opt penting 4, colletotrichum gloeosporioides

Upload: muditateach

Post on 17-Jul-2015

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

JAMUR MATI PUCUK Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.A.V. Simamora & I W. Mudita Minat Perlindungan Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Undana Jl. Adicucipto, Penfui, Kupang, NTT

A. Nama Penyakit dan Klasifikasi OPT Nama umum bahasa Indonesia untuk penyakit yang disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides adalah penyakit antraknosa atau dalam bahasa Inggrisnya disebut antrachnose disease. Pada tanaman mente, antraknose merupakan gejala awal yang dapat berlanjut dengan timbulnya penyakit dengan nama umum bahasa Indonesia mati pucuk dan nama umum bahasa Inggris dieback (Muhammad 2001). Klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides adalah sebagai berikut: divisi: Eumycota, sub-divisi: Deuteromycotina, kelas: Deuteomycetes, ordo: Melanconiales, famili: Melanconiaceae, genus: Colletotrichum, spesies: Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. Teleomorf jamur ini adalah Glomerella cinguata (Stonem.) Spauld et Schrenk. B. Gejala dan Tanda Penyakit Gejala awal berupa bercak basah mengkilap yang kemudian berubah menjadi cokelat kemerahan (Gambar 1a). Daun yang terserang menjadi keriput berbintik kecilkecil (bercak daun). Tandan bunga yang terserang menjadi hitam dan gugur. Serangan pada buah dan biji menyebabkan buah dan biji menjadi keriput dan gugur (Gambar 1b). Gugurnya daun, bunga, dan buah berlanjut dengan mengeringnya ranting dari bagian ujung ke arah pangkal (Gambar 1c). Mengeringnya banyak ranting menyebabkan cabang dan bahkan pohon menjadi mati (Muhammad 2001).

(a) (b) (c) Gambar 1. Gejala penyakit antraknosa: (a) Gejala awal pada pucuk dan daun, (b) Gejala lanjut pada ranting, dan (c) Gejala lanjut pada buah. C. Daur Hidup OPT Pada permukaan organ yang diserangnya jamur ini membentuk tubuh buah berupa aservulus yang menyembul dari permukaan organ yang diserangnya (Gambar 2a). Aservulus berlilin, berbentuk cakram dengan beberapa bulu atau duri berwarna

cokelat tua di antara konidiofor (Semangun 2000) (Gambar 2b). Konidium tidak berwarna (tetapi dalam jumlah banyak berwarna merah salmon), bersel 1, jorong memanjang, agak melengkung, berukuran panjang 10-15 m dan lebar 5-7 m in, terbentuk pada ujung konidiofor yang sederhana dan pendek (Dickman 1993, Semangun 2000) (Gambar 2c,d). Pada saat berkecambah konidium yang bersel tunggal membentuk sekat (Gambar 2e) dan buluh kecambah membentuk apresorium sebelum melakukan penetrasi (Dickman 1993). Pada medium PDA jamur membentuk koloni yang mula-mula berwarna cokelat jingga tetapi kemudian menjadi cokelat gelap (Gambar 2f). Menurut Dickman (1993), isolasi C. gloeosporioides dari bercak yang berbeda dapat menghasilkan isolat dengan warna koloni dan virulensi yang berlainan.

(a)

(b)

(c)

(d) (e) (f) Gambar 2. Morfologi C. gloeosporioides: (a) Aservulis, (b) Bulu atau duri di antara konidiofora pada aservulus (c) Konidiofora dan konidia, (d) Konidia, (e) Konidia berkecambah di permukaan medium PDA, dan (f) Koloni pada medium PDA D. Daur Penyakit Konidium jamur dipencarkan oleh percikan air dan angin, mobilitas manusia, atau alat pertanian pada saat digunakan. C. gloeosporioides merupakan jamur yang polifag sehingga sumber inokulum selalu tersedia. Konidia yang berkecambah pada permukaan daun, pucuk, atau buah dapat melakukan penetrasi secara langsung untuk kemudian berkembang di bawah lapisan kutikula (Dickman 1993). C. gloeosporioides mempertahankan diri pada bagian-bagian tanaman yang mati, yang akan menjadi sumber inokulum bila keadaan sesuai untuk perkembangannya (Semangun 2000). E. Faktor Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Perkembangan mati pucuk pada mente dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan C. gloeosporioides. Menurut Semangun (2000), C. gloeosporioides merupakan patogen lemah yang perkembangannya meningkat pada tanaman yang tumbuh kurang optimal karena pengaruh faktor lingkungan yang merugikan seperti kekurangan air, kekurangan unsur hara, dan sebagainya. Menurut Dickman (1993), suhu optimum bagi perkembangan C. gloeosporioides adalah 28oC pada kelembaban nisbi di atas 97%. Kelembaban nisbi yang tinggi juga diperlukan untuk pelepasan konidia. Viabilitas konidia menurun drastis pada kelembaban nisbi rendah serta suhu di bawah 18oC dan di atas 25oC (Dickman 1993, Wastie 1972).

F. Kisaran Inang dan Kemampuan Menurunkan Hasil C. gloeosporioides merupakan jamur polifag yang mempunyai sangat banyak tanaman inang dan bersifat kosmopolitan (Dickman 1993). G. Sebaran di Luar dan di Wilayah Penelitian C. Gloeosporioides tersebar luas di pusat-pusat budidaya mente di seluruh, dunia termasuk di Indonesia. Di wilayah penelitian, jamur ini ditemukan di Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur dan menimbulkan kerusakan yang bervariasi dari ringan sampai sedang sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Wilayah Sebaran Jamur Mati Mucuk (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.dan Kategori Kerusakan yang Ditimbulkan pada Tanaman Mente di Kecamatankecamatan di Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores TimurKabupatenEnde

KategoriAbsen Ringan Sedang Berat Absen Ringan Sedang Berat Absen Ringan Sedang Berat

Kecamatan SebaranKelimutu Detusoko, Ende, Lio Timur, Maukaro, Nangapanda, Ndona Timur, Pulau Ende, Wolojita, Wolowaru Detukeli, Ende Selatan, Kotabaru, Maurole, Ndona, Wewaria

Sikka

Alok, Bola, Kewapante, Lela, Maumere, Mego, Nita, Paga, Pulau Palue, Talibura, Waigete

Flores Timur

Adonara Timur, Ile Boleng, Ile Mandiri, Larantuka, Solor Barat, Solor Timur Adonara Barat, Klubanggolit, Tanjung Bunga, Titehena, Witihama, Wotan Ulumado, Wulanggitang

Sumber: Hasil analisis data pengamatan lapangan dan pemeriksaan laboratorium

H. Pengelolaan OPT Fisik. Pengendalian secara fisik dilakukan dengan memangkas dan membakar cabang dan ranting berpenyakit (Semangun 2000). Kimiawi. Menurut Semangun (2000), pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan fungisida yang meliputi bubur bordeaux, karbamat seng atau seng dan mangan, kaptafol, dan fungisida sistemik tiofanat. Pengendalian juga perlu dilakukan terhadap Helopeltis dengan menggunakan insektisida yang direkomendasikan. Alami dan Hayati. Tidak tersedia informasi mengenai pengendalian secara alami dan hayati terhadap C. gloeosporioides. Genetik. Tidak tersedia informasi mengenai pengendalian secara genetik terhadap C. gloeosporioides. Budidaya. Pengendalian C. gloeosporioides secara budidaya dilakukan dengan memperbaiki sanitasi kebun, pembuatan parit drainase untuk menghindari genangan air di dalam kebun pada musim hujan, dan melakukan pemupukan secara rutin sesuai dengan dosis anjuran. Daftar Pustaka Alexopoulus, C.J., C.W. Mims, & M. Blackwell 1996. Introductory Mycology. John Wiley & Sons, New York. Dickman, M.W. 1993. Colletotrichum gloeosporioides (Plant Disease Pathogen). Crop Knowledge Master. Website: http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/Type/ c_gloeo.htm

Dickman, M. B., and Alvarez, A. M. 1983. Latent infection of papaya caused by Colletotrichum gloeosporioides. Plant Dis. 67:748-750. Muhammad, A., D. Judawi, D. Priharyanto, G.C. Luther, G.N.R. Purnayasa, J. Mangan, M. Sianturi, P. Mundy, & Riyatno 2001. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Mete. Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Streets, R.B. 1980. Diagnosis Penyakit Tumbuhan. (Alih bahasa: Iman Santoso). The University of Arizona, Press. Wastie, R. L. 1972. Secondary leaf fall of Hevea brasiliensis: factors affecting the production, germination, and viability of spores of Colletotrichum gloeosporioides. Ann. Appl. Biol. 72:273-282.