oseana_xxxii(1)33-38

Upload: yudha-arie-wibowo

Post on 04-Jun-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/13/2019 oseana_xxxii(1)33-38

    1/6

    Oseana, Volume XXXII, Nomor 1, Tahun 2007 : 33-38 ISSN 0216-1877

    PROSPEK USAHA BUDIDAYA KEKERANGAN DI INDONESIA

    Oleh

    Dwi Eny Djoko Setyono1)

    ABSTRACT

    PROSPECT FOR DEVELOPMENT OF MOLLUSC AQUACULTURE IN

    INDONESIA.In general marine fisheries production in Indonesia is still dominated

    by capture fisheries. Most of mollusc production caught from nature are used for own

    consumption and only a small part are sold for local market and exported. Although

    fisheries production of mollusc increased considerably but the market demand is still

    higher than the production. This phenomenon shows that there is a good chance to

    expand the business on mollusc aquaculture. Mollusc is a very popular food. The

    meat is very delicious and nutritious. The meat contains more than 50% protein, 5%

    fat, 5% ashes, and the rest is water Therefore, mollusc is very important for human

    diets. Increasing population and changing the diets into white meat (seafood) has

    lead to a better chance to expand mollusc aquaculture in Indonesia.

    PENDAHULUAN

    Indonesia merupakan negara maritim,

    mempunyai jumlah pulau sekitar 17.508 buah,

    dan 931 buah pulau diantaranya sudah

    berpenduduk (ditempati). Pulau-pulau tersebuttersebar diantara 95 BT - 141 BT dan 6 LU -

    11 LS.

    Sampai saat ini produksi perikanan laut

    di Indonesia masih didominasi oleh hasil

    tangkapan alam, baik sebagai komoditas pasar

    lokal maupun ekspor. Produksi hasil tangkapan

    alam tersebut sampai saat ini juga masih

    didominasi oleh jenis-jenis ikan. Sebagai

    contoh, jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis

    penting dan berpotensi ekspor antara lain ikan

    tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus

    pelamis), kerapu (Cromileptes altivalis,

    Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), dansebagainya. Sedangkan untuk kekerangan,

    mayoritas hasil tangkapan alam masih

    digunakan untuk konsumsi sendiri (kerang pasir,

    siput mata bulan, dan siput berukuran kecil

    lainnya), sebagian dijual untuk konsumsi lokal

    (kerang darah, kerang hijau, kerang bakau dan

    oyster), dan hanya sebagaian kecil untuk

    diekspor (batu laga, lola, kima, abalon).

    33

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXXII No. 1, 2007

  • 8/13/2019 oseana_xxxii(1)33-38

    2/6

    Kekerangan merupakan kelompok

    hewan yang berhasil hidup dan berkembang

    secara luas di muka bumi ini. Jumlah jenis

    kekerangan hampir dua kali lipat jumlah hewan

    bertulang belakang. Kelompok kekerangan

    tersebut sebagian besar merupakan jenis-jenis

    yang hidup di perairan asin (laut), baik diwilayah pantai maupun daerah perairan yang

    lebih dalam (deep zone). Di muka bumi ini

    diketahui lebih dari 100 ribu jenis kekerangan,

    tersebar dari daerah dingin, subtropis dan tropis,

    pada perairan dangkal (kerang darah, kerang

    hijau) hingga daerah yang lebih dalam (batu

    laga, kima). Dilihat dari ukurannya ada yang

    sangat kecil (micro-benthos) hingga yang sangat

    besar (kima raksasa, giant clam).

    Indonesia sebagai negara kepulauan

    mempunyai potensi yang besar tentang

    sumberdaya kekerangan tersebut (DHARMA,

    1988; ARIFIN & SETYONO, 1992). Namundemikian potensi sumberdaya kekerangan yang

    besar tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan

    secara optimal. Mengingat kandungan gizinya

    yang sangat tinggi, >50% protein, 5% lemak,

    dan 5% kadar abu (DODY, 2004), sudah saatnya

    sumberdaya ini dikelola dan dimanfaatkan untuk

    kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perubahan

    po la makan masyarak at du ni a da ri

    mengkonsumsi daging merah (ayam, sapi, babi,

    dan hewan darat lainnya) ke daging putih

    (produk laut) juga memberikan peluang yang

    sangat baik untuk mengembangkan usaha di

    bidang perikanan khususnya usaha budidaya

    kekerangan.

    PERBEDAAN KERANG DAN SIPUT

    Secara umum kekerangan merupakan

    kelompok hewan tidak bertulang belakang

    (avertebrata), sebagian besar dicirikan dengan

    adanya cangkang yang melindungi tubuhnya,

    dan hanya sebagian kecil jenis yang tidak

    bercangkang. Hewan yang bercangkang ganda

    kita sebut sebagai kerang(bivalvia)

    sedangkan

    yang bercangkang tunggal kita sebut sebagai

    siput (gastropoda). Kerang (bivalvia) diketahui

    mendominasi jumlah atau kepadatan individu

    di muka bumi ini. Namun demikian dari jumlah

    jenis, siput (gastropoda) didapati paling banyak

    dijumpai di bumi ini. Warna dan bentuk

    cangkang sangat bervariasi, tergantung padajenis, habitat dan jenis makanannya. Pada

    beberapa jenis, pada bagian dalam cangkangnya

    terdapat lapisan mutiara yang mengkilap/

    berkilau. Misalnya pada oyster, abalon, dan

    kima.

    Secara umum bagian tubuh kekerangan

    dibagi menjadi lima, yaitu (1) kaki (foot,

    byssus), (2) kepala (head), (3) bagian alat

    pencernaan dan reproduksi (visceral mass), (4)

    selaput (mantle), dan (5) cangkang (shell).

    PROSPER USAHA

    Pasar

    Peningkatan jumlah penduduk dunia

    dan perubahan pola makan dari mengkonsumsi

    daging hewan darat berganti ke menu ikan

    termasuk kekerangan, mendorong manusia

    untuk berusaha meningkatkan produksi

    perikanan, baik perikanan tangkap maupun

    perikanan budidaya.

    Kebutuhan konsumen akan produk

    pe rikanan termasuk keke rangan terus

    meningkat, baik kebutuhan di pasar lokal

    (Surabaya, Makassar, Jakarta, Medan, Batam)maupun di pasar internasional (Singapura,

    Hongkong, Jepang, Amerika dan Eropa).

    Peningkatan permintaan pasar berarti peluang

    bagi pengusaha di bidang perikanan untuk

    mengembangkan usahanya.

    Kesadaran penduduk dunia akan

    'green product' yaitu makanan yang diproduksi

    tanpa banyak menggunakan bahan kimia dan

    pestisida akan memberikan peluang yang baik

    bagi usaha budidaya kekerangan di Indonesia

    mengingat kualitas perairan di Indonesia yang

    umumnya jauh dari pencemaran (Perairan

    Indonesia Timur).

    34

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXXII No. 1, 2007

  • 8/13/2019 oseana_xxxii(1)33-38

    3/6

    Produksi

    Meskipun produksi perikanan dunia

    terus meningkat, namun kebutuhan pasar belum

    juga terpenuh i. Sebagai contoh, produksi

    perikanan dari sektor akuakultur (budidaya) di

    Indonesia telah mengalami peningkatan sebesar

    8,6% per tahun, yaitu dari 597,5 juta ton pada

    tahun 1994 menjadi 926,3 juta ton pada tahun

    2000 (SUKADI, 2001). Peningkatan yang

    hampir dua kali lipat dalam jangka waktu yang

    relatif pendek (kurang dari 10 tahun) tersebut

    belum juga mengakibatkan pasar jenuh. Hal ini

    menunjukkan bahwa peluang pasar untuk

    pengembangan usaha per ikanan termasuk

    perikanan kekerangan masih terbuka. Produksi

    per ikanan kekerangan di Indonesia masih

    didominasi oleh hasil tangkapan alam, dan jenis

    kerang darah (Anadara spp) masih menduduki

    rangking pertama (73%) dari total produksikekerangan di Indonesia (FAO, 1996).

    Aspek Gizi

    Kekerangan merupakan jenis makanan

    laut yang banyak digemari oleh konsumen

    karena kelezatan rasanya dan mengandung nilai

    gizi yang tinggi. Bahkan beberapa jenis kerang

    dan siput laut dipercaya bisa meningkatkan

    stamina, misalnya daging kima dan abalon.

    Terlepas dari mitos tentang kasiat daging kerang

    dan siput, DODY (2004) menyatakan bahwa

    dari hasil uji/test laboratorium (uji proksimat)diketahui bahwa 57% daging limpet merupakan

    protein, 5 % lemak, 5 %abu, dan sisanya adalah

    air. Kandungan gizi yang tinggi dan perubahan

    pola diets penduduk dunia memberikan peluang

    yang baik bagi pengembangan usaha perikanan

    kekerangan.

    USAHABUDIDAYA

    Usaha budidaya adalah kegiatan untuk

    memproduksi biota air (termasuk di dalamnya:

    pemeliharaan, penanganan, pengolahan, dan

    pemasaran) untuk tujuan komersial

    (BARNABE, 1990). Di Indonesia beberapa

    jenis kekerangan telah berhasil dibudidayakan,

    baik dalam skala rumah tangga (kecil) maupun

    skala industri (besar). Budidaya skala rumah

    tangga biasanya dikembangkan untuk

    memenuhi kebutuhan pasar lokal, misalnyabudidaya kerang darah dan kerang hijau.

    Sedangkan budidaya skala industri biasanya

    bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekspor,

    misalnya budidaya kerang mutiara, siput lola

    dan abalon.

    Penentuan Lokasi

    Usaha budidaya merupakan salah satu

    kegiatan bisnis yang memerlukan modal,

    ketrampilan, ketekunan, dan kemampuan

    memprediksi perkembangan pasar. Usaha

    budidaya akan berkai tan dengan beberapadisiplin ilmu dan pengetahuan, antara lain

    perikanan, biologi, hukum, teknik dan ekonomi.

    Selain aspek personil (manusia) dan

    ekonomi (permodalan), penentuan lokasi untuk

    usaha budidaya juga harus memperhatikan

    keamanan, baik keamanan bagi pekerja maupun

    keamanan unit usaha (bangunan, peralatan, dan

    hewan yang dipelihara). Selain itu, prasarana

    dan sarana perhubungan dan komunikasi juga

    perlu dipertimbangkan (SETYONO, 1997).

    Usaha budidaya tidak terlepas dari

    kebutuhan air sebagai media tempat hidup

    hewan yang dipelihara. Debit dan kualitas airakan sangat berpengaruh terhadap laju

    pe rtumbuhan hewan yang dipe lihara

    (SETYONO, 2004). Khusus untuk "onland

    farming" atau budidaya sistim kolam dan bak

    yang dibangun di darat, maka sumber air

    (kuantitas dan kualitas) harus mendapat

    perhatian utama. Sedangkan untuk budidaya di

    dalam kurungan yang dibangun di laut, selain

    kondisi air (kualitas) in situ juga perlu

    diperhatikan pola aliran air (arus), gelombang

    dan angin, pasang-surut, kedalaman perairan,

    salinitas (kadar garam), pH (keasaman),

    35

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXXII No. 1, 2007

  • 8/13/2019 oseana_xxxii(1)33-38

    4/6

    kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar

    pera iran (lumpur, pasir, ba tu). Kondisi

    lingkungan tersebut tentunya akan berkaitan erat

    dengan teknik budidaya yang akan dipilih

    (SETYONO, 1997).

    Prasarana BudidayaPrasarana budidaya kekerangan

    tergantung dari teknik budidaya yang dipilih.

    Untuk sistem kolam dan bak yang dibangun di

    darat tidak diperlukan kantong atau tempat

    untuk menaruh hewan yang dipelihara. Hewan

    dilepas langsung di dalam kolam atau bak dan

    diberi makan. Namun demikian, untuk

    mengefisienkan penggunaan area, di dalam bak

    bisa diberikan blok-blok semen sebagai tempat

    menempel dan bersembunyi. Sebagai contoh,

    penambahan blok-blok semen dipraktekkan

    pada budidaya abalon di kolam/bak.

    Untuk budidaya kekerangan di lautdiperlukan wadah khusus sesuai dengan jenis

    kerang/siput dan teknik budidaya yang dipilih.

    Sebagai contoh, untuk kerang hijau diperlukan

    tali dan tonggak untuk menempel, diperlukan

    keranjang untuk menempatkan oyster, dan

    diperlukan drum serta pipa PVC sebagai shelter

    untuk budidaya abalon (SETYONO, 2005).

    Penyediaan Benih

    Benih untuk usaha budidaya dapat

    diperoleh dari tangkapan alam, baik dengan

    memasang spat kolektor di alam (oyster, keranghijau) maupun menangkap anakan dari alam

    (lola, abalon, kima). Selain itu beberapa jenis

    kerang dan siput telah berhasil dipijahkan di

    laboratorium (hatchery), misalnya oyster, kima,

    batulaga, lola dan abalon. Untuk menjaga

    kualitas dan kekontinyuan usaha sebaiknya

    benih dipesan dan dibeli dar i panti benih

    (hatchery).

    Benih kekerangan biasanya diangkut

    dalam kondisi tanpa air (lembab). Untuk jenis

    kerang (oyster, kima), benih disusun dan

    dibungkus dengan handuk basah, dimasukkan

    dalam box dan diangkut dalam suhu rendah

    (dingin). Untuk jenis siput (batulaga, lola,

    abalon), benih disusun dalam box, dilapisi

    dengan makro-algae (Gracilaria spp), dan

    ditransportasikan dalam kondisi dingin. Dengan

    sistem tersebut benih mampu bertahan dalam

    kondisi baik selama 6-12 jam sebelum benih

    dibuka dan dimasukkan ke air di dalam kolampembesaran (SETYONO, 2003a).

    Teknik Budidaya

    Ada dua cara memproduksi kekerangan

    sebelum dipanen dan sampai ke konsumen.

    Pertama, benih kekerangan (baik hasil koleksi

    alam maupun pemijahan di panti benih) dilepas

    atau ditebar pada lokasi atau area yang

    dilindungi untuk jangka waktu tertentu sebelum

    akhirnya dipanen dan dijual ke konsumen.

    Kedua, benih kekerangan dipelihara dan

    dibesarkan secara komersial menggunakan

    wadah dan teknik tertentu sampai mencapai

    ukuran yang layak dijual ke konsumen.

    Penentuan teknik budidaya kekerangan

    sangat tergantung pada kondisi ekonomi

    (permodalan), ekologi (lingkungan), geografi,

    dan bahkan kondisi politik (keamanan). Ada tiga

    teknik budidaya kekerangan, yaitu (1) budidaya

    di darat di dalam kolam atau bak (land based

    farming), (2) pembesaran dalam kurungan

    (containment rearing), dan (3) pemeliharaan di

    dasar laut (ocean-floor or sea ranching)

    (HAHN, 1989).

    'Land based farming' memerlukan

    biaya investasi yang tinggi guna membangun

    fasilitas budidaya (gedung, kolam, peralatan,

    pompa air dan udara), biaya operasional dan

    tenaga kerja tinggi. Kerusakan fasilitas dan

    peralatan akan berakibat fatal. Namun demikian,

    teknik ini sangat baik dan mudah untuk

    melakukan kontrol terhadap hewan yang

    dipelihara serta memberikan hasil yang lebih

    pasti.

    Keuntungan teknik "containment

    rearing" antara lain, biaya investasi dan

    operasional relatif rendah, dapat dipilih

    lingkungan yang sesuai, hewan terlindungi dari

    36

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXXII No. 1, 2007

  • 8/13/2019 oseana_xxxii(1)33-38

    5/6

    predator , makanan dapat dikontrol secara

    optimal, dapat dilakukan polikultur, dapat

    dipelihara dengan kepadatan tinggi, mudah

    dalam pemanenan, dan jelas kepemilikannya.

    Namun demikian, teknik ini mempunyai

    beberapa kelemahan, yaitu pemberian makanan

    memerlukan teknik tertentu, sulit dalammelakukan perawatan kurungan, kemungkinan

    kurungan dapat hilang karena badai atau dicuri,

    dan beberapa problem yang berkaitan dengan

    biota pengotor (fouling organisms).

    Teknik ketiga (ocean-floor or sea

    ranching) merupakan teknik yang tidak ideal

    meskipun teknik ini tidak memelukan biaya

    investasi bangunan dan peralatan serta tidak

    memerlukan biaya untuk energi (listrik). Teknik

    ini mempunyai beberapa kelemahan termasuk

    kesulitan di dalam menempatkan benih pada

    substrat di dasar perairan, kesulitan pada saat

    panen, kehilangan hewan akibat kematian dan

    bencana alam (badai) sangat tinggi.

    Panen dan Pasca Panen

    Panen dilakukan pada saat kerang dan

    siput telah mencapai ukuran layak jual. Panen

    dilakukan dengan mengeringkan kolam/bak ataumengangkat tali dan kurungan yang ada di laut.

    Untuk kerang yang dipelihara di perairan pantai

    (kerang darah), panen dilakukan pada saat air

    laut surut rendah dengan menggali pasir dimana

    kerang tersebut bersembunyi.Kerang dan siput hasil panenan segera

    disemprot dengan air laut untuk membersihkan

    lumpur, pasir, serta kotoran lainnya yangmenempel di cangkang. Setelah dibersihkan dari

    kotoran luar, hasil panenan kemudian diproses

    sesuai dengan jenis dan kebutuhan konsumen.

    Misalnya untuk kerang darah dan kerang hijaudapat langsung dijual dalam bentuk segar

    (hidup) atau direbus untuk kemudian diambil

    dan dijual dagingnya. Untuk abalon, setelah

    dicuci kemudian direndam dalam larutan garam

    jenuh, dibuang cangkangnya, dicuci danditiriskan sebelum diekspor.

    Kekerangan yang akan diambil

    cangkangnya tidak boleh dilakukan perebusan

    atau penjemuran. Setelah dipanen kerang atau

    siput yang akan diambil cangkangnya dikubur

    di dalam pasir yang bersih selama beberapa hari

    sampai dagingnya membusuk. Setelah semua

    dagingnya membusuk, kekerangan diangkat,dicuci dan dikering-anginkan sebelum dijual.

    Analisa Usaha

    Sebagian besar produksi kekerangan

    saat ini adalah berasal dari hasil tangkapan alam,

    sehingga belum ada analisa usaha budidaya.

    Namun demikian, sebagai informasi tambahan,

    analisa biaya untuk memproduksi benih siput

    lola (Trochus niloticus) di BPPSDL-LIPI

    Ambon, Maluku (DWIONO, 1998) dapat

    dipakai sebagai acuan untuk menghitung biaya

    produksi benih siput laut lainnya (batulaga,

    abalon).

    Untuk menghasilkan benih siput lola

    umur 1 tahun diperlukan biaya Rp 778,- perekor. Sedangkan untuk memelihara anakan siput

    di dalam kurungan di laut diperlukan biaya Rp

    1.493,- per ekor. Pada tahun ketiga batulaga dan

    lola dilepas di alam (tanpa kurungan) dan

    dipanen setelah berumur sekitar 4-5 tahun.

    Biaya tersebut tentunya sangatlah kecil bila

    dibandingkan dengan nilai jual cangkang lola

    dan batulaga. Pada tahun 1998 nilai jual per kg

    cangkang di Ambon adalah sekitar Rp 30-40

    ribu untuk lola dan Rp 60-90 ribu untuk batulaga

    (SETYONO, 2003b). Di Lombok, NTB pada

    tahun 2000, abalon hasil tangkapan alam dijual

    dengan harga Rp 25.000,- (cangkang dandaging), sedangkan dagingnya saja dijual

    dengan harga Rp 125.000,- per kg. Abalon

    budidaya dapat dipanen pada umur sekitar 2-3

    tahun (1 kg berisi 15 ekor). Melihat tingginya

    nilai jual produk kekerangan tersebut, tentunya

    bisa diprediksi bahwa biaya produksi benih dan

    pembesaran anakan tidak akan terlalu mahal.

    Namun demikian, jangka waktu pemeliharaan

    yang relatif lama (SETYONO, 1997;

    DWIONO, 1998; SETYONO & DWIONO,

    1998; SETYONO, 2003a; SETYONO, 2003b)

    membuat investor kurang tertarik untuk

    berinvestasi pada usaha budidaya kekerangan.

    37

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXXII No. 1, 2007

  • 8/13/2019 oseana_xxxii(1)33-38

    6/6

    DAFTAR PUSTAKA

    ARIFIN, Z. DAN SETYONO, D.E.D. 1992.

    Potensi sumberdaya kekerangan dan

    prospek pengembangannya di Maluku.

    Prosiding Lokakarya Ilmiah Potensi

    Sumberdaya Perikanan Maluku, No.

    8. Balitbang Pertanian, Balai

    Penelitian Perikanan Budidaya Pantai,

    Maros : 77-86.

    BARNABE,G. 1990.Aquaculture- Vol 1. Ellis

    Horwood, New York : 528 pp.

    DHARMA, B. 1988. Siput dan Kerang

    Indonesia I (Indonesian shells). PT.

    Sarana Graha, Jakarta : 111 hal.

    DODY, S. 2004. Biologi reproduksi limpet

    tropis (Cellana testudinaria Linnaeus,1758) di perairan Pulau-pulau Banda,

    Maluku. Disertasi. IPB. Bogor: 143 hal.

    DWIONO, S.A.P. 1998. Penelitian produksi

    benih batulaga (Turbo marmoratus).

    Dalam : Budidaya biota perairan

    Kawasan Timur Indonesia

    (SUSETIONO, ed.). Proyek Pengem-

    bangan dan pemanfaatan potensi kelautan

    KTI, Balitbang Sumberdaya laut,

    Puslitbang Oseanologi, LIPI Ambon: 18-

    42.

    FAO, 1996. FAO yearbook vol 82. Fishery

    statistic. Capture production. FAO,

    Rome : 148 pp.

    HAHN, K.O. 1989. Handbook of culture of

    abalone and other marine gastropods

    (Hahn, K.O. ed.). CRC Press, Inc. Boca

    Raton, Florida.: 3-294.

    SETYONO, D.E.D. 1997. Culture techniques

    on the farming of abalone (Haliotis

    sp). A perspective effort for

    aquaculture in Indonesia. Oseana, 22

    (1) : 1-8.

    SETYONO, D.E.D. dan DWIONO, S.A.P1998. Studi pembesaran anakan batu

    laga (Turbo marmoratus linnaeus, 1758)

    dengan pakan alami dan Navicula spp.

    yang ditumbuhkan pada substrat karang

    mati dan cangkang kerang. Perairan

    Maluku dan sekitarnya, 12 : 1-9.

    SETYONO, D.E.D. 2003a. Reproductive and

    seed production techniques for tropical

    abalone (Haliotis asinina) in eastern

    Indonesia. Prosiding Seminar Nasional

    Perikanan Indonesia 2003. Jakarta, 8-9

    Oktober 2003. Makalah Pendukung. Vol

    1: 1-12.

    SETYONO, D.E.D. 2003b. Prospek pengem-

    bangan budidaya batu laga (Turbo

    marmoratus Linnaeus, 1758) dalam

    menunjang peningkatan ekspor di

    Maluku. Prosiding Seminar Nasional

    Perikanan Indonesia 2003. Jakarta, 8-9

    Oktober 2003. Makalah Pendukung. Vol

    3: 11-19.

    SETYONO, D.E.D. 2004. Pengetahuan dasar

    akuakultur. Oseana 29 (1): 27-32.

    SETYONO, D.E.D. 2005. Analone (Haliotis

    asinina L): 5. early juvenile rearing and

    ongrowing culture. Oseana 30 (2) : 1-

    10.

    SUKADI, F. 2001. Preface from the Director

    General of Fisheries Culture at the

    annual meeting. Ambarukmo Hotel,

    Yogyakarta, Indonesia, 11 September

    2001 : 6 pp.

    38

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXXII No. 1, 2007