pa rizal
DESCRIPTION
pin bb 7699ce38 bagi yang ingin membutuhkan beberapa laporan penting tentang refrat kedokteran. silahkan...TRANSCRIPT
Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan
adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah
melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi
berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa focus metastase
yang biasanya tenang (Hill, 2005)
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak,
selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama
masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun
jarang. Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung
menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis
tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus
tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah
trauma kepala (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2005).
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang
yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh
akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberculosis:
1. Araknoiditis proliferatif Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa
pembentukan massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian
menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai
dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak.
Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan
nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami
organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf
kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering
terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma
optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa
buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII
akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Rahajoe,
2005).
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal
yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri.
Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat.
Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena,
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan
tuberkel dan nekrosis perkijuan.
Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan
kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi
subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering
terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan
arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan
derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau
total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe
lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin
(Rahajoe, dkk., 2005).
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Rahajoe,
2005). Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla
spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia (Gerdinas 2005).
Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala
sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang,
paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan
saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan
pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh
penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang
hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan
kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi
intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang
sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi
prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan,
kortikotropin dan gonadotropin (Hill, 2008).
Penatalaksanaan
lama
penatalaksanaan meningitis TB berdasarkan tiga komponen berbeda:
administrasi obat anti TB, modulasi respon imun dan manajemen atau
penatalaksanaan tekanan intracranial yang meningkat. Berikut adalah guideline dan
dosis pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak baik lini pertama dan lini ke
dua : (Nicola, 2012)
Table guideline pemberian obat anti TB untuk infant dan anak anak
Tabel Table guideline pemberian obat anti TB untuk infant dan anak anak lini ke dua
Penatalaksanaan baru
Sebuah studi oleh Thaweaites dkk. Dilakukan secara acak pada 61 pasien
dewasa (usia>14 tahun) meningitis tuberculosis. Pasien mendapat terapi
antituberkulosis standar saja atau kombinasi terapi antituberkulosis dengan
ciprofloxacin 750 mg tiap 12 jam (n=16), levofloxacin 500 mg tiap 12 jam (n=15)
atau gatifloxacin 400 mg tiap 24 jam (n=15) selama 60 hari pertama. Penetrasi
levofloxacin dalam cairan serebrospinal lebih besar dibandingkan gatifloxacin dan
ciprofloxacin dengan nilai p< 0,001.
Simpulan studi ini adalah pasien meningitis tuberculosis besar kemungkinan
mendapatkan manfaat dari terapi fluoroquinolone yang terlihat dari kaitan pajanan –
respons yang berkaitan dengan perbaikan outcome. Fluoroquinolone menambah
aktivitas antituberkulosis pada terapi standar, tetapi harus di mulai sesegera mungkin
sebelum terjadi koma untuk mendapatkan outcome lebih baik. Meningitis tuberkulosa
merupakan penyakit tuberculosis ekstrapulmoner yang sifatnya fatal dan harus segera
didiagnosis dan diterapi. Kemungkinan besar pasien meningitis tuberkulosa
mendapatkan manfaat dari terapi fluoroquinolone. (Thwaites, 2011)
Sedangkan World Health Organization (WHO) untuk lini pertama obat TB
adalah sebagai berikut: (EMA, 2012)
Table rekomendasi dosis obat TB lini pertama dari WHO
Fixed-dose drug combination (FDC) adalah obat yang mengandung dua atau
lebih jenis obat di dalam satu tablet atau kapsul. Keuntungan dari penggunan FDC
adalah menurunkan risiko pembentukan resistensi terhadap obat dan medication
errors yang lebih sedikit sebab hanya sedikit obat yang perlu diresepkan. Anak –
anak di atas usia 8 tahun dengan berat badan lebih dari 30 Kg dapat diberikan
standard four drug FDC atau FDC yang memiliki kandungan 4 jenis obat TB standar
yang digunakan pada pasien dewasa selama fase intensif (dua bulan) terapi. (Moore,
2009)
Table FDC untuk TB pada usia >8 tahun dan berat badan > 30 kg
Ethambutol susah masuk ke dalam cairan serebrospinalis sehingga untuk
regimen meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamide atau streptomycin.
Isoniazid 15 – 20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 400 mg). Rifampicin 15 – 20
mg/kg/day (dosis harian maksimum 600 mg). ethionamide 15 – 20 mg/kg/day (dosis
harian aksimum 1 gr). Pyrazinamide 30-40 mg/kg/day (dosis harian maksimum 2 gr).
Meningitis TB juga merupakan indikasi peggunaan kortikosteroid, biasanya yang
digunakan adalah prednisolone oral yang diberikan dosis 2 mg/kg/day (maksimum 60
mg per hari) selama empat minggu sebagai tambahan obat TB dan dilakukan tapering
off setelah dua minggu (total penggunaan kortikosteroid 6 minggu). (Moore, 2009)
Daftar pustaka
Hill, Mark. 2008. Mycobacterium tuberculosis.
http://embryology.med.unsw.edu.au /Defect/images/Mycobacterium-
tuberculosis.jpg. April 7 th, 2008.
Japardi, Iskandar. 2002. Cairan Serebrospinal. http://72.14.235.104/search?q=
cache:xphPjYDb40J:library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar %2520
japardi5.pdf+sarang+laba-laba%2Bmeningitis&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl
=id&client=firefox-a. April 13 th, 2008.
Gerdunas TBC. 2005. Penemuan Penderita TBC Pada Anak.
http://update.tbcindonesia.or.id/module/article.php?articleid=11&print
=1&pathid=. April 13 th, 2008.
Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, , Jakarta : Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI
Niccola Principi, susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis
in children. Department of maternal and Pediatric Sciences, Universita
degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore
Policlinico. Via Commenda 9, 2013 Milan, Italy. Tuberculosis 2012 :
92:377-383
Thwaites GE, Bhavnani SM, Chau TTH, Hammel JP, Torok ME, Wart SAV, et. Al.
A randomized Pharmaco-kinetik and pharmacodynamics comparison of
fluo-roquinolones for tuberculous meningitis, Antimicrob Agent
Chemoter 2011; doi:10.1128/AAC.00064-11
Eropan Medicines Agency. Anti-Tuberculosis medicinal products containing
isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, rifabutin : posology in
children. 2012;EmA/227191/2012
Guidelines for TB control in New Zealand 2010 Chapter 3: treatment of tuberculosis
Disease. 2010; Wellington: Ministry of Health.
DP Moore, HS Schaaf, J Nuttal, BJ Marais. Childhood tuberculosis guidelines of the
southern African Society for Paediatric Infectious Disease. South Afr J
Epidemil infect. 2009;24