pandangan hukum islam terhadap tata cara...
TRANSCRIPT
i
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA POLIGAMI
BAGI PNS DAN WARGA SIPIL DI INDONESIA
(PP NO. 45 TH 1990, KHI DAN UU NO. 1 TH 1974)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
K A H F I
106043201275
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2010 M
ii
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA POLIGAMI
BAGI PNS DAN WARGA SIPIL DI INDONESIA
(PP NO. 45 TH 1990, KHI DAN UU NO. 1 TH 1974)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
K A H F I
106043201275
Di Bawah Bimbingan,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs, MA Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH
NIP. 195507061992031001 NIP. 196911211994031001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2010 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “ PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA
POLIGAMI BAGI PNS DAN WARGA SIPIL DI INDONESIA (PP No. 45 Th 1990, KHI
dan UU No. 1 Th 1974) ”. Telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 22 Desember
2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI) pada program study Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH).
Jakarta, 22 Desember 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA (...........................)
NIP. 195703121985031003
Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, SAg, MSi (...........................)
NIP. 197412132003121002
Pembimbing I : Dr.H.A. Juaini Syukri, Lcs, MA (...........................)
NIP. 195507061992031001
Pembimbing II : Drs.H.Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH (...........................)
NIP. 196911211994031001
Penguji I : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA (...........................)
NIP. 150294051
Penguji II : Dr. Euis Amalia, MAg (...........................)
NIP. 197107011998032002
iv
LEMBAR PERNYATAAN:
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata satu (SI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil karya orang lain atau menjiplak dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 22 Desember 2011
K A H F I
v
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulullah saya panjatkan kehadirat-Nya Allah SWT. Akhirnya penulisan
skripsi ini dapat terselasaikan oleh penulis dengan kerja keras dan diiringi do’a, dan berkat
rahmat dan hidayah dari Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada penulis. Shalawat
serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa
risalah kepada kebenaran untuk umat Islam khususnya.
Skripsi ini merupakan sebuah karya penulis dalam penulisan skripsi ini, penulis
mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berharga dan mendapatkan bantuan baik meteril
maupun non materil.
Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga yang telah berjasa
dan yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta.
2. Dr. H. Muhammad Taufiki, MAg, selaku ketua program study Perbandingan Mazhab dan
Hukum, serta bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, SAg, Msi, selaku sekretaris program study
Perbandingan Mazhab dan Hukum.
3. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lcs, MA dan Drs. H. Asep Syarifudin Hidayat, SH. MH, selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis.
4. Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA dan Dr. Euis Amalia, MAg, selaku penguji sidang
munaqasyah yang telah memberi arahan dan saran kepada penulis.
vi
5. Pimpinan perpustakaan beserta stafnya yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk
melakukan study pustaka.
6. Untuk orang tua saya Baba dan Mama Jamhuri, SH dan Juhaeriah yang telah memberikan
do’a yang tak putus-putus dan dukungan secara terus-menerus dalam penyusunan skripsi ini
sehingga dapat terselesaikan saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.
7. Untuk nyai saya em’me Hj.Suryanah dan Hj.Hapsah yang telah memberikan doa yang tak
putus-putus saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.
8. Untuk mpok dan adik-adikku wabil khusus Jundiah yang telah memberikan bantuan materi
dan non materi, selalu memberikan dukungan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Untuk istri Nenk Lie yang rela mengorbankan waktunya serta ego-nya dan telah memberikan
doa dan dukungannya, sehingga skripsi ini terselesaikan saya ucapkan terima kasih yang
sebanyak-banyaknya dan kecupan sayang.
10. Untuk mertua saya Bapak dan Ibu, Drs. Suhendar & Minarni yang telah memberikan doa
serta dukungannya saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.
11. Untuk kawan-kawan seperjuangan yang telah membantu Lay, Kicunk, Fajrul, Ros, Boyo dan
kawan-kawan yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi ini yang penulis
tidak dapat sebutkan satu persatu.
12. Untuk pihak-pihak yang telah membantu yang tidak dapat saya sebutkan semua saya ucapkan
terima kasih.
Jakarta, 22 Desember 2010
K A H F I
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................................... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ............................................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
D. Study Review ........................................................................... 8
E. Manfaat Penelitian ................................................................... 9
F. Metode Penelitian .................................................................... 10
G. Teknik Penulisan ...................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan .............................................................. 11
BAB II : SEKILAS MENGENAI POLIGAMI DAN PNS
A. Pengertian Poligami .................................................................. 12
B. Sejarah Tentang Poligami ........................................................ 15
C. Dalil-dalil Poligami .................................................................. 20
D. Pengertian PNS ........................................................................ 24
viii
E. Jenis-jenis PNS ........................................................................ 26
BAB III : PANDANGAN HUKUM TENTANG CARA BERPOLIGAMI
A. Poligami Menurut Hukum Islam dan Konsep Adil Menurut
Imam Empat Madzhab .............................................................. 28
B. Poligami Menurut PP No 45 Thn 1990 .................................... 36
C. Poligami Menurut KHI ............................................................. 39
D. Poligami Menurut UU No 1 Thn 1974 ..................................... 42
E. Perbedaan dan Persamaan Cara Poligami Menurut Hukum
Islam, PP No 45 Th 1990, KHI dan UU No 1 Thn 1974 ......... 46
F. Kenapa Ada Perbedaan Tentang Cara Poligami Bagi PNS
Warga Sipil ............................................................................... 57
BAB IV : HASIL PENELITIAN
A. Analisa Penelitian .......................................................................... 58
B. Sanksi Melakukan Poligami Menurut Hukum Islam Diluar
Peraturan Pemerintah
1. PNS .......................................................................................... 62
2. Warga Sipil ............................................................................. 63
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 64
B. Saran ................................................................................................ 68
ix
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di indonesia banyak pelaku poligami sebagaimana poligami merupakan salah
satu isu yang disorot tajam kalangan feminis, tak terkecuali feminis islam, feminis
sendiri adalah suatu gerakan untuk mendapatkan hak untuk perempuan dengan
prinsip bahwa perempuan mempunyai hak dalam politik, sosial, dan ekonomi yang
setara dengan laki-laki. Feminisme juga berarti suatu kesadaran terhadap penindasan
dan perampasan terhadap perempuan ditengah masyarakat, tempat kerja, dan
keluarga. Dan kesadaran oleh perempuan atau laki-laki untuk mengubah keadaan
tersebut.1 Sedangkan kata Poligami adalah isyarat islam yang merupakan sunah
Rasulullah SAW tentunya dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil
diantara para isteri dan terbatas empat saja.
Poligami merupakan sistem yang manusiawi, karena dapat meringankan
beban masyarakat yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami dan
menempatkannya ke shaf para isteri yang terpelihara dan terjaga.2
Oleh karena itu disyariatkan perkawinan dalam Islam agar ketika manusia
telah sampai pada masa untuk saling mengenal antar lawan jenis tidak sampai
1 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang:UIN Malang Pers, 2008), h. 247
2 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), h. 5
2
terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Oleh karena itu Islam
memberikan pengaturan yang benar terhadap masalah keluarga, yakni tiga puluh
persen dari ayat mengatur tentang hukum kemasyarakatan berjumlah 229 ayat.3
Dalam pembahasan tentang poligami ini banyak orang yang salah paham
tentang poligami ini, banyak orang yang mengira bahwa poligami itu baru dikenal
setelah Islam ada, mereka menganggap bahwa Islamlah yang membawa ajaran
tentang poligami. Bahkan ada yang menganggap bahwa kalau bukan karena Islam
poligami tidak akan dikenal dalam sejarah kehidupan manusia, padahal sudah
berabad-abad lamanya sebelum Islam diwahyukan masyarakat dibelahan dunia sudah
mengenal dan mempraktikkan poligami.4
Sebagian orang berbicara tentang poligami, seakan-akan Islam merupakan
yang pertama kali mensyari'atkan itu. Ini adalah suatu kebodohan dari mereka atau
pura-pura tidak tahu tentang sejarah. Sesungguhnya banyak dari umat dan agama-
agama sebelum Islam yang memperbolehkan menikah dengan lebih dari satu wanita,
bahkan mencapai berpulah-puluh orang atau lebih, tak ada persyaratan dan tanpa
ikatan apa pun.
Di dalam Injil Perjanjian Lama diceritakan bahwa Nabi Dawud mempunyai
istri tiga ratus orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai tujuh ratus orang istri.
3 Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, ( Malang: UIN Malang Pers, 2008), h. 5
4 Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, (Jakarta: Serambi, 2007), h. 8
3
Ketika Islam datang, maka dia meletakkan beberapa persyaratan untuk
bolehnya berpoligami, antara lain dari segi jumlah adalah maksimal empat. Sehingga
ketika Ghailan bin Salamah masuk Islam sedang ia memiliki sepuluh isteri, maka
Nabi SAW bersabda kepadanya, "Pilihlah dari sepuluh itu empat dan ceraikanlah
sisanya." Demikian juga berlaku pada orang yang masuk Islam yang isterinya delapan
atau lima, maka Nabi SAW juga memerintahkan kepadanya untuk menahan empat
saja.
Perkembangan poligami dalam sejarah kehidupan manusia mengikuti pola
pandangan masyarakat terhadap kedudukan perempuan, dan dalam tumbuh
berkembangnya tentang permasalahan poligami tergantung pada keadaan yang
tumbuh di dalam masyarakat dan hal tersebutlah yang kebanyakan menjadi alasan
seseorang untuk melakukan poligami, dan maraknya pelaku poligami di lihat dari
pola pikir masyarakat yang menilai masalah poligami dan menilai tentang keberadaan
perempuan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. ketika masyarakat menganggap
perempuan itu hina maka poligami akan menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat
yang manganggap perempuan secara terhormat praktek poligamipun berkurang.
Jadi perkembangan poligami itu pasang surut mengikuti cara pandang
masyarakat terhadap poligami.5
5 Anik Faridha, Menimbang Dalil Poligami, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama,
2008), h. 6-7
4
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar banyak orang
membicarakan tentang poligami, banyak masyarakat indonesia yang melakukan
poligami tidak pandang usia para pelaku poligami mulai dari usia muda sampai yang
tua, baik orang kaya maupun orang miskin hampir tidak bisa kita pungkiri sampai
para pejabat publik maupun pemerintahan dan dari kalangan artis, yang semua itu
merupakan publik pigur dalam masyarakat. Sebenarnya yang utama di dalam
masalah pernikahan adalah cukup dengan satu isteri karena ingin menjaga
ketergelinciran, dan karena takut dari kepayahan di dunia dan siksaan di akhirat,
maka sesungguhnya di sana ada pertimbangan-pertimbangan yang manusiawi, baik
secara individu ataupun dalam skala masyarakat sebagaimana yang kami jelaskan.
Islam memperbolehkan bagi seorang Muslim untuk menikah lebih dari satu
(berpoligami), karena Islam adalah agama yang sesuai dengan fithrah yang bersih,
dan memberikan penyelesaian yang realistis dan baik tanpa harus lari dari
permasalahan.6
Melakukan poligami seperti yang dilakukan oleh K.H Abdullah Gymnastiar
di ujung tahun 2006, dimana masyarakat yang mendukung poligami berkelit dengan
argumen yang demikian bahkan tidak mengherankan bila kemudian dalil-dalil agama
pun dijadikan sebagai dasar legitimasi, terhadap praktek poligami pada bagian
masyarakat yang lain terutama kaum ibu-ibu yang menjadi pendengar setia ceramah
K.H Abdullah Gymnastiar, merasa terkhianati dengan memprotes keras praktek
6 Ibid., h. 55
5
poligami yang dilakukan oleh da’i kondang tersebut, sebelumnya da’i kondang
tersebut menyebutkan bahwa poligami dapat dilakukan dalam kondisi atau keadaan
yang darurat, ibarat kapal yang mengalami kerusakan mesin maka ia harus mendarat
secara darurat tentunya lewat pintu darurat, padahal waktu itu rumah tangga K.H
Abdullah Gymnastiar belum masuk katagori dalam keadaan yang darurat, di
Indonesia sudah banyak para pelaku poligami dari semua kalangan, memang
poligami dalam ajaran islam tidak dilarang sehingga menyebabkan masyarakat di
Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim yang merupakan negara islam
terbesar di dunia sehingga banyak masyarakatnya yang melakukan poligami. Baru–
baru ini di Indonesia telah ada klub komunitas poligami yang dimana para
anggotanya wajib harus berpoligami.7
Padahal di Indonesia masih banyak yang menentang para pelaku poligami
khususnya para kaum wanitanya, sehingga banyak para pelaku poligami
melakukannya secara diam-diam agar bisa terlaksananya poligami itu, bila para
pelaku poligami melakukannya secara diam-diam ini apakah tidak melanggar sistem
hukum di indonesia.8 Dimana para pelaku poligami ini bisa melakukan penipuan
berupa memalsukan identitas, akta perkawinan dan lain-lain yang dimana bisa dijerat
dengan pidana, namun masyarakat awam masih banyak yang belum mengetahui
7 www.poligamiindonesia.com/
8 Setiati, Eni, Hitam Putih Poligami; Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena,
(Jakarta:Cisera Publishing, tth), h. 12
6
seperti apa sistem yang mengesahkan seorang itu berpoligami baik dalam islam
maupun hukum positif.
Bahkan dari data departemen agama tingkat perceraian dengan alasan
poligami dari tahun ketahun meningkat, mulai tahun 2004 dengan 813 kasus
perceraian, tahun 2005 879 kasus perceraian dan pada tahun 2006 dengan 983 kasus
perceraian, ini membuktikan bahwa tingginya perceraian dengan alasan poligami.9
Namun dalam kenyataannya di masyarakat banyak fenomena masyarakat
yang melakukan poligami, tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku tentang
poligami. Apakah ada sangsi bagi para pejabat yang melakukan poligami diluar
sistem hukum positif, apa dampak yang timbul dengan menggunakan sistem
poligami hukum positif bagi hukum islam serta sebalikanya dampak yang timbul
dalam hukum islam bagi pelaku yang menggunakan poligami yang diberlakukan
menurut hukum positif di Indonesia serta dampak yang timbul dalam masyarakat itu
seperti apa .10
Berdasarkan uraian tertulis di atas serta pentingnya mengetahui bagaimana
cara berpoligami yang benar menurut syariat Islam dan hukum poositif dan
berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi
yang berjudul: “ Pandangan Hukum Islam Terhadap Tata Cara Poligami Bagi
9 “ Data DEPAG tentang poligami dari tahun ketahun” diakses pada tanggal 15 januari 2011
dari www.bimaislam.net
10 Diakses dari www.eramuslim.com/oase-iman pada tanggal 20 agustus 2010.
7
PNS dan Warga Sipil di Indonesia (PP No. 45 Th 1990, KHI, dan UU No. 1 Th
1974 ).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Batasan Masalah
Agar peneliti tidak mengalami perluasan dalam pembahasan yang akan diteliti
maka penulis membatasi penelitiannya pada masalah tentang pandangan hukum
Islam dalam pelaksanaan izin poligami bagi PNS (pegawai negeri sipil) dan warga
sipil, dalam kajian PP No. 45 Tahun 1990, UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
(kompilasi hukum Islam).
Rumusan Masalah
Agar dalam melakukan penelitian masalah ini lebih mudah dan terarah kepada
permasalahannya, maka penulis perlu merumuskan permasalahannya ke dalam
beberapa hal sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur melakukan poligami menurut hukum islam, KHI, PP No. 45
Tahun 1990 dan UU No. 1 Tahun 1974?.
2. Apa perbedaan dan persamaan prosedur poligami menurut hukum islam dengan
KHI, PP No 45 Tahun 1990 dan UU No1 Tahun 1974.
3. Apa sanksi PNS yang melakukan poligami diluar PP No.45 Tahun 1990
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :
8
1. Untuk mengetahui cara melakukan poligami menurut hukum islam, KHI, PP
No.45 Tahun 1990 dan UU No.1 Tahun 1974.
2. Untuk mengetahui Kenapa PNS yang ingin berpoligami diatur khusus.
3. Untuk mengetahui Bagaimana sanksi orang yang melakukan poligami baik warga
sipil dan PNS diluar KHI dan PP No. 45 Tahun 1990.
4. Untuk mengetahui Apa perbedaan poligami menurut hukum islam dengan KHI,
PP No 45 Tahun 1990 dan UU No1 Tahun 1974.
D. Study Review
Syahroni, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
dengan judul Pembagian Harta Warisan dalam Perkawinan PoligamiMenurut KHI
dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Dalam hasil penelitiannya bahwa dalam
melakukan poligami seorang suami harus memperhatikan syarat-syarat yang harus
dipenuhi, apakah suami tersebut dapat memenuhinya atau tidak, apabila suami
tersebut merasa tidak mampu maka harus dipertimbangkan kembali untuk melakukan
poligami.
Dan yang paling utama adalah dalam pelaksanaan poligami di Indonesia
adalah pengadilan dapat mengambil keputusan apakah seorang suami tersebut dapat
atau boleh berpoligami atau tidak.
Skripsi selanjutnya adalah ”Poligami Tanpa Izin Istri Pertama menurut
Perspektif Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974” yang di susun oleh Islamiyah
pada tahun 2006. Kajian skripsi ini membahas urgensitas izin poligami dari pihak
istri terdahulu dalam perbandingan perspektif hukum positif dan hukum Islam.
9
Pembahasan skripsi karya Islamiyah ini terbatas pada suatu konsep bagaimana
kedudukan hukum apabila istri pertama tidak memberikan persetujuan menurut
hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974.
Karya tulis selanjutnya adalah skripsi yang di susun oleh Tajun Nasruoh
Qurhi tahun 2006, dengan judul ”Esensi dan Eksistensi UU No. 1 Tahun 1974
Terhadap poligami” (Study Kasus di KUA Kec. Rumpin Bogor). Isi dari skripsi ini
adalah suatu kajian tentang keadilan dari pengaturan poligami dalam UU No. 1 Tahun
1974. Pada kajian ini terlihat perbedaan mencolok antara judul ataupun esensi yang
dibangun pada kajian tersebut dengan apa yang penulis teliti saat ini.
E. Manfaat penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, hasil penelitian ini sangat diharapkan
bermanfaat untuk:
1. Sec ara akademis penelitian ini berguna untuk menambah referensi difakultas
syariah dan hukum serta memberikan gambaran secara mendetail mengenai
sistem poligami dalam hukum positif dan hukum islam.
2. Agar masyarakat awam dapat mengetahui bagaimana cara melakukan poligami
yang sah atau legal menurut hukum positif di Indonesia serta legal dalam hukum
islam.
F. Metode penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian
skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari suatu
10
penulisan.11
Adapun metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penulisan ini
adalah sebagai berikut :
Penelitian ini menggunakan penelitian normatif yang dilengkapi dengan
penelitian lapangan , penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan
data sekunder.12
Data primer diperoleh dari keterangan para pelaku poligami
sedangkan data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka dengan cara penelusuran
bahan-bahan hukum yang bersifat primer, sekunder, dan tersier. Keseluruhan data
yang diperoleh dianalisis secara kualitatif.13
G. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
H. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub-sub yang secara logis saling berhubungan dan merupakan satu
kebulatan dari masalah yang diteliti. adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis
membagi menjadi 5 ( lima ) bab yaitu sebagai berikut :
11 Moleog, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana, 1988) h. 101
12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), cet Ke-3, h. 5
13 Ibid., h. 162
11
Bab I : Pendahuluan berisikan latar belakang masalah, batasan masalah
rumusan masalah, tujuan penelitian, study review, manfaat
penelitian, metode penelitian, teknik penulisan,
sistematika penulisan.
Bab II : Sekilas mengenai poligami dan PNS berisikan tentang definisi
poligami, sejarah dan dalil-dalil yang berhubungan dengan poligami
serta pengertian tentang PNS dan pembagian jenis PNS.
Bab III : Cara poligami menurut hukum islam , cara poligami menurut menurut
PP No. 45Th 1990, KHI dan UU No. 1 Th 1974 dan perbedaan cara
poligami menurut Islam dan aturan di atas, alasan kenapa dalam
berpoligami PNS diatur khusus dan dibedakan dengan warga sipil.
Bab IV : Alasan para pelaku berpoligami menurut hukum Islam dan serta sanksi
melakukan poligami poligami menurut hukum islam dan diluar hukum
yang ada di Indonesia.
Bab V : Penutup berisikan kesimpulan dan saran
12
BAB II
SEKILAS MENGENAI POLIGAMI DAN PNS
A. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa yunani. Menurut etimologi, kata
poligami berasal dari kata ”poly” atau ”polus” yang berarti banyak, dan kata
”gamein” atau ”gamis” yang berarti kawin/perkawinan. Jika dirangkaikan,
maka poligami berarti perkawinan yang lebih dari seorang isteri dalam waktu
yang bersamaan. 14
Dalam buku ensiklopedi Hukum Islam, terminologi poligami adalah:
”ikatan perkawinan di mana salah satu pihak memiliki atau mengawini lawan
jenisnya dalam waktu yang bersamaan”.
Walaupun pengertian di atas ditemukan salah satu pihak akan tetapi
karena perempuan yang memiliki suami banyak dikenal dengan sebutan
poliandri, maka yang dimaksud dengan poligami adalah ikatan perkawinan
seorang suami yang mempunyai beberapa orang isteri (poligami) sebagai
pasangan hidupnya dalam waktu yang bersamaan.15
14
Humaidi Tatapangansa, Hakekat Poligami Dalam Islam, (Surabaya: Usaha Nasional,
1999), h. 17-18.
15
Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997),
Jilid IV, h. 1186.
13
Pengertian poligami, menurut bahasa indonesia adalah sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenisnya diwaktu yang bersamaan16
Hanya saja yang berkembang pergeseran sehingga poligami dipakai
untuk makna beristeri banyak, sedangkan kata poligami sendiri tidak layak
dipakai.17
Namun dalam pandangan musdah mulia poligami adalah ikatan
perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu)
istri dalam waktu bersamaan.18
Poligami sering dimaknai dengan pernikahan
antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan.19
Poligami dalam ilmu fikih lebih umum dipahami sebagai pengumpulan
dua sampai empat istri dalam waktu yang bersamaan oleh seorang suami. Dalam
ilmu Antropologi poligami dibedakan dalam dua bentuk, yaitu poliandri
berartikan perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-
16
Anton Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. Ke-3,
h. 779.
17
Ahmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 1995),
Cet. Ke-1, h. 159.
18
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama &
Gender, 1999), Cet. Ke-1, h. 2.
19
Anik Farida, Menimbang Dalil-Dalil Poligami, (Jakarta: Balai Penelitian Dan
Pengembangan Agama, 2008), h. 15.
14
laki, dan poligami berartikan perkawinan antara seorang laki-laki dengan
beberapa orang perempuan.20
Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai
lebih dari seorang istri dengan istilah poligini berasal dari kata polus berartikan
banyak dan gune berartikan perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang
mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata
polus yang berartikan banyak dan andros berartikan laki-laki.21
Jadi kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih
dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami.
Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan
poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang
perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini itu, menurut
masyarakat umum adalah poligami.22
Sebenarnya arti poligami dan poligini sama-sama mempunyai arti
seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu, namun karena berdasarkan
pendahulu kita arti makna tersebut lebih dikenal dengan poligami.
20
Ibid, h. 1.
21
Zakiah Drajat, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985),
h. 17.
22
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2009), h. 352.
15
B. Sejarah Tentang Poligami
1. Poligami sebelum datangnya Islam
Timbulnya poligami sebagaimana dicatat oleh sejarah, bukan semata-
mata diseponsori oleh islam. Poligami ada sejak manusia mendiami planet bumi
ini, yang ditemui oleh hampir semua kebudayaan manusia 23
Eksistensi perkawinan sebelum Islam lahir sangat menyedihkan dan
merendahkan harkat dan derajat kaum perempuan. Mereka dianggap sebagai
khaddam (pembantu), sumber bencana, diperjual belikan, dan dianggap sebagai
benda mati yang dapat diwariskan bagi ahli waris bila suaminya telah meninggal
dunia.24
Dapat disimpulkan bahwa dalam pernikahan seringkali merendahkan
dan merugikan kaum perempuan. Kemudian Islam datang membawa aturan dan
syariat yang luwes, adil dan bijaksana untuk mengatur kehidupan rumah tangga
yaitu dengan menghapuskan pemberlakuan hukum-hukum pernikahan yang
dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam.25
Agama memang mempunyai ketentuan terhadap poligami, tetapi para
pendukung poligami itu berlainan penafsirannya dengan golongan yang anti
poligami. Ada yang mengatakan bahwa perkawinan nenek kita Adam dan Hawa,
23
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), Cet. Ke-1,
h.35.
24
Humaidi Tatapangansa, Hakekat Poligami Dalam Islam, h. 17.
25
Nurbowo dan Apiko Joko M, Indahnya Poligami-Pengalaman Sakinah Puspo Wardoyo,
(Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), h. 4.
16
dalam keadaan monogami itu peraturan tuhan, yang harus kita ikuti. Tetapi
agama Yahudi memperbolehkan poligami, hanya saja pendeta-pendeta
membenci poligami. Dan kita mendengar pendapat yang berbeda-beda pula
tentang sikap agama kristen tentang poligami. Dan suara yang paling kuat
gemanya adalah agama kristen mengharamkan poligami. Dan sudah kita ketahui
bahwa agama Islam mengakui adanya peraturan poligami dengan menetapkan
syarat-syarat yang tertentu.26
Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum islam datang masyarakatnya telah
memperaktekan poligami, malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat
menyebutkan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri ,
bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.27
Ameer ali menyatakan bahwa pada semua bangsa-bangsa barat dimasa
purbakala , poligami dianggap suatu kebiasaan yang diperbolehkan. Karena
dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan, banyak orang yang
menganggapnya sebagai perbuatan suci. Pada orang hindu, poligami dalam
kedua aspeknya , dilakukan dengan meluas sejak zaman bahari, seperti juga pada
orang median dahulu kala, babilonia, Siria, dan bangsa parsi pun tidak
membatasi mengenai jumlah wanita yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki.
Seorang Brahmana berkasta tinggi, bahkan dizaman modern ini, boleh
26
Abd. Natsir Taufiq Al’attar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-
undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 72-73.
27
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 3
17
mengawini wanita sebanyak yang disukai. Poligami dialami orang Israel
sebelum datangnya nabi Musa a.s. yang meneruskan kebiasaan itu tanpa
mengadakan pembatasan mengenai jumlah perkawinan yang boleh dilakukan
oleh seorang suami bangsa ibra. Pada zaman kemudian, Talmud di Yerusalem
membatasi jumlah istri menurut kemampuan sang suami untuk memelihara istri-
istrinya dengan baik.28
Di Athena yang paling beradab dan paling tinggi kebudayaannya
diantara semua bangsa zaman purbakala, harga wanita tidak lebih harga hewan,
yang bisa dijual dipasar dan diperjualbelikan kepada orang lain, serta
diwariskan. Romawi didirikan dalam keaadan yang aneh. itulah sebabnya
poligami sah pada awalnya berdiri.29
Perkawinan model seperti ini telah menjadi tradisi yang mendarah
daging dikalangan bangsa arab sebelum kedatangan islam, bahkan bukan hanya
poligami, poliandri juga merupakan hal yang wajar pada saat itu.30
2. Poligami setelah datangnya Islam
Ketika islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta
dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan,
28
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, h. 169.
29
Ibid, h. 170.
30
Anik Farida, Menimbang Dalil-Dalil Poligami, h. 16.
18
nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan
ayat.31
Pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat saja,
diriwayat oleh Naufal ibn Muawiyyah. Ia berkata: Ketika aku masuk islam, aku
memiliki lima orang istri. Rasullah berkata: ceraikanlah yang satu dan
pertahankanlah yang empat. Pada riwayat, lainya dari Qais ibn Tsabit berkata:
ketika aku masuk islam, aku punya delapan istri. Aku sampaikan kepada
Rosulullah Saw lalu berkata Rosulullah pilih empat dari mereka dan
pertahankan.32
Kedua menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu
berlaku adil kepada istri-istrinya .dengan demikian dapat dilihat bahwa praktek
poligami dimasa islam dengan sebelumnya sangat berbeda33
. Islam
membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai alternatif
ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau
sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinya agar tidak sampai pada
lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh
sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus ke
31
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 4.
32 Ibid, h. 5
33 Musyfir Al-Jahrani, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), Cet. Ke-1, h. 52.
19
jurang kemaksiatan yang dilarang islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu
boleh beristri lagi (Poligami) dengan syarat berlaku adil.34
Namun laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian nafkah
sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia tidak mungkin dapat
berbuat adil secara hakiki.35
Untuk dapat memahami makna poligami Nabi Saw secara benar,
seseorang harus memahami dan menghayati perjalanan hidup pribadi nabi
Muhammmad Saw. Nabi menikah pertama kali dengan Khadijah binti khuwailid
ketika berusia 25 tahun sementara khodijah berumur 40 tahun, data-data sejarah
mencatat betapa bahagianya perkawinan Nabi saat itu karena dikarunia anak 4
perempuan dan 2 laki-laki ,namun anak laki-lakinya meninggal kedua-duanya
ketika masih anak-anak. Sampai khadijah wafat nabi tidak menikah dengan
perempuan lain. Selama 28 tahun, Nabi menjalankan monogami, 17 tahun
dijalani semasa nabi belum diangkat menjadi rosulullah dan 11 tahun setelah
menjadi rosulullah.36
Setelah dua tahun dari khadijah wafat, barulah Nabi menikah lagi yaitu
dengan Saudah binti Zamah namun usia Saudah agak lanjut lalu Nabi menikah
lagi dengan Aisyah binti Abu Bakar. Sejarah mencatat nabi melakukan poligami
34
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 358.
35 Ibid, h. 357.
36
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 22
20
setelah berumur 54 tahunan yang biasanya pada usia itu kemampuan laki-laki
dalam seksual menurun, jika ditelusuri motif Nabi menikah dengan Saudah
adalah untuk melindungi saudah karena suaminya wafat dalam perang jihad
yang dimana agar Saudah tidak terlantar dan melindungi dari tekanan
keluarganya yang masih pada musyrik.37
C. Dalil-dalil Poligami
Dasar pokok Islam yang membolehkan poligami ialah firman Allah Swt :
( النسا ء:٣ )
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. (An-nisa :3) 38
Dari ayat diatas merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim
yang kemudian disebut sebagai dasar kebolehan beristri lebih dari satu sampai
empat. Karena erat hubungan pemeliharaan anak yatim dan beristri lebih dari
satu sampai empat, yang terdapat dalam ayat diatas maka akan dipaparkan
37
Ibid, h. 23
38
Sohari Sahrani, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 358
21
dahulu tentang asal mula turunnya ayat ini menurut tafsir Aisyah r.a., ayat ini
turun karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair kepada Aisyah istri Nabi
Saw, “ Wahai anak saudara perempuanku, yatim disini dimaksudnya anak
perempuan yatim yang berada di bawah asuhan walinya mempunyai harta
kekayaan bercampur dengan harta kekayaan serta kecantikannya membuat
pengasuh anak yatim itu senang kepadanya,lalu ia ingin menjadikannya sebagai
istri, tetap tidak mau memberikan mas kawin dengan adil, yaitu memberikan
mas kawin yang sama dengan perempuan lainnya”. oleh karena itu pernikahan
seperti itu dilarang kecuali kalau mau berlaku adil.39
Menurut para ulama sepakat bahwa siapa yang yakin dapat berlaku adil
terhadap anak perumpuan yatim, maka ia berhak untuk menikahi wanita lebih
dari satu, sebaliknya apabila takut tidak dapat berlaku adil maka ia dibolehkan
menikah dengan perempuan lain.40
Selanjutnya dalil yang kedua mengenai masalah poligami menyangkut
masalah keadilan yaitu, Allah berfirman:
(۲۱٩النساء :)
39
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 368.
40 Ibid, h. 370
22
Artinya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (An-Nissa: 129)41
Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila
keadilan dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu
adanya didalam genggaman Allah Swt, yang mampu membolak baliknya
menurut kehendaknya. Begitu pula dengan masalah bersetubuh kadang dia
bergairah dengan istri yang satu sedangkan dengan istri yang lainya tidak.
Dalam hal ini apabila tidak disengaja ia tidak terkena dosa karena berada diluar
kemampuannya.42
Sifat adil dalam surat an-nissa ayat 3 bukanlah sifat adil yang ada di
ayat 129, sifat adil dalam ayat 3 itu sifat adil dalam nafkah yang dapat dijangkau
seperti memberikan rumah, menginap. Said ibn Zubair memberikan komentar
bahwa surat an-nissa ayat 3 merupakan ancaman bagi mereka yang tidak
mampu berlaku adil terhadap anak yatim.43
Sedangkan adil dalam ayat 129
adalah adil dalam sifat jiwa atau diluar kesanggupan manusia seperti rasa cinta
41
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rosulullah Saw, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1993), Cet. Ke-1. h. 14
42 M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 363
43 Anik Farida, Menimbang Dalil-Dalil Poligami, h. 26
23
kepada istri yang satu dengan istri yang lain tidak mungkin sama karena itu
masalah hati kekuaasan Allah swt.44
Dalam sebuah hadist Nabi Saw. Juga disebutkan
Rasulullah SAW bersabda:
عي ا بي ُزيز ة ا ى الٌبي صلي هللا عليَ و سلن قا ل : هي كا ًت لَ اهز ا تا ى فوا ل ا لي
القيا هت و شقَ ها ئل )رو ا ٍ ا بو دا و د و التز هيذ ى و الٌسا ء و ا بي احد ا ُوا جا ء يوم
حبا ى(45
"Dari Abu Hurairoh r.a sesungguhnya Nabi Saw bersabda: Barangsiapa yang
mempunyai dua isteri, kemudian lebih mencintai kepada salah satu di antara
keduanya maka ia datang pada hari kiamat sedangkan tubuhnya miring sebelah".
(HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Hiban)
Kalau hadist diatas seolah-olah bertentangan dengan ayat 129 surat an-nissa
dan ayat 3, sesungguhnya pada hakikatnya kedua ayat tersebut tidaklah
bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriah bukan
kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil
dalam masalah cinta dan kasih sayang.46
44
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rosulullah Saw, h. 16
45 Abi Daud Al-Sijistani, Sahih Abu Daud, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1998), h. 328 hadis
nomor 2133.
46
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 362
24
D. Pengertian PNS
Kranenburg memberikan definisi dari pegawai negeri yaitu pejabat
yang ditunjuk jadi pengertian tersebut tidak termasuk terhadap mereka yang
memangku jabatan mewakili seperti anggota parlemen, presiden dan sebagainya.
Logemann memberikan definisi pegawai negeri yaitu tiap pejabat yang
mempunyai hubungan dinas dengan negara.47
Pegawai negeri sipil, menurut kamus umum bahasa indonesia
”pegawai” berarti orang yang bekerja pada pemerintahan (perusahan atau
sebagainya) sedangkan ’’negeri’’ berarti negara atau pemerintahan jadi pegawai
negeri sipil adalah orang yang bekerja pada pemerintahan atau negara.48
Pengertian pegawai negeri menurut Mahfud M.D dalam buku
kepegawaian, terbagi dalam dua bagian yaitu pengertian stipulatif (penetapan
makna yang diberikan undang-undang) dan pengertian ekstensif (perluasan
pengertian).49
Pengertian stipulatif
Pasal 1 angka 1 UU No.3 tahun 1999 pegawai negeri adalah setiap
warga negara republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserah tugaskan dalam suatu jabatan
47
Muchsan, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), h. 13.
48
Sri Hartini, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet, Ke-1, h. 32.
49
Ibid, h. 33.
25
negri atau diserah tugaskan negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.50
Pengertian ekstensif
Ketentuan pasal 92 KUHP dimana diterangkan bahwa yang termasuk
dalam arti pegawai negeri adalah orang–orang yang dipilih dipemilihan
berdasarkan peraturan-peraturan dan juga mereka yang bukan dipilih, tetapi
diangkat menjadi anggota dewan rakyat serta kepala-kepala desa dan
sebagainya. Pengertian pegawai negeri menurut KUHP sangat luas tetapi
pengertiannya hanya berlaku dalam hal ada orang yang melakukan kejahatan
atau pelanggaran jabatan dan tindak pidana lain yang disebut dalam KUHP.51
Dalam UU no 43 Tahun 1999 pasal 2 pegawai negeri terdiri dari:
1. Pegawai Negeri Sipil.
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia
3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dari pasal 2 diatas tidak dijelaskan masing-masing pengertian namun
kita dapat ambil suatu kesimpulan apa yang dimaksud pegawai negri sipil yaitu
pegawai negeri yang bukan anggota TNI dan kepolisian.52
50
Tedy Sudrajat, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 32.
51
Setiajeng Kadarsih, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 33.
52
Victor M. Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Rineka Cipta 1988),
Cet, Ke-1, h.20
26
Jadi apabila kita rincikan pegawai negeri sipil ialah “pegawai” berarti
orang yang bekerja pada pemerintahan sedangkan “negeri’’ berarti negara atau
pemerintahan “ sipil ” jadi pegawai negeri sipil adalah orang yang bekerja pada
pemerintahan atau negara.53
E. Jenis - Jenis PNS
Menurut UU No 43 tahun 1999 Pegawai Negeri Sipil dibagi dalam
2 jenis yaitu :
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat
Yang dimaksud pegawai negeri sipil pusat adalah pegawai negeri sipil
yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan
bekerja pada Departemen, Lembaga pemerintahan nondepartemen,
Kesekertariatan lembaga negara, instansi vertikal di daerah provinsi kabupaten
atau kota, kepaniteraan pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan
tugas negara lainnya.54
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah
Yang dimaksud pegawai negeri sipil daerah adalah pegawai negeri
sipil daerah provinsi/kabupaten/kota yang gajinya dibebankan pada anggaran
pendapatan daerah dan bekerja pada pemerintah daerah, atau diperkerjakan
diluar instansi induknya.
53
Ibid, h. 21
54
Sri Hartini, Hukum Kepegawaian, h. 36.
27
Pegawai negeri sipil pusat dan pegawai negeri sipil daerah yang
diperbantukan diluar instansi induk, gajinya dibebankan pada instansi yang
menerima perbantuan. Disini bisa diambil contoh seperti pegawai negeri sipil
yang diperbantukan di instansi kepolisian maka gaji dia dibebankan pada
instansi tersebut.55
Dapat diambil kesimpulan untuk membedakan pegawai negeri sipil
pusat atau pegawai negeri sipil daerah maka dilihat dari gaji pegawai negri sipil
tersebut dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
55
Victor M. Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, h. 22.
28
BAB III
PANDANGAN HUKUM TENTANG CARA POLIGAMI
A. Bagaimana Cara Poligami Menurut Hukum Islam
Poligami dalam Islam merujuk kepada Al-Quran yang menjadi legalitas
seseorang berpoligami yaitu surat An-Nisa ayat 3 dan ayat 12956
. Dimana ayat 3
berbunyi;
( النسا ء:٣ )
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. (An-nisa:3)57
Ayat di atas tersebut memberikan syarat untuk berlaku adil bagi laki-
laki yang ingin berpoligami, serta memberi batas berpoligami yaitu hanya
sampai empat saja. Dalam islam seseorang yang ingin beristri lagi hanya
56
Evi Muafiah, Poligami Dalam Tafsir Ulama, (Ponorogo: Stain Ponorogo Press, 2008), Cet.
Ke-1, h. 25.
57
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta:
Pustaka Al-Kausar, 2007), Cet. Ke-1, h. 133.
29
dibebankan dengan dua syarat yang mutlak yaitu pertama mampu atau yakin
dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya. Kedua jumlahnya
dibatasi sampai empat saja.58
Dalam syarat pertama yaitu mampu berlaku adil dalam surat An-Nissa
ayat 3 dimana berlaku adil dalam ayat ini yaitu berlaku adil bagi anak yatim,
berlaku adil disini yaitu berlaku adil dalam urusan harta seperti yang telah
diriwayatkan bahwa turunnya surat An-Nissa ayat 3 ini dikisahkan dalam tafsir
Aisyah r.a.59
, ayat ini turun karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair
kepada Aisyah istri Nabi Saw, “ Wahai anak saudara perempuanku, yatim disini
dimaksudnya anak perempuan yatim yang berada di bawah asuhan walinya
mempunyai harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaan serta
kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya,lalu ia ingin
menjadikannya sebagai istri, tetap tidak mau memberikan mas kawin dengan
adil, yaitu memberikan mas kawin yang sama dengan perempuan lainnya.. oleh
karena itu pernikahan seperti itu dilarang kecuali kalau mau berlaku adil.60
Namun syarat yang pertama itu juga terdapat dalam surat An-Nissa ayat 129
yang berbunyi:
58
Rodli Makmun, DKK, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: Stain
Ponorogo Press, 2009), Cet. Ke-1, h. 19.
59
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 142.
60
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2009), h. 368.
30
( النساء
:۲۱٩) Artinya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (An-Nissa: 129)61
Dalam ayat 129 di atas yang dimaksud berlaku adil ialah berlaku adil
dalam urusan hati. Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar
apabila keadilan dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab,
cinta itu adanya didalam genggaman Allah Swt, yang mampu membolak
baliknya menurut kehendaknya.62
Jadi dapat diambil kesimpulan dari surat An-Nissa ayat 3 dan ayat 129
bahwa dalam mampu berlaku adil yang menjadi syarat berpoligami itu ialah
mampu berlaku adil dalam urusan harta seperti pembagian jatah uang kepada
istri-istri, namun dalam masalah hati manusia tidak mungkin bisa berlaku adil
karena masalah hati urusan Allah Swt.
61
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rosulullah Saw, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1993), Cet. Ke-1. h. 14
62
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h. 363.
31
Di kalangan para ahli hukum Islam (fuqaha), seperti Malik ibn Anas, asy-
Syafi`i, as-Sarakhsi, Ibn Mas`ud al-Kasani (Ulama Hanafiyah) dan Ibn Qudamah
(Ulama Hanabilah) poligami diperbolehkan bagi seorang suami yang hendak
melakukannya, dengan syarat sebagaimana ditetapkan al-Qur’an, yaitu; (1) tidak
melebihi dari empat orang isteri (sebagai batas maksimal toleransinya). (2)
memiliki kemampuan untuk menafkahi para isterinya dan kemampuan berlaku
adil di antara mereka.
Adapun konsep adil dalam poligami menurut Imam empat Madzhab adalah,
menurut Imam Syafe’i adil dalam poligami yaitu Dalam hal keadilan, asy-
Syafi`i menambahkan bahwa keadilan itu bersifat materi bukan immateri (cinta
dan kasih sayang) yang terkait dengan (perasaan) hati. Karena keadilan immateri
sangat sulit diwujudkan maka keadilan yang mungkin dapat direalisasikan oleh
manusia adalah bersifat fisik, yaitu perbuatan dan perkataan. Penafsiran yang
demikian ini dibenarkan oleh ayat yang lain; Al-Ahzab (33):50 dan An-Nisa’
(4):19.
Menurut Imam Hambali, konsep adil dalam poligami adil berkonsisten
dengan ajaran agama, dalam perkataan dan perbuatan.
Menurut Imam Hanafi konsep adil adalah konsisten menjalankan perintah
agama, lebih dahulu mempertimbangkan akal dalam mengambil suatu keputusan
dibandingkan hawa nafsu.
32
Sedangkan menurut Imam Maliki, adil adalah melakukan kebaikan tanpa
harus ada yang dirugikan.63
Berbeda dengan pandangan para ahli hukum Islam di atas, kalangan mufassir
kontemporer, seperti Mahmoud Muhamed Taha, Muhammad Abduh, Qasim
Ahmad (modernis Mesir)dan lainnya justru mengarah pada larangan poligami.
Menurut Taha, ajaran murni dalam Islam adalah monogami, dengan tanpa
perceraian. Larangan poligami sebenarnya sudah tersirat pada An-Nisa ayat 3
yang dipertegas dengan ayat 129 yang menyatakan: “dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang perempuan saja”. Namun
karena Islam turun pada masyarakat yang tidak menghargai perempuan dan
seorang laki-lakinya dapat menikahi lebih dari sepuluh perempuan, maka syariah
Islam membolehkan poligami secara terbatas, meskipun tidak secara langsung
menganjurkan monogami karena kondisi masyarakat yang tidak memungkinkan
Berbeda dengan keduanya, Syahrur ulama dari kairo justru berpendapat
bahwa sesungguhnya Allah tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan
tetapi sangat menganjurkannya dengan dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama,
istri kedua, ketiga dan keempat harus seorang janda yang memiliki anak yatim.
Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak
yatim. Bila kedua syarat di atas tidak dipenuhi maka gugurlah perintah poligami
atas dirinya. Syahrur tidak setuju bila konsep adil dalam ayat ini dimaksudkan
63
“ Konsep Adil Menurut Imam Empat Madzhab “ diakses pada tanggal 12 Januari 2011 dari
harysaputrapaw.blogspot.com
33
sebagai adil dalam menggilir nafkah batin (al-qasam li ad-dukhul). Ayat ini
menurutnya, berkenaan dengan konsep keadilan sosial kemasyarakatan yang
terkait dengan anak yatim, bukan keadilan pembagian jatah kebutuhan biologis.
Dengan demikian, poligami itu tidak hanya berarti menjadikan ibu-ibu anak
yatim sebagai isteri kedua dan seterusnya, tetapi juga berarti menjadikan anak-
anak yatim sebagai anak yang berhak mendapatkan pendidikan dan nafkah
(finansial).
Asghar Ali Engineer, dalam bukunya, The Rights of Women in Islam,
menyatakan bahwa poligami bersama pergundikan adalah sarana pelampiasan
nafsu seksual yang bernaung di bawah hak kepemilikan (milk al-yamin).
Keduanya bukan ajaran murni Islam tetapi sudah menjadi tradisi umat manusia
selama berabad-abad sebelum kedatangan Islam. Menurut Asghar, poligami
merupakan pintu darurat bagi sekelompok laki-laki yang benar-benar terdesak
untuk mendapatkan sesuatu dalam perkawinan yang tidak diperoleh dari
isterinya (yang pertama). Ia tidak mendapatkan kesenangan dan ketenangan jiwa
(sakinah) sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Sehingga ia terdorong untuk
mencari kepuasan dan kesenangan di luar cara-cara yang legal dan sah, yaitu
perkawinan. Dengan demikian, poligami tidak dianjurkan atau diwajibkan, tetapi
juga tidak dilarang oleh Islam. Asghar menolak pandangan kalangan
tradisionalis yang melegalkan hubungan seksual tanpa akad nikah dengan budak-
budak perempuan dan tawanan perang perempuan yang dimiliki seseorang
34
(pergundikan). Setiap hubungan seksual harus diperoleh dengan cara legal dan
sah, yaitu dengan akad.64
Menengahi perdebatan di atas, seorang mufassir Indonesia, M. Quraish
Shihab menyatakan bahwa al-Qur’an tidak pernah membuat peraturan tentang
poligami, baik mewajibkan atau pun menganjurkannya. Karena praktek poligami
telah berjalan jauh sebelum Islam datang. Dispensasi poligami tidak lain
merupakan sebuah darurat kecil yang hanya bisa dilalui pada saat sangat
membutuhkan dan dengan syarat yang tidak mudah. Jika demikian halnya, maka
pernyataan al-Qur’an tentang poligami hendaknya tidak dilihat terbatas pada segi
ideal atau baik dan buruknya, tetapi juga harus dilihat dari sudut pandangan
pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Maka dari itu,
wajar bagi satu perundang-undangan terlebih Islam sebagai agama universal dan
berlaku setiap waktu dan kondisi untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang
boleh jadi terjadi pada satu ketika, walaupun kejadian itu hanya merupakan
kemungkinan. Dalam pandangan Quraish Shihab, menutup rapat (melarang
poligami) atau sebaliknya membuka lebar-lebar peluang poligami adalah kurang
bijaksana (kurang logis). Ada beberapa alasan atau kondisi poligami
diperbolehkan, seperti mandul, sakit parah yang tidak memungkinkan hubungan
biologis, dan kondisi-kondisi lain yang menyerupai hal itu.
64
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, cet. 1 (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 94
35
Fazlur Rahman mengatakan poligami merupakan perkawinan yang bersifat
kasuistik dan spesifik untuk menyelesaikan masalah yang ada saat itu, yakni
tindakan para wali yang tidak rela mengembalikan harta kekayaan anak yatim
setelah anak itu menginjak usia cukup umur (balig). Rahman tidak setuju dengan
formulasi para modernis lain yang menggunakan QS. (4):3 dan 129 sebagai
dasar asas perkawinan Islam adalah monogami, yakni dengan logika berpikir, al-
Qur’an membolehkan poligami dengan syarat berlaku adil, tetapi disebut bahwa
manusia tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap para isterinya. Mungkin
esensinya benar, bahwa al-Qur’an menghendaki asas monogami, tetapi formulasi
modernis kurang meyakinkan. Sebab dengan konsep demikian terkesan
ditemukan kontradiksi dalam al-Qur’an. Menurut Rahman, bolehnya poligami
hanya bersifat temporal, dan tujuan akhirnya adalah menghapuskannya. Hal ini
sejalan dengan tujuan al-Qur’an untuk menegakkan keadilan sosial (social
justice), umumnya kepada masyarakat secara menyeluruh, dan terutama
komunitas perempuan. Atas dasar itu, pengakuan dan kebolehan poligami hanya
bersifat ad hoc, untuk menyelesaikan masalah yang terjadi saat itu.65
Dengan demikian laki-laki yang akan beristri lebih dari seorang atau
bahasa populernya poligami dengan cara islam hanya harus memenuhi syarat
utama yaitu berlaku adil dalam urusan harta dan syarat kedua yaitu hanya
dibatasi empat istri saja.
65
Haifa A. Jawad, The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach, h. 146.
36
B. Cara Poligami Menurut PP No. 45 Tahun 1990
Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 mengatur tentang perkawinan
bagi PNS dimana berisikan tentang poligami termuat dalam pasal 4, 9, 12 dan
15. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri
lebih dari seorang wajib memenuhi izin lebih dahulu dari pejabat diatasnya harus
diajukan secara tertulis dan mencantumkan alasan lengkap yang mendasari
permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.66
Sementara Pegawai Negeri
Sipil wanita tidak diizinkan menjadi istri kedua/ketiga/keempat ketentuan ini
mengandung pengertian bahwa selama berkedudukan sebagai istri
kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi Pegawai Negeri Sipil.67
Pasal 4 seluruhnya berbunyi:
1. Pegawai Negeri Sipil yang akan beristri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
2. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizin untuk menjadi istri
kedua/ketiga/keempat.
3. permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan secara
tertulis.
66
Anik Farida, Menimbang Dalil-Dalil Poligami, (Jakarta: Balai Penelitian Dan
Pengembangan Agama, 2008), h. 39.
67
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet. Ke-3, h.
367.
37
4. dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin
untuk beristri lebih dari seorang.
Terlihat pada pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 diatas
bahwa Pegawai negeri sipil pria yang akan melakukan perkawinan lebih dari
seorang wajib memperoleh izin dari pejabat atasannya beserta melampirkan
alasan-alasan yang menjadi dasar untuk melakukan poligami sedangkan bagi
pegawai negeri sipil wanita dilarang menjadi istri kedua/ketiga/keempat.68
Poligami bagi PNS, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990. Bagi PNS yang
hendak menikah kembali, harus terlebih dahulu mendapat ijin dari atasannya,
permintaan ijin diajukan secara tertulis dengan mencantumkan alasan yang
lengkap yang mendasari permohonan tersebut.69
PNS harus memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif seperti
diatur dalam Pasal 4 ayal (2) UUP jo Pasal 41 PP Nomor 9 Tahun 1975.70
Disamping itu, PNS yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan
kumulatif sebagaimana dituangkan dalam Surat Edaran Badan Administrasi
Kepegawaian Negara (BAKN) Nomor 08/SE/I 983 yang terdiri dari :71
68
Pasal 4 PP No. 45 Tahun 1990.
69
PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
70
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 31.
38
a. Ada persetujuan isteri yang disahkan oleh atasan PNS yang bersangkutan
serendah-rendahnya pejabat eselon IV.
b. PNS yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup.
c. Ada jaminan tertulis bahwa PNS tersebut akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anaknya.72
Ketentuan di atas berlaku juga bagi anggota TNI yang akan beristeri lebih
dari seorang. Dia harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari komandannya.
Keharusan tersebut tertuang dalam Surat Keterangan Menteri Pertahanan
Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata (Menhankam/Pangab) Republik
Indonesia Nomor Kep/12/III/1972.
Dalam hal pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan
perkawinan lebih dari seorang atau poligami dilakukan secara tertulis dalam
jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan sejak permintaan izin itu diterima.
Dalam hal pemberian izin atau penolakan izin dari pejabat untuk melakukan
perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang (poligami) dilakukan secara
tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan sejak diterimanya
permintaan izin tersebut itu.
71
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h. 108
72
Pasal 10 PP No.10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil.
39
C. Cara Poligami Menurut KHI
KHI singkatan dari Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh
pemerintah melalui Inpres No.1 Tahun 1991, di dalam KHI dibahas tentang
perkawinan pada Bab IX dengan judul beristri lebih dari satu orang atau yang
lebih populer disebut poligami, dalam KHI dibahas tentang poligami terdapat
pasal 55, 56, 57, 58 dan 59.73
Dalam pasal 55 menyebutkan bahwa bagi suami yang akan beristri lebih
dari satu terbatas hanya sampai empat orang dan syarat utamanya adalah suami
harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Apabila syarat
utama ini tidak dapat dipenuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari seorang.74
Selanjutnya dalam pasal 56 menerangkan, apabila seorang suami yang
akan beristri lebih dari satu orang, maka ia wajib mengajukan secara tertulis ke
Pengadilan Agama dan harus mengikuti prosedur yang diatur dalam bab VIII
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Apabila perkawinan yang dilakukan
tanpa izin dari pengadilan agama maka tidak mempunyai kekuatan hukum.75
Dapat dilihat dari pasal 55 dan 56 di atas, KHI sepertinya tidak berbeda
dengan undang-undang perkawinan serta termasuk didalamnya semangat fiqih.
73
Ahmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 1995),
Cet. Ke-1, h. 120.
74
Pasal 55 KHI
75
Pasal 56 KHI
40
Namun pada dasarnya peluang yang diberikan untuk poligami juga terbuka
lebar. Demikian, kontribusi KHI hanya sebatas tata cara prosedurnya
permohonan poligami.76
Di dalam pasal 57 menjelaskan tentang alasan-alasan pengadilan agama
mengizinkan seorang suami melakukan poligami. Terdapat pada pasal 57 KHI,
pengadilan agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih
dari satu apabila terdapat alasan-alasan sebagai seberikut:
1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dapat dilihat dalam pasal 57 ini syarat untuk mendapat izin dari pengadilan
agama harus memenuhi syarat yang diatas dimana syarat tersebut sama persis
dengan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.77
Dalam pasal 58 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
76
Amiur Nuruddin Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004), Cet. Ke-4, h. 167.
77
Pasal 57 KHI
41
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-
isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara
tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang
Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian karena istri
tersebut menghilang atau tidak ada kabar sekurang-kurangnya dua tahun,
atau sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.78
Apabila seorang istri tidak memberikan persetujuan dan permohonan izin
untuk suami beristri lagi maka berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat 2 dan pasal 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di
persidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.79
78
Pasal 58 KHI
79
Pasal 59 KHI
42
Terlihat pada pasal 59 di atas mengisyaratkan betapa besarnya wewenang
pengadilan agama dalam memberikan suatu izin, sehingga istri yang tidak mau
memberikan persetujuan kepada suami yang ingin berpoligami dapat diambil
alih oleh pengadilan agama. Namun dapat dilihat dari pasal-pasal di atas yang
hampir semuanya isi mengadopsi dari Undang-Undang No.1 tahun 1974.80
D. Cara Poligami Menurut UU No.1 Tahun 1974
Poligami dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 disebut juga dengan
perkawinan kedua, ketiga, keempat namun dalam prinsipnya undang-undang
perkawinan di Indonesia menganut sistem monogami tertuang dalam pasal 3
ayat 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
“ pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”81
Walaupun dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 telah menganut
prinsip monogami, tetapi dalam pelaksanaannya prinsip ini tidak berlaku mutlak,
dalam undang-undang ini tetap diperbolehkan poligami dengan persyaratan yang
sangat ketat, dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukannya.
Dengan ada pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami meskipun dengan
alasan yang sangat ketat jelas membuktikan dalam Undang-Undang No.1 tahun
80
Anik Farida, Menimbang Dalil-Dalil Poligami, h. 37.
81
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Pramita, 2006), Cet. Ke-37, h. 538.
43
1974 bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka
menurut pendapat Yahya Harahap.82
Menurut pendapat Buya Hamka memberi gambaran bahwa kebolehan
laki-laki berpoligami seperti keberadaan pintu emergency (darurat) disebuah
pesawat terbang. Ketika pesawat tinggal landas semua penumpang pesawat tidak
diperbolehkan membuka pintu darurat, ia harus mendapat izin pilot untuk
membukanya kecuali dalam hal-hal yang sangat darurat, sama halnya dengan
poligami.83
Dalam undang-undang no.1 1974 tentang perkawinan menurut pasal 3, 4
dan 5 yang berisikan tentang aturan kebolehan beristri lebih dari seorang yang
berisikan alasan serta syarat-syarat beristri lebih dari seorang atau yang disebut
poligami. Seperti pasal 3 ayat 2 yng menerangkan bahwa pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan ayat ini jelas sekali bahwa
undang-undang no.1 tahun 1974 telah melibatkan peradilan agama sebagai
instansi yang cukup penting sebagai keabsahan kebolehan poligami bagi
seseorang.84
82
Amiur Nuruddin Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 156.
83
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-Kahfi, 2008),
Cet. Ke-1, h. 204.
84
Amiur Nuruddin Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 157.
44
Dalam pasal 4 ayat 1 menerangkan bahwa apabila seorang suami yang
akan berpoligami maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di
daerah tempat tinggalnya. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan alasan-
alasan pengadilan mengizinkan seorang suami berpoligami apabila:
4. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
5. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
6. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan-alasan diatas adalah mengacu kepada tujuan
pokok perkawinan itu dilaksanakan yaitu membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal bardasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika
ketiga hal diatas menimpa suatu keluarga atau pasangan suami istri sudah barang
tentu kehampaan dan kekosongan manis dan romantisnya kehidupan rumah
tangga yang menerpanya. Seperti istri tidak dapat memberikan keturunan tentu
akan terjadi kepincangan yang mengganggu laju bahtera rumah tangga yang
bersangkutan. Demikian juga apabila istri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.85
Pada alasan ketiga tidak setiap pasangan suami istri yang istrinya tidak
dapat melahir keturunan memilih alternatif berpoligami, mereka kadang
menempuh cara mengangkat anak asuh. Namun jika suami ingin berpoligami
85
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 121
45
adalah wajar dan masuk akal, karena keluarga tanpa kehadiarannya seorang anak
tidaklah lengkap seperti sayur asam tanpa garam.86
Dalam pasal 4 ayat 2 merupakan syarat alternatif pada pihak istri apabila
ada salah satu ketentuan diatas terjadi pada pihak istri maka bisa menjadi salah
satu alasan seorang suami untuk berpoligami.
Dalam pasal 5 undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan
dijelaskan:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut
- adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud disini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab lain
86
Ibid., h. 144
46
yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan, maka suami tidak
memerlukan persetujuan dari istri/istri-istrinya.87
Dalam pasal 5 diatas merupakan persyaratan kumulatif dimana seluruhnya
harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.
Tata cara dan prosedur poligami menurut Undang-Undang No.1 Tahun
1974. Pertama, seorang suami yang akan melakukan poligami maka ia wajib
mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan sebelum pengadilan
memutuskan akan memberikan izin atau tidak sekaligus untuk meyakinkan data-
data yang ada, pengadilan lebih dahulu mengadakan pemeriksaan terpenuhi atau
tidaknya syarat-syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Dalam
pemeriksaan tersebut pemeriksa harus memanggil dan mendengarkan istri yang
bersangkutan. Jangka waktu pemeriksaan persyaratan-persyaratan yaitu 30 hari
setelah diterimanya permohonan tersebut. Apabila pengadilan merasa cukup
alasan bagi pemohon untuk melakukan poligami, maka pengadilan mengabulkan
permohonan pemohon untuk melakukan poligami.
E. Apa Perbedaan dan Persamaan Cara Poligami Menurut Hukum Islam,
PP No. 45 Thn 1990, KHI dan UU No.1 Thn 1974
Dapat dilihat dari keseluruhan cara poligami diatas dimana poligami
menurut hukum islam hanya memerlukan dua syarat yaitu mampu berlaku adil
87
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2008),
h. 81
47
dan terbatas hanya empat saja.88
Mampu berlaku adil disini yaitu mampu berlaku
adil dalam urusan harta, pembagian giliran atau jatah, bukan berlaku adil dalam
urusan hati karena manusia tidak mungkin dapat berlaku adil dalam urusan
hati.89
menurut pendapat Abu Bakar bin Araby, dalam hukum islam orang yang
akan berpoligami tidak memerlukan izin dari seorang istri karena poligami
dalam islam merupakan hak seorang suami dan tidak terdapat ayat dalam Al-
Quran yang mengharuskan seorang yang ingin berpoligami memerlukan izin
dari istri/istri-istrinya maupun riwayat hadist yang menyatakan Nabi Saw
meminta izin untuk berpoligami kepada istri/istri-istrinya.90
Namun dalam UU No.1 Tahun 1974 orang yang akan berpoligami harus
memenuhi beberapa syarat pertama seorang suami tersebut harus mengajukan
permohonan izin kepengadilan untuk mendapatkan izin dari pengadilan, namun
untuk mendapatkan izin dari pengadilan seorang suami harus memenuhi
beberapa syarat yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri
tidak dapat melahirkan keturunan. Namun dalam syarat diatas merupakan syarat
alternatif apabila terdapat salah satu pada istri maka sudah cukup terpenuhi
88
Diakses pada 27 Juli 2010 “ Islam Menyoal Poligami”, http://www.cybermq.com/pustaka
/print/20/284.
89
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-1, h. 191
90
Rodli Makmun, DKK, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur, h. 11-12
48
syaratnya tetapi masih ada lagi syarat untuk mendapatkan izin dari pengadilan
yaitu harus memenuhi pasal 5 yang berbunyi :
- adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.91
persetujuan yang dimaksud disini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab lain yang perlu
mendapat penilaian dari hakim pengadilan, maka suami tidak memerlukan
persetujuan dari istri/istri-istrinya.
Perbedaan cara poligami di Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) seorang yang
ingin melakukan poligami, dalam KHI harus memenuhi syarat seperti dalam
hukum islam yaitu mampu berlaku adil dan terbatas hanya boleh beristri empat
saja dalam waktu bersamaan.92
namun dalam KHI ditambahkan dengan syarat
harus mendapat izin dari pengadilan yang untuk mendapat izin dari pengadilan
91
Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan Dan manajemen Keluarga, (Jakarta: FSH
UIN Jakarta, 2006) h. 41.
92 Diakses pada 27 Juli 2010 www.fahmina.or.id/../703.html
49
harus memenuhi syarat yang diatur dalam UU No1 tahun 1974 yang terdapat
dalam pasal 4 dan 5.93
Dalam peraturan pemerintah No. 45 tahun 1990 peraturan ini hanya
berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil, dapat terlihat dalam PP No.45 Tahun 1990
yang dimana berisikan bahwa seorang yang ingin berpoligami dia harus
mendapatkan izin dari atasannya yang dilengkapi dengan alasan - alasan yang
mendukung untuk melakukan poligami tersebut, bagi seorang pegawai negeri
yang akan berpoligami harus meminta izin kepada atasan atau pejabat minimal
golongan IV. 94
Setelah mendapat izin dari atasannya maka seorang pegawai negeri sipil
baru mengajukan permohonan izin kepengadilan dengan harus mendapatkan
persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan.95
seterusnya sama semua
dengan cara merujuk pada UU No.1 tahun 1974.
Dapat dilihat perbedaan terjadi prosedur untuk pegawai negeri yang akan
berpoligami yaitu harus mendapat izin dari atasan atau pun pejabat setempat dan
bila tidak mendapat izin bisa langsung dikenakan sanksi apabila tetap
melakukannya.
93
Diakses pada 27 Juli 2010 Hukum.unsrat.ac.id/uu/uu-1-74.html
94 Diakses pada 30 Juli 2010 www.legalitas.org/proses/pp.php
95 Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan
perceraian bagi pegawai negeri sipil (PNS).
50
Dari semua peraturan di Indonesia seorang yang ingin melakukan
poligami atau beristri lebih dari seorang terdapat persamaan yaitu pertama harus
mendapat izin dari istri/istri-istrinya semua itu terdapat dalam UU No.1 tahun
1974, KHI, dan PP No.45 Thn 1990. Dalam hukum islam seorang yang akan
berpoligami tidak perlu meminta izin dari seorang istri karena poligami itu
merupakan hak seorang pria, dari peraturan diatas maupun menurut hukum islam
semuanya dibatasi hanya boleh beristri sampai empat saja, peraturan-
peraturannya di indonesia itu merujuk pada aturan islam terbatas sampai empat
saja, karena mayoritas penduduk indonesia beragama islam jadi hukum dalam
perkawinan islam merujuk pada hukum islam, namun ada yang ditambahkan
poin-poinnya seperti harus meminta izin dari seorang istri.96
Persamaan dan Perbedaan Tata Cara Poligami Menurut Aturan Hukum
No. Aturan Hukum Persamaan Perbedaan
1. Hukum Islam 1. Adil
2. Terbatas hanya
boleh sampai
empat istri
1. Tidak perlu
meminta izin dari
istri pertama
2. Tidak perlu
mengajukan ke
Pengadilan
Agama
2. KHI 1. Adil
2. Hanya boleh
sampai empat istri
1. Harus
mengajukan
permihonan ke
Pengadilan
Agama dengan
alasan:
a. Istri tidak
96
Diakses pada 30 juli 2010 www.docstoc.com/docs/24679023
51
dapat
menjalankan
kewajibannya
b. Istri terdapat
cacat atau
penyakit yang
tidak dapat
disembuhkan
c. Istri tidak
dapat
melairkan
keturunan
2. Harus
mendapatkan izin
dari istri pertama
3. Dijamin dapat
memenuhi
nafkah seluruh
keluarga
3. UU No. 1 Th 1974 1. Adil
2. Hanya boleh
sampai empat istri
4. Harus
mengajukan
permihonan ke
Pengadilan
Agama dengan
alasan:
d. Istri tidak
dapat
menjalankan
kewajibannya
e. Istri terdapat
cacat atau
penyakit yang
tidak dapat
disembuhkan
f. Istri tidak
dapat
melairkan
keturunan
5. Harus
mendapatkan izin
dari istri pertama
6. Dijamin dapat
52
memenuhi
nafkah seluruh
keluarga
4. PP No. 45 Th 1990 1. Adil
2. Hanya boleh
sampai empat istri
1. Harus mendapat
izin dari dari
atasan yang
bersangkutan
2. Ada persetujuan
istri yang
disahkan oleh
pejabat eselon IV
3. Harus
mendapatkan izin
dari pengadilan
4. Mempunyai
penghasilan yang
cukup
5. Ada jaminan
tertulis tentang
adil
F. Kenapa Ada Perbedaan Tentang Cara Poligami Bagi PNS dan Warga
Sipil
Untuk mengetahui alasan kenapa cara poligami bagi Pegawai Negeri Sipil
diatur khusus dengan cara poligami bagi warga sipil bila dilihat dari
kedudukannya Pegawai Negeri sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara,
dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat
dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan
berkeluarga,97
jadi PNS bila ditinjau dari aspek yuridis PNS terikat oleh
97
Sri Hartini, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet, Ke-1, h. 66.
53
peraturan pemerintah yang dimana PNS merupakan cermin pemerintah sebagai
contoh dalam masyarakat. Pemerintah dalam undang-undang melihat PNS dari
segi negara sehingga menempatkan PNS sebagai unsur utama aparatur negara.98
PNS adalah manusia yang punya integritas kepribadian harga diri, punya
posisi sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat yang memahami kewajiban
dan tanggung jawabnya.99
Pegawai Negeri Sipil yang demikianlah yang
diharapkan memiliki kegairahan dan kegembiraan bekerja, penuh inisiatif dan
langkah-langkah yang positif, guna menciptakan prestasi kerja yang bermutu,
dan sikap mental dalam dinas dan pergaulan masyarakat yang dapat diandalkan
menjadi contoh.100
Oleh karena itu dalam rangka tugas pegawai negeri sipil yaitu tugas
pemerintah dan tugas pembangunan yang dipikulkan kepundaknya wajib
mengangkat sumpah pada saat ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Dalam
diktum sumpah tersebut dinyatakan bahwa akan menaati segala peraturan
Perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang
dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung
jawab.101
Sumpah merupakan ikrar yang diucapkan dibawah nama Allah,
98
Victor M. Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Rineka Cipta 1988),
Cet, Ke-1, h. 26.
99
Ibid., h. 27
100
Ibid, h. 28
101 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, h. 377
54
sumber dari segala moral yang agung, yang seharusnya ditaati dan ditepati
dengan setulus hati dan penuh penghayatan. Hendaknya sumpah ini bisa menjadi
tonggak moral yang kuat dimana setiap pegawai negeri dapat berpegangan
dengan kokoh dan teguh. Dengan demikian setiap pegawai negeri sipil tidak
mudah berbuat tindakan-tindakan yang keliru dan tercela, didalam dan diluar
dinas seperti misalkan perbuatan korupsi, peneriman sogokan, penyalahgunaan
kekuasaan serta sewenang-wenangan.102
Disini akan dipaparkan hak-hak pegawai negeri sipil sebagai aparatur
negara, abdi negara dan abdi masyarakat yaitu hak gaji yang layak, hak cuti, hak
perawatan jika ditimpa sesuatu kecelakaan, hak tunjangan apabila menderita
cacat, hak uang duka bagi keluarga, hak pensiun dan hak kenaikan pangkat.
Namun hak-hak pegawai negeri dapat dibagi dalam dua jenis yaitu :
Hak-hak materiil dan hak-hak non materil, pertama hak materiil terdiri
dari penghasilan pegawai negeri sipil yang berupa uang, jaminan hari tua,
pakaian dinas, perawatan, tunjangan cacat, uang duka. Selanjutnya hak non
materiil yaitu terdiri dari pangkat, pendidikan tambahan, istirahat, naik banding
dalam hal mendapat hukuman jabatan, serta usaha-usaha kesejahteraan pegawai
negeri sipil.103
102
Ibid., 380
103
Diakses pada 29 Juli 2010 dari www.inkepeg.net/infkepeg.php.
55
Selanjutnya akan di paparkan tentang kewajiban pegawai negeri sipil serta
kode etik pegawai negeri sipil yaitu;
1. Pegawai Negeri Sipil merupakan warganegara Kesatuan Republik
Indonesia yang berlandaskan atau berdasarkan Pancasila, yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan bersikap hormat
menghormati antara sesama Warga Negara yang memeluk
agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, yang
berlainan.104
2. Pegawai Negeri Sipil adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara,
dan Abdi Masyarakat, setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah serta
mengutamakan Kepentingan Negara di atas kepentingan diri sendiri,
seseorang atau golongan.
3. Pegawai Negeri Sipil menjunjung tinggi kehormatan Negara,
Pemerintah dan martabat Pegawai Negeri Sipil serta menaati segala
peraturan, perundang-undangan, peraturan kedinasan dan
Pemerintah, perintah-perintah atasan dengan penuh kesadaran,
pengabdian dan tanggung jawab.
4. Pegawai Negeri Sipil memberikan pelayanan terhadap masyarakat
sebaik-baiknya sesuai dengan bidang tugasnya.
104
Tedy Sudrajat, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 32
56
5. Pegawai Negeri Sipil memelihara keutuhan, kekompakan, persatuan
dan kesatuan Negara dan bangsa Indonesia serta korps Pegawai
Negeri Sipil.105
Kode etik adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan bagi
pegawai negeri sipil, maka sanksinya terhadap pelanggarnya yaitu sanksi moral.
Untuk menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanan tugas diadakan peraturan
disiplin pegawai negeri sipil yang termuat keharusan, larangan dan sanksi.106
Tentang warga sipil adalah seseorang yang bukan merupakan anggota
militer dan tidak terikat dinas oleh pemerintah atau menjadi aparatur negara.107
Jadi, warga sipil merupakan masyarakat biasa yang bukan PNS atau militer.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat secara keseluruhan kenapa ada
perbedaan cara poligami untuk warga sipil dengan seorang pegawai negeri sipil
seorang pegawai negeri sipil itu merupakan aparatur negara yang mencitrakan
diri pemerintah itu, apa lagi pegawai negeri sipil merupakan abdi masyarakat
jadi apabila seorang pegawai negeri ingin berpoligami dia harus meminta izin
kepada atasannya karena perlu untuk pertimbangan, disebabkan seorang pegawai
negeri sipil membawa nama baik institusinya lain halnya warga sipil biasa yang
hanya membawa nama baik dirinya dan keluarganya. Bagi Pegawai Negeri Sipil
disamping berlaku ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1
105
Diakses pada 29 Juli 2010 Kepegawaian.unpad.ac.id/info_detail…
106
Victor. M. Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri, h. 67
107
Diakses pada 31 Juli 2010 Id.wikipedia.org/wiki/wargasipil
57
Tahun 1974, juga berlaku Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 1983 dan PP 45
tahun 1990. Kedua PP ini pada prinsipnya hampir sama dengan ketentuan yang
tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya saja kedua PP ini menitik
beratkan pentingnya ijin atasan untuk melakukan poligami. Baru kemudian yang
bersangkutan menempuh proses yang sesuai ketentuan Undang-Undang
Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Kedua PP ini dilengkapi dengan janji
sanksi terhadap PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang
mengakomodasi dari hukum fiqh Islam yang bisa dipakai oleh umat Islam
Indonesia. 108
108
Anik Farida, Menimbang Dalil-Dalil Poligami, h. 31.
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN
C. Analisa Penelitian
Berdasarkan penjelasan dari bab-bab sebelumnya dan berdasarkan hasil
wawancara, penulis mencoba menjelaskan hasil analisa dalam pembahasan ini
adalah sebagai berikut.
Maraknya pelaku poligami di Indonesia yang pelakunya ada dari berbagai
kalangan, namun disini penulis hanya mengkhususkan penelitian tata cara
poligami bagi warga sipil dan PNS.
Bapak Jamal seorang PNS di Departemen Komunikasi dan Informasi beliau
menikah sejak tahun 1990, dan berpoligami pada tahun 1993, beliau mengatakan
alasan kenapa melakukan poligami, karena saya mengikuti jejak Rasulallah,
karena beliau adalah junjungan saya, maka saya harus ikut dan mencontohkan apa
yang dilakukan Rasulullah.109
Bapak Abdul Aziz, SE. Kelahiran tahun 1960an beliau seorang PNS di
Pemprop DKI Jakarta, beliau menikah yang kedua kalinya pada tahun 2008 dan
melakukan poligami dengan cara hukum Islam dengan alasan beliau ingin
menjalankan ajaran agama dan mengikuti jejak Rasulullah SAW.110
109
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 28 Juli 2010.
110
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 27 Juli 2010.
59
Bapak Drs. Munajad, seorang guru di SDN 07 pagi di Jakarta Barat, beliau
menikah pada tahun 1989, dan menikah yang kedua kalinya pada tahun 2009
lumayan jauh jarak dari pernikahannya yang pertama, beliau berpoligami dengan
cara Hukum Islam, karena beliau merasa sebagai umat muslim harus melakukan
jejak Rasulullah, namun pada saat ini beliau sudah bercerai dengan istri
keduanya.111
Bapak Sabeni, seorang warga sipil biasa mempunyai pekerjaan seorang guru
silat, beliau menikah pada tahun 1974, dan menikah yang kedua kalinya pada
tahun 2005, beliau menikah lagi menggunakan cara hukum Islam, alasannya
kalau memakai Undang-undang beliau kurang memahami, beliau mengatakan
dari pada berbuat dosa mending beliau menikah lagi karena memang sudah jatuh
cinta lagi dengan wanita lain.112
Bapak Zamakh Sari SH. MH, menikah pada awal tahun 1986, menikah
secara resmi di KUA, dan beliau menikah lagi pada tahun 2008, beliau menikah
lagi dengan cara hukum Islam, karena menurut beliau kalau mengunakan hukum
yang ada di Indonesia harus melalui proses yang lumayan sulit, harus mengajukan
ke Pengadilan Agama dan harus mendapat izin dari istri pertama. Dan istri
pertamanyapun akhirnya mengetahui kalau beliau menikah lagi.113
111
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 28 Juli 2010.
112
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 27 Juli 2010.
113
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 25 Juli 2010.
60
Alasan kenapa mereka melakukan poligami adalah jika melihat dari sisi
ajaran agama Islam yang diterangkan dalam surat An-Nisa ayat 3:
( النسا ء:٣ )
Artinya:
” Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”. ( Q. S. An-Nisa : 3)
Dan mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW sebagai panutan kita, yang
mana tujuan dilakukannya poligami adalah melindungi para wanita yang tidak
bersuami dan menempatkannya ke shaf para istri yang terpelihara dan terjaga.
Namun jika dilihat dari sisi kehidupan yang menusiawi, kebanyakan dari
mereka kenapa melakukan poligami adalah timbulnya rasa suka dan sayang
terhadap orang lain yang bukan istrinya, hal tersebut memang sangat manusiawi
dari pada mereka berbuat dosa lebih memilih untuk menikah lagi.
Walaupun di Indonesia sudah ada peraturan khusus yang berlaku tentang
poligami bagi warga sipil dan PNS yaitu KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 bagi
warga sipil dan PP No. 45 Tahun 1990, tetapi kebanyakan dari mereka malah
melakukan poligami dengan cara hukum Islam. Hal tersebut dikarenakan selain
61
ajaran hukum Islam merupakan ajaran panutan bagi mereka, poligami dalam
hukum Islam adalah menuju kehidupan rumah tangga yang sejahtera dengan
menempatkan para wanita yang tidak bersuami kedalam jajaran istri yang
terpelihara dan terjaga.
Selain itu prosedur poligami dalam hukum Islam dinilai tidak
memberatkan bagi orang yang ingin berpoligami, dalam hukum Islam yang paling
utama bagi orang yang ingin berpoligami adalah dapat berlaku adil.
Berbeda dengan aturan di Indonesia yaitu dalam KHI dan UU No. 1
Tahun 1974 tata cara dalam aturan tersebut dinilai sangat sulit, karena mereka
yang ingin berpoligami harus mngajukan permohonan ke Pengadilan Agama
dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan sebagaimana telah
dijelaskan dalam bab sebelumnya, jadi seseorang baru dapat berpoligami jika
sudah mendapat ijin dari Pengadilan Agama. Dan bagi yang tidak mengikuti
aturan tersebut dampaknya adalah perkawinan tersebut tidak diakui menurut
hukum Indonesia, dan anak hasil perkawinannya tidak diakui menurut Undang-
undang dan anak tersebut tidak berhak mendapatkan waris.
Sedangkan bagi PNS lebih banyak tahap untuk melakukan poligami yaitu
harus mendapatkan ijin dari atasan dan dan adanya persetujuan istri harus
disahkan oleh pejabat yang terkait minimal eselon IV, dan harus mempunyai
penghasilan yang cukup jadi dijinkan atau tidak itu tergantung keputusan pejabat
yang berwenang. Kemudian sanksi yang diberikan apabila tidak mengikuti
62
ketentuan tersebut adalah sanksi minimal adalah dipotong gaji dan ditunda naik
jabatan, sedangkan sanksi maksimal adalah diberhentikan menjadi PNS.
Oleh karena itu kenapa kebanyakan dari mereka yang melakukan poligami
sampai saat ini menyembunyikan perkawinan kedua mereka, hal tersebut terjadi
karena sulitnya ijin untuk berpoligami, dan sanksi yang diberikanpun cukup berat.
B. Sanksi melakukan poligami diluar peraturan pemerintah
Sanksi bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil)
Sanksi.yang dapat diberikan terdiri dari :
1. sanksi disiplin ringan,
2. sanksi disiplin sedang
3. sanksi disiplin berat
jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari:
1. teguran lisan
2. teguran tertulis
3. peryataan tidak puas secara tertulis
jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari:
1. penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun
2. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1
tahun
3. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 tahun
jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:
1. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil.
63
Sanksi bagi warga sipil
Bila melihat dampak yang akan didapat dari seorang warga sipil yang
melakukan poligami tidak sesuai Undang-undang seperti :
- perkawinan keduanya itu tidak memiliki kekuatan hukum
- anak hasil perkawinanya tidak akan diakui oleh undang-undang
- anak tersebut tidak mendapat waris dari ayahnya
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam hukum Islam berdasarkan penjelasan ayat Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 3 dan 129 bahwa persyaratan seseorang yang ingin berpoligami
hanya harus memenuhi syarat utama yaitu berlaku adil. Sedangkan
menurut kompilasi hukum Islam tata cara poligami terdapat dalam pasal
55, 56, 57, 58 dan 59. Dalam pasal 55 dijelaskan bahwa seorang suami
hanya boleh beristri tidak boleh dari empat, dan prosedur pelaksanaannya
adalah suami harus mendapat izin dari Pengadilan Agama, pengajuan izin
yang dimaksud adalah sesuai dengan Bab VIII PP No. 9 Tahun 1975,
selanjutnya sama halnya dalam UU No. 1 Tahun 1974 yaitu adanya
persetujuan dari istri dan adanya jaminan bahwa suami tersebut dapat
menjamin kehidupan istri-istrinya dan anak-anaknya. Izin istri baik secara
lisan ataupun tulisan, karena pada saat persidangan hakim akan
mendengan penjelasan si istri apakah dia benar-benar menyetujuinya atau
tidak setelah itu baru hakim memberikan keputusan. Sama halnya dengan
KHI dalam UU No. 1 Tahun 1974 melibatkan pihak Pengadilan Agama.
Dan dalam undang-undang ini hanya orang-orang tertentu saja yang dapat
diizinkan berpoligami, yaitu karena alasan:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
65
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Selanjutnya suami mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama dengan
syarat:
a. Adanya persetujuan istri pertama
b. Adanya kepastian suami akan menjamin kehidupan istri-istrinya dan
anak-anaknya
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil
Karena sebelum memberikan keputusan pihak pengadilan akan memeriksa
apakah persyaratannya sudah terpenuhi, dan memanggil istri untuk
memberikan keterangan dan jangka waktunya 30 hari pengadilan akan
memberikan keputusan. Sedangkan tata cara poligami menurut PP No. 45
Tahun 1990 adalah:
a. Wajib memperoleh izin dari pejabat yang bersangkutan
b. Permintaan izin diajukan secara tertulis
c. Dalam surat permohonan harus dicantumkan alasan ingin berpoligami
66
Setelah itu PNS harus memenuhi syarat kumulatif berdasarkan Surat
Edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) No.
08/SE/1983 yang terdiri dari:
a. Adanya persetujuan istri pertama yang disahkan oleh atasan PNS
yang serendah-rendahnya eselon IV.
b. PNS mempunyai penghasilan yang cukup
c. Adanya jaminan tertulis PNS tersebut akan berlaku adil.
2. Adapun sanksi apabila seorang PNS yang berpoligami tidak mengikuti
aturan PP No. 45 Tahun 1990 yaitu:
a. Akan mendapatkan sanksi disiplin ringan
b. Sanksi disiplin berat
c. Sanksi disiplin berat
Dan jenis hukumannya adalah:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis
Jenis disiplinnya terdiri dari:
67
a. Penundaan kenaikan gaji paling lama satu tahun
b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling
lama satu tahun
c. Penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun
Jenis hukuman terberat adalah pemberhentian tidak dengan hormat
sebagai PNS.
Sedangkan dampak bagi warga sipil yang tidak mematuhi peraturan
pemerintah adalah:
a. Perkawinan kedua dan selanjutnya tidak mempunyai kekuatan
hukum
b. Anak hasil perkawinannya tidak akan diakui oleh undang-undang
c. Dalam waris anak tersebut tidak berhak mendapatkan waris.
3. Perbedaan tata cara poligami menurut hukum islam dengan KHI, UU No.
1 Tahun 1974 dan PP No. 45 Tahun 1990 adalah dalam hukum islam yang
paling utama adalah seseorang yang akan berpoligami harus dapat berlaku
adil dan terbatas tidak boleh lebih dari empat. Perbedaannya dengan KHI
dan UU No. 1 Tahun 1974 suami harus mendapat putusan hakim
Pengadilan Agama berdasarkan syarat-syarat yang telah dijelaskan dalam
bab sebelumnya, sedangkan dalam PP No. 45 Tahun 1990 terdapat
68
perbedaan yang sangat besar karena peraturan tersebut dikhususkan untuk
PNS yang merupakan pejabat pemerintahan maka dalam melakukan
poligami PNS harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari atasan yang
berwenang dan harus mempunyai penghasilan yang cukup dan tidak perlu
mengajukan ke Pengadilan agama, selanjutnya sama dengan KHI dan UU
No. 1 Tahun 1974 yaitu harus mendapatkan izin istri dan berlaku adil.
B. Saran-saran
Mengenai saran lebih baik indonesia khususnya para pejabat indonesia
yang berwenang membuat undang-undang di negeri ini janganlah terlalu
memperketat masalah perkawinan yang kedua yaitu masalah poligami lebih baik
undang-undang tentang syarat poligami itu disesuaikan saja dengan yang ada di
quran dan yang dicontohkan rosullah nabi Muhammad Saw karena masyarakat
islam di indonesia itu hampir 80 % lebih muslim sehingga mengurangi seorang
melakukan poligami secara sirih tanpa surat nikah kedua karena sarat untuk
poligami agar dapat disahkan oleh pemerintah harus mendapat izin dari seorang
istri dan izin pengadilan disinilah yang menimbulkan konflik terjadinya banyak
seorang suami yang melakukan nikah siri yang dimana dampaknya pada seorang
anak ,lebih baik pemerintah merepisi aturan-aturan yang mempersulit rakyatnya
tentang identitas yang legal di negrinya sendiri.
Sehingga kedepanya nanti tidak ada lagi seorang anak yang sulit mendapat
harta waris dari ayah kandungnya disebabkan dia anak hasil dari nikah sirih,
69
serta mendapat pengakuan oleh negaranya bahwa dia benar-benar anak sah dari
ayahnya walaupun dia tidak memiliki bukti akte nikah namun dia anak hasil
pernikahan yang sah menurut keyakinan agamanya dimata masyarakat seperti
tertuang dalam UUD 1945 pasal 28D ayat (1) dan (4) yang berbunyi ayat (1)
yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Ayat (4)
berbunyi setiap orang berhak atas status kewarganegaran.
Lebih baik para pembuat kebijakan undang-undang membuat peraturan
yang melarang seorang melakukan kumpul kebo, dan memberikan hukuman
yang pantas bagi para pelakunya, jangan mempersulit sesuatu yang dihalalkan
agama, masa yang diharamkan dibiarkan sementara yang halal di persulit.
70
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Departemen Agama R.I, 2007.
Ahmad Jaiz, Hartono, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007.
AL-Athar, Abdul Natsir Taufiq, Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial dan
Perundang-Undangan, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, Cet ke-1, h. 154.
Al-Jafrani, Mushfir, Poligami dan Berbagai Persepsi, terj. Moh Suten Ritonga,
Jakarta:Gema Insani Press, 1997, Cet ke-2.
Al-Qurtuby, Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Nihayatul Mustashid, Riyadh:
Maktabah Nazar Musthafaal-Baz, tth juz ke-II.
As-Sanan, Arij Binti Abdurrahman, Adil Terhadap Para Istri, Jakarta: Darussunah
Press, 2006.
As-Sanan, Arij, Abdul, Rahman, Memahami Keadilan Dalam Poligami, Jakarta: PT.
Global Media Cipta Publishing, 2003.
Badan Penasehat Perkawinan dan Perceraian (BP-4), Membina Keluarga Bahagia
Sejahtera, Jakarta: BP4 DKI Jakarta, 1991.
Badrun, Ahmad, Indahnya Monogami, Yogyakarta: Mikraj, 1997, Cet. Ke-1.
Dahlan, Abd. Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
Jilid IV.
Daud Ali, Muhammad, DKK, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, Pamulang: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Dept. Agama RI. Kompilasi Hukum
Islam, Jakarta: Qalbun Salim, 2005.
Faridha, Anik, Menimbang Dalil Poligami, Jakarta: Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama, 2008.
Ghazali, Al, Menyikap Hakikat Perkawinan, Bandung: Kharisma, 1995.
71
Haikal, Abduttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami vs Monogami
Barat, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet. Ke-1.
Hartini, Sri, DKK, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Hilmi, Karim, Farhat, Ahmad, Poligami Berkah atau Musibah, Jakarta: Senayan
Publishing, 2007.
Himpunan Peraturan Kepegawaian Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Husein, Imanuddin, Satu Istri Tak Cukup, Kairo: Khazanah Pustaka, 2003.
Iluas, Yunahar, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Labda Press,
2006.
Jailani, Abd. Qodir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995.
Kompilasi hukum islam, Surabaya: Kesindo Utama, 2010.
Kuzairi, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Mardhiyah, Lailatul, Poligami Ditinjau dari Hukum Positif, artikel diakses pada 10
Oktober 2010 dari http://unisys.ac.id/index.
Mubarak, Syaiful Islam, Poligami yang Didambakan Wanita, Bandung: Syamil Citra
Media, 2003.
Muchtar, Yati, Gerakan Perempuan Indonesia dan Politik Gender Orde Baru, Jurnal
Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan, 2001.
Mudhzar, Atho, dan Khoirudin, Hukum Keluarga Dunia Islam Modern Study
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-kitab Fiqh, Jakarta:
Ciputat Press, 2003.
Murtadha, Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2007.
Musdah, Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta:Lembaga Kajian
Agama dan Gender, 1999.
Muthabaqoni, Mazin, Sholah, Beristri 2, 3, atau 4?, Jakarta: Cakrawala, 2005.
Nasution, Khaerudin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
72
Nurbowo, dan Apiko Joko M, Indahnya Poligami Pengalaman Puspo Wardoyo,
Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003
Qardhawi, Syeikh M. Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1999.
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramitha, Cet.
Ke-34
Roem, Moehammad, Poligami, Monogami dan PraktekPengadilan Agama, Jakarta:
Fajar Shadiq, 1973, Cet ke-tiga.
Rusdiana, Kama dan Arifin, Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007.
Setiati, Eni, Hitam Putih Poligami; Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah
Fenomena, Jakarta:Cisera Publishing
Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat) Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 1995
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, cet Ke-3, 1986.
Suprapto, Bibit, Liku-liku Poligami, Yogyakarta: Al-Kutsar, 1999, Cet. Ke-1.
Tata Panguarsa, Humaidi, Hakikat Poligami Dalam Islam, Surabaya: Usaha nasional,
2001.
Ulwan, Nasih, Abdullah, Hikmah Poligami Dalam Islam, Jakarta: Studio Press, 1997.
www.poligamiindonesia.com
Yasin , Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN Malang Pers, 2008.