obat vasodilator dan digitalis blok 19
DESCRIPTION
sadfafsfdTRANSCRIPT
OBAT VASODILATOR DAN DIGITALIS
Pendahuluan
Untuk blok kardiovaskular ini mahasiswa akan mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan penyakit-penyakit pada sistem kardiovaskular. Banyak kelainan pada sistem ini
yang menyebabkan penyakit yang sering dijumpai dalam masyarakat, sehingga
mahasiswa harus memahami selain macam-macam penyakitnya, juga dasar-dasar fisio-
patologis, dasar-dasar mendiagnosa penyakit dan memahami pilihan pengobatan yang
tepat. Untuk ilmu farmakologi, selain pemahaman mekanisme kerja obat, indikasi,
kontraindikasi, efek samping obat bekerja pada sistem kardiovaskular, maka diperlukan
juga praktikum yang akan dikerjakan sendiri oleh mahasiswa dibawah arahan para
instruktur, agar dicapai pemahaman dan penilaian langsung dari efek obat yang dilihatnya
selama praktikum.
a. Obat vasodilator
Obat vasodilator merupakan salah satu obat yang sering dipakai untuk menanggulangi
penyakit kardiovaskular, seperti angina pectoris, infark miokard, dll; serta efek
farmakologinya dapat kita amati pada orang percobaan, tanpa membahayakan orang
percobaan sendiri.
Sasaran belajar
Pada akhir praktikum ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan perbedaan mula kerja dan lama kerja berbagai obat vasodilator
2. Menjelaskan dan mengamati efek vasodilator kerja cepat (amilnitrit secara inhalasi),
kerja sedang (isosorbid dinitrat secara sublingual) dan kerja lambat (penta-eritritol-
tetra-nitrit secara oral) yang diberikan pada orang percobaan.
3. Menjelaskan farmakodinamik obat-obat vasodilator
4. Membangun kerjasama yang dinamis dalam kelompok selama pengamatan
Persiapan
1. Tiap kelompok menyiapkan 2 orang percobaan yang siap puasa 4 jam sebelum
praktikum dimulai
2. Satu orang percobaan lain disiapkan untuk demonstrasi, dan tidak perlu puasa.
Sebaiknya orang percobaan berkulit warna putih/kuning, agar efek vasodilatasi kulit
jelas terlihat
3. Alat-alat yang dibutuhkan : tensimeter, stetoskop, termometer kulit, arloji, dan
saputangan.
4. Obat-obat vasodilator : Amilnitrit : inhalasi
Isosorbid dinitrat : sub-lingual
Nitrogliserin : oral
Tatalaksana
1. Percobaan inhalasi amilnitrit (demonstrasi)
Orang percobaan yang telah disiapkan diminta berbaring di atas meja
laboratorium dengan tenang.
Setelah berbaring 5 menit,lakukanlah pengukuran tekanan darah, denyut jantung,
frekuensi napas, dan suhu kulit. Ulangi sekali lagi pengukuran ini dengan jeda 5
menit, dan hitung rata-rata dari pengukuran tadi sebagai nilai parameter basal.
Sebelum memecahkan ampul amilnitrit, bagilah tugas sehingga hanya seorang
mahasiswa untuk mengamati satu pengukuran yaitu tekanan darah, denyut jantung,
frekuensi nafas dan suhu kulit muka dan warna kulit muka.
Jika semua pengamat telah siap, instruktur akan memecahkan satu ampul
amilnitrit yang terbungkus sapu tangan di depan hidung orang percoban dan mintalah
ia segera menghirup uap yang keluar dari ampul dengan cepat, lalu menahan nafasnya
selama ia sanggup.
Masing-masing mahasiswa yang bertugas mengamati parameter tadi, segera
melakukan pengukuran pertama ketika orang percobaan menghirup amilnitrit yang
dipecahkan di depan hidungnya. Agar pengukuran lebih mudah dilakukan, sebaiknya
manset tensi meter dalam keadaan terpasang dan stetoskop siap di fosa kubiti dan di
apex jantung (untuk mendengarkan denyut jantung) . Lakukanlah pengukuran seluruh
parameter tadi tiap menit sampai seluruh paramer yang tadi tiap menit sampai
seluuruh parameter tadi kembali ke keadaan basal.
Catatlah waktu terjadinya perubahan parameter, sebagai mula kerja obat vasodilator
kerja cepat dan waktu sampai parameter kembali ke basal, sebagai lama kerja obat.
Selain itu tanyakan dan catat semua gejala lain yang terjadi pada orang percobaan
sesudah praktikum sampai 24 jam sesudahnya, untuk mengenali efek samping dan
efek lainnya.
Perhatian : Ampul amilnitrit hanya boleh dipecahkan oleh atau dibawah pengawasan
instruktur. Bila orang percobaan mengeluh pusing, pengelihatan gelap, segera
letakkan kepalanya lebih rendah dari badan dan mintalah untuk bernafas dalam.
2. Percobaan obat vasodilator oral dan sublingual
Dua orang percobaan dari masing-masing kelompok yang telah mempersiapkan
diri tidak makan 4 jam sebelum percobaan, berbaring di atas meja laboratorium
dengan tenang. Lakukanlah pengukuran parameter basal, tekanan darah, denyut
jantung/nadi, frekuensi nafas dan suhu kulit sebanyak 2 kali dengan interval 5 menit
dan hitung rata-ratanya.
Jika pengamatan parameter telah selesai mintalah obat vasodilator pada instruktur,
serta perhatikan baik-baik cara penggunaanya apakah harus ditaruh dibawah lidah
(sublingual) atau ditelan dengan segelas air. Jangan tertukar.
Lakukanlah pengamatan parameter diatas dengan untuk orang percobaan :
a. yang mendapat obat sublingual, dilakukan tiap 3 menit selama ½ jam
b. yang mendapat obat oral, dilakukan tiap 15 menit selama 1 ½ jam atau bila
parameter telah kembali ke nilai basal.
Tanyakan gejala-gejala apa yang dirasakan oleh orang percobaan selama percobaan
dan 24 jam setelahnya.
Bandingkanlah data-data yang diperoleh kelompok lain, apakah ada beda mula kerja,
lama kerja dari masing-masing obat vasodilator yang diberikan.
3. Digitalis
Selain mempelajari efek vasodilator pada orang percobaan, pada praktikum ini
juga dapat dipelajari efek digitalis pada manusia melalui pengamatan yang dilakukan
pada jantung kodok.
Pada akhir praktikum ini, mahasiswa dapat:
1) Menjelaskan efek farmakodinamik digitalis terhadap frekuensi denyut atrium dan
ventrikel, interval denyut atrium dan ventrikel, dan kekuatan kontraksi atrium dan
ventrikel (efek kronotropik, inotropik, dan dromotropik), dan mengamatinya pada
jantung kodok.
2) Menjelaskan dan memperhatikan dan mengamati efek toksik dan letal digitalis.
3) Memahami pengertian kecilnya margin of safety (perbedaan antara dosis terapetik
dan dosis letal) digitalis dan implikasi klisnisnya.
Persiapan
1) Hewan coba : kodok (Rana), berukuran agak besar.
2) Alat-alat : tempat fiksasi kodok, jarum pentul, gunting anatomis dan
chirurgis, pinset, semprit tuberkulin.
3) Bahan/zat : larutan uretan 10% dan larutan ringer.
4) Obat : larutan tinktura digitalis 10%.
Tatalaksana
1) Pilih satu kodok untuk satu kelompok, suntikan ke dalam saccus lymphaticus
dorsalisnya larutan uretan 10% sebanyak 2 ml.
2) Bila sudah terjadi anestesi pada kodok, fiksasilah kodok pada papan fiksasi
dengan posisi terlentang, dengan telapak tangan dan kaki terfiksasi dengan jarum
pentul.
3) Bukalah toraks kodok dimulai dengan kulit, dilanjutkan dengan lapisan di
bawahnya, dengan irisan berbentuk V, dimulai dari bawah processus ensiformis
ke lateral, sampai jantung terlihat jelas dan hindari tindakan yang menyebabkan
banyak perdarahan.
4) Bila jantung telah tampak singkirkan jaringan yang menutupinya, dan bukalah
secara hati-hati perikard jantung kodok yang tampak sebagai selubung jantung
berwarna perak.
5) Sekarang jantung tampak utuh, teteskan segera setetes larutan ringer laktat untuk
membasahi jantung, lalu perhatikan dengan teliti siklus jantung antara sistol dan
diastole, terutama dengan memperhatikan bentuk dan warna ventrikel.
6) Tetapkan frekuensi denyut jantung per-menit sebanyak 3 kali, dan ambil rata-
ratanya.
7) Teteskan larutan tinktura digitalis 10% dengan tetesan kecil melalui semprit
tuberculin yang dilepas jarumnya, langsung pada permukaan jantung, tiap 2
menit, dan hitung frekuensi denyut jantungnya tiap selesai meneteskan digitalis.
8) Pelajarilah perubahan-perubahan yang terjadi pada siklus jantung (sistol-diastol)
dan perubahan warna jantung. Pemberian digitalis akan menyebabkan penurunan
frekuensi jantung, ventrikel akan berwarna lebih merah pada saat diastole dan
menjadi lebih putih pada saat sistol, serta amati juga interval A-V yang makin
besar. Hal-hal tadi sesuai dengan efek terapi digitalis pada manusia. Penetesan
digitalis diteruskan tiap 2 menit, sampai terjadi keadaan keracunan yang teramati
sebagai terjadinya hambatan jantung parsial, disusul terjadinya hambatan mutlak
dan berakhir dengan berhentinya denyut ventrikel, biasanya dalam keadaan sistol
(asistole).
9) Tentukan apakah jantung yang telah berhenti berdenyut tadi masih bisa
dirangsang dengan rangsangan mekanis, yaitu dengan menyentuh permukaannya
dengan pinset.
10) Buatlah catatan dari seluruh pengamatan tadi, dan buatlah kurva yang
menggambarkan hubungan antara frekuensi denyut jantung dengan jumlah tetesan
digitalis yang dipakai.
Penutup
Dalam blok kardiovaskuler ini mahasiswa diberi kesempatan untuk melakukan
sendiri dan mengamati efek obat-obat yang dipakai pada penyakit kardiovaskuler,
baik melalui pengamatan pada orang percobaan atau hewan coba. Dengan melakukan
praktikum ini dengan sungguh-sungguh dan benar, amka diharapkan mahasiswa lebih
mendalami dan memahami farmakodinamik obat vasodilator dan glikosida jantung
dan efek samping dan efek toksis glikosida jantung.
PEMBAHASAN
A) NITRAT ORGANIK
Nitrat organik masih merupakan obat yang penting hinggá kini untuk pengobatan
penyakit jantung iskemik, dan efektivitasnya telah ditunjukkan dalam studi klinis
menurunkan mortalitas, mengurangi cedera iskemik dan luas infark.
Farmakodinamik
Nitrat organik diabsorpsi dengan baik lewat kulit, mukosa sublingual, dan oral.
Metabolisme obat-obat ini dilakukan oleh nitrat reduktase dalam hati yang mengubah
nitrat organik larut lemak menjadi metabolitnya yang larut air dan yang tidak aktif atau
mempunyai efek vasodilatasi lemah. Efek lintas pertama dalam hati ini menyebabkan
bioavailibitas nitrat organik oral sangat kecil (nitrogliserin dan isosorbid dinitrat < 20% ).
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kadar obat dalam darah secara cepat, serangan akut
angina diatasi dengan preparat sublingual. Contoh nitrat organik sublingual yang banyak
di pasar adalah nitrogliserin dan isosorbid dinitrat. Pada pemberian sublingual, kadar
puncak plasma nitrogliserin tercapai dalam 4 menit, waktu paruh 1-3 menit. Metabolit
dinitratnya yang mempunyai efek vasodilatasi 10 x kurang kuat, mempunyai waktu paruh
kira-kira 40 menit. Bila diinginkan masa kerja yang lebih panjang, maka digunakan nitrat
organik oral, misalnya eritril tetranitrat, isosorbid dinitrat dan isosorbid mononitrat.
Isosorbid mononitrat kurang mengalami metabolisme lintas pertama di hati dan
mempunyai efek terapeutik yang lebih lama daripada bentuk dinitratnya. Preparat
isosorbid mononitrat lepas lambat dapat diberikan sekali sehari (30-240 mg).
Sediaan lain nitrat organik adalah preparat transdermal, seperti salep atau plester.
Bentuk salep biasanya digunakan untuk mencegah angina yang timbul malam hari.
Preparat transdermal sering menimbulkan toleransi, sehingga terapi perlu dihentikan
selama 8-12 jam.
Amilnitrit mempunyai bentuk cairan mudah menguap (volatile). Cara inhalasi ini
diabsorbsi lebih cepat dan seperti preparat sublingual menghindari efek metabolisme
lintas pertama di hati.
Toleransi
Toleransi merupakan masalah utama yang mengurangi manfaat klinis nitrat
organik. Toleransi dilaporkan terjadi pada penggunaan isosorbid dinitrat organik secara
kronik, salep nitrogliserin, nitrogliserin IV dosis tinggi dan lama, tetapi tidak dengan
nitrogliserin sublingual jangka panjang. Toleransi dapat terjadi terhadap efek terapi
maupun efek samping. Terdapat 3 mekanisme yang diduga mendasari toleransi. Pertama,
deplesi gugus SH; teori ini disokong oleh perbaikan toleransi pada pemberian donor
gugus SH, N-asetilsistein. Kedua, adanya aktivasi neurohumoral (barorefleks),sehingga
terjadi penglepasan katekolamin dan vasokonstriksi. Ketiga, toleransi terjadi karena
ekspansi volume darah sehingga terjadi hemodilusi nitrogliserin.
Pada prinsipnya, toleransi secara efektif dapat dihilangkan dengan cara
menghentikan terapi selama 8-12 jam (misalnya bebas obat oral malam hari pada pasien
angina tidak stabil kronik dan menggantikannya dengan plester nitrogliserin) atau
mengubah interval atau dosis obat.
Efek Samping
Efek samping nitrat organik umumnya berhubungan dengan efek vasodilatasinya. Pada
awal terapi sering ditemukan sakit kepala, flushing karena dilatasi arteri serebral.
Parasetamol dapat membantu mengurangi sakit kepala. Dapat terjadi hipotensi postural,
oleh sebab itu pasien diminta duduk sebelum mendapat nitrat organik dengan mula kerja
cepat. Bila hipotensi berat bersama dengan refleks takikardia, ini dapat memperburuk
angina. Ketergantungan nitrat organik dapat terjadi, sehingga pasien yang menggunakan
dalam dosis tinggi dan waktu lama harus dilakukan penghentian dengan cara bertahap.
Penghentian obat yang dilakukan secara mendadak dapat menyebabkan gejala rebound
angina. Pada pasien stenosis aorta atau kardiomiopati hipertropik, nitrat organik dapat
menyebabkan penurunan curah jantung secara hebat dan hipotensi refrakter. Pemberian
nitrat organik dikontraindikasikan pada pasien mendapat sidenafil.
Indikasi
1. Angina Pektoris
Nitrat organik digunakan untuk pengobatan berbagai jenis angina pektoris. Obat ini
digunakan secara luas untuk angina tidak stabil. Untuk angina tidak stabil, nitrat
organik diberikan secara infus IV. Kekurangan IV ini adalah toleransi yang cepat
terjadi (24-48 jam) setelah pemberian. Efek antiagregasi trombosit nitrat organik
mungkin ikut berperan dalam terapi angina tidak stabil.
2. Penggunaan lain
- Infark Jantung
Dalam beberapa laporan awal penggunaan nitrat organik pada infark jantung akut
dapat mengurangi luas infark dan memperbaiki fungsi jantung.,tapi data yang
selanjutnya menunjukkan hasil yang kontraindikatif sehingga tidak
direkomendasikan. Penggunaan nitrogliserin IV dalam 24-48 jam pertama dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan infark jantung akut dan iskemia berulang,
gagal jantung kongestif atau hipertensi.
- Gagal jantung kongestif
Penggunaan untuk gagal jantung kongestif biasanya dalam bentuk kombinasi.
Kombinasi antara hidralazin dan nitrat organik dilaporkan memperbaiki survival
pasien gagal jantung. Penggunaan nitrat organik sebagai dosis tunggal bermanfaat
untuk memperbaiki gejala dan tanda gagal jantung, terutama pasien tersebut
menderita penyakit jantung iskemia.
Isorbid dinitrat
Merupakan bentuk pada dari golongan nitrat. Penelitian aktivitas struktur
menunjukkan bahwa semua obat kelompok ini yang aktif secara terapeutik dapat
melepaskan nitrogen oksida (NO) di dalam otot polos vascular pada jaringan target.
Penggunaannya sangat dipengaruhi oleh adanya nitrat reduktase organic hati kapasitas
tinggi yang memindahkan gugusan nitrat dari molekul induknya dan menginaktifkan obat
tersebut. Untuk menghindari efek ini maka sediaan obat dibuat sublingual. Selain
menghindari first pass metabolisme, pemberian sublingual juga lebih cepat mencapai
kadar darah terapeutik. Pemberian oral hanya diberikan bila ingin menghasilkan masa
kerja yang lebih panjang. Ekskresi golongan obat ini terutama melalui ginjal.
Farmakodinamik
Golongan obat ini adalah obat selektif yang tidak biasa. Dalam dosis terapeutik,
kerjanya terutama pada sel-sel otot polos. Kerja lain yang berarti dalam klinik adalah
pada agregrasi trombosit.
Mekanisme kerja pada otot polos
Didalam otot polos obat ini melepaskan ion nitrit bebas. Suatu reaksi enzimatik lain
yang tidak dikenal membebaskan nitrogen oksida (NO). NO adalah adalah satu
vasodilator yang jauh lebih poten daripada nitrit, nitrit sendiri melepaskan NO.
Efek-efek pada sistem organ:
Otot polos vascular
Semua segmen sistem vascular mulai dari arteri yang besar sampai vena yang
besar akan relaksasi dalam respons terhadap nitrogliserin. Vena memberikan
respons pada konsentrasi paling rendah, sedangkan arteri pada konsentrasi yang
sedikit lebih tinggi. Hasil utama langsung dari konsentrasi darah yang efektif
ditandai dengan relaksasi vena besar dengan kenaikan vena kapasitas dan
berkurangnya preload ventrikel. Tekanan vascular paru-paru dan ukuran jantung
berkurang secara nyata. Pada keadaan normal curah jantung dikurangi. Karena
vena kapasitas ditingkatkan maka bisa terjadi hipotensi ortostatik dan bisa
sebabkan sinkop.
Organ-organ otot polos lainnya
Relaksasi orot polos bronkus, saluran gastrointestinal, dan saluran genitourinaria
telah ditunjuk secara eksperimen. Karena lama efeknya yang singkat, maka kerja
nitrat ini jarnag sekali mempunyai nilai klinik.
Kerja pada trombosit
NO yang dilepaskan dari nitrogliserin merangsang guanilil siklase dalam
trombosit seperti dalam otot polos. Peningkatan siklik GMP akan mengurangi
agregrasi trombosit.
Efek-efek lain
Ion nitrit geraksi dengan haemoglobin (yg mengandung besi fero) menghasilkan
methemoglobin (yang mengandung besi feri). Sebab methemoglobin memiliki
afinitas yang sangat rendah pada oksigen, dosis tinggi nitrit dapat menghasilkan
pseudosianosis, hipoksia jaringan dan kematian.
B) DIGITALIS
Farmakokinetik digoksin tinctura
Waktu paruh eliminasi untuk digoksin adalah 36 sampai 46 jam pada pasien
dengan fungsi ginjal normal atau mendekati normal. Ini memungkinkan pemberian dosis
sekali sehari pada pasien tersebut, dan kadar darah yang mendekati kadar tunak dicapai
seminggu setelah terapi pemeliharaan dimulai. Sebagian besar digoksin diekskresi dalam
keadaan tidak berubah dengan laju bersihan yang sebanding dengan laju filtrasi
glomerulus. Pada pasien gagal jantung kongestif (CHF) dengan cadangan jantungnya
(cardiac reserve) kecil, peningkatan curah jantung dan aliran darah ginjal karena terapi
vasodilator atau senyawa simpatomimetik dapat meningkatkan bersihan digoksin di
ginjal, sehingga perlu penyesuaian dosis pemeliharaan setiap hari. Meskipun demikian,
digoksin tidak dapat dihilangkan secara efektif dengan hemodialisis atau peritoneal
karena volume distribusi obatnya besar (4 sampai 7 liter/kg). Jaringan tempat
penimbunan yang utama adalah otot rangka dan bukan jaringan lemak, sehingga,
penentuan dosis harus berdasarkan perkiraan berat tubuh tanpa lemak. Bayi dan balita
dapat menerima digoksin dan tampaknya memerlukan dosis yang lebih besar untuk
mendapat efek terapeutik yang ekuivalen dibandingkan dengan anak-anak yang lebih
besar atau orang dewasa, walaupun laju absorpsi dan laju bersihannya di ginjal sama.
Digoksin dapat melintasi plasenta, dan kadar obat dalam darah ibu sama dengan kadar
dalam darah vena umbilikus.
Kebanyakan tablet digoksin mempunyai ketersediaan hayati oral rata-rata sebesar
70% sampai 80%; namun, sekitar 10% populasi umum dihuni bakteri usus Eubacterium
lentum yang dapat mengubah digoksin menjadi berbagai metabolit nonaktif, hal ini
mungkin yang menyebabkan terjadinya resistensi nyata terhadap dosis standar digoksin
oral. Kapsul yang berisi cairan digoksin memiliki ketersediaan hayati yang lebih besar
dibandingkan dengan tablet, sehingga perlu penyesuaian dosis jika pasien melakukan
penggantian dari satu bentuk sediaan ke bentuk sediaan lain. Digoksin parenteral tersedia
untuk pemberian intravena, dan dosis pemeliharaan dapat diberikan dengan injeksi
intravena jika pemberian dosis oral tidak dapat dilakukan. Pemberian digoksin
intramuskular tidak dianjurkan karena absorpsinya tidak menentu dan menyebabkan rasa
tidak nyaman di tempat penyuntikan. Sejumlah interaksi obat dan kondisi klinis tertentu
dapat mengubah farmakokinetik digoksin atau kerentanan pasien terhadap manifestasi
toksis obat ini. Gagal ginjal kronis, misalnya, menurunkan volume distribusi digoksin,
sehingga dosis pemeliharaan obat ini harus diturunkan. Gangguan elektrolit, terutama
hipokalemia, ketidakseimbangan asam basa, dan jenis penyakit jantung yang
menyebabkan juga dapat mengubah kerentanan pasien terhadap manifestasi toksik
digoksin.
Toksisitas digoksin
Insidensi dan keparahan toksisitas digoksin sangat menurun dalam dua dekade terakhir,
antara lain karena adanya pengembangan obat-obat lain untuk pengobatan aritmia
supraventrikel dan gagal jantung, bertambahnya pemahaman penting tentang
farmakokinetik digoksin, dipantaunya kadar digoksin dalam serum, serta identifikasi
interaksi penting antara digoksin dan obat-obat umum. Digunakan. Namun, dikenalinya
toksisitas digoksin tetap menjadi pertimbangan utama dalam diagnosis yang
membedakan aritmia dan/ atau gejala neurologi dan gastrointestinal pada pasien yang
menerima glikosida jantung
Sangatlah penting untuk tetap waspada dan melakukan pemantauan dini terhadap
gangguan pembentukan impuls, konduksi, atau keduanya. Diantara manifestasi
lektrofisiologis yang umum adalah terjadinya denyut ektopik yang berasal dari ventrikel
atau sambungan AV, blok AV derajat 1, merupakan suatu respons laju ventrikel yang
sangat lambat terhadap fibrilasi atrium, atau percepatan pemacu jantung (pacemaker)
sambungan AV. Hal ini seringkali hanya membutuhkan penyesuaian dosis dan
pemantauan yang tepat. Bradikardia sinus, sinoatrial arrest atau exit block, serta
penundaan konduksi AV derajat 2/ derajat 3 biasanya respons terhadap atropin, walaupun
mungkin diperlukan pemacuan ventrikel sementara. Perlu dipertimbangkan pemberian
kalium untuk pasien yang automatisasi ventrikel atau sambungan AV-nya jelas
meningkat, bahkan jika K+ serum berada pada rentang yang normal, kecuali juga terjadi
blok AV derajat-tinggi. Lidokain atau fenitoin yang mempunyai efek minimum terhadap
konduksi AV, dapat digunakan untuk pengobatan memburuknya aritmia ventrikel yang
mengancam terganggunya hemodinamika. Kardioversi elektris (pemulihan irama normal
jantung dengan kejutan listrik) dapat meningkatkan risiko gangguan ritme parah pada
pasien yang mengalami toksisitas digitalis yang nyata, sehingga harus digunakan dengan
hati-hati.
HASIL PENGAMATAN
1. Obat Vasodilator
I. Pada OP kelompok 1 yang menggunakan obat isosorbid dinitrat sub-lingual, efek
obat obat mulai terlihat pada menit ke 9, ditandai dengan peningkatan denyut
nadi, penurunan frekuensi napas, dan peningkatan suhu kulit. Pada menit ke-12
dapat terlihat penurunan kecil denyut nadi dan suhu kulit dan terjadi peningkatan
tekanan diastolik. Peningkatan tekanan dan denyut nadi ini diduga karena efek
kompensasi dari venous pooling yang diakibatkan oleh isosorbid dinitrat. Setalah
menit ke-12 terlihat peningkatan denyut nadi diatas nilai basal, karena efek obat,
suhu kulit naik-turun, tetapi rata-rata diatas nilai basal. Pada menit ke 21 terlihat
penurunan tekanan darah sistolik dan tekanan diastolik kembali ke nilai normal,
hal ini diduga karena sudah terjadinya dilatasi arteri yang kurang mampu
dikompensasi sebaik venodilatasi. Diduga efek obat hilang pada waktu lebih dari
27 menit, karena pada data menit ke-27 pun masih terlihat efek-efek dari
isosorbid dinitrat, berupa takikardi dan peningkatan suhu kulit, karena dilatasi
arteri di kulit. Frekuensi napas terlihat adanya fluktuasi selama percobaan ini,
diduga karena efek gelisah karena efek dari obat ini.
Pada OP kelompok 1 yang menngunakan obat nitrogliserin peroral, dapat terlihat
efek obat muncul pada menit ke-15, diduga karena terlihat nadi dan penurunan
tekanan darah dan pernapasan. Pada menit ke-30 terlihat adanya peningkatan
tekanan nadi sampai di atas nilai basal dan penurunan frekuensi nadi sampai
dibawah nilai basal, hal ini diduga karena refleks kompensasi pada dilatasi arteri,
yang terlihat pada peningkatan suhu kulit. Refleks ini terus berlangsung sampai
menit ke-60, setelah penurunan suhu kulit selama 30 menit. Pada menit ke-75
terlihat peningkatan tekanan darah di atas nilai basal lagi, walupun suhu kulit
dibawah nilai basal, hal ini diduga karena refleks kompensasi yang sama pada
peningkatan suhu kulit, namun tidak tercatat.
II. Pada OP kelompok 2 yang menggunakan obat sublingual, efek obat muncul
diduga pada menit ke-9, karena terlihat adanya penurunan tekanan darah dan
napas dan peningkatan suhu kulit. Setelah itu, rata-rata terjadi penurunan tekanan
darah dan napas dari nilai basal dan peningkatan suhu kulit di atas nilai basal.
Frekuensi denyut nadi terlihat menurun, diduga terjadi kesalahan penghitungan
atau pada saat pengukuran suhu basal, OP dalam kondisi tidak tenang. Efek obat
tidak terlihat menghilang pada data kelompok ini.
Pada OP kelompok 2 yang menggunakan obat per oral, efek muncul diduga pada
menit ke-15, karena terlihat peningkatan suhu kulit dan penurunan tekanan darah.
Efek obat diduga menghilang pada menit ke-75, karena terlihat adanya penurunan
suhu kulit dan peningkatan tekanan nadi. Frekuensi nadi terlihat menurun diduga
karena OP gelisah atau terjadi kesalahan pengukuran pada pengukuran nilai basal.
III. Pada OP kelompok 3, yang menggunakan obat sublingual, efek obat muncul
diduga pada menit ke-6, karena terlihat adanya peningkatan suhu kulit dan denyut
nadi dan penurunan tekanan darah. Setelah itu rata-rata terjadi peningkatan suhu
kulit dan denyut nadi diatas nilai basal dan penurunan tekanan darah dan napas
dibawah nilai basal sampai menit ke-18, dimana terjadi penurunan nadi dan suhu
kulit dan peningkatan napas, namun setelah itu terjadi lagi efek-efek seperti menit
ke-6. Hal ini bisa terjadi diduga karena efek kompensasi yang dilakukan oleh
tubuh terhadap takikardi, peningkatan suhu kulit, dan hipotensi untuk sementara.
Efek obat tidak terlihat menghilang pada percobaan ini.
Pada OP kelompok 3, yang menggunakan obat per oral, efek obat muncul diduga
pada menit ke-15, karena terlihat peningkatan suhu kulit dan nadi dan penurunan
tekanan darah. Efek obat diduga hilang pada menit ke-45, karena terjadi
penurunan suhu kulit dan nadi pada menit-menit ini dan berikutnya yang lebih
rendah dari menit-menit sebelumnya dan naiknya tekanan darah kembali.
IV. Pada OP kelompok 4, yang menggunakan obat sublingual, efek muncul diduga
pada menit ke-3, karena terlihat adanya peningkatan suhu kulit dan nadi. Pada
menit-menit berikutnya, rata-rata terlihat adanya peningkatan suhu kulit diatas
nilai basal, peningkatan nadi diatas dan tepat pada nilai basal, dan penurunan
tekanan darah. Pada menit ke-18 mulai terlihat adanya penurunan napas yang
disebabkan oleh obat isosorbid dinitrat ini. Hilangnya efek obat tidak terlihat pada
data kelompok ini.
V. Pada OP kelompok 5, yang menggunakan obat sublingual, efek obat muncul
diduga pada menit ke-3, karena terlihat penurunan tekanan darah dan peningkatan
nadi. Efek obat diduga menghilang pada menit ke-18, karena terjadi penurunan
nadi pada menit ini dan menit-menit berikutnya. Suhu kulit terlihat turun diduga
karena dosis obat kurang besar untuk menyebabkan terjadinya dilatasi arteri.
Napas terlihat meningkat diduga karena kesalahan penghitungan atau OP merasa
cemas.
Pada OP kelompok 5, yang menggunakan obat peroral, efek obat muncul diduga
pada menit ke-30, karena terlihat penurunan tekanan darah, peningkatan suhu
kulit dari menit sebelumnya, dan peningkatan nadi. Efek obat hilang diduga pada
menit ke-60, karena terlihat peningkatan tekanan darah ke nilai basal.
VI. Pada OP kelompok 6, yang menggunakan obat sublingual, efek obat muncul pada
menit ke-6, karena terjadi penurunan nafas dan peningkatan suhu kulit dan nadi.
Setelah itu, terlihat rata-rata terjadi penurunan tekanan darah dan napas lebih
rendah dari nilai basal dan peningkatan suhu dan nadi diatas nilai basal. Tidak
terlihat hilangnya efek obat dari data kelompok ini.
Pada OP kelompok 6, yang menggunakan obat peroral, efek obat muncul diduga
terlihat pada menit ke-15, karena terlihat terjadi penurunan tekanan darah dan
napas dan peningkatan suhu kulit. Tidak terjadi peningkatan nadi, diduga karena
kompensasi dari kekuatan jantung telah memadai untuk mengkompensasi dilatasi
arteri atau kurangnya refleks takikardi untuk mengkompensasi dilatasi arteri.
Tidak terlihat hilangnya efek obat pada data kelompok ini.
VII. Pada OP kelompok 7, yang menggunakan obat sublingual, efek obat muncul
diduga pada menit ke-6, karena terjadi peningkatan suhu kulit dan nadi. Pada
data-data selanjutnya rata-rata terjadi peningkatan tekanan darah dan fluktuasi
suhu kulit dan nadi, hal ini diduga terjadi karena refleks dilatasi arteri yang
berlebihan. Tidak terlihat hilangnya efek obat pada kelompok ini, bisa jadi karena
tertutup oleh refleks dilatasi arteri yang berlebihan.
Pada OP kelompok 7, yang menggunakan obat peroral, efek obat muncul diduga
pada menit ke-30, dimana terjadi peningkatan suhu kulit dan penurunan tekanan
darah dan napas. Pada menit ke-60 terjadi peningkatan nadi karena kompensasi
dilatasi arteri. Tidak terlihat hilangnya efek obat pada data kelompok ini.
VIII. Pada OP kelompok 8, yang menggunakan obat sublingual, efek obat muncul
diduga pada menit ke-3, karena terjadi peningkatan suhu kulit dan penurunan
tekanan darah dan napas. Nadi cenderung turun sampai menit ke-9, diduga karena
refleks kuat jantung yang berlebih untuk mengatasi dilatasi arteri. Pada menit ke-
12 sampai 15, terjadi penurunan suhu, diduga karena refleks takikardi dan refleks
kekuatan jantung yang membuat kompensasi konstriksi arteri karena terjadi
hipotensi, namun pada menit ke-18 ke atas, suhu kembali naik, karena refleks
konstriksi arteri berkurang karena kompensasi sudah cukup. Pada menit ke-3
sampai ke-12 terjadi penurunan napas diduga karena terjadi penurunan nadi pula,
dan peningkatan tinggi nadi pada menit ke 15 meningkatkan napas pula.
Hilangnya efek tidak terlihat pada kelompok ini, karena tertutup oleh berbagai
macam refleks diatas atau kerja obat memang belum selesai.
Pada OP kelompok 8, yang menggunakan obat peroral, efek obat muncul pada
menit ke-30, karena terlihat ada peningkatan suhu kulit dan nadi dan penurunan
napas. Tekanan nadi tidak turun diduga karena kompensasi yang cukup untuk
mengatasi hipotensi. Tidak terlihat hilangnya efek obat pada data kelompok ini.
IX. Pada OP kelompok 9, yang menggunakan obat sublingual, efek obat muncul pada
menit ke-3, karena terjadi penurunan tekanan darah dan napas. Penurunan suhu
kulit dan napas diduga karena kompensasi hipotensi, dan nadi turun karena refleks
kurang atau kompensasi cukup. Seiring berjalannya waktu, frekuensi napas naik
dan suhu kulit makin turun untuk mengkompensasinya. Hilangnya efek obat tidak
terlihat pada data kelompok ini.
Pada OP kelompok 9, yang menggunakan obat per oral, efek obat muncul pada
menit ke-15, karena terlihat peningkatan suhu dan nadi dan penurunan napas.
Kenaikan tekanan darah diduga karena refleks kompensasi berlebih, berupa
penurunan suhu kulit karena konstriksi arteri. Hilangnya efek obat tidak terlihat,
karena tertutup oleh refleks diatas.
X. Pada OP kelompok 10, yang menggunakan obar sublingual, efek obat muncul
pada menit ke-9, karena terjadi peningkatan suhu kulit dan nadi dan penurunan
napas. Efek obat diduga hilang pada menit ke-24, dimana terjadi penurunan suhu
kulit dan kenaikan tekanan darah.
Pada OP kelompok 10, yang menggunakan obat per oral, efek obat muncul pada
menit ke-15, karena terlihat peningkatan suhu kulit. Rata-rata terjadi penurunan
tekanan darah dan penurunan nadi dan peningkatan napas, karena refleks yang
kurang. Efek obat diduga hilang pada menit ke-45, karena terlihat penurunan suhu
dan peningkatan tekanan darah pada menit selanjutnya.
XI. Pada OP kelompok 11, yang menggunakan obat sublingual, efek obat muncul
pada menit ke 3, karena terlihat peningkatan suhu kulit dan penurunan tekanan
darah. Efek obat diduga hilang pada menit ke-30, dimana terjadi penurunan suhu
dan nadi dan peningkatan tekanan darah dan napas.
Pada OP kelompok 11, yang menggunakan obar peroral, efek obat muncul pada
menit ke-15, karena terlihat peningkatan denyut nadi. Fluktuasi suhu kulit dan
peningkatan napas terjadi karena kompensasi yang cukup. Tidak terlihat
hilangnya efek obat pada kelompok ini.
XII. Pada OP kelompok 12, yang menggunakan obat sublingual, efek obat muncul
pada menit ke-9, karena terlihat penurunan tekanan darah dan peningkatan suhu
kulit. Peningkatan napas diduga karena kesalahan penghitungan. Penurunan
denyut nadi diduga karena kompenasi kuat jantung yang cukup atau refleks
takikardi yang kurang. Tidak terlihat hilangnya efek obat pada kelompok ini.
Pada OP kelompok 12, yang menggunakan obat per oral, efek obat muncul pada
menit ke-90, karena terlihat kenaikan suhu kulit dan penurunan tekanan darah.
Tidak terlihat hilangnya efek obat pada kelompok ini.
2. Digitalis
Kurva :
BLOKADE PARSIAL : pada tetesan ke-4BLOKADE TOTAL : pada tetesan ke-6
Setelah pemberian tintura digitalis 10% berlaku penurunan frekuensi nadi yang sangat mencolok sekali.
Beberapa perubahan juga berlaku pada jantung kodok setelah pemberian digitalis, antaranya ialah :
Penurunan frekuensi jantung
Ventrikel menjadi lebih merah pada diastole
Lebih putih pada sistole
Pada tetesan digitalis yang ke-4, berlaku penghambatan kondisi jantung secara parsial atau dikenali sebagai blockade parsial dan perubahan frekuensi jantung semakin menurun dan akhirnya pada tetesan ke-6 berlakulah penghambatan mutlak dan kemudian ventrikel jantung berhenti berdenyut. Jantung akan berhenti dalam keadaan sistole.
Efek digitalis yang dapat dilihat pada tetesan ke-4, dimana kontraksi mulai berkurang dan efek toksik dari digitalis yang membuat blok A-V partial. Blok jantung yang terjadi timbul akibat defek pada sistem penghantar jantung. Atrium
tetap berkontraksi secara teratur tetapi ventrikel kadang-kadang tidak dapat dirangsang sehingga tidak berkontraksi setelah kontraksi atrium. Pada tetesan digitalis yang ke-6, menunjukan blok A-V total, hingga menyebabkan kodok mati dan tidak mampu berkontraksi lagi. Dalam percobaan ini kita dapat melihat bahwa digitalis memiliki margin of safety yang kecil yang menunjukkan efek toksik dan efek letal digitalis.
DAFTAR PUSTAKA
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2007.