obat anastesia mix
DESCRIPTION
referat obat anestesiaTRANSCRIPT
OBAT-OBAT ANASTESI
1.1 ANESTESI INHALASI
Agen inhalasi yang digunakan saat ini adalah nitrit oksida, halotan,
isofluran, desfluran, dan sevofluran. Anestesi inhalasi sering digunakan untuk
menginduksi pasien pediatrik karena sulit untuk menginduksi melalui intravena.
Sebaliknya, pasien dewasa umumnya lebih cenderung memilih intravena.
Anestesi inhalasi memiliki beberapa kandungan farmakologis yang tidak
dimiliki agen-agen anestesi lainnya. Sebagai contoh, paparan terhadap sirkulasi
paru menyebabkan masuknya obat ke darah arteri lebih cepat dibandingkan
melalui intravena. Studi mengenai hubungan antara beberapa dosis obat,
konsentrasi jaringan dan waktu paruh suatu obat disebut farmakokinetik
(bagaimana tubuh merespon obat), sedangkan studi mengenai cara kerja obat
disebut farmakodinamik (bagaimana obat berdampak terhadap tubuh).
1.1.1 Farmakokinetik anestesi inhalasi
Mekanisme kerja anestesi inhalan masih belum dapat diketahui, tetapi
terdapat asumsi bahwa efek dari anestesi ini tergantung terhadap konsentrasi
terapetik pada sistem saraf pusat. Terdapat beberapa tahap untuk mencapai sistem
saraf pusat, dimulai dari administrasi anestesi melalui vaporizer hingga deposisi
dalam otak.
1
2
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi inspirasi
Gas murni yang keluar dari mesin anestesi bercampur dengan gas yang
berada pada sirkulasi pernapasan. Maka dari itu, pasien tidak serta merta
menerima sejumlah konsentrasi yang telah ditentukan pada vaporizer. Komposisi
sesungguhnya dari campuran gas yang dihirup didasarkan pada kecepatan aliran
gas murni tersebut, volume pernapasan, dan absorbsi oleh mesin sirkulasi
pernapasan. Semakin tinggi kecepatan aliran gas murni tersebut maka semakin
kecil pula volume dari sistem pernapasan, dan semakin rendah absorbsinya maka
semakin dekat jumlah dari gas yang diinspirasi dengan konsentrasi gas murni.
Secara klinis, hal ini dapat menyebabkan induksi dan pemulihan pasien yang
cepat.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi alveolar (FA)
a. Asupan
Semakin besar asupan agen anestesi maka semakin besar pula perbedaan
antara konsentrasi gas dan konsentrasi yang diinspirasi, dan menurunkan kadar
induksi. Terdapat tiga faktor yang dapat berdampak pada hal tersebut, diantara
lainnya adalah solubilitas darah, aliran darah alveoli, dan perbedaan antara
tekanan parsial gas alveoli dan pembuluh darah vena.
b. Ventilasi
Penurunan tekanan parsial alveoli dapat menyebabkan peningkatannya
ventilasi alveoli. Peningkatan ventilasi akan menyebabkan peningkatan FA/FI
untuk anestesi yang larut dalam air. Karena FA/FI sudah cukup tinggi agen
3
inhalasi yang tidak larut dalam air, peningkatan ventilasi tidak begitu memberikan
dampak. Sebaliknya, efek anestesi terhadap cardiac output, anestesi yang
menyebabkan depresi pernapasan seperti halotan akan menurunkan kadar
peningkatan konsentrasi alveolar dan menyebabkan umpan balik negatif.
c. Konsentrasi
Efek dari asupan agen anestesi dapat dikurangi dengan meningkatkan
konsentrasi yang di aspirasi. Efek konsentrasi merupakan hasil dari dua fenomena.
Fenomena yang pertama disebut concentrating effect. Bila 50% anestesi di
absorbsi pada sirkulasi pulmonal, 20% dari konsentrasi yang terinspirasi akan
berakhir dengan 10% dari konsentrasi alveolar. Fenomena kedua disebut
augmented inflow effect. Berdasarkan contoh diatas, 10 bagian dari gas yang
terabsorbsi harus diganti dengan volume yang sama sebanyak 20% untuk
mencegah kolapsnya alveoli.
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Arterial (Fa)
Hanya terdapat satu faktor yang memengaruhi konsentrasi arterial secara
bermakna, yakni ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Normalnya, tekanan parsial
anestetik di alveoli diasumsikan sama dengan darah arteri. Akan tetapi
kenyataannya tekanan parsial arterial secara konstan kurang dari yang
diperkirakan. Alasan di balik kejanggalan ini adalah pencampuran di darah vena,
ruang rugi alveolar, dan distribusi gas di alveoli yang tidak merata. Lebih lanjut,
adanya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi akan semakin meningkatkan
perbedaan konsentrasi alveolar dengan arterial. Ketidakseimbangan ini dapat
4
diasumsikan sebagai restriksi: meningkatkan tekanan di depan restriksi,
menurunkan tekanan di belakang restriksi, dan mengurangi aliran di restriksi itu
sendiri.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
Pemulihan pascaanestesia bergantung pada penurunan konsentrasi anestetik
di jaringan otak. Anestetik dapat dieleminasi dengan biotransformasi, kehilangan
transkutaneus, atau ekshalasi. Biotransformasi biasanya tidak terlalu berkontribusi
terhadap penurunan tekanan parsial alveolar. Pengaruh terbesar metode ini adalah
pada eleminasi anestetik solubel yang mengalami metabolisme ekstensif seperti
metoksifluran. Biotransformasi halotan yang lebih tinggi daripada isofluran
mengakibatkan eleminasi halotan lebih cepat daripada isofluran. Beberapa
isoenzim sitokrom P-450 terutama CYP 2EI tampak memegang peran penting
dalam eleminasi beberapa agen anestetik inhalasi. Sementara itu, difusi
transkutaneus juga terhitung tidak terlalu signifikan.
Rute terpenting dalam eleminasi anestetik inhalasi adalah ekshalasi melalui
alveolus. Banyak faktor yang mempercepat induksi rupanya juga mempercepat
eleminasi: rebreathing, tingginya aliran gas segar, rendahnya volume sirkuit,
rendahnya absorpsi oleh sirkuit dan mesin anestesia, rendahnya solubilitas,
tingginya aliran darah serebral, dan besarnya ventilasi. Eleminasi nitrous oksida
sangat cepat sedemikian sehingga oksigen dan CO2 alveolar menjadi terdilusi;
akibatnya terjadi hipoksia difusi. Risiko demikian dicegah dengan administrasi
oksigen 100% selama 5–10 menit setelah menghentikan nitrous oksida. Laju
5
pemulihan biasanya lebih cepat daripada induksi karena jaringan yang belum
mencapai kesetimbangan akan terus mengambil anestetik dari darah hingga
tekanan parsial alveolar menjadi lebih rendah daripada tekanan parsial jaringan.
Lebih konkret, jaringan lemak akan terus mengambil anestetik dan mempercepat
pemulihan hingga tekanan parsial di sana sama atau lebih tinggi daripada di
alveoli. Redistribusi demikian tidak terjadi setelah anestesia yang sudah
berlangsung lama; jadi kecepatan pemulihan juga dipengaruhi oleh durasi
anestesia.
1.1.2 Farmakodinamik Anestesi Inhalasi
1. Teori-teori mengenai Mekanisme Kerja Anestetik Inhalasi
Anestesia umum adalah keadaan fisiologis yang sengaja disimpangkan,
ditandai dengan kehilangan kesadaran secara reversibel, analgesia seluruh tubuh,
amnesia, dan sedikit relaksasi otot. Zat-zat yang dapat menghasilkan keadaan
anestesia umum sangat beragam mulai dari elemen inert (xenon), substansi
organik sederhana (nitrous oksida), hidrokarbon terhalogenasi (halotan), dan
struktur irganik kompleks (barbiturat). Teori yang dapat menyatukan mekanisme
kerja anestetik harus dapat mengakomodasi diversitas struktur yang telah
tergambarkan tadi. Pada kenyataannya, berbagai agen mungkin menghasilkan
anestesia melalui metodenya masing-masing.
Diduga kuat tidak terdapat satu situs aksi makroskopik bersama antara
semua agen inhalasi. Area spesifik otak dipengaruhi oleh berbagai macam
anestetik termasuk reticular activating system (RAS), korteks serebral, nukleus
6
kaudatus, korteks olfaktorius, dan hipokampus. Anestetik juga menekan transmisi
eksitatori pada medula spinalis, terutama di interneuron kornu dorsalis yang
berperan dalam menyampaikan impuls nyeri. Aspek anestesia yang berbeda
mungkin dilatarbelakangi oleh mekanisme yang berbeda pula. Misalnya,
ketidaksadaran dan amnesia mungkin dimediasi oleh aksi anestetik di korteks,
sementara supresi nyeri mungkin berkaitan dengan struktur subkortikal seperti
medula spinalis atau batang otak. Suatu studi mencit bahkan menunjukkan bahwa
pengangkatan korteks serebral tidak mengubah potensi anestetik!
Pada level mikroskopik, transmisi sinaptik lebih sensitif terhadap anestesia
umum daripada konduksi aksonal. Hipotesis ini beranggapan bahwa semua agen
inhalasi mempunyai suatu mekanisme yang sama di tingkat molekuler. Hal ini
didukung oleh observasi di mana potensi agen-agen inhalasi berkorelasi secara
langsung dengan solubilitasnya dalam lemak (aturan Meyer–Overton).
Implikasinya, anestesia dihasilkan oleh kinerja molekul anestetik di suatu situs
lipofilik tertentu. Relasi antara potensi anestetik dan solubilitasnya dalam lemak
secara kasar dapat dilihat pada Diagram 3.
Membran neuron mengandung situs hidrofobik beragam di bilayer
fosfolipidnya. Ikatan anestetik di situs tersebut dapat memperluas bilayer melebihi
jumlah kritisnya dan mengganggu fungsi membran; hal ini tertuang sebagai
hipotesis volume kritis. Meskipun tampaknya terlalu disimplifikasikan, teori ini
dapat menjelaskan fenomena reversal anestesia akibat peningkatan tekanan:
laboratorium mencit yang terekspos tekanan hidrostatik yang meningkat ternyata
resisten terhadap anestetik. Kemungkinan tekanan tersebut menggantikan
7
sejumlah molekul di membran neuron, sehingga meningkatkan jumlah anestetik
yang diperlukan untuk memberikan efek. Anestesia umum dapat muncul akibat
alterasi satu atau beberapa sistem seluler seperti kanal ion, fungsi perantau kedua,
atau reseptor neurotransmiter terutama GABA.
Diagram 3. Relasi potensi anestetik inhalasi dengan solubilitasnya dalam
lemak
8
2. Konsentrasi Alveolar Minimum
Konsentrasi alveolar minimum atau minimum alveolar concentration
(MAC) anestetik inhalasi adalah konsentrasi alveolar yang dapat menghambat
gerakan pada 50% pasien terhadap stimulus standar seperti insisi bedah. MAC
merupakan ukuran yang berguna karena merefleksikan tekanan parsial anestetik di
otak, sehingga dapat membandingkan secara langsung potensi setiap anestetik
sekaligus memberikan standar baku untuk penelitian. Meskipun demikian, nilai
MAC tetap saja hanya merupakan angka statistikal belaka pada saat menangani
pasien; masing-masing pasien merupakan individu yang unik dan oleh karena itu
memerlukan pendekatan yang bersifat individual pula, misalnya pada saat
menentukan dosis induksi.
1.1.2 Farmakologi Klinik Anestesi Inhalasi
A. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat
dari udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan
AgenMAC
%
Nitrous oksida 105
Halotan 0.75
Isofluran 1.2
Desfluran 6.0
Sevofluran 2.0
9
dengan zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan
dalam bentuk cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen
anestetik inhalasi lain. Efek Nitrous Oksida pada sistem-sistem organ, yaitu:
1. Sistem Kardiovaskular
Efek terhadap sistem kardiovaskular dapat dijelaskan melalui tendensinya
dalam menstimulasi sistem simpatis. Meski secara in vitro gas ini menurunkan
kontraktilitas otot jantung, namun secara in vivo tekanan darah arteri, curah
jantung, serta frekuensi nadi tidak mengalami perubahan atau hanya terjadi sedikit
peningkatan karena adanya stimulasi katekolamin, sehingga peredaran darah tidak
terganggu (kecuali pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau hipovolemik
berat).
2. Sistem Respirasi
Efek terhadap respirasi dari gas ini adalah peningkatan laju napas (takipnea)
dan penurunan volume tidal akibat stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP). N2O dapat
menyebabkan berkurangnya respons pernapasan terhadap CO2 meski hanya
diberikan dalam jumlah kecil, sehingga dapat berdampak serius di ruang
pemulihan (pasien jadi lebih lama dalam keadaan tidak sadar).
3. Sistem Saraf Pusat dan Neuromuskular
Efek terhadap SSP adalah peningkatan aliran darah serebral yang berakibat
pada sedikit peningkatan tekanan intrakranial (TIK). N2O juga meningkatkan
10
konsumsi oksigen serebral. Efek terhadap neuromuskular tidak seperti agen
anestetik inhalasi lain, di mana N2O tidak menghasilkan efek relaksasi otot, malah
dalam konsentrasi tinggi pada ruangan hiperbarik, N2O menyebabkan rigiditas
otot skeletal.
4. Ginjal
Efek terhadap ginjal adalah penurunan aliran darah renal (dengan
meningkatkan resistensi vaskular renal) yang berujung pada penurunan laju
filtrasi glomerulus dan jumlah urin.
5. Hepar dan Gastrointestinal
Efek terhadap hepar adalah penurunan aliran darah hepatik (namun dalam
jumlah yang lebih ringan dibandingkan dengan agen inhalasi lain). Efek terhadap
gastrointestinal adalah adalanya mual muntah pascaoperasi, yang diduga akibat
aktivasi dari chemoreceptor trigger zone dan pusat muntah di medula. Efek ini
dapat muncul pada anestesi yang lama.
N2O sukar larut dalam darah, dan merupakan anestetik yang kurang kuat
sehingga kini hanya dipakai sebagai adjuvan atau pembawa anestetik inhalasi lain
karena kesukarlarutannya ini berguna dalam meningkatkan tekanan parsial
sehingga induksi dapat lebih cepat (setelah induksi dicapai, tekanan parsial
diturunkan untuk mempertahankan anestesia). Dengan perbandingan N2O:O2 =
85:15, induksi cepat dicapai tapi tidak boleh terlalu lama karena bisa
mengakibatkan hipoksia (bisa dicegah dengan pemberian O2 100% setelah N2O
11
dihentikan). Efek relaksasi otot yang dihasilkan kurang baik sehingga dibutuhkan
obat pelumpuh otot. N2O dieksresikan dalam bentuk utuh melalui paru-paru dan
sebagian kecil melalui kulit.
Dengan secara ireversibel mengoksidasi atom kobalt pada vitamin B12, N2O
menginhibisi enzim yang tergantung pada vitamin B12, seperti metionin sintetase
yang penting untuk pembentukan myelin, serta thimidilar sintetase yang penting
untuk sintesis DNA. Pemberian yang lama dari gas ini akan menghasilkan depresi
sumsum tulang (anemia megaloblastik) bahkan defisiensi neurologis (neuropati
perifer). Oleh karena efek teratogeniknya, N2O tidak diberikan untuk pasien yang
sedang hamil (terbukti pada hewan coba, belum diketahui efeknya pada manusia).
Kombinasinya dengan agen anestetik inhalasi lain dapat menurunkan MAC
agen inhalasi tersebut sampai 50%, contohnya halotan dari 0,75% menjadi 0,29%
atau enfluran dari 1,68% menjadi 0,6%.
B. Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga
bersifat tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan
berbentuk cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan
pengawet timol berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi
dan tahapan anestesia dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling
12
murah, dan karena keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia. Efek
Halotan pada sistem-sistem organ, yaitu:
1. Sistem Kardiovaskular
Halotan menyebabkan 50% depresi tekanan darah dan curah jantung.
Halotan dapat secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos pembuluh
darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan tekanan darah terjadi
akibat depresi langsung pada miokard dan penghambatan refleks baroreseptor
terhadap hipotensi, meski respons simpatoadrenal tidak dihambat oleh halotan
(sehingga peningkatan PCO2 atau rangsangan pembedahan tetap memicu respons
simpatis). Makin dalam anestesia, makin jelas turunnya kontraksi miokard, curah
jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer. Efek bradikardi disebabkan aktivitas
vagal yang meningkat. Automatisitas miokard akibat halotan diperkuat oleh
pemberian agonis adrenergik (epinefrin) yang menyebabkan aritmia jantung. Efek
vasodilatasi yang dihasilkan pada pembuluh darah otot rangka dan otak dapat
meningkatkan aliran darah.
2. Sistem Respirasi
Efek terhadap respirasi adalah pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan
laju napas ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan volume tidal, sehingga
ventilasi alveolar turun dan PaCO2. Depresi napas ini diduga akibat depresi
medula (sentral) dan disfungsi otot interkostal (perifer). Halotan diduga juga
sebagai bronkodilator poten, di mana dapat mencegah bronkospasme pada asma,
13
menghambat salivasi dan fungsi mukosiliar, dengan relaksasi otot maseter yang
cukup baik (sehingga intubasi mudah dilakukan), namun dapat mengakibatkan
hipoksia pascaoperasi dan atelektasis. Efek bronkodilatasi ini bahkan tidak
dihambat oleh propanolol.
3. Sistem Saraf Pusat dan Neuromuskular
Dengan mendilatasi pembuluh darah serebral, halotan menurunkan
resistensi vaskular serebral dan meningkatkan aliran darah otak, sehingga ICP
meningkat, namun aktivitas serebrum berkurang (gambaran EEG melambat dan
kebutuhan O2 yang berkurang). Efek terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot
skeletal dan meningkatkan kemampuan agen pelumpuh otot nondepolarisasi, serta
memicu hipertermia malignan.
4. Ginjal dan Hati
Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi
glomerulus, dan jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh penurunan tekanan darah
arteri dan curah jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan aliran darah
hepatik, bahkan dapat menyebabkan vasospasme arteri hepatik. Selain itu,
metabolisme dan klirens dari beberapa obat (fentanil, fenitoin, verapamil) jadi
terganggu.
Eksresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang dimetabolisme
dalam tubuh untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam trifluoroasetat,
trifluoroetanol, dan bromida. Halotan dioksidasi di hati oleh isozim sitokrom P-
14
450 menjadi metabolit utamanya, asam trifluoroasetat. Metabolisme ini dapat
dihambat dengan pemberian disulfiram. Bromida, metabolit oksidatif lain, diduga
menjadi penyebab perubahan status mental pascaanestesi. Disfungsi hepatik
pascaoperasi dapat disebabkan oleh: hepatitis viral, perfusi hepatik yang
terganggu, penyakit hati yang mendasari, hipoksia hepatosit, dan sebagainya.
Penggunaan berulang dari halotan dapat menyebabkan nekrosis hati sentrolobular
dengan gejala anoreksia, mual muntah, kadang kemerahan pada kulit disertai
eosinofilia.
Halotan dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi hati, atau pernah
mendapat halotan sebelumnya. Halotan sebaiknya digunakan secara hati-hati pada
pasien dengan massa intrakranial (kemungkinan adanya peningkatan TIK). Efek
depresi miokard oleh halotan dapat dieksaserbasi oleh agen penghambat
adrenergik (seperti propanolol) dan agen penghambat kanal ion kalsium (seperti
verapamil). Penggunaannya bersama dengan antidepresan dan inhibitor
monoamin oksidase (MAO-I) dihubungkan dengan fluktuasi tekanan darah dan
aritmia. Kombinasi halotan dan aminofilin berakibat aritmia ventrikel.
C. Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur
kimia yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan
enfluran. Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
15
intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman
anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta
peningkatan frekuensi denyut jantung. Efek esofluran pada sistem-sistem organ,
yaitu:
1. Sistem Kardiovaskular
Secara in vivo, isofluran menyebabkan depresi kardiak minimal, curah
jantung dijaga dengan peningkatan frekuensi nadi. Stimulasi adrenergik
meningkatkan aliran darah otot, menurunkan resistensi vaskular sistemik,dan
menurunkan tekanan darah arteri (karena vasodilatasi). Dilatasi juga terjadi pada
pembuluh darah koroner sehingga dipandang lebih aman untuk pasien dengan
penyakit jantung (dibanding halotan atau enfluran), namun ternyata dapat
menyebabkan iskemia miokard akibat coronary steal (pemindahan aliran darah
dari area dengan perfusi buruk ke area yang perfusinya baik).
2. Sistem Respirasi
Efek terhadap respirasi serupa dengan semua agen anestetik inhalasi lain,
yakni depresi napas dan menekan respons ventilasi terhadap hipoksia, selain itu
juga berperan sebagai bronkodilator. Isofluran juga memicu refleks saluran napas
yang menyebabkan hipersekresi, batuk, dan spasme laring yang lebih kuat
dibanding enfluran. Isofluran juga mengganggu fungsi mukosilia sehingga dengan
anestesi lama dapat menyebabkan penumpukan mukus di saluran napas.
16
3. Sistem Saraf Pusat dan Neuromuskular
Efek terhadap SSP adalah saat konsentrasi lebih besar dari 1 MAC,
isofluran dapat meningkatkan TIK, namun menurunkan kebutuhan oksigen. Efek
terhadap neuromuskular adalah merelaksasi otot skeletal serta meningkatkan efek
pelumpuh otot depolarisasi maupun nondepolarisasi lebih baik dibandingkan
enfluran.
4. Ginjal dan Hati
Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi
glomerulus, dan jumlah urin. Efek terhadap hati adalah menurunkan aliran darah
hepatik total (arteri hepatik dan vena porta), fungsi hati tidak terganggu.
Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat, dan meski kadar
fluorida serum meningkat, kadarnya masih di bawah batas yang merusak sel.
Belum pernah dilaporkan adanya gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah
penggunaan isofluran. Penggunaannya tidak dianjurkan untuk wanita hamil
karena dapat merelaksasi otot polos uterus (perdarahan persalinan). Penurunan
kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam sesudah anestesia, tapi tidak terjadi mual
muntah pascaoperasi.
D. Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya
17
saja atom klorin pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga
kelarutan desfluran lebih rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih
rendah sehingga memberikan induksi dan pemulihan yang lebih cepat
dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan, pasien sudah respons
terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah
singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan
batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi.
Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi
17 kali lebih poten dibanding N2O.
Efek terhadap kardiovaskular desfluran mirip dengan isofluran, hanya saja
tidak seperti isofluran, desfluran tidak meningkatkan aliran darah arteri koroner.
Efek terhadap respirasi adalah penurunan volume tidal dan peningkatan laju
napas. Secara keseluruhan terdapat penurunan ventilasi alveolar sehingga terjadi
peningkatan PaCO2. Efek terhadap SSP adalah vasodilatasi pembuluh darah
serebral, sehingga terjadi peningkatan TIK, serta penurunan konsumsi oksigen
oleh otak. Tidak ada laporan nefrotoksik akibat desfluran, begitu juga dengan
fungsi hati.
Desfluran memiliki kontraindikasi berupa hipovolemik berat, hipertermia
malignan, dan hipertensi intrakranial. Desfluran juga dapat meningkatkan kerja
obat pelumpuh otot nondepolarisasi sama halnya seperti isofluran.
18
E. Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menjadi pilihan yang tepat
untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa.
Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat
dicapai dalam 1-3 menit.
Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan.
Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara ringan juga
mengalami penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran.
Belum ada laporan mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen
inhalasi ini dapat mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator. Efek
terhadap SSP adalah peningkatan TIK, meski beberapa riset menunjukkan adanya
penurunan aliran darah serebral. Kebutuhan otak akan oksigen juga mengalami
penurunan. Efeknya terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat
sehingga membantu dilakukannya intubasi pada anak setelah induksi inhalasi.
Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan aliran darah renal dalam jumlah sedikit,
sedangkan terhadap hati, sevofluran menurunkan aliran vena porta tapi
meningkatkan aliran arteri hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan oksigen
untuk hati.
Enzim P-450 memetabolisme sevofluran. Soda lime dapat mendegradasi
sevofluran menjadi produk akhir yang nefrotoksik. Meski kebanyakan riset tidak
menghubungkan sevofluran dengan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi,
beberapa ahli tidak menyarankan pemberian sevofluran pada pasien dengan
19
disfungsi ginjal. Sevofluran juga dapat didegradasi menjadi hidrogen fluorida oleh
logam pada peralatan pabrik, proses pemaketannya dalam botol kaca, dan faktor
lingkungan, di mana hidrogen fluorida ini dapat menyebabkan luka bakar akibat
asam jika terkontak dengan mukosa respiratori. Untuk meminimalisasi hal ini,
ditambahkan air dalam proses pengolahan sevofluran dan pemaketannya
menggunakan kontainer plastik khusus.
Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia
maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik
inhalasi lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot.
1.2 NON VOLATILE ANESTHETICS AGENT
Penggunanaan anestesi umum tidak terbatas pada inhalasi saja. Banyak obat
yang dikonsumsi secara oral, intramuskular dan intravena atau menghasilkan
keadaan anestesi dalam rentang dosis yang diberikan. Induksi anestesi pada pasien
dewasa biasanya melibatkan pemberian intravena, dan pengembangan krim
EMLA (eutectic (easily melted) mixture of local anesthetic), LMX (plain lidocain
cream 4% dan 5%) dan 2% lidocaine gel secara signifikan telah meningkatkan
induksi intravena pada anak-anak. bahkan pemeliharaan anestesi umum dapat
dicapai dengan teknik anestesi intravena total. Farmakologi klinis beberapa agen
anestesi diantaranya: barbiturat, benzodiazepin, opioid, ketamin, etomidate,
propofol, dan droperidol.
20
1.2.1 Barbiturat
A. Mekanisme kerja
Barbiturat menurunkan sistem aktivasi retikular, suatu komplek jaringan
neuron polisinaptik dan pusat pengatur yang berlokasi di batang otak yang
mengendalikan beberapa fungsi vital termasuk kesadaran. Dalam konsentrasi
klinis, barbiturat lebih cenderung mempengaruhi fungsi sinaps saraf daripada
akson. Mereka menekan transmisi neurotrransmitter eksitasi (misalnya asetilkolin)
dan meningkatkan transmisi neurotransmitter inhibisi (misalnya γ -aminobutyric
acid [GABA]). Mekanisme spesifik termasuk mengganggu lepasnya transmitter
(pre sinaps) dan secara selektif berinteraksi dengan reseptor (post sinaps).
B. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Barbiturat sering diberikan secara intravena untuk induksi anestesi umum
pada orang dewasa, terkecuali thiophental dan methohexital yang penggunaannya
per rectal untuk induksi pada anak-anak serta fenobarbital dan secobarbital
melalui intramuskular untuk premedikasi pada semua umur.
2. Distribusi
Distribusi barbiturat yang larut lemak (thiophental, thiamylal, dan
metohexytal) ditentukan dengan redistribusi, tidak dimetabolisme atau
dieliminasi. Sebagai contoh, walaupun thiopental adalah protein-bound (ikatan
proteinnya) tinggi (80%), tetapi kelarutannya terhadap lemak yang baik dan
21
bersifat non-ion untuk suplay maksimum ke otak dalam 30 detik. Jika
kompartemen utama terkontraksi (misalnya syok hipovolemik), jika serum
albumin rendah (misal penyakit hati yang parah) atau jika fraksi non ion
meningkat (misal asidosis), konsentrasi otak dan hati yang lebih tinggi akan
menerima dosis yang diberikan. Redistribusi berikutnya ke kompartemen perifer
secara spesifik, kelompok otot – konsentrasi plasma dan otak lebih rendah sampai
10% dari level puncak dalam 20-30 menit. Farmakokinetik berhubungan dengan
riwayat klinis pasien biasanya kehilangan kesadaran dalam 30 detik dan bangun
dalam 20 menit. Perbedaannya untuk inisial yang cepat waktu paruh distribusi
dalam beberapa menit dan waktu paruh eliminasi dari thiopental berkisar antara 3
jam sampai 12 jam. Thiamulal dan methohexital mempunyai pola distribusi yang
mirip, saat barbiturat yang kurang lemak memiliki waktu paruh distribusi dan
durasi kerja yang jauh lebih lama. Pemberian barbiturat yang berulang akan
mensaturasi kompartemen-kompartemen perifer, sehingga redistribusi tidak dapat
muncul dan durasi kerja akan menjadi lebih tergantung terhadap eliminasi.
3. Biotransformasi
Biotransformasi barbiturat pada prinsipnya melibatkan oksidasi hati menjadi
metabolit yang inaktif dan larut air. Oleh karena pengeluaran oleh hati yang lebih
besar, maka methohexital dibersihkan oleh hepar 3 sampai 4 kali lebih cepat
dibandingkan thiopental atau thiamylal. Saat redistribusi bertanggung jawab untuk
peningkatan dari dosis tunggal terhadap barbiturat larut lemak apapun, pemulihan
22
penuh dari fungsi psikomotor lebih cepat dari pada metohexital dalam
penambahan metabolismenya.
4. Ekskresi
Ikatan tinggi protein barbiturat menurunkan laju filtrasi glomerulus,
sementara yang memiliki kelarutan lemak tinggi bertahan untuk meningkatkan
reabsorbsi tubulus ginjal. Kecuali untuk pengikatan yang lebih rendah dan zat
larut lemak yang lebih rendah seperti fenobarbital, ekskresi ginjal terbatas untuk
produk akhir yang larut air dari biotransformasi hepar. Methohexital diekskresi di
feses.
5. Efek terhadap sistem organ
Cardiovascular
Pemberian dosis induksi intravena barbiturat menyebabkan penurunan
tekanan darah dan peningkatan denyut jantung. Depresi dari pusat vasomotor
medulla memvasodilatasi vena-vena kapasitas perifer, yang meningkatkan
pembendungan perifer dari darah dan menurunkan aliran kembali vena ke atrium
kanan. Takikardi yang didapat berhubungan dengan efek vagolitik sentral.
Cardiac output tergantung pada peningkatan denyut jantung dan peningkatan
kontraktilitas miokardium yang terjadi untuk mengompensasi reflek baroreseptor.
Induksi simpatetik yang menyebabkan vasokontriksi dari tahanan pembuluh darah
juga dapat meningkatkan tahanan perifer vaskular. Bagaimanapun keadaannya,
jika tidak ada respon baroreseptor yang adekuat (misal : hipovolemia, gagal
23
jantung kongestif, atau blokade B adrenergic), cardiac output dan tekanan darah
arteri dapat turun secara mendadak yang disebabkan tidak terkompensasinya
pooling (bendungan) di perifer dan depresi miokardium secara langsung. Pasien
dengan kontrol hipertensi yang sangat buruk biasanya cenderung akan
menyebabkan pelebaran tekanan pembuluh darah selama induksi. Demikian pula,
efek barbiturat terhadap kardiovaskular sangat menarik karena tergantung pada
status volume, autonom dan penyakit kardiovaskuler yang ada sebelumnya.
Injeksi yang perlahan dan pengurangan hidrasi preoperative yang adekuat dapat
berbeda-beda efeknya pada tiap pasien.
Respiratory
Barbiturat menekan pusat pengatur pernafasan sehingga terjadi hiperkapnia
dan hipoksia. Apnea biasanya terjadi setelah induksi dengan barbiturat. Dalam
keadaan tidak sadar, volume tidal dan laju pernafasan menurun. Barbiturat tidak
sepenuhnya menyebabkan depresi refleks airway yang merugikan, dan
bronkospasme pada pasien asma atau laringospasme pada pasien yang dianestesi
ringan biasanya tidak diikuti dengan instrumentasi jalan napas. Laringospasme
dan hiccup lebih sering terjadi setelah pemberian methohexital dibandingkan
thiopental.
Otak
Barbiturat menyebabkan konstriksi pembuluh darah otak, menyebabkan
penurunan aliran darah serebral dan tekanan intracranial. Penurunan tekanan
intracranial melampaui ambang rendah pada tekanan darah arteri, supaya Otak
Perfusion Pressure (CPP) biasanya dinaikkan (CPP = tekanan arteri serebral
24
dikurangi tekanan vena serebral yang lebih besar atau tekanan intracranial).
Pengurangan aliran di dalam otak tidak akan mengganggu kesehatan, apabila
penurunan pengaruh obat bius lebih besar konsumsi oksigen di dalam otak
(sampai dengan 50% dari normal). Perubahan aktivitas di dalam otak dan
kebutuhan oksigen ditunjukkan oleh perubahan dalam EEG, dimana proses
perkembangan dari aktivitas cepat voltase rendah dengan aktivitas pelan dosis
kecil sampai tinggi dan electrical silence (isolectric) dengan obat bius dosis sangat
tinggi (30-40 mg/kg thiopental). Efek dari barbiturat ini dapat melindungi otak
dari episode sementara / transient episode focal ischemia (seperti cardiac arrest).
Tingkat penurunan aktivitas sistem saraf pusat disebabkan oleh perubahan dari
keadaan sedasi ringan menjadi tidak sadar, tergantung pada pemberian dosis.
Tidak seperti narkotik, barbiturat tidak secara selektif mengganggu persepsi nyeri.
Faktanya, mereka menunjukkan pengaruh antianalgesik oleh penurunan ambang
batas nyeri. Dosis rendah kadang-kadang menyebabkan suatu keadaan gembira
dan orientasi hilang / kacau yang mana dapat menjadi sedasi apabila
pemberiannya objektif. Barbiturat tidak menghasilkan relaksan otot dan beberapa
menyebabkan kontraksi involunter otot skeletal (misalnya methohexital). Secara
relatif dosis kecil thiopental (50-100mg intravena) secara cepat mengontrol
serangan grand mall. Toleransi akut fisiologik tergantung pada pengaruh sedasi
barbiturat secara cepat
Renal
Barbiturat menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus
sebanding dengan turunnya tekanan darah.
25
Hepatik
Aliran darah hepatik berkurang. Pemakaian barbiturat yang lama
mempunyai efek yang berlawanan pada biotrasformasi obat. Induksi oleh enzyme
hepatic menaikkan laju metabolisme dari beberapa obat (misalnya digitoxin),
ketika dikombinasi enzyme Cytochrome P-450 maupun biotransformasi obat-obat
yang lainnya (misal tricyclic antidepresan). Induksi oleh asam aminolevulinic
syntetase menstimulasi pembentukan porphyrin (zat pada pembentukan heme),
yang dapat menyebabkan acute intermittent phorphyria atau variegate porphyria
pada individu yang rentan.
Immunologic
Reaksi anafilaktik dan alergi jarang ditemukan. Sulfur mengandung
thiobarbiturat menimbulkan pelepasan mast cell histamine invitro, sedangkan
oxybarbiturat tidak. Untuk alasan ini, beberapa dokter anestesi lebih memilih
methohexital daripada thiopental atau thiamylal pada pasien asthmatic atau
atopic.
1.2.2 Benzodiazepin
Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada sistem saraf pusat,
khususnya cortex serebri. Reseptor Benzodiazepin meningkatkan efek inhibisi
beberapa neurotransmitter. Sebagai contoh , reseptor Benzodiazepin memfasilitasi
reseptor asam γ aminobutirat, yang meningkatkan konduksi membran ion Cl. Hal
ini menyebabkan perubahan pada polarisasi membran itu sehingga menghambat
fungsi neuronal normal.
26
A. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Benzodiazepin biasanya diberikan per oral, intramuscular dan intravena agar
menyebabkan sedasi atau induksi anestesi umum. Diazepam dan lorazepam
diabsorbsi baik di traktus gastrointestinal, dengan level plasma puncak dicapai
dalam 1 dan 2 jam berturut-turut. Midazolam tidak disarankan untuk pemberian
oral. Injeksi intramuscular diazepam sangat nyeri dan tidak baik, tapi sebaliknya,
midazolam dan lorazepam diabsorbsi baik setelah injeksi intramuscular dengan
level plasma puncak dicapai dalam 30-90 menit berturut-turut. Induksi anestesi
umum dengan midazolam memerlukan pemberian intravena.
2. Distribusi
Diazepam cepat larut dalam lemak dan mudah melewati sawar darah otak.
Meskipun Midazolam larut pada air pada pH rendah, cincin Imidazol mendekati
pH fisiologis, sehingga menyebabkan peningkatan kelarutan lemak. Kelarutan
lemak sedang dari lorazepam dihitung untuk perlambatan konsumsi di otak dan
lama kerja. Distribusi ulang cepat untuk benzodiazepin (waktu paruh = 3-10
menit) dan sama untuk barbiturat, benzodiazepin bertanggung jawab untuk
kesadaran. Meskipun midazolam sering digunakan untuk induksi anestesi, namun
tidak dari benzodiazepine dapat menyamai kecepatan onset dan durasi pendek
kerja thiopental. Semua ke-3 benzodiazepin adalah tinggi protein-bound-nya (90-
98%).
27
3. Biotransformasi
Benzodiazepin bertumpu pada hati untuk biotrasformasinya agar dapat
melewati sawar air menjadi produk akhir glukoronid. Fase I dari metabolisme
diazepam adalah aktivasi farmakologik. Ekstraksi hepatik berjalan lambat dan
volume distribusi yang luas dalam waktu paruh eliminasi yang panjang untuk
diazepam (30 jam). Walaupun lorazepam juga mempunyai rasio ekstraksi hepar
yang rendah, solubilitas lemak yang rendah membatasi volume distribusinya,
mempunyai waktu paruh eliminasi yang pendek (15 jam). Durasi klinis dari
lorazepam sering memanjang yang disebabkan oleh tingginya afinitas reseptor.
Sebaliknya, midazolam mengambil bagian dari distribusi volume diazepam, tapi
waktu paruh eliminasinya (2 jam) merupakan yang terpendek dalam golongannya
karena tingginya rasio ekstraksi.
4. Ekskresi
Metabolit dari biotransformasi benzodiazepin diekskresikan dalam urine.
Sirkulasi enterohepatik memproduksi puncak kedua dalam konsentrasi plasma
diazepam 6-12 jam setelah pemberian obat.
5. Efek Terhadap Sistem Organ
a. Kardiovaskular
Benzodiazepin menyebabkan efek minimal depresi kardiovaskular pada
dosis induksi. Tekanan darah arteri, cardiac output dan tahanan vaskuler perifer
biasanya menurun secara perlahan, sedangkan denyut jantung terkadang
28
meningkat. Midazolam cenderung menurunkan tekanan darah dan tahanan
vaskuler perifer dibandingkan diazepam.
b. Respirasi
Benzodiazepin menekan respon ventilasi terhadap CO2. Penekanan ini
biasanya tidak berarti kecuali jika obat diberikan intravena atau dalam campuran
dengan obat depresan pernapasan yang lain. Walaupun apneu jarang terjadi
setelah indulsi benzodiazepin dibanding setelah induksi barbiturat, tetapi dosis
kecil intravena diazepam dan midazolam telah terbukti dalam menghentikan
respirasi. Tahap kurva respon dosis dan potensi yang tinggi dari midazolam
memaksa dilakukannya titrasi dengan hati-hati. Ventilasi harus dimonitor pada
semua pasien yang menerima benzodiazepin secara intravena, dan peralatan
resusitasi harus tersedia segera.
c. Otak
Benzodiazepin menurunkan konsumsi O2 serebral, aliran darah serebral dan
tekanan intracranial tapi tidak menambah kerja barbiturat. Mereka sangat efektif
dalam mencegah dan mengontrol serangan grand mal. Dosis oral sedatif sering
menyebabkan amnesia anterograd. Alat relaksasi otot yang ringan pada obat-obat
ini dimediasi pada tingkat spinal cord. bukan pada neuromuscular junction.
Antianxietas, amnesia dan efek sedatif terlihat pada penambahan dosis kecil
menjadi kesadaran stupor dan tidak sadar pada dosis kecil. Dibandingkan dengan
thiopental, induksi dengan benzodiazepin dihubungkan dengan kehilangan
kesadaran yang rendah dan pemulihan yang lama. Benzodiazepin tidak punya efek
analgesik langsung.
29
1.2.3 Opioid
A. Farmakokinetik
1. Absorpsi
Absorpsi yang cepat dan sempurna pada injeksi intramuscular morfin dan
meperiden, dengan puncak level plasma biasanya dicapai setelah 20-60 menit.
Absorpsi secara oral transmucosal fentanyl citrate adalah metode yang efektif
dalam memproduksi analgesik dan sedasi.
2. Distribusi
Distribusi sebagian dari seluruh narkotik tergolong cepat (5-20 menit).
Bagaimanapun, solubilitas lemak yang rendah dari morfin melewati alur sawar
dari darah-otak dengan hasil bahwa onset dari aktivitas ini adalah perlahan dan
durasinya lama. Sebaliknya dengan solubilitas lemak yang tinggi pada fentanil
dan sufentanil, yang onsetnya cepat dan durasinya pendek. Yang lebih menarik,
alfentanil mempunyai onset yang paling cepat dan durasi yang paling pendek,
walaupun lebih tidak soluble daripada fentanil. Fraksi tertinggi dari alfentanil
yang tidak terionisasi pada pH fisiologis dan volume distribusi yang sedikit
meningkat jumlah dari yang dapat berikatan dengan otak. Redistribusi membatasi
aksi dari dosis kecil obat-obat tersebut, dimana dosis yang lebih besar harus
tergantung pada biotransformasi pada tingkat plasma adekuat yang lebih rendah.
Alfentanil mempunyai waktu paruh distribusi yang paling pendek.
30
3. Biotransformasi
Semua opioid sangat tergantung pada biotransformasi hati. Rasio ekstraksi
yang tinggi menyebabkan pengeluarannya bergantung pada aliran darah hati.
Volume distribusi yang sedikit dari alfentanil bertanggung jawab untuk 50%
eliminasi yang waktu paruhnya pendek (11/2 jam) dibandingkan dengan opioid
lain. Konjugasi dari morfin dengan asam glukoronid untuk membentuk morfin 3-
glukoronid dan morfin 6-glukoronid. Meperidin adalah N-domethylated sampai
nor meperidine, metabolit aktif yang dihubungkan dengan aktifitas serangan.
Produk akhir dari fentanyl, sufentanil dan alfentanil adalah inaktif.
4. Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi morfin dan meperidine dieliminasi di
ginjal, dengan kurang dari 10% mengalami ekskresi di kandung empedu. Oleh
karena 5-10% morfin yang terekskresi tidak berubah dalam urine, maka ginjal
gagal untuk memperpanjang durasi kerjanya. Akumulasi dari metabolit-metabolit
morfin (morfin 3-glucoronide dan morfin 6-glucoronide) pada pasien dengan
gagal ginjal telah dikaitkan dengan narkosis dan depresi pernapasan yang
berlangsung beberapa hari. Kenyataannya, morfin 6-glucoronide adalah agonis
opioid yang lebih kuat dan lebih tahan lama daripada morfin. Dalam kata lain,
disfungsi ginjal meningkatkan kemungkinan efek racun dari akumulasi
normeperidine. Normeperidine memiliki efek stimulan di sistem saraf pusat,
menyebabkan aktivitas mioklonik dan kejang yang tidak dapat dikembalikan oleh
naloxon. Puncak sekunder akhir kadar plasma fentanil terjadi hingga 4 jam setelah
31
dosis intravena terakhir. Hasil metabolisme sufetanil diekskresikan di urine dan
empedu. Metabolit utama dari remifentanil dieliminasi di ginjal tetapi beberapa
ribu kali lebih kuat daripada senyawa induknya, dan dengan demikian tidak
mungkin untuk menghasilkan efek opioid yang terlihat. Bahkan penyakit hati
yang berat tidak mempengaruhi farmakokinetik atau farmakodinamik dari
remifentanil.
5. Efek samping ke sistem organ
a. Kardiovaskuler
Secara umum, opioid tidak serius merusak fungsi kardiovaskuler.
Meperidine cenderung meningkatkan denyut jantung (secara struktural sama
dengan atropin), sedangkan dosis tinggi morfin, fentanil, sufentanil, remifentanil,
dan alfentanil berhubungan dengan bradikardi vagus. Dengan pengecualian
meperidine, opioid tidak menekan kontraksi jantung. tekanan darah arteri sering
menurun sebagai akibat dari bradikardi, dilatasi vena dan penurunan refleks
simpatik, kadang-kadang membutuhkan bantuan vasopressor (contoh: efedrin).
Selanjutnya, meperidine dan morfin membangkitkan pelepasan histamin pada
beberapa individu yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi dan tekanan
arteri sistemik. Efek pelepasan histamin dapat diminimalkan pada pasien yang
rentan dengan infus lambat opioid, volume intravaskular yang memadai, atau
pretreatment dengan H1 dan H2 histamin antagonis. Hipertensi intraoperatif tidak
jarang terjadi selama anestesi opioid, terutama morfin dan meperidine. Hal
tersebut sering disebabkan kedalaman anestesi yang tidak memadai dan dapat
32
dikontrol dengan penambahan vasodilator atau agen anestesi volatil. Kombinasi
opioid dengan obat lain anestesi (contoh: nitrit oksida, benzodiazepin, barbiturat,
agen volatil) dapat menyebabkan depresi miokard signifikan.
b. Pernapasan
Opioid menekan pernapasan, terutama laju napas. Istirahat dapat
meningkatkan PaCO2. Efek ini dimediasi melalui pusat pernafasan di batang otak.
Perbedaan gender mungkin ada berhubungan dengan efek ini, di mana wanita
menunjukkan depresi pernapasan yang lebih. Morfin dan meperidine dapat
menyebabkan histamin diinduksi sehingga menyebabkan bronkospasme pada
pasien yang rentan. Opioid (terutama fentanil, sufentanil, alfentanil dan) dapat
menginduksi kekakuan dinding dada yang cukup parah. Kontraksi otot paling
sering terjadi setelah pasien diberikan bolus obat besar dengan agen
neuromuskuler. Opioid dapat secara efektif menumpulkan respon konstriksi
bronkus terhadap stimulasi saluran napas seperti terjadi selama intubasi.
c. Otak
Efek opioid pada perfusi otak dan tekanan intrakranial tampak bervariasi.
Secara umum, opioid mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial, tetapi dalam tingkat yang jauh lebih rendah daripada
barbiturat atau benzodiazepin. Efek ini menduga terdapat stabilnya gas karbon
oleh ventilasi buatan. Efek ini menyebabkan kondisi normokarbi oleh ventilasi
buatan. Namun, ada beberapa laporan kenaikan ringan dan biasanya bersifat
sementara pada kecepatan aliran darah arteri serebral dan tekanan intrakranial
setelah pemberian bolus opioid pada pasien dengan tumor otak atau trauma
33
kepala. Oleh karena opioid juga cenderung menghasilkan penurunan ringan
tekanan arteri rata-rata, penurunan tekanan perfusi ke otak yang dihasilkan
mungkin signifikan pada beberapa pasien dengan tekanan intrakranial yang
abnormal.
d. Gastrointestinal
Opioid menyebabkan perlambatan waktu pengosongan gaster dengan
menurunkan peristaltic. Kolik bilier dapat disebabkan kontraksi induksi-opioid
dari sfingter oddi. Spasme bilier dapat meniru batu duktus empedu pada
cholangiography dan efektif dengan antagonis naloxon opioid murni.
e. Endokrin
Respon penekanan pada stimulasi bedah adalah menentukan waktu untuk
sekresi hormone spesifik, termasuk katekolamin, hormone antidiuretik dan
kortisol. Opioid mengambat pelepasan hormone-hormon ini secara lengkap
dibandingkan anestesi yang diberikan secara uap. Ini terutama benar terjadi pada
opioid yang poten seperti fentanil, sufentanil dan alfentanil. Pasien dengan
penyakit jantung iskemik memperoleh keuntungan dari pengurangan respon
penekanan.
1.2.4 Ketamin
Ketamin mempunyai beberapa efek menyeluruh terhadap sistem saraf pusat,
termasuk menghalangi refleks polysinaptik di spinal cord dan menghambat efek
rangsangan neurotransmitter di daerah tertentu pada otak. Ketamin secara
fungsional memisahkan thalamus (yang menghantarkan impuls sensory dari
34
pengaktifan sistem retikular ke serebral korteks) dari korteks limbik (yang diliputi
dengan sensasi kesadaran). Ketika beberapa neuron otak dihambat, yang lainnya
dirangsang kuat. Secara klinis, bagian dari disosiatif anestesi menyebabkan pasien
terlihat sadar (misalnya mata terbuka, menelan, pemendekan abnormal jaringan
otot) tapi tidak dapat memproses atau merespon masukan sensoris. Adanya respon
spesifik ketamin dan interaksinya terhadap reseptor opioid masih diperdebatkan.
A. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Ketamin diberikan secara intravena atau intramuscular. Level puncak pada
plasma biasanya mencapai sekitar 10-15 menit setelah injeksi intramuscular.
2. Distribusi
Ketamin lebih lipid soluble dibandingkan dengan thiopental, protein bound
kurang, dan ionisasi seimbang pada pH fisiologis. Karakteristik ini dapat
menaikkan aliran darah di otak dan cardiac output, berperan penting terhadap
ambilan cepat diotak dan pendistribusian berikutnya (distribusi waktu paruh=10-
15 menit).
3. Biotransformasi
Ketamin dibiotransformasi di hati pada beberapa metabolisme, sebagian
masih memiliki aktifitas anestesi. Induksi oleh enzyme hati dapat meningkatkan
toleransi pada pasien yang mendapat ketamin dosis tinggi. Pengambilan kembali
35
oleh hati (rasio pengeluaran hati 0,9) menjelaskan bahwa ketamin memiliki waktu
paruh eliminasi yang pendek (2 jam).
4. Ekskresi
Produksi akhir dari biotransformasi dikeluarkan di ginjal.
5. Efek samping terhadap organ
a. Kardiovascular
Perbedaan yang jelas dengan agents anestetik lainnya, ketamin menaikkan
tekanan darah arteri, heart rate dan cardiac output. Secara tidak langsung
pengaruh terhadap cardiovascular adalah menyebabkan stimulasi sistem saraf
simpatis. Perubahan ini menyertai kenaikkan tekanan arteri pulmonari dan kerja
dari otot jantung. Untuk alasan ini, ketamin seharusnya dihindarkan dari pasien
dengan penyakit arteri koroner, hipertensi tak terkontrol, gagal jantung dan
aneurisma arteri. Pengaruh agen penurun aktivitas otot jantung secara langsung
terhadap pemberian dosis besar pada ketamin tidak ditutup oleh hambatan
simpatis (contohnya potongan melintang spinal cord) atau pembuangan dari
tempat penyimpanan katekolamin (misalnya fase kuat akhir syok). Meskipun
demikian, pengaruh tidak langsung stimulatory ketamin sering bermanfaat pada
pasien dengan syok hipovolemik akut.
b. Respirasi
Perjalanan ventilasi secara minimal dipengaruhi oleh dosis biasa induksi
ketamin. Pemberian bolus cepat intravena atau sebelum pengobatan dengan opioid
kadang-kadang menyebabkan apneu. Ketamin adalah bronkodilator kuat, sehingga
merupakan agen induksi baik untuk pasien penderita asma. Meskipun sisa refleks
36
jalan nafas bagian atas sebagian besar masih utuh, tapi pasien dengan risiko tinggi
pneumonitis aspirasi seharusnya diintubasi. Peningkatan saliva karena pemberian
ketamin dapat ditekan dengan premedikasi antikolinergik.
c. Otak
Ketamin meningkatkan pemakaian oksigen pada otak, aliran darah pada
otak dan tekanan intrakranial. Pengaruh ini dihindarkan penggunaannya pada
pasien dengan lesi intrakranial. Aktivitas mioklonik dihubungkan dengan
peningkatan aktivitas elektrik subkortikal yang tidak terlihat pada
electroencephalography. Efek samping psikomimetik yang tidak diinginkan
(seperti ilusi, mimpi buruk dan delirium) selama induksi dan masa penyembuhan
jarang ditemukan pada anak-anak dan pasien yang mendapatkan premedikasi
dengan benzodiazepin. Dari banyak zat nonvolatile, ketamin merupakan zat
anestesi yang paling mendekati lengkap karena ia menginduksi analgesia, amnesia
dan hilang kesadaran.
1.2.5 Propofol
Mekanisme kerja dari propofol menyebabkan anestesia umum tidak dapat
diterangkan.
A. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Propofol hanya tersedia pemberian intravena untuk induksi anestesi umum.
37
2. Distribusi
Kelarutan tinggi pada lipid oleh propofol menghasilkan onset kerja hampir
sama dengan thiopental. Dosis tunggal bolus juga memberikan kecepatan pada
distribusi waktu paruh awal sangat pendek (2-8 menit). Propofol merupakan suatu
zat yang lebih bagus dari methohexital, thiopental atau etomidate.
3. Biotransformasi
Pengeluaran propofol melalui aliran darah hati, secara tidak langsung
melibatkan metabolisme ekstrahepatik. Konjugasi di hati menghasilkan
metabolisme inaktif. Farmakokinetik propofol tidak terlihat dipengaruhi oleh
sirosis hati sedang.
4. Ekskresi
Metabolisme propofol terutama dikeluarkan pada urine, tetapi gagal ginjal
kronik tidak mempengaruhi pengeluaran obat-obat tersebut.
5. Efek obat terhadap organ
a. Kardiovascular
Propofol menurunkan tekanan darah arteri, resistensi vascular sistemik,
kontraktilitas jantung dan preload. Hipotensi terlihat lebih nyata dibandingkan
dengan thiopental, tetapi umumnya efek hipotensi ini merupakan akinat
laringoskopi dan intubasi. Faktor yang menimbulkan hipotensi termasuk dosis
besar, penyuntikan cepat, dan usia tua.
b. Respirasi
Propofol menurunkan aktivitas pernapasan dalam yang biasanya
menyebabkan apneu setelah induksi.
38
c. Otak
Propofol menurunkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Pada
pasien dengan kenaikan tekanan intrakranial, propofol dapat menyebabkan
reduksi kritis pada tekanan perfusi otak (<50mmHg) karena penurunan tekanan
arteri intraotak dapat melampaui penurunan tekanan intrakranial. Propofol tidak
memiliki efek anti kejang. Induksi kadang-kadang disertai dengan fenomena
eksitatori seperti kejang otot, pergerakan spontan, atau cegukan. Propofol juga
dapat menurunkan tekanan intraokuler.
1.3 ADJUNCT TO ANASTHESIA
Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa obat antara lain antagonis reseptor
histamin yang membahas mengenai fisiologi histamin, diphenhydramin yang
merupakan contoh obat antagonis klasik, serta obat lainnya, seperti simetidin,
ranitidin, dan famotidin. Ketiga obat tersebut sangat membantu dalam persiapan
praoperasi terutama untuk mengurangi risiko terjadinya pneumonia aspirasi pada
pasien-pasien tertentu. Bagian ini juga membahas obat-obat lainnya seperti
metoclopramide, antasid, inhibitor pompa proton, antagonis serotonin, α 2-
adrenergik agonis clonidine, dan dexmedetomidine. Obat - obat tersebut telah
terbukti ampuh sebagai antiemetik yang dapat mengurangi risiko aspirasi.
Pembahasan terakhir mengenai stimulan respiratori (doxapram), antagonis opioid
(nalokson), dan antagonis benzodiazepin (flumazenil).
39
1.3.1 ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN
1. Fisiologi Histamin
Histamin ditemukan dalam sistem saraf pusat, dalam mukosa lambung, dan
pada jaringan perifer lainnya. Histamin disintesis oleh dekarboksilasi dari asam
amino histidin. Neuron histaminergic yang utama terletak di hipotalamus posterior
tetapi memiliki proyeksi yang luas di otak. Histamin memainkan peran utama
dalam sekresi asam klorida oleh sel parietal yang terletak di mukosa lambung.
Konsentrasi tertinggi histamin terdapat pada granula penyimpanan sel basofil
yang bersirkulasi di dalam pembuluh darah dan sel mast yang ada di seluruh di
seluruh tubuh. Sel mast cenderung terkonsentrasi dalam jaringan ikat tepat di
bawah epitel (mukosa) permukaan. Pelepasan histamin (degranulasi) dari dari sel-
sel tersebut dapat dipicu oleh bahan kimia, mekanis, atau rangsangan imunologi.
H1 dan H2 memediasi efek dari histamin. H1-reseptor mengaktifkan fosfolipase
C, sedangkan H2-reseptor meningkatkan siklik adenosin monofosfat (cAMP)
intraseluler. H3-reseptor terutama terletak pada sel pen-sekresi histamin dan
memediasi umpan balik negatif, menghambat sintesis dan pelepasan dari histamin
tambahan. Histamin-N-methyltransferase memetabolisme histamin menjadi
metabolit inaktif yang diekskresikan dalam urin. Reaksi enzimatik dihambat oleh
droperidol.
2. Kardiovaskular
Stimulasi H1-reseptor meningkatkan permeabilitas kapiler dan meningkatkan
iritabilitas ventrikel, sedangkan stimulasi H2-reseptor meningkatkan denyut jantung
40
dan meningkatkan kontraktilitas. Kedua jenis reseptor tersebut menjadi mediasi
dilatasi arteriol perifer dan vasodilatasi beberapa pembuluh darah koroner.
3. Pernapasan
Histamin dapat menyebabkan konstriksi otot polos bronchiolus apabila
terikat pada H1-reseptor. Stimulasi H2-Reseptor oleh histamin dapat menghasilkan
bronkodilatasi ringan saluran pernafasan. Histamin memiliki efek variabel pada
pembuluh paru. Terikatnya histmain pada H1-reseptor menjadi mediasi vasodilatasi
paru, sedangkan pada H2-reseptor menjadi mediasi untuk vasokonstriksi paru yang
dimediasi oleh histamin.
4. Gastrointestinal
Aktivasi H2-reseptor di sel parietal dapat meningkatkan sekresi asam lambung.
Stimulasi H1-reseptor pada otot polos usus dapat menyebabkan kontraksi.
5. Kulit
Respon wheal-and-flare merupakan respon klasik dari kulit sebagai akibat
dari histamin yang memberikan efek peningkatan permeabilitas kapiler dan
vasodilatasi. Hal tersebut terutama terjadi melalui aktivasi H 1-reseptor.
6. Imunologi
Histamin merupakan mediator utama reaksi hipersensitivitas tipe 1.
Stimulasi terhadap H1-reseptor dapat memberikan efek menarik leukosit ke lokasi
terjadinya proses inflamasi dan menginduksi sintesis prostaglandin. Stimulasi
terhadap H 2-reseptor dapat mengaktifkan limfosit T-supresor.
41
1.3.2 H 1-RESEPTOR ANTAGONIS
1. Mekanisme Kerja
Diphenhydramine (sebuah etanolamin) adalah kelompok obat antagonis H1-
reseptor yang bekerja sebagai inhibitor kompetitif H1-reseptor (Tabel 15-1). Banyak obat
dengan antagonis H1-reseptor memiliki sifat antimuscarinic yang cukup besar, atau
mirip dengan atropin, salah satu efeknya adalah mulut kering. Efek lainnya dari
obat ini adalah antiserotonergic (antiemetik). Prometazin merupakan turunan
fenotiazin dengan aktivitas antagonis H1-reseptor, antidopaminergic, dan α-
Adrenergik-blocking
42
2. Kegunaan klinis
Kegunaan diphenhydramin adalah penekanan gejala alergi (urtikaria, rinitis,
konjungtivitis), vertigo, mual dan muntah (misalnya, mabuk, penyakit Ménière),
sedasi, penekanan batuk, dan dyskinesia (misalnya, parkinson, efek samping
ekstrapiramidal yang disebabkan obat). Beberapa gejala tersebut dapat terjadi
sebagai efek fisiologi histamin, sedangkan kegunaan terpeutik yang terjadi
merupakan hasil dari efek antimuscarinic dan antiserotoninergic (Tabel 15-1).
H1-blocker dapat mencegah respon bronkhokonstriksi sebagai respon histamin
terhadap saluran nafas, obat golongan antagonis H1-reseptor ini tidak efektif untuk
mengobati asma bronkial yang penyebab utamanya disebabkan oleh mediator
selain histamin. H1-blocker tidak akan sepenuhnya mencegah efek hipotensif dari
histamin kecuali bila diberikan bersama H2-blocker secara bersamaan. Kegunaan H1-
blocker selama reaksi anafilaktik akut sangat terbatas. Pengobatan utama untuk
mengatasi reaksi anafilaktik adalah dengan pemberian epinefrin.
Efek hipnotik ringan dan antiemetik dari obat antihistamin (difenhidramin,
prometazin, dan hidroksizin) berguna dalam premedikasi. Meskipun banyak H1-
blocker menyebabkan sedasi, ventilasi biasanya tidak terpengaruh apabila tidak ada
obat penenang yang diberikan. Prometazin dan hidroksizin sering digabungkan
dengan opioid untuk menurunkan potensi terjadinya analgesia. Antihistamin
terbaru (generasi kedua) cenderung menghasilkan efek sedasi yang lebih rendah
atau bahkan tidak ada, hal tersebut terjadi karena penetrasi terhadap blood brain
barrier untuk anti histamin generasi kedua ini lebih rendah. Kelompok obat anti
histamin generasi kedua ini hanya tersedia dalam sediaan oral dan sering
43
digunakan terutama untuk kasus rhinitis alergi dan urtikaria. Anti histamin
generasi kedua tersebut adalah loratadine, fexofenadine, dan cetirizine. Banyak
preparat yang sering digunakan untuk kasus rhinitis alergi mengandung
vasokonstriktor, salah satunya pseudoefedrin. Meclizine dan dimenhydrinate
digunakan terutama sebagai antiemetik, terutama untuk mengatasi motion
sickness dan vertigo. Siproheptadin digunakan dalam pengelolaan sindrom
Cushing, sindrom karsinoid, dan sakit kepala cluster karena memiliki aktivitas
antagonis serotonin yang signifikan.
3. Dosis
Dosis per oral diphenhydramine orang dewasa adalah 25-50 mg (0,5-1,5
mg/kg), sementara dosis intramuskular atau intravena efeknya dapat bertahan
antara 4-6 jam.
4. Interaksi Obat
Efek sedatif dari antagonis H1-reseptor dapat memperkuat kerja dari depresan
sistem saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin, dan opioid.
1.3.3 H 2-RESEPTOR ANTAGONIS
1. Mekanisme Kerja
H2-reseptor antagonis termasuk simetidin, famotidin, nizatidine, dan ranitidin
(Tabel 15-2). Obat - obat ini menghambat histamin secara kompetitif mengikat H2-
reseptor, sehingga mengurangi produksi asam lambung dan meningkatkan pH
lambung. Nizatidine hanya tersedia dalam sediaan oral.
44
2. Kegunaan klinis
Antagonis H2-reseptor efektif dalam pengobatan tukak lambung & duodenum,
keadaan hipersekresi (Zollinger-Ellison syndrome), dan gastroesophageal reflux
disease (GERD). Persiapan intravena juga digunakan untuk mencegah stress ulcer
pada pasien kritis. Ulkus duodenum dan lambung biasanya berhubungan dengan
infeksi Helicobacter pylori, pada kasus tersebut diberi obat kombinasi yang terdiri
dari bismuth, tetrasiklin, dan metronidazol. Ranitidin, bismuth, sitrat, dan
klaritromisin dapat juga digunakan untuk tukak lambung berhubungan dengan
infeksi H pylori. Efek H2-bloker terhadap penurunan jumlah ion hidrogen yang
dikeluarkan, penurunan pH asam lambung, dan pengurangan volume cairan
lambung, dapat mengurangi risiko pneumonia aspirasi yang terjadi periopertif.
Kombinasi H1 dan H2-reseptor antagonis dapat memberikan beberapa
perlindungan terhadap reaksi alergi yang disebakan obat (media kontras intravena
pada pemerikasaan radiologi, injeksi chymopapain untuk penyakit sendi
pinggang, protamine). Meskipun pemberian obat-obat tersebut tidak mengurangi
pelepasan histamin, tetapi tetap dapat mengurangi terjadinya efek hipotensi yang
dihasilkan histamin.
3. Efek Samping
Bolus intravena simetidin dan ranitidin telah jarang dihubungkan dengan
terjadinya hipotensi, bradikardia, aritmia, dan serangan jantung. Efek
kardiovaskular yang merugikan lebih sering terjadinya setelah pemberian
simetidin untuk pasien sakit kritis. Sebaliknya, famotidin dapat dengan aman
disuntikkan secara intravena selama 2-min. Antagonis H2-reseptor mengubah flora
45
lambung berdasarkan efek pH flora tersebut. Komplikasi jangka panjang
pemberian simetidin diantaranya adalah hepatotoksis (kenaikan transaminase
serum), nefritis interstisial (peningkatan kreatinin serum), granulositopenia, dan
trombositopenia. Simetidin juga dapat berikatan dengan reseptor androgen,
sehingga dapat menyebabkan ginekomastia dan impotensi. Simetidin dapat
memberikan efek perubahan status mental seperti lesu, halusinasi, dan kejang, hal
tersebut dapat terjadi terutama pada pasien usia lanjut. Sebaliknya, ranitidin,
nizatidine, dan famotidin tidak mempengaruhi reseptor androgen dan tidak bisa
menembus blood brain barrier.
4. Dosis
Premedikasi dalam mengurangi risiko terjadinya pneumonia aspirasi,
H2reseptor antagonis harus diberikan pada waktu tidur dan pengulangan paling tidak
2 jam sebelum operasi (Tabel 15-2). Ekskresi obat di ginjal, sehingga dosis harus
dikurangi pada pasien dengan disfungsi ginjal yang signifikan.
5. Interaksi Obat
Simetidin dapat mengurangi aliran darah menuju hati dan mengikat
sitokrom P-450 oksidase. Efek ini memperlambat metabolisme banyak obat,
termasuk teofilin, lidokain, propranolol, diazepam, fenobarbital, warfarin, dan
fenitoin. Ranitidine merupakan inhibitor lemah dari sistem sitokrom P-450, dan
tidak ada interaksi obat yang signifikan. Famotidin dan nizatidine tidak
mempengaruhi sistem sitokrom P-450.
46
1.3.4 Antasida
1. Mekanisme Kerja
Antasida adalah golongan obat yang digunakan untuk menetralkan asam di
lambung. Secara alami lambung memproduksi suatu asam, yaitu asam klorida
(HCl) yang berfungsi untuk membantu proses pencernaan protein. Antasida
bekerja dengan cara menetralkan lambung yang terlalu asam. Selain menetralkan
asam lambung, antasida juga meningkatkan pertahanan mukosa lambung dengan
memicu produksi prostaglandin pada mukosa lambung.
47
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasida, tidak larut
dan efektif sebelum obat ini bereaksi dengan HCl membentuk MgCl2. Magnesium
hidroksida yang tidak larut akan tetap berada dalam lambung dan akan
menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Satu
gram magnesium hidroksida dapat menetralisir 32,6 mEq dari asam lambung.
Senyawa magnesium memiliki kelebihan berupa absorpsi yang kecil, aksi yang
tahan lama dan tidak menghasilkan karbondioksida
Reaksi :
Mg(OH)2 (aq) + 2HCl (aq) MgCl2 (aq) + 2H2O (l)
Aluminium hidroksida menghasilkan aluminium klorida dan air. Namun
jika pH lebih dari 5, maka reaksi netralisasinya tidak berlangsung sempurna. Ion
alumunium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat astringen (menciutkan
selaput lendir). Antasida ini mengadsorpsi pepsin dan menginaktivasinya. Cara
kerja obat ini adalah senyawa alumunium yang merupakan suatu zat koloid,
melapisi selaput lendir, menetralkan asama klorida dan mengikat asam klorida
secara adsoptif. Reaksi yang terjadi di dalam lambung, antara alumunium
hidroksida dengan asam lambung :
Al(OH)3 (aq) + 3HCl (aq) AlCl3 + 3H2O
4. Kegunaan klinis
Penggunaan umum dari antasida termasuk pengobatan ulkus lambung dan
duodenum, GERD, dan sindrom Zollinger-Ellison. Antasid memberikan
perlindungan terhadap efek berbahaya dari pneumonia aspirasi dengan cara
menaikkan pH isi lambung. Berbeda dari antagonis H2 reseptor, antasid memiliki efek
48
langsung. Kelemahan dari antasid adalah dapat meningkatkan volume intragastrik.
Aspirasi dari zat yang terkandung dalam antasid yaitu aluminium atau magnesium
hidroksida dapat menghasilkan kelainan pada fungsi paru-paru bila teraspirasi
kedalam paru-paru. Antasida yang mengadung natrium sitrat atau natrium
bikarbonat juga dapat merusak alveoli jika teraspirasi, namun tingkat
keparahannya lebih ringan bila dibandingkan dengan antasid yang mengandung
Al dan Mg. Antasid dalam bentuk sediaan campuran memberikan efek samping
yang lebih ringan bila dibandingkan denga antasid dalam bentuk sediaan solutio.
Waktu pemberian antasid merupakan hal penting yang perlu diperhatikan, karena
antasid nonparticulate kehilangan efektivitasnya akan menghilang setelah 30-60
menit.
5. Dosis
Dosis dewasa secara peroral untuk solutio 0,3 M natrium sitrat-Bicitrate
(natrium sitrat dan asam sitrat) atau Polycitra (natrium sitrat, kalium sitrat, dan
asam sitrat) adalah 15-30 mL, dan deiberikan 15-30 menit sebelum induksi.
6. Interaksi Obat
Antasida mengubah pH lambung dan urin, mereka mengubah penyerapan
dan eliminasi banyak obat. Penyerapan obat seperti digoksin, simetidin, dan
ranitidine dapat terhambat karena pemberian antasid, sedangkan eliminasi
fenobarbital dapat meningkat.
1.3.5 Metoclopramide
1. Mekanisme Aksi
49
Metoclopramide bekerja secara perifer sebagai cholinomimetic
(memfasilitasi transmisi asetilkolin pada reseptor muskarinik selektif) dan terpusat
sebagai antagonis dopamin. Kerja obat tersebut sebagai agen prokinetic di saluran
pencernaan atas tidak tergantung pada persarafan vagal tetapi dapat dihentikan
oleh agen antikolinergik. Hal ini tidak merangsang sekresi.
2. Kegunaan Klinis
Peningkatkan efek stimulasi dari asetilkolin pada otot polos usus,
metoclopramide meningkatkan tonus esophageal sphincter bagian bawah,
mempercepat pengosongan lambung, dan menurunkan volume cairan lambung.
Hal-hal tersebut menjelaskan kemanjurannya dalam pengobatan pasien dengan
gastroparesis diabetik dan GERD, serta profilaksis untuk mereka yang berisiko
pneumonia aspirasi. Metoclopramide tidak mempengaruhi sekresi asam lambung
atau pH cairan lambung.
Metoclopramide menghasilkan efek antiemetik dengan memblokir reseptor
dopamin di zona pemicu kemoreseptor dari sistem saraf pusat. Kegunaannya
sebagai agen antiemetik selama kemoterapi kanker lebih baik daripada saat
digunakan sebagai agen tunggal untuk pencegahan mual dan muntah pasca
operasi (PONV).
Metoclopramide dapat memberikan beberapa tingkatan analgesia dalam
kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos (kolik ginjal atau empedu,
kram rahim), mungkin karena efek kolinergik dan dopaminergik. Hal ini juga
dapat mengurangi kebutuhan analgesik pada pasien yang menjalani induksi
prostaglandin pada terminasi kehamilan.
50
3. Efek Samping
Injeksi intravena yang cepat dapat menyebabkan kram perut, dan
metoclopramide merupakan kontraindikasi pada pasien dengan obstruksi usus
total. Hal ini dapat menimbulkan krisis hipertensi pada pasien dengan
pheochromocytoma dengan melepaskan katekolamin dari tumor. Sedasi, tegang,
dan tanda-tanda ekstrapiramidal dari antagonis dopamin (akatisia) jarang terjadi
dan reversibel.
Metoclopramide sebaiknya dihindari pada pasien dengan penyakit
Parkinson. Metoclopramide menginduksi peningkatan aldosteron dan sekresi
prolaktin mungkin tidak penting selama terapi jangka pendek. Metoclopramide
jarang dapat menyebabkan hipotensi dan aritmia.
4. Dosis
Dosis dewasa 10-20 mg (0,25 mg/kg) efektif secara oral, intramuskular, atau
intravena (disuntikkan lebih dari 5 menit). Dosis yang lebih tinggi (1-2 mg/kg)
telah digunakan untuk mencegah emesis selama kemoterapi. Onset lebih cepat
parenteral (3-5 menit) daripada diberikan secar oral (30-60 menit). Karena
metoclopramide diekskresikan dalam urin, dosisnya harus diturunkan pada pasien
dengan disfungsi ginjal.
5. Interaksi Obat
Obat antimuscarinic (atropin, glycopyrrolate) memblokir efek GI
metoclopramide. Metoclopramide mengurangi penyerapan simetidin oral.
Penggunaan bersama fenotiazin atau butyrophenones (droperidol) meningkatkan
kemungkinan efek samping ekstrapiramidal. Metoclopramide menurunkan
51
kebutuhan dosis thiopental untuk induksi anestesi. Hal ini tidak mengembalikan
efek dosis rendah dari infus dopamin pada pembuluh darah ginjal.
1.3.6 Ondansentron dan Granisentron
1. Kegunaan klinis
Obat ini sebagai antiemetik efektif pada periode pasca operasi. 5-HT3
antagonis reseptor sebagai obat tunggal, merupakan profilaksis antiemetik unggul
dibandingkan dengan metoclopramide atau droperidol saja. peneltian lain
menunjukkan bahwa pemberian metoclopramide dan droperidol bersama-sama
dapat memberikan profilaksis setara dengan ondansetron saja. Beberapa dokter
menyatakan bahwa karena beban pengeluaran, 5-HT3 antagonis reseptor tidak
boleh digunakan untuk profilaksis rutin melainkan harus disediakan untuk
pengobatan gejala mual atau muntah.
Pemberiaan antiemetik tidak ada perbedaan baik untuk pengobatan
simtomatik atau profilaktik. Profilaksis harus, dipertimbangkan secara serius pada
pasien yang memiliki riwayat mual pasca operasi, yang sedang menjalani
prosedur yang berisiko tinggi untuk mual (laparoskopi), dimana mual dan muntah
harus dihindari (bedah saraf), dan yang mengalami mual dan muntah, untuk
mencegah episode lebih lanjut.
2. Efek Samping
5-HT3 antagonis reseptor tidak memiliki efek samping yang serius, bahkan
dalam jumlah beberapa kali dosis yang dianjurkan. Obat ini tidak tampak
menyebabkan sedasi, tanda-tanda ekstrapiramidal, atau depresi pernapasan. Efek
52
samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit kepala. Ketiga obat dapat
sedikit memperpanjang interval QT pada elektrokardiogram. Efek ini mungkin
lebih sering dengan dolasetron, meskipun belum dikaitkan dengan aritmia yang
merugikan. Meskipun demikian, obat ini, terutama dolasetron, harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien yang minum obat antiaritmia atau yang memiliki
interval QT berkepanjangan.
3. Dosis
Dosis ondansentron intravena dewasa yang dianjurkan untuk pencegahan
mual dan muntah perioperatif adalah 4 mg baik sebelum induksi anestesi atau
pada akhir operasi. Mual dan muntah pasca operasi juga dapat diobati dengan
dosis 4 mg, diulang sesuai kebutuhan setiap 4-8 jam. Ondansetron mengalami
metabolisme ekstensif di hati melalui hidroksilasi dan konjugasi oleh sitokrom P-
450 enzim. Gagal hati merusak clearence beberapa kali lipat, dan dosis harus
dikurangi. Dosis intravena yang disarankan adalah 12,5 mg untuk dolasetron dan
1 mg untuk granisetron. Ketiga obat tersedia dalam formulasi oral untuk
profilaksis PONV. Dosis oral sama dengan persiapan parenteral untuk
ondansetron dan granisetron, dan 100 mg untuk dolasetron.
4. Interaksi Obat
Tidak ada interaksi obat yang signifikan dengan 5-HT3 antagonis reseptor
telah dilaporkan.
53
1.3.7 Ketorolac
1. Mekanisme kerja
Ketorolac adalah obat antiinflamasi nonstreoid (NSAID/Nonsteroidal
Antiinflammatory Drug) yang diberikan secara parenteral yang menyediakan
anelgesia dengan menginhibisi sintesis prostaglandin.
2. Kegunaan klinis
Ketorolac diindikasikan untuk pengelolaan jangka pendek (kurang dari 5
hari) managemen nyeri, dan tampaknya sangat berguna pada periode segera pasca
Operasi. Dosis standar ketorolac menyediakan analgesia setara dengan 6-12 mg
morfin diberikan melalui rute yang sama. Waktunya untuk onset juga mirip
dengan morfin, tetapi ketorolac memiliki durasi kerja yang lebih lama (6-8 jam).
Ketorolac, obat yang bekerja di perifer, telah menjadi opioid alternatif yang
populer untuk analgesia pasca operasi karena minimal efek samping pusat sistem
saraf. Secara khusus, ketorolac tidak menyebabkan depresi, sedasi pernapasan,
atau mual dan muntah. Bahkan, ketorolac tidak melewati blood brain barrier ke
tingkat yang signifikan. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa NSAID
oral dan parenteral memiliki efek opioid-sparing. Obat-obat ini mungkin paling
bermanfaat pada pasien dengan peningkatan risiko depresi pernafasan pasca
operasi atau emesis. Efek analgesik ketorolac akan lebih terasa setelah prosedur
ortopedi dan ginekologi kemudian dilanjutkan dengan operasi intraabdominal.
3. Efek Samping
Ketorolac menghambat agregasi platelet dan memperpanjang waktu
perdarahan. Obat ini dan NSAID lainnya harus digunakan dengan hati-hati pada
54
pasien yang memiliki risiko perdarahan paska operasi. Jangka panjang pemberian
obat ini dapat menyebabkan toksisitas ginjal (misalnya, nekrosis papiler) atau
ulserasi saluran gastrointestinal dengan perdarahan dan perforasi. Karena
eliminasi ketorolac dilakukan oleh ginjal, maka seharusnya obat ini tidak
diberikan kepada pasien pada gagal ginjal. Ketorolac merupakan kontraindikasi
pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau NSAID. Pasien dengan asma
memiliki peningkatan insiden sensitivitas aspirin (sekitar 10%), terutama jika
mereka juga memiliki riwayat polip hidung (sekitar 20%).
4. Dosis
Ketorolac telah disetujui untuk diberikan baik secara intramuskular 60 mg
atau 30 mg loading dose intravena; dianjurkan maintenance dose 15-30 mg setiap
6 jam. Eliminasi ketorolac pada pasien lanjut usia jelas lebih lambat sehingga
dosis harus dikurangi.
5. Interaksi Obat
Aspirin menurunkan protein yang berikatan dengan ketorolac,
meningkatkan jumlah obat aktif yang tidak terikat. Ketorolac tidak mempengaruhi
konsentrasi alveolar minimal obat inhalasi anestesi, dan pemberiannya tidak
mengubah hemodinamik pasien yang dibius. Ini mengurangi kebutuhan pasca
operasi untuk analgesik opioid.
1.3.8 NSAID parenteral lainnya
NSAID parenteral meliputi diklofenak, ketoprofen, dan parecoxib.
Ketorolac dan diklofenak merupakan inhibitor tidak spesifik siklooksigenase
55
(COX), parecoxib merupakan inhibitor COX-2 selektif. COX-2 inhibitor
tampaknya memiliki toksisitas yang lebih rendah, khususnya efek samping
gastrointestinal lebih sedikit, dan memiliki sedikit efek pada agregasi platelet.
Diklofenak telah diberikan dalam dosis 1 mg/kg secara intravena, sedangkan
untuk dosis parecoxib adalah 20-40 mg intravena untuk orang dewasa.
1.3.9 Doxapram
1. Mekanisme Kerja
Doxapram adalah stimulan sistem saraf pusat dan perifer. Aktivasi selektif
kemoreseptor karotis dengan dosis rendah doxapram merangsang dorongan
hipoksia, menghasilkan peningkatan volume tidal dan sedikit peningkatan dalam
tingkat pernapasan. Dosis yang lebih tinggi, pusat-pusat pernapasan di medula
pusat dirangsang.
2. Kegunaan Klinis
Doxapram meniru PaO2 yang rendah, hal ini mungkin berguna pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik yang tergantung pada dorongan hipoksia
dan belum membutuhkan tambahan oksigen. Obat yang mengiduki depresi
pernapasan dan sistem saraf pusat, termasuk yang terlihat segera setelah operasi,
dapat sementara diatasi. Doxapram bukan obat reversal spesifik, dan tidak
seharusnya mengganti terapi suportif standar (ventilasi mekanik). Sebagai contoh,
doxapram tidak akan mengembalikan kelumpuhan yang disebabkan oleh relaksan
otot, meskipun secara sementara dapat menutupi kegagalan pernapasan. Penyebab
paling umum dari hipoventilasi-obstruksi jalan napas paska operasi tidak dapat
56
diatasi oleh doxapram. Untuk alasan ini, ahli anestesi banyak yang percaya bahwa
kegunaan doxapram sangat terbatas.
3. Efek Samping
Stimulasi sistem saraf pusat menyebabkan berbagai efek samping yang
mungkin terjadi yaitu, perubahan status mental (kebingungan, pusing, kejang),
kelainan jantung (takikardia, disritmia, hipertensi), dan disfungsi paru (wheezing,
takipnea). Muntah dan laringospasme menjadi perhatian khusus bagi para
anestesiologis pada periode pasca operasi. Doxapram tidak boleh digunakan pada
pasien dengan riwayat epilepsi, penyakit serebrovaskular, cedera kepala akut,
penyakit arteri koroner, hipertensi, atau asma bronkial.
4. Dosis
Bolus intravena (0,5-1 mg/kg) menghasilkan peningkatan sementara
ventilasi dalam menit (onset kerjanya adalah 1 menit; durasi kerja adalah 5-12
menit). Infus intravena terus menerus (1-3 mg / menit) memberikan efek lebih
lama (dosis maksimum 4 mg/kg).
5. Interaksi Obat
Stimulasi simpatis oleh doxapram mungkin dapat memperberat efek
kardiovaskular dari inhibitor monoamine oxidase atau obat adrenergik. Doxapram
tidak boleh digunakan saat membangunkan pasien dari anestesi halotan, karena
halotan mensensitisasi miokardium terhadap katekolamin.
57
1.3.10 Naloxon
1. Mekanisme kerja
Naloxon adalah antagonis kompetitif pada reseptor opioid. Afinitasnya
terhadap μ reseptor terlihat lebih besar dibandingkan terhadap δ atau κ reseptor.
Nalokson tidak mempunyai aktivitas agonis yang signifikan.
2. Kegunaan klinis
Naloxon mengembalikan aktivitas agonis yang berhubungan dengan bahan
opioid endogen (enkephalins, endorphins) atau eksogen dengan mengembalikan
ketidaksadaran yang terjadi pada pasien dengan overdosis opioid yang telah
menerima naloxon. Depresi pernapasan perioperatif disebabkan oleh pemberian
opioid yang berlebihan dapat di-antagoniskan (1-2 menit). Beberapa tingkatan
analgesia opioid dapat sering tersisa jika dosis naloxon dibatasi pada kebutuhan
minimum untuk mempertahankan ventilasi yang adekuat. Naloxon intravena dosis
rendah dapat mengembalikan efek samping opioid yang diberikan secara epidural
tanpa perlu mengembalikan analgesia.
3. Efek samping
Pembalikan (Reversal) yang tiba-tiba terhadap analgesia opioid dapat
menghasilkan stimulasi simpatis (takikardi, iritabilitas ventrikular, hipertensi,
edema pulmonal) disebabkan oleh persepsi nyeri, dan sindrom akut withdrawal
pada pasien yang ketergantungan opioid atau muntah. Luasnya efek samping dari
obat ini sebanding dengan jumlah opioid yang dibalikkan dan kecepatan dari
reversal.
58
4. Dosis
Pasien pasca operasi yang mengalami depresi pernapasan dari pemberian
berlebih opioid, naloxson intravena (0,4 mg/mL vial dicairkan menjadi 0,04
mg/ml) dapat ditritasi secara bertingkat dari 0,5-1 μg/kg setiap 3-5 menit hingga
ventilasi adekuat dan kesadaran tercapai. Dosis intravena lebih dari 0,2 mg jarang
diindikasikan. Durasi kerja yang singkat dari naloxon intravena (30-45 menit)
terjadi karena redistribusi cepat dari sistem saraf pusat. Efek yang lebih panjang
hampir selalu penting untuk mencegah rekurensi depresi sistem saraf pusat dari
opioid yang long-acting. Oleh karena itu, naloxon intramuskular (dosisnya dua
kali kebutuhan dosis intravena) atau dengan infus terus-menerus (4-5 μg/kg/jam)
direkomendasikan. Depresi pernapasan pada neonatus yang berasal dari ibu yang
menggunakan opioid diobati dengan 10μg/kg, diulangi dalam 2 menit jika perlu.
Neonatus dari ibu yang ketergantungan opioid akan memperlihatkan gejala
withdrawal jika diberikan naloxon. Perawatan primer dari depresi pernapasan
adalah selalu menjaga jalan napas dan ventilasi buatan
6. Interaksi obat
Efek dari naloxon terhadap obat anestesi nonopioid seperti nitrous oxide
adalah kontroversial dan mungkin insignifikan. Naloxon dapat mengantagonis
efek antihipertensi clonidin.
1.3.11 Opioid antagonis lainnya
Nalmefene (Revex) dan naltrexone (Revia) adalah antagonis opioid murni
dengan afinitas tinggi terhadap μ reseptor. Keduanya secara signifikan
59
mempunyai waktu paruh lebih lama dibandingkan naloxon. Nalmafene digunakan
untuk yang dicurigai overdosis opioid dan reversal sempurna atau parsial dari
depresi pernapasan yang diinduksi opioid saat perioperatif. Obat ini dapat
diberikan secara intravena, intamuskular atau subkutan. Untuk mengembalikkan
depresi pernapasan diinduksi opioid pasca operasi, nalmafene diberikan secara
intravena 0,25μg/kg dinaikkan setiap 2-5 menit hingga mencapai total 1 μg/kg.
Untuk yang masih dicurigai overdosis opioid dosis nalmafene yang
direkomendasikan adalah 0,5mg/70kg, hingga maksimum 1,5mg/70kg. Naltrexon
digunakan secara oral untuk terapi maintenance bagi pecandu opioid dan bagi
peynalahgunaan ethanol. Kemudian obat ini tampaknya dapat mem-blok beberapa
efek menyenangkan dari alkohol pada beberapa individu.
1.3.12 Flumazenil
1. Mekanisme kerja
Flumazenil, imidazobenzodiazepine adalah antagonis spesifik dan
kompetitif benzodiazepin pada reseptor benzodiazepine.
2. Kegunaan klinis
Flumazenil mengembalikan kondisi pasien dari efek sedasi yang dihasilkan
oleh benzodiazepine dan pengobatan terhadap kasus overdosis benzodiazpine.
Walaupun obat ini menyebabkan reverse efek hipnotik benzodiazepin, tetapi efek
amnesia yang dihasilkan sebagai efek dari penggunaan benzodiazepin tidak dapat
dihindari, begitu juga dengan efek depresi pernapasan masih tetap ada walaupun
kesadaran pasien sudah tampak alert dan bangun. Secara spesifik, volume tidal
60
dan ventilasi per menit kembali ke level normal tetapi penurunan kadar
karbondioksida masih tetap terjadi.
3. Efek samping dan interaksi obat
Flumazenil yang diberikan cepat dapat menyebabkan reaksi anxietas pada
pasien yang sebelumnya menjalani terapi sedasi dan gejala withdrawal
penggunaan jangka panjang benzodiazepine. Pada pasien dengan cedera kepala
dan compliance abnormal intrakranial, penggunaan reversal flumazenil dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakrania. Pada pasien yang telah diberikan
benzodiazepin sebagai antikonvulsi atau dengan keadaan overdosis antidepresan
trisiklik, flumazenil dapat menginduksi terjadinya kejang. Seperti pada teknik
anestesi dengan cara memberikan midazolam-ketamin, reversal flumazenil dapat
meningkatkn insidensi terjadinya disforia dan halusinasi. Mual dan muntah
merupakan gejala umum yang terjadi pada pemberian flumazenil. Efek reversal
dari flumazenil merupakan sebuah efek farmakodinamik (bukan farmakokinetik),
efek tersebut yaitu flumazenil memiliki afinitas kuat terhadap reseptor
benzodiazepine. Flumazenil tidak memiliki efek terhadap konsentrasi minimum
alveolar pada anestesi inhalasi.
4. Dosis
Titrasi bertahap flumazenil tercapai dengan pemberian secara intravena
dengan dosis 0,2 mg/menit dan dapat ditingkatkan hingga mencapai efek reversal
yang diinginkan. Total dosis biasanya adalah 0,6-1,0 mg. Karena clerance
flumazenil terjadi secara cepat di hati, dosis pengulangan dapat diberikan setelah
1-2 jam, hal tersebut dilakukan untuk menghindari efek resedasi dan prematur
61
recovery room. Pemberian infus secara terus-menerus (0,5mg/jam) dapat
membantu pada kasus overdosis terhadap benzodiazepine longer acting. Pada
oasien dengan gagal hati dapat memperpanjang clearence flumazenil dan
benzodiazepine.
62
1.4 Neuromuscular Blocking Agent
A. Pengertian
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan
pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi.
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot
rangka atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk
mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh.
B. Farmakologi Obat Pelumpuh Otot (Relaksan Otot)
Relaksasi otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum
inhalasi, blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan
relakasasi otot ini akan memfasilitasi intubasi trakea, mengontrol ventilasi
mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada prinsipnya, obat ini
menginterupsi transmisi impuls saraf pada neuromuscular junction.
1. Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular
junction. membran selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20 nm)
yang disebut sebagai celah sinaps. Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal
saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-gated calcium channels menuju
sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel penyimpanan menyatu dengan membran
terminal dan mengeluarkan asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi
melewati celah sinaps dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada
daerah khusus di membran otot yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan
daerah khusus yang kaya akan reseptor asetilkolin dengan permukaan yang
berlipat-lipat.
Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Pada
neuromuscular junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2 sub unit
α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε. Hanya kedua sub unit α identik yang mampu untuk
mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat pengikatan berikatan dengan
asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor akan terbuka. Kanal tidak akan terbuka
63
apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium
dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor
yang diduduki asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk
mendepolarisasi membran perijunctional yang kaya akan kanal natrium.
Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan
terbuka dan kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium
intraseluler ini akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang
membentuk kontraksi otot. Kanal natrium memiliki dua pintu fungsional, yaitu
pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa lewat apabila kedua pintu ini
terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan pintu atas
tergantung tegangan. Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase
menjadi asetil dan kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah
repolarisasi.
2. Farmakokinetik Pelumpuh Otot
Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi
dengan kurang baik di usus dan onset akan melambat bila di administrasikan
intramuskular. Volume distribusi dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati,
ginjal dan gangguan kardiovaskular. Pada penurunan cardiac output, distribusi
obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang
melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun
dan konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien
dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun
dengan efek klinis yang juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat
tergantung dengan ekskresi ginjal untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium,
atracurium dan cisatracurium yang tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur
juga mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant
memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan
memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang,
terjadi perubahan volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui
sensitivitas yang meningkat dan efek yang memanjang. Fungsi ginjal yang
64
menurun dan aliran darah renal yang menurun menyebabkan klirens yang
menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.
3. Farmakodinamik Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis
terapeutik menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot
ekstraokular dengan diplopia, relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota
gerak dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan diafragma.
a. Respirasi
Paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian
tubuh yang kurang sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling terakhir
lumpuh.
b. Efek kardiovaskular
Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan
hipertensi ditemukan pada penggunaan pancuronium, takikardi pada penggunaan
gallamine, rocuronium, dan pancuronium.
c. Pengeluaran histamin
D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin
sedangkan vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya ditemui
pada wanita dengan riwayat atopi.
C. Obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot
depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif,
takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat menyerupai asetilkolin,
sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin dan membangkitkan
potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak menurun dengan cepat yang
mengakibatkan perpanjangan depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan
depolarisasi ini menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium
bawah tergantung waktu, Setelah eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah kanal
natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai repolarisasi motor-end
65
plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot
depolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I
block. Setelah beberapa lama depolarisasi end plate yang memanjang akan
menyebabkan perubahan ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin yang
mengakibatkan phase II block, yang secara klinis menyerupai obat pelumpuh otot
nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin
akan tetapi tidak mampu untuk menginduksi pembukaan kanal ion. Karena
asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, maka potensial end-plate
tidak terbentuk. Karena obat pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, maka ia akan berdifusi menjauh dari neuromuscular junction
dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase. Sedangkan
obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh
asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat
pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya,
metabolisme,ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya
(kolinesteraseinhibitor).
1. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah
sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti
relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin)
dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh
kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja
pseudokolinesterase.
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki
onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari
10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme
oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien,
66
sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapai
neuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar
atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada
kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa
orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan
blokade yang memanjang.
1) Interaksi obat
a) Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot depolarisasi
dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah
asetilkolin akan semakin banyak, maka depolarisasi akan meningkatkan
depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat pseudokolinesterase.
b) Pelumpuh otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi merupakan
antagonis dari fase I bock pelumpuh otot depolarisasi, karena ia menduduki
reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi oleh suksinilkolin sebagian dicegah.
2) Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak dokter
yang percaya bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan yang baik untu
intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.
3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak dengan
miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada
penanganan rutin anak dan remaja. Efek samping dari suksinilkolin adalah :
Nyeri otot pasca pemberian
Peningkatan tekanan intraokular
Peningkatan tekakana intrakranial
Peningkatan tekakanan intragastrik
Peningkatan kadar kalium plasma
Aritmia jantung
67
Salivasi
Alergi dan anafilaksis
2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
a. Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja pada
menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi pada
pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selamg waktu
diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada
dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB
intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
b. Atracurium
1) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam
darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang.
2) Dosis
0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg
initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif
menggantikan bolus.
Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.
Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC, potensinya
hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14
hari bila terpapar suhu ruangan.
3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c. Vekuronium
1) Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih
besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi
68
pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna.
2) Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat
memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi,
perubahan klirens obat atau terjadi polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis.
Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas otot
memperpanjang penggunaan.
3) Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15
– 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post
partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
d. Rekuronium
1) Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya
adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama.
2) Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak terpengaruh oleh
kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar berat dan kehamilan, baik
untuk infusan jangka panjang (di ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong
durasi.
3) Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 – 0,9 mg / kg iv
untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat
pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak
kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai
69
3 – 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat
memanjang pada pasien orang tua.
4) Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.
Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum
suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.
D. Pemilihan Pelumpuh Otot
Karakteristik pelumpuh otot ideal :
1. Nondepolarisasi
2. Onset cepat
3. Duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat
diantagoniskan dengan obat tertentu
4. Tidak menginduksi pengeluaran histamin
5. Potensi
6. Sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak
memiliki aksi farmakologi.
Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot :
1. Ultra-short acting, contoh : suxamethonium
2. Short duration. Contoh: mivacurium
3. Intermediate duration. Contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium,
cisatracurium
4. Long duration. Contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium,
pipecuronium.
Pelumpuh otot yang disarankan :
1. Untuk induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila dikontraindikasikan dapat
dipakai rocuronium
2. Untuk stabilitas hemodinamika (contoh pada hipovolemia atau penyakit jantung
parah)-vecuronium
70
3. Pada gagal ginjal dan hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium
ataumivacurium
4. Miastenia gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
5. Kasus obstetric: semua dapat diberkan kecuali gallamin
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot :
1. Cegukan (hiccup)
2. Dinding perut kaku
3. Ada tahanan pada inflasi paru.
E. Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk
penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat
muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang
bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus
disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis
0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa)
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan E, Mikhail M, 1996. Clinical Anesteshiology. Second Edition.
The United States of America: Prentice Hall International, Inc. 201-210.
2. Latief, Said A, dkk, (2002), Buku Praktis Anestiologi, Bagian Anestiologi
dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta