osa
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) PADA ANAK Anjar A.Setiawati, Sofjan Effendi, Lisa Apri Yanti
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNIVERSITAS SRIWIJAYARS Dr. Mohammad Hoesin, Palembang
AbstrakObstructive sleep apnea syndrome (OSAS) pada anak merupakan gangguan pernapasan saat tidur yang ditandai adanya obstruksi parsial atau total jalan napas atas secara intermiten (obstructive apnea) yang mengganggu ventilasi saat tidur dan mengganggu pola tidur yang normal, dengan gejala utama mendengkur. Istilah ‘apnea’ didefinisikan sebagai henti napas selama 10 detik atau lebih yang dapat menyebabkan penurunan aliran udara 25% dibawah normal. Prevalensinya berkisar 1-4% dengan frekuensi tertinggi pada usia prasekolah. Faktor penyebab sindroma ini pada anak-anak yakni hipertrofi adenoid dan tonsil, kelainan struktur kraniofasial, obesitas dan lingkar leher. Terdapat beberapa cara dalam menilai berat-ringannya OSAS, yaitu Epworth sleepiness scale, kuesioner Brouillette, apnea-hypopnea index (AHI), Friedman’s staging system, polisomnografi dan lain-lain. Komplikasi dari sindroma ini pada anak seperti gangguan kognitif, tingkah laku, emosi hingga gagal tumbuh. Tatalaksana OSAS pada anak sesuai dengan faktor penyebab seperti adenoidektomi, tonsilektomi, penggunaan continuous positive airway pressure (CPAP) ataupun penurunan berat badan pada obesitas.
Kata kunci : Obstructive sleep apnea syndrome, apnea, diagnosis, tatalaksana
AbstractObstructive sleep apnea syndrome (OSAS) in children is a breathing disorder during sleep characterized by prolonged partial upper airway obstruction and/or intermittent complete obstruction (obstructive apnea) that disrupts normal ventilation during sleep and normalsleep patterns, with snoring as chief complaint. The term ‘apnea’ is defined as stop breathing for 10 second or more that may cause 25% airflow decrease below normal. OSAS prevalence in children are 1-4% with the highest frequency are among preschool age. Risk factors in children with OSAS are adenoid and/or tonsil hypertrophy, craniofacial disproportion, obesity and neck circumference. There are several tool to determine OSAS severity such as Epworth sleepiness scale, Brouillette’s quetionaire, apnea-hypopnea index (AHI), Friedman’s staging system and polysomnography. Complications of this syndrome in chilhood are cognitive, behavioral and emotional disorders untill fail to thrive. The management of children with OSAS should be consistent with the risk factors such as adenoidectomy, tonsilectomy, continuous positive airway pressure (CPAP) use, or weight loss for obesity.
Keywords: Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), apnea, diagnosis, management
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan seorang anak sangat tergantung dari tidur karena
saat tidur terjadi perbaikan sel-sel otak dan sekitar 75% hormon pertumbuhan
diproduksi. Tidur juga mempunyai efek yang besar terhadap kesehatan mental,
emosi dan fisik serta sistem imunitas tubuh. Pola tidur yang kurang baik dapat
mengakibatkan abnormalitas otak pada anak. Gangguan tidur pada anak ternyata
cukup sering dialami seperti sulit memulai tidur, mendengkur, mimpi buruk,
obstructive sleep apnea, yang kemudian mengakibatkan gangguan dalam berbagai
fungsi sosial.
Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) adalah suatu sindrom dengan
ditemukannya episode apnea atau hipopnea pada saat tidur.Prevalensi OSAS pada
anak adalah 1-4% dengan presentase tertinggi pada usia prasekolah (4-6tahun).
Sedangkan prevalensi Primary Snoring pada anak berkisar 3-12% dan pada 25-
30% anak dengan keluhan mendengkur menderita OSAS.OSAS dapat terjadi pada
anak dengan hipertrofi adenoid dan tonsil, kelainan struktur kraniofasial, obesitas,
kelainan daerah hidung dan lingkar leher. Hipertrofi adenoid dan tonsil
merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak.1,2-4
OSAS pada anak berbeda dengan dewasa baik faktor resiko maupun tata
laksananya. Manifestasi klinis OSAS pada anak adalah kesulitan bernapas pada
saat tidur, mendengkur, hiperaktif, mengantuk pada siang hari, dan kadang-
kadang enuresis. Anak yang menderita OSAS berat akan mengalami gejala siang
dan malam hari. Pada malam hari (night-time symptoms), anak tidur dengan mulut
terbuka,mengorok dan sering mengalami henti napas sehingga anak sering
terbangun dari tidurnya karena sulit bernapas (arrousal)dan mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia), maka pada siang hari anak akan mengalami gejala
berupa sering tertidur dalam kelas, kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran
tertentu serta gangguan kognitif lainnya sehingga terjadi penurunan prestasi
akademik, yang disebut day-time symptoms. Kondisi hipoksia yang berlangsung
2
lama pada anak dengan OSAS dengan AHI (apnea/hypopnea index) yang tinggi
dapat menyebabkan cor-pulmonale,hipertensi pulmonal dan gagal tumbuh.3-5
Beberapa rumah sakit menggunakan kriteria snoring yang berbeda-beda
dan kriteria OSA pada dewasa tidak dapat diaplikasikan pada anak. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan guna menegakkan suatu OSAS pada anak, terdiri dari
pemeriksaan secara subyektif dan obyektif. Skrining riwayat mendengkur pada
anak merupakan pemeriksaan rutin, maka bila dijumpai adanya riwayat
mendengkur perlu digali tentang riwayat tidur secara terinci. Selain itu, pada anak
yang dicurigai menderita OSAS perlu dilakukan pemeriksaan polisomnogram
sebagai standar baku. Bila pada polisomnogram didapatkan AHI ≥ 3, maka anak
tersebut menderita OSAS.
Tatalaksana pada anak dengan OSAS dapat dengan medikamentosa, diet,
pemakaian continuous positive pressure ventilation (CPAP) dan operasi. Tin-
dakan operasi yang dapat dilakukan adalah adenoidektomi, tonsilketomi ataupun
operasi rekonstruksi, antara lain uvulopalatopharyngoplasty, tongue reduction
surgery, trakeotomi. Pasien yang menjalani operasi sebagai terapi OSAS, perlu
diobservasi. Pilihan terapi OSAS pada anak harus sesuai dengan faktor resiko dan
indikasi. Konseling yang baik dan monitoring jangka panjang merupakan hal yang
penting dilakukan demi keberhasilan terapi OSAS pada anak.2,8-10
3
BAB 2
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) PADA ANAK
2.1. Definisi
Obstructive Sleep Apnea Syndrome(OSAS) adalah keadaan apnea (penghentian
aliran udara selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan
saturasi oksigen) dan hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal
10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran
udara >50% untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3%), terdapat
sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada
saat tidur selama non-REM (non-Rapid Eye Movement) atau REM (Rapid Eye
Movement) sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat.
Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi
peralihan ke tahap tidur yang lebih awal. Istilah OSAS dipakai pada sindrom
obstruksi total atau parsial jalan napas yang menyebabkan gangguan fisiologis
yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi. Istilah primary snoring
(mendengkur primer) digunakan untuk menggambarkan anak dengan kebiasaan
mendengkur yang tidak berkaitan dengan apnea obstruktif, hipoksia atau
hipoventilasi. Guilleminault dkk8 mendefinisikan sleep apnea sebagai episode
apnea sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya paling sedikit 10 detik
dan terjadi baik selama fase tidur REMdan non-REM. Terdapat istilah apnea
index (AI) dan hypopnea index (HI) yaitu frekuensi apnea atau hipopnea per jam.
Apnea- hypopnea index(AHI) dapat digunakan sebagai indikator berat-ringannya
OSAS. 1,2,3
2.2 Prevalensi
OSAS dapat terjadi pada semua umur termasuk neonatus. Insidensi apnea pada
neonatus sekitar 25% pada bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram dan 84%
pada bayi dengan berat badan lahir < 1000 gram. Insidensi tertinggi terjadi antara
umur 4 - 6 tahun (usia prasekolah) karena pada usia ini sering terjadi hipertrofi
tonsil dan adenoid. Pada anak, angka kejadian OSAS tidak berhubungan dengan
jenis kelamin, sedangkan pada dewasa, lelaki lebih sering dibandingkan
4
perempuan yaitu sekitar 8:1. Secara epidemiologi, OSAS lebih sering terjadi pada
orang dewasa daripada anak-anak.2,4,5
Mendengkur karena kebiasaan (habitual snoring) dijumpai pada masa
anak-anak yang terjadi pada 7-9% dari anak-anak prasekolah dan anak usia seko-
lah. Schechter dkk24, melaporkan bahwa prevalensi mendengkur (snoring)
berkisar antara 3,2-12,1%. Gangguan pernapasan selama tidur didapat sekitar 0,7-
10,3% dari anak-anak berusia 4 - 5 tahun. Yoshizuwa dkk18 di Jepang menggam-
barkan hubungan antara OSAS dan tipe HLA - A2 spesifik.
2.3. Fisiologi Tidur
Tidur mempunyai periode REM dan nonREM yang berubah-ubah beberapa kali
selama tidur malam hari. Pola siklus tidur-bangun baru jelas terlihat pada umur 3-
4 bulan, dimana proporsi tidur mulai lebih banyak pada malam hari. Umumnya
morning naps berhenti pada umur 1 tahun dan afternoon naps terus berlangsung
hingga umur 3 tahun. Perkembangan tidur ini berkaitan dengan umur dan
bertambah besarnya anak (maturitas otak), maka jumlah total tidur ynag
diperlukan berkurang dan diikuti dengan penurunan proporsi REM dan nonREM.
Dari rata-rata 16,5 jam pada umur 1 minggu, 14 jam pada umur satu tahun, 13 jam
pada umur 2 tahun, 11 jam pada umur 5 tahun dan 10 jam pada umur 9
tahun.Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, yakni: tahap 1 terjadi bila merasakan
ngantuk dan mulai tertidur. Gelombang listrik otak memperlihatkan ‘gelombang
alfa’dengan penurunan voltase. Tahap I ini berlangsung 30 detik sampai 5 menit
pertama dari siklus tidur. Pada tahap 2 gambaran EEG memperlihatkan ge-
lombang berfrekuensi 14-18 siklus per detik, dan ini dinamakan gelombang tidur
(sleep spindle). Periode tahap 2 berlangsung dari 10 sampai 40 menit. Tahap 3
dan 4 merupakan tahap tidur dalam, dimana orang yang tertidur pulas, rileks
sekali karena tonus otot lenyap sama sekali, dan EEG memperlihatkan gelombang
lambat delta (20-50%). Tahap 4 adalah tidur paling nyenyak, tanpa mimpi dan
sulit dibangunkan. EEG memperlihatkan dominasi gelombang delta (>50%) dan
gelombang tidur (sleep spindle) sulit didapat. Pada tahap ini pola pernapasan dan
denyut jantungnya teratur dan diproduksi hormon pertumbuhan.
5
Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM adalah
tahapan tidur yang sangat aktif. Pola napas dan denyut jantung tak teratur dan
terjadi pergerakan bola mata yang cepat, sehingga disebut tidur REM. Sebagian
besar anggota gerak tetap lemah dan rileks. Tahap tidur ini diduga berperan dalam
memulihkan dan menjernihkan pikiran, daya ingat dan mempertahankan fungsi
sel-sel otak.
Gambar1. Fisiologi Tidur11
Mekanisme tidur-bangun ini sesungguhnya belum diketahui secara
pasti.Siklus tidur-bangun dikontrol oleh aktivitas neuron di dalam reticular
activating system (RAS). RAS terdiri dari sistem retikularis batang otak,
hipotalamus posterior dan basal otak depan. Aktivitas neuron di pons, mid brain,
dan hipotalamus posterior penting untuk keadaan bangun. Sedangkan aktivitas di
medula sangat penting untuk stimulasi keadaan tidur. Siklus tidur-bangun ini
mungkin terintegrasi di basal otak depan.
Terdapat pula mekanisme spesifik otak, yang dapat membangkitkan tidur
nonREM dan tidur REM. Lesi di anterior hipotalamus dan area yang berdekatan
dengan basal otak depan akan mengakibatkan insomnia yang berkepanjangan.
Sebaliknya stimulasi kimia atau elektrik di basal otak depan akan menghasilkan
tidur nonREM. Aktivitas neuron di area ini maksimal selama tidur nonREM, dan
sangat kurang selama tidur REM dan keadaan bangun. Area lain yang diduga
sebagai regulator tidur nonREM adalah nukleus traktus solitarius.Lateral pons dan
area retikularis di medial medulla merupakan area yang sangat aktif selama
6
periode tidur REM dan sangat kurang pada tidur nonREM. Sel-sel neuron di
medula yang mengontrol tidur REM, diduga berpengaruh supresi terhadap tonus
otot pada waktu tidur REM, yaitu melalui aktivasi neuron di batang otak dan
inhibisi motorneuron di medula spinalis.
Secara farmakologik, kini sudah ada bukti bahwa tidur nonREM sangat
berhubungan dengan mekanisme serotoninergik dan tidur REM dipengaruhi oleh
mekanisme adrenergik. Sebagai contoh, pemberian serotonin dapat mengurangi
latensi mula tidur secara bermakna, sebaliknya kerusakan area serotonin di pons
akan menyebabkan insomnia. Injeksi asetilkolin ke dalam pons akan
menimbulkan tidur REM. Sistem katekolamin (noradrenalin dan dopamin) juga
mempunyai peran penting pada keadaan bangun dan tidur REM. Konsentrasi
norepineprin dan serotonin di korteks mencapai puncak pada waktu bangun,
terendah dalam tidur REM dan intermediet pada tidur nonREM. Sebaliknya
neuron kolinergik melepaskan asetilkolin dengan kadar yang tinggi pada tidur
REM dan waktu bangun dan terendah pada waktu tidur nonREM.
2.3.1 Fungsi Endokrin Selama Tidur
Siklus tidur ini mempunyai kaitan dengan hormon tubuh, seperti hormon
pertumbuhan (growth hormon), prolaktin, dan kortisol. Hormon pertumbuhan
disekresi pada awal periode tidur lelap, tahap 3 & 4 dan dihambat selama tidur
REM. Hormon ini berfungsi merangsang pertumbuhan tulang panjang, tulang
rawan dan jaringan lunak serta mengatur metabolisme tubuh termasuk
otak.Penting diketahui bahwa sekresi hormon ini mencapai puncaknya pada usia 5
tahun pertama, saat terjadi pacu tumbuh otak (brain growth spurts).
Kadar prolaktin mencapai puncaknya antara jam 05.00 dan 07.00 pagi.
Sekresi kortikosteroid yang biasanya terjadi selama malam hari, dapat berubah
sesuai dengan siklus tidur-bangunnya. Bila pola tidur berubah, sekresi kortisol
akan mengalami perubahan dan penyesuaian atau resinkronisasi secara
bertahap.Fluktuasi hormon selama tidur bergantung pada 3 faktor utama, yaitu
irama sirkadian, siklus tidur-bangun dan tahapan tidur nonREM dan REM.
Penyebab dari variasi ini masih belum diketahui dengan jelas. Sekresi horman
7
kortisol dan adrenokortikotropik (ACTH) mengikuti irama sirkadian, dengan
puncaknya di pagi hari (6-8 jam tidur sampai 1 jam setelah bangun tidur) dengan
titik terendah pada larut malam. Thyrotropin-stimulating hormon juga
berhubungan dengan irama sirkadian dengan puncaknya pada larut malam dan
awal dari siklus tidur. Meskipun puncak kadar aldosteron terjadi selama periode
tidur lelap, namun tidak barkaitan secara khusus dengan tahapan tidur nonREM
atau REM. Renin meningkat selama tidur, tetapi menurun secara relatif selama
tidur REM. Hormon pertumbuhan, prolaktin, luteinizing hormon (LH), dan
testosteron berhubungan dengan tidur dan tahapan tidur. Kadar prolaktin pada
laki-laki dan perempuan mencapai puncaknya selama siklus nonREM, dengan
titik terendah pada tidur REM. Jika waktu tidur berubah, maka kadar puncak
prolaktin segera berubah pula, dan mengikuti dengan pola tidur baru. Siklus
sirkadian LH sangat berhubungan dengan tingkat maturitas seks pada kedua jenis
kelamin. Pada anak prepubertas dan pubertas, sekresi LH meningkat selama
periode tidur, dan puncaknya terjadi pada periode tidur REM. Oleh karena itu
makin tinggi pre-sentase tidur nonREM, makin rendah kadar LH nya. Melatonin
atau hormon tidur, dapat membantu mengontrol ritme tubuh dan siklus tidur-
bangun. Fluktuasi hormon ini bergantung pada irama sirkadian (terang atau
gelap). Adanya cahaya akan menghambat pelepasan melatonin dari kelenjar
Pineal, oleh karena itu sekresi hormon ini lebih banyak pada malam hari daripada
siang hari. Hormon ini disekresi secara teratur sebelum bayi umur 6 bulan .
2.3.2 Pengaruh Tidur: Tumbuh Kembang Bayi
Tidur merupakan interaksi yang kompleks dari sistem neurotransmiter dan sistem
regulasi tidur dengan mekanisme lainnya, sebagai contoh mekanisme yang
mengatur temperatur, pola pernapasan dan tekanan darah. Kira-kira 2/3 kehidupan
bayi baru lahir digunakan untuk tidur. Seluruh kejadian selama tidur merupakan
refleksi dari aktivitas neuron tertentu di susunan saraf pusat, yang berubah secara
dramatis sesuai dengan perkembangan bayi. Oleh karena itu tidur sangat
berhubungan dengan perkembangan anak dan sekaligus merupakan jendela dari
perkembangan otak anak selanjutnya.
8
Pada waktu bangun, tubuh menggunakan oksigen dan makanan (energi)
untuk keperluan kegiatan fisik dan mentalnya. Keadaan ‘katabolik’ ini juga
banyak mengunakan hormon adrenalin (epineprin) dan kortikosteroid tubuh.
Selama tidur, terjadi keadaan sebaliknya yaitu ‘anabolik’, dimana terjadi
konservasi energi, perbaikan sel-sel tubuh dan pertumbuhan. Karena konsentrasi
adrenalin dan kortisol turun, maka tubuh mulai membentuk hormon pertumbuhan.
Selain berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan, hormon ini juga me-
mungkinkan tubuh memperbaiki dan memperbarui seluruh seltubuh. Proses
pembaruan sel ini berlangsung lebih cepat dibandingkan pada waktu bangun. Hal
ini merupakan bukti yang penting bahwa tidur berefek pada tumbuh kembang
anak.9,10
Gambar 2. Gambaran fisiologi tidur terhadap kebutuhan oksigen temperatur tubuh, denyut jantung,
gerakan dan tingkatan tidur.9
2.4 Faktor – faktor Predisposisi
Faktor-faktor predisposisi terjadinya OSAS pada anak antara lain sebagai akibat
hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, obesitas. Hipertrofi adenoid
dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak,
akan tetapi ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus dengan berat
ringannya OSAS. Terdapat anak dengan hipertrofi adenoid yang cukup besar,
namun OSAS yang terjadi masih ringan, anak lain dengan pembesaran adenoid
9
ringan menunjukkan gejala OSAS yang cukup berat. Walaupun pada sebagian
besar anak OSAS membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian
kecil akan menetap setelah dioperasi.Anak dengan anomali kraniofasial yang
mengalami penyempitan struktur salurannapas yang nyata (mikrognasi dan
midface hypoplasia) akan mengalami OSAS. Pada anak dengan disproporsi
kraniofasial dapat menyebabkan sumbatan saluran napasmeskipun tanpa disertai
hipertrofi adenoid.1,2,32,34
Salah satu penyebab OSAS yang lain adalah obesitas. Pada dewasa
obesitas merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan
sebagai penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas karena
terdapat penyempitan saluran napas bagian atas akibat penimbunan jaringan
lemak di dalam otot dan jaringan lunak sekitar saluran napas, maupun kompresi
eksternal leher dan rahang. Penentuan obesitas dapat dilakukan dengan cara
menghitung indeks massa tubuh (IMT) dan pengukuran lingkar leher. Untuk
penentuan OSAS, yang lebih berperan adalah lingkar leher dibandingkan dengan
IMT. Telah diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah
atas berhubungan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula
diduga berhubungan dengan mendengkur dan OSAS. Diduga bahwa penumpukan
lemak pada daerah leher dapat membuat saluran napas atas menjadi lebih sempit.
Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar
mempunyai velofaring yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat
mempermudah terjadinya sumbatan saluran napas atas pada waktu tidur.9,10
Penyakit berikut ini penyakit lain yang berhubungan dengan OSA pada
anak:Pierre Robin anomaly, Crouzon syndrome, Treacher Collins syndrome,
Kippel-feil syndrom, Beckwith-wiedemann syndrome, Apert syndrome, Prader
willi syndrom, Morbid obesity, Marfan syndrome, Achondroplasia,
Laryngomalacia, Mucopolysaccharidoses dankeadaan kelemahan neuromuscular,
diantaranya Duchenne muscular dystrophy, Werdnig-Hoffman disease, late-onset
spinal muscular atrophy, Guillain Barre syndrome, myotonic dystrophy, dan
myotubular myopathy, Chiari malformation, Cerebral palsy serta Sickle cell
anemia.9,25
10
Gambar 3. Kelainan yang menyebabkan OSA sesuai letak anatomis.25
2.5. Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis OSAS pada anak belum banyak diketahui namun dapat terjadi jika
gangguan antara faktor yang mempertahankan patensi saluran napas dan
komponen jalan napas bagian atas yang menyebabkan kolapsnya jalan napas.
Faktor-faktor yang memelihara patensi saluran napas adalah a) respon pusat
ventilasi terhadap hipoksia, hiperkapnia, dan sumbatan jalan napas; b) efek pusat
rangsangan dalam meningkatkan tonus neuromuskular jalan napas bagian atas; c)
efek dari keadaan tidur dan terbangun.
Obstruksi pada OSA adalah akibat dari gangguan aliran udara
yangdisebabkan oleh dinding faring yang kolaps sewaktu tidur. Etiologi dan
mekanisme kolapsnya jalan napas multifaktorial tetapi dikaitkan dengan interaksi
jalan napas atas yang sangat mudah kolaps dengan relaksasi otot dilator faring
yang terjadisewaktu tidur. Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, kelainan
kraniofasial seperti retrognathia menambah kecenderungan obstruksi dengan
peningkatan tekanan intraluminal pada jaringan sekitar jalan napas atas. Tetapi
gangguan struktural saja pada saluran napas tidak cukup memadai untuk
menyebabkan OSA. Pasien tanpa kelainan anatomi dapat juga mengalami OSA,
karena kompleks jaras refleks dari saraf pusat ke faring yang mengawal tindakan
otot dilator faring gagal mempertahankan patensi faring.11,12
11
Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif relaksasi sehingga ada
kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Selain itu, obstruksi
nasal menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara dan memperburukan OSA.
Obstruksi nasal mengakibatkan usaha pernapasan melalui mulut saat
tidursehingga terjadi relaksasi otot genioglosus sehingga lidah tergeser ke
belakang. Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada jalan
napasatas akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah
ataupalatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator jalan napas atas
menstabilkan jalan napas pada waktu tidur di mana otot-otot faring
berelaksasi,lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.11,13
Gambar 4. Patofisiologi Obstructive sleep apnea.13
Pada anak lebih sering mengalami periode obstruksi parsial jalan napas
yang berkepanjangan dan hipoventilasi dibandingkan orang dewasa. Keadaan
apnea lebih jarang pada anak dan umumnya waktu lebih singkat daripadaorang
dewasa. Hipoksia dan hiperkapnia terjadi akibat siklus obstruksi parsial atau total.
Obstruktif apnea menyebabkan peningkatan aktifitas otot-otot dilatator saluran
napas atas sehingga mengakibatkan berakhirnya apnea. Pada anak dengan OSAS
12
Hypoxia & hypercapnia
Obstructive apnea
Increased Ventilatory effort
Sleep arousal
Airway obstruction &
Pharyngeal dilator
sleep
Corrected hypoxia &
Patent muscle
Regained pharyngeal
arousal jauh lebih jarang, dan obstruksi parsial dapat berlangsung terus selama
berjam-jam tanpa terputus.
Terdapat dua teori patofisiologi sumbatan (kolaps) jalan napas yaitu: Teori
balance of forces dan Starling resistor. Teori balance of forces adalah ukuran
lumen faring tergantung pada keseimbangan antara tekanan negatif intrafaringeal
yang timbul selama inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan napas atas. Tekanan
transmural pada saluran napas atas yang mengalami kolaps disebut closing
pressure. Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan napas atas akan
mempertahankan tekanan transmural di atas closing pressure sehingga jalan napas
atas tetap paten. Pada saat tidur tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen
farings mengecil sehingga menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi
obstruksi. Teori starling resistor yaitu jalan napas atas berperan sebagai starling
resistor yaitu perubahan tekanan yang memungkinkan faring untuk mengalami
kolaps yangmenentukan aliran udara melalui saluran napas atas. Manifestasi
OSAS timbul jika faktor yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas
bergabung dengan kelainan kontrol susunan saraf pusat terhadap fungsi otot-otot
saluran napas atas. Kemungkinan kombinasi faktor-faktor ini dapat menerangkan
mengapa beberapa anak dengan kelainan struktur mengalami OSAS, sementara
yang lainnya dengan derajat penyempitan saluran napas yang sama menunjukkan
pernapasan yang normal selama tidur. 12,13
2.6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernapas pada saat tidur
yangbiasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernapas
terjadi, mendengkur merupakan gejala awal yang timbul. Dengkuran pada anak
dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu
saja. Riwayat dengkuran lebih dari 3 malam dalam seminggu meningkatkan
kecurigaan OSAS. Pada OSAS, pada umumnya anak mendengkur setiap tidur
dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar kamar dan terlihat episode apnea
yang mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun (arrousal). Usaha
bernapas dapat terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya
13
tengkurap, setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk mempertahankan
patensi jalan napas bahkan terkadang didapatkan anak berkeringat, gelisah,sering
terbangun, sampai sianosis.13,15
Gejala klinis OSAS pada anaksering berupa keluhan sakit kepala pagi hari,
kelelahan sepanjang hari, iritabilitas, gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
OSAS yang muncul saat fase REM menyebabkan mimpi buruk seperti mimpi
tenggelam atau tercekik. Biasanya orang tua juga mengeluhkan kesulitan
membangunkan anak pada pagi hari serta anak sering mengeluhkan mulut kering,
sakit kepala, disorientasi, kelelahan dan rasa tidak nyenyak setelah tidur cukup.
Anak sering sulit konsentrasi di sekolah dan sering mengantuk saat membaca,
menonton televisi atau saat di mobil. Hal ini mengakibatkan terjadi penurunan
prestasi, mood berubah, dan kecerobohan.11,12,13
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat pernapasan melalui mulut, adenoid
facies,midfacial hypoplasia, retro/mikrognathia atau kelainan kraniofasial
lainnya, obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya allergic shiners atau
lipatan horizontal hidung. Patensi pasase hidung harus dinilai, perhatikan adanya
ukuran lidah, integritas palatum, daerah orofaring, redudant mukosa palatum,
ukuran tonsil, dan ukuran uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru
biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan jantung
dapatmemperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal misalnya peningkatan
komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan. Pemeriksaan
neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan status
perkembangan.12,13
Tabel 1. TheEpworth sleepiness scaledigunakan untuk menilai rasa kantuk pada siang.12
14
0 1 2 3
Duduk dan membaca Tidak mungkin tertidur
Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)
Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)
Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)
Menonton televisi Tidak mungkin tertidur
Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)
Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)
Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)
Duduk diam di tempat keramaian
Tidak mungkin tertidur
Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)
Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)
Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)
Sebagai penumpang dalam mobil selama 1jam tanpa istirahat
Tidak mungkin tertidur
Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)
Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)
Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)
Istirahat siang dalam posisi berbaring
Tidak mungkin tertidur
Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)
Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)
Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)
Duduk dan berbicara dengan orang lain
Tidak mungkin tertidur
Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)
Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)
Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)
Duduk diam setelah makan siang tanpa alkohol
Tidak mungkin tertidur
Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)
Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)
Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)
Dalam mobil, saat berhenti beberapa menit akibat macet
Tidak mungkin tertidur
Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)
Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)
Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)
TheEpworth sleepiness scale digunakan untuk menilai rasa kantuk pada siang,
nilai-nilai tersebut dijumlahkan, bila nilai ESS 10 atau lebih maka penderita
mungkin menderita OSAS.12,13
2.7.Diagnosis Banding
OSAS pada anak harus dibedakan dengan beberapa kelainan dan penyakit seperti
Chronic fatigue syndrome, stridor kongenital, Penyakit Refluks Gastroesofageal
(PRGE), hipotiroidisme, Obstructive hypoventilation syndrome, gangguan tidur:
(mimpi buruk), Sleep Disorder Breathing.14,15
2.8. Komplikasi OSAS pada Anak
Komplikasi OSAS terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal, asidosis, sleep
fragmentation. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi neurobehavioral, gagal
15
tumbuh, komplikasi kardiovaskular, enuresis, penyakit respiratorik, gagal napas
sampai kematian. Komplikasi neurobehavioral terjadi akibat hipoksia kronis
nokturnal dan sleep fragmentation. Rasa mengantuk pada siang hari yang
berlebihan dilaporkan terjadi pada31% - 84% anak dengan OSAS. Keluhan lain
yang dapat menyertai OSAS adalahketerlambatan perkembangan, penampilan di
sekolah yang kurang baik, hiperaktifitas,sikap yang agresi/hiperaktif, penarikan
diri dari kehidupan sosial. Manifestasi gangguan kognitif yang lebih ringan dapat
sering terjadi. Suatu penelitian menunjukkan perbaikan OSAS dapat
menyebabkan perbaikan yang nyata pada fungsi kognitif. Enuresis dapat
merupakan komplikasi OSAS. Etiologinya mungkin akibat kelainan dalam
regulasi hormon yang mempengaruhi cairan tubuh. Enuresis khususnya yang
sekunder dapat membaik setelah obstruksi jalan napas bagian atas dihilangkan.
Gagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak dengan
OSAS kira-kira 27 - 56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS
adalah anoreksia, disfagia, sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil,
peningkatan upaya untuk bernapas, dan hipoksia. Pertumbuhan yang cepat terjadi
setelah dilakukan adenotonsilektomi.13,14,15
Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat
mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab
kematian pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi kor pulmonal.
Prevalensi hipertensi pulmonal pada anak dengan OSAS tidak diketahui.
Brouilette dkk9 melaporkan kor pulmonal terjadi pada 55% dari 22 anak dengan
OSAS. Guilleminault dkk8, melaporkan adanya cardio respiratory failure pada
20% dari 50 pasien. Pasien dengan OSAS lebih mungkin mengaspirasi sekret dari
jalan napas atas yang dapat menyebabkan kelainan respiratorik bawah dan
memungkinkan terjadinya infeksi respiratorik. Keadaan ini dapat membaik setelah
dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Beberapa anak dengan tonsil
yang besar mengalami disfagia atau merasa sering tercekik dan mempunyai risiko
untuk mengalami aspirasi pneumonia. Laporan kasus telah melaporkan adanya
gagal napas pada pasien dengan OSAS yang berat atau akibat komplikasi
perioperatif.14,15
16
2.8. Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Polisomnografi
Pemeriksaan penunjang baku dalam diagnosis OSA adalah melalui pemeriksaan
tidur semalam dengan alat polisomnografi (PSG). Parameter-parameter yang
direkam pada polysomnogram adalah electroencephalography
(EEG),electrooculography (pergerakan bola mata), electrocardiography (EKG),
electromyography (pergerakan rahang bawah dan kaki), posisi tidur, aktivitas
pernapasan dan saturasi oksigen. Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG
adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari
jalan napas atas (kadang-kadang pada kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali)
yang disertai dengan ≥ 50% penurunan amplitudo pernapasan, peningkatan usaha
pernapasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan
terjadi desaturasi oksigen. Sebelum dilakukan PSG, pasien akan diminta
kesediaannya untuk mengisi kuesioner Berlin, bertujuan untuk menjaring pasien
yang mempunyai risiko tinggi terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian
yaitu bagian pertama berisi tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras,
seberapa sering dan apakah sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi
tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah
tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat
badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang
dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas.
Kuesioner ini mempunyai validitas yang tinggi.
Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat gejala-gejala, yakni
keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena sebab
lain. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa
kaliketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah
sepanjang hari dangangguan konsentrasi.Hasil PSG menunjukkan ≥ 5 jumlah total
apnea ditambah terjadi hipopnea perjam selama tidur (AHI ≥ 5). Hasil PSG
negatif untuk gangguan tidur lainnya. Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan
AHI terdiri dari apnea tidur ringan dengan AHI 5–15, saturasi oksigen 86% dan
17
keluhan ringan, apnea tidur sedang dengan AHI 15–30, saturasi oksigen 80–85%
dan keluhan mengantuk dan sulit konsentrasi, apnea tidur berat dengan AHI 30,
saturasi oksigen kurang dari 80% dan gangguan tidur.19,20,21
Gambar 5. Gambaran Polisomnogram pada OSAS.20
2.8.2. Uji Tapis
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal, dan
belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain
sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouillette dkk16 menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal
dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS.
Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83
• D: kesulitan bernapas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
Dengan rumus diatas, ditentukan kemungkinanOSAS berdasarkan skor <- 1
berarti bukan OSAS, skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
dan skor > 3,5 sangat mungkin OSAS. Dengan menggunakan skor ini, dapat
diprediksi kemungkinan OSAS. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas
73% dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.19,20,21
2.8.3. Observasi selama tidur
18
Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak disuruh tidur
di tempat praktek dokter atau dengan melakukan review audiotapes/ videotapes
yang dapat dilakukan di rumah. Beberapa variabel yang dinilai adalah kekerasan
dan tipe inspirasi, pergerakan selama tidur, frekuensi terbangun, banyaknya apnea,
retraksi, dan napas dengan mulut. Cara inimempunyai nilai sensitifitas 94%,
spesifisitas 68%, nilai prediksi positif 83%, dan nilai prediksi negatif
88%.Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan menggunakan pulse
oximetry. Pada saat tidur anak dipantau penurunan nilai saturasi dengan
menggunakan oksimetri. Pencatatan pulse oximetry secara berkesinambungan
selama tidur dianjurkan sebagai tes skrining dan dapat memperlihatkan desaturasi
secara siklik yang menjadi karakteristik suatu OSAS, tetapi tidak dapat
mendeteksi pasien OSAS yang tidak berkaitan dengan hipoksia. Dengan
menggunakan metode ini nilai prediksi positif sebesar 97% dan nilai prediksi
negatif 53%. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi selama tidur
maka kemungkinan menderita OSAS cukup besar tetapi apabila tidak terdeteksi
pada pemantauan dengan oksimetri maka diperlukan pemeriksaan
polisomnografi.20,21
2.8.4. Klasifikasi Friedman
Friedman dkk memformulasikan suatu klasifikasi untuk memprediksi adanya
suatu Sleep Disorder Breathing (SDB). Klasifikasi ini juga membantu mem-
prediksi keberhasilan operasi uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Penilaian di-
tentukan melalui pemeriksaan kavum oris dan diklasifikasikan sesuai stadiumnya.
Penilaian ini merupakan kombinasi dari posisi palatum terhadap basis lidah, be-
sarnya tonsil dan indeks masa tubuh (IMT). Stadium I bila posisi palatum 1 atau 2
dikombinasikan dengan besarnya tonsil 3 atau 4. Stadium 2 bila posisi palatum 3
atau 4 dikombinasikan dengan ukuran tonsil 3 atau 4. Stadium 3 jika posisi
palatum 3 atau 4 dan ukuran tonsil 0,1 atau 2. Semua penderita dengan IMT lebih
dari 40 kg/m2 termasuk dalam stadium 3.16,17,22
Sistem penilaian ini dapat membantu dalam pemilihan terapi. Penderita
yang tergolong dalam stadium 1 akan baik bila dilakukan UPPP. Keberhasilan
19
UPPP pada kelompok ini mencapai 80%. Prosedur UPPP dilakukan pada pen-
derita dengan stadium 2 atau 3 maka tingkat keberhasilannya rendah.
Gambar 7. Modified Mallampati’s score : A. Uvula dan tonsil/ pilar dapat terlihat seluruhnya. B. Uvula terlihat namun tonsil tidak terlihat. C. Uvula dan tonsil tidak terlihat, hanya terlihat palatum mole. D. Hanya terlihat palatum durum. Ukuran tonsil palatina : E.T1: tonsil tersembunyi didalam
pilar. F. T2: pembesaran tonsil keluar dari pilar. G.T3: tonsil membesar, keluar dari pilar tapi belum mencapai garis tengah. H. T4: ukuran tonsil membesar hingga ke garis tengah.22
Tabel 2. Klasifikasi Friedman22
Stadium Modified Mallampati’s score Ukuran Tonsil palatina
IMT (kg/m2)
Stadium 1 1 3,4 < 402 3,4 < 40
Stadium 2 1,2 0,1,2 < 403,4 3,4 < 40
Stadium 3 3,4 0,1,2 Tidak ditentukan1,2,3,4 1,2,3,4 > 40
2.8.5. Pemeriksaan Laboratorium
Pertanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi metabolit
ATP kadang-kadang digunakan sebagai indikator non spesifik OSAS. Pasien
dengan hiperkapnia kronis selama tidur dapat mengalami peningkatan bikarbonat
serum yang persisten akibat kompensasi alkalosis metabolik.Beberapa jenis
sitokin diketahui mempunyai efek somnogenik dan berperan penting dalam proses
tidur. Interleukin-1 dan TNF-a dapat meningkatkan slow wave sleep dan
pemberian anti TNF-a anti body dapat menghambat fase NREM. Irama sirkadian
dari pelepasan TNF-a mengalami gangguan pada pasien OSAS, kadar puncak
fisiologis pada malam harinya menghilang sedangkan pada siang hari kadar
puncaknya meningkat. Pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dan
Tiroksin untuk mengetahui adanya hipotiroidisme.19,20
20
D E F G HA B C
2.8.6. Radiografi Jaringan Lunak Leher dengan posisiAnteroposterior dan
Lateral
Pada radiografi jaringan lunak leher dapat terlihat detail jaringan lunak, hal ini
membantu menentukan anatomi saluran napas atas, ukuran adenoid, kelainan
hidung dan adanya keganasan pada daerah faring. Foto polos leher dengan posisi
lateral dapat digunakan untuk menentukan ukuran adenoid. Meskipun MRI dapat
memberikan gambar lebih terinci tentang jaringan lunak dan struktur tulang yang
mendasari nasofaring, tapi hal ini biasanya tidak diperlukan, kecuali dalamkasus
dugaan kelainan anatomi.24,25
Gambar 4. Gambar Radiografi leher posisi lateral25
2.8.7. MRI Kepala (Otak dan Batang Otak)
Pasien denga riwayat mendengkur yang berat, sakit kepala, sakit leher, poliuri
atau masalah menelan perlu dicurigai adanya Chiari malformation. Kelainan ini
dapat terjadi pada anak-anak dengan myelomeningocele. MRI kepala perlu
dilakukan. MRI juga dilakukan pada pasien dengan kecurigaan disfungsi batang
otak. Tomografi komputer kepala tidak memberikan gambaran yang cukup baik
untuk menilai batang otak dan lesi pada persyarafan servikalis atas.24,25
2.9. Penatalaksanaan
21
Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
tindakanbedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah
tonsilektomi dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi
kraniofasial, sedangkan terapi medis dapat berupa diet pada anak dengan obesitas
dan pemakaian nasal CPAP (Continuous Positif Airway Pressure ).
2.9.1.Modifikasi Pola/Gaya hidup
Pada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak dilakukan. Dengan
penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata.
Sayangnya menurunkan berat badan pada anak lebih sulit dilakukan daripada
dewasa. Selain memperbaiki diet pada obesitas, hal yang perlu diperhatikan
adalah penyakit lain yang mungkin menyertainya seperti diabetes melitus atau
hipertensi. Cara ideal adalah menurunkan berat badan secara perlahan dan
konsisten. Hal ini membutuhkan waktu yang lama maka perlunya konseling pada
orang tua dan anak. 26,27
Oleh karena itu sambil menunggu berat badan turun diperlukan
pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus digunakan sampai mencapai penurunan
berat badan yang cukup. Dalam hal penanganan obesitas termasuk di dalamnya
adalah modifikasi perilaku, terapi diet, olahraga (exercise), dan obat-obatan. Pada
pasien OSAS yang berat dan komplikasi yang potensial mengancam hidup
memerlukan perawatan di rumah sakit.27,30
Anak dengan OSAS akan memiliki manifestasi klinis seperti rasa kantuk
di siang hari yang berlebihan. Maka pembatasan aktivitas yang membutuhkan
konsentrasi perlu dilakukan. Aktivitas berkendara dengan kendaraan bermotor
sebaiknya dihindari oleh remaja dengan OSAS.Pasien harus menghindari
konsumsi alkohol dan obat depresan lainnya, yang dapat memperburuk gejala
OSAS.25,26
2.9.2. Obat-obatan
Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah
terjadinya OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau
steroid inhaler. Keberhasilan pemberian obat-obat tersebut kurang bermakna
22
sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat penenang dan obat yang mengandung
alkohol harus dihindarkan karena dapat memperberat OSAS.Nasal fluticasone
diberikan setiap hari selama 6 minggu terbukti memperbaiki frekuensi kejadian
obstruktif pada anak dengan ringan sampai sedang.25,28
2.9.3.Continuous positive airway pressure (CPAP)
Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi,
anak obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan kelainan kraniofasial. Pada
kelompok usia anak, CPAP terutama berguna untuk pasien yang obesitas dan
pasien dengan OSAS yang menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan
hal tersebut memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan
yang intensif.Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara
bertahap atau dengan tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan
kenyamanan pasien. Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan
dengan kebocoran udara di sekitar selang masker. Keadaan ini dapat
menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam pada kulit. Dekongestan,
tetes hidung dengan NaCl fisologis atau penggunaan sistem CPAP dengan
menggunakan humidifer dapat mengurangi efek samping.23,29,30
2.9.4 . Tonsilektomi dan/atau Adenoidektomi
Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi
merupakan tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar.
Tingkat kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75-100%. Pada anak dengan
etiologi hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya tinggi tetapi
apabila disertai dengan risiko lain seperti obesitas dan disproporsi kraniofasial
maka pascaoperasi akan tetap timbul OSAS. Meskipun demikian, karena OSAS
terjadi akibat ukuran struktur komponen saluran napas atas relatif kecil
dibandingkan dengan ukuran absolut dari tonsil dan adenoid, maka para ahli
berpendapat tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi tetap diperlukan pada
keadaan ini. Pascatonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan pemantauan
dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadang-kadang gejala masih ada
23
dan akanmenghilang beberapa minggu kemudian. Tatalaksana non medis lainnya
seperti penanganan obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah dilakukan
tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.30-32
2.9.5. Operasi Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP)
Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) tidak umum dilakukan pada anak. Selama
prosedur, uvula, batas posterior palatum mole, dan dinding lateral mukosa faring
diangkatkan dengan menggunakan pisau bedah atau laser ablasi. Keberhasilan
operasi UPPP dalam mengurangi apnea tidur obstruktif hanya jika obstruksi
terlokalisir di palatum mole. Namun resiko pascaoperasi adalah insufisiensi
velopharyngeal. Monitoring dan pemeriksaan polisomnografi 2-3 bulan setelah
operasi perlu dilakukan untuk menilai keberhasilan terapi.23,30,31
Gambar 8. Penderita OSAS yang telah dilakukan UPPP.31
2.9.6. Operasi Reduksi Lidah (Tongue reduction)
Prosedur reduksi lidah (midline partial glossectomy) mungkin dapat berguna pada
sebagian kecil pasien anak dengan OSAS (Beckwith-Wiedemann syndrome).30,31
2.9.7. Trakeostomi
Trakeostomi merupakan tindakan sementara pada anak dengan OSAS yang berat
yang mengancam hidup, dan untuk anak yang tinggal di daerah dengan peralatan
operasi tidak tersedia.332.10. Penatalaksanaan OSAS pada Keadaan Khusus
2.10.1 Mandibular/Maxillary Distraction Procedure pada Sindroma Pierre
Robin
Pasien dengan Sindroma Pierre Robin atau hipoplasia mandibula menunjukkan
peningkatan yang signifikan pada airflowsetelah dilakukan mandibular
advancement. Pasien dengan bentuk rahang melengkung atau kelainan
24
kraniofasial mengakibatkan penyempitan celah rahang dan gangguan
rahang.Maxillary distraction procedure dilakukan untuk memperbesar rongga
hidung dan diameter lateral palatum dan orofaring.19,30,34
2.10.2 Atresia Koana
Rekonstruksi pada atresia koana dapat dilakukan dengan pendekatan transnasal
dengan panduan teleendoskopi atau transpalatal.
2.10.3 Palatoschizis dan Labiopalatoschizis
Pada anak dengan Palatoschizis dan atauLabiopalatoschizis biasanya menderita
kelainan bentuk wajah, cara berbicara dan otitis media. Adanya kelainan
kraniofasial pada pasien ini maka mereka rentan mengalami OSAS. Sehingga
dalam melakukan prosedur rekonstruksi perlu mempertimbangkan luas
penampang jalan napas atas. Pemeriksaan polisomnografi pra dan pascaoperasi
sangat disarankan untuk mengetahui beratnya OSA dan keberhasilan terapi.30,35
2.10.4 Sindroma Down
Anak dengan Sindroma Down memiliki kelainan kraniofasial dan neurologis yang
dapat menyebabkan OSA, seperti: bentuk tengkorak dan midface kecil, nasofaring
dan laring relatif sempit, markroglosia, hipotonia, kecenderungan obesitas,
kelainan jantung bawaan. Karena faktor-faktor ini, kejadian OSA pada pasien
dengan sindroma Down berkisar 54-100%. Tatalaksana pada anak dengan
sindroma Down antara lain adenotonsilektomi(tingkat keberhasilan: 69%), UPPP,
CPAP dan trakeostomi. Persiapan operasi pada pasien ini harus mencakup
penilaian untuk jantung, tiroid, dan kelainan vertebra servikal atau leher juga
pemantauan ICU pasca operasi sering diperlukan.31,32,36
25
Gambar 9. Algoritma Penatalaksanaan OSAS pada anak.37
2.11.Komplikasi Operasi pada anak dengan OSAS
Anak-anak dengan OSAS yang berat dapat berkembang menjadi edema paru
pasca obstruksi dalam beberapa jam operasi. Faktor resiko untuk edema paru
pascaoperasi meliputi: usia anak lebih muda dari 3 tahun, anomali kraniofasial
mempengaruhi jalan napas atas terutama daerah faring, hipoplasia midfasial,
micrognathia, atau retrognathia, anak dengan failure to thrive (gagal tumbuh),
hipotonia, obesitas morbid, trauma jalan napas atas, hasil RDI > 40x/jam, dan
adanya penyakit jantung serta paru.31-33
BAB 3
26
KESIMPULAN
Obstructive sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya
episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. OSAS pada anak sangat
mempengaruhi pertumbuhan & perkembangan anak. Faktor resiko terjadinya
OSAS pada anak antara lain hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi
kraniofasial, dan obesitas.. Diagnosis OSAS secara definitif menggunakan
polisomnografi yaitu adanya indeks apnea atau hipopnea lebih dari 1. Pe-
meriksaan penunjang lainnya adalah menggunakan kuesioner Brouillette dkk,
observasi dengan video, atau menggunakan pulse oksimetri.
Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan penyebab tersering OSAS pada
anak. Tatalaksana OSAS pada anak adalah adenoidektomi dan/atau tonsilektomi.
Angka keberhasilannya cukup tinggi yaitu sekitar 75%. Selain itu, diet untuk
penurunan berat badan pada obesitas, serta penggunaan CPAP (continuous
positive airway pressure). Komplikasi yang dapat terjadi adalah gangguan tingkah
laku, kelainan kardiovaskular, dan gagal tumbuh. Diharapkan dengan penanganan
yang tepat dan cepat dapat menurunkan angka mortalitas dan angka kecacatan
yang ditimbulkan oleh OSAS.
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Kaswandani Nastiti. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada anak.
Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60. Jakarta; 2010; 295-296.
2. Supriyanto Bambang, dkk. Obstructive Sleep Apnoe Syndrome pada anak.
Sari pediatri. Vol7. Jakarta; 2005; 77-84
3. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan
Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.
4. Ali NJ. Pitson DJ, Stardling JR. The prevalence of snoring, sleep disturbance
and sleep related disoders and their relation of daytime sleepiness in 4-5 year
oldchildren.Am Rev Respir Dis 1991; 143:381
5. Ali NJ, Pitson DJ, Stardling JR. Snoring, Sleep disturbance and behavior in 4-
5 year old children. Arch Dis Child 1993; 68:360-6.
6. Tran KD, Nguyen CD, Weedon J, Goldstein NA.Child behavior and quality
of life in pediatric obstructive sleep apnea. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg. 2005;131(1):52-7.
7. Supriyatno B, Said M, Hermani B, Syarif DR, Sastroasmoro. Risk factors
obstructive sleep apnea syndrome in obese early adolescents: scoring system
asdiagnostic prediction (Disertasi). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2009.
8. Guilleminault C, Eldredge FL, Simmons B. Sleep apnea in eight children.
Pediatrics. 1976; 58:23-31.
9. Brouillette RT, Fernbach SK, Hunt CE. Obstructive sleep apnea in infants
andchildren. J Pediatr 1982; 100:31-9.
10. Entzian P, Linnemann K. Schlaak M. Obtructive sleep apnea syndrome
andcircadian rhytms of hormones an cytokines. Am J Respir Crit Care Med
1996; 153:1080-6.
11. Deegan PC, McNicholas WT. Pathophysiology of obstructive sleep apnoea.
Dalam: McNicholas WT, penyunting. Respiratory disorders during sleep.
United Kingdom, ERS J Ltd; 1998. h. 28-62.
12. Laks L, Lehrhaft B, Grunstein RR. Pulmonary artery pressure response to
hypoxia in sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med 1997; 155:193-8.
28
13. Ryan CF, Love LL. Mechanical properties of the velopharynx in obese
patients with obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med 1996;
154:806-12.
14. Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, John K. Niparko, Mark
A.Richardson, K. Thomas Robbins, J. Regan Thomas, Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery 5th Edition, Chapter 18: Sleep
Apnea and Sleep Disorders ; 250-261.
15. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep
Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.
16. Deegan MN. Clinical prediction rules in obstructive sleep apnea syndrome.
Eur Respir J 1997; 10:1194-5.
17. Carroll JL, Loughlei GM. Diagnostic criteria for obstructive sleep apnea
syndrome in children. Pediatri Pulmonol. 1992; 14:71-4.
18. Yoshizawa T, Kurashina K, Sasaki I. Analysis of HLA antigens with
obtructive sleep apnea syndrome. Am Rev Respir Dis 1991; 143:381A.
19. Wiet GJ, Bower C, Seibert R, Griebel M.Surgical correction of obstructive
sleep apnea in the complicated pediatric patient documented by
polysomnography. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 1997;41(2):133-43.
20. Marcus CL, Omlin KJ, Basinki DJ.Normal polysomnographic values for
children and adolescents. Am Rev Respir Dis. 1992;146(5 Pt 1):1235-9.
21. Mitchell RB.Adenotonsillectomy for obstructive sleep apnea in children:
outcome evaluated by pre- and postoperative polysomnography.
Laryngoscope. 2007;117(10):1844-54.
22. Friedman M, Ibrahim H, Bass Lee. Clinical staging for sleep disordered
breathing. Arch Otolaryngol.Head&Neck Surg. 2002: 13-21.
23. Marcus CL. Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin
GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children; diagnosis and
management. Baltimore, William & Wilkins, 1994. h. 475-91.
24. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood
obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2002;109:1-20.
29
25. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. Sleep Apnea-Assesment and
Management ofObstructive Sleep Apnea in Adult.. Textbook of Head and
Neck Surgery-Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams &
Wilkins. Philadelphia.2005. 273-9. 2000.
26. Smith RS, Ronald J, Delaive K, Walld R, Manfreda J, Kryger MH. What
areobstructive sleep apnea patients being treated for prior to this diagnosis?.
Chest 2002; 121:164-72.
27. Neil AM, Angus SM, Sajkov D. Effects of sleep posture on upper
airwaystability in patients with obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit
Care Med 1997; 155:199- 204.
28. McColley SA, Carroll JL, Curtis S. High prevalence of allergic sensitization
inchildren with habitual snoring and obstructive sleep apnea. Chest 1997;
111:170-3.
29. Teschler H, Jones MB, Thomson AB, dkk. Automated continuo positive
airway pressure titration for obstructive sleep apnea syndrome. Am J Respir
Crit Care Med 1996; 154:734-40.
30. Montserrat JM, Ballester E, Hernands L. Overview of management options
forsnoring and sleep apnea. Respiratory disorders during sleep. United
Kingdom, ERS J Ltd; 1998. h. 144-78.
31. Levy P, BettegaG, Pepin JL. Surgical management options for snoring and
sleep apnea. Respiratory disorders during sleep. United Kingdom, ERS J Ltd;
1998. h. 205-26.
32. Mitchell RB, Kelly J.Outcome of adenotonsillectomy for severe obstructive
sleep apnea in children. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2004;68(11):1375-9.
33. Cohen SR, Suzman K, Simms C, Burstein FD, Riski J, Montgomery G . Sleep
apnea surgery versus tracheostomy in children: an exploratory study of the
comparative effects on quality of life. Plast Reconstr Surg.
1998;102(6):1855-64.
34. Ow AT, Cheung LK.Meta-analysis of mandibular distraction osteogenesis:
clinical applications and functional outcomes. Plast Reconstr Surg.
2008;121(3):54e-69e.
30
35. Muntz H, Wilson M, Park A, Smith M, Grimmer JF.Sleep disordered
breathing and obstructive sleep apnea in the cleft population. Laryngoscope.
2008;118(2):348-53.
36. Bower CM, Richmond D.Tonsillectomy and adenoidectomy in patients with
Down syndrome. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 1995;33(2):141-8.
37. Cohen SR, Ross DA, Lefarivre JF, Burstein FD, Riski J. Clinical practice
guideline: diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea
syndrome. Pediatrics. 2002;109(4):704-12.
31