang
telah digariskan ulama, yang seringkali kedua istilah ini
dirampingkan ke dalam satu istilah yaitu s\iqah10.
Kriteria-kriteria ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an yang telah
dijelaskan ulama, selanjutnya menjadi acuan dalam menentukan
diterimanya riwayat setiap periwayat yang terdapat dalam
rangkaian sanad sebuah hadis. Namun, kriteria-kriteria tersebut
tidaklah mudah untuk diterapkan dalam menentukan ke-‘adil-an
dan ke-d}abit}-an seorang periwayat. Oleh karena itu, ulama
hadis mengemukakan cara penetapan ke-‘adil-an dan ke-
d}abit}-an periwayat, yang salah satunya adalah berdasarkan
penerapan kaidah al-jarh} wa al-ta‘di>l11 informasi dan
kesaksian ulama kritikus dan sejarawan12.
Berdasarkan pada cara menentukan diterima atau tidaknya
riwayat seorang periwayat yang dikemukakan ulama, bahwa
dibutuhkan metode yang kemudian disebut kaidah al-jarh} wa al-
ta‘di>l, setidaknya memberikan indikasi akan signifikansi kaidah
ini dalam kerangka penelitian hadis. Namun, meski signifikansi
ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l ini telah diakui dan dikukuhkan oleh
9 Kriteria d}a>bit} adalah: a) periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang diterimanya, b) periwayat memahami dengan baik riwayat yang diterimanya, dan c) periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah diterimanya kapan saja dikehendaki. Lihat: Ibid., h. 120.
10 Sejumlah kitab menjelaskan secara tegas bahwa siqah merupakan gabungan dari sifat ‘a>dil dan d}a>bit}. Lihat: al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi> fi> Syarh Taqri>b al-Nawawi> (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1975), juz I, hlm. 63.
11 Untuk menetapkan ke-‘adil-an periwayat. 12 Untuk menetapkan ke-d}abit}-an periwayat.
6
banyak ulama13, namun di sisi lain ternyata ada sebagian pihak
yang justru berpandangan sebaliknya, bahwa ilmu ini tidak lebih
bermanfaat daripada mudharatnya karena merupakan bagian
dari gibah yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
B. al-Jarh{ wa al-Ta‘di>l Bagian dari Gibah; Argumen Penolakan
Tak dapat dipungkiri bahwa selain kalangan yang
mengakui signifikansi ilmu ini, ada pula kalangan tertentu yang
berpandangan berseberangan. Pandangan tersebut pada
umumnya sangat terkait dengan sebuah dalil dari al-Qur’an yang
dengan jelas melarang gibah. Mereka berdasar pada beberapa
nash, misalnya dalam ayat al-Qur’an menyatakan
14"وال يغتب بعضكم بعضا"Atau dengan hadis Nabi saw. sendiri, misalnya
15كل المسلم على المسلم حرام, دمه وماله وعرضه"dan riwayat lain
قEEال رسEEول اللEEه: "أتEEدرون مEEا الغيبEEة"؟ قEEالوا اللEEه ةرسوله أعلم, قال " ذكرك أخاك بما يكره قيل", قالوا أفرأيت إن كان فيه ما أقEEول؟ قEEال " غن كEEان فيEEه مEEا
16أقول فقد اغتبته, وإن لم يكن فيه فقد بهته".
13 Salah satu indikator utamanya—selain ungkapan para ulama dalam berbagai kesempatan—adalah bertebarannya karya-karya ulama, khususnya terkait rija>l al-h}adi>s\ yang memuat biografi para periwayat hadis, dari kalangan sahabat sampai ke kalangan mukharrij, serta informasi-informasi terkait kehidupan pribadi mereka, kualitas hafalan, kapasitas keilmuan, dan sebagainya.
14 Q.S. al-H{ujura>t: 12.15 Al-Ima>m Muslim, S{ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\
al-‘Arabi>, [t.th]), Juz. IV, h. 1986. 16 Ibid., Juz. IV, h. 2001.
7
Mereka melihat bahwa kritik terhadap para periwayat hadis
yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kritik hadis itu tidak
hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga
berkenaan dengan hal-hal yang tercela.
Namun, pendapat tersebut dibantah oleh jumhur ulama.
Bahkan dikatakan bahwa hal ini bukanlah gibah, melainkan salah
satu kewajiban syariat, dengan alasan kebutuhan yang sangat
urgen, yaitu untuk membedakan riwayat-riwayat yang kuat dari
yang lemah dan atau palsu.
Dan riwayat-riwayat tersebut bergantung pada sejauh
mana ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an para periwayatnya.17 Bahkan
argumen bahwa ilmu ini merupakan gi>bah dibantah dengan
dalil yang menyatakan bahwa ilmu ini tergolong gibah yang
dibolehkan, misalnya dengan hadis:
6ى� - صEEلى اللEEه @ب .ذ8ن8 ع8ل8ى الن 8أ ت .EEاس � ج0ال 8ن@ ر8 ة8 أ 8EE6ش ع8ن. ع8ائة6 ، ير8 6EEع8ش. و ال 0EE8خ .س8 أ 6ئ ال8 » ب 8EEآه0 ق ا ر8 @EE8م عليEEه وسEEلم - ف8ل6ىI - صEEلى @ب 8ط8ل@ق8 الن 8م@ا ج8ل8س8 ت ة6 « . ف8ل ير8 .ع8ش6 .ن0 ال .س8 اب 6ئ و8ب
ق8 8EEط8ل. 8م@ا ان .ه6 ، ف8ل 8ي 6ل 8س8ط8 إ .ب ه6ه6 و8ان الله عليه وسلم - ف6ى و8ج.ل8 0EEج .ت8 الر@ 8ي أ @ه6 ح6ين8 ر8 س0ول8 الل 8ا ر8 ة0 ي 6ش8 8ه0 ع8ائ ج0ل0 ق8ال8ت. ل الر@.ه6 8ي 6ل 8س8ط.ت8 إ .ب ه6ه6 و8ان @ق.ت8 ف6ى و8ج. 8ط8ل 0م@ ت 8ذ8ا ، ث 8ذ8ا و8ك 8ه0 ك ق0ل.ت8 لة0 8EE6ش 8ا ع8ائ @ه6 - صلى الله عليه وسلم - » ي س0ول0 الل ف8ق8ال8 ر8ة� 8EEز6ل. ه6 م8ن @EEد8 الل .EEن اس6 ع6 @EEر@ الن 8EE6ن@ ش ا ، إ 6ى ف8ح@اش� 6ن 8ى ع8ه6د.ت م8ت
ه6. ر� �ق8اء8 ش8 @اس0 ات 8ه0 الن ك 8ر8 8ام8ة6 م8ن. ت .ق6ي 8و.م8 ال ي18
17 ‘Abd al-‘Azi>z ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m al-‘Abd al-Lat}i>f, D{awa>bit} al-Jarh} wa al-Ta‘di>l (Madinah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyah, 1412H.), h. 16-17.
18 Al-Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1987), Juz. V, h. 2244.
8
Artinya:Bahwa seorang laki-laki meminta izin kepada nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam, ketika beliau melihat orang tersebut, beliau bersabda: "Amat buruklah saudara Kabilah ini atau seburuk-buruk saudara Kabilah ini." Saat orang itu duduk, beliau menampakkan wajahnya yang berseri-seri, setelah orang itu keluar 'A`isyah berkata; "Wahai Rasulullah, ketika anda melihat (kedatangan) orang tersebut, anda berkata seperti ini dan ini, namun setelah itu wajah anda nampak berseri-seri, Maka Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai 'A`isyah, kapankah kamu melihatku mengatakan perkataan keji? Sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut akan kekejiannya."
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi saw. menghadapi orang
tersebut dengan raut wajah mencela, dengan alasan syar‘i>,
baginda Rasul seakan memberi peringatan akan kejelekan moral
orang tersebut untuk dihindari mendengar riwayatnya. Inilah
yang dikehendaki dari ungkapan :
ه0 8EEك 8ر8 ة6 م8ن. ت 8EE8ام .ق6ي و.م8 ال 8EEة� ي 8EEز6ل. ه6 م8ن @EEد8 الل .EEن @اس6 ع6 ر@ الن 6ن@ ش8 إه6 ر� �ق8اء8 ش8 @اس0 ات الن
Riwayat ini juga diperkuat oleh riwayat lain, yaitu:
عن فاطمEEة بنت قيس أن أبEEا عمEEرو بن حفص طلقهEEا@ه6 -صلى الله عليه وسلم أما .......البتة س0ول0 الل ف8ق8ال8 ر8ة;أبEEو 4MMي ع4او< ا م; EMMأ4م ه< و4 >MMاه; ع4ن2 ع4ات4ق 4MMع; ع4ص 4MMال4 ي4ض ف4
iي2د ة4 ب2ن4 ز4 ام4 س4ال4 ل4ه; ان2ك<ح<ى أ; ع2ل;وكH ال4 م4 19.ف4ص;
Artinya:
Dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga......... lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid."
19 Al-Ima>m Muslim, Op. Cit., Juz. IV, h. 195.
9
Dalam hadis ini, terlihat bahwa Rasulullah menceritakan
kekurangan dan kelebihan dari dua sahabat yang berbeda.
Rasulullah menyampaikan kepada Fa>t}imah binti Qais tentang
kekurangan Mu‘a>wiyah dan sebaliknya menyampaikan
kelebihan Usa>mah, dan menyarankan Fa>t}imah menikah
dengan Usa>mah. Hal ini dilakukan Nabi dengan alasan syar‘i>
yang menginginkan Fa>t}imah menikah dengan orang yang
tepat dan bukan sama sekali bermaksud untuk mencela sahabat
dan memuja yang lain tanpa alasan yang diperkenankan.
Dengan dmikian hal-hal yang tercela dikemukakan
bukanlah untuk menjelek-jelekkan mereka melainkan untuk
dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat
diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis yang mereka
sampaikan. Ulama ahli kritik hadis tetap menyadari bahwa
mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama.
Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan
penelitian hadis dalam hubungannya sebagai salah satu sumber
ajaran Islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat
dalam kaitannya periwayatan hadis sangat perlu dikemukakan.
Kejelekan atau kekurangan yang dikemukakan hanyalah terbatas
yang ada hubungannya dengan kepentingan penelitian
periwayatan hadis.
C. Argumen Pendukung Ilmu al-Jarh} wa al-Ta‘di>l
Signifikansi ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l oleh jumhur ulama
seringkali dikukuhkan dengan berbagai argumentasi. Tidak
hanya bersandar pada argumentasi logis, tetapi lebih ditekankan
10
dengan pendekatan argumentasi teologis-normatif bahkan
historis.
Argumentasi teologis-normatif yang dimaksudkan adalah
berdasarkan pembacaan dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan
dukungan dari beberapa hadis Nabi sendiri, dan secara historis
adalah berdasarkan pada contoh dari Nabi saw. yang diwariskan
sahabatnya dan berlanjut ke generasi tabi‘i>n dan selanjutnya.
Argumentasi-argumentasi yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Argumentasi teologis-normatif
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menurut ulama
menjelaskan dan menunjukkan perintah untuk meneliti kualitas
periwayat, dengan demikian menjadi argumen dalam
mendukung signifikansi ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l, yaitu:
a. Dalam surah al-Hujura>t, Allah berfirman:
± 8إ 8ب 6ن 0م. ف8اس6ق² ب 6ن. ج8اء8ك 0وا إ @ذ6ين8 آم8ن Iه8ا ال ي8 8ا أ واي 0EEن@ 8ي 8ب 8ن.ف8ت أ
0م. .ت ا ف8ع8ل 8EEE6ح0وا ع8ل8ى م ب .EEE0ص ة± ف8ت 8EEE6ج8ه8ال ا ب �EEE0وا ق8و.م يب 6EEE0ص ت. 8اد6م6ين8 20ن
Terjemahnya:Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Ayat ini menjadi dalil akan kewajiban ber-tabayyun
(kroscek) terhadap setiap berita yang datang untuk
menghindari berita orang-orang fasik.21
20 Q.S. al-H{ujura>t: 6.21 Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Juz 16, h. 312.
11
b. Ulama juga berpendapat bahwa Allah memberikan
petunjuk dasar untuk men-jarh} dan men-ta‘di>l, misalnya
dalam kisah Sulaiman as.:
.ظ0ر0 8ن ن 6ين8ق8ال8 س8 8اذ6ب .ك .ت8 م6ن8 ال 0ن 8م. ك ص8د8ق.ت8 أ8 22.أ
Terjemahnya:Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.
c. Secara spesifik, Allah menunjukkan dasar jarh}—tanpa
ta‘di>l—kepada orang munafik, sebagaimana digambarkan
oleh beberapa ayat:
.ن8 8ي ا ب �E8ف.ر6يق ا و8ت ر� .E0ف ا و8ك ار� ر8 6Eج6د�ا ض .Eخ8ذ0وا م8س@ @ذ6ين8 ات و8ال
8ه0 م6ن. ول 0EEس ه8 و8ر8 @EEب8 الل ار8 8EE6م8ن. ح اد�ا ل 8EEص 6ر. 6ين8 و8إ ؤ.م6ن 0EEم. ال8ى ن .EEح0س. 6ال@ ال ا إ 8EEد.ن ر8
8 6ن. أ 6ف0ن@ إ ل 8ح. 8ي ل0 و8ل .EEه8د0ق8ب .EE8ش ه0 ي @EEو8الل 0ون8 8اذ6ب 8ك @ه0م. ل 6ن 23.إ
Terjemahnya:Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu'min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu'min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
ه6 @EEول0 الل 0EEس 8ر8 @ك8 ل 6ن ه8د0 إ 8ش. 0وا ن 8اف6ق0ون8 ق8ال .م0ن 6ذ8ا ج8اء8ك8 ال إ0ه0 ول س0 8ر8 @ك8 ل 6ن 8م0 إ 8ع.ل @ه0 ي اف6ق6ين8و8الل 8EEم0ن. 6ن@ ال ه8د0 إ .EE8ش @ه0 ي و8الل
0ون8 8اذ6ب 8ك 24.ل
22 Q.S. al-Naml: 27.23 Q.S. al-Taubah: 107. Bandingkan: Q.S. al-H{asyr: 11.24 Q.S. al-Muna>fiqu>n: 1.
12
Terjemahnya:Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
d. Dan secara spesifik pula, Allah sebaliknya menunjukkan
dasar ta‘di>l melalui sebuah ayat:
ار6ه6م. 8EEوا م6ن. د6ي 0EE0خ.ر6ج ذ6ين8 أ @EEاج6ر6ين8 ال 8EEم0ه. اء6 ال ر8 8EEف0ق. 6ل لون8 ر0 0EEص. 8ن �ا و8ي @ه6 و8ر6ض.و8ان 8غ0ون8 ف8ض.ال� م6ن8 الل .ت 8ب 6ه6م. ي م.و8ال
8 و8أ8ه0 ول س0 @ه8 و8ر8 6ك8 ه0م0 الص@اد6ق0ون8الل 8ئ 0ول 25.أ
Terjemahnya:(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar .
Di samping ayat-ayat di atas, ulama dalam menegaskan
argumen jarh} dan ta‘di>l mengemukakan beberapa riwayat
berikut:
a. Hadis riwayat al-Bukha>ri> dari ‘A<isyah ra. tentang kasus
al-ifk:
عن عائشEEة رضEEي اللEEه عنهEEا: حين قEEال لهEEا أهEEل اإلفك ما قالوا قالت ودعا رسEEول اللEEه صEEلى اللEEه عليه و سEEلم علي بن أبي طEEالب وأسEEامة بن زيEEد رضي الله عنهما حين استلبث الوحي يسألهما وهو يستشEEيرهما في فEEراق أهلEEه فأمEEا أسEEامة فأشEEار بالEEذي يعلم من بEEراءة أهلEEه وأمEEا علي فقEEال لم يضيق الله عليك والنساء سواها كثير وسل الجارية
25 Q.S. al-H{asyr: 8.
13
تصEدقك . فقEال ( هEل رأيت من شEيء يريبEك ) . قEEالت مEEا رأيت أمEEرا أكEEثر من أنهEEا جاريEEة حديثEEة السEEEن تنEEEام عن عجين أهلهEEEا فتEEEأتي الEEEداجن
26....فتأكله
Artinya:Bahwa ketika orang-orang yang menyebarkan berita bohong melakukan aksinya, Aisyah berkata, "Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam lantas memanggil Ali bin Abu Thalib dan Usamah bin Yazid radliyallahu'anhum, yakni saat wahyu belum turun, beliau menanyai dan meminta saran keduanya perihal perceraian terhadap isterinya. Adapun Usamah bin Zaid, ia memberi saran sejauh yang ia ketahui bahwa Aisyah terlepas diri dari apa yang mereka tuduhkan, adapun Ali bin Abu Thalib berkata, 'Allah tak bakalan menyesakkan dadamu, wanita selainnya juga masih banyak, dan tanyailah pembantu yang bisa jadi ia membenarkanmu.' Nabi bertanya kepada hamba sahaya tadi: "Pernahkah kau lihat sesuatu yang menjadikanmu ragu terhadap diri Aisyah?" hamba sahaya tadi menjawab, "Belum pernah kulihat sesuatu yang kurang pada diri Aisyah selain tak lebih ketika ia masih masih belia, ia ketiduran dari adonan masakan keluarganya sehingga datang ternak yang kemudian menyantapnya.'
Hadis ini menggambarkan dua posisi yang berbeda dari
dua sahabat Nabi saw. dalam menanggapi kasus ifk yang
menimpa istri Rasulullah saw. Usamah memberikan
tanggapan positif (kesaksian ta‘di>l) dan di sisi lain ‘Ali>
ibn Abi> T{a>lib memberikan tanggapan negatif
(kesaksian jarh{).
b. Dari sabda Nabi saw. tentang perintah berpegang teguh
pada al-Qur’an dan Sunnah, Nabi bersabda:
د�ا .EE6ن. ع8ب م.ع6 و8الط@اع8ة6 و8إ @ه6 و8الس@ 8ق.و8ى الل 6ت 0م. ب 0وص6يك ....أا �EE8ف 6ال ت ى اخ. 8ر8 ي 8EE8ع.د6ى ف8س 0م. ب .ك 8ع6ش. م6ن @ه0 م8ن. ي 6ن Çا ف8إ ي 8ش6 ب ح8
26 Al-Ima>m al-Bukha>ri>, Op. Cit., Juz. VI, h. 2682.
14
�ين8 د6ي .EEم8ه. اء6 ال 8EE8ف ل .خ0 @ة6 ال ن 0EE6ى و8س @ت ن 0EE6س 0م. ب .ك 8ي ا ف8ع8ل ير� 6EE8ث ك@و8اج6ذ6. 6الن .ه8ا ب 8ي 6ه8ا و8ع8ضIوا ع8ل 0وا ب ك 8م8س@ د6ين8 ت اش6 27الر@
Ungkapan Nabi saw. :
ا 6ير� 8ث 8ف�ا ك 6ال ت ى اخ. 8ر8 ي 8ع.د6ى ف8س8 0م. ب .ك 8ع6ش. م6ن @ه0 م8ن. ي 6ن ف8إdijadikan oleh ulama sebagai dalih bahwa Rasulullah saw.
pada dasarnya menganjurkan umatnya untuk
mengidentifikasi dengan cermat siapa di antara periwayat
hadis yang d}a‘i>f dan yang s\iqah. Karena kemurnian
hadis Nabi saw. akan terkontaminasi oleh riwayat dusta
jika saja tidak dapat dibedakan antara periwayat yang
d}a‘i>f dan yang s\iqah.28
c. yang juga dimaknai sebagai perintah Nabi saw. secara
tidak langsung untuk mengetahui s\iqah atau d}a‘i>f-nya
seseorang yang menyampaikan riwayat kepada orang
sesudahnya, untuk menjamin keabsahan dan akurasi hadis
yang disampaikannya.29
2. Argumentasi historis
Argumentasi historis yang dimaksud adalah riwayat-
riwayat yang membuktikan bahwa generasi setelah Nabi saw.
sangat berhati-hati dalam menjaga hadis Nabi saw. dalam
kaitannya dengan pengamatan dengan cermat kepada pembawa
riwayat yang s\iqah dan d}a‘i>f. Sehingga jarh{ dan ta‘di>l
terbukti diwarisi oleh generasi sahabat dan generasi-generasi
27 Abu> ‘I<sa> al-Tirmiz\i>, Sunan al-Tirmiz\i> (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Arabi>, [t.th]), Juz. V, h. 44.
28 Ah{mad ibn H{anbal, al-‘Ilal wa Ma‘rifat al-Rija>l (Cet. II; Riya>d}: Da>r al-Kha>ni>, 2001), h. 21.
29 Ah}mad ibn H{anbal, Op. Cit., h. 22.
15
selanjutnya. Berikut ini riwayat-riwayat yang masing-masing
mewakili generasi tersebut:
a. Contoh riwayat terkait sahabat:
8ك6ن. ك8 و8ل .EEه6م@ ت8 8م. أ �ى ل 6ن ا إ 8EEم
8 ى أ 8EE6ى م0وس 8ب ر0 أل 8EEف8ق8ال8 ع0م @ه6. س0ول6 الل @اس0 ع8ل8ى ر8 8ق8و@ل8 الن 8ت 8ن. ي 30خ8ش6يت0 أ
Artinya:Ibnu ‘Umar berkata kepada Abu> Mu>sa> al-Asy‘ari>: sesungguhnya aku tidak bermaksud mencurigaimu, tetapi aku hanya takut orang-orang akan berkata sekehendaknya atas Rasulullah saw.
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang Abu> Mu>sa> pun
tetap dicermati oleh sahabat lain, dalam rangka
memastikan kualitas orang-orang yang meriwayatkan
hadis Nabi saw. dan menjaganya dari periwayatan orang-
orang tidak bertanggungjawab.
Demikian pula ungkapan yang lebih jelas, ‘Uqbah dalam
sebuah riwayat berpesan kepada anaknya:
ا: ال 8EE6ه 8ف6ظ0وا ب ت اح. 8EE8الث± ف 0م. ع8ن. ث اك 8EEه. ن8 �ي أ 6ن ، إ ا بEEني@ 8EEي
ه6 .E8ي ه0 ع8ل @Eل@ى الل 8Eه6 ص @Eول6 الل 0Eس د6يث8 م6ن. ر8 8EEح. وا ال 0E8ل 8ق.ب ت6ق8ة±. 6ال م6ن. ث @م8 إ ل 31.....و8س8
Artinya:Wahai anakku, aku melarangmu dari tiga hal, maka berhati-berhatilah darinya: Janganlah menerima hadis dari Rasulullah saw. kecuali dari orang s\iqah.
Potongan hadis ini sangat jelas menggambarkan bahwa di
kalangan sahabat telah dipraktekkan kehati-hatian dalam
30 Abu> Da>wud, Loc. Cit.31 Sulaima>n ibn Ah}mad ibn Ayyu>b Abu> al-Qa>sim al-T{abra>ni,
Mu‘jam al-Kabi>r (Maus}il: Maktabat al-‘Ulu>m wa al-H{ikam, 1983), Juz 17, h. 268.
16
menerima riwayat sebelum memastikan ke-s\iqah-an
sumber riwayat.
b. Riwayat terkait tabi‘in:
Di masa ta>bi‘i>n, ilmu ini mengalami banyak
perkembangan. Banyak di antara mereka yang berguru
kepada sahabat, dan memperluas ijtihad mereka dalam hal
ini. Misalnya dalam sebuah riwayat:
أخرج بن منده من طريق يزيد بن أبي مالك قEEال: كنت عنEEد سEEعيد بن المسEEيب فحEEدثني بحEEديث، فقلت من أحدثك يا أبا محمEد بهEذا؟ فقEال يEا أخEا أهEEل الشEEام خEEذ وال تسEEأل فإنEEا ال نأخEEذ إال عن
32الثقات.
Artinya:Ibn Mandah berkata: aku pernah bersama Sa‘i>d ibn al-Musayyab dan Sa‘i>d menyampaikan kepadaku sebuah hadis, lalu aku bertanya siapa yang menyampaikan hadis ini kepadamu wahai Abu> Muh}ammad? Lalu ia menjawab: wahai saudaraku penduduk Sya>m terimalah dan jangan lagi mempertanyakan dari mana kami mengambilnya, karena kami tidak pernah menerima hadis kecuali dari orang-orang s\iqah.
Demikian pula dalam banyak kasus, ta>bi‘i>n tertentu
bahkan melakukan penilaian langsung kepada orang lain,
misalnya Qata>dah yang menuduh ‘Uba>dah Abu>
Yah}ya> sebagai seorang pendusta.33 Atau riwayat Ibn
Syiha>b al-Zuhri> yang menyatakan bahwa ia hanya
mengakui empat ulama hadis paling terpercaya di masing-
32 Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ujr Syiha>b al-Di>n al-‘Asqala>ni>, Tah{z\i>b al-Tah}z\i>b ([t.t]: Muassasah al-Risa>lah, [t.th]), Juz. IV, h. 87.
33 Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad al-Z|ahabi>, Mi>za>n al-I‘tida>l fi> Naqd al-Rija>l (Kairo: ‘Isa al-Ba>b al-H{alabi> wa Syurakah, 1963), Juz. II, h. 381.
17
masing tempat, yaitu Sa‘i>d ibn al-Musayyab di Madinah,
al-Sya‘bi> di Kufah, H{asan al-Bas}ri> di Bas}rah, dan
Makh}u>l di Sya>m.34
Demikianlah keterangan-keterangan yang menunjukkan
bahwa praktek jarh} dan ta‘di>l dalam hal mengidentifikasi
periwayat-periwayat untuk dipastikan ke-s\iqah-annya dan
diterima atau ditolaknya riwayatnya, telah dilanjutkan oleh para
sahabat Nabi saw. sampai ke generasi tabi‘i>n dan mengalami
banyak perkembangan.
3. Argumentasi logis
Secara logis, kebutuhan terhadap ilmu al-jarh{ wa al-
ta‘di>l pun tak dapat dipungkiri. Kebenaran suatu berita atau
otentiknya suatu hadis sangat bergantung kepada siapa orang-
orang yang secara berantai menyampaikan hadis tersebut.
Dalam konteks keseharian, jika suatu berita didengarkan dari
orang yang terbiasa berdusta dalam kesehariannya, maka
lazimnya setiap perkataannya kemudian patut dicurigai dan tidak
dipercayai. Apatah lagi, dalam konteks Hadis Nabi saw.
Namun—dalam konteks hadis—periwayat-periwayat
tersebut tidaklah hidup di zaman sekarang, yang secara
langsung bisa dilihat dan disaksikan kejujuran atau
kebohongannya. Oleh karena itu, dibutuhkan informasi dari
pendahulu yang ahli dan juga dipercayai dalam menilai dan
menyampaikan informasi kepada generasi selanjutnya tentang
perihal kehidupan para periwayat tersebut.
34 Lihat: Ibid., Juz. IV, h. 177.
18
Berdasarkan kepentingan tersebut, maka ulama berijtihad
dalam meneliti sanad-sanad hadis, khususnya kualitas para
periwayat. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘ilmu al-naqdi
atau ilmu al-jarh{ wa al-ta‘di>l. Mereka lantas menyusun
berbagai jenis kitab biografi, kitab sejarah, kitab t}abaqah, yang
di dalamnya dijelaskan berbagai sisi kehidupan masing-masing
periwayat, dari kelahirannya, pertumbuhan sampai kematiannya,
bagaimana ia belajar dan menuntut ilmu, kepada siapa ia
berguru, kepada siapa ia mengajarkan ilmunya, bagaimana
aqidah, ibadah, dan mu‘amalahnya, dan hal-hal terkait lainnya.35
35 Lihat: Ah}mad ibn H{anbal, Op. Cit., h. 19. Dijelaskan panjang lebar tentang muatan kitab-kitab rija>l, sampai kepada rekaman-rekaman jumlah hadis yang diriwayatkan periwayat, berapa di antara riwayatnya yang s}ah}i>h} dan d}a‘i>f, apakah ia konsisten dalam periwayatannya dan tidak mengalami pikun sebelum wafatnya, dan lain sebagainya.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat pemakalah rangkum ialah
sebagai berikut:
1. Kualitas pribadi seorang Mukharrij al-Hadi>ts tidak terlepas
dengan kriteria sanad yang shahih yaitu adil dan
dhabitnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya
argumen atau penilaian dari para ulama yang juga lebih
dikenal dengan ilmu al-jarh{ wa al-ta‘di>l.
2. Ilmu al-jarh{ wa al-ta‘di>l merupakan ilmu yang sangat
signifikansi (penting) demi kebersihan suatu sanad, dalam
mencapai ke-shahih-an hadis.
3. Argumen-argumen yang dibuktikan dari beberapa firman
Allah swt maupun hadis Nabi saw (naqli) bahwa al-jarh{ wa
al-ta‘di>l sangat di perbolehkan untuk kepentingan syar’i
semata, dan bukan untuk mencela manusia lainnya.
4. Dan sebagaimana dibolehkan jarh dalam persaksian, maka
pada perawi pun juga diperbolehkan, bahkan
memperteguh dan mencari kebenarannya.
20
B. Implikasi
Makalah ini disusun dengan kerja keras, meskipun dengan
keterbatasan ilmu yang pemakalah miliki dan masih dalam
proses pembelajaran, tentunya masih banyak kekurangan di
dalamnya maka dari itu kritik serta saran dari teman-teman dan
khususnya dosen pembimbing, sangat pemakalah harapkan
untak kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
al-‘Asqala>ni>, Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ujr Syiha>b al-Di>n. Tah{z\i>b al-Tah}z\i>b. Juz. IV. [t.t]: Muassasah al-Risa>lah. [t.th].
‘Itr, Nu>r al-Di>n. al-Madkhal ila> ‘Ulu>m al-H{adi>s\ . al-Madi>nah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah. 1972.
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru dalam Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Jakarta: Renaisan. 2005.
Asy‘as\, Abu> Da>wud Sulaima>n ibn. Sunan Abi> Da>wud wa Ma‘a>lim al-Sunan (Beirut: Da>r Ibn H{azm. 1997. Juz. V.
al-Bukha>ri>, Al-Ima>m. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Juz. V. Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r. 1987.
ibn H{anbal, Ah{mad. al-‘Ilal wa Ma‘rifat al-Rija>l. Cet. II; Riya>d}: Da>r al-Kha>ni>. 2001.
Hasyim, Ahmad ‘Umar. Qawa>‘id Us}u>l al-H{adi>s\. Beirut: Da>r al-Fikr [t.th].
Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang. 1988.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. IV; Jakarta: AMZAH. 2010.
21
al-Lat}i>f, ‘Abd al-‘Azi>z ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m al-‘Abd D{awa>bit} al-Jarh} wa al-Ta‘di>l. Madinah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyah. 1412H.
Muslim, Al-Ima>m. S{ah}i>h} Muslim. Juz. IV. Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Arabi> [t.th].
al-Qurtubi. al-jami’ li Ahkam al-Qur’an. juz XVII. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi. 1387 H/ 1967 M.
Ibn al-S{ala>h}. ‘Ulu>m al-H{adi>s\. al-Madi>nah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah. 1972
Sholahuddin, Agus dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008.
al-Suyu>t}i>. Tadri>b al-Ra>wi> fi> Syarh Taqri>b al-Nawawi>. juz I . Beirut: Da>r Ihya>’ al-Sunnah al-Nabawiyyah. 1975.
al-T{abra>ni, Sulaima>n ibn Ah}mad ibn Ayyu>b Abu> al-Qa>sim. Mu‘jam al-Kabi>r. Juz 17. Maus}il: Maktabat al-‘Ulu>m wa al-H{ikam. 1983.
al-Tirmiz\i>, Abu> ‘I<sa.> Sunan al-Tirmiz\i>. Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Arabi>. [t.th]. Juz. V.
al-Z|ahabi>, Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad. Mi>za>n al-I‘tida>l fi> Naqd al-Rija>l. Juz. II. Kairo: ‘Isa al-Ba>b al-H{alabi> wa Syurakah. 1963.
22