optimalisasi pelaksanaan rekam medis di rumah...
TRANSCRIPT
OPTIMALISASI PELAKSANAAN REKAM MEDIS DI RUMAH SAKIT
(Suatu Kajian Sosiologi Hukum)
OPTIMIZATION OF MEDICAL RECORD IMPLEMENTATION IN THE HOSPITALS
(Legal Sociological Study)
MUHAMAD NORMIJANI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
OPTIMALISASI PELAKSANAAN REKAM MEDIS DI RUMAH SAKIT
(Suatu Kajian Sosiologi Hukum)
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Hukum/ Hukum Kesehatan
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMAD NORMIJANI
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
TESIS OPTIMALISASI PELAKSANAAN REKAM MEDIS
DI RUMAH SAKIT (Suatu Kajian Sosiologi Hukum)
Disusun dan diajukan oleh:
MUHAMAD NORMIJANI
Nomor Pokok P0907211725
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
Pada Tanggal 19 Agustus 2013
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasehat
Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H. Dr. Hasbir Paserangi, S.H.,M.H Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin,
Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H. Prof. Dr. Ir. Mursalim
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Muhamad Normijani No. Pokok : P0907211725 Program Studi : Ilmu Hukum Konsentrasi : Hukum Kesehatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Agustus 2013 Yang menyatakan Muhamad Normijani
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga tesis ini selesai sesuai
waktu yang ditentukan sebagai syarat untuk mencapai gelar Magister
Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan pada Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Hasanuddin.
Dalam tesis ini penulis mencoba menarik benang merah tentang
Optimalisasi Pelaksanaan Rekam Medis di Rumah Sakit (Suatu Kajian
Sosiologi Hukum). Dalam proses pembuatan tesis ini banyak mendapat
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak serta berbagai referensi yang
akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.
Namun demikian penulis sangat menyadari bahwa tesis ini jauh
dari sempurna oleh karena itu dengan penuh kesadaran dan kerendahan
hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari
berbagai pihak, untuk penyempurnaan tesis ini.
Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus ikhlas menyampaikan
terima kasih kepada yang terhormat bapak Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H.,
M.H. selaku Ketua Komisi Penasehat dan Bapak Dr. Hasbir Paserangi,
S.H, M.H., selaku anggota Komisi Penasehat, Prof. Dr. H. M. Said Karim,
S.H., M.H., dan Dr. Oky Deviany Burhamzah,S.H., M.H. serta Dr.
Harustiati A Moein, S.H., M.H. selaku dosen penguji yang berkenan
meluangkan waktunya ditengah kesibukan, membimbing dan memberi
perhatian dan pengarahan sampai dengan selesainya penulisan tesis ini.
Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si, DFM. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
2. Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi S2
Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Seluruh Dosen Pengelola dan staf Pengelola Program Studi Ilmu
Hukum konsentrasi Hukum Kesehatan beserta Staf Pengajar dan
staf administrasi yang telah memberikan ilmu dan bantuannya
selama mengikuti pendidikan.
4. Direktur Rumah Sakit BrigJend. H.Hasan Basry Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, semua dokter, perawat dan petugas Rekam medis
yang telah membantu penyelesaian tesis ini dan teman semua
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
5. Rekan-rekan Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Kesehatan Angkatan 2011 yang telah berbagi
dalam suka dan duka selama mengikuti perkuliahan
6. Istriku Sarinah.N, S.Kep dan Anakku tersayang Bella Amalia
Rahmasari dan M. Syafa Nurikhsan yang memberikan dukungan,
motivasi, do‟a serta kesabaran yang tulus selama menjalani
pendidikan dan terimakasih yang tak terhingga dengan segala
pengobanan lahir dan batinnya.
7. Kedua Orang Tuaku tercinta H. Abdul Sani dan Hj . Salasiah serta
kakak dan adikku yang telah banyak membantu baik moril maupun
materiel dalam menyelesaikan pendidikan.
Akhirnya ucapan terimakasih juga disampaikan kepada mereka
semua yang yamg telah memberikan konteribusi atas penyelesaian tesia
ini. Semoga Allah SWt senantias memberikan Rahmat, Hidayah serta
Inayah-Nya kepada kita semua.
Makassar, Agustus 2013
Muhamad Normijani
ABSTRAK
MUHAMAD NORMIJANI. Optimalisasi Pelaksanaan Rekam Medis di Rumah Sakit, Suatu Kajian Sosiologi Hukum (dibimbing oleh M. Syukri Akub dan Hasbir Paserangi)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan rekam medis di Rumah Sakit BrigJend. H. Hasan Basry Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Permenkes No. 269 Tahun 2008, serta tanggung jawab hukum dokter dalam pelaksanaan rekam medis di rumah sakit.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris. Responden sebanyak 40 orang terdiri atas 10 dokter dan dokter gigi, 16 perawat, 11 pengelola rekam medis, Kepala rekam medis, Direktur Rumah Sakit BrigJend. H. Hasan Basry Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan rekam medis dirumah sakit Brigjend .H.Hasan Basry tidak optimal berdasarkan Permenkes No. 269 Tahun 2008. Ketidakoptimalan tersebut disebabkan tidak adanya sosialisasi, keterbatasan tenaga dan sarana, kesadaran yang kurang dan pengawasan yang tidak maksimal. Tanggung jawab hukum dokter dalam pelaksanaan rekam medis berhubungan erat dengan kerahasiaan rekam medis, terjadinya wanprestasi, perbuatan melawan hukum dalam transaksi terapeutik, rekam medis sebagai alat bukti, ketiadaan rekam medis serta surat ijin dan registrasi dokter. Kata kunci: rekam medis, rumah sakit, tanggung jawab hukum
ABSTRACT
MUHAMAD NORMIJANI. Optimization of Medical Record Implementation in the Hospitals (Legal sociological study), (supervised by M. Syukri Akub and Hasbir Paserangi)
The aims of the research is to acknowledge how the medical record is implemented at the hospital of Brigjend. H. Hasan Basry, Hulu Sungai Selatan Regency, South Kalimantan Province, based on the Health Ministry Regulation No. 269, 2008, and the legal responsibility of the doctors in the implementation of medical record in the hospital. The research method was a descriptive analysis with empirical jurisdiction approach. The number of respondens were 40 persons which consist of 10 medical doctors and dentists, 16 nurses, 11 medical record managements, the head medical record, director of Brigjend.Hasan Basry Hospital of Hulu Sungai Selatan Regency, and the Head of Indonesian Doctor Association of Hulu Sungai Selatan Regency of South Kalimantan Province.
The results of the research indicated that the implementation of medical record in the Brigjend. Hasan Basry Hospital is not optimum according to the Health Ministry Regulation No. 269, 2008, due to a lack of socialization, limited human resources and facilities, a lack of awareness and non-optimized control. Legal responsibilities of physician in the medical record implementation is closely related to the confidentiality of medical record, the breech of regulation, and therapeutic transaction, medical records as an evidence, the absent of medical records, physician license and registration. Keywords: medical records, hospital, legal liability
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
PERNYATAAN KEASLIAN
PRAKATA…………………………………………...………………………
.ABSTRAK…………………………………………………………………..
ABSTRACT………………………………………………………………….
DAFTAR ISI…………………………………………………………...........
DAFTAR TABEL……………………………………………………………
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………..............
B. Rumusan Masalah………………………………………………… ………
C. Tujuan Penelitian……………………………………………..........
D. Kegunaan Penelitian………………………………………………
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Sosiologi Hukum………………..……………..
B. Urgensi Rekam Medis Dalam Pelayanan Kesehatan………..…
C. Rekam Medis Sebagai Alat Bukti Surat Dalam Hukum Pidana
dan Perdata………………………………………………………….
D. Tinjauan Tentang Rekam Medis…………………………………..
1. Pengertian Rekam Medis………………………………..……...
iv
vii
viii
ix
xii
1
6
6
7
8
12
15
22
22
2. Peran dan Fungsi Rekam Medis………...……………………..
3. Isi Rekam Medis……………….…………………………………
4. Informed Consent………………………………………….........
5. Resume Akhir……………...……………………………….........
6. Pemanfaatan Rekam Medis…………………………………….
7. Penyelenggaraan Rekam Medis……………………………….
a. Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medis………………
b. Kepemilikan Rekam Medis………………………………….
c. Penyimpanan Rekam Medis………………………………..
d. Pengorganisasian Rekam medis…………………………..
e. Pembinaan dan Pengawasan………………………………
8. Kerahasiaan Rekam Medis……………………………………..
9. Kewajiban dan Hak Petugas Rekam Medis…………………..
E. Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit…….…………………….
1. Pengertian Rumah Sakit…………….…………………………..
2. Klasifikasi Rumah Sakit……………………………….…..........
3. Fungsi Rumah Sakit……………………………………….........
4. Kewajiban Rumah Sakit…………………….…………………..
a. Kewajiban Umum Rumah Sakit…………………………….
b. Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Masyarakat…………..
c. Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien……………….
5. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter………………………..
a. Hak dan Kewajiban Pasien di Rumah Sakit………………
23
26
30
36
37
40
40
41
42
42
44
44
53
53
53
54
56
56
56
57
57
58
58
b. Hak dan Kewajiban Dokter di Rumah Sakit………………
F. Kepastian Hukum, Keadilan dan kemanfaatan (Idee Des
Recht)………………………………………………………………...
1. Kepastian Hukum……………………………………………….
2. Keadilan………………………………………………………….
3. Kemanfaatan…………………………………………………….
G. Kesadaran Hukum, Ketaatan Hukum dan Efektifitas Hukum…
1. Kesadaran Hukum…..…………………………………………...
2. Ketaatan Hukum……………………………………..................
3. Efektifitas Hukum……………………….………………….........
H. Tinjauan Tanggung Jawab Hukum……………………………….
1. Pidana…………………………………………………………….
2. Administrasi……………………………………………………...
3. Perdata…………………………………………………………...
I. Kerangka Pikir……………………………………………………….
J. Bagan Kerangka Pikir………………………………………………
K. Definisi Operasional………………………………………………..
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian……………………………........
B. Lokasi Penelitian…………………………………………………….
C. Populasi dan Sampel …………………………….........................
D. Jenis dan Sumber Data…………………………………………….
E. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………
62
66
66
68
70
71
71
75
76
82
87
90
92
98
100
101
103
104
104
105
105
F. Analisa Data………………………………………………………...
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Permenkes No. 269 tahun 2008 di Rumah Sakit
BrigJend. H. Hasan Basry Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Kalimantan Selatan………………………………………………..
B. Pelaksanaan Rekam Medis di Rumah Sakit Brigjend. H.Hasan
Basry Kabupaten Hulu Sungai Selatan…………………………..
C. Tanggung Jawab Hukum Dokter Dalam Pelaksanaan Rekam
Medis…………………………………………………………………
1. Tanggung Jawab Kerahasiaan Rekam Medis………………..
2. Tanggung Jawab Perdata Transaksi Terapeutik……………..
3. Tanggung Jawab Administrasi………………………...............
4. Rekam Medis Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara
Pidana dan Hukum Acara Perdata…………………………….
5. Konsekuensi Hukum Ketiadaan Rekam Medis……………….
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………..
B. Saran…………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
106
107
134
156
157
166
178
181
187
192
193
DAFTAR TABEL
Nomor Hal
1.
2
3
4
Pendapat responden tentang pelaksanaan tata cara penyelenggaraan Rekam Medis
Tanggapan responden pengelola rekam medis mengenai
tempat penyimpanan Rekam Medis Pernyataan responden pengelola Rekam Medis tentang
pelaksanaan pemusnahan berkas Rekam medis Penyataan responden pengelola Rekam Medis tentang
kerahasiaan Rekam Medis
115
119
123
126
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H Ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya pada Pasal 34
ayat (3) ditegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pada
Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
Salah satu bidang kesehatan yang dimaksud adalah Rumah sakit.
Rumah Sakit mempunyai fungsi dan tujuan sarana pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan berupa pelayanan
rawat jalan, pelayanan rawat inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan
rujukan dan penunjang medis serta dimanfaatkan untuk pendidikan,
pelatihan, dan penelitian bagi para tenaga kesehatan.
Rumah sakit dapat memberi pelayanan kesehatan yang bermutu
terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, pelayanan ini bersifat dasar, spesialistik dan sub
spesialistik dengan menggutamakan sarana kesehatan dengan
menyelenggarakan kesehatan secara merata dengan mengutamakan
upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kepada masyarakat dalam
upaya peningkatan kesehatan masyarakat.
Rumah sakit adalah bagian yang penting di bidang kesehatan dan
berperan dalam menunjang kelangsungan hidup masyarakat agar hidup
sehat dan sejahtera. Rumah sakit mempunyai beberapa ruang baik untuk
pengobatan, pelayanan, informasi, dan bagian rekam medis. Dalam
hubungan antara rumah sakit dengan pasien secara otomatis akan
banyak data pribadi pasien yang diketahui oleh dokter dan tenaga
kesehatan lain.
Rekam medis adalah sumber data dan informasi yang paling baik
di rumah sakit. Karena rekam medis memuat riwayat pasien, terapi yang
diberikan dan perkembangan perawatan.
Rekam Medis juga digunakan untuk merencanakan evaluasi terapi
pasien dan sebagai alat komunikasi antar dokter dan penyedia pelayanan
kesehatan lainnya di rumah sakit. Pengawas medis dan perawatan
melakukan audit kualitas pelayanan kesehatan dengan mengevaluasi
terapi yang dituliskan dalam rekam medis.
Rekam medis merupakan bukti tertulis mengenai proses
pelayanan yang diberikan kepada pasien oleh Dokter dan tenaga
kesehatan lainnya, yang mana dengan adanya bukti tertulis tersebut maka
rekam medis yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan.
Rekam medis digunakan sebagai alat perlindungan hukum yang mengikat
karena di dalamnya terdapat segala catatan tentang tindakan, pelayanan,
terapi, waktu terapi, tanda tangan dokter yang merawat, lembar
persetujuan atau penolakan pasien yang bersangkutan.
Dengan kata lain, rekam medis dapat memberikan gambaran
tentang standar mutu pelayanan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan maupun oleh tenaga kasehatan yang berwenang. Berkas
rekam medis juga menyediakan data untuk membantu melindungi
kepentingan hukum pasien, dokter dan penyedia fasilitas pelayanan
kesehatan. Catatan ini juga menyediakan data yang dapat melindungi
kepentingan hukum pasien dalam kasus kecelakaan atau malpraktek.
Rekam medis adalah satu bagian yang ada di suatu rumah sakit,
sehingga secara otomatis rekam medis mempunyai peran yang sangat
penting demi kelangsungan dan mutu rumah sakit. Rekam medis ini tidak
hanya untuk kepentingan pasien tetapi juga untuk kepentingan penyajian
informasi kesehatan dan data angka kesakitan di rumah sakit.
Sarana kesehatan bertanggung jawab untuk melindungi informasi
kesehatan yang terdapat dalam rekam medis terhadap kemungkinan
hilang, rusak, pemalsuan dan hal lain yang tidak sah. Pengisian harus
dilakukan dengan lengkap, rinci, akurat dan relevan dan dokter yang
merawat pasien bertanggung jawab atas kelengkapan serta keakuratan
rekam medis dan ini akan bermanfaat sekali untuk perawatan dan
pengobatan pasien, bukti hukum bagi rumah sakit maupun kepentingan
penelitian medis dan administratif.
Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 menyebutkan bahwa setiap
sarana pelayanan kesehatan wajib menyelenggarakan rekam medis.
Rekam Medis (RM) adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. Rekam
medis mempunyai tujuan untuk melindungi pasien dan dokter yang
berkaitan dengan hukum serta menunjang tercapainya tertib administrasi
dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Penyelenggaraan Rekam medis di rumah sakit meliputi penerimaan
pasien, pelayanan medis dan keperawatan, pelayanan administrasi dan
keuangan, pencatatan data RM dan pelaporan.
Rekam medis rumah sakit merupakan komponen penting dalam
pelaksanaan kegiatan manajemen rumah sakit. Untuk itu sebuah rekam
medis harus mampu menyajikan informasi tentang pelayanan medis dan
kesehatan di rumah sakit.
Pimpinan Rumah sakit bertanggung jawab menyediakan sarana
unit rekam medis yang meliputi ruang, peralatan dan tenaga yang
memadai sehingga pengelolaan rekam medis dapat bejalan dengan baik.
Berbeda dengan apa yang telah penulis kemukakan di atas adalah
bahwa pada pelaksanaan rekam medis, dokter tidak menyadari
sepenuhnya manfaat dan kegunaan rekam medis, baik pada sarana
kesehatan maupun pada praktik perorangan, akibatnya rekam medis
sering dibuat tidak lengkap, tidak jelas dan tidak tepat waktu begitu juga
pegelolaan pada bagian rekam medis itu sendiri dan sesuai dengan
Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Rekam medis dapat dipakai sebagai
alat bukti dokumen dalam perkara hukum.
Suryono dan Bastian dalam buku Penyelesaian Sengketa
Kesehatan menyebutkan bahwa penelitian WHO pada tahun 2003
melaporkan bahwa 70 persen dokter di Indonesia tidak membuat Medical
Record atau catatan medis perkembangan penyakit serta terapi yang
pernah diberikan kepada pasiennya.1
Berikut contoh kasus yang berkaitan dengan rekam medis, seperti
perawat tidak mencatat observasi yang dilakukannya terhadap pasien,
sehingga dalam rekam medis pasien termaksud tidak ditemukan adanya
catatan observasi tersebut. Rumah sakit kemudian digugat oleh pasien
dalam kasus perubahan rekam medis dimana Seorang dokter
membetulkan catatan pada rekam medis pasien untuk membuktikan
bahwa dia telah memberikan obat secara oral, sementara pasien
menyatakan bahwa pasien merasa kesakitan sesudah dilakukan injeksi.2
Pemberlakuan Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29
Tahun 2004 ditujukan untuk melindungi pasien dan dokter sehinga dapat
terlindungi secara hukum dan dengan berlakunya undang-undang ini
mewajibkan kepada dokter sebagai pemberi layanan kesehatan untuk
1 Bastian, I. dan Suryono. 2011. Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Penerbit Salemba Medika.
Jakarta. Hal 52. 2 Isfandyarie, A. 2006. Tanggung jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter. Prestasi Pustaka.
Jakarta. Hal 176-178
membuat rekam medis, begitu pula atas tindakan yang dilakukan harus
mendapat persetujuan dari pasien.
Dalam survey pendahuluan yang dilakukan di Rumah sakit
BrigJend.H. Hasan Basry Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kalimantan
Selatan, ditemukan adanya pengembalian rekam medis yang tidak tepat
waktu, isi catatan medis yang tidak lengkap, catatan perawatan yang tidak
lengkap begitu juga permintaan isi rekam medis yang tidak sesuai dengan
prosedur.
Berdasarkan uraian diatas maka penting dilakukan penelitian
pelaksanaan rekam medis di Rumah Sakit apakah sesuai dengan
peraturan yang ada.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan yang telah uraikan di atas,
maka penulis mengajukan permasalahan sebagai berikut
1. Bagaimanakah pelaksanaan rekam medis di Rumah Sakit Brigjend.
H. Hasan Basry Kab. Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan
Selatan bedasarkan Permenkes No. 269 Tahun 2008 ?
2. Bagaimanakah tanggung jawab hukum dokter dalam pelaksanaan
rekam medis pada Rumah Sakit ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan rekam medis di Rumah
sakit Brigjend.H. Hasan Basry Kab. Hulu Sungai Selatan Provinsi
Kalimantan Selatan menurut Permenkes No.269 Tahun 2008.
2. Untuk mengetahui dan memahami tanggung jawab hukum dokter
dalam pelaksanaan rekam medis di Rumah Sakit
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian:
1. Secara teoritis :
a. Dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan
hukum khususnya dalam rekam medis di rumah sakit
b. Diharapkan dapat mengerti dan memahami prosedur dan
pengelolaan rekam medis di rumah sakit.
2. Secara praktis:
a. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada pembuat
kebijakan dan penegakan hukum dalam hubungannya dengan
rekam medis.
b. Diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran pada para
praktisi hukum, rumah sakit, dokter dan pasien, berkaitan dengan
rekam medis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Sosiologi Hukum
1. Pengertian Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah ilmu pengetahuan ilmiah yang mempelajari
hubungan timbal balik antara hukum dengan berbagai gejala-gejala sosial
lainnya secara empiris analitik. artinya selain mempelajari proses
pelembagaan norma sosial, konsistensi, kegunaan dan gejala prilaku
normatif, sosiologi dalam hukum juga mempejari efektivitas penerapan
peraturan hukum atau undang-undang dalam kehidupan masyarakat.
Sosiologi hukum merupakan ilmu yang menganggap hukum bukan
hanya sisi normatifnya saja tetapi merupakan sekumpulan fakta empiris
sesuatu yang nyata dalam masyarakat yang ditinjau dari berbagai sisi
sampai terdapat keseimbangan informasi terhadap suatu fenomena sosial
tentang hukum.
Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi hukum merupakan cabang
ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti, mengapa manusia patuh
pada hukum dan mengapa dia gagal untuk mentaati hukum tersebut serta
faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.3
3 Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta
Pengertian Sosiologi Hukum ini menganalisa bagaimana jalannya
suatu hukum dalam masyarakat, yang merupakan hal utama bagi para
pengguna hukum agar tahu betapa berpengaruhnya hukum dalam suatu
masyarakat.
2. Sudut Pandang Sosiologi Hukum
Sudut pandang dalam bidang hukum menyangkut beberapa hal
diantaranya sebagai berikut:
- Sosiologi dalam bidang hukum mengamati serta mencatat hukum
dalam kenyataan kehidupan sehari-hari kemudian berusaha untuk
menjelaskannya
- Sosiologi dalam bidang hukum adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari fakta hukum dalam masyarakat misalnya data,
keterangan dan kejadian nyata sebagai dasar analisisnya
- Sosiologi dalam bidang hukum adalah disiplin ilmu yang
mempelajari efektivitas fungsi-fungsi hukum dalam memelihara
stabilitas ketertiban, keadilan, keamanan dan ketentraman dalam
masyarakat
- Sosiologi dalam bidang hukum merupakan disiplin ilmu yang
mempelajari dan menjelaskan kenyataan fungsi-fungsi norma
sebagai pedoman masyarakat dalam bertindak sekaligus menguji
kebenaran hukum dalam kehidupan masyarakat.
3. Karateristik Sosiologi Hukum
Karakteristik kajian sosiologi hukum adalah fenomena hukum
dalam masyarakat untuk mewujudkan: deskripsi, penjelasan,
pengungkapan (revealing), dan prediksi, yaitu bahwa karekteristik kajian
sosiologi hukum adalah sebagai berikut :
a. Sosiologi hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap
praktek hukum dan dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-
Undang, penerapan dalam pengadilan, maka mempelajari pula
bagaimana praktik yang terjadi pada masing-masing bidang
kegiatan hukum tersebut
b. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu
praktek-praktek hukum didalam kehiduipan sosial masyarakat itu
terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang mempengaruhi.
Latar belakang dan sebagainya. Pendapat Max Weber yaitu “
Interpretative Understanding” yaitu cara menjelaskan sebab,
perkembangan serta efek dari tingkah laku sosial, dimana tingkah
laku dimaksud mempunyai dua segi yaitu luar dan dalam atau
internal dan ekternal.
c. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahian empiris dari suatu
peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi
suatu hukum yang sesuai dan atau tidak sesuai dengan
masyarakat tertentu.
d. Sosiologi hukum bersifat khas adalah apakah kenyataan seperti
yang tertera pada peraturan itu dan harus menguji dengan data
empiris.
e. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum,
tingkah laku yang mentaati hukum, sama-sama merupakan obyek
pengamatan yang setaraf, tidak ada segi obyektifitas dan bertujuan
untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang
nyata. Penguraian metode pendekatan sosiologi hukum,
perbandingan yuridis empiris dengan yuridis normatif, hukum
sebagai sosial kontrol dan hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat
4. Kegunaan Sosiologi Hukum
Dalam kehidupan bermasyarakat sosiologi hukum memiliki
beberapa manfaat sebagai berikut:
a. Memahami hukum dalam konteks sosialnya, misalnya hukum waris.
b. Menganalisa efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai
sarana pengendalian sosial maupun sebagai sarana untuk
mengubah masyarakat.
c. Melakukan evaluasi terhadap efektivitas hukum dalm masyarakat
Selain itu kita juga dapat melakukan analisis terhadap efektivitas
hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial
maupun sebagai sarana untuk mengubah masyarakat agar mencapai
keadaan- keadaan sosial tertentu.
B. Urgensi Rekam Medis Dalam Pelayanan Kesehatan
Dalam memberikan pelayanan kedokteran atau kesehatan,
terutama yang dilakukan oleh dokter dirumah sakit atau praktik mandiri,
peran rekam medis sangatlah penting dan melekat pada kegiatan
tersebut. Oleh karena itu ada ungkapan bahwa rekam medis adalah orang
ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal ini memungkinkan karena
rekam medis merupakan catatan yang berguna untuk mengingatkan
kembali dokter akan keadaan pasien, hasil pemeriksaan serta tindakan
yang diberikan dokter pada waktu itu.
Rekam medis merupakan standar dalam pelayanan kesehatan.
Rekam medis merupakan alat bukti dalam proses pelayanan kesehatan
yang telah diberikan pada pasien.
Ketentuan rekam medis ditetapkan dalam rangka untuk membina
organisasi dan management rumah sakit dalam memberikan pelayanan
yang bermutu. Dasar pertimbangan perlunya penyediaan rekam medis
menurut Permenkes No. 269 Tahun 2008 tentang rekam medis adalah
dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat sehingga perlu adanya peningkatan mutu pelayanan
kesehatan. Dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan diperlukan
adanya sarana penunjang yang memadai, salah satunya adalah rekam
medis pada setiap sarana pelayanan kesehatan. Oleh karena itu rekam
medis merupakan hak pasien yang ditujukan dalam rangka untuk
kepentingan memberikan pelayanan yang secara maksimal.
Menurut Yusuf Hanafiah & Amri Amir, Rekam medis adalah
kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesa, pemeriksaan dan
catatan segala kegiatan pada pelayanan kesehatan atas pasien dari waktu
ke waktu.4
Latar belakang perlunya dibuat rekam medis adalah untuk
mendokumentasikan semua pelayanan serta kejadian yang berkaitan
dengan kesehatan pasien dan sarana komunikasi yang efektif bagi dokter
dan pasien dalam masa perawatan kesehatannya.
Dalam rekam medis ada beberapa hal yang harus ditulis sebagai
dokumen pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter yaitu: Identitas
penderita; riwayat penyakit; Laporan pemeriksaan fisik; Instruksi
diagnostik dan terapeutik yang ditandatangani oleh dokter yang
berwenang; catatan pengamatan atau observasi; laporan tindakan dan
penemuan; ringkasan riwayat pada waktu pasien meninggalkan sarana
pelayanan kesehatan; serta kejadian yang didapatkan dalam pemberian
pelayanan kepada pasien
Permenkes No.269 tahun 2008 Pasal 13 menyatakan bahwa
pemanfaatan rekam medis adalah sebagai:
a. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
b. Alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran
dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan
kedokteran gigi
4 Hanafiah,M.J dan Amir,A, Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Buku kedokteran
EGC. Jakarta, Hal.65
c. Keperluan penelitian dan pendidikan;
d. Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan.
e. Data statistik kesehatan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menekankan bahwa praktek profesi
kedokteran harus melaksanakan Rekam Medis, baik dokter yang bekerja
di rumah sakit maupun praktik mandiri ataupun instansi lain yang
membutuhkan dokter sebagai pemberi layanan kesehatan. Penyediaan
rekam medis bersifat wajib, sehingga apabila melanggar ketentuan ini IDI
sebagai organisasi profesi dokter dapat memberikan sanksi terhadap
terjadinya pelanggaran ketentuan tersebut.
Adapun sanksi dapat dikenakan apabila melanggar ketentuan
tentang penyediaan rekam medis sperti dalam UUPK No.29 Tahun 2004,
terdapat pada Pasa 79 huruf b yaitu setiap dokter atau dokter gigi yang
dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (1). dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima puluh juta
rupiah).
Kemudian dalam Permenkes No.269 tahun 2008 dinyatakan bahwa
pelanggaran terhadap kekentuan dalam pelaksanaan rekam medis dapat
dikenakan sanksi administratif mulai teguran lisan, teguran tertulis sampai
pencabutan izin.
C. Rekam medis Sebagai Alat Bukti Surat Dalam Hukum Pidana
dan Perdata
Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam hukum Inggris sering
disebut dengan proof dan evidence dalam hukum belanda adalah bewijs.
Suatu pendapat yang dikemukakan oleh H. Drion, bahwa
Pembuktian yuridis adalah pembuktian yang historis. Kemudian dijelaskan
oleh Ahmad Ali5 bahwa dikatakan pembuktian yuridis adalah pembuktian
historis, karena ada yang hendak dibuktikan dalah suatu persengketaan
perdata ataupun perkara pidana adalah sesuatu yang sudah terjadi,
sesuatu yang sudah berada dimasa silam. Jadi, pembuktian yuridis yang
bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang terjadi secara in-
concreto.
Menurut Sir Roland, evidence memberi arti yang paling khusus
yaitu bahwa pembuktian atau alat bukti ditempatkan di muka pengadilan
agar pengadilan dapat memutus peristiwa yang dipersengketakan, jadi
pengertian utamanya adalah selaku alat yang menghasilkan putusan.
Dalam arti alat bukti, maka mencakup kesaksian, whether oral dan
documentary atau real.
Dalam hukum perdata pembuktian dalam proses perdata menurut
Achmad Ali adalah;
Upaya yang dilakukan para pihak utnuk menyelesaikan persengketaan mereka atau untuk memberi kepastian tentang benar terjadinya peristiwa hukum tertentu, dengan menggunakan
5 Achmad Ali, Wiwie Heryani, 2012, Asas –asas hukum Pembuktian Perdata, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal.17
alat bukti yang ditentukan hukum, sehingga dapat dihasilkan suatu penetapan atau putusan oleh pengadilan.6 Peristiwa hukum adalah peristiwa yang oleh hukum diberi akibat
hukum, yang harus dibuktikan dalam suatu peristiwa adalah
kebenarannya bahwa peristiwa itu benar terjadi.
Pembuktian dalam hukum acara pidana, hakim tidak semata-mata
terikat pada alat bukti yang sah, hakim juga harus terikat pada
keyakinanya sendiri atas kesalahan terdakwa. Dalam system Anglo Saks
disebut beyond reasonable doubt. Sedang dalam hukum acara perdata,
hakim hanya semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga
disebut preponderance of evidence. Dalam Hukum acara perdata hakim
bersifat pasif, jadi hakim hanya menyelesaikan persengketaan para pihak
sedangkan dalam hukum acara pidana, walaupun hakim terdakwa
melakukan pengakuan, hakim tidak menerima begitu saja harus mencari
kebenaran pengakuan itu secara aktif.
Dalam proses para pihak yang berperkara (dalam proses perdata)
maupun tertuduh (dalam proses pidana) senantiasa dijamin hak-haknya
untuk membuktikan ketidak bersalahannya.
Dalam hukum acara perdata yang berhadapan adalah dua pihak
yang terlibat dalam suatu sengketa perdata sehingga keduanya memiliki
kedudukan yang sama di muka hukum, termasuk di muka pengadilan
(hakim).
6 Ibid, Hal.33
Dalam sistem peradilan di Indonesia satu-satunya yang menjadi pihak
penilai adalah hakim, dan juga bertugas untuk membebani pembuktian
pada para pihak yang berperkara dan menilai pembuktian yang diajukan
para pihak. Dalam pidana yang membuktikan adalah hakim dengan
berdasar alat bukti dan keyakinan hakim tentang kebenaran bukti tadi.
Keterikatan hakim dengan alat bukti sehingga alat bukti dalam
proses perdata sangat menentukan, berbeda dengan pidana yang
menganggap alat bukti bukan satu-satunya alasan untuk mengambil
keputusan tapi juga harus menyakini akan kebenaran alat bukti tersebut
sehingga tidak selalu tergantung pada alat bukti.
Alat bukti adalah alat untuk membuktikan kebenaran hubungan
hukum yang dinyatakan oleh penggugat maupun tergugat dalam perkara
perdata.
Menurut Soedikno Mertukusumo7 menyatakan apakah sesuatu itu
merupakan alat bukti, tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi atau
diajukan dalam persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak
ditetapkan oleh kenyataan apakah sesuatu itu diajukan atau tidak
dipersidangan.
Jadi alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelum diajukan ke
persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti, sering ada
kekeliruan bahwa alat bukti hanya alat bukti tertulis, padahal tidak
7 Ibid Hal.73
demikian. Dalam ilmu hukum banyak yang diklasifikasikan sebagai alat
bukti atau evidence yaitu;
Menurut G.W. Patton8, alat bukti dapat dibagi atas:
1. Oral yaitu alat bukti yang diucapkan secara lisan, seperti
kesaksian dan sumpah.
2. Dokumentary yaitu alat bukti tertulis.
3. Material, alat alat bukti dalam wujud benda konkret, contohnya
surat yang ada di tempat korban yang berlumuran darah, berupa
benda biasa, bukan isinya.
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana,
Pasal 184 ayat (1), menyebutkan alat bukti yang sah adalah; keterangan
Saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Pembagian alat bukti menurut Undang-Undang (BW,HIR,R.bg)
pada hukum acara perdata yaitu : alat bukti tertulis atau surat, Kesaksian,
persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah, keterangan ahli
(expertise) dan pemeriksaan setempat (descente).
Pasal 187 KUHAP membagi surat sebagai alat bukti menjadi:
1) Surat resmi
Surat resmi adalah surat yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
atau berdasar ketentuan atau surat keterangan ahli yang bersifat khusus
mengenai keadaan tertentu yang dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah.
8 Ibid. hal.74.
Syarat dari surat resmi yang dikeluarkan oleh pejabat harus memuat:
a. Keterangan tentang kejadian atau keadaan yang di dengar, dilihat,
atau yang dialami pejabat itu sendiri.
b. Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu.
Adapun bentuk surat resmi adalah seperti yang dimaksudkan
dalam Pasal 187 KUHAP huruf (a) KUHAP adalah akta-akta resmi berupa
akta-akta otentik atau akta-akta jabatan, misalnya akta notariat yang
dibuat oleh notaris atau berita acara pemeriksaan surat. Sedangkan
contoh surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf (b) KUHAP adalah
Izin Mendirikan Bangunan (IMB), surat izin ekspor atau impor, paspor,
Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat akta
kelahiran dan sebagainya.
Surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf (c) KUHAP adalah
“surat keterangan ahli” yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau keadaan yang dapat dinilai sebagai alat bukti
keterangan surat. Contoh surat keterangan ahli yang dapat dinilai sebagai
alat bukti surat adalah Visum Et Repertum dari Ahli Kedokteran
Kehakiman.
2) Surat tidak resmi
Yang dimaksud surat tidak resmi adalah surat yang dimaksud
dalam Pasal 187 huruf (d) KUHAP. Surat yang dimaksud adalah “surat
pada umumnya”, bukan surat berita acara atau surat keterangan resmi
yang dibuat pejabat yang berwenang, juga bukan surat yang dibuat
menurut ketentuan perundang-undangan dan tidak pula surat keterangan
ahli yang dibuat oleh seorang ahli.
Adapun surat tidak resmi adalah:
- Bentuk surat pada umumnya, seperti surat yang lebih bersifat
pribadi, surat petisi, pengumuman, surat cinta, surat selebaran
gelap, tulisan berupa karangan baik berupa novel, petisi, dan
sebagainya.
- Tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang dan dengan sendirinya
dibuat tanpa sumpah.
- Dan surat huruf (d) tidak dengan sendirinya merupakan alat bukti
yang sah menurut undang-undang, karena surat ini baru
mempunyai nilai sebagai alat bukti atau pada dirinya melekat nilai
pembuktian, apabila isi surat yang bersangkutan “mempunyai
hubungan” dengan alat bukti yang lain. Kalau isinya tidak ada
hubungan dengan alat pembuktian yang lain, maka surat bentuk
“yang lain” tidak mempunyai nilai pembuktian.
Dalam Hukum Acara Pidana, rekam medis dapat dijadikan alat
bukti surat di pengadilan berdasarkan Pasal 187 ayat (4) huruf b KUHAP
bahwa: “Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan”.
Rekam medis merupakan surat resmi yang dibuat menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasa1 46 ayat (1) sampai (3) dan
Permenkes No. 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis dan Rekam Medis
ini juga dibuat oleh pejabat (dokter) yang termasuk dalam tata laksana
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi sesuatu hal atau
sesuatu keadaan tentang pasien. Kriteria ini memenuhi pasal 18 ayat (4)
huruf b KUHAP sehingga rekam medis dapat dijadikan alat bukti surat di
pengadilan.
Tentang petunjuk sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 huruf
d di atas, dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 188 ayat (2) dan (3) bahwa
petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa, yang akan diperiksa oleh hakim secara arif dan bijaksana
dengan penuh kecermatan serta kesaksamaan berdasarkan hati
nuraninya sehingga memberikan keyakinan kepada hakim atas kekuatan
pembuktian petunjuk tersebut. Pemberian nilai atas petunjuk diserahkan
kepada kebijaksanaan hakim.
Dengan berbagai macam kesimpulan diatas dapat dikataakan
bahwa rekam medis dapat dijadikan bukti surat dalam hukum pidana
maupun perdata karena sudah memenuhi kriteria peraturan perundang-
undangan terutama Pasal 187 ayat (4) huruf b KUHAP seperti diatas.
D. Tinjauan Tentang Rekam Medis
1. Pengertian Rekam Medis
Dalam membahas pengertian rekam medis terlebih dahulu akan
dikemukakan arti rekam medis. Rekam medis diartikan sebagai
“Keterangan baik yang tertulis maupun yang terekam tentang identitas,
anamnese, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnose serta segala
pelayanan dan tindakan medis yang diberikan kepada pasien, dan
pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang
mendapatkan pelayanan gawat darurat”.9
Rekam medis menurut Penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-
Undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa
Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien.
Menurut Huffman dalam”Medical record management” medical
record is the who, where, and how of patient care during hospitalization. It
must containt sufficient information to clearly identify the patient, to justify
the diagnosis and treatment and record the result.10
9 Depkes RI, 2006, Pedoman penyelenggaraan dan prosedur Rekam medis rumah sakit di
Indonesia Revisi II,Dirjend. Bina Yanmed, Jakarta. 10
Indar. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan, lembaga penerbitan Universitas Hasanuddin.
Makassar. hal 264
Jadi inti rekam medis adalah sarana yang mengandung informasi
tentang penyakit dan pengobatan pasien yang ditujukan untuk menjaga
dan meningkatkan suatu pelayanan kesehatan.
Pengertian rekam medis menurut Pasal 1 Ayat 1 Permenkes
269/MENKES/PER/III/2008 Bahwa Rekam Medik adalah
“Berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien”. Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendifinisikan rekam medis
sebagai bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan
oleh pemberi pelayanan medis atau kesehatan kepada seorang pasien.
Rekam medis adalah Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi
tentang keadaan pasien selama dalam perawatan penyakitnya atau
selama dalam pemeliharaan kesehatannya (Waters & Murphy). Juga
didefinisikan sebagai rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran
aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medis atau
kesehatan kepada seorang pasien (Ikatan Dokter Indonesia)11
2. Peran dan Fungsi Rekam Medis
Selain fungsi dan tujuan utama untuk memberikan fasilitas taraf
pelayanan kesehatan yang tinggi, rekam medis juga dapat dipergunakan
sebagai bahan pendidikan, penelitian atau akreditasi. Rekam medis yang
11
Ta”adi. 2010. Hukum Kesehatan:pengantar menuju perawat profesional.Buku Kedokteran
EGC. Jakarta . Hal 44-45
dirawat secara baik sangatlah penting bagi sistem pelayanan kesehatan
maupun untuk kepentingan pasien.
M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir dalam Amir Ilyas dan Yuyun
Widaningsih,menyatakan bahwa:12
“Peranan rekam medis sangat penting dan melekat erat dengan kegiatan pelayanan kedokteran maupun pelayanan kesehatan. Bahkan ada yang mengungkapkan bahwa rekam medis dapat dianggap sebagai orang ketiga yang hadir pada saat dokter menerima pasiennya” Dalam bidang hukum, menurut Soerjono Sekanto dalam Amir Ilyas
dan Yuyun Widaningsih, rekam medis tersebut mempunyai fungsi utama
sebagai:13
a. Bahan pembuktian disidang pengadilan
b. Sarana mengembalikan ingatan para pihak yang berperkara
Sebagai sarana pembuktian dipengadilan, maka rekam medis
dapat digunakan dokter sebagai bahan pembelaannya bahwa tindakan
medis yang dilakukannya telah memenuhi standar profesi.sebaliknya bagi
Penuntut Umum apabila ternyata rekam medis menunjukkan kurang
profesionalnya seorang dokter, maka dapat dijadikan bukti telah terjadi
unprofessional conduct dari seorang dokter.
12
Widaningsih, Y dan Ilyas, A.. 2010. Hukum Korporasi Rumah Sakit. Rangkan Education.
Yogyakarta. Hal .88
13
Ibid. Hal .88
Soerjono Soekanto menyatakan betapa pentingnya fungsi rekam
medis bagi dokter dari aspek hukum, sebagaimana dikatakannya sebagai
berikut:14
“Di dalam proses hukum, tidak adanya rekam medis akan senantiasa menyudutkan atau merugikan tenaga kesehatan(dokter) dan rumah sakit. Hal ini disebabkan karena apabila tidak ada catatan didalam rekam medis, maka dianggap bahwa tidak ada bukti dilakukannya suatu pelayanan kesehatan tersebut”. Tentang pentingnya rekam medis ini dikatakan pula oleh Gemala
dalam Amir Ilyas dan Yuyun Widaningsih,15 bahwa”banyaknya kasus
pengadilan sehubungan dengan gugatan pasien atau keluarganya
mengakibatkan pengadilan untuk memperhatikan isi kesempurnaan rekam
medis. Dengan sendirinya kegagalan atau ketidaksempurnaan pengisian
berkas rekam medis dapat berakibat fatal bagi rumah sakit, para staf
medis dan ahli kesehatan maupun bagi pasien”.
Fungsi rekam medis berguna untuk mengingatkan dokter tentang
keadaan, pemeriksaan, diagnosa, dan kesimpulan mengenai penyakit
yang diderita pasiennya. Demikian pula dapat mengingatkan tentang
terapi atau pengobatan yang pernah dilakukannya. Hal ini dapat
membantu dokter untuk pengobatan selanjutnya, apakah akan diteruskan
dengan obat-obatan yang pernah diberikannya ataukah harus diganti
dengan terapi obat-obatan lain.
14
Ibid. hal 89 15
Ibid. hal .89
3. Isi Rekam Medis
Surat keputusan pengurus besar IDI Nomor 315/PB/A.4/88
Menyebutkan Rekam medis berisi identitas lengkap pasien, catatan
tentang penyakit (diagnosis, terapi, pengamatan perjalanan penyakit,
catatan dari pihak ketiga, hasil pemeriksaan laboratorium, foto rontgen,
pemeriksaan USG, dan lain-lain serta resume.16
Kemudian isi rekam medis Menurut Konsil Kedokteran Indonesia
tahun 2006 yaitu:17
a. Catatan, merupakan uraian tentang identitas pasien,
pemeriksaan pasien, diagnosis, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain, baik dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
maupun tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan
kompetensinya.
b. Dokumen, merupakan kelengkapan dari catatan tersebut, antara
lain foto rontgen, hasil laboratorium dan keterangan lain sesuai
dengan kompetensi keilmuannya.
Tenaga kesehatan dimaksud diatur dalam Peraturan pemerintah
Nomor 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan terdiri dari:
1. Tenaga Medis meliputi dokter dan dokter gigi
2. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan
3. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi, dan
asisten apoteker
16
Ibid. Hal 92. 17
Konsil Kedokteran Indonesia, 2006, Manual Rekam Medis, Jakarta, Hal..3
4. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi; epidemiolog,
entomolog, mikrobiolog, penyuluh, administrator dan sanitarian
kesehatan
5. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien
6. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterafis, okupasiterafis dan
terafis wicara
7. Tenaga keteknisan medis meliputi radiographer,radioterafis,
teknisi gigi, teknisi elektromedis,analis kesehatan, refraksionis
optisien, othotik prostetik, teknis tranfusi dan perekam medis.
8. Dalam Undang-Undang praktik Kedokteran yang dimaksud
dengan petugas adalah dokter, dokter gigi atau tenaga
kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada
pasien.
Menurut permenkes No. 269 Tahun 2008 bahwa rekam medis yang
dibuat harus memuat sekurang-kurangnya:
1. Rawat jalan: Identitas pasien, tanggal dan waktu, hasil
anamnese, mencakup keluhan dan riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang medis, diagnosis, rencana
penatalaksanaan, pengobatan dan tindakan, pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien, nama dan tanda tangan
dokter, untuk kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik
dan persetujuan tindakan bila diperlukan.
2. Rawat inap: Identitas pasien, tanggal dan waktu, hasil
anamnesa mencakup keluhan dan riwayat penyakit, hasil
pemeriksan fisik dan penunjang medis, diagnosis, rencana
penatalaksanaan, pengobatan dan tindakan, persetujuan
tindakan bila diperlukan, catatan obsevasi klinis dan hasil
pengobatan, ringkasan pulang, nama dan tanda tangan dokter
atau dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberi
palayanan kesehatan.
3. Gawat Darurat: Identitas pasien, kondisi saat tiba dipelayanan
kesehatan, Identitas pengantar, tanggal dan waktu, hasil
anamnese sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit,
hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis, diagnosis,
pengobatan dan tindakan,ringkasan kondisi pasien sebelum
meninggalkan unit gawat darurat, nama dan tanda tangan
dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang
memberikan pelayanan kesehatan, sarana transportasi yang
digunakan pasien yang akan dipindahkan ke pelayanan
kesehatan lain dan pelayanan lain yang diberikan kepada
pasien.
Identitas pasien meliputi identitas pribadi dan identitas sosial.
Identitas pribadi yaitu meliputi nama tempat tanggal lahir, umur, jenis
kelamin, alamat, status perkawinan dan nomor rekam medis pasien
sedangkan identitas sosial meliputi status sosial, status ekonomi, agama,
pendidikan, pekerjaan, dan identitas penganggung jawab pasien tersebut.
Pendelegasian membuat rekam medis bisa dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi kepada tenaga kesehatan lain yang memberikan
pelayanan langsung kepada pasien atas perintah atau pedelegasian
secara tertulis dari dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik
kedokteran tersebut.18
Rekam Medis yang lengkap menurut J. Guwandi dalam bukunya
Rahasia medis memuat 4 (empat) macam data, yaitu:19
a) Data pribadi (personal), seperti nama, nomor KTP, tempat
dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, alamat
sekarang, keluarga terdekat, pekerjaan, nama dokter dan
lain-lain keterangan yang diperlukan untuk identifikasi.
b) Data financial, seperti nama/alamat majikan/perusahaan,
perusahaan asuransi yang menanggung, tipe asuransi,
nomor polis dan sebagainya.
c) Data sosial, seperti kewarganegaraan/kebangsaan,
hubungan keluarga, agama, penghidupan, kegiatan
masyarakat, dan data lain mengenai kedudukan sosial
pasien
d) Data medis, merupakan rekam klinis dari pasien, rekam
riwayat pengobatan yang berkesinambungan yang diberikan
18
Ibid. hal .7 19
Guwandi, J. 2005. Rahasia Medis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
hal.57-58
kepada pasien selama dirawat di rumah sakit. Data ini
memuat hasil pemeriksaan fisik riwayat penyakit,
pengobatan yang diberikan, laporan kemajuan pengobatan,
instruksi dokter, laporan laboratorium klinik, laporan
konsultasi, anestesi, operasi, formulir informed consent,
catatan perawat dan laporan / catatan lain yang terjadi dan
diberikan selama pasien dirawat.
Menurut Sanjoyo dalam Suryono dan Bastian,20 rekam medis
terdiri atas dua bagian yaitu identitas dan periksaan klinik. Rekam medis
berguna untuk kepentingan administratif, hukum, keuangan, riset,
edukasi, dan pendokumentasian, apabila memenuhi unsur akreditasi yaitu
rekam medis memiliki identitas, riwayat penyakit pasien secara lengkap,
laporan pemeriksaan fisik, instruksi diagnostik dan terapeutik dengan
tanda tangan dan nama terang tenaga kesehatan yang berwenang,
laporan observasi termasuk laporan konsultasi, Laporan tindakan dan
penemuan, termasuk yang berasal dari penunjang medis yaitu
laboratorium, radiologi, laporan operasi, dan formulir persetujuan pasien.
4. Informed Consent
Inform Consent dikenal juga dengan persetujuan tindakan
kedokteran yang diatur dalam Permenkes No. 290/MenKes/Per/III/ 2008.
Informed consent ini merupakan suatu persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
20
Op.cit Bastian, I.dan Suryono, Hal 54.
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Kalau dilihat
secar materiil, informed consent lebih tepat masuk dalam sumber hukum
yaitu perjanjian. Informed consent bukan sekedar perjanjian antara dokter
dan pasien. Namun lebih dari itu merupakan suatu kewajiban memberikan
informasi oleh dokter, walau secara materiil dan bentuknya berupa
perjanjian. Informed consent dimulai sejak dokter dan petugas medis
menjelaskan pada pasien bahwa harus dilakukan tindakan kedokteran
beserta seluruh alasan dan risikonya. Setelah penjelasan diberikan,
pasien boleh memberikan persetujuannya atau menolaknya.
Persetujuan dapat batal secara hukum apabila kewajiban
memberikan informasi kepada pasien tidak dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan lainnya.
Informed consent baru sah diberikan kepada pasien jika memenuhi
3 unsur yaitu: keterbukaan informasi, kompetensi pasien dalam
memberikan persetujuan, kesukarelaan.21
Wajib dilakukan informed consent didasarkan pada teori:
a. Teori manfaat pada pergaulan hidup
Teori ini menyebutkan bahwa informed consent tidak hanya baik
bagi dokter dan pasien saja tetapi juga bagi pergaulan hidup masyarakat
secara luas, sekaligus cerminan tertib hukum agar setiap dokter tidak
sewenang-wenang dengan dalih demi kesehatan, mengingat risiko
tindakan medis sangatlah besar.
21
Dewi, A.I. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Pustaka Book Publisher. Yokyakarta.
hal..206
b. Teori manfaat pada pasien
Setiap tindakan harus bermanfaat dan bernilai guna pada
progresivitas kesehatan pasien. Tindakan tidak boleh dilakukan
tersembunyi, seperti percobaan teknologi baru kedokteran tanpa
sepengetahuan pasien.
c. Teori penentuan nasib sendiri
Manusia memiliki hak atas hidup dan tubuhnya. Tidak satu
manusiapun termasuk petugas kesehatan berhak ikut campur dan berbuat
sesuatu pada tubuh manusia lain tanpa persetujuannya. Oleh karena itu
setiap orang diberi hak untuk menentukan pilihan hidup sendiri dan pilihan
hidup ini harus dihormati selama tidak bertentanagan dengan hukum. Jadi
bila pasien menolak dilakukan tindakan medis maka petugas kesehatan
tidak bisa memaksanya.
Informed consent harus diberikan dalam hal berikut:
- Kasus-kasus yang menyangkut pembedahan atau operasi.
- Kasus yang membutuhkan dan menggunakan teknologi baru
kedokteran yang belum diketahui secara pasti efek sampingnya.
- Kasus-kasus yang menggunakan obat yang mengandung
bahan kimi berbahaya dan menimbulkan banyak efek samping.
- Kasus-kasus penolakan terapi yang dilakukan oleh pasien.
- Kasus-kasus eksperimental.
Pengecualian terhadap kewajiban informed consent dapat
dilakukan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
- Pasien belum bisa mengambil keputusan secara mandiri karena
belum cukup umur.
- Pasien tidak memberikan keputusan karena terganggu
mentalnya dan sedang dibawah pengampuan.
- Pasien untuk sementara tidak bisa memberikan persetujuan
karena tidak sadarkan diri dan tidak ada wali yang bisa dimintai
persetujuan.
- Karena keyakinan yang layak dari petugas kesehatan untuk
tidak membuka rahasia medis yang justru akan memperburuk
kondisi pasien.
Pengecualian kewajiban informed consent ini dilandasi teori yaitu:
a. Teori kebutuhan
Secara umum manusia kecenderungan untuk menghindari rasa
sakit dan kematian. Prinsif dasar inilah yang melandasi dimana manusia
butuh cara dan ingin bisa menyelamatkan hidupnya. Oleh karena itu
seorang dokter atau petugas kesehatan yang menghadapi kondisi darurat
dapat mengabaikan kewajiban informed consent dengan dasar kebutuhan
pasien untuk menyelamatkan nyawanya, apapun tindakan yang diambil.
Pengabaian ini dilandasi nilai bahwa tenaga kesehatan melakukan yang
terbaik bagi pasien meskipun tanpa persetujuan pasien, selama tindakan
itu digunakan untuk menyelamatkan hidup pasien, maka dianggap
menyetujui.
b. Teori persetujuan tersirat
Persetujuan tersirat penekanan asumsi pada pasien. Pasien yang
mengalami keadaan darurat sehingga tidak sadarkan diri diasumsikan
akan memberikan persetujuannya untuk semua tindakan yang dilakukan
untuk penyelamatan nyawanya. Asumsi ini didasarkan atas pendapat
pasien yang dalam kondisi sadar, pada umumnya akan menyetujui setiap
tindakan oleh petugas kesehatan untuk menyelamatkan nyawanya.
Pernyataan ini dikatakan tersirat karena pasien tidak dapat diajak
berkomunikasi sehingga tidak perlu menunggu informed consent.
c. Teori Zaakwarneming
Teori ini menyatakan, apabila seseorang secara sukarela
membantu menyelesaikan pekerjaan atau urusan orang lain baik diketahui
atau tidak maka sudah semestinya mendapat penghargaan atau upah.
Oleh tenaga kesehatan dalam kondisi darurat pekerjaan ini dianggap
sebagai sukarela karena pasien yang tidak sadarkan diri tidak dapat minta
bantuan maka pasien dibantu untuk meyelamatkan hidupnya.
d. Teori Good Samaritan
Teori ini menganggap dokter orang yang baik hati. dokter tidak
dapat dipersalahkan jika menolong orang lain yang dlam keadaan darurat
atau bahaya, sepanjang yang diberikan pantas dan layak.
Dengan ini maka secara yuridis ada konsekuensi yang harus
ditanggung oleh pasien bila tidak ada informed consent yaitu kerugian
karena rentan sekali terjadi malpraktik.
Menurut Fuady dalam Alexandra Indriyanti Dewi,22 bahwa tindakan
yang disetarakan dengan kesengajaan adalah:
- Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan
medis, tetapi dokter malakukan juga tindakan tersebut.
- Dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang
risiko dan akibat dari tindakan medis tersebut.
- Dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari
tindakan medis yang diambilnya.
- Informed consent diberikan dengan prosedur yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.
Jika pasien tidak merasa diberikan informed consent namun tetap
terjadi tindakan medis tanpa persetujuan, maka pasien bisa menuntut
dokter yang melakukannya. Gugatan itu harus memenuhi unsur atau
syarat yang harus dipenuhi yaitu:
- Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan informed consent.
- Kewajiban tersebut diabaikan tanpa alasan yang jelas.
- Ada kerugian yang ditanggung pihak pasien.
- Ada hubungan causalitas antara kerugian dengan tidak adanya
informed consent tersebut.
Selain itu pasien juga harus memiliki bukti agar gugatan cukup
kuat. Bukti yang harus diperlihatkan adalah:23
22
Ibid. Hal. 212-213 23
Ibid. Hal..213
- Harus dibuktikan bahwa kerugian bagi pasien adalah akibat dari
tindakan medis dokter.
- Bahwa kerugian yang diderita pasien lebih besar dibandingkan
jika ada informed consent dimana pasien dapat memiliki
pertimbangan lain.
- Bahwa dalam pemikiran yang masuk akal pasien akan memilih
tindakan medis yang lain seandainya diberi cukup infomasi.
5. Resume Akhir
Dari beberapa kewajiban dokter atas rekam medis pasien pada
rawat inap ada satu hal yang harus diperhatikan, yaitu pembuatan resume
akhir atau evaluasi pengobatan.
Resume ini dibuat segera setelah pasien dipulangkan. Isinya harus
singkat, menjelaskan informasi penting tentang penyakit, pemeriksaan
yang dilakukan dan pengobatannya.
Isinya antara lain menjelaskan mengapa pasien masuk ke rumah
sakit, hasil penting pemeriksaan fisik diagnostik, laboratorium, rontgen,
pengobatan dan tindakan yang dilaksanakan, Keadaan pasien waktu
keluar (perlu berobat jalan, mampu untuk bekerja dan lain-lain), Anjuran
pengobatan dan perawatan (nama obat dan dosisnya, tindakan
pengobatan lain, dirujuk kemana, perjanjian untuk datang lagi dan lain-
lain).
Adapun tujuan dilakukan resume ini adalah:24
- Menjamin kontinuitas pelayanan medis dengan kualitas yang
tinggi dan sebagai bahan yang berguna dokter pada waktu
pasien dirawat kembali.
- Bahan penilaian staf medik rumah sakit.
- Untuk memenuhi badan resmi atau perseorangan, misalnya
Asuransi.
- Sebagai bahan informasi bagi dokter yang bertugas, dokter
yang mengirim dan dokteer konsultan.
Untuk pasien yang meninggal dunia dibuat laporan sebab
kematian.
6. Pemanfaatan Rekam Medis
Menurut Kodeki (2006) dan Sanjoyo (2008) rekam medis
mempunyai manfaat sebagai berikut:25
a) Pengobatan pasien
Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk
merencanakan dan menganalisis penyakit serta
merencanakan pengobatan, perawatan, dan tindakan medis
yang harus diberikan kepada pasien.
b) Peningkatan kualitas pelayanan
Membuat rekam medis bagi penyelenggara praktik
kedokteran dengan jelas dan lengkap akan meningkatkan
24
OP.Cit.Hanafiah, M.J dan Amir, A. Hal.67 25
Op. cit Bastian, I dan Suryono. Hal.54.
kualitas pelayanan untuk melindungi tenaga medis dan untuk
pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal.
c) Pendidikan dan penelitian
Rekam medis yang merupakan informasi perkembangan
kronologis penyakit, pelayanan medis, pengobatan, dan
tindakan medis, bermanfaat untuk bahan informasi bagi
perkembangan pengajaran dan penelitian di bidang profesi
kedokteran dan kedokteran gigi.
d) Pembiayaan
Rekam medis dapat dijadikan sebagai petunjuk, bahan, dan
dasar untuk menetapkan pembiayaan dalam pelayanan
kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut dapat
dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien.
e) Statistik kesehatan
Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik
kesehatan, khususnya untuk mempelajari perkembangan
kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah
penderita pada penyakit-penyakit tertentu.
f) Pembuktian masalah hukum, disiplin, dan etik
Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama atas
segala tindakan pelayanan, perkembangan penyakit, dan
pegobatan selama pasien dirawat, sehingga bermanfaat
dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik, serta
memberikan perlindungan hukum bagi pasien, rumah sakit,
dan tenaga kesehatan.
g) Sebagai alat komunikasi antar tenaga kesehatan
h) Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan,
dipertanggungjawabkan, dan laporan.
Secara ringkas Ferryal Basbeth (2005), menyimpulkan bahwa
rekam medis mempunyai nilai-nilai (value) sebagai berikut:26
a) Administratif value: Rekam medis merupakan rekaman data
administratif pelayanan kesehatan
b) Legal value: Rekam medis dapat dijadikan bahan
pembuktian di pengadilan
c) Financial value: Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk
perincian biaya pelayanan kesehatan yang harus dibayar
oleh pasien
d) Research value: Data rekam medis dapat dijadikan bahan
untuk penelitian dalam lapangan kedokteran, keperawatan,
dan kesehatan
e) Education value: Data-data dalam rekam medis dapat
dijadikan bahan pengajaran dan pendidikan mahasiswa
kedokteran, keparawatan serta tenaga kesehatan lainnya
26
Ibid. Hal 55
f) Dokumentation Value: Rekam medis merupakan sarana
untuk penyimpanan bertbagai dokumen yang berkaitan
dengan kesehatan pasien
g) Referral system value: Komunikasi antar tenaga kesehatan
dalam perawatan pasien yang bersangkutan
7. Penyelenggaraan Rekam Medis
Penyelenggaraan rekam medis pada suatu pelayanan kesehatan
merupakan salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan pada institusi
tersebut. Berdasarkan pada data rekam medis tersebut akan dapat dinilai
apakah pelayanan kesehatan yang diberikan sudah baik mutunya atau
tidak, apakah sesuai dengan standar atau tidak. Untuk itulah pemerintah,
dalam hal ini Departemen Kesehatan, merasa perlu melakukan regulasi
tata cara penyelenggaraan rekam medis yang tertuang dalam Permenkes
No. 269/Menkes/Per/III/2008 tentang rekam medis agar dapat berjalan
baik sesuai ketentuan.
a. Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medis
Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran bahwa dokter dan dokter
gigi wajib membuat rekam medis dalam menjalankan praktik kedokteran.
Setelah memberikan pelayanan praktik kedokteran kepada pasien, maka
dokter dan dokter gigi harus segera melengkapi rekam medis dengan
mengisi atau menulis semua pelayanan praktik kedokteran yang telah
dilakukannya.
Setiap catatan dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu
dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Apabila dalam pencatatan rekam medis menggunakan teknologi informasi
elektronik, kewajiban membubuhi tanda tangan dapat diganti dengan
nomor identitas pribadi/personal identification number (PIN).
Jika terjadi kesalahan saat melakukan pencatatan pada rekam
medis, maka catatan berkas tidak boleh dihilangkan atau dihapus dengan
cara apapun. Perubahan catatan atas kesalahan dalam rekam medis
hanya dapat dilakukan dengan pencoretan dan kemudian dibubuhi paraf
petugas yang bersangkutan.
b. Kepemilikan Rekam medis
Sesuai dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran Pasal 47 ayat
(1), berkas rekam medis menjadi milik dokter, dokter gigi, atau sarana
pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis dan lampiran dokumen
menjadi milik pasien.
Pasal 12 Permenkes No.269 tahun 2008 disebutkan bahwa berkas
rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan dan isi rekam medis
merupakan milik pasien, isi rekam medis medis tersebut dalam bentuk
ringkasan rekam medis kemudian ringkasan rekam medis dapat diberikan
dengan cara dicatat, dicopy oleh pasien tau orang yang diberi kuasa atas
persetujuan tertulis pasien atau keluarga yang berhak.
Menurut Sanjoyo (2008), rumah sakit atau tenaga kesehatan
merupakan penanggung jawab integritas dan kesinambungan pelayanan
yang mana harus memiliki rekam medis sebagai tanda bukti rumah sakit
terhadap segala upaya dalam peneyembuhan pasien. Direktur Rumah
sakit bertanggung jawab atas hilangnya, rusak atau pemalsuan rekam
medis, dan penggunaan rekam medis pasien oleh badan atau orang yang
tidak berhak. Pasien memiliki hak legal maupun moral atas isi rekam
medis.27
c. Penyimpanan Rekam Medis
Menurut UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
47 ayat (2), rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh
dokter, dokter gigi, dan pimpinan sarana kesehatan. Batas lama waktu
penyimpanan menurut Permenkes No. 269 Tahun 2008 paling lama 5
(lima) tahun dan resume medis paling sedikit 10 tahun. Menurut Sanjoyo
(2008), semua informasi rekam medis yang terkandung dalam rekam
medis adalah rahasia. Oleh karena itu pemaparan isi rekam medis harus
seizin pasien, kecuali untuk keperluan hukum, rujukan ke pelayanan lain
untuk kepentingan pasien atau keluarganya, evaluasi pelayanan di
institusi sendiri, riset atau edukasi, dan kontrak badan atau organisasi
pelayanan.
d. Pengorganisasian Rekam Medis
Keberadaan instalasi rekam medis dalam struktur organisasi di
dalam institusi pelayanan kesehatan tergantung dari kelas Rumah Sakit
tersebut.
27
Ibid. Hal 56
Sub komite rekam medis bertanggung jawab kepada komite rekam
medis yang terdiri dari dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan lain
yang terlibat dalam pelayanan kesehatan dalam rangka membantu komite
medis agar penyelenggaraan rekam medis bermutu langsung dibawah
panitia rekam medis.
Tanggung jawab dokter dalam hal ini rekam medis, dapat
dilaksanakan dalam panitia rekam medis, Tugas dari panitia rekam medis
yaitu:28
1) Memberi saran dan pertimbangan dalam penyimpanan rekam
medis dan menjamin semua informasi dicatat dengan baik serta
menjamin tersedianya data yang diperlukan untuk menilai
pelayanan yang diberikan dokter kepada pasien.
2) Menjamin telah berjalan baik prosedur penyimpanan,
peminjaman rekam medis, pengeluaran, pembuatan kode
penyakit, pengisian rekam medis, pengelolaan dan penyajian
data untuk proses pelaporan di instansi tersebut.
3) Mengajukan usulan kepada Direktur rumah sakit jika ada
perubahan prosedur pengisian, atau pengelolaan rekam medis
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi rumah sakit.
Keanggotaan Panitia rekam medis terdiri dari kepala instalasi
rekam medis, dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lain yang
28
Op.cit. Depkes RI. Hal.18
terlibat dalam pengisian rekam medis. Keanggotaan panitia ditetapkan
dengan Surat Keputusan Direktur umah sakit untuk jangka waktu 3 tahun
Mengingat pentingnya komite rekam medis dan sub komite rekam
medis untuk membantu kelancaran pelayanan kepada pasien maka setiap
rumah sakit wajib membuat komite rekam medis.
e. Pembinaan dan Pengawasan
Untuk pembinaan, pengendalian dan pengawasan rekam medis
sesuai dengan pasal 16 Permenkes No.269 Tahun 2008 yaitu oleh Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan
organisasi terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
8. Kerahasiaan Rekam Medis
Secara umum dapat disadari bahwa informasi yang terdapat dalam
rekam medis sifatnya rahasia. Rahasia adalah sesuatu yang
disembunyikan dan hanya diketahui oleh satu orang, oleh beberapa orang
saja, atau oleh kalangan tertentu.29
Rahasia profesi bukan merupakan hak dari si pemegang rahasia
(dokter, rumah sakit) juga tidak untuk kepentingan ilmu kedokteran, Fungsi
rahasia medis hanya untuk mengadakan kepercayaan antara sipencari
dan sipemberi pertolongan, dan dengan demikian bermanfaat untuk
kepentingan umum mengenai kesehatan rakyat, baik secara jasmani
maupun rohani.30
29
Op.cit. Hanafiah , M.J dan Amir, A. Hal.79. 30
Guwandi, J., 2010, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FK.UI, Jakarta. hal 236
Pasien tentu mengharapkan apa yang ditulis dokter yang sifatnya
rahasia bagi dirinya tidak dibaca oleh kalangan lain. Hal ini yang
menyebabkan bila dokter merasa perlu untuk konsultasi dengan dokter
lain, harus atas persetujuan pasien, karena dalam hal demikian dokter
konsultan akan membaca segala rekaman dan catatan dokter pertama.
Kewajiban dokter dan kalangan kesehatan untuk melindungi
rahasia ini tertuang dalam lapal dan sumpah dokter berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960, berbunyi ”Saya akan
merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya
dan karena keilmuan saya sebagai dokter”. Dalam Bab.II Pasal 12
KODEKI (Kode Etik Kedokteran), Tahun 2002 tentang kewajiban dokter
terhadap pasien dicantumkan antara lain,”Seorang dokter wajib
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”.31
Untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan
dokter, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966 tentang
wajib simpan rahasia kedokteran, dinyatakan bahwa Menteri Kesehatan
dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan pasal 111 Undang-
Undang Tenaga Kesehatan jika tidak dapat dipidana menurut KUHP.
Rahasia jabatan adalah rahasia dokter sebagai pejabat struktural, sedang
rahasia pekerjaan adalah rahasia dokter pada waktu menjalankan
praktiknya (fungsional).
31
Op.cit. Guwandi, J. Rahasia Medis. hal.4
Kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran pada hakekatnya
adalah kewajiban moril yang telah ada sejak zaman Hippokrates, jadi lama
sebelum ada peraturan yang mengatur hal tesebut.
Pengertian rahasia kedokteran terdapat dalam Pasal 1 Peraturan
pemerintah No.10 Tahun 1996 tentang wajib Simpan Rahasia Kedokteran
yang berbunyi:
“Yang dimaksud dengan Rahasia Kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam Pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran”.
Dalam perintah tersebut diperluas berlakunya wajib simpan rahasia
medis ini juga bagi tenaga kesehatan lainnya, seperti perawat, bidan,
mahasiswa kedokteran, ahli farmasi, laboratorium, radiologi dan lain-lain.
Sumpah dalam hubungan dengan rahasia medis secara yuridis tidak
mempunyai arti (Hoge Raad, 21 April 1913,N,J.1913,958).32 Ia hanya
merupakan suatu ikrar, suatu pernyataan kehendak sepihak yang
pelaksanaannya tergantung pelaku itu sendiri. Sehingga tidak bisa dipakai
sebagai penuntutan. Begitu juga dengan KODEKI siafatnya hanya intern
yang sanksinya hanya dijatuhkan oleh organisasi itu sendiri berupa
teguran atau pemecatan sebagai anggota.
Dalam Declaration of Lisbon (1981) menetapkan bahwa pasien
berhak untuk meminta kepada dokternya agar mengindahkan sifat rahasia
dari segala data medis dan data pribadinya (the patient has the right to
32
Ibid. hal.4
expect that his physician will respect the confidential nature of all his
medical and personal details).33
Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29
Tahun 2004 menyatakan bahwa:
“Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran”. Pada pasal 51 Poin C Undang-Undang No. 29 tahun 2004
menyebutkan bahwa:
“merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”. Dengan kedua peraturan diatas, dapat disimpulkan bahwa rahasia
kedokteran merupakan kewajiban setiap dokter untuk menjaganya dimulai
sejak dokter tersebut diambil sumpahnya sebagai dokter yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga apabila terjadi
pelanggaran mengenai rahasia kedokteran tanpa ada dasar yang
dijadikan acuan seperti yang disyaratkan peraturan perundang-undangan,
maka dokter dapat dituntut secara perdata maupun pidana oleh pasien
yang bersangkutan sebagai konsekuensi dari perbuatannya.
Kewajiban menyimpan rahasia medis juga tedapat pada
Declaration Of Geneve tahun 1948, yang khusus menyangkut rahasia
medis yang berbunyi:
33
Ibid. hal.4
“I will respect the secrets which are confided in me, even after the patient has die”.34 Ini adalah suatu sumpah versi sumpah hippokrates yang
dimodernisasi dan diintroduksi oleh World Medical Association.
Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran tidak hanya meliputi
rahasia yang dipercayakan pasien saja, tetapi juga menyangkut hal-hal
yang didapat melalui prosedur pemeriksaan penyakit ataupun secara
kebetulan, baik yang dilakukan oleh dokter maupun pihak ketiga, termasuk
yang pada awalnya tidak ada kaitannya dengan masalah kesehatan
pasien.
Titik tolak kewajiban menyimpan rahasia harus diarahkan
perhatiannya terhadap setiap orang, kecuali pasien itu sendiri.
Penyelenggara pelayanan kesehatan yang karena alasan-alasan kuat
mengira bahwa ia dapat menyembunyikan sesuatu terhadap pasien, tidak
dapat melakukannnya dengan dalih rahasia profesi. Jika meyangkut
pasien anak, pasien dengan gangguan jiwa, menurutnya kesadaran,
pingsan dan lain sebagainya sehingga tidak bisa diajak bertukar pikiran,
maka kewajiban menyimpan rahasia tidak berlaku bagi wakil-wakil mereka
menurut undang-undang dalam hal ini orang tua, wali dan pengampu.
Pada pasal 10 ayat (1) Permenkes nomor 269/Menkes/Per/III/2008
disebutkan bahwa:
“Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan rawayat pengobatan pasien harus dijaga
34
Ibid. hal.3
kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan”. Meskipun kerahasian menjadi faktor terpenting dalam pengelolaan
rekam medis tapi bukan satu-satunya hal yang menjadi dasar kebijakan
dalam pemberian informasi. Oleh karena itu perlu adanya ketentuan-
ketentuan yang wajar dan senantiasa dijaga agar hal tersebut tidak
memberi peluang kepada peminta informasi untuk mengajukan tuntutan
permintaan informasi lebih jauh kepada rumah sakit.
Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29
Tahun 2004 menyatakan bahwa:
“Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakkan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan undang-undang”. Kemudian Pasal 10 ayat (2) Permenkes Nomor 269 Tahun 2008
menyebutkan bahwa:
Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal: a. Untuk kepentingan pasien b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum atas perintah pengadilan c. Permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri d. Permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan
perundang-undangan e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis
sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien
Kemudian pada ayat (3) Permenkes No. 269 Tahun 2008
disebutkan bahwa:
“Permintaan rekam medis untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) harus dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan”.
Untuk membuka isi rekam medis disebutkan pada Permenkes
No.269/Menkes/Per/III/2008 Pasal 11 disebutkan:
1. “Penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundangan-undangan”.
Bagi pihak ketiga seperti keluarga, kuasa hukum, asuransi, polisi,
perusahaan dan pengadilan bila ingin memiliki rekam medis tidak dapat
dengan bebas tetapi harus melalui prosedur dengan memperlihatkan surat
kuasa tertulis dari pasien untuk meminta isi rekam medis dan pasien betul-
betul dalam keadaan sadar mengetahui permintaan itu dengan segala
dampak yang ditimbulkan bila rahasia terbuka mengenai dirinya, karena isi
rekam medis bukan untuk masyarakat.
Apabila isi rekam medis dipaparkan tanpa izin penderita maka
penderita merasa dirugikan dan ia dapat menuntut berdasarkan Pasal 322
KUHP, Pasal 322 KUHP yaitu:
(1) Barang siapa membuka suatu rahasia yang wajib disimpan
karena jabatan atau pekerjaannya baik yang sekarang maupun
yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama
Sembilan bulan atau denda paling banyak Sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang yang tertentu,
maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang
tersebut.
Kemudian juga bisa digugat dengan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasien yang telah meninggal dunia dan yang meminta salinan
rekam medis adalah kuasa hukum dari keluarga pasien, maka hal itu tidak
boleh diberikan. Mengingat hal ini bahwa pasien yang meninggal dunia
tidak dapat mewariskan isi rekam medis kepada keluarganya karena isi
rekam medis bukanlah barang yang dapat diperjualbelikan dan
diwariskan, disamping sumpah dokter yang harus merahasiakan keadaan
pasien walau pasien tersebut sudah meninggal dunia. Untuk itu surat
persetujuan pasien untuk memberikan informasi isi rekam medis menjadi
patokan dan harus ditandatangani pasien yang bersangkutan.
Kerahasian tidaklah bersifat mutlak, dalam situasi tertentu hal
tersebut dapat dilakukan melalui hal berikut:35
a. Persetujuan pasien
Orang yang paling mempunyai hak mengenai penyimpanan
rahasia medis ini adalah pasien. Pasienlah satu-satunya yang
paling berhak untuk menentukan boleh tidaknya isi rekam medisnya
diungkapkan. Persetujuan yang diberikan pasien dapat diberikan
secara tegas maupun secara diam-diam, namun harus
mencerminkan untuk itu. Persetujuan secara diam-diam dianggap
sudah diberikan oleh pasien yang keadaan kesehatannya dan
35
Ibid. Hal.100
pengetahuan lain tentang dirinya dibicarakan dalam kalangan
tertentu secara rahasia, misalnya dalam sebuah tim dan berlaku
juga waktu memberitahukan keadaan pasien kepada keluarga
terdekatnya.
Titik tolaknya adalah bahwa persetujuan yang diberikan oleh
pasien untuk membicarakan keterangan rahasia tentang dirinya
dengan pihak lain semata-mata dilakukan karena mempunyai
faedah bagi dirinya. Keadaan ini hanya menyangkut hal-hal yang
sungguh-sungguh perlu untuk diungkapkan dan tentunya hanya
kepada mereka yang berkepentingan dalam pelayanan kesehatan,
termasuk kosultasi dan penunjang pelayanan.
b. Apabila peraturan perundang-undangan mewajibkan
pengungkapan informasi tersebut.
Ketentuan Undang-Undang yang memotong kewajiban
menyimpan rahasia dengan memerintahkan diumumkannya
keadaan dan peristiwa medis seperti keterangan meninggal,
laporan kelahiran, pelaporan penyakit menular dan lain-lain.
Kewajiban tersebut dituangkan dalam undang-undang karena
terlibat kepentingan-kepentingan besar.
c. Informasi dapat diberikan kepada anggota terdekat jika menurut
pendapat dokter atas pertimbangan medis adalah tidak
bijaksana untuk secara langsung memberikan informasi itu
kepada pasiennya.
d. Kewajiban terhadap kepentingan masyarakat.
9. Kewajiban dan hak petugas rekam medis
Adapun kewajiban petugas rekam medis adalah sebagai berikut:36
a. Wajib menghormati hak pasien
b. Menjaga kerahasiaan identitas, dan kesehatan pribadi pasien
c. Membuat dan memelihara rekam medis
d. Mematuihi standar profesi
e. Melaksanakan tugas yang diberikan dengan penuh tanggung
jawab, kedisiplinan, ketelitian dan kehati-hatian
Disamping itu adapun hak dari petugas rekam medis sebagai
berikut:
a. Memperoleh perlindungan hukum
b. Memperoleh penghargaan dan honorarium yang pantas karena
telah melakukan kewajibannya
c. Diperlakukan dengan wajar, baik dan terhormat
d. Memiliki privasi atas hal-hal pribadinya
e. Memperoleh pembinaan dan pendidikan yang menunjang karier
dan pengetahuannya.
E. Tinjaun Umum Tentang Rumah sakit
1. Pengertian Rumah sakit
Menurut rumusan World Health Organization (WHO), rumah sakit
adalah: “Usaha yang menyediakan pemondokan yang memberikan jasa
36
Op.cit. Dewi, A.I. Hal..155
pelayanan medik jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri atas
tindakan observasi, diagnostik, terapeutik, dan rehabilitatif untuk orang-
orang yang menderita sakit, terluka dan untuk mereka yang melahirkan”.
Departemen Kesehatan RI memberikan pengertian rumah sakit
adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan
dan penelitian. Upaya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh
rumah sakit meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan, pelayanan gawat
darurat, pelayanan medik dan pelayanan penunjang medik dan non
medik.
Menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (1), Tentang Rumah sakit disebutkan bahwa:
“Rumah sakit adalah insitusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat”.
2. Klasifikasi Rumah sakit
Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Berdasar pada pemilik dan penyelenggara.
1) Rumah sakit pemerintah, yaitu yang diselenggarakan oleh
Departemen Kesehatan, pemerintah daerah, TNI dan POLRI
dan BUMN.
2) Rumah sakit swasta, yaitu yang diselenggarakan oleh
yayasan yang sudah disahkan sebagai badan hukum dan
badan lain yang bersifat sosial.
b) Berdasar pada jenis pelayanan
1) Rumah sakit umum, yaitu rumah sakit yang memberikan
pelayanan kesehatan untuk semua jenis penyakit dari yang
bersifat dasar sampai subspisialistik
2) Rumah sakit khusus, yaitu rumah sakit yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan jenis
penyakit tertentu, misal RS paru, RS jantung, dan
sebagainya.
c) Berdasar klasifikasi
Berdasarkan pada kemampuan pelayanan, ketenagaan, fisik dan
peralatan yang tersedia, rumah sakit umum pemerintah dan daerah
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) RSU Kelas A mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medis spesialistik yang luas dan sub spesialistik
luas.
2) RSU Kelas B mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medis sekurang-kurangnya sebelas spesialistik
dan sub spesialistik terbatas.
3) RSU Kelas C mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medis spesialistik dasar.
4) RSU Kelas D mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medis dasar.
3. Fungsi Rumah sakit
Rumah sakit dalam melaksanakan fungsinya untuk:37
1) Menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medis,
pelayanan penunjang medis, pelayanan perawatan, pelayanan
rehabilitasi pencegahan dan peningkatan kesehatan;
2) Tempat pendidikan dan latihan tenaga medis dan paramedic;
3) Tempat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi bidang kesehatan, juga harus mendapat perlindungan
hukum sebagai korporasi.
4. Kewajiban Rumah Sakit
a. Kewajiban umum rumah sakit
1) Rumah sakit harus mentaati KODERSI (Kode Etik Rumah
sakit).
2) Rumah sakit mengawasi dan bertanggung jawab terhadap
semua kejadian di Rumah sakit.
3) Rumah sakit mengutamakan pelayanan yang baik dan
bermutu dan tidak mendahulukan urusan biaya.
4) Rumah sakit memelihara semua catatan/arsip baik medis
maupun non medis secara baik, dalam arti melindungi
kerahasiaan catatan dan rekaman medis.
37
Soeparto, P. dkk. 2006. Etik dan Hukum di bidang Kesehatan. Airlangga University Press.
Hal.36
5) Rumah sakit mengikuti perkembangan dunia
perumahsakitan.
b. Kewajiban rumah sakit terhadap masyarakat
1) Rumah sakit harus jujur dan terbuka, peka terhadap saran
dan kritik masyarakat dan berusaha agar pelayanannya
menjangkau keluar rumah sakit.
2) Rumah sakit harus senantiasa menyesuaikan pelayanan
pada harapan dan kebutuhan masyarakat.
c. Kewajiban rumah sakit terhadap pasien
Dalam memberikan pelayanan kesehatan Rumah sakit mempunyai
kewajiban yaitu:38
1) Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak pasien.
Ada dua hak dasar pasien yaitu:
- Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan asuhan
keperawatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
kedokteran dan profesi keperawatan.
- Hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
2) Rumah sakit harus memberikan penjelasan mengenai apa yang
diderita pasien, dan tindakan apa saja yang hendak dilakukan.
3) Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien (informed
consent) sebelum melakukan tindakan medis tertentu.
38
Ibid. Hal 39.
5. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter
a. Hak dan kewajiban pasien di rumah sakit
Hak pasien merupakan hak asasi yang bersumber dari hak dasar
individual dalam bidang kesehatan. The Right of self Determination.
Negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pemenuhan layanan
kesehatan tersebut sehingga masyarakat dapat dengan mudah memenuhi
layanan kesehatan yang terjangkau, berkualitas, dan tersedia diseluruh
wilayah Indonesia.
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai person.
Sesuai pasal 52 UU No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, hak pasien dalam menerima pelayanan praktik kedokteran
adalah:
1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan
medis
2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
3) Mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis
4) Menolak tindakan medis
5) Mendapatkan isi rekam medis
Adapun hak pasien di rumah sakit adalah :39
1) Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit.
39
Ibid. Hal 44-45
2) Pasien berhak atas pelayanan kesehatan yang manusiawi, adil,
dan jujur.
3) Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu
sesuai dengan standar profesi kedokteran/ kedokteran gigi dan
tanpa diskriminasi.
4) Pasien berhak memperoleh asuhan keperawatan sesuai
dengan standar profesi keperawatan.
5) Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai
dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang
berlaku dirumah sakit.
6) Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas
menetukan pendapat klinis dan pendapat etiknya tanpa campur
tangan dari pihak luar.
7) Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang
terdaftar dirumah sakit tersebut (second opinion) terhadap
penyakit yang dideritanya.
8) Pasien berhak atas” privacy” dan karahasiaan penyakit yang
diderita termasuk data-data medisnya.
9) Pasien berhak mendapat informasi meliputi: penyakit yang
diderita, tindakan yang hendak dilakukan, kemungkinan
penyulit, akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk
mengatasinya.
10) Pasien berhak menyetujui atau memberikan izin atas tindakan
yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit
yang dideritanya.
11) Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan
terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan
atas tanggung jawab sendiri sesuadah memperoleh informasi
yang jelas tentang penyakitnya.
12) Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
13) Pasien berhak menjalankan ibadah sesauai dengan agama dan
kepercayaannya selama hal itu tidak mengganggu pasien
lainya.
14) Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama
dalam perawatan di rumah sakit.
15) Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas
perlakukan rumah sakit terhadap dirinya.
16) Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril
maupun spiritual.
Selain hak, pasien juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi.
Dokter tidak dapat disalahkan jika pasien tidak jujur tentang penyakitnya.
Apabila pasien sudah pernah berobat ke dokter lain. Maka pasien harus
menceritakan perawatan dan pengobatan yang sudah didapatkan
sebelumnya.
Pasal 53 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
menyebutkan bahwa kewajiban pasien adalah sebagai berikut:
1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya
2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter/ dokter gigi
3) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan
kesehatan.
4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan
Apabila pasien tidak melakukan kewajibannya dan hal ini
merupakan penyebab (proximate cause) dari cederanya, maka ia
dianggap turut bersalah sehingga ganti kerugian yang timbul dibagi secara
proporsional antara dokter dan pasien.40
Kewajiban pasien di rumah sakit yang harus dipenuhi pasien
adalah:
1) Pasien dan keluarga berkewajiban untuk mentaati segala
peraturan dan tata tertib rumah sakit.
2) Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instuksi dokter
dan perawat dalm pengobatanya.
3) Pasien berkewajiban memberikan informasi dengan jujur dan
selengkapnya tentang penyakitnya kepada dokter yang
merawat.
40
Isfandyarie, A.. 2006. Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi bagi Dokter. Prestasi Pustaka.
Jakarta. Hal..97
4) Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi
semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau dokter.
5) Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban memenuhi hal-
hal yang telah disepakati/ perjanjian yang telah dibuatnya.
b. Hak dan kewajiban dokter di rumah sakit
Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran di
rumah sakit mempunyai hak:41
1) Dokter berhak mendapat perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional.
2) Dokter berhak untuk bekerja menurut standar profesi serta
berdasarkan hak otonom (seorang dokter, walupun ia berstatus
hukum sebagai karyawan rumah sakit, namun pemilik atau
direksi rumah sakit tidak dapat memerintah untuk melakukan
suatu tindakan yang menyimpang dari standar profesi atau
keyakinannya).
3) Dokter berhak untuk menolak keinginan pasien yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan kode
etik profesi.
4) Dokter berhak menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien
apabila misalnya hubungan dengan pasien sudah berkembang
begitu buruk sehinnga kerjasama yang baik tidak mungkin
41
Op.cit. Soeparto, P.dkk. Hal 46-47.
diteruskan lagi, kecuali untuk pasien gawat darurat dan wajib
menyerahkan pasien kepada dokter lain.
5) Dokter berhak atas privacy.
(Berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh
pasien dengan ucapan atau tindakan yang melecehkan atau
memalukan).
6) Dokter berhak mendapat informasi yang lengkap dan jujur dari
pasien dan keluarganya
7) Dokter berhak atas informasi atau pemberitahuan pertama
dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap
pelayanannya.
8) Dokter berhak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah
sakit maupun oleh pasien.
9) Dokter berhak untuk mendapat imbalan atas jasa profesi yang
diberikannya berdasarkan perjanjian dan atau ketentuan/
peraturan yang berlaku di rumah sakit tersebut.
Selain hak tersebut di atas ada pula kewajiban dokter yang
berkaitan langsung dengan rumah sakit yaitu:
1) Dokter wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan
hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit.
2) Dokter wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi dan menghormati hak-hak pasien.
3) Dokter wajib merujuk pasien ke dokter lain atau rumah sakit lain
yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,
apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan.
4) Dokter wajib memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat
menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.
5) Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu
meninggal dunia.
6) Dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya.
7) Dokter wajib memberikan informasi yang adekwat tentang
perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang
dapat ditimbulkannya.
8) Dokter wajib membuat rekam medis yang baik secara
berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien.
9) Dokter wajib terus-menerus menambah ilmu pengetahuan dan
mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
10) Dokter wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati atau
perjanjian yang telah dibuatnya.
11) Dokter wajib bekerjasama dengan profesi atau pihak lain yang
terkait secara timbale balik dan memberikan pelayanan kepada
pasien.
12) Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak
rumah sakit
Dalam pasal 51 UU No. 29 Tahun 2004 juga disebutkan bahwa
dokter dan dokter gigi mempunyai kewajiban:
1) Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan
standar prosedur opersional serta kebutuhan medis pasien.
2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan sesuatu pemeriksaan atau pengobatgan.
3) Merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
4) Melakukan pertolongan dururat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali itu bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan
mampu melakukannya.
5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.
F. Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan. (Idee Des
Recht)
1. Kepastian Hukum
Menurut Suseno dalam Fence M. Wantu.42 Kepastian diartikan
sebagai kejelasan norma, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi
masyarakat yang dikenakan peraturan itu. Pengertian kepastian tersebut
dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya
hukum dalam masyarakat. Hal ini untuk tidak menimbulkan banyak salah
tafsir.
Kepastian dapat pula mengandung arti yakni: pertama, adanya
kejelasan; kedua, tidak menimbulkan multi tafsir atau keraguan; ketiga,
tidak menimbulkan kontradiktif; keempat, dapat dilaksanakan. Kepastian
merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk
norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan
makna, karena tidak dapat lagi pedoman perilaku bagi semua orang.
Keteraturan dari masyarakat berkaitan erat dengan kepastian
dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu
sendiri. Adanya keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara
berkepastian, karena dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
diperlukan dalam kehidupannya bermasyarakat.
42
Fence M.Wantu, 2011, Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Hal .76
Untuk sampai pada kepastian, maka hukum harus mengandung
keterbukaan, sehingga siapapun dapat memahami makna atas sesuatu
ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan hukum yang lain tidak boleh
kontradiktif, karena bila demikian justru menjadi sumber keraguan. Apabila
sampai terjadi kontradiktif maka pertentangan demikian harus secepatnya
melalui perangkat system hukum itu sendiri.
Radbruch dalam Fence M. Wantu,43 memberi pendapat yang cukup
mendasar mengenai kepastian hukum. Ada 4 (empat) hal yang
berhubungan dengan kepastian hukum:
a. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah
perundang-undangan.
b. Bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang
ditetapkan itu pasti, artinya didasarkan pada kenyataan dan
hakim tidak menggunakan penilaiannya sendiri, seperti melalui
klausula umum “kesopanan” dan “kemauan baik”.
c. Bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang
jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di
samping mudah dilaksanakan.
d. Hukum positif tidak boleh mudah berubah.
Apa yang dikatakan oleh Radbruch diatas didasarkan pada
pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum
itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari atau lebih khusus
43
Ibid, Hal. 77
dari perundang-undangan. Begitu datang hukum maka datanglah
kepastian.
Selanjutnya Radbruch menyatakan unsur kepastian hukum harus
dijaga demi keteraturan/ketertiban suatu Negara, oleh karenanya hukum
positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam
masyarakat harus selalu ditaati, meskipun hukum positif itu kurang adil
atau kurang mencapai tujuan hukum.
2. Keadilan
Keadilan menjadi salah satu nilai dasar hidup manusia dan
merupakan masalah klasik yang tak pernah terpecahkan secara tuntas.
Menurut Briton dalam Fence M. wantu,44 tidak adanya kesesuaian dalam
mengartikan mendorong orang berusaha merumuskan dan mendefinisikan
keadilan sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan pengalamannya
masing-masing.
Eksistensi pergaulan di dalam masyarakat berkaitan erat dengan
sejauh mana keadilan diselenggarakan. Meningkatnya jumlah manusia
yang diiringi dengan kebutuhan hidup dan kompleksitasnya permasalahan
yang di hadapi menuntut hadirnya keadilan.
Sebagian para ahli sepakat bahwa keadilan merupakan nilai agung
dan universal yang harus diwujudkan untuk kesejahteraan masyarakat
disuatu Negara. Keadilan menjadi syarat utama untuk mewujudkan
kesejahteraan. Kesulitan mulai muncul ketika mereka mendefinisikan
44
Ibid. Hal. 86.
keadilan. Apa yang dianggap adil oleh pemerintah tidak demikian oleh
rakyatnya.
Pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang,
sebab keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa
yunani kuno. Membahas keadilan tidak gampang, sebab keadilan sifatnya
subyektif.
Keadilan diartikan sebagai pembagian yang konstan dan terus
menerus untuk memberikan hak setiap orang. The constant and perpetual
disposition to render every man his due.
Keadilan dapat dilihat dalam dua pengertian pokok yakni:
a. Pengertian formal yang berarti menuntut hukum berlaku secara
umum.
b. Pengertian materil yang berarti setiap hukum harus sesuai
dengan cita-cita keadilan masyarakat.
Pada dasarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas 2 (dua)
arus pemikiran:
a. Keadilan metafisik, keadilan yang dipelopori oleh oleh Plato yang
mengatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi
dan instuisi.
b. Keadilan rasional, keadilan yang dipelopori oleh Aristoteles yang
menyatakan sumber keadilan adalah dari prinsip-prinsip umum
rasionalitas tentang keadilan.
Sementara itu menurut Aristoteles dalam Fence M. Wantu,45
menyatakan bahwa keadilan menuntut supaya tiap-tiap perkara harus
ditimbang tersendiri (ius suum cuique tribuere). Selanjutnya Aristoteles
mengajarkan adanya duamacam keadilan yakni:
a. Keadilan distributif, adalah keadilan yang memberikan kepada
tiap-tiap orang jatah menurur jasanya.
b. Keadilan Commutatief, adalah keadilan yang memberikan pada
setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa
perseorangan
3. Kemanfaatan
Selain unsur kepastian hukum dan keadilan, maka unsur
kemanfaatan pun harus menjadi unsur cita hukum. Hukum yang baik
adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi masyarakat.
Kemanfaatan dalam hukum sangat berguna, khususnya hukum yang
bersifat mengatur. Mayarakat akan mentaati hukum tanpa perlu dipaksa,
apabila memang masyarakat merasakan manfaat dari hukum itu.
Menurut Radbruch dalam Fence M. Wantu.46 bahwa hukum adalah
segala yang berguna bagi rakyat. Sebagai bagian dari cita hukum (idée
des recht), keadilan dan kepastian hukum membutuhkan pelengkap yaitu
kemanfaatan.
45
Ibid, Hal. 88
46
Ibid, Hal. 99
Bentham, berpendapat bahwa pada intinya hukum harus
bermanfaat untuk membahagiakan kehidupan manusia. Apakah
kebahagiaan itu timbul karena diperolehnya kepastian hukum ataupun
karena timbulnya keadilan dalam masyarakat tidaklah penting. Hukum
yang baik menurut aliran ini adalah hukum yang dapat mendatangkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.47
G. Kesadaran Hukum, Ketaatan Hukum, dan Efektifitas Hukum
1. Kesadaran Hukum
Sosiologi hukum sangat berperan dalam upaya sosialisasi hukum
demi meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga
masyarakat secara keseluruhan mapun penegak hukum.
Kesadaran hukum menurut Achmad Ali ada 2 macam yaitu:48
a. Kesadaran hukum positif, identik dengan „ketaatan hukum‟.
b.Kesadaran hukum negatif, identik dengan „ketidaktaatan
hukum‟.
Kesadaran hukum menurut Krabbe adalah kesadaran atau nilai-
nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau
tentang hukum yang diharapkan ada. Kemudian Achmad Ali
menambahkan, pengertian itu akan lebih lengkap lagi, jika ditambahkan
47
Ibid, Hal. 100 48
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), KencanaPrenada Media Group, Jakarta, Cetakan ke-3. Hal. 298
unsur nilai-nilai masyarakat, tentang fungsi apa yang hendaknya
dijalankan oleh hukum dalam masyarakat.49
Jadi kesadaran hukum yang dimiliki warga masyarakat, belum
menjamin warga masyarakat tersebut mentaati suatu aturan hukum atau
perundang-undangan. Contoh seseorang mempunyai kesadaran hukum
bahwa melanggar lampu merah di “traffic light” adalah pelanggaran
hukum, dan menyadari pula bahwa hanya polisi yang berwenang untuk
menangkap dan menilangnya, orang tadi dengan kesadaran hukum tadi,
belum tentu tidak melanggar, ketika orang itu melihat tidak ada polisi
disekitar traffic light, maka orang itu, karena terburu-buru untuk menghadiri
suatu acara, mungkin saja melanggar traffic light.
Menurut Soerjono Soekanto dalam Achmad Ali50 mengemukakan
empat indikator kesadaran hukum, yaitu:
a. Pengetahuan tentang hukum;
b. Pemahaman tentang hukum;
c. Sikap terhadap hukum; dan
d. Perilaku hukum.
Menurut Achmad Ali, indikator kesadaran hukum harus
memberikan penjelasan apa yang diartikan dengan hukum, jadi hukum
bukan hanya hukum Negara (hukum positif tertulis), melainkan juga
hukum yang mencakup hukum yang bersumber dari norma sosial
(triangular society), dan hukum yang bersumber dari agama, etika dan
49
Ibid, Hal. 299 50
Ibid, Hal. 301
moral (triangular of morality). Jadi hukum disini bukan hanya perundang-
undangan, melainkan juga hukum agama dan hukum adat sepanjang
masih relevan dan realitas dengan hukum masyarakat Indonesia.
Jadi Ketaatan hukum adalah kesadaran hukum yang positif,
sedangkan ketidaktaatan hukum padahal yang bersangkutan memiliki
kesadaran hukum, berarti kesadaran hukum yang dipunyainya adalah
kesadaran hukum yang negatif.51
Selanjutnya Ewick dan Silby dalam Achmad Ali membedakan
beberapa jenis kesadaran sebagai berikut:52
a. Consciouness as Attitude (kesadaran sebagai sikap).
Kesadaran sebagai gagasan dan sikap-sikap dari individu-individu
yang menentukan bentuk dan tekstur kehidupan sosial. Secara singkat,
konsep tentang kesadaran ini, menunjukkan bahwa kelompok-kelompok
sosial dari semua ukuran dan tife (keluarga, kelompok sebaya, kelompok
kerja, perusahaan, komunitas, institusi hukum, dan masyarakat), muncul
dari tindakan-tindakan bersama individu-individu.
b. Consciouness as epiphenomenon (kesadaran sebagai
epiphenomenon).
Ilmuan memandang hukum maupun kesadaran hukum, sebagai
Epiphenomenon, yaitu suatu struktur ekonomi terpenting untuk
memproduksi suatu tertib hukum yang berkaitan atau yang tepat. Karya ini
51
Ibid, Hal. 302
52
Ibid, Hal. 314-318
sering menggambarkan bagaimana kebutuhan produksi dan reproduksi
kapitalis membentuk prilaku dan kesadaran hukum. Meskipun demikian
hukum dan kesadaran hukum, masih merupakan produk-produk
ketimbang produsen-produsen hubungan sosial.
c. Consciouness as cultural practice (kesadaran sebagai
praktik cultural).
Kesadaran sebagai bagian dari proses timbal balik, yang di
dalamnya makna-makna yang diberikan oleh individu-individu kepada
dunia mereka, hukum serta institusi hukum sebagi bagian dari dunia
tersebut, menjadi berulang, berpola, dan distabilkan, dan struktur yang
dilembagakan tersebut, menjadi bagian dari sistem makna, yang
digunakan oleh individu-individu.
Jika dipormulasikan kesadaran tidaklah permanen, tidak stabil dan
uniter, atau tidak konsisten. Sebagai gantinya kita melihat kesadaran
hukum sebagai sesuatu yang bersifat lokal, kontekstual dan pluralitas
yang diisi dengan konflik dan kontradiksi. Jadi kesadaran hukum
seseorang dapat bervariasi sepanjang masa (untuk mencerminkan
pembelajaran dan pengalaman) atau diseluruh interaksi (untuk
mencerminkan objek-objek, hubungan-hubungan atau tujuan yang
berbeda). Hingga sadar bahwa kesadaran, muncul dalam praktik sosial
dan ditempa di dalam dan di sekitar peristiwa dan interaksi yang
disituasikan (sengketa dengan tetangga, kasus pidana), seseorang
mungkin mengekspresikan, melalui kata-kata atau tindakan-tindakan,
keasadaran yang multifacet, kontradiktif dan beranekam ragam.
Kesadaran hukum bersifat contigent (bergantung pada sesuatu),
yang bermakna bahwa it can change depending on the area of law (or
social problem) that is at issue (dia dapat berubah tergantung pada area
hukum atau masalah sosial yang dipersoalkan).
2. Ketaatan Hukum
Ketaatan terhadap hukum merupakan unsur penting dari
berfungsinya tata hukum. Seseorang mentaati hukum atau tidak
melanggar hukum, selain akibat faktor jera atau takut setelah
mempertimbangkan sanksi yang diganjarkan terhadap dirinya jika tidak
mentaati hukum, maka bisa saja orang mentaati hukum karena adanya
tekanan individu lain atau kelompok dan bisa juga karena alasan moral
personalnya begitu pula sebaliknya. Individu dapat memutuskan untuk
tidak mentaati suatu aturan hukum, juga karena alasan moral.
Menurut H.C. Kelman dalam Achmad Ali, ketaatan hukum dapat
dibedakan atas kualitasnya, yaitu:53
a. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati
suatu aturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan
ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang
terus-menerus.
53
Ibid, 348.
b. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang
menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya
dengan pihak lain menjadi rusak.
c. Ketaatan yang bersifat internalization, jika seseorang menaati
suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu
sesuai dengan nilai intrinsic yang dianutnya.
Dalam realitasnya, berdasarkan konsep H.C. Kelman tersebut,
seseorang dapat menaati suatu aturan hukum, hanya karena ketaatan
salah satu jenis saja, tapi dapat terjadi seseorang menaati suatu aturan
hukum, berdasarkan dua atau tiga jenis ketaatan sekaligus.
Pendapat ini ditambahkan oleh Achmad Ali, bahwa sebenarnya
jenis ketaatan yang paling mendasar sehingga seseorang menaaati atau
tidak menaati hukum, adalah karena adanya kepentingan.
3. Efektivitas Hukum
Adapun faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum
sehingga hukum efektif adalah:54
a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan
hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum
secara umum.
b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga
mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum.
54
Ibid, Hal. 376-379.
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum
itu.
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka
seyogiyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat
mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang
(prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang
bersifat mengatur (mandatur).
e. Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus
dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.
f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum,
harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika
terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah
memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan
diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat
dilihat, diamati, oleh karenanya dimungkinkan untuk diproses
dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan penghukuman).
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud
larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum
yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-
orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut.
i. Efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum, tergantung
pada optimal dan professional tidaknya aparat penegak hukum
untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut.
j. Efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum,
mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang
minimal dalam masyarakat.
Adapun efektifitas perundang-undangan, bergantung pada
beberapa faktor, antara lain:
a. Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan.
b. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
c. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan
dengan di dalam masyarakatnya.
d. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang
tidak boleh dilahirkan tergesa-gesa untuk kepentingan instan
(sesaat).
Efektivitas penegakan hukum yang dikemukakan Bambang
Sotiyoso,55 baru terpenuhi apabila 5 pilar hukum dapat berjalan dengan
baik.
a. Pertama; faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang).
b. Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum.
55
Bambang Sutiyoso, 2010 Reformasi Penegakan Hukum Dan Kekuasaan Kehakiman Di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, Hal. 19
c. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
d. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.
Menurut Walter C. Reckless, dalam Bambang Sotiyoso,56 secara
empirik efektivitas penegakan hukum juga di pengaruhi oleh;
a. Pertama; bagaimana sistem dan organisasinya bekerja,
b. Kedua; bagaimana sistem hukumnya,
c. Ketiga; bagaimana sistem peradilannya dan
d. Keempat; bagimana sistem birokrasinya.
Dari kajian berbagai sistem diatas Bambang Sotiyoso mengatakan
bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori maupun praktek,
problematika yang dihadapi adalah kemauan politik (Political will) dari para
pengambil keputusan. Kemauan politik (Political will) merupakan faktor
yang menentukan hukum dapat tegak atau ambruk, atau setengah-
setengah.
Masalah penegakan hukum dalam masyarakat pada dasarnya
merupakan kesenjangan antara hukum secara normatif (das sollen) dan
56
Ibid, Hal. 19
hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara prilaku
hukum masyarakat yang seharusnya dengan prilaku hukum yang nyata.
Menurut Bambang Sutiyoso,57 secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu
faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor diluar
sistem hukum, adapun faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor peraturan perundang-undangan
Faktor materi (substansi) suatu hukum atau peraturan perundang-
undangan memegang peranan penting dalam penegakan hukum
(law enforcement). Artinya di dalam hukum atau peraturan
perundang-undangan itu sendiri harus terkandung nilai-nilai di
dalamnya keadilan (justice). Sebab, bagaimanapun juga hukum
yang baik adalah hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai
keadilan.
b. Faktor aparatur penegak hukum
Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor aparatur
penegak hukum itu sendiri yang lazim juga disebut law enforcer
(enforcement agencies).
c. Faktor sarana dan prasarana
Faktor sarana prasarana yaitu, apakah aparat penegak sudah
dilengkapi dengan sarana prasarana fisik yang memadai,
57
Ibid, Hal, 21-23
khususnya alat-alat tekhnologi yang modern dalam rangka
sosialisasi hukum dan mengimbangi kecendrungan-kecendrungan
penyimpangan sosial masyarakat, termasuk ketersediaan sarana
prasarana tempat menjalani pidana dan sarana prasarana lainnya.
d. Faktor kepatuhan masyarakat
Berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang hukum, tentang
ketertiban dan fungsi penegak hukum. Sebab kenyataannya,
masyarakat terutama masyarakat yang masih kuat memegang
teguh hukum rakyat (Folk Law) pemahamannya akan apa itu
hukum, apa itu ketertiban dan apa itu penegakan hukum akan
berbeda dengan apa yang dimaksud dengan hukum modern.
e. Faktor Politik atau penguasa Negara
Faktor ini patut diperhatikan karena pada kenyataannya penegakan
hukum seringkali adanya campur tangan atau intervensi dari
kekuatan-kekuatan kepentingan dalam masyarakat. Dalam proses
peradilan seringkali kita dengar adanya intervensi dari pihak
eksekutif atau lembaga ekstra yudisial lainnya dalam proses
perkara yang sedang berlangsung, intervensi dari eksekutif dan
lembaga-lembaga ini membatasi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan mengadili perkara, sehingga mengakibatkan proses
peradilan yang jujur dan tidak memihak tidak berjalan dengan baik.
H. Tinjauan Tanggung Jawab Hukum
Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan dan sebagainya).58
Dalam kamus hukum ada dua istilah pada pertanggungjawaban
yakni liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang
luas, di dalamnya mengandung makna bahwa liability menunjuk pada
makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko
atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin.
(Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan
kewajiban). Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban
secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal
yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya
atau beban, kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan
undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang.
Tanggung jawab (liability) terhadap terjadinya malpraktik dibagi 3
macam:59
1) Tanggung jawab individu, yaitu yang menjadi beban baik secara
sendiri-sendiri maupun kelompok dalam satu tim
2) Tanggung jawab Institusi, yatiu tanggung jawab yang menjadi
beban pada institusi penyelenggara kesehatan. Tanggung
58
HR Ridwan, 2011, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cetakan
ke-7 hal.318 59
Iskandarsyah, M., 2011, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Permata Aksara,
Jakarta.hal.38-39.
jawab ini merupakan tanggung jawab mnajerial, seperti
pengawasan dan pembinaan. Kalau terjadi kesalahan anggota
maka merupakan institusi karena lalai member pengawasan dan
pembinaan.
3) Tanggung jawab gabungan, yaitu tanggung jawab pribadi dan
institusi. Tanggung jawab insitusi bisa tanggung jawab yuridis,
sosiologis dan moral tergantung permasalahannya. Dan paling
tidak bertanggung jawab secara moral terhadap kesalahan
anggota institusi sebab peranan pelayanan kesehatan
mempunyai tim yang besar.
Sementara Responsibility berarti Hal yang dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban dan termasuk putusan,
keterampilan, kemampuan dan kecakapan. Responsibility juga berarti
kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan,
dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan
apapun yang telah ditimbulkannya.60
Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan responsibility
menunjuk pada pertanggungjawaban politik.
Dalam ensiklopedi administrasi, responsibility adalah keharusan
seseorang untuk melaksanakan secara selayaknya apa yang telah
60
Op.cit. HR Ridwan. hal.319
diwajibkan kepadanya. Disebutkan juga bahwa pertanggungjawaban
mengandung makna; meskipun seseorang mempunyai kebebasan dalam
melaksanakan sesuatu tugas yang dibebankan kepadanya, namun ia tidak
dapat membebaskan diri dari hasil atau akibat kebebasan perbuatannya,
maka ia adapat dituntut untuk melaksanakan secara layak apa yang
diwajibkan kepadanya.61
Dalam pengertian hukum, tanggung jawab berarti keterikatan
Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap
ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya.
. Tiap manusia, mulai dari saat ia dilahirkan sampai saat ia mau
meninggal dunia mempunyai hak dan kewajiban dan disebut sebagai
subjek hukum. Demikian juga seorang dokter, harus juga bertanggung
jawab sebagai subjek hukum pengemban hak dan kewajiban.
Tanggung jawab hukum seorang dokter, dapat tidak berkaitan
dengan profesi, dan dapat pula merupakan tanggung jawab hukum yang
berkaitan dengan profesinya.
Pasal 14 Permenkes No. 269 Tahun 2008 menyebutkan bahwa
pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas hilang,
rusak, pemalsuan dan atau penggunaaan oleh orang atau badan yang
tidak berhak terhadap rekam medis.
61
Ibid. hal.321
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum
dibedakan sebagai berikut:62
1) Prisip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan ( liability
based on fault);
2) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption
of liability);
3) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab
(presumption of non liability);
4) Prinsip bertanggung jawab mutlak (strict liability);
5) Prinsip bertanggung jawab dengan pembatasan (limitation of
liability).
Perbuatan dokter yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi yang
menimbulkan tanggung jawab hukum, dapat dibedakan antara lain:63
1) Tanggung jawab terhadap ketentuan profesionalnya, yang
termuat dalam kepmenkes No.434/Menkes/Sk/X/1983 Tentang
Kode Etik Kedokteran (KODEKI).
2) Tanggung Jawab terhadap ketentuan hukum yang tercantum
dalam Undang-Undang, yaitu KUH Pidana beserta acaranya
(KUHAP), KUH Perdata, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan dan UU No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran.
62
Febriana,S.dan Tutik,T.T., 2010, Perlindungan hukum bagi pasien, PT.Prestasi Pustaka,
Jakarta, hal. 49 63
Op.cit. Isfandyarie, A. Hal..3
Dalam pertanggungjawaban hukum seorang dokter sebagai
pengemban profesi, dokter harus selalu bertanggung jawab dalam
menjalankan profesinya, karena tanggung jawab dokter dalam hukum
sedemikian luasnya, maka dokter harus memahami ketentuan hukum
yang berlaku dalam pelaksanaan profesinya.
Kewajiban hukum pada intinya manyangkut apa yang boleh dan
apa yang tidak boleh dilakukan seorang dokter, atau apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan dalam menjalankan
profesi dokter.
Kewajiban hukum dokter mencakup kewajiban hukum yang timbul
karena profesinya dan kewajiban yang timbuk karena kontrak terapeutik
(penyembuhan) yang dilakukan dalam hubungan dokter dengan pasien.
Kewajiban itu mengikat setiap dokter yang selanjutnya menimbulkan
tanggung jawab hukum bagi dokter yang bersangkutan. Dalam
menjalankan kewajiban hukumnya, diperlukan adanya ketaatan dan
kesungguhan dari dokter dalam melaksanakan kewajiban sebagai
pengemban profesi. Kesadaran hukum yang dimiliki dokter harus berperan
dalam diri dokter untuk bisa mengendalikan dirinya sehingga tidak
melakukan kesalahan profesi, agar terhindar dari sanksi yang diberikan
oleh hukum.
Keterikatan dokter terhadap ketentuan hukum dalam menjalankan
profesinya merupakan tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter
pada dasarnya meliputi 3 (tiga) bentuk pertanggungjawaban, yaitu:64
1) Bidang Hukum Administrasi dimuat dalam Undang-Undang
No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
2) Bidang hukum pidana, terdiri dari:
- UU No.1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana, antara lain
Pasal 48-51, 224, 267, 268, 322, 344-361, dan 531.
- Ketentuan Pidana UU No.36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan.
- Ketentuan Pidana UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
3) Bidang hukum perdata, terdiri dari :
- Buku III BW Tentang Hukum Perikatan (Pasal 1239, 1365,
1366, 1367).
1. Pidana
Hukum pidana menganut asas ”tiada pidana tanpa kesalahan”.
Selanjutnya dalam pasal 2 KUHP disebutkan, ”Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan suatu delik di Indonesia”. Perumusan pasal ini menentukan
bahwa setiap orang yang berada dalam wilayah hukum Indonesia, dapat
64
Ibid. Hal.5-6
dimintakan pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dibuatnya.
Jadi dokter pun tidak terlepas dari pasal tersebut.
Sekalipun hukum pidana mengenal adanya penghapusan pidana
dalam pelayanan kesehatan, yaitu alasan pembenar dan pemaaf
sebagaimana halnya terdapat dalam yurisprudensi, namun tidak serta
merta alasan itu menghapus suatu tindak pidana bagi profesi dokter.
Alasan pembenar dan alasan pemaaf hanya terdapat pada pengecualian
tertentu seperti dalam UU No. 36 Tahun 2009, terutama yang berkaitan
dengan abortus.
Seorang dokter dalam hal melakukan perawatan, jika terjadi
penyimpangan terhadap suatu kaidah pidana, sepanjang dokter yang
bersangkutan melakukannya dengan memenuhi standar profesi dan
standar kehati-hatian, dokter tersebut masih dianggap telah melakukan
peristiwa pidana, hanya saja kepadanya tidak dikenakan suatu pidana, jika
memang terdapat alasan khusus untuk itu, yaitu alasan penghapus
pidana.65
Dalam hukum acara pidana pun disebutkan bahwa hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-
kurangnya didapatkan 2 (dua) alat bukti yang sah yang berdasarkan alat
bukti tersebut hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa terdakwa telah
benar-benar melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan pasal 183
KUHAP. Selanjutnya Pasal 184 KUHAP menyebutkan tentang alat bukti
65
Nasution, B.J. 2005.,Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban dokter. PT.Rineka Cipta.
Jakart. hal.75-76.
yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa.
Dalam Hukum Acara Pidana, rekam medis dapat dijadikan alat
bukti surat di pengadilan berdasarkn Pasal 187 Ayat (4) huruf b KUHAP
yaitu:
“Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan”. Rekam medis merupakan surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yatu Undang-Undang Praktik Kedokteran
pasal 46 ayat (1) dan (3) dan Permenkes No. 269/Menkes/Per/III/2008
tentang rekam medis.
Surat ini dibuat oleh pejabat (dokter) yang termasuk dalam tata
laksana tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi sesuatu hal
atau sesuatu keadaan tentang pasien. Kriteria ini memenuhi Pasal 187
ayat(4) huruf b KUHAP sehingga rekam medis dapat dijadikan alat bukti
surat dipengadilan.
Tentang petunjuk sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 huruf
d di atas, dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 188 ayat (2) dan (3) bahwa
petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa, yang akan diperiksa oleh hakim secara arif dan bijaksana
dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya
sehingga memberikan keyakinan kepada hakim atas kekuatan pembuktian
petunjuk tersebut.
Dari isi pasal 188 di atas, dapat diartikan bahwa bila seorang dokter
dituduh malakukan tindak pidana dan diajukan ke pengadilan sebagai
terdakwa, keterangan dokter dan surat serta kesaksian saksi (perawat
yang ikut merawat pasien) dapat memberikan petunjuk kepada hakim
untuk membuktikan dokter bersalah atau tidak. Surat yang dapat dipakai
sebagai alat bukti yang mungkin meringankan dokter, tidak lain adalah
rekam medis.
2. Administrasi
Tanggung jawab hukum pada bidang administrasi yang dinilai dari
sudut kewenangannya, yaitu apakah dokter itu berwenang atau tidak
melakukan sesuatu terhadap pasiennya. Berdasarkan pada hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter
diperlukan berbagai persyaratan, salah satu persyaratan yang paling
penting adalah adanya Surat Tanda Registrasi(STR) dan surat Izin Praktik
(SIP) sebagai dokter.
Dengan adanya Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik,
barulah dokter yang bersangkutan berwenang melakukan tugas sebagai
pemberi pelayanan kesehatan, baik pada instansi pemerintah maupun
instansi swasta atau melakukan praktik secara perseorangan.
Ditinjau dari status kepegawaiannya, Profesi kesehatan dapat
dibagi menjadi dua golongan, yaitu: golongan pertama adalah mereka
yang bekerja pada pemerintah yaitu Pegawai Negeri Sipil(PNS); golongan
kedua adalah mereka yang berstatus sebagai tenaga swasta yaitu dokter
yang tidak PNS.
Pada golongan pertama, dokter yang bersangkutan tunduk pada
UU Kepegawaian, dalam UU ini dinyatakan antara lain, bahwa PNS
sebagai unsur aparatur Negara, abdi Negara, dan abdi pemerintah.
Sedangkan golongan kedua, mereka yang tunduk pada ketentuan yang
berlaku diluar ketentuan yang mengatur tentang PNS.
Bagi dokter Baik yang PNS maupun yang bukan PNS, Dalam
hubungannya dengan tugasnya untuk menjalankan pelayanan kesehatan
terhadap pasien, mereka berhak menjalankan otonomi profesi, tetapi ia
harus menjalankan standar profesi. Jadi otonomi ini ditujukan untuk
memilih beberapa alternatif guna melakukan tindakan medis, hal itupun
boleh dilakukan selama alternatif itu tetap menurut dan memenuhi standar
profesi.
Dalam menjalankan profesinya dokter harus menghormati hak
pasien, pelayanan oleh dokter terletak pada pasien sebagai pemegang
putusan tertinggi. Selain itu dokter juga berkewajiban mematuhi peraturan-
peraturan organisatoris dan administratif, yang ditetapkan oleh pemerintah
melalui peraturan perundang-undangan, maupun yang ditetapkan melalui
organisasi profesi seperti kode etik kedokteran. Dokter yang melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat
dikenakan tindakan disiplin.
Bagi tenaga PNS/TNI-Polri selain tunduk pada ketentuan hukum
kesehatan, tindakannya juga diatur dalam peraturan PNS/TNI-Polri
dalam bentuk peraturan yang mengikatnya. Tenaga kesehatan yang
melakukan kesalahan atau kelalaian, disamping dikenakan hukuman
sesuai dengan PP.No.30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil, Juga dapat dikenakan tindakan administratif sebagai sanksi oleh
pimpinan yang diberi kewenangan untuk menindak. Jenis tindakan berupa
teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan rekomendasi/izin untuk
melaksanakan praktik dalam jangka waktu tertentu, selama-lamanya satu
tahun, yang mana untuk tindakan disiplin ini berlaku baik yang PNS/TNI-
Polri atau bukan PNS/TNI-Polri.
Adapun tujuan penjatuhan hukuman disiplin ini adalah untuk
memperbaiki dan mendidik tenaga kesehatan yang bersangkutan dan
rasa tanggung jawab terhadap kewajiban profesinya.66
3. Perdata
Sehubungan dengan tanggung jawab hukum dokter dalam bidang
hukum perdata, maka ada 2 bentuk pertanggung jawaban pokok, yaitu:
a) Pertanggung jawaban atas kerugian yang disebabkan karena
wanprestasi.
b) Pertanggung jawaban atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatan melawan hukum.
66
Ibid. hal.88-89.
Pada dasarnya, pertanggungjawaban perdata bertujuan untuk
memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita disamping untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, dasar untuk
menuntut adalah yang dianggap telah merugikan pasiennya mengenai
perbuatan melawan hukum dan wanprestasi yang memberikan hak
kepada yang dirugikan untuk menerima kompensasi dari pihak lain yang
mempunyai kewajiban terhadap pihak yang menderita kerugia tersebut.
Ada 3 prinsip pertanggung jawaban perdata yang di atur dalam BW,
yaitu:
a) Setiap tindakan yang menimbulkan kerugian atas diri orang lain
berarti orang yang melakukannya harus membayar kompensasi
sebagai pertanggung jawaban kerugian (Pasal 1365 BW).
b) Seseorang harus bertanggung jawab tidak hanya karena
kerugian yang dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga karena
kelalaiannya atau kurang hati-hati (Pasal 1366 BW).
c) Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya
atas kerugian yang ditimbulkan dan tindakannya sendiri, tetapi
juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain
yang berada di bawah pengawasannya (Pasal 1357 BW).
Safitri Hariyani (Isfandyarie: 2006), membagi pertanggungjawaban
hukum perdata sebagai berikut:67
a. Melakukan wanprestasi (Pasal 1239 KUH Perdata/BW);
67
0p.cit.Isfandyarie. Hal.7
Bunyi dari Pasal 1239 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila siberutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajaiban memberikan pergantian biaya, rugi, dan bunga”.
Dalam bahasa hukum, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana
seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu
perjanjian kontrak.
Menurut ilmu hukum perdata, seseorang dianggap melakukan
wanprestasi apabila:
- tidak melakukan yang disanggupi akan dilakukan,
- terlambat melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukan,
- melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan
yang dijanjikan,
- melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Gugatan yang berkaitan dengan wanprestasi ini, bisanya gugatan
ganti rugi terhadap dokter yang dianggap melakukan perbuatan yang
merugikan pasien, dalam gugatan wanprestasi ini pasien harus
mempunyai bukti-bukti kerugian sebagai akibat tidak dipenuhinya
kewajiban dokter terhadap dirinya sebagaimana yang dijanjikan dokter
tersebut.
b. Melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH
Perdata);
Pada perbuatan melawan hukum tidak harus didahului adanya
perjanjian. Unsur yang dapat dipakai sebagai dasar mengajukan
tuntutan perbuatan melawan hukum adalah:
- Adanya perbuatan melawan hukum
- Ada kerugian
- Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melawan
hukum dan kerugian
- Ada kesalahan
Berdasarkan yurisprudensi 1919, yang dimaksud dengan pebuatan
melawan hukum adalah tindakan atau kelalaian yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
- Malanggar hak orang lain;
- Bertentangan dengan kewajiban hukum itu sendiri;
- Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut atau
kesusilaan yang baik;
- berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya
diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau
benda orang lain.
c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal
1366 KUH Perdata);
Pasal 1365 KUH Peradata mengatur tentang tindakan yang
dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dpat mengakibatkan
kerugian terhadap orang lain, sebagai perbuatan melawan hukum. Bagi
seseorang yang tidak sengaja, tetapi karena kelalaian atau kurang berhati-
hati menimbulkan kerugian kepada orang lain dalam perbuatan melawan
hukum, maka ganti kerugian juga dapat diajukan berdasar pasal 1365
KUH Perdata.
Ketentuan yang berlaku didunia kedokteran, dokter harus
melakukan anamnese dahulu sebelum melakukan pemeriksaan kepada
pasien.
Untuk dapat dijadikan dasar gugatan, maka negligence (kalalaian),
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai
dengan sikap hati-hati yang normal.
2) Penggugat harus membuktikan bahwa tergugat lalai dalam
menjalankan kewajibanya kepada penggugat.
3) Kelakukan tergugat merupakan penyebab yang nyata (proxime
cause) dari kerugian yang dirasakan atau diderita penggugat.
d. Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367
ayat (3) KUH Perdata).
Dalam pasal 1367 KUH Perdata, seseorang harus memberikan
pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari
tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari
tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya.
Ada 2 praktik kedokteran yang pada umumnya dilaksanakan oleh
dokter yaitu praktik kedokteran swasta perorangan dan praktik kedokteran
pada saran pelayanan kesehatan seperti rumah sakit.
Pada rumah sakit dokter yang melakukan praktik kedokteran
biasanya memerlukan tenaga kesahatan lain yang bekerja di bawah
perintahnya seperti bidan, perawat. Kesalahan seorang perawat karena
menjalankan perintah dokter, menjadi tanggung jawab dokter yang
memberikan perintah tersebut.
Menurut Hariyani dalam Isfandyarie68, untuk menentukan secara
pasti pertanggungjawaban masing-masing terhadap tindakan medik, maka
penugasan kepada tenaga kesehatan lain, maka dianjurkan dokter untuk
memperhatikan hal berikut:
1) Dokter hanya melakukan diagnosis, terapi, dan petunjuk medik.
2) Penugasan tindakan medik hanya boleh dilakukan bila dokter
benar-benar yakin terhadap kemampuan bawahannya, agar
pasien mendapatkan perawatan yang tidak membahayakan
jiwanya. Penugasan ini harus dilakukan secara tertulis, dengan
instruksi yang jelas tentang cara melaksanakan instruksi
tersebut dan kemungkinan komplikasi yang bisa terjadi beserta
cara penanganannya.
3) Dokter harus selalu memantau perkembangan yang terjadi pada
pasien baik pada saat maupun setelah mendapatkan perawatan
68
Ibid. Hal.16
medik dan selalu siap sewaktu-waktu harus hadir untuk
menangani pasien secara langsung.
4) Pasien yang menjalani tindakam medik yang tidak dilakukan
sendiri oleh dokter (ada pendelegasian wewenang) mempunyai
hak untuk menolak atau menerima.
I. Kerangka Pikir
Pemberlakuan Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29
Tahun 2004 ditujukan untuk melindungi pasien dan dokter sehinga dapat
terlindungi secara hukum dan dengan berlakunya undang-undang ini
mewajibkan kepada dokter sebagai pemberi layanan kesehatan untuk
membuat rekam medis, begitu pula atas tindakan yang dilakukan harus
mendapat persetujuan dari pasien.
Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 menyebutkan bahwa setiap
sarana pelayanan kesehatan wajib menyelenggarakan rekam medis.
Rekam Medis (RM) adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan rekam medis menurut Permenkes No. 269 tahun
2008 meliputi; pembuatan rekam medis harus memenuhi unsur minimal
seperti yang disyaratkan yaitu; data umum, data medis dan data sosial,
cara penyelenggaraan rekam medis, pemusnahan, kerahasian,
pembinaan dan pengawasan sehingga dapat berjalan dengan baik.
Pengisian harus dilakukan dengan lengkap, rinci, kurat dan relevan
oleh dokter yang merawat pasien dan dokter mempunyai tanggung jawab
atas kelengkapan serta keakuratan rekam medis dan ini akan bermanfaat
sekali untuk perawatan dan pengobatan pasien, salah satu tanggung
jawab dokter yaitu berkaitan dengan hukum, baik pidana, perdata dan
administrasi, dan rekam medis ini menjadi alat bukti hukum dokter ,pasien
dan institusi pelayanan kesehatan yang salah satunya adalah rumah
sakit.
Dengan pelaksanaan dan pengelolaan rekam medis yang baik dan
benar, sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur tentang rekam
medis merupakan salah satu ukuran baik tidaknya pelayanan kesehatan
yang diberikan dan terciptanya rasa aman bagi pasien dan dokter dapat
diwujudkan.
J. Bagan Kerangka Pikir
(Y) Terwujudnya rasa aman
Dokter dan pasien
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran
Permenkes No. 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis
( X1)
Pelaksanaan Rekam Medis
Kelengkapan rekam medis
Tata cara penyelenggaraan
Rekam medis
Penyimpanan, pemusnahan
dan kerahasiaan
Pemanfaatan dan tanggung
jawab
Pengorganisasian
Pembinaan dan pengawasan
(X2)
Tanggung Jawab Hukum
Kerahasiaan rekam medis
Transaksi terapeutik
Rekam medis sebagai alat bukti
Ketiadaan rekam medis
F. Definisi Operasional
1. Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi
dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui
oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
3. Rumah sakit adalah insitusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat.
4. Dokumen adalah catatan dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan tertentu yang berhubungan dengan perawatan dan
pengobatan pasien.
5. Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu keterikatan dokter
terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan
profesinya.
6. Kelengkapan rekam medis adalah data minimal yang harus ada
dalam rekam medis.
7. Penyelenggaraan rekam medis adalah Pembuatan rekam medis
oleh dokter atau dokter gigi yang berisi catatan pelayanan praktik
kedokteran yang dilakukannya.
8. Penyimpanan rekam medis adalah Penyimpanan yang dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi atau sarana kesehatan tentang rekam
medis.
9. Pemusnahan rekam medis adalah pemusnahan berkas rekam
medis yang dilakukan oleh institusi kesehatan.
10. Kerahasiaan rekam medis adalah merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang pasien bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia. Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat
penyakit, riwayat pemeriksaan dan rawayat pengobatan pasien.
11. Pembinaan dan pengawasan adalah Pembinaan dan pengawasan
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan pimpinan rumah sakit
tentang rekam medis.
12. Pelaksanaan rekam medis adalah pembuatan rekam medis mulai
pasien datang di rumah sakit sampai pasien pulang.
13. Optimal adalah pelaksanaan sesuai dengan peraturan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis empiris. Yang dimaksud dengan pendekatan yuridis
empiris yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
tentang bagaimana hubungan hukum dengan masyarakat dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum dalam masyarakat.
Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan penelitian langsung di
lapangan dengan tujuan untuk mengumpulkan data yang obyektif yang
disebut sebagai data primer. Lebih ditekankan pada perundang-undangan
mengenai pelaksanaan rekam medis di Rumah sakit, melalui suatu
penelitian lapangan yang dilakukan dengan wawancara dan kuesioner
sehingga memperoleh kejelasan tentang hal yang diteliti.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah berupa penelitian
deskriptif analitis. bertujuan untuk menggambarkan serta mengkaji
variable-variabel yang ada dalam penelitian yaitu melalui analisa data
yang diperoleh dari wawancara dan kuesioner serta kajian kepustakaan
yang menjadi obyek pokok permasalahan, dalam hal ini mengenai
pelaksanaan rekam medis di Rumah Sakit.
B. Lokasi Penelitian
Peneliti menentukan lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa
Rumah sakit H.Hasan Basry Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan
merupakan rumah sakit rujukan untuk Wilayah 6 Kabupaten yang berada
di Provinsi Kalimantan Selatan dan sudah menjadi Rumah Sakit dengan
konsep Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dengan persiapan untuk
akreditasi rumah sakit.
C. Populasi dan Sampel
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan
yang terlibat langsung dalam pelaksanaan rekam medis yang bekerja di
Rumah Sakit BrigJend. H. Hasan Basry Kab. Hulu Sungai Selatan
Kalimantan Selatan, yang terdiri dari dokter, petugas rekam medis,
perawat, Direktur rumah sakit, Ketua IDI, dan Kepala rekam medis.
Sedangkan penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan Teknik
Purposive Sampling, artinya pengambilan sampel penelitian dilakukan
dengan cara pengambilan objek penelitian yang didasarkan pada tujuan
tertentu, maka sampel penelitian ini yang dianggap mampu memberikan
pandangan mengenai penyelesaian kasus adalah:
1. Direktur RSU BrigJend. H.Hasan Basry Kab.Hulu Sungai
Selatan Provinsi Kalimantan Selatan.
2. Ketua IDI Kab. Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan
Selatan.
3. Kepala Bagian Rekam Medis RSU BrigJend.H.Hasan Basry
Kab. Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan.
4. Dokter dan dokter gigi berjumlah 10 orang.
5. Petugas rekam medis berjumlah 11 orang.
6. Perawat penganggung jawab ruangan/ poliklinik berjumlah 16
orang.
Jumlah keseluruhan sampel penelitian ini adalah 40 orang.
D. Jenis dan Sumber Data
1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber
pertama (responden) dengan sampel yang sudah ditentukan pada
tempat penelitian, baik yang bersifat hasil wawancara, kuesioner
dan pengamatan lapangan.
2. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber
yang bersifat teoritik atau kepustakaan baik dokumen, literatur
maupun data yang tersedia di Rumah Sakit BrigJend. H. Hasan
Basry Kab. Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan yang erat
kaitannya dengan masalah yang akan diteliti.
E. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah dengan wawancara secara bebas terpimpin dengan responden
yang telah ditentukan, dengan pertimbangan bahwa data diperoleh
langsung dari objek sehingga tingkat ketelitiannya tinggi, keterangan tidak
hanya didapat dari pertanyaan yang disiapkan tetapi berkembang dari
tanya jawab, dengan membuat daftar pertanyaan (kuesioner) dan
pengamatan langsung dilapangan terhadap objek yang akan diteliti.
F. Analisa data
Seluruh informasi dan data yang terkumpul dianalisis secara
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Analisis kualitatif dimaksudkan
untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan rekam medis menurut
Permenkes No. 269/Menkes/Per/III/2008 di Rumah Sakit Brigjend. H.
Hasan Basry Kab.Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan dan
bagaimana tanggung jawab hukum dokter dalam pelaksanaan rekam
medis.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Permenkes No. 269 tahun 2008 di Rumah Sakit
BrigJend. H. Hasan Basry Kab. Hulu Sungai Selatan Kalimantan
Selatan
Ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun
2004 tentang praktik kedokteran, seperti pada pasal 46 ayat 1 bahwa
setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis, sebagai pelaksanaannya kemudian dibuat
Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang rekam medis,
peraturan ini ditetapkan tanggal 12 maret 2008 dengan Nomor 269/
Menkes/Per/III/2008.
Dalam Permenkes No.269 Tahun 2008 disebutkan tentang
pelaksanaan rekam medis yaitu kelengkapan rekam medis, tata cara
peyelenggaraan, peyimpanan, pemusnahan dan kerahasiaan,
pengorganisasian serta pembinaan dan pengawasan.
Dokter yang merawat pasien betanggung jawab atas kelengkapan
dan keakurasian pengisian rekam medis. Dalam praktiknya, dapat saja
pengisian rekam medis dilakukan oleh tenaga kesehatan lain (perawat,
asisten, co-ass dan residen) namaun yang memikul tanggung jawab tetap
dokter yang merawatnya.
Penyelenggaran rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan
merupakan salah satu indikator mutu pelayanan pada insitusi tersebut.
Berdasarkan data rekam medis tersebut dapat dinilai apakah pelayanan
yang diberikan bermutu atau tidak dan apakah sesuai prosedur.
1. Kelengkapan rekam medis
Permenkes No. 269 tahun 2008 menyebutkan bahwa:
- Isi rekam medis untuk rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan
termasuk rumah sakit sekurang kurangnya memuat; identitas pasien,
tanggal dan waktu, hasil anamnesa sekurangnya keluhan dan riwayat
penyakit, hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis, diagnosis,
rencana penatalaksanaan, pengobatan atau tindakan, pelayanan lain
yang diberikan kepada pasien, untuk gigi dilengkapi odontogram klinik,
dan persetujuan jika perlu.
- Untuk rawat inap ditambahkan catatan observasi dan hasil pengobatan,
ringkasan pulang, nama dan tanda tangan dokter atau dokter gigi atau
tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan dan pelayanan lain
oleh tenaga kesehatan tertentu.
- Untuk gawat darurat sekurang-kurangnya berisi identitas pasien, kondisi
pasien saat tiba, identitas pengantar, tanggal dan waktu, hasil
anamnesa sekurangnya keluhan dan riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis, pengobatan dan tindakan,
ringkasan kondisi sebelum meninggalkan UGD, nama dan tanda
tangan dokter, sarana tranportasi yang dipakai untuk pasien ke sarana
pelayanan kesehatan lain dan pelayanan lain yang diberikan kepada
pasien.
Secara umum rekam medis pasien harus memuat; keluhan utama,
informasi riwayat pengobatan, riwayat sosial pasien dan keluarga, riwayat
penyakit terdahulu, riwayat pemeriksaan fisik, semua prosedur diagnostik,
semua hasil pemeriksaan laboratorium dan rontgen, catatan
perkembangan penyakit, diagnosis provisional yang merefleksikan
keadaan awal pasien saat diperiksa oleh dokter sebelumnya, laporan hasil
konsultasi, jenis obat yang diresepkan, respon terhadap terapi yang
diberikan, catatan proses pengobatan, informed consent, tanggal dan
identitas dokter tempat berkonsultasi, catatan keluhan pasien, diagnosis
akhir, resume pasien keluar dari rumah sakit, hasil autopsi yang jelas dan
lengkap.69
Untuk kelengkapan isian rekam medis berdasarkan hasil penelitian
di rumah sakit Brigejand H. Hasan Basry dari dokumen rekam medis,
sebagian besar sudah memenuhi syarat yang ditentukan dalam
Permenkes Nomor 269 tahun 2008 tetapi isian di UGD tidak ada sarana
transportasi, sehingga tidak lengkap. Berdasarkan dokumen rekam medis
dari 10 berkas yang diambil secara acak pada rawat jalan, rawat inap dan
UGD didapatkan data bahwa:
69
Depkes RI, 1997.Pedoman Penyelenggaraan rekam medis, Dirjend Yanmed , Jakarta
- Rawat jalan: 3 berkas tidak ada tanda tangan dokter dan nama
dokter
- Rawat inap: 7 berkas yang tidak diisi pada tempat dan tanggal lahir,
2 berkas tanpa diagnose akhir.
- UGD: 4 berkas tidak diisi tempat dan tanggal lahir, 3 identitas
pengantar, sarana tranportasi 10 berkas isian.
Pengelola rekam medis (bp. Apip) menjelaskan bahwa: “pengisian rekam medis belum lengkap semua kadang ada yang
kurang, alasannya perawat pekerjaan perawat banyak untuk mengisi status kadang tidak ada waktu begitu juga dokter, data yang tidak lengkap yaitu; data sosial, data umum, sebagian data medis terutama diagnosa akhir dan tanda tangan dokter dan nama”. (wawancara, 3 April 2013)
Berdasarkan uraian di atas dijelaskan bahwa untuk data umum dan
data sosial seharusnya sudah dilengkapi waktu pasien melakukan
pendaftaran pertama dan dilakukan oleh petugas bagian pendaftaran. Hal
Ini menyulitkan petugas selanjutnya untuk melengkapi kembali isian
tersebut akibatnya waktu pelayanan lama. Untuk isian sarana transportasi
memang tidak ada daftar isian sehingga tidak diisi oleh petugas UGD.
Untuk tanda tangan dokter dan diagnosa akhir yang tidak diisi akan
menyulitkan mengetahui siapa yang bertanggung jawab, bila terjadi
permasalahan atau sengketa dikemudian hari.
Rekam medis merupakan surat yang dibuat menurut Undang-
Undang Praktik Kedokteran pasal 46 ayat (1) dan (3) dan Permenkes No.
269/Menkes/Per/III/2008 tentang rekam medis.
Surat ini dibuat oleh pejabat (dokter) yang termasuk dalam tata
laksana tanggung jawabnya yang diperuntukkan bagi sesuatu hal atau
sesuatu keadaan tentang pasien. Karena dibuat oleh pejabat maka harus
jelas siapa pejabat yang membuatnya, oleh sebab itu harus ditanda
tangani dan diberi nama. Orang yang bertanggung jawab terhadap isi
rekam medis adalah dokter. Oleh karena itu dokterlah yang berhak
bertanda tangan pada lembar rekam medis.
Berdasarkan Permenkes No. 269 tahun 2008 Pasal 5 ayat 4 yaitu
setiap pencatatan kedalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan
tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang
memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Keadaan ini akan
berpengaruh terhadap mutu rekam medis karena tidak memenuhi
ketentuan yang ditetapkan.
2. Tata cara penyelenggaraan rekam medis
Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menegaskan bahwa
dokter dan dokter gigi wajib membuat rekam medis dalam menjalankan
praktik kedokteran. Setelah memberikan pelayanan dokter dan dokter gigi
segera melengkapi rekam medis dengan mengisi atau menulis semua
pelayanan praktik kedokteran yang telah dilakukannya.
Setiap catatan dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu,
dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan. Apabila dalam
pencatatan rekam medis menggunakan teknologi informasi elektronik,
kewajiban membubuhi tanda tangan dapat diganti dengan menggunakan
nomor identitas pribadi atau personal identification number (PIN).
Dalam hal terjadi kesalahan saat melakukan pencatatan rekam
medis, catatan dan berkas tidak boleh dihilangkan atau dihapus dengan
cara apapun. Perubahan catatan atas kesalahan dalam rekam medis
dapat dilakukan dengan pencoretan dan kemudian dibubuhi paraf petugas
yang bersangkutan.70
Permenkes No. 269 Tahun 2008 Pasal 5 menyebutkan bahwa
setiap dokter wajib membuat rekam medis, rekam medis harus segera
dibuat dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan, pembuatan
rekam medis dilakukan dengan pencatatan dan pendokumentasian hasil
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan,
bila terjadi kesalahan dapat dilakukan pembetulan dengan melakukan
pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi
paraf oleh pemberi layanan dan mereka bertanggung jawab terhadap apa
yang mereka tulis dalam rekam medis.
Sehubungan tata cara penyelenggaraan rekam medis. Hasil
penelitian menunjukan bahwa mekanisme peneyelenggaraan dinyatakan
responden sebagai berikut:
70
Op.Cit,KKI, Hal.8
Tabel. 4.1. Pendapat responden tentang pelaksanaan tata cara penyelenggaraan rekam medis
No Pernyataan Frekuensi Persentase
1. Dokter
Sudah melakukan
Tidak melakukan
Sebagian
6
0
4
60
0
40
Jumlah 10 100
2 Perawat
Sudah melakukan
Tidak melakukan
Sebagian
8
2
6
50
12,5
37,5
Jumlah 16 100
Sumber: Data primer diolah tahun 2013
Data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar dokter (60%)
sudah melakukan tata cara penyelenggaraan rekam medis yang baik
karena sudah tanggung jawabnya. Dari pemeriksaan berkas rekam medis
terutama data medis ada ditemukan pembetulan tulisan yang salah tanpa
memberikan paraf, dokter hanya mencoret yang salah seharusnya juga di
paraf oleh yang bersangkutan. Meskipun demikian menurut penulis, dokter
sudah melakukan tata cara penyelenggaraan rekam medis yang baik
meskipun sebagian belum sesuai tersebut.
Pengisian rekam medis terutama catatan perawatan dan asuhan
keperawatan oleh perawat, hasilnya menunjukan bahwa sebagian besar
perawat (50%) melakukannya dengan baik karena sudah menjadi bagian
yang harus diisi oleh mereka dan sudah menjadi tugas rutin pada saat
bertugas, 6 orang responden perawat (37,5%) hanya melakukan sebagian
karena terlalu sibuk sehingga tidak sempat mengisinya dan 2 orang
responden (12,5%) tidak melakukan karena tidak ada waktu meskipun
mereka tahu. Dalam catatan perawatan ada juga pembetulan yang salah
dengan dicoret tanpa di paraf.
Kelengkapan data rekam medis, Menurut Harnidah, Kepala rekam
medis RSU Brigjend. H.Hasan Basry Kab. Hulu Sungai Selatan, bahwa;
“dalam pemeriksaan rutin masih saja ditemukan data yang tidak diisi seperti tanda tangan dokter, diagnosa akhir dan data sosial, untuk melengkapi data tersebut kami kembalikan ke ruangan dimana dokter tersebut bertugas untuk diminta mengisi yang belum diisi”. (wawancara, 5 April 2013)
Terkait penyelenggaraan rekam medis dikatakan pula oleh Harnidah
bahwa;
“bila terjadi kesalahan pengisian rekam medis, terutama yang menyangkut data umum atau data sosial yang boleh diisi oleh petugas rekam medis akan dilakukan pencoretan dengan diberi paraf, untuk data medis dikembalikan ke dokter yang bersangkutan untuk diisi atau diperbaiki dan biasanya memakan waktu lama paling cepat 48 jam dan bahkan paling lambat ada sampai 2 -3 minggu”
Kemudian Arman Dwidarma, Ketua IDI Kab.Hulu Sungai Selatan
(wawancara, 10 April 2013), menjelaskan bahwa untuk pengisian rekam
medis apabila terjadi kesalahan maka dilakukan perbaikan terhadap
bagian yang salah dengan mencoret dan diparaf.
Kesimpulannya bahwa tata cara penyelenggaraan rekam medis
belum semuanya dilakukan dengan baik sesuai ketentuan. Sehingga perlu
peningkatan kesadaran bagi yang terlibat dalam pengisian rekam medis
dengan memberikan sosialisasi, pengertian dan pemahaman terhadap
pentingnya melaksanakan tata cara penyelenggaraan rekam medis yang
baik sehingga bermutu dan faktual.
Pencoretan dan pemberian paraf bertujuan untuk menghindari
pemalsuan dokumen rekam medis karena sekecil apapun kesalahan
harus dihindari sebab rekam medis dapat dijadikan alat bukti dipengadilan
apabila terjadi sengketa.
3. Peyimpanan, pemusnahan dan kerahasiaan
a. Penyimpanan
Rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaan oleh dokter,
dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan. Batas waktu lama
penyimpanan dalam Permenkes No. 269 tahun 2008 paling lama 5 tahun
dan untuk penyimpanan resume rekam medis paling sedikit 25 tahun71.
Kemudian Pasal 8 Permenkes menyebutkan bahwa untuk pasien
rawat inap dirumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya 5 tahun
terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat dan apabila batas waktu itu
sudah terpenuhi, rekam medis dapat dimusnahkan kecuali ringkasan
pulang dan persetujuan tindakan medis disimpan sampai 10 tahun
terhitung dari tanggal dibuat ringkasan tersebut dan yang melaksanakan
penyimpanan ditunjuk oleh pimpinanan sarana pelayanan kesehatan.
71
Ibid,, Hal.8
Kegiatan menyimpan rekam medis merupakan usaha melindungi
rekam medis dari kerusakan fisik dan isi rekam medis yang bersifat
rahasia.
Ada 2 (dua) cara penyimpanan dalam pengelolaan rekam medis yaitu:
1. Cara sentralisasi
Cara sentralisasi adalah penyimpanan rekam medis pasien dalam
satu kesatuan baik catatan kunjungan pasien rawat jalan maupun catatan
pasien rawat inap selama seorang pasien dirawat, kedua berkas ini
disimpan dalam satu tempat rekam medis.
Kebaikan dari sistem ini adalah mengurangi terjadinya duplikasi
dalam pemeliharaan dan penyimpanan rekam medis, mudah
menyeragamkan tata kerja, peraturan dan alat yang digunakan, efisiensi
kerja petugas, pelayanan mudah
Kelemahannya adalah perlu waktu dalam pelayanan rekam medis,
ruangan yang luas, alat-alat dan tenaga yang banyak terlebih bila tempat
penyimpanan jauh terpisah dengan lokasi penggunaan rekam medis,
misalnya dengan poliklinik.
2. Cara desentralisasi
Cara desentralisasi yaitu cara penyimpanan dengan melakukan
pemisahan antara rekam medis rawat jalan/poliklinik dengan rekam medis
rawat inap. Rekam medis poliklinik disimpan di satu tempat penyimpanan,
sedangkan rekam medis penderita di rawat disimpan di bagian pencatatan
medis. Kebaikannya adalah efisiensi waktu, beban kerja petugas lebih
ringan dan kekurangannya seperti terjadi duplikasi dalam pembuatan
rekam medis, biaya dan ruang lebih banyak.
Secara teori cara sentralisasi lebih baik dari pada sistem
desentralisasi, tetapi pada pelaksanaannya sangat tergantung pada
situasi dan kondisi rumah sakit. Hal lain Karena terbatasnya tenaga yang
terampil, khususnya yang menangani pengelolaan rekam medis dan
kemampuan dana rumah sakit yang bersangkutan.72
Ketentuan dan prosedur penyimpanan rekam medis:
1. Pada saat rekam medis dikembalikan ke bagian rekam medis,
harus disortir menurut nomor sebelum disimpan. Hal ini membantu
menentukan rekam medis yang diperlukan tetapi tidak ada dalam
tempat penyimpanan dan memudahkan pekerjaan penyimpanan.
2. Hanya petugas rekam medis yang dibenarkan menangani rekam
medis, dokter, staf Rumah Sakit, dan pegawai bagian lain tidak
diperkenankan mengambil berkas rekam medis dari tempat
penyimpanan.
3. Rekam medis yang sampulnya rusak atau lembarannya lepas,
harus segera diperbaiki untuk mencegah makin rusak atau
hilangnya lembaran yang diperlukan.
4. Pengamatan penyimpanan harus dilakukan secara periodik, untuk
melihat salah simpan dan melihat kartu pinjaman rekam medisnya
masih belum dikembalikan.
72
0p.Cit ,Depkes RI, Hal .8
5. Rekam medis yang sangat tebal harus dijadikan 2 atau 3 jilid.
6. Petugas yang mengepalai kegiatan penyimpanan harus membuat
laporan rutin kegiatan yang meliputi:
a. Jumlah rekam medis yang dikeluarkan tiap hari dari rak
penyimpanan
b. Jumlah permintaan darurat
c. Jumlah salah simpan
d. Jumlah rekam medis yang tidak dapat ditemukan
Lokasi ruangan rekam medis harus dapat memberi pelayanan yang
cepat kepada seluruh pasien, mudah dicapai dari segala penjuru dan
mudah menunjang pelayanan administrasi. Alat penyimpanan yang baik,
penerangan yang baik, pengaturan suhu ruangan, pemeliharaan ruangan,
perhatian terhadap faktor keselamatan petugas, pada ruangan
penyimpanan rekam medis akan sangat membantu memelihara dan
mendorong kegairahan kerja dan produktivitas pegawai.
Adapun penyimpanan rekam medis berdasarkan tanggapan
responden pengelola rekam medis sebagai berikut:
Tabel. 4.2. Tanggapan responden pengelola rekam medis mengenai tempat penyimpanan rekam medis.
No Pernyataan Frekuensi (f) Persentase
1. Tempat
Memenuhi Syarat
Tidak memenuhi Syarat
Sebagian memenuhi syarat
3
4
4
27,2
36,4
36,4
Jumlah 11 100%
2. Waktu
< 5 tahun
≥ 5 tahun
6
5
54,54
45.46
Jumlah 11 100 %
Sumber: Data primer diolah tahun 2013
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa untuk tempat
penyimpanan 4 orang (36,4%) responden mengatakan tidak memenuhi
syarat, 4 orang (36,4%) mengatakan sebagian memenuhi syarat dan 3
orang responden (27,2 %) mengatakan memenuhi syarat. Untuk waktu
penyimpanan berkas diketahui bahwa 6 orang responden (54,54%)
mengatakan waktunya kurang dari lima tahun dan 5 orang responden
(45,46%) lima tahun atau lebih.
Pengamatan tempat diketahui bahwa masing-masing ruangan
penyimpanan, rawat jalan dan rawat inap terpisah, akses ke bagian
masing-masing mudah dijangkau dari segala penjuru layanan.
Ruang penyimpanan untuk rawat jalan luas, penerangan cukup,
tata ruang baik, rak file banyak dan lemarinya besar sedangkan untuk
ruang penyimpanan rekam medis rawat inap lebih sempit, lemari kecil,
tata ruang cukup, rak lebih sedikit karena menyesuaikan tempat, walau
demikian untuk pencahayaan kedua ruang penyimpanan cukup baik
begitu juga ventelasi udaranya. Untuk keamanan sudah cukup memadai
dimana akses hanya untuk petugas rekam medis.
Menurut Harnidah, Kepala rekam medis RSU Brigjend. H. Hasan
Basry Kab. Hulu Sungai Selatan, menjelaskan bahwa:
“tempat penyimpanan dipisahkan untuk rawat inap dan rawat jalan, untuk rawat jalan sudah memenuhi syarat seperti; ruangan besar, aman, pencahayaan cukup dan hanya petugas yang boleh masuk. Untuk rawat inap belum memenuhi ketentuan dimana ruangan kecil, lemari terbatas jadi untuk penyimpanan 5 tahun belum bisa paling 3-4 tahun, kemudian berkas dipindahkan ke tempat berkas inaktif yang cukup luas”.(wawancara, 5 April 2013)
Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry Kab. Hulu Sungai Selatan,
untuk penyimpanan rekam medis menggunakan sistem desentralisasi.
Tempat penyimpanan berkas rekam medis rawat inap belum memenuhi
standar yang ditetapkan; ruangan kecil dibanding rawat jalan sehingga
untuk menyimpan berkas rekam medis dari rawat inap tidak mencukupi
sampai batas minimal 5 tahun.
Berkas yang kurang dari 5 tahun disimpan ke tempat berkas inaktif
dengan dilakukan pemisahan sebelumnya yaitu resume medis dan
persetujuan tindakan dan berkas resume medis dan persetujuan tindakan
medis disimpan untuk waktu yang lebih lama.
Tentang cara penyimpanan rekam medis dipaparkan oleh Apip,
pengelola rekam medis sebagai berikut:
“Cara penyimpanan dilakukan setelah berkas dilakukan assembling (pemeriksaan berkas lengkap atau tidak dan diisi atau tidak) dan coding (memberi kode penyakit) dilakukan pengentrian data ke komputer, baru disimpan di bagian penyimpanan. Di bagian penyimpanan petugas mencatat berkas rekam medis yang akan disimpan seperti nama, nomor rekam medis, kemudian disimpan berdasarkan penomoran terminal digit yaitu berdasarkan angka akhir sesuai nomor rak file (10 digit, 0-9), untuk nomor rekam medis, ada 5 digit yang menjadi nomor pada berkas rekam medis. Nomor rekam medis digit terakhir disesuikan itulah yang disesuaikan dengan nomor rak tempat penyimpanan, contoh digit terakhir 4 maka kelompokkan di rak 4 sehingga memudahkan untuk dilakukan pengambilan kembali apabila diperlukan”. (wawancara, 3 April 2013)
Rasyidah, Direktur RSU Brigjend. H. Hasan Basry Kab. Hulu
Sungai Selatan menjelaskan bahwa;
“secara umum penyimpanan rekam medis sudah memenuhi standar karena ada ruangan khusus dan mempunyai rak-rak file, ruangan terpisah dan yang boleh masuk hanya petugas rekam medis”.(wawancara, 11 April 2013)
Hal yang mempengaruhi pelaksanaan aturan hukum adalah faktor
sarana dan fasilitas, dengan keterbatasan ruang penyimpanan, berikut
lemari dan rak file dibagian rawat inap menyebabkan tidak tertibnya
penyimpanan rekam medis. Jika dihubungkan dengan jumlah kunjungan
pasien yang berobat setiap bulan rata-rata antara 700 sampai 800 orang
maka berdampak pada penyimpanan berkas yang hanya 3-4 tahun
padahal sesuai ketentuan minimal 5 tahun.
Sejalan dengan itu dikatakan bahwa tanpa adanya sarana dan
fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi
yang baik, peralatan yang memadai dan keuangan yang cukup, dan
seterusnya kalau hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum
mencapai tujuannnya.73.
b. Pemusnahan
Keterkaitan penyimpanan dengan pemusnahan sangatlah erat
dimana apabila batas waktu peyimpanan sudah terlampaui maka bisa
dilakukan pemusnahan berkas rekam medis. Untuk penyimpanan berkas
rekam medis di rumah sakit sekurang-kurangnya 5 tahun , setelah itu
berkas rekam medis dapat dimusnahkan menurut ketentuan yang
ditetapkan, kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik
harus 10 tahun. Hal ini bisa dilihat dalam Permenkes No. 269 Tahun 2008
Pasal 8.
Adapun tata cara pemusnahan rekam medis sebagai berikut:
1. Rekam medis yang sudah memenuhi syarat untuk dimusnahkan
dilaporkan kepada Direktur Rumah Sakit.
2. Direktur Rumah Sakit membuat surat keputusan tentang
pemusnahan rekam medis dan menunjuk Tim Pemusnah Rekam
Medis.
3. Tim Pemusnah Rekam Medis melaksanakan pemusnahan dan
membuat Berita Acara Pemusnahan yang disyahkan Direktur
Rumah Sakit.
73 Soerjono Soekanto, 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grfindo Persada, Jakarta, Cet.ke-11, hal.37
4. Berita acara dikirim kepada pemilik Rumah Sakit dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal Pelayanan Medik.
Tim pemusnahan beranggotakan orang-orang yang ditunjuk oleh
Direktur Rumah sakit yang terdiri dari, dokter, perawat, pengelola rekam
medis, bagian administrasi dan saksi-saksi. Pemusnahan ini dilakukan
untuk efiensiensi tempat penyimpanan.
Berkaitan dengan pemusnahan rekam medis yang dilakukan di RS
BrigJend. H. Hasan Basry Kab. HSS Kalimantan selatan dapat dilihat tabel
berikut:
Tabel.4.3. Pernyataan responden pengelola rekam medis tentang pelaksanaan pemusnahan berkas rekam medis.
No. Pernyataan Frekuensi (f) Persentase
1. Pernah 0 0
2. Tidak pernah 11 100
Jumlah 11 100
Sumber: data primer diolah tahun 2013
Hasil penelitian didapatkan bahwa seluruh responden petugas
rekam medis (100%) menyatakan dirumah sakit Brigjend H. Hasan Basry
Kabupaten Hulu Sungai Selatan belum pernah melakukan pemusnahan
berkas rekam medis.
Kepala Rekam Medis, Harnidah, menjelaskan bahwa selama
sepuluh tahun terakhir belum pernah dilakukan pemusnahan berkas
rekam medis, yang dilakukan hanya memindahkan berkas rekam medis
dari berkas aktif ke inaktif dan berkas yang inaktif disimpan di tempat
khusus, cara yang dilakukan dengan memilah berkas rekam medis tahun
terakhir berkunjung, kemudian mengarsifkan resume medis dan berkas
yang sudah diambil resume medisnya disimpan di tempat berkas rekam
medis in aktif. Pedoman prosedur pemusnahan rekam medis sudah ada
tetapi dalam pelaksanaanya belum pernah dilakukan mengingat tempat
penyimpanan cukup tersedia terutama untuk penyimpanan rekam medis
inaktif (wawancara, 5 April 2013).
c. Kerahasiaan
Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 Pasal 48
ayat (1) juga menyebutkan setiap dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran,
kemudian Pasal 51 ayat C; merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia,
kemudian pada Pasal 47 ayat 2 bahwa rekam medis harus dijaga
kerahasiaannya oleh dokter dan pimpinan sarana kesehatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Pasal 1 tentang wajib
simpan rahasia kedokteran menyatakan bahwa yang diketahui orang-
orang tersebut pada waktu atau selama melakukan pekerjaan dalam
lapangan kedokteran.
Dalam Permenkes No. 269 Tahun 2008 Pasal 10 disebutkan
bahwa informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan, riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiannya
oleh dokter atau dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola
dan pimpinan sarana kesehatan.
Berdasar ketentuan di atas, rekam medis yang berisi catatan
tentang informasi identitas dan riwayat medis pasien wajib dijaga
kerahasiaannya oleh petugas kesehatan seperti dokter, perawat, petugas
rekam medis dan lainnya yang terlibat. Orang dengan gangguan mental,
pasien anak, menurunnya kesadaran, pingsan sehingga tidak bisa
bertukar pikiran maka kewajiban menyimpan rahasia tidak berlaku bagi
(orang tua, wali, pengampu).
Cara yang dilakukan yaitu dengan tidak menceritakan riwayat
kesehatan seseorang selain untuk kepentingan pengobatan, pengadilan,
atas permintaan pasien sendiri dan ketentuan undang-undang. Hal ini
tercantum dalam UUPK No.29 Tahun 2004 Pasal 48 ayat 2 bahwa rahasia
kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.
Pimpinan sarana harus menyediakan tempat khusus yang aman
terhadap akses orang yang tidak berkepentingan, hanya petugas yang
bisa mengakses rekam medis, prosedur permintaan dan peminjaman
rekam medis dibuat berdasarkan keperluan rumah sakit yang dapat
menjamin kerahasiaan rekam medis tersebut.
Untuk penelitian dan audit medis dapat dibuka dengan cara tidak
menyebut identitas. Permintaan ini dilakukan terlebih dahulu dengan
mengajukan permintaan tertulis kepada pimpinan pelayanan kesehatan
Untuk memperoleh informasi terkait kerahasiaan rekam medis
peneliti menanyakan kepada responden pengelola rekam medis sebagai
berikut:
Table.4.4.Pernyataan responden pengelola rekam medis tentang kerahasiaan rekam medis
No. Indikator Ya Tidak Jumlah
f % f % f %
1. SOP peminjaman/permintaan
11 100 0 0 11 100
2. Pelaksanaan SOP 8 72,72 3 27,28 11 100
3. Tempat penyimpanan berkas
11 100 0 0 11 100
4. Keamanan berkas RM 7 63,63 4 36,37 11 100
Sumber: data primer diolah tahun 2013.
Data menunjukan bahwa seluruh responden (100%) menyatakan
SOP peminjaman dan permintaan rekam medis sudah ada dan sebagian
besar responden (72,72%) mengatakan sudah dilaksanakan, untuk tempat
penyimpanan, seluruh responden (100%) menyatakan ada dan untuk
keamanan, seperti akses hanya untuk petugas dan terpisah dari ruangan
lain, sebagian besar responden (63,53%) menyatakan aman hanya
sebagian kecil responden (36,37%) menyatakan tidak aman.
Dari pertanyaan yang kita ajukan kepada dokter, pengelola rekam
medis, dan perawat yang berjumlah 37 orang yaitu „bagaimana anda
menjaga kerahasiaan medis” didapat hasil bahwa sebagian besar
responden 31 atau (84,6%) mengatakan tahu, caranya dengan tidak
menceritakan tentang pasien terutama riwayat kesehatannnya, kecuali
untuk pengobatan dan kepentingan hukum dan 6 orang responden atau
(15,4%) mengatakan tidak tahu. Dengan tidak mengemukakan alasannya.
Kemudian ditanyakan kepada responden apakah mengetahui
sanksi pidana bila membuka rahasia, sebagian besar responden (56,76%)
atau 21 orang tidak mengetahuinya sedangkan yang mengetahui hanya
16 orang responden (43,24%)
Analisis terhadap kerahasiaan rekam medis sudah cukup baik tapi
dengan ketidaktahuan terhadap sanksi apabila membuka rahasia pasien
bisa berakibat fatal petugas, bisa saja sewaktu-waktu secara tidak sengaja
membicarakan rahasia pasien di depan umum dan pasien tidak senang
dan dilaporkan kepada yang berwajib, dengan ketidaktahuan terhadap
adanya sanksi petugas tidak hati-hati dalam membicarakan rahasia
pasien.
Dalam pengamatan yang dilakukan ditemukan adanya berkas
rekam medis yang dibawa pasien sendiri atau keluarga waktu konsul ke
dokter spesialis mengingat jarak yang jauh, berdasarkan SOP, berkas
rekam medis dibawakan petugas ke dokter yang bersangkutan, setelah
ditanyakan kepada petugas rekam medis petugas mengatakan karena
keterbatasan petugas dan pasien yang datang banyak sehingga prosedur
dilanggar untuk mempercepat pelayanan tetapi bila pasien sedikit hal itu
tidak terjadi. Keadaan demikian dimungkinkan terjadinya kebocoran
rahasia pasien dan perlu menjadi perhatian mengingat keadaan bisa saja
dimanfaatkan oleh yang berkepentingan dengan maksud dan tujuan
tertentu untuk membocorkan rahasia, walaupun keluarga sekalipun,
mengingat kerahasian rekam medis penting dan harus benar-benar dijaga
karena berimplikasi terhadap hukum apabila terjadi pembukaan rahasia
oleh orang yang tidak seharusnya.
Apabila isi rekam medis dipaparkan tanpa izin penderita maka
penderita merasa dirugikan dan ia dapat menuntut berdasarkan Pasal 322
KUHP, Pasal 322 KUHP;
(3) Barang siapa membuka suatu rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau pekerjaannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(4) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang yang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut.
Kemudian juga bisa digugat dengan Pasal 1365 KUHPerdata
karena ada perbuatan melawan hukum, mengakibatkan kerugian dan ada
kewajiban menganti kerugian itu.
4. Pemanfaatan dan tanggung jawab
a. Pemanfaatan
Rekam medis dapat dipakai sebagai dasar pemeliharaan dan
pengobatan pasien dan sebagai dasar dalam melakukan pencatatan data
kesehatan yang akan datang. Rekam medis juga bermanfaat untuk
menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, keterampilan
tenaga kesehatan, mengukur kemampuan dokter dalam mengatasi
penyakit, tanda bukti usaha rumah sakit untuk menyebuhkan penderita,
karena merupakan rangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan rumah
sakit kepada penderita.
Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama atas segala
tindakan pelayanan, perkembangan penyakit, dan pegobatan selama
pasien dirawat, sehingga bermanfaat dalam penyelesaian masalah
hukum, disiplin dan etik, serta memberikan perlindungan hukum bagi
pasien, rumah sakit, dan tenaga kesehatan.
Tentang hal tersebut berikut beberapa penjelasan dari hasil
wawancara yang dilakukan:
Arman Dwidarma, Ketua IDI Kab. Hulu Sungai Selatan:
“Rekam medis dapat dipakai sebagai alat bukti dipengadilan saya mengetahui, itu kalau terjadi sengketa dan dilaporkan pasien, karena isinya semua yang dilakukan dokter ada dalam rekam medis jadi untuk melihat tinggal buka rekam medis disana akan ketahuan apa yang dilakukan dokter terhadap pasien”.(10 April 2013)
Rasyidah, Direktur RSU Brigjend. H. Hasan Basry Kab Hulu Sungai Selatan:
“Rekam medis bisa dipakai sebagai bukti karena rekam medis berisi semua catatan pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan baik dokter, perawat dan lainya terhadap pasien sehingga dapat terlihat apa saja yang sudah diberikan kepada pasien tersebut dan bisa dilihat secara langsung catatan tersebut apabila diperlukan terutama berkaitan dengan pengadilan”.(wawancara,11 April 2013)
Dengan pendapat ini dapat diketahui bahwa dokter dan Direktur
Rumah sakit secara garis besar sudah mengetahui fungsi rekam medis
bisa digunakan sebagai alat bukti bila terjadi permasalahan hukum,
karena rekam medis karena berisi catatan medis pasien yang mana
semua pemriksaan, tindakan dan pengobatan berikut data lainnya ada
dalam rekam medis.
Di RS BrigJend. H.Hasan Basry Kab. Hulu Sungai Selatan, untuk
kegiatan pendidikan dalam hal penelitian yang mengakses rekam medis
baik dari petugas rumah sakit yang sekolah maupun dari institusi
pendidikan rekam medis yang ada di Kalsel yang melakukan penelitian.
Semua harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh rumah sakit, seperti
melapor di bagian Diklat rumah sakit untuk meminta ijin dengan
meunnjukan rekomendasi dari insitusi pendidikan, kemudian di verifikasi
oleh bagian Diklat rumah sakit, setelah itu dimintakan persetujuan dari
bagian rekam medis sebagai bagian yang dituju, setelah ada persetujuan
dari bagian rekam medis kemudian dibuatkan surat ijin penelitian yang
ditanda tangani Direktur RS.
Untuk pelaksanaan kegiatan penelitian agar tidak mencantumkan
nama pasien kecuali inisial saja dan yang berhubungan langsung dengan
pasien di wajibkan untuk meminta persetujuan pasien sebelum dilakukan
penelitian.
Dalam hal pembayaran jasa pelayanan kesehatan di RS Brigjend.
H.Hasan Basry cukup dengan melihat data yang ada dalam rekam medis
seperti tindakan perawatan, tindakan medis, dan penunjang seperti lab,
rontgen, lama rawat dan ruangan kelas, semua sudah bisa dihitung
berapa biaya kesehatan yang harus dibayar oleh pasien. Tetapi untuk
obat terutama pasien umum pasien tetap membayar lansung diapotik,
bagi pasien peserta askes (PNS dan pensiunan) dan Pasien Jamkesda
(jaminan kesehatan daerah) tetap tidak perlu membayar. Pasien lansung
mengambil obat diapotik berdasarkan surat jaminan yang ada.
Di RS BrigJend. H. Hasan Basry Kab. Hulu Sungai Selatan sudah
melakukan kegiatan statistik kesehatan berdasarkan data yang ada di
rekam medis, seperti 10 penyakit terbanyak, jumlah pengunjung, trend
penyakit yang diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan
lainnya sebagai bahan informasi kesehatan terutama yang ada di rumah
sakit.
b. Tanggung jawab
Dalam wawancara dengan Direktur Rumah sakit diketahui bahwa
direktur mengetahui bahwa apabila ada kehilangan, pemalsuan dan
kerusakan terhadap berkas rekam medis akan menjadi tanggung jawab
pimpinan oleh sebab itu, proses pelaksanaan rekam medis diharapkan
berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan
Rumah sakit.
Berikut pendapat Rasyidah, Direktur RSU BrigJend. H. Hasan
Basry Kab. Hulu Sungai Selatan terkait hal di atas:
“Kalau terjadi pemalsuan atau kehilangan yang paling bertanggung jawab adalah direktur sebagai pimpinan secara keseluruhan tetapi tetap dimintakan pertanggung jawaban kepada dokter dan petugas rekam medis yang terlibat secara langsung dalam urusan rekam medis pasien”.(wawancara, 11 April 2013)
5. Pengorganisasian
Dalam penelitian diketahui bahwa rumah sakit sudah mempunyai
komite rekam medis. Adapun tugasnya adalah pertimbangan dalam
penyimpanan rekam medis dan menjamin semua informasi dicatat,
mengawasi terlaksananya penyimpanan, peminjaman rekam medis,
pengeluaran, pembuatan kode penyakit, pengisian rekam medis,
pengelolaan dan penyajian data dengan baik dan memberi usulan
perbaikan sewaktu waktu jika diperlukan baik pengelolaan dan pengisian.
Mengenai keberadaan komite rekam medis di rumah sakit sebagian
besar (60%) dokter sudah mengetahui walaupun baru dibentuk dan sudah
mulai berjalan dan hanya 40% yang tidak mengetahui.
Adapun unsur komite rekam medis terdiri dari dokter, perawat,
administrasi, dan pengelola rekam medis. Penetapan komite rekam medis
di tetapkan oleh Surat Keputusan Direktur.
6. Pembinaan dan pangawasan
Dalam hasil penelitian didapatkan data bahwa sebagian besar
responden (81%) atau 30 orang mengatakan tidak ada pengawasan yang
dilakukan dan hanya 7 orang responden(19%) mengatakan pernah.
Hal ini dikatakan pula oleh ketua IDI Kab. Hulu Sungai Selatan
bahwa;
“komite rekam medis sudah dibentuk, dan salah satu tugasnya adalah memberikan pengawasan secara internal lewat audit rekam medis terkait pelaksanaan rekam medis dan memberi masukkan agar rekam medis berjalan dengan baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan merupakan tanggung jawab rumah sakit untuk melakukannya, dan untuk pengawasan yang berasal dari luar rumah sakit belum pernah ada baik itu dinas kesehatan mapun dari organisasi rekam medis itu sendiri‟.(wawancara, 10 april 2013).
Terkait dengan pengawasan, di RS Brigjend. H. Hasan Basry
sudah melakukan audit rekam medis dan audit medis hanya saja mereka
tidak mengetahui esiensi dari audit itu yang berfungsi sebagai
pengawasan yang bersifat langsung terhadap rekam medis yang akan
diaudit.
Audit rekam medis berbeda dengan audit medis, walaupun ada
persamaan yaitu yang diaudit berkas rekam medis. Namun perbedaannya
audit rekam medis dilakukan oleh sub komite rekam medis, atau
penanggung jawab unit kerja rekam medis, yang terkait dengan pengisian
rekam medis sedang audit medis dilakukan oleh staf medis terkait dengan
diagnosa dan pengobatan dan menganalisisnya apakah sesuai standar
atau tidak. Dalam hal audit rekam medis sebetulnya sudah dilkukan
pengawasan tapi sebatas kelengkapan pengisian, bila ditemukan ada
berkas yang tidak lengkap maka dikembalikan kepada dokter yang
bersangkutan untuk segera melengkapi data terutama yang berkaitan data
medis pasien.
Demikian pula untuk pembinaan berupa pelatihan terkait dengan
pengisian rekam medis belum pernah dilakukan. Hal senada juga di
ungkapkan oleh Apip, pengelola rekam medis, bahwa;
“Pengawasan tidak ada, jadi kami jalan saja sesuai dengan pedoman yang ada yang kami tahu dan terkait dengan pembinaan berupa pelatihan yang berhubungan dengan rekam medis ada, yaitu dua orang dan itupun baru 2 kali mengikutinya dengan rentang waktu 2 tahun dan 3 tahun yang lain belum pernah, sebetulnya siapapun boleh mengikuti pelatihan meskipun dia tidak berpendidikan D3 perekam medis” (wawancara, 3 April 2013)
B. Pelaksanaan rekam medis di Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan
Basry Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Pada bagian ini penulis menguraikan pelaksanaan rekam medis
yang dilaksanakan oleh bagian rekam medis di RS BrigJend. H. Hasan
Basry Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Prosedur penyelenggaraan rekam medis
a. Sistem penamaan pasien
Tata cara penulisan nama pasien meliputi: nama pasien,
penulisan sesuai identitas, digunakan EYD dengan huruf cetak,
bila warga Negara Asing sesuai pasfor yang masih berlaku, bila
seorang bayi sampai pulang belum punya nama maka ditulis By .
Ny.xxx, penulisan gelar, title, jabatan, pangkat ditulis dibelakang
setelah nama, pasien yang belum teridentifikasi ditulis “NN”,
diakhir nama lengkap dan setelah tanda koma (,) ditambah Tn.
(Tuan) untuk pasien laki-laki yang sudah menikah, Ny. (Nyonya)
untuk pasien perempuan yang sudah menikah, Nn. (Nona) untuk
pasien perempuan yang belum meikah, An. (anak) untuk semua
pasien laki atau perempuan yang berumur 1 sampai 12 tahun,
dan By (Bayi) untuk pasien yang belum punya nama dan diikuti
dengan nama ibunya.
b. Sistem Identifikasi
Identifikasi pasien anak sampai dewasa dilaksanakan
berdasarkan nama lengkap pasien dan nama keluarganya dan
oleh petugas dientri ke komputer sesuai nama pada lembar
rekam medis yang selanjutnya dijadikan Insedks utama pasien.
Identifikasi bayi baru lahir dilakukan dengan mengisi kartu
identitas bayi yang diserahkan kepada orang tuanya (ayah) atau
keluarga untuk diteruskan kebagian pendaftaran. Petugas
menulis pada rekam medis rawat inap identitas pasien bayi dan
meneliti kelengkapan dan kebenaran data sebelum dientri ke
komputer, selanjutnya memasukkan data nama, tanggal lahir,
alamat dan lain-lain. Kemudian membuat sidik telapak kaki bayi
dan sidik ibu jari tangan bayi pada rekam medis. Selanjutnya
dibuatkan 2 buah gelang yang ditulis nama dan nomor rekam
medis yang dipasangkan pada bayi dan ibunya.
Untuk kelengkapan administrasi dibuatkan surat keterangan lahir
yang berisi nama bayi, nama ayah dan ibu, alamat orang tua,
waktu lahir, data bayi (berat, tinggi badan, jenis kelamin,
kelahiran tunggal atau kembar dan tanda tangan dokter atau
bidan.
c. Sistem pemberian nomor pasien
Cara pemberian nomor rekam medis adalah dengan sistem
nomor unit yaitu memberikan satu nomor rekam medis yang
dapat digunakan selamanya baik rawat jalan ,rawat inap mapun
gawat darurat.
2. Prosedur rekam medis
a. Jenis pasien yang datang ke rumah sakit
Pasien yang datang ke rumah sakit dapat dikatagorikan pasien
rawat jalan (pasien poliklinik dan pasien gawat darurat) dan
pasien rawat inap. Dari segi pelayanan Pasien yang dapat
menunggu dan pasien yang segera di tolong (gawat darurat)
.Menurut jenis kedatangan; pasien baru dan pasien lama
berdasarkan kedatangan; karena dikirim oleh dokter praktik ke
rumah sakit, dikirm rumah sakit lain, puskesmas atau pelayanan
kesehatan lain dan datang atas kemauan sendiri.
b. Prosedur penerimaan pasien
1) Penerimaaan pasien rawat jalan
a) Pasien baru
Setiap pasien baru diterima di tempat penerimaan
kemudian pasien ditanya identitas sosial pasien yang akan
diisikan pada formulir berobat jalan, setiap pasien
mendapat nomor pasien sebagai kartu kunjungan, selesai
pendaftaran pasien menunggu di poliklinik yang dituju dan
petugas mengirim berkas rekam medis ke poliklinik
tersebut. Semua rekam medis poliklinik yang telah selesai
diisi setelah pasien berobat dikembalikan ke instalasi
rekam medis.
b) Pasien lama
Pasien lama yang akan berobat membawa kartu
kunjungan, mendaftar kemudian menunggu di poliklinik
yang dituju dan petugas rekam medis mempersiapkan
berkas rekam medis kemudian dikirim ke poliklinik tujuan,
setelah selesai pelayanan berkas rekam medis
dikembalikan ke instalasi rekam medis.
2) Penerimaan pasien rawat inap
Untuk pasien rawat inap tempat pendaftaran terpisah dari
rawat jalan yang buka 24 jam. Di tempat ini pasien
memperoleh informasi tentang ruang dan kelas yang kosong.
3) Penerimaaan pasien UGD
Untuk pasien gawat darurat, pasien mendapat pertolongan
medis terlebih dahulu kemudian mendaftar dibagian rekam
medis dengan membawa formulir gawat darurat yang sudah
diisi semua tindakan dan pengobatan dan sudah ditanda
tangani oleh petugas kesehatan.
3. Pencatatan kegiatan pelayanan medis
1) Penanggung jawab pengisian rekam medis
Yang membuat rekam medis adalah dokter seperti dokter
umum, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter tamu yang
merawat pasien dan tenaga kesehatan lain seperti perawat,
bidan dan lain-lain.
2) Ketentuan pengisian rekam medis
Rekam medis harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya
setelah pasien menerima pelayanan kesehatan dengan
ketentuan:
- Setiap tindakan dan konsultasi yang dilakukan terhadap
pasien selambat-lambatnya 1x24 jam harus ditulis dalam
lembaran rekam medis.
- Semua pencatatan harus ditanda tangani oleh dokter dan
tenaga kesehatan lain sesuai kewenangannya.
- Dokter yang merawat dapat memperbaiki kesalahan
penulisan saat itu juga serta dibubuhi tanda tangan/ paraf.
- Penghapusan dengan cara apapun tidak boleh dilakukan.
4. Formulir dan cara pengisian rekam medis
1) Formulir pengisian rekam medis rawat inap
Formulir rawat inap terdiri dari:
a) Ringkasan masuk dan keluar yang berisi identitas pasien,
cara masuk dikirim oleh, serta ringkasan data saat pasien
keluar.
b) Catatan perkembangan penyakit yang ditanda tangani oleh
dokter mulai masuk, perkembangan saat perawatan
sampai pasien keluar atau meninggal.
c) Resume medis yang ditanda tangani oleh dokter yang
merawat, bagi yang meninggal cukup dibuatkan laporan
kematian.
d) Riwayat pemeriksaan fisik dan penyakit.
e) Grafik vital sign.
f) Salinan resep dan korespondensi
g) Rencana tindakan
h) Checlist terapi cairan
i) Checklist terapi oral dan injeksi
j) Asuhan keperawatan
k) Identifikasi bayi
l) Riwayat kelahiran
m) Grafik nifas dan pemeriksaan antenatal
2) Formulir rekam medis rawat jalan
Untuk rawat jalan formulirnya terdiri dari:
a) Identitas pasien
b) Formulir catatan dokter poliklinik berisi anamnesa,
pemeriksaan fisik, diagnose terapi, nama dan tanda
tangan dokter.
c) Formulir hasil penunjang medis
d) Copi resep
3) Rekam medis bayi baru lahir
Rekam medis bayi baru lahir berisi ringkasan masuk dan
keluar bayi dan riwayat kalahiran yang bertanggung jawab
mencatatnya adalah dokter yang menolong persalinannya.
5. Proses pengolahan rekam medis
1) Assembling
Melakukan perakitan berkas rekam medis yang sudah
dikembalikan unit luar rekam medis baik rawat inap maupun
rawat jalan.
Assembling rekam medis ada 2 macam yaitu :
- Untuk perakitan rekam medis rawat jalan terdiri lembaran
poliklinik dan hasil pemeriksaan penunjang.
- Untuk rawat inap perakitan berkas rekam medis meliputi;
ringkasan masuk keluar, resume kelua, riwayat pemeriksaan
fisik dan penyakit, grafik vital sign, catatan perkembangan
penyakit, salinan resep dan korespondensi, rencana
tindakan perawatan, checklist terafi cairan, checklist terafi
oral dan injeksi, asuhan keperawatan, identifikasi bayi,
riwayat kelahiran, grafik nifas, pemeriksaaan antenatal, surat
keterangan opname, surat keterangan pulang dan
pengobatan lanjutan dan masuk UGD.
2) Koding
Yaitu pemberian penetapan kode dengan menggunakan huruf
atau angka atau kombinasi huruf dan angka yang mewakili
komponen data. Kodifikasi untuk diagnose penyakit di rumah
sakit menggunakan klasifikasi penyakit ICD-10 yang
menggunakan abjad dan angka (alpha numeric), sedang
untuk tindakan/operasi menggunakan ICD-9 CM yaitu
menggunakan angka.
3) Indeksing
Yaitu membuat tabulasi sesuai dengan kode yang sudah
dibuat kedalam indeks-indeks. Adapun jenis indeks yang
dibuat adalah:
a) Indeks pasien
Berisi nama pasien yang pernah berobat di Rumah sakit.
Informasi yang ada dalam indeks ini adalah; nama
lengkap, nomor rekam medis, jenis kelamin, umur,
kelompok umur, ruang, tanggal masuk, tanggal keluar,
bulan, dokter dan alamat.
b) Indeks penyakit
Berisi kode informasi penyakit yang ada di rumah sakit.
Informasi yang ada adalah; diagnose, kode penyakit,
nomor rekam medis, jenis kelamin, kelompok umur, ruang,
tanggal, bulan, lama dirawat, diagnose sekunder, dokter
dan alamat.
c) Indeks dokter
Berisi nama dokter yang memberikan pelayanan kepada
pasien. Indeks kematian
Informasi yang ada adalah diagnose, kode penyakit,
nomor rekam medis, jenis kelamin, kelompok umur, ruang,
tanggal, bulan, lama dirawat, diagnosa sekunder, dokter
dan alamat.
4) Symbol
Tujuan untuk memperjelas rekam medis pasien pada kasus
penyakit tertentu. Seperti; DM simbolnya lingkaran biru,
hepatitis simbolnya ginjal, anemia simbolnya hati, TBC
simbolnya paru-paru, HIV/AIDS simbolnya pita merah dan
kanker simbolnya kepiting.
5) Statistik dan Pelaporan rumah sakit
Data yang diolah selanjutnya disajikan dalam bentuk narasi,
table maupun grafik.
Untuk pelaporan rumah sakit dibagi 2 kelompok yaitu;
- Laporan internal untuk mengetahui tingkat efisiensi
pengelolaan rumah sakit, mutu pelayanan, tingkat
produktifitas seperti rata rata kunjungan baru perhari dan
data morbiditas.
- Laporan eksternal untuk kebutuhan diluar rumah sakit
seperti ketanagaan yang dilaporkan setahun sekali per 15
Januari, tempat tidur berdasarkan jumlah tempat tidur
perkelas sesuai jenis pelayanan, data kegiatan pelayanan
yang diporkan setahun sekali paling lambat tanggal 15
Januari dan lain.lain.
6) Korespondensi rumah sakit
Yaitu surat menyurat yang berhubungan dengan rekam
medis, terdiri dari resume medis yaitu ringkasan kegiatan
pelayanan dari masuk sampai pulang, formulir asuransi, surat
keterangan medis untuk tugas belajar, tes kesehatan dan lain
sebagainya.
7) Analisa rekam medis
Dilakukan dengan meneliti rekam medis yang dihasilkan oleh
staf medis dan paramedis serta hasil pemeriksaan penunjang
medis sehingga kebenaran penempatan diagnosa dan
kelengkapannya dapat dipertanggung jawabkan.
Proses analisa rekam medis ada 2 macam, yaitu:
- Analisa kuantitatif, yaitu analisa terhadap jumlah lembaran
rekam medis sesuai dengan lamanya perawatan dan
dimana pasien dirawat.
- Analisa kualitatif yaitu menganalisa mutu setiap berkas
rekam medis apakah sudah sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
8) Penyimpanan rekam medis
- Sistem penyimpanan menggunakan sistem disentralisasi,
dimana rekam medis seorang pasien disimpan dalam satu
map dengan satu nomor dalam ruang penyimpanan yang
berbeda di bagian rekam medis.
- Metode penyimpanan berdasarkan angka akhir atau
Terminal Digit Filing (TDF).
- Fasilitas fisik ruang penyimpanan rekam medis areanya
bersih, rapi dengan penerangan yang cukup, tersedia tempat
untuk tracer (petunjuk keluar sebagai pengganti rekam
medis yang diambil dari tempatnya). Rak yang digunakan
adalah rak terbuka yang terbuat dari besi dan kayu, untuk
keamanan tempat penyimpanan terlindung dari api, air
(banjir dan bocor), serangga dan akses orang yang tidak
berwenang, semua pintu dalam ruang penyimpanan
terkunci, larangan merokok dalam ruang penyimpanan dan
hanya petugas RM yang boleh masuk.
9) Pengambilan rekam medis
Pengambilan berkas rekam medis oleh internal rumah sakit
(dokter, perawat dan petugas lain) dan pihak eksternal seperti
polisi dan pengadilan rumah sakit mempunyai ketentuan:
- Semua peminjaman berkas rekan medis untuk eksternal
harus seijin direktur rumah sakit
- Peminjaman berkas rekam medis oleh pihak pengadilan
harus dibawa oleh petugas rekam medis rumah sakit
- Untuk keperluan pengobatan baik untuk pengobatan lanjutan
atau rumah sakit lain, hanya berupa resume medis.
Semua permintaan rekam medis harus diajukan melalui
bagian rekam medis dengan mengisi formulir peminjaman.
Adapun ketentuan yang harus ditaati di tempat penyimpanan
adalah bahwa tidak satupun rekam medis boleh keluar dari
ruang rekam medis tanpa tanda keluar (tracer), petugas
yang meminjam berkewajiban mengembalikan dalam
keadaan baik dan tepat waktu dan rekam medis tidak
dibenarkan diambil dari rumah sakit kecuali ada perintah
pengadilan.
10) Penyusutan (retensi) dan pemusnahan rekam medis
Tata cara pemusnahan rekam medis terlebih dahulu dilakukan
penetapan jadwal retensi dari tanggal terakhir kunjungan.
- Tata cara pemindahan rekam medis aktif menjadi inaktif
Dilihat dari tanggal kunjungan terakhir, setelah 5 (lima) tahun
dari tanggal kunjungan terakhir berkas dipisahkan di ruang
lain terpisah dari berkas RM yang aktif, berkas yang inaktif
dipisahkan sesuai dengan tahun terakhir kunjungan.
- Tata cara penilaian
Berkas rekam medis yang dinilai adalah berkas rekam medis
yang telah 5 tahun yang mana pasiennya tidak berkunjung
ke Rumah Sakit. Adapun lembar rekam medis yang dipilah
yaitu ringkasan masuk dan keluar, lembar operasi, inform
consent dan lembar keterangan kematian. Untuk tim penilai
dibentuk dengan Surat Keputusan Direktur beranggotakan,
panitia rekam medis, petugas RM senior, perawat dan
tenaga lain yang terkait.
- Tata cara pemusnahan
Pertama dibentuk tim pemusnahan dari unsur rekam medis
dan tata usaha dengan Surat Keputusan Direktur Rumah
Sakit, pelaksanaan pemusnahan dilakukan dengan dibakar
bisa menggunakan incinerator atau dibakar biasa, bisa
dengan dicacah atau dibuat bubur, untuk pemusnahan yang
dilakukan pihak ketiga disaksikan oleh tim pemusnahan,
selanjutnya tim pemusnahan membuat berita acara
pemusnahan yang ditanda tangani oleh ketua dan sekretaris
dan diketahui direktur rumah sakit.
Berita acara pemusnahan RM yang asli disimpan rumah
sakit, khusus untuk arsip rekam medis yang rusak atau tidak
terbaca dapat langsung dimusnahkan dengan terlebih dulu
dibuat pernyataan tertulis oleh Direktur.
6. Informasi rekam medis
Informasi yang mengandung nilai kerahasiaan dalam rekam medis
adalah hasil pemeriksaan, diagnosa, pengobatan, observasi atau
anamnesa terhadap pasien karena bagian ini mengadung nilai medis.
Pemberitahuan tentang penyakit kepada pasien atau keluarganya menjadi
tanggung jawab dokter yang merawatnya, semua berkas rekam medis
disimpan ditempat yang aman dan hanya petugas yang berkepentingan
yang bisa masuk, bila ada pengeluaran rekam medis harus ada bukti
tertulis dalam formulir peminjam, selama pasien dirawat menjadai
tanggung jawab perawat ruangan untuk menjaga kerahasiaannya.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan rekam medis di
RS BrigJend. H.Hasan Basry Kab. Hulu Sungai Selatan belum
dilaksanakan sesuai dengan Permenkes No. 269 Tahun 2008, karena
tidak adanya sosialisasi terhadap peraturan tersebut, terutama di rumah
sakit. Hal ini sejalan dengan penjelasan Ketua IDI Kab. Hulu Sungai
selatan bahwa sosialisasi tentang Permenkes 269 Tahun 2008 tidak ada
dilakukan dan sayapun tahu pada saat persiapan akreditasi itupun hanya
garis besarnya saja, (wawancara,10 April 2013)
Pendapat serupa dikatakan oleh pengelola rekam medis (Bp. Apip)
bahwa tidak ada sosialisasi baik dari Dinas Kesehatan maupun Rumah
Sakit, hanya mengetahui waktu kuliah.
Dalam pelaksanaan aturan hukum perlu dilakukan sosialisasi yang
optimal kepada target aturan hukum. Kita tidak boleh menyakini fiksi
hukum yang menentukan bahwa semua penduduk dalam wilayah suatu
negara, dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di
negaranya. Tidak mungkin penduduk atau warga masyarakat secara
umum mampu mengetahui keberadaan suatu aturan hukum dan
substansinya, jika aturan hukum itu tidak dilaksanakan secara optimal74.
Dalam menilai apakah prilaku hukum orang-orang yang terlibat
dalam pelaksanaan ketentuan hukum sesuai dengan dengan apa yang
disyaratkan dalam dalam pelaksanaan ketentuan permenkes No.269
tahun 2008 berjalan baik, mengacu pada apa yang dikatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi perilaku hukum yang pertama adalah komunikasi
hukum (commucation of the law) dan pengetahuan hukum (knowledge of
the law) sangatlah penting. Aneh bila dikatakatan mentaati atau tidak
mentaati aturan atau menghindari aturan, tanpa kita mengetahui
sebelumnya tentang aturan yang sebenarnya.75
Peraturan harus dikomunikasikan secara baik kepada orang-orang
yang terlibat sehingga diperoleh pengetahuan sehingga diperoleh hasil
yang diharapkan dalam peraturan tersebut. Sosialisasi Permenkes No.269
74
Op.Cit, Achmad Ali, hal. 376 75
Ibid, hal.163
Tahun 2008 merupakan proses pengendalian sosial yang perlu dilakukan
untuk menunjang efektifnya fungsi hukum sebagai sosial control, agar
supaya dapat mengendalikan tingkah laku orang yang terlibat dalam
pelaksanaan rekam medis menjadi sadar akan penting sebuah peraturan.
Tidak maksimalnya sosialisasi berdampak terhadap pemahaman
terhadap suatu aturan yang diterapkan, pemahaman lahir karena
pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang terlibat dalam pengetahuan itu
semakin banyak pengetahuan yang didapatkan terhadap peraturan maka
diharapkan semakin baik pula pemahaman terhadap peraturan itu
sehingga lahir sebuah kesadaran untuk melaksanakan aturan hukum
tersebut.
Sosialisasi yang baik menyebabkan orang mengetahui akan
peraturan dan diharapkan timbul kasadaran. Kesadaran hukum lahir
karena pemahaman hukum yang baik dan pemahaman hukum dilandasi
oleh pengetahuan yang memadai. Untuk mendapatkan hal tersebut
sebelumnya harus ada sosialisasi terhadap aturan hukum tersebut.
Kesadaran hukum menurut Achmad Ali ada 2 macam yaitu:76
a. Kesadaran hukum positif, identik dengan „ketaatan hukum‟.
b. Kesadaran hukum negatif, identik dengan „ketidaktaatan
hukum‟
76
Ibid, Hal. 298
Kemudian Achmad Ali menambahkan, pengertian itu akan lebih
lengkap lagi, jika ditambahkan unsur nilai-nilai masyarakat, tentang fungsi
apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat.
Jadi kesadaran hukum yang dimiliki warga masyarakat, belum
menjamin warga masyarakat tersebut akan mentaati suatu aturan hukum
atau perundang-undangan. Ketaatan hukum adalah kesadaran hukum
yang positif, sedangkan ketidaktaatan hukum kesadaran hukum yang
negatif.77 Sebenarnya jenis ketaatan yang paling mendasar sehingga
seseorang menaaati atau tidak menaati hukum, adalah karena adanya
kepentingan.
Dalam pelaksanaan rekam medis, dokter mempunyai pengetahuan
yang cukup dan dapat merasakan manfaat rekam medis tetapi dengan
ditemukannya pendokumentasian yang tidak lengkap, bisa dikatakan
dokter mempunyai kesadaran hukum yang negatif tanpa
mengesampingkan berbagai alasan, seperti pasien banyak, sehingga
tidak punya waktu yang cukup untuk mengisi rekam medis yang lengkap.
dan kalau dilhat dari segi ketaatan hukum, dimana masih ada diagnosa
yang tidak diisi, penulis berpendapat dokter mempunyai tingkatan
ketaatan yang bersifat identification, dimana dokter hanya mentaati aturan
takut hubungan baiknya dengan pasien akan terganggu dan takut
hubungannya dengan pimpinan Rumah sakit menjadi rusak, sehingga
tetap melakukan pengisian rekam medis meskipun kenyataannya
77
Ibid, Hal. 302
ditemukan data yang tidak diisi. Penulis tidak mengatakan dokter
mempunyai ketaatan bersifat compliance, sebab sanksi yang membuat
mereka taat juga tidak diterapkan.
Hal tersebut tidak bisa dibenarkan apabila dokter mempunyai
kesadaran hukum yang positif dan mempunyai kepentingan akan hasil
dokumentasi rekam medis yang dikatakan ketaatan yang bersifat
internalization, dimana dokter melakukan karena memang sesuai dengan
sifat interinsik dokter tersebut, sebagai pedoman terapi dan sebagai alat
bukti yang menjadi pegagangan dokter bahwa sudah melakukan kegiatan
kedokterannya.
Tidak maksimalnya pelaksanaan Permenkes No 269 tahun 2008
juga di sebabkan karena fasilitas dan tenaga untuk melaksanakan aturan
itu. Menurut Selo Soemardjan78, efektifitas hukum berkait erat dengan
faktor usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu
penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga
masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati.
Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan
penegakan hukum berupa saran fisik yang berfungsi sebagai pendukung
seperti; tempat, sarana pendukung lain, tintas computer dan sebagainya.
Kerap peraturan sudah diperlukan sedangkan fasilitas pendukung
pelaksanaan aturan tersebut tidak tersedia sesuai ketentuan aturan itu.
78
Ruslan Achmad, 2011, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta, Hal.74
Hal tersebut akan menimbulkan kemacetan. Oleh karena itu fasilitas
amatlah penting untuk mendukung tegaknya suatu peraturan.
Tidak tersedianya tempat yang luas dan pendukung yang memadai
pada rawat jalan berakibat tidak maksimalnya peyimpanan, sehingga
penyimpanan rekam medis rawat inap tidak maksimal.
Manusia sebagai pelaku sangat signifikan sekali keberadaannya
baik segi jumlah maupun pendidikan, dengan jumlah dan tingkat
pendidikan yang memadai maka pelaksanaan lebih baik, terlepas apakah
perilaku orangnya itu sendiri sebagai faktor yang juga sangat menentukan.
Jumlah pengelola rekam medis seharusnya untuk rumah sakit Tipe
C sebanyak 12 orang dengan pendidikan perekam medis dan 3 tenaga
administrasi, hal ini diungkapkan oleh Bp.Apip sebagai pengelola rekam
medis. Sedangkan pengelola rekam medis di RSU Brigjend.H. Hasan
Basry berjumlah hanya 12 orang dan tingkat pendidikan hanya 2 orang D3
yang berprofesi sebagai perekam medis, 7 orang pendidikan SMA, D1 3
orang.
Dengan tidak maksimalnya fasilitas dan tenaga berakibat tidak
maksimalnya penerapan peraturan tersebut. Pemenuhan fasilitas dan
tanaga menjadi hal utama agar pelaksanaan peraturan berjalan baik.
Pengawasan dan pembinaan harus dimaksimalkan sehingga penerapan
Peraturan Menteri Kesehatan No.269 Tahun 2008 berjalan maksimal
sehingga pelaksanaan rekam medis lebih bermutu.
Pengawasan dan pembinaaan diarahkan untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan termaktub pada pasal 16 ayat 2 Permenkes No. 269
tahun 2008, dan orang yang diberikan kewenangan dapat mengambil
tindakan administratif sesuai dengan kewenangannya, tindakan
administratif adalah berupa teguran lisan dan tertulis dan pencabutan ijin
sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Pengawasan yang dilakukan untuk memonitor seberapa efektif
pelaksanaan rekam medis di lapangan disesuaikan dengan kondisi
lapangan yang ada agar dapat dimaksimalkan kegunaannya.
Menurut Anggraini, tujuan pengawasan adalah melakukan
pencegahan agar tidak terjadi sesuatu yang diinginkan, kenyataan tidak
dilakukannya pengawasan akan mengindikasikan peraturan tidak berjakan
semestinya79
Pengawasan oleh Dinas Kesehatan kabupaten Hulu Sungai
Selatan Kalsel belum dilakukan sehingga pelaksanaan rekam medis tidak
sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UU No.29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran terutama pasal 46 bahwa setiap dokter atau dokter gigi
wajib membuat rekam medis, rekam medis harus segera dilengkapi
setelah pasien selesai menrima pelayanan dan semua catatan harus
diberi tanda tangan, paraf dan nama orang yang member palayanan.
Begitu juga tentang aturan Permenkes No. 269 Tahun 2008 tentang
rekam medis terutama Pasal 2 Ayat (1), yang menyebutkan bahwa rekam
79
Anggraini jum, 2012. Hukum administrasi Negara, Penerbit Graha ilmu Yogyakarta
medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas. Ketentuan sanksi
terhadap dokter yang sengaja tidak membuat rekam medis berupa pidana
kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak 50 juta rupiah
dan dalam Permenkes yang hanya berupa teguran lisan, tertulis dan
sampai pencabutan izin belum pernah dilakukan oleh pihak terkait,
sehingga pelaksanaan rekam medis yang merupakan bukti pelayanan
pasien tidak berjalan dengan baik.
Salah satu instrument penengakan hukum administrasi Negara
meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan
langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan
sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. 80.
Sanksi dalam hukum administrasi yaitu diartikan sebagai alat kekuasaan,
yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah
sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat
dalam norma hukum administrasi negara.
Senada dengan Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa tidak
ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan
bagi warga ke dalam suatu peraturan perundang-undangan, manakala
aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha negara,
maka salah satu cara yang dapat memaksakan adalah sanksi. Salah satu
80
H.R Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet. ke-
7 hal.296
instrument untuk memaksakan tingkah laku para warga adlah dengan
sanksi81
Peraturan pelaksanaan rekam medis akan akan efektif bila ada
kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut karena diatur dan
diancamkan dengan adanya sanksi begitu juga dengan para petugas yang
mengakan peraturan tentang pelaksanaan rekam medis yang baik dan
benar.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan Achmad Ali,82 tentang
efektifitas hukum adalah Kemungkinan bagi penegak hukum untuk
memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut,
adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan
diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati,
oleh karenanya dimungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan
(penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman dan Efektif
tidaknya suatu aturan hukum secara umum, tergantung pada optimal dan
professional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan
berlakunya aturan hukum tersebut.
Menurut penulis pengawasan yang dilaksanakan efektif jika
dilakukan terus-menerus dan langsung ditempat pelaksanaan kegiatan
rekam medis baik terhdap dokter atau tenaga kesehatan lain, sehingga
apabila terdapat kekeliruan akan cepat bisa diatasi, dan apabila tidak bisa
81
Ibid, H.R Ridwan hal.298 82
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), KencanaPrenada Media Group, Jakarta, Cetakan ke-3. Hal. 298
diatasi secara bijak maka bisa diambil kebijakan dengan mengenakan
sanksi, karena tiap peraturan tanpa adanya sanksi maka tidak akan jalan,
sanksi yang diterapkan bersifat adminitratif, berupa peringatan lisan dan
tertulis hingga pencabutan ijin seperti tercantum dalam Permenkes No.
269 tahun 2008 pasal 17 ayat 2
C. Tanggung Jawab Hukum Dokter Dalam Pelaksanaan Rekam
Medis
Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan dan sebagainya).83
Dalam pengertian hukum, tanggung jawab berarti keterikatan.
Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap
ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya.
Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum terbagi 3 (tiga)
bagian, yaitu tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum perdata,
tanggung jawab pidana dan tanggung jawab hukum administrasi.
Kewajiban dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan untuk
membuat rekam medis menjadi tanggung jawab, arti tanggung jawab
adalah bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang
perbuatannya.84 Dalam membuat rekam medis dokter harus mematuhi
aturan pembuatan rekam medis yang baik, termasuk kelengkapan isi,
83
Op. Cit,HR Ridwan, hal.318 84
Effendi Erdianto, 2011, Hukum Pidana Indonesia,suatu pengantar, PT. Refika Aditama,
Bandung, Hal. 109
validitas dan kerahasiaan, hal ini terkait dengan manfaat dari rekam medis
tersebut.
Adapun tanggung jawab hukum dokter dalam pelaksanaan rekam
medis di rumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab Kerahasiaan rekam medis
Dari segi hukum kesalahan atau kelalaian selalu berkait dengan
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan yang dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang dikatakan
mampu bertanggung jawab apabila dapat menginsafi makna yang
senyatanya dari perbuatannya, dapat menginsafi perbuatan itu tidak
dipandang patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu menentukan
niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut. Suatu
perbuatan dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila memenuhi
rumusan delik pidana yaitu perbuatan harus perbuatan tercela dan
dilakukan oleh sikap batin yang salah berupa kesengajaan, kecerobohan
dan kealfaan.85
Rekam medis merupakan salah satu unsur dalam “trilogi rahasia
medis”. Data yang terdapat pada berkas rekam medis bersifat rahasia
(confendential). Karena hubungan dokter dengan pasien bersifat pribadi
85
Syahrul Machmud, 2012, Penegakan hukum dan Perlindungan hukum bagi dokter yang
diduga melakukan medical malpraktik, Cv. Karya Putra Darwati, Bandung, Hal.150-151
dan khusus, maka segala sesuatu yang dipercayakan pasien kepada
dokternya harus dilindungi terhadap pengungkapan lebih lanjut.86
Informasi yang mengandung nilai kerahasiaan dalam rekam medis
adalah hasil pemeriksaan, diagnosa, pengobatan, observasi atau
anamnesa terhadap pasien karena bagian ini mengadung nilai medis.
Pemberitahuan tentang penyakit kepada pasien atau keluarganya
menjadi tanggung jawab dokter yang merawatnya, semua berkas rekam
medis disimpan ditempat yang aman dan hanya petugas yang
berkepentingan yang bisa masuk, bila ada pengeluaran rekam medis
harus ada bukti tertulis dalam formulir peminjam, selama pasien dirawat
menjadi tanggung jawab perawat ruangan untuk menjaga kerahasiaannya.
Dalam UUPK N0.29 Tahun 2004 Pasal 48 ayat (1) menyebutkan
bahwa Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Ayat (2) Rahasia
kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.
Pasal 51 UUPK Ayat (c); merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia.
86
Op.Cit Guandi. J, hal 22
Pada UUPK No.29 Tahun 2004 Pasal 47 ayat (2) yaitu; Rekam
medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter
gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Dalam Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Pasal 10 disebutkan
bahwa informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan, riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiannya
oleh dokter atau dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola
dan pimpinan sarana kesehatan.
Dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 57 ayat
(1) menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas rahasia kondisi
kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara
pelayanan kesehatan; (2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi
kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
dalam hal: perintah undang-undang;perintah pengadilan;izin yang
bersangkutan; kepentingan masyarakat; atau kepentingan orang tersebut.
Kerahasiaan rekam medis merupakan faktor yang terpenting yang
harus dipegang oleh dokter karena dokterlah yang berhubungan langsung
melakukan pemeriksaan dan terapi terhadap pasien, semua harus dicatat
dalam rekam medis karena rekam medis merupakan kumpulan catatan
tentang kesehatan pasien dan menjadi kewajiban dokter untuk
menjaganya karena mereka diamanatkan oleh undang-undang.
Seorang dokter dapat secara sengaja membuka rahasia pasien (isi
Rekam Medis) dengan cara menyampaikannya secara langsung kepada
orang lain. Akan tetapi ia dapat juga membukanya secara tidak sengaja,
yaitu ketika ia membicarakan keadaan pasien dengan petugas kesehatan
lain didepan umum atau jika ia menaruh Rekam Medis secara
sembarangan sehingga orang yang tidak berkepentingan dapat
melihatnya.
Kaitan dengan kerahasiaan ini didapatkan kenyataan bahwa
adanya berkas rekam medis yang dibawa oleh keluarganya atau orang
dekat pasien untuk diantar langsung ke dokter yang bersangkutan saat
akan melakukan konsultasi terutama pasien rawat jalan, dalam protap
yang membawa berkas rekam medis adalah petugas rekam medis atau
perawat yang bekerja pada poli tersebut, setelah ditanyakan kepada
petugas hal ini karena keterbatasan tenaga dan kasuistis, peneliti
berpendapat hal ini berpotensi terjadinya kebocoran rahasia medis yang
oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dan bila memang terjadi maka
dokter dan rumah sakit bertanggung jawab terhadap hal tersebut karena
dokter dan rumah sakit sebagai insitusinya dianggap telah lalai menjaga
kerahasiaan rekam medis.
Sanksi Pidana
Adapun apabila memang terjadi pembukaan rahasia tanpa
persetujuan pasien dan mereka mengganggap itu merugikan maka yang
dianggap membocorkan rahasia bisa dikenakan Pasal 332 KUHPidana
yaitu;
(1) Barang siapa membuka suatu rahasia yang wajib disimpan
karena jabatan atau pekerjaannya baik yang sekarang maupun
yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama
Sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang yang tertentu,
maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang
tersebut.
Pasal ini berlaku bagi orang yang membocorkan rahasia
pekerjaannya maupun rahasia jabatan (dan atau rahasia jabatan) baik
yang sekarang maupun yang telah lalu, karena dia pindah pekerjaan atau
telah pensiun.
Pada Ayat (2) merupakan delik aduan, dimana perkara itu tidak
dapat diusut tanpa pengaduan dari orang yang dirugikan. Pengaduan itu
dapat dicabut kembali, selama belum diajukan ke sidang pengadilan.
Namun demikian, pada Pasal 4 Penjelasan PP Nomor 10 Tahun 1966
disebutkan bahwa : ” Demi kepentingan umum Menteri Kesehatan dapat
bertindak terhadap pembocoran rahasia kedokteran, meskipun tidak ada
suatu pengaduan. Contoh seorang pejabat kedokteran berulangkali
mengobrolkan di depan orang banyak tentang keadaan dan tingkah laku
pasien yang diobatinya. Dengan demikian la telah merendahkan martabat
jabatan kedokteran dan mengurangi kepercayaan orang kepada pejabat-
pejabat kedokteran.
Sanksi Perdata.
Apabila pembocoran rahasia tentang penyakit pasien termasuk
data-data medisnya, mengakibatkan kerugian terhadap pasien, maka
dokter atau rumah sakit, dimana terjadi kebocoran dapat digugat secara
perdata untuk mengganti kerugian karena sudah lalai dalam menjaga
kerahasiaan pasien. Dan bagi orang yang membocorkan dapat digugat
untuk mengganti kerugian. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Tentang
Kesehatan dan KUHPerdata.
Pasal 58 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya.
. Pasal 1365 KUHPerdata. “Setiap perhuatan melanggar hukum
yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang
karena kesalahannya yang mengakibatkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut “.
Pasal 1366 KUHPerdata. “Setiap orang bertanggung jawah tidak
saja atas kerugian karena perbuatannya, tetapi juga alas kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya “.
Kemudian Pasal 1367 KUHPerdata,”Seorang tidak saja
bertanggung jawah untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-
barang yang dibawah kekuasaannya“. Adapun maksud Pasal 1367
KUHPerdata ini adalah apabila seorang bawahan melakukan kesalahan,
maka yang digugat adalah atasannya. Hal ini disebut dengan tanggung
jawab atasan, sedangkan pidananya ditanggung sendiri oleh yang
bersangkutan.
Sanksi Administratif.
Sanksi administratif untuk tenaga kesehatan sehubungan dengan
peraturan tentang rekam medis diatur dalam Pasal 17 Permenkes No. 269
Tahun 2008 bahwa tindakan administratif dapat dilakukan oleh menteri,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka
pembinaan dan pengawasan dan sanksinya berupa teguran lisan, teguran
tertulis sampai pencabutan izin.
Walaupun diatur mengenai kerahasiaan rekam medis tetapi juga
diatur tentang kewajiban membuka rahasia terdapat pada;
- UUPK No. 29 Th 2004 Psl 48 ayat 2 menyebutkan bahwa rahasia
kedokteran dapat dibuka yaitu untuk kepentingan pasien,
memenuhi permintaan penegak hukum atas perintah pengadilan,
permintaan pasien, ketentuan Undang-Undang.
- Permenkes No.269 Th 2008 Pasal 10 ayat (2) Informasi tentang
identitas, diagnosis, riwayat penyakit dan pengobatan dapat dibuka
dalam hal; untuk kepentingan kesehatan, permintaan penegak
hukum atas perintah pengadilan, permintaan pasien/persetujuan,
pendidikan dan penelitian dan audit medis tapi tidak menyebut
identitas dan ayat (3) harus dilakukan tertulis kepada pimpinan
sarana kesehatan.
- Pasal 11 Permenkes 269 Tahun 2008 menyebutkan, penjelasan
tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi yang merawat pasien dengan ijin tertulis pasien
berdasarkan peraturan perundang-undangan, Pimpinan sarana
pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara
tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa ijin pasien
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pihak ketiga, seperti keluarga, kuasa hukum, asuransi dan polisi,
pengadilan harus memperlhatkan surat kuasa (tertulis) dari pasien
bila ingin memiliki rekam medis.
Kerahasian tidaklah bersifat mutlak, dalam situasi tertentu hal
tersebut dapat dilakukan melalui hal berikut:87
a. Persetujuan pasien
Orang yang paling mempunyai hak mengenai penyimpanan
rahasia medis ini adalah pasien. Pasienlah satu-satunya yang
paling berhak untuk menentukan boleh tidaknya isi rekam medisnya
diungkapkan.
87
Ibid, hal. 100
Persetujuan yang diberikan pasien dapat diberikan secara
tegas maupun secara diam-diam, namun harus mencerminkan
untuk itu. Persetujuan secara diam-diam dianggap sudah diberikan
oleh pasien yang keadaan kesehatannya dan pengetahuan lain
tentang dirinya dibicarakan dalam kalangan tertentu secara rahasia,
misalnya dalam sebuah tim dan berlaku juga waktu
memberitahukan keadaan pasien kepada keluarga terdekatnya.
b. Apabila peraturan perundang-undangan mewajibkan
pengungkapan informasi tersebut.
Ketentuan undang-undang yang memotong kewajiban
menyimpan rahasia dengan memerintahkan diumumkannya
keadaan dan peristiwa medis seperti keterangan meninggal,
laporan kelahiran, pelaporan penyakit menular dan lain-lain.
Kewajiban tersebut dituangkan dalam undang-undang karena
terlibat kepentingan-kepentingan besar.
c. Informasi dapat diberikan kepada anggota terdekat jika
menurut pendapat dokter atas pertimbangan medis adalah
tidak bijaksana untuk secara langsung memberikan informasi
itu kepada pasiennya.
d. Kewajiban terhadap kepentingan masyarakat.
Pasal 11 Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan No.6 tahun
1963, menyebutkan dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan peraturan perundang-undangan
yang lain, terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan
administratif dalam hal sebagai berikut:
1. Melalaikan kewajiban
2. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kesehatan baik mengingat sumpah jabatannya
maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.
3. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-
undang ini.
2. Tanggung Jawab Perdata Dalam Transaksi Terapeutik
Hubungan antara pasien dan dokter adalah transaksi terapeutik,
bila dipandang dari sudut hukum hubungan ini termasuk perikatan ikhtiar,
oleh karena itu prestasi yang diwujudkan dokter adalah ikhtiar semaksimal
mungkin dalam batas keahliannya untuk menyembuhkan pasien.
Sepanjang tindakan itu dilakukan oleh dokter berdasar keahlian dan
pengetahuannya maka dianggap sah tindakan yang dilakukannya.
Hubungan dokter dan pasien mempunyai aspek yuridis dimana pasien
dan dokter mempunyai tanggung jawab akibat adanya hubungan hukum
dalam perjanjian tersebut.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien termasuk dalam
perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, seperti dalam Pasal 1601
KUHPerdata bahwa perjanjian dimana suatu pihak menghendaki pihak
lawannya dilakukan suatu pekerjaan dengan imbalan upah, sedangkan
apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali
terserah kepada pihak lawannya.
Dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang
mempunyai kebebasan berkontrak atau perjanjian dalam bentuk apapun.
Termasuk didalamnya adalah perjanjian untuk melaksanakan jasa tertentu
berdasarkan keinginan para pihak. Jadi yang diperjanjikan boleh apa saja
asal tidak berisi yang melanggar ketertiban dan kesusilaan.
Dalam perikatan minimal harus ada dua pihak yang mengikatkan
diri yang disebut subjek perikatan, yaitu pihak yang berhak menuntut
sesuatu atau kreditur dan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan
atau debitur.
Tujuan dari perikatan berupa pelaksanaan prestasi dari debitur
terhadap kreditur. Prestasi adalah suatu yang menjadi hak atau yang
dapat dituntut kreditur yang menjadi kewajiban debitur untuk
memenuhinya. Debiturnya adalah dokter dan kriditur adalah pasien. Jadi
prestasi adalah segala sesuatu yang telah diperjanjikan antar pihak dalam
suatu perikatan.
Dalam Pasal 1233 KUHPerdata yaitu tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan dan baik karena undang-undang. Hubungan
hukum antara perjanjian dan perikatan dapat dikemukakan bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih
sehingga timbul hubungan hukum berupa perikatan yang dilahirkan dari
suatu perjanjian.
Objek perikatan adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau
untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1235 KUHPerdata), bila dihubungkan
perjanjian antara pasien dan dokter adalah inspanning verbintenis artinya
dokter akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi suatu
prestasi, berhasil tidaknya tidak ditentukan oleh hasil.
Dalam KUHPerdata, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat
syarat yaitu, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan
untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal. Jadi perjanjian antara dokter dan pasien sah karena memenuhi
syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu;
- Kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya
Adanya kesepakatan kedua belah pihak antara dokter dan pasien,
bilamana pasien datang ke dokter dan mengemukakan masalahnya maka
dokter akan bertindak sesuatu terhadap pasein sesuai dengan keahlian
dan kewenangannya, dengan tujuan menolong atau memberi jasa kepada
pasiennya.
- Kepantasan membuat suatu perikatan
Sebagai orang yang ahli dan terdidik dalam bidang kesehatan
dokter pantas dan berhak untuk menawarkan jasanya dan pasien berhak
mengadakan perikatan karena telah pantas. Pada dasarnya setiap orang
yang sudah dewasa, atau akil balig dan sehat pikirannya. Pengecualian
dalam Pasal 1330 KUHPerdata adalah yang tidak pantas membuat
perjanjian adalah belum dewasa (belum 21 tahun dan belum kawin,
dibawah pengampuan)
- Suatu hal tertentu
Adalah suatu hal tertentu yang memuat hak dan kewajiban kedua
belah pihak antara dokter dan pasien untuk melakukan suatu prestasi.
Adapun tujuan yang ingin kesembuhan pasiennya.
- Suatu sebab yang halal
Sebab yang halal yaitu tidak bertentang dengan hukum, ketertiban
umum dan norma kesusilaan di masyarakat. Dalam hubungan dokter dan
pasien, yang menghalalkannya adalah dokter menolong pasien sesuai
dengan kemampuan dan kewenangannya serta sudah menjadi tugas
dokter dan kewajibannya berdasar kemanusiaan.
Dengan dipenuhinya syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka
isi perjanjian mengikat para pihak yaitu dokter dan pasien sebagai
Undang-undang, perjanjian tidak dapat ditarik sepihak tanpa ijin dari pihak
lain dalam hal ini dokter dan pasien, perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikat baik, artinya harus jujur,dan segera oleh para pihak (dokter dan
pasien).
Sebagaimana sebuah perikatan, dalam transaksi terapeutik juga
terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau
perjanjian yaitu dokter/ rumah sakit sebagai pihak yang memberikan atau
melaksanakan pelayanan medis dan pasien sebagai orang yang
menerima pelayanan medis. Khasnya perjanjian terapeutik adalah tentang
cara atau ikrar mereka mengadakan perjanjian, yaitu bahwa dengan
kedatangan pasien ke rumah sakit tempat dokter bekerja, dengan tujuan
untuk memeriksakan kesehatannya atau untuk berobat, telah dianggap
sebagai suatu perjanjian terapeutik.
Hubungan hukum bersumber dari kepercayaan pasien terhadap
dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan terhadap
tindakan medis yang diberikan kepadanya, namun ada kondisi lain yang
memungkinkan adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien yaitu
keadaan pasien yang sangat mendesak untuk mendapatkan pertolongan
dari dokter88
Hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan dokter atau rumah
sakit termasuk perjanjian pada umumnya Pasal 1234 BW bahwa tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
tidak berbuat sesuatu. Dalam perjanjian ini kewajiban dokter melakukan
sesuatu sehingga pasien mendapatkan kesembuhan. Tindakan utamanya
memberikan pelayanan kesehatan yang diantaranya adalah informed
consent yang ada dalam rekam medis yang merupakan hal nyata dalam
perjanjian
Sebagai suatu perjanjian hubungan hukum antara dokter atau
rumah sakit dan pasien harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, seperti
Pasal 1320 BW, yaitu; adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan
88
Op.Cit. Widaningsih, Y.dan Ilyas,.hal. 28-29
dirinya, kecakapan para pihak untuk membuat perikatan/ melakukan
kesepakatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Dengan demikian akan melahirkan hak dan kewajiban para pihak yaitu
kewajiban dan hak yang harus dilakukan oleh dokter dan pasien, dokter
harus melaksanakan kewajibannya memberikan pelayanan sesuai standar
yang ditetapkan praktik kedokteran begitu juga pasien.
a. Wanprestasi
Dalam pengertian wanprestasi disebutkan ada 4 suatu perjanjian
seseorang dikatakan wanprestasi apabila; tidak melakukan yang
disanggupi akan dilakukan; terlambat melakukan apa yang dijanjikan akan
dilakukan, melaksanakan apa yang dijanjikan; tetapi tidak sesuai dengan
yang dijanjikan; melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Apabila terjadi wanprestasi atau ingkar janji maka secara teori yang
dituntut adalah; pemenuhan perikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti
rugi, ganti rugi, pembatalan persetujuan timbal balik dan pembatalan
dengan ganti rugi.
Untuk terjadinya wanprestasi terdapat dua syarat, yaitu :
- Syarat materiil, yaitu adanya
1) Kesalahan atau schuld.
Kesalahan atau kesengajaan dalam hal ini pihak yang tidak
melaksanakan prestasi tersebut tahu bahwa perbuatan yang
mengakibatkan tidak terlaksananya suatu prestasi itu merugikan
orang lain.
2) Kelalaian, dalam kelalaian pihak yang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan tidak terjadinya prestasi tidak tahu bahwa akibat
yang merugikan tersebut akan timbul.
- Syarat formil,
1) Pihak yang melaksanakan prestasi tersebut diingatkan untuk
melaksanakan prestasinya tersebut.
2) Tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap tenaga
kesehatan/penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
dari kesalahan atau kelalaian. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan
tuntutan adalah sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata.
Berkaitan dengan gugatan seseorang dalam hal wanprestasi ada
beberapa hal yang perlu diketahui:
1) Hanya dapat ditujukan pada pihak dalam perjanjian teraupetik atau
perjanjian pengobatan.misalnya: dokter dengan pasien di tempat
praktik pribadi, dokter dan pihak rumah sakit dalam hal dokter
bekerja di rumah sakit swasta
2) Kewajiban pembuktian dalam gugat wanprestasi dibebankan
kepada si penggugat (pasien) yang menggugat wanprestasi dokter
atau rumah sakit akibat tidak memberikan pelayanan yang
memadai menurut standar profesinya sehingga pasien menderita
kerugian. Kewajiban pembuktian ini sangat menyulitkan penggugat
karena ia orang awam yang tidak mengetahui standar profesi
medis.
3) Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum juga menimbulkan suatu perikatan yaitu
perikatan yang bersumber pada undang -undang. Dalam perikatan ini hak
dan kewajiban para pihak tidak ditetapkan berdasarkan kesepakatan
diantara mereka melainkan diatur oleh undang-undang. Ketentuan-
ketentuan yang mengatur adalah :
1) Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar atau melawan hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
2) Hal tersebut diperluas dengan Pasal 1366
“Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya tetapi juga kerugian yang diakibatkan kelalaian
atau kurang hati-hati.”
3) Rumusan di atas kemudian diperluas dengan Pasal 1367 :
“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya sendiri tetapi juga untuk perbuatan orang –
orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang yang
berada dibawah pengawasannya”
Unsur- unsur perbuatan melawan hukum adalah:
a) Melanggar hak orang lain.
b) Bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat
c) Berlawanan dengan kesusilaan
d) Tidak sesuai dengan kepatutan dan kecermatan tentang diri atau
orang lain dalam pergaulan masyarakat
Untuk membuktikannya harus;
a) Ada perbuatan; perbuatan melawan hukum dalam arti luas
b) Adanya kesalahan dari pihak yang berbuat; dapat berupa
kesengajaan atau kelalaian
c) Perbuatan itu menimbulkan kerugian pada si penggugat/pasien
d) Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum
tersebut dengan kerugian yang diderita oleh pasien (causa efisien;
sebab yang menimbulkan akibat).
Salah satu kewajiban yang dilakukan oleh dokter dalam
memberikan pelayanan adalah membuat rekam medis seperi amanat
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004, tentang Praktik Kedokteran terutama
Pasal 46 ayat (1) bahwa dokter dan dokter gigi wajib membuat rekam
medis dalam menjalankan praktik kedokteran, dalam membuat rekam
medis dokter juga diharuskam membuat sesuai dengan standar yang
terdapat dalam permenkes No. 269 Th 2008 dimana disebutkan bahwa
rekam medis yang dibuat minimal harus memenuhi seperti pada rawat
jalan, inap dan UGD, dan dalam membuat rekam medis dokter juga harus
membuat rekam medis segera setelah memberikan pelayanan
kedokterannya sesuai dengan pembuatan rekam medis yang baik dan
benar.
Untuk memenuhi kewajiban itu dokter harus secara cermat akurat,
dan aktual dalam membuatnya karena catatan dokumen itu akan
dipertanggungjawabkan dokter sebagai orang yang bertanggung jawab
terhadap rekam medis pasien walaupun pada dasarnya ada juga isian
dalam rekam medis yang dilakukan oleh bagian perawatan dan petugas
kesehatan lain yang terlibat, Jadi secara singkat siapapun yang mengisi
rekam medis tetap dokterlah yang bertanggung jawab terhadap semua isi
yang ada dalam rekam medis.
Kaitan dengan pasien yang mempunyai hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dan asuhan keperawatan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi kedokteran dan profesi keperawatan serta hak
untuk menentukan nasibnya sendiri dan kewajiban dokter adalah wajib
memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
menghormati hak-hak pasien, dokter wajib membuat rekam medis yang
baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien, dokter
wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati atau perjanjian yang telah
dibuatnya.
Hak pasein lainnya adalah mendapatkan isi rekam medis dan
menurut hemat saya isi rekam medis yang baik tergantung dari
kelengkapan isinya dan keakurasian pada saat melakukan pengisian,
sehingga isi yang diberikan yang merupakan hak pasien dapat
dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu kelengkapan dan keakuratan
dokumen merupakan keharusan yang harus dipenuhi, apabila hal itu tidak
dilakukan oleh dokter maka dokter bisa dikatakan telah melalaikan
kewajibannya dan melanggar hak-hak pasien terutama dalam memberikan
pelayanan sesuai standar sedangkan dokter mempunyai kewajiban untuk
melakukan pelayanan yang sesuai standar.
Berdasar hasil penetian didapatkan ada rekam medis yang tidak
ada diagnosa, tanda tangan dan nama terang dokter, dan data umum dan
data sosial yang tidak lengkap sehingga bisa dikatakan dokter tidak
memberikan pelayanan kedokteran yang standar. Berbagai alasan yang
dikemukakan dokter, seperti pasien yang banyak dan waktu yang sedikit
sehingga tidak sempat menulis rekam medis sesuai aturan bukan menjadi
alasan pembenar sehingga tidak mengisi rekam medis minimal yang
disyaratkan.
Tidak adanya diagnose akhir yang wajib harus ditulis dokter, hal ini
bisa berakibat pada kesalahan pengobatan dan pengulangan
pemeriksaaan untuk menetapkan diagnosa lagi bagi dokter selanjutnya
sehingga menambah hari rawat begitu pula biaya yang harus dikeluarkan
oleh pasien dan seterusnya apabila itu terjadi dan menyebabkan kerugian
terhadap pasien maka dokter dalam hal ini sudah melakukan perbuatan
melanggar hukum dimana dalam KUHPerdata Pasal 1365 menyebutkan
bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut. Dokter dan rumah sakit
bertanggung jawab apabila ada tuntutan dari pasien.
Seorang dokter apabila sudah dinyatakan melakukan kesalahan
dan apakah ia harus membayar ganti rugi atau tidak, maka harus terdapat
hubungan erat antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkannya.
Dalam kaitannya dengan rekam medis apabila dokter karena akibat
kesalahannya tidak menulis diagnosa dan dengan demikian pasien
tersebut dilakukan pemeriksaaan awal yang menyebabkan ia lebih lama
dirawat sehingga biaya yang dikelurkan lebih besar dan apabila ada
hubungan yang erat diantaranya maka pasien dapt meminta pergantian
kerugian tersebut.
Berdasar pada Pasal 1366 KUHPerdata, seorang dokter dapat
dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan kerugian, hal tersebut
berbunyi” setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Dalam hal rekam medis apabila dokter melakukan kelalaian lupa
menulis pemeriksaan, diagnose dan yang berhubungan dengan tindakan
medis dan karena kelalaian itu menyebabkan terjadinya salah pengobatan
yang menyebabkan pasien cacat maka dapat menutut ganti rugi atas
perbuatan dokter tersebut dan salah satunya dibuktikan dengan rekam
medis yang dibuat.
3. Tanggung Jawab Administrasi
Tanggung jawab hukum pada bidang administrasi yang dinilai dari
sudut kewenangannya, yaitu apakah dokter itu berwenang atau tidak
melakukan sesuatu yang akan ia lakukan terhadap pasiennya.
Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter
melanggar hukum tata usaha Negara, contohnya adalah dokter
menjalankan praktik tanpa ijin, melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan ijin yang dimiliki, menggunakan ijin yang sudah tidak berlaku.
Dalam melakukan praktik dokter diperlukan berbagai persyaratan,
salah satu persyaratan yang paling penting adalah adanya Surat Tanda
Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) sebagai dokter
Bagi dokter PNS maupun yang bukan PNS, dalam hubungannya
dengan tugasnya untuk menjalankan pelayanan kesehatan terhadap
pasien, mereka berhak menjalankan otonomi profesi, tetapi ia harus
menjalankan standar profesi.
Kaitan dengan rekam medis bahwa yang membuat rekam medis
adalah dokter atau dokter gigi. Sebelum melakukan praktik
kedokterannya, dokter tersebut harus sudah memiliki Surat Izin Praktik
(SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR), sebagai salah satu syarat
dimana seorang dokter itu dianggap sah melakukan praktik
kedokterannya, dan salah satu kegiatan praktik kedokterannya dokter
diwajibkan untuk membuat rekam medis. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa yang berhak membuat rekam medis adalah dokter yang
secara administrasi sudah mempunyai surat tanda registrasi dan surat ijin
praktik agar setiap catatan yang ada dalam dokumen rekam medis itu
dianggap legal menurut pekerjaannya dan legal menurut orang yang
membuatnya sehingga rekam medis yang dibuat oleh dokter tersebut
dapat dipertanggung jawabkan secara admininistrasi.
Registrasi dalam ketentuan umum UUPK No.29 tahun 2004 Pasal 1
adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu
lainnya serta diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya
dan Surat Tanda Registrasi (STR) adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter atau dokter gigi yang
sudah diregistrasi. Masa berlaku STR 5 tahun.
Persyaratan untuk mendapat STR adalah memiliki ijazah dokter,
memiliki surat telah mengucapkan sumpah, surat keterangan sehat fisik
dan mental, meiliki sertifikat kompetensi dan membuat pernyataan akan
mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Surat Izin Praktik (SIP) adalah bukti tertulis yang diberikan
pemerintah kepada dokter atau dokter gigi yang akan menjalankan praktik
kedokteran setelah memenuhi persyaratan. Adapun persyaratan untuk
mendapatkan SIP seperti dalam pasal 38 UUPK ayat 1 adalah memiliki
STR, mempunyai tempat praktik, tempat pratik sesuai dengan ijin praktik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dokter yang berhak
membuat rekam medis adalah dokter yang sudah memenuhi ketentuan
adaministrasi sehingga dianggap sah menurut kewenangannya.
Adapun ketentuan pidana berkaitan dengan hal tersebut tercantum
pada UUPK no. 29 tahun 2004 yaitu:
1. Pasal 75 Ayat 1 yaitu setiap dokter atau dokter gigi yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Pasal 76 yaitu setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sanksi administratif dapat dijatuhkan terhadap dokter yang
melalaikan kewajibannya dapat dilihat pada Pasal 11 UU No.6 Tahun
1963, yaitu melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat
oleh seorang dokter baik mengingat sumpah jabatannya maupun
mengingat sumpah sebagai dokter, mengabaikan yang seharusnya
dilakukan oleh dokter dan melanggar ketentuan menurut atau berdasarkan
Undang-Undang No. 6 Tahun 1963.
Selain itu dokter juga berkewajiban mematuhi peraturan-peraturan
organisatoris dan administratif, yang ditetapkan oleh pemerintah melalui
peraturan perundang-undangan, maupun yang ditetapkan melalui
organisasi profesi seperti kode etik kedokteran. Dokter yang melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat
dikenakan tindakan disiplin, berupa peringatan tertulis diwajibkan
mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, pembekuan ijin
sementara waktu bahkan pencabutan ijin praktik dan surat registrasi.
Walau demikian kalaulah telah diberikan sanksi administrasi oleh
organisasi profesi dan pejabat yang berwenang tidak menutup tuntutan
perdata dan pidana dari pasien atau keluarga pasien.
4. Rekam Medis Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara
Pidana dan Hukum Acara Perdata
Baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata, hakim
memerlukan pembuktian. Menurut Hariyani Pembuktian menurut Hukum
perdata sebagai berikut:89
- Bila seorang dokter dituntut pasien karena melakukan malpraktik
medik, maka biasanya dasar tuntutan yang diajukan pasien
kepada dokter antara lain:
89
Anny Isfandyarie, Tanggung jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2006. Hal 182-182
a) Dokter dituduh melakukan wanprestasi (ingkar janji),
berdasar Pasal 1239 KUHPerdata.
b) Dokter dituduh melakukan perbuatan melawan hukum
berdasar Pasal 1365 KUHPerdata.
c) Dokter dituduh melakukan kelalaian sehingga
mengakibatkan kerugian berdasar Pasal 1366
KUHPerdata.
d) Dokter dituduh melalaikan pekerjaan sebagai
penanggung jawab berdasar Pasal 1367 Ayat (3)
KUHPerdata.
- Dalam menghadapi tuntutan atau gugatan dari pasien tersebut,
pasien harus membuktikan dasar tuntutan atau gugatan yang
diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata yang mana disebutkan
bahwa:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri ataupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pasa suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
- Dari Pasal 1865 KUHPerdata ini dapat diartikan bahwa bila
pasien menggugat atau menuntut dokter, maka ia harus
membuktikan kesalahan maupun kelalaian dokter yang dituntut
tersebut.
Dokter yang dituntut tentunya melakukan pembelaan diri dengan
alat bukti yang bisa mendukung terhadap pembenaran yang dilakukan.
Menurut Tresna 90yang disebut alat bukti ialah bukti surat, bukti saksi,
sangka, pengakuan dan sumpah. Karena rekam medis berisi catatan dan
dokumen tentang identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain yang diberikan kepada pasien, maka rekam medis
disamakan dengan surat sehingga dapat dijadika alat bukti di pengadilan
untuk membantah gugutan pasien.
Contoh seorang dokter dituntut telah melakukan wanprestasi.
Tuntutan ini diajukan kepada dokter karena dokter tidak memenuhi
kewajibannya yang didasarkan pada perjanjian yang disepakati dengan
pasiennya, baik tidak memenuhi prestasi sama sekali atau terlambat
berprestasi sebagai dasar gugatan yang melatarbelakangi tuntutan
wanprestasi ini sebagai berikut:
Seorang dokter bedah menjanjikan operasi herniotomy terhadap
Tn. A, pada hari senin, 24 Juli 2012, ternyata dokter bedah ini tidak
melakukannya dan menunda pada tanggal 30 Juli 2012, akibat penundaan
itu pasien pasien mengeluarka ongkos dan tidak masuk kerja, sehingga
pasien menuntut ganti rugi sebagai pengganti ongkos rawat ianp dari tgl
24 sampai 30 Juli 2012 dan penghasilan selama tanggal tersebut.
Dokter bedah ini membela dirinya dan pengajukan alasannya.
Ternyata pada hari senin, 24 Juli 2012 ini pasien, rekam medis
menyebutkan bahwa pasien harus diperiksa dokter jantung karena pada
saat itu terdeteksi adanya kelainan jantung yang perlu dikonsulkan ke
90
Ibid, hal.182
dokter ahli cardiologi. Dengan adanya catatan dalam rekam medis
tersebut dokter bedah dapat membuktikan bhwa dirinya tidak bersalah.
Seandainya dokter bedah ini tidak membuar rekam medis dengan baik
atau tidak memcatat penundaanya maka dokter bedah ini tidak
mempunyai bukti yang menjadi alsaan pembenar dirinya tidak melakukan
operasi herniotomy tersebut.
Contoh Perbuatan melawan hukum Dokter Ahli Kandungan.
Pasien 24 tahun baru 1 minggu menikah, masuk ke RS dengan
Diagnosa Kista ovarium dextra, pada waktu operasi ovarium kanan juga
ada kista, berdasar statistic sejumlah 5 % berkembang menjadi kanker.
Dokter kandungan memutuskan mengambil kedua ovarium sekaligus
dengan ijin suami, dengan memberitahukan alasanya, setelah selesai
operasi pasien sadar. Pasien merasa dirugikan kerana kehilangan dua
ovariumnya sehingga ia tidak bisa hamil, sehingga dokter kandungan ini
dianggap melakukanperbuatan melawan hukum berdasar 1365
KUHPerdata, Kesalahan dokter ini tidak dapat dibuktikan, bila alasan
tindakannya termasuk adanya persetujuan dari suami yang berhak
memberikan persetujuan ada dalam rekam medis.
Dalam hukum acara pidana pun meneyebutkan bahwa hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali didapatkan 2 alat
bukti yang sah, berdasar alat buklti tersebut hakim dapat memperoleh
keyakinan bahwa terdakwa telah benar-benar melakukan tindak pidana
seperti pada Pasal 183 KUHAP, selanjutnya Pasal 184 KUHAP
menyebutkan alat bukti yang sah adalah Keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk dan kerangan terdakwa.
Dalam hukum pidana rekam medis dapat dijadikan alat bukti surat
di Pengadilan berdasar Pasal 187 Ayat (4) huruf b KUHAP:
Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat m,engenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatau keadaan.
Rekam medis merupakan surat yang dibuat menurut ketentuan
perundang-undangan, yaitu UUPK No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran Pasal 46 Ayat (1) sampai (3) dan Permenkes No. 269 Tahun
2008 tentang rekam medis. Surat ini dibuat oleh dokter yang dalam tata
laksana tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi sesuatu hal
atau suatu keadaan tentang pasien. Kriteria ini memenuhi Pasal 187 Ayat
(4) huruf b KUHAP, sehingga rekam medis dapat dijadikan alat bukti surat
di pengadilan.
Tentang petunjuk surat huruf d, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal
188 Ayat (2) dan (3), bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan
saksi, surat, dan keterangan terdakwa yang akan diperiksa oleh hakim
secara arif dan bijaksana dengan penuh kecermatan berdasarkan hati
nurani sehingga member keyakinan kepada hakim atas kekutan
pembuktian petunjuk tersebut.
Dari isi Pasal 188 dapat diartikan bahwa bila seorang dokter
dituduh melakukan tindak pidana dan diajukan ke pengadilan sebagai
terdakwa, keterangan dokter, surat dan saksi (perawat yang ikut dalam
memeriksa pasien) dapat memberi petunjuk kepada hakim untuk
membuktikan dokter bersalah atau tidak. Surat yang dipakai tidak lain
adalah rekam medis.
Contoh kasus:
Dokter anastesi dituntut melakukan tindak pidana berdasar
rumusan Pasal 359 KUHP karena kelalainya menyebabkan matinya
seseorang. Dokter anastesi ini harus membuktikan bahwa kematian
pasien bukan karena kelalaiannya. Untuk itu ia harus mempunyai alasan
pembenar. Salah satunya alat bukti yang meringankan adalah rekam
medis (kartu anastesi) yang menunjukan bahwa tindakan dokter tersebut
sesuai dengan standar profesi, seperti obat anastesi yang diberikan,
dosisnya, dan sebelunya dilakukan pemeriksaan lengkap terhadap pasien.
Rekam medis dapat pula dijadikan sebagai alat bukti dalam
tuntutan berdasar Pasal 79 huruf c dimana dokter dianggap tidak
memenuhi kewajiban memberikan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan medis pasien. Dengan rekam medis dapat dilakukan audit
medis untuk membuktikan dokter telah menytelenggarakan kendali mutu
dan kendali biaya sebagaimana kewajiban yang tercantum pada Pasal 49
UUPK.
5. Konsekuensi Hukum Terhadap Ketiadaan Rekam Medis
Sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan sebagimana
disebutkan dalam UU Praktik Kedokteran Pasal 46 Ayat (1) yang
menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi wajib membuat rekam medis,
maka bila dokter dalam menjalankan praktik kedokteran tidak membuat
rekam medis, dapat dikenakan sanksi berdasar Pasal 79 b UU Praktik
Kedokteran yaitu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Dalam Permenkes No.269/Menkes/Per/III/2008 yang hanya
menyebutkan bahwa pelanggaran ketentuan dalam permenkes ini hanya
berupa tindakan administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai
dengan pencabutan izin. Maka sanksi yang berlaku saat ini lebih berat.
Berdasarkan 2 (dua) ketentuan tentang sanksi terhadap rekam
medis, maka dapat diartikan bahwa:
- Sanksi terhadap tidak dibuatnya rekam medis berlaku sesuai
Pasal 79 b UU Praktik Kedokteran berupa ancaman pidana.
- Sanksi terhadap dibuatnya rekam medis yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang tercantum Dalam Permenkes
No.269/Menkes/Per/III/2008.
Sanksi pidana berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau
denda sejumlah lima puluh juta rupiah terhadap pelaku pelanggaran
rekam medis “cukup” berat. Ketentuan hukum pidana yang bersifat
imperatif dan kejam dapat menjadi bumerang bagi tenaga medis.
Mengingat sifat pelanggaran atas penyediaan fasilitas rekam medis yang
“cenderung” di bidang administrasi (dalam pelayanan kesehatan),
perlunya peninjauan ulang terhadap ketentuan pidana atas pelaku
pelanggarannya. Minimal, kalaupun ketentuan tersebut dinyatakan
sebagai perbuatan pelanggarnya di bidang pidana, rumusan ketentuan
tersebut dinyatakan sebagai delik aduan, sehingga sepanjang tidak ada
pihak-pihak yang dirugikan dengan tidak tersedianya rekam medis, maka
terhadap tenaga medis tidak dapat dilakukan penuntutan.
Sifat dan karakter hukum pidana yang khas, dengan sanksi yang
kejam membuka peluang bagi pelaksana penegak hukum berbuat
sewenang-wenang. Apabila berbagai upaya telah dilakukan atau hukum
pidana sebagai sarana terakhir. Hal ini diperlukan supaya ada
pembatasan dan kehati-hatian dalam menghadirkan hukum pidana pada
persoalan yang memang hanya tepat apabila ditangani oleh peradilan
pidana.
Dengan Audit medis yang dilakukan terhadap profesi medis dengan
berbagai masukan dari IDI dan Komite Medis seharusnya dapat
melakukan sanksi aministratif berdasarkan Pasal 17 tentang rekam medis,
terhadap dokter yang tidak melaksanakan sesuai dengan ketentuan
Permenkes tersebut. Hal ini sangat berguna bagi dokter agar dapat
membiasakan diri untuk membuat rekam medis sesuai standar yang
dikehendaki pada Pasal 3 dan 5 permenkes No. 269 Tahun 2008 bahwa
harus memenuhi syarat minimal yang ditentukan baik rawat jalan, rawat
inapamaupun UGD dan segera membuat rekam medis setelah member
pelayanan, dilaksanakan dengan pencatatan dan pendokumentasian
mulai pemeriksaan, pengobatan dan tindakan lain yang diperlukan dengan
memberikan membubuhkan tanda tangan, waktu dan nama pada setiap
catatan dan bila salah melakukan pembetulan dengan mencoret dan
member paraf.91
Kebiasaaan membuat Rekam medis yang standar akan melindungi
dokter dari ancaman pidana berdasar Pasal 79 b UUPK No.29 Tahun
2009 yang jauh lebih berat yaitu tidak membuat sebagaimana Pasal 46
ayat (1) bahwa dokter wajib membuat rekam medis dalam menjalankan
praktik kedokterannya.
Pasal 14 Permenkes Rekam Media menyatakan bahwa pimpinan
sarana pelayanan kesehatan bertanggungjawab atas :
a. Hilangnya, rusaknya, ataupun pemalsuan rekam medis;
b. Penggunaan oleh orang / badan yang tidak berhak terhadap rekam
medis.
Berkas rekam medis sebagai milik sarana pelayanan kesehatan
harus dipelihara, dan merupakan tanggungjawab pimpinan sarana
pelayanan kesehatan untuk menjaga kerahasiaan informasi catatan medis
yang terdapat didalamnya. Di samping itu, pimpinan sarana pelayanan
kesehatan juga bertanggungjawab atas penggunaannya oleh pihak- pihak
tertentu.
91
Ibid, Hal.176.
Menurut Pasal 17 Permenkes Rekam Medis, bahwa tidak
tersedianya rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan dipandang
sebagai pelanggaran di bidang administrasi, oleh karena itu sanksi yang
dijatuhkan berupa sanksi administratif, yaitu berupa teguran lisan sampai
pencabutan surat izin.
Fungsi rekam medis di bidang hukum dapat dipergunakan sebagai
bahan pembuktian dalam perkara hukum. Di bidang perdata, rekam medis
dapat dipergunakan sebagai dasar pembuktian apabila terjadi gugatan
ganti kerugian terhadap tenaga kesehatan atas dugaan malpraktek medis.
Rekam medis yang diberikan pada korban tindak pidana (sebagai
pasien) dapat berfungsi sebagai alat bukti, baik dalam perkara pidana
maupun dalam perkara perdata. Hal ini ditentukan dalam Permenkes
Rekam Medis Pasal 13 huruf b, yang menyatakan bahwa Rekam Medis
dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum.
Terhadap ketiadaan rekam medis maka sulit bagi dokter untuk
membuktikan apakah tindakannya terhadap pasien sudah sessuai atau
tidak, apabila dikemudian hari terjadi sengketa dan ini akan berakibat bisa
dipersalahkannya dokter kerana tidak memiliki data tentang pelayanan
praktik kedokterannya sehingga akan sulit menghindar dari jeratan hukum.
Contoh kasus:
Seorang pasien datang ke rumah sakit dengan luka kotor pada
kaki kiri , oleh dokter setelah dilakukan pemeriksaan pasien diberikan obat
antibiotik dan analgetik, sesuai SOP setiap yang luka kotor, selalu
diberikan anti tetanus (ATS) segera setelah diberikan tindakan
pembersiahan luka dan setelah itu pasien diperbolehkan pulang, tetapi 20
hari kemudian pasien masuk RS dengan sakit tetanus, kemudian keluarga
menggugat dokter dengan alasan tidak memberikan ATS sesuai SOP.
dengan tidak adanya catatan pemberian ATS pada rekam medis, maka
dokter tidak dapat membela diri sehingga dapat dipersalahkan telah lalai
tidak memberikan ATS, walaupun sudah diberikan tetapi tidak ada
cacatan pemberian ATS pada rekam medisnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dari uraian hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
pelaksanaan rekam medis di rumah sakit BrigJend. H. Hasan
Basry Kab. Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan belum
dijalankan sebagaimana Permenkes No.269 Tahun 2008, hal
ini disebabkan sosialisasi Permenkes No.269 Tahun 2008 yang
tidak optimal, kesadaran pengisian rekam medis yang dilakukan
belum memenuhi harapan, tenaga perekam medis dan fasilitas
yang belum memenuhi harapan terutama bagian rawat inap
serta tidak adanya pengawasan yang dilakukan dinas
kesehatan terkait pelaksanaan Permenkes No.269 Tahun 2008
tersebut.
2. Tanggung jawab hukum dokter dalam pelaksanaan rekam
medis dirumah sakit berhubungan erat dengan kerahasiaan
rekam medis, terjadinya wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum dalam transaksi terapeutik, rekam medis sebagai alat
bukti, ketiadaan rekam medis dan administrasi sangat erat
hubungannya dengan perijinan peyelenggaraan praktik
kedokteran
A. Saran
1. Untuk lebih efektifnya pelaksanaan Permenkes No. 269 tahun
2008 terutama di rumah sakit, perlu dilakukan sosialisasi
kepada semua yang terlibat dalam pelaksanaannya seperti
dokter atau dokter gigi, perawat, pengelola rekam medis,
administrasi dan pimpinan rumah sakit sehingga semua
komponen yang terlibat mengetahui prosedur pelaksanaan
rekam medis yang baik, penambahan tenaga dan fasilitas
pendukung, peningkatan kesadaran untuk mengisi rekam medis
perlu dilakukan untuk terciptanya rekam medis yang bermutu
dan mengoptimalkan pengawasan baik internal dengan audit
rekam medis maupun eksternal yang dilakukan oleh dinas
kesehatan maupun organisasi profesi sehingga pasien dan
dokter serta insitusi merasa aman dan harmonis.
2. Dokter dan tenaga kesehatan terkait harus menjaga secara
penuh kerahasiaan rekam medis, dan menghindari terjadinya
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dalam transaksi
terapeutik yang berhungan erat dengan rekam medis,
melengkapi rekam medis karena bisa dijadikan alat bukti,
upayakan selalu membuat rekam medis dalam praktik
kedokteran dan perhatikan perijinan dan registrasi agar tidak
menjadi permasalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan ke-3.
Achmad Ali, Wiwie Heryani, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian
Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Anggraini jum, 2012. Hukum administrasi Negara, Penerbit Graha ilmu
Yogyakarta Amiruddin dan Asikin, Z., 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Ed.1, Rajawali Pers. Jakarta. Anonim, 2006. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Edisi 4. Makassar. Bambang Sutiyoso, 2010 Reformasi Penegakan Hukum Dan Kekuasaan
Kehakiman Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Bastian, I., Suryono, 2011. Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Penerbit
Salemba Medika. Jakarta Depkes RI, 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam medis
rumah sakit di Indonesia Revisi II, Dirjend. Bina Yanmed. Jakarta. --------------,1997. Pedoman Penyelenggaraan Rekam Medis, Dirjend
Yanmed, Jakarta. Dewi, A.I, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Pustaka Book
Publisher.Yogyakarta. Effendi Erdianto, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Suatu Pengantar, PT.
Refika Aditama, Bandung Febriana,S. dan Tutik,T.T. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien.
PT.Prestasi Pustaka. Jakarta Guwandi, J., 2004. Hukum Medik (Medical Law). Balai Penerbit FK UI.
Jakarta.
-------------, 2005. Rahasia Medis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Hanafiah, M. J.dan Amir, A. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Buku kedokteran EGC. Jakarta. H.R Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Cet. ke-7. Indar. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanuddin. Makassar Isfandyarie, A. 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter.
Prestasi Pustaka. Jakarta. Iskandarsyah, M. 2011. Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik. Permata
Aksara. Jakarta. Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Manual Rekam Medis. Jakarta. Nasution, B.J. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. PT.
Rineka Cipta. Jakarta.
Soekanto Soerjono, 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Rajagarfindo Persada, Jakarta, Cet.ke-1.
_______2009. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta Soeparto,P. dkk. 2008. Etika dan Hukum dibidang Kesehatan. Airlangga
University Press. Surabaya. Syahrul Machmud, 2012, Penegakan hukum dan Perlindungan hukum
bagi dokter yang diduga melakukan medical malpraktik, Cv. Karya Putra Darwati, Bandung
Ruslan Achmad, 2011, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta, Hal.74
Ta”adi.2010.Hukum Kesehatan: Pengantar Menuju Perawat Profesional.
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Widaningsih, Y.dan Ilyas, A. 2010. Hukum Korporasi Rumah Sakit.
Rangkan Education. Yogyakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan Permenkes Republik Indonesia Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang
Rekam Medis Peraturan pemerintah No.10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran