otonomi daerah dan

70
OTONOMI DAERAH DAN EKSISTENSI DESA PAKRAMAN DI BALI Oleh: Wayan Gede Suacana Democracy, at least at present, is the best form of governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the freedom. When democracy is misunderstood, however, and a freedom misinterpreted, the result is anarchy. (Mahathir Mohamad, “Achieving True Globalization, 2004). Pendahuluan Pelaksanaan otonomi daerah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam rangka pengakuan dan penguatan integrasi nasional, disamping perkembangan paradigma pemerintahan saat sekarang yang mulai menuju pada prinsip Clean Government dan Good Governance. Prinsip pertama menginginkan agar struktur pemerintahan menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang berasal dari rakyat, serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (abuse of power and authority). Sedangkan prinsip kedua, menghendaki adanya satu mekanisme kerja, dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial. Disamping itu, pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan tiga fungsi dasar: service, regulation dan empowerment dengan maksud mengantisipasi kebutuhan masyarakat secepat, sedekat dan setepat mungkin serta melaksanakan demokrasi di/ dari bawah (grassroot democracy). Kedua prinsip tersebut hendak meletakkan pemerintah tidak lagi sebagai inisiator aktivitas pada tataran masyarakat, namun sebagai organisator aktivitas yang muncul dari masyarakat. Beberapa butir pengembangan secara implisit tampak dalam penekanan implementasi otonomi daerah yang dianut dalam UU 32/ 2004, seperti: demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keragaman daerah. Otonomi Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32/ 2004 sangat diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini selain karena tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan kehidupan yang demokratis, tetapi juga ikut mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, memperkuat kedudukan dan kemampuan pemerintah daerah, meningkatkan pelayanan umum serta meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah yang berkelanjutan. Dalam mewujudkan amanat tersebut diatas berbagai persoalan dan kendala masih banyak dijumpai. Diantaranya, adalah masih banyak aparat pemerintah daerah sebagai implementator kebijakan tersebut, maupun masyarakat umum yang belum memahami makna otonomi daerah yang diperluas ini. Sebagai akibatnya, masih terjadinya kebingung aparat di daerah dalam mengatur wilayah dan sumber-sumber pendapatannya, munculnya konflik-konflik kepentingan antar daerah, ketiadaan melakukan “diskresi”, karena harus menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat, dan sebagainya. Segala persoalan dan kendala tersebut praktis akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah di tingkat bawah. Dalam pada itu, semangat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan juga hasil amandemen UUD 1945 pasal 18 b ayat (2) dengan tegas telah memberikan peluang untuk membangkitkan atau menghidupkan kembali otonomi asli dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Dengan begitu, sangat memungkinkan bagi Bali—tentu, setelah melalui kajian mendalam, untuk menonjolkan atau mengangkat keberadaan desa pakraman menjadi desa seperti yang dimaksudkan oleh UU no. 32 tahun 2004. Hal ini didukung oleh sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa saat sekarang,

Upload: heepy-hariyadi

Post on 19-Jan-2016

117 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

bahan

TRANSCRIPT

Page 1: Otonomi Daerah Dan

OTONOMI DAERAH DANEKSISTENSI DESA PAKRAMAN

DI BALIOleh: Wayan Gede Suacana

Democracy, at least at present, is the best form of governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the freedom. When democracy is misunderstood, however, and a freedom misinterpreted, the result is anarchy.(Mahathir Mohamad, “Achieving True Globalization, 2004).

Pendahuluan

Pelaksanaan otonomi daerah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam rangka pengakuan dan

penguatan integrasi nasional, disamping perkembangan paradigma pemerintahan saat sekarang yang mulai

menuju pada prinsip Clean Government dan Good Governance. Prinsip pertama menginginkan agar struktur

pemerintahan menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang berasal dari rakyat, serta menghindari terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (abuse of power and authority). Sedangkan prinsip kedua,

menghendaki adanya satu mekanisme kerja, dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya

keadilan sosial. Disamping itu, pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan tiga fungsi dasar:

service, regulation dan empowerment dengan maksud mengantisipasi kebutuhan masyarakat secepat, sedekat

dan setepat mungkin serta melaksanakan demokrasi di/ dari bawah (grassroot democracy).

Kedua prinsip tersebut hendak meletakkan pemerintah tidak lagi sebagai inisiator aktivitas pada tataran

masyarakat, namun sebagai organisator aktivitas yang muncul dari masyarakat. Beberapa butir pengembangan

secara implisit tampak dalam penekanan implementasi otonomi daerah yang dianut dalam UU 32/ 2004, seperti:

demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keragaman daerah.

Otonomi Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32/ 2004 sangat diharapkan dapat memberikan

manfaat yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini selain karena tujuan

utamanya adalah untuk mengembangkan kehidupan yang demokratis, tetapi juga ikut mendorong upaya

pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, memperkuat  kedudukan dan kemampuan pemerintah daerah,

meningkatkan pelayanan umum serta meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah yang

berkelanjutan.

Dalam mewujudkan amanat tersebut diatas berbagai persoalan dan kendala masih banyak dijumpai.

Diantaranya, adalah masih banyak aparat pemerintah daerah sebagai implementator kebijakan tersebut,

maupun masyarakat umum yang belum memahami makna otonomi daerah yang diperluas ini. Sebagai

akibatnya, masih terjadinya kebingung aparat di daerah dalam mengatur wilayah dan sumber-sumber

pendapatannya, munculnya konflik-konflik kepentingan antar daerah, ketiadaan melakukan “diskresi”, karena

harus menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat, dan sebagainya. Segala

persoalan dan kendala tersebut praktis akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah di tingkat bawah.

Dalam pada itu, semangat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan juga hasil amandemen UUD

1945 pasal 18 b ayat (2) dengan tegas telah memberikan peluang untuk membangkitkan atau menghidupkan

kembali otonomi asli dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Dengan begitu, sangat

memungkinkan bagi Bali—tentu, setelah melalui kajian mendalam, untuk menonjolkan atau mengangkat

keberadaan desa pakraman menjadi desa seperti yang dimaksudkan oleh UU no. 32 tahun 2004. Hal ini

didukung oleh sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa saat sekarang, yang ternyata sangat

menekankan aspek politis terbukti dengan pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) dalam rangka menjamin

pelaksanaan demokrasi di/ dari bawah (grassroot democracy). Tetapi, apakah tataran konseptual ini sudah

didukung oleh kondisi riil dalam tataran praksis ?

Kondisi Riil Otonomi Daerah Pasca UU 32/2004

Implementasi otonomi daerah sebagai konsekuensi pemberlakukan UU 32/ 2004 tidak terlepas dari azas

desentralisasi yang menjadi landasan bagi pembentukan pemerintah daerah. Sejak awal 1980-an beberapa

pakar desentralisasi dan administrasi pembangunan, seperti Diana Conyers, Dennis Rondinelli dan G. Shabbir

Cheema, telah memelopori pembahasan desentralisasi di negara-negara berkembang. Bank Dunia juga sangat

mendorong negara-negara penerima donor untuk melaksanakan desentralisasi. Konsekuensinya, hampir semua

Page 2: Otonomi Daerah Dan

negara sedang berkembang menyatakan diri melaksanakan paham desentralisasi, walaupun dalam prakteknya

tidak atau belum bisa dikategorisasikan sebagai desentralisasi.

Desentralisasi sering dimaknai sebagai prinsip pembelahan wilayah negara menjadi wilayah-wilayah yang lebih

kecil, dan wilayah-wilayah itu dibentuk institusi administrasi untuk melayani kebutuhan orang atau masyarakat

disatu tempat. Hal ini penting dilakukan sebab pada dasarnya pemerintah melaksanakan tiga fungsi dasar:

service, regulation dan empowerment dengan maksud mengantisipasi kebutuhan masyarakat secepat, sedekat

dan setepat mungkin. Untuk dapat mewujudkan desentralisasi, setidaknya diperlukan: resources, structures,

technology, support dan leadership, serta tiga kondisi berikut:

1.      Pengakuan terhadap pluralisme masyarakat, yang tercermin dari kerelaan atau keikhlasan pemerintah

nasional menyerahkan wewenang pemerintahan;

2.      Membuka kesempatan masyarakat di daerah untuk mengatur diri sendiri melalui local self-government,

sebab fokus aktivitas pemerintahan adalah untuk mensejahterakan rakyat;

3.      Pengetrapan model pembangunan sesuai dengan kekhasan daerah.

Pulau Bali sebagai salah satu daerah pengemban amanat otonomi daerah tentu saja secara relatif juga

membutuhkan  ketiga kondisi seperti tersebut diatas agar implementasi otonomi daerah dapat terlaksana dengan

baik. Pasca dua kali peledakan bom di Kuta dan Jimbaran beberapa tahun lalu hendaknya tidak menjadikan

“semangat” pemerintah dan masyarakat untuk membangun daerahnya juga sirna. Sebaliknya, segenap

komponen pemerintah dan masyarakat Bali harus segera bangkit, atau setidaknya mampu menumbuhkan

kesadaran bersama (collective conciousness) bahwa otonomi mestinya segera dilaksanakan secara proaktif dan

penuh inisiatif untuk bisa segera membangun Bali kembali dengan ketersediaan  sumber daya alam, manusia

dan dana yang dimiliki.

Dari berbagai bentuk persoalan otonomi yang dihadapi Bali, salah satu isu strategis yang perlu mendapatkan

perhatian secara serius adalah  berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa.

Persoalan ini menjadi semakin penting karena telah menimbulkan diskursus yang hangat dan kontreversial,

namun sampai saat ini belum juga ada kesepahaman pendapat sebagai kristalalisasi pilihan yang dapat

disepakati dan diterima oleh berbagai pihak.

Apabila alur perkembangan pemikiran tentang sistem penyelenggaraan desa di Bali ini diikuti secara cermat,

maka setidaknya ada empat ranah/ aliran pemikiran yang pernah mengemuka dan muncul ke permukaan, yaitu:

Pertama, Kelompok pemikiran yang menghendaki sistem pemerintahan dan kehidupan desa di Bali dibiarkan

seperti apa adanya sekarang ini . Desa Dinas dan Kelurahan bertugas mengurus hal-hal yang berhubungan

dengan masalah-masalah administrasi pemerintahan dan pembangunan, sedangkan Desa Pakraman

menangani hal-hal yang berhubungan dengan adat Bali dan Agama Hindu. Kedua, Kelompok pemikiran yang

merupakan reaksi dari kelompok pemikiran pertama, yang bernada emosional dan menghendaki penghapusan

desa dinas dan kelurahan serta menyerahkan segala urusan desa kepada desa pakraman. Ketiga, merupakan

bentuk kompromi dengan kelompok pemikiran yang pertama. Kelompok pemikiran ini menghendaki agar kedua

desa tetap dipertahankan dan hidup berdampingan sebagaimana layaknya pasangan suami istri. Namun,

dituntut adanya ketegasan batas wilayah kewenangan dan anggaran yang disediakan bagi masing-masing desa

sehingga tidak muncul kesan bahwa desa dinas dianakemaskan dan desa pakraman dianaktirikan. Keempat,

boleh dikatakan sebagai bentuk kompromi dengan kelompok pemikiran kedua. Dalam hal ini dikemukakan

bahwa di Bali hanya ada satu desa, yaitu desa adat/ pakraman. Desa ini dikendalikan oleh perangkat prajuru,

dengan pucuk pimpinan yang disebut bendasa adat. Perangkat desa adat/ pakraman terdiri atas dua bidang,

yaitu: (1) Bidang Agama Hindu dan Adat Bali (AHA), (2) Bidang Administrasi Pemerintahan (AP). Bila pendapat

ini yang dipilih berarti dualisme desa hilang. Di Bali hanya akan ada satu desa yaitu desa adat/ pakraman.

Tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh desa dinas/ kelurahan, selanjutnya akan menjadi urusan Bidang

Administrasi Pemerintahan (AP) dalam satu desa pakraman.

Setiap ranah/ aliran pemikiran tersebut, mempunyai kelompok pendukung dengan dasar pembenar dan

argumentasinya masing-masing. Prinsip-prinsip demokrasi yang dianut sekarang ini, jelas memberikan peluang

yang sangat besar bagi variasi dan perbedaan pendapat dalam masyarakat. Tetapi, prinsip-prinsip tersebut

masih memungkinkan untuk bersifat akomodatif yang bermuara pada  sebuah kesepahaman dan kesepakatan,

karena jelas semua “kebenaran” yang diperdebatkan relatif sifatnya. Perubahan situasi dan kondisi merupakan

faktor determinan yang bisa mengalihkan “kebenaran” ranah/ aliran pemikiran yang satu ke ranah/ aliran lainnya.

Page 3: Otonomi Daerah Dan

Dengan begitu, upaya dialog, kajian dan penelitian  secara lebih intensif dan  mendalam atas berbagai ranah/

aliran pemikiran tersebut masih dibutuhkan dengan melibatkan lebih banyak pemerhati, dan praktisi desa

pakraman.

Beberapa ranah/ aliran pemikiran tersebut, sedikit banyak masih mengandung muatan dan nuansa romantisme

yang menyelimuti  alam pemikiran pikiran penggagasnya, karena pada dasarnya mereka berobsesi

memberdayakan dan melestarikan desa pakraman dengan mengangkat eksistensi ke tingkat “republik desa”

lengkap dengan sistem yang berlaku didalamnya seperti sistem “kolegial konsensus”. Bagi ranah/ aliran

pemikiran yang menginginkan pemunculan kembali nilai-nilai lokal sebagai dasar pijak penyelenggaraaan

pemerintahan desa, semestinya juga menyadari dan bertindak selektif bahwa beberapa dari “nilai-nilai” lokal

tersebut sesungguhnya sudah banyak yang terdistorsi secara mendasar di masa kolonialisme dulu dan banyak

dimanfaatkan untuk kepentingan status quo pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan apa yang

dianggap sebagai nilai tradisional adalah justru produk intervensi kolonial.

Satu hal yang juga patut mendapatkan perhatian semua pihak adalah munculnya kekhawatiran bahwa

kebangkitan nilai-nilai lokal akan mengarah kepada gejala primordialisme yang bermuatan kekerasan serta

kembalinya kultur feodalisme yang tidak demokratis. Rasa khawatir seperti ini memang perlu diperhatikandan

cukup beralasan, sehingga perlu direspon dengan melakukan berbagai upaya pengkajian yang lebih seksama

agar tugas mulia untuk memberdayakan desa pakraman,  tidak justru membawa desa pakraman ke arah

penyelenggaran pemerintahan dengan semangat primordialisme sempit yang merupakan pengingkaran

terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.

Sesungguhnya tidaklah cukup kalau ranah/ aliran pemikiran yang dipilih nantinya sekadar memberikan harapan

dan sanjungan yang terlalu besar pada keberadaan desa pakraman, tanpa disertai oleh kajian obyektif tentang

keberadaannya. Dalam kenyataannya, sebagian besar desa pakraman memang sudah bisa dikategorikan

sebagai lembaga tradisional yang kuat dan tangguh dalam menghadapi berbagai hempasan perubahan sosial,

tetapi kondisi yang juga harus diakui adalah masih banyak diantara desa-desa pakraman yang ada pada saat ini

masih dalam keadaan kurang berdaya (empowerlesness) dalam menghadapi perkembangan jaman. Bahkan

upaya dari pemerintah Provinsi Bali untuk mengayomi desa pakraman dengan memberlakukan Perda Nomor 3

tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagai pengganti Peraturan Daerah Nomor 06 tahun 1986 tentang

Kedudukan, Fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang sudah dianggap

tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, belumlah dapat dikatakan memberikan jaminan bahwa desa

pakraman pasti akan menjadi lebih berdaya. Bahkan dapat dikatakan untuk sementara ini, justru Perda Nomor 3

tahun 2001 tentang Desa Pakraman telah menimbulkan rasa kebingunan-kebingunan  baru bagi prajuru desa

pakraman. Hal ini antara lain disebabkan oleh proses pembuatan Perda yang terkesan “tergesa-gesa”, serta

kurangnya penyerapan aspirasi dari desa-desa pakraman pada proses pembuatan perda tersebut. Di samping

itu, masih adanya kecenderungan untuk mengatur keberadaan desa pakraman, yang karena keunikan tata

kehidupannya, semestinya Perda semacam ini cukup hanya memberikan pengakuan saja atas segala keunikan

yang dimiliki tersebut.

Berbagai Kendala di Tingkat Desa

Beberapa kendala untuk menjadikan desa pakraman sebagai penyelenggara tunggal pemerintahan dan

menurunkan konsep otonomi di tingkat desa pakraman antara lain:

1.      Landasan filosofis religius Desa Pakraman, berkaitan dan mencerminkan keberadaan lembaga yang

bernafaskan agama Hindu, sehingga akan menyulitkan peluang bagi warga non-Hindu menjadi anggota atau

warga desa pakraman.

2.      Dalam hal teritorial, disamping adanya ketidakseimbangan luas wilayah, juga terdapat beberapa wilayah di

Bali yang berada di luar kekuasaan desa pakraman.

3.      Organisasi Desa Pakraman bersifat tradisional, lokal, hanya sampai di tingkat desa, tidak ada

hubungannya dengan desa lainnya. Kesannya memang mandiri/ otonom, tetapi di balik semua itu desa

pakraman kerdil bagaikan bonzai, terisolir dan rawan konflik.

4.      Sebagai warisan masa lalu, struktur kepengurusan Desa Pakraman masih sangat sederhana, fungsi-fungsi

atau jabatan-jabatan yang ada misalnya kesinoman, petajuh, prajuru dan lain-lainnya hanya mampu

melaksanakan tugas/ peran sederhana kurang lebih sebatas tugas upacara yadnya. Begitupun manajemennya

masih sangat lemah, sederhana/ tradisonal, masih jauh tertinggal dari manajemen modern dengan teknologinya

Page 4: Otonomi Daerah Dan

yang canggih. Disamping itu, cara pemilihannya, cara kerjanya dan olih-olihannya, hampir semua berjalan

dengan kuna dresta serta adanya kecenderungan menghindar menjadi pengurus (prajuru) makin melemahkan

kepemimpinan desa pakraman.

5.      Sumber daya manusia yang ada di desa pakraman, bukan sekedar diragukan kualitasnya, namun jumlah

mereka juga semakin menurun. Hal ini merupakan akibat logis dari mobilitas sosial yang merupakan produk

modernisasi. Warga desa yang terdidik, profesional dan terampil karena berbagai macam alasan, jarang

menetap di desa karena kurangnya lapangan kerja. Kondisi seperti ini jelas akan sangat menyulitkan bagi desa

pakraman untuk berotonomi.

6.      Keterbatasan awig-awig, karena pada dasarnya hanya mengatur warganya (Hindu) dan yang unik dalam

batas-batas teritorialnya

7.      Ketiadaan jaringan desa pakraman dan adanya fanatisme desa pakraman yang berlebihan, menyebabkan

kesulitan dalam melakukan hubungan koordinasi antar desa pakraman, sehingga mudah memicu selisih paham

dan konflik antara desa pakraman satu dengan lainnya.

8.      Kelambatan dalam pengambilan keputusan dalam menghadapi persoalan yang semakin kompleks karena

keadaan sistem sosial yang rumit.

9.      Demokrasi dijalankan secara parsial, karena tidak melibatkan krama perempuan.

10.  Belum terbiasa membicarakan potensi konflik secara terbuka. Membahas potensi dan manajemen konflik

masih dianggap tabu.

11.  Bagaimana menempatkan dan mengharmoniskan hubungan desa pakraman yang masih bersifat tradisional

di satu pihak, dengan negara modern yang bersifat demokratis di pihak lain (terjadi perbenturan antara nilai

kebersamaan versus nilai perbedaan)

12.   Akibat dari semua itu kondisi desa pakraman menjadi marginal, tidak mampu berbuat banyak bagi

warganya, tidak mampu membangun dan mengembangkan dirinya secara konseptual dan strategis, sebaliknya

justru menjadi obyek pembangunan.

Berbagai kendala tersebut juga diperkuat oleh tingginya tingkat diferensiasi sosial masyarakat Bali yang juga

sangat rentan terhadap berbagai potensi konflik. Beberapa potensi konflik, bukan saja yang bersifat laten,

melainkan yang sudah termanifestasi secara empirik dalam kehidupan sosial masyarakat di Bali antara lain:

1.      Konflik antar etnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali yang menguat pasca bom Bali I dan II. Potensi ini

semakin membesar dengan munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang semakin membuat tembok

pembatas antara ‘kekitaan’ dengan ‘kemerekaan’ (we-ness dengan other-ness) seiring dengan implementasi

kebijakan penertiban penduduk pendatang oleh pecalang akhir-akhir ini. Beberapa wacana sosial juga sudah

menjadi indikator jelas mengenai hal ini. Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali

serta meningkatnya in-migrasi dari luar pulau.

2.      Konflik antar-kelas, yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah yang merasa

termaginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan kaum kaya, khususnya pengusaha

(investor). Tindakan anarkhi pun sempat menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh/

karyawan  di berbagai industri pariwisata, serta pawai ogoh-ogoh yang sempat dipaksakan masuk ke hotel

karena warga merasa masih kurangnya ‘uang kompensasi’ hotel yang diberikan bagi keperluan desa pakraman.

3.      Konflik antar kelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus. Kelompok homo-aequalis dengan ideologi

egalitarianisme ingin melihat masyarakat  Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar kelahiran

(keturunan). Di pihak lain, kelompok homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo

hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal sebagai

konflik kasta (walaupun secara akademis istilah ini kurang tepat).

4.      Konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dengan Hindu modern-humanistik. Meskipun tidak terlalu

menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentang antara penganut Hindu tradisi, yang menekankan pada ritus-ritus

besar dengan penekanan Bali, dengan Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep

‘back to Veda’ , yang dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai ‘aliran baru’. Kristalisasi indikator kontemporer

masalah ini ditambah dengan butir poin ketiga di atas sangat jelas tampak dengan adanya dualisme Parisadha

Bali yakni Parisadha versi Campuhan dan Besakih yang belum juga bisa disatukan hingga kini.

5.      Konflik internal desa pakraman yang seringkali dipicu oleh persoalan-pesoalan pribadi menyangkut

pelaksanaan hak dan kewajiban seorang warga di desa pakraman. Konflik ini tidak jarang berujung pada

Page 5: Otonomi Daerah Dan

tindakan pengusiran (kasepekang) dari desa pakraman terhadap warga yang dianggap melanggar ketentuan

awig-awig atau tidak aktif dalam aktivitas adat.

Berkaitan dengan berbagai potensi konflik tersebut, makin menyadarkan kita bahwa kehidupan sosial

masyarakat  Bali tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi, apalagi dalam masyarakat

Bali yang pemilahan, fragmentasi serta polarisasi sosialnya cukup tinggi. Mengikuti teori integrasi sosial Furnivall

sejumlah properti hubungan-hubungan sosial yang biasa kita temukan sebagai konsekuensi dari struktur

masyarakat yang multikultur adalah: 1) kecenderungan berkembangnya perilaku konflik di dalam hubungan-

hubungan antar berbagai komunitas atau kelompok; 2) berkembangnya kecenderungan para pelaku konflik

melihat konflik bukan sebagai suatu game melainkan sebagai suatu total war; dan 3) berkembangnya proses

integrasi sosial berdasarkan dominasi oleh suatu komunitas atau kelompok di atas komunitas atau kelompok

lain.

Dalam sistem sosial yang tingkat pemilahannya tidak lagi bersifat membaur (cross cuting) akan tetapi bahkan

bersifat kumulatif, maka toleransi dan demokrasi akan sulit untuk dipelihara, sebab biasanya konflik yang

ditimbulkannya tidak lagi bersifat memusat (centripetal) akan tetapi bersifat memencar (centrifugal). Dalam

situasi konflik yang sifatnya memusat maka konflik akan menjadi sangat sulit diselesaikan.

Kondisi diferensiasi sosial yang demikian serta berbagai ancaman potensi konflik yang menyertainya makin

menyadarkan kita bahwa upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai

kebersamaan dalam masing-masing masyarakat desa pakraman di Bali adalah merupakan sebuah keniscayaan.

Beberapa Alternatif Pemikiran

Berhubung dengan berbagai kendala dan persoalan tersebut, ada beberapa alternatif pemikiran untuk lebih

memberdayakan peranan Desa Pakraman, antara lain:

1.      Restrukturisasi desa pakraman  dilakukan dengan cara melepaskan dari belenggu isolasi yang selama ini

dialami, membuka jalur informasi dan komunikasi baik vertikal maupun horisontal, sehingga tidak lagi bersifat

tertutup dan lokal, melainkan harus bersifat terbuka dan regional meliputi seluruh daerah Bali.

2.      Pemberdayaan desa pakraman dalam rangka bottom up strategy dan peningkatan partisipasi krama desa.

Dalam upaya ini, kekhasan ragam/ diversifikasi  budaya dari masing-masing wilayah desa pakraman agar tetap

dipertahankan  dan dijaga keberadaannya agar berkelanjutan menurut konsep desa, kala dan patra. Disamping

itu, “jabatan” prajuru tidak lagi sekadar ngayah untuk kepentingan adat dan agama, tetapi juga sebuah jabatan

profesional (mendapat penghasilan dan fasilitas).

3.      Desa Pakraman harus tetap memiliki kemampuan sebagai wahana integrasi sosial, yang memupuk serta

mengembangkan solidaritas/ kolektivisme krama adat, dan tidak justru sebagai wahana bagi terpeliharanya

potensi konlik laten. Dalam rangka mamanajemeni potensi konflik, beberapa konsep, seperti: sagilik-saguluk

salunglung sabayantaka, paras-paros sarpanaya perlu direvitalisasi. Konsep perbedaan tetap dikembangkan

tetapi bermuara pada kebenaran dan tujuan bersama.

4.      Perlu dibentuk forum komunikasi antar Desa Pakraman sebagai sarana untuk memperlancar interaksi antar

Desa Pakraman yang sampai sekarang memang sangat minim, serta untuk mengatasi berbagai kendala,

kelemahan dan tantangan yang dihadapi Desa Pakraman ke depan. Di samping itu peran dan kinerja Majelis

Desa Pakraman (MDP) Provinsi Bali dan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) di masing-masing kabupaten

bisa lebih dioptimalkan.

5.      Perlu peningkatan kualitas pemimpin/ prajuru Desa Pakaraman pada masa mendatang, yang tidak semata-

mata bermodalkan kejujuran dan pengetahuan adat/ Agama Hindu semata, tetapi juga memiliki kualitas

pendidikan, wawasan politik, ekonomi keluarga dan pengetahuan umum yang memadai.

6.      Peningkatan peranan Desa Pakraman dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial budaya, pariwisata,

hukum, keagamaan dan lain-lain. Bila di sektor moneter peranan Desa Pakraman, melalui Lembaga Perkreditan

Desa (LPD), sudah mulai menampakkan hasil, maka pemberdayaan ekonomi Desa Pakraman di sektor riil perlu

ditingkatkan melalui Badan Usaha Milik Desa Pakraman (BUMDP), seperti: Koperasi Desa Pakraman, Pasar

Desa Pakraman hingga akhirnya dapat membantu usaha-usaha kecil lainnya, sehingga ekonomi rakyat dapat

lebih diberdayakan. Demikian juga misalnya lembaga keamanan, menurut catatan tahun 2003 jumlah Desa

Pakraman di Bali seluruhnya 1404. Kalau tiap Desa Pakraman memiliki 1 peleton pecalang, maka jumlah

Page 6: Otonomi Daerah Dan

seluruhnya menjadi 1404 peleton pecalang, cukup untuk mengamankan Bali. Masalahnya sekarang adalah

bagaimana menggali potensi itu dan me-manage dengan baik agar efektif dan efisien dalam tugas pengamanan.

7.      Hubungan krama Desa Pakraman dengan LSM/ NGO yang peduli/ bernafaskan adat, budaya dan agama,

perlu dijaga agar masing-masing tetap berdiri sendiri, saling menghormati. Biarkan LSM/ NGO itu tumbuh dan

berkembang di luar organisasi krama adat. Para anggotanya adalah pemikir kritis dan kreatif yang sangat peduli

pada pembangunan Bali, karena itu wajib didukung eksistensinya. Desa Pakraman mengharapkan pengabdian

yang tulus dari LSM/ NGO, bebas dari kepentingan pribadi, kelompok dan aliran politik.

8.      Mempererat hubungan antara Desa Pakraman dengan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang

memang sedari dulu bersifat sangat substansial, karena totalitas kehidupan masyarakat adat didasarkan, dijiwai

oleh nilai-nilai dan prinsip-prinsip Agama Hindu disamping seluruh Krama Adat adalah umat Hindu. Hubungan

yang sangat hakiki ini menjadikan Desa Pakraman dan PHDI seakan-akan menyatu, saling membutuhkan dan

saling mengisi.

Penutup

Dalam era demokrasi dan otonomi yang sangat luas sekarang ini, diharapkan peran aktif semua pihak yang

berkompeten, dalam rangka menemukan format pemerintahan desa yang paling tepat dan sesuai dengan

kondisi riil kemasyarakatan di Bali. Hal ini, demi untuk peningkatan keberdayaan desa pakraman, yang sampai

saat sekarang masih tetap diharapkan tetap sebagai “benteng” terakhir bagi kelangsungan budaya, adat Bali

serta Agama Hindu. Jangan sampai kebebasan berdemokrasi dan berotonomi itu lalu ‘kebablasan’ menjadi

tindakan anarki yang merusak eksistensi desa pakraman sebagaimana diingatkan oleh Mahathir Mohamad

mantan Perdana Menteri Malaysia pada bagian awal tulisan ini.

J U M A T , 0 2 J U L I 2 0 1 0

Prospek Kebijakan Otonomi Daerah Bagi Daerah Istimewa dan Desa Menurut UU No 22/1999

Abstract:Lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada hakekatnya telah memberi keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan secara otonom. bahkan, desa yang menurut UU Nomor 5 tahun 1974 lebih merupakan wilayah administrasi, akan dikembalikan kepada otonomi aslinya. Demikian pula dengan keberadaan suatu daerah istimewa (cq. Yogyakarta). Dengan adanya perubahan kebijakan ini, tentu akan membawa implikasi-implikasi tertentu baik pada desa maupun pada daerah istimewa. Secara prediktif dapat disimpulkan bahwa prospek pengembangan daerah istimewa dan desa menurut UU Nomor 22 tahun 1999 sangat baik, karena secara historis memiliki hak asal-usul yang melekat padanya sejak sebelum terbentuknya Negara Indonesia. Dan kenyataan inilah yang sedang berkembang dalam wacana publik dewasa ini.

Pendahuluan

Akhir-akhir ini, tuntutan daerah untuk diberi (baca: memiliki) otonomi yang seluas-luasnya makin menonjol. Bahkan, beberapa daerah memilih untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan RIdan mendirikan negara baru, misalnya

Page 7: Otonomi Daerah Dan

Sulawesi Selatan dan Aceh. Kondisi seperti ini oleh sebagian orang dinilai sebagai benih-benih terjadinya disintegrasi bangsa. Sebaliknya, oleh sebagian orang lainnya dinilai bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya ini merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mempertahankan integrasi nasional.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, fenomena tentang daerah yang memiliki otonomi seluas-luasnya tadi sesungguhnya bukan hal yang baru – bahkan terlebih lagi bukan sesuatu yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Demikian pula, keberadaan desa-desa adat yang memiliki susunan asli ternyata tidak menimbulkan gagasan-gagasan pemisahan diri dari unit pemerintahan yang lebih luas. Oleh karena itu, otonomi luas sesungguhnya bukan paradoksi bagi integrasi bangsa dan sebaliknya. Artinya, cita-cita memberdayakan daerah melalui kebijakan otonomi luas tidak perlu disertai dengan sikap syak wasangka yang berlebihan tentang kemungkinan perpecahan bangsa. Kekhawatiran ini justru akan menunjukkan bahwa pemerintah pusat memang kurang memiliki political will yang kuat untuk memberdayakan daerah.

Dengan demikian, ide untuk kembali menyeragamkan sistem pemerintahan daerah dengan alasan untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa – antara lain melalui penghapusan ‘daerah istimewa’ dan penyeragaman pemerintah desa, adalah sangat tidak kontekstual dan tidak konseptual.

Mengingat hal tersebut, maka makalah ini mencoba membaca ke depan mengenai prospek daerah-daerah yang memiliki hal asal-usul serta susunan asli, yang oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai ‘daerah istimewa’. Pembahasan akan difokuskan kepada kasus DIY serta prospek otonomi desa pada umumnya, yang disesuaikan dengan norma yuridis baru sebagaimana diatur dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Prospek Otonomi pada Daerah Istimewa (Kasus DIY)

Harus diakui bahwa sebagian masyarakat kita kurang mengetahui secara persis mengapa DIY memiliki hak-hak khusus yang membedakannya dengan propinsi lain di Indonesia. Bahkan seorang gubernurpun (c.q. Suwardi) sangat terlihat tidak memiliki pengetahuan tentang itu. Saat menjabat Gubernur Jawa Tengah, Suwardi mengemukakan ide penggabungan DIY ke dalam Propinsi Jawa Tengah. Ide ini dianggap sebagai gugatan terhadap eksistensi DIY, yang jika dipenuhi akan menyebabkan hilangnya sebutan, sifat dan kedudukan istimewa bagi DIY.

Dengan kata lain, hak-hak asal usul yang dimiliki oleh DIY akan musnah dengan serta merta, sementara UUD 1945 secara eksplisit mengakui dan menjamin keberlangsungan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Oleh karena itu, pertanyaan yang paling mendasar dalam konteks ini adalah, bagaimana prospek daerah istimewa – khususnya DIY – pada masa-masa yang akan datang?

Page 8: Otonomi Daerah Dan

Pertanyaan ini penting diajukan karena semakin lama orang semakin kurang menghayati makna dan latar belakang historis, dan ini akhirnya membawa kepada pemikiran untuk menghapuskan status daerah istimewa.

Memang patut dimaklumi, keberadaan DIY yang merupakan bagian integral dari NKRI sering mengundang kecemburuan daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini tidak terlepas dari adanya hak-hak istimewa yang dimiliki DIY seperti dalam hal pengangkatan Kepala Daerah, bidang pertanahan, dan sebagainya.

Dalam berbagai bidang tadi, terdapat kesan seolah-olah DIY memiliki legitimasi untuk “berbeda”. Pada gilirannya, berbagai exclusivisme tadi memunculkan pertanyaan, apakah tidak menjadikan berkembangnya anggapan “negara dalam negara” serta mengaburkan pengertian negara kesatuan? Untuk menjawab permasalahan ini, maka pertama sekali harus diketahui tentang ketentuan daerah istimewa serta latar belakang historis yang melekat pada DIY.

Pada dasarnya, terbentuknya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta disebabkan oleh dua faktor pokok, yaitu hak asal-usul dan susunan asli, serta peran historis dalam perjuangan kemerdekaan RI.

Mengenai hal asal-usul dan susunan asli ini, pasal 18 UUD 1945 secara tegas menyebutkan sebagai berikut: "..... dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Ini berarti bahwa UUD 1945 mengakui kenyataan historis bahwa sebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerah-daerah Swapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan di daerahnya.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal 18 disebutkan bahwa: Oleh karena Negara Indonesia itu adalah eenheidstaat, maka Indonesia tak mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga … Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 Zelfbestuurende-landschappen … daerah-daerah itu mempunyai susunan yang asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Berdasarkan ketentuan itu, secara teoritis dalam Daerah Istimewa terdapat dua macam hak, yaitu hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon) atau hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia, dan hak yang dimiliki berdasarkan pemberian pemerintah.

Perwujudan dari hak-hak asal-usul atau yang bersifat autochtoon itu bisa bermacam-macam. Hak itu dapat berupa hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan tertentu, hak untuk memberikan beban kewajiban tertentu kepada masyarakat, hak untuk menentukan sendiri cara pengangkatan dan pemberhentian pimpinan daerah, dan lain-lain. Mempertahankan susunan asli juga termasuk hak asal-usul dari daerah yang bersifat istimewa. Adapun makna susunan asli sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 18 angka II, adalah susunan yang sudah berlaku sejak semula. Meski demikian bukan berarti bahwa selama-lamanya tidak boleh diadakan perubahan terhadap organisasi Daerah Istimewa tersebut.

Page 9: Otonomi Daerah Dan

Uraian dibawah ini akan semakin memperlihatkan bahwa sejak awal berdirinya, sebenarnya Yogyakarta sudah merupakan suatu “negara”, sehingga tidak bisa dilebur begitu saja pada saat berintegrasi dengan RI.

Pada masa penjajahan Belanda, Kasultanan Yogyakarta diperlakukan sebagai negara kecil, sehingga kedudukannya tidak diatur secara sepihak dalam ordonantie, melainkan diatur dalam sebuah perjanjian antara Gubernur Jenderal sebagai wakil Pemerintah Hindia Belanda dan Sri Sultan sebagai wakil Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian yang harus diperbaharui setiap kali terjadi pergantian Sultan ini disebut politiek - contract.

Menurut politiek-contract terakhir tanggal 18 Maret 1940 (Stb. 1941 No. 47), Kasultanan Yogyakarta masih mempunyai kekuasaan (kewenangan atau urusan) yang banyak, misalnya mempunyai peradilan sendiri sebagai badan yudikatif meskipun hanya berwenang mengadili perkara-perkara dari keturunan Sultan Yogyakarta mulai graad satu sampai dengan graadempat, baik meliputi perkara sipil maupun kriminal. Bahkan sebelum keluarnya Petunjuk Gunseikan tanggal 1 Agustus 1942, Kasultanan Yogyakarta memiliki beberapa kelompok prajurit bersenjata sebanyak hampir 1000 orang.

Selanjutnya, dibidang perindustrian, jika daerah diluar DIY berlaku peraturan Hinder Ordonantie (HO) yaitu setiap usaha yang menimbulkan kebisingan atau mengganggu masyarakat sekitarnya harus mendapat ijin HO, maka di DIY terdapat peraturan yang disebut Pranatan Reridhu yang tertuang dalam Rijksblad Kasultanan. Dibidang pengairan, jalan-jalan dan gedung-gedung, DIY sudah memiliki dinas PDG (Pengairan, Djalan dan Gedung), sedang diluar DIY berlaku aturan Algemene Water Reglement (AWR) tahun 1934.

Kewenangan-kewenangan otonom seperti inilah yang dimaksud dengan hak asal-usul atau hak yang bersifat autochtoon, yang merupakan awal mula timbulnya hak istimewa dalam Negara Kesatuan RI.

Mengingat hal-hal tersebut diatas, kiranya dapat dimengerti apabila dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, pasal 4 ayat (4) dinyatakan bahwa: “Urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain dari pada yang tersebut dalam ayat (1), yang dikerjakan oleh Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum dibentuk menurut UU ini, dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan undang-undang”.

Ketentuan ini tidak terdapat pada UU Pembentukan Propinsi lain, sebab pada waktu pembentukannya propinsi-propinsi itu belum mempunyai kewenangan apapun, sehingga kekuasaannya harus diisi oleh Pemerintah Pusat. Dan karena sebelumnya tidak memiliki kewenangan dalam urusan tertentu, maka dalam UU Pembentukannya-pun tidak diperlukan adanya ketentuan peralihan seperti tersebut diatas.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa eksistensi DIY sampai saat ini tidak perlu diperdebatkan. Masalahnya adalah, bagaimana prospek ke depan khususnya dengan berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999?

Bicara masalah prospek, berarti bicara sekitar perlu tidaknya penghapusan sebutan, kedudukan, dan hak-hak yuridis sebuah daerah istimewa dalam Negara Kesatuan RI. Hal ini akan dielaborasi lebih lanjut pada paparan di bawah ini.

Page 10: Otonomi Daerah Dan

Pada prinsipnya, daerah istimewa sebagai struktur dan sifat organisasi yang spesifik, suatu saat dapat ditiadakan bila perkembangan keadaan memang menghendaki demikian. Organisasi sebagai alat mencapai tujuan juga senantiasa harus selalu disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, sehingga pada saat tertentu perlu diadakan perubahan struktur organisasi pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah.

Sejarah ketatanegaraan di Indonesia sendiri pernah mempraktekkan perubahan sebuah Daerah Istimewa menjadi daerah otonom biasa, yakni yang terjadi pada kasus Daerah Istimewa Surakarta. Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran sebagai daerah swapraja berubah menjadi Karesidenan yang bersifat istimewa, sebab residennya berada langsung dibawah pemerintah Pusat RI dan Karesidenan Surakarta itu bersifat otonom. Namun, dalam perkembangan selanjutnya Surakarta gagal mempertahankan diri sebagai daerah istimewa, bahkan kemudian diintegrasikan kedalam wilayah propinsi Jawa Tengah.

Dengan demikian, di satu sisi penghapusan daerah istimewa membawa pengaruh positif yakni terciptanya keseragaman dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia. Disisi lain, sebuah daerah istimewa yang tinggal “namanya” saja tanpa memiliki implikasi tertentu, sama artinya dengan terjadinya inkonsistensi daerah istimewa. Lagi pula, apakah keseragaman itu merupakan satu-satunya kondisi yang dapat melancarkan roda pembangunan serta menciptakan stabilitas nasional, masih perlu dikaji lebih lanjut.

Dalam kaitan ini, kalimat “kedudukan pemerintah daerah sejauh mungkin diseragamkan” yang terdapat dalam konsiderans Menimbang huruf c. jo. Penjelasan UU Nomor 5 tahun 1974 bagian I angka 4a (6), harus ditafsirkan bahwa penyeragaman daerah tidaklah wajib sifatnya, tetapi yang harus diperhatikan juga adalah kondisi dinamis suatu daerah. Jadi, istilah penyeragaman mengandung sifat supel dan dinamis, artinya meskipun secara nasional telah ada peraturan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun dalam hal-hal tertentu dapat dimungkinkan penyimpangan oleh suatu daerah. Dengan kata lain, cita-cita penyeragaman itu adalah keseragaman dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, yakni keseragaman yang mengindahkan keragaman.

Terlepas dari pro dan kontra ide penyeragaman pemerintah daerah, sebelum pemerintah memutuskan untuk menghapuskan suatu daerah istimewa, hendaknya dipertimbangkan terlebih dahulu tanggapan masyarakat setempat, sehingga peristiwa penghapusan Daerah Istimewa Aceh pada tahun 9171 tidak terulang lagi.

Pada umumnya, masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah suatu Daerah  Istimewa menginginkan agar kedudukan istimewa bagi daerahnya dipertahankan untuk waktu-waktu mendatang. Demikian pula di Yogyakarta, dengan keputusan DPRD DIY No.4/K/DPRD/ 1980 tentang sebutan dan kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta, terlihat sekali bahwa masyarakat Yogyakarta menghendaki terjaminnya kelestarian sifat dan kedudukan istimewa bagi DIY.

Kehendak, perasaan dan harapan warga Yogya akan kelestarian dan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terutama tercantum dalam Diktum

Page 11: Otonomi Daerah Dan

Keputusan DPRD DIY No.4/K/DPRD/1980, yang menghendaki agar Pemerintah Daerah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dipertahankan sebagai suatu Pemerintah Daerah Istimewa yang monumental berdasarkan kenyataan sejarah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat nilai-nilai perjuangannya dimasa lalu baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, untuk diketahui dan dijadikan suri tauladan bagi generasi mendatang.

Melihat isi keputusan itu, jelaslah bahwa selain memilki latar belakang yang amat kuat, eksisitensi DIY juga memiliki latar depan strategis dalam arti untuk membekali generasi muda tentang nila-nilai historis bangsa. Oelah karena itu, agaknya tidak cukup alasan untuk menghapus DIY atau menggabungkannya dengan propinsi lain. Di samping itu, landasan konstitusional yang dipunyai DIY cukup menjamin kelangsungan hidupnya dengan segala hak-hak istimewa yang melekat padanya. Sebab mengubah status dan kedudukan DIY sama artinya dengan keharusan untuk mengubah terlebih dahulu ketentuan dan jiwa konstitusi yang ada. Dengan demikian, secara teoritis maupun praktis, kedudukan daerah istimewa pada umumnya dan DIY khususnya, masih layak dipertahankan pada masa-masa mendatang.

Prospek Otonomi Desa

Perubahan kebijakan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah (termasuk pemerintahan desa) dari UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor 5 tahun 1979 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999, membawa implikasi yang sangat besar. Salah satu implikasi tersebut adalah bahwa Desa tidak sekedar merupakan wilayah administratif sebagai kepanjangan tangan pemerintahan Pusat di Daerah (pelaksana asas dekonsentrasi), tetapi memiliki lebih merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki otonomi luas.

Sebagaimana halnya pada kasus DIY, otonomi yang luas pada desa sesungguhnya bukan hal yang baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Berdasarkan kerangka waktunya (time frame), perkembangan otonomi pada kesatuan hukum masyarakat terkecil (desa) mengalami pergeseran yang sangat fluktuatif, dimana pada satu Desa memiliki otonomi yang sangat luas (most decentralized), sedang disaat lain Desa tidak memiliki otonomi sama sekali dan hanya berstatus sebagai wilayah administratif (most centralized).

Pada awalnya, terbentuknya suatu komunitas bermula dari berkumpul dan menetapnya individu-individu di suatu tepat karena terdorong oleh alasan-alasan yang mereka anggap sebagai kepentingan bersama. Alasan-alasan untuk membentuk masyarakat yang masih bersifat sederhana atau tradisional ini adalah pertama untuk hidup, kedua untuk mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar, dan ketiga untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya (Kartohadikoesoemo, 1965: 5).

Kumpulan individu-individu yang membentuk desa dan yang merupakan sebuah daerah hukum ini, secara alami memiliki otonomi yang sangat luas, lebih luas

Page 12: Otonomi Daerah Dan

dari pada otonomi daerah-daerah hukum di atasnya yang lahir di kemudian hari, baik yang terbentuk oleh bergabungnya desa-desa dengan sukarela atau yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat. Otonomi atau kewenangan desa itu antara lain meliputi hak untuk menentukan sendiri hidup matinya desa itu, dan hak untuk menentukan batas daerahnya sendiri.

Selanjutnya Kartohadikoesoemo (1965: 214) menyebutkan bahwa masyarakat sebagai Daerah Hukum, menurut hukum adat mempunyai norma-norma sebagai berikut: berhak mempunyai wilayah sendiri yang ditentukan oleh batas-batas yang sah, berhak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak memilih dan mengangkat Kepala Daerahnya atau Majelis pemerintahan sendiri, berhak mempunyai harta benda dan sumber keuangan sendiri, berhak atas tanah sendiri, dan berhak memungut pajak sendiri.

Berdasarkan otonomi desa yang mendapatkan landasan yuridis dalam Regeringsreglement 1854 pasal 71 itu, maka hak atas tanah sepenuhnya ada ditangan rakyat desa, tidak saja kekuasaan atas tanah pertanian, tetapi juga atas tanah yang belum digarap, hutan belukar dan gunung jurangnya (sa-satebane sa-jurang perenge).

Hak ulayat seperti ini oleh van Vollenhoven dinamakan beschikkingrechts, yakni hak kuasa desa yang dalam wilayahnya berhak mempergunakan tanah bagi kepentingan warganya atau kepentingan warga desa lain dengan terlebih dahulu membayar uang recognitie sebagai bukti bahwa dia di situ adalah orang asing atau sebagai bulu bekti / persembahan kepada pihak yang memiliki hak atas tanah itu. Adapun bagi warga desa setempat, dapat mempergunakan tanah itu dengan hak-hak perorangan: hak milik, hak yasan (inlandsbezitsrecht); hak wenang pilih, hak mendahulu (voorkeursrecht); hak menikmati hasil (genootsrecht); hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap (ontginningsrecht); hak imbalan jabatan (ambtelijke profijtsrecht)  serta hak wenang beli (naastingsrecht). (Kartohadikoesoemo, 1965: 233; Sudijat, 1981: 6-8).

Dalam perkembangan selanjutnya terdapatlah satu gejala ketatanegaraan yakni berkembangnya komunitas sosial politik diatas kesatuan komunitas desa yaitu Sima, Wisaya, Watak, Mandala, dan pada masa kemudian lahirlah Istana sebagai pusat politik negara kerajaan. Dengan kata lain, terjadi proses penyatuan desa-desa menjadi wilayah yang lebih besar dan luas, yaitu negara kerajaan.

Peristiwa lahirnya kerajaan, menyebabkan otonomi desa mendapat pembatasan-pembatasan. Desa tidak lagi merupakan kesatuan yang otonom, tetapi menjadi kesatuan wilayah yang lebih luas tadi. Oleh karenanya, meskipun pada prinsipnya hak pertuanan / hak kuasa desa tetap berlaku, tetapi dalam lingkungan yang lebih luas itu desa dibebani hak pertuanan / hak milik raja atas wilayahnya. Hak pertuanan raja ini dengan cara dipaksanakan dapat mendesak kedudukan hak desa dan akhirnya mendapatkan tempat dalam hukum adat Jawa, bahwa tanah adalah milik raja.

Dalam masa-masa ini, otonomi desa menghadapi cobaan berat. Dan sejak saat itulah terjadi proses sentralisasi otonomi, dari otonomi desa menjadi otonomi kerajaan. Gejala seperti ini terus berlangsung hingga abad 19, yakni masa-masa munculnya pemikiran tentang emansipasi politik, kebebasan, demokrasi dan desentralisasi bagi negara-negara (unit kemasyarakatan) terjajah. Akhirnya,

Page 13: Otonomi Daerah Dan

gencarnya ide-ide pembebasan individu secara radikal mampu mengembalikan lagi otonomi desa yang sempat hilang.

Sebagai gambaran, dalam bidang agraria, Werner Roll (1983: 45) menulis bahwa reorganisasi atau reformasi agraria yang dilaksanakan antara tahun 1912 dan 1918 menghasilkan aturan-aturan baru, yakni: penghapusan sistem feodal beserta tindakan-tindakan sewenang-wenang yang sudah membudaya; beberapa kesatuan tempat tinggal (desa; dukuh; kabekelan) digabung menjadi kesatuan administrasi baru seperti kelurahan atau desa praja; Raja melepaskan hak-hak mereka atas sebagian terbesar dari tanah yang termasuk wilayah kesatuan administrasi ini, yang kemudian menjadi wewenang anggadhuh (hak milik pribumi) anggota masyarakat desa; serta diadakan pembagian baru dari persil-persil tanah dan tanah garapan untuk penduduk desa.

Dari deskripsi di atas terlihat bahwa desa kembali memiliki otonomi. Arah kebijaksanaan otonomi selanjutnya memang semakin mempercayakan penyelenggaraan urusan pemerintahan kepada kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil (baca: pemerintah daerah atau desa). Memang, masalah otonomi atau penyerahan / pengakuan wewenang / urusan ini merupakan lima masalah besar yang timbul dalam proses politik sepanjang masa. Empat masalah lainnya adalah tentang kewarganegaraan, fungsi dan tugas negara, sumber kekuasaan, serta kemampuan negara dalam hubungan-hubungan eksternal.

Selanjutnya pada masa pemerintahan RI, pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa mendapat landasan yuridis pada pasal 18 UUD 1945 yang mengakui kenyataan historis bahwa sebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerah-daerah Swapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan di wilayahnya. Ini berarti, desa secara teoritis juga memiliki hak yang bersifat autochtoon atau hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia. Namun dalam penyusunan peraturan tentang Pemerintahan Desa sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5/1979, kenyataannya Desa bukan lagi dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom, khususnya dalam masalah administrasi pemerintahan secara umum. Terlebih lagi dengan pembentukan kelurahan, maka kesatuan masyarakat “Desa” ini hanya berstatus wilayah administratif yang ditempatkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah Pusat (pelaksana asas dekonsentrasi).

Dalam perkembangan saat ini, keberadaan pemerintahan desa tidak (belum) diatur terpisah atau tersendiri dalam suatu peraturan perundangan, tetapi melekat pada UU Pemerintahan Daerah. Menurut UU Nomor 22 tahun 1999 ini, desa secara implisit memiliki otonomi yang cukup luas, sebagaimana diatur dari pasal 94 hingga pasal 108.  Dan dikaitkan dengan konteks kemajuan masyarakat di tingkat desa yang selalu bergerak maju kearah kompleksitas dan trend globalisasi, maka otonomi luas yang saat ini dititikberatkan pada Kabupaten / Kota tidak mustahil harus dilimpahkan kepada kesatuan hukum masyarakat yang lebih rendah, yakni desa.

Dalam kaitan ini, terdapat hubungan tarik menarik antara Pusat dan Darah (termasuk desa) dalam hal penyerahan suatu kewenangan / urusan pemerintahan tertentu. Artinya, sesuatu urusan yang semula menjadi otonomi suatu daerah dapat ditarik menjadi urusan pusat jika ternyata urusan tersebut

Page 14: Otonomi Daerah Dan

telah berkembang sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan yang lebih luas. Sebaliknya, mungkin sekali sesuatu soal yang tadinya merupakan urusan negara dalam perkembangannya membutuhkan pengurusan yang lebih khusus yang hanya dapat dilakukan di lingkungan daerah. Hal ini selaras pula dengan asas kedaerahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yakni ketidakmampuan pemerintah untuk mengurus semua kepentingannya dikarenakan semakin berkembangnya masyarakat sehingga harus dilimpahkan sebagian kepada daerah.

Faktor eksternal berupa perkembangan masyarakat dengan tingkat kehidupan yang semakin maju seperti itulah yang pada akhirnya menyebabkan menumpuknya beban urusan di tingkat desa. Kemampuan desa yang terbatas baik dari sisi aparatur maupun sumber daya lainnya, jelas tidak akan mampu mengimbangi semakin tingginya tingkat kesulitan hubungan sosial politik warga di wilayahnya.

Di sinilah pada saatnya nanti dituntut keseriusan para pengambil keputusan untuk menyempurnakan sistem pemerintahan desa, baik dari segi administrasi, manajemen, maupun personalia dan keuangannya. Pemerintahan desa yang demikian, tidak lagi merupakan unsur pelayan publik yang berfungsi memberikan surat keterangan, penyuluhan maupun izin-izin tertentu; sebaliknya harus mampu memainkan peran sebagai “pembuka jalan” bagi pemenuhan permintaan masyarakat (public choice), sekaligus sebagai fasilitator yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara swadaya maupun swadana.

Disamping itu, masalah otonomi selalu merupakan pemilihan antara centralization dan local autonomy (otonomi daerah). Jika otonomi daerah yang dipilih, berarti pemerintah pusat harus menyelenggarakan desentralisasi (secara harfiah berarti melepaskan dari pusat).

Arti pentingnya desentralisasi bisa dilihat dari berbagai segi. Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukkan pada satu pihak, dan merupakan tindakan pendemokrasian guna menarik partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Dari sudut administrasi, desentralisasi tidak lain adalah pendelegasian wewenang dari pucuk pimpinan kepada bawahannya yang menjadi aktivitas-aktivitas pemberian tugas, penyerahan wewenang, dan permintaan tanggung jawab. Dalam pengertian ini desentralisasi merupakan keharusan yang mesti terdapat pada semua organisasi.

Dari berbagai sudut pandangan yang ada, sangat menarik untuk disimak pemikiran dari segi sosio kultural. Adalah fakta bahwa tiap-tiap daerah memiliki kekhususan-kekhususan seperti corak geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, latar belakang sejarah dan budaya. Spesifikasi daerah ini mengharuskan penguasa dan aparatur daerah untuk benar-benar mengenalinya dan memanfaatkannya untuk pembangunan daerah secara optimal. Pandangan sosio kultural ini apabila digabung dengan sudut pandang teknis organisatoris akan dapat memberikan alasan yang jelas mengapa otonomi cenderung dilimpahkan kepada daerah yang lebih rendah tingkatannya.

Dilihat dari segi teknik organisatoris, desentralisasi adalah alat dan teknik untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi desentralisasi adalah cara atau metode untuk melancarkan tugas-tugas pemerintahan sekaligus mencapai tujuannya. Hal ini

Page 15: Otonomi Daerah Dan

logis, sebab rakyat dari suatu daerah itu sendirilah yang dalam babak pertama berkewajiban untuk memajukan daerahnya.

Kebijaksanaan penyerahan urusan kepada desa sebagai unit pemerintahan terkecil, akan membawa pengaruh positif berupa peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan kualitas aparatur negara, khususnya di tingkat desa. Hal ini dapat dicapai apabila dapat diidentifikasikan tiga kondisi, yaiu: 1) tingkat perkembangan masyarakat, pertumbuhan penduduk dan pergeseran arah pembangunan ke daerah terpencil; 2) kemungkinan positif dan negatif dari pelaksanaan titik berat otonomi pada desa; dan 3) hambatan baik dari segi sumber daya aparatur maupun kelembagaan di desa.  Dengan identifkasi ketiga kondisi ini, barulah dipikirkan untuk memutuskan perlu tidaknya otonomi daerah.

Penutup

Perubahan sistem dan mekanisme pemerintahan (di) daerah dewasa ini merupakan suatu keniscayaan. Hal ini didorong oleh adanya fenomena bahwa penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah sebagai sub sistem dari penyelengga-raan Pemerintahan Nasional dan Pembangunan Nasional, saat ini menghadapi masalah yang sangat mendasar, yaitu bagaimana menampung dan memenuhi aspirasi serta kepentingan rakyat di daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi. Seiring dengan tuntutan jaman dan arah fenomena perubahan sosial yang meng-hendaki terciptanya suatu tatanan, kondisi, peluang dan kesempatan bagi masyarakat agar makin mampu mengembangkan kreativitas dan prakarsanya, maka keberadaan, tugas, peran dan tanggung jawab pemerintahan dalam arti luas, dirasakan semakin relevan untuk ditinjau kembali, dalam pengertian dilakukan revitalisasi organisasi.

Dalam hubungan ini, maka penghormatan terhadap bentuk-bentuk organisasi (kesatuan masyarakat hukum) asli sangat dibutuhkan. Hal ini sekaligus mencerminkan bahwa kebijakan otonomi yang dianut UU Nomor 22/1999 sekaligus membawa misi demokratisasi masyarakat lokal.

Daftar Pustaka

Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1965, Desa, Bandung: Sumur.Roll, Werner, 1983, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia: Studi Kasus Daerah

Surakarta Jateng, Jakarta: Rajawali.Sudijat, Iman, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty.

Catatan:Naskah asli paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Maret 1999.

Page 16: Otonomi Daerah Dan

Desentralisasi dan Otonomi desa Suatu Kajian dari Segi Implementasi Pembagian Kewenangan Antara Desa Dan Kabupaten.Kata kunci: desentralisasi, otonomi desa, implementasi pembagian kewenangan.

Haryanto, Samsi;Suprapti*)

Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Penelitian, Dikti, Fundamental, 2006.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif yang mengambil lokasi Desa Blimbing Kecamatan Gatak

Kabupaten Sukoharjo ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui : (1) Bagaimana implementasi

pembagian kewenangan antara desa dan kabupaten, (2) Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab

tidak berjalannya implementasi pembagian kewenangan antara desa dan kabupaten, dan (3)

Kewenangan ideal apa saja yang justru dimiliki oleh desa dalam melaksanakan otonomi desa agar

dapat tercapai desa mandiri.

Dengan bersumber pada informan para implementer kebijakan pembagian kewenangan antara

desa dan kabupaten, dokumen-dokumen tertulis yang ada di Kabupaten dan desa, dan kondisi

desa penelitian, data dan informasi dikumpulkan melalui wawancara mendalam, focus group

discussion, dan mengumpulkan data tertulis. Uji kredibilitas informasi dilakukan melalui penerapan

teknik triangulasi.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa :

1)      Implementasi pembagian kewenangan antara desa dengan kabupaten di desa penelitian

belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan pembagian kewenangan antara desa dan

kabupaten itu sendiri hingga penelitian ini berlangsung belum pernah dilakukan. Peraturan daerah

yang mengatur hal itu belum ada.

2)      Faktor-faktor yang menjadi kendala tidak adanya implementasi pembagian kewenangan itu

sendiri amatlah kompleks, yakni menyangkut:

a.       Belum adanya aturan hukum yang memadai yang menjadi dasar pembagian kewenangan.

Oleh karena itu implementasinya pun juga belum ada. Jika di desa telah dilaksanakan

kewenangan-kewenangan,   hal   itu   semata-mata   didasarkan   pada   rutinitas sebelumnya.

b.       Kemampuan perangkat desa maupun anggota BPD relatif terbatas baik dalam hal tingkat

pendidikan formal, kemampuan khusus terkait dengan tuntutan juga fungsinya, maupun

pemahaman terhadap kewenangan desa itu sendiri.

c.       Tingkat menghasilkan para perangkat desa dan anggota BPD belum memadai, sehingga

mengakibatkan dedikasi kerja tidak optimal. Rencana pemerintah untuk mengangkat Sekretaris

Desa menjadi PNS, di satu pihak disambut antusias oleh para perangkat desa oleh karena jelas

bisa meningkatkan penghasilan, namun di lain pihak justru merupakan masalah dan hambatan

besar bagi menguatnya otonomi desa menuju kemandirian.

3)      Kewenangan ideal yang perlu dimiliki desa agar penguatan otonomi desa tercapai dan

akhirnya menuju desa mandiri adalah sebagai berikut :

a.       Kewenangan untuk turut serta menentukan kebijakan Kabupaten

yang menyangkut desa.

b.       Kewenangan untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas dalam

melaksanakan otonomi desa dan mengelola sumber pendapatan

desa

c.       Kewenangan untuk menolak tugas-tugas pembantuan yang tidak

sesuai dengan aspirasi dan daya dukung desa, dan penolakan

Page 17: Otonomi Daerah Dan

tidak diartikan sebagai sesuatu yang negatif.

4)      Berdasar pada hasil penelitian maka implikasi kebijakan yang perlu diambil disarankan

sebagai berikut:

1.       Segera diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten tentang penyerahan urusan yang menjadi

kewenangan kabupaten yang perlu diserahkan kepada desa, agar menjadi pedoman yang jelas

bagi desa untuk mengimplementasikan kewenangan tersebut.

2.      Diperlukan Kebijakan Pemerintah Kabupaten maupun Lembaga Profesional seperti Perguruan

Tinggi untuk : (a) meningkatkan profesionalitas perangkat desa dan anggota BPD agar mampu

menjalankan fungsi masing-masing, dan mampu mengelola sumber pendapatan desa secara

profesional, (b) memberi keleluasaan kepada desa untuk mengembangkan kreatifitas dan inisiatif

dalam menjalankan otonomi desa.

3.      Diperlukan kebijakan untuk meningkatkan penghasilan aparat melalui alternatif : (a)

Pengembangan Badan Usaha Milik Desa, bagi desa yang profesional ke arah itu, atau (b)

mengangkat perangkat desa menjadi PNS untuk desa-desa yang profesional berkembang ke arah

perubahan status menjadi kelurahan.

PELAKSANAAN OTONOMI DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 DI KABUPATEN DEMAKPELAKSANAAN OTONOMI DESA BERDASARKANUNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004DI KABUPATEN DEMAK

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat HukumDosen Pengampu : H. Jawade Hafidz, SH.MH

Disusun oleh :KUSTI’AHMH.09.15.0794

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER (S2) ILMU HUKUMUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNGSEMARANG2 0 1 0

DAFTAR ISI

Page 18: Otonomi Daerah Dan

HALAMAN JUDUL iDAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1A. Latar Belakang Masalah 1B. Rumusan Analisis 2C. Tujuan Analisis 3D. Manfaat Analisis 3

BAB II ANALISIS 4A. Pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak 6B. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Otonomi Desa 7

BAB III PENUTUP 9A. Simpulan 9B. Saran 9

DAFTAR PUSTAKA 10

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahPengertian otonomi daerah yang melekat dalam pemerintahan daerah sangat berkaitan erat dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan. Tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bisa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menawarkan berbagai macam paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada filosofi keaneka ragaman dalam kesatuan. Paradigma yang ditawarkan antara lain :1. Kedaulatan rakyat2. Demokrasi3. Pemberdayaan Masyararakat4. Pemerataan dan KeadilanDengan diundangkannya Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah untuk diterapkan sebagai payung hukum pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, dapat memberikan implikasi yang besar bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah termasuk juga pemerintahan desa.Konsep tentang definisi desa sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa yaitu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :

Page 19: Otonomi Daerah Dan

a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa disertai pembeayaannya; yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan / atau Pemerintah Kabupaten / Kota; yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada Desa.

B. Rumusan AnalisisDari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :1. Bagaimana pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ?2. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan / atau penghambat pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ?

C. Tujuan AnalisisTujuan dilaksanakannya analisis ini adalah :1. Untuk mengetahui pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan / atau penghambat pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

D. Manfaat AnalisisAnalisis ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran akademis yakni diharapkan menemukan konsep-konsep baru dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan otonomi desa.

BAB IIANALISIS

Dasar pemikiran dari Otonomi Daerah adalah bahwa Negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian Otonomi Daerah adalah merupakan kebijaksanaan yang sangat sesuai dengan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka menerapkan asas desentralisasi dalam Pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi diartikan sebagai pemerintahan kebebasan atas kemandirian (zelfstandigheid) bukan kemerdekaan (onafthankelijkheid), sedangkan otonomi daerah sendiri memiliki beberapa pengertian sebagai berikut :1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri.2. Pendewasaan politik rakyat lokal dan proses penyejahteraan rakyat.

Page 20: Otonomi Daerah Dan

3. Adanya pemerintahan lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahannya. Sebaliknya pemerintah bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut.

4. Pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.Otonomi nyata diartikan sebagai keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab berarti perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam bentuk tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan, Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreatifitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharakan dapat menjelma menjadi desa-desa otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.Keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa ditandai dengan semakin mampunya Pemerintah Desa memberikan pelayanan kepada masyarakat dan membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi Daerah, Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Melalui pengertian tersebut, prinsip utama otonomi desa adalah kewenangan membuat keputusan-keputusan sendiri melalui semangat keswadayaan yang telah lama dimiliki oleh desa, dalam satu kesatuan wilayah pedesaan.Selayaknya desa dipercaya untuk mengurus dirinya dalam unit wilayah kelola desa melalui peraturan yang dibuat secara mandiri. Ciri paling kuat pemerintahan desa-desa tradisional di Indonesia adalah adanya peranan dana swadaya dan gotong royong. Dua ciri tersebut merupakan modal sosial yang jauh lebih penting (dan potensial) ketimbang modal keuangan.Modal sosial sebagai potensi kemandirian dan sumber daya alam sebagai sumber pendapatan adalah landasan berkembangnya ekonomi rakyat dan kemandirian desa guna mencapai otonomi.1. Pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu bahwa secara materi hukum pemerintah Kabupaten Demak telah melaksanakan materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pada dasarnya UU tersebut masih berlaku dan relevan pada saat ini. Hal tersebut dibuktikan dengan telah dibuat / ditetapkannya 7 (tujuh) Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar hukum pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Ketujuh Peraturan Daerah (Perda) tersebut adalah :- Perda No. 1 Th. 2007 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Penetapan dan Pengesahan Badan Permusyawaratan Desa.

Page 21: Otonomi Daerah Dan

- Perda No. 2 Th. 2007 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, Pelantikan, Pemberhentian Sementara dan Pemberhentian Kepala Desa.- Perda No. 3 Th. 2007 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian Sementara dan Pemberhentian Perangkat Desa.- Perda No. 4 Th. 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 8 Tahun 2001 Tentang Lelangan Tanah Desa dan Dana Perimbangan Keuangan Antar Desa di Wilayah Kabupaten Demak.- Perda No. 6 Th. 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.- Perda No. 8 Th. 2007 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa.- Perda No. 9 Th. 2007 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Otonomi Desa dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004a. Hal-hal positif yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan faktor-faktor yang mendukung Pelaksanaan Otonomi Desa adalah sebagai berikut :- Berkaitan dengan makna Desa bahwa Desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pengertian tersebut di atas sangatlah jelas bahwa pemerintahan desa tidak lagi diarahkan pada self governing community.- Berkaitan dengan kewenangan Desa bahwa Desa diberikan kewenangan untuk mengurusi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota dan tugas pembantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah.- Berkaitan dengan Pemilihan Kepala Desa secara langsung yang berarti masyarakat dapat memilih Kepala Desanya sesuai yang dikehendaki yang mereka anggap mampu membawa desanya lebih maju dari sebelumnya.- Keberadaan Sekretaris Desa dari unsur PNS, dengan diambil / diangkatnya Sekretaris Desa dari unsur Pegawai Negeri Sipil, maka kegiatan kepemerintahan akan dapat dikelola sesuai prinsip manajemen pemerintahan yang baik.b. Hal-hal terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan faktor-faktor yang menghambat Pelaksanaan Otonomi Desa adalah sebagai berikut :- Pengaturan mengenai Desa dalam Undang-Undang yang baru dapat dianggap memiliki semangat sentralistik karena hanya memperkuat eksekutif (pemerintah desa) kemudian gagasan tentang otonomi desa akan menjadi semakin kabur.- Kekuasaan kepala desa yang selama ini menjadi ”raja kecil” akan dapat semakin kuat karena kewenangan kepala desa menjadi sangat besar dan tidak adanya kontrol dari rakyat yang selama ini menjadi salah satu fungsi Badan Perwakilan Desa. Kekhawatiran lain adalah berpindahnya fungsi kontrol ke tangan Camat selaku perangkat daerah bisa menimbulkan pola ABS (Asal Bapak Senang).- Terjadinya penghilangan hak otonomi rakyat karena adanya peluang desa menjadi kelurahan dan kekayaan desa tersebut menjadi kekayaan daerah yang dikelola oleh kelurahan.

BAB IIIPENUTUP

1. SimpulanSecara umum pelaksanaan otonomi desa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sudah sesuai dengan materi yang telah ada, tetapi faktor utamanya terkait penentuan kebijakan pemerintah daerah dalam pengaturan desa yang untuk

Page 22: Otonomi Daerah Dan

masa sekarang perlu melibatkan unsur Kecamatan sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah di wilayah, untuk disampaikan kepada pemerintah desa meskipun secara garis koordinasi kepala desa bertanggung jawab kepada Bupati.

2. Saran- Untuk masalah faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu disempurnakan.- Perlu adanya pembinaan aparat desa secara komprehensif secara rutin dan secara periodik dengan melibatkan aparat Kecamatan dan Kabupaten serta aparat terkait melalui pembentukan tim pembina desa dengan sasaran penggunaan dana perimbangan desa yang dirasa banyak sekali persoalan dalam pelaksanaannya serta penataan administrasi desa secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

Saddu Wasistono, 2001, Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah, Alqapriat Jatinangor Sumedang, h.6.

Bayu, Suryaningrat, 1976, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Ghalia Yayasan Beringin KORPRI Unit Depdagri, Bandung.

Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia (Hukum Administrasi Daerah 1903 – 2001), Sinar Grafika, Jakarta.

Arikunto, Suharsimi, 2003, Manajemen Penelitian, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Bhenyamin Hoessen, 1995, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II. Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara. Desertasi untuk Gelar Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1993 dan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, UI, Jakarta.

Pemerintah Kabupaten Demak, 2000, Perda Kabupaten Demak No. 20 Th 2000 Tentang Pembentukan, Penghapusan, Pemecahan dan Penggabungan Kelurahan, Bagian Hukum Kabupaten Demak.

Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah.

Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Sekretariat Daerah, 2007, Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Demak Tahun 2007, Bagian Hukum Kabupaten Demak.

Bagian Hukum dan Perundang-Undangan Sekretariat Daerah Kabupaten Demak, 2006, Peraturan Pemerintah Daerah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Kelurahan, Dema

Page 23: Otonomi Daerah Dan

TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN OTONOMI DESA DI KABUPATEN BANGGAIJudul :TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN OTONOMI DESA DI KABUPATEN BANGGAIPengarang/Penulis :Asis Harianto, H.M. Djafar Saidi dan Faisal AbdullahAlamat/Sumber Jurnal :http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/07f508de53592473de5e935ee080bf4a.pdfReview Jurnal :Pelaksanaan otonomi desa pada daerah penelitian secara umum sudah dapat berjalan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 namun belum secara maksimal khususnya untuk pelaksanaan pembangunandi segala bidang di desa penelitian baik desa-desa yang ada di Kecamatan Toili maupun desa-desa yang ada di Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai. Faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan otonomi desa pada desa-desa penelitian baik Kecamatan Toili maupun Luwuk Timur Kabupaten Bangai adalah sama persis, yaitu faktor penghambatnya adalah sarana dan prasarana sedangkan faktor pendukungnya adalah faktor dana, faktor koordinasi dan faktor komitmen.Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Bangai adalah meningkatkan gaji Kepala Desa dan perangkatnya, mengalokasikan dana yang cukup untuk bantuan  pembangunan desa, terutama guna alat transportasi desa yang masih sangat kurang bahkan tidak ada.Diposkan oleh dylla kahar raden   di 

KATEGORI: DAERAH

Implementasi Otonomi Desa Menurut UU No 32/2004

Rivan Mubaroq.AmKL.SH Kamis, 27 Jan '11 21:24

Bagus +2

Beri Rating

Page 24: Otonomi Daerah Dan

Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar dan berdimensi jauh ke depan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya, menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan dan keadilan disertai untuk kesadaran akan keaneka ragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :

1. Peningkatan pelayan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintah di daerah.

2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan PEMDA dan antar-PEMDA dalam kewenangan dan keuangan.'

3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.Desa atau yang di sebut dengan nama lain, selanjutnya di sebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mngurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan/atau di bentuk dalam sistem pemerintah nasional dan berada di Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Amandemen UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keaneka-ragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.Pemerintah Desa dapat diberikan penugasan ataupun pedelegasian dari pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan terhadap Desa, geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang di bentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi daerah akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.

Page 25: Otonomi Daerah Dan

Sebagai perwujudan dari sistem demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintah desa di bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Angaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa. Di desa di bentuk lembaga ke masyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat desa.Otonomi desa pada dasarnya mempunyai peranan yang strategis, ketika saat ini kita semua sedang mengusung ide pembangunan yang berbasis kerakyatan/masyarakat, pemberdayaan dsb. Desa adalah basis masyarakat dengan segala problematiknya. Kemiskinan ada di desa, akan tetapi di desa pula basis sebagai potensi bisnis ekonomi, sebagian besar penduduk indonesia juga tinggal di desa. Dengan demikian, slogan yang mengatakan membangun desa maka daerah dan negara maju bukan hanya slogan pepesan kosong tanpa argumen yang valid. Dalam kerangka konseptual pemikiran ini lah, maka konsep pengembangan otonomi desa adalah alternatif yang pantas di evaluasi yang berperan strategis dalam sistem pertahanan nasional.Otonomi pada hakekatnya menunjukan besaran kewenangan yang dimiliki sebuah ruang lingkup wilayah politik dan administratif. Luas atau sempitnya kewenangan yang di ukur dengan jumlah urusan akan menunjukan besaran otonomi tersebut. Oleh sebab itu, besaran kewenangan ini akan berhubungan dengan tingkat kapabilitas dalam mengelola kewenangan tersebut yang di lihat pada level kreativitasnya. Sehingga ada persepsian yang menyatakan bahwa otonomi akan mendorong kreatifitas yang arti kata ada pemberdayaan di sana. Tanpa ada otonomi, jangan harap akan munculnya lahir kreativitas dan kapabilitas komunitas masyarakat lokal.Namun, hal yang menarik jika kita mencermati perkembangan otonomi desa, ternyata sesungguhnya masyarakat lokal khusus masyarakat pedesaan telah lebih dahulu memiliki bakat kreativitas dalam mengelola berbagai problematiknya dalam ruang lingkup otonomi aslinya yang kelihatan ada pada pola adat-istiadat mereka. Hal ini tentunya tidak sama dengan otonomi daerah pada level Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi yang dari segi waktu masih relatif lebih muda karena diberikan oleh negara sebagai bentuk strategis kebijakan pemerintah.Menyimak sejarah perkembangan otonomi desa, akan kelihatan kuatnya komitmen untuk mengeyampingkan ruang lingkup pedesaan yang terus berkembang dan berlangsung. Rezim otoriter dalam konteks desa

Page 26: Otonomi Daerah Dan

sepertinya akan terus berlanjut.UU No 32/2004 yang mengantikan UU No 22/1999 mungkin cerita yang dapat diangkat.Pemerintah Desa berdasarkan UU No 32/2004 harus dikatakan berbeda secara mendasar dengan pemerintah desa menurut UU No 22/1999. Di mana pengaturan desa yang tergambar dalam UU No 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol pemerintah dan menghilangkan demokratisasi pemerintahan desa. hal ini mengingatkan pengaturan desa dalam UU No 5/1975.Selanjutnya menyangkut kewenangan desa, dapat di lihat bahwa terdapat tiga sumber urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa sebagaimana di atur dalam Pasal 206 UU No 32/2004 yaitu :

1. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa.2. Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku

belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah.3. tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah Provinsi dan/atau

Pemerintah Kabupaten.Penjabarannya harus hati-hati, karena terjadi ketidak-sikronan terutama pasal 206 ayat (1) dengan pasal 200 UU No 32/2004 yaitu :

1. Dalam pemerintahan desa di Kabupaten/Kota di bentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

2. Pembentukkan, penghapusan dan/atau pengabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat.

3. Desa di Kabupaten/Kota bertahap dapat di ubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Pemusyawaratan (BPD) dengan PERDA.

Pasal 206 ayat (1) menjelaskan kewenangan desa adalah urusan pemerintahan berdasarkan hak asal-usul desa. Jenis urusan ini jelas bukan urusan karena penyerahan dari pemerintahan Kabupaten/Kota. Padahal dalam pasal 200dinyatakan bahwa dalam PEMDA Kabupaten/Kota di bentuk Pemerintahan Desa. Istilah PEMDA menunjukan penyelenggaraan pemerintahan yang bersumber dari asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Dengan demikian dalam Pemerintahan Desa yang di bentuk ada urusan yang tidak bersumber kepada pembentukkannya.Menyangkut pengaturan sistem Pemerintahan Desa, terdapat beberapa kelemahan yang perlu dicermati, yaitu :Pertama : Tidak diaturnya sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa dalam batang tubuh UU No 32/2004. Sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa ditemukan di dalam penjelasan umum. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desanya yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung-jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan laporan pertanggung-jawabannya.

Page 27: Otonomi Daerah Dan

Pengaturan semacam ini tidak tepat sasaran. Karena penjelasan pada hakekatnya bukanlah norma, namun merupakan penjelasan dari norma sehingga terhindar dari penafsiran gramatikal ganda. Hal ini yang perlu dicermati yaitu pola laporan pertanggung-jawaban yang bersifat vertikal (ke atas)dan bukan horinzontal dan ke bawah (ke masyarakat dan BPD) akan menimbulkan perubahan orientasi pengabdian Kepala Desa yang akan lebih loyalitas kepada kehendak pihak atas ke timbang kepada rakyat yang memilihnya dan menimbulkan dampak yaitu Pemerintahan Desa bisa menjadi alat politik pencapaian kekuasaan dari Bupati/Walikota dalam pemilihan umum Kepala Daerah secara langsung.Kedua : Tugas dan kewajiban Kepala Desa dalam memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa di atur lebih lanjut dengan PERDA berdasarkan Peraturan pemerintah dan  pasal 208 UU No 32/2004  Ketentuan ini cukup berbahaya mengingat UU tidak secara definitif menentukan tugas dan kewajiban kepala Desa. pengaturan semacam ini memberi ruang hampa pada pemerintah melalui peraturan Pemerintah. Di lain pihak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi yang sangat terbatas berdasarkan pasal 209 UU No 32/2004 yaitu menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. dalam formulasi pengaturan yang semacam itu maka akan sangat sulit terjadi keseimbangan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, karena kewenangan Kepala Desa sangat elistis dengan menyerahkan sepenuhnya pengaturan kepada PERDA.Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dalam UU No 32/2004 fungsi bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa dan sebagai penampung serta penyalur aspirasi rakyat. Berbeda sama sekali dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dalamUU No 22/1999, BPD berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.mekanisme tata cara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di dalam UU No 32/2004 yaitu anggota Badan permusyawaratan Desa (BPD) adalah respretatifdari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat artinya tidak dipilih secara langsung akan tetapi dengan ditetapkan dengan cara musyawarah. Mekanisme tata cara pengaturan ini pada dasarnya menghilangkan prinsip nilai demokrasi di level wilayah desa. Sedangkan di dalamUU No 22/1999 yaitu anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh anggota. Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama Kepala

Page 28: Otonomi Daerah Dan

Desa menetapkan Peraturan Desa. Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati/Walikota, tetapi wajib ditetapkan dengan tembusan kepada Camat, Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.Selain itu, penggantian Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa memunculkan kembali "sistem nepotisme", kerabat-kerabat  Kepala Desa menjadi kaum elit desa karena keangotaannya ditetapkan secara musyawarah dan mufakat. Perubahan pola ini dapat di anggap sebagai pengingkaran prinsip demokrasi langsung terhadap kedaulatan rakyat.Selanjutnya itu, mengenai aparatur Pemerintahan Desa dalam UU No 32/2004terdiri atas Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris Desa di isi dariPegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Kondisi ini pada dasarnya akan mengarahkan Pemerintahan Desa ke arah birokratisasi yang pengabdiaannya pun akan berbeda. Di samping itu akan munculnya kultur pegawai negeri sipil di desa dan dapat diarahkan kepada mesin politik baru.Di samping itu, secara politik kedudukan Sekretaris Desa dapat membuatnya jugaloyalitas ganda, satu sisi sebagai bawahan Kepala Desa maka ia harus tunduk kepada Kepala Desa. namun di sisi lain sebagai Pegawai Negeri Sipil secara otomatis maka ia juga harus tunduk kepada atasannya yaitu Bupati/Walikota. Loyalitas ganda ini lah menyebabkan kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri menjadi hilang. Sebab masuknya birokrasi intervensi pemerintah Kabupaten/Kota dapat dengan mudah masuk ke desa. Jika demikian, peluang pola pembangunan yang sentralistik dan top down (dari atas) berpeluang untuk hadir kembali.Dari uraian di atas penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :

1. Mempercepat pemprosesan pembahasan dan pengesahan RUU Pemerintahan Desa menjadi UU Pemerintahan desa sebagai payung hukum  manisfestasi prinsip demokratisasi perdesaan serta dalam sistem pertahanan nasional dalam kerangka NKRI.

2. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosesdur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya dan kepada rakyat desa untuk menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya akan tetapi tetap memberi kesempatan kepada masyarakat/rakyat desa melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggung jawaban  yang di maksud.

Page 29: Otonomi Daerah Dan

3. Mempercepat pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama para petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agrobisnis industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA).

        gambar: diambil dari Google.

Kajian Kritis Terhadap PP 72/2005 Tentang DESA Jul 4, '07 12:20 AMuntuk semuanya

Otonomi Desa dan Pembangunan Desa

Ruang lingkup tanggung jawab dari birokrasi bukan hanya melakukan pelayanan publik secara universal dan optimal, melainkan birokrasi tentu harus mengupayakan pemerataan dalam kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan (dalam arti luas) kepada masyarakat. Akselerasi pembangunan memang telah dirasakan semenjak terselenggaranya reformasi di berbagai sektor , tetapi kita tidak bisa menafikan masih belum adanya keadilan dalam pembagian kue pembangunan mengakibatkan gap antar wilayah, utamanya di pedesaan.

Disadari bahwa pembangunan pedesaan telah banyak dilakukan sejak dari dahulu hingga sekarang, tetapi hasilnya belum memuaskan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan seharusnya dilihat sebagai : (1) upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk memberdayakan masyarakat, dan (2) upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kokoh.

Pembangunan pedesaan bersifat multiaspek oleh karena itu perlu keterkaitan dengan bidang sektor, dan aspek di luar pedesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non ekonomi, sosbud, dan non spasial).

Menurut Rahardjo Adisasmita1 tujuan pembangunan pedesaan jangka panjangadalah peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara langsung melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan berdasarkan bina lingkungan, bina usaha dan bina manusia, dan secara tidak langsung adalah meletakkan

Page 30: Otonomi Daerah Dan

dasar-dasar yang kokoh bagi pembangunan nasional. Sehingga harus disadari bahwa hakekat dari pembangunan nasional secara komprehensif adalah dengan meletakkan pondasi atau penopang yang kokoh pada pembangunan di tingkat desa. 

Untuk merealisasikan tujuan tersebut maka seiring dengan bergulirnya era desentralisasi dan pemberlakuan otonomi daerah seharusnya mengalir pula kewenangan yang lebih luas kepada perangkat desa untuk berpartisipasi secara langsung dalam perencanaan pembangunan. Partisipasi ini hanya akan terwujud apabila otonomi daerah terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005 Tentang “Desa” sebagai bentuk implementasi dari UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang “Pemerintahan Daerah” maka dilegitimasilah kekuasaan pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri. Hal ini ditambah dengan dihargainya faktor-faktor heterogenitas, asal-usul, nilai-nilai tradisional, dan kearifan lokal.

Berdasarkan semua keistimewaan yang telah diberikan, tak ada alasan lagi bagi desa untuk tidak melaksanakan otonomi desa. Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul, apakah semudah itu? Apakah desa telah siap untuk melaksanakan otonomi tersebut? Benarkah pemerintah telah concern untuk melaksanakan otonomi desa?

Satu hal lain yang harus kita cermati bahwa ternyata meskipun PP Nomor 72 Tahun 2005 telah memberikan ruang yang lebih luas kepada Kepala Desa dan seluruh perangkat desa lain untuk mengatur masyarakatnya, namun masih memerlukan penyempurnaan di beberapa pasal agar tercapai hakekat dari otonomi desa yang sesungguhnya.

 Kajian Kritis terhadap PP 72 Tahun 2005 Tentang “Desa”

Reformasi dan otonomi daerah sebenarnya adalah harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintah desa, otonomi adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa. Kalau dulu semua hal yang akan dilakukan oleh pemerintah desa harus melalui rute persetujuan kecamatan, untuk konteks sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi. Intervensi dari atas yang dulu sangat kental terasa kini sudah mulai berkurang. Hal itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa.

Sementara itu dari sisi masyarakat, poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi, dimana hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa.

Namun persoalannya, karena tidak adanya kewenangan dan tanggung jawab yang jelas mana ruang lingkup kewenangan desa dan mana yang menjadi kewenangan kabupaten, sumber daya ekonomi desa seringkali terserap dan pengelolaannya diklaim sepihak oleh kabupaten. Dari sisi ini secara ekonomi, desa pada akhirnya menjadi sangat tergantung kepada kabupaten. Antusiasme masyarakat desa untuk melakukan pembangunan berbasis pada kebutuhan lokal lagi-lagi terhambat oleh tidak adanya ketersediaan dana yang dapat digunakan sebagai tumpuan operasional pembangunan.

Page 31: Otonomi Daerah Dan

Permasalahan lain yang muncul adalah prilaku aparat birokrasi kabupaten yang tidak mau membuka diri dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan desa. Lemahnya sumber daya manusia yang ada di desa selalu menjadi justifikasi bagi pemerintah kabupaten untuk tidak memberikan peluang otonomi bagi desa. Lagi-lagi disini kita melihat adanya kesalah-kaprahan birokrasi dalam memahami paradigma otonomi.

Sebenarnya masih banyak persoalan lainnya dari otonomi desa yang menyimpan potensi tidak dapat terlaksananya otonomi desa secara utuh, murni dan konsekuen serta rawan deviasi (penyimpangan). Dan benang merah dari segala persoalan tersebut mengarah kepada kebutuhan akan diterbitkannya peraturan pemerintah yang baru yang lebih jelas dan memberikan kepastian hukum. Dengan asumsi demikian maka dari tinjauan aspek Hukum Tata Pemerintahan berikut beberapa pasal dalam PP 72 Tahun 2005 yang masih ‘bermasalah’ tersebut :

a.      Pertanggung-jawaban Kepala Desa

Ditinjau dari sudut aliran pertanggung-jawaban (legal-accountability) penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi UU No 32/2004 maupun PP No 72/2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab Kepala Desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggung-jawaban, dan kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa.

Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur kewenangan BPD untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada Bupati/walikota, namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa di atas, sangat jelas terlihat ambiguitas pengaturan kewenangan pengawasan  oleh BPD.

b.      Kedudukan BPD

PP No. 72/2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal pasal 202 ayat (1) UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengertian pemerintah desa hanya terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Kemudian dilanjutkan dalam ayat (2) pasal yang sama bahwa yang dimaksud perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Tidak diperinci dan ditegaskan secara lebih jelas kedudukan BPD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintah desa.

c.       Sistem Perencanaan

Page 32: Otonomi Daerah Dan

Menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum adanya kehendak Negara untuk membangun pola local self planning di desa. Pasal 63 PP Desa masih mengikuti jejak UU No. 32/2004, yang menempatkan perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara itu, pasal 150 UU No. 32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik garis lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di desa, daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model perencanaan terpusat (centralized planning). Sentralisasi perencanaan semacam itu sebenarnya justru mengingkari hakekat otonomi daerah, yang seharusnya terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat.

Filosofi pembangunan yang bertumpu pada paradigma klasik (trickle down effect) yang diintroduksikan oleh Albert Hirschmann atau lebih lebih dikenal konsep top-down, telah menimbulkan masalah yang cukup serius seperti ketimpangan, kemiskinan, keterbelakangan, dan sikap masa bodoh atau ketidakpedulian (antar daerah dan antar golongan masyarakat). Pengaplikasian  konsep itu secara empirik telah memperlihatkan terjadinya kecenderungan kurang memberikan perhatian kepada masyarakat lapisan bawah (grass root). Konsep semacam ini tidak aspiratif dan dianggap tidak bijaksana terhadap permasalahan yang dihadapi, pemanfaatan potensi masyarakat desa serta pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai penerima program pembangunan.

Meskipun kini pemerintah me-mercusuarkan program bottom up planning dengan kegiatan Musbangdes (Musyawarah Pembangunan Desa), rapat LPM tingkat kecamatan, Rakorbang tingkat kabupaten dan propinsi hingga Rakornas tingkat pusat, namun kenyataannya belum dapat dilaksanakan secara optimal. Bahkan kondisi riil di lapangan terkadang ditemukan usulan yang dirumuskan dari level bawah, diintervensi oleh kekuasaan yang berada setingkat di atasnya. Pada tingkat LPM dan Rakorbang juga seringkali ditemukan adanya dominasi sektoral dalam proses bargaining tanpa melihat dan mempertimbangkan usul yang muncul dari bawah.

 Dalam akhir tulisan ini, penulis mendapat kesimpulan bahwa dengan adanya revisi UU 22/1999 menjadi UU 32/2004 belum menjawab tuntas permasalahan desa, karena tersirat dalam peraturan perundangan tersebut pemerintah pusat belum sepenuhnya memberikan otonomi yang luas. Begitupun paradigma orde baru nampaknya masih dipakai pemerintah pusat saat ini, yang menganggap desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.

PP 72/2005 sebagai peraturan pelaksana dari UU 32 Tahun 2004 perlu dikaji lebih lanjut. Kelemahan peraturan ini sebagaimana paparan di atas harus segera dibenahi. Tujuannya tentu untuk menciptakan tata pemerintahan desa yang ideal sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat desa. Sebagaimana disampaikan Prof.DR. Ryaas Rasyid, MA. pakar otonomi daerah dalam acara kuliah umum di hadapan mahasiswa S1 PIN bahwa perlu dilakukan break-down terhadap UU 32/2004 menjadi tiga perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah pilkada, keuangan daerah, serta pemerintahan desa berikut pembenahannya.

Asumsi desa wajib diberdayakan karena dianggap bodoh, sudah usang. Idealnya yang perlu dibenahi oleh pemerintah pusat adalah melepas sekat-sekat penghalang bagi desa untuk berkembang. Sesungguhnya tidak tepat jika muncul ketakutan pemerintah, desa akan akan memisahkan diri dari NKRI apabila diberikan kekuatan (baca : kekuasaan) yang lebih besar, karena ketakutan tersebut sangat tidak mendasar.

Page 33: Otonomi Daerah Dan

Otonomi bukanlah bebas yang sebebas-bebasnya, tetapi bebas yang bertanggung jawab, bermartabat, dan bertujuan untuk kemaslahatan ummat. Sikap dilema dan kegamangan desa seperti sekarang akan mengubah peluang menjadi hambatan ... Inikah yang kita kehendaki ? Kata kunci: artikel-koe

Permasalahan yang Timbul dalam Pelaksanaan Otonomi DaerahDiterbitkan Maret 25, 2012 Tugas Kuliah , Uncategorized 32   Komentar  Kaitkata:disintegrasi, dprd, eksploitasi sumberdaya terhadap daerah, kepala daerah otonomi daerah, korupsi di pemerintahan daerah, masalah otonomi daerah, peran masyarakat dalam otonomi daerah, peraturan daerah, permasalahan otonomi daerah,permasalahan yang timbul, prinsip otonomi daerah, tujuan otonomi daerah

PERMASALAHAN OTONOMI DAERAH

 

Oleh :

8335116615         Dwi Yunita Sari

8335118318  Rizqi Amelia Pratiwi

8335118326                 Syifa Aulia

8335118330   Ruth Citra Permata

Program Studi S1 Akuntansi

Page 34: Otonomi Daerah Dan

Jurusan Akuntansi

Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

2012

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan Tugas Kelompok untuk memenuhi mata kuliah Bank dan Lembaga

Keuangan Lain.

Dalam penulisan karya tulis  ini penulis membahas tentang “ Permasalahan Dalam Otonomi

Daerah ” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah Kewarganegaraan, Program Studi

S1 Akuntansi, Jurusan akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta.

Dengan menyelesaikan karya tulis ini ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan. Namun penulis

sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu penulis mengharapkan

kritik dan saran dari semua pihak yang membaca yang sifatnya membangun untuk dijadikan

bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih baik lagi. Semoga karya

tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak, maka

pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1.         Bapak Yuyus Kardiman

2.         Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan serta doanya

3.         Teman-teman S1 Akuntansi Non-Regular B ‘11 sebagai tempat untuk berdiskusi dan

bertukar pikiran

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, Maret 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………………………

Daftar Isi …………………………………….………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang …………………….………………………………………………………………………

1.2. Rumusan Masalah ……………….………………………………………………………………………

Page 35: Otonomi Daerah Dan

1.3. Tujuan Penulisan …………………………………………………………………………………………

1.4. Manfaat Penulisan ………………………………………………………………………………………

1.5. Sistematika Penulisan .………..………………………………………………………………………

1.6. Metodologi Penelitian ………………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Otonomi Daerah …..………………………………………………………………….

2.2. Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia ……………………………….

2.2.1. Adanya Eksploitasi Pendapatan Daerah………………………………………….

2.2.2. Pemahaman konsep desentralisasi & otonomi daerah belum mantap

2.2.3. Aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai..

2.2.4. Kondisi SDM yang belum menunjang pelaksanaan  otonomi daerah

2.2.5. Korupsi di Daerah

2.2.6. Potensi munculnya konflik antar daerah

BAB III PENUTUP

3.1. Simpulan ………………………………………………………………………………………………………

3.2. Saran ……………………………………………………………………………………………………………

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………………………

i

ii

 

1

1

2

2

3

3

4

Page 36: Otonomi Daerah Dan

5

6

8

10

13

21

25

28

28

iii

 BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari

pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah

pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.

Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat

untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU

otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 sehingga

kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.

Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan

penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya

perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut

menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus

memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju,

mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan

daerahnya masing-masing.

Memang harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau harapan tentu akan

berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga berjalan baik. Namun

ketidaktercapaian harapan itu nampak nya mulai terlihat dalam otonomi daerah yang ada di

Page 37: Otonomi Daerah Dan

Indonesia. Masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.

Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi

daerah dapat tercapai.

1.2. Rumusan  Masalah

Dalam penyusunan ini penulisan memberikan batasan-batasan masalah, meliputi :

1. Eksploitasi Pendapatan Daerah

2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi

daerah yang belum mantap

3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai

4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi

daerah

5. Korupsi di Daerah

6.  Potensi munculnya konflik antar daerah

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini di bagi menjadi 2 yaitu, tujuan umum dan khusus:

            1.3.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia

2. Meneliti penyelesaian dari permasalahan yang ada

1.3.2 Tujuan Khusus

Menyelesaikan tugas mata kuliah Kewarganegaraan tentang Permasalahan Dalam Otonomi Daerah

1.4. Manfaat Penulisan

1. Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa.

2. Sebagai wacana awal bagi penyusunan karya tulis selanjutnya.

3. Sebagai literature untuk lebih memahami otonomi daerah di Indonesia.

1.5. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan yang digunakan adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan

sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASAN

Page 38: Otonomi Daerah Dan

Berisi tentang : Pembahasan mengenai permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di

Indonesia.

BAB III PENUTUP

Berisi tentang : kesimpulan dan saran.

1.6. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah :

•      Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan

penulisan karya tulis ini

•      Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari yang tidak

penulis tidak dapatkan dari buku-buku

BAB II

PEMBAHASAN

2.1                      Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari

rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi

maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah

istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan

kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir

ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi

sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga

dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya

(dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang

melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih

dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang

dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara

pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar

tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan

ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial

ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara

efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

2.2                      Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia

Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan

aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif

di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi

sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah

sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu,

Page 39: Otonomi Daerah Dan

pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan.

Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan

yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa

mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.

Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi

daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang, jika tidak segera dicari pemecahannya,

akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan

sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi

pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila

dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia.

Masalah-masalah tersebut antara lain :

1. 1.       Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah

2. 2.       Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap

3. 3.       Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai

4. 4.      Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnyapelaksanaan

otonomi daerah

5. 5.      Korupsi di Daerah

6. 6.       Adanya potensi munculnya konflik antar daerah

Permasalahan tersebut dibahas lebih lanjut sebagai berikut :

2.2.1 Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah

Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan

keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan

pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent

risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi,

perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus

mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan.

Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya

dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga

dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang

membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam

pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi

pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang

dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara

demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena

ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).

Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi yang

jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut

pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam meminta

Page 40: Otonomi Daerah Dan

sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak dan retribusi yang

harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item.

Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa setiap aktivitas

yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun

harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika

menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika yang dipakai adalah

bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena

tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan,

dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk.

Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan apakah perda tersebut

jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan

retribusi.

Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah dalam

menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah melampaui batas-batas akal sehat. Di satu

pihak sebagai warga negara kita harus ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan

menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan

tetapi, apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya

hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh mana

pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?

Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif

semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada

manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya beban yang

harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari

rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang yang

harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi

adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya

kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di daerah.

Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan

menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi

daerah setempat. Kalau pemerintah daerah ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya,

mengapa pada saat yang sama justru mengurangi minat investor untuk berinvestasi ?

2.2.2     Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap

Desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola

hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Tujuan otonomi daearah

membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan

domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami dan merespon

berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya.Pemerintah hanya

berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.

Page 41: Otonomi Daerah Dan

Desentralisasi diperlukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan

pemerintahan. Sebagai wahana pendidikan politik di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara

kesatuan atau integrasi nasional. Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan yang dimulai dari daerah. Untuk memberikan peluang kepada masyarakat utntuk

membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan. Sebagai sarana bagi percepatan

pembangunan di daerah. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh

karena itu pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi haruslah mantap.

Elemen utama dari desentralisasi adalah:

1. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta tanggung jawab politik dan administratif

pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur yang terdesentralisasi.

2. Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dasar

hukum bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang pembagian sumber-

sumber pendapatan dan transfer antarpemerintah.

Undang-undang di atas mencakup semua aspek utama dalam desentralisasi fiskal dan

administrasi. Berdasarkan kedua undang-undang ini, sejumlah besar fungsi-fungsi pemerintahan

dialihkan dari pusat ke daerah sejak awal 2001 – dalam banyak hal melewati provinsi. Berdasarkan

undang-undang ini, semua fungsi pelayanan publik kecuali pertahanan, urusan luar negeri,

kebijakan moneter dan fiskal, urusan perdagangan dan hukum, telah dialihkan ke daerah otonom.

Kota dan kabupaten memikul tanggung jawab di hampir semua bidang pelayanan publik seperti

kesehatan, pendidikan, dan prasarana; dengan provinsi bertindak sebagai koordinator. Jika ada

tugas-tugas lain yang tidak disebut dalam undang-undang, hal itu berada dalam tanggung jawab

pemerintah daerah.

Pergeseran konstitusional ini diiringi oleh pengalihan ribuan kantor wilayah (perangkat pusat)

dengan sekitar dua juta karyawan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung mulai

tahun 2005. Lebih penting lagi, Dana Alokasi Umum atau DAU yang berupa block grant menjadi

mekanisme utama dalam transfer fiskal ke pemerintah daerah, menandai berakhirnya

pengendalian pusat terhadap anggaran dan pengambilan keputusan keuangan daerah. DAU

ditentukan berdasarkan suatu formula yang ditujukan untuk memeratakan kapasitas fiskal

pemerintah daerah guna memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Pemerintah Pusat juga akan

berbagi penerimaan dari sumber daya alam — gas dari daratan (onshore), minyak dari daratan,

kehutanan dan perikanan, dan sumber-sumber lain dengan pemerintah daerah otonom.

Kedua undang-undang baru ini serta perubahan-perubahan yang menyertainya mencerminkan

realitas politik bahwa warga negara Indonesia kebanyakan menghendaki peran yang lebih besar

dalam mengelola urusan sendiri. Meskipun demikian, tata pemerintahan lokal yang baik pada saat

ini belum dapat dilaksanakan di Indonesia, meskipun sistem desentralisasi telah dilaksanakan.

Periode yang tengah dialami oleh Indonesia pasca dikeluarkannya UU No. 22/ 1999 yaitu periode

transisi atau masa peralihan sistem. Artinya, secara formal sistem telah berubah dari sentralistik

Page 42: Otonomi Daerah Dan

menjadi desentralisasi. Tetapi, mentalitas dari aparat pemerintah baik pusat maupun daerah masih

belum mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak

dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem pemerintahan yang

baru. Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnya mendedikasikan diri

untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat “sebagai pengguna jasa” adalah pelayanan publik yang

ideal. Untuk merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asas desentralisasi

diperlukan perubahan paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai unsur utama dalam

pencapaian tata pemerintahan lokal.

2.2.3    Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai

Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;

Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No.

5/1974 yang sentralistik.

Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada pemerintah

tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat

pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu

merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur.

Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya.

Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme

kontrol (checks and balances)yang memadai antara eksekutif dan legislatif.

Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga legislatif ini

secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi

kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan

sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat

daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat

langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan

perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan

sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih

tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.

UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya

keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah. Namun, praktik-praktik politik

yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang

demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi.

Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada

pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat

terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi

Page 43: Otonomi Daerah Dan

yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai

peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan

aturan pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU

menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah,

ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.

Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan

sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah

“putra daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui

semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-

tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi

menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu

meruak di berbagai daerah.

Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah

ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar.

Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui

referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di

Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa

kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa

Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih

sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.Gejolak

terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.

Menjadi harapan, karena Amandemen kedua konstitusi, telah mengubah wajah Pemerintahan

Daerah menjadi lebih demokratis dan lebih bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945

(redaksi baru), Perubahan Kedua, berbunyi, “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-

luasnya, kecuali urusan pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat“. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dibaca secara terpisah dengan Pasal 18

ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).

Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk negara (de staatsvorm) RI secara

utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang

berbentuk Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas dasar otonomi yang

seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5)

UUD 1945 (redaksi baru).

Lima tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu direvisi, hingga

lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan

Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tersebut.

Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan

desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat,

Page 44: Otonomi Daerah Dan

dalam hal ini Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI, menurut UUD 1945

(Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2004).

Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna

peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebutdelegation of authority.

Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan

itu, semua beralih kepada penerima delegasi. Dalam hal pelimpahan wewenang secara mandatum,

pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak

untuk dan atas nama mandator.

Dengan demikian, dalam hal penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat

kepada daerah otonom secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

memberikan konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud.

Semua beralih kepada daerah otonom, artinya menjadi tanggungjawab pemerintahan daerah,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah

pusat. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan

pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. politik luar negeri, b. pertahanan,

c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan fiskal, f. agama.

Pusat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang telah

diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom tidak boleh

melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi

yang mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan

RI.

Secara formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran empiris

komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan penguasaan urusan-

urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam termasuk perizinan di daerah,

dikuasai pusat.

Intervensi pusat pada daerah begitu besar. Penyerahan urusan/wewenangan yang semestinya

dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan. Pusat melakukan penganggaran

pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih dominan berasal dari APBN, yang

semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan untuk APBD.

UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan berdasarkan UU No. 8 tahun 2005 dan UU

No. 12 tahun 2008.

Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan. Walau telah

dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah menegasikan

kewenangan daerah. Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan kembali pada UU No.

32/2004 untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan daerah.

Page 45: Otonomi Daerah Dan

2.2.4 Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan 

otonomi daerah

Sejak diberlakukannya otonomi daerah. Sebagian pemerintah daerah bisa melaksanakan amanat

konstitusi meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan mencerdaskan rakyat.

Berdasarkan data yang ada 20 % pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonomi daerah

dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah. Namun masih 80 % pemerintah daerah dinilai belum

berhasil menjalankan visi, misi dan program desentralisasi.

Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat di wujudkan pertama-tama dan terutama di

tentukan oleh kapasitas yang di miliki manusia sebagai pelaksananya. Penyeenggaraan otonomi

daerah hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabil manusia pelaksananya baik,dalam arti

mentalitas maupun kapasitasnya.

Pentingnya posisi manusia pelakana ini karena manusia merupakan unsur dinamis dalam

organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi pemerintahan. Oleh

sebap itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya

melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Anusia

pelaksana pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:

1. Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).

2. Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah

3. Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber

energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.

2.2.4.1.            Kepala daerah dan DPRD

Dalam negara kesatuan republik indonesia tugas kepla daerah di samping sebagai kepala daerah

juga merupakan alat pemerintah pusat yang menjalani tugas yang sangat berat. Oleh sebap itu

kualifikasi yang di tuntut seorang kepala daerah seharusnya juga memadai dalam pengertian

harus sebanding dengan beban tugas ing dengan beban tugas yang ada di pundaknya.

Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup

menjamin tuntutan kualitas yang ada. Di mana yang berkaitan dengan kapasitas (pengetahuan

dan kecakapan) hanya tiga syarat yang di penuhi masing-masing;cerdas,berkemampuan,dan

keterampilan;mempunyai kecakapan dan pengelaman kerja yang cukup di bidang

pemerintahan;berpengetahuan yang sederajat degan perguruan tinggi atau sekurang kurangnya di

persamakan dengan sarjana muda.

Demikian pula halnya dengan mentalitas tidak terdapat ukuran-ukuran yang dapat di pergunakan

sebagai tolok ukur objektif,sehinggga terdapat cukup banyak kesulitan dalam penilaian padahal

peranan mental ini sangat penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Kepala daerah yang didominasi oleh pertimbangan akseptabilitas (walaupun kadang kala tidak

objektif) dari pada kualitas dan kapabilitas seseorang calon KDH.

Page 46: Otonomi Daerah Dan

Kepala daerah yang banyak mengorbankan  uang, lebih berorientasi kepada proyek pribadi, yaitu

untuk memperoleh keuntungan secara finansial dan material.

Kepala daerah cenderung membentuk kelompok-kelompok ditengah-tengah birokrasi, sehingga

terdapat perlakuan yang diskriminatif dikalangan birokrasi.

Kepala daerah ada yang tidak konsisten terhadap visi dan misi daerah (walaupun disampaikan

pada saat menjadi calon), karena menganggap visi dan misi yang disampaikan hanya untuk

kepentingan sesaat.

Kepala daerah yang lebih berorientasi untuk mempertahankan kekuasaan walaupun  dengan cara

dan kebijaksanaan yang tidak memenuhi kaidah moral dan etika bahkan menyimpang dari

peraturan dan perundangan.

Hal yang dikemukakan diatas merupakan kondisi dan gejala umum, walaupun   ada yang berbuat,

berprilaku dan membuat kebijakan sesuai dengan ketentuan serta tujuan dari otonomi daerah

tersebut, namun jumlahnya tidak seberapa. Untuk itu perlu adanya perubahan sistemik dengan

cara sbb:

Untuk menjadi calon kepala daerah perlu diperhatikan kapabilitasnya, tidak hanya

akseptabilitasnya saja, oleh karena seorang kepala daerah tidak hanya pemimpin politik, tetapi

juga pimpinan pemerintah yang didalamnya terdapat ilmu, seni, dan  teknis pemerintahan.

Dalam era globalisasi, penyelenggaraan pemerintahan (pelaksanaan otonomi daerah) itu tidak

terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu seorang calon kepala

daerah harus memiliki basis ilmu yang sesuai dengan tingkat kecerdasan masyarakat dan

lingkungan.

Untuk Wakil kepala daerah sebaiknya tidak harus dari orang-orang partai politik, tetapi lebih

diutamakan yang berpengalaman di birokrasi pemerintahan, sehingga wakil kepala daerah lebih

terfokus membantu kepala daerah dalam hal-hal teknis pemerintahan.

Perlu standar yang jelas tentang biaya untuk keikut sertaan dalam pemilihan kepala daerah,

sungguhpun sulit diimplementasikan tetapi sudah ada suatu ukuran atau pedoman.

Kepala daerah dihindarkan dari intervensi terhadap hal-hal yang bersifat sangat teknis seperti

administrasi keuangan, administrasi kepegawaian maupun administrasi proyek-proyek

pembangunan. Yang dilakukan kepala daerah adalah menyusun dan menetapkan kebijakan umum,

mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut serta memberikan motivasi dan pembinaan.

Dalam menjalankan kepemimpinannya, kepala daerah harus memiliki kekuasaan, sebagai mana

dikemukakan oleh Prof Dr J Kaloh: Kekuasaan paksaan (esencive power), kekuasaan resmi

(legitimate power), kekuasaan keteladanan (referent power) dan kekuasaan keahlian (exper

power).

Seperti halnya kepala daerah,DPRDpun memiliki beban tugas yang tidak ringan,karena tugas

pokoknya adalah bersama-sama kepala daerah menetapkan kebijakan daerah baik yang berupa

Page 47: Otonomi Daerah Dan

peraturan-peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBD). Di samping itu

DPRD ujga menjalankan fungsi pengawasan atas pelakanaan kebijakan daerah oleh kepala daerah.

Dengan tugas dan fungsi semacam ini DPRD di tuntut untuk memiliki kualitas yang memadai

Dalam kenyataannya pendidikan dan pengelaman yang di miliki oleh DPRD masih di bawah rata-

rata dan masih sangat terbatas .rata- rata DPRD tidak di bekali dengan pendidikan dan

pengelaman yang cukup di bidang pemerintahan. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam

penyelenggaraan otonomi daerah

Berdasarkan data tentang terjadinya tidak pidana korupsi di daerah sebagai contoh dari 35 daerah

otonom kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Selama 2011 kasus korupsi yang ditangani Polda

Jateng tercatat 78 kasus dengan 86 tersangka. Polda mengklaim telah menyelamatkan kerugian

negara sebanyak Rp 34.612.637.000. Jumlah tersebut naik sekitar 143 persen dari tahun 2010

yang berjumlah 32 kasus. Jumlah tersangka pada tahun lalu pun kalah jauh yang hanya berjumlah

31 orang dengan kerugian negara Rp. 23.693.274.000 (Suara Merdeka, 13/12/2011).

Sepanjang 2004-2011 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat terdapat sebanyak 158

kasus korupsi yang menimpa kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota.

Sementara dalam periode 2008-2011, sedikitnya terdapat 42 anggota DPR terseret kasus korupsi

(Republika, 5/12/2011).

Rakyat merasa sayang bila APBD dan APBN selalu defisit, namun kesejahteraan rakyat tidak

terasakan oleh rakyat di daerah. Maka bisa ditebak bahwa pasti ada penyimpangan dalam

pelaksanaan otonomi daerah yang sedang berjalan. Sebagai bukti visi, misi dan program otonomi

daerah tersebut tidak optimal. Berdasarkan data Kementrian Dalam negeri yang menunjukkan

bahwa 158 kasus korupsi kepala daerah. Sungguh suatu ironi pembangunan di negeri katulistiwa

ini.

Otonomi yang digadang-gadang sebagai solusi kesejahteraan rakyat di daerah sebaliknya menjadi

buah simala kama yang menelan korban kader-kader terbaik rakyat di daerah. Menjerat kepala

daerah sebagai kader terbaik di daerah terjerat kasus korupsi yang sangat menyedihkan dan

memprihatinkan.

Hal ini membawa kerugian yang besar bagi daerah. Satu sisi mekanisme pemilihan kepala daerah

yang demokratis telah mengantarkan kader terbaik daerah tampil mempimpin daerahnya sendiri

dengan harapan kedekatan psikologis bisa membangunkan semakin reformasi di daerah bisa lebih

sejahtera. Namun sebaliknya menyebabkan moralitas dan mentalitas aparatur di daerah mudah

tergiur dengan aliran dana pusat kepada daerah yang begitu besar. Sementara kemampuan

profesionalitas pengelolaan anggaran belum mendapatkan pelatihan sumber daya yang memadai,

sehingga banyak penyimpangan yang terjadi.

Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah ini maka suatu langka sistematis

harus di ambil. Upaya-upaya meningkatkan syarat pendidikan dan pengelaman berorganisasi

ataupun peningkatan frekuensi latihan,kursus,dan sebagainya,yang berkaitan dengan bidang tugas

yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing perlu di tingkatkan.

Page 48: Otonomi Daerah Dan

Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang menjadi persoalan bagi DPRD yaitu:

Dengan pola rekrutmen anggota DPRD yang lebih menekankan kepada aspek politis, maka ditemui

anggota DPRD yang rendah kualitasnya baik dari segi pengetahuan maupun pengalamannya.

Ada kecendrungan jadi anggota DPRD sebagai satu-satunya lapangan pekerjaan bukan

pengabdian  sehingga lebih mementingkan imbalan yang bersifat material-finansial.

Kurang ada kemauan untuk belajar bagi peningkatan kapasitas pribadi, sehingga gagasan,

pendapat ataupun pandangan hanya didasarkan kepada faktor subjektifitas.

Penguasaan yang minim tentang kedudukan, hak dan kewajiban sebagai anggota DPRD, sehingga

sering implementasinya menempatkan diri sebagai penguasa bukan wakil rakyat.

Guna mendapatkan anggota DPRD yang berkualitas, maka hendaknya dalam persyaratan menjadi

anggota DPRD ditentukan dasar pendidikan minimal yang sesuai dengan tingkat rata-rata

pendidikan masyarakat.

Perlu pemahaman bagi anggota DPRD bahwa jabatan sebagai anggota DPRD bukan merupakan

pekerjaan semata tetapi adalah jabatan kehormatan yang tidak bergantung kepada besarnya

upah/gaji yang diterima.

Adanya kewajiban bagi setiap anggota DPRD untuk mendapatkan pembekalan dan pendalaman

terhadap hal-hal yang menyangkut legislasi, anggaran dan pengawasan. Pembekalan tersebut

hendaknya dilakukan oleh institusi pemerintah atau institusi yang profesional yang telah

mendapatkan akreditasi dari pemerintah.

Penetapan Belanja DPRD sebaiknya proporsional dengan pendapatan daerah serta dalam rangka

menunaikan fungsi serta tanggungjawab sebagai wakil dan penyalur aspirasi dari rakyat.

Otonomi daerah terlaksana dengan baik bukan hanya dengan tersediannya undang-undang dan

peraturan, tetapi sangat tergantung pada sumber daya manusia yang melaksanakannya berupa

pemahamannya, kemauannya dan kemampuannya.

2.2.4.2.            Aparatur pemerintah daerah

Salah satu atribut penting yang menandai suatu daerah otonom adalah di miliki aparatur

pemerintah daerah tersendiri yang terpisah dengan aparatur pemerintah pusat yaang mampu

menyelemggarakan urusan-urusan rumah tangganya sendiri

Sebagai unsur pelaksana aparatur pemerintah daerah menduduki peranan yang sangat vital dalam

keseluruhan prose penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu tidak berlebihan bila di

katakan bahwa keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat bergantung kepada

kemampuan aparaturnya.

Dalam kenyataan tuntutan akan kualitas yang memadai belum sepenuhnya terpenuhi sehingga

akan menghambat proses penyelenggaraan otonomi daerah karena aparatur yang akan

Page 49: Otonomi Daerah Dan

bersentuhan langsung dengan tugas yang akan dilaksanakan,sehingga penyelenggaraan otonomi

daerah belum sesuai dengan yang di harapkan.

Masih rendahnya profesionalitas birokrasi, disebabkan antara lain pola rekruitmen yang belum

sempurna (menyangkut perencanaan kebutuhan dan seleksi).

Pola pembinaan karir yang belum mempunyai aturan yang jelas dan pasti, sehingga

mempengaruhi terhadap semangat dan budaya kerja birokrasi.

Penempatan pada suatu jabatan banyak dipengaruhi oleh pertimbangan like and dislike tidak the

right man on the right place, bahkan tidak didasarkan kepada kompetensi  tetapi kepada

kedekatan  dan bukan kepada pencapaian tujuan organisasi, tetapi kepentingan kekuasaan.

Masih berpengaruhnya kekuatan politik pada birokrasi daerah, sehingga loyalitas aparatur

pemerintah cenderung lebih kuat kepada kekuatan politik dari pada kepentingan masyarakat dan

menjalankan tugas pemerintahan.

Paradigma birokrasi yang masih belum banyak berubah seperti merasa sebagai penguasa tidak

sebagai pelayan, mengukur sesuatu pekerjaan hanya untuk kepentingan sesaat, ingin mencari

kelemahan aturan untuk kepentingan diri sendiri tidak berusaha menyempurnakan aturan, lebih

mau bekerja sendiri dari pada bekerja secara TIM dan tidak mengembangkan inisiatif, inovatif dan

kreasi,

Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah maka suatu langkah sistematis

perlu di ambil. Upaya-upaya peningkatan syarat pendidikan dan pengelaman berorganisasi

ataupun peningkatan frekuensi latihan,kursus dan sebagainya yang berkaitan dengan bidang tugas

yang menjadi tanggung jawab masing-masing perlu di tingkatkan. Pola rekrutmen telah membaik

khusus perencanaan pengadaan dan seleksi. Namun masih diperlukan penyempurnaan tentang

perencanaan yang diarahkan kepada kebutuhan (jumlah dan kualitas) jangka panjang.

Diperlukan pembinaan aparatur yang profesional tidak hanya melalui pendidikan atau latihan,

tetapi memberi kesempatan utama mendapat jabatan atau pekerjaan kepada aparat yang telah

memiliki profesi dibidang tugas tertentu.

Dalam menempatkan seseorang pada jabatan harus dipertimbangkan betul tentang profesinya dan

melalui suatu seleksi (psiko, kesehatan dan kompetensi). Tes kompetensi tersebut, jika

dimungkinkan oleh lembaga yang ahli dan independen.

Harus ada ketentuan yang tegas, bahwa politik tidak mencampuri penentuan penempatan untuk

jabatan-jabatan struktural.

Pola Reward and Punishment ditegakkan secara adil dan profesional, sehingga tidak terkesan sama

rata atau  diskriminatif.

Pola pembinaan karir para aparatur hendaknya ditetapkan secara jelas dengan suatu peraturan

perundangan sehingga akan menjadi pedoman dalam pembinaan aparatur di daerah.

Page 50: Otonomi Daerah Dan

22.4.3. Masyarakat

Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi setiap kebijakan yang diberlakukan, karena

masyarakat sesungguhnya adalah pelaku utama, yang langsung “bersentuhan” atau

berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, sangat naif jika kita menghendaki

suatu kebijakan berhasil tanpa melibatkan masyarakat.

Persoalannya, hanya, sampai seberapa jauh kita dapat dan perlu menyertakan masyarakat dalam

suatu kebijakan serta bagaimana membangun partisipasi aktif dari suatu masyarakat yang sedang

dilanda krisis multi-dimensi, seperti masyarakat kita dewasa ini?

Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa peran-serta masyarakat secara nyata dalam proses

implementasi Otonomi Daerah berlum begitu menonjol. Kalau pun ada, yang terjadi bukanlah

untuk menunjang kelancaran kebijakan Otonomi Daerah. Peran-serta masyarakat malah membuat

kebijakan tersebut kerap dituding sebagai biang keladi terjadinya konflik – horizontal – di daerah.

Mengapa?

Ada beberapa hal yang perlu kita kemukakan di sini berkaitan dengan partisipasi masyarakat

dalam proses kebijakan publik. Pertama, apakah suatu UU yang kita terapkan menyentuh langsung

kepentingan rakyat banyak atau tidak? Dengan kata lain, apakah UU dimaksud menguntungkan

bagi rakyat atau tidak?

Banyak masyarakat yang apatis, acuh dan bahkan menentang suatu UU, seperti aksi buruh yang

menentang UU Perburuhan dan aksi penentangan terhadap UU Lalu-Lintas Jalan Raya beberapa

waktu lalu. Bila dikaji secara mendalam, semua penentangan masyarakat dimaksud dipicu oleh

ketidak-berpihakan UU tersebut kepada masyarakat dan cenderung untuk merugikan mereka.

Kedua, kemungkinan kebijakan Otonomi Daerah, UU atau aturan pelaksanaaanya belum sampai

kepada masyarakat dan kebijakan itu baru sebagian yang dipahami oleh para pejabat dan elite

politik daerah.

Karena terpenggalnya komunikasi seperti itu, maka dapat dipahami bila Otonomi Daerah dalam

praktiknya di lapangan malah menimbulkan permasalahan. Kebijakan yang dipahami secara

sepotong-sepotong itu cenderung melahirkan “pengaturan” yang aneh pula. Contohnya,

masyarakat dewasa ini di Indramayu, Jawa Barat, sudah mengadakan rapat-rapat “persiapan”

lebaran yang menurut kabarnya akan melarang setiap kendaraan yang melalui jalur alternatif di

wilayahnya.

Apakah larangan itu akan dikaitkan dengan sejumlah pungutan sebagai solusi agar kawasan

tersebut dapat dilalui bus-bus besar, sampai sejauh ini kita belum tahu persis keputusan yang akan

mereka ambil.

Jauh sebelum masyarakat Indramayu melakukan langkah itu, nelayan di Masalembo, Jawa Timur,

telah membuat aturan bahwa nelayan daerah lain tidak boleh menangkap ikan di kawasan itu.

Kapal nelayan yang membandel, secara beramai-ramai, akan disita.

Page 51: Otonomi Daerah Dan

Kapal tangkapan itu selanjutnya akan dibakar, atau dikembalikan kepada pemiliknya dengan uang

tebusan dengan jumlah tertentu. Selain itu, berbagai macam aturan lain juga dibuat masyarakat

lainnya, yang kerap memancing munculnya konflik.

Ketiga, belum ada kesadaran kita untuk melibatkan peran-serta aktif masyarakat secara nyata.

Yang terjadi adalah bahwa masyarakat sering kita pergunakan hanya sebagai pelengkap, kalau

tidak kita sebut sebagai pelengkap penderita.

Oleh karena itu, kita pun tidak begitu heran ketika kemudian terjadi berbagai kesenjangan di

dalam masyarakat. Akibatnya, kita pun tidak perlu heran bila “kebijakan” atau pandangan antara

elite politik dan pejabat daerah sering tidak “nyambung” dengan keinginan masyarakat.

Contohnya, meskipun daerah mengeluarkan suatu Peraturan Daerah, belum tentu peraturan itu

berjalan efektif, karena visi dan misi antara yang memerintah dan yang diperintah belum sama.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin masyarakat dapat berperan-serta aktif

dalam proses kebijakan Otonomi Daerah, sementara ia tidak mengerti mengenai apa yang

dikehendaki melalui pembentukan kebijakan tersebut. Dampaknya adalah, antara lain, bongkar-

pasang Peraturan Daerah sepertinya sudah menjadi hal yang biasa.

1. Belum dipahami oleh masyarakat atau pun pemuka masyarakat bahwa otonomi daerah itu adalah

juga merupakan kewajiban dan tanggung jawab masyarakat.

2. Masih sedikit diberikan/diserahkan kepada masyarakat untuk mengelola kebutuhannya, masih

diciptakan seolah-olah masyarakat tergantung kepada pemerintah.

3. Belum dilakukannya perkuatan terhadap lembaga-lembaga masyarakat yang berorientasi kepada

ekonomi dan kesejahteraan, yang diperkuat adalah yang berorientasi kepada politik dan

kekuasaan.

Lantas, bagaimana caranya agar masyarakat dapat berperan-serta secara aktif dalam

menyumbangkan pikiran dan tenaganya berkaitan dengan implementasi Otonomi Daerah?

1        Pemberian pemahaman yang terus menerus mengenai hakikat dan tujuan Otonomi daerah

kepada pemuka masyarakat, tidak hanya berbentuk penyuluhan yang formil tetapi juga non formil,

termasuk membuat kebijakan yang lebih memberi pemahaman implementatif tentang otonomi

daerah di tingkat masyarakat.

2        Memperbesar keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan kebijakan maupun usaha-usaha

peningkatan kesejahteraan (ekonomi dan sosial).

3        Memperkuat lembaga-lembaga masyarakat dari segi manajemen dan keuangan diikuti

dengan pembinaan serta pengawasan yang terus menerus.

4        Mempermudah dan memfasilitasi masyarakat untuk menjalankan kegiatan dan usaha-usaha

yang produktif –ekonomis.

5        Menggiatkan pendidikan keterampilan dan alih teknologi untuk masyarakat.

Page 52: Otonomi Daerah Dan

Ada beberapa pendekatan yang dapat diketengahkan untuk membangun partisipasi aktif

masyarakat, yaitu: Pertama, aturan atau perundangan yang kita terapkan harus menyentuh dan

berpihak pada kepentingan masyarakat. Kita kita bisa berharap banyak bahwa masyarakat akan

mau berperan-serta aktif, sementara aturan yang ada justru cenderung memberatkan mereka. Bila

kebijakan Otonomi daerah yang diberlakukan dewasa ini belum mampu meningkatkan partisipasi

aktif masyarakat, misalnya, hal ini boleh-jadi karena UU tersebut belum menyentuh kepentingan

mereka.

Dengan keterlibatan secara aktif masyarakat dalam UU yang kita bentuk, tanpa kita ajak pun,

mereka secara otomatis akan berpartisipasi aktif. Hanya, sayangnya, dan itu yang sering terjadi,

UU atau aturan yang kita buat kerap bukan untuk kepentingan masyarakat.

Kedua, perlu publikasi yang luas dan mendalam atas setiap kebijakan yang diberlakukan. Yang kita

maksudkan publikasi disini adalah penjelasan atau sosialisasi kebijakan dimaksud kepada

masyarakat. Selama ini yang sering kita pantau dan tangkap, sosialisasi kebijakan hanya diberikan

kepada para elite politik atau pejabat tertentu, dalam jumlah yang terbatas pula, tanpa melibatkan

secara aktif peran-serta masyarakat. Padahal kita tahu, kebijakan itu adalah untuk masyarakat dan

aturan tersebut dikenakan kepada masyarakat. Sebab itu, sangat ironis jika mereka yang menjadi

obyek suatu kebijakan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan.

Kita sebut publikasi yang luas dan mendalam artinya adalah memberikan penjelasan kepada

masyarakat dengan bahasa masyarakat, yang jelas dan mudah dimengerti, karena masyarakat

kita sangat majemuk, dengan tingkat pendidikan dan penalaran yang beragam pula. Sangat tidak

masuk akal bila kita menjelaskan suatu kebijakan kepada mereka dengan bahasa ilmiah, politik,

atau pun bahasa lain yang sulit dimengerti oleh “rakyat banyak”. Bila bahasa “canggih” atau yang

tidak memasyarakat seperti itu yang kita pergunakan, hampir pasti bahwa penjelasan yang

disampaikan tidak akan sampai atau menyentuh hati mereka.

Ketiga, kita juga perlu memilih dan mempergunakan media yang tepat guna. Artinya, media yang

dikenal dan sering bersentuhan dengan masyarakat serta menggunakan bahasa rakyat akan jauh

lebih efektif daripada media lainnya. Ia dapat berupa tabloid, majalah, surat kabar, televisi, dan

bahkan para ulama dan tokoh agama dalam masyarakat.

Dengan cara atau pendekatan seperti itu, kita yakin, pesan yang hendak kita sampaikan ke

tengah-tengah masyarakat akan sampai dengan lebih baik. Media yang belum begitu banyak

dilakukan dalam rangka sosialisasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini,

misalnya, adalah dakwah, khotbah dan “ruang-ruang” pengajian. Padahal, media ini adalah

merupakan salah satu alternatif media masyarakat yang dapat dipergunakan untuk

memperkenalkan otonomi daerah secara lebih luas dan lebih efektif.

Lewat dakwah, pesan otonomi daerah akan lebih mengena, karena kesan yang ditangkap bukan

menggurui, tetapi lebih cenderung mengajak dan mengajak untuk berbuat secara konkrit untuk

kelancaran dan keberhasilan implementasi otonomi daerah. Melalui cara ini, umat diharapkan akan

berpartisipasi secara aktif bersama umat beragama lainnya.

Page 53: Otonomi Daerah Dan

Jadi, bila peran-serta aktif masyarakat dalam implementasi otonomi daerah sekarang belum

terlihat, bukan berarti bahwa mereka tidak perduli dan tidak menghendaki adanya kebijakan

tersebut. Tetapi, ada beberapa hal yang kurang kita perhatikan atau kita lupakan belakangan ini.

Harapan kita, lewat apa yang kita ketengahkan di atas sebagai “urun rembug” untuk pencapaian

tujuannya, di waktu mendatang, otonomi daerah akan dapat diterima oleh masyarakat secara baik

dan benar. Dengan demikian, partisipasi aktif masyarakat untuk kelancaran dan keberhasilan

implementasi otonomi daerah itu pun tidak perlu lagi diragukan.

2.2.5       Korupsi di Daerah

Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan

implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah.

Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang

masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri

dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai

menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh

lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana legislatif

Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan alasan

menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus ada bagi-bagi sisa

anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak dihabiskan dengan

acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata

apapun perilaku pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya

adalah tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka.

Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan barang-

barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah item barang dianggarkan

jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal

yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti

ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga

kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari dulu. Kalau

dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah setelah mereka menjabat posisi

tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat publik itu?

Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah:

1. Korupsi Pengadaan Barang

Modus :              a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.

b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.

1. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)

Modus :                   a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.

b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.

Page 54: Otonomi Daerah Dan

1. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan

sebagainya.

Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.

1. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)

Modus :           a. Pemotongan dana bantuan sosial

b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).

5. Bantuan fiktif

Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari

pemerintah ke pihak luar.

6. Penyelewengan dana proyek

Modus : a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.

b. Memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.

7. Proyek fiktif fisik

Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu

nihil.

8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.

Modus : a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.

b. Penetapan target penerimaan

2.2.6 Adanya potensi munculnya konflik antar daerah

Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah,yaitu konflik horizontal yang terjadi

antara pemerintah provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai akibat dari penekanan

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa tidak ada hubungan hierarkhis

antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten

/kota menganggap kedudukannya sama dan tidak ta’at kepada pemerintah provinsi.Ada arogansi

pemerintah kabupaten /kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari pemerintah

kabupaten /kota.

Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena primordial

kedaerahan semakin kuat.Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daearah

yang menyangkut pemekaran daerah,pemilihan kepala daerah,rekruitmen birokrasi lokal dan

pembuatan kebijakan lainnya.

Page 55: Otonomi Daerah Dan

Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik. Paham pelimpahan wewenang

yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman

penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan daerah

kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya

dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan

perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah

tersulut. Di era otonomi darah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana.

Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu

provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan

seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi.

Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar

karena melalui otonomi daerah campur tangan  asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-

desa. Melalui otonomi daerah, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-

kampung.

Sebenarnya pemberian otonomi dan desentralisasi politik pada daerah tidak otomatis menjadi

solusi untuk mempererat integrasi nasional. Bahkan sebaliknya memberi ruang bagi tumbuhnya

semangat kedaerahan yang berlebihan. Hal ini terjadi karena pola hubungan antar etnis di

Indonesia selama ini tidak dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam dan komprehensif

mengenai pemaknaan terhadap karakteristik masingmasing etnis. Yang mengemuka justru pola-

pola stereotip yang mengarah pada prasangka satu sama lain. Tidak ada mekanisme yang dapat

mempersatukan etnis yang satu dengan etnis yang lain secara alamiah, bahkan mekanisme pasar

sekaligus didasarkan atas etnisitas. Misalnya di daerah Nusa Tenggara Timur, pembagian kerja

antara pedagang sayur dengan pedagang daging didasarkan atas etnisitasnya.

Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era transisi ini belum menempatkan daerah

sebagai ruang politik tetapi sebagai ruang kultural. Akibatnya, proses politik dan relasi kekuasaan

di daerah pun didasarkan pada pola-pola hubungan primordial. Keinginan untuk dipimpin oleh

putra daerah merupakan kewajaran dalam ruang kultural, tapi tidak dalam ruang politik karena

ruang politik mensyaratkan persamaan hak-hak warga negara di mana pun ia berdomisili.

Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai kesatuan nilai,

kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga mengakui

kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio-kultural, di mana setiap masyarakat dan

lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi,

budaya, dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman inilah yang

kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa etnisitas. Sedikit banyak

karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik dan terfragmentasi, turut mempengaruhi

tumbuh dan berkembangnya etnonasionalisme.

Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam proses yang linear tanpa adanya potensi bagi

terjadinya cross-cutting afiliation. Akibatnya, tidak ada ruang bagi bertemunya berbagai etnis

secara sosial. Sebagai misal, seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan Muslim, pasti akan

bersekolah di pesantren atau sekolah yang berlatar agama (Madrasah Tsanawiyah, Madrasah

Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi Islam, dan secara sosial

Page 56: Otonomi Daerah Dan

kemudian bergabung dengan organisasi-organisasi bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Secara

politik, berlakunya politik aliran menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memilih

partai Islam. Dengan demikian, jelaslah bahwa pola interaksi antar etnis menjadi sulit dilakukan

karena tidak ada ruang baginya untuk mengenal etnis lain, apalagi memahami etnis lain di luar

stereotip yang selama ini mengemuka. Maka yang kemudian timbul dan menguat adalah identitas

etnisnya dan bukan identitas kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.

2.3                      Penyelesaian permasalahan otonomi daerah di Indonesia

Pada intinya, masalah – masalah tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas

dari keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer melalui

intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak lama dan akan

terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul dipermukaan sekarang, tidak lain karena

momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk itu. Otonomi telah menciptakan

kesempatan untuk mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para

pahlawan baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk bertindak semau gue.

Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan

alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif

bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi perusahaan daerah.

Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui alternatif ini. Akan tetapi,

jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain.

Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah tidak mempunyai keinginan

kuat (strong will)untuk melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping

itu, ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku boros menjadi hemat.

Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena

kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah

cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-

prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak

bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa

menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui

privatisasi.

Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap

pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Saya punya hipotesis bahwa pemerintah daerah atau

pejabat publik lainnya, termasuk legislatif, pada dasarnya kurang bisa dipercaya, lebih-lebih untuk

urusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah sekalipun terdengar

ada institusi pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat.

Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat publik, yang

jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat pembayar pajak yang diwakilinya.

Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat justru bertindak bertentangan dengan prinsip-

prinsip hukum dan mengkhianati nurani keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang

kepala daerah atau pejabat publik lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya

Page 57: Otonomi Daerah Dan

terbukti melakukan pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atawa hibah dalam

kaitan jabatan yang dipangkunya.

Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru di

bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah Otonomi Daerah tanpa harus

mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi

masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud.

1. Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi Pembangunan di daerah.

Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan membuat pemerataan pembangunan antar

daerah.

2. Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan mengadakan

kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan bendera merah putih.

3.  Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi yang dilakukan

kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat kepala daerah melakukan korupsi.

4.  Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan peraturan diatasnya

yang lebih tinggi.

5. Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah untuk mencegah

pembentukan dinasti politik.

6. Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih mendagri yang

berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.

7. Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi birokrasi), mengadakan

pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan efisiensi anggaran.

8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta mencari dari sektor lain

seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

BAB III

PENUTUPAN

3.1. Kesimpulan

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan

segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.Dimana untuk mewujudkan keadaan

tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada

daerah untuk mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya, kecuali untuk persoalan-

persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif

keutuhan negara- bangsa. Dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan  

Ketetapan MPR  No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang

antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan

menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah otonom untuk

menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan

dari pemerintahan pusat. Bahkan,kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula

dalam materi perubahan Pasal 18UUD 1945.

Page 58: Otonomi Daerah Dan

Adapun dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum

di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara

pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang

pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak

permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-

permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat

tercapai.

3.2. Saran

Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:

1. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan

otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan

antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah.

2.  Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan

pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat.

3. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan.

Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan

mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan

dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah.

Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, masyarakat juga perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka

menyukseskan pelaksanaan Otonomi Daerah.

Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya membuang jauh-

jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya dan lebih

mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak bertindak egois

dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

 Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi, kerjasama LAN – Depdagri.

Seminar Desentralisasi Pemerintahan “Inventarisasi Penyerahan Urusan Pemerintahan” Refleksi 10

tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda – Depdagri.

Marzuki, M. Laica, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI – Jurnal

Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″, Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi RI.

Siregar, Faris. 2011. Hambatan Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Darihttp://catatankuliahpraja.blogspot.com/2011/09/hambatan-pelaksanaan-otonomi-daerah.html,

dikutip pada 27 Maret 2012

Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif Masyarakat dalam Otonomi Daerah.

Dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437, dikutip pada 27 Maret 2012

Page 59: Otonomi Daerah Dan

Lubis, Rusdi. 2011.PEMBINAAN SDM UNTUK PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.

Dhttp://www.harianhaluan.com/index.php?

option=com_content&view=article&id=2474:pembinaan-sdm-untuk-pelaksanaan-otonomi-

daerah&catid=11:opini&Itemid=83, dikutip pada 27 Maret 2012

Undang-Undang No. 22/1999

Undang-Undang No. 32/2004

Undang-Undang No. 33/2004