pandangan islam tentang perbankan

19
Ketika memberikan ceramah di depan pegawai bank swasta, ada pertanyaan menarik, bagaimana hukumnya bekerja di bank? Secara garis besar, saya sudah memberikan jawaban pada saat itu, dan saya berjanji untuk memberikan jawaban yang lebih rinci pada Hikmah Ramadhan di harian Tribun Timur. Menurut pengamatan saya, dewasa ini, tidak semua bank melakukan transaksi riba. Bank Muamalat Indonesia misalnya, demikian juga bank-bank syari’ah lainnya tidak mengenal dalam prakteknya unsur-unsur riba. Di sisi lain, perlu pula diketahui bahwa defenisi riba diperselisihi oleh para ulama. Atas dasar itu, para ulama berbeda pendapat tentang praktek- praktek bank konvensional, apakah ia riba atau tidak. Jika anda mengikuti pendapat yang menilainya bukan riba, tentu saja, bekerja di sana tidaklah haram. Kalaupun anda menilainya riba, perlu juga dicatat bahwa banyak bank yang di samping melakukan aktifitas riba melakukan juga aktifitas selain yang berbentuk riba. Jadi, kalau seseorang menjadi karyawan dalam bank yang demikian, banyak ulama yang mentoleransinya. Mantan Mufti Mesir, almarhum Syaikh Jaad al-Haqq, dan ulama besar Yusuf al-Qardhawi, adalah dua tokoh yang dapat dinilai mentoleransinya, lebih-lebih lagi bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya selain melalui bank-bank itu. Di sini, paling tidak berlaku baginya hukum darurat atau kebutuhan yang mendesak. Para ulama, bahkan kaum muslimin, sepakat tentang haramnya riba, karena dalam al-Qur’an hal tersebut disebutkan secara tegas. ”Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al- Baqarah, 2: 275). Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang defenisinya, sehingga mereka pun berbeda pendapat tentang praktek perbankan konvensional, khususnya menyangkut bunga bank. Ada ulama yang membolehkannya dengan alasan bukan riba, dan ada juga yang menilainya riba. Kita mengetahui bahwa banyak praktek perbankan dengan aneka jasa yang ditawarkannya. Bila anda berpendapat, bahwa bank tempat anda bekerja melakukan transaksi atas dasar riba,

Upload: bhibi-andalank

Post on 19-Oct-2015

78 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Ketika memberikan ceramah di depan pegawai bank swasta, ada pertanyaan menarik, bagaimana hukumnya bekerja di bank? Secara garis besar, saya sudah memberikan jawaban pada saat itu, dan saya berjanji untuk memberikan jawaban yang lebih rinci pada Hikmah Ramadhan di harian Tribun Timur.Menurut pengamatan saya, dewasa ini, tidak semua bank melakukan transaksi riba. Bank Muamalat Indonesia misalnya, demikian juga bank-bank syariah lainnya tidak mengenal dalam prakteknya unsur-unsur riba. Di sisi lain, perlu pula diketahui bahwa defenisi riba diperselisihi oleh para ulama. Atas dasar itu, para ulama berbeda pendapat tentang praktek-praktek bank konvensional, apakah ia riba atau tidak. Jika anda mengikuti pendapat yang menilainya bukan riba, tentu saja, bekerja di sana tidaklah haram. Kalaupun anda menilainya riba, perlu juga dicatat bahwa banyak bank yang di samping melakukan aktifitas riba melakukan juga aktifitas selain yang berbentuk riba. Jadi, kalau seseorang menjadi karyawan dalam bank yang demikian, banyak ulama yang mentoleransinya. Mantan Mufti Mesir, almarhum Syaikh Jaad al-Haqq, dan ulama besar Yusuf al-Qardhawi, adalah dua tokoh yang dapat dinilai mentoleransinya, lebih-lebih lagi bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya selain melalui bank-bank itu. Di sini, paling tidak berlaku baginya hukum darurat atau kebutuhan yang mendesak.Para ulama, bahkan kaum muslimin, sepakat tentang haramnya riba, karena dalam al-Quran hal tersebut disebutkan secara tegas. Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah, 2: 275). Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang defenisinya, sehingga mereka pun berbeda pendapat tentang praktek perbankan konvensional, khususnya menyangkut bunga bank. Ada ulama yang membolehkannya dengan alasan bukan riba, dan ada juga yang menilainya riba.Kita mengetahui bahwa banyak praktek perbankan dengan aneka jasa yang ditawarkannya. Bila anda berpendapat, bahwa bank tempat anda bekerja melakukan transaksi atas dasar riba, kemudian hati atau pikiran anda cenderung mengharamkan secara mutlak, maka dalam hal ini bekerja dan membantu terselenggaranya praktek riba itu, apapun bentuknya, adalah haram. Rasulullah SAW bersabda: Allah mengutuk pemakan riba dan pemberinya, penulisnya serta kedua saksinya.Karena itu, jika bank tempat anda bekerja hanya menawarkan jasa atas dasar riba itu saja, maka tentu saja keterlibatan anda bekerja di sana juga dinilai haram. Akan tetapi kalau hati anda masih ragu tentang hukumnya, karena perbedaan pendapat ulama seperti tergambar di atas, maka dalam keadaan semacam ini pun sebaiknya anda mencari tempat bekerja yang lain, kecuali jika anda tidak mendapatkan tempat kerja lain yang dapat menutupi kebutuhan hidup anda dan keluarga.Ini sekali lagi bila bank tempat anda bekerja hanya menawarkan jasa atas dasar riba. Akan tetapi, jika ada jasa lain yang ditawarkannya dan jasa tersebut tidak haram, maka ini berarti bahwa bank tersebut mencampurkan antara uang halal dan haram. Percampuran uang halal dan haram ini membuka peluang untuk dibenarkannya bekerja di sana, apalagi bila uang tersebut tidak dapat dipisahkan.Mufti Mesir yang kita kutip di atas, setelah mengutip kaedah-kaedah yang dikemukakan oleh ulama bermazhab Hanafi dan sebagian ulama Syafii, berkesimpulan bahwa apabila aktifitas satu bank bercampur antara yang halal dan yang haram, maka dalam keadaan seperti ini, tidak ada halangan untuk bekerja di sana (Syaikh Jad al-Haqq, Buhuts wa Fatawa Islamiyah fi Qadhaya Muashirah, jilid II, h.746).Wa Allahu alam.

Celoteh ini adalah akumulasi dari carut marut kondisi perekonomian dan penetapan hukum (Islam) dalam konteks ke-Indonesia-an. Hukum bunga bank dalam Islam haram menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan fatwa tahun 2003, tentu mengejutkan banyak pihak terutama pelaku. Dilematis, satu sisi haram (jika mengikuti fatwa MUI), sisi lain kebutuhan mendasar manusia (kekinian). Mengenai judul, perlu dipahami, bahwa dalam hukum Islam tidak ada celah setengah halal dan setengah haram, karena kalimat tersebut bersifat ambigu dan samar, pastinya keluar dari kaidah hukum yang harusnya jelas.Banyak sekali artikel tentang hukum bunga bank dalam Islam, dan mayoritas menghukuminya haram. Riba dalam berbagai kamus berarti al-Fadhlu wa al-Ziyadah (tambahan) dalam satu akad jual beli atau pinjaman. Pemberian bunga bank, terutama terjadi pada bank konvensional dengan berbagai bentuk jasa seperti giro, deposito berjangka, tabungan, obligasi, KUK, dan lain-lain, yang menetapkan kelebihan dari pokok pinjaman. Kelebihan itu ditafsirkan bermacam-macam, salah satunya sebagai sewa atau harga dari nilai uang.Jika berdasar dari definisi kamus al-Qamus al-Fiqhiy, hal ini termasuk riba nasiah, yaitu tambahan yang dipersyaratkan oleh pemberi piutang dari orang yang berutang sebagai ganti penundaan (pembayaran). Contoh, seorang PNS meminjam uang di bank konvensional Rp. 100.000.000 dengan masa 10 tahun. Pembayaran diambil dari gaji bulanan sebesar 60% dari total gaji atau penghasilan. 10 tahun atau masa jatuh tempo, total pembayaran adalah Rp. 217.000.000. Kelebihan Rp. 117.000.000 menurut definisi ini adalah riba nasiah.Landasan utama fikih mengenai larangan riba dapat dilihat dalam nash al-Quran dan hadis. Ayat yang saya angkat riba untuk contoh kasus di atas, adalah QS. al-Baqarah ayat 278-279; Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Demikian pula hadis; dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwash, bapakku menceritakan kepada kami bahwa ia melaksanakan haji wada bersama Rasulullah saw. (Ketika berkhutbah, Nabi memulai dengan) memuji Allah lalu beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian beliau berkata: Ketahuilah, sesungguhnya semua riba pada masa jahiliyyah dibatalkan. Bagi kalian (hanya) uang pokok kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi Dari dua landasana dalil tersebut, tanpa kajian, akan dipahami bahwa bunga bank dalam Islam hukumnya haram. Namun demikian tanpa berniat mengaburkan penafsiran ulama, ada catatan kecil yang layak dijadikan bahan pertimbangan. Bahwa hukum bunga bank dalam Islam belum dibahas oleh ulama salaf. Adapun masalah bunga bank, oleh ulama kontemporer yang kemudian mengkategorikan sebagai riba.Pada masa Nabi saw dan ulama salaf, belum ada istilah inflasi, karena sistem ekonomi memang berbeda dengan sekarang terutama di Indonesia. Inflasi kira-kira bermakna perubahan nilai mata uang akibat ketidak stabilan ekonomi, bisa karena barang lebih banyak dari uang yang beredar atau uang beredar lebih banyak. Mata uang yang dipergunakan pada masa itu adalah mata uang yang stabil, dinar dan dirham. Artinya, 1000 dirham tahun 2013, nilainya sama dengan 1000 dirham tahun 2030 dst. Karenanya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Tidak ada pihak pemberi hutang atau pengutang yang teraniaya seperti ayat dan hadis di atas.Sangat jauh berbeda dengan sistem ekonomi di Indonesia. Bukti adanya inflasi bisa dilihat dari kenaikan harga BBM, kenaikan gaji PNS, fluktuasi IHSG dll. Rp. 100.000 hari ini, nilainya bisa jadi Cuma Rp. 1000 10 tahun yang akan datang. Artinya, jika sistem penambahan (ziyadah) yang kemudian divonis sebagai kategori riba tidak diberlakukan, maka peminjam dengan masa pinjaman 10 tahun akan untung, karena nilainya tidak sama saat pinjaman dilakukan. Dan pemberi pinjaman dipastikan teraniaya.Hal ini tidak luput dari bahtera ilmu ulama sekelas Ibnu Taimiyah, yang hidup dengan mata uang dinar dan dirham (w. 728 H/1328 M), dan beliau menyadari hal ini. Ia mengakui bahwa mata uang pada masanya tersebut bukanlah maksud dan tujuan akhir. Ia tidak lebih dari sekadar fasilitas dalam transaksi manusia. Bahkan jauh sebelumnya, Imam Malik telah menyatakan bahwa seandainya manusia sepakat menggunakan kulit binatang sebagai mata uang, maka ia akan menghukuminya sama sebagaimana hukum dinar dan dirham.Bagaimana hukum bunga bank dalam Islam?, menjadi pertanyaan penutup dalam celoteh saya ini. Pertama; kita harus adil menilai bahwa kelebihan akibat pinjaman sebagai akibat inflasi dan terkait dengan skala besar yaitu sistem ekonomi Negara. Mengingkari hal itu, berarti kita secara sadar, mengingkari kenaikan harga, perubahan mata uang, kenaikan gaji PNS (bagi PNS) dll, yang semua dipengaruhi oleh inflasi. Implikasinya jelas, pasti salah satu dari peminjam atau pemberi pinjaman akan teraniaya. Dan inilah tujuan akhir haramnya riba yang harus dihindari berdasarkan ayat di atas.Kedua: jika inflasi menjadi alasan faktor pertimbangan dalam pembayaran hutang, maka hendaknya dilakukan secara adil, konsisten dan akurat. Karena selain memperhitungkan kondisi inflasi, hendaknya memperhitungkan kondisi deflasi. Di sinilah letak perbedaan antara bank konvensional dengan rentenir. Bank konvensional memperhitungkan perubahan nilai mata uang akibat inflasi dengan perhitungan ekonomi secara akurat, sedangkan rentenir tidak, tapi hanya berdasarkan perkiraan belaka.Ketiga: meminjam pesan pakar tafsir Prof. Quraish Shihab; Jika kamu berada dalam pusaran air sungai yang deras, tidak usah melawan arus, karena hanya akan menghabiskan tenagamu. Mengalirlah, dan berusaha menancapkan kakimu ke dasar sungai, atau menggapai pegangan sembari mengumpulkan tenaga. Demikian perumpamaan yang harus dilakukan ketika seorang hamba dalam posisi terdesak atau terpaksa.Hukum bunga bank dalam Islam jika dilihat konteks ke-Indonesia-an, posisinya sangat dilematis. Menghindari agar tidak ada yang teraniaya baik peminjam dan pemberi pinjaman berarti mutlak meniscayakan tambahan. Sedangkan menghindari tambahan dan dikaliam sebagai riba berimplikasi sebaliknya, kecuali Negara keluar dan berganti sistem ekonomi. Menurut saya bunga bank dalam Islam hukumnya setengah halal setengah haram. Tapi hanya di Indonesia dan Negara yang terpengaruh inflasi

Perekonomian adalah salah satu bidang yang diperhatikan oleh syariat Islam dan diatur dengan undang-undang yang penuh dengan kebaikan dan bersih dari kedhaliman. Oleh karenanya, Allah mengharamkan riba yang menyimpan berbagai dampak negatif bagi umat manusia dan merusak perekonomian bangsa.Sejarah dan fakta menjadi saksi nyata bahwa suatu perekonomian yang tidak dibangun di atas undang-undang Islam, maka kesudahannya adalah kesusahan dan kerugian. Bila anda ingin bukti sederhana, maka lihatlah kepada bank-bank konvensional yang ada di sekitar kita, bagaimana ia begitu megah bangunannya, tetapi keberkahan tiada terlihat darinya. Sungguh benar firman Allah:

Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. (QS. Al-Baqoroh: 276)Nah, di sinilah pentingnya bagi kita untuk mengetahui masalah Bank konvensional dan sejauh mana kesesuaiannya dengan hukum Islam karena pada zaman sekarang ini, Bank bagi kehidupan manusia hampir sulit dihindari.Definisi Bank dan SejarahnyaBank diambil dari bahasa Italia yang artinya meja. Konon penamaan itu disebabkan karena pekerjanya pada zaman dulu melakukan transaksi jual beli mata uang di tempat umum dengan duduk di atas meja. Kemudian modelnya terus berkembang sehingga berubah menjadi Bank yang sekarang banyak kita jumpai.Bank didefenisikan sebagai suatu tempat untuk menyimpan harta manusia secara aman dan mengembalikan kepada pemiliknya ketika dibutuhkan. Pokok intinya adalah menerima tabungan dan memberikan pinjaman.Bank yang pertama kali berdiri adalah di Bunduqiyyah, salah satu kota di Negara Italia pada tahun 1157 M. Kemudian terus mengalami perkembangan hingga perkembangan yang pesat sekali adalah pada abad ke-16, di mana pada tahun 1587 berdirilah di Negara Italia sebuah bank bernama Banco Della Pizza Dirialto dan berdiri juga pada tahun 1609 bank Amsterdam Belanda, kemudian berdiri bank-bank lainnya di Eropa. Sekitar tahun1898, Bank masuk ke Negara-negara Arab, di Mesir berdiri Bank Ahli Mishri dengan modal lima ratus ribu Junaih[1].

PEKERJAAN BANKSeorang tidak bisa menghukumi sesuatu kecuali setelah mengetahui gambarannya dan pokok permasalahannya. Dari sinilah, penting bagi kita untuk mengetahui hakekat Bank agar kita bisa menimbangnya dengan kaca mata syariat.Pekerjaan Bank ada yang boleh dan ada yang haram, hal itu dapat kita gambarkan secara global sebagai berikut:A. Pekerjaan Bank Yang Boleh1. Transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan ongkos pengiriman.2. Menerbitkan kartu ATM untuk memudahkan pemiliknya ketika bepergian tanpa harus memberatkan diri dengan membawa uang di tas atau dompet.3. Menyewakan lemari besi bagi orang yang ingin menaruh uang di situ.4. Mempermudah hubungan dengan Negara-negara lain, di mana Bank banyak membantu para pedagang dalam mewakili penerimaan kwitansi pengiriman barang dan menyerahkan uang pembayarannya kepada penjual barang.Pekerjaan-pekerjaan di atas dengan adanya ongkos pembayaran hukumnya adalah boleh dalam pandangan syariat.

B. Pekerjaan Bank Yang Tidak Boleh1. Menerima tabungan dengan imbalan bunga, lalu uang tabungan tersebut akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada manusia dengan bunga yang berlipat-lipat dari bunga yang diberikan kepada penabung.2. Memberikan pinjaman uang kepada para pedagang dan selainnya dalam tempo waktu tertentu dengan syarat peminjam harus membayar lebih dari hutangnya dengan peresentase.3. Membuat surat kuasa bagi para pedagang untuk meminjam kepada Bank tatkala mereka membutuhkan dengan jumlah uang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Tetapi bunga di sini tidak dihitung kecuali setelah menerima pinjaman.[2]

BUNGA BANK ADALAH RIBADengan gambaran di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa kebanyakan pekerjaan Bank dibangun di atas riba yang hukumnya haram berdasarkan Al-Quran, hadits dan kesepakatan ulama Islam.1. Dalil Al-Quran

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqoroh: 275)

Cukuplah bagi seorang muslim untuk membaca akhir surat Al-Baqoroh ayat 275-281, maka dia akan merinding akan dahsyatnya ancaman Allah kepada pelaku riba. Bacalah dan renungkanlah!!

2. Dalil hadits

- - .

Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya, sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)

3. Dalil Ijma* Para ulama sepanjang zaman telah bersepakat tentang haramnya riba, barangsiapa membolehkannya maka dia kafir[3]. Bahkan, riba juga diharamkan dalam agama-agama sebelum Islam. Imam al-Mawardi berkata: Allah tidak pernah membolehkan zina dan riba dalam syariat manapun.[4]

* Kalau ada yang berkata: Kami sepakat dengan anda bahwa riba hukumnya adalah haram, tetapi apakah bunga Bank termasuk riba?! Kami jawab: Wahai saudaraku, janganlah engkau tertipu dengan perubahan nama. Demi Allah, kalau bunga Bank itu tidak dinamakan dengan riba, maka tidak ada riba di dunia ini, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta, inilah keadaan bunga bank konvensional itu.

Kami tidak ingin memperpanjang permasalahan ini. Cukuplah sebagai renungan bagi kita bahwa telah digelar berbagai seminar dan diskusi tentang masalah ini, semunya menegaskan kebulatan bahwa bunga Bank konvensional adalah riba yang diharamkan Allah[5]. Bahkan dalam muktamar pertama tentang perekonomian Islam yang digelar di Mekkah dan dihadiri oleh tiga ratus peserta yang terdiri dari ulama syariat dan pakar ekonomi internasional, tidak ada satupun di antara mereka yang menyelisihi tentang haramnya bunga Bank.

Sebagai faedah, kami akan menyebutkan beberapa fatwa dan muktamar besar yang menyimpulkan haramnya bunga Bank:1. Keputusan muktamar kedua Majma Buhuts Islamiyyah di Kairo pada bulan Muharram tahun 1385 H/Bulan Mei tahun 1965 M dan dihadiri oleh para peserta dari tiga puluh Negara.2. Keputusan muktamar kedua Majma Fiqih Islami di Jeddah pada 10-16 Rabi Tsani 1406 H/22-28 Desember 1985 M.3. Keputusan Majma Robithoh Alam Islami yang diselenggarakan di Mekkah hari sabtu 12 Rojab 1406 H sampai sabtu 19 Rojab 1406 H.4. Keputusan muktamar kedua tentang ekonomi Islami di Kuwait pada tahun 1403 H/1983 M.5. Keputusan Majma Fiqih Islam di India pada bulan Jumadi Ula 1410 H.[6]

* Setelah menukil ijma ulama tentang masalah haramnya bunga bank, DR. Ali bin Ahmad As-Salus mengatakan:Dengan demikian, maka masalah bunga bank menjadi masalah haram yang jelas dan bukan lagi perkara yang samar, sehingga tidak ada ruang lagi untukperselisihan dan fatwa-fatwa pribadi.[7]Setelah konsensus ini, maka janganlah kita tertipu dengan berbagai syubhat (kerancuan) sebagian kalangan[8] yang berusaha untuk membolehkan riba Bank, apalagi para ulama telah bangkit untuk membedah syubhat-syubhat tersebut.[9]

BEKERJA DI BANKBila kita ketahui bahwa Bank adalah tempat riba yang diharamkan dalam Islam, maka bekerja di Bank hukumnya adalah haram, karena hal itu berarti membantu mereka dalam keharaman dan dosa, atau minimalnya adalah berarti dia ridho dengan kemunkaran yang dia lihat. Allah berfirman:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.

(QS. Al-Maidah: 2)Ayat ini merupakan kaidah umum tentang larangan tolong menolong di atas dosa dan kemaksiatan. Oleh karenanya, para ahli fiqih berdalil dengan ayat di atas tentang haramnya jual beli senjata pada saat fitnah, jual beli lilin untuk hari raya Nashoro dan sebagainya, karena semua itu termasuk tolong menolong di atas kebathilan.

Lebih jelas lagi, perhatikan bersamaku hadits berikut:

- - .

Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya, sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)

* Imam Nawawi berkata: Hadits ini jelas menunjukkan haramnya menjadi sekretaris untuk riba dan saksinya. Hadits ini juga menunjukkan haramnya membantu kebathilan.[10]

Para ulama kita sekarang telah menegaskan tentang tidak bolehnya menjadi pegawai Bank, sekalipun hanya sebagai satpam. Kewajiban baginya adalah menghindari dari laknat Allah dan mencari pekerjaan lain yang halal, sesungguhnya Allah Maha luas rizkiNya.[11]

BOLEHKAH MENYIMPAN UANG DI BANK?Pada asalnya menyimpan uang di Bank hukumnya tidak boleh karena hal itu termasuk membantu kelancaran perekonomian riba yang jelas hukumnya haram, sebab uang tersebut akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada orang lain dengan riba. Oleh karena itu, maka pada asalnya setiap muslim harus putus hubungan dan thalak tiga dengan Bank. Hanya saja, pada zaman sekarang terkadang seorang tidak bisa menghindari diri dari Bank, sehingga para ulama membolehkannya apabila dalam keadaan dharurat sekali dan tidak ada cara lain untuk menyimpan hartanya.

Dari sini, dapat kita katakan bahwa orang yang menyimpan uang di Bank tidak keluar dari dua keadaan:Pertama: Orang yang ingin membungakan dan mengembangkan hartanya dengan jalan riba. Tidak ragu lagi bahwa orang ini telah terjatuh dalam keharaman dan terancam dengan peperangan Allah dan rasulNya. Lantas, siapakah yang menang jika berhadapan dengan Allah dan rasulNya?!

Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqoroh: 279)

Kedua: Orang yang ingin menyimpan hartanya agar aman. Hal ini terbagi menjadi beberapa keadaan:1. Apabila ada tempat lain atau bank Islam yang bersih dari riba untuk penyimpanan secara aman, maka tidak boleh dia menyimpan di bank konvensional karena tidak ada kebutuhan mendesak dan ada pengganti lainnya yang boleh.2. Apabila tidak ada bank Islami yang bersih dari riba atau tempat aman lainnya padahal dia sangat khawatir bila harta tersebut akan dicuri atau lainnya, maka hukumnya adalah boleh karena dharurat. Hal ini berbeda-beda sesuai keadaan manusia. Artinya, tidak semua orang terdesak untuk menyimpan uangnya di Bank. Maka hendaknya seorang bertaqwa dan takut kepada Allah, janganlah dia meremehkan dengan alasan dharurat padahal tidak ada dharurat sama sekali sebagaimana banyak dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin.[12]

MEMANFAATKAN BUNGA BANKKalau kita katakan bahwa boleh menabung di Bank dalam kondisi darurat, maka tentu saja akan muncul pertanyaan: Apa yang kita perbuat dengan bunga (baca: riba) yang diberikan Bank kepada tabungan kita?!Kami katakan: Ada beberapa kemungkinan apa yang kita lakukan terhadapnya:1. Mengambilnya dan memanfaatkannya seperti uang pokok.2. Membiarkannya untuk Bank agar dimanfaatkan sesuka Bank.3. Mengambilnya lalu merusaknya.4. Mengambilnya lalu memberikannya kepada fakir miskin atau untuk keperluan umum bagi kemaslahatan kaum muslimin5. Mengambilnya dan memberikannya kepada orang yang dizhalimi oleh Bank dengan riba.

Pendapat yang paling mendekati kebenaran -menurut kami- adalah pendapat keempat yaitu mengambilnya dan memberikannya kepada fakir miskin atau keperluan umum bukan dengan niat sedekah tetapi untuk membebaskan diri dari uang yang haram. Inilah pendapat yang dipilih oleh para ulama seperti Lajnah Daimah[13], al-Albani[14], Musthofa az-Zarqo dan lain sebagainya[15].

SOLUSI DAN SERUAN* Setelah keterangan singkat di atas maka sudah semestinya bagi kaum muslimin, khususnya kepada para pemimpin[16] untuk mengingkari bersama praktek riba yang berkembang di Bank dan berusaha untuk mendirikan Bank-Bank Islam yang bersih dari riba dan sesuai dengan undang-undang syariat Islam yang mulia, atau memperbaiki bank-bank Islam yang sudah ada karena masih disinyalir oleh banyak kalangan belum bersih dari praktek riba dan belum memadai pelayanannya di semua penjuru kota.* Sungguh keji keji ucapan seorang bahwa tidak ada Bank kecuali dengan bunga dan tidak ada kekuatan ekonomi Islam kecuali dengan Bank[17]. Ini adalah kedustaan nyata, sebab sepanjang sejarah Islam berabad-abad lamanya, perekonomian mereka stabil tanpa Bank Riba.* Sekali lagi, kami menghimbau kepada para ulama, para pemimpin, para ahli ekonomi, para pedagang besar untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah ini dengan harapan agar Bank-Bank Islam yang bersih dari kotoran riba akan banyak bermunculan di Negeri kita tercinta sehingga kita tidak lagi membutuhkan kepada bank-bank riba. Dan kewajiban bagi setiap muslim untuk bahu-membahu mendukung ide tersebut agar mereka selamat dari jeratan riba yang menyebabkan murka Allah.

Hukum Menjadi Pegawai Bank Dalam PandanganIslamMajelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima Ulama Indonesia, sejak hampir 6 tahun yang lalu tepat pada hari Selasa 16 Desember 2003 telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath itu tidaklah diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.Tulisan kali ini akan lebih membahas tentang besarnya dosa riba dan keterlibatan di dalamnya (Tulisan lengkapnya dapat dilihat di buku kami: Hukum Seputar Riba dan Pegawai Bank yang diterbitkan Ar-Raudhoh Pustaka).Dosa RibaSeberapa besar dosa terlibat dalam riba, maka cukuplah hadits-hadits shahih berikut menjawabnya:Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam) (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan Orang-orang bertanya, apakah gerangan wahai Rasul? Beliau menjawab: Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mumin yang suci berzina. (HR Bukhari Muslim)Terlibat dalam riba (Bunga Bank) adalah termasuk dosa besar, yang sejajar dengan dosa syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, melarikan dari jihad, dan menuduh wanita baik-baik berzina. Naudzubillah. Bahkan apabila suatu negeri membiarkan saja riba berkembang di daerahnya maka sama saja ia menghalalkan Allah untuk mengazab mereka semua.Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat di negeri itu sama saja telah menghalalkan dirinya dari azab Allah (HR. Al Hakim)Pertanyaannya, jika Bank itu diharamkam karena Riba, lalu bagaimanakah hukum bagi orang yang bekerja di dalamnya (pegawai Bank)?Hukum Menjadi Pegawai Bank KonvensionalTelah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Masud dari Nabi SAW:Bahwa beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya. (HR. Bukhari Muslim)Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya. Dan beliau bersabda: Mereka itu sama. (HR. Muslim)Ibnu Masud meriwayatkan:Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya jika mereka mengetahui hal itu maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat. (HR. Nasai)Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan.Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu; orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi) riba, pencatat riba, dan saksi riba. dan saat ini jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membanggakan sebagian kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum positif) di kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan dan pembiayaan. Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan diatas:

1. Penerima RibaPenerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi yang menghasilkan riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui aktivitas tersebut adalah riba. Baik melalui pinjaman kredit, gadai, ataupun pertukaran barang atau uang dan yang lainnya, maka semua yang mengambil atau memanfaatkan aktivitas yang mendatangkan riba ini maka ia haram melakukannya, karena terkategori pemakan riba. Contohnya adalah orang-orang yang melakukan pinjaman hutang dari bank atau lembaga keuangan dan pembiayaan lainnnya untuk membeli sesuatu atau membiayai sesuatu dengan pembayaran kredit yang disertai dengan bunga (rente), baik dengan sistem bunga majemuk maupun tunggal. 2. Pemberi Riba.Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang menggunakan hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk suatu aktivitas yang menghasilkan riba. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah para pemilik perusahaan keuangan, pembiayaan atau bank dan juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan (Direktur atau Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas yang menghasilkan riba. 3. Pencatat RibaAdalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat aktivitas yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya para teller, orang-orang yang menyusun anggaran (akuntan) dan orang yang membuatkan teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba. 4. Saksi RibaAdalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam suatu transaksi atau perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengawas (supervisor).Sedangkan status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua lembaga yang berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu tentang aktivitas pekerjaan atau deskripsi kerja dari status pegawai bank tersebut. Apabila pekerjaan yang dikontrakkan adalah bagian dari pekerjaan riba, baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun yang menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim haram untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur, akuntan, teller dan supervisornya, termasuk juga setiap pekerjaan yang menghasilkan jasa yang berhubungan dengan riba, baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci, penjaga (satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi Informasi), tukang sapu dan sebagainya, maka diperbolehkan, karena transaksi kerja tersebut merupakan transaksi untuk mengontrak jasa dari pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut tidak bisa disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba, yang memang jenis pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas (sharih).Yang dinilai sama dengan pegawai bank adalah pegawai pemerintahan yang mengurusi kegiatan-kegiatan riba, seperti para pegawai yang bertugas menyerahkan pinjaman kepada petani dengan riba, para pegawai keuangan yang melakukan pekerjaan riba, termasuk para pegawai panti asuhan yang pekerjaannya adalah meminjam harta dengan riba, maka semuanya termasuk pegawai-pegawai yang diharamkan, dimana orang yang terlibat dianggap berdosa besar, karena mereka bisa disamakan dengan pencatat riba ataupun saksinya. Jadi, tiap pekerjaan yang telah diharamkan oleh Allah SWT, maka seorang muslim diharamkan sebagai ajiir di dalamnya.Semua pegawai dari bank atau lembaga keuangan serta pemerintahan tersebut, apabila pekerjaannya termasuk dalam katagori mubah menurut syara untuk mereka lakukan, maka mereka boleh menjadi pegawai di dalamnya. Apabila pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan yang menurut syara tidak mubah untuk dilakukan sendiri, maka dia juga tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak diperbolehkan untuk menjadi ajiir di dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram dilakukan, hukumnya juga haram untuk dikontrakkan ataupun menjadi pihak yang dikontrak (ajiir).Selain itu juga Allah SWT mengharamkan kita untuk melakukan kerjasama atau tolong-menolong dalam perbuatan dosa. Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Maidah: 02)Wallahualam