osa

48
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) PADA ANAK Anjar A.Setiawati, Sofjan Effendi, Lisa Apri Yanti Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNIVERSITAS SRIWIJAYA RS Dr. Mohammad Hoesin, Palembang Abstrak Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) pada anak merupakan gangguan pernapasan saat tidur yang ditandai adanya obstruksi parsial atau total jalan napas atas secara intermiten (obstructive apnea) yang mengganggu ventilasi saat tidur dan mengganggu pola tidur yang normal, dengan gejala utama mendengkur. Istilah ‘apnea’ didefinisikan sebagai henti napas selama 10 detik atau lebih yang dapat menyebabkan penurunan aliran udara 25% dibawah normal. Prevalensinya berkisar 1-4% dengan frekuensi tertinggi pada usia prasekolah. Faktor penyebab sindroma ini pada anak-anak yakni hipertrofi adenoid dan tonsil, kelainan struktur kraniofasial, obesitas dan lingkar leher. Terdapat beberapa cara dalam menilai berat-ringannya OSAS, yaitu Epworth sleepiness scale, kuesioner Brouillette, apnea-hypopnea index (AHI), Friedman’s staging system, polisomnografi dan lain- lain. Komplikasi dari sindroma ini pada anak seperti gangguan kognitif, tingkah laku, emosi hingga gagal tumbuh. Tatalaksana OSAS pada anak sesuai dengan faktor penyebab seperti adenoidektomi, tonsilektomi, penggunaan continuous positive airway pressure (CPAP) ataupun penurunan berat badan pada obesitas. Kata kunci : Obstructive sleep apnea syndrome, apnea, diagnosis, tatalaksana Abstract Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) in children is a breathing disorder during sleep characterized by prolonged partial upper airway obstruction and/or intermittent complete obstruction (obstructive apnea) that disrupts normal ventilation during sleep and normalsleep patterns, with snoring as chief complaint. The term ‘apnea’ is defined as stop 1

Upload: ekaefka

Post on 15-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Page 1: OSA

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) PADA ANAK Anjar A.Setiawati, Sofjan Effendi, Lisa Apri Yanti

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNIVERSITAS SRIWIJAYARS Dr. Mohammad Hoesin, Palembang

AbstrakObstructive sleep apnea syndrome (OSAS) pada anak merupakan gangguan pernapasan saat tidur yang ditandai adanya obstruksi parsial atau total jalan napas atas secara intermiten (obstructive apnea) yang mengganggu ventilasi saat tidur dan mengganggu pola tidur yang normal, dengan gejala utama mendengkur. Istilah ‘apnea’ didefinisikan sebagai henti napas selama 10 detik atau lebih yang dapat menyebabkan penurunan aliran udara 25% dibawah normal. Prevalensinya berkisar 1-4% dengan frekuensi tertinggi pada usia prasekolah. Faktor penyebab sindroma ini pada anak-anak yakni hipertrofi adenoid dan tonsil, kelainan struktur kraniofasial, obesitas dan lingkar leher. Terdapat beberapa cara dalam menilai berat-ringannya OSAS, yaitu Epworth sleepiness scale, kuesioner Brouillette, apnea-hypopnea index (AHI), Friedman’s staging system, polisomnografi dan lain-lain. Komplikasi dari sindroma ini pada anak seperti gangguan kognitif, tingkah laku, emosi hingga gagal tumbuh. Tatalaksana OSAS pada anak sesuai dengan faktor penyebab seperti adenoidektomi, tonsilektomi, penggunaan continuous positive airway pressure (CPAP) ataupun penurunan berat badan pada obesitas.

Kata kunci : Obstructive sleep apnea syndrome, apnea, diagnosis, tatalaksana

AbstractObstructive sleep apnea syndrome (OSAS) in children is a breathing disorder during sleep characterized by prolonged partial upper airway obstruction and/or intermittent complete obstruction (obstructive apnea) that disrupts normal ventilation during sleep and normalsleep patterns, with snoring as chief complaint. The term ‘apnea’ is defined as stop breathing for 10 second or more that may cause 25% airflow decrease below normal. OSAS prevalence in children are 1-4% with the highest frequency are among preschool age. Risk factors in children with OSAS are adenoid and/or tonsil hypertrophy, craniofacial disproportion, obesity and neck circumference. There are several tool to determine OSAS severity such as Epworth sleepiness scale, Brouillette’s quetionaire, apnea-hypopnea index (AHI), Friedman’s staging system and polysomnography. Complications of this syndrome in chilhood are cognitive, behavioral and emotional disorders untill fail to thrive. The management of children with OSAS should be consistent with the risk factors such as adenoidectomy, tonsilectomy, continuous positive airway pressure (CPAP) use, or weight loss for obesity.

Keywords: Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), apnea, diagnosis, management

1

Page 2: OSA

BAB 1

PENDAHULUAN

Pertumbuhan dan perkembangan seorang anak sangat tergantung dari tidur karena

saat tidur terjadi perbaikan sel-sel otak dan sekitar 75% hormon pertumbuhan

diproduksi. Tidur juga mempunyai efek yang besar terhadap kesehatan mental,

emosi dan fisik serta sistem imunitas tubuh. Pola tidur yang kurang baik dapat

mengakibatkan abnormalitas otak pada anak. Gangguan tidur pada anak ternyata

cukup sering dialami seperti sulit memulai tidur, mendengkur, mimpi buruk,

obstructive sleep apnea, yang kemudian mengakibatkan gangguan dalam berbagai

fungsi sosial.

Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) adalah suatu sindrom dengan

ditemukannya episode apnea atau hipopnea pada saat tidur.Prevalensi OSAS pada

anak adalah 1-4% dengan presentase tertinggi pada usia prasekolah (4-6tahun).

Sedangkan prevalensi Primary Snoring pada anak berkisar 3-12% dan pada 25-

30% anak dengan keluhan mendengkur menderita OSAS.OSAS dapat terjadi pada

anak dengan hipertrofi adenoid dan tonsil, kelainan struktur kraniofasial, obesitas,

kelainan daerah hidung dan lingkar leher. Hipertrofi adenoid dan tonsil

merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak.1,2-4

OSAS pada anak berbeda dengan dewasa baik faktor resiko maupun tata

laksananya. Manifestasi klinis OSAS pada anak adalah kesulitan bernapas pada

saat tidur, mendengkur, hiperaktif, mengantuk pada siang hari, dan kadang-

kadang enuresis. Anak yang menderita OSAS berat akan mengalami gejala siang

dan malam hari. Pada malam hari (night-time symptoms), anak tidur dengan mulut

terbuka,mengorok dan sering mengalami henti napas sehingga anak sering

terbangun dari tidurnya karena sulit bernapas (arrousal)dan mengalami

kekurangan oksigen (hipoksia), maka pada siang hari anak akan mengalami gejala

berupa sering tertidur dalam kelas, kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran

tertentu serta gangguan kognitif lainnya sehingga terjadi penurunan prestasi

akademik, yang disebut day-time symptoms. Kondisi hipoksia yang berlangsung

2

Page 3: OSA

lama pada anak dengan OSAS dengan AHI (apnea/hypopnea index) yang tinggi

dapat menyebabkan cor-pulmonale,hipertensi pulmonal dan gagal tumbuh.3-5

Beberapa rumah sakit menggunakan kriteria snoring yang berbeda-beda

dan kriteria OSA pada dewasa tidak dapat diaplikasikan pada anak. Pemeriksaan

yang dapat dilakukan guna menegakkan suatu OSAS pada anak, terdiri dari

pemeriksaan secara subyektif dan obyektif. Skrining riwayat mendengkur pada

anak merupakan pemeriksaan rutin, maka bila dijumpai adanya riwayat

mendengkur perlu digali tentang riwayat tidur secara terinci. Selain itu, pada anak

yang dicurigai menderita OSAS perlu dilakukan pemeriksaan polisomnogram

sebagai standar baku. Bila pada polisomnogram didapatkan AHI ≥ 3, maka anak

tersebut menderita OSAS.

Tatalaksana pada anak dengan OSAS dapat dengan medikamentosa, diet,

pemakaian continuous positive pressure ventilation (CPAP) dan operasi. Tin-

dakan operasi yang dapat dilakukan adalah adenoidektomi, tonsilketomi ataupun

operasi rekonstruksi, antara lain uvulopalatopharyngoplasty, tongue reduction

surgery, trakeotomi. Pasien yang menjalani operasi sebagai terapi OSAS, perlu

diobservasi. Pilihan terapi OSAS pada anak harus sesuai dengan faktor resiko dan

indikasi. Konseling yang baik dan monitoring jangka panjang merupakan hal yang

penting dilakukan demi keberhasilan terapi OSAS pada anak.2,8-10

3

Page 4: OSA

BAB 2

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) PADA ANAK

2.1. Definisi

Obstructive Sleep Apnea Syndrome(OSAS) adalah keadaan apnea (penghentian

aliran udara selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan

saturasi oksigen) dan hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal

10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran

udara >50% untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3%), terdapat

sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada

saat tidur selama non-REM (non-Rapid Eye Movement) atau REM (Rapid Eye

Movement) sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat.

Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi

peralihan ke tahap tidur yang lebih awal. Istilah OSAS dipakai pada sindrom

obstruksi total atau parsial jalan napas yang menyebabkan gangguan fisiologis

yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi. Istilah primary snoring

(mendengkur primer) digunakan untuk menggambarkan anak dengan kebiasaan

mendengkur yang tidak berkaitan dengan apnea obstruktif, hipoksia atau

hipoventilasi. Guilleminault dkk8 mendefinisikan sleep apnea sebagai episode

apnea sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya paling sedikit 10 detik

dan terjadi baik selama fase tidur REMdan non-REM. Terdapat istilah apnea

index (AI) dan hypopnea index (HI) yaitu frekuensi apnea atau hipopnea per jam.

Apnea- hypopnea index(AHI) dapat digunakan sebagai indikator berat-ringannya

OSAS. 1,2,3

2.2 Prevalensi

OSAS dapat terjadi pada semua umur termasuk neonatus. Insidensi apnea pada

neonatus sekitar 25% pada bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram dan 84%

pada bayi dengan berat badan lahir < 1000 gram. Insidensi tertinggi terjadi antara

umur 4 - 6 tahun (usia prasekolah) karena pada usia ini sering terjadi hipertrofi

tonsil dan adenoid. Pada anak, angka kejadian OSAS tidak berhubungan dengan

jenis kelamin, sedangkan pada dewasa, lelaki lebih sering dibandingkan

4

Page 5: OSA

perempuan yaitu sekitar 8:1. Secara epidemiologi, OSAS lebih sering terjadi pada

orang dewasa daripada anak-anak.2,4,5

Mendengkur karena kebiasaan (habitual snoring) dijumpai pada masa

anak-anak yang terjadi pada 7-9% dari anak-anak prasekolah dan anak usia seko-

lah. Schechter dkk24, melaporkan bahwa prevalensi mendengkur (snoring)

berkisar antara 3,2-12,1%. Gangguan pernapasan selama tidur didapat sekitar 0,7-

10,3% dari anak-anak berusia 4 - 5 tahun. Yoshizuwa dkk18 di Jepang menggam-

barkan hubungan antara OSAS dan tipe HLA - A2 spesifik.

2.3. Fisiologi Tidur

Tidur mempunyai periode REM dan nonREM yang berubah-ubah beberapa kali

selama tidur malam hari. Pola siklus tidur-bangun baru jelas terlihat pada umur 3-

4 bulan, dimana proporsi tidur mulai lebih banyak pada malam hari. Umumnya

morning naps berhenti pada umur 1 tahun dan afternoon naps terus berlangsung

hingga umur 3 tahun. Perkembangan tidur ini berkaitan dengan umur dan

bertambah besarnya anak (maturitas otak), maka jumlah total tidur ynag

diperlukan berkurang dan diikuti dengan penurunan proporsi REM dan nonREM.

Dari rata-rata 16,5 jam pada umur 1 minggu, 14 jam pada umur satu tahun, 13 jam

pada umur 2 tahun, 11 jam pada umur 5 tahun dan 10 jam pada umur 9

tahun.Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, yakni: tahap 1 terjadi bila merasakan

ngantuk dan mulai tertidur. Gelombang listrik otak memperlihatkan ‘gelombang

alfa’dengan penurunan voltase. Tahap I ini berlangsung 30 detik sampai 5 menit

pertama dari siklus tidur. Pada tahap 2 gambaran EEG memperlihatkan ge-

lombang berfrekuensi 14-18 siklus per detik, dan ini dinamakan gelombang tidur

(sleep spindle). Periode tahap 2 berlangsung dari 10 sampai 40 menit. Tahap 3

dan 4 merupakan tahap tidur dalam, dimana orang yang tertidur pulas, rileks

sekali karena tonus otot lenyap sama sekali, dan EEG memperlihatkan gelombang

lambat delta (20-50%). Tahap 4 adalah tidur paling nyenyak, tanpa mimpi dan

sulit dibangunkan. EEG memperlihatkan dominasi gelombang delta (>50%) dan

gelombang tidur (sleep spindle) sulit didapat. Pada tahap ini pola pernapasan dan

denyut jantungnya teratur dan diproduksi hormon pertumbuhan.

5

Page 6: OSA

Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM adalah

tahapan tidur yang sangat aktif. Pola napas dan denyut jantung tak teratur dan

terjadi pergerakan bola mata yang cepat, sehingga disebut tidur REM. Sebagian

besar anggota gerak tetap lemah dan rileks. Tahap tidur ini diduga berperan dalam

memulihkan dan menjernihkan pikiran, daya ingat dan mempertahankan fungsi

sel-sel otak.

Gambar1. Fisiologi Tidur11

Mekanisme tidur-bangun ini sesungguhnya belum diketahui secara

pasti.Siklus tidur-bangun dikontrol oleh aktivitas neuron di dalam reticular

activating system (RAS). RAS terdiri dari sistem retikularis batang otak,

hipotalamus posterior dan basal otak depan. Aktivitas neuron di pons, mid brain,

dan hipotalamus posterior penting untuk keadaan bangun. Sedangkan aktivitas di

medula sangat penting untuk stimulasi keadaan tidur. Siklus tidur-bangun ini

mungkin terintegrasi di basal otak depan.

Terdapat pula mekanisme spesifik otak, yang dapat membangkitkan tidur

nonREM dan tidur REM. Lesi di anterior hipotalamus dan area yang berdekatan

dengan basal otak depan akan mengakibatkan insomnia yang berkepanjangan.

Sebaliknya stimulasi kimia atau elektrik di basal otak depan akan menghasilkan

tidur nonREM. Aktivitas neuron di area ini maksimal selama tidur nonREM, dan

sangat kurang selama tidur REM dan keadaan bangun. Area lain yang diduga

sebagai regulator tidur nonREM adalah nukleus traktus solitarius.Lateral pons dan

area retikularis di medial medulla merupakan area yang sangat aktif selama

6

Page 7: OSA

periode tidur REM dan sangat kurang pada tidur nonREM. Sel-sel neuron di

medula yang mengontrol tidur REM, diduga berpengaruh supresi terhadap tonus

otot pada waktu tidur REM, yaitu melalui aktivasi neuron di batang otak dan

inhibisi motorneuron di medula spinalis.

Secara farmakologik, kini sudah ada bukti bahwa tidur nonREM sangat

berhubungan dengan mekanisme serotoninergik dan tidur REM dipengaruhi oleh

mekanisme adrenergik. Sebagai contoh, pemberian serotonin dapat mengurangi

latensi mula tidur secara bermakna, sebaliknya kerusakan area serotonin di pons

akan menyebabkan insomnia. Injeksi asetilkolin ke dalam pons akan

menimbulkan tidur REM. Sistem katekolamin (noradrenalin dan dopamin) juga

mempunyai peran penting pada keadaan bangun dan tidur REM. Konsentrasi

norepineprin dan serotonin di korteks mencapai puncak pada waktu bangun,

terendah dalam tidur REM dan intermediet pada tidur nonREM. Sebaliknya

neuron kolinergik melepaskan asetilkolin dengan kadar yang tinggi pada tidur

REM dan waktu bangun dan terendah pada waktu tidur nonREM.

2.3.1 Fungsi Endokrin Selama Tidur

Siklus tidur ini mempunyai kaitan dengan hormon tubuh, seperti hormon

pertumbuhan (growth hormon), prolaktin, dan kortisol. Hormon pertumbuhan

disekresi pada awal periode tidur lelap, tahap 3 & 4 dan dihambat selama tidur

REM. Hormon ini berfungsi merangsang pertumbuhan tulang panjang, tulang

rawan dan jaringan lunak serta mengatur metabolisme tubuh termasuk

otak.Penting diketahui bahwa sekresi hormon ini mencapai puncaknya pada usia 5

tahun pertama, saat terjadi pacu tumbuh otak (brain growth spurts).

Kadar prolaktin mencapai puncaknya antara jam 05.00 dan 07.00 pagi.

Sekresi kortikosteroid yang biasanya terjadi selama malam hari, dapat berubah

sesuai dengan siklus tidur-bangunnya. Bila pola tidur berubah, sekresi kortisol

akan mengalami perubahan dan penyesuaian atau resinkronisasi secara

bertahap.Fluktuasi hormon selama tidur bergantung pada 3 faktor utama, yaitu

irama sirkadian, siklus tidur-bangun dan tahapan tidur nonREM dan REM.

Penyebab dari variasi ini masih belum diketahui dengan jelas. Sekresi horman

7

Page 8: OSA

kortisol dan adrenokortikotropik (ACTH) mengikuti irama sirkadian, dengan

puncaknya di pagi hari (6-8 jam tidur sampai 1 jam setelah bangun tidur) dengan

titik terendah pada larut malam. Thyrotropin-stimulating hormon juga

berhubungan dengan irama sirkadian dengan puncaknya pada larut malam dan

awal dari siklus tidur. Meskipun puncak kadar aldosteron terjadi selama periode

tidur lelap, namun tidak barkaitan secara khusus dengan tahapan tidur nonREM

atau REM. Renin meningkat selama tidur, tetapi menurun secara relatif selama

tidur REM. Hormon pertumbuhan, prolaktin, luteinizing hormon (LH), dan

testosteron berhubungan dengan tidur dan tahapan tidur. Kadar prolaktin pada

laki-laki dan perempuan mencapai puncaknya selama siklus nonREM, dengan

titik terendah pada tidur REM. Jika waktu tidur berubah, maka kadar puncak

prolaktin segera berubah pula, dan mengikuti dengan pola tidur baru. Siklus

sirkadian LH sangat berhubungan dengan tingkat maturitas seks pada kedua jenis

kelamin. Pada anak prepubertas dan pubertas, sekresi LH meningkat selama

periode tidur, dan puncaknya terjadi pada periode tidur REM. Oleh karena itu

makin tinggi pre-sentase tidur nonREM, makin rendah kadar LH nya. Melatonin

atau hormon tidur, dapat membantu mengontrol ritme tubuh dan siklus tidur-

bangun. Fluktuasi hormon ini bergantung pada irama sirkadian (terang atau

gelap). Adanya cahaya akan menghambat pelepasan melatonin dari kelenjar

Pineal, oleh karena itu sekresi hormon ini lebih banyak pada malam hari daripada

siang hari. Hormon ini disekresi secara teratur sebelum bayi umur 6 bulan .

2.3.2 Pengaruh Tidur: Tumbuh Kembang Bayi

Tidur merupakan interaksi yang kompleks dari sistem neurotransmiter dan sistem

regulasi tidur dengan mekanisme lainnya, sebagai contoh mekanisme yang

mengatur temperatur, pola pernapasan dan tekanan darah. Kira-kira 2/3 kehidupan

bayi baru lahir digunakan untuk tidur. Seluruh kejadian selama tidur merupakan

refleksi dari aktivitas neuron tertentu di susunan saraf pusat, yang berubah secara

dramatis sesuai dengan perkembangan bayi. Oleh karena itu tidur sangat

berhubungan dengan perkembangan anak dan sekaligus merupakan jendela dari

perkembangan otak anak selanjutnya.

8

Page 9: OSA

Pada waktu bangun, tubuh menggunakan oksigen dan makanan (energi)

untuk keperluan kegiatan fisik dan mentalnya. Keadaan ‘katabolik’ ini juga

banyak mengunakan hormon adrenalin (epineprin) dan kortikosteroid tubuh.

Selama tidur, terjadi keadaan sebaliknya yaitu ‘anabolik’, dimana terjadi

konservasi energi, perbaikan sel-sel tubuh dan pertumbuhan. Karena konsentrasi

adrenalin dan kortisol turun, maka tubuh mulai membentuk hormon pertumbuhan.

Selain berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan, hormon ini juga me-

mungkinkan tubuh memperbaiki dan memperbarui seluruh seltubuh. Proses

pembaruan sel ini berlangsung lebih cepat dibandingkan pada waktu bangun. Hal

ini merupakan bukti yang penting bahwa tidur berefek pada tumbuh kembang

anak.9,10

Gambar 2. Gambaran fisiologi tidur terhadap kebutuhan oksigen temperatur tubuh, denyut jantung,

gerakan dan tingkatan tidur.9

2.4 Faktor – faktor Predisposisi

Faktor-faktor predisposisi terjadinya OSAS pada anak antara lain sebagai akibat

hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, obesitas. Hipertrofi adenoid

dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak,

akan tetapi ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus dengan berat

ringannya OSAS. Terdapat anak dengan hipertrofi adenoid yang cukup besar,

namun OSAS yang terjadi masih ringan, anak lain dengan pembesaran adenoid

9

Page 10: OSA

ringan menunjukkan gejala OSAS yang cukup berat. Walaupun pada sebagian

besar anak OSAS membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian

kecil akan menetap setelah dioperasi.Anak dengan anomali kraniofasial yang

mengalami penyempitan struktur salurannapas yang nyata (mikrognasi dan

midface hypoplasia) akan mengalami OSAS. Pada anak dengan disproporsi

kraniofasial dapat menyebabkan sumbatan saluran napasmeskipun tanpa disertai

hipertrofi adenoid.1,2,32,34

Salah satu penyebab OSAS yang lain adalah obesitas. Pada dewasa

obesitas merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan

sebagai penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas karena

terdapat penyempitan saluran napas bagian atas akibat penimbunan jaringan

lemak di dalam otot dan jaringan lunak sekitar saluran napas, maupun kompresi

eksternal leher dan rahang. Penentuan obesitas dapat dilakukan dengan cara

menghitung indeks massa tubuh (IMT) dan pengukuran lingkar leher. Untuk

penentuan OSAS, yang lebih berperan adalah lingkar leher dibandingkan dengan

IMT. Telah diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah

atas berhubungan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula

diduga berhubungan dengan mendengkur dan OSAS. Diduga bahwa penumpukan

lemak pada daerah leher dapat membuat saluran napas atas menjadi lebih sempit.

Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar

mempunyai velofaring yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat

mempermudah terjadinya sumbatan saluran napas atas pada waktu tidur.9,10

Penyakit berikut ini penyakit lain yang berhubungan dengan OSA pada

anak:Pierre Robin anomaly, Crouzon syndrome, Treacher Collins syndrome,

Kippel-feil syndrom, Beckwith-wiedemann syndrome, Apert syndrome, Prader

willi syndrom, Morbid obesity, Marfan syndrome, Achondroplasia,

Laryngomalacia, Mucopolysaccharidoses dankeadaan kelemahan neuromuscular,

diantaranya Duchenne muscular dystrophy, Werdnig-Hoffman disease, late-onset

spinal muscular atrophy, Guillain Barre syndrome, myotonic dystrophy, dan

myotubular myopathy, Chiari malformation, Cerebral palsy serta Sickle cell

anemia.9,25

10

Page 11: OSA

Gambar 3. Kelainan yang menyebabkan OSA sesuai letak anatomis.25

2.5. Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis OSAS pada anak belum banyak diketahui namun dapat terjadi jika

gangguan antara faktor yang mempertahankan patensi saluran napas dan

komponen jalan napas bagian atas yang menyebabkan kolapsnya jalan napas.

Faktor-faktor yang memelihara patensi saluran napas adalah a) respon pusat

ventilasi terhadap hipoksia, hiperkapnia, dan sumbatan jalan napas; b) efek pusat

rangsangan dalam meningkatkan tonus neuromuskular jalan napas bagian atas; c)

efek dari keadaan tidur dan terbangun.

Obstruksi pada OSA adalah akibat dari gangguan aliran udara

yangdisebabkan oleh dinding faring yang kolaps sewaktu tidur. Etiologi dan

mekanisme kolapsnya jalan napas multifaktorial tetapi dikaitkan dengan interaksi

jalan napas atas yang sangat mudah kolaps dengan relaksasi otot dilator faring

yang terjadisewaktu tidur. Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, kelainan

kraniofasial seperti retrognathia menambah kecenderungan obstruksi dengan

peningkatan tekanan intraluminal pada jaringan sekitar jalan napas atas. Tetapi

gangguan struktural saja pada saluran napas tidak cukup memadai untuk

menyebabkan OSA. Pasien tanpa kelainan anatomi dapat juga mengalami OSA,

karena kompleks jaras refleks dari saraf pusat ke faring yang mengawal tindakan

otot dilator faring gagal mempertahankan patensi faring.11,12

11

Page 12: OSA

Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif relaksasi sehingga ada

kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Selain itu, obstruksi

nasal menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara dan memperburukan OSA.

Obstruksi nasal mengakibatkan usaha pernapasan melalui mulut saat

tidursehingga terjadi relaksasi otot genioglosus sehingga lidah tergeser ke

belakang. Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada jalan

napasatas akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah

ataupalatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator jalan napas atas

menstabilkan jalan napas pada waktu tidur di mana otot-otot faring

berelaksasi,lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.11,13

Gambar 4. Patofisiologi Obstructive sleep apnea.13

Pada anak lebih sering mengalami periode obstruksi parsial jalan napas

yang berkepanjangan dan hipoventilasi dibandingkan orang dewasa. Keadaan

apnea lebih jarang pada anak dan umumnya waktu lebih singkat daripadaorang

dewasa. Hipoksia dan hiperkapnia terjadi akibat siklus obstruksi parsial atau total.

Obstruktif apnea menyebabkan peningkatan aktifitas otot-otot dilatator saluran

napas atas sehingga mengakibatkan berakhirnya apnea. Pada anak dengan OSAS

12

Hypoxia & hypercapnia

Obstructive apnea

Increased Ventilatory effort

Sleep arousal

Airway obstruction &

Pharyngeal dilator

sleep

Corrected hypoxia &

Patent muscle

Regained pharyngeal

Page 13: OSA

arousal jauh lebih jarang, dan obstruksi parsial dapat berlangsung terus selama

berjam-jam tanpa terputus.

Terdapat dua teori patofisiologi sumbatan (kolaps) jalan napas yaitu: Teori

balance of forces dan Starling resistor. Teori balance of forces adalah ukuran

lumen faring tergantung pada keseimbangan antara tekanan negatif intrafaringeal

yang timbul selama inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan napas atas. Tekanan

transmural pada saluran napas atas yang mengalami kolaps disebut closing

pressure. Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan napas atas akan

mempertahankan tekanan transmural di atas closing pressure sehingga jalan napas

atas tetap paten. Pada saat tidur tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen

farings mengecil sehingga menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi

obstruksi. Teori starling resistor yaitu jalan napas atas berperan sebagai starling

resistor yaitu perubahan tekanan yang memungkinkan faring untuk mengalami

kolaps yangmenentukan aliran udara melalui saluran napas atas. Manifestasi

OSAS timbul jika faktor yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas

bergabung dengan kelainan kontrol susunan saraf pusat terhadap fungsi otot-otot

saluran napas atas. Kemungkinan kombinasi faktor-faktor ini dapat menerangkan

mengapa beberapa anak dengan kelainan struktur mengalami OSAS, sementara

yang lainnya dengan derajat penyempitan saluran napas yang sama menunjukkan

pernapasan yang normal selama tidur. 12,13

2.6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernapas pada saat tidur

yangbiasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernapas

terjadi, mendengkur merupakan gejala awal yang timbul. Dengkuran pada anak

dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu

saja. Riwayat dengkuran lebih dari 3 malam dalam seminggu meningkatkan

kecurigaan OSAS. Pada OSAS, pada umumnya anak mendengkur setiap tidur

dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar kamar dan terlihat episode apnea

yang mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun (arrousal). Usaha

bernapas dapat terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya

13

Page 14: OSA

tengkurap, setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk mempertahankan

patensi jalan napas bahkan terkadang didapatkan anak berkeringat, gelisah,sering

terbangun, sampai sianosis.13,15

Gejala klinis OSAS pada anaksering berupa keluhan sakit kepala pagi hari,

kelelahan sepanjang hari, iritabilitas, gangguan pertumbuhan dan perkembangan.

OSAS yang muncul saat fase REM menyebabkan mimpi buruk seperti mimpi

tenggelam atau tercekik. Biasanya orang tua juga mengeluhkan kesulitan

membangunkan anak pada pagi hari serta anak sering mengeluhkan mulut kering,

sakit kepala, disorientasi, kelelahan dan rasa tidak nyenyak setelah tidur cukup.

Anak sering sulit konsentrasi di sekolah dan sering mengantuk saat membaca,

menonton televisi atau saat di mobil. Hal ini mengakibatkan terjadi penurunan

prestasi, mood berubah, dan kecerobohan.11,12,13

Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat pernapasan melalui mulut, adenoid

facies,midfacial hypoplasia, retro/mikrognathia atau kelainan kraniofasial

lainnya, obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya allergic shiners atau

lipatan horizontal hidung. Patensi pasase hidung harus dinilai, perhatikan adanya

ukuran lidah, integritas palatum, daerah orofaring, redudant mukosa palatum,

ukuran tonsil, dan ukuran uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru

biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan jantung

dapatmemperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal misalnya peningkatan

komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan. Pemeriksaan

neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan status

perkembangan.12,13

Tabel 1. TheEpworth sleepiness scaledigunakan untuk menilai rasa kantuk pada siang.12

14

Page 15: OSA

0 1 2 3

Duduk dan membaca Tidak mungkin tertidur

Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)

Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)

Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)

Menonton televisi Tidak mungkin tertidur

Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)

Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)

Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)

Duduk diam di tempat keramaian

Tidak mungkin tertidur

Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)

Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)

Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)

Sebagai penumpang dalam mobil selama 1jam tanpa istirahat

Tidak mungkin tertidur

Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)

Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)

Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)

Istirahat siang dalam posisi berbaring

Tidak mungkin tertidur

Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)

Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)

Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)

Duduk dan berbicara dengan orang lain

Tidak mungkin tertidur

Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)

Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)

Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)

Duduk diam setelah makan siang tanpa alkohol

Tidak mungkin tertidur

Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)

Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)

Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)

Dalam mobil, saat berhenti beberapa menit akibat macet

Tidak mungkin tertidur

Kemungkinan kecil tertidur (slight chance of dozing)

Kemungkinan sedang tertidur (moderate chance of dozing)

Kemungkinan besar tertidur (high chance of dozing)

TheEpworth sleepiness scale digunakan untuk menilai rasa kantuk pada siang,

nilai-nilai tersebut dijumlahkan, bila nilai ESS 10 atau lebih maka penderita

mungkin menderita OSAS.12,13

 

2.7.Diagnosis Banding

OSAS pada anak harus dibedakan dengan beberapa kelainan dan penyakit seperti

Chronic fatigue syndrome, stridor kongenital, Penyakit Refluks Gastroesofageal

(PRGE), hipotiroidisme, Obstructive hypoventilation syndrome, gangguan tidur:

(mimpi buruk), Sleep Disorder Breathing.14,15

2.8. Komplikasi OSAS pada Anak

Komplikasi OSAS terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal, asidosis, sleep

fragmentation. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi neurobehavioral, gagal

15

Page 16: OSA

tumbuh, komplikasi kardiovaskular, enuresis, penyakit respiratorik, gagal napas

sampai kematian. Komplikasi neurobehavioral terjadi akibat hipoksia kronis

nokturnal dan sleep fragmentation. Rasa mengantuk pada siang hari yang

berlebihan dilaporkan terjadi pada31% - 84% anak dengan OSAS. Keluhan lain

yang dapat menyertai OSAS adalahketerlambatan perkembangan, penampilan di

sekolah yang kurang baik, hiperaktifitas,sikap yang agresi/hiperaktif, penarikan

diri dari kehidupan sosial. Manifestasi gangguan kognitif yang lebih ringan dapat

sering terjadi. Suatu penelitian menunjukkan perbaikan OSAS dapat

menyebabkan perbaikan yang nyata pada fungsi kognitif. Enuresis dapat

merupakan komplikasi OSAS. Etiologinya mungkin akibat kelainan dalam

regulasi hormon yang mempengaruhi cairan tubuh. Enuresis khususnya yang

sekunder dapat membaik setelah obstruksi jalan napas bagian atas dihilangkan.

Gagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak dengan

OSAS kira-kira 27 - 56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS

adalah anoreksia, disfagia, sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil,

peningkatan upaya untuk bernapas, dan hipoksia. Pertumbuhan yang cepat terjadi

setelah dilakukan adenotonsilektomi.13,14,15

Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat

mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab

kematian pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi kor pulmonal.

Prevalensi hipertensi pulmonal pada anak dengan OSAS tidak diketahui.

Brouilette dkk9 melaporkan kor pulmonal terjadi pada 55% dari 22 anak dengan

OSAS. Guilleminault dkk8, melaporkan adanya cardio respiratory failure pada

20% dari 50 pasien. Pasien dengan OSAS lebih mungkin mengaspirasi sekret dari

jalan napas atas yang dapat menyebabkan kelainan respiratorik bawah dan

memungkinkan terjadinya infeksi respiratorik. Keadaan ini dapat membaik setelah

dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Beberapa anak dengan tonsil

yang besar mengalami disfagia atau merasa sering tercekik dan mempunyai risiko

untuk mengalami aspirasi pneumonia. Laporan kasus telah melaporkan adanya

gagal napas pada pasien dengan OSAS yang berat atau akibat komplikasi

perioperatif.14,15

16

Page 17: OSA

2.8. Pemeriksaan Penunjang

2.8.1 Polisomnografi

Pemeriksaan penunjang baku dalam diagnosis OSA adalah melalui pemeriksaan

tidur semalam dengan alat polisomnografi (PSG). Parameter-parameter yang

direkam pada polysomnogram adalah electroencephalography

(EEG),electrooculography (pergerakan bola mata), electrocardiography (EKG),

electromyography (pergerakan rahang bawah dan kaki), posisi tidur, aktivitas

pernapasan dan saturasi oksigen. Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG

adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari

jalan napas atas (kadang-kadang pada kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali)

yang disertai dengan ≥ 50% penurunan amplitudo pernapasan, peningkatan usaha

pernapasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan

terjadi desaturasi oksigen. Sebelum dilakukan PSG, pasien akan diminta

kesediaannya untuk mengisi kuesioner Berlin, bertujuan untuk menjaring pasien

yang mempunyai risiko tinggi terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian

yaitu bagian pertama berisi tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras,

seberapa sering dan apakah sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi

tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah

tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat

badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang

dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas.

Kuesioner ini mempunyai validitas yang tinggi.

Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat gejala-gejala, yakni

keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena sebab

lain. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa

kaliketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah

sepanjang hari dangangguan konsentrasi.Hasil PSG menunjukkan ≥ 5 jumlah total

apnea ditambah terjadi hipopnea perjam selama tidur (AHI ≥ 5). Hasil PSG

negatif untuk gangguan tidur lainnya. Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan

AHI terdiri dari apnea tidur ringan dengan AHI 5–15, saturasi oksigen 86% dan

17

Page 18: OSA

keluhan ringan, apnea tidur sedang dengan AHI 15–30, saturasi oksigen 80–85%

dan keluhan mengantuk dan sulit konsentrasi, apnea tidur berat dengan AHI 30,

saturasi oksigen kurang dari 80% dan gangguan tidur.19,20,21

Gambar 5. Gambaran Polisomnogram pada OSAS.20

2.8.2. Uji Tapis

Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal, dan

belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain

sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan

kuesioner. Brouillette dkk16 menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal

dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS.

Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83

• D: kesulitan bernapas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)

• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

Dengan rumus diatas, ditentukan kemungkinanOSAS berdasarkan skor <- 1

berarti bukan OSAS, skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS

dan skor > 3,5 sangat mungkin OSAS. Dengan menggunakan skor ini, dapat

diprediksi kemungkinan OSAS. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas

73% dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.19,20,21

2.8.3. Observasi selama tidur

18

Page 19: OSA

Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak disuruh tidur

di tempat praktek dokter atau dengan melakukan review audiotapes/ videotapes

yang dapat dilakukan di rumah. Beberapa variabel yang dinilai adalah kekerasan

dan tipe inspirasi, pergerakan selama tidur, frekuensi terbangun, banyaknya apnea,

retraksi, dan napas dengan mulut. Cara inimempunyai nilai sensitifitas 94%,

spesifisitas 68%, nilai prediksi positif 83%, dan nilai prediksi negatif

88%.Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan menggunakan pulse

oximetry. Pada saat tidur anak dipantau penurunan nilai saturasi dengan

menggunakan oksimetri. Pencatatan pulse oximetry secara berkesinambungan

selama tidur dianjurkan sebagai tes skrining dan dapat memperlihatkan desaturasi

secara siklik yang menjadi karakteristik suatu OSAS, tetapi tidak dapat

mendeteksi pasien OSAS yang tidak berkaitan dengan hipoksia. Dengan

menggunakan metode ini nilai prediksi positif sebesar 97% dan nilai prediksi

negatif 53%. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi selama tidur

maka kemungkinan menderita OSAS cukup besar tetapi apabila tidak terdeteksi

pada pemantauan dengan oksimetri maka diperlukan pemeriksaan

polisomnografi.20,21

2.8.4. Klasifikasi Friedman

Friedman dkk memformulasikan suatu klasifikasi untuk memprediksi adanya

suatu Sleep Disorder Breathing (SDB). Klasifikasi ini juga membantu mem-

prediksi keberhasilan operasi uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Penilaian di-

tentukan melalui pemeriksaan kavum oris dan diklasifikasikan sesuai stadiumnya.

Penilaian ini merupakan kombinasi dari posisi palatum terhadap basis lidah, be-

sarnya tonsil dan indeks masa tubuh (IMT). Stadium I bila posisi palatum 1 atau 2

dikombinasikan dengan besarnya tonsil 3 atau 4. Stadium 2 bila posisi palatum 3

atau 4 dikombinasikan dengan ukuran tonsil 3 atau 4. Stadium 3 jika posisi

palatum 3 atau 4 dan ukuran tonsil 0,1 atau 2. Semua penderita dengan IMT lebih

dari 40 kg/m2 termasuk dalam stadium 3.16,17,22

Sistem penilaian ini dapat membantu dalam pemilihan terapi. Penderita

yang tergolong dalam stadium 1 akan baik bila dilakukan UPPP. Keberhasilan

19

Page 20: OSA

UPPP pada kelompok ini mencapai 80%. Prosedur UPPP dilakukan pada pen-

derita dengan stadium 2 atau 3 maka tingkat keberhasilannya rendah.

Gambar 7. Modified Mallampati’s score : A. Uvula dan tonsil/ pilar dapat terlihat seluruhnya. B. Uvula terlihat namun tonsil tidak terlihat. C. Uvula dan tonsil tidak terlihat, hanya terlihat palatum mole. D. Hanya terlihat palatum durum. Ukuran tonsil palatina : E.T1: tonsil tersembunyi didalam

pilar. F. T2: pembesaran tonsil keluar dari pilar. G.T3: tonsil membesar, keluar dari pilar tapi belum mencapai garis tengah. H. T4: ukuran tonsil membesar hingga ke garis tengah.22

Tabel 2. Klasifikasi Friedman22

Stadium Modified Mallampati’s score Ukuran Tonsil palatina

IMT (kg/m2)

Stadium 1 1 3,4 < 402 3,4 < 40

Stadium 2 1,2 0,1,2 < 403,4 3,4 < 40

Stadium 3 3,4 0,1,2 Tidak ditentukan1,2,3,4 1,2,3,4 > 40

2.8.5. Pemeriksaan Laboratorium

Pertanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi metabolit

ATP kadang-kadang digunakan sebagai indikator non spesifik OSAS. Pasien

dengan hiperkapnia kronis selama tidur dapat mengalami peningkatan bikarbonat

serum yang persisten akibat kompensasi alkalosis metabolik.Beberapa jenis

sitokin diketahui mempunyai efek somnogenik dan berperan penting dalam proses

tidur. Interleukin-1 dan TNF-a dapat meningkatkan slow wave sleep dan

pemberian anti TNF-a anti body dapat menghambat fase NREM. Irama sirkadian

dari pelepasan TNF-a mengalami gangguan pada pasien OSAS, kadar puncak

fisiologis pada malam harinya menghilang sedangkan pada siang hari kadar

puncaknya meningkat. Pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dan

Tiroksin untuk mengetahui adanya hipotiroidisme.19,20

20

D E F G HA B C

Page 21: OSA

2.8.6. Radiografi Jaringan Lunak Leher dengan posisiAnteroposterior dan

Lateral

Pada radiografi jaringan lunak leher dapat terlihat detail jaringan lunak, hal ini

membantu menentukan anatomi saluran napas atas, ukuran adenoid, kelainan

hidung dan adanya keganasan pada daerah faring. Foto polos leher dengan posisi

lateral dapat digunakan untuk menentukan ukuran adenoid. Meskipun MRI dapat

memberikan gambar lebih terinci tentang jaringan lunak dan struktur tulang yang

mendasari nasofaring, tapi hal ini biasanya tidak diperlukan, kecuali dalamkasus

dugaan kelainan anatomi.24,25

Gambar 4. Gambar Radiografi leher posisi lateral25

2.8.7. MRI Kepala (Otak dan Batang Otak)

Pasien denga riwayat mendengkur yang berat, sakit kepala, sakit leher, poliuri

atau masalah menelan perlu dicurigai adanya Chiari malformation. Kelainan ini

dapat terjadi pada anak-anak dengan myelomeningocele. MRI kepala perlu

dilakukan. MRI juga dilakukan pada pasien dengan kecurigaan disfungsi batang

otak. Tomografi komputer kepala tidak memberikan gambaran yang cukup baik

untuk menilai batang otak dan lesi pada persyarafan servikalis atas.24,25

2.9. Penatalaksanaan

21

Page 22: OSA

Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu

tindakanbedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah

tonsilektomi dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi

kraniofasial, sedangkan terapi medis dapat berupa diet pada anak dengan obesitas

dan pemakaian nasal CPAP (Continuous Positif Airway Pressure ).

2.9.1.Modifikasi Pola/Gaya hidup

Pada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak dilakukan. Dengan

penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata.

Sayangnya menurunkan berat badan pada anak lebih sulit dilakukan daripada

dewasa. Selain memperbaiki diet pada obesitas, hal yang perlu diperhatikan

adalah penyakit lain yang mungkin menyertainya seperti diabetes melitus atau

hipertensi. Cara ideal adalah menurunkan berat badan secara perlahan dan

konsisten. Hal ini membutuhkan waktu yang lama maka perlunya konseling pada

orang tua dan anak. 26,27

Oleh karena itu sambil menunggu berat badan turun diperlukan

pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus digunakan sampai mencapai penurunan

berat badan yang cukup. Dalam hal penanganan obesitas termasuk di dalamnya

adalah modifikasi perilaku, terapi diet, olahraga (exercise), dan obat-obatan. Pada

pasien OSAS yang berat dan komplikasi yang potensial mengancam hidup

memerlukan perawatan di rumah sakit.27,30

Anak dengan OSAS akan memiliki manifestasi klinis seperti rasa kantuk

di siang hari yang berlebihan. Maka pembatasan aktivitas yang membutuhkan

konsentrasi perlu dilakukan. Aktivitas berkendara dengan kendaraan bermotor

sebaiknya dihindari oleh remaja dengan OSAS.Pasien harus menghindari

konsumsi alkohol dan obat depresan lainnya, yang dapat memperburuk gejala

OSAS.25,26

2.9.2. Obat-obatan

Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah

terjadinya OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau

steroid inhaler. Keberhasilan pemberian obat-obat tersebut kurang bermakna

22

Page 23: OSA

sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat penenang dan obat yang mengandung

alkohol harus dihindarkan karena dapat memperberat OSAS.Nasal fluticasone

diberikan setiap hari selama 6 minggu terbukti memperbaiki frekuensi kejadian

obstruktif pada anak dengan ringan sampai sedang.25,28

2.9.3.Continuous positive airway pressure (CPAP)

Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi,

anak obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan kelainan kraniofasial. Pada

kelompok usia anak, CPAP terutama berguna untuk pasien yang obesitas dan

pasien dengan OSAS yang menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau

adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan

hal tersebut memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan

yang intensif.Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara

bertahap atau dengan tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan

kenyamanan pasien. Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan

dengan kebocoran udara di sekitar selang masker. Keadaan ini dapat

menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam pada kulit. Dekongestan,

tetes hidung dengan NaCl fisologis atau penggunaan sistem CPAP dengan

menggunakan humidifer dapat mengurangi efek samping.23,29,30

2.9.4 . Tonsilektomi dan/atau Adenoidektomi

Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi

merupakan tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar.

Tingkat kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75-100%. Pada anak dengan

etiologi hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya tinggi tetapi

apabila disertai dengan risiko lain seperti obesitas dan disproporsi kraniofasial

maka pascaoperasi akan tetap timbul OSAS. Meskipun demikian, karena OSAS

terjadi akibat ukuran struktur komponen saluran napas atas relatif kecil

dibandingkan dengan ukuran absolut dari tonsil dan adenoid, maka para ahli

berpendapat tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi tetap diperlukan pada

keadaan ini. Pascatonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan pemantauan

dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadang-kadang gejala masih ada

23

Page 24: OSA

dan akanmenghilang beberapa minggu kemudian. Tatalaksana non medis lainnya

seperti penanganan obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah dilakukan

tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.30-32

2.9.5. Operasi Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP)

Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) tidak umum dilakukan pada anak. Selama

prosedur, uvula, batas posterior palatum mole, dan dinding lateral mukosa faring

diangkatkan dengan menggunakan pisau bedah atau laser ablasi. Keberhasilan

operasi UPPP dalam mengurangi apnea tidur obstruktif hanya jika obstruksi

terlokalisir di palatum mole. Namun resiko pascaoperasi adalah insufisiensi

velopharyngeal. Monitoring dan pemeriksaan polisomnografi 2-3 bulan setelah

operasi perlu dilakukan untuk menilai keberhasilan terapi.23,30,31

Gambar 8. Penderita OSAS yang telah dilakukan UPPP.31

2.9.6. Operasi Reduksi Lidah (Tongue reduction)

Prosedur reduksi lidah (midline partial glossectomy) mungkin dapat berguna pada

sebagian kecil pasien anak dengan OSAS (Beckwith-Wiedemann syndrome).30,31

2.9.7. Trakeostomi

Trakeostomi merupakan tindakan sementara pada anak dengan OSAS yang berat

yang mengancam hidup, dan untuk anak yang tinggal di daerah dengan peralatan

operasi tidak tersedia.332.10. Penatalaksanaan OSAS pada Keadaan Khusus

2.10.1 Mandibular/Maxillary Distraction Procedure pada Sindroma Pierre

Robin

Pasien dengan Sindroma Pierre Robin atau hipoplasia mandibula menunjukkan

peningkatan yang signifikan pada airflowsetelah dilakukan mandibular

advancement. Pasien dengan bentuk rahang melengkung atau kelainan

24

Page 25: OSA

kraniofasial mengakibatkan penyempitan celah rahang dan gangguan

rahang.Maxillary distraction procedure dilakukan untuk memperbesar rongga

hidung dan diameter lateral palatum dan orofaring.19,30,34

2.10.2 Atresia Koana

Rekonstruksi pada atresia koana dapat dilakukan dengan pendekatan transnasal

dengan panduan teleendoskopi atau transpalatal.

2.10.3 Palatoschizis dan Labiopalatoschizis

Pada anak dengan Palatoschizis dan atauLabiopalatoschizis biasanya menderita

kelainan bentuk wajah, cara berbicara dan otitis media. Adanya kelainan

kraniofasial pada pasien ini maka mereka rentan mengalami OSAS. Sehingga

dalam melakukan prosedur rekonstruksi perlu mempertimbangkan luas

penampang jalan napas atas. Pemeriksaan polisomnografi pra dan pascaoperasi

sangat disarankan untuk mengetahui beratnya OSA dan keberhasilan terapi.30,35

2.10.4 Sindroma Down

Anak dengan Sindroma Down memiliki kelainan kraniofasial dan neurologis yang

dapat menyebabkan OSA, seperti: bentuk tengkorak dan midface kecil, nasofaring

dan laring relatif sempit, markroglosia, hipotonia, kecenderungan obesitas,

kelainan jantung bawaan. Karena faktor-faktor ini, kejadian OSA pada pasien

dengan sindroma Down berkisar 54-100%. Tatalaksana pada anak dengan

sindroma Down antara lain adenotonsilektomi(tingkat keberhasilan: 69%), UPPP,

CPAP dan trakeostomi. Persiapan operasi pada pasien ini harus mencakup

penilaian untuk jantung, tiroid, dan kelainan vertebra servikal atau leher juga

pemantauan ICU pasca operasi sering diperlukan.31,32,36

25

Page 26: OSA

Gambar 9. Algoritma Penatalaksanaan OSAS pada anak.37

2.11.Komplikasi Operasi pada anak dengan OSAS

Anak-anak dengan OSAS yang berat dapat berkembang menjadi edema paru

pasca obstruksi dalam beberapa jam operasi. Faktor resiko untuk edema paru

pascaoperasi meliputi: usia anak lebih muda dari 3 tahun, anomali kraniofasial

mempengaruhi jalan napas atas terutama daerah faring, hipoplasia midfasial,

micrognathia, atau retrognathia, anak dengan failure to thrive (gagal tumbuh),

hipotonia, obesitas morbid, trauma jalan napas atas, hasil RDI > 40x/jam, dan

adanya penyakit jantung serta paru.31-33

BAB 3

26

Page 27: OSA

KESIMPULAN

Obstructive sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya

episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. OSAS pada anak sangat

mempengaruhi pertumbuhan & perkembangan anak. Faktor resiko terjadinya

OSAS pada anak antara lain hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi

kraniofasial, dan obesitas.. Diagnosis OSAS secara definitif menggunakan

polisomnografi yaitu adanya indeks apnea atau hipopnea lebih dari 1. Pe-

meriksaan penunjang lainnya adalah menggunakan kuesioner Brouillette dkk,

observasi dengan video, atau menggunakan pulse oksimetri.

Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan penyebab tersering OSAS pada

anak. Tatalaksana OSAS pada anak adalah adenoidektomi dan/atau tonsilektomi.

Angka keberhasilannya cukup tinggi yaitu sekitar 75%. Selain itu, diet untuk

penurunan berat badan pada obesitas, serta penggunaan CPAP (continuous

positive airway pressure). Komplikasi yang dapat terjadi adalah gangguan tingkah

laku, kelainan kardiovaskular, dan gagal tumbuh. Diharapkan dengan penanganan

yang tepat dan cepat dapat menurunkan angka mortalitas dan angka kecacatan

yang ditimbulkan oleh OSAS.

DAFTAR PUSTAKA

27

Page 28: OSA

1. Kaswandani Nastiti. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada anak.

Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60. Jakarta; 2010; 295-296.

2. Supriyanto Bambang, dkk. Obstructive Sleep Apnoe Syndrome pada anak.

Sari pediatri. Vol7. Jakarta; 2005; 77-84

3. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan

Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.

4. Ali NJ. Pitson DJ, Stardling JR. The prevalence of snoring, sleep disturbance

and sleep related disoders and their relation of daytime sleepiness in 4-5 year

oldchildren.Am Rev Respir Dis 1991; 143:381

5. Ali NJ, Pitson DJ, Stardling JR. Snoring, Sleep disturbance and behavior in 4-

5 year old children. Arch Dis Child 1993; 68:360-6.

6. Tran KD, Nguyen CD, Weedon J, Goldstein NA.Child behavior and quality

of life in pediatric obstructive sleep apnea. Arch Otolaryngol Head Neck

Surg. 2005;131(1):52-7.

7. Supriyatno B, Said M, Hermani B, Syarif DR, Sastroasmoro. Risk factors

obstructive sleep apnea syndrome in obese early adolescents: scoring system

asdiagnostic prediction (Disertasi). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2009.

8. Guilleminault C, Eldredge FL, Simmons B. Sleep apnea in eight children.

Pediatrics. 1976; 58:23-31.

9. Brouillette RT, Fernbach SK, Hunt CE. Obstructive sleep apnea in infants

andchildren. J Pediatr 1982; 100:31-9.

10. Entzian P, Linnemann K. Schlaak M. Obtructive sleep apnea syndrome

andcircadian rhytms of hormones an cytokines. Am J Respir Crit Care Med

1996; 153:1080-6.

11. Deegan PC, McNicholas WT. Pathophysiology of obstructive sleep apnoea.

Dalam: McNicholas WT, penyunting. Respiratory disorders during sleep.

United Kingdom, ERS J Ltd; 1998. h. 28-62.

12. Laks L, Lehrhaft B, Grunstein RR. Pulmonary artery pressure response to

hypoxia in sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med 1997; 155:193-8.

28

Page 29: OSA

13. Ryan CF, Love LL. Mechanical properties of the velopharynx in obese

patients with obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med 1996;

154:806-12.

14. Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, John K. Niparko, Mark

A.Richardson, K. Thomas Robbins, J. Regan Thomas, Cummings

Otolaryngology Head and Neck Surgery 5th Edition, Chapter 18: Sleep

Apnea and Sleep Disorders ; 250-261.

15. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep

Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.

16. Deegan MN. Clinical prediction rules in obstructive sleep apnea syndrome.

Eur Respir J 1997; 10:1194-5.

17. Carroll JL, Loughlei GM. Diagnostic criteria for obstructive sleep apnea

syndrome in children. Pediatri Pulmonol. 1992; 14:71-4.

18. Yoshizawa T, Kurashina K, Sasaki I. Analysis of HLA antigens with

obtructive sleep apnea syndrome. Am Rev Respir Dis 1991; 143:381A.

19. Wiet GJ, Bower C, Seibert R, Griebel M.Surgical correction of obstructive

sleep apnea in the complicated pediatric patient documented by

polysomnography. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 1997;41(2):133-43.

20. Marcus CL, Omlin KJ, Basinki DJ.Normal polysomnographic values for

children and adolescents. Am Rev Respir Dis. 1992;146(5 Pt 1):1235-9.

21. Mitchell RB.Adenotonsillectomy for obstructive sleep apnea in children:

outcome evaluated by pre- and postoperative polysomnography.

Laryngoscope. 2007;117(10):1844-54.

22. Friedman M, Ibrahim H, Bass Lee. Clinical staging for sleep disordered

breathing. Arch Otolaryngol.Head&Neck Surg. 2002: 13-21.

23. Marcus CL. Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin

GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children; diagnosis and

management. Baltimore, William & Wilkins, 1994. h. 475-91.

24. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood

obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2002;109:1-20.

29

Page 30: OSA

25. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. Sleep Apnea-Assesment and

Management ofObstructive Sleep Apnea in Adult.. Textbook of Head and

Neck Surgery-Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams &

Wilkins. Philadelphia.2005. 273-9. 2000.

26. Smith RS, Ronald J, Delaive K, Walld R, Manfreda J, Kryger MH. What

areobstructive sleep apnea patients being treated for prior to this diagnosis?.

Chest 2002; 121:164-72.

27. Neil AM, Angus SM, Sajkov D. Effects of sleep posture on upper

airwaystability in patients with obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit

Care Med 1997; 155:199- 204.

28. McColley SA, Carroll JL, Curtis S. High prevalence of allergic sensitization

inchildren with habitual snoring and obstructive sleep apnea. Chest 1997;

111:170-3.

29. Teschler H, Jones MB, Thomson AB, dkk. Automated continuo positive

airway pressure titration for obstructive sleep apnea syndrome. Am J Respir

Crit Care Med 1996; 154:734-40.

30. Montserrat JM, Ballester E, Hernands L. Overview of management options

forsnoring and sleep apnea. Respiratory disorders during sleep. United

Kingdom, ERS J Ltd; 1998. h. 144-78.

31. Levy P, BettegaG, Pepin JL. Surgical management options for snoring and

sleep apnea. Respiratory disorders during sleep. United Kingdom, ERS J Ltd;

1998. h. 205-26.

32. Mitchell RB, Kelly J.Outcome of adenotonsillectomy for severe obstructive

sleep apnea in children. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2004;68(11):1375-9.

33. Cohen SR, Suzman K, Simms C, Burstein FD, Riski J, Montgomery G . Sleep

apnea surgery versus tracheostomy in children: an exploratory study of the

comparative effects on quality of life. Plast Reconstr Surg.

1998;102(6):1855-64.

34. Ow AT, Cheung LK.Meta-analysis of mandibular distraction osteogenesis:

clinical applications and functional outcomes. Plast Reconstr Surg.

2008;121(3):54e-69e.

30

Page 31: OSA

35. Muntz H, Wilson M, Park A, Smith M, Grimmer JF.Sleep disordered

breathing and obstructive sleep apnea in the cleft population. Laryngoscope.

2008;118(2):348-53.

36. Bower CM, Richmond D.Tonsillectomy and adenoidectomy in patients with

Down syndrome. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 1995;33(2):141-8.

37. Cohen SR, Ross DA, Lefarivre JF, Burstein FD, Riski J. Clinical practice

guideline: diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea

syndrome. Pediatrics. 2002;109(4):704-12.

31