orat oret.docx

36
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multi organ, seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama .1 Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. 2 Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit

Upload: amy-moore

Post on 30-Sep-2015

266 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangFaktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multi organ, seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama.1Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.2Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit.1Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multidisiplin dan dukungan dari berbagai pihak.3

1.2 EpidemiologiLupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun.1Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.4Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggidibandingkan dengan penduduk berkulit putih.2SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika- Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.1

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Definisi Lupus ErythematosusLupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri.1 Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata lupus dalam bahasa Latin berarti serigala, erythro berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly shaped malar rash. Tetapi pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin, melainkan dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan Loup,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau wolf dalam bahasa Inggris.3

2.2 Etiologi Lupus Eritematosus SistemikEtiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetic yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody. 4Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.3

Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakitmulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri . Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal. 22) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA. 2

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam pathogenesis Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley'sTextbook of Rheumatology, 6th ed 2001)

1. Ultraviolet B light2. Hormon sexrasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:13. Faktor dietAlfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.4. Faktor InfeksiDNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri5. Faktor paparan dengan obat tertentu :Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a ; Interferon-a.

2.3 Patogenesis Lupus Eritematosus SistemikAda empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan immunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun. 3,42. Faktor lingkungan Dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainyaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. 3,43. Faktor imunologisselama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan. 3,4Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. 4Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuclear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.4Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada pathogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahuipula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.4Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. 24. Hormon steroid (sex hormone ) Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. 2,4Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.2,4

2.4 Klasifikasi SLEKriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997. Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut mempunyai sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%.Meskipun sebagian besar penderita LES mempunyai ANA, namun titer yang rendah atau moderat mempunyai spesifisitas yang rendah. Sedangkan penderita yang mempunyai antibodi terhadap dsDNA dan Sm hampir pasti juga mempunyai ANA.2L.E.D (Lupus Eritematosus Diskoid) L.E.S (Lupus Eritematosus Sistemik)

Insidens pada wanita lebih banyak daripada pria, usia biasanya lebih dari 30 tahun Wanita jauh lebih banyak daripada pria, umumnya terbanyak sebelum usia 40 tahu (antara 20-30 tahun)

Kira-kira 5% berasosiasi dengan atau Kira-kira 5% mempunyai lesi-lesi kulit L.E.D

klasifikasi Lupus Eritematosus Discoid dengan Lupus Eritermatosus Sistemik. 13

2.5 Manifestasi KlinisGejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistemn dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.1Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. 1A. Gejala KonstitusionalManifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus. 4B. Gejala MuskuloskeletalPada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangankaki. 4Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati. 4Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahunkemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.4

C. Gejala MukokutanKelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.1). Lesi Kulit AkutRuam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. 4Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.5

2). Lesi Kulit Sub AkutLesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.5

3). Lesi DiskoidSebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.5Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.5Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak. 54). Livido RetikularisSuatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.4,5

5). UrtikariaBiasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelahpenyakit tenang secara klinis dan serologis.5

D.Kelainan pada GinjalPada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah :(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis

(3) Kelas III: focal lupus nephritis(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis(5) Kelas V: membranous lupus nephritis(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritisKelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.2,3,4

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.2,3,4

F. Pneuminitis InterstitialMerupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapaitahap lanjut.4

G.GastrointestinalDapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang adekuat. 2,3,4

H.Hati dan LimpaHepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal. 2,3,4

I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar ParotisPembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE. 2,3,4J. Susunan Saraf TepiNeuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara. 6

K.Susunan Saraf PusatGejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.6Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak.6Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandma Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus. 6

L. HematologiKelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis wtrombositopenia, dan lekopenia. 2,3,4

M. Fenomena RaynaudDitandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endothelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 2,3,4

2.6 Diagnosis Diagnosis dilakukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai pembantu diagnosis.

Anamnesis Anamnesis yang akurat sangat vital dalam menegakkan diagnosis yang tepat pada kondisi-kondisi yang mengenai kulit. Keluhan utama tersering di antaranya adalah ruam, gatal, bengkak, ulkus, perubahan warna kulit dan pengamatan tak sengaja saat pasien datang dengan keluhan utama kondisi medis lain.14 Kapan pertama kali pasien memperhatikan adanya ruam? Di mana letaknya? Apakah terasa gatal? Adakah pemicu misalnya pengobatan, makanan, sinar matahari dan allergen potensial? Dimana letak benjolan? Apakah terasa gatal? Apakah berdarah? Apakah bentuk/ukuran/ warnanya berubah? Adakah benjolan di tempat lain? Bagaimana perubahan warna yang terjadi misalnya pigmentasi meningkat, ikterus, pucat? Siapa yang memperhatikan adanya perubahan warna? Sudah berapa lama? Bandingkan dengan foto terdahulu. Adakah gejala penyerta yang menunjukkan adanya kondisi medis sistemik misalnya penurunan berat badan, atralgia dan lain-lain?

Pertimbangkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh kondisi kulit yang serius, seperti kehilangan cairan, infeksi sekunder, penyebaran metastatic ke kelenjar getah bening atau organ lain.14 Riwayat Penyakit Dahulu Pernahkan pasien mengalami gangguan kulit, ruam dan lain-lain? Adakah riwayat kecenderungan atopi (asma, rhinitis)? Adakah pasien memiliki masalah dengan kulit di masa kecil? Adakah riwayat kondisi medis lain yang signifikan khususnya yang mungkin memiliki manifestasi pada kulit, misalnya SLE, penyakit seliaka, miositis atau transplantasi ginjal?14

Obat-obatan Riwayat pemakaian obat yang lengkap penting bagi semua kenis pengobatan, baik obat resep ataupon alternative yang dimakan atau topical. Pernahkah pasien menggunakan obat untuk penyakit kulit? Pernahkah pasien menggunakan imunosupresan?14 Apakah dalam pengobatan prokainamid, hidantoin, griseofulvin, fenilbutazone, penicillin, streptomisin, tetrasiklin dan sulfonamida? 13

Alergi Apakah pasien memiliki alergi obat? Jika ya, seperti apa reaksi alergi yang timbul?14 Apakah pasien mengetahui kemungkinan allergen yang lain? Pernahkah pasien menjalani patch test atau pemeriksaan respons IgE?

Riwayat Keluarga Adakah riwayat penyakit kulit atau atopi dalam keluarga? Adakah orang lain di keluarga yang mengalami kelainan serupa?14

Riwayat Sosial Bagaimana riwayat pekerjaan pasien, apakah terpapar sinar matahari, allergen potensial atau parasit kulit? Apakah menggunakan produk pembersih baru, hewan peliharaan baru dan lain-lain? Apakah pasien baru-baru ini bepergian ke luar negeri? Adakah pajanan pada penyakit infeksi lain?14

Pemeriksaan Fisik 1. keadaan umum pasien. Apakah pasien sakit ringan atau berat. Apakah pasien tampak syok, berpigmen atau demam? Kondisi kulit yang serius yang mengenai daerah yang luas pada kulit bisa menyebabkan kehilangan cairan yang membahayakan jiwa dan infeksi sekunder. Pada inspeksi juga, diperhatikan lokalisasi, warna, bentuk, ukuran, penyebaran, batas dan effloresensi yang khusus.13,14 Pada palpasi. Pada pemeriksaan ini, diperhatikan adanya tanda-tanda radang akut atau tidak, misalnya dolor, kolor, fungsiolesa, ada tidaknya indurasi, fluktuasi dan pembesaran kelenjar regional maupun generalisata.13Pengobatan Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.10 a. Pengobatan SLE Ringan Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu: Obat-obatan - Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan. - Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi. - Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan) - Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan. - Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara . - Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).10

b. Pengobatan SLE Sedang Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara. c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.10 Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan SLE mencakup10: 14

Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi konvensional. Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid. Danazol pada trombositopenia refrakter. Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect pada SLE ringan. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan obat lainnya. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat. Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE (saat ini belum tersedia di Indonesia) Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40 (CD40LmAb). Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

Tabel 2. Jenis dan Dosis Obat yang Dipakai Pada SLE.10Jenis Obat Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi Awal Pemantauan

Klinis Laboratorik

OAINS Tergantung OAINS Perdarahan saluran cerna, hepatotoksik, sakit kepala, hipertensi, aseptic, meningitis, nefrotoksik. Darah rutin, kreatinin, urin rutin, AST/ALT Gejala gastro-intestinal Darah rutin, kreatinin, AST/ALT setiap 6 bulan.

Kortiko-steroid Tergantung derajat SLE Cushingoid, hipertensi, dislipidemi, ostoenekrosis, hiperglisemia, katarak, osteoporosis. Gula darah, profil lipid, DXA, tekanan darah Tekanan darah Glukosa

Komplikasi SLE dapat menyebabkan timbulnya pelbagai komplikasi. Antara komplikasi yang dapat timbul adalah adanya gagal ginjal, kerusakan pada otak, dan mata. Selain itu, obat yang digunakan pada pengobatan SLE yaitu steroid dapat menyebabkan kecedaraan organ yang dapat menimbulkan infeksi karena terjadinya supresi sistem imun. Antara komplikasi yang dapat timbul akibat penggunaan steroid adalah gangguan psikiatri, rentan terhadap infeksi, kelemahann tulang, pembentukan katarak pada mata, diabetes dan memperburuk kondisi penderita yang mendertia diabetes. Peningkatan tekanan darah, insomnia dan penipisan lapisan kulit juga merupakan komplikasi yang dapat timbul akibat penggunaan steroid. Komplikasi sering terjadi pada wanita menderita SLE yang hamil terutamanya jika adanya gangguan pada ginjal. Pada waktu pasca partus, penyakit dapat timbul kembali. Pada wanita yang SLE sudah tidak aktif untuk 6 hingga 12 bulan, potensi untuk tidak berlakunya kegagalan kehamilan lebih 18

rendah. Selain itu, antibodi yang terbentuk pada ibu yang akan ditransfer ke janin dapat menyebabkan timbulnya rash, anemia, dan bradikardi akibat daripada complete heart block (neonatal lupus).1,13 SLE dapat menyebabkan berbagai komplikasi terhadap sistem organ. Komplikasi yang tersering adalah adanya lupus nefritis. Penderita dengan kondisi ini bisa terjadi gagal ginjal sehingga perlu dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Tanpa nefritis atau nefrosis pun seringkali ada proteinuri.1,2 Thrombosis vena dalam atau emboli paru SLE dapat juga menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium dan pericardium; timbul perikarditis, endokarditis atau miokarditis.1,13 Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% dari pasien SLE. Beberapa kasus dapat sangat berat sehingga terjadi gangrene pada jari.2 Efusi pleura dan kerusakan jaringan paru, pleuritis. Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE.2 Abortus spontan, anak lahir mati dan komplikasi kehamilan yang lain. Jumlah abortus spontan dan anak lahir mati pada penderita L.E.S memang lebih tinggi daripada wanita sehat, tetapi abortus terapetik tidak merupakan indikasi.1 Strok Trombositopeni Inflamasi pembuluh darah. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteri dan vena. Kolitis ulserativa serta hepatosplenomegali ditemukan.2,14 Atritis, biasanya tanpa deformitas, bersifat episodik dan migratorik, nekrosis kepala femur dan atrofi muskulo-skeletal dengan mialgia telah dilaporkan.1 Sendi-sendi yang paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut dan pergelangan kaki.2 Limfadenitis dapat bersifat regional atau generalisata.1 Neuritis perifer, ensefalitis, konvulsi, dan psikosis dapat terjadi.1 Perubahan-perubahan pada system saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali bersifat fatal.1,2,14

Pengobatan Pada Keadaan Jika Sudah Timbul Komplikasi 12 Anemia Hemolitik :- Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan 19

Trombositopenia autoimun :- Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut. Perikarditis Ringan :- Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari Perkarditis Berat :- Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari Miokarditis :- Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan dengan siklofosfamid. Efusi Pleura :- Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase. Lupus Pneunomitis :- Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu Lupus serebral :- Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-turut.12

2.10 PrognosisMasa kanak-kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit fatal seragam. Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr survival rate lebih besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien dengan lupus saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi akibat administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit kompleks 1LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun.Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap. 4

BAB IIIKESIMPULAN

Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus.Diunduh 6 November 2012 : http://www.aafp.org2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Diunduh 6 November 2012: http://www.childrenclinic.wordpress.com.3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Diunduh6 November 2012 : http://www.pediatrik.com.4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic LupusErythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,Philadelphia. 2003. p810-813.5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Diunduh 6 November 2012 :htttp://www.emedicine.com.6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada LupusEritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.7. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Lastupdate: 1 Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org8. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 16 Mei, 2009.Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com.9. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Lastupdate : 14 Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com.10. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic LupusErythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,Philadelphia. 2003. p810-813.11. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Last update : February, 2007.Available at htttp://www.emedicine.com.12. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada LupusEritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.

1. Djuanda Suria. Penyakit Jaringan Konektif. In Djuanda A., Mochtar H., Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h.264-67.