otsu - thresholding lengkap kap kap

of 125 /125
i DETEKSI OSTEOPOROSIS DENGAN TRESHOLDING METODE OTSU PADA CITRA X-RAY TULANG RAHANG SKRIPSI Oleh : SRI CAHYANINGSIH NIM : 04540003 JURUSAN FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2010

Author: capphu-chinoo

Post on 29-Oct-2015

387 views

Category:

Documents


31 download

Embed Size (px)

TRANSCRIPT

  • iDETEKSI OSTEOPOROSIS DENGAN TRESHOLDING

    METODE OTSU PADA CITRA X-RAY TULANG RAHANG

    SKRIPSI

    Oleh :

    SRI CAHYANINGSIH

    NIM : 04540003

    JURUSAN FISIKA

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

    2010

  • ii

    DETEKSI OSTEOPOROSIS DENGAN TRESHOLDING

    METODE OTSU PADA CITRA X-RAY TULANG RAHANG

    SKRIPSI

    Diajukan Kepada :

    Universitas Islam Negeri Malang

    Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam

    Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)

    Oleh :

    SRI CAHYANINGSIH

    NIM : 04540003

    JURUSAN FISIKA

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

    2010

  • iii

    DETEKSI OSTEOPOROSIS DENGAN TRESHOLDINGMETODE OTSU PADA CITRA X-RAY TULANG RAHANG

    SKRIPSI

    Oleh :SRI CAHYANINGSIH

    NIM : 04540003

    Telah Disetujui Oleh :

    Pembimbing I

    DR. Agus Mulyono, S.Pd, M. KesNIP. 19750808 199903 1 003

    Pembimbing II

    DR.Munirul Abidin, M. AgNIP. 19720420 200212 1 003

    Malang, 28 April 2010

    MengetahuiKetua Jurusan Fisika

    Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN)Maulana Malik Ibrahim Malang

    Drs. M. Tirono, M.SiNIP. 19641211 199111 1 001

  • iv

    HALAMAN PENGESAHAN

    DETEKSI OSTEOPOROSIS DENGAN TRESHOLDING METODE OTSUPADA CITRA X-RAY TULANG RAHANG

    SKRIPSI

    Oleh :Sri CahyaningsihNIM : 04540003

    Telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi danDinyatakan Diterima Sebagai Salah Satu Persyaratan

    Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)

    Malang, 28 April 2010

    Susunan dewan Penguji: Tanda Tangan

    1. Penguji Utama : Imam Tazi, M.Si (....................)

    2. Ketua Penguji : Farid Samsu H, S.Si (....................)

    3. Sekr. Penguji : DR. Agus Mulyono, M. Kes (....................)

    4. Anggota Penguji : DR.Munirul Abidin, M. Ag (....................)

    Mengetahui dan MengesahkanKetua Jurusan Fisika

    Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN)Maulana Malik Ibrahim Malang

    Drs. M. Tirono, M. SiNIP. 19641211 199111 1 001

  • vPERSEMBAHAN

    Alhamdulillah, atas iringan doa dan dukungannya sehingga karya kecil ini dapat

    terselesaikan. Izinkan disini Aning persembahkan karya kecil ini untuk:

    Kedua orang tua tercnta; Ayahanda Teguh dan Ibunda Rusmi

    yang selalu ada dan berjuang dalam memberikan motivasi untukku

    Serta buat Mbak Hida, Mas Tio, Adek_q Rahma, Kedua Keponakanku (Tsabita n Tsania)

    Serta seluruh keluarga yang selalu memberi warna dalam hidupku

    Seluruh Dosen Fisika yang dengan tulus telah menyalurkan ilmunya kepadaku selama study

    dan penyusunan skripsi ini

    Teruntuk Someone yang menyayangiku, seseorang yang setia menemaniku dalam mencari

    arti kehidupan serta tanpa lelah selalu memotivasiku selama ini

    Teman2 seperjuangan Fisika (Komputasi and Instrumenstasi) 2004

    serta seluruh komunitas Fisika UIN MALIKI Malang

    Matur suwun atas semua pengalaman yang diberikan selama ini,

    Yuk, Fisika lebih diramaikan lagi dengan segala kreatifitas yang ada. Oyieee..

    Teman2 kost Kertopamuji 1A thanks for u All

    Untuk semuanya, untuk semangat n ketawanya yang menghibur di hari-hari penuh

    perjuangan n cobaan dalam penyelesaian skripsi ini

    Dan semua pihak baik yang telah membantu serta mendukung

    dalam penyelesaian skripsi ini

    Thanks Very Much

  • vi

    MOTTO

    Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan

    baginya jalan keluar (QS Ath-Thalaaq : 2)

    Dengan usaha yang keras saya pasti bisa melakukan itu

    Kesempatan tidak akan datang untuk yang kedua kali

    Jikalau gagal saya akan mendapatkan pengalaman berharga

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah SWT atas

    limpahan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat

    terselesaikandengan judul:DETEKSI OSTEOPOROSIS DENGAN

    TRESHOLDING METODE OTSU PADA CITRA X-RAY TULANG

    RAHANG , sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

    (S.Si).

    Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kehariban junjungan kita

    Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa petunjuk kebenaran seluruh umat

    Islam yaitu Ad-Din Al-Islam yang kita harapkan syafaatnya di dunia dan akherat.

    Penulis menyadari bahwa baik dalam perjalanan study maupun dalam

    penyelesaian skripsi ini banyak memperoleh bimbingan dan motivasi dari

    berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa

    syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

    1. Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku rektor Universitas Islam Negeri (UIN)

    Maulana Malik Ibrahim Malang.

    2. Prof. Dr. Sutiman Bambang,S.U.,D.Sc, selaku Dekan Fakultas Sains dan

    Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim

    Malang.

    3. Drs. M. Tirono, M.Si, selaku Ketua Jurusan Fisika Universitas Islam

    Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

    4. DR. Agus Mulyono,S.Pd,M.Kes, selaku dosen pembimbing yang memberi

    masukan, saran serta bimbingan dalam proses menyelesaikan skripsi ini.

  • viii

    5. DR. Munirul Abidin,M.Ag, selaku dosen pembimbing Integrasi Sains dan

    Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang,

    yang telah memberikan bimbingan agama dan mengarahkan penulisan

    skripsi ini.

    6. Seluruh dosen Fisika yang telah banyak memberikan ilmunya dan motivasi

    yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

    7. Bapak, Ibu serta seluruh keluarga yang selalu membimbing, mendidik,

    mengarahkan dan mendoakan sampai detik-detik penulisan skripsi ini.

    8. Teman-teman Fisika 2004 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan

    satu persatu yang telah menjadi motivator demi selesainya penyusunan

    skripsi ini.

    Tiada kata yang dapat penulis haturkan kecuali Jazaakumullah Ahsanal

    Jazaa semoga semua amal baiknya diterima Allah SWT.

    Penulis sadar bahwa tidak ada sesuatu pun yang sempurna kecuali Allah

    SWT. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang

    bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah ilmu

    pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.

    Amin Ya Rabbal Alamin

    Malang, April 2010

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

    HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii

    HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iv

    HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... v

    MOTTO ......................................................................................................... vi

    KATA PENGANTAR...................................................................................vii

    DAFTAR ISI.................................................................................................. ix

    DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi

    DAFTAR GAMBAR.....................................................................................xii

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................xii

    ABSTRAK .................................................................................................... xiv

    ABSTRAC...................................................................................................... xv

    BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

    1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 7

    1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 8

    1.4 Manfaat Penelitian................................................................ ............ 8

    BAB II : KAJIAN PUSTAKA...................................................................... 9

    2.1 Tulang ............................................................................................. 9

    2.2 Osteoporosis .................................................................................... 11

    2.3 Sinar-X............................................................................................. 17

    2.4 Pengolahan Citra.............................................................................. 18

    2.4.1 Citra ........................................................................................... 19

    2.4.2 Segmentasi Citra........................................................................ 20

    2.4.2.1 Histogram Citra ................................................................... 21

    2.4.2.2 Ekualisasi Citra.................................................................... 23

    2.4.2.3 Tresholding .......................................................................... 24

  • x2.5 Metode Otsu..................................................................................... 30

    BAB III : METODE PENELITIAN............................................................. 34

    3.1 Tempat dan Waktu Penelitian........................................................... 34

    3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 34

    3.3 Sampel Penelitian ............................................................................. 34

    3.4 Tahapan Implementasi...................................................................... 35

    3.4.1 Skema Kerja .............................................................................. 35

    3.4.2 Perancangan Perangkat Lunak................................................... 36

    BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 44

    4.1 Hasil Penelitian................................................................................. 44

    4.1.1 Citra X-Ray Tulang Rahang ..................................................... 44

    4.1.2 Analisis Ekualisasi .................................................................... 45

    4.1.3 Analisis Proses Otsu ................................................................. 48

    4.1.4 Analisis Thresholding ............................................................... 51

    4.1.5 Tahapan Implementasi .............................................................. 53

    4.2 Pembahasan Hasil Penelitian............................................................ 60

    BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 72

    5.1 Kesimpulan....................................................................................... 72

    5.2 Saran ................................................................................................. 72

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 4.1 Citra hasil ekualisasi ....................................................................... 46

    Tabel 4.2 Citra hasil Otsu................................................................................ 50

    Tabel 4.3 Hasil Thresholding.......................................................................... 53

    Tabel 4.4 Prosentase Piksel Putih dan klasifikasi Osteoporosis Dengan

    Thresholding Metode Otsu Dan Hasil DXA .................................. 59

    Tabel 4.5 Jumlah piksel warna putih dan hitam prosentase warna putih dari

    setiap citra....................................................................................... 65

    Tabel 4.6 Klasifikasi prosentase warna putih dari setiap citra........................ 67

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Struktur tulang............................................................................. 11

    Gambar 2.2 Tulang normal dan osteoporosis ................................................. 14

    Gambar 2.3 Contoh skala yang digunakan pada grayscale ............................ 19

    Gambar 2.4 Citra x-ray dental panoramic radiography .................................. 20

    Gambar 2.5 Histogram citra ............................................................................ 21

    Gambar 2.6 Image original dan hasil thresholding......................................... 27

    Gambar 2.7 Contoh pengambilan nilai thresholding dengan metode Otsu .... 34

    Gambar 2.8 Contoh hasil thresholding dengan metode Otsu pada tulang

    Rahang......................................................................................... 34

    Gambar 3.1 Blok diagram sistem pengenalan................................................. 36

    Gambar 3.2 Proses ekualisasi.......................................................................... 38

    Gambar 3.3 Proses Otsu.................................................................................. 40

    Gambar 3.4 Proses Thresholding .................................................................... 42

    Gambar 4.1 Citra x-ray tulang rahang............................................................. 44

    Gambar 4.1 Objek citra yang akan digunakan untuk analisa dengan thresholding

    dengan metode Otsu pada tulang.................................................. 45

    Gambar 4.3 Splash Screen ............................................................................... 53

    Gambar 4.4 Form utama aplikasi .................................................................... 54

    Gambar 4.5 Memilih image tulang ................................................................. 57

    Gambar 4.6 Pengujian tulang.......................................................................... 58

    Gambar 4.7 Form setup aplikasi ..................................................................... 58

  • xiii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Splash Screen ........................................................................... 76

    Lampiran 2 Form Utama Aplikasi ............................................................... 76

    Lampiran 3 Memilih Image Tulang............................................................. 77

    Lampiran 4 Pengujian Tulang...................................................................... 77

    Lampiran 5 Form Setup Aplikasi................................................................. 78

    Lampiran 6 Data Citra Tulang Rahang........................................................ 78

    Lampiran 7 Data Citra Tulang Jari Rahang Asli dan Citra Hasil DXA,

    Ekualisasi serta Otsu ................................................................ 80

    Lampiran 8 Jumlah Piksel Warna Putih Dan Hitam Prosentase Warna Putih

    dari Citra Tulang Rahang ......................................................... 81

    Lampiran 9 Klasifikasi prosentase warna putih dari setiap citra ................. 82

    Lampiran 10 Listing ekualisasi ...................................................................... 83

    Lampiran 11 Listing proses otsu .................................................................... 83

    Lampiran 12 Listing thresholding ................................................................ 84

    Lampiran 13 Listing setup............................................................................ 85

    Lampiran 14 Listing Program keseluruhan.................................................. 85

  • xiv

    ABSTRAK

    Cahyaningsih, Sri. 2010. Deteksi Osteoporosis Dengan Thresholding Metode Otsu Pada Citra X-Ray Tulang Rahang. Skripsi. Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.Pembimbing : 1. DR. Agus Mulyono, S.Pd, M.Kes

    2. DR. Munirul Abidin, M. Ag

    Kata Kunci: Osteoporosis, Thresholding, Metode Otsu

    Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit silent epidemic, yang berarti pengeroposan tulang yang berlangsung secara diam-diam dan terus menerus. Untuk melakukan diagnosa dini terhadap osteoporosis tidak mudah, karena tidak ada gejala yang khas. Gold standar untuk diagnosis osteoporosis di Indonesia dengan menggunakan Dual X-ray Absorptiometry (DXA), tetapi alat ini masih terbatas. Pemeriksaan radiologi konvensional (morfometri) merupakan salah satu sarana diagnostik osteoporosis yang relatif murah dan tersebar merata di Indonesia. Akan tetapi, untuk membacanya hanya bisa dilakukan oleh dokter ahli tulang dan ketajaman mata sangat berpengaruh terhadap hasil yang didapatkan. Sehingga perlu dilakukan computer vision untuk membaca foto rontgen agar hasil yang didapatkan lebih akurat.

    Tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah untuk menghasilkan metode baru untuk deteksi osteoporosis dengan memanfaatkan citra x-ray tulang rahang dengan analisa thresholding metode Otsu dan dari metode tersebut dapat diketahui tingkat akurasi kebenaran yang diperoleh, sehingga dapat dipergunakan sebagai acuan layak tidaknya metode ini digunakan sebagai metode untuk mendeteksi osteoporosis.

    Penelitian ini menggunakan 19 citra x-ray tulang rahang dari 19 orang wanita menopause. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode thresholding metode otsu dan hasilnya dibandingkan dengan hasil DXA.

    Teknik yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi ekualisasi, otsu dan thresholding. Dalam proses ekualisasi citra akan ditajamkan antara bagian yang hitam dan putih, sedangkan proses otsu bertujuan untuk mencari nilai thresholdyang tepat. Dan thresholding akan mengekskusi citra dimana citra berdasarkannilai ambangnya. Pada analisis DXA dari 19 citra x-ray tulang rahang diperoleh hasil 8 tulang normal dan 13 tulang osteoporosis. Sedangkan dari pengujian dengan mengunakan thresholding metode otsu, maka pada 19 citra x-ray, mendapatkan hasil 6 tulang normal dan 13 tulang osteoporosis serta akurasi kebenaran diperoleh 89,47%.

  • xv

    ABSTRACT

    Cahyaningsih, Sri. 2010. Detection of Osteoporosis With Otsu Thresholding Method in X-ray image of jaw bones. Thesis. Department of Physics, Faculty of Science and Technology. State Islamic University (UIN) Malang Maulana Malik Ibrahim.Advisors: 1. DR. Agus Mulyono, S. Pd, M. Kes

    2. DR. Munirul Abidin, M. Ag

    Keywords: Osteoporosis, Thresholding, Otsu Method

    Osteoporosis or brittle bone disease is a silent epidemic, which means bone loss that took place quietly and persistently. To make early diagnosis of osteoporosis is not easy, because there are no typical symptoms. Gold standard for diagnosis of osteoporosis in Indonesia by using Dual X-ray Absorptiometry (DXA), but the tool is still limited. Conventional radiological examination (morphometry) is one diagnostic tool for osteoporosis is relatively cheap and spread evenly in Indonesia. However, to read it can only be done by doctors and chiropractors sharpness of the eyes is very influential on the results obtained. So that needs to be done on computer vision for reading x-rays to get more accurate results.

    Objectives to be achieved in this paper is to generate new methods for detection of osteoporosis by using x-ray image of the jawbone with the analysis of Otsu thresholding method and the method can know the truth level of accuracy obtained, so it can be used as a reference for the proper of this method is used as a method for detecting osteoporosis.

    This study uses 19 X-ray image of the jaw bone of 19 postmenopausal women. The data obtained were then analyzed by thresholding method, Otsu method and the results were compared with results of DXA.

    The technique applied in this research include equalization, and Otsu thresholding. In the equalization process of the image will be sharpened between the black and white, while Otsu process aims to find an appropriate threshold value. And thresholding will mengekskusi image where the image based on threshold values. In the DXA analysis of 19 x-ray image of the jaw bone to normal bone obtained 8 and 13 bones of osteoporosis. While the tests using the Otsu thresholding method, then at 19 x-ray image, get the 6 and 13 normal bone osteoporosis bones truth and accuracy of 89.47% was obtained.

  • 1BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Tubuh manusia terdiri dari susunan tulang, dimana tulang adalah organ

    yang sudah terbentuk sejak masih dalam kandungan yang kemudian berkembang

    terus-menerus sampai dekade kedua sehingga menjadi susunan yang teratur.

    Fungsi dari organ ini sebagai organ yang mendukung struktur tubuh, melindungi

    organ-organ internal serta memungkinkan pergerakan atau perpindahan yang

    dikarenakan sebagai tempat melekatnya otot-otot.

    Allah swt telah menceritakan proses penciptaan manusia di dalam Al-

    Quran secara rinci. Allah berfirman dalam surat Al-Muminun;

    Artinya:Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati

    (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang

    disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami

    jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal

    daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang

    belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia

    makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang

    Paling Baik. (Al-Mukminun : 12-14)

  • 2Dari ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa janin mengalami pertumbuhan dan

    perkembangan yang sangat cepat dan selain itu juga berlangsung serangkaian

    proses pembentukan organ untuk menjadi bentuk yang lebih sempurna. Dalam

    tahapan perkembangan janin dalam rahim ibu yang bermula dari jaringan tulang

    rawan ketika masih pada embrio, kemudian jaringan tulang tersebut mulai

    mengeras dan akhirnya menjadi tulang keras. Selanjutnya tulang-tulang ini

    dibungkus oleh sel-sel otot. Allah swt menjelaskan perkembangan ini dalam ayat:

    "dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu

    Kami bungkus dengan daging". Maha benar Allah swt yang telah menurunkan Al-

    Quran dengan ilmunya.

    Prof. Dr. Hanifah Wijosastro, SPOG menjelaskan bahwa para dokter ilmu

    kandungan menemukan dasar diciptakannya manusia yang bersumber dari tulang

    sulbi, yaitu tulang belakang laki-laki dan tulang dada perempuan, yaitu tulang

    rusuk perempuan. Penemuan ini selaras dengan firman Allah dalam surat Ath-

    Thariq :

    Artinya:Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia

    diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-

    laki dan tulang dada perempuan ( Ath-Thariq: 5-7)

    Melalui konsep embriologi yang tersurat di dalam Al-Quran dapat

    dipelajari bahwa Allah swt menciptakan manusia melalui beberapa proses untuk

    memperoleh bentuk yang sempurna. Dan para dokter kandungan membuktikan

  • 3bahwa semua yang disebutkan di dalam Al-Quran dan hadits-hadits Rasululullah

    saw tentang proses penciptaan manusia adalah sesuai dengan yang ditemukan

    pada ilmu modern.

    Dengan bertambahnya usia dan dipengaruhi hormon maka tulang akan

    mengalami perkembangan. Tetapi jika produksi hormon menurun dan disertai

    dengan kemunduran fungsi pencernaan, gaya hidup yang tidak sehat, kurangnya

    asupan kalsium dan fosfor, serta berkurangnya aktivitas fisik maka akan

    berpengaruh terkena osteoporosis. Osteoporosis atau keropos tulang merupakan

    penyakit kronik yang ditandai dengan rendahnya massa tulang yang disertai

    perubahan mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang

    dapat menimbulkan kerapuhan tulang, sehingga tulang mudah retak atau bahkan

    patah tulang. Patah tulang sering terjadi adalah pada pergelangan tangan, tulang

    belakang, serta tulang pinggul (Zaviera, 2007).

    Untuk melakukan diagnosa dini terhadap osteoporosis tidak mudah, karena

    tidak ada gejala yang khas. Kebanyakan pasien tidak menyadari bahwa menderita

    penyakit ini. Mereka baru menyadari ketika tulang sudah sedemikian lemah dan

    rapuh, sehingga apabila terjadi persinggungan atau kecelakaan (terjatuh) dapat

    menyebabkan patah tulang. Dengan gejala yang tidak diketahui itu, tidak

    berlebihan jika penyakit ini disebut silent disease (penyakit diam-diam).

    Saat ini osteoporosis merupakan masalah kesehatan dunia (global issue),

    karena tidak hanya menyerang kelompok wanita yang berusia lanjut tetapi juga

    pada kelompok wanita yang berusia lebih muda yang mengalami penghentian

    siklus menstruasi. Hasil penelitian terakhir menunjukkan kecenderungan

  • 4prevalensi (keadaan umum) pada pria meningkat dibandingkan penelitian

    sebelumnya. Prevalensi tertinggi dari kelompok yang terkena osteoporosis

    terdapat pada kelompok usia lanjut. Dengan meningkatnya taraf hidup

    masyarakat, akan berpengaruh terhadap meningkatnya usia harapan hidup

    sehingga populasi lansia akan meningkat. Dampak yang akan ditimbulkan adalah

    akan terjadi peningkatan kasus osteoporosis. Sekitar 80% penderita penyakit

    osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita muda yang mengalami penghentian

    siklus menstruasi (amenorrhea). Sedangkan yang 20% penyakit osteoporosis pada

    pria yang juga dipengaruhi hormon estrogen. Bedanya dengan wanita, laki-laki

    tidak mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat.

    Dengan tidak diketahuinya tanda-tanda osteoporosis, maka penting untuk

    dilakukan deteksi dini akan kehilangan massa tulang yang merupakan kunci

    dalam usaha pencegahan osteoporosis. Pengukuran bone mineral density (BMD)

    adalah cara yang efektif dalam diagnosis dan juga untuk memantau efek

    pengobatan. Beberapa teknik radiologi yang dapat digunakan untuk menentukan

    bone mineral density antara lain X-Ray konvensional (morfometri), Radioisotop,

    Quantitative Computed Tomography (QCT ), Dual X-ray Absorptiometry (DXA),

    total body neutron activation analysis, Magnetic Resonansi Imaging (MRI),

    Sonodensitometri.

    Saat ini di Indonesia DXA digunakan sebagai gold standar untuk diagnosa

    osteoporosis, akan tetapi jumlahnya masih terbatas hanya terdapat di beberapa

    kota besar dan juga biaya pemeriksaannya relatif mahal. Oleh karena itu

    pemeriksaan radiologi konvensional masih mempunyai peranan penting dalam

  • 5diagnosa osteoporosis dan merupakan sarana/alat yang relatif tersebar merata di

    seluruh Indonesia dan biaya yang relatif murah (Ilyas, 2005).

    Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan memanfaatkan citra

    x-ray hasil pemeriksaan radiologi untuk diagnosa dini osteoporosis. Penelitian

    yang telah dilakukan oleh Arifin (2006) menyebutkan bahwa dengan mengukur

    ketebalan mandibular cortex citra dental panoramic radiograph dengan bantuan

    komputer dapat digunakan untuk mendeteksi osteoporosis. Kemudian dilanjutkan

    dengan penelitian Agus (2008) yang menyebutkan bahwa dengan analisis tekstur

    dari gabungan citra x-ray tulang tangan, tulang lutut, dan tulang rahang dapat

    digunakan untuk melengkapi interpretasi hasil x-ray konvensional sehingga dapat

    digunakan untuk mendeteksi osteoporosis.

    Hasil pemeriksanaan radiologi yang berupa foto citra x-ray dapat dianalisa

    dengan menggunakan beberapa metode/pendekatan, antara lain dengan karakter

    dari graph (Zainal, 2009), metode wavelet (Bulkis, 2008), metode region growing

    (Sikna, 2009), metode otsu (Bertalya, 2008), pendekatan thresholding (Marvin,

    2009), dan lain lain.

    Penggunaan analisis dengan memanfaatkan thresholding metode Otsu dari

    citra x-ray telah dilakukan Darma (2004) yang menyebutkan bahwa metode Otsu

    dapat digunakan dalam binerisasi citra tangan. Kemudian Marvin dan Semuiil

    (2009) juga menyebutkan bahwa nilai threshold pada segmentasi warna dapat

    digunakan untuk mendeteksi kanker Trofoblas dengan tingkat akurasi sebesar

    90%. Penelitian lainnya juga dilakukan Dewi yang menyebutkan bahwa dengan

    pengambangan untuk meminimalisasikan varian dari piksel hitam dan putih

  • 6mengenai perbandingan kinerja metode deteksi tepi pada citra wajah yang dapat

    memanfaatkan metode Otsu.

    Analisis dengan memanfaatkan thresholding merupakan salah satu cara

    untuk mengenali suatu citra sesuai dengan nilai ambangnya. Dalam analisisnya,

    dengan memanfaatkan metode Otsu untuk menentukan nilai ambang dari suatu

    citra. Metode Otsu merupakan sebuah metode untuk menghitung nilai ambang T

    secara otomatis berdasarkan citra masukan. Pendekatan yang digunakan dalam

    metode Otsu adalah dengan melakukan analisis diskriminan yaitu menentukan

    suatu variabel yang dapat membedakan antara dua atau lebih kelompok yang

    muncul secara alami.

    Dalam prosesnya, metode Otsu akan menghasilkan citra yang memiliki

    dua nilai tingkat keabuan yaitu hitam dan putih. Permasalahan utama dalam

    metode Otsu adalah menentukan nilai ambang (threshold). Nilai ini akan

    digunakan untuk mempartisi/membagi citra gray scale ke dalam dua nilai yaitu

    hitam dan putih. Penentuan nilai ambang akan ditetapkan pada suatu nilai tertentu

    (fixed threshold) yang diterapkan pada citra tulang rahang sehingga dapat

    digunakan untuk proses penentuan ciri-ciri osteoporosis pada citra tulang rahang.

    Dalam penelitian ini akan menghitung intensitas keabuan piksel yang berdasarkan

    dari nilai piksel hitam dan putih.

    Kelebihan dari metode Otsu akan memaksimalkan kecocokan dari sebuah

    threshold sehingga dapat memisahkan objek dengan latar belakangnya. Semua ini

    didapatkan dengan memilih nilai threshold yang memberikan pembagian kelas

    yang terbaik untuk semua piksel yang ada dalam image. Dasar yang digunakan

  • 7adalah dengan menggunakan histogram yang telah dinormalisasi dimana jumlah

    tiap poin pada setiap level dibagi dengan jumlah total poin pada image.

    Hasil yang nanti akan didapatkan dari proses implementasi adalah

    sekumpulan wilayah yang melingkupi citra tersebut, atau sekumpulan kontur yang

    diekstrak dari image dan diharapkan akan mendapatkan suatu ciri citra dari tulang

    yang kaitannya dengan tulang osteoporosis dan tulang normal. Serta diharapkan

    dari hasil penelitian ini akan menghasilkan suatu metode baru untuk deteksi

    osteoporosis yang lebih murah, mudah dan tepat sehingga menambah khasanah

    keilmuan.

    Berdasarkan analisa latar belakang, penulis akan mengimplementasikan

    computer vision untuk mendeteksi osteoporosis dari citra tulang rahang dengan

    menggunakan metode Otsu.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dirumuskan

    masalah sebagai berikut :

    1. Apakah analisa dengan thresholding metode Otsu dapat digunakan untuk

    mendeteksi osteoporosis pada x-ray tulang rahang?

    2. Berapakah akurasi kebenaran yang diperoleh dengan membandingkan

    hasil DXA dan thresholding metode Otsu?

  • 81.3 Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

    1. Menghasilkan metode baru untuk deteksi osteoporosis dengan

    memanfaatkan citra tulang rahang dengan analisa thresholding metode

    Otsu.

    2. Dengan mengetahui tingkat akurasi kebenaran yang diperoleh, maka dapat

    dipergunakan sebagai acuan layak tidaknya metode ini digunakan sebagai

    metode untuk mendeteksi osteoporosis.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut:

    Teoritis : Menambah khasanah keilmuan tentang analisa thresholding metode

    Otsu pada citra tulang serta aplikasi dalam bidang medis.

    Praktis : Teknologi thresholding metode Otsu dapat digunakan untuk

    melengkapi interpretasi hasil x-ray sehingga dapat digunakan untuk

    mendeteksi osteoporosis dengan lebih mudah, murah dan tepat.

  • 9BAB II

    DASAR TEORI

    2.1 Tulang

    Dalam proses penciptaan manusia ketika masih dalam kandungan, proses

    ini akan diawali lebih dahulu dengan pertemuaan sel sperma dan sel telur. Sel

    sperma diproduksi dalam alat reproduksi laki-laki sedangkan sel telur diproduksi

    dalam alat reproduksi wanita. Dalam prosesnya, sel telur akan mengeluarkan

    sebuah cairan untuk memikat sel sperma, sehingga ketika sel telur sedang

    melewati tuba palopi sekitar 15 cm darinya. Sel sperma akan menangkap sinyal

    dari sel telur, sel sperma akan berenang menuju sel telur dan terjadilah

    pembuahan.

    Setelah sel sperma masuk ke dalam sel telur maka bergabunglah DNA sel

    sperma dengan DNA sel telur dan membentuk satu sel tunggal baru bernama

    zigot. Zigot tersebut merupakan benih manusia baru dalam kandungan seorang

    ibu. Sekitar 4 hari setelah pembuahan dalam tuba palopi, zigot mencapai rahim

    sang ibu pada tempat yang tepat. Agar tidak dikeluarkan dari tubuh maka ia harus

    menempel pada rahim. Hal ini selaras dengan firman Allah swt dalam surat al-

    Muminun;12:

    Artinya : Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat

    yang kokoh (rahim).

    9

  • 10

    Dalam tahap perkembangan janin ketika masih dalam rahim ibu

    dipaparkan dalam Al Qur'an, sebagaiman yang diuraikan dalam ayat ke-14 surat

    Al Mu'minuun, bahwa jaringan tulang rawan pada embrio di rahim ibu yang pada

    mulanya tulang rawan kemudian mulai mengeras dan akhirnya menjadi tulang

    keras. Lalu tulang ini dibungkus oleh sel-sel otot. Allah menjelaskan

    perkembangan ini dalam ayat sebagai berikut:

    Artinya: "dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang

    belulang itu Kami bungkus dengan daging".

    Tulang sebagai jaringan paling tangguh dalam tubuh sehingga dapat

    menopang aktifitas tubuh merupakan salah satu keajaiban penciptaan Allah SWT.

    Dari surat Al Mu'minuun di atas mengindikasikan bahwa setelah tahap

    mudhghoh, tulang belulang dan otot akan terbentuk. Proses ini sesuai dengan

    perkembangan embriologi. Pada awalnya jaringan tulang rawan ketika masih

    dalam embrio akan mulai mengeras. Kemudian sel-sel otot yang terpilih dari

    jaringan di sekitar tulang akan bergabung dan membungkus tulang-tulang ini

    (Aceng, 2007 : 84-89).

    Peristiwa ini digambarkan bahwa ketika embrio memasuki waktu minggu

    ke-tujuh, rangka mulai tersebar ke seluruh tubuh dan tulang-tulang mencapai

    bentuknya. Pada akhir minggu ke-tujuh dan selama minggu ke-delapan, otot-otot

    akan menempati posisinya di sekeliling bentukan tulang.

  • 11

    Tulang disebut alat gerak pasif karena digerakkan oleh otot. Tetapi tulang

    tetap punya peranan penting karena gerak tidak akan terjadi tanpa adanya tulang.

    Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen utama

    pembentuk tulang (American College of Rheumatology, 2008).

    Gambar 2.1 Struktur tulang

    2.2 Osteoporosis

    Tulang merupakan jaringan dalam tubuh yang terus menerus akan

    mengalami pertumbuhan. Pada proses pertumbuhan tulang meliputi proses sekresi

    dan pemadatan untuk menyusun matrik tulang. Kekuatan tulang selain ditentukan

    oleh kandungan mineral massa tulang juga ditentukan oleh karakteristik struktural

    tulang, yang meliputi ukuran, bentuk dan susunan arsitektur tulang. Penurunan

    massa tulang selain diidentifikasi dari kepadatan tulang, juga dapat diprediksi dari

  • 12

    perubahan struktural tulang tersebut, misalnya perubahan massa bagian kortikal

    dan trabekula.

    Selain pertumbuhan, tulang juga mengalami regenerasi yaitu pergantian

    tulang-tulang yang sudah tua diganti dengan tulang yang baru yang masih muda,

    dimana proses ini berjalan seimbang sehingga terbentuk puncak massa tulang

    yang pengaturannya dilakukan oleh hormon. Tugas hormon ini adalah mengatur

    kadar kalsium dalam darah. Peningkatan kadar kalsium dalam darah akan

    meningkatkan pembentukan jaringan baru dan sebaliknya penurunan kadar

    kalsium dalam darah akan meningkatkan proses resorpsi. Serta dalam proses

    pembentukannya, tulang akan mengalami yaitu pergantian tulang-tulang yang

    sudah tua diganti dengan tulang yang baru yang masih muda, dimana proses ini

    berjalan seimbang sehingga terbentuk puncak massa tulang. Setelah puncak massa

    tulang terbentuk, tulang masih mengalami pergantian tulang yang sudah tua

    dengan tulang yang masih muda. Tetapi pada prosesnya jika tidak berjalan

    seimbang dimana tulang yang diserap untuk diganti lebih banyak dari tulang yang

    menggantikannya maka terjadi penurunan massa tulang, dan bila keadaan ini

    berjalan terus-menerus akan terjadi osteoporosis. Selain itu, osteoporosis juga

    dipengaruhi dengan bertambahnya usia yang disertai dengan kemunduran fungsi

    pencernaan, gaya hidup tidak sehat.

    Osteoporosis adalah suatu kelainan yang ditandai berkurangnya kekuatan

    tulang, sehingga menyebabkan meningkatnya resiko patah tulang (fraktur).

    Kekuatan tulang ditentukan oleh dua faktor, yaitu kepadatan (densitas) tulang dan

    kualitas tulang. Densitas ulang dapat diukur dengan berbagai macam cara,

  • 13

    sedangkan kualitas tulang belum dapat dinilai secara kuantitatif. Daerah yang

    paling sering timbul keretakan di bagian pergelangan tangan, tulang belakang

    serta tulang pinggul (Ulfah, 2008).

    Setiap jenis tulang terdiri dari bagian kortikal dan trabekula yang

    mempunyai proporsi tertentu tergantung pada jenis tulang. Terdapat perbedaan

    nyata antara daerah kortikal dan trabekula yaitu pada kortikal 80% hingga 90%

    volumenya termineralisasi. Sedangkan pada trabekula, volume tulang yang

    termineralisasi hanya 20% karena sebagian besar terdiri atas sumsum yang

    mengandung lemak dan jaringan hematopoetik. Berdasarkan besarnya massa yang

    terminerelisasi tersebut, maka bagian kortikal berfungsi mekanik sedangkan

    bagian trabekula berfungsi metabolik.

    Perubahan massa pada daerah kortikal dan trabekula berpengaruh terhadap

    kekuatan tulang yang mana disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan mineral

    yang menentukan fungsi kedua daerah tersebut. Menurut Anthoni (1998) bagian

    kortikal berfungsi mekanik sedangkan bagian trabekula adalah metabolik.

    Trabekula mempunyai keaktifan metabolik lebih besar yaitu lebih sering terjadi

    perubahan mineral dibanding kortikal sehingga mempunyai prediposisi untuk

    terjadi kekurangan massa tulang (Sari, 2001).

    Secara umum dipercaya bahwa foto x-ray dapat mendeteksi osteoporosis

    apabila defisit mineral tulangnya mencapai > 30%. Lachmann dan Welan

    melaporkan defisit mineral yang lebih kecil (8-14%) dapat dideteksi pada tulang-

    tulang dengan komponen trabekula yang tinggi (misal vertebra, femur dan

    metakarpal) sehingga cepat mengalami perubahan metabolik aktif trabekula.

  • 14

    Korpus vertebra, ujung tulang panjang dan os ilium mengandung lebih banyak

    tulang trabekular, yang mempunyai permukaan tulang yang lebih luas dan

    mempunyai keaktifan metabolik yang lebih besar dibandingkan dengan tulang

    kortikal, artinya mempunyai porositas yang lebih besar, sehingga akan lebih

    mudah kehilangan massa tulang (Agus, 2008).

    Gambar 2.2 Tulang normal dan osteoporosis

    Kelompok kerja World Health Organisation (WHO) dan consensus ahli

    mendefinisikan mengenai osteoporosis menjelaskan hanya spesifik pada tulang

    merupakan risiko terjadinya fraktur. Ini dipengaruhi oleh densitas tulang yang

    merupakan resiko terjadinya fraktur. Ini dipengaruhi oleh densitas tulang.

    Kelompok kerja WHO menggunakan teknik ini untuk melakukan penggolongan

    ukran densitas mineral tulang:

    Normal : Densitas tulang kurang dari 1 standar deviasi dibawah rata rata

    wanita muda normal (T>-1)

    Osteopenia : Densitas tulang antara 1 standar deviasi dan 2,5 standar deviasi

    dibawah rata-rata wanita muda normal (-2,5

  • 15

    Pada beberapa tahun pertama pasca menopause akan terjadi penurunan

    massa tulang yang cepat sebesar 5% pertahun pada tulang trabekular dan 2-3%

    pertahun pada tulang kortikal. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya aktifitas

    osteoklas dan didominasi oleh osteoblas dan hilangnya massa tulang 1-2% per

    tahun.

    Osteoporosis diklasifikasikan menjadi dua klasifikasi, yaitu:

    1. Osteoporosis primer

    Lebih sering pada wanita yang berhubungan dengan kelainan hormonal,

    usia yang semakin bertambah/ketuaan. Dihubungkan dengan faktor resiko

    meliputi merokok, aktifitas, pubertas tertunda, berat badan rendah, alkohol, ras

    kulit putih/asia, riwayat keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah.

    Tipe I (post menapausal)

    Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (53-75 tahun). Ditandai oleh

    fraktur tulang belakang dan berkurangnya gigi geligi. Ini disebabkan

    luasnya jaringan trabekular tersebut. Dimana jaringan trabekular lebih

    responsif terhadap defisiensi estrogen.

    Tipe II (senile)

    Terjadi pada pria dan wanita usia 70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul

    dan tulang belakang tipe wedge. Hilangnya massa tulang kortikal terbesar

    terjadi pada usia tersebut.

    2. Osteoporosis sekunder

    Osteoporosis jenis ini terjadi pada tiap kelompok umur. Penyakit ini

    disebabkan oleh tulang yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai akibat dari

  • 16

    paralisis (kelemahan) atau kondisi lainnya, yang meliputi defisiensi estrogen,

    faktor genetik dan obat-obatan (Zaviera, 2007:25-28).

    Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena tidak

    ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis lanjut..

    Gejala klinis ini sering tidak jelas, sehingga untuk mendiagnosa dini diperlukan

    pengukuran densitas atau kepadatan tulang yang umumnya menggunakan alat

    Bone Mineral. Beberapa teknik pengukuran massa tulang dan kepadatan mineral

    tulang telah dikembangkan dalam lima puluh tahun terakhir, khususnya sepuluh

    tahun terakhir ini. Semua teknik ini bergantung pada teknologi yang rumit,

    keakuratannya sangat penting karena perubahan yang kecil saja pada massa dan

    kepadatan tulang bisa mencerminkan perubahan besar di dalam kekuatan tulang.

    Densitometer merupakan salah satu cara untuk mendeteksi penyusutan massa

    tulang. Teknik pemeriksanaannya sangat sederhana, cepat dan tidak menyakitkan.

    Teknik pemeriksaan BMD paling akurat dan menjadi gold standard saat ini adalah

    teknik Dual energy X-ray Absorptiometry (DXA) (Joan, 2006:72-73).

    Remodeling tulang terjadi setiap permukaan tulang dan berlanjut

    sepanjang hidup. Jika massa tulang tetap pada dewasa, menunjukkan terjadinya

    keseimbangan antara formasi dan resorpsi tulang. Keseimbangan ini dilaksanakan

    oleh osteoblas dan osteoklas pada unit remodeling tulang. Remodeling dibutuhkan

    untuk menjaga kekuatan tulang. Osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh hormon

    sistemik dan sitokin (Zaviera, 2007:70).

    Proses remodelling tulang melibatkan Osteoklas dan Osteoblas. Osteoklas

    dapat mengeluarkan enzim yang dapat melarutkan atau menghancurkan tulang,

  • 17

    dan kemudian melepaskan mineral yang tersimpan di dalam tulang, termasuk

    kalsium. Osteoblas bertugas membentuk sel-sel tulang baru. Proses pergantian

    tulang ini berkaitan dengan pelepasan dan penambahan kalsium pada massa

    tulang. Pada saat terjadi penghancuran, terjadi pelepasan kalsium tulang ke dalam

    darah untuk dimanfaatkan oleh organ lain misalnya untuk menurunkan kadar

    kolesterol dalam darah oleh organ lain misalnya untuk menurunkan dan

    mengaktifkan vitamin K guna mempercepat proses penyembuhan. Sebaliknya

    pada proses pembentukan tulang diperlukan kalsium untuk mengisi matriks tulang

    agar tulang menjadi padat dan kuat. Apabila Osteoklas bekerja lebih aktif maka

    keseimbangan proses remodelling akan terganggu, dan akibatnya massa tulang

    berkurang perlahan, beberapa waktu kemudian menjadi keropos dan mudah patah

    (Agus, 2008 : 15 - 16).

    2.3 Sinar-X

    Sinar-X ditemukan oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tanggal 08

    Nopember 1895 yang merupakan ilmuwan Jerman sangat membantu di bidang

    medis. Pada waktu itu, Rontgen sedang mempelajari pancaran electron dari

    tabung katode. Lempeng logam yang letaknya di dekat tabung katode

    memancarkan sinar flueresens selama elektron dialirkan. Oleh sebab itu, Rontgen

    menyimpulkan bahwa sinar tersebut di sebabkan oleh radiasi dari suatu atom.

    Karena tidak dikenal dalam ilmu, maka Rontgen memberikan nama dengan

    sebutan sinar-X (Susworo, 2007).

  • 18

    Sinar-X yang dihasilkan dengan tenaga 20-40 keV mempunyai panjang

    gelombang 10-7 cm dan sinar ini dikatakan sinar-X lembut. Sinar-X yang

    dihasilkan dengan 40-125 keV mempunyai gelombang 10-8 cm. Sinar ini kerap

    digunakan untuk pemeriksaan X-ray diagnostik, manakala panjang gelombang

    yang lebih pendek lagi yang dihasilkan dengan tenaga 200-1000 keV digunakan

    dalam rawatan radioterapi yang lebih dalam (deep radiotheraphy). Sinar ini

    biasanya berukuran < 10-8 cm (hard-rays).

    Radiograf adalah gambar bayangan material yang transparan oleh radiasi.

    Sinar-X dapat menggelapkan film sehingga daerah dengan kerapatan lebih rendah

    akan terlihat lebih gelap pada negatif film daripada daerah dengan kerapatan

    tinggi. Sehingga lubang atau retak muncul sebagai daerah yang lebih gelap,

    sedangkan inklusi tembaga pada paduan aluminium muncul lebih terang. Dalam

    hal ini, lubang pada tulang dikenali dikenali sebagai gambaran tulang yang

    terkena osteoporosis.

    Manfaat sinar-X dalam ilmu kedokteran, yaitu sinar-X dapat digunakan

    untuk melihat kondisi tulang, gigi serta organ tubuh yang lain tanpa melakukun

    pembedahan langsung pada tubuh pasien. Selain bermanfaat, sinar-X mempunyai

    efek/dampak yang sangat berbahaya bagi tubuh kita yaitu apabila digunakan

    secara berlebihan karena akan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya,

    misalnya kanker. Oleh sebab itu para dokter tidak menganjurkan terlalu sering

    memakai foto rontgen secara berlebihan (Gabriel, 1996 : 282-283).

  • 19

    2.4 Pengolahan Citra

    Pengolahan citra adalah kegiatan memperbaiki kualitas citra agar mudah

    diinterpretasi oleh manusia komputer. Inputnya adalah citra dan keluarannya juga

    citra tapi dengan kualitas lebih baik daripada citra masukan misal citra warnanya

    kurang tajam, kabur, mengandung noise (misal bintik-bintik putih) sehingga perlu

    pemrosesan untuk memperbaiki citra karena akan sulit diinterpretasikan sebab

    informasi yang disampaikan menjadi berkurang. Pengolahan citra bersifat

    multidisiplin, yaitu merambah ke banyak aspek, antara lain: fisika, elektronika,

    matematika, seni, bidang medis, dan teknologi komputer (Usman, 2005 : 4-6).

    2.4.1 Citra

    Secara Harfiah, citra adalah gambar pada bidang dwimantra (dua dimensi).

    Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinu dari

    intensitas cahaya pada bidang dwimantra. Sumber cahaya menerangi objek, objek

    memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya tersebut (Munir, 2004: 2).

    Sebuah citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x,y), dimana x dan y

    adalah koordinat ruang dan amplitudo dari f dapat disebut intensitas atau gray-

    level dari sebuah citra pada titik yang terletak pada koordinat x dan y. Jika x,y dan

    nilai amplitudo dari f adalah terbatas dan dapat ditentukan nilainya maka citra

    tersebut adalah citra digital. Citra digital dibentuk dari beberapa elemen, yang

    tiap-tiap elemennya meliiki posisi dan nilai tertentu. Salah satu elemen yang

    paling sering digunakan adalah piksel. Piksel a dalah titik yang berisi nilai tertentu

    yang membentuk sebuah citra yang lokasinya ditentukan oleh kombinasi x dan y.

  • 20

    Citra gray scale adalah sebuah citra yang memiliki nilai dari putih yang

    memiliki intensitas paling besar (255) sampai hitam yang memiliki intensitas

    paling rendah (0) seperti yang terlihat pada gambar berikut (Indra, 2008).:

    Gambar 2.3 contoh skala yang digunakan pada greyscale

    Citra X-ray tulang adalah citra yang diperoleh dari alat/pesawat X-ray.

    Kualitas citra yang didapat dari alat sangat bergantung pada tegangan tinggi (kV),

    arus tabung (mA) dan waktu paparan (s) (Agus, 2008 : 21-23).

    Gambar 2.4 Citra x-ray dental panoramic radiography

    2.4.2 Segmentasi Citra

    Segmentasi citra merupakan proses yang bertujuan untuk memisahkan

    suatu daerah pada citra dengan daerah lainnya. Segmentasi mengacu pada operasi

    pemisahan sebuah citra menjadi bagian-bagian atau membagi citra menjadi bagian

    yang diharapkan termasuk objek yang dianalisis yang ada pada citra tersebut.

    Memilih bentuk dalam sebuah citra sangat berguna dalam pengukuran atau

    pemahaman citra. Secara tradisional, segmentasi didefinisikan sebagai proses

    pendefinisian jangkauan nilai gelap dan terang pada citra yang sebenarnya,

  • 21

    memilih piksel dalam jangkauan ini sebagai latar depan dan menolak sisanya

    sebagai latar belakang. Dengan demikian, citra terbagi atas dua bagian, yaitu

    bagian hitam dan bagian putih, atau warna yang membatasi setiap wilayah. Salah

    satu metode yang efektif dalam segmentasi citra biner adalah dengan memeriksa

    hubungan piksel dengan tetangganya dan memberinya label. Metode ini disebut

    pelabelan komponen. Pembagian citra menjadi beberapa daerah, berdasarkan

    sifat-sifat tertentu dari citra yang dapat dijadikan pembeda, disebut juga

    segmentasi citra. Suatu daerah dalam citra adalah sekumpulan piksel yang

    terkoneksi satu sama lain dan mempunyai sifat yang secara umum sama. Dalam

    citra ideal, sebuah daerah akan dibatasi dengan kurva tertutup, artinya objek yang

    berada di dalam citra itu tampil utuh, tidak terpotong atau menyentuh tepi bingkai

    citra. Pada prinsipnya, segmentasi daerah dan deteksi tepi membuahkan hasil yang

    sama, yaitu memisahkan objek atau objek yang menjadi pusat perhatian dalam

    menginterpresentasi suatu citra (Munir, 2004).

    2.4.2.1 Histogram Citra

    Informasi penting mengenai isi dari sebuah citra digital dapat diketahui

    dengan membuat histogram citra. Histogram citra adalah grafik yang

    menggambarkan penyebaran kuantitatif nilai derajat keabuan (grey level) piksel di

    dalam (atau bagian tertentu) dari citra. Misalkan citra digital memiliki L derajat

    keabuan, yaitu dari nilai 0 sampai L 1 (misalnya pada citra dengan kuantisasi

    derajat keabuan 8-bit, nilai derajat keabuan dari 0 sampai 255). Gambar 2.5

    memperlihatkan contoh sebuah histogram citra, yang dalam hal ini k menyatakan

    derajat keabuan dan nk menyatakan jumlah piksel yang memiliki nilai keabuan k.

  • 22

    Gambar 2.5 Histogram citra

    Pada beberapa operasi pengolahan citra jumlah piksel yang memiliki

    derajat keabuan k dinormalkan terhadap jumlah seluruh pixel di dalam citra,

    (1)

    Persamaan 1 di atas menyatakan frekuensi kemunculan relative dari

    derajat keabuan pada citra tersebut. Akan tetapi khusus untuk citra berwarna,

    histogramnya dibuat untuk setiap kanal RGB (merah, hijau, dan biru). Histogram

    citra menunjukkan banyak hal tentang kecerahan (brightness) dan kontas

    (contrast) dari sebuah gambar. Puncak histogram menunjukkan intensitas piksel

    yang menonjol. Lebar dari puncak menunjukkan rentang kontras dari sebuah citra.

    Citra yang mempunyai kontras terlalu terang (overexposed) atau terlalu gelap

    (underexposed) memiliki histogram yang sempit. Histogramnya terlihat hanya

    menggunakan setengah dari daerah derajat keabuan. Citra yang baik memiliki

    histogram yang mengisi daerah derajat keabuan secara penuh dengan distribusi

    yang merata pada setiap derajat keabuan piksel.

    Histogram adalah alat bantu yang berharga dalam pekerjaan pengolahan

    citra baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Histogram berguna antara lain

    untuk perbaikan kontras dengan teknik histogram equalization dan memilih nilai

    ambang untuk melakukan segmentasi objek (Munir, 2006 : 1-2).

  • 23

    2.4.2.2 Ekualisasi Histogram

    Salah satu cara untuk memperbaiki citra digital adalah dengan mengatur

    level dari brightness dan contrastnya. Pertama, digambarkan variasi sebuah

    brightness pada citra menggunakan histogram citra tersebut dan bagaimana suatu

    citra dapat dimanipulasi dengan merubah histogram citra tersebut.

    Histogram akan menempatkan beberapa piksel dengan brightness levelnya

    yang sesuai. Untuk piksel dengan ukuran level brightness sebesar 8-bit maka

    brightness akan memiliki grey level yang berkisar antara nol (hitam) sampai 255

    (putih). Histogram keabuan adalah suatu fungsi yang menunjukkan jumlah titik

    yang ada di dalam suatu citra untuk setiap tingkat keabuan. Absis (sumbu x)nya

    adalah tingkat keabuan, dan ordinat (sumbu y)nya adalah frekuensi kemunculan

    atau banyaknya titik dengan nilai keabuan tertentu. Sehingga histogram yang

    memiliki nilai brightness yang lebih kecil akan terlihat lebih gelap dibandingkan

    dengan yang memiliki nilai lebih besar (Balza, 2005 : 12 13).

    Ekualisasi histogram merupakan operasi peningkatan kontras yang

    optimal, kurva histogram sehingga memiliki rentang yang maksimum, dari batas

    kiri ke batas kanan histogram. Cara lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan

    kontras yang optimal adalah dengan mendistribusikan kembali skala-skala

    keabuan citra agar memperoleh kurva histogram yang datar atau seragam.

    Pada citra gray scale histogram citra hasil idealnya memiliki jumlah titik

    yang untuk setiap tingkat keabuan. Untuk citra skala keabuan k bit yang berukuran

    tinggi h dan lebar w, maka jumlah titik untuk setiap tingkat keabuan adalah

    seragam sebesar (w.h/2k). Secara matematis proses ekualisasi sebagai berikut:

  • 24

    K0 = round (2)

    dimana Ci adalah cacah komulatif nilai skala keabuan ke-i dari citra asli dan

    fungsi round adalah untuk pembulatan ke bilangan bulat terdekat (Balza, 2005 :

    87 88).

    2.4.2.3 Thresholding

    Pengambangan citra (image thresholding) merupakan metode yang paling

    sederhana untuk melakukan segmentasi. Thresholding digunakan untuk mengatur

    jumlah derajat keabuan yang ada pada citra. Proses thresholding ini pada dasarnya

    adalah proses penggubahan kuantisasi pada citra. Untuk mendapatkan hasil

    segmentasi yang bagus, beberapa operasi perbaikan kualitas citra dilakukan

    terlabih dahulu untuk mempertajam batas antara objek dengan latar belakangnya

    (Usman, 2005: 81).

    Thresholding adalah suatu proses yang digunakan untuk menghasilkan

    citra biner yaitu citra yang memiliki dua nilai tingkat keabuan, yaitu : hitam dan

    putih bergantung apakah nilai piksel asli tersebut lebih besar atau lebih kecil dari

    nilai T. Piksel akan diubah menjadi putih jika nilai tingkat keabuannya lebih besar

    daripada T, dan akan diubah menjadi hitam jika nilai tingkat keabuannya lebih

    kecil atau sama dengan T.

    Thresholding berfungsi untuk mengatur jumlah derajat keabuan pada citra

    sesuai keinginan. Misalnya, jika ingin menggunakan derajat keabuan 16, maka

    harus membagi nilai derajat keabuan dengan 16. Pada dasarnya, proses

    thresholding merupakan proses pengubahan kuantisasi citra. Dapat dirumuskan

    (Riyanto, 2005 : 24) :

  • 25

    x = b.int (3)

    b = int (4)

    dimana:

    w = nilai derajat keabuan sebelum thresholding

    x = nilai derajat keabuan setelah thresholding

    Nilai T dapat ditentukan dengan banyak cara, salah satunya adalah melalui

    perhitungan dimana nilai rata-rata jumlah piksel yang memiliki nilai di bawah T

    sama dengan nilai rata-rata piksel yang memilliki nilai di atas T. Untuk

    perhitungan ini, nilai T yang didapat untuk citra yang memiliki histogram yang

    telah ter-ekualisasi adalah berkisar antara 127 dan 128. Nilai maksimum dari T

    adalah nilai tertinggi dari sistem warna yang digunakan dan nilai minimum dari T

    adalah nilai terendah dari sistem warna yang digunakan. Untuk 256 gray level

    maka nilai tertinggi T adalah 255 dan nilai terendahnya adalah 0.

    Misal pada sebuah citra f(x,y), tersusun dari objek yang terang pada sebuah

    background yang gelap. Gray-level milik objek dan milik background terkumpul

    menjadi 2 group yang dominan, salah satu cara untuk mengambil objek dari

    backgroundnya adalah dengan memilih sebuah nilai treshold T yang memisahkan

    grup yang satu dengan grup yang lain. Maka semua piksel yang memiliki nilai > T

    disebut titik objek, yang lain disebut titik background. Proses ini disebut

    thresholding. Secara umum, proses binerisasi citra gray scale untuk menghasilkan

    citra biner adalah sebagai berikut:

    (5)

  • 26

    dengan g(x,y) adalah citra biner dari citra grayscale f(x,y) dan T

    menyatakan nilai ambang.

    Thresholding terdiri dari dua jenisnya, yaitu:

    a) Thresholding global

    Salah satu cara untuk memilih nilai ambang adalah dengan melihat dari

    histogram citra tersebut. Histogram adalah menggambarkan citra yang memiliki

    dua mode berbeda sehingga memudahkan untuk memilih T ambang batas yang

    memisahkannya. Cara lain untuk memilih T adalah dengan trial and error,

    memilih nilai ambang batas yang berbeda hingga ada yang ditemukan sehingga

    menghasilkan hasil yang baik.

    b) Thresholding lokal

    Metode thresholding global dapat gagal jika kontras latar belakang tidak

    merata. Thresholding akan dikatakan sebagai thresholding lokal jika nilai T (nilai

    ambang) bergantung pada nilai gray level f(x,y) dan nilai properti lokal citra

    p(x,y). Dalam thresholding lokal citra akan dibagi ke dalam bagian yang lebih

    kecil kecil dan proses pengambangan akan dilakukan secara lokal. Kelebihan

    yang dimiliki thresholding adalah secara subyektif, citra yang dihasilkan lebih

    bagus. Thresholding lokal dapat ditunjukkan bahwa proses ini adalah setara

    dengan thresholding f (x, y) dengan fungsi lokal yang bervariasi T ambang (x, y):

    (6)

    Dimana

    (7)

  • 27

    F0 (x, y) adalah membuka morfologi dari f, dan T0 konstan adalah hasil

    dari fungsi graythresh digunakan pada F0 (Rafael, 2004 : 404-407

    Bentuk teknik thresholding ada 2 macam, yaitu: Uniform Thresholding

    dan Adaptive Thresholding. Didalam uniform thresholding metode yang

    digunakan adalah dengan menentukan batas level, yang akan dipergunakan untuk

    menentukan warna piksel. Piksel yang levelnya lebih dari threshold level akan

    diubah menjadi putih, dan sebaliknya piksel yang levelnya ada di bawah dari level

    threshold akan diubah menjadi hitam. Seperti yang ditampilkan pada gambar

    sebelah kiri berikut merupakan gambar original dan gambar sebelah kanan adalah

    hasil thresholding.

    Gambar 2.6 image original dan hasil thresholding

    Gambar 2.8 menunjukkan citra hasil thresholding dengan nilai threshold

    sebesar 128 dimana piksel-piksel yang memiliki nilai 128 ke atas diubah menjadi

    putih dan piksel yang bernilai 128 ke bawah diubah menjadi hitam (Indra, 2008).

  • 28

    a) Double Thresholding

    Jika dipilih dua nilai T1

    dan T2

    dan digunakan untuk operasi

    pengambangan atau thresholding, maka operasi double thresholding

    diimplementasikan dengan cara :

    y = (8)

    dengan x adalah nilai aras keabuan dari citra input (asli), T1

    dan T2

    adalah nilai

    ambang yang dipilih, dan y adalah keluaran.

    Aplikasi thresholding antara lain:

    1. Menghilangkan detail yang tidak dikehendaki pada citra sehingga dapat

    berfokus pada bagian yang dikehendaki saja. Hal ini tampak pada contoh

    thresholding pada citra. Informasi yang didapat dari citra hasil thresholding

    dapat digunakan untuk mengetahui ukuran, bentuk, atau jumlah objek.

    2. Memunculkan detail yang sebelumnya tersembunyi. Jika dinyatakan dalam

    citra aras keabuan 8 bit maka mata manusia tidak mampu membedakan

    perbedaan yang kecil pada nilai tingkat keabuan citra, namun setelah dilakukan

    thresholding maka tampak detail yang sebelumnya tersembunyi.

    3. Menghilangkan latar belakang yang bervariasi pada teks atau gambar.

    b) Adaptive Thresholding

    Pada beberapa kasus tidak dimungkinkan untuk memilih satu atau dua nilai

    ambang yang dapat mengisolasi objek secara keseluruhan. Hal ini misalnya terjadi

    jika baik objek maupun latar belakang cita sangat bervariasi (Indah, 2009 : 6-9).

  • 29

    2.5 Metode Otsu

    Metode Otsu merupakan suatu metode dalam segmentasi yang menghitung

    nilai ambang T secara otomatis berdasarkan citra masukan. Pendekatan yang

    digunakan oleh metode Otsu adalah dengan melakukan analisis diskriminan yaitu

    menentukan suatu variabel yang dapat membedakan antara dua atau lebih

    kelompok yang muncul secara alami. Analisis Diskriminan akan

    memaksimumkan variabel tersebut agar dapat memisahkan objek dengan latar

    belakang.

    Untuk memilih nilai ambang batas secara otomatis, Gonzalez dan Woods

    (2002) menggambarkan prosedur iterasi sebagai berikut:

    1. Dipilih dahulu perkiraan awal untuk T. (disarankan estimasi awal adalah

    titik tengah antara nilai-nilai intensitas minimum dan maksimum citra).

    2. Bagi citra menggunakan T. Ini akan menghasilkan dua kelompok piksel

    G1, yang terdiri dari semua piksel dengan nilai-nilai intensitas T, dan

    G2, yang terdiri dari piksel dengan nilai-nilai

  • 30

    Nilai ambang yang akan dicari dari suatu citra gray level dinyatakan dengan

    k. Nilai k berkisar antara 1 sampai dengan L, dengan nilai L = 255. Sedangkan

    jumlah piksel pada tingkat keabuan i dilambangkan oleh ni dan jumlah piksel pada

    citra oleh N = n1 + n2 +.+ nL.

    Untuk menguji perumusan metode berdasarkan histogram, dengan

    meninjau histogram yang dinormalisasi sebagai fungsi kepadatan probabilitas

    diskrit. Probabilitas setiap piksel pada level ke i dinyatakan dengan :

    , (10)

    Kemudian pada bagian piksel dibagi menjadi dua kelas C0 dan C1 (latar

    belakang dan objek, atau sebaliknya) dengan nilai ambang k; C0 menunjukkan

    level piksel dengan nilai [1,,k], dan C1 menunjukkan level piksel dengan nilai [k

    + 1,.,L]. Nilai momen kumulatif ke-nol, momen kumulatif ke-satu, dan nilai

    rata-rata berturut-turut dapat dinyatakan sebagai berikut :

    Dan

    dimana

  • 31

    dan

    Dari hasilnya dan urutan momen pertama komulatif dari histogram sampai

    level ke-k masing-masing, dengan;

    Ini adalah total rata-rata level dari citra aslinya. Untuk dapat dengan

    mudah memverifikasi hubungan, berikut ini untuk setiap pilihan dari k:

    (18)

    Sedangkan varians kelas diberikan oleh

    (19)

    (20)

    Untuk menguji/evaluasi dari nilai ambang (pada level k), digunakan

    langkah-langkah dengan analisis diskriminan (Fukunage, 1972 : 260-267):

    dimana

    (22)

  • 32

    = (23)

    (Karena (18)) dan

    (24)

    Ini adalah varians dalam kelas, varians antara kelas, dan total varians dari

    tingkat masing-masing. Kemudian masalah kita berkurang dari sini jelas dapat

    diketahui bahwa pengambangan akan dipisahkan di level abu-abu dan kontras,

    sehingga nilai ambang yang terbaik akan memberikan pemisahan terbaik pada

    intensitas abu-abu.

    Analisis diskriminan akan memaksimalkan nilai , k, dan , yang masing-

    masing akan berpengaruh pada k, akan tetapi untuk ekuivalent pada k = + 1 dan

    = / + 1), karena keadaan berpengaruh terhadap hubungan dasar ;

    Hal ini dapat dilihat bahwa adalah fungsi batas nilai dari nilai

    ambang k, tetapi adalah nilai mutlak dari k. Hal ini juga menjelaskan bahwa

    didasarkan pada urutan kedua statistik (varians kelas), sedangkan didasarkan

    pada statistik orde pertama (yang berarti kelas). Oleh karena itu, paling

    sederhana adalah mengukur hubungan dengan k. Jadi dengan mengadopsi

    /mengambil sebagai meas untuk mengevaluasi/menguji dengan sempurna dari

    nilai ambang level k.

    Nilai k* merupakan batas optimal yang akan memaksimalkan , atau yang

    dipilih ekuivalennya dari akan memaksimalkan dalam pencarian sekuensial

  • 33

    dengan menggunakan jumlah komulatif sederhana (15) dan (16), atau secara

    eksplisit menggunakan (11) - (14):

    Nilai ambang k dapat ditentukan dengan memaksimumkan persamaan :

    Dari persamaan tersebut, maka kisaran k maksimum dapat dicari dengan

    dibatasi untuk;

    S*=

    Ini dapat disebut dengan jarak efektif histogram level abu-abu. Dari

    persamaan (14), ukuran (atau ) dapat mengambil nilai minimum nol untuk k

    seperti S - S* = hasilnya yaitu, membuat semua piksel baik C1

    atau C0 (yang nilainya tentu saja tidak dapat diperhatikan dan akan mengambil

    nilai positif serta dibatasi untuk k S*.

    Pada teknik thresholding, sebenarnya masih ada lagi teknik lebih lanjut,

    teknik ini dikenal dengan optimal thresholding. Teknik ini digunakan untuk

    memisahkan suatu objek gambar dengan latar belakangnya. Teknik ini dapat

    melihat perbedaan intensitas yang terdapat pada latar belakang dan objek

    sehingga dapat menentukan nilai sebuah threshold yang sesuai.

  • 34

    Gambar 2.7 contoh pengambilan nilai thresholding dengan metode Otsu

    Metode ini adalah metode yang paling populer diantara semua metode

    thresholding yang ada. Teknik Otsu ini memaksimalkan kecocokan dari sebuah

    threshold sehingga dapat memisahkan objek dengan latar belakangnya. Semua

    didapatkan dengan memilih nilai threshold yang memberikan pembagian kelas

    yang terbaik untuk semua piksel yang ada di dalam image. Dasarnya adalah

    dengan menggunakan histogram yang telah dinormalisasi dimana jumlah tiap poin

    pada setiap level dibagi dengan jumlah total poin pada image (Indra, 2008).

    Gambar 2.8 contoh hasil thresholding dengan metode Otsu pada tulang

    rahang

  • 35

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai dengan

    bulan Maret 2010. Sedangkan lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Fisika

    Komputasi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

    3.2 Bahan dan Alat

    Data yang digunakan adalah citra sekunder dari sampel foto x-ray untuk

    mendapatkan citra tulang rahang sebanyak 19 sampel. Penelitian ini menggunakan

    seperangkat PC dan bahasa pemrograman Delphi 7.0 untuk membuat aplikasi

    pengenalan.

    3.3 Sampel Penelitian

    Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hasil

    pemeriksaan radiologi berupa citra x-ray tulang rahang dari 19 orang wanita

    menopause. Selanjutnya 19 citra x-ray tulang rahang tersebut kemudian diukur

    nilai bone mineral, density (BMD) atau tingkat osteoporosisnya dengan

    menggunakan DXA yang menghasilkan 8 tulang normal dan 11 tulang

    osteoporosis. Dari citra x-ray tersebut bagian yang akan diteliti yaitu bagian

    trabekula pada citra x-ray tulang rahang, sehingga citra tersebut dilakukan

    35

  • 36

    pemotongan dengan ukuran 100 x 50. Serta citra yang akan dikenali dalam

    aplikasi adalah dalam bentuk file bitmap.

    3.4 Tahapan Implementasi

    Tahapan implementasi adalah langkah-langkah yang digunakan untuk

    pembuatan aplikasi deteksi osteoporosis dengan thresholding metode Otsu

    menggunakan Delphi 7.0 Skema tahapan implementasi dapat dilihat pada gambar

    3.1, sedangkan flowchart program oleh Delphi dapat dilihat pada gambar 3.2

    sampai 3.4.

    3.4.1 Skema Kerja

    Agar penelitian dapat berjalan secara sistematis, maka diperlukan

    rancangan penelitian / langkah-langkah dalam penelitian. Adapun tahapan

    implementasi dalam penelitian sebagai berikut :

    Gambar 3.1 Blok diagram sistem pengenalan

  • 37

    3.4.2 Perancangan Perangkat Lunak

    Setelah semua citra x-ray diambil pada bagian trabekula pada citra x-ray

    tulang rahang dengan ukuran 100 x 50 serta dalam format bitmap, kemudian

    dilanjutkan ke tahap perancangan perangkat lunak yang didalamnya dilakukan

    beberapa proses, sebagai berikut:

    1. Proses Ekualisasi

    Citra masukan yang sudah dalam citra gray scale dan dalam format bitmap

    maka dilanjutkan ke proses ekualisasi yang bertujuan untuk menajamkan bagian

    yang hitam (lembah) dan bagian yang putih (puncak) dari kontur tulang. Bagian

    lembah adalah bagian yang osteoporosis, sedangkan bagian puncak adalah bagian

    tulang yang masih sehat. Dalam proses ekualisasi ini akan menampilkan citra asli

    yang akan diekualisasi, kemudian citra asli tersebut dihitung lebar (w) dan tinggi

    (h) citra. Kemudian dengan intensitas citra gray scale (i) yang bernilai 0-255

    maka dihitung cacah komulatif semua piksel keabuan (ci) dari citra tersebut.

    Selanjutnya citra akan dihitung nilai ekualisasi dari citra dengan memanfaatkan

    nilai cacah komulatif semua piksel keabuan (ci), yang mana dalam proses ini nilai

    intensitasnya di source code sudah menggunakan 255 sebagai hasil perhitungan da

    ri rumus 2k-1 (k merupakan nilai bit yang mana disini adalah citra gray scale yaitu

    8 sehingga dihasilkan nilai 255). Dari citra hasil ekualisasi, piksel-piksel citra

    belum meyebar merata sesuai dengan warna piksel sehingga perlu dilakukan

    proses untuk memeratakan piksel yang mana hasilnya akan lebih kelihatan dalan

    histogram citra tersebu. Berikut ini flowchart untuk proses ekualisasi :

  • 38

    Gambar 3.2 Proses Ekualisasi

    2. Proses Otsu

    Apabila proses ekualisasi telah selesai langsung masuk ke proses Otsu

    yang bertujuan untuk mencari nilai threshold (ambang) yang tepat agar dapat

    memisahkan manakah bagian yang cenderung hitam (osteoporosis) dalam suatu

  • 39

    tulang dan manakah bagian yang cenderung terang / putih (sehat) dalam tulang

    yang sama. Proses otsu akan diawali dengan menghitung luas citra yang diuji

    (jpixtot). Kemudian proses akan dilanjutkan untuk menghitung mean/nilai rata-

    rata dari warna piksel (muT). Dalam proses ini nantinya akan menghitung nilai

    piksel setiap baris sampai setinggi citra, yang mana proses ini dimulai dari piksel

    awal sampai teerakhir serta nilai yang didapatkan akan diakumulasikan.

    Selanjutnya juga akan dihitung nilai pikselnya untuk setiap kolom sampai selebar

    citra tersebut dan juga serta nilai yang didapatkan akan diakumulasikan. Dari

    proses ini akan didapatkan nilai ambang/posisi otsunya. Berikut ini flowchart

    untuk proses otsu yang dilakukan :

  • 40

    Gambar 3.3 Proses Otsu

  • 41

    3. Proses Tresholding

    Proses Tresholding adalah implementasi lanjutan dari Otsu dengan tujuan

    untuk mengekskusi citra sesuai dengan nilai ambangnya. Walaupun sebagai

    implementasi lanjutan otsu, proses ini akan tetap menghitung nilai keabuan untuk

    setiap baris sampai setinggi citra dan setiap kolom sampai selebar dari citra hasil

    otsu. Dari sini, maka akan didapatkan nilai gray dari citra yang diuji sehingga

    citra langsung diekskusi berdasarkan nilai gray dan nilai ambang dari citra yang

    diujikan. Dan hasil yang dihasilkan yaitu apabila nilai piksel-piksel (gray) citra

    yang di bawah ambang akan dieksekusi menjadi bernilai 0 (hitam) dan piksel -

    piksel citra yang diatas ambang akan dieksekusi menjadi bernilai 255 (putih).

    Hasil akhir yang didapatkan dalam besarnya piksel dari warna hitam atau putih.

    Dan berikut ini flowchart untuk proses thresholding yang dilakukan :

  • 42

    Gambar 3.4 Proses Tresholding

    Kemudian dari hasil proses thresholding tersebut dapat dihitung berapa

    perbandingan jumlah piksel putih dan jumlah piksel hitam. Jumlah kedua piksel

    tersebut diperbandingkan dalam aplikasi dengan rumus :

    Perbandingan = Piksel Putih/(Piksel Putih + Piksel Hitam) x 100%

    Setelah diketahui prosentase piksel dari warna putih (tulang normal), maka

    hasil yang didapatkan kemudian dikelompokkan ke dalam tulang normal dan

  • 43

    tulang osteoporosis dengan acuan hasil DXA yang telah dilakukan sebelumnya.

    Kemudian dicari nilai batas bawah dari tulang normal yang selanjutnya akan

    dijadikan sebagai SETUP untuk batas minimal prosentase dari tulang normal.

    Apabila prosentase warna putih lebih besar dari nilai setupnya, maka akan

    dikenali sebagai tulang normal. Dan jika prosentase warna putih lebih kecil dari

    nilai setupnya, maka akan dikenali sebagai tulang osteoporosis.

  • 44

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Dalam bab ini membahas mengenai hasil penelitian, tahapan implementasi

    dan hasil uji coba program yang telah dirancang dan dibuat serta pembahasan

    terhadap hasil yang telah didapatkan. Uji coba dilakukan untuk mengetahui

    apakah program dapat berjalan sebagaimana mestinya dengan lingkungan uji coba

    yang telah ditentukan sesuai dengan skenario uji coba.

    4.1 Hasil Penelitian

    4.1.1 Citra X-Ray Tulang Rahang

    Citra X-Ray tulang rahang adalah citra yang diperoleh dari alat atau

    pesawat X-Ray. Dari citra yang didapatkan yang mana kualitas citranya sangat

    bergantung kualitas dari alat X-Ray, meliputi tegangan tinggi (kV), arus tabung

    (mA) dan waktu paparan (s). Dari hasil foto panoramic (tulang rahang) dengan

    menggunakan spesifikasi alat PANORAMIC VATECH PaX-150C didapatkan

    contoh citra sebagai berikut :

    Gambar 4.1 Citra x-ray tulang rahang

    44

  • 45

    Dalam penelitian ini dengan analisis thresholding metode Otsu akan

    digunakan untuk mendeteksi osteoporosis. Maka dari objek citra x-ray tersebut

    diambil objek yang digunakan sampel, yaitu dipilih bagian trabekula dengan

    ukuran 100 x 50. Sehingga diperoleh hasil seperti berikut:

    Gambar 4.2 Objek citra yang digunakan untuk analisa dengan thresholding metode

    Otsu

    4.1.2 Analisis Ekualisasi

    Setelah citra masukan di-input maka akan diproses secara ekualisasi.

    Dalam proses ekualisasi ini citra akan lebih diperlihatkan mana bagian yang hitam

    (lembah) dan mana bagian yang putih (puncak) dari kontur tulang. Bagian lembah

    adalah bagian yang osteoporosis, sedangkan bagian puncak adalah bagian tulang

    yang masih sehat.

    Untuk listing program untuk ekualisasi data sebagai berikut:

    w := Image6.Picture.Width;

    h := Image6.Picture.Height;

    cKum[0] := nilai pixel ke 0;

    for i := 1 to 255 do

    begin

  • 46

    cKum[i] := cKum[i-1]+nilai pixel ke i;

    end;

    for i := 0 to 255 do

    begin

    Ko[i] := Round(255*cKum[i]/(w*h));

    end;

    for i:= 0 to h-1 do

    begin

    PC := Image6.Picture.BitMap.ScanLine[i];

    PH := Image5.Picture.BitMap.ScanLine[i];

    for j:= 0 to w-1 do

    begin

    PH[3*j] := Bo[PC[3*j]];

    PH[3*j+1] := Go[PC[3*j+1]];

    PH[3*j+2] := Ro[PC[3*j+2]];

    end;

    end;

    Dengan menggunakan Delphi versi 7.0, maka dari proses ekualisasi

    didapatkan hasil citra sebagai berikut:

    Citra Asli Tulang Rahang StatusKeterangan Citra HasilDXA Ekualisasi

    aa1 Normal

    aa2 Osteoporosis

    aa3 Osteoporosis

    aa4 Osteoporosis

    aa5 Osteoporosis

    aa6 Osteoporosis

  • 47

    aa7 Normal

    aa8 Osteoporosis

    aa9 Osteoporosis

    aa10 Normal

    aa11 Normal

    aa12 Normal

    aa13 Osteoporosis

    aa14 Osteoporosis

    aa15 Osteoporosis

    aa16 Osteoporosis

    aa17 Normal

    aa18 Normal

    aa19 Normal

    Tabel 4.1 Citra Hasil Ekualisasi

    Di dalam proses ekualisasi akan menguatkan piksel-piksel yang dominan

    dalam citra tersebut dan melemahkan piksel-piksel yang tidak dominan. Sehingga

    proses ekualisasi akan membutuhkan histogram citra grayscale dari citra asli.

  • 48

    Setiap kode warna dalam setiap piksel memiliki nilai dalam histogram citra. Nilai

    tersebut yang digunakan sebagai nilai pengganti dalam setiap piksel citra tersebut.

    Hasilnya image hasil ekualisasi akan tampil lebih jelas bagian yang gelap dan

    bagian yang terang. Proses ini penting jika tujuan pengolahan citra adalah hendak

    membedakan bagian yang bersifat cekung (lembah/tulang yang osteoporosis) serta

    bagian yang cembung (puncak/tulang yang normal).

    4.1.3 Analisis Proses Otsu

    Apabila proses ekualisasi sudah selesai yang mana citra akan lebih

    kelihatan bagian yang putih dan hitam, maka akan dilanjutkan pada proses Otsu.

    Pada proses ini bertujuan untuk mencari nilai threshold (ambang) yang tepat

    untuk memisahkan manakah bagian yang cenderung hitam (osteoporosis) dalam

    suatu tulang dan manakah bagian yang cenderung terang / putih (sehat) dalam

    tulang yang sama.

    Untuk listing program untuk proses Otsu sebagai berikut:

    jpixtot := image1.picture.Width*image1.picture.Height;

    sigmamax := 0;

    muT := 0;

    for i := 0 to l-1 do

    begin

    pt := dgray[i]/jpixtot;

    muT := muT + i*pt;

    end;

    for t:= 0 to l-1 do

    begin

    omega1t := 0;

    for i := 0 to t do

    omega1t := omega1t + dgray[i]/jpixtot;

    omega2t := 0;

  • 49

    for i := t+1 to l-1 do

    omega2t := omega2t + dgray[i]/jpixtot;

    mu1t := 0;

    for i := 0 to t do

    begin

    pt := dgray[i]/jpixtot;

    mu1t := mu1t + i*pt/omega1t;

    end;

    mu2t := 0;

    for i := t+1 to l-1 do

    begin

    pt := dgray[i]/jpixtot;

    mu2t := mu2t + i*pt/omega2t;

    end;

    sigma2b := omega1t*sqr(mu1t-muT)+omega2t*sqr(mu2t-muT);

    if sigma2b > sigmamax then

    begin

    sigmamax := sigma2b;

    totsu := t;

    end;

    end;

    otsu := tposisi[totsu];

    Di dalam proses Otsu ini menghasilkan nilai ambang (threshold) sehingga

    citra akan dipisahkan antara warna putih (bagian tulang normal/sehat) dan warna

    hitam (bagian tulang yang osteoporosis). Citra yang dihasilkan dari proses otsu

    akan jauh lebih jelas diibandingkan citra hasil ekualisasi. Berikut ini citra hasil

    ekualisasi yang sudah melalui proses Otsu:

  • 50

    Citra Asli Tulang Rahang

    StatusKeterangan Citra Hasil

    DXA Ekualisasi Otsuaa1 Normal

    aa2 Osteoporosis

    aa3 Osteoporosis

    aa4 Osteoporosis

    aa5 Osteoporosis

    aa6 Osteoporosis

    aa7 Normal

    aa8 Osteoporosis

    aa9 Osteoporosis

    aa10 Normal

    aa11 Normal

    aa12 Normal

    aa13 Osteoporosis

    aa14 Osteoporosis

    aa15 Osteoporosis

  • 51

    aa16 Osteoporosis

    aa17 Normal

    aa18 Normal

    aa19 Normal

    Tabel 4.2 Citra hasil Otsu

    4.1.4 Analisis Thresholding

    Proses terakhir adalah proses tresholding yang merupakan implementasi

    lanjutan dari Otsu. Pada bagian ini piksel - piksel citra yang di bawah nilai

    ambang akan dieksekusi menjadi bernilai 0 (hitam) dan piksel - piksel citra yang

    di atas nilai ambang akan dieksekusi menjadi bernilai 255 (putih). Hasil yang

    didapatkan adalah citra otsu black white.

    Listing program untuk thresholding sebagai berikut

    for i:= 0 to Image1.Picture.Height-1 do

    begin

    PC := Image5.Picture.Bitmap.ScanLine[i];

    PH := Image8.Picture.Bitmap.ScanLine[i];

    for j:= 0 to Image1.Picture.Width-1 do

    begin

    gray := Round((PC[3*j]+PC[3*j+1]+PC[3*j+2])/3);

    if (gray < Ambang) then

    begin

    PH[3*j] := 0;

    PH[3*j+1] := 0;

    PH[3*j+2] := 0;

    inc(hitam);

    end

    else

  • 52

    begin

    PH[3*j] := 255;

    PH[3*j+1] := 255;

    PH[3*j+2] := 255;

    inc(putih);

    end

    end;

    Setelah dari proses thresholding maka dapat dihitung berapa jumlah piksel

    putih dan jumlah piksel hitam. Kemudian dari jumlah kedua piksel tersebut

    diperbandingkan dalam aplikasi dengan rumus :

    Perbandingan = piksel putih/(piksel putih + piksel hitam) x 100%

    Dan disini user dapat menentukan nilai ambang batas prosentase suatu citra tulang

    adalah normal atau osteoporosis.

    Jika nilai perbandingan di atas lebih dari nilai ambang batas yang

    ditentukan maka tulang tersebut adalah tulang normal, dan jika kurang dari nilai

    ambang batas maka tulang tersebut cenderung osteoporosis.

    Listing program untuk setup sebagai berikut :

    porsiputih:=putih/(putih+hitam)*100;

    if porsiputih>=strtofloat(fsetup.dbedit1.text) then

    label11.Caption:='Normal (putih : '+floattostr(porsiputih)+'%)'

    else

    label11.Caption:='Osteoporosis(putih:'+floattostr(porsiputih)+'%);

    Dari proses thresholding ini, didapatkan jumlah piksel hitam dan putih

    yang diikuti dengan prosentase warna putih disertai status tulang yang diuji

    sebagai berikut:

  • 53

    CitraJumlah

    piksel hitamJumlah

    piksel putihProsentase Warna

    Putih (%)Status

    aa1 2327 2673 53,46 Normalaa2 2359 2641 52,82 Osteoporosisaa3 2390 2610 52,2 Osteoporosisaa4 2390 2610 52,2 Osteoporosisaa5 2359 2641 52,82 Osteoporosisaa6 2393 2607 52,14 Osteoporosisaa7 2356 2644 52,88 Normalaa8 2406 2594 51,88 Osteoporosisaa9 2524 2476 49,52 Osteoporosis

    aa10 2324 2676 53,52 Normalaa11 2332 2668 53,36 Normalaa12 2433 2567 51,34 Osteoporosisaa13 2384 2616 52,32 Osteoporosisaa14 2427 2573 51,46 Osteoporosisaa15 2466 2534 50,68 Osteoporosisaa16 2435 2565 51,3 Osteoporosisaa17 2299 2701 54,02 Normalaa18 2430 2570 51,4 Normalaa19 2306 2694 53,88 Osteoporosis

    Tabel 4.3 Hasil Thresholding

    4.1.5 Tahapan Implementasi

    Tahapan implementasi menjelaskan bagaimana penggunaan aplikasi untuk

    mendeteksi osteoporosis. Untuk dapat menggunakan aplikasi ini membutuhkan

    citra hasil rontgen tulang rahang dalam bentuk image bitmap 24 bit dan berupa

    citra grayscale. Jika citra - citra tersebut sudah tersedia maka citra tersebut siap

    diolah oleh aplikasi. Aplikasi diinstal dalam komputer dengan sistem operasi

    minimal Windows XP. Urutan proses penggunaan aplikasi adalah sebagai berikut.

    1. Menampilkan Splash Screen Ketika Pertama Kali Menjalankan Aplikasi

    Gambar 4.3 Splash Screen

  • 54

    Splash Screen berfungsi sebagai informasi singkat tentang aplikasi dan akan

    tampil selama kurang lebih tiga detik.

    2. Menampilkan Form Utama Aplikasi

    Kemudian muncul halaman utama dari aplikasi sebagai berikut :

    Gambar 4.4 Form Utama Aplikasi

    Halaman utama aplikasi masih kosong, karena belum digunakan untuk

    menguji citra tulang rahang. Dalam form utama aplikasi ini terdapat beberapa

    komponen, sebagai berikut:

    1. Komponen Buka File

    Komponen ini berfungsi untuk membuka citra - citra yang akan diuji.

    2. Komponen Pengolahan Citra

    Di dalam komponen pengolahan citra mempunyai beberapa bagian yang

    pada inti bertujuan untuk menampilkan hasil dari proses pengolahan citra yang

  • 55

    sudah diuji sehingga hasil yang didapatkan mudah untuk dianalisa. Bagian

    bagian tersebut adalah sebagai berikut ini :

    a) Citra asli, hasil ekualisasi dan proses otsu

    Pada bagian ini akan menampilkan citra asli dari citra tulang yang diuji

    serta kemudian diikuti oleh citra hasil dari analisa ekualisasi dan proses otsu. Citra

    yang ditampilkan juga disertai dengan histogram dari citra yang sudah diuji

    sebelumnya.

    b) Setup

    Apabila citra yang diuji telah diketahui jumlah pikselnya, dimana agar

    citra tersebut dapat dikenali apakah masuk ke dalam golongan tulang normal

    ataukah tulang osteoporosis maka dipergunakan SETUP. Penggunaan SETUP

    ini pada dasarnya untuk mengatur prosentase warna putih dan hitam sehingga citra

    yang diuji dapat diketahui keadaannya.

    c) Status citra

    Setelah citra berhasil diuji yang hasilnya sudah ditampilkan melalui

    histogram dan database maka untuk lebih dapat memudahkan mengetahui hasil

    dari pengujian citra, maka ditampilkan status dari citra yang diuji tersebut. Dalam

    statusnya, citra yang diuji akan dikenali dengan dua status, yaitu status sebagai

    tulang normal dan tulang osteoporosis.

    d) Database citra

    Sedangkan dalam bagian database citra tulang ini berfungsi untuk

    menampilkan jumlah piksel warna hitam dan putih dari citra yang diuji

  • 56

    sebelumnya serta data tulang tersebut dapat disimpan secara permanen dalam

    database sehingga dapat digunakan kembali.

    e) Simpan

    Setelah citra dibuka, citra selanjutnya akan dianalisa maka akan

    ditampilkan hasil yang didapatkan. Dari hasil yang sudah didapatkan, maka user

    dapat menyimpannya dalam database. Maka disinilah bagian ini berfungi.

    f) Navigasi

    Bagian navigasi berfungsi untuk menjalankan database dari citra tulang

    tangan yang sudah diuji sebelumnya serta sudah disimpan dalam database

    tersebut.

    3. Keluar

    Setelah semua data citra selesai diuji dan hasil yang didapatkan juga sudah

    disimpan di database, maka untuk keluar dari aplikasi user tinggal memilih

    komponen keluar.

    3. Pengujian Aplikasi

    Kemudian untuk menguji sebuah citra tulang maka langkah pertama

    adalah memilih tombol buka file. Setelah aplikasi ready akan meminta input file

    citra tulang yang berbentuk file image bitmap gray scale 24 bit tersebut. Seperti

    digambarkan sebagai berikut :

  • 57

    Gambar 4.5 Memilih Image Tulang

    Jika citra tulang telah dibuka maka akan