orang baduy di banten selatan - jke.feb.ui.ac.id

13
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 47 Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai 1 Kusnaka Adimihardja (Universitas Padjadjaran) Abstract The presence of the Baduy people in Mount Kendeng in southern Banten was, in keeping with the order of Pajajaran Kingdom, to manage the continuity of the flow of the river from the upper course to the lower. At that time, the river-stream played an important role in agricul- ture, besides being a means of trading and transportation at the lower-course region of Banten. The Baduy had the role of guarding the equilibrium at the upper course region, and maintain the economic development of the Pajajaran Kingdom. The Baduy who live around the upper course of the river are not allowed, traditionally, ‘teu wasa ’, to disturb the ecosystem, such as to exploit the rice fields or to dig the soil for agricultural activities. They use the expression: …gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak , mountains are not to be de- stroyed, valleys are not to be destructed, if it is disobeyed there will be great disaster upon human life. In carrying out the kingdom’s orders, they are supported by a certain hierarchic and complex political system, even though they are egalitarian and keep a firm social solidarity. The stratified system of defense was bound by the tangtu tilu ‘the three core of leadership’. It is also called ka-puun-an ideology systems which are located at three villages: Cikeusik, Cibeo, and Cikertawana under the guidance of moral, ethics, and rules which are stated in the values of Sunda Wiwitan religion. Pengantar Anggapan yang menjelaskan keberadaan orang Baduy di sekitar Gunung Kendeng (lihat Peta 1)—yang biasanya mengacu pada pandangan para ahli Belanda (Pleyte 1907; Penning 1902; Yacobs dan Meijer 1891)— sesungguhnya bertentangan dengan pandangan orang Baduy itu sendiri. Pleyte, Yacob dan Meijer, maupun Penning beranggapan bahwa orang Baduy itu bermukim di kawasan Gunung Kendeng, karena desakan kekuatan Islam dari Banten. Hanya saja, para ahli Belanda tersebut berbeda cara dalam mengemukakan asal-usulnya. Pleyte mengemukakan bahwa orang Baduy itu berasal dari daerah Bogor yang merupakan pusat Kerajaan Pajajaran. Mereka melarikan diri ke perbukitan di sekitar Gunung Pangrango arah barat daya dari kota Bogor sekarang. Pendapat tersebut didasarkan pada keberadaan Arca Domas yang terletak di sekitar hutan di wilayah Baduy Dalam di hulu Sungai Ciujung. Istilah yang benar seharusnya ditulis Baduy Daleum, maknanya sama dengan kata dalem yang berarti ksatria dalam bahasa Sunda lama. 1 Naskah ini merupakan revisi dari makalah yang disajikan dalam Sesi ‘Lingkungan Hidup dan Pelestarian Budaya’ dalam Seminar ‘Menjelang Abad ke-21: Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya’, 6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus Universi- tas Indonesia, Depok.

Upload: others

Post on 03-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 47

Orang Baduy di Banten Selatan:Manusia Air Pemelihara Sungai1

Kusnaka Adimihardja

(Universitas Padjadjaran)

AbstractThe presence of the Baduy people in Mount Kendeng in southern Banten was, in keeping

with the order of Pajajaran Kingdom, to manage the continuity of the flow of the river from theupper course to the lower. At that time, the river-stream played an important role in agricul-ture, besides being a means of trading and transportation at the lower-course region of Banten.The Baduy had the role of guarding the equilibrium at the upper course region, and maintainthe economic development of the Pajajaran Kingdom. The Baduy who live around the uppercourse of the river are not allowed, traditionally, ‘teu wasa’, to disturb the ecosystem, such asto exploit the rice fields or to dig the soil for agricultural activities. They use the expression:…gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak , mountains are not to be de-stroyed, valleys are not to be destructed, if it is disobeyed there will be great disaster uponhuman life.

In carrying out the kingdom’s orders, they are supported by a certain hierarchic andcomplex political system, even though they are egalitarian and keep a firm social solidarity.The stratified system of defense was bound by the tangtu tilu ‘the three core of leadership’. It isalso called ka-puun-an ideology systems which are located at three villages: Cikeusik, Cibeo,and Cikertawana under the guidance of moral, ethics, and rules which are stated in the valuesof Sunda Wiwitan religion.

PengantarAnggapan yang menjelaskan keberadaan

orang Baduy di sekitar Gunung Kendeng (lihatPeta 1)—yang biasanya mengacu padapandangan para ahli Belanda (Pleyte 1907;Penning 1902; Yacobs dan Meijer 1891)—sesungguhnya bertentangan denganpandangan orang Baduy itu sendiri. Pleyte,Yacob dan Meijer, maupun Penningberanggapan bahwa orang Baduy itu bermukim

di kawasan Gunung Kendeng, karena desakankekuatan Islam dari Banten. Hanya saja, paraahli Belanda tersebut berbeda cara dalammengemukakan asal-usulnya.

Pleyte mengemukakan bahwa orang Baduyitu berasal dari daerah Bogor yang merupakanpusat Kerajaan Pajajaran. Mereka melarikan dirike perbukitan di sekitar Gunung Pangrangoarah barat daya dari kota Bogor sekarang.Pendapat tersebut didasarkan pada keberadaanArca Domas yang terletak di sekitar hutan diwilayah Baduy Dalam di hulu Sungai Ciujung.Istilah yang benar seharusnya ditulis BaduyDaleum, maknanya sama dengan kata dalemyang berarti ksatria dalam bahasa Sunda lama.

1 Naskah ini merupakan revisi dari makalah yangdisajikan dalam Sesi ‘Lingkungan Hidup dan PelestarianBudaya’ dalam Seminar ‘Menjelang Abad ke-21:Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya’,6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus Universi-tas Indonesia, Depok.

Page 2: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

48 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000

Peta 1Sumber: Diolah dari Garna 1987: 112; Azul 1988:36

Page 3: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 49

Yacob dan Meijer berpendapat bahwa orangBaduy berasal dari daerah Banten Utara danPenning mengatakan orang Baduy sebagaipenduduk asli Banten.

Pandangan yang umum berlaku dikalangan orang Baduy adalah bahwasanyamereka menempati wilayah Desa Kanekes sejakpertama kali nenek moyang mereka turun kebumi (Garna 1988:62-63). Mereka beranggapanbahwa Kanekes merupakan pusat bumi, tempatasal mula manusia dilahirkan. Karenanya,mereka selalu menyebut diri urang kanekesatau urang tangtu untuk seluruh orang Baduy.Kata tangtu berasal dari bahasa Sansekertayang berarti cikal-bakal atau silsilah, sedangurang rawayan merupakan sebutan bagimereka yang bermukim di sekitar SungaiCirawayan. Mana yang benar di antarapendapat tersebut sulit untuk dibuktikan,karena informasi yang sangat terbatas.Kepercayaan dan legenda yang cenderungmerahasiakan keberadaan merekamenyebabkan sulitnya untuk memperolehbukti-bukti sejarah tentang alasan keberadaanmereka bermukim di sekitar kawasan GunungKendeng itu.

Yang tersebar di kalangan masyarakat saatini adalah kebiasaan orang Baduy menabukanatau teu wasa untuk melakukan berbagaibentuk kegiatan yang berdampak merusakekosistem wilayah hutan bagi siapa pun,termasuk mereka sendiri. Berdasarkanfenomena sosial tersebut tampaknya kehadiranmereka di sekitar kawasan hutan berfungsiuntuk menjaga agar kondisi hutan yang sangatpenting bagi pertanian dan sarana transportasiperdagangan di daerah hilir dapatdipertahankan kelestariannya. Dengandemikian, bagi orang Baduy, menjagakelestarian hutan itu bukan karena aturan tabu(pikukuh), yang saat ini, sudah banyak diantaranya yang ditinggalkan. Misalnya, merekasudah mulai mengenal dan menggunakan uang

sebagai alat tukar, berbelanja di kampungterdekat di luar kampung Baduy, bercocoktanam, memiliki dan menyimpan barang-barangtertentu yang menurut aturan adat merekabersifat tabu, dan lain-lain (lihat Van Zanten1995:521). Agaknya, sepanjang sejarahhidupnya, orang Baduy terus-menerus bergulatmepertahankan eksistensi lingkungan alam danidentitasnya dalam menghadapi berbagaitekanan perubahan dari luar.

Relung Orang Baduy

Desa Kanekes yang luasnya sekitar 5.102ha merupakan wilayah yang berbukit-bukit,berlembah curam, yang terletak pada ketinggianantara 500-1.200 m. Kampung-kampung Baduyberada pada ketinggian antara 800-1.200 m.Suhu udaranya sekitar 20°-22° C, keadaantanahnya selalu basah, lembab, dan berlumut.Sungai-sungai berbatu membelah hutan danbukit serta melintasi beberapa wilayahpemukiman—di antaranya Sungai Ciujung,Ciparahiyang, Cirawayan, Cikanekes, Cisimeut,Cibarani, Cimedang, Cibaduy—yang mem-persulit pejalan kaki untuk mencapai kampung-kampung tertentu dalam waktu singkat (lihatPeta 2).

Komunikasi antarkampung dihubungkandengan jalan setapak yang naik-turun bukit dansangat licin pada musim hujan. Batas-batasdaerah Kanekes pada masa lalu hanyamerupakan batas alam saja, berupa sungai,bukit, hutan. Akan tetapi, dengan terjadinya‘penyerobotan’ lahan yang terus menerus diwilayah Kanekes, orang Baduy menerimagagasan pemerintah (Kantor Menteri NegaraLingkungan Hidup) untuk memasang batas-batas berupa patok-patok semen beton yangdilaksanakan pada sekitar 1980-an.

Kampung Kaduketug yang merupakankampung Baduy pertama di wilayah Baduy Luar(panamping) adalah pintu gerbang menuju

Page 4: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

50 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000

Peta 2Sumber: Diolah dari Geise 1952; Garna 1987:113

Page 5: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 51

wilayah Baduy Daleum. Di kiri-kanan jalansetapak ke arah Baduy Daleum sejak darikampung tersebut terhampar pahumaan(perladangan) penduduk atau lahan bekasperladangan yang dipenuhi alang-alang padasaat bera dan semak belukar yang ditinggalkanpenduduk untuk sementara. Hutan-hutan yangmasih lebat di daerah Baduy Daleum dansekitarnya terpelihara dengan baik dalam

pengawasan puun (pimpinan utama adat). Bagiorang Baduy hutan-hutan tersebut adalahhutan larangan yang dianggap suci dan tabuuntuk dieksploitasi manusia (lihat Gambar 1).

Pada masa kini, di beberapa bagian hutanlarangan itu sudah banyak yang rusak, terutamadi daerah-daerah yang berbatasan denganpermukiman penduduk di luar Baduy. Pendudukdari luar wilayah Kanekes itu menebang hutan

A = dipandang secara vertikal, B = dipandang secara horozontal.

I = zonasi pertama, daerah pemukiman dan dukuh lemburII= zonasi kedua, daerah pertanian intensifIII= zonasi ketiga, daerah hutan tua, di puncak bukit.

Gambar 1Klasifikasi Hutan di Kalangan Orang Baduy

Sumber: Iskandar 1992:32

Page 6: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

52 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000

untuk dijadikan perkebunan kopi atau karet.Pada masa lalu, ada kampung-kampung kecilyang terletak di luar Desa Kanekes yangmerupakan kantong-kantong penyangga tanahlarangan yang disebut kampung dangka .Berdasarkan identifikasi, semula ada sembilankampung dangka. Selanjutnya, menyusuthingga tujuh kampung, yaitu KampungKompol, Cibengkung, Kamancing, Cihandamyang terletak di luar Desa Kanekes; danKampung Nungkulan, Garehong, danPanyaweuyan yang berada di Desa Kanekes.Pada sekitar 1985 tercatat tinggal tiga kampungdangka saja yang masih dapat dipertahankan,yaitu Kampung Garehong, Nungkulan, danCibengkung (Adimihardja 1976). Namunkemudian, hanya tinggal dua kampung yangmasih dihuni oleh orang Baduy, yaitu KampungKompol dan Cibengkung (Danasasmita1986:14).

Penduduk kampung dangka itu bertugasmenjaga dan memelihara hutan larangansebagai hutan cadangan perladangan orangBaduy di luar Desa Kanekes, selain merupakankampung penangkal masuknya pengaruh luarke wilayah desa tersebut. Saat ini, luas hutanlarangan itu semakin lama semakin sempit,karena ‘penyerobotan’ yang dilakukanberlangsung hingga sekarang. Namun,sesungguhnya, penggundulan dan penjarahanhutan larangan itu telah berlangsung sejakzaman Belanda untuk dijadikan perkebunankaret. Agaknya, kampung dangka sebagaikampung penangkal pengaruh luar tidak mampulagi melaksanakan fungsinya, karena tekanandari luar yang begitu kuat. Karena itu, sebagianbesar orang Baduy yang tinggal di kampungdangka itu ditarik kembali ke daerah BaduyDaleum. Yang masih bertahan hingga sekaranghanya tinggal dua kampung dangka saja.

Dari segi fisik—menurut catatan Sargeant(1973)—orang Baduy sangat tampan, berwajahhalus. Demikian pula tangan dan kaki, panjang

serta halus pula, sedangkan kulitnya pucat danpenampilan mereka menyenang-kan. Sikapmereka alamiah, tidak memperlihatkan emosidan keingintahuan yang berlebihan pada saatmenerima tamu dari luar. Mereka adalah orang-orang yang lembut, tetapi tidak penakut.Orang Baduy sangat jujur. Ini tampak dari caraberjalan beriring satu per satu, tidakmenggunakan kendaraan, patuh kepadapimpinan adat. Pencurian di kampung dapatdikatakan tidak ada, terbukti dari pintu rumahmereka yang tidak pernah dikunci.

Jumlah anggota keluarga orang Baduysekitar empat orang. Mereka hidup dariberladang dan tabu bersawah. Keseimbangandengan alam dalam memelihara ketenteramanhidup selalu dipertahankan dengan baik.Dengan demikian, sejak 500 tahun yang laluhingga kini, mereka masih relatif dapat tetapbertahan dengan cara-cara berdasarkanpetunjuk nenek moyangnya.

Musik Baduy—yaitu angklung dan bentukkesenian lain, seperti pantun—lebih bersifatmusik ritual, yang dimainkan setahun sekaliketika musim panen. Orang Baduy membedakanapa yang disebut seni ritual dengan senipertunjukan. Seni ritual, dalam pengertianmereka, melambangkan perjalanan hidupmanusia. Mereka cenderung menolakkeberadaan seni pertunjukan di wilayah tanahBaduy. Mereka beranggapan seni pertunjukanitu hanya main-main, menghibur diri, danmerupakan pelarian dari tantangan dalammenghadapi kenyataan hidup. Seni ritualmelambangkan perjalanan hidup manusia yangsepenuhnya menuju ke alam kehidupan yangsesungguhnya, yaitu alam roh.

Dalam perwujudannya, seni ritualberhubungan langsung dengan fenomena alamjagad raya, yang dimanifestasikan dalam tahap-tahap kegiatan ngahuma atau berladangdengan seluruh kompleks upacaranya, yaitudalam cara memelihara padi yang merupakan

Page 7: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 53

perwujudan dari dewi padi, Dewi Sri.Di kalangan orang Baduy ada seniangklung yang melahirkan nuansabunyi yang harmonis dengantatanan alam sekelilingnya dansecara simbolikm e n g g a m b a r k a n l a l a k o nperjalanan hidup manusia. Demikianpula untaian tutur kata yangdibawakan seorang juru pantun ditanah Baduy, walaupunsesungguhnya seni pantun tersebutbukanlah karya senip e r t u n j u k a n , m e l a i n k a ndiperuntukkan bagi memperolehberkah leluhur (lihat Halim nd:6).Dengan demikian, merekamencipta angklung, tutunggulan,atau gandek (bunyi alu pada saatmenumbuk padi), seruling bambu,karinding , kecapi yang biasamengiringi pembawa cerita pantun,lebih untuk memenuhi s u a t ut u j u a n d a r i p a d a pernyataansuatu emosi betapa punemosionalnya tujuan itu.

Orang Baduy: manusia air

Wilayah Banten yangm e r u p a k a n b a g i a n d a r ikekuasaan Kerajaan Pajajaran(1513-1957) yang berpusat di Bogor,dikembangkan menjadi pelabuhandagang yang setara dengan Malakadan Sumatera. Sebagai pusatperdagangan, B a n t e n m e n j a d it empa t berlabuhnya kapal-kapaldari Sumatera dan daerah lain untukmembeli lada, beras, dan berbagaibahan makanan lainnya, untukkemudian diangkut sampai ke Eropamelalui pelabuhan Teluk Banten,

Gambar 2Transportasi Dagang Era Kerajaan Padjajaran

Page 8: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

54 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000

Pontang, Cikande, Tanggerang, Sunda Kalapa,Karawang, dan Cimanuk.

Pada saat itu Banten terletak pada sebuahteluk dekat Selat Sunda, tempat mengalirnyaSungai Cibanten yang merupakan alattransportasi utama yang membelah kotamenjadi dua bagian. Sungai Cibanten dapatdilayari jenis perahu jung dan galen. Sungaitersebut hingga saat ini masih ramai digunakanpara nelayan yang mengangkut hasil bumi daripedalaman ke wilayah pesisir Banten (lihatGambar 2). Dalam usaha memelihara kelancaranlalu lintas barang, maka kelestarian aliran sungaiperlu dipertahankan. Kehadiran orang Baduydi sekitar kawasan Gunung Kendeng ituagaknya merupakan upaya Pangeran PucukUmun—seorang penguasa wilayah Bantenyang memerintahkan sekelompok tentara yangsangat terlatih—untuk menjaga dan mengelolakawasan hutan lebat serta berbukit-bukittersebut sebagai urat nadi lalu lintasperdagangan dan pertanian pada saat itu.

Salah satu sungai yang hingga sekarangdirasakan sangat penting oleh masyarakatadalah Sungai Ciujung yang merupakan sungaiterlebar dan terpanjang kedua di Jawa Barat.Sungai tersebut merupakan salah satu saranatransportasi, yang hulunya berasal dariKampung Cibeo, salah satu kampung suci didaerah Baduy Daleum. Sungai tersebutmengalir melintasi dan membelah KabupatenLebak atau Rangkasbitung dan Kota MadyaTangerang yang bermuara di Laut Jawa.Pontang yang terletak di muara sungai tersebutmerupakan salah satu pelabuhan dagang yangsangat penting pada era Kerajaan Pajajaran. Didaerah hulu Sungai Ciujung itu terdapat banyakanak sungai, di antaranya Sungai Ciparahiyang,Cirawayan, Cikanekes, Cisimeut, Cibarani,Cimedang, dan Cibaduy, yang kesemuanyamenyatu dengan Sungai Ciujung di sekitardaerah Kabupaten Lebak atau Rangkasbitung.

Sehubungan dengan peranan yang sangat

penting dari keberadaan sungai-sungaitersebut dalam menunjang perdagangan padasaat itu, maka kehadiran orang Baduy di tengah-tengah hutan lebat di sekitar Gunung Kendengitu bukan semata-mata karena tekanan Islam,melainkan ‘tugas’ yang dibebankan negarauntuk menyelamatkan keberlanjutan aliransungai-sungai yang berasal dari sekitar GunungKendeng. Pandangan yang sama dikemukakanoleh Berthe (1965:216-218) dalam Wim vanZanten (1995:517), yang mengemukakan ‘…theBaduy consider themselves to be the guard-ian of the forest, irrigation sources, and thesoil, and at the same time they hold themselvesresponsible for the destiny of the world.’ Agarekuilibrium ekosistem wilayah hulu tidakterganggu, mereka yang bermukim di daerahitu dilarang, teu wasa ‘tabu’, mengolah lahanuntuk dijadikan petak-petak sawah, ataumengubah ekosistem kawasan tersebut denganmencangkul dan menanami dengan tanamantertentu. Bagi mereka, tanah tidak boleh dibajak,digaru dan diinjak-injak kerbau. Karenanya,sistem pertanian ladang berpindah, huma ,merupakan sistem pertanian yang paling sesuaidalam memanfaatkan sumber daya alam dikalangan orang Baduy.

Menurut anggapan mereka, mengubahcara-cara bertani merupakan suatu tindakanyang bersifat tabu yang diungkapkan dengankata-kata ‘…gunung teu meunang dilebur,lebak teu meunang dirusak…’ (gunung tidakboleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak).Apabila pantangan itu dilanggar oleh siapapun, maka akibatnya ‘cita-cita menjadi ratu tidakakan tercapai, menurunkan derajat dan wibawanegara, kalah dalam peperangan, dan seluruhnegeri menderita’. Ungkapan tersebutmerupakan suatu kearifan orang Baduy yangperlu kita renungkan saat ini dalam upayamemelihara dan menjaga kelestarian alam agarkeberlangsungan hidup umat manusia,kejayaan negara, dan kesejahteraan rakyat

Page 9: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 55

terwujud, baik secara lokal, regional, maupunglobal.

Kedua, pemeliharaan sungai itudipertahankan melalui fenomena sosiokulturalyang masih berlangsung hingga saat ini, yaituadanya kebiasaan yang disebut Seba Puun.Seba tersebut dilakukan oleh utusan puun,pimpinan adat tertinggi, yang melakukansemacam sowan atau berkunjung ke pusatkekuasaan negara untuk menyampaikanlaporan perkembangan di daerah hulu. Padamasa lalu laporan tersebut disampaikan kepadapenguasa Kerajaan Pajajaran di wilayah Banten.Sekarang laporan tersebut disampaikan olehutusan khusus puun kepada Bupati Lebak,yang mereka sebut Bapak Gede. Seba inidilakukan setahun sekali sambil menyerahkanhasil usaha tani dari kawasan hulu. KebiasaanSeba Puun tersebut dapat dipahami sebagaiungkapan kesetiaan mereka kepada raja dan kinikepada negara. Fenomena ini memperkuatdugaan bahwa keberadaan orang Baduy disekitar Gunung Kendeng memenuhi tugasperintah raja untuk mempertahankan kejayaannegara pertanian dan perdagangan melaluipenyelamatan ekosistem wilayah hulu agarkelangsungan aktivitas ekenomi danpemerintahaan di wilayah hilir terjamin.

Menurut catatan Djoewisno (1988:92-93),utusan khusus puun tersebut didampingi olehjaro adat, dengan keseluruhan rombongan sebaitu terdiri atas kelompok tokoh adat, kelompokkaum sesepuh, dan kelompok para remaja, yangmasing-masing memiliki tanggung jawabsebagai pengemban amanat pusaka nenekmoyang. Kelompok sesepuh mengawasijalannya upacara, agar tidak berbasa-basi dalammengungkapkan berbagai permasalahan yangmereka hadapi di daerah hulu. Ungkapantersebut disampaikan dengan kata-kata tegas,terbuka, jujur, tepat, dan jelas tentangpermasalahan daerahnya selama setahun.Mereka tidak menutup-nutupi yang buruk dan

memamerkan yang baik, mengemukakan apaadanya. Kelompok adat mengatur yangberhubungan dengan tata cara, keharusan,larangan, dan pantangan. Kelompok remajabertugas mencatat dalam ingatan merekasebagai generasi penerus tradisi kaum tua.

Ketiga, adanya pengetahuan di kalanganorang Baduy yang terwujud dalam ungkapansebagai berikut:

• Ngaraksakeun sasaka pusaka buana(memelihara sasaka pusaka buana);

• Ngaraksakeun Parahyang (memeliharatempat leluhur);

• Ngasuh ratu ngajaga menak (mengasuhratu dan menjaga menak);

• Ngamertapakeun nusa telung puluhtelu, bagawan sawidak lima , pancersalawe (menyelamatkan seluruh isi alamjagad raya).

Ungkapan tersebut mengandung maknatentang keberadaan mereka di wilayah GunungKendeng itu untuk melaksanakan tugasmenjaga kelestarian lingkungan alam melaluipenyelamatan wilayah hulu. Dalam pandanganmereka, wilayah tersebut adalah wilayah yangsuci (Parahyang) yang merupakan wilayahpenyangga utama dalam mempertahankankejayaan raja dan keturunannya, serta negaradan masyarakat seluruhnya.

Dalam upaya mempertahankan kelestarianlingkungan alam di sekitar Gunung Kendengitu, orang Baduy dibimbing oleh suatu sistempolitik yang kompleks (lihat Gambar 3). Sistemitu dimanifestasikan dengan sistem pertahananberlapis dalam klasifikasi tiga: dangk a ataukampung penyangga di luar Kanekes-panamping (Baduy Luar) dan -pajeroan(Baduy Daleum), diikat oleh sistem politik yanghierarkis, namun bersifat egaliter dalammempertahankan solidaritas sosial dankebersamaan dengan bimbingan moral, etika,dan aturan yang tertuang dalam nilai-nilai agamaSunda Wiwitan.

Page 10: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

56 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000

Gambar 3Sistem Politik dan Pertahanan Baduy

Sumber: Diolah dari Garna 1987:90 dan Djoewisno 1988:22

Page 11: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 57

Dalam sistem politik yang berlaku dikalangan orang Baduy, puun merupakan jabatantertinggi, berkedudukan di wilayah BaduyDalam (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik yangmasing-masing memiliki fungsi yang berbeda),dan lama jabatannya tidak ditentukan. Tingkatjabatan kedua adalah girang seurat, kecualiCikertawana yang tidak memilikinya. Girangseurat ini bertugas memelihara huma serang(ladang bersama) dan menjadi penghubungdan pembantu utama puun. Setiap orang yangingin bertemu dengan puun harus melaluigirang seurat.

Selanjutnya, ada pranata yang disebutbareusan, semacam badan perwakilan yangbertanggung jawab dalam bidang ketertibandan keamanan. Ada 11 orang di Cikeusik, 5orang di Cikertawana, dan 9 orang di Cibeo.Setiap kampung (tangtu) dipimpin oleh seorangpimpinan (tanggu) yang disebut jaro tangtudan bertugas melaksanakan pemerintahankapuunan sehari-hari. Jaro dangka adalahpimpinan adat yang bermukim di luar DesaKanekes, bertugas melindungi danmenyelesaikan konflik antara orang-orangBaduy dengan warga non-Baduy dari kampungterdekat, dan menjaga lahan perladanganmereka di luar wilayahnya. Dari sebelaskampung dangka yang pernah ada, yang masihtersisa sekarang hanya tinggal dua kampungsaja, yaitu Kompol dan Cibengkung.

Sejak zaman kolonial hingga sekarang,wilayah dangka tersebut tidak pernah terbebasdari penjarahan orang-orang dari luar wilayahBaduy. Jaro Warenga yang semula dirangkapoleh salah seorang jaro dangka, bertugassebagai penghubung antara Desa Kanekes danpemerintah nasional sebelum dibentuknya jaropemerintah. Jaro dangka bertugas pulamemimpin seba menghadap raja atau, sekarang,Bapak Gede di pusat pemerintahan.Tanggungan jaro duawelas, yang biasadisebut tanggungan saja, bertugas

mengoordinasikan semua jaro, yang meliputitangtu, panamping, dan dangka di DesaKanekes. Parawari (semacam panitia tetap)bertugas membantu puun dalam urusan upacaradan masalah-masalah gaib, yang beranggota-kan tujuh orang kokolot (tetua kampung).Panengen (Cikeusik) atau dukun pangasuh(Cikertawana) atau tangkesan (Cibeo) bertugassebagai penasihat dan ‘dokter’ pribadi puun.Selain itu, mereka juga mengenal apa yangdisebut parekan, yang bertugas sebagaipembantu pribadi urusan rumah tangga puun.Jaro pemerintah adalah perantara antarapemerintah dan puun dalam urusanpemerintahan nasional. Namun, dalam urusanadat mereka tetap tunduk kepada ketiga puuntersebut. Dalam melakukan tugasnya sehari-hari, mereka dibantu oleh seorang petugas yangdisebut panggiwa dan seorang carik(Danasasmita 1986:19-23).

Dasar moral agama Sunda Wiwitan itutercermin pada pandangan orang Baduy dalammemelihara keseimbangan hubungan antaramanusia dan sesamanya, manusia danlingkungan alam, serta manusia dan Tuhannya,yang dalam konsep Sunda Wiwitan disebutSanghyang Tunggal (Yang Maha Tunggal). Halini tampak dari pemahaman mereka tentanghidup dan mati yang bersumber dari alam dankembali ke alam. Kata wiwitan dalam BahasaSunda berarti permulaan. Namun, di kalanganorang Baduy kata wiwitan tersebut dipahamiberasal dari kata wit-wit-an yang berartipepohonan. Mereka beranggapan bahwaunsur-unsur tubuh manusia berasal daripehomanan atau tanaman. Dari sari-saripepohonan atau tanaman itu terjadi buahjabang bayi, yang kemudian pohon itu tumbuhmenjadi besar (dewasa). Mereka jugamengemukakan bahwa tulang sumsum manusiajuga berasal dari unsur-unsur kayu. Apabilamanusia mati akan kembali ke tanah (dikubur)dan selanjutnya di sekitar kuburan itu akan

Page 12: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

58 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000

tumbuh pehohonan. Dalam tujuh hari seluruhanasir unsur-unsur tubuh manusia itu sudahkembali ke asalnya, yaitu ke tanah. Karena itu,pada setiap makam orang Baduy tidak pernahada batu nisan, apalagi bangunan cungkup,karena pandangan mereka tentang mati tidakterkait dengan hal-hal yang bersifat fisik ataumateri (Halim nd:7).

Sesungguhnya, di kalangan orang Baduyada anggapan bahwa Sunda Wiwitan itu bukanagama, melainkan asal-mula segala agama ataupangkal dari segala agama. Semua agama yangada akan mencerminkan nilai-nilai dasar ajaranwiwitan atau katitipan wiwitan, menurutistilah mereka. Selanjutnya, menurut keyakinanmereka, hanya orang Baduy yang mendapattugas untuk mempertapakan, mempertahankan,menjaga, dan menegakkan wiwitan sebagaisumber agama tadi. Karenanya, merekaberanggapan bahwa wiwitan itu milik semuaorang, bukan milik orang Baduy saja. Semuaorang, menurut anggapan mereka, harussayang, melindungi, dan memperteguhwiwitan, karena apabila terjadi perubahan padadasar-dasar pemahaman wiwitan tersebuttentu akan terjadi perubahan pula pada seluruhkehidupan. Perubahan tersebut dapat terjadikarena, antara lain, bencana alam, kekacauannegara, dan sebagainya (Halim nd:8).

Masing-masing klasifikasi kampung,sebagaimana dijelaskan tadi memiliki fungsimengatur dan melindungi warganya, dan secaraberlapis menyaring pengaruh negatif danmenyampaikan arahan puun dari dalam sebagaiwakil Sanghyang Tunggal di dunia. Arahantersebut disampaikan dari dalam inti kampungmereka—Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik—ke wilayah Baduy Luar dan dangka. Agaknya,ketahanan sosial-budaya yang telah terujikehandalannya itu—yang didukung olehsistem politik yang kompleks yangberlandaskan pada sistem ideologi yangtertuang dalam agama Sunda Wiwitan—

membuktikan keunggulan mereka dalammempertahankan ekosistem wilayah hulu yangberdampak positif terhadap wilayah hilir.

Namun, keadaan tersebut kini sulit untukdipertahankan lagi sehubungan dengangempuran modernisasi atau pembangunan,yang pada kenyataannya justru menjadimarjinalisasi atas seluruh dinamika kehidupanorang Baduy. Sekarang, kualitas lingkunganalam dan sosial semakin menurun Misalnya,terjadinya dehumanisasi di kalangan orangBaduy melalui program pemukiman di GunungHalu, yang menyebabkan terjadinyadisintegrasi antara para peserta programpemukiman tersebut dengan kesatuan adatserta agamanya. Penyerobotan lahan yangdilakukan oleh masyarakat dari luar Baduymengakibatkan semakin sempitnya lahanperladangan orang Baduy. Bersamaan denganitu, penggundulan hutan yang terus-menerusmenimbulkan kegersangan pada musimkemarau dan erosi pada musim hujan yangberdampak negatif pada lingkunganpermukiman dan kualitas kesehatan orangBaduy itu sendiri. Hal itu mengakibatkanterjadinya pula gangguan terhadapkeberlanjutan persediaan air di daerah hilir.Semua itu terjadi karena ulah orang-orang luaryang tidak bertanggung jawab yang dengangencar mengguncang ketenangan danketenteraman orang Baduy sebagai komunitaspengelola sumber air di sekitar wilayahpedalaman Gunung Kendeng di BantenSelatan.

Page 13: Orang Baduy di Banten Selatan - jke.feb.ui.ac.id

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 59

Kepustakaan

Adimihardja, K.1976 ‘Masyarakat baduy di Banten Selatan’, Buletin YAPERNA. Berita Ilmu-Ilmu SOsial dan

Kebudayaan 3(11).

Danasasmita, S.1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian

Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikandan Kebudayaan.

Djoewisno. M.S.1988 Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Jakarta: Khas Studia.

Garna, J.1988 Tangtu Tilu Jaro Tujuh. Kajian Struktural Masyarakat Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat.

Indonesia. Tesis Ph.D. tidak diterbitkan. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.

Halim, A.nd Badui: Masyarakat ‘Bertapa’ yang Harus Diteguhkan. Manuskrip tidak diterbitkan.

Pennings. A.A.1902 ‘De Badoewi’s in Verband met Enkele Oudheden in de Residentie Bantam’ TBG. Deel

45:370-380.

Pleyte, C.M.1907 ‘Raden Moeding Laja Di Koesoema; Een Oude Soendasche Ridderroman met eene inleiding

over den toekang pantoen’ TBG. 49: 1-159.

Sargeant, P.M.1973 ‘Traditional Sundanese Badui-Area. Banten. West Java’, Bangunan 28(1).

Van Zanten, Wim1995 ‘Aspects of Baduy Music in its Sociocultural Context, with Special Reference to Singing and

Angklung’ Bijdragen. Tot De Taal Land En Volkenkunde . Deel. 151: 16-539. 4e Aflevering(Journal of the Royal Institute of Linguistics and Anthropology).

Yacob, J. dan J.J. Meijer1891 De Badoej’s . S. Grevenhage: Martinus Nijhoff.